Kebenaran Ilmiah
Kebenaran Ilmiah
PENDAHULUAN
Manusia adalah jenis makhluk yang memiliki potensi luar biasa dari bekal akal yang ada
padanya. Dengan akal manusia secara terus menerus menjalani kehidupan secara dinamis,
terutama perkembangan mental atau psikis. Akal menunjukkan perubahan positif (perkembangan
cara berpikir) seiring pertumbuhan usia manusia. Kapasitas berpikir akan semakin kompleks
ketika manusia hidup dan tumbuh di kehidupannya. Seorang balita berpikir tentang sebuah
pohon, tentu tidak sama dengan seorang dewasa yang berpikir tentang pohon. Inilah potensi akal
manusia yang secara kontinu berpikir terus menerus mencari kebenaran. Kebenaran yang bisa
mereka terima secara logis dan empiris atau kebenaran ilmiah. Maka perlu kita menyimak
sejarah perkembangan manusia dalam mencari kebenaran yang akan kami bahas dalam makalah
ini.
Makalah ini membicarakan tentang teori-teori kebenaran ilmiah atau ilmu atau dalam makalah
ini kadang kami sebut kebenaran. Akan dijelaskan tentang definisi kebenaran, teori-teori
kebenaran dalam bidang pengetahuan ilmiah yang terjadi sepanjang sejarah pemikiran manusia,
dan sifat-sifat kebenaran.
Terakhir pembahasan ini kami menyertakan evaluasi terhadap teori-teori kebanaran yang ada.
Sebagai upaya mengkritisi pemikiran yang sudah ada tentang kebenaran dan memunculkan
gagasan-gagasan baru yang diharapkan bisa dikembangkan di masa yang akan datang.
ARTI KEBENARAN
Benar adalah sesuatu yang apa adanya atau sesuai kenyataan yang ada, sebuah fakta tentang
realita berdasarkan data-data yang ada. Sedangkan “kebenaran” dapat digunakan sebagai suatu
kata benda yang kongkret maupun abstrak (Hamami dalam Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, 2010
: 135).
Lebih lanjut Hamami mengatakan bahwa setiap subjek yang memiliki pengetahuan akan
memiliki persepsi dan pengertian yang berbeda-beda satu dengan lainnya tentang kebenaran,
karena kebenaran tidak bisa dilepaskan dari makna yang dikandung dalam suatu pernyataan atau
statement (proposisi). Senada dengan Hamami, Louis Kattsoff (1996 : 178) mengatakan
“kebenaran” menunjukkan bahwa makna sebuah pernyataan (proposisi) sunggung-sungguh
merupakan halnya, bila proposisi bukan merupakan halnya, maka kita mengatakan bahwa
proposisi itu sesat atau bila proposisi itu mengandung kontradiksi (bertentangan) maka kita dapat
mengatakan bahwa proposisi itu mustahil. Artinya kebenaran berkaitan erat dengan kualitas, sifat
atau karakteristik, hubungan, dan nilai kebenaran itu sendiri. Berikut penjelasan Hamami tentang
kaitan kebenaran dengan beberapa hal di atas.
Pertama, kebenaran berkaitan dengan kualitas pengetahuan. Artinya kebenaran itu dipengaruhi
oleh jenis pengetahuan yang dimiliki oleh subjek. Jika subjek memiliki pengetahuan biasa atau
common sense knowledge, maka pengetahuan seperti ini akan menghasilkan kebenaran yang
bersifat subjektif, sangat tergantung pada subjek yang melihat. Selanjutnya jika subjek memiliki
pengetahuan ilmiah yaitu pengetahuan yang sudah memiliki objek yang khas atau spesifik
dengan pendekatan metodologis yang khas pula, yaitu adanya kesepakatan diantara ahli yang
ada. Maka kebenaran dalam konteks ini bersifat relatif, yaitu akan selalu mendapatkan revisi atau
perubahan jika ditemukan kebanaran yang baru pada penelitian-penelitian yang akhir dan
mendapat persetujuan (agreement) dari konvensi ilmuan sejenis. Kemudian jenis pengetahuan
pengetahuan filsafati, yaitu melalui pendekatan filsafati, yang sifatnya mendasar dan menyeluruh
dengan model pemikiran yang analitis, kritis, dan spekulatif. Kebenaran pengetahuan ini bersifat
absolut-intersubjektif. Artinya kebenaran ini merupakan pendapat yang selalu melekat pada
pandangan seorang filsafat itu dan selalu mendapat pembenaran dari filsuf kemudian yang
menggunakan metodologi pemikiran sama.
Jenis pengetahuan yang terakhir adalah kebenaran pengetahuan yang terkandung dalam agama,
yang memiliki sifat dogmatis, artinya kebenaran dalam agama sudah tertentu dan sesuai ajaran
agama tertentu, kemudian di yakini sesuai dengan keyakinan subjek untuk memahaminya.
Kebenaran makna kandungan kitab suci berkembang secara dinamis sesuai dengan
perkembangan waktu, akan tetapi kandungan maksud ayat kitab suci tidak dapat dirubah dan
sifatnya absolut.
Kedua, kebanaran dikaitkan dengan sifat atau karakteristik tentang cara atau metode apa yang
digunakan subjek dalam membangun pengetahuannya itu. Apakah ia membangun
pengetahuannya dengan penginderaan atau sense experience, akal pikir, ratio, intuisi, atau
keyakinan. Dimana cara atau metode yang digunakan subjek akan mempengaruhi karakteristik
kebenaran, sehingga harus dibuktikan juga dengan metode atau cara yang sama. Misalnya, jika
subjek memperoleh kebenaran melalui sense experiense, maka harus dibuktikan juga dengan
sense experience, bukan dengan cara yang berbeda, begitu pula dengan yang lainnya.
Ketiga, nilai kebenaran dikaitkan dengan ketergantungan terjadinya pengetahuan itu. Artinya
kebenaran ini berkaitan dengan relasi antara subjek dan objek. Manakala subjek memiliki
dominasi yang tinggi dalam membangun suatu kebenaran. Maka kebenaran itu akan bersifat
subjektif, artinya nilai kebenaran yang terkandung di dalam pengetahuan itu sangat bergantung
pada subjek yang memiliki pengetahuan itu. Atau sebaliknya, jika objek lebih berperan maka
sifat pengetahuannya objektif, seperti ilmu alam.
Sebagai pelengkap bahasan ini, berikut kami kemukakan tiga penafsiran utama tentang
kebenaran menurut Sahakian dan Sahakian (1966 : 23) adalah sebagai berikut :
1. Kebanaran sebagai sesuatu yang mutlak (absolut)
2. Kebenaran sebagai subjektivitas atau pendapat pribadi
3. Kebenaran sebagai sesuatu yang mustahil dan sulit untuk di jangkau
Penafsiran utama tentang kebenaran menurut Sahakian dan Sahakian merupakan polemik yang
belum terselesaikan ketika seorang filsuf membicarakan kebenaran. Apakah ada kebenaran yang
bersifat mutlak atau absolut? Buktinya ilmu pengetahuan terus berkembang dan mempengaruhi
sudut pandang manusia tentang kebenaran. Atau jangan-jangan kebenaran itu hanyalah
subjektivitas seseorang atau kelompok? Bahkan jangan-jangan kebenaran merupakan hal yang
sulit dan mustahil untuk di jangkau.
