Anda di halaman 1dari 36

Sabtu, 02 November 2013

TEORI - TEORI KEBENARAN ILMIAH

Oleh : Syahri Ramadhan, S.Psi

PENDAHULUAN
Manusia adalah jenis makhluk yang memiliki potensi luar biasa dari bekal akal yang ada
padanya. Dengan akal manusia secara terus menerus menjalani kehidupan secara dinamis,
terutama perkembangan mental atau psikis. Akal menunjukkan perubahan positif (perkembangan
cara berpikir) seiring pertumbuhan usia manusia. Kapasitas berpikir akan semakin kompleks
ketika manusia hidup dan tumbuh di kehidupannya. Seorang balita berpikir tentang sebuah
pohon, tentu tidak sama dengan seorang dewasa yang berpikir tentang pohon. Inilah potensi akal
manusia yang secara kontinu berpikir terus menerus mencari kebenaran. Kebenaran yang bisa
mereka terima secara logis dan empiris atau kebenaran ilmiah. Maka perlu kita menyimak
sejarah perkembangan manusia dalam mencari kebenaran yang akan kami bahas dalam makalah
ini.
Makalah ini membicarakan tentang teori-teori kebenaran ilmiah atau ilmu atau dalam makalah
ini kadang kami sebut kebenaran. Akan dijelaskan tentang definisi kebenaran, teori-teori
kebenaran dalam bidang pengetahuan ilmiah yang terjadi sepanjang sejarah pemikiran manusia,
dan sifat-sifat kebenaran.
Terakhir pembahasan ini kami menyertakan evaluasi terhadap teori-teori kebanaran yang ada.
Sebagai upaya mengkritisi pemikiran yang sudah ada tentang kebenaran dan memunculkan
gagasan-gagasan baru yang diharapkan bisa dikembangkan di masa yang akan datang.

RUANG LINGKUP PEMBAHASAN


Makalah ini membahas tentang apa itu kebenaran, bagaimana teori-teori kebenaran sepanjang
sejarah pemikiran manusia, dan sifat-sifat kebenaran.

ARTI KEBENARAN
Benar adalah sesuatu yang apa adanya atau sesuai kenyataan yang ada, sebuah fakta tentang
realita berdasarkan data-data yang ada. Sedangkan “kebenaran” dapat digunakan sebagai suatu
kata benda yang kongkret maupun abstrak (Hamami dalam Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, 2010
: 135).
Lebih lanjut Hamami mengatakan bahwa setiap subjek yang memiliki pengetahuan akan
memiliki persepsi dan pengertian yang berbeda-beda satu dengan lainnya tentang kebenaran,
karena kebenaran tidak bisa dilepaskan dari makna yang dikandung dalam suatu pernyataan atau
statement (proposisi). Senada dengan Hamami, Louis Kattsoff (1996 : 178) mengatakan
“kebenaran” menunjukkan bahwa makna sebuah pernyataan (proposisi) sunggung-sungguh
merupakan halnya, bila proposisi bukan merupakan halnya, maka kita mengatakan bahwa
proposisi itu sesat atau bila proposisi itu mengandung kontradiksi (bertentangan) maka kita dapat
mengatakan bahwa proposisi itu mustahil. Artinya kebenaran berkaitan erat dengan kualitas, sifat
atau karakteristik, hubungan, dan nilai kebenaran itu sendiri. Berikut penjelasan Hamami tentang
kaitan kebenaran dengan beberapa hal di atas.
Pertama, kebenaran berkaitan dengan kualitas pengetahuan. Artinya kebenaran itu dipengaruhi
oleh jenis pengetahuan yang dimiliki oleh subjek. Jika subjek memiliki pengetahuan biasa atau
common sense knowledge, maka pengetahuan seperti ini akan menghasilkan kebenaran yang
bersifat subjektif, sangat tergantung pada subjek yang melihat. Selanjutnya jika subjek memiliki
pengetahuan ilmiah yaitu pengetahuan yang sudah memiliki objek yang khas atau spesifik
dengan pendekatan metodologis yang khas pula, yaitu adanya kesepakatan diantara ahli yang
ada. Maka kebenaran dalam konteks ini bersifat relatif, yaitu akan selalu mendapatkan revisi atau
perubahan jika ditemukan kebanaran yang baru pada penelitian-penelitian yang akhir dan
mendapat persetujuan (agreement) dari konvensi ilmuan sejenis. Kemudian jenis pengetahuan
pengetahuan filsafati, yaitu melalui pendekatan filsafati, yang sifatnya mendasar dan menyeluruh
dengan model pemikiran yang analitis, kritis, dan spekulatif. Kebenaran pengetahuan ini bersifat
absolut-intersubjektif. Artinya kebenaran ini merupakan pendapat yang selalu melekat pada
pandangan seorang filsafat itu dan selalu mendapat pembenaran dari filsuf kemudian yang
menggunakan metodologi pemikiran sama.
Jenis pengetahuan yang terakhir adalah kebenaran pengetahuan yang terkandung dalam agama,
yang memiliki sifat dogmatis, artinya kebenaran dalam agama sudah tertentu dan sesuai ajaran
agama tertentu, kemudian di yakini sesuai dengan keyakinan subjek untuk memahaminya.
Kebenaran makna kandungan kitab suci berkembang secara dinamis sesuai dengan
perkembangan waktu, akan tetapi kandungan maksud ayat kitab suci tidak dapat dirubah dan
sifatnya absolut.
Kedua, kebanaran dikaitkan dengan sifat atau karakteristik tentang cara atau metode apa yang
digunakan subjek dalam membangun pengetahuannya itu. Apakah ia membangun
pengetahuannya dengan penginderaan atau sense experience, akal pikir, ratio, intuisi, atau
keyakinan. Dimana cara atau metode yang digunakan subjek akan mempengaruhi karakteristik
kebenaran, sehingga harus dibuktikan juga dengan metode atau cara yang sama. Misalnya, jika
subjek memperoleh kebenaran melalui sense experiense, maka harus dibuktikan juga dengan
sense experience, bukan dengan cara yang berbeda, begitu pula dengan yang lainnya.
Ketiga, nilai kebenaran dikaitkan dengan ketergantungan terjadinya pengetahuan itu. Artinya
kebenaran ini berkaitan dengan relasi antara subjek dan objek. Manakala subjek memiliki
dominasi yang tinggi dalam membangun suatu kebenaran. Maka kebenaran itu akan bersifat
subjektif, artinya nilai kebenaran yang terkandung di dalam pengetahuan itu sangat bergantung
pada subjek yang memiliki pengetahuan itu. Atau sebaliknya, jika objek lebih berperan maka
sifat pengetahuannya objektif, seperti ilmu alam.
Sebagai pelengkap bahasan ini, berikut kami kemukakan tiga penafsiran utama tentang
kebenaran menurut Sahakian dan Sahakian (1966 : 23) adalah sebagai berikut :
1. Kebanaran sebagai sesuatu yang mutlak (absolut)
2. Kebenaran sebagai subjektivitas atau pendapat pribadi
3. Kebenaran sebagai sesuatu yang mustahil dan sulit untuk di jangkau
Penafsiran utama tentang kebenaran menurut Sahakian dan Sahakian merupakan polemik yang
belum terselesaikan ketika seorang filsuf membicarakan kebenaran. Apakah ada kebenaran yang
bersifat mutlak atau absolut? Buktinya ilmu pengetahuan terus berkembang dan mempengaruhi
sudut pandang manusia tentang kebenaran. Atau jangan-jangan kebenaran itu hanyalah
subjektivitas seseorang atau kelompok? Bahkan jangan-jangan kebenaran merupakan hal yang
sulit dan mustahil untuk di jangkau.

