Anda di halaman 1dari 33

Spektroskopi Molekul Organik Bab 3

BAB 3

SPEKTROSKOPI ULTRA
VIOLET

Tujuan pembahasan:

Bab 3 ini berisi kajian tentang dasar-dasar spektroskopi ultraviolet. Sajian


kajian diawali dengan dasar-dasar instrumentasi spektrofotometer dan diakhiri
dengan pola umum absorpsi kromofor dan pengaruh pelarut pada sifat absorpsi.
Setelah mempelajari Bab II ini Anda diharapkan mampu:
1. Mendeskripsikan secara ringkas tetapi jelas bagaimana dapat diperoleh
absorbansi dari suatu absorpsi UV oleh senyawa
2. Menjelaskan hubungan antara panjang-gelombang absorpsi dan perbedaan
energi dan antara tingkat-tingkat energi yang terlibat
3. Menghitung absorptivitas suatu molekul dari absorbansi-, konsentrasi, dan
panjang lintasannya.
4. Mengenal kromofor, dan menerangkan bagaimana konjugasi dan
substituen aromatik berkontribusi terhadap kromofor
5. Menjelaskan bagaimana pH dapat mempengaruhi kromofor dan spektra
UV(-Vis) pada senyawa-senyawa yang bersifat asam danbasa
6. Memprediksi nilai panjang-gelombang maksimum ( maks) untuk senyawa
tidak jenuh berkonjugasi dengan menggunakan aturan-aturan dasar
(Woodward-Fieser dan sejenisnya)
7. Merangkum beberapa aplikasi praktis spektroskopi UV-Vis

Bab 3: Spektroskopi Ultraviolet 59


Spektroskopi Molekul Organik Bab 3

3.1 Instrumentasi Dasar


Instrumen dasar untuk spektroskopi UV (dan juga IR) terdiri suatu sumber
energi, sel cuplikan (sampel), alat pendispersi cahaya (biasanya prisma atau kisi),
dan suatu detektor. Secara diagramatik sederhana, komponen dasar
spektrofotometer ini diikhtisarkan seperti pada Gambar 3.1. Spektrometer yang
terkini biasanya dilengkapi dengan komputer sebagai pengendali sehingga
pengguna dapat memanfaatkan secara lebih fleksibel.

Sumber radiasi Cuplikan (sampel) Prisma Celah (Slit)

Detektor

Intensitas
Intensitas cahaya absorpsi
yang
ditransmisikan

Maksimum absorpsi

Spektrum UV

Gambar 3.1 Diagram skematik spektrofotometer UV (dan IR)

Cahaya yang meradiasi cuplikan (dalam sel atau kuvet), selanjutnya


didispersikan oleh alat pendispersi (prisma atau kisi). Cahaya terdispersi ini
disinkronkan dengan sumbu-X perekam (recorder) yang menunjukkan panjang
gelombang radiasi. Selanjutnya ditangkap atau dideteksi oleh detektor melalui
celah (slit). Sinyal dari detektor ditransmisikan ke sumbu-Y perekam, dan dengan
demikian menunjukkan bagaimana radiasi diabsorpsi oleh cuplikan pada berbagai
panjang gelombang.

Bab 3: Spektroskopi Ultraviolet 60


Spektroskopi Molekul Organik Bab 3

Model terkini yang digunakan adalah spektrofotometer UV berkas-ganda


(double-beam UV spectrophotometer). Pada instrumen spektrofotometer yang
demikian cuplikan dan blanko (umumnya pelarut) diradiasi berkas cahaya paralel
secara bersamaan; satu sel mengandung larutan cuplikan dan satu sel mengandung
blanko atau pelarut. Blanko digunakan sebagai pembanding. Coba ingat
bagaimana Anda bekerja dengan Spectronic-20?
Sumber energi pada spektrofotometer UV menggunakan lampu UV, yakni
suatu filamen yang mampu memberikan radiasi elektromagnetik yang bekerja
pada daerah panjang gelombang UV. Sel cuplikan atau kuvet terbuat dari quarts,
sedangkan pelarut yang palig sering digunakan adalah etanol, heksana, air, dan
dioksana.

3.2 Sifat Spektroskopi Ultraviolet

Istilah atau batasan “spektroskopi UV” pada dasarnya merujuk pada


transisi elektronik yang terjadi di daerah spektrum elektromagnetik yang mampu
dijangkau oleh spektrofotometer UV dan bekerja pada di daerah 200–300 nm
(lihat kembali pasal 1.1, khususnya Gambar 1.2). Transisi elektronik juga terjadi
di daerah visible (tampak), sehingga daerah kerjanya adalah ultraviolet-visible,
UV-Vis ( di daerah 200–800 nm). Namun demikian, secara molekuler, daerah
ultraviolet lebih berguna dalam penentuan struktur molekul organik, karena pada
umumnya senyawa-senyawa organik cenderung tidak berwarna. Suatu daerah
yang lebih besar energinya, yakni pada panjang gelombang lebih kecil dari 200
nm (“UV vakum: vacuum ultraviolet”) juga menyebabkan terjadinya transisi
elektronik, tetapi daerah ini tidak dapat dicakup oleh instrumen yang sudah lazim
dikembangkan teknologinya. Etanol bersifat transparan terhadap UV di atas 200
nm, dan karenanya zat ini sering dan lazim digunakan sebagai pelarut dalam
spektroskopi UV-Vis.

Bab 3: Spektroskopi Ultraviolet 61


Spektroskopi Molekul Organik Bab 3

3.3 Aspek Kuantitatif Spektroskopi Ultraviolet

Sebagaimana yang telah Anda pelajari dalam Bab I atau dari mata kuliah
yang lain, cahaya pada panjang-gelombang yang pendek pada daerah spektrum
elektromagnetik mempunyai energi yang cukup untuk dapat menyebabkan
terjadinya promosi (eksitasi) transisi elektronik dalam molekul organik. Besarnya
absorpsi untuk cahaya UV adalah 200–400 nm atau 595–299 kJ/mol, sedangkan
untuk cahaya Vis pada 400–800 nm atau 299–149 kJ/mol. Energi ini mampu
menyebabkan promosi dan menghasilkan terjadinya transisi elektron pada kulit
terluar dari satu tingkat energi elektronik ke tingkat energi yang lebih tinggi.
Perbedaan antara tingkat energi elektron lebih besar daripada perbedaan
antara berbagai tingkat energi molecular, dan transisi ini memerlukan energi lebih
tinggi pada radiasi panjang-gelombang pendek. Promosi antara tingkat-tingkat
energi lainnya, misalnya vibrasional atau rotasional, hanya memerlukan energi
infrared (vibrasional) atau gelombang mikro (rotasional) yang relatif lebih rendah
energinya (lihat Gambar 3.2)

Tingkat-tingkat
energi
vibrasional

E2
Energi

Transisi
elektronik

Tingkat-tingkat
energi rotasional

E1

Gambar 3.2 Diagram skematik yang menggambarkan terjadinya transisi


elektronik, tingkat energi rotasional dan vibrasional

Pada temperatur kamar, sebagian besar molekul-molekul berada pada


keadaan vibrasional dengan tingkat energi elektronik paling rendah, yakni pada
”keadaan dasar (ground-state)” (E1). Absorpsi cahaya UV atau visibel

Bab 3: Spektroskopi Ultraviolet 62


Spektroskopi Molekul Organik Bab 3

menyebabkan promosi suatu elektron dari E1 menuju ke keadaan tereksitasi E2.


