Anda di halaman 1dari 140

Pembiayaan Anggaran:

Bukan Sekadar Defisit & Utang

Direktorat Penyusunan APBN


Direktorat Jenderal Anggaran
Kementerian Keuangan

Pembiayaan
Anggaran
Bukan Sekadar Defisit dan Utang

1
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

BGUFGUYFYUYDYTUDYT-
DTYFTFYUFYFG

2
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

Pembiayaan
Anggaran
Bukan Sekadar Defisit dan Utang

Direktorat Penyusunan APBN


Direktorat Jenderal Anggaran
Kementerian Keuangan

3
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit dan Utang
ISBN: 978-602-17675-7-3

Hak Cipta @ 2017


Direktorat Penyusunan APBN
Direktorat Jenderal Anggaran

BGUFGUYFYUYDYTUDYT-
DTYFTFYUFYFG
Pengarah
Direktur Penyusunan APBN
Kunta W.D. Nugraha
Koordinator Penulisan
Dyah Kusumawati
Editor
Achmad Zunaidi
Penulis
Achmad Zunaidi
Agung Hidayat Purwanto
Erlan Cartiman
Aksa Nugraha
Triana Lestari
Yudhanto Eko Putro
Ar Rizqiyatul Barokah
Asrukhil Imro
Adam Marchino
Yudhanto

Direktorat Penyusunan APBN


Direktorat Jenderal Anggaran
Jalan Dr Wahidin Raya No 1
Gedung Sutikno Slamet Lantai 13

4 Hak Cipta dilindungi undang-undang


Boleh mengutip, memperbanyak, atau menyebarkan sebagian atau
seluruh isi buku tanpa izin demi kemaslahatan masyarakat
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

Kata
Pengantar
Diskusi atau pembahasan mengenai Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN) dapat diteropong dari berbagai
sisi, baik dari sudut pandang proses maupun substansi
materinya. Sebelumnya, Direktorat Jenderal Anggaran,
Kementerian Keuangan, telah mempublikasikan beberapa
buku mengenai APBN dan bagaimana penyusunannya yaitu,
Pokok-Pokok Siklus APBN di Indonesia; Dasar-Dasar Praktek
Penyusunan APBN di Indonesia; Postur APBN Indonesia; dan
Pokok-pokok Proses Penyusunan Anggaran Belanja Kementerian
Negara/Lembaga.

Saat ini, melalui kehadiran buku Pembiayaan Anggaran: Bukan


Sekadar Defisit dan Utang, APBN dibedah lagi melalui sudut
pandang pembiayaan anggaran sebagai salah satu
komponennya. Buku ini menyajikan gambaran obyektif
mengenai praktik penyusunan APBN, khususnya pada
komponen pembiayaan anggaran. Tujuannya, sebagai
pembelajaran bagi internal Kementerian Keuangan di satu sisi
dan sebagai informasi pengelolaan keuangan negara secara
umum bagi masyarakat luas. Masyarakat akan mendapat
informasi mengenai bagaimana mekanisme penyusunan
pembiayaan anggaran beserta kendala atau tantangannya.

Jakarta, Desember 2017

Direktur Jenderal Anggaran


Askolani

5
i
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

Tentang
Buku
Keinginan untuk mewujudkan suatu buku yang menjelaskan pembiayaan
anggaran dalam konteks penyusunan APBN secara tuntas akhirnya terwujud.
Makna tuntas di sini berarti, isi buku dapat menjelaskan pengalokasian
anggaran pada berbagai instrumen pembiayaan anggaran beserta tantangan
dan kendalanya. Harapannya, buku Pembiayaan Anggaran: Bukan Sekadar
Defisit dan Utang dapat memberikan gambaran utuh kedudukannya dalam
postur APBN.
Pada awalnya, proses penyusunan buku tersebut dipersiapkan oleh para
pegawai yang membidangi pembiayaan anggaran pada Direktorat Penyusunan
APBN. Pada tahap ini, materi yang disajikan dibahas secara intensif dalam
forum diskusi kecil. Setelah penulisan, draft buku (baik per bagian atau secara
utuh) dimintakan tanggapan, komentar, dan masukan kepada para pemangku
kepentingan di lingkungan Kementerian Keuangan.
Mengingat kerja bersama dimaksud, ucapan terima kasih patut disampaikan
kepada beberapa pihak yang berperan secara langsung maupun tidak langsung
sehingga terwujud buku Pembiayaan Anggaran: Bukan Sekadar Defisit dan
Utang:

1. Direktur Penyusunan APBN yang memberikan arahan agar Ditjen Anggaran


secara institusi menyediakan informasi utuh dan sederhana, khususnya
terkait dengan postur APBN;
2. Ibu Dyah Kusumawati yang mengkoordinasikan para penulis sekaligus
me-review tulisan yang masuk;

3. Mitra Kerja Subdit Penyusunan Pembiayaan Anggaran dan Penganggaran


Risiko Fiskal (Ditjen PPRF, DJKN, DJPB) yang memberikan masukan,
tanggapan, dan komentar;
4. Tim pendukung yang memfasilitasi pertemuan dan penyediaan data terkait
selama proses penulisan buku: Dahlia, Reza Majid, Bayu Segara, Widhya
Mahendra Putra, Kandha Aditya (layout dan desain) serta Lisno Setiawan
(saran dan masukannya);
5. Pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang mendukung
kegiatan penulisan buku.

6
ii
KUPAS TUNTAS
POSTUR
Pembiayaan Anggaran:
PEMBIAYAAN
Bukan Sekadar Defisit & Utang
ANGGARAN

Tentang
Buku
Sesuai dengan judulnya, materi bahasan buku ini adalah komponen-komponen pembiayaan anggaran
sesuai dengan susunan postur APBN yang digunakan sejak tahun 2017. Komponen dimaksud terdiri dari
pembiayaan utang, pembiayaan investasi, pemberian pinjaman, kewajiban penjaminan, dan pembiayaan
lainnya. Keseluruhan buku berisi 8 bab atau bagian. Pembagian per bab atau bagian sebagai berikut.
Bab 1. Seputar Pembiayaan Anggaran, merupakan bagian yang menjadi pembuka dari keseluruhan isi buku.
Keinginan untuk mewujudkan suatu buku yang menjelaskan pembiayaan
Bagian ini menggambarkan secara umum komponen-komponen yang ada dalam postur APBN, tidak hanya
anggaran dalam konteks penyusunan APBN secara tuntas akhirnya terwujud.
pembiayaan anggaran. Tujuannya adalah untuk menunjukkan kedudukan atau posisi pembiayaan anggaran
Makna tuntas di sini berarti, isi buku dapat menjelaskan pengalokasian
serta hubungan antarkomponen tersebut.
anggaran pada berbagai instrumen pembiayaan anggaran beserta tantangan
Bab 2. Seputar Pembiayaan Utang danHarapannya,
dan kendalanya. Pembiayaanbuku Nonutang, masih Postur
Kupas Tuntas merupakan bagian Anggaran
Pembiayaan pendahuluan
untuk bahasan pada bab-bab
dapat memberikan gambaran utuh kedudukannya dalam postur APBN. pembiayaan
selanjutnya. Hanya saja, fokus bab ini membahas komponen
anggaran dari sisi transaksi
Pada keuangan/arus
awalnya, proses kas,penyusunan
yaitu utang dan bukunonutang.
tersebutKomponen
dipersiapkanpembiayaan
oleh para utang
(mencakup SBN dan pinjaman) mempunyai arus kas positif atau ada arus masuk.
pegawai yang membidangi pembiayaan anggaran pada Direktorat Penyusunan Sementara komponen
pembiayaan nonutang APBN.
ada yang mempunyai
Tahap arus kas
berikut, materi negatif
yang (pembiayaan
disajikan investasi,
dibahas secara pemberian
intensif pinjaman,
dalam forum
dan kewajiban penjaminan) dan ada yang mempunyai arus kas positif (pembiayaan lainnya).
diskusi kecil. Setelah penulisan, draft buku (baik per bagian atau secara utuh)
dimintakan tanggapan, komentar, dan masukan kepada para pemangku
Bab 3. Surat Berharga Negara (SBN), membahas bagaimana proses mencantumkan proyeksi alokasi
kepentingan di lingkungan Kementerian Keuangan.
anggarannya sebagai instumen utang yang utama. Bab ini juga menjelaskan jenis dan instrumen SBN serta
Mengingat kerja bersama dimaksud, ucapan terima kasih patut disampaikan
kendala dan tantangannya dalam penyusunan proyeksinya.
kepada beberapa pihak yang berperan secara langsung maupun tidak langsung
Bab 4. Pinjaman, membahas
sehinggaproyeksi
terwujudpinjaman
buku Kupas dalam
Posturpostur APBN. Pinjaman
Pembiayaan Anggaran:merupakan salah satu
komponen pembiayaan utang di samping SBN. Beberapa bagian dalam bab ini menyajikan jenis dan
instrumen pinjaman (pinjaman
1. Anggotadalam negeri,yang
tim penulis pinjaman tunai, dan draft
mempersiapkan pinjaman luaryaitu:
tulisan, negeri), serta hubungan
antarkomponen pembiayaan- Bab atau1dengan komponen belanja
dan Bab 7 (Achmad Zunaidi), negara.
- Bab 2 (Adam Marchiano),
Bab 5. Implementasi Pinjaman Luar Negeri dalam Belanja Kementerian Negara/Lembaga, merupakan
- Bab 3 (Triana),
bahasan mengenai bagaimana pinjaman luar negeri sebagai salah satu sumber anggaran belanja
- Bab 4 (Erlan Cartiman dan Achmad Zunaidi),
Kementerian Negara/Lembaga. Bagian ini menunjukkan implementasi pinjaman luar negeri dalam proses
- Bab 5 (Asrukhil Imro dan Yudhanto),
penyusunan anggaran belanja kementerian negara/lembaga beserta kendalanya dalam proses
- Bab 6 (Yudha),
penganggaran.
- Bab 7 (Achmad Zunaidi),
Bab 6. Pembiayaan Investasi dan
- Bab Pembiayaan
8 (Rizky Barokah);Lainnya, membahas proses proyeksi alokasi anggaran
pembiayaan investasi dan Pembiayaan Lainnya dalam postur APBN. Pembahasan dua komponen
2. Direktur Penyusunan APBN yang memberikan arahan agar Ditjen Anggaran
pembiayaan anggaran tersebut dijadikan satu mengingat, bagian bahasan pembiayaan lainnya relatif
secara institusi menyediakan informasi utuh dan sederhana, khususnya
sedikit.
terkait dengan postur APBN;
Bab 7. Pemberian Pinjaman, membahas bagaimana proyeksi pemberian pinjaman pemerintah pusat dalam
3. Ibu Dyah Kusumawati yang mengkoordinasikan para penulis sekaligus
postur APBN dan hubungannya dengan komponen lain dalam pembiayaan (pinjaman).
me-review tulisan yang masuk;
Bab 8. Kewajiban Penjaminan, berisikan pembahasan mengenai perlunya kewajiban penjaminan, proses
4. Mitra Kerja Subdit Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Fiskal (Ditjen PPRF,
proyeksi kewajiban penjaminan, skema dan mekanisme pemberian penjaminan, serta perkembangannya.
DJKN, DJPB) yang memberikan masukan, tanggapan, dan komentar;
Memperhatikan isi materi dan cara penyajian tersebut di atas, cara tepat membaca buku ini adalah
5. Timdari
membaca secara berurutan pendukung yang memfasilitasi
bagian pertama sampai dengan pertemuan dan penyediaan
bagian terakhir. data terkait
Namun, apabila pembaca
telah memahami postur penulisan
APBN secara buku (Agung
umum, Lestanto,
tidak Aksa Nugraha,
ada masalah Dahlia,dibaca
apabila tidak Reza berurutan
Majid, Bayutetapi
Segara);
disesuaikan dengan informasi yang dibutuhkan oleh pembaca.
6. Pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang mendukung
kegiatan penulisan buku.
7
iii
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