TEORI-TEORI KEBENARAN
Pada bagian ini akan kami bahas tentang teori-teori kebenaran sepanjang sejarah pemikiran
manusia. Perbincangan mengenai kebenaran sudah dimulai sejak Plato melalui metode dialog,
kemudian dilanjutkan oleh Aristoteles. Menurut seorang filsuf Jaspers sebagaimana dikutip oleh
Hammersa bahwa sebenarnya para pemikir sekarang hanya melengkapi dan menyempurnakan
filsafat Plato dan filsafat Aristoteles (Hamami dalam Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, 2010 :
138). Hal ini tentu berdasarkan argumentasi yang kuat berdasarkan pemikiran yang mendalam,
yang berlandaskan pada data-data sejarah yang ada. Plato dianggap sebagai filsuf yang
membangun teori pengetahuan yang cukup lengkap sebagai teori pengetahuan yang awal. Dari
pemikiran Plato kemudian muncul teori-teori pengetahuan baik sebagai kritik atau sebagai
support atas teori yang sudah dibangun Plato.
Berikut ini adalah penjelasan mengenai teori-teori kebenaran yang kami coba rangkum dari
beberapa sumber ilmiah :
1. Teori kebenaran korespondensi
Kebenaran menurut persfektif teori korespondensi adalah pernyataan dikatakan benar jika
sesuai dengan kenyataan atau fakta yang ada. George E. Moore (dalam Sahakian dan Sahakian,
1966 : 24) mengatakan kebenaran sebagai “truth as the correspondence of ideas to reality”, yaitu
kebenaran adalah kesesuaian antara ide atau gagasan-gagasan dengan realita. Sebaliknya, jika
pernyataan bertentangan dengan kenyataan atau fakta yang ada, maka pernyataan tersebut
dianggap sebagai penyataan yang “sesat”. Misalnya, ada pernyataan yang mengatakan Bang
Rhoma adalah seorang penyanyi dangdut. Kalau pernyataan tersebut bersesuaian dengan fakta
yang ada di kenyataan yang sebenarnya maka itu dianggap sebagai “kebenaran”. Jika ternyata
Bang Rhoma bukan seorang penyanyi dangdut, melainkan seorang Presiden. Maka pernyataan
tersebut dianggap sebagai bukan “kebenaran”.
Makna “sesuai” (correspond) dalam teori ini masih menimbulkan pertanyaan-pertanyaan
yang mengarah pada kritik terhadap teori kebenaran korespondensi. Kalau kebenaran selalu
diukur dengan fakta-fakta yang ada, bagaimana dengan ide-ide yang bersifat kejiwaan, apakah
ada fakta yang bersifat kejiwaan. Lalu bagaimana membuktikan hubungan antara ide-ide
tersebut, padahal ide-ide tersebut bersifat abstrak, sulit untuk dibuktikan dengan indera manusia.
Misalnya, Pak Soleh dikatakan sebagai seorang yang soleh, kalau pernyataan ini kemudian
dibuktikan kebenarannya dengan makna sesuai atau korespondensi, maka tentu subjek akan
melihat pada perilaku-perilaku beragama yang tampak pada Pak Soleh. Pertanyaannya, apakah
“kesolehan” Pak Soleh bisa sepenuhnya diukur dengan observasi?, bukankah kesolehan di
dominasi oleh aspek kejiwaan Pak Soleh?.
Pertanyaan-pertanyaan di atas adalah kelemahan-kelemahan para realisme atau paham
yang bertolak dari kenyatan-kenyataan. Karena kebenaran korespondensi dianut oleh para
realisme (Kattsoff, 1996 : 184).
2. Teori kebenaran koherensi
Berkebalikan dengan paham korespondensi, paham koherensi dianut oleh para pendukung
idealisme. Banyak kita dalam kehidupan sehari-hari menggunakan paham ini. Intinya menurut
paham ini “kebenaran” adalah jika pernyataan sebjek saling berhubungan dengan pernyataan
subjek yang lainnya atau jika makna yang dikandungnya saling berhubungan dengan
pengalaman kita (Kattsoff, 1996 : 181). Misalnya, “Bang Rhoma adalah penyanyi dangdut”,
pernyataan ini akan dianggap benar jika fakta lain mendukung pernyataan ini. Tetapi, pernyataan
ini akan dianggap “sesat” apabila fakta-fakta lain yang telah ada tidak mendukung pernyataan ini
atau mengandung kontradiksi.
Kritik terhadap paham ini saya sajikan dalam sebuah kasus. Di dalam penegakkan hukum
di pengadilan terhadap kasus pembunuhan yang dilakukan Si A terhadap Si B. Untuk
membuktikan pembunuhan ini benar atau tidak, kemudian pengadilan mendatangkan beberapa
saksi, yaitu Si C, Si D, dan Si E. Si C dan Si D cenderung membela Si A, mungkin karena
sebagai teman, keluarga, atau karena sebab lain. Sehingga Si C dan Si D memeberikan kesaksian
yang sama (koheren) atau saling berhubungan yang menyebabkan keringanan terhadap Si A.
Sedangkan Si E memberikan kesaksian berbeda yang memberatkan Si A, Si E menjelaskan
secara jujur fakta-fakta pembunuhan yang dia lihat. Setelah persidangan selesai, hakim
menyatakan bahwa Si A tidak bersalah dan di bebaskan.
Dari contoh kasus di atas disimpulkan bahwa paham koherensi akan selalu berpihak pada
pernyataan-pernyataan yang dianggap koheren, walaupun terkadang pernyataan tersebut bukan
fakta yang sesungguhnya. Kemudian paham koherensi cenderung mengabaikan pernyataan lain
yang dianggap tidak koheren, walaupun sesungguhnya pernyataan itu adalah fakta yang
sesunggunya.
3. Teori kebenaran pragmatis
Teori kebenaran pragmatisme adalah paham tentang kebenaran yang diukur dari
kegunaannya dalam kehidupan manusia. Bagi seorang pragmatis kebenaran tentang suatu
pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam
kehidupan praktis. Artinya, suatu pernyataan adalah benar, jika pernyataan atau konsekuensi dari
pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan manusia (Suriasumantri, 2010 :
58-59).
Dapat dipahami bahwa kebenaran dalam pandangan pragmatisme adalah sebatas kegunaan
praktis dalam kehidupan. Apabila suatu proposisi memiliki kegunaan praktis maka akan
dipandang sebagai suatu kebenaran. Sebaliknya, apabila proposisi tidak memiliki kegunaan
praktis maka tidak dipandang sebagai suatu kebenaran, walaupun ada kemungkinan sesuatu yang
tidak bersifat fungsional tersebut adalah kebenaran yang sesungguhnya.
Kebenaran dalam pandangan pragmatisme akan membawa kebenaran pada masa
kadaluarsa (expired). Artinya ada masanya kebenaran yang sudah dianggap suatu kebenaran
akan dibuang, karena tidak lagi bersifat fungsional. Kebanaran dalam pandangan pragmatis juga
tidak fleksibel bagi semua konteks, karena apabila kebenaran diukur dari segi fungsionalnya,
maka bagaimana kebenaran akan berguna bagi konteks lain yang secara hakikat memiliki
perbedaan signifikan dengan konteks yang lainnya.
4. Kebanaran menurut paham-paham empiris
Definisi-definisi kebenaran menurut paham-paham empiris berdasarkan atas berbagai segi
pengalaman, dan biasanya merujuk pada pengalaman inderawi seseorang. Paham tersebut
memandang proposisi bersifat meramalkan (predictive), atau hipotesis, dan memandang
kebenaran proposisi sebagai terpenuhinya hipotesa (Kattsoff, 1996 : 186).
Definisi di atas mengantarkan kita pada suatu pemahaman, bahwa kebenaran menurut
paham-paham empiris memiliki subjektivitas yang tinggi. Jika demikian, maka kebenaran akan
memiliki makna yang berbeda-beda bagi setiap orang yang memaknainya. Disebabkan
perbedaan pengalaman-pengalaman yang dimiliki subjek. Selanjutnya kebenaran akan bersifat
nisbi, tidak memiliki tolak ukur yang pasti. Sehingga siapa saja bisa mengklaim bahwa dia
adalah yang benar.
5. Teori kebenaran sintaksis
Penganut teori kebenaran sintaksis berpijak bahwa suatu pernyataan dikatakan benar jika
pernyataan itu mengikuti aturan-aturan sintaksis atau gramatika yang baku. Atau dengan kata
lain apabila proposisi itu tidak mengikuti syarat atau keluar dari hal yang di syaratkan maka
proposisi itu tidak memiliki arti. Teori ini berkembang di antara filsuf analisa bahasa, terutama
yang begitu ketat terhadap pemakaian gramatika seperti Schleiemacher (Hamami, Tim Dosen
Filsafat UGM, 2010).
6. Teori kebenaran semantis
Teori ini kebanyakan dianut dan berkembang di kalangan filsuf analitika bahasa.
Kebenaran menurut faham ini adalah suatu proposisi dinilai benar ditinjau dari segi arti atau
makna, apakah proposisi yang merupakan pangakal tumpunya itu mempunyai referensi yang
jelas. Artinya teori ini bertugas untuk mengungkap ke sahihan proposisi dalam referensinya.
Pernyataan yang mengandung kebenaran adalah pernyataan yang memiliki arti atau makna yang
sesungguhnya dengan merujuk pada kenyataan. Arti yang bersifat definitif, yaitu arti yang
dengan jelas menunjuk ciri yang khas dari sesuatu yang ada (Hamami, Tim Dosen Filsafat UGM,
2010). Seperti “Irigasi menyebabkan kesulitan dalam mengatur pengairan”, pernyataan ini akan
dikatakan benar bila menunjukkan makna yang sahih tentang bendungan dalam kenyataan yang
sesungguhnya. Tentu kebenaran pernyataan diatas akan di cek langsung ke referensinya.

SIFAT KEBENARAN ILMIAH


Bagian sebelumnya telah membahas tentang pengertian kebenaran, meskipun kebenaran di
maknai dengan definisi yang berbeda-beda, tapi bisa kita ambil pengertian bahwa kebenaran
ilmiah atau ilmu sangat erat kaitannya dengan pengetahuan, metode atau cara membangun suatu
pengetahuan, dan relasi antara subjek dan objek. Telah dikemukakan juga teori-teori kebenaran
yang berkembang di dalam kefilsafatan.
Di bagian ini kita akan membahas mengenai sifat kebenaran ilmiah. Hamami (Tim Dosen
Filsafat UGM, 2010) mengatakan bahwa kebenaran ilmiah muncul dari hasil penelitian, artinya
suatu kebenaran tidak mungkin muncul tanpa adanya prosedur baku yang harus dilalui. Prosedur
baku maksudnya adalah tahap-tahap yang harus dilalui dalam memperoleh pengetahuan ilmiah
yang pada hakikatnya berupa teori-teori melalui metode ilmiah yang telah baku sesuai dengan
sifat dasar ilmu.
Lebih lanjut Hamami mengatakan bahwa kebenaran dalam ilmu adalah kebenaran yang sifatnya
objektif, maksudnya bahwa kebenaran dari suatu teori, atau lebih tinggi dari aksioma (pernyataan
yang dterima sebagai kebenaran tanpa pembuktian) atau paradigma, harus didukung oleh fakta-
fakta yang berupa kenyataan dalam keadaan objektivitasnya.
Mengacu pada satatus ontologis objek, menurut Hamami kebenaran dalam ilmu dibedakan
menjadi dua jenis teori, yaitu kebenaran korespondensi untuk ilmu-ilmu alam dan kebenaran
koherensi atau konsistensi untuk ilmu-ilmu sosial, kemanusian, dan logika. Kemudian hal yang
sangat penting dan perlu diperhatikan dalam hal kebenaran yaitu bahwa kebenaran dalam ilmu
harus selalu merupakan hasil persetujuan atau konvensi dari para ilmuwan di bidangnya.
Sehingga kebenaran-kebenaran dalam ilmu akan terus berubah dan berkembang berdasarkan
penemuan-penemuan terbaru yang mampu menentang teori-teori terdahulu dalam bidang ilmu
yang sama. Serta mendapatkan persetujuan konvensional dari para ilmuwan di bidang yang
sama.

EVALUASI KRITIS
Manusia terus berkembang dalam segala aspek kehidupannya. Perkembangan yang
dinamis tersebut tidak luput dari peran ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh manusia. Tanpa
henti manusia terus belajar, dan belajar lagi, tanpa ada rasa puas. Tujuannya cuma satu yaitu
mencari kebenaran ilmiah atau ilmu yang berperan fungsional dalam kehidupan manusia.
Sepanjang sejarah pemikiran manusia dalam mencari kebenaran ilmiah atau ilmu telah
banyak yang mengungkapkan tentang “kebenaran”, berbagai macam argumentasi filosofi
dikemukakan tentang kebenaran. Namun, setiap argumentasi selalu diiringi dengan sanggahan
argumentasi filosofi juga. Sehingga kebenaran memiliki banyak definisi tergantung latar
belakang isme (pemahaman) yang dianut.
Beberapa teori-teori tentang kebenaran telah kami kemukakan di bagian sebelumnya.
Kritik-kritik juga telah kami kemukakan di bagian akhir pembahasan masing-masing teori yang
kami kemukakan. Sehingga pada bagian ini kami hanya mengemukakan evaluasi kritis secara
umum terhadap teori-teori kebenaran yang dikemukakan pada bagian sebelumnya.
Dari berbagai teori kebenaran yang kami kemukakan di atas, kami menyimpulkan bahwa
tidak ada teori kebanaran yang bisa diterima secara global, ini terbukti dengan munculnya teori-
teori kebanaran baru sebagai sanggahan atas teori kebenaran yang sudah ada. Setiap teori yang
dikemukakan terindikasi mengusung latar belakang pengetahuan yang dimiliki tokohnya. Seperti
teori kebenaran korespondensi yang dilatar belakangi oleh pemahaman empirisme, teori
kebenaran koherensi yang dilatarbelakangi oleh pemahaman idealisme, kemudian teori
kebenaran semantik dan sintaksis yang berkaitan erat dengan gramatika dan analitik bahasa.
Karenanya manusia tidak bisa mengklaim bahwa dia benar hanya dari satu paradigma saja. Akan
ada bantahan atau kritik dari pihak lain yang memiliki paradigma yang berbeda.
Disisi lain masih terjadi polemik dikalangan filsuf tentang kebenaran sebagai sesuatu
yang mutlak, kebenaran sebagai sesuatu yang subjektif, dan kebenaran sebagai sesuatu yang
mustahil untuk dicapai.
Tentang kebenaran sebagai sesuatu yang mutlak setiap orang memiliki pemahaman
masing-masing, ada yang sepakat dan ada yang menolak. Karena terbukti, sesuatu yang telah
dianggap benar bisa menjadi tidak benar lagi karena ada temuan baru yang menentang kebenaran
yang lama. kebenaran sebagai sesuatu yang mutlak juga akan berbeda-beda bagi masing-masing
orang, tergantung latar belakang pemahaman dan keyakinan yang dia anut.
Kebenaran sebagai sesuatu yang subjektif, kebanyakan berpendapat bahwa objektivitas
bisa dicapai dengan konspirasi subjektif. Akan tetapi, hal ini tentu tidak bisa difahami sebagai
sesuatu kebenaran yang sesungguhnya. Karena sudah tentu ada pihak-pihak yang tidak ikut
dalam konspirasi subjektif tersebut dan menentangnya. Maka kebenaran sebagai sesuatu yang
subjektif juga masih menjadi polemik yang belum terselesaikan.
Kebenaran sebagai sesuatu yang mustahil untuk dicapai, hal ini juga masih menjadi
polemik dikalangan filsuf. Banyak diantara mereka yang tidak sepakat kalau kebenaran mustahil
untuk dicapai. Tapi, banyak juga diantara mereka yang setuju bahwa kebenaran yang hakiki
tidak bisa dicapai, karena kebenaran yang mereka fahami selama ini hanyalalah kebenaran
sebagai hasil dari konspirasi subjektif. Kalau di tarik lagi ke garis keyakinan atau aqidah tentu
akan memiliki penafsiran yang berbeda lagi. Orang yang berkeyakinan tentang kebenaran
agamanya tentu akan menganggap bahwa kebenaran yang hakiki atau mutlak hanyalah
kebenaran dari Tuhan yang terdapat di dalam kitab suci agama mereka.