Transisi elektronik ini disertai dengan transisi vibrasional atau transisi rotasional,
dan promosi suatu elektron tersebut dapat terjadi dari tingkat energi elektronik
keadaan dasar, E1 ke berbagai tingkat energi vibrasional atau rotasional E2. Hal ini
memberi penjelasan mengapa pita absorpsi UV-Vis dicirikan melebar, sedangkan
untuk transisi energi antara tingkat-tingkat energi vibrasional atau rotasional
dengan satu tingkat energi elektronik menunjukkan struktur halus (lihat Bab IV,
tentang spektroskopi IR untuk berbagai contoh absorbsi tajam). Struktur halus
dalam spektra UV terkadang dan bahkan seringkali dapat dicapai dengan
menggunakan pelarut yang mempunyai interaksi lemah dengan molekul-molekul
cuplikan.
Berdasarkan fakta dan penjelasan di atas menunjukkan bahwa terdapat
berbagai kemungkinan transisi elektronik, namun demikian tidak dapat dipastikan
kapan hal ini dapat atau akan terjadi. Pada prinsipnya, transisi elektronik
diperbolehkan jika orientasi spin elektron tidak bermuatan selama transisi dan jika
fungsi simetri pada permulaan dan akhir adalah berbeda. Kondisi yang demikian
inilah masing-masing dikenal sebagai aturan spin dan aturan seleksi simetri.
Sering juga dikenal dengan transisi ”terlarang” dan dapat terjadi tetapi
menghasilkan absorpsi lemah.
Detektor spektrofotometri UV(-Vis) mengukur intensitas cahaya yang
ditransmisikan (Io) melalui pelarut yang digunakan (blanko) dan dibandingkan
dengan intensitas cahaya yang ditransmisikan melalui sel cuplikan (I).
Absorbansi, A, dihitung berdasarkan perbandingan Io dan I sesuai dengan
Persamaan (2.1). Perilaku skematik intensitas cahaya yang ditransmisikan baik
oleh blanko maupun cuplikan dapat dilihat pada Gambar 3.3.

A = log10 Io/I (2.1)

Dimana adalah absorptivitas molar molekul pengabsorpsi, sering juga


dikenal dengan koefisien ekstingsi molar dan merupakan ciri khas atau karakter
dari molekul senyawa yang bersangkutan. Absorptivitas molar biasanya
dinyatakan dalam satuan 100 cm2. mol-1 dan sering juga dinyatakan dalam satuan

Bab 3: Spektroskopi Ultraviolet 63


Spektroskopi Molekul Organik Bab 3

dm3.mol-1.cm-1. Satuan ini memberikan nilai yang berbeda oleh suatu faktor 10
dari nilainya dalam satuan 100 cm2. mol-1. Absorptivitas molar adalah suatu
ukuran intensitas absorpsi dan biasanya mempunyai rentang nilai 0 sampai 106.

Pita absorpsi
UV
yang ditransmisikan
Intensitas cahaya

Io

A = log10 Io/I

maks

(nm)

Gambar 3.3 Definisi absorbansi dalam spektroskopi

Menurut Lambert-Beer, absorbansi (A) suatu larutan berbanding lurus


dengan panjang lintasan yang dilalui cahaya yang meradiasi (l, tebal kuvet dalam
cm) dan konsentrasi (C, dalam mol per liter atau molar) molekul pengabsorpsi;
sesuai dengan Persamaan (2.2)

A= Cl (2.2)

Jadi, pita absorpsi UV dikarakterisasi oleh panjang-gelombang dimana


terjadi absorpsi maksimum, dan besaran ini yang disebut dengan panjang-
gelombang maksimum ( maks) dan . Harga berhubungan dengan jenis atau
tipe kromofor. Untuk selanjutnya, koefisien ekstingsi molar biasanya dinyatakan

Bab 3: Spektroskopi Ultraviolet 64


Spektroskopi Molekul Organik Bab 3

dalam bentuk log10( ); di mana nilai ini dapat digunakan untuk memperoleh
makna yang lebih mudah untuk dipahami. Namun demikian, juga harus dipahami
bahwa adanya ketidakmurnian (impurity) dari zat yang dianalisis akan
mempengaruhi secara nyata sifat absorpsi sehingga mengakibatkan kesalahan
dalam interpretasinya.

3.4 Istilah-istilah Khusus dalam Spektroskopi UV


Terdapat beberapa istilah yang khas dalam studi spektroskopi UV.
Beberapa istilah yang dimaksud adalah:
1. Auksokrom (Auxochrom = auxiliary chromophores), yakni gugus yang
berpengaruh (namun sedikit) terhadap absorpsi UV, tetapi berdampak
cukup signifikan pada absorbansinya ( maks dan ). Contoh gugus
auksokrom adalah: –OH, –OR, dan –NHR. Secara umum gugus-gugus
auksokrom dicirikan oleh adanya pasangan elektron bebas yang terdapat
pada gugus yang bersangkutan.
2. Geseran batokromat (Bathochromic shift), yakni geseran atau perubahan

maks ke arah yang lebih besar. Penyebab terjadinya peristiwa ini adalah
adanya perubahan struktur, misalnya adanya auksokrom.
3. Geseran hipsokromat (Hypsochromic shift), yakni geseran atau perubahan

maks ke arah yang lebih kecil. Munculnya gejala ini juga sering
disebabkan oleh adanya auksokrom.
Jadi suatu auksokrom dapat menimbulkan geseran batokromat dan
hipsokromat.

