Anda di halaman 1dari 6

LAPORAN PENDAHULUAN

TERAPI ELECTROCONVULSIVE THERAPY (ECT)

1. PENGERTIAN
ECT (Electro Confulsive Terapy) adalah tindakan dengan menggunakan
aliran listrik dan menimbulkan kejang pada penderita baik tonik maupun klonik
(Sujono, 2009). Terapi elektrokonvulsif menginduksi kejang grand mal secara
buatan dengan mengalirkan arus listrik melalui elektroda yang dipasang pada
satu atau kedua pelipis (Stuart, 2007). Dan menurut Townsend (1998) Terapi
elektrokonvulsif (ECT) merupakan suatu jenis pengobatan somatik dimana arus
listrik digunakan pada otak melalui elektroda yang ditempatkan pada pelipis.
Arus tersebut cukup untuk menimbulkan kejang gran mal, yang darinya
diharapkan efek yang terapeutik tercapai. ECT adalah suatu tindakan terapi
dengan menggunakan aliran listrik dan menimbulkan kejang pada penderita baik
tonik maupun klonik yaitu bentuk terapi pada klien dengan mengalirkan arus
listrik melalui elektroda yang ditempelkan pada pelipis klien untuk
membangkitkan kejang grandmall (Riyadi, 2009).
Terapi Kejang Listrik adalah suatu terapi dalam ilmu psikiatri yang
dilakukan dengan cara mengalirkan listrik melalui suatu elekktroda yang
ditempelkan di kepala penerita sehingga menimbulkan serangan kejang umum
(Mursalin, 2009).Terapi elektrokonvulsif (ECT) merupakan suatu jenis
pengobatan somatik dimana arus listrik digunakan pada otak melalui elektroda
yang ditempatkan pada pelipis. Arus tersebut cukup menimbulkan kejang grand
mal, yang darinya diharapkan efek yang terapeutik tercapai (Taufik, 2010).
Terapi kejang listrik merupakan alat elektrokonvulsi yang mengeluarkan listrik
sinusoid dan ada yang meniadakan satu fase dari aliran sinusoid itu sehingga
pasien menerima aliran listrik (Maramis, 2004).

2. MEKANISME KERJA
Mekanisme kerja terapeutik ECT masih belum banyak diketahui. Salah
satu teori yang brkaitan dengan hal ini adalah teori neurofisiologi.Teori ini
mempelajari aliran darh serebral, suplai glukosa dan oksigen, serta permea bilitas
sawar otak akan meningkat. Setelah kejang, aliran darah dan metabolisme
glukosa menurun. Hal ini paling jelas dilihat pada lobus frontalis. Beberapa
penelitian mengatakan bahwa derajat penurunan metabolisme serebral
berhubungan dengan respon terapeutik.
Teori lain adalah teori neurokimiawi yang memusatkan perhatian pad
perubahan neurotrasmiter dan second messenger .Hampir semua pada sistem
neurotrasmiter dipengaruhi oleh ECT.Ahir ahir ini mulai berkembang
Arumingtyas Pawestri
1601460029
DIV Keperawatan Malang
neuroplastisitas yang berhubungan dengan stimulasi kejang listrik.Pada
percobaan hewan,di jumpai plastisitas sinaps, dihipotalamus,yakni pertumbuhan
serabut saraf, peningkatan konektifitas jaras saraf, dan terjadinya neurogenesis

3. JENIS
Jenis ECT ada 2 macam :
a. ECT konvensional
ECT konvensional ini menyebabkan timbulnya kejang pada pasien
sehingga tampak tidak manusiawi.Terapi konvensional ini di lakukan tanpa
menggunakan obat-obatan anastesi seperti pada ECT premedikasi.
b. ECT pre-medikasi
Terapi ini lebih manusiawi dari pada ECT konvensional,karena pada terapi
ini di berikan obat-obatan anastesi yang bisa menekan timbulnya kejang
yang terjadi pada pasien.

4. FREKUENSI
Frekuensi pemberian ECT tergantung pada keadaan pemberita yang dapat di
perlakukan dengan cara sebagai berikut :
a. Pemberian ECT secara blok 2-4 hari berturut-turut 1-2 kali sehari.
b. Dua sampai tiga kali seminggu.
c. ECT “maintanance’ sekali tiap 2-4 minggu.
b. Pasien dengan gangguan depresi berat di berikan antara 5-10 kali.
c. Untuk pasien yang mengalami gangguan di polar,mania,dengan gangguan
skijo frenia,pasien baru mendapat respon yang maksimum setelah 20-25
kali tindakan ECT.