DAFTAR PUSTAKA

Sahakian, William S. & Sahakian, Mabel Lewis. (1996). Ideas of The Great Philosophers. New York :
Barnes and Nobel Books.

Tim Dosen Filsafat llmu UGM. (2010). Filsafat Ilmu : Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu
Pengetahuan. Yogyakarta : Liberti.

Kattsoff, Louis O. (1996). Pengantar Filsafat. Yogyakarta : Tiara Wicana Yogya.

Suriasumantri, Jujun S. (2010). Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Yogyakarta : Pustaka Sinar
Harapan.
Selasa, 10 Januari 2012
Metode Ilmiah dan kebenaran ilmiah

BAB I

PENDAHULUAN

Ilmu pengetahuan dan teknologi selalu berkembang dan mengalami kemajuan, sesuai
dengan perkembangan zaman dan perkembangan cara berpikir manusia. Bangsa Indonesia
sebagai salah satu negara berkembang tidak akan bisa maju selama belum memperbaiki kualitas
sumber daya manusia bangsa kita. Kualitas hidup bangsa dapat meningkat jika ditunjang dengan
sistem pendidikan yang mapan. Dengan sistem pendidikan yang mapan, memungkinkan kita
berpikir kritis, kreatif, dan produktif.
Dalam UUD 1945 disebutkan bahwa negara kita ingin mewujudkan masyarakat yang
cerdas. Untuk mencapai bangsa yang cerdas, harus terbentuk masyarakat belajar. Masyarakat
belajar dapat terbentuk jika memiliki kemampuan dan keterampilan mendengar dan minat yang
besar.
Metode Ilmiah merupakan suatu cara sistematis yang digunakan oleh para ilmuwan untuk
memecahkan masalah yang dihadapi.Metode ini menggunakan langkah-langkah yang sistematis,
teratur dan terkontrol. Supaya suatu metode yang digunakan dalam penelitian disebut metode
ilmiah
Sedangkan Kebenaran ilmiah merupakan sesuatu yang krusial dalam kehidupan ini. Sering
kali dengan dalih sebuah kebenaran seseorang, kelompok, lembaga, atau bahkan negara akan
menghalalkan tindakan terhadap orang lain karena dianggap sudah melakukan tindakan yang
benar. Begitu pula dalam bidang pendidikan tidak mungkin seorang guru melakukan
pendidikan,dan pengajaran terhadap peserta didik jika tidak meyakini sebuah kebenaran.
Sebagaimana ilustrasi yang digambarkan Jujun S. Suriasumantri, yang menggambarkan
seorang peserta didik yang mogok tidak mau belajar walaupun orang tuanya sudah merayunya,
memberikan iming-iming hadiah, bahkan hukuman fisik agar anaknya mau belajar matematika.
Ketika ditelusuri alasan anak tersebut mogok belajar karena seorang guru matematika di
sekolahnya dianggap sebagai pembohong. Pada suatu hari guru tersebut mengatakan bahwa 3+ 4
= 7, pada hari berikutnya 5+2 = 7, kemudian pada hari lainnya 6+1 =7 dan seterusnya. Menurut
pemikiran anak tersebut dengan keterbatasan pikirannya, guru matematika yang mengajarnya
tidak konsisten dengan apa yang dikatakan sebelumnya, sehingga dianggap sebagai
pembohong.1[1]
Ilustrasi tersebut jika diuji materil kebenaran dengan pendekatan matematika semua yang
disampaikan guru matematika tersebut benar, akan tetapi keterbatasan seorang peserta didik
menganggap itu salah. Sehingga menimbulkan dampak-dampak negatif maupun positif dalam
kehidupan. Oleh karena itu bagaimana sesuatu dianggap benar, dan apa yang menjadi kriteria
kebenarannya. Kebenaran tidak mungkin berdiri sendiri jika tidak ditopang dengan dasar-dasar
penunjangnya, baik pernyataan, teori, keterkaitan, konsistensi, keterukuran , dapat dibuktikan,
berfungsi, dan bersifat netral atau tidak netral. Untuk mencapai sebuah kebenaran ada beberapa
tahapan yang harus dilalui, baik itu rasional, hipotesa, kausalitas, anggapan sementara, teori,
atau sudah menjadi hukum kebenaran. Tahapan untuk mendapat kebenaran tersebut dapat dilihat
dengan menggunakan alat kajian filsafat, baik filsafafat Yunani, filsafat Barat, ataupun filsafat
Islam.
BAB II
PEMBAHASAN

METODE ILMIAH DAN KEBENARAN ILMIAH

A. Metode Ilmiah

1. Pengertian Metode Ilmiah

Metode ilmiah adalah cara menerapkan prinsip-prinsip logis terhadap penemuan,


pengesahan dan penjelasan kebenaran. Juga dapat diartikan bahwa metode ilmiah adalah
pengejaran terhadap sesuatu untuk memperoleh sesuatu interelasi.”2[2]
Metode Ilmiah merupakan suatu cara sistematis yang digunakan oleh para ilmuwan untuk
memecahkan masalah yang dihadapi.Metode ini menggunakan langkah-langkah yang sistematis,
teratur dan terkontrol. Supaya suatu metode yang digunakan dalam penelitian disebut metode
ilmiah, maka metode tersebut harus mempunyai kriteria sebagai berikut:
a. Berdasarkan fakta
b. Bebas dari prasangka
c. Menggunakan prinsip-prinsip analisa
d. Menggunakan hipolesa
e. Menggunakan ukuran objektif
f. Menggunakan teknik kuantifikasi3[3]

Adapun Pelaksanaan metode ilmiah ini meliputi tujuh tahap, yaitu :

a. Merumuskan masalah. Masalah adalah sesuatu yang harus diselesaikan.


b. Mengumpulkan keterangan, yaitu segala informasi yang mengarah dan dekat pada pemecahan
masalah. Sering disebut juga mengkaji teori atau kajian pustaka.
c. Menyusun hipotesis.Hipotesis merupakan jawaban sementara yang disusun berdasarkan data
atau keterangan yang diperoleh selama observasi atau telaah pustaka.
d. Menguji hipotesis dengan melakukan percobaan atau penelitian.
e. Mengolah data (hasil) percobaan dengan menggunakan metode statistik untuk
menghasilkan kesimpulan.Hasil penelitian dengan metode ini adalah data yang objektif, tidak
dipengaruhi subyektifitas ilmuwan peneliti dan universal (dilakukan dimana saja dan oleh siapa
saja akan memberikan hasil yang sama).
f. Menguji kesimpulan. Untuk meyakinkan kebenaran hipotesis melalui hasil percobaan perlu
dilakukan uji ulang. Apabila hasil uji senantiasa mendukung hipotesis maka hipotesis itu bisa
menjadi kaidah (hukum) dan bahkan menjadi teori.
g. Menulis laporan Ilmiah.Untuk mengkomunikasikan hasil penelitian kepada orang lain
sehingga orang lain tahu bahwa kita telah melakukan suatu penelitian ilmiah.4[4]
Metode ilmiah didasari oleh sikap ilmiah. Sikap ilmiah semestinya dimiliki oleh setiap
penelitian dan ilmuwan. Adapun sikap ilmiah yang dimaksud adalah :

1. Rasa ingin tahu


2. Jujur (menerima kenyataan hasil penelitian dan tidak mengada-ada)
3. Objektif (sesuai fakta yang ada, dan tidak dipengaruhi oleh perasaan pribadi)
4. Tekun (tidak putus asa)
5. Teliti (tidak ceroboh dan tidak melakukan kesalahan)
6. Terbuka (mau menerima pendapat yang benar dari orang lain)5[5]

Salah satu hal yang penting dalam dunia ilmu adalah penelitian (research). Research berasal
dari kata re yang berarti kembali dan search yang berarti mencari, sehingga research atau
penelitian dapat didefinisikan sebagai suatu usaha untuk mengembangkan dan mengkaji
kebenaran suatu pengetahuan.
Research, menurut The Advanced Learner’s Dictionary of Current English (1961) ialah
penyelidikan atau pencarian yang seksama untuk memperoleh fakta baru dalam cabang ilmu
pengetahuan.
Menurut Fellin, Tripodi dan Meyer (1969) riset adalah suatu cara sistematik untuk maksud
meningkatkan, memodifikasi dan mengembangkan pengetahuan yang dapat disampaikan
(dikomunikasikan) dan diuji (diverifikasi) oleh peneliti lain.
Ciri-ciri riset adalah sebagai berikut, yaitu bahwa riset: (Abisujak, 1981)
a. Dilakukan dengan cara-cara yang sistematik dan seksama.
b. Bertujuan meningkatkan, memdofikasi dan mengembangkan pengetahuan (menambah
perbendaharaan ilmu pengetahuan)
c. Dilakukan melalui pencarian fakta yang nyata
d. Dapat disampaikan (dikomunikasikan) oleh peneliti lain
e. Dapat diuji kebenarannya (diverifikasi) oleh peneliti lain6[6]