TEORI-TEORI KEBENARAN
Pada bagian ini akan kami bahas tentang teori-teori kebenaran sepanjang sejarah pemikiran
manusia. Perbincangan mengenai kebenaran sudah dimulai sejak Plato melalui metode dialog,
kemudian dilanjutkan oleh Aristoteles. Menurut seorang filsuf Jaspers sebagaimana dikutip oleh
Hammersa bahwa sebenarnya para pemikir sekarang hanya melengkapi dan menyempurnakan
filsafat Plato dan filsafat Aristoteles (Hamami dalam Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, 2010 :
138). Hal ini tentu berdasarkan argumentasi yang kuat berdasarkan pemikiran yang mendalam,
yang berlandaskan pada data-data sejarah yang ada. Plato dianggap sebagai filsuf yang
membangun teori pengetahuan yang cukup lengkap sebagai teori pengetahuan yang awal. Dari
pemikiran Plato kemudian muncul teori-teori pengetahuan baik sebagai kritik atau sebagai
support atas teori yang sudah dibangun Plato.
Berikut ini adalah penjelasan mengenai teori-teori kebenaran yang kami coba rangkum dari
beberapa sumber ilmiah :
1. Teori kebenaran korespondensi
Kebenaran menurut persfektif teori korespondensi adalah pernyataan dikatakan benar jika
sesuai dengan kenyataan atau fakta yang ada. George E. Moore (dalam Sahakian dan Sahakian,
1966 : 24) mengatakan kebenaran sebagai “truth as the correspondence of ideas to reality”, yaitu
kebenaran adalah kesesuaian antara ide atau gagasan-gagasan dengan realita. Sebaliknya, jika
pernyataan bertentangan dengan kenyataan atau fakta yang ada, maka pernyataan tersebut
dianggap sebagai penyataan yang “sesat”. Misalnya, ada pernyataan yang mengatakan Bang
Rhoma adalah seorang penyanyi dangdut. Kalau pernyataan tersebut bersesuaian dengan fakta
yang ada di kenyataan yang sebenarnya maka itu dianggap sebagai “kebenaran”. Jika ternyata
Bang Rhoma bukan seorang penyanyi dangdut, melainkan seorang Presiden. Maka pernyataan
tersebut dianggap sebagai bukan “kebenaran”.
Makna “sesuai” (correspond) dalam teori ini masih menimbulkan pertanyaan-pertanyaan
yang mengarah pada kritik terhadap teori kebenaran korespondensi. Kalau kebenaran selalu
diukur dengan fakta-fakta yang ada, bagaimana dengan ide-ide yang bersifat kejiwaan, apakah
ada fakta yang bersifat kejiwaan. Lalu bagaimana membuktikan hubungan antara ide-ide
tersebut, padahal ide-ide tersebut bersifat abstrak, sulit untuk dibuktikan dengan indera manusia.
Misalnya, Pak Soleh dikatakan sebagai seorang yang soleh, kalau pernyataan ini kemudian
dibuktikan kebenarannya dengan makna sesuai atau korespondensi, maka tentu subjek akan
melihat pada perilaku-perilaku beragama yang tampak pada Pak Soleh. Pertanyaannya, apakah
“kesolehan” Pak Soleh bisa sepenuhnya diukur dengan observasi?, bukankah kesolehan di
dominasi oleh aspek kejiwaan Pak Soleh?.
Pertanyaan-pertanyaan di atas adalah kelemahan-kelemahan para realisme atau paham
yang bertolak dari kenyatan-kenyataan. Karena kebenaran korespondensi dianut oleh para
realisme (Kattsoff, 1996 : 184).
2. Teori kebenaran koherensi
Berkebalikan dengan paham korespondensi, paham koherensi dianut oleh para pendukung
idealisme. Banyak kita dalam kehidupan sehari-hari menggunakan paham ini. Intinya menurut
paham ini “kebenaran” adalah jika pernyataan sebjek saling berhubungan dengan pernyataan
subjek yang lainnya atau jika makna yang dikandungnya saling berhubungan dengan
pengalaman kita (Kattsoff, 1996 : 181). Misalnya, “Bang Rhoma adalah penyanyi dangdut”,
pernyataan ini akan dianggap benar jika fakta lain mendukung pernyataan ini. Tetapi, pernyataan
ini akan dianggap “sesat” apabila fakta-fakta lain yang telah ada tidak mendukung pernyataan ini
atau mengandung kontradiksi.
Kritik terhadap paham ini saya sajikan dalam sebuah kasus. Di dalam penegakkan hukum
di pengadilan terhadap kasus pembunuhan yang dilakukan Si A terhadap Si B. Untuk
membuktikan pembunuhan ini benar atau tidak, kemudian pengadilan mendatangkan beberapa
saksi, yaitu Si C, Si D, dan Si E. Si C dan Si D cenderung membela Si A, mungkin karena
sebagai teman, keluarga, atau karena sebab lain. Sehingga Si C dan Si D memeberikan kesaksian
yang sama (koheren) atau saling berhubungan yang menyebabkan keringanan terhadap Si A.
Sedangkan Si E memberikan kesaksian berbeda yang memberatkan Si A, Si E menjelaskan
secara jujur fakta-fakta pembunuhan yang dia lihat. Setelah persidangan selesai, hakim
menyatakan bahwa Si A tidak bersalah dan di bebaskan.
Dari contoh kasus di atas disimpulkan bahwa paham koherensi akan selalu berpihak pada
pernyataan-pernyataan yang dianggap koheren, walaupun terkadang pernyataan tersebut bukan
fakta yang sesungguhnya. Kemudian paham koherensi cenderung mengabaikan pernyataan lain
yang dianggap tidak koheren, walaupun sesungguhnya pernyataan itu adalah fakta yang
sesunggunya.
3. Teori kebenaran pragmatis
Teori kebenaran pragmatisme adalah paham tentang kebenaran yang diukur dari
kegunaannya dalam kehidupan manusia. Bagi seorang pragmatis kebenaran tentang suatu
pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam
kehidupan praktis. Artinya, suatu pernyataan adalah benar, jika pernyataan atau konsekuensi dari
pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan manusia (Suriasumantri, 2010 :
58-59).