3.5 Klasifikasi Pita Absorpsi UV

Transisi elekronik berhubungan dengan perubahan tempat menghuni


elektron dalam suatu orbital. Sebagaimana yang telah dipelajari dalam Ikatan
Kimia, terdapat dua buah hunian pada setiap jenis orbital, yakni Orbital Ikatan
(bonding orbital) dan Orbital Anti-ikatan (antibonding orbital). Orbital anti-

Bab 3: Spektroskopi Ultraviolet 65


Spektroskopi Molekul Organik Bab 3

ikatan biasanya diberi notasi atau tanda asterisk atau bintang ( ) pada setiap orbital
yang sesuai. Untuk orbital ikatan maka orbital anti-ikatannya adalah
sedangkan orbital ikatan maka orbital anti-ikatannya adalah Transisi
elektronik terjadi dari orbital ikatan ke orbital anti-ikatan atau dari orbital non-
ikatan (nonbonding orbital) ke orbital anti-ikatan.
Pada setiap jenis transisi elektronik yang terjadi, terdapat karakter dan
melibatkan energi yang berbeda. Suatu kromofor dengan pasangan elektron bebas
dapat menjalani transisi dari orbital non-ikatan ke orbital anti-ikatan, baik pada
obital sigma maupun phi. Sedangkan, kromofor dengan elektron ikatan rangap
(menghuni orbital phi) akan menjalani transisi dari orbital ke orbital .
Demikian seterusnya untuk jenis transisi yang lain.
Berdasarkan jenis orbital tersebut maka, jenis-jenis transisi elektronik
dibedakan menjadi empat macam, yakni:

1. Transisi 
2. Transisi 
3. Transisi n 
4. Transisi n 
(Notasi n menyatakan orbital non-ikatan).

Energi yang diperlukan untuk menyebabkan terjadinya suatu jenis transisi


berbeda antara transisi yang satu dengan transisi yang lain. Transisi ke
memerlukan energi paling besar, sedangkan energi terkecil diperlukan untuk
transisi dari n ke Untuk memberikan gambaran dan memudahkan pemahaman
tentang jenis transisi beserta perbandingan energi yang diperlukan dapat dilihat
pada Gambar 3.4.
Selain seperti yang telah diuraikan di atas, terdapat metode lain untuk
mengklasifikasikan pita absorpsi dan menggunakan simbol-simbol, yakni:
1. Pita B (pita benzenoid)
2. Pita E (pita etilenik)
3. Pita R (pita radikalik or radical-like)
4. Pita K (pita terkonjugasi, Jerman “konjugierte”)

Bab 3: Spektroskopi Ultraviolet 66


Spektroskopi Molekul Organik Bab 3

*
E2
E1
Energi

n
E3

E4

Gambar 3.4 Diagram skematik transisi elektron dalam orbital

Suatu molekul dapat mempunyai lebih dari satu puncak atau satu pita
dalam suatu spektrum UV-nya, hal ini dimungkinkan, karena molekul tersebut
mempunyai lebih dari satu kromofor atau karena menjalani lebih dari satu jenis
transisi pada kromofor tunggal yang teramati. Untuk dapat membantu pemahaman
ini dapat dicermati pola absorpsi UV dari asetofenon seperti yang tercantum
dalam Tabel 3.1.

Tabel 3.1 Pita absorpsi UV untuk asetofenon

Jenis transisi dan


maks
(dm3mol-1 cm- log10( )
O (nm) 1 Pita absorpsi
)

244 12.600 4,1  K


280 1.600 3,2  B
317 60 1,6  R

Bab 3: Spektroskopi Ultraviolet 67


Spektroskopi Molekul Organik Bab 3

Transisi

Transisi n
log

O
CH3
CH3 C C C
CH3

(nm)

Gambar 3.5 Pola pita absorpsi UV untuk dua senyawa


dengan kromofor yang sama

Demikian juga, molekul-molekul dengan struktur yang berbeda


dimungkinkan mempunyai pola pita absorpsi UV yang relatif sama atau identik
jika molekul-molekul tersebut mempunyai tipe kromofor yang sama. Gambar 3.5
menunjukkan spektra UV untuk dua senyawa yang berbeda namun mempunyai
pola pita absorpsi yang sama. Namun demikian, spektra UV secara tipikal
mempunyai pola pita yang lebih sederhana dibanding spektra IR, MS, dan NMR;
tetapi memberikan kemampuan informasi yang lebih rendah.

3.6 Kromofor-kromofor Utama Spektroskopi UV


Kromofor-kromofor utama dalam spektroskopi UV adalah adalah
kromofor dengan > 200. Kromofor-kromofor dengan karakter yang demikian
umumnya dimiliki oleh sistem ikatan rangkap terkonjugasi atau sistem aromatik.
Sistem ikatan rangkap terkonjugasi dapat terjadi baik antar ikatan rangkap C=C
atau konjugasi dari sistem karbonil tidak jenuh , . Sistem aromatik berbasis dari
benzena dan turunannya. Kromofor yang sederhana dan tidak membentuk sistem

Bab 3: Spektroskopi Ultraviolet 68


Spektroskopi Molekul Organik Bab 3

terkonjugasi pada umumnya memberikan absorpsi energi tinggi (panjang-


gelombang rendah) dengan intensitas ) rendah. Data empirik untuk kromofor
yang demikian tercantum pada Tabel 3.2.

Tabel 3.2 Panjang-gelombang absorpsi kromofor sederhana tak terkonjugasi


Transisi penyebab
maks (nm) Kromofor
absorpsi
~150 Elektron ikatan 
C – C atau C – H
~185–195 Pasangan elektron bebas: n
– X: (X = O, N, S)
~300 C = O: n
~190 Pasangan elektron bebas n
~190 Elektron ikatan 
C = C terisolasi

Tampak bahwa transisi  sebagaimana lazimnya kromofor ini


terdapat dalam sistem alkil jenuh memerlukan energi tinggi. Untuk jenis transisi
yang lain pada dasarnya memerlukan adanya pasangan elektron bebas atau ikatan
dari elektron yang dapat dipromosikan. Sesuai dengan fakta, umumnya spektra
UV hanya sesuai jika sistem adalah tidak jenuh; kromofor dengan derajat
ketidakjenuhan tertinggi memberikan intensitas absorpsi pada panjang-gelombang
yang paling panjang.

Radiasi UV pada 190 nm setara dengan energi ~626,3 kJ mol-1 untuk


mempromosikan suatu elektron ikatan dari orbital ikatan- (the highest occupied
molecular orbital, HOMO) ke orbital anti-ikatan- (the lowest unoccupied
molecular orbital, LUMO) menghasilkan keadaan tereksitasi, di mana elektron-
elektron tidak berpasangan, dan HOMO menjadi orbital anti-ikatan (lihat
Gambar 3.6).

Suatu pita absorpsi dengan maks > 210 nm menunjukkan adanya sistem
terkonjugasi, panjang-gelombang lebih yang besar, dan sekaligus kromofor yang
lebih panjang. Uraian berikut menjelaskan pengaruh perpanjangan konjugasi
terhadap pita absorpsi pada spektra UV.

Bab 3: Spektroskopi Ultraviolet 69


Spektroskopi Molekul Organik Bab 3

LUMO HOMO

h
nm

HOMO

Keadaan dasar Keadaan tereksitasi

Gambar 3.6 Diagram energi dan transisi  pada etena

3.6.1 Diena dan Poliena


Perpanjangan ikatan rangkap terkonjugasi memperbesar nilai maks dan
biasanya diikuti dengan naiknya intensitas (lihat Tabel 3.2). Pengaruh ini bersifat
aditif. Di samping itu, gugus alkil pada C=C dan konjugasinya juga menyebabkan
pergeseran batokromat.