2. Penelitian Ilmiah

Penelitian yang dilakukan dengan metode ilmiah disebut penelitian ilmiah. Suatu penelitian
harus memenuhi beberapa karakteristik untuk dapat dikatakan sebagai penelitian ilmiah.
Umumnya ada lima karakteristik penelitian ilmiah, yaitu:

a. Sistematik, Berarti suatu penelitian harus disusun dan dilaksanakan secara berurutan
sesuai pola dan kaidah yang benar, dari yang mudah dan sederhana sampai yang
kompleks.
b. Logis, Suatu penelitian dikatakan benar bila dapat diterima akal dan berdasarkan fakta
empirik. Pencarian kebenaran harus berlangsung menurut prosedur atau kaidah
bekerjanya akal, yaitu logika. Prosedur penalaran yang dipakai bisa prosedur induktif
yaitu cara berpikir untuk menarik kesimpulan umum dari berbagai kasus individual
(khusus) atau prosedur deduktif yaitu cara berpikir untuk menarik kesimpulan yang
bersifat khusus dari pernyataan yang bersifat umum.
c. Empirik, artinya suatu penelitian biasanya didasarkan pada pengalaman sehari-hari
(fakta aposteriori, yaitu fakta dari kesan indra) yang ditemukan atau melalui hasil coba-
coba yang kemudian diangkat sebagai hasil penelitian.
d. Obyektif, artinya suatu penelitian menjahui aspek-aspek subyektif yaitu tidak
mencampurkannya dengan nilai-nilai etis.
e. Replikatif, artinya suatu penelitian yang pernah dilakukan harus diuji kembali oleh
peneliti lain dan harus memberikan hasil yang sama bila dilakukan dengan metode,
kriteria, dan kondisi yang sama. Agar bersifat replikatif, penyusunan definisi operasional
variabel menjadi langkah penting bagi seorang peneliti.7[7]
3. Jenis-Jenis Penelitian Ilmiah

Ada tiga tingkatan penelitian ilmiah untuk sampai kepada perwujudan ilmu/teori, yaitu :

a. Penelitian Eksploratif,Penelitian ekploratif adalah penelitian dalam untuk upaya mencari