Dapat dipahami bahwa kebenaran dalam pandangan pragmatisme adalah sebatas kegunaan
praktis dalam kehidupan. Apabila suatu proposisi memiliki kegunaan praktis maka akan
dipandang sebagai suatu kebenaran. Sebaliknya, apabila proposisi tidak memiliki kegunaan
praktis maka tidak dipandang sebagai suatu kebenaran, walaupun ada kemungkinan sesuatu yang
tidak bersifat fungsional tersebut adalah kebenaran yang sesungguhnya.
Kebenaran dalam pandangan pragmatisme akan membawa kebenaran pada masa
kadaluarsa (expired). Artinya ada masanya kebenaran yang sudah dianggap suatu kebenaran
akan dibuang, karena tidak lagi bersifat fungsional. Kebanaran dalam pandangan pragmatis juga
tidak fleksibel bagi semua konteks, karena apabila kebenaran diukur dari segi fungsionalnya,
maka bagaimana kebenaran akan berguna bagi konteks lain yang secara hakikat memiliki
perbedaan signifikan dengan konteks yang lainnya.
4. Kebanaran menurut paham-paham empiris
Definisi-definisi kebenaran menurut paham-paham empiris berdasarkan atas berbagai segi
pengalaman, dan biasanya merujuk pada pengalaman inderawi seseorang. Paham tersebut
memandang proposisi bersifat meramalkan (predictive), atau hipotesis, dan memandang
kebenaran proposisi sebagai terpenuhinya hipotesa (Kattsoff, 1996 : 186).
Definisi di atas mengantarkan kita pada suatu pemahaman, bahwa kebenaran menurut
paham-paham empiris memiliki subjektivitas yang tinggi. Jika demikian, maka kebenaran akan
memiliki makna yang berbeda-beda bagi setiap orang yang memaknainya. Disebabkan
perbedaan pengalaman-pengalaman yang dimiliki subjek. Selanjutnya kebenaran akan bersifat
nisbi, tidak memiliki tolak ukur yang pasti. Sehingga siapa saja bisa mengklaim bahwa dia
adalah yang benar.
5. Teori kebenaran sintaksis
Penganut teori kebenaran sintaksis berpijak bahwa suatu pernyataan dikatakan benar jika
pernyataan itu mengikuti aturan-aturan sintaksis atau gramatika yang baku. Atau dengan kata
lain apabila proposisi itu tidak mengikuti syarat atau keluar dari hal yang di syaratkan maka
proposisi itu tidak memiliki arti. Teori ini berkembang di antara filsuf analisa bahasa, terutama
yang begitu ketat terhadap pemakaian gramatika seperti Schleiemacher (Hamami, Tim Dosen
Filsafat UGM, 2010).
6. Teori kebenaran semantis
Teori ini kebanyakan dianut dan berkembang di kalangan filsuf analitika bahasa.
Kebenaran menurut faham ini adalah suatu proposisi dinilai benar ditinjau dari segi arti atau
makna, apakah proposisi yang merupakan pangakal tumpunya itu mempunyai referensi yang
jelas. Artinya teori ini bertugas untuk mengungkap ke sahihan proposisi dalam referensinya.
Pernyataan yang mengandung kebenaran adalah pernyataan yang memiliki arti atau makna yang
sesungguhnya dengan merujuk pada kenyataan. Arti yang bersifat definitif, yaitu arti yang
dengan jelas menunjuk ciri yang khas dari sesuatu yang ada (Hamami, Tim Dosen Filsafat UGM,
2010). Seperti “Irigasi menyebabkan kesulitan dalam mengatur pengairan”, pernyataan ini akan
dikatakan benar bila menunjukkan makna yang sahih tentang bendungan dalam kenyataan yang
sesungguhnya. Tentu kebenaran pernyataan diatas akan di cek langsung ke referensinya.
EVALUASI KRITIS
Manusia terus berkembang dalam segala aspek kehidupannya. Perkembangan yang
dinamis tersebut tidak luput dari peran ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh manusia. Tanpa
henti manusia terus belajar, dan belajar lagi, tanpa ada rasa puas. Tujuannya cuma satu yaitu
mencari kebenaran ilmiah atau ilmu yang berperan fungsional dalam kehidupan manusia.
Sepanjang sejarah pemikiran manusia dalam mencari kebenaran ilmiah atau ilmu telah
banyak yang mengungkapkan tentang “kebenaran”, berbagai macam argumentasi filosofi
dikemukakan tentang kebenaran. Namun, setiap argumentasi selalu diiringi dengan sanggahan
argumentasi filosofi juga. Sehingga kebenaran memiliki banyak definisi tergantung latar
belakang isme (pemahaman) yang dianut.
Beberapa teori-teori tentang kebenaran telah kami kemukakan di bagian sebelumnya.
Kritik-kritik juga telah kami kemukakan di bagian akhir pembahasan masing-masing teori yang
kami kemukakan. Sehingga pada bagian ini kami hanya mengemukakan evaluasi kritis secara
umum terhadap teori-teori kebenaran yang dikemukakan pada bagian sebelumnya.
Dari berbagai teori kebenaran yang kami kemukakan di atas, kami menyimpulkan bahwa
tidak ada teori kebanaran yang bisa diterima secara global, ini terbukti dengan munculnya teori-
teori kebanaran baru sebagai sanggahan atas teori kebenaran yang sudah ada. Setiap teori yang
dikemukakan terindikasi mengusung latar belakang pengetahuan yang dimiliki tokohnya. Seperti
teori kebenaran korespondensi yang dilatar belakangi oleh pemahaman empirisme, teori
kebenaran koherensi yang dilatarbelakangi oleh pemahaman idealisme, kemudian teori
kebenaran semantik dan sintaksis yang berkaitan erat dengan gramatika dan analitik bahasa.
Karenanya manusia tidak bisa mengklaim bahwa dia benar hanya dari satu paradigma saja. Akan
ada bantahan atau kritik dari pihak lain yang memiliki paradigma yang berbeda.
Disisi lain masih terjadi polemik dikalangan filsuf tentang kebenaran sebagai sesuatu
yang mutlak, kebenaran sebagai sesuatu yang subjektif, dan kebenaran sebagai sesuatu yang
mustahil untuk dicapai.
Tentang kebenaran sebagai sesuatu yang mutlak setiap orang memiliki pemahaman
masing-masing, ada yang sepakat dan ada yang menolak. Karena terbukti, sesuatu yang telah
dianggap benar bisa menjadi tidak benar lagi karena ada temuan baru yang menentang kebenaran
yang lama. kebenaran sebagai sesuatu yang mutlak juga akan berbeda-beda bagi masing-masing
orang, tergantung latar belakang pemahaman dan keyakinan yang dia anut.
Kebenaran sebagai sesuatu yang subjektif, kebanyakan berpendapat bahwa objektivitas
bisa dicapai dengan konspirasi subjektif. Akan tetapi, hal ini tentu tidak bisa difahami sebagai
sesuatu kebenaran yang sesungguhnya. Karena sudah tentu ada pihak-pihak yang tidak ikut
dalam konspirasi subjektif tersebut dan menentangnya. Maka kebenaran sebagai sesuatu yang
subjektif juga masih menjadi polemik yang belum terselesaikan.