Tabel 3.2 Pengaruh perpanjangan konjugasi pada absorpsi UV

Alkena (nm) log10( )


maks
(dm3mol-1cm-1)
CH2=CH2 165 10.000 4,0
CH3CH2CH=CHCH2CH3 (trans) 184 10.000 4,0
CH2=CHCH=CH2 217 20.000 4,3
CH3CH=CH-CH=CH2 (trans) 224 23.000 4,4
CH2=CHCH=CHCH=CH2 (trans) 263 53.000 4,7
CH3(CH=CH)5CH3 (trans) 341 126.000 5,1

Bab 3: Spektroskopi Ultraviolet 70


Spektroskopi Molekul Organik Bab 3

Mengapa perpanjangan ikatan rangkap terkonjugasi menggeser ke arah


panjang-gelombang makin besar? Perpanjangan ikatan rangkap tekonjugasi
menggeser maks ke arah makin besar karena makin mudah menjalani terjadinya
transisi  sehingga memerlukan energi yang lebih rendah. Diagram
skematik perbedaan pola transisi  pada satu ikatan rangkap C=C dan
ikatan rangkap C=C terkonjugasi diikhtisarkan pada Gambar 3.7.

165 nm 217 nm

C=C

C=C–C=C

Gambar 3.7 Pola transisi elektronik suatu diena dan diena


terkonjugasi

Makin panjang konjugasi makin tidak “aktif” daerah UV, tetapi makin
aktif pada daerah Visible. Misalnya, untuk delapan atau lebih ikatan rangkap
terkonjugasi, maka absorpsi maksimum pada poliena yang demikian
mengabsorpsi secara kuat di daerah spektrum visible. Senyawa yang mempunyai
< 4 ikatan rangkap C=C terkonjugasi, Aturan Woodwards-Fieser sangat baik
untuk memprediksi nilai panjang-gelombang maksimum ( maks.)-nya.

Menurut aturan Woodwards-Fieser, kerangka dasar ikatan rangkap C=C


bertipe 1,3-butadiena dan perpanjangan ikatan rangkap terkonjugasinya
dikelompokkan menjadi tiga kategori dasar, yakni:

Bab 3: Spektroskopi Ultraviolet 71


Spektroskopi Molekul Organik Bab 3

1. 1,3-Butadiena asiklik atau terbuka


2. 1,3-Butadiena siklik tipe homoanular atau juga sering disebut cisoid
3. 1,3-Butadiena siklik tipe heteroanular atau juga disebut transoid

Aturan Woodwards-Fieser menetapkan maks. dan yang berbeda untuk

setiap tipe atau kategori 1,3-butadiena tersebut, sehingga terdapat tiga nilai maks.

dan Ketiga tipe 1,3-butadiena beserta harga dasar maks. nya dapat dilihat pada
Tabel 3.3.

Tabel 3.3 Pola spektra UV tiga tipe dasar system 1,3-butadiena


R
Tipe/Kategori R
R
1,3- Butadiena
R

Nama Asiklik Heteroanular Homoanular


(transoid) (cisoid)
(nm)
maks. 217 214 253
dm .mol-1.cm-1)
3
~15.000 16.000 8.000
log10( ) ~4,17 4,20 3,90

Perpanjangan ikatan rangkap terkonjugasi, substituen, posisi C=C terhadap


sistem siklik, dan pelarut yang digunakan mempengaruhi prediksi empirik nilai

maks. untuk ketiga tipe 1,3-butadiena tersebut. Tabel 3.4 merangkum pengaruh-

pengaruh ini terhadap nilai maks. sebagaimana yang diprediksi menurut aturan
Woodwards–Fieser.
Contoh:
Contoh 1. 3,5-Kolestadiena
Harga dasar sebagai diena heteroanular = 214
3 (tiga) residu cincin (1, 2, dan 3) = 3 x 5 = 15
1 2 1 (satu) ikatan C=C eksosiklik = 1 x 5= 5
3
Hitungan maks. (Hit. maks.) = 234 nm

Pengamatan maks. (Amat. maks.) = 235 nm

(dengan maks. = 19.000)

Bab 3: Spektroskopi Ultraviolet 72


Spektroskopi Molekul Organik Bab 3

Contoh 2. 2,4-Kolestadiena
Harga dasar sebagai diena heteroanular = 253
3 (tiga) residu cincin (1, 2, dan 3) = 3 x 5 = 15
1
2 1 (satu) ikatan C=C eksosiklik = 1 x 5 =5

3 Hitungan maks. (Hit. maks.) = 273 nm

Pengamatan maks. (Amat. maks.) = 275 nm

(dengan maks. = 10.000)

Tabel 3.4 Prediksi pita absorpsi UV diena (aturan Woodwards–Fieser)

Sistem kromofor diena maks (nm)


Harga dasar:
Untuk diena siklik heteroanular 214
Untuk diena siklik heteroanular 253

Penambahan untuk:
Perpanjangan ikatan C=C terkonjugasi + 30
Substituen alkil dan/atau residu cincin +5
Adanya ikatan C=C eksosiklik +5
Adanya gugus polar:
– OAc (– OAsetil dan – OAsil) +0
– OR (– OAlkil) +6
– SR + 30
– Cl, – Br, dst. +5
– N(Alkil)2 + 60
Koreksi terhadap pelarut 0

Prediksi panjang-gelombang ( hitung = hit) (dalam nm) Total

Bab 3: Spektroskopi Ultraviolet 73


Spektroskopi Molekul Organik Bab 3

3.6.2 Senyawa karbonil


Senyawa karbonil dan turunannya menunjukkan absorpsi lemah ( < 100)
pada 250–350 nm. Dengan kondisi yang hanya dapat demikian digunakan untuk
menentukan struktur. Sistem karbonil terkonjugasi memperkuat intensitas
absorpsi (lihat Tabel 3.5).
Aturan Woodwards–Fieser juga menurunkan generalisasi empirik efek
posisi substituen pada transisi  (pita K) untuk pita absorpsi senyawa keton
tidak jenuh (C=CC=O). Perubahan posisi pita ini dihasilkan dari substituen
dan dengan struktur dasar sebagai berikut:

Tabel 3.5 Pita Absorpsi UV untuk Senyawa Karbonil yang Umum

Senyawa dan strukturnya maks. (nm) log10( )


dm3.mol-1.cm-1)
CH3–CHO 293 (dalam 12 1,1
Asetaldehida heksana)
CH3–CO–CH3 279 (dalam 15 1,2
Aseton heksana)
Butenal 207 dan 328 12.000 dan 20 4,1 dan
CH2=CH–CHO (dalam etanol) 1,3
CH3-CH=CH–CO–CH3 221 dan 312 12.000 dan 40 4,1 dan
(E)-3-Penten-2-on (dalam etanol) 1,6
CH3-C(CH3)=CH–CO–CH3 238 dan 316 12.000 dan 60 4,1 dan
4-Metil-3-Penten-2-on (dalam etanol) 1,8
225 7.950 3,9
O