masalah/menjajagi masalah.
b. Penelitian Pengembangan
c. Penelitian Verifikasi
.
B. Kebenaran Ilmiah
1. Pengertian Kebenaran
Kebenaran tertuang dalam ungkapan-ungkapan yang dianggap benar, misalnya hukum-
hukum, teori-teori, ataupun rumus-rumus filasafat, juga kenyataan yang dikenal dan
diungkapkan. Mereka muncul dan berkembang maju sampai pada taraf kesadaran dalam diri
pengenal dan masyarakat pengenal.8[8]
Sebelum mencapai kebenaran yang berupa pernyataan dengan pendekatan teori ilmiah
sebagaiamana kerangka ilmiah, akan lebih baik jika kita mengetahui terlebih dahulu pengetauan
ini bersifat logis, rasional tidak. Sebagaimana diungkap Ahmad Tafsir dalam kerangka berfikir
sebagai berikut:
a. Yang logis ialah yang masuk akal
b. Yang logis itu mencakup yang rasional dan supra-rasional
c. Yang rasional ialah yang masuk akal dan sesuai dengan hukum alam
d. Yang supra-rasional ialah yang masuk akal sekalipun tidak sesuai dengan hukum alam.
e. Istilah logis boleh dipakai dalam pengertian rasional atau dalam pengertian supra rasional.9[9]
Beberapa definisi kebenaran dapat kita kaji bersama dari beberapa sumber, antara lain,
Kamus umum Bahasa Indonesia ( oleh Purwadarminta), arti kebenaran yaitu: 1. Keadaan yang
benar ( cocok dengan hal atau keadaan sesungguhnya), 2. Sesuatu yang benar ( sunguh-
sungguh ada, betul demikian halnya), 3. Kejujuran, ketulusan hati, 4. Selalu izin,perkenan, 5.
Jalan kebetulan.10[10]
Imam Wahyudi, seorang dosen Filsafat Pengetahuan dan filsafat Ilmu UGM, kebenaran
dikelompokkan dalam tiga makna, yaitu kebenaran moral, kebenaran logis dan kebenaran
metafisik. Kebenaran moral menjadi bahasan etika, ia menunjukkan hubungan antara yang kita
nyatakan dengan apa yang kita rasakan. Kebenaran logis menjadi bahasan epistemology, logika
dan psikologi, ia merupakan hubungan antara pernyataan dengan realitas objektif. Sedangkan
kebenaran metafisik berkaitan dengan yang ada sejauh berhadapan dengan akal budi, karena
yang ada mengungkapkan diri kepada akal budi. Yang ada merupakan dasar dari kebenaran, dan
akal budi yang menyatakannya.11[11]
Menurut teori kebenaran metafisik/ontologis, kebenaran adalah kualitas individual atas
objek, ia merupakan kualitas primer yang mendasari realitas dan bersifat objektif, ia didapat dari
sesuatu itu sendiri. Kita memperolehnya melalui intensionalitas, tidak diperoleh dari relasi antara
sesuatu dengan sesuatu, misal kesesuaian antara pernyataan dengan fakta. Dengan demikian
kebenaran metafisis menjadi dasar kebenaran epistemologis, pernyataan disebut benar kalau
memang yang mau dinyatakan itu sungguh ada.
Sedangkan menurut Noeng Muhajir, eksistensi kebenaran dalam aliran filsafat yang satu
berbeda dengan aliran filasafat lainnya. Positivisme hanya mengakui kebenaran yang dapat
ditangkap secara langsung atau tak langsung lewat indra. Idealisme hanya mengakui kebenaran
dunia ide, materi itu hanyalah bayangan dari dunia ide. Sedangkan Islam berangkat dari
eksistensi kebenaran bersumber dari Allah Swt. Wahyu merupakan eksistensi kebenaran yang
mutlak benar. Eksisitensi wahyu merupakan kebenaran mutlak, epistemologinya yang perlu
dibenahi, juga model logika pembuktian kebenarannya. Model logika yang dikembangkan di
dunia Islam adalah logika formal Aristoteles dengan mengganti pembuktian kebenaran formal
dengan pembuktian materil atau substansial, dan pembuktian kategorik dengan pembuktian
probabilitas.12[12]
Lebih jauh Noeng Muhajir menawarkan epistemology berangkat dari dua postulat,
pertama semua yang gaib ( Zat Allah, alam barzah, surga dan neraka) itu urusan Allah, bukan
kawasan ilmu, sedangkan alam semesta dengan beribu galaxy yang terbentang di muka kita
adalah kawasan ilmu yang dapat kita rambah. Kedua manusia itu makhluk lemah dibanding
kebijakan Allah, sehingga kebenaran mutlak dari Allah tidak tertangkap oleh manusia.13[13]
Pandangan Ibnu Rushd yang menyatakan bahwa jalan filsafat merupakan jalan terbaik
untuk mencapai kebenaran sejati dibanding jalan yang ditempuh oleh ahli agama, telah
memancing kemarahan pemuka agama, sehingga mereka meminta kepada khalifah yang
memerintah di Spanyol untuk menyatakan Ibnu Rushd sebagai atheis. Sebenarnya apa yang
dikemukakan oleh Ibnu Rushd sudah dikemukakan pula oleh Al Kindi dalam bukunya Falsafah
El Ula (First Philosophy). Al Kindi menyatakan bahwa kaum fakih tidak dapat menjelaskan
kebenaran dengan sempurna, oleh karena pengetahuan mereka yang tipis dan kurang bernilai
(Haeruddin, 2003).14[14]
Dengan menggunakan berbagai pendekatan kebenaran dalam mendapatkan pengetahuan,
maka dibutuhkan berbagai kriteria kebenaran yang disepakati secara konsensus, baik dengan cara
mengadakan penelitian atau mengadakan perenungan. Dalam pendekatan ini dibedakan menjadi
dua pendekatan kebenaran, yaitu kebenaran ilmiah dan kebenaran non ilmiah. Kebenaran ilmiah
akan dijelaskan secara rinci dalam makalah ini. Sedangkan kebenaran non ilmiah juga ada di
masyarakat, akan tetapi sulit untuk dapat dipertanggungjawabkan secara kajian ilmiah.
Kebenaran non ilmiah antara lain:
 Kebenaran karena kebetulan : kebenaran yang didapat dari kebetulan dan tidak ditemukan secara
ilmiah, tidak dapat diandalkan karena terkadang kita tertipu dengan kebetulan yang tidak bisa
dibuktikan. Misalnya radio tidak ada suaranya, dipukul, kemudian bunyi.
 Kebenaran karena akal sehat ( common sense): Akal sehat adalah serangkaian konsep yang
dipercaya dapat memecahkan masalah secara praktis. Contoh kepercayaan bahwa hukuman fisik
merupakan alat utama untuk pendidikan adalah termasuk kebenaran akal sehat. Akan tetapi
penelitian psikologi membuktikan hal tersebut tidak benar, bahkan lebih membahayakan masa
depan peserta didik.
 Kebenaran intuitif: kebenaran yang didapat dari proses luar sadar tanpa menggunakan penalaran
dan proses berpikir. Kebenaran intuitif sukar dipercaya dan tidak bisa dibuktikan, hanya sering
dimiliki oleh orang yang berpengalaman lama dan mendarah daging di suatu bidang.
 Kebenaran karena trial dan error: kebenaran yang diperoleh karena mengulang-ulang pekerjaan,
baik metode, teknik, materi, dan parameter-parameter sampai akhirnya menemukan sesuatu. Hal
ini membutuhkan waktu lama dan biaya tinggi.
 Kebenaran spekulasi : kebenaran karena adanya pertimbangan meskipun kurang dipikirkan
secara matang, dikerjakan penuh risiko, relative lebih cepat dan biaya lebih rendah.
 Kebenaran karena kewibawaan : kebenaran yang diterima karena pengaruh kewibawaan
seseorang, bisa sebagai ilmuwan, pakar, atau orang yang memiliki otoritas dalam suatu bidang
tertentu. Kebenaran yang keluar darinya diterima begitu saja tanpa perlu diuji. Kebenaran ini
bisa benar bisa salah karena tanpa prosedur ilmiah.
 Kebenaran agama dan wahyu : kebenaran mutlak dan asasi dari Allah dan rasulnya. Beberapa
hal masih bisa dinalar dengan panca indra manusia, tetapi sebagian yang lain tidak. Manusia
memiliki keterbatasan dalam menangkap kebenaran dari Allah sesuai dengan kemampuan yang
dimilikinya. Al-Qur`an sebagai wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw
diyakini kebenarannya bagi kaum muslimin, tetapi tidak diyakini kebenaran bagi yang non
muslim. Begitu juga kebenaran pada kitab yang lainnya.15[15]
Dengan mengetahui kebenaran berdasarkan pendekatan non-ilmiah paling tidak kita dapat
membedakan segala kebenaran yang berada di masyarakat tersebut tidak teruji secara ilmiah,
sehingga sulit untuk dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Nah sekarang bagaimana
kebenaran ditinjau dari pendekatan ilmiah.
2. Kriteria Kebenaran Ilmiah
Kriteria kebenaran sebagai dasar pengetahuan yang akan dibahas dalam makalah ini,
adalah kriteria kebenaran ilmiah dengan menggunakan beberapa patokan dan pijakan yang
dibuat para ahli sebelumnya. Kriteria kebenaran ini juga tidak terlepas dari sejarah dan patokan
apa yang dipakainya. Hal ini tidak terlepas dari sifat kajian ilmiah, jika ada penemuan terbaru
dalam bidang dan hal yang sama dapat menggantikan penemuan sebelumnya. Dan ini juga tidak
terlepas dari filsafat manusia yang menghasilkan pada saat itu.
Menurut Roger yang dikutif Imam wahyudi, benar yang dipergunakan dalam ilmu, agama,
spiritualitas, estetika adalah sama namun semuanya tidak dapat diukur dengan standar yang sama
(incommensurable), tidak ada satupun yang benar-benar menunjuk pada klaim bahwa suatu
penyataan adalah benar dalam suatu makna kata, namun salah pada makna lainnya. Misal kata
ilmu penciptaan sebagai pemiliki kebenaran menjadi bermakna keteraturan ( kosmos) diterima
sebagai ilmiah , namun tujuannya tidak ilmiah dan dua jenis kebenaran tersebut tidak
sama.16[16]
Kebenaran ilmiah muncul dari hasil penelitian ilmiah, artinya suatu kebenaran tidak
mungkin muncul tanpa adanya tahapan-tahapan yang harus dilalui untuk memperoleh
pengetahuan ilmiah.
Sebagai gambaran perhatikan tahapan dalam penelitian untuk mendapatkan kebenaran
adalah penelitian, kebenaran, ilmu pengetahuan, proses, dan hasil
Secara metafisis kebenaran ilmu bertumpu pada objek ilmu, melalui penelitian dengan
dukungan metode serta sarana penelitian, maka diperoleh suatu pengetahuan. Semua objek ilmu
benar dalam dirinya sendiri, karena tidak ada yang kontradiksi di dalamnya. Kebenaran dan
kesalahan timbul tergantung pada kemampuan menteorikan fakta.
Bangunan suatu pengetahuan secara epistemology bertumpu pada asumsi metafisis tertentu,
dari metafisis ini menuntut suatu cara atau metode yang sesuai untuk mengetahui objek. Dengan
kata lain metode yang dikembangkan merupakan konsekuensi logis dari watak objek. Maka
secara epistemology kebenaran merupakan kesesuaian antara apa yang diklaim sebagai diketahui
dengan kenyataan yang sebenarnya yang menjadi objek pengetahuan. Kebenaran terletak pada
kesesuaian antara subjek dan objek yaitu apa yang diketahui subjek dan realitas sebagaimana
adanya. 17[17]
Sebelum membicarakan kriteria kebenaran secara ilmiah, alangkah baiknya kita melihat
pada saat berkomunikasi, seseorang harus menyusun atau merangkai kata-kata yang dimilikinya
menjadi suatu kalimat yang memiliki arti. Contoh kalimat yang tidak memiliki arti adalah: “5
mencintai 7.” Secara umum dapat dinyatakan bahwa kalimat adalah susunan kata-kata yang
memiliki arti yang dapat berupa:
_ Pertanyataan, dengan contoh: “Pintu itu tertutup”,
_ Pertanyaan, dengan contoh: “Apakah pintu itu tertutup?”,
_ Perintah, dengan contoh: “Tutup pintu itu!”, ataupun
_ Permintaan, dengan contoh: “Tolong pintunya ditutup.”
Dari empat macam kalimat tersebut, hanya pernyataan saja yang memiliki nilai benar atau
salah, tetapi tidak sekaligus benar atau salah. Meskipun para ilmuwan, matematikawan, ataupun
ahli-ahli lainnya sering menggunakan beberapa macam kalimat tersebut dalam kehidupan sehari-
hari mereka, namun hanya pernyataan saja yang menjadi perhatian mereka dalam
mengembangkan ilmunya. Alasannya, kebenaran suatu teori ataupun pendapat yang
dikemukakan setiap ilmuwan, matematikawan, maupun para ahli lainnya seperti ulama sebagai
ahli agama merupakan suatu hal yang akan sangat menentukan reputasi mereka. Karenanya,
setiap ilmuwan, matematikawan, ataupun ahli-ahli lainnya akan berusaha untuk menghasilkan
suatu pernyataan atau teori yang benar. Suatu pernyataan (termasuk teori) tidak akan ada artinya
jika tidak bernilai benar. Karenanya, pembicaraan mengenai benar tidaknya suatu kalimat yang
memuat suatu teori telah menjadi pembicaraan dan perdebatan para ahli filsafat dan logika sejak
dahulu kala. Beberapa nama menurut Yuyun S Suriasumantri yang patut diperhitungkan karena
telah berjasa untuk kita adalah Plato (427 – 347 SM), Aristoteles (384 − 322 SM), Charles S
Peirce (1839 − 1914), dan Bertrand Russell (1872 − 1970).18[18] Paparan berikut akan
membicarakan tentang kebenaran, dalam arti, bilamana suatu pernyataan yang dimuat di dalam
suatu kalimat disebut benar dan bilamana disebut salah.
Kriteria kebenaran menurut Jujun S. Suriasumantri menggunakan dua teori kebenaran yaitu
terori koherensi dan teori korespondensi. Teori koherensi adalah suatu teori yang
menyimpulkan suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan tersebut bersifat kehoren atau
konsisten dengan pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Bila kita mengganggap bahwa
semua manusia pasti akan mati adalah suatu pernyataan yang benar, maka penyataan bahwa si
pulan adalah seorang manusia dan si pulan pasti akan mati adalah benar pula, karena pernyataan
kedua adalah konsisten dengan pernyataan pertama. Teori lainnya adalah teori korespondensi
dengan tokohnya Bertrand Russel (1872-1970 ), pernyataan dianggap benar jika materi yang
dikandung pernyataan itu berkorespondensi ( berhubungan ) dengan objek yang dituju oleh
pernyataan tersebut. Misalnya Jika “ Ibu kota Republik Indonesia adalah Jakarta” merupakan
pernyataan yang benar sebab pernyataan tersebut faktual yaitu Jakarta sebagai ibu kota Republik
Indonesia. Dan sekiranya ada orang yang menyatakan “ Ibu kota Republik Indonesia adalah
Bandung , maka pernyataan tersebut tidak benar.19[19]
Teori korespondensi ini menurut Abbas merupakan teori kebenaran yang paling awal,
sehingga dapat digolongkan kepada teori kebenaran tradisional, karena Aristoteles sejak awal (
sebelum abad modern ) mensyaratkan kebenaran pengetahuan harus sesuai dengan kenyataan
yang diketahuinya.20[20]
Akan tetapi teori korespondensi ini bukan juga termasuk teori yang sempurna tanpa
kelemahan, karena dengan mensyarakatkan kebenaran harus sesuai dengan kenyataan, maka
dibutuhkan penginderaan yang akurat, nah bagaimana dengan penginderan yang kurang cermat
atau bahkan indra tidak normal lagi? Disamping itu juga bagaimana dengan objek yang tidak
dapat diindra atau non empiris? Maka dengan teori korespondensi objek non empiris tidak dapat
dikaji kebenarannya.
Bagaimana dengan teori kebenaran koherensi ? Teori kebenaran koherensi yang
berpandangan bahwa pernyataan dikatakan benar bila terdapat kesesuaian antara pernyataan
yang satu dengan pernyataan terdahulu atau lainnya dalam suatu system pengetahaun yang
dianggap benar. Sebab sesuatu adalah anggota dari suatu system yang unsur-unsurnya
berhubungan secara logis. Maka teori kebenaran ini termasuk teori kebenaran tradisional
menurut Imam wahyudi.21[21] Kelemahan dari teori koherensi ini terjebak dalam validitas, di
mana teorinya dijaga agar selalu ada koherensi internal. Suatu pernyataan dapat benar dalam
dirinya sendiri, namun ada kemungkinan salah jika dihubungkan dengan pernyataan lain di luar
sistemnya. Hal ini dapat mengarah kepada relativisme kebenaran.
Kedua teori inilah yaitu teori koherensi dan korespondensi yang dipergunakan dalam cara
berfikir ilmiah untuk mendapat kebenaran ilmiah. Penalaran teoritis yang berdasarkan logika
deduktif jelas mempergunakan teori koherensi ini. Sedangkan proses pembuktian secara empiris
dalam bentuk pengumpulan fakta-fakta yang mendukung suatu pernyataan tertentu
menggunakan teori kebenaran yang lain yaitu kebenaran pragmatis.
Teori pragmatis menurut Jujun S. Suriasumantri bukan merupakan aliran filsafat yang
mempunyai doktrin-doktrin filsafati melainkan teori dalam penentuan kebenaran. Dimana
kebenaran suatu pernyataan diukur dengan apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam
kehidupan praktis. Artinya suatu penyataan adalah benar , jika pernyataan itu atau konsekuensi
dari pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan manusia.22[22]
Kriteria kebenaran pragmatisme ini dipergunakan para ilmuwan dalam menentukan
kebenaran ilmiah dalam persepekstif waktu. Secara historis pernyataan yang sekarang dianggap
benar suatu waktu mungkin tidak lagi demikian. Dihadapkan dengan permasalahan ini maka
ilmuwan bersifat pragmatis, selama pernyataan itu fungsional dan mempunyai kegunaan maka
pernyataan itu dianggap benar, dan sekiranya pernyataan itu tidak lagi bersifat demikian
disebabkan perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri yang menghasilkan pernyataan baru,
maka pernyataan itu ditinggalkan.
Menurut Rohmat Mulyana, Tidak dapat dipungkiri bahwa metode ilmiah ( scientific
methods) merupakan cara yang handal untuk menemukan kebenaran ilmiah. Tingkat
kebenarannya yang logis empiris membuat metode ilmiah mengembangkan ilmu pengetahuan
yang semakian lama semakin maju. Bukti dari kemajuan ilmu adalah banyaknya teori baru yang
semakin canggihnya teknologi. Akan tetapi semakin berkembangnya ilmu alam dan ilmu sosial
serta ilmu-ilmu lainnya, tidak jarang melahirkan spesialisasi yang berlebihan. Sebagai missal,
Biologi berkepentingan untuk meneliti manusia sebagai suatu organisma, bukan sebagai
makhluk yang berbudaya, begitu pula ilmu Ekonomi berkepentingan dengan peningkatan
kesejehateraan manusia, bukan pada peran manusia sebagai makhluk yang memiliki perasaan
keagamaan. Dengan keterbatasan seperti itu membuat ilmu pengetahuan tidak dapat merangkum
seluruh pengalaman, pengetahuan, cita-cita , keindahan dan kasih sayang yang terdapat dapat diri
manusia. Hal ini menjelaskan bahwa tidak semua urusan manusia dapat dipecahkan melalui
pendekatan ilmiah, melainkan harus dibantu oleh filsafat dan agama yang dapat menjangkau
kebenaran pada wilayah yang logis dan supra logis.23[23]
Pendekatan kebenaran ilmiah melalaui penelitian ilmiah dan dibangu atas teori tertentu.
Teori itu berkembang melalui penelitian ilmiah, yaitu penelitian yang sistematik dan terkontrol
berdasarkan atas data empiris. Teori itu dapat dites ( diuji) dalam hal keajegan dan kemantapan
internalnya. Artinya jika jika penelitian ulang orang lain menurut langkah-langkah sama akan
yang serupa pada kondisi yang sama akan memperoleh hasil yang ajeg ( consisten) atau koheren
dengan sebelumnya. Pendekatan ilmiah ini menurut Sumardi Suryabrata, akan menghasilkan
kesimpulan yang serupa bagi hampir setiap orang, karena pendekatan yang digunakan tidak
diwarnai oleh keyakinan pribadi, bias, dan perasaan, penyimpulan bersifat objektif bukan
subyektif. Atau kebenaran ilmiah terbuka untuk diuji oleh siapapun yang menghendaki untuk
mengujinya.24[24]
Pendekatan pada kebenaran dalam ilmu alam adalah pendekatan terhadap sesuatu di luar
pengenal, oleh karena itu memungkinkan dicapainya “keadaan yang sebenarnya” dari objek
pengetahuan walaupun tetap memungkinkan adanya pengaruh dari pengenal. Objektivitas dalam
ilmu-ilmu sosial sulit dicapai karena adanya hubungan timbal balik yang terus-menerus antara
subjek pengenal dan objek yang dikenal.
Kebenaran ilmiah pada akhirnya tidak bisa dibuat dalam suatu standard yang berlaku bagi
semua jenis ilmu secara paksa, hal ini terjadi karena adanya banyak jenis dalam pengetahuan.
Walaupun ilmu bervariasi disebabkan karena beragamnya objek dan metode, namun ia secara
umum bertujuan mencapai kebenaran yang objektif, dihasilkan melalui konsensus. Kebenaran
ilmu yang demikian tetap mempunyai sifat probabel, tentatif, evolutif, bahkan relatif, dan tidak
pernah mencapai kesempurnaan, hal ini terjadi karena ilmu diusahakan oleh manusia dan
komunitas sosialnya yang selalu berkembang kemampuan akal budinya.

BAB III
PENUTUP

Berdasarkan uraian bahasan “Makalah Metode Ilmiah dan kebenaran Ilmiah” dapat disimpulkan
bahwa :

1. Metode Ilmiah merupakan suatu cara sistematis yang digunakan oleh para ilmuwan untuk
memecahkan masalah yang dihadapi.Metode ini menggunakan langkah-langkah yang sistematis,
teratur dan terkontrol. Supaya suatu metode yang digunakan dalam penelitian disebut metode
ilmiahesuai dengan tujuan dan fungsinya
Penelitian yang dilakukan dengan metode ilmiah disebut penelitian ilmiah. Suatu penelitian
harus memenuhi beberapa karakteristik untuk dapat dikatakan sebagai penelitian ilmiah

2. Sedangkan kebenaran Ilmiah adalah kebenaran yang bersifat mutlak dengan pembuktian dengan
melalui beberapa tahapan atau proses menuju pencapaian kebenaran tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Abbas, H.M. 1997 “Kebenaran Ilmiah” dalam: Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu
Pengetahuan, Intan Pariwara, Yogyakarta,
Al-Thoumy Al-Syaibany, Omar Mohammad,1979, Prof.Dr., Falsafah Pendidikan Islam, Jakarta, Bulan
Bintang, cet-1.
Arikunto, Suharsini, Prof.Dr.,2006, Prosedur Penelitian Suatu pendekatan Praktik, Jakarta, Rineka Cipta.
Bertrand Russel, 2007, Sejarah Filsafat Barat, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, cet-3.
Keraf ,Sonny dan Mikhael Dua,2002, Ilmu Pengetahuan: Sebuah Tinjauan Epistemologis, Kanisiusn Jakarta
Miarso, Yusuf Hadi, Prof. Dr.,2004, Menyemai Benih Pendidikan, Jakarta, Pustekom Diknas.
Mulyana, Rohmat , Dr., 2004, Mengartikulasikan Pendidikan Nilai, Bandung, Alfabeta, cet-2
Sudarto, Drs. M.Hum, 2002, Metodologi Penelitian Filsafat, Jakarta, Raja Grafindo Persada, Cet. 3.
Sukmadinata, Nana Syaodih, Prof. Dr., Metode Penelitian Pendidikan, Bandung, Remaja
Rosdakarya dan Pasca Sarjana UPI.
Suriasumantri, Jujun.S.,2010, Filsafat Ilmu sebuah pengantar Populer, Jakarta, Pustaka Sinar
Harapan, cet.22.
Suryabrata, Sumardi, Drs.BA,MA,Ed.S.,Ph.D, 2010, Metodologi Penelitian, Raja Grafindo
Persada.
Tafsir, Ahmad, Prof. Dr, 2009, Filasafat Ilmu, Bandung, Remaja Rosdakarya
Tafsir , Ahmad, Dr., 1995, Epistemologi untuk ilmu pendidikan Islam, Bandung, Fakultas
Tarbiyah IAIN Sunan Gunung Djati.
Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia
Pasca Sarjana UIN SGD Bandung, 2010, Pedoman Penulisan Tesis dan Disertasi
Wahyudi, Imam, 2004, Refleksi Tentang Kebenaran Ilmu dalam Jurnal Filsafat, Desember, Jilid
38, Nomor 3,
www. Filsafat-Ilmu. Blogspot. Com.
www. Forumkami.com
Disusun oleh
Fasmawi Saban Sihabudin

PRODI ILMU HUKUM


FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2012

BAB 1
PENDAHULUAN
Kata “kebenaran” dapat digunakan sebagai suatu kata benda yang nyata benar-benar
ada maupun tidak terwujud. Jika subyek hendak mengatakan kebenaran artinya adalah
proporsi/perbandingan yang benar. Apabila subyek menyatakan kebenaran bahwa
proporsi/perbandingan yang diuji itu pasti memiliki kualitas, sifat, karakteristik, hubungan, dan
nilai. Hal yang demikian itu karena kebenaran tidak begitu saja terlepas dari kualitas, sifat,
hubungan, dan nilai itu sendiri, Secara umum orang merasa bahwa tujuan pengetahuan adalah
untuk mencapai kebenaran. Namun masalahnya tidak sampai di situ saja, masalah kebenaran
inilah yang memacu tumbuh dan berkembangnya epistimologi/cabang-cabang dari filsafat yang
menyelidiki sumber-sumber serta kebenaran pengetahuan telaah epistimologi terhadap
“kebenaran” membawa orang kepada kesimpulan bahwa peril dibedakan adanya tiga jenis
kebenaran. Yaitu kebenaran epistimologis, ontologis dan semantis.
Dalam makalah ini akan dibahas lebih lanjut tentang teori-teori kebenaran. Sebagai
manusia, sepatutnya kita mengerti tentang teori-teori kebenaran dengan tujuan memperkaya
pengetahuan serta wawasan kita tentang kebenaran itu sendiri..
BAB II
PEMBAHASAN

1. Teori Kebenaran Ilmiah


Kebenaran ilmiah berbeda dengan kebenaran non-ilmiah. Kattsoff berpendapat, kebenaran sama
dengan proporsi/proposition. Ini lebih tertuju pada makna atau simantik ketimbang pernyataan
atau sintaksis. Orang bisa saja membuat pernyataan dengan memakai susunan kalimat yang
tepat, namun belum tentu hal itu bermakna.
A. Kebenaran Proporsi
Proporsi adalah pernyataan tentang hubungan yang terdapat diantara dua istilah. Ada tiga hal
pokok dalam suatu proporsi, yaitu subyek, predikat, dan tanda (kopula). Contoh : “Setiap
manusia adalah tidak kekal”. Setiap manusia (subyek), dan tidak kekal (predikat), sedangkan
kata adalah merupakan “kopula”. Statemen tersebut dilihat dari struktur kalimatnya adalah
sempurna, serta makna yang dimilikinya pun sungguh-sungguh benar. Dengan demikian ia dapat
dikatakan sebagai sebuah proporsi.Suatu proposisi mengandung suatu makna, jika proposisi itu
membuat perubahan.contoh:Kita tersesat di hutan, setelh sejenak mempertimbangkanya, kita
berkata paada diri kita sendiri,”Jalan keluarnya ialah ke kiri”Proposisi ini mengandung makna
bagi kita, jika kita kemudian berjalan ke kiri. Dengan kata lain, kita menghadapi masalah untuk
keluar dari hutan dan kita telah mengucapkan suatu proposisi yang merupakan hipotesa
mengenai cara untuk keluar dari hutan.
Beberapa jenis proporsi :
1) Berdasarkan bentuk : tunggal dan jamak
a. Proporsi tunggal ialah suatu statemen yang hanya mengandung satu pernyataan.
b. Proporsi jamak ialah statemen yang mengandung lebih dari satu pernyataan.
2) Berdasarkan hubungan : kategori dan kondisional
a. Untuk proporsi kategoris, hubungan antara subyek dengan predikat adalah tanpa adanya syarat.
Contoh :
• Semua manusia adalah bisa bijaksana (afirmatif)
• Semua manusia adalah bukan laki-laki (negasi)
b. Proporsi kondisional, hubungan antara subyek dengan predikat berdasar syarat tertentu, contoh: “
Jika rajin belajar maka akan pandai”.
3) Berdasarkan kualitas : afirmatif dan negatif
a. Untuk jenis afirmatif ini, yaitu proporsi yang kopulanya membenarkan (afirmatif) adnya
persesuaian hubungan subyek dengan predikat, contoh : “Semua manusia adalah berkaki”.
b. Untuk jenis negative, fungsi kopula pada proporsi ini menyatakan bahwa antara subyek dan
predikat tidak ada hubungannya sama sekali (negatif). Contoh : “Setiap laki-laki tidak
melahirkan”.
4) Berdasarkan kuantitas : Umum dan khusus
a. Jenis proporsi yang Umum ditandai dengan bentuk predikatnya yang membenarkan atau
mengingkari seluruh subyek, seperti : “Semua manusia adalah berkaki dua”.
b. Kemudian proporsi jenis khusus adalah apabila subyeknya menunjukkan sebagian, contoh :
“Sebagian manusia dalah berjenis perempuan”.
5) Berdasarkan modalitas :
a. Proporsi necessary : Proporsi yang secara universal memandang hubungan kualitas benar-nya
antara subyek dengan predikat ada dan sudah dengan sendirinya.
b. Proporsi assertory : jika hubungan antara subyek dengan predikat berdasar pada pengalaman, dan
menurut pengalaman itu sendiri benar.
c. Proporsi Problematik : apabila hubungan antara subyek dan predikat merupakan kemungkinan,
sehingga ia benar ataupun tidak benar atas syarat-syarat tertentu.
d. Berdasarkan isi : verbal dan riil
a. Proporsi verbal ialah suatu proporsi yang hubungan suatu predikat terhadap subyeknya
merupakan genus.
b. Proporsi riil ialah yang predikatnya menyatakan keterangan tambahan atau memberikan
keterangan tambahan.