Kebenaran sebagai sesuatu yang mustahil untuk dicapai, hal ini juga masih menjadi
polemik dikalangan filsuf. Banyak diantara mereka yang tidak sepakat kalau kebenaran mustahil
untuk dicapai. Tapi, banyak juga diantara mereka yang setuju bahwa kebenaran yang hakiki
tidak bisa dicapai, karena kebenaran yang mereka fahami selama ini hanyalalah kebenaran
sebagai hasil dari konspirasi subjektif. Kalau di tarik lagi ke garis keyakinan atau aqidah tentu
akan memiliki penafsiran yang berbeda lagi. Orang yang berkeyakinan tentang kebenaran
agamanya tentu akan menganggap bahwa kebenaran yang hakiki atau mutlak hanyalah
kebenaran dari Tuhan yang terdapat di dalam kitab suci agama mereka.
DAFTAR PUSTAKA
Sahakian, William S. & Sahakian, Mabel Lewis. (1996). Ideas of The Great Philosophers. New York :
Barnes and Nobel Books.
Tim Dosen Filsafat llmu UGM. (2010). Filsafat Ilmu : Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu
Pengetahuan. Yogyakarta : Liberti.
Suriasumantri, Jujun S. (2010). Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Yogyakarta : Pustaka Sinar
Harapan.
Selasa, 10 Januari 2012
Metode Ilmiah dan kebenaran ilmiah
BAB I
PENDAHULUAN
Ilmu pengetahuan dan teknologi selalu berkembang dan mengalami kemajuan, sesuai
dengan perkembangan zaman dan perkembangan cara berpikir manusia. Bangsa Indonesia
sebagai salah satu negara berkembang tidak akan bisa maju selama belum memperbaiki kualitas
sumber daya manusia bangsa kita. Kualitas hidup bangsa dapat meningkat jika ditunjang dengan
sistem pendidikan yang mapan. Dengan sistem pendidikan yang mapan, memungkinkan kita
berpikir kritis, kreatif, dan produktif.
Dalam UUD 1945 disebutkan bahwa negara kita ingin mewujudkan masyarakat yang
cerdas. Untuk mencapai bangsa yang cerdas, harus terbentuk masyarakat belajar. Masyarakat
belajar dapat terbentuk jika memiliki kemampuan dan keterampilan mendengar dan minat yang
besar.
Metode Ilmiah merupakan suatu cara sistematis yang digunakan oleh para ilmuwan untuk
memecahkan masalah yang dihadapi.Metode ini menggunakan langkah-langkah yang sistematis,
teratur dan terkontrol. Supaya suatu metode yang digunakan dalam penelitian disebut metode
ilmiah
Sedangkan Kebenaran ilmiah merupakan sesuatu yang krusial dalam kehidupan ini. Sering
kali dengan dalih sebuah kebenaran seseorang, kelompok, lembaga, atau bahkan negara akan
menghalalkan tindakan terhadap orang lain karena dianggap sudah melakukan tindakan yang
benar. Begitu pula dalam bidang pendidikan tidak mungkin seorang guru melakukan
pendidikan,dan pengajaran terhadap peserta didik jika tidak meyakini sebuah kebenaran.
Sebagaimana ilustrasi yang digambarkan Jujun S. Suriasumantri, yang menggambarkan
seorang peserta didik yang mogok tidak mau belajar walaupun orang tuanya sudah merayunya,
memberikan iming-iming hadiah, bahkan hukuman fisik agar anaknya mau belajar matematika.
Ketika ditelusuri alasan anak tersebut mogok belajar karena seorang guru matematika di
sekolahnya dianggap sebagai pembohong. Pada suatu hari guru tersebut mengatakan bahwa 3+ 4
= 7, pada hari berikutnya 5+2 = 7, kemudian pada hari lainnya 6+1 =7 dan seterusnya. Menurut
pemikiran anak tersebut dengan keterbatasan pikirannya, guru matematika yang mengajarnya
tidak konsisten dengan apa yang dikatakan sebelumnya, sehingga dianggap sebagai
pembohong.1[1]
Ilustrasi tersebut jika diuji materil kebenaran dengan pendekatan matematika semua yang
disampaikan guru matematika tersebut benar, akan tetapi keterbatasan seorang peserta didik
menganggap itu salah. Sehingga menimbulkan dampak-dampak negatif maupun positif dalam
kehidupan. Oleh karena itu bagaimana sesuatu dianggap benar, dan apa yang menjadi kriteria
kebenarannya. Kebenaran tidak mungkin berdiri sendiri jika tidak ditopang dengan dasar-dasar
penunjangnya, baik pernyataan, teori, keterkaitan, konsistensi, keterukuran , dapat dibuktikan,
berfungsi, dan bersifat netral atau tidak netral. Untuk mencapai sebuah kebenaran ada beberapa
tahapan yang harus dilalui, baik itu rasional, hipotesa, kausalitas, anggapan sementara, teori,
atau sudah menjadi hukum kebenaran. Tahapan untuk mendapat kebenaran tersebut dapat dilihat
dengan menggunakan alat kajian filsafat, baik filsafafat Yunani, filsafat Barat, ataupun filsafat
Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Metode Ilmiah
Salah satu hal yang penting dalam dunia ilmu adalah penelitian (research). Research berasal
dari kata re yang berarti kembali dan search yang berarti mencari, sehingga research atau
penelitian dapat didefinisikan sebagai suatu usaha untuk mengembangkan dan mengkaji
kebenaran suatu pengetahuan.
Research, menurut The Advanced Learner’s Dictionary of Current English (1961) ialah
penyelidikan atau pencarian yang seksama untuk memperoleh fakta baru dalam cabang ilmu
pengetahuan.
Menurut Fellin, Tripodi dan Meyer (1969) riset adalah suatu cara sistematik untuk maksud
meningkatkan, memodifikasi dan mengembangkan pengetahuan yang dapat disampaikan
(dikomunikasikan) dan diuji (diverifikasi) oleh peneliti lain.
Ciri-ciri riset adalah sebagai berikut, yaitu bahwa riset: (Abisujak, 1981)
a. Dilakukan dengan cara-cara yang sistematik dan seksama.
b. Bertujuan meningkatkan, memdofikasi dan mengembangkan pengetahuan (menambah
perbendaharaan ilmu pengetahuan)
c. Dilakukan melalui pencarian fakta yang nyata
d. Dapat disampaikan (dikomunikasikan) oleh peneliti lain
e. Dapat diuji kebenarannya (diverifikasi) oleh peneliti lain6[6]
2. Penelitian Ilmiah
Penelitian yang dilakukan dengan metode ilmiah disebut penelitian ilmiah. Suatu penelitian
harus memenuhi beberapa karakteristik untuk dapat dikatakan sebagai penelitian ilmiah.