Daftar
Isi
Kata Pengantar i
Tentang Buku ii
Daftar Isi iv
Daftar Tabel, Diagram, dan Grafik vi

BAB I
Pembiayaan Anggaran: Komponen Yang Sering Diabaikan 1
Pembiayaan Anggaran dan Kebijakan Fiskal 2
Antara Pembiayaan Anggaran, Postur APBN, dan GFS 5
Klasifikasi Pembiayaan Anggaran dan Pembahasannya 8
Penyusunan Proyeksi Pembiayaan Anggaran dan Pemangku
Kepentingan 10

BAB II
Perlu Tidaknya Utang: Sebuah Perspektif 15
Kedudukan Pembiayaan Utang dalam Postur APBN 18
Seputar Pembiayaan Nonutang 20
BAB III
SBN dalam APBN 27
Jenis SBN 28
Perhitungan SBN dalam Postur APBN 35
BAB IV
Seputar Pinjaman Pemerintah 41
Seputar Pinjaman Luar Negeri 44
Pinjaman Kegiatan dalam Postur APBN 46
Pinjaman Tunai 51
Pinjaman Dalam Negeri 53
BAB V
Perencanaan PLN 59
Penganggaran PLN 64
Pelaksanaan PLN 69
Kendala Pengelolaan PLN 73

8
iv
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

Daftar
Isi
Daftar Isi
BAB VI
BAB I
Upaya Pemerintah Melalui Pembiayaan Investasi 81
Pembiayaan Anggaran: Komponen Yang Sering Diabaikan 1
Mengapa Pembiayaan Investasi/Penambahan
Pembiayaan
Penyertaan Anggaran
Modal Negara (PMN)dan Kebijakan Fiskal 82 2
Antara Pembiayaan Anggaran,Investasi
Alur Proses Penganggaran Pembiayan Postur APBN, dan GFS 87 5
Struktur Pembiayaan
Penyusunan Investasi 89
Proyeksi Pembiayaan Anggaran dan Pemangku
Kepentingan
Pembiayaan Lainnya 92 10

BAB VII BAB II


KedudukanPerlu Tidaknya
dalam PosturUtang:
APBN Sebuah Perspektif 97 15
Kedudukan
Latar Belakang Pembiayaan
Pemberian Utang dalam Postur APBN
Pinjaman 97 18
Seputar Pembiayaan
Proses Pengalokasian Nonutang Pemberian Pinjaman
dan Penganggaran 100 20
Hubungan dalam Postur APBN 103
BAB III
BAB VIII SBN dalam APBN 27
Jenis SBN Pemerintah
Skema Penjaminan 109 28
Perhitungan
Proses Penerbitan SBN dalam
Penjaminan Postur APBN
Pemerintah 112 34
Alokasi Dana Penjaminan 113
BAB IV
Perkembangan Penjaminan Pemerintah 115
Seputar Pinjaman Pemerintah 41
Potensi Risiko Dan Keuntungan Dari Penjaminan Pemerintah 117
Seputar Pinjaman Luar Negeri 44
Simulasi Penjaminan Pemerintah 119
Pinjaman Kegiatan dalam Postur APBN 46
Daftar Pinjaman
Pustaka Tunai 51
Pinjaman Dalam Negeri 53
BAB V
Perencanaan PLN 59
Penganggaran PLN 64
Pelaksanaan PLN 69
Kendala Pengelolaan PLN 73

9
v
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

Daftar
Tabel, Diagram, dan Grafik

Daftar Tabel
BAB I
TABEL 1.1 POSTUR APBN SEDERHANA 1
TABEL 1.2 SIMULASI APBN 1 4
TABEL 1.3 PENERAPAN ANGKA DALAM POSTUR APBN 5

BAB II
TABEL 2.1 REKLASIFIKASI PEMBIAYAAN NONUTANG 23
BAB III
TABEL 3.1 PERBEDAAN SUN DAN SBSN 29
BAB IV
TABEL 4.1 KEDUDUKAN PINJAMAN TUNAI 52
BAB V
TABEL 5.1 DRPLN-JM TAHUN 2015 61
TABEL 5.2 DRPLN TAHUN 2015 (DALAM US$) 63
TABEL 5.3 ILUSTRASI ALOKASI PAGU INDIKATIF 67
BAB VIII
TABEL 8.1 PERKEMBANGAN PENJAMINAN PEMERINTAH 116

10
vi
KUPAS TUNTAS
POSTUR
Pembiayaan Anggaran:
PEMBIAYAAN
Bukan Sekadar Defisit & Utang
ANGGARAN

Daftar
Daftar Diagram
BAB I
DIAGRAM 1.1 SIMULASI APBN 2 4

Isi
DIAGRAM 1.2 ANTARA GFS DAN POSTUR APBN 6
DIAGRAM 1.3 CONTOH TRANSAKSI PEMBIAYAAN ANGGARAN 8
DIAGRAM 1.4 PENGELOMPOKAN PEMBIAYAAN ANGGARAN 9
DIAGRAM 1.5 PENYUSUNAN POSTUR APBN DAN DOKUMEN ANGGARAN 12

BAB II
DIAGRAM 2.1 KEDUDUKAN PEMBIAYAAN UTANG DALAM POSTUR APBN 18
DIAGRAM 2.2 POSTUR PEMBIAYAAN UTANG AWAL 19
DIAGRAM 2.3 POSTUR PEMBIAYAAN UTANG DENGAN
KEBIJAKAN PENGHEMATAN BELANJA 20
DIAGRAM 2.4 KEDUDUKAN PEMBIAYAAN NONUTANG DALAM POSTUR APBN 21
Daftar Tabel
BAB III
BAB I
DIAGRAM 3.1 KEDUDUKAN SBN DALAM POSTUR APBN 27
TABEL I.1 POSTUR APBN SEDERHANA 2
DIAGRAM 3.2 JENIS-JENIS SBN 30
TABEL I.2 SIMULASI APBN 1 6
DIAGRAM 3.3 SBN NETO DALAM PEMBIAYAAN UTANG 35
TABEL I.3 SIMULASI APBN 2 6
DIAGRAM 3.4 PERUBAHAN NILAI SBN (NETO) DALAM POSTUR APBN (1) 36
DIAGRAM 3.5 PERUBAHAN NILAI SBN (NETO) DALAM POSTUR APBN (2) 37
BAB II
TABEL 2.1 REKLASIFIKASI PEMBIAYAAN NONUTANG 12
BAB IV
DIAGRAM
BAB 4.1
III INSTRUMEN PINJAMAN 41
DIAGRAM 4.23.1 PERSEPSI
TABEL PUBLIK
PERBEDAAN SUNVSDAN
PRAKTIK
SBSNPENGELOLAAN PINJAMAN
4 42
DIAGRAM 4.33.2SIKLUS
TABEL PINJAMAN
SBN NETO DALAM PEMBIAYAAN UTANG 15 43
DIAGRAM 4.4 DOKUMEN PERENCANAAN PINJAMAN LUAR NEGERI 45
BAB IV
DIAGRAM 4.5 SIKLUS PENYUSUNAN APBN 46
TABEL 4.1 KEDUDUKAN PINJAMAN TUNAI 18
DIAGRAM 4.6 PINJAMAN DALAM POSTUR APBN 47
DIAGRAM
BAB 4.7
V KONDISI AWAL POSTUR 48
DIAGRAM 4.85.1 KONDISI
TABEL POSTUR
DRPLN-JM TAHUNAPBN (2)
2015 5 48
DIAGRAM 4.95.2KONDISI
TABEL DRPLNKONSOLIDASI POSTURUS$)
TAHUN 2015 (DALAM APBN (2) 6 49
DIAGRAM 4.10
TABEL 5.3SIKLUS
DRKHPINJAMAN
TAHUN 2016TUNAI 9 52
DIAGRAM 4.11 SIMULASI PINJAMAN DALAM NEGERI 54
BAB VIII
DIAGRAM 4.12 SIMULASI PINJAMAN DALAM NEGERI (2) 55
TABEL 8.1 PERKEMBANGAN PENJAMINAN PEMERINTAH 11
BAB V
DIAGRAM 5.1 ILUSTRASI PERENCANAAN PINJAMAN KEGIATAN 60
DIAGRAM 5.2 HASIL TECHNICAL MEETING ATAS REVIEW PHLN 66

BAB VI
DIAGRAM 6.1 AKTOR YANG BERPERAN DALAM PEMBENTUKAN PDB 83
DIAGRAM 6.2 PERAN BUMN TERHADAP PEMBANGUNAN NASIONAL 86
DIAGRAM 6.3 KEMANA PEMERINTAH INVESTASI 89
DIAGRAM 6.4 BENTUK INVESTASI DI BLU 91

11
vii
KUPAS TUNTAS KUPAS TUNTAS
POSTUR POSTUR
Pembiayaan Anggaran:
PEMBIAYAAN PEMBIAYAAN
ANGGARAN Bukan Sekadar Defisit & Utang
ANGGARAN

Daftar
Daftar Diagram
BAB I
BAB VII
DIAGRAM 1.1 SIMULASI 2 6
DIAGRAM
DIAGRAM 7.1 HUBUNGAN
PENERAPAN PINJAMAN DAN POSTUR
PEMBERIAN PINJAMAN 97

Isi
1.2 ANGKA DALAM APBN 7
DIAGRAM
DIAGRAM 7.2 PROSES PENYUSUNAN DALAM POSTUR APBN DAN RDP
1.3 ANTARA GFS DAN POSTUR APBN 8
BUN PEMBERIAN PINJAMAN 101
DIAGRAM 1.4 CONTOH TRANSAKSI PEMBIAYAAN ANGGARAN 11
DIAGRAM
DIAGRAM 7.3
1.5 POSISI PEMBERIAN PEMBIAYAAN
PINJAMAN DALAM POSTUR APBN 103
PENGELOMPOKAN ANGGARAN 12
DIAGRAM 7.4 POSISI PEMBERIAN PINJAMAN DALAM POSTURANGGARAN
APBN (2) 104
DIAGRAM 1.6 PENYUSUNAN POSTUR APBN DAN DOKUMEN 16