B. Kebenaran Pragmatis
Sesuatu (pernyataan) dianggap benar apabila memiliki kegunaan/manfaat praktis dan bersifat
fungsional dalam kehidupan sehari-hari. Contohnya,Fahmi mau menjawab pertanyaan dari ibu
dosen karena diberi bonus poin.. Fahmi bersifat pragmatis, artinya mau menjawab soal dari ibu
dosen karena ada manfaat bagi dirinya, yaitu mendapat bonus poin.Pragmatisme juga
mengajarkan bahw kebenaran tidaklah sekedar berfungsi atau berguna, tetapi juga harus
mempunyai kegunaan kongkrit.
C. Kebenaran Korespondensi
Sesuatu (pernyataan) dianggap benar apabila materi pengetahuan yang terkandung didalamnya
berhubungan atau memiliki korespondensi dengan obyek yang dituju oleh pernyataan tersebut.
Teori koresponden menggunakan logika induktif, artinya metode yang digunakan dalam berpikir
dengan bertolak dari hal-hal khusus ke umum. Dengan kata lain kesimpulan akhir ditarik karena
ada fakta-fakta mendukung yang telah diteliti dan dianalisa sebelumnya. Contohnya, Jurusan
teknik elektro, teknik mesin, dan teknik sipil Undip ada di Semarang. Jadi Fakultas Teknik
Undip ada di Semarang.
D. Kebenaran Koherensi
Sesuatu (pernyataan) dianggap benar apabila konsisten dan memiliki koherensi dengan
pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Teori koheren menggunakan logika deduktif,
artinya metode yang digunakan dalam berpikir dengan bertolak dari hal-hal umum ke khusus.
Contohnya, seluruh mahasiswa UIN harus mengikuti kegiatan Ospek. Fahmi adalah mahasiswa
UIN, jadi harus mengikuti kegiatan Ospek.

E. Kebenaran Performatif
Bagi Lacey A. R, sebagaimana dikutip Ali Mudhofir, menjelaskan bahwa teori kebenaran
performatif (performative theory of truth) menekankan pada kata benar. Maksud dari kata itu
ialah jika suatu ungkapan dipandang benar jika dapat diwujudkan dalam bentuk tindakan konkrit.
Sebaliknya akan menjadi tidak bermakna bila tidak bisa terwujud dalam tampilan senyatanya.
Seperti seorang yang mengatakan “Saya bisa membaca Al Qur’an”. Ketika disodorkan mushaf
ataupun juz ‘amma kepadanya untuk dibaca, dan ternyata ia bisa maka pernyataannya benar.
Akan tetapi itu menjadi tidak bermakna apabila yang terjadi sebaliknya, yaitu ia tidak bisa
membacanya.
KESIMPULAN

Kebenaran ilmiah merupakan pernyataan dan makna sejalur atau sesuai dengan akal. Orang bisa
saja membuat pernyataan dengan memakai susunan kalimat yang tepat, namun belum tentu hal
itu bermakna. Sebenarnya teori kebenaran ilmiah itu ada delapan, namun dalam makalah ini
hanya dipaparkan lima teori yaitu:
1. Kebenaran Proporsi
2. Kebenaran Koherensi
3. Kebenaran Korespondensi
4. Kebenaran Performatif
5. Kebenaran Pragmatis
Masing-masing teori yang sudah dijelaskan di atas memiliki sudut pandang yang berbeda, seuatu
ilmu dapat dikatakan benar bila memenuhi syarat-syarat yang ada pada teori-teori tersebut,
sesuai dengan teori yang kita pilih dari beberapa teori yang sudah di jelaskan di atas.

DAFTAR PUSTAKA
Prof.DR. Ahmad Tafsir,Filsafat Umum, Remaja Rodaskara, Bandung,2009
Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Liberty Yogyakarta,
2003.
Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2005.
Louia O. Kattsoff,Pengantar Filsafat.Tiara Wacana Yogyakarta,2004
Feel Like Shil Dejavu, Kebenaran Ilmiah, http///.www.Blog at Wrodpress.com, akses 30 Maret
2011
TEORI-TEORI KEBENARAN FILSAFAT
BAB I

RINGKASAN MATERI

Kebenaran adalah satu nilai utama di dalam kehidupan human. Sebagai nilai-nilai yang
menjadi fungsi rohani manusia. Artinya sifat manusiawi atau martabat kemanusiaan (human
dignity) selalu berusaha “memeluk” suatu kebenaran.

A. Pengertian Kebenaran dan Tingkatannya

Berdasarkan scope potensi subjek, maka susunan tingkatan kebenaran itu menjadi :

1. Tingkatan kebenaran indera adalah tingakatan yang paling sederhanan dan pertama yang
dialami manusia

2. Tingkatan ilmiah, pengalaman-pengalaman yang didasarkan disamping melalui indara,


diolah pula dengan rasio

3. Tingkat filosofis,rasio dan pikir murni, renungan yang mendalam mengolah kebenaran itu
semakin tinggi nilainya

4. Tingkatan religius, kebenaran mutlak yang bersumber dari Tuhan yang Maha Esa dan
dihayati oleh kepribadian dengan integritas dengan iman dan kepercayaan

Manusia selalu mencari kebenaran, jika manusia mengerti dan memahami kebenaran, sifat
asasinya terdorong pula untuk melaksankan kebenaran itu. Sebaliknya pengetahuan dan
pemahaman tentang kebenran, tanpa melaksankan konflik kebenaran, manusia akan
mengalami pertentangan batin, konflik spilogis. Karena di dalam kehidupan manusia sesuatu
yang dilakukan harus diiringi akan kebenaran dalam jalan hidup yang dijalaninya dan
manusia juga tidak akan bosan untuk mencari kenyataan dalam hidupnya yang dimana selalu
ditunjukkan oleh kebanaran.

B. Teori-Teori Kebenaran Menurut Filsafat


1. Teori Corespondence  menerangkan bahwa kebenaran atau sesuatu kedaan benar itu terbukti
benar bila ada kesesuaian antara arti yang dimaksud suatu pernyataan atau pendapat
dengan objek yang dituju/ dimaksud oleh pernyataan atau pendapat tersebut.

2. Teori Consistency  Teori ini merupakan suatu usah apengujian (test) atas arti kebenaran.
Hasil test dan eksperimen dianggap relible jika kesan-kesanyang berturut-turut dari satu
penyelidik bersifat konsisten dengan hasil test eksperimen yang dilakukan penyelidik lain
dalam waktu dan tempat yang lain.

3. Teori Pragmatisme  Paragmatisme menguji kebenaran dalam praktek yang dikenal apra
pendidik sebagai metode project atau medoe problem olving dai dalam pengajaran.
Mereka akan benar-benar hanya jika mereka berguna mampu memecahkan problem yang
ada. Artinya sesuatu itu benar, jika mengmbalikan pribadi manusia di
dalamkeseimbangan dalam keadaan tanpa persoalan dan kesulitan. Sebab tujuan utama
pragmatisme ialah supaya manusia selalu ada di dalam keseimbangan, untuk ini manusia
harus mampu melakukan penyesuaian dengan tuntutan-tuntutan lingkungan.

4. Kebenaran Religius  Kebenaran tak cukup hanya diukur dnenga rasion dan kemauan
individu. Kebenaran bersifat objective, universal,berlaku bagi seluruh umat manusia,
karena kebenaran ini secara antalogis dan oxiologis bersumber dari Tuhan yang
disampaikan melalui wahyu.

BAB II

PEMBAHASAN

Pendidikan pada umumnya dan ilmu pengetahuan pada khususnya mengemban tugas utama
untuk menemukan, pengembangan, menjelaskan, menyampaikan nilai-nilai kebenaran. Semua
orang yang berhasrat untuk mencintai kebenaran, bertindak sesuai dengan kebenaran. Kebenaran
adalah satu nilai utama di dalam kehidupan human. Sebagai nilai-nilai yang menjadi fungsi
rohani manusia. Artinya sifat manusiawi atau martabat kemanusiaan (human dignity) selalu
berusaha “memeluk” suatu kebenaran.
Kebenaran sebagai ruang lingkup dan obyek pikir manusia sudah lama menjadi penyelidikan
manusia. Manusia sepanjang sejarah kebudayaannya menyelidiki secara terus menerus apakah
hakekat kebenaran itu?

Jika manusia mengerti dan memahami kebenaran, sifat asasinya terdorong pula untuk
melaksanakan kebenaran itu. Sebaliknya pengetahuan dan pemahaman tentang kebenaran, tanpa
melaksanakan kebenaran tersebut manusia akan mengalami pertentangan batin, konflik
spikologis. Menurut para ahli filsafat itu bertingkat-tingkat bahkan tingkat-tingkat tersebut
bersifat hirarkhis. Kebenaran yang satu di bawah kebenaran yang lain tingkatan kualitasnya ada
kebenaran relatif, ada kebenaran mutlak (absolut). Ada kebenaran alami dan ada pula kebenaran
illahi, ada kebenaran khusus individual, ada pula kebenaran umum universal.

A. Pengertian Kebenaran dan Tingkatannya

Dalam kehidupan manusia, kebenaran adalah fungsi rohaniah. Manusia di dalam kepribadian dan
kesadarannya tak mungkin tnapa kebanran.

Berdasarkan scope potensi subjek, maka susunan tingkatan kebenaran itu menjadi :

5. Tingkatan kebenaran indera adalah tingakatan yang paling sederhanan dan pertama yang
dialami manusia

6. Tingkatan ilmiah, pengalaman-pengalaman yang didasarkan disamping melalui indara,


diolah pula dengan rasio

7. Tingkat filosofis,rasio dan pikir murni, renungan yang mendalam mengolah kebenaran itu
semakin tinggi nilainya

8. Tingkatan religius, kebenaran mutlak yang bersumber dari Tuhan yang Maha Esa dan
dihayati oleh kepribadian dengan integritas dengan iman dan kepercayaan

Keempat tingkat kebenarna ini berbeda-beda wujud, sifat dan kualitasnya bahkan juga proses
dan cara terjadinya, disamping potensi subyek yang menyadarinya. Potensi subyek yang
dimaksud disini ialah aspek kepribadian yang menangkap kebenarna itu. Misalnya pada
tingkat kebenaran indera, potensi subyek yang menangkapnya ialah panca indra.

Kebenaran itu ialah fungsi kejiwaan, fungsi rohaniah. Manusia selalu mencari kebanran itu,
membina dan menyempurnakannya sejalan dengan kematangan kepribadiannya.

Ukuran Kebenarannya :

- Berfikir merupakan suatu aktifitas manusia untuk menemukan kebenaran

- Apa yang disebut benar oleh seseorang belum tentu benar bagi orang lain

- Oleh karena itu diperlukan suatu ukuran atau kriteria kebenaran

Jenis-jenis Kebenaran :

1. Kebenaran Epistemologi (berkaitan dengan pengetahuan)

2. Kebenaran ontologis (berkaitan dengan sesuatu yang ada/ diadakan)

3. Kebenaran semantis (berkaitan dengan bahasa dan tutur kata)

Manusia selalu mencari kebenaran, jika manusia mengerti dan memahami kebenaran, sifat
asasinya terdorong pula untuk melaksankan kebenaran itu. Sebaliknya pengetahuan dan
pemahaman tentang kebenran, tanpa melaksankan konflik kebenaran, manusia akan
mengalami pertentangan batin, konflik spilogis. Karena di dalam kehidupan manusia sesuatu
yang dilakukan harus diiringi akan kebenaran dalam jalan hidup yang dijalaninya dan
manusia juga tidak akan bosan untuk mencari kenyataan dalam hidupnya yang dimana selalu
ditunjukkan oleh kebanaran.

Kebenaran agama yang ditangkap dengan seluruh kepribadian, terutama oleh budi nurani
merupakan puncak kesadaran manusia. Hal ini bukan saja karena sumber kebnarna itu bersal
dari Tuhan Yang Maha Esa supernatural melainkan juga karena yang menerima kebenaran
ini adalah satu subyek dengna integritas kepribadian. Nilai kebenaran agama menduduki
status tertinggi karena wujud kebenaran ini ditangkap oleh integritas kepribadian. Seluruh
tingkat pengalaman, yakni pengalaman ilmiah, dan pengalaman filosofis terhimpun pada
puncak kesadaran religius yang dimana di dalam kebenaran ini mengandung tujuan hidup
manusia dan sangat berarti untuk dijalankan oleh manusia.

B. Teori-Teori Kebenaran Menurut Filsafat

1. Teori Corespondence

Masalah kebenaran menurut teori ini hanyalah perbandingan antara realita oyek (informasi,
fakta, peristiwa, pendapat) dengan apa yang ditangkap oleh subjek (ide, kesan). Jika ide
atau kesan yang dihayati subjek (pribadi) sesuai dengan kenyataan, realita, objek, maka
sesuatu itu benar.

Teori korispodensi (corespondence theory of truth)  menerangkan bahwa kebenaran atau


sesuatu kedaan benar itu terbukti benar bila ada kesesuaian antara arti yang dimaksud
suatu pernyataan atau pendapat dengan objek yang dituju/ dimaksud oleh pernyataan atau
pendapat tersebut.

Kebenaran adalah kesesuaian pernyataan dengan fakta, yang berselaran dengan realitas yang
serasi dengan sitasi aktual. Dengan demikian ada lima unsur yang perlu yaitu :

1. Statemaent (pernyataan)

2. Persesuaian (agreemant)

3. Situasi (situation)

4. Kenyataan (realitas)

5. Putusan (judgements)

Kebenaran adalah fidelity to objektive reality (kesesuaian pikiran dengan kenyataan).


Teori ini dianut oleh aliran realis. Pelopornya plato, aristotels dan moore dikembangkan
lebih lanjut oleh Ibnu Sina, Thomas Aquinas di abad skolatik, serta oleh Berrand Russel
pada abad moderen.
Cara berfikir ilmiah yaitu logika induktif menggunakan teori korespodensi ini. Teori
kebenaran menuru corespondensi ini sudah ada di dalam masyarakat sehingga pendidikan
moral bagi anak-anak ialah pemahaman atas pengertian-pengertian moral yang telah
merupakan kebenaran itu. Apa yang diajarkan oleh nilai-nilai moral ini harus diartikan
sebagai dasar bagi tindakan-tindakan anak di dalam tingkah lakunya.

Artinya anak harus mewujudkan di dalam kenyataan hidup, sesuai dengan nilai-nilai
moral itu. Bahkan anak harus mampu mengerti hubungan antara peristiwa-peristiwa di
dalam kenyataan dengan nilai-nilai moral itu dan menilai adakah kesesuaian atau tidak
sehingga kebenaran berwujud sebagai nilai standard atau asas normatif bagi tingkah laku.
Apa yang ada di dalam subyek (ide, kesan) termasuk tingkah laku harus dicocokkan
dengan apa yang ada di luar subyek (realita, obyek, nilai-nilai) bila sesuai maka itu benar.

2. Teori Consistency

Teori ini merupakan suatu usah apengujian (test) atas arti kebenaran. Hasil test dan
eksperimen dianggap relible jika kesan-kesanyang berturut-turut dari satu penyelidik
bersifat konsisten dengan hasil test eksperimen yang dilakukan penyelidik lain dalam
waktu dan tempat yang lain.

Menurut teori consistency untuk menetapkan suatu kebenarna bukanlah didasarkan atas
hubungan subyek dengan realitas obyek. Sebab apabila didasarkan atas hubungan subyek
(ide, kesannya dan comprehensionnya) dengan obyek, pastilah ada subyektivitasnya.
Oleh karena itu pemahaman subyek yang satu tentang sesuatu realitas akan mungkin
sekali berbeda dengan apa yang ada di dalam pemahaman subyek lain.

Teori ini dipandang sebagai teori ilmiah yaitu sebagai usaha yang sering dilakukan di
dalam penelitian pendidikan khsusunya di dalam bidang pengukuran pendidikan.

Teori konsisten ini tidaklah bertentangan dengan teori korespondensi. Kedua teori ini
lebih bersifat melengkapi. Teori konsistensi adalah pendalaman dankelanjutan yang teliti
dan teori korespondensi. Teori korespondensi merupakan pernyataan dari arti kebenaran.
Sedah teori konsistensi merupakan usaha pengujian (test) atas arti kebenaran tadi.
Teori koherensi (the coherence theory of trut) menganggap suatu pernyataan benar bila di
dalamnya tidak ada perntentangan, bersifat koheren dan konsisten dengna pernyataan
sebelumnya yang telah dianggap benar. Dengan demikian suatu pernyataan dianggap
benar, jika pernyataan itu dilaksanakan atas pertimbangan yang konsisten dan
pertimbangan lain yang telah diterima kebenarannya.

Rumusan kebenaran adalah turth is a sistematis coherence dan trut is consistency. Jika A
= B dan B = C maka A = C

Logika matematik yang deduktif memakai teori kebenaran koherensi ini. Logika ini
menjelaskan bahwa kesimpulan akan benar, jika premis-premis yang digunakan juga
benar. Teori ini digunakan oleh aliran metafisikus rasional dan idealis.

Teori ini sudah ada sejak Pra Socrates, kemudian dikembangan oleh Benedictus Spinoza
dan George Hegel. Suatu teori dianggapbenar apabila telah dibuktikan (klasifikasi) benar
dan tahan uji. Kalau teori ini bertentangan dengan data terbaru yagn benar atau dengan
teori lama yang benar, maka teori itu akan gugur atau batal dengan sendirinya.

3. Teori Pragmatisme

Paragmatisme menguji kebenaran dalam praktek yang dikenal apra pendidik sebagai metode
project atau medoe problem olving dai dalam pengajaran. Mereka akan benar-benar
hanya jika mereka berguna mampu memecahkan problem yang ada. Artinya sesuatu itu
benar, jika mengmbalikan pribadi manusia di dalamkeseimbangan dalam keadaan tanpa
persoalan dan kesulitan. Sebab tujuan utama pragmatisme ialah supaya manusia selalu
ada di dalam keseimbangan, untuk ini manusia harus mampu melakukan penyesuaian
dengan tuntutan-tuntutan lingkungan.

Dalam dunia pendidikan, suatu teori akan benar jika ia membuat segala sesutu menjadi lebih
jelas dan mampu mengembalikan kontinuitas pengajaran, jika tidak, teori ini salah.

Jika teori itu praktis, mampu memecahkan problem secara tepat barulah teori itu benar. Yang
dapat secara efektif memecahkan masalah itulah teori yang benar (kebenaran).
Teori pragmatisme (the pragmatic theory of truth) menganggap suatu pernyataan, teori atau dalil
itu memliki kebanran bila memiliki kegunaan dan manfaat bagi kehidupan manusia.

Kaum pragmatis menggunakan kriteria kebenarannya dengan kegunaan (utility) dapat dikerjakan
(workobility) dan akibat yagn memuaskan (satisfaktor consequence). Oleh karena itu
tidak ada kebenaran yang mutak/ tetap, kebenarannya tergantung pada manfaat dan
akibatnya.

Akibat/ hasil yang memuaskan bagi kaum pragmatis adalah :

1. Sesuai dengan keinginan dan tujuan

2. Sesuai dengan teruji dengan suatu eksperimen

3. Ikut membantu dan mendorong perjuangan untuk tetap eksis (ada)

Teori ini merupakan sumbangan paling nyata dari pada filsup Amerika tokohnya
adalha Charles S. Pierce (1914-1939) dan diikuti oleh Wiliam James dan John Dewey
(1852-1859).

Wiliam James misalnya menekankan bahwa suatu ide itu benar terletak pada
konsikuensi, pada hasil tindakan yang dilakukan. Bagi Dewey konsikasi tidaklah terletak
di dalam ide itu sendiri, malainkan dalam hubungan ide dengan konsekuensinya setelah
dilakukan. Teory Dewey bukanlah mengerti obyek secara langsung (teori korepondensi)
atau cara tak langsung melalui kesan-kesan dari pada realita (teori konsistensi).
Melainkan mengerti segala sesuai melalui praktek di dalam program solving.

4. Kebenaran Religius

Kebenaran adalah kesan subjek tentang suatu realita, dan perbandingan antara kesan dengan
realita objek. Jika keduanya ada persesuaian, persamaan maka itu benar.
Kebenaran tak cukup hanya diukur dnenga rasion dan kemauan individu. Kebenaran bersifat
objective, universal,berlaku bagi seluruh umat manusia, karena kebenaran ini secara
antalogis dan oxiologis bersumber dari Tuhan yang disampaikan melalui wahyu.

Nilai kebenaran mutlak yang bersumber dari Tuhan itu adalah objektif namun bersifat
superrasional dan superindividual. Bahkan bagi kaum religius kebenarn aillahi ini adalah
kebenarna tertinggi, dimnaa semua kebanaran (kebenaran inderan, kebenaran ilmiah,
kebenaran filosofis) taraf dan nilainya berada di bawah kebanaran ini :

Agama sebagai teori kebenaran

Ketiga teori kebenaran sebelumnya menggunakan alat, budi,fakta, realitas dan kegunaan sebagai
landasannya. Dalam teori kebanran agama digunakan wahyu yang bersumber dari Tuhan.
Sebagai makluk pencari kebeanran, manusia dan mencari dan menemukan kebenaran
melalui agama. Dengan demikian, sesuatu dianggap benar bila sesuai dan koheren
dengan ajaran agama atau wahyu sebagai penentu kebenaran mutlak.agama dengan kitab
suci dan haditsnya dapat memberikan jawaban atas segala persoalan manusia, termasuk
kebenaran.

BAB III

KESIMPULAN

Bahwa kebanran itu sangat ditentukan oleh potensi subyek kemudian pula tingkatan validitas.
Kebanran ditentukan oleh potensi subyek yang berperanan di dalam penghayatan atas sesuatu
itu.

Bahwa kebenaran itu adalah perwujudan dari pemahaman (comprehension) subjek tentang
sesuatu terutama yang bersumber dari sesuatu yang diluar subyek itu realita, perisitwa, nilai-nilai
(norma dan hukum) yang bersifat umum.

Bahwa kebenaran itu ada yang relatif terbatas, ada pula yang umum. Bahkan ada pula yang
mutlak, abadi dan universal. Wujud kebenaran itu ada yang berupa penghayatan lahiriah,
jasmaniah, indera, ada yang berupa ide-ide yang merupkan pemahaman potensi subjek (mental,r
asio, intelektual).

Bahwa substansi kebenaran adalah di dalam antaraksi kepribadian manusia dengan alam
semesta. Tingkat wujud kebenaran ditentukan oleh potensi subjek yang menjangkaunya.

Semua teori kebanrna itu ada dan dipraktekkan manusia di dalam kehidupan nyata. Yang mana
masing-masing mempunyai nilai di dalam kehidupan manusia.

BAB IV

DAFTAR BACAAN

Syam, Muhammad Noor. 1988. Filsafat Kependidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila.
Surabaya: Usaha Nasional

Bertens, K. 1976. Ringkasan Sejarah Filsafat. Jakarta: Yayasan Krisius

Sumantri Surya. 1994. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan

Anda mungkin juga menyukai