Umumnya ada lima karakteristik penelitian ilmiah, yaitu:
a. Sistematik, Berarti suatu penelitian harus disusun dan dilaksanakan secara berurutan
sesuai pola dan kaidah yang benar, dari yang mudah dan sederhana sampai yang
kompleks.
b. Logis, Suatu penelitian dikatakan benar bila dapat diterima akal dan berdasarkan fakta
empirik. Pencarian kebenaran harus berlangsung menurut prosedur atau kaidah
bekerjanya akal, yaitu logika. Prosedur penalaran yang dipakai bisa prosedur induktif
yaitu cara berpikir untuk menarik kesimpulan umum dari berbagai kasus individual
(khusus) atau prosedur deduktif yaitu cara berpikir untuk menarik kesimpulan yang
bersifat khusus dari pernyataan yang bersifat umum.
c. Empirik, artinya suatu penelitian biasanya didasarkan pada pengalaman sehari-hari
(fakta aposteriori, yaitu fakta dari kesan indra) yang ditemukan atau melalui hasil coba-
coba yang kemudian diangkat sebagai hasil penelitian.
d. Obyektif, artinya suatu penelitian menjahui aspek-aspek subyektif yaitu tidak
mencampurkannya dengan nilai-nilai etis.
e. Replikatif, artinya suatu penelitian yang pernah dilakukan harus diuji kembali oleh
peneliti lain dan harus memberikan hasil yang sama bila dilakukan dengan metode,
kriteria, dan kondisi yang sama. Agar bersifat replikatif, penyusunan definisi operasional
variabel menjadi langkah penting bagi seorang peneliti.7[7]
3. Jenis-Jenis Penelitian Ilmiah
Ada tiga tingkatan penelitian ilmiah untuk sampai kepada perwujudan ilmu/teori, yaitu :
BAB III
PENUTUP
Berdasarkan uraian bahasan “Makalah Metode Ilmiah dan kebenaran Ilmiah” dapat disimpulkan
bahwa :
1. Metode Ilmiah merupakan suatu cara sistematis yang digunakan oleh para ilmuwan untuk
memecahkan masalah yang dihadapi.Metode ini menggunakan langkah-langkah yang sistematis,
teratur dan terkontrol. Supaya suatu metode yang digunakan dalam penelitian disebut metode
ilmiahesuai dengan tujuan dan fungsinya
Penelitian yang dilakukan dengan metode ilmiah disebut penelitian ilmiah. Suatu penelitian
harus memenuhi beberapa karakteristik untuk dapat dikatakan sebagai penelitian ilmiah
2. Sedangkan kebenaran Ilmiah adalah kebenaran yang bersifat mutlak dengan pembuktian dengan
melalui beberapa tahapan atau proses menuju pencapaian kebenaran tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, H.M. 1997 “Kebenaran Ilmiah” dalam: Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu
Pengetahuan, Intan Pariwara, Yogyakarta,
Al-Thoumy Al-Syaibany, Omar Mohammad,1979, Prof.Dr., Falsafah Pendidikan Islam, Jakarta, Bulan
Bintang, cet-1.
Arikunto, Suharsini, Prof.Dr.,2006, Prosedur Penelitian Suatu pendekatan Praktik, Jakarta, Rineka Cipta.
Bertrand Russel, 2007, Sejarah Filsafat Barat, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, cet-3.
Keraf ,Sonny dan Mikhael Dua,2002, Ilmu Pengetahuan: Sebuah Tinjauan Epistemologis, Kanisiusn Jakarta
Miarso, Yusuf Hadi, Prof. Dr.,2004, Menyemai Benih Pendidikan, Jakarta, Pustekom Diknas.
Mulyana, Rohmat , Dr., 2004, Mengartikulasikan Pendidikan Nilai, Bandung, Alfabeta, cet-2
Sudarto, Drs. M.Hum, 2002, Metodologi Penelitian Filsafat, Jakarta, Raja Grafindo Persada, Cet. 3.
Sukmadinata, Nana Syaodih, Prof. Dr., Metode Penelitian Pendidikan, Bandung, Remaja
Rosdakarya dan Pasca Sarjana UPI.
Suriasumantri, Jujun.S.,2010, Filsafat Ilmu sebuah pengantar Populer, Jakarta, Pustaka Sinar
Harapan, cet.22.
Suryabrata, Sumardi, Drs.BA,MA,Ed.S.,Ph.D, 2010, Metodologi Penelitian, Raja Grafindo
Persada.
Tafsir, Ahmad, Prof. Dr, 2009, Filasafat Ilmu, Bandung, Remaja Rosdakarya
Tafsir , Ahmad, Dr., 1995, Epistemologi untuk ilmu pendidikan Islam, Bandung, Fakultas
Tarbiyah IAIN Sunan Gunung Djati.
Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia
Pasca Sarjana UIN SGD Bandung, 2010, Pedoman Penulisan Tesis dan Disertasi
Wahyudi, Imam, 2004, Refleksi Tentang Kebenaran Ilmu dalam Jurnal Filsafat, Desember, Jilid
38, Nomor 3,
www. Filsafat-Ilmu. Blogspot. Com.
www. Forumkami.com
Disusun oleh
Fasmawi Saban Sihabudin
BAB 1
PENDAHULUAN
Kata “kebenaran” dapat digunakan sebagai suatu kata benda yang nyata benar-benar
ada maupun tidak terwujud. Jika subyek hendak mengatakan kebenaran artinya adalah
proporsi/perbandingan yang benar. Apabila subyek menyatakan kebenaran bahwa
proporsi/perbandingan yang diuji itu pasti memiliki kualitas, sifat, karakteristik, hubungan, dan
nilai. Hal yang demikian itu karena kebenaran tidak begitu saja terlepas dari kualitas, sifat,
hubungan, dan nilai itu sendiri, Secara umum orang merasa bahwa tujuan pengetahuan adalah
untuk mencapai kebenaran. Namun masalahnya tidak sampai di situ saja, masalah kebenaran
inilah yang memacu tumbuh dan berkembangnya epistimologi/cabang-cabang dari filsafat yang
menyelidiki sumber-sumber serta kebenaran pengetahuan telaah epistimologi terhadap
“kebenaran” membawa orang kepada kesimpulan bahwa peril dibedakan adanya tiga jenis
kebenaran. Yaitu kebenaran epistimologis, ontologis dan semantis.
Dalam makalah ini akan dibahas lebih lanjut tentang teori-teori kebenaran. Sebagai
manusia, sepatutnya kita mengerti tentang teori-teori kebenaran dengan tujuan memperkaya
pengetahuan serta wawasan kita tentang kebenaran itu sendiri..