5. INDIKASI
a. Pasien dengan penyakit depresif mayor yang tidak berespon terhadap
antidepresan atau yang tidak dapat meminum obat (Stuard, 2007). Menurut
Tomb (2004) gangguan afek yang berat: pasien dengan gangguan bipolar, atau
depresi menunjukkan respons yang baik dengan ECT. Pasien dengan gejala
vegetatif yang jelas cukup berespon. ECT lebih efektif dari antidepresan
untuk pasien depresi dengan gejala psikotik. Mania juja memberikan respon
yang baik pada ECT, terutama jika litium karbonat gagal untuk mengontrol
fase akut.
b. Pasien dengan bunuh diri akut yang cukup lama tidak menerima pengobatan
untuk mencapai efek terapeutik (Stuard, 2007). Menurut Tomb (2004), pasien
unuh dibri yang aktif dan tidak mungkin menunggu antidepresan bekerja.
Ketika efek samping Electro Convulsive Therapy yang diantisipasi kurang
dari efek samping yang berhubungan dengan blok jantung, dan selama
kehamilan (Stuard, 2007).
c. Gangguan skizofrenia: skizofrenia katatonik tipe stupor atau tipe excited
memberikan respons yang baik dengan ECT. Cobalah antipsikotik terlebih

Arumingtyas Pawestri
1601460029
DIV Keperawatan Malang
dahulu, tetapi jika kondisinya mengancam kehidupan (delyrium
hyperexcited), segera lakukan ECT. Pasien psikotik akut (terutama tipe
skizoaktif) yang tidak berespons pada medikasi saja mungkin akan membaik
jika ditambahkan ECT, tetapi pada sebagian besar skizofrenia (kronis), ECT
tidak terlalu berguna (Tomb, 2004).

6. KONTRAINDIKASI
Tidak ada kontraindikasi yang mutlak. Pertimbangkan resiko prosedur dengan
bahaya yang akan terjadi jika pasien tidak diterapi. Penyakit neurologik bukan
suatu kontraindikasi
a. Resiko sangat tinggi:
1) Peningkatan tekanan intrakranial (karena tumor otak, infeksi sistem
saraf pusat), ECT dengan singkat meningkatkan tekanan SSP dan
resiko herniasi tentorium.
2) Infark miokard.: ECT sering menyebabkan aritmia berakibat fatal jika
terdapat kerusakan otot jantung, tunggu hingga enzim dan EKG stabil.
b. Resiko sedang:
1) Osteoatritis berat, osteoporosis, atau fraktur yang baru, siapkan selama
terapi (pelemas otot) dan ablasio retina.
2) Penyakit kardiovaskuler (misalnya hipertensi, angina, aneurisma,
aritmia), berikan premedikasi dengan hati-hati, dokter spesialis
jantung hendaknya ada disana.
3) Infeksi berat, cedera serebrovaskular, kesulitan bernafas yang kronis,
ulkus peptik akut, feokromasitoma (Tomb, 2004).

7. EFEK SAMPING
a. Kematian, angka kematian yang disebabkan ECT adalah bervariasi antara 1-
1.000 dan 1-10.000 pasien. Resiko ini sama dengan resiko karena pemberian
anastesi umum. Kematian biasanya karena komplikasi kardiovaskuler.
b. Efek sistemik, pada pasien dengan gangguan jantung, dapat terjadi arritmia
jantung sementara. Arritmia ini terjadi karena bradikardia post ictal yang
sementara dan dapat dicegah dengan peningkatan dosis premedikasi anti
kolinerjik. Arritmia dapat juga terjadi karena hiperaktifitas
simpathetiksewaktu kejang atau saat pasien sadar kembali. Dilaporkan pula
adanya reaksi toksis dan allergi terhadap obat yang digunakan untuk
prosedur ECT premedikasi, tetapi frekwensinya sangat jarang.
c. Efek cerebral,pada pemberian ECT bilateral dapat terjadi amnesia dan acute
confusion. Fungsi memori akan membaik kembali 1-6 bulan setelah ECT,
tetapi ada pasien yang melaporkan tetap mengalami gangguan memori
(Tomb, 2004).

Arumingtyas Pawestri
1601460029
DIV Keperawatan Malang
8. PERAN PERAWAT DALAM PELAKSANAAN ECT
a. Peran perawat dalam persiapan klien sebelum tindakan ECT
1) Anjurkan pasien dan keluarga untuk tenang dan beritahu prosedur
tindakan yang akan dilakukan.
2) Lakukan pemeriksaan fisik dan laboratorium untuk mengidentifikasi
adanya kelainan yang merupakan kontraindikasi ECT.
3) Siapkan surat persetujuan tindakan.
4) Klien dipuasakan 4-6 jam sebelum tindakan.
5) Lepas gigi palsu, lensa kontak, perhiasan atau jepit rambut yang mungkin
dipakai klien.
6) Klien diminta untuk mengosongkan kandung kemih dan defekasi.
7) Klien jika ada tanda ansietas, berikan 5 mg diazepam IM 1-2 jam
sebelum ECT.
8) Jika klien menggunakan obat antidepresan, antipsikotik, sedatif hipnotik,
dan antikonvulsan, harus dihentikan sehari sebelumnya. Litium biasanya
dihentikan beberapa hari sebelumnya karena beresiko organik.
9) Premedikasi dengan injeksi SA (sulfatatropin) 0,6-1,2 mg setengah jam
sebelum ECT. Pemberian antikolinergik ini mengendalikan aritmia vagal
dan menurunkan sekresi gastrointestinal (Riyadi, 2009).