2-Sikloheksenon
247; 292; dan 12.600; 1.000; 4,1; 3,0;
O O
363 dan 250 dan 2,4
Benzoquinon

Bab 3: Spektroskopi Ultraviolet 74


Spektroskopi Molekul Organik Bab 3

O O

R R

Tabel 3.6 Prediksi absorpsi UV karbonil tidak jenuh menurut aturan


Woodwards–Fieser
Sistem kromofor diena maks (nm)
Harga dasar:
Keton tidak jenuh asiklik 215
Keton tidak jenuh siklik anggota-6 215
Keton tidak jenuh siklik anggota-5 202
Aldehida tidak jenuh 210
Asam karboksilat dan ester tidak jenuh 195
Penambahan untuk:
Perpanjangan ikatan C=C terkonjugasi + 30
Gugus alkil, residu cincin: + 10
+ 12
dan lebih tinggi + 18
Gugus polar: –OH pada posisi + 35
+ 30
dan lebih tinggi + 50
–OAc pada posisi +6
–OMe pada posisi + 35
+ 30
+ 17
+ 31
–SAlkil pada posisi + 85
–Cl pada posisi + 15
+ 12
–Br pada posisi + 25
+ 30
–NR pada posisi + 95
Ikatan C=C eksosiklik +5
Komponen homodiena + 39
Koreksi terhadap pelarut
Etanol, metanol 0
Dioksana +5
Kloroform +1
Eter +7
Air -8
Heksana, Sikloheksana + 11
Prediksi panjang-gelombang ( hitung = hit) (dalam nm) Total

Bab 3: Spektroskopi Ultraviolet 75


Spektroskopi Molekul Organik Bab 3

Spektra aldehida tidak jenuh identik dengan keton . Pita n 


(pita R) terdapat di daerah 350–370 nm dengan disertai struktur halus jika
dianalisis dalam pelarut nonpolar. Berdasarkan kedua pola pita absorpsi UV ini,
maka Woodwards–Fieser menggeneralisasi untuk memprediksi panjang-
gelombang maksimum senyawa karbonil tidak , khususnya enon dan dienon
(lihat Tabel 3.6).

Contoh 3. 1-Asetilsikloheksena
Harga dasar = 215 nm
O
Substituen- = 10 nm
CH3 Substituen- = 12 nm
Hitungan maks. (EtOH) = 237 nm
Pengamatan maks. (EtOH) = 232 nm

Contoh 4. 1,4-Kolestadiena-3-on
4,5
Harga dasar (sistem ) = 215 nm
1
' 2 (dua) Substituen- = 24 nm
2
3 1 (satu) Ikatan C=C eksosiklik = 5 nm
O 4 Hitungan maks. (EtOH) = 244 nm
Pengamatan maks. (EtOH) = 245 nm

3.6.3 Benzena dan Turunannya


Benzena mempunyai absorpsi UV sedang sampai kuat. Adanya
auksokrom memperkuat intensitas absorpsi UV. Tabel 3.7 menyajikan pola
absorpsi UV benzena dan turunannya. Turunan benzena yang dimaksud adalah
dengan auksokrom lemah (–CH3, –Cl, –OCH3), auksokrom dari gugus dengan
peningkatan konjugasi (–CH=CH2, –COR, –NO2), dan auksokrom dengan
absorpsi yang dipengaruhi pH (–NO2 dan –OH).

Bab 3: Spektroskopi Ultraviolet 76


Spektroskopi Molekul Organik Bab 3

Anilin dan ion fenoksida seharusnya mempunyai pita absorpsi UV overlap


yang ditimbulkan oleh pasangan elektron bebas nitrogen (atau oksigen) dengan
system- cincin benzena. Kondisi yang demikian dapat dijelaskan dengan model
Ikatan Valensi seperti tampak pada Gambar 3.8.

Tabel 3.7 Pita absorpsi UV benzena (Ar–H) dan turunannya (Ar–Y)


Senyawa dan
maks. (nm) log10 ( )
strukturnya dm3.mol-1.cm-1)
Ar–H 184; 204; dan 60.000; 7.900; 4,8; 3,9;
Benzena 256 dan 200 dan 2,3
Ar–CH3 208; dan 261
Toluena
Ar–Cl 216; dan 265 8.000 dan 240 3,9; dan 2,4
Klorobenzena
Ar–OCH3 220; dan 272 8.000; dan 1.500 3,9; dan 3,2
Anisol
Ar–CH=CH2 244; dan 282 12.000; dan 450 4,1; dan 2,7
Stirena
Ar–CO–CH3 244; dan 280 12.600; dan 1.600 4,1; dan 3,2
Asetofenon
Ar–NO2 251; 280; dan 9.000; 1.000; 4,0; 3,0;
Nitrobenzena 330 dan 130 dan 2,1
Ar–NH2 230; dan 281 8.000; dan 1.500 3,9; dan 3,2
Anilin
Ar–NH3+ 203; dan 254 8.000; dan 160 3,9; dan 2,2
Ion anilinium
Ar–OH 211; dan 270 6.300; dan 1.500 3,8; dan 3,2
Fenol
Ar–O– 235; dan 287 9.500; dan 2.500 4,0; dan 3,4
Ion fenoksida

: NH2 : NH2 + NH2 + NH2 +NH2

_ _

Gambar 3.8 Resonansi pada model ikatan valensi anilin

Bab 3: Spektroskopi Ultraviolet 77


Spektroskopi Molekul Organik Bab 3

Pita absorpsi pada panjang-gelombang kurang dari 210 nm timbul sebagai


akibat pita E, sedang pada panjang-gelombang di atas 210 nm merupakan pita B
dari sistem benzena dan turunannya tersebut. Pengikatan gugus auksokrom,
misalnya gugus –OH, –NH2, dan sebagainya oleh cincin benzena menggeser pita
B dan pita E ke panjang-gelombang lebih pendek, dan sering kali dengan
penguatan pita B dan hilang struktur halusnya, sebab terjadi konjugasi dengan
pasangan elektron bebas sehingga terdapat transisi n .