BAB II
PEMBAHASAN
B. Kebenaran Pragmatis
Sesuatu (pernyataan) dianggap benar apabila memiliki kegunaan/manfaat praktis dan bersifat
fungsional dalam kehidupan sehari-hari. Contohnya,Fahmi mau menjawab pertanyaan dari ibu
dosen karena diberi bonus poin.. Fahmi bersifat pragmatis, artinya mau menjawab soal dari ibu
dosen karena ada manfaat bagi dirinya, yaitu mendapat bonus poin.Pragmatisme juga
mengajarkan bahw kebenaran tidaklah sekedar berfungsi atau berguna, tetapi juga harus
mempunyai kegunaan kongkrit.
C. Kebenaran Korespondensi
Sesuatu (pernyataan) dianggap benar apabila materi pengetahuan yang terkandung didalamnya
berhubungan atau memiliki korespondensi dengan obyek yang dituju oleh pernyataan tersebut.
Teori koresponden menggunakan logika induktif, artinya metode yang digunakan dalam berpikir
dengan bertolak dari hal-hal khusus ke umum. Dengan kata lain kesimpulan akhir ditarik karena
ada fakta-fakta mendukung yang telah diteliti dan dianalisa sebelumnya. Contohnya, Jurusan
teknik elektro, teknik mesin, dan teknik sipil Undip ada di Semarang. Jadi Fakultas Teknik
Undip ada di Semarang.
D. Kebenaran Koherensi
Sesuatu (pernyataan) dianggap benar apabila konsisten dan memiliki koherensi dengan
pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Teori koheren menggunakan logika deduktif,
artinya metode yang digunakan dalam berpikir dengan bertolak dari hal-hal umum ke khusus.
Contohnya, seluruh mahasiswa UIN harus mengikuti kegiatan Ospek. Fahmi adalah mahasiswa
UIN, jadi harus mengikuti kegiatan Ospek.
E. Kebenaran Performatif
Bagi Lacey A. R, sebagaimana dikutip Ali Mudhofir, menjelaskan bahwa teori kebenaran
performatif (performative theory of truth) menekankan pada kata benar. Maksud dari kata itu
ialah jika suatu ungkapan dipandang benar jika dapat diwujudkan dalam bentuk tindakan konkrit.
Sebaliknya akan menjadi tidak bermakna bila tidak bisa terwujud dalam tampilan senyatanya.
Seperti seorang yang mengatakan “Saya bisa membaca Al Qur’an”. Ketika disodorkan mushaf
ataupun juz ‘amma kepadanya untuk dibaca, dan ternyata ia bisa maka pernyataannya benar.
Akan tetapi itu menjadi tidak bermakna apabila yang terjadi sebaliknya, yaitu ia tidak bisa
membacanya.
KESIMPULAN
Kebenaran ilmiah merupakan pernyataan dan makna sejalur atau sesuai dengan akal. Orang bisa
saja membuat pernyataan dengan memakai susunan kalimat yang tepat, namun belum tentu hal
itu bermakna. Sebenarnya teori kebenaran ilmiah itu ada delapan, namun dalam makalah ini
hanya dipaparkan lima teori yaitu:
1. Kebenaran Proporsi
2. Kebenaran Koherensi
3. Kebenaran Korespondensi
4. Kebenaran Performatif
5. Kebenaran Pragmatis
Masing-masing teori yang sudah dijelaskan di atas memiliki sudut pandang yang berbeda, seuatu
ilmu dapat dikatakan benar bila memenuhi syarat-syarat yang ada pada teori-teori tersebut,
sesuai dengan teori yang kita pilih dari beberapa teori yang sudah di jelaskan di atas.
DAFTAR PUSTAKA
Prof.DR. Ahmad Tafsir,Filsafat Umum, Remaja Rodaskara, Bandung,2009
Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Liberty Yogyakarta,
2003.
Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2005.
Louia O. Kattsoff,Pengantar Filsafat.Tiara Wacana Yogyakarta,2004
Feel Like Shil Dejavu, Kebenaran Ilmiah, http///.www.Blog at Wrodpress.com, akses 30 Maret
2011
TEORI-TEORI KEBENARAN FILSAFAT
BAB I
RINGKASAN MATERI
Kebenaran adalah satu nilai utama di dalam kehidupan human. Sebagai nilai-nilai yang
menjadi fungsi rohani manusia. Artinya sifat manusiawi atau martabat kemanusiaan (human
dignity) selalu berusaha “memeluk” suatu kebenaran.
Berdasarkan scope potensi subjek, maka susunan tingkatan kebenaran itu menjadi :
1. Tingkatan kebenaran indera adalah tingakatan yang paling sederhanan dan pertama yang
dialami manusia
3. Tingkat filosofis,rasio dan pikir murni, renungan yang mendalam mengolah kebenaran itu
semakin tinggi nilainya
4. Tingkatan religius, kebenaran mutlak yang bersumber dari Tuhan yang Maha Esa dan
dihayati oleh kepribadian dengan integritas dengan iman dan kepercayaan
Manusia selalu mencari kebenaran, jika manusia mengerti dan memahami kebenaran, sifat
asasinya terdorong pula untuk melaksankan kebenaran itu. Sebaliknya pengetahuan dan
pemahaman tentang kebenran, tanpa melaksankan konflik kebenaran, manusia akan
mengalami pertentangan batin, konflik spilogis. Karena di dalam kehidupan manusia sesuatu
yang dilakukan harus diiringi akan kebenaran dalam jalan hidup yang dijalaninya dan
manusia juga tidak akan bosan untuk mencari kenyataan dalam hidupnya yang dimana selalu
ditunjukkan oleh kebanaran.
2. Teori Consistency Teori ini merupakan suatu usah apengujian (test) atas arti kebenaran.
Hasil test dan eksperimen dianggap relible jika kesan-kesanyang berturut-turut dari satu
penyelidik bersifat konsisten dengan hasil test eksperimen yang dilakukan penyelidik lain
dalam waktu dan tempat yang lain.
3. Teori Pragmatisme Paragmatisme menguji kebenaran dalam praktek yang dikenal apra
pendidik sebagai metode project atau medoe problem olving dai dalam pengajaran.
Mereka akan benar-benar hanya jika mereka berguna mampu memecahkan problem yang
ada. Artinya sesuatu itu benar, jika mengmbalikan pribadi manusia di
dalamkeseimbangan dalam keadaan tanpa persoalan dan kesulitan. Sebab tujuan utama
pragmatisme ialah supaya manusia selalu ada di dalam keseimbangan, untuk ini manusia
harus mampu melakukan penyesuaian dengan tuntutan-tuntutan lingkungan.
4. Kebenaran Religius Kebenaran tak cukup hanya diukur dnenga rasion dan kemauan
individu. Kebenaran bersifat objective, universal,berlaku bagi seluruh umat manusia,
karena kebenaran ini secara antalogis dan oxiologis bersumber dari Tuhan yang
disampaikan melalui wahyu.