b. Persiapan alat
1) Perlengkapan dan peralatan terapi, termasuk pasta dan gel elektroda,
bantalan kasa, alkohol, saling,elektroda elektroensefalogram (EEG), dan
kertas grafik.
2) Peralatan untuk memantau, termasuk elektrokardiogram (EKG) dan
elektroda EKG.
3) Manset tekanan darah, stimulator saraf perifer, dan oksimeter denyut
nadi.
4) Stetoskop.
5) Palu reflex.
6) Peralatan intravena.
7) Penahan gigitan dengan wadah individu.
8) Pelbet dengan kasur yang keras dan bersisi pengaman serta dapat
meninggikan bagian kepala dan kaki.
9) Peralatan penghisap lender.
10) Peralatan ventilasi, termasuk slang, masker, ambu bag, peralatan jalan
nafas oral, dan peralatan intubasi dengan sistem pemberian oksigen
yang dapat memberikan tekanan oksigen positif. Obat untuk keadaan
darurat dan obat lain sesuai rekomendasi staf anastesi (Stuart, 2007).
c. Prosedur pelaksanaan
Menurut pendapat Stuart (2007) berikut prosedur pelaksanaan terapi kejang
listrik:
1) Berikan penyuluhan kepada pasien dan keluarga tentang prosedur.
2) Dapatkan persetujan tindakan.
3) Pastikan status puasa pasien setelah tengah malam.
Arumingtyas Pawestri
1601460029
DIV Keperawatan Malang
4) Minta pasien melepaskan perhiasan, jepit rambut, kaca mata, dan alat
bantu pendengaran. Semua gigi palsu dilepaskan, tambahan gigi
parsial dipertahankan.
5) Pakaikan baju yang longgar dan nyaman.
6) Kosongkan kandung kemih pasien.
7) Berikan obat praterapi.
8) Pastikan obat dan peralatan yang diperlakukan tersedia dan siap pakai.
9) Bantu pelaksanaan ECT.
a) Tenangkan pasien.
b) Dokter atau ahli anastesi memberikan oksigen untuk menyiapkan
pasien bila terjadi apnea karena relaksan otot.
c) Berikan obat.
d) Pasang spatel lidah yang diberi bantalan untuk melindungi gigi
pasien.
e) Pasang elektroda. Kemudian berikan syok.
f) Pantau pasien selama masa pemulihan
d. Peran perawat setelah ECT
Berikut adalah hal-hal yang harus dilakukan perawat untuk membantu klien
dalam masa pemulihan setelah tindakan ECT dilakukan yang telah
dimodifikasi dari pendapat Stuart (2007) dan Townsen (1998). Menurut
pendapat Stuart (2007) memantau klien dalam masa pemulihan yaitu dengan
cara sebagai berikut:
1) Bantu pemberian oksigen dan pengisapan lendir sesuai kebutuhan.
2) Pantau tanda-tanda vital.
3) Setelah pernapasan pulih kembali, atur posisi miring pada pasien
sampai sadar. Pertahankan jalan napas paten.
4) Jika pasien berespon, orientasikan pasien.
5) Ambulasikan pasien dengan bantuan, setelah memeriksa adanya
hipotensi postural.
6) Izinkan pasien tidur sebentar jika diinginkannya.
7) Berikan makanan ringan.
8) Libatkan dalam aktivitas sehari-hari seperti biasa, orientasikan pasien
sesuai kebutuhan.
9) Tawarkan analgesik untuk sakit kepala jika diperlukan.

Menurut Townsend (1998), jika terjadi kehilangan memori dan kekacauan


mental sementara yang merupakan efek samping ECT yang paling umum hal ini
penting untuk perawat hadir saat pasien sadar supaya dapat mengurangi
ketakutanketakutan yang disertai dengan kehilangan memori. Implementasi
keperawatan yang harus dilakukan adalah sebagai berikut:
a) Berikan ketenangan dengan mengatakan bahwa kehilangan memori
tersebut hanya sementara.
b) Jelaskan kepada pasien apa yang telah terjadi.
c) Reorientasikan pasien terhadap waktu dan tempat.
d) Biarkan pasien mengatakan ketakutan dan kecemasannya yang
berhubungan dengan pelaksanaan ECT terhadap dirinya.
Arumingtyas Pawestri
1601460029
DIV Keperawatan Malang
e) Berikan sesuatu struktur perjanjian yang lebih baik pada aktivitas-aktivitas
rutin pasien untuk meminimalkan kebingungan.

DAFTAR PUSTAKA

Maramis. W.F. 1995, Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Jakarta: EGC


Stuart GW, Sundeen.2007. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC.
Tomb, David. 2004, Buku Saku Psikiatri, edisi 6. Jakarta: EGC
Townsend, M.C. 1998. Buku Saku Diagnosa Keperawatan Pada Keperawatan
Psikitari (terjemahan), Edisi 3. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Arumingtyas Pawestri
1601460029
DIV Keperawatan Malang

Anda mungkin juga menyukai