BAB
BAB VIII
II
DIAGRAM
DIAGRAM 8.1 2.1 SKEMA PENJAMINAN
KEDUDUKAN KREDIT
PEMBIAYAAN UTANG DALAM POSTUR APBN 7 110
DIAGRAM 8.2 SKEMA PENJAMINAN INVESTASI
DIAGRAM 2.2 POSTUR PEMBIAYAAN UTANG AWAL 8 111
DIAGRAM
DIAGRAM 8.3 2.3 SIMULASI POSTUR APBN
POSTUR PEMBIAYAAN 2020DENGAN
UTANG 120
DIAGRAM 8.4 SIMULASI POSTUR APBN
KEBIJAKAN PENGHEMATAN2021 9 121
Daftar Tabel
DIAGRAM 2.4 KEDUDUKAN PEMBIAYAAN NONUTANG DALAM POSTUR APBN 11
BAB I
BAB III
TABEL I.1 POSTUR APBN SEDERHANA 2
DIAGRAM 3.1 KEDUDUKAN SBN DALAM POSTUR APBN 2
TABEL I.2 SIMULASI APBN 1 6
DIAGRAM 3.2 JENIS-JENIS SBN 7
DaftarTABELGrafik
I.3 SIMULASI APBN 2
DIAGRAM 3.3 SBN NETO DALAM PEMBIAYAAN UTANG
6
15
BAB III
DIAGRAM 3.4 PERUBAHAN NILAI SBN (NETO) DALAM POSTUR APBN 16
GRAFIKBAB II REALISASI SBN (NETO) TAHUN 2013-2017
3.1 3.5
DIAGRAM PERUBAHAN NILAI SBN (NETO) DALAM POSTUR APBN (2) 18 28
TABEL 2.1 REKLASIFIKASI PEMBIAYAAN NONUTANG 12
BAB
BAB IV
IV
BAB III
GRAFIK
DIAGRAM 4.1 4.13.1PERKEMBANGAN
TABEL INSTRUMEN
PERBEDAAN PENYERAPAN
DAN SBSN PINJAMAN LUAR NEGERI
PINJAMAN
SUN 4 2 50
DIAGRAM
TABEL 4.23.2PERSEPSI
SBN NETOPUBLIK VS PEMBIAYAAN
DALAM PRAKTIK PENGELOLAAN
UTANG PINJAMAN
15 3
DIAGRAM
BAB VIBAB IV4.3 SIKLUS PINJAMAN 4
DIAGRAM
GRAFIK 6.1 4.44.1PERKEMBANGAN
DOKUMEN PERENCANAAN PINJAMAN LUAR
ALOKASI PEMBIAYAAN NEGERI
INVESTASI 6 81
TABEL KEDUDUKAN PINJAMAN TUNAI 18
DIAGRAM 4.5 SIKLUS PENYUSUNAN APBN 8
DIAGRAM
BAB 4.6
V PINJAMAN DALAM POSTUR APBN 9
DIAGRAM
TABEL 4.75.1 KONDISI AWALTAHUN
DRPLN-JM POSTUR2015 5 11
DIAGRAM
TABEL 4.85.2KONDISI
DRPLNPOSTUR APBN(DALAM
TAHUN 2015 (2) US$) 6 12
DIAGRAM
TABEL 4.95.3KONDISI KONSOLIDASI
DRKH TAHUN 2016 POSTUR APBN (2) 9 13
DIAGRAM 4.10 SIKLUS PINJAMAN TUNAI 17
BAB VIII
DIAGRAM 4.11 SIMULASI PINJAMAN DALAM NEGERI 21
TABEL 8.1 PERKEMBANGAN PENJAMINAN PEMERINTAH 11
DIAGRAM 4.12 SIMULASI PINJAMAN DALAM NEGERI (2) 22
BAB V
DIAGRAM 5.1 ILUSTRASI PERENCANAAN PINJAMAN KEGIATAN 3
DIAGRAM 5.2 HASIL TECHNICAL MEETING ATAS REVIEW PHLN 13
DIAGRAM 5.4 ILUSTRASI ALOKASI PAGU INDIKATIF 15
DIAGRAM 3.4 PERUBAHAN NILAI SBN (NETO) DALAM POSTUR APBN 16
DIAGRAM 3.5 PERUBAHAN NILAI SBN (NETO) DALAM POSTUR APBN (2) 18

BAB VI
DIAGRAM 6.1 PERAN BUMN 3
DIAGRAM 6.2 KEMANA PEMERINTAH INVESTASI 8
DIAGRAM 6.3 BENTUK INVESTASI DI BLU 11

12
viii
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

LRT
Proyek LRT dibiayai antara lain
melalui PMN dan pinjaman
PT KAI yang berasal dari kredit
sindikasi perbankan nasional.

Bab

1
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit dan Utang

SEPUTAR
PEMBIAYAAN
ANGGARAN
Bagian ini merupakan pengantar atau pembuka dari
keseluruhan buku yang antara lain mengemukakan hal-hal
seputar pembiayaan anggaran. Di samping itu, bagi yang
belum mengenal lebih jauh mengenai pembiayaan
anggaran, bab ini menjelaskan secara singkat
kedudukannya dalam postur APBN dan komponen
pembiayaan anggaran yang akan dibedah dalam bab-bab
selanjutnya.

13
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

Bab

1
SEPUTAR
PEMBIAYAAN
ANGGARAN
“Pembiayaan anggaran kurang dikenal masyarakat.
Masyarakat lebih tahu tentang utang pemerintah.
Apa hubungan antara utang pemerintah dan
pembiayaan anggaran.”

Pembiayaan Anggaran: Komponen Yang


Sering Diabaikan

Pembiayaan Anggaran dan Kebijakan Fiskal

Antara Pembiayaan Anggaran, Postur APBN,


dan GFS

Klasifikasi Pembiayaan Anggaran dan


Pembahasannya

Penyusunan Proyeksi Pembiayaan Anggaran


dan Pemangku Kepentingan

14
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

Pembiayaan Anggaran: Komponen Yang Sering Diabaikan


Pembiayaan anggaran salah satu Sebagian masyarakat awam lebih memahami bahwa APBN hanya berisikan
komponen dalam postur APBN pendapatan negara dan belanja negara sesuai dengan singkatannya. Padahal,
APBN yang wujud sederhananya diwakili postur APBN memiliki komponen
yang tidak kalah penting yaitu pembiayaan anggaran. Komponen lengkap
secara sederhana dari suatu postur APBN sebagaimana Tabel 1.1 di bawah
ini.
Tabel 1.1.
Postur APBN Sederhana

Ura ia n 20 17
(dalam m iliar Rupiah) APB N

A. Pendapatan Negara 1.750.283,4


B. Belanja Negara 2.080.451,2
C. Keseimbangan Primer (10.973,2)
D. Surplus/Defisit Anggaran (A-B) (330.167,8)
% defisit terhadap PDB (2,4)
E. Pembiayaan Anggaran 330.167,8

Mungkin masyarakat kurang mengenal istilah pembiayaan anggaran. Namun,


pada umumnya masyarakat akan mengetahui apabila disebutkan istilah
utang pemerintah. Faktanya, utang pemerintah tersebut merupakan salah
satu komponen pembiayaan anggaran.
Utang Pemerintah Indonesia Fakta lain yang masih kurang dipahami mengenai keberadaan data: utang
pemerintah per Juni 2017 sebesar Rp3.706,5 triliun; pembiayaan anggaran
dalam postur APBN 2017, di dalamnya termasuk utang pemerintah, tercatat
hanya sebesar Rp330,2 triliun. Besaran Rp330,2 triliun tersebut hanya kurang
lebih 11 persen dari utang pemerintah.
Penjelasannya adalah jumlah utang sebesar Rp3.706,5 triliun tersebut
merupakan utang tercatat (outstanding) sampai dengan akhir bulan
Juni 2017. Jadi, angka sebesar Rp3.706,5 triliun merupakan akumulasi
utang-utang pemerintah beberapa tahun ke belakang yang masih belum
lunas. Sementara besaran pembiayaan anggaran sebesar Rp330,2 triliun
merupakan rencana alokasi pembiayaan anggaran hanya pada tahun 2017
saja, termasuk di dalamnya rencana pemerintah untuk utang (penjelasan
lebih rinci dibahas pada bagian utang dan pinjaman). Ini hanya sebagian
kecil fakta mengenai pembiayaan anggaran yang belum dipahami.
Diskusi dan pembahasan mengenai pembiayaan anggaran sangat jarang kita
dengar. Nah, buku ini mencoba membahas pembiayaan anggaran dalam
kerangka penyusunan APBN secara utuh: bagaimana memproyeksikan
besaran pembiayaan anggaran, tempat atau kedudukannya ada dimana

1
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

dalam postur APBN, serta kendala dan tantangan yang dihadapi dalam
pencatatannya pada dokumen anggaran.
Agar pemahaman pembaca lebih dalam dan fokus, sebelum membaca
lebih jauh bab-bab selanjutnya, pembaca sebaiknya membaca sekilas Bab
1 ini sebagai pembuka dalam memahami isi pada bab-bab berikutnya.

Boks 1
Dalam diskusi atau penjelasan mengenai keuangan negara, terkadang dijumpai istilah
struktur APBN. Perbedaan antara istilah postur APBN dan struktur APBN terletak pada
aspek penggunaannya. Kita harus menyebut istilah struktur APBN untuk menggambarkan
APBN yang belum ada angkanya, hanya berisikan susunan nama komponen APBN-nya
saja. Namun apabila hendak menggambarkan APBN dengan penjelasan angkanya yang
turun-naik, kita harus menggunakan istilah postur APBN sebagaimana tabel di bawah
ini.
Struktur APBN Postur APBN

Uraian 2017 Uraian 2017


(miliar rupiah) APBN
APBN

A. Pendapatan Negara A. Pendapatan Negara


1.750.283,4 1.750.283,4
I. Penerimaan Dalam Negeri I. Penerimaan Dalam Negeri
1.748.910,0 1.748.910,0
II. Penerimaan Hibah II. Penerimaan
1.372,0 Hibah 1.372,0
B. Belanja Negara B. Belanja Negara
2.080.451,2 2.080.451,2
I. Belanja Pemerintah Pusat I. Belanja Pemerintah Pusat
1.315.528,0 1.315.528,0
II. Transfer ke Daerah dan Dana Desa II. Transfer ke Daerah dan Dana Desa
764.925,0 764.925,0
C. Keseimbangan Primer C. Keseimbangan
(10.973,2) Primer (10.973,2)
D. Surplus/Defisit Anggaran (A-B) D.(330.167,8)
Surplus/Defisit Anggaran (A-B) (330.167,8)
% defisit terhadap PDB % defisit
(2,4) terhadap PDB (2,4)
E. Pembiayaan Anggaran E. 330.167,8
Pembiayaan Anggaran 330.167,8

Struktur APBN dan Postur APBN


Di samping istilah struktur APBN dan postur APBN, istilah lain yang berkaitan dengan
APBN dan biasa kita jumpai adalah istilah I-account. Penggunaan istilah tersebut
digunakan karena struktur APBN dan/atau postur APBN tersebut dituangkan dalam
suatu format yang disebut I-account. Disebut I-account, karena postur APBN tersebut
mempunyai 1 kolom saja seperti huruf i atau mirip dengan format akuntansi bentuk
staffel . Dalam konteks ini, penggunaan istilah I-account boleh menggunakan angka
maupun tidak. Dengan demikian, apabila ada yang menyebut istilah I-account APBN
mempunyai 2 arti: bisa merujuk pada struktur APBN atau postur APBN. Sebagai
catatan, format sebelum I-account disebut T-account karena mempunyai 2 kolom. Dua
kolom tersebut apabila diperhatikan tanda garis pemisahnya mirip huruf ‘T’ atau mirip
dengan format akuntansi bentuk skontro.

Pembiayaan Anggaran dan Kebijakan Fiskal


Memperhatikan postur APBN sebagaimana Tabel 1.1 di atas, komponen
pembentuknya terdiri dari: pendapatan negara, belanja negara, dan
pembiayaan anggaran. Melalui postur APBN inilah pengamat ekonomi
menganalisa dan berkomentar mengenai kebijakan fiskal yang ditempuh
pemerintah. Secara sederhana, cara yang dilakukan adalah melihat
hubungan antarkomponen dalam postur APBN tersebut.
Ada 3 jenis kebijakan fiskal yang ditempuh pemerintah: seimbang, defisit,
dan surplus. Kebijakan fiskal seimbang terlihat dari besaran pendapatan
negara dan hibah sama besarnya dengan belanja negara. Sementara
kebijakan fiskal surplus dapat dilihat dari besaran pendapatan negara dan

2
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

hibah lebih besar dibanding dengan besaran belanja negara. Kebijakan fiskal
defisit merupakan kebalikan dari kebijakan fiskal surplus, yaitu besaran
pendapatan negara dan hibah lebih kecil dibandingkan dengan besaran
belanja negara.
3 komponen dalam postur APBN
Ada tiga kelompok besar komponen yang membentuk postur APBN dapat
dijelaskan lebih lanjut. Pertama, pendapatan negara merupakan semua
penerimaan negara dalam satu tahun anggaran yang menambah ekuitas
dana lancar dan tidak perlu dibayar kembali oleh negara. Penerimaan
perpajakan merupakan sumber utama dari total pendapatan negara.
Kedua, belanja negara merupakan semua pengeluaran negara dalam satu
tahun anggaran yang mengurangi ekuitas dana lancar dan merupakan
kewajiban negara, dan tidak akan diperoleh pembayarannya kembali
oleh negara. Secara prinsip besaran belanja yang tercantum dalam APBN
merupakan batas tertinggi, sehingga tidak dapat dilampaui.
Ketiga, pembiayaan anggaran merupakan semua penerimaan negara dalam
tahun tertentu yang harus dibayar kembali/pengeluaran negara dalam tahun
tertentu yang akan diterima kembali. Penerimaan dalam kaitan dengan
pembiayaan tersebut antara lain berupa penarikan utang, pengelolaan
hasil aset, penerimaan cicilan pengembalian pemberian pinjaman, atau
penerimaan kembali investasi. Sementara itu, yang dimaksud pengeluaran
dalam kaitannya dengan pembiayaan anggaran antara lain berupa
pembiayaan investasi, kewajiban penjaminan, pembayaran cicilan pokok
utang, atau pemberian pinjaman. Pembayaran kembali atau penerimaan
kembali tersebut dapat terjadi baik pada tahun anggaran berkenaan maupun
pada tahun anggaran berikutnya.
Pembiayaan anggaran tidak hanya berurusan dengan defisit semata, tetapi
juga berkaitan dengan kondisi surplus. Defisit ini akan muncul apabila besaran
alokasi belanja melebihi besaran target pendapatan negara. Mengapa?
Karena terdapat komponen pembiayaan anggaran misalnya pembiayaan
investasi yang tidak terkait dengan defisit. Hal tersebut tergantung kebijakan
yang diambil oleh pemerintah.
Terkait pembiayaan defisit, kebijakan pemerintah untuk pembiayaan
anggaran ini diutamakan berasal dari utang dalam negeri. Sedangkan utang
luar negeri dijaga dalam kondisi net outflow (jumlah penarikan pinjaman lebih
kecil dibandingkan dengan pembayaran cicilan pokok pinjaman luar negeri
dan penerusan pinjaman). Pembiayaan utang dalam negeri diutamakan
karena memiliki risiko yang lebih rendah (lebih fleksibel dalam mengelola
portofolio utang dan risiko utang) dibandingkan pembiayaan lainnya serta
memiliki multiplier effect yang positif pada perekonomian nasional.
Hubungan antar komponen Secara lebih sederhana, hubungan tiga komponen APBN (pendapatan negara,
dalam postur APBN belanja negara, dan pembiayaan anggaran) dapat disimulasikan dalam kasus
berikut ini: Proyeksi rancangan awal APBN terdiri dari: pendapatan negara
Rp1.500, belanja negara Rp1.700, dan pembiayaan anggaran Rp200. Simulasi
tersebut dapat diperhatikan dalam Tabel 1.2.

3
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

Tabel 1.2
Simulasi APBN 1

Uraian Komponen Rancangan Alternatif


APBN Awal
I II III

Pendapatan 1.500 1.800 1.500 1.700


Belanja Negara 1.700 2.000 2.000 2.000
Defisit 200 200 500 300
Pembiayaan
200 200 500 300
Anggaran

Dalam kasus di atas, apabila Pemerintah berkehendak memperbesar


belanja negara yang semula Rp1.700 menjadi Rp2.000 (naik Rp300) karena
mengejar pertumbuhan ekonomi yang lebih besar, langkah yang diambil
Pemerintah sebagai berikut. Pemerintah dapat menaikkan target pendapatan
negara semula Rp1.500 menjadi Rp1.800 dan pembiayaan anggaran tetap
sebagai alternatif I. Atau, Pemerintah mengambil langkah memperbesar
pembiayaan anggaran semula Rp200 menjadi Rp500 (naik sebesar Rp300)
dengan pendapatan negara tetap sebagai alternatif II. Bisa juga alternatif
III, Pemerintah memutuskan untuk menaikkan target pendapatan negara
semula Rp1.500 menjadi Rp1.700, menambah belanja negara semula Rp1.700
menjadi Rp2.000, dan pembiayaan anggaran menjadi Rp300 dari semula
Rp200. Gambaran simulasi sebagaimana Tabel 1.2.
Dengan sudut pandang yang lain terkait hubungan antarkomponen dalam
postur APBN adalah besaran belanja negara sama dengan pendapatan
negara dan pembiayaan anggaran. Bisa juga diartikan bahwa sumber
pendanaan belanja negara berasal dari pendapatan negara dan/atau
pembiayaan anggaran, sebagaimana simulasi dalam Diagram 1.1 berikut ini.
Diagram 1.1
Simulasi APBN 2

Ura ia n
R a nc a nga n
K om ponen S im ula s i
Aw a l
APB N

Pendapatan
Negara dan 1.500
Hibah 1.500
Anggaran belanja sebesar 1.500
bersumber dari pendapatan negara
Belanja Negara 2.000 (pajak, PNBP, dan/atau hibah)

Defisit 500 500


Anggaran belanja sebesar 500
Pembiayaan 500 bersumber dari pembiayaan anggaran
Anggaran (utang)

4
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

Untuk lebih jelasnya, berikut ini penerapannya dalam postur APBN tahun
2017 sebagaimana Tabel 1.3.
Tabel 1.3
Penerapan Angka dalam Postur APBN
APBNP

APBN % thd
APBN 2017 APBNP Outlook
(triliun Rupiah) APBN

A. PENDAPATAN NEGARA 1.750,3 1.736,1 99,2 1.736


B. BELANJA NEGARA 2.080,5 2.133,3 102,5 2.098
C. KESEIMBANGAN PRIMER (109,0) (178,0) 163,4 (144
D. SURPLUS/ (DEFISIT) ANGGARAN (A - B) (330,2) (397,2) 120,3 (362
% Surplus/ (Defisit) Anggaran terhadap PDB (2,41) (2,92) (2,6
E. PEMBIAYAAN ANGGARAN (I + II + III + IV + V) 330,2 397,2 120,3 362
I. PEMBIAYAAN UTANG 384,7 461,3 119,9 427
a.l - Surat Berharga Negara (neto) 400,0 467,3 116,8 433
a.l - Pinjaman Dalam Negeri (neto) 1,5 1,7 116,6 1
1. Penarikan Pinjaman LN (bruto) 48,3 57,5 119,1 57
a.l Pinjaman Tunai 13,3 20,1 151,1 20
b. Pinjaman Kegiatan 35,0 37,4 106,9 37
2. Pinjaman kepada BUMN/Pemda (bruto) (10,1) (7,7) 76,6 (7
II. PEMBIAYAAN INVESTASI (47,5) (59,7) 125,8 (59
III. PEMBERIAN PINJAMAN (6,4) (3,7) 57,2 (3
IV. KEWAJIBAN PENJAMINAN (0,9) (1,0) 108,8 (1
V. PEMBIAYAAN LAINNYA 0,3 0,3 100,0 0

Antara Pembiayaan Anggaran, Postur APBN, dan GFS


Postur APBN dan Government Pembahasan mengenai postur APBN, termasuk komponen-komponen
Finance Statistics GFS pembentuknya tidak terlepas dari statistik keuangan pemerintah atau
Government Finance Statistics (GFS). Dalam konteks transaksi keuangan
di lingkungan pemerintahan, GFS merupakan salah satu jenis pelaporan
manajerial. Penggunaannya sebagai bahan penggambilan kebijakan oleh
para pemangku kepentingan.
Jenis pelaporan lain dengan sumber transaksi keuangan pemerintah
adalah pelaporan akuntansi (laporan keuangan). Laporan keuangan ini
disusun berdasarkan standar akuntansi pemerintahan yang kemudian
diterjemahkan lebih lanjut oleh pemerintah dalam sistem akuntansi dan
kebijakan akuntansi (Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintah Nomor 02
atau PSAP 02).
Kedua pelaporan ini berbeda satu dengan lainnya, mengingat tiap-
tiap pelaporan tersebut mempunyai tujuan berbeda. Namun demikian,
keduanya menggunakan sumber yang sama, yaitu transaksi keuangan. Oleh
karena itu, istilah dan sudut pandang yang digunakannya mirip. Perbedaan
mendasar antara keduanya adalah, dalam laporan manajerial terdapat

5
Bukan Sekadar Defisit & Utang
Pembiayaan Anggaran:

Structure of the GFS analytic framework


Statement of operation
Postur APBN
A. Pendapatan Negara
B. Belanja Negara
C. Keseimbangan Primer
D. Surplus/Defisit Anggaran (A - B)
% defisit thd PDB
E. Pembiayaan Anggaran
% pembiayaan thd PDB
A. Pembiayaan Utang
I. Surat Berharga Negara (Neto)
II. Pinjaman (Neto)
1. Pinjaman Dalam Negeri (Neto)
2. Pinjaman Luar Negeri (Neto)
a. Penarikan Pinjaman Luar Negeri (Bruto)
ii. Pinjaman Kegiatan
(1) Pinjaman Kegiatan Pemerintah Pusat
(a) Pinjaman Kegiatan K/L
(c) Pinjaman Kegiatan Diterushibahkan
(2) Pinjaman Kegiatan kepada BUMN/Pemda
b. Pembayaran Cicilan Pokok Pinjaman LN
B. Pembiayaan Investasi
C. Pemberian Pinjaman
I. Pinjaman kepada BUMN/Pemda/Lembaga/Badan Lainnya
1. Pinjaman kepada BUMN/Pemda (neto)
a. Pinjaman kepada BUMN/Pemda (bruto)
b. Penerimaan Cicilan Pengembalian Pinjaman kepada BUMN/Pemda
D. Kewajiban Penjaminan
E. Pembiayaan Lainnya
Diagram 1.2
Antara GFS dan Postur APBN

6
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

rasio atau perbandingan-perbandingan. Jika diperhatikan, postur APBN


menyajikan rasio tersebut, seperti surplus/defisit anggaran terhadap PDB,
rasio anggaran pendidikan, rasio dana desa terhadap transfer ke daerah,
atau keseimbangan primer.
Keseimbangan primer dalam Yang dimaksud dengan keseimbangan primer adalah selisih dari total
postur APBN pendapatan negara dikurangi dengan belanja negara di luar pembayaran
belanja bunga utang. Keseimbangan primer mempunyai makna atau arti
sebagai berikut, jika total pendapatan negara lebih besar dari belanja negara
di luar pembayaran belanja bunga utang, keseimbangan primer dinyatakan
dalam kondisi positif. Artinya, cukup tersedia dana untuk membayar bunga
utang. Jika total pendapatan negara lebih kecil dari belanja negara di luar
pembayaran belanja bunga utang, keseimbangan primer dinyatakan dalam
kondisi negatif. Hal ini mengandung arti tidak tersedia dana atau anggaran
untuk membayar belanja bunga utang, atau dalam kondisi sebagian/seluruh
bunga utang dibayar dengan penambahan utang baru.
Sebagaimana penjelasan di awal, dasar atau template postur APBN adalah
GFS. GFS merupakan laporan manajerial tahunan yang digunakan untuk
memperkirakan keuangan pemerintah pada tahun yang direncanakan,
khususnya Pemerintah Pusat. Penjelasan mengenai hal ini akan lebih mudah
dipahami apabila melihat Diagram 1.1 dan Diagram 1.2.
Penjelasan Diagram 1.2 tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Tabel sebelah kiri diagram (panah biru) merupakan postur APBN
(Indonesia);
2. Tabel sebelah kanan diagram (panah merah) merupakan acuan operasi
keuangan internasional GFSM;
3. Postur APBN mengadopsi secara utuh komponen GFS dari sisi transaksi
keuangan. Postur APBN belum mencakup proyeksi atau transaksi yang
berasal dari stock (persediaan).
Khusus untuk pembiayaan anggaran, transaksi-transaksi keuangan yang
terjadi dapat saja berkaitan antara pemerintah pusat dengan publik sektor
dan/atau quasi corporation. Beberapa contoh disajikan dalam Diagram
1.3 berikut ini. Transaksi pembiayaan anggaran yang berkaitan dengan
pemerintah daerah seperti pemberian pinjaman sebagaimana ditunjukkan
nomor 2. Transaksi yang berkaitan dengan BUMN ditunjukkan nomor 1 berupa
investasi (Penanaman Modal Negara (PMN) atau pemberian penjaminan).
Sementara itu, transaksi yang berkaitan dengan quasi-corporation berupa
investasi dalam kaitannya kerja sama dengan lembaga internasional seperti
keanggotaan Indonesia dalam Islamic Development Bank (IDB) atau Asean
Development Bank (ADB).

7
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

Diagram 1.3
Contoh Transaksi Pembiayaan Anggaran

BUMN

Quasi-
Corporation
1

Klasifikasi Pembiayaan Anggaran dan Pembahasannya


Cara melihat atau mengklasifikasi komponen pembiayaan anggaran dapat
dilakukan beberapa cara. Namun cara-cara tersebut akan menghasilkan nilai
yang sama. Yang membedakan hanyalah cara pengelompokannya semata
sebagaimana Diagram 1.4.
Pembiayaan anggaran Cara pertama adalah merinci atau mengelompokkan pembiayaan
berdasarkan sumber pembiayaan anggaran berdasarkan asal sumber-sumber pembiayaan tersebut
diperoleh: pembiayaan dalam negeri dan luar negeri. Pembiayaan dalam
negeri bersumber dari perbankan dan nonperbankan. Pembiayaan
perbankan bersumber dari Saldo Anggaran Lebih (SAL), penerimaan cicilan
pengembalian Subsidiary Loan Agreement (SLA)/Rekening Dana Investasi
(RDI), rekening pembangunan hutan, dan rekening Pemerintah lainnya.
Sedangkan pembiayaan nonperbankan bersumber dari privatisasi, Hasil
Pengelolaan Aset (HPA), penerbitan Surat Berharga Negara (SBN), penarikan
pinjaman dalam negeri, dana investasi Pemerintah dan Penyertaan Modal
Negara (PMN), dan dana pengembangan pendidikan nasional. Sementara
itu, pembiayaan luar negeri bersumber dari penarikan pinjaman luar negeri
berupa pinjaman program dan pinjaman proyek.
Pembiayaan anggaran Cara dua adalah melihat pembiayaan anggaran dari sisi instrumen atau
berdasarkan instrumen berdasarkan perolehan sumber-sumber pembiayaan yang diperoleh
pembiayaan
melalui penerbitan utang dan pembiayaan nonutang. Pembiayaan utang
terdiri dari Surat Berharga Negara (neto), pinjaman luar negeri (neto), dan
pinjaman dalam negeri (neto). Sementara itu untuk pembiayaan nonutang
bersumber dari perbankan dalam negeri dan nonperbankan dalam negeri.
Sumber pembiayaan perbankan dalam negeri meliputi penerimaan cicilan
pengembalian penerusan pinjaman (SLA/RDI), SAL, Rekening Kas Umum
Negara (RKUN), rekening pembangunan hutan, rekening cadangan reboisasi,
dan rekening Pemerintah lainnya. Sedangkan pembiayaan nonperbankan
dalam negeri meliputi privatisasi, Hasil Pengelolaan Aset (HPA), dana
investasi Pemerintah dan PMN, dana pengembangan pendidikan nasional,
dan kewajiban penjaminan.
8
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

Pengelompokan Pembiayaan Anggaran


Diagram 1.4

9
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

Pembiayaan anggaran Cara tiga adalah melihat pembiayaan anggaran dari sisi arus kas atau
berdasarkan karakteristik arus berdasarkan karakteristik cash inflow (penerimaan pembiayaan) dan cash
kas outflow (pengeluaran pembiayaan). Penerimaan pembiayaan terdiri dari
penerimaan pembiayaan nonutang dan penerimaan pembiayaan utang.
Penerimaan pembiayaan nonutang bersumber dari penerimaan cicilan
pengembalian penerusan pinjaman (SLA/RDI), SAL, Rekening Kas Umum
Negara (RKUN), Rekening Pembangunan Hutan (RPH), rekening cadangan
reboisasi, rekening Pemerintah lainnya, privatisasi, dan HPA. Sedangkan
penerimaan pembiayaan utang bersumber dari SBN (neto), penarikan
pinjaman luar negeri (bruto), dan penarikan pinjaman dalam negeri
(bruto). Sedangkan pengeluaran pembiayaan terdiri atas pengeluaran
utang dan pengeluaran nonutang. Pengeluaran pembiayaan nonutang a.l
digunakan untuk investasi Pemerintah, dana pengembangan pendidikan
nasional, pinjaman kepada PT. PLN dan kewajiban penjaminan. Sedangkan
pengeluaran pembiayaan utang meliputi pemberian pinjaman kepada
BUMN/Pemda dan, pembayaran cicilan pokok pinjaman luar negeri.
Pembiayaan anggaran Cara terakhir adalah melihat pembiayaan anggaran dari sisi tujuannya yang
berdasarkan tujuan pembiayaan
secara ringkas untuk menutup celah defisit anggaran, kewajiban pemerintah,
dan pengeluaran pembiayaan. Berdasarkan tujuannya, pembiayaan anggaran
dirinci menjadi: pembiayaan utang, pembiayaan investasi, pemberian
pinjaman, kewajiban penjaminan, dan pembiayaan lainnya.
Dalam konteks pembahasan buku secara umum, pembahasan tiap
komponen pembiayaan anggaran akan dikelompokkan sesuai tujuannya
dan dibahas dalam bab-bab tersendiri: SBN, Pinjaman, Pembiayaan
Investasi, Pemberian Pinjaman, Kewajiban Penjaminan, dan Pembiayaan
Lainnya. Namun demikian, ada bab yang merupakan pembuka dari
kelompok bab yang mempunyai kesamaan karakteristik, yaitu Bab Seputar
Pembiayaan Utang dan Pembiayaan Nonutang. Nama bab ini sama dengan
pengelompokan berdasarkan instrumen.

Penyusunan Proyeksi Pembiayaan Anggaran dan Pemangku


Kepentingan
Proyeksi penerimaan dan Pertanyaan mendasar mengenai proyeksi pembiayaan anggaran adalah apa
pengeluaran pembiayaan saja yang akan diperkirakan/diproyeksikan sebagai bagian dari postur APBN.
Ada 2 bagian yang diproyeksikan dalam pembiayaan anggaran: sumber-
sumber penerimaan pembiayaan dan kebutuhan pengeluaran pembiayaan
anggaran. Jika dikaitkan dengan bagian klasifikasi pembiayaan sebelumnya,
proyeksi pembiayaan anggaran dilakukan berdasarkan arus kas negara.
Penerimaan pembiayaan terdiri dari penerimaan pembiayaan utang dan
nonutang. Penerimaan pembiayaan utang berasal dari Surat Berharga
Negara (SBN) neto, penarikan pinjaman luar negeri bruto, dan penarikan
pinjaman dalam negeri (bruto). Untuk pembiayaan nonutang, rinciannya
antara lain terdiri dari sisa anggaran lebih (SAL), hasil pengelolaan aset
(termasuk privatisasi jika ada), dan rekening pembangunan hutan (RPH).
Seperti halnya penerimaan pembiayaan, pengeluaran pembiayaan juga
terdiri atau bersumber dari pengeluaran utang dan nonutang. Pengeluaran
10
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

utang meliputi pemberian pinjaman kepada BUMN/Pemda, pembayaran


cicilan pokok pinjaman luar negeri. Sedangkan, pengeluaran nonutang
digunakan untuk investasi pemerintah, dana pengembangan pendidikan
nasional, dan kewajiban penjaminan.
Perhitungan proyeksi pembiayaan anggaran tersebut tentu saja digunakan
dalam kerangka untuk mengetahui kapasitas fiskal secara utuh. Sekali
lagi, pembiayaan anggaran merupakan konsekuensi adanya defisit/surplus
(sebagai suatu pilihan kebijakan).
Langkah-langkah dalam Selanjutnya bagaimana cara melakukan proyeksi pembiayaan anggaran
memproyeksikan pembiayaan sebagai bagian dari postur APBN? Secara singkat, langkah-langkah yang
anggaran dilakukan meliputi:
1. Identifikasi kebutuhan dan sumber pembiayaan;
2. Koordinasi dengan unit in charge terkait (Ditjen Pengelolaan Pembiayaan
dan Risiko Fiskal, Ditjen Kekayaan Negara, dan Ditjen Perbendaharaan)
terkait usulan kebijakan pembiayaan anggaran pada tahun yang
direncanakan;
3. Melakukan exercise besaran pembiayaan anggaran untuk masing-masing
rincian atau komponen (antara lain: SBN, pinjaman dalam negeri,
pinjaman luar negeri, pemberian pinjaman, pembiayaan investasi);
4. Konfirmasi hasil exercise;
5. Hasil exercise yang telah dikonfirmasi para pemangku kepentingan akan
dimasukkan sebagai bagian dari postur APBN.
Dalam konteks siapa yang bertanggung jawab atas pengelolaan pembiayaan
anggaran, tentu saja Menteri Keuangan sebagai Bendahara Umum Negara
atau BUN (chief financial officer), bukan Menteri Keuangan sebagai pengelola
anggaran Kementerian Keuangan (chief operational officer). Dalam kaitannya
sebagai pengelola BUN, terdapat peraturan yang menjadi landasan hukum
yaitu PMK 193/PMK.02/2017 tentang Tata Cara Perencanaan, Penelaahan, dan
Penetapan Alokasi Anggaran Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara, dan
Pengesahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran Bendahara Umum Negara.
Pengelola pembiayaan anggaran Secara khusus, unit in charge di lingkungan Kementerian Keuangan yang
di Kementerian Keuangan ditetapkan sebagai pengelola pembiayaan anggaran adalah:
1. Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Fiskal merupakan
Pembantu Pengguna Anggaran BUN Pengelolaan Utang (Bagian Anggaran
999.01) dan Pembantu Pengguna Anggaran BUN Pengelolaan Hibah
(Bagian Anggaran 999.02);
2. Direktorat Jenderal Kekayaan Negara merupakan Pembantu Pengguna
Anggaran BUN Pengelolaan Investasi Pemerintah (Bagian Anggaran
999.03);
3. Direktorat Jenderal Perbendaharaan Pembantu Pengguna Anggaran BUN
Pengelolaan Pemberian Pinjaman (Bagian Anggaran 999.04).

11
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

Gambaran para pemangku kepentingan dalam proses pengelolaan


pembiayaan anggaran disajikan dalam Diagram 1.5.
Buku ini akan membatasi pembahasan yang berkaitan dengan penyusunan
proyeksi pembiayaan anggaran beserta rincian atau komponen-
komponennya. Pembahasan tiap komponen pembiayaan anggaran akan
dijabarkan dalam bab-bab tersendiri.

Diagram 1.5
Penyusunan Postur APBN dan Dokumen Anggaran

12
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

COREMAP-CTI

Projects
Coral Reef Rehabilitation and
Management Program - Coral
Triangle Initiative merupakan
program untuk menjaga
terumbu karang di perairan
Indonesia yang tersebar di
lima provinsi.

Bab

2
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit dan Utang

SEPUTAR
PEMBIAYAAN
UTANG DAN
PEMBIAYAAN
NONUTANG
Bagian ini merupakan pengantar atau pembuka secara lebih
teknis, yaitu pembiayaan utang dan nonutang.
Pengelompokan pembahasan ini berdasarkan fungsi utang
atau pembiayaan anggaran berupa menutup celah defisit
dan untuk tujuan tertentu.

13
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

Bab
SEPUTAR
PEMBIAYAAN
2 UTANG DAN
PEMBIAYAAN
NONUTANG
“Utang luar negeri banyak diperdebatkan para
ahli. Ada yang berpendapat utang luar negeri
memberikan dampak positif bagi pertumbuhan
ekonomi suatu Negara, tapi ada yang berdapat
utang luar negeri memberikan efek negatif.
Apakah pembiayaan nonutang dapat menjadi
alternatif dari utang luar negeri?“

Perlu Tidaknya Utang: Sebuah Perspektif

Kedudukan Pembiayaan Utang dalam Postur APBN

Seputar Pembiayaan Nonutang

14
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

Secara umum, bagian ini menjelaskan hubungan pembiayaan utang dan


nonutang dalam konteks ekonomi secara luas dan kedudukannya dalam
postur APBN. Dua bagian yang akan dibahas adalah komponen pembiayaan
utang (cakupannya meliputi SBN dan pinjaman) dan pembiayaan nonutang
(cakupannya meliputi pembiayaan investasi, pemberian pinjaman, kewajiban
penjaminan, pembiayaan lainnya). Namun, pembahasannya dibatasi pada
hal-hal yang bersifat umum sebelum pembaca sampai pada bahasan teknis
yang dijelaskan lebih lanjut dalam bab-bab tersendiri. Meskipun bagian ini
masih pendahuluan tetapi sudah terfokus terkait dengan pembiayaan utang
dan nonutang. Berbeda dengan pendahuluan yang telah dibahas di Bab 1.

Perlu Tidaknya Utang: Sebuah Perspektif


Kendala dalam membiayai Pembangunan ekonomi suatu negara berkembang membutuhkan dana yang
pembangunan relatif besar. Namun demikian, usaha pengerahan dana untuk membiayai
pembangunan menghadapi kendala. Pokok persoalan dalam pergerahan
dana tersebut adalah adanya kesulitan dalam pembentukan modal, baik
yang bersumber dari penerimaan pemerintah yang berasal dari ekspor
barang luar negeri, maupun dari masyarakat melalui instrumen pajak dan
instrumen lembaga-lembaga keuangan.
Usaha pengerahan modal dari masyarakat dapat berupa pengerahan modal
dari dalam negeri dan pengerahan modal yang bersumber dari luar negeri.
Pengerahan modal yang bersumber dari dalam negeri berasal dari 3 (tiga)
sumber utama, yaitu: tabungan sukarela masyarakat, tabungan pemerintah
dan tabungan paksa (forced saving). Mengingat kebutuhan dana pembangunan
yang berasal dari dalam negeri tidak cukup tersedia, maka kekurangannya
harus dipenuhi dari luar negeri.
Peranan utang luar negeri Ditinjau dari sudut manfaatnya, utang luar negeri (pinjaman luar negeri)
mempunyai dua peranan: (a) untuk mengatasi masalah kekurangan mata
uang asing; (b) untuk mengatasi masalah kekurangan tabungan. Kedua
masalah tersebut biasa disebut dengan masalah kesenjangan ganda (the
two gap problems), yaitu kesenjangan tabungan (saving gap) dan kesenjangan
mata uang asing (foreign exchange gap).
Defisit transaksi berjalan yang terus menerus dibiayai oleh cadangan devisa
atau pinjaman luar negeri tidak hanya mengakibatkan negara peminjam
semakin terjerumus ke dalam krisis utang luar negeri, tetapi juga akan
mengancam kestabilan perekonomian dan kelanjutan pembangunan
ekonomi yang sedang berlangsung di negara tersebut. Pilihan terbaik
untuk meningkatkan transaksi berjalan adalah meningkatkan ekspor dan
mengurangi ketergantungan impor.
Kebijaksanaan pembangunan yang mengandalkan utang luar negeri masih
dianut oleh banyak negara berkembang. Utang luar negeri diandalkan
untuk memberikan dampak positif pada pertumbuhan ekonomi, antara lain
dengan jalan meningkatkan produksi, memperbaiki neraca pembayaran,
meningkatkan pengetahuan dan teknologi, serta meningkatkan mobilisasi
sumberdaya. Namun demikian, utang luar negeri tidak hanya didasarkan atas

15
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

manfaat atau pertimbangan ekonomi, melainkan juga atas pertimbangan


politik, sosial, budaya, kemanusiaan dan lainnya. Oleh karena itu, peranan
utang luar negeri di negara berkembang banyak diperdebatkan oleh ahli
ekonomi, pembangunan, sosial, politik dan lainnya.
Ada perdebatan terkait perlunya suatu negara berutang, banyak ahli
ekonomi yang mendukung perlunya utang luar negeri karena memberikan
dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara, akan tetapi
tidak sedikit yang berpendapat sebaliknya. Banyak ahli berpendapat
bahwa apabila suatu negara mempunyai profil utang yang wajar, maka
negara tersebut tidak perlu mengkhawatirkan utang sebagai salah satu
komponen pendukung keberhasilan pembangunan. Seperti diutarakan
oleh Williamson (1999), profil utang suatu negara dianggap wajar dan aman
apabila memenuhi tiga kriteria, yaitu: (1) jumlah utang tidak boleh melebihi
40 persen PDB, (2) jumlah utang tidak melebihi 200 persen ekspor suatu
negara, dan (3) Debt Service Ratio (DSR), tidak boleh lebih dari 25 persen. Jika
utang suatu negara melebihi batasan kriteria ini, maka keberadaan utang
dapat dianggap membahayakan ekonomi suatu negara.
Sebaliknya, George (1992) menyatakan,”Utang luar negeri dapat memberi efek
negatif bagi Negara penerima, khususnya bagi negara berkembang”. Demikian
pula beberapa ahli lain seperti Tanzi dan Blejer (1988) mengungkapkan hal
yang sama. Secara umum, mereka berpendapat bahwa negara berkembang
yang menerima utang memiliki beberapa kelemahan yang dapat berakibat
negatif bagi perekonomiannya, seperti: (1) kurangnya kemampuan untuk
memanfaatkan utang secara efektif, (2) adanya motif politik dalam utang
luar negeri, (3) masih maraknya praktik korupsi di negara berkembang dan
(4) adanya monopoli dan oligopoli yang akan berakibat pada kegagalan
pasar.
Mengapa suatu pemerintah atau Tentu saja, ada alasan mengapa suatu pemerintah atau negara berutang.
negara berutang Negara-negara berkembang, seperti halnya Indonesia, umumnya memiliki
tingkat kesejahteraan rakyat yang relatif masih rendah. Oleh karena itu,
tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi sangat diperlukan untuk mengejar
ketertinggalan di bidang ekonomi dari negara-negara lain yang relatif maju.
Karena kemampuan partisipasi swasta domestik relatif lemah dalam
pembangunan ekonomi, pemerintah mengambil peran sebagai motor
penggerak pembangunan ekonomi nasional (s.d. dengan akhir tahun 90-an).
Faktor utama kurangnya partisipasi swasta adalah ketidaktersediaan
modal. Dalam beberapa hal, kendala tersebut disebabkan oleh rendahnya
tingkat mobilisasi modal dalam negeri. Faktor penyebabnya, antara lain
pendapatan per kapita penduduk yang umumnya relatif rendah, lemahnya
sektor perbankan nasional, dan kurang berkembangnya pasar modal.
Pendapatan per kapita yang rendah mempunyai akibat beruntun berupa:
tingkat MPS (marginal propensity to save) rendah dan diikuti pendapatan
pemerintah dari sektor pajak, khususnya pajak penghasilan juga rendah.
Sementara lemahnya sektor perbankan menyebabkan dana masyarakat
(yang memang terbatas itu) tidak dapat didayagunakan secara produktif dan

16
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

efisien untuk menunjang pengembangan usaha yang produktif. Selanjutnya,


kurang berkembangnya pasar modal menyebabkan tingkat kapitalisasi pasar
rendah dan banyak perusahaan yang kesulitan mendapatkan tambahan
dana murah untuk melakukan ekspansi.
Mengingat kondisi tersebut, jalan keluar yang dapat diandalkan untuk
mendukung tingkat pertumbuhan output nasional yang tinggi seperti yang
diharapkan adalah dengan mendatangkan modal dari luar negeri. Bentuk-
bentuk umum modal luar negeri tersebut berupa: hibah (grant), bantuan
pembangunan, dan kredit ekspor; investasi swasta langsung; portfolio
invesment; serta pinjaman bank dan pinjaman komersial lainnya. Modal asing
ini dapat diberikan baik kepada pemerintah maupun kepada pihak swasta.
Perkembangan terkini, proporsi utang pemerintah didominasi oleh mata
uang rupiah (dalam negeri) dibanding dari valuta asing. Artinya, struktur
perekonomian Indonesia telah berkembang yang mendukung pembentukan
modal dalam negeri. Porsi utang pemerintah sampai dengan bulan Juni
2017 sebesar 80,4 persen bersumber dari penerbitan Surat Berharga Negara
dan 19,6 persen berasal dari pinjaman. Dari porsi penerbitan SBN tersebut,
rinciannya terdiri dari 21,4 persen SBN berdenominasi valas dan 59,0 persen
SBN denominasi Rupiah. Hal ini menunjukkan upaya pemerintah untuk
memprioritaskan sumber pembiayaan dari dalam negeri, sehingga dapat
terhindar dari risiko-risiko perekonomian global (perubahan nilai tukar dan/
atau adanya krisis keuangan global).
Oleh karena itu, dalam melihat kedudukan utang secara wajar harus terlebih
dahulu ditanyakan kepada penanya, apakah yang bersangkutan setuju atau
tidak dengan keberadaan utang. Jika setuju, perspektif yang dapat digunakan
untuk melihat kedudukan utang haruslah dikaitkan dengan produk domestik
bruto (PDB). Sudut pandang yang benar dalam melihat utang negara adalah
dengan melihat rasio utang terhadap PDB sebagai besaran ukuran ekonomi
suatu negara. Utang tidak hanya dilihat dalam besaran nominal semata.
Banyak orang awam hanya memperhatikan perkembangan utang negara
berdasarkan kenaikan secara nominal utang yang semakin membesar.
Namun mereka tidak memperhatikan seberapa besar ukuran ekonomi
negara tersebut telah berkembang. Kenaikan ukuran ekonomi (dilihat dari
pertumbuhan ekonomi) suatu negara akan memperkuat kemampuan negara
tersebut untuk membayar utang-utangnya. Dengan meningkatnya PDB,
Pemerintah akan mampu mengumpulkan pendapatan negara melalui pajak
lebih besar karena terdapat lebih banyak transaksi ekonomi yang terjadi.
Sebagai gambaran, kondisi riil utang pemerintah pada tahun 2016 sebesar
27 persen terhadap PDB. Rasio tersebut relatif masih aman dibandingkan
dengan Malaysia dengan rasio terhadap PDB mencapai 56 persen. Jadi,
kunci pengelolaan utang sebenarnya terletak pada kondisi seberapa besar
ukuran ekonomi sebuah negara (PDB) dan perubahannya (pertumbuhan
ekonominya). Sebagai gambaran, apabila ukuran ekonomi Indonesia saat
ini (PDB nominal tahun 2017) sebesar Rp 13.716,71 triliun dengan perkiraan
pertumbuhan ekonomi sebesar 5,1 persen setiap tahunnya, pada satu titik,

17
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

defisit anggaran akan mengecil bahkan surplus. Pada tingkat tersebut, utang
pada akhirnya dapat dilunasi.
Kedudukan Pembiayaan Utang dalam Postur APBN
Pembiayaan utang terdiri atas Pembiayaan utang terdiri dari Surat Berharga Negara (SBN) dan pinjaman.
Surat Berharga Negara (SBN), Pinjaman dibedakan menjadi pinjaman luar negeri dan pinjaman dalam
Pinjaman (dalam negeri dan luar
negeri. Pinjaman luar negeri saat ini memiliki peran yang penting untuk
negeri)
menutup defisit APBN bersama dengan SBN. Tak dapat dipungkiri bahwa
pinjaman luar negeri cenderung memiliki risiko yang lebih tinggi dibanding
sumber pembiayaan lain. Salah satunya adalah perubahan nilai tukar.
Apabila nilai tukar rupiah turun, jumlah cicilan pokok pinjaman luar
negeri yang harus dibayar pemerintah akan meningkat. Apabila terjadi
krisis keuangan global, kondisi ini akan berpengaruh (langsung atau tidak
langsung) terhadap perekonomian domestik. Namun dalam beberapa tahun
ke belakang, pemerintah telah berupaya untuk menurunkan porsi pinjaman
luar negeri dengan mengutamakan pembiayaan yang bersumber dari SBN
dan pinjaman dalam negeri (pinjaman berdenominasi rupiah).
Angka pembiayaan utang dalam postur APBN bernilai positif yang
mengindikasikan ada aliran uang masuk ke kas negara. Dalam postur APBN,
aliran kas tersebut dicatat sebagai penerimaaan pembiayaan (dalam pos
pinjaman tunai dan SBN) yang peruntukkannya dapat digunakan untuk
kebutuhan pelaksanaan APBN secara umum (general financing). Pinjaman
tunai tersebut berbeda dengan pinjaman kegiatan (termasuk pinjaman
kegiatan yang dilaksanakan oleh kementerian negara/lembaga) yang telah
ditetapkan penggunaannya. Gambaran kedudukan postur pembiayaan
utang dapat dilihat dalam Diagram 2.1.
Diagram 2.1
Kedudukan Pembiayaan Utang dalam Postur APBN

APBN
APBN 2017
(triliun Rupiah)

E. PEMBIAYAAN ANGGARAN (I + II + III + IV + V) 330,2


I. PEMBIAYAAN UTANG 384,7
a.l - Surat Berharga Negara (neto) 400,0
a.l - Pinjaman Dalam Negeri (neto) 1,5
1. Penarikan Pinjaman LN (bruto) 48,3
a.l Pinjaman Tunai 13,3
b. Pinjaman Kegiatan 35,0
2. Pinjaman kepada BUMN/Pemda (bruto) (10,1)
II. PEMBIAYAAN INVESTASI (47,5)
III. PEMBERIAN PINJAMAN (6,4)
IV. KEWAJIBAN PENJAMINAN (0,9)
V. PEMBIAYAAN LAINNYA 0,3

SBN, Pinjaman, serta Pembiayaan Lainnya masuk dalam


Pendapatan Pembiayaan (+), sementara Pembiayaan
Investasi, Pemberian Pinjaman, dan Kewajiban Penjaminan
merupakan Pengeluaran Pembiayaan (- )

18
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

Fungsi pembiayaan utang Terkait kedudukannya di postur APBN, pembiayaan utang mempunyai
dua fungsi: menutup celah defisit anggaran dan mendukung pengeluaran
pembiayaan untuk tujuan tertentu. Dalam konteks menutup celah defisit
anggaran, fungsi yang dilakukan adalah menutup selisih minus pendapatan
negara terhadap belanja negara melalui utang. Dalam konteks kedua,
pengeluaran tersebut tidak dapat dilakukan dalam kerangka belanja. Contoh
pengeluaran yang bukan dalam kerangka belanja semacam ini, antara lain
pemberian pinjaman kepada BUMN/Pemda, pemberian jaminan kewajiban
untuk penyediaan barang publik, baik kepada BUMN atau privat sektor,
penanaman modal negara (PMN) kepada BUMN atau lembaga lain.
Fungsi-fungsi utang tersebut lebih jelas dijelaskan dalam simulasi sederhana
sebagaimana Diagram 2.2. Diasumsikan kondisi postur APBN: terjadi defisit
APBN sebesar 200, pendapatan negara sebesar 1.000, sedangkan kebutuhan
belanja negara mencapai 1.200. Berdasarkan kondisi tersebut, pemerintah
harus menyediakan pembiayaan anggaran untuk menutup defisit (sebesar
200) tersebut.
Diagram 2.2.
Postur Pembiayaan Utang Awal

Jumlah pembiayaan utang


Disesuaikan dengan kebutuhan
defisit anggaran.

Jumlah pembiayaan utang telah


mengakomodir kebutuhan
untuk Pembiayaan Investasi,
Pemberian Pinjaman,
serta Kewajiban Penjaminan

Dapat dilihat, sebagian besar pembiayaan utang (sebesar 295) bersumber


dari penerbitan SBN sebesar 220 dan pinjaman sebesar 75. Secara total,
arus penerimaan pembiayaan mencapai 300 berasal dari pembiayaan utang
ditambah pembiayaan lainnya (sebesar 5).

19
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

Dengan sudut pandang lain, kebutuhan untuk menutup defisit anggaran


hanya sebesar 200 tetapi arus penerimaan pembiayaan lebih besar 100
dibanding dengan kebutuhan defisit tersebut. Oleh karena itu, jumlah 100
tersebut digunakan untuk mengakomodir kebutuhan pembiayaan investasi,
pemberian pinjaman, dan kewajiban penjaminan (bersifat negatif atau
pengurang karena berada dalam katagori pengeluaran pembiayaan).
Apabila ada kebijakan tertentu seperti penghematan belanja negara,
kondisi tersebut akan berpengaruh kepada besaran defisit dalam
postur APBN (dengan asumsi komponen yang lain tetap). Karena
ada penghematan belanja, pos belanja negara dalam postur turun
menjadi 1.100. Dengan demikian, pemerintah akan mengurangi
jumlah pembiayaan utang. Hasil akhir postur APBN disajikan dalam
Diagram 2.3.
Diagram 2.3
Postur Pembiayaan Utang dengan Kebijakan Penghematan Belanja

Pos t ur APB N 1

PENDAPATAN NEGARA 1000


BELANJA NEGARA 1200
DEFISIT 200
PEMBIAYAAN ANGGARAN 20 0
- Pembiayaan Utang 29 5
1 SBN 220 Jumlah pembiayaan utang
disesuaikan dengan
2 Pinjaman 75 kebutuhan defisit
a. Pinjaman Luar Negeri 25 anggaran. Jumlah
pembiayaan utang telah
b. Pinjaman Dalam Negeri 50 mengakomodir kebutuhan
untuk Pembiayaan
- Pembiayaan Investasi (50) Investasi, Pemberian
- Pemberian Pinjaman (25) Pinjaman, serta Kewajiban
Penjaminan
- Kewajiban Penjaminan (25)
- Pembiayaan Lainnya 5

Pengurangan pembiayaan anggaran tersebut dapat berupa penurunan


jumlah penerbitan SBN atau membatalkan pinjaman. Dalam praktiknya,
pembatalan pinjaman sejauh mungkin dihindari karena dapat memberikan
implikasi negatif terhadap reputasi negara.

Seputar Pembiayaan Nonutang


Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, pembiayaan utang merupakan
sumber dana utama pemerintah untuk menutup defisit anggaran, baik
dari utang dalam negeri maupun luar negeri. Berbeda dengan pembiayaan
utang yang berfungsi menutup defisit (ada arus kas masuk), pembiayaan

20
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

nonutang lebih banyak merupakan pengeluaran dari sisi pembiayaan untuk


tujuan tertentu.
Pengeluaran pembiayaan tidak Berdasarkan sifatnya, pembiayaan nonutang tidak dapat dijadikan sumber
sama dengan belanja negara pendanaan dalam membiyai defisit anggaran. Namun perlu diingat,
pengeluaran dari sisi pembiayaan ini tidaklah sama dengan belanja negara.
Belanja negara merupakan pengeluaran murni pemerintah. Dalam hal
ini, pengeluaran dari sisi pembiayaan merupakan pengeluaran yang akan
diterima kembali, baik pada tahun anggaran bersangkutan maupun pada
tahun-tahun anggaran berikutnya.
Pembiayaan nonutang untuk Selain itu, keperluan pembiayaan nonutang sangat berhubungan dengan
mendukung program-program kebijakan pemerintah dalam kerangka mendukung program-program
pemerintah pemerintah. Sebagai contoh pembiayaan investasi, pembiayaan tersebut
sebagian besar dipergunakan untuk meningkatkan kapasitas Badan Usaha
Milik Negara (BUMN) dan Badan Layanan Umum (BLU). Harapannya, ada
peningkatan kapasitas terhadap BUMN dan BLU agar mampu berperan
sebagai agent of development serta dapat meningkatkan layanan kepada
masyarakat dengan tujuan akhir peningkatan taraf hidup masyarakat
Indonesia. Untuk memberikan gambaran lebih jelas, kedudukan pembiayaan
nonutang dalam postur APBN dapat dilihat dalam Diagram 2.4 berikut.
Diagram 2.4
Kedudukan Pembiayaan Nonutang dalam Postur APBN
Pend a pa ta n Nega ra
- Pendapatan Perpajakan
- Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP)
- Pendapatan Hibah

B ela nja Nega ra


- Belanja Pemerintah Pusat
- Klasifikasi Organisasi Fungsi dan
Jenis Belanja
- Transfer ke Daerah dan Dana Desa

S urplus /Def is it Angga ra n

Pem bia ya a n Angga ra n


- Pembiayaan Utang
- Pembiayaan Investasi
- Pemberian Pinjaman Pembiayaan
- Kewajiban Penjaminan Non Utang
- Pembiayaan Lainnya

Perubahan klasifikasi pembiayaan


Melihat perkembangan pencatatannya dalam postur APBN, klasifikasi
nonutang dalam postur APBN pembiayaan nonutang mengalami perubahan pada Nota Keuangan APBN
tahun 2016. Perubahan tersebut bertujuan untuk memudahkan pembaca

21
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

atau pengguna informasi terkait pembiayaan dalam memahami kegunaan


dari masing-masing informasi yang berkaitan dengan pembiayaan anggaran.
Perbedaan antara sebelum dan sesudah dilakukannya reklasifikasi
pembiayaan nonutang dapat dilihat dalam tabel berikut Tabel 2.1.
Berdasarkan tabel di samping, dapat dilihat dengan jelas masing-masing
jenis pembiayaan yang termasuk dalam kategori pembiayaan nonutang
terdiri dari: pembiayaan investasi, pemberian pinjaman, kewajiban
penjaminan, dan pembiayaan lainnya. Sebagaimana sudah dijelaskan
sebelumnya bahwa karakteristik utama dari pembiayaan nonutang lebih
mengarah kepada pengeluaran pembiayaan, namun terdapat pengecualian
untuk pembiayaan lainnya.
Pembiayaan lainnya yang terdiri atas hasil pengelolaan aset (HPA) dan
saldo anggaran lebih (SAL) merupakan penerimaan pembiayaan yang dapat
dimanfaatkan untuk menutup defisit. Namun bila dibandingkan besaran
pemasukan dari pembiayaan lainnya dengan pemasukan dari pembiayaan
utang, penerimaan yang diterima dari HPA dan SLA jauh lebih kecil bila
dibandingkan dengan pembiayaan utang.
Penjelasan lebih terperinci mengenai masing-masing komponen penyusun
pembiayaan nonutang dan karakteristik dari masing-masing jenis
pembiayaan tersebut akan dibahas lebih lanjut dalam bab-bab selanjutnya.

22
KLASIFIKASI LAMA KLASIFIKASI BARU
1. Pembiayaan Non Utang 1. Pembiayaan Investasi
1.1. Perbankan Dalam Negeri 1.1. Investasi Kepada BUMN
1.1.1. Penerimaan Cicilan Pengembalian Penerusan Pinjaman 1.1.1. ...
1.1.2. Saldo Anggaran Lebih (SAL) 1.2. Investasi Kepada Lembaga/Badan Lainnya
1.2. Non Perbankan Dalam Negeri 1.2.1. ...
1.2.1. Hasil Pengelolaan Aset (HPA) 1.3. Investasi Kepada BLU
1.2.2. Dana Investasi Pemerintah 1.3.1. Dana Bergulir
1.2.2.1. Penerimaan Kembali Investasi 1.3.2. Dana Pengembangan Pendidikan Nasional (DPPN)
1.2.2.2.1. Dana Bergulir BLU BPJT 1.3.3. Lembaga Manajemen Aset Negara (LMAN)
1.2.2.2. Penyertaan Modal Negara 1.4. Investasi kepada Organisasi/ LKI/ Badan Usaha Internasional
1.2.2.2.1. PMN kepada BUMN 1.4.1. ...
1.2.2.3.1.1. ... 1.5. Penerimaan Kembali Investasi
PMN kepada Organisasi/ Lembaga
1.2.2.2.2. 1.6. Cadangan Pembiayaan Investasi
Keuangan Internasional
2.2.2.3.2.1. ... 1.6.1. Investasi kepada BUMN
1.2.2.2.3. PMN Lainnya 1.6.2. Investasi kepada Lembaga/Badan Lainnya
2.2.2.3.3.1. ... 2. Pemberian Pinjaman

1.2.2.3. Dana Bergulir 2.1. Pinjaman kepada BUMN/Pemda/Lembaga/ Badan Lainnya

1.2.2.3.1. ... 2.1.1. Pinjaman kepada BUMN/Pemda (Neto)


1.2.2.4. Pembiayaan Investasi kepada BLU Lembaga 2.1.1.1. Pinjaman kepada BUMN/Pemda (Bruto)
Penerimaan cicilan pengembalian pinjaman kepada
1.2.3. Kewajiban Penjaminan 2.1.1.2.
BUMN/Pemda
1.2.4. Dana Pengembangan Pendidikan Nasional 3. Kewajiban Penjaminan
1.2.5. Cadangan Pembiayaan 3.1. Penugasan Percepatan Pembangunan Infrastruktur Nasional
2.2. Penugasan Kepada BUMN dalam rangka Pembiayaan Infrastruktur
Daerah
4. Pembiayaan Lainnya
4.1. Hasil Pengelolaan Aset (HPA)
4.2. Saldo Anggaran Lebih (SAL)

Tabel 2.1
Reklasifikasi Pembiayaan Nonutang

23
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

BGUFGUYFYUYDYTUDYT-
DTYFTFYUFYFG

24
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

Jalur
Ganda
Cirebon
Kroya
Proyek rel ganda itu
merupakan bagian dari
pembangunan rel ganda
antara Cirebon-Kroya dan kini
tinggal merampungkan
Purwokerto-Kroya.
Pembangunan rel ganda
ditargetkan rampung pada
2019 mendatang

Bab

3
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekedar Defisit dan Utang

SURAT
BERHARGA
NEGARA
Bagian ini berisikan uraian secara teknis mengenai
perencanaan dan penganggaran pembiayaan utang,
khususnya SBN: definisinya, bagaimana perencanaan itu
dilaksanakan dan bagaimana penganggarannya,
kebijakannya, serta perhitungannya dalam postur APBN. SBN
merupakan surat utang yang dijamin pembayaran pokok dan
bunga/marjinnya oleh Pemerintah. Oleh sebab itu, SBN
dikatakan sebagai alternatif investasi yang relatif bebas risiko
gagal bayar/default.

25
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

Bab

3 SURAT
BERHARGA
NEGARA
Surat Berharga Negara (SBN) berperan menutup
defisit anggaran dan membiayai pembiayaan
investasi. Tapi SBN juga memiliki peran lain yang
jarang diketahui.

SBN dalam APBN

Jenis SBN

Perhitungan SBN dalam Postur APBN

26
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

SBN dalam APBN


Dalam postur APBN, SBN berada dalam rumpun pembiayaan utang di dalam
bagian pembiayaan anggaran (below the line) sebagaimana ditunjukkan pada
Diagram 3.1 di bawah ini.
Diagram 3.1
Kedudukan SBN dalam Postur APBN
(triliun rupiah)
2017
URAIAN
APBNP

E . Pem bia ya a n Angga ra n 397,2


I. Pem bia ya a n Uta ng 461,3
- SBN (neto) 467,3
- Pinjaman (neto) (6,0)
1. Pinjaman Dalam Negeri (neto) 1,7
a. Penarikan Pinjaman Dalam Negeri (Bruto) 2.500,0
b. Pembayaran Cicilan Pokok PDN (767,0)
2. Pinjaman Luar Negeri (neto) (7,7)
a. Penarikan Pinjaman Luar Negeri (Bruto) 57.500,3
b. Pembayaran Cicilan Pokok Pinjaman LN (65.204,0)
II. Pem bia ya a n Inves ta s i (59,7)
III. Pem beria n Pinja m a n (3,7)
IV . K ew a jiba n Penja m ina n (1,0 )
V . Pem bia ya a n L a innya 0 ,3

S B N bersama dengan pinja m a n merupakan instrumen utama


Pemerintah untuk menutup defisit APBN dan membiayai
pembiayaan investasi.

SBN merupakan sumber Saat ini, SBN merupakan sumber pembiayaan utang yang utama. Dalam
pembiayaan yang utama tahun 2013-2017, rata-rata realisasi SBN neto sebesar 100,1 persen dari
pembiayaan utang sebagaimana digambarkan dalam Grafik 3.1.
SBN memiliki peran yang sangat penting untuk menutup defisit APBN. Di
samping membiayai defisit, SBN juga berfungsi untuk menutup kekurangan
kas jangka pendek dimana selisih kas (cash mismatch) muncul pada saat
kas negara yang tersedia tidak mencukupi untuk membiayai pengeluaran
belanja yang tidak bisa ditunda. Pada kondisi ini, anggaran negara belum
tentu defisit, hanya saja penerimaan (pajak, cukai, dll) belum sepenuhnya
masuk ke kas negara. Selisih kas ini biasanya ditalangi melalui penerbitan
SBN jangka pendek dengan tenor di bawah 1 tahun. Selain itu, SBN juga
berkontribusi utama dalam membiayai pembiayaan investasi (dibahas pada
bab tersendiri).

27
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

Grafik 3.1
Realisasi SBN (Neto) Tahun 2013-2017

(Triliun Rupiah)

500,00 467,31 461,34


450,00
407,26 403,01
400,00 380,92
362,26
350,00

300,00
264,63 255,73
250,00 224,67
223,22
200,00

150,00

100,00

50,00

-
2013 2014 2015 2016 2017*

SBN (Neto) Pembiayaan Utang

Keterangan: *Data LKKP kecuali tahun 2017 menggunakan data APBNP,


sumber Kementerian Keuangan

Dalam konteks pengelolaan utang sampai dengan saat ini, Pemerintah


menggunakan strategi front loading dalam penerbitan SBN. Strategi front
loading dilakukan dengan menerbitkan lebih banyak SBN pada semester I
dalam satu tahun anggaran. Hal ini dilakukan dengan mempertimbangkan
kondisi penyerapan pasar dan perekonomian. Salah satu alasannya adalah
untuk menghindari kesulitan likuiditas dan potensi kenaikan suku bunga
di semester II. Tentu saja ada strategi lain yang dilakukan pemerintah,
yaitu pengembangan pasar SBN dan Bond Stabilization Framework (BSF).
Pengembangan pasar ini salah satunya dimaksudkan agar masyarakat lebih
mudah membeli SBN. BSF merupakan kerangka untuk mengantisipasi
dampak krisis SBN domestik antara lain berupa pembelian SBN di pasar
sekunder.

Jenis SBN
Surat Berharga Negara (SBN) pada awalnya diterbitkan untuk membiayai
pelaksanaan program restrukturisasi dan rekapitalisasi perbankan akibat
terjadinya krisis keuangan dan moneter di Indonesia pada tahun 1997.
Pemerintah saat itu menerbitkan surat utang kepada BI untuk keperluan
program penjaminan (termasuk pengalihan hak Bantuan Likuiditas Bank
Indonesia (BLBI)) dan menerbitkan obligasi negara kepada bank-bank
umum. 1

1 http://www.bppk.kemenkeu.go.id/publikasi/artikel/147-artikel-anggaran-dan perbendaharaan/20145-
peran-surat-utang-negara-sebagai-penutup-defisit-apbn

28
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

Jenis-jenis SBN Selanjutnya, instrumen SBN konsisten diterbitkan dan dikembangkan oleh
Pemerintah. Bahkan, posisinya semakin dominan dalam pembiayaan anggaran
yang terus diiringi dengan upaya Pemerintah untuk mengembangkan pasar
SBN di Indonesia agar aktif, dalam, dan likuid. Selain itu, Pemerintah juga
memiliki kerangka stabilisasi pasar obligasi yang disebut Bond Stabilization
Framework (BSF).
SBN terdiri dari Surat Utang Negara (SUN) dan Surat Berharga Syariah Negara
(SBSN). Dasar hukum SUN diatur dalam UU Nomor 24 Tahun 2002 tentang
SUN dan untuk SBSN diatur dalam UU Nomor 19 Tahun 2008. Perbedaan
SUN dan SBSN dapat dirangkum dalam Tabel 3.1 berikut.
Tabel 3.1
Perbedaan SUN dan SBSN

No Uraian Surat Utang Negara Sukuk Negara/SBSN

1 Prinsip Dasar Surat Berharga yang merupakan Surat Berharga yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah,
surat pengakuan utang tanpa sebagai bukti kepemilikan/ penyertaan terhadap Aset SBSN.
syarat dari penerbit.
2 Underlying Asset Tidak ada memerlukan underlying asset sebagai dasar penerbitan

3 Fatwa/ Opini Tidak ada Memerlukan Fatwa/Opini Syariah untuk menjamin kesesuaian
Syariah sukuk dengan prinsip syariah.
4 Penggunaan Dana Sumber Pembiayaan APBN Sumber pembiayaan APBN, termasuk Pembiayaan proyek
pemerintah
5 Return Bunga, capital gain imbalan, bagi hasil, margin, capital gain

6 Dasar Hukum Undang-Undang Nomor 24 tahun Undang-Undang Nomor 19 tahun 2008 tentang Surat Berharga
2001 tentang Surat Utang Negara Syariah Negara

Jenis SBN berdasarkan mata uang Sementara itu, dilihat dari mata uang penerbitannya, SBN terdiri dari
penerbitan SBN domestik dan valuta asing (valas). Penerbitan SBN valas diperlukan
mengingat kemungkinan terjadinya crowding out effect di pasar keuangan
domestik apabila seluruh SBN diterbitkan di pasar domestik. Penerbitan
SBN valas juga dilakukan sebagai benchmarking instrumen obligasi valas
yang diterbitkan oleh sektor swasta. Selain itu, penerbitan SBN valas juga
dapat digunakan untuk membayar kewajiban-kewajiban valas Pemerintah
dan memperkuat cadangan devisa nasional.
SBN valas diterbitkan dalam mata uang kuat (hard currency). Saat ini, SBN
valas terdiri dari SBN dengan mata uang USD, Yen, serta Euro. Selain itu, SBN
juga dapat dibedakan menjadi SBN yang dapat diperdagangkan (tradable)
dan SBN yang tidak dapat diperdagangkan (nontradable).
Terminologi dalam SBN Dalam SBN, dikenal terminologi bunga atau kupon (coupon) dan imbal hasil
atau tingkat keuntungan (yield). SBN ada yang dijual dengan sistem diskonto
maupun dengan kupon. SBN dengan sistem diskonto, pembayaran bunganya
secara implisit di dalam selisih harga antara harga SBN saat penerbitan dan
nilai nominal yang diterima saat jatuh tempo. Sementara itu, SBN dengan
sistem kupon, pembayaran bunganya dihitung dengan persentase tertentu
atas nilai nominal SBN dan dibayarkan secara berkala.

29
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

Dalam hal jenis tingkat bunga, terdapat SBN dengan tingkat bunga tetap
(fixed rate) dan tingkat bunga mengambang (variable rate).
Pemerintah terus berupaya mencari kombinasi yang optimal antara harga
dan risiko SBN. Sebagai contoh, posisi jatuh tempo SBN misalnya, dihindari
bahwa seluruhnya jatuh tempo dalam waktu bersamaan atau terlalu
dekat karena akan menimbulkan tekanan yang besar bagi APBN dalam hal
pembayaran pokok SBN.
Dampak penerbitan terhadap Biaya