Tabel 3.8 Prediksi pita dasar (transisi  ) benzena tersubstitusi, Ar-COG


(dalam EtOH)

Sistem kromofor diena maks (nm)


Kromofor induk: Ar = C6H5-
G = alkil atau residu cincin (Ar – COR) 246
G = H (Ar – CHO) 250
G = OH, OAlkil (Ar – COOH atau Ar – COOR) 230
Penambahan untuk setiap substituen pada Ar:
- Alkil, - residu cincin: orto-, meta- +3
para- + 10
- OH, - OMe, -OAlkil : orto-, meta- +7
para- + 25
- O– (anion oksi): orto- + 11
meta- + 20
para- + 78
- Cl (kloro): orto-, meta- +0
para- + 10
- Br (bromo): orto-, meta- +2
para- + 15
- NH2: orto-, meta- +13
para- + 58
- NHCOCH3: orto-, meta- + 20
para- + 45
- NHCH3: para- + 73
- N(CH3)2: orto-, meta- + 20
para- + 85

Bab 3: Spektroskopi Ultraviolet 78


Spektroskopi Molekul Organik Bab 3

Pengikatan secara langsung suatu gugus tidak jenuh (kromofor) pada


cincin benzena menghasilkan geseran batokromat secara kuat terhadap pita B dan
memunculkan pita K di daerah 200–250 nm dengan maks. > 10.000. Kondisi yang
demikian terjadi pada senyawa-senyawa aldehida-, keton-, asam karboksilat-, dan
ester aromatik. Perhitungan untuk memprediksi absorpsi maksimum senyawa-
senyawa aldehida, keton, asam karboksilat, dan ester aromatik dapat di lihat pada
Tabel 3.8.

Contoh 5. 6-Metoksitetralen

+ 25 +3 Kromofor induk = 246 nm


MeO
Residu cincin o- = 3 nm
(p-OMe) = 25 nm
O Hitungan (EtOH) = 274 nm
maks.

Pengamatan maks. (EtOH) = 276 nm

Contoh 6. 1,4-Kolestadiena-3-on

+ 25 +3 Kromofor induk = 246 nm


MeO
Residu cincin o- = 3 nm
(p-OH) = 7 nm
O
Hitungan maks. (EtOH) = 256 nm
Pengamatan maks. (EtOH) = 257 nm

3.7 Pengaruh pH dan Pelarut pada Pita Absorpsi UV

Berdasarkan pembahasan di atas, tampak bahwa absorpsi UV oleh suatu


molekul tidak hanya bergantung pada jenis transisi yang terdapat dalam molekul
pengabsorpsi. Namun demikian, pelarut (lihat absorpsi pada golongan senyawa
karbonil tidak jenuh dan Ar-COG) sangat berpengaruh pita absorpsi UV.
Demikian juga sifat keasaman (pH) kondisi pengukurannya.

Bab 3: Spektroskopi Ultraviolet 79


Spektroskopi Molekul Organik Bab 3

3.7.1. Pengaruh pelarut


Kepolaran pelarut mempengaruhi karakteristik absorpsi, terutama pada
maks.. Hal ini karena kepolaran molekul biasanya berubah jika suatu elektron
bergerak dari satu orbital ke orbital lainnya. Pengaruh pelarut biasanya mencapai
hingga 20 nm jika digunakan pelarut senyawa-senyawa karbonil. Pengalaman
empirik menunjukkan bahwa absorpsi n  pada aseton terjadi pada 279 nm
dalam n-heksana, 270 nm dalam etanol, dan 265 nm dalam air.
Apabila elektron-elektron pelarut menata-ulang diri untuk menstabilisasi
keadaan tereksitasi suatu molekul, perbedaan energi antara tingkat-tingkat energi
elektron molekul menjadi rendah dan absorpsi bergeser ke arah panjang
gelombang yang lebih besar.
Untuk membantu memahami bagaimana suatu pelarut polar dapat
menstabilkan suatu keadaan tereksitasi, dapat diambil contoh di sini adalah
transisi  dalam alkena. Pernyataan spesies pada keadaan dasar dan
keadaan tereksitasi dengan konsep sederhana melalui struktur resonansinya
sehingga membentuk spesies dipolar (lihat Gambar 3.9). Kondisi struktur
sebenarnya pada Gambar 3.9 bukan sebagai keadaan tereksitasi tetapi
memberikan kontribusi untuk suatu struktur keadaan tereksitasi.

h + .. _ dan
_ .. +
C C C C C C

Keadaan dasar Kontributor untuk keadaan tereksitasi

Gambar 3.9 Struktur resonansi keadaan dasar dan eksitasi


untuk alkena

Contoh lain untuk memahami pengaruh kepolaran pelarut adalah


penggunaan etanol dan sikloheksana. Etanol secara nyata dapat membentuk
spesies dipolar yang sekaligus berfungsi untuk menstabilkan keadaan
tereksitasinya; dan tentunya hal yang demikian tidak akan terjadi pada
sikloheksana. Stabilisasi (tambahan) ini pada keadaan tereksitasi (LUMO) oleh
etanol menyebabkan penurunan perbedaan energi antara HOMO dan LUMO

Bab 3: Spektroskopi Ultraviolet 80


Spektroskopi Molekul Organik Bab 3

sehingga menggeser ke penjang-gelombang lebih tinggi, suatu geseran merah


(geseran batokromat) apabila direkam dalam pelarut etanol.
Kondisi sebaliknya terjadi untuk transisi n  pada suatu keton, di
mana interaksi pasangan elektron bebas C=O pada keadaan dasar dengan suatu
pelarut polar berenergi lebih rendah dibanding pasangan elektron bebas orbital n,
sehingga dibutuhkan energi untuk mempromosikan suatu elektron ke tingkat
energi . Akibatnya, terjadi geseran biru (geseran hipsokromat) –ke panjang-
gelombang lebih rendah– jika spektrum UV suatu keton direkam dalam etanol
dibanding dalam sikloheksana.

3.7.2. Pengaruh pH
Perubahan kepolaran pelarut dapat menyebabkan perubahan karakter pita
absorpsi UV. Hal ini tentunya spektra UV akan terjadi perubahan yang relatif
lebih dramatik jika absorpsi terjadi oleh adanya perubahan pH dari pelarut. Hal
yang lebih nyata dan mudah sebagai dasar untuk menjelaskan terjadi pada spektra
senyawa-senyawa aromatik tersubstitusi (turunan benzena).
Fenol dan fenol–tersubstitusi merupakan senyawa-senyawa yang bersifat
asam, hal ini tentunya akan terjadi perubahan spektra UV-nya bergantung pada
derajat penambahan basa. Penghilangan karakter keasaman proton pada fenolat
akan meningkatkan konjugasi pasangan elektron bebas oksigen dengan sistem-
cincin aromatik, –lihat skema pada Gambar 2.7–, menyebabkan penurunan
perbedaan energi antara orbital HOMO dan LUMO dan terjadi geseran merah atau
batokromat (ke panjang-gelombang lebih tinggi) yang dibarengi dengan
peningkatan intensitas absorpsi (lihat Gambar 3.10).

Untuk fenol dalam pelarut air (Gambar 3.11), pada kondisi netral (spesies
ini bersifat asam), pita absorpsi UV pada 210 nm ( maks. 6.000) dan 270 nm ( maks.

1.500), apabila ditambahkan basa maka akan terjadi ionisasi fenol membentuk ion
fenoksida. Dalam air, ion fenoksida mengabsorpsi pada panjang-gelombang 235
nm ( maks. 6.000) dan 287 nm ( maks. 6.000). Jadi, terjadi geseran merah atau
batokromat (ke panjang-gelombang lebih tinggi).

Bab 3: Spektroskopi Ultraviolet 81


Spektroskopi Molekul Organik Bab 3

.. .. _ .. .. ..
: OH : O: :O :O :O

basa, mis. OH-


_
.. ..
_

_
..
fenol anion fenoksida

maks. (H2O): maks. (H2O):


g. 210 (6.000) e. 235 (9.400)
h. 270 (1.500) f. 287 (2.600)

Gambar 3.10 Pengaruh pH pada pita absorpsi UV fenol

Pada sisi lain, percobaan pada amina aromatik dengan asam, menghasilkan
gugus aminonya terprotonasi, (lihat Gambar 3.12), dan hal ini menyebabkan
hilangnya overlap (tumpang-suh) antara pasangan elektron bebas amina dan
sistem- aromatik. Akibatnya, terjadi geseran biru atau hipsokromat (ke panjang-
gelombang lebih rendah) dengan penurunan intensitas.

0,15 mmol dm-3 dalam EtOH

0,074 mmol dm-3 dalam 0,1 M NaOH

Gambar 3.11 Spektra UV fenol dan ion fenolat

Bab 3: Spektroskopi Ultraviolet 82


Spektroskopi Molekul Organik Bab 3

: NH2 + NH2 + NH3


_
.. asam, mis. H+

anilin ion anilinium


maks. (H2O): maks. (H2O):
c. 235 (14.800) a. 203 (7.500)
d. 285 (2.800) b. 254 (180)

Gambar 3.12 Pengaruh pH pada pita absorpsi UV anilin

0,14 mmol dm-3 dalam EtOH

1,4 mmol dm-3 dalam 0,1 M HCl

Gambar 3.13 Spektra UV anilin dan ion anilinium

3.8 Aplikasi Spektroskopi UV

Sebelum terjadi perkembangan yang revolusioner dari spektroskopi NMR


dan spektroskopi massa untuk mengelusidasi struktur molekul organik,
spektroskopi UV merupakan suatu teknik yang sangat penting dan digunakan
secara luas untuk mengidentifikasi kromofor kunci suatu molekul yang belum
diketahui strukturnya. Berkembangnya metode dan teknologi spektroskopi sedikit
tetapi perlahan-lahan telah menggeser peran spektroskopi UV dalam elusidasi
struktur molekul organik, bahkan akhir-akhir ini kimiawan organik sudah
meninggalkannya. Namun demikian, dalam bebarapa hal spektroskopi UV tetap
masih sangat berjasa untuk analisis dan peranannya, antara lain penetapan

Bab 3: Spektroskopi Ultraviolet 83


Spektroskopi Molekul Organik Bab 3

parameter kinetika (KM = tetapan Michaelis, kcat = tetapan laju reaksi enzimatik)
dan analisis farmasi.

3.8.1 Aplikasi radiasi UV dalam analisis preparasi kefarmasian


Absorptivitas molar ( ) dari suatu molekul dikenal sebagai suatu tetapan di
bawah kondisi yang identik, yakni pelarut, konsentrasi, dan panjang lintasan. Hal
ini dapat digunakan untuk untuk mengkuantifikasi sejumlah karakter kefarmasian,
misalnya untuk suatu tablet. Konsep UV juga telah diaplikasikan dalam berbagai
kperluan, seperti sebagai detektor pada kromatografi cair kinerja tinggi (high
performance liquid chromatography, HPLC), baik untuk analisis temporer
maupun analisis rutin.

3.8.2 Apkilasi radiasi UV dalam mendeteksi kromatografi


Spektroskopi UV juga dapat diperluas untuk mendeteksi analit dalam
sejumlah teknik pemisahan analitik, seperti pada kromatografi lapis tipis (thin
layer chromatography, TLC) dan HPLC.

Bab 3: Spektroskopi Ultraviolet 84


Spektroskopi Molekul Organik Bab 3

RANGKUMAN
3.1 Spektroskopi UV melibatkan promosi elektron dari orbital ikatan
atau non-ikatan ke orbital anti-ikatan

3.2 Spektrum UV merupakan hasil rekaman dari absorpsi cahaya UV


yang menyebabkan terjadinya transisi elektronik. Absorbansi (A)
pada berbagai panjang-gelombang dihitung dari intensitas cahaya
yang ditransmisikan melalui suatu larutan cuplikan (sampel) dalam
suatu pelarut (I) dibandingkan terhadap intensitas cahaya yang
ditransmisikan melalui suatu pelarut (blanko) (I0)
A = log10 Io/I

3.3 Absorptivitas molar ( ) pada suatu maksimum absorpsi ( maks)

memberikan suatu indikasi kemungkinan terjadinya transisi


elektronik dan merupakan besaran karakteristik bagi suatu
molekul. Nilainya dapat dihitung menggunakan persamaan Hukum
Lambert-Beer, yakni berbanding langsung dengan absorbansi (A),
dan bernading terbalik dengan konsentrasi (C, mol dm-3), dan
panjang lintasan sel (l, cm):
A= Cl atau =A/Cl

3.4 Yang paling bermanfaat memberikan karakteristik spektra UV


untuk molekul organik adalah sistem konjugasi, baik konjugasi
terutama dari orbital non-ikatan dan orbital- . Suatu sistem
konjugasi dengan derajat konjugasi yang tinggi mempunyai pita
absorpsi dengan intensitas tinggi dan nilai yang lebih besar;
kromofor yang lebih panjang, dan mempunyai maksimum absorpsi
( maks) lebih besar (panjang-gelombang lebih tinggi).

Bab 3: Spektroskopi Ultraviolet 85


Spektroskopi Molekul Organik Bab 3

3.5 Kromofor dari sistem aromatik menjadi meningkat oleh adanya


konjugasi dengan suatu substituen, misalnya dengan elektron-
atau pasangan elektron bebas. Nilai maksimum absorpsinya dapat
diprediksi.

3.6 Kepolaran pelarut dan pH larutan mempengaruhi pita absorpsi UV


yang disebabkan stabilisasi spesies oleh resonansi pada keadaan
transisi. Keduanya dapat menyebabkan terjadinya geseran merah
(batokromat, ke panjang-gelombang lebih besar) atau geseran
biru (hipsokromat, ke panjang-gelombang lebih kecil).

3.7 Nilai maks untuk diena (triena, tetraena); karbonil (aldehida dan
keton) tidak jenuh (enon); dan senyawa karbonil aromatik
dapat dihitung dan diprediksi menggunakan Aturan Woodward-
Fieser.