BAB II
PEMBAHASAN
Pendidikan pada umumnya dan ilmu pengetahuan pada khususnya mengemban tugas utama
untuk menemukan, pengembangan, menjelaskan, menyampaikan nilai-nilai kebenaran. Semua
orang yang berhasrat untuk mencintai kebenaran, bertindak sesuai dengan kebenaran. Kebenaran
adalah satu nilai utama di dalam kehidupan human. Sebagai nilai-nilai yang menjadi fungsi
rohani manusia. Artinya sifat manusiawi atau martabat kemanusiaan (human dignity) selalu
berusaha “memeluk” suatu kebenaran.
Kebenaran sebagai ruang lingkup dan obyek pikir manusia sudah lama menjadi penyelidikan
manusia. Manusia sepanjang sejarah kebudayaannya menyelidiki secara terus menerus apakah
hakekat kebenaran itu?
Jika manusia mengerti dan memahami kebenaran, sifat asasinya terdorong pula untuk
melaksanakan kebenaran itu. Sebaliknya pengetahuan dan pemahaman tentang kebenaran, tanpa
melaksanakan kebenaran tersebut manusia akan mengalami pertentangan batin, konflik
spikologis. Menurut para ahli filsafat itu bertingkat-tingkat bahkan tingkat-tingkat tersebut
bersifat hirarkhis. Kebenaran yang satu di bawah kebenaran yang lain tingkatan kualitasnya ada
kebenaran relatif, ada kebenaran mutlak (absolut). Ada kebenaran alami dan ada pula kebenaran
illahi, ada kebenaran khusus individual, ada pula kebenaran umum universal.
Dalam kehidupan manusia, kebenaran adalah fungsi rohaniah. Manusia di dalam kepribadian dan
kesadarannya tak mungkin tnapa kebanran.
Berdasarkan scope potensi subjek, maka susunan tingkatan kebenaran itu menjadi :
5. Tingkatan kebenaran indera adalah tingakatan yang paling sederhanan dan pertama yang
dialami manusia
7. Tingkat filosofis,rasio dan pikir murni, renungan yang mendalam mengolah kebenaran itu
semakin tinggi nilainya
8. Tingkatan religius, kebenaran mutlak yang bersumber dari Tuhan yang Maha Esa dan
dihayati oleh kepribadian dengan integritas dengan iman dan kepercayaan
Keempat tingkat kebenarna ini berbeda-beda wujud, sifat dan kualitasnya bahkan juga proses
dan cara terjadinya, disamping potensi subyek yang menyadarinya. Potensi subyek yang
dimaksud disini ialah aspek kepribadian yang menangkap kebenarna itu. Misalnya pada
tingkat kebenaran indera, potensi subyek yang menangkapnya ialah panca indra.
Kebenaran itu ialah fungsi kejiwaan, fungsi rohaniah. Manusia selalu mencari kebanran itu,
membina dan menyempurnakannya sejalan dengan kematangan kepribadiannya.
Ukuran Kebenarannya :
- Apa yang disebut benar oleh seseorang belum tentu benar bagi orang lain
Jenis-jenis Kebenaran :
Manusia selalu mencari kebenaran, jika manusia mengerti dan memahami kebenaran, sifat
asasinya terdorong pula untuk melaksankan kebenaran itu. Sebaliknya pengetahuan dan
pemahaman tentang kebenran, tanpa melaksankan konflik kebenaran, manusia akan
mengalami pertentangan batin, konflik spilogis. Karena di dalam kehidupan manusia sesuatu
yang dilakukan harus diiringi akan kebenaran dalam jalan hidup yang dijalaninya dan
manusia juga tidak akan bosan untuk mencari kenyataan dalam hidupnya yang dimana selalu
ditunjukkan oleh kebanaran.
Kebenaran agama yang ditangkap dengan seluruh kepribadian, terutama oleh budi nurani
merupakan puncak kesadaran manusia. Hal ini bukan saja karena sumber kebnarna itu bersal
dari Tuhan Yang Maha Esa supernatural melainkan juga karena yang menerima kebenaran
ini adalah satu subyek dengna integritas kepribadian. Nilai kebenaran agama menduduki
status tertinggi karena wujud kebenaran ini ditangkap oleh integritas kepribadian. Seluruh
tingkat pengalaman, yakni pengalaman ilmiah, dan pengalaman filosofis terhimpun pada
puncak kesadaran religius yang dimana di dalam kebenaran ini mengandung tujuan hidup
manusia dan sangat berarti untuk dijalankan oleh manusia.
1. Teori Corespondence
Masalah kebenaran menurut teori ini hanyalah perbandingan antara realita oyek (informasi,
fakta, peristiwa, pendapat) dengan apa yang ditangkap oleh subjek (ide, kesan). Jika ide
atau kesan yang dihayati subjek (pribadi) sesuai dengan kenyataan, realita, objek, maka
sesuatu itu benar.
Kebenaran adalah kesesuaian pernyataan dengan fakta, yang berselaran dengan realitas yang
serasi dengan sitasi aktual. Dengan demikian ada lima unsur yang perlu yaitu :
1. Statemaent (pernyataan)
2. Persesuaian (agreemant)
3. Situasi (situation)
4. Kenyataan (realitas)
5. Putusan (judgements)
Artinya anak harus mewujudkan di dalam kenyataan hidup, sesuai dengan nilai-nilai
moral itu. Bahkan anak harus mampu mengerti hubungan antara peristiwa-peristiwa di
dalam kenyataan dengan nilai-nilai moral itu dan menilai adakah kesesuaian atau tidak
sehingga kebenaran berwujud sebagai nilai standard atau asas normatif bagi tingkah laku.
Apa yang ada di dalam subyek (ide, kesan) termasuk tingkah laku harus dicocokkan
dengan apa yang ada di luar subyek (realita, obyek, nilai-nilai) bila sesuai maka itu benar.
2. Teori Consistency
Teori ini merupakan suatu usah apengujian (test) atas arti kebenaran. Hasil test dan
eksperimen dianggap relible jika kesan-kesanyang berturut-turut dari satu penyelidik
bersifat konsisten dengan hasil test eksperimen yang dilakukan penyelidik lain dalam
waktu dan tempat yang lain.
Menurut teori consistency untuk menetapkan suatu kebenarna bukanlah didasarkan atas
hubungan subyek dengan realitas obyek. Sebab apabila didasarkan atas hubungan subyek
(ide, kesannya dan comprehensionnya) dengan obyek, pastilah ada subyektivitasnya.
Oleh karena itu pemahaman subyek yang satu tentang sesuatu realitas akan mungkin
sekali berbeda dengan apa yang ada di dalam pemahaman subyek lain.
Teori ini dipandang sebagai teori ilmiah yaitu sebagai usaha yang sering dilakukan di
dalam penelitian pendidikan khsusunya di dalam bidang pengukuran pendidikan.