Bab 3: Spektroskopi Ultraviolet 86


Spektroskopi Molekul Organik Bab 3

Daftar Pustaka
Anderson, R. J., D. J. Bendell, P. W. Groundwater. (2004). Organic Spectroscopic
Analysis. Cambridge: The Royal Society of Chemistry.
Field, L.D., S. Sternhell, J. R. Kalman. (2003). Organic Structure from Spectra.
Chichester: John Wiley & Sons, LTD.
Sutrisno. (2001). Penentuan Struktur Senyawa Organik. Malang: Jurusan Kimia
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas
Negeri Malang.
Williams, D., I. Fleming. (1995). Spectroscopic Methods in Organic Chemistry 5th
edition. New York: McGraw Hill.
Silverstein, R. M., G. C. Bassler, T. C. Morril. (1995). Spectrometric
Identification of Organic Chemistry 5th Edition. Singapore: John
Wiley & Sons Inc.

Bab 3: Spektroskopi Ultraviolet 87


Spektroskopi Molekul Organik Bab 3

LATIHAN: PERTANYAAN DAN SOAL

3.1 Berikan suatu uraian singkat tetapi jelas mengapa radiasi gelombang ultra
violet (UV) dapat digunakan para kimiawan organik untuk membantu
penetapan struktur suatu senyawa organik.

3.2 Perhatikan struktur senyawa berikut:

O O
dan
O
O O
O

(I) (II)

Apabila dianalisis dengan spkektrofotometri UV, pola spektrum yang


bagaimanakah yang dapat Anda prediksikan untuk kedua senyawa
tersebut. Faktor-faktor manakah yang perlu Anda pertimbangkan dalam
rangka analisis tersebut.

3.3 Berikan suatu uraian singkat tetapi jelas tentang bagaimanakah pola
spektrum UV untuk senyawa-senyawa dengan struktur sebagai berikut:

O O O

A B C

3.4 Perhatikan struktur senyawa berikut: O

CH3

(A)

Bab 3: Spektroskopi Ultraviolet 88


Spektroskopi Molekul Organik Bab 3

Senyawa (A) tersebut selanjutnya direduksi menghasilkan 3 (tiga) senyawa,


yakni:
a) Senyawa B positif dengan pereaksi Lucas dan menghilangkan warna
brom dalam CCl4, serta tidak memberikan spektrum UV di atas 200 nm.
b) Senyawa C positif dengan pereaksi Lucas dan menghilangkan warna
brom dalam CCl4, serta mengabsorpsi radiasi UV dengan maks. 285 nm
c) Senyawa D negatif dengan pereaksi Lucas dan menghilangkan warna
brom dalam CCl4, serta mengabsorpsi radiasi UV dengan maks. 235 nm.

Berdasarkan data-data tersebut turunkan struktur untuk senyawa B, C, dan


D serta hitung maks.untuk senyawa (A).

3.5 Perhatikan struktur senyawa berikut:


OH

OH
A

Senyawa (A) diperlakukan dengan asam sulfat pekat dengan tujuan untuk
terjadi reaksi eliminasi. Dari hasil pemisahan dan pemurnian terhadap hasil
reaksi tersebut diperoleh tiga senyawa dengan sifat sebagai berikut:
a. Senyawa P: bereaksi positif dengan pereaksi Lucas, melenyapkan
warna brom/CCl4 dan menghasilkan spektrum UV pada maks.265 nm
b. Senyawa Q: bereaksi positif dengan pereaksi Lucas, melenyapkan
warna brom/CCl4 dan menghasilkan spektrum UV pada maks.256 nm
(pita benzenoid)
c. Senyawa R: bereaksi negatif dengan pereaksi Lucas, melenyapkan
warna brom/CCl4 dan menghasilkan spektrum UV pada maks.204 nm
(pita E2)
Berdasarkan data-data tersebut turunkan struktur untuk senyawa P, Q dan R.

Bab 3: Spektroskopi Ultraviolet 89


Spektroskopi Molekul Organik Bab 3

3.6 Berikan suatu uraian singkat tetapi jelas mengapa transisi ke * yang
bersifat individual atau terisolasi mempunyai maks yang lebih rendah
daripada transisi ke * yang terkonjugasi?

3.7 Perhatikan reaksi berikut:


O
Reduksi
HASIL (II)
dgn senyawa hidrida
(I)

Senyawa hasil (II) bersifat negatif terhadap pereaksi Fehling maupun


Tollens, menyerap warna brom dalam CCl4, pada spektrum IR nya
mempunyai pita ulur melebar di daerah 3300-an cm-1, dan menghasilkan
maks. di atas 210 nm. Tentukan struktur senyawa (II) dan hitung maks.

senyawa (I) dan senyawa (II) tersebut masing-masing dalam pelarut


dioksana.

3.8 Perhatikan struktur senyawa berikut:

Reduksi terhadap senyawa A tersebut menghasilkan senyawa B di mana


setelah dianalisis senyawa B tersebut diperoleh data sebagai berikut:
a) Bila dioksidasi lebih lanjut diperoleh menghasilkan salah satu senyawa
yang dapat memberikan endapan merah bata dengan pereaksi Fehling.
b) Identifikasi dengan spektrofotometri UV menghasilkan maks di atas 210
nm.
Tentukan struktur senyawa B dan tetapkan maks nya.

3.9 Dua buah (P) dan (Q) dasenyawa dianalisis secara spektrofotometri UV
dengan spektrum teridentifikasi sebagai berikut:

Bab 3: Spektroskopi Ultraviolet 90


Spektroskopi Molekul Organik Bab 3

a) Senyawa (P) mempunyai 2 buah panjang gelombang maks yang khas,


yakni 210 dan 310 nm, masing-masing dengan maks 3.000 dan 8.100 cm
M-1.
b) Senyawa (Q) mempunyai 2 buah panjang gelombang maks yang khas,
yakni 210 dan 310 nm, masing-masing dengan maks 8.300 dan 3.100 cm
M-1.
Dari data ini apa yang dapat informasikan terhadap kedua senyawa tersebut?

3.10 Perhatikan dengan cermat 3 buah senyawa dengan struktur berikut, apa yang
dapat Anda prediksikan pola sepktrum UV nya?
O
O
O
O O O
O
(1) (2) (3)

3.11 Hasil oksidasi terhadap senyawa (4) berikut selanjutnya dianalisis dan roleh
data sebagai berikut:

(4)

a) senyawa hasil tersebut dengan pereaksi Tollens memberikan cermin


perak
b) senyawa hasil mengabsorpsi radiasi UV dengan maks. 220 nm.
c) senyawa hasil juga berekasi dengan besi(III) klorida
Berdasarkan data-data tersebut turunkan strsuktur untuk senyawa hasil
oksidasi tersebut

3.12 Berikan suatu uraian singkat tetapi jelas tentang bagaimanakah pola
spektrum UV untuk senyawa-senyawa dengan struktur sebagai berikut:

O O O

A B C

Bab 3: Spektroskopi Ultraviolet 91

Anda mungkin juga menyukai