Teori konsisten ini tidaklah bertentangan dengan teori korespondensi. Kedua teori ini
lebih bersifat melengkapi. Teori konsistensi adalah pendalaman dankelanjutan yang teliti
dan teori korespondensi. Teori korespondensi merupakan pernyataan dari arti kebenaran.
Sedah teori konsistensi merupakan usaha pengujian (test) atas arti kebenaran tadi.
Teori koherensi (the coherence theory of trut) menganggap suatu pernyataan benar bila di
dalamnya tidak ada perntentangan, bersifat koheren dan konsisten dengna pernyataan
sebelumnya yang telah dianggap benar. Dengan demikian suatu pernyataan dianggap
benar, jika pernyataan itu dilaksanakan atas pertimbangan yang konsisten dan
pertimbangan lain yang telah diterima kebenarannya.
Rumusan kebenaran adalah turth is a sistematis coherence dan trut is consistency. Jika A
= B dan B = C maka A = C
Logika matematik yang deduktif memakai teori kebenaran koherensi ini. Logika ini
menjelaskan bahwa kesimpulan akan benar, jika premis-premis yang digunakan juga
benar. Teori ini digunakan oleh aliran metafisikus rasional dan idealis.
Teori ini sudah ada sejak Pra Socrates, kemudian dikembangan oleh Benedictus Spinoza
dan George Hegel. Suatu teori dianggapbenar apabila telah dibuktikan (klasifikasi) benar
dan tahan uji. Kalau teori ini bertentangan dengan data terbaru yagn benar atau dengan
teori lama yang benar, maka teori itu akan gugur atau batal dengan sendirinya.
3. Teori Pragmatisme
Paragmatisme menguji kebenaran dalam praktek yang dikenal apra pendidik sebagai metode
project atau medoe problem olving dai dalam pengajaran. Mereka akan benar-benar
hanya jika mereka berguna mampu memecahkan problem yang ada. Artinya sesuatu itu
benar, jika mengmbalikan pribadi manusia di dalamkeseimbangan dalam keadaan tanpa
persoalan dan kesulitan. Sebab tujuan utama pragmatisme ialah supaya manusia selalu
ada di dalam keseimbangan, untuk ini manusia harus mampu melakukan penyesuaian
dengan tuntutan-tuntutan lingkungan.
Dalam dunia pendidikan, suatu teori akan benar jika ia membuat segala sesutu menjadi lebih
jelas dan mampu mengembalikan kontinuitas pengajaran, jika tidak, teori ini salah.
Jika teori itu praktis, mampu memecahkan problem secara tepat barulah teori itu benar. Yang
dapat secara efektif memecahkan masalah itulah teori yang benar (kebenaran).
Teori pragmatisme (the pragmatic theory of truth) menganggap suatu pernyataan, teori atau dalil
itu memliki kebanran bila memiliki kegunaan dan manfaat bagi kehidupan manusia.
Kaum pragmatis menggunakan kriteria kebenarannya dengan kegunaan (utility) dapat dikerjakan
(workobility) dan akibat yagn memuaskan (satisfaktor consequence). Oleh karena itu
tidak ada kebenaran yang mutak/ tetap, kebenarannya tergantung pada manfaat dan
akibatnya.
Teori ini merupakan sumbangan paling nyata dari pada filsup Amerika tokohnya
adalha Charles S. Pierce (1914-1939) dan diikuti oleh Wiliam James dan John Dewey
(1852-1859).
Wiliam James misalnya menekankan bahwa suatu ide itu benar terletak pada
konsikuensi, pada hasil tindakan yang dilakukan. Bagi Dewey konsikasi tidaklah terletak
di dalam ide itu sendiri, malainkan dalam hubungan ide dengan konsekuensinya setelah
dilakukan. Teory Dewey bukanlah mengerti obyek secara langsung (teori korepondensi)
atau cara tak langsung melalui kesan-kesan dari pada realita (teori konsistensi).
Melainkan mengerti segala sesuai melalui praktek di dalam program solving.
4. Kebenaran Religius
Kebenaran adalah kesan subjek tentang suatu realita, dan perbandingan antara kesan dengan
realita objek. Jika keduanya ada persesuaian, persamaan maka itu benar.
Kebenaran tak cukup hanya diukur dnenga rasion dan kemauan individu. Kebenaran bersifat
objective, universal,berlaku bagi seluruh umat manusia, karena kebenaran ini secara
antalogis dan oxiologis bersumber dari Tuhan yang disampaikan melalui wahyu.
Nilai kebenaran mutlak yang bersumber dari Tuhan itu adalah objektif namun bersifat
superrasional dan superindividual. Bahkan bagi kaum religius kebenarn aillahi ini adalah
kebenarna tertinggi, dimnaa semua kebanaran (kebenaran inderan, kebenaran ilmiah,
kebenaran filosofis) taraf dan nilainya berada di bawah kebanaran ini :
Ketiga teori kebenaran sebelumnya menggunakan alat, budi,fakta, realitas dan kegunaan sebagai
landasannya. Dalam teori kebanran agama digunakan wahyu yang bersumber dari Tuhan.
Sebagai makluk pencari kebeanran, manusia dan mencari dan menemukan kebenaran
melalui agama. Dengan demikian, sesuatu dianggap benar bila sesuai dan koheren
dengan ajaran agama atau wahyu sebagai penentu kebenaran mutlak.agama dengan kitab
suci dan haditsnya dapat memberikan jawaban atas segala persoalan manusia, termasuk
kebenaran.
BAB III
KESIMPULAN
Bahwa kebanran itu sangat ditentukan oleh potensi subyek kemudian pula tingkatan validitas.
Kebanran ditentukan oleh potensi subyek yang berperanan di dalam penghayatan atas sesuatu
itu.
Bahwa kebenaran itu adalah perwujudan dari pemahaman (comprehension) subjek tentang
sesuatu terutama yang bersumber dari sesuatu yang diluar subyek itu realita, perisitwa, nilai-nilai
(norma dan hukum) yang bersifat umum.
Bahwa kebenaran itu ada yang relatif terbatas, ada pula yang umum. Bahkan ada pula yang
mutlak, abadi dan universal. Wujud kebenaran itu ada yang berupa penghayatan lahiriah,
jasmaniah, indera, ada yang berupa ide-ide yang merupkan pemahaman potensi subjek (mental,r
asio, intelektual).
Bahwa substansi kebenaran adalah di dalam antaraksi kepribadian manusia dengan alam
semesta. Tingkat wujud kebenaran ditentukan oleh potensi subjek yang menjangkaunya.
Semua teori kebanrna itu ada dan dipraktekkan manusia di dalam kehidupan nyata. Yang mana
masing-masing mempunyai nilai di dalam kehidupan manusia.
BAB IV
DAFTAR BACAAN
Syam, Muhammad Noor. 1988. Filsafat Kependidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila.
Surabaya: Usaha Nasional
Sumantri Surya. 1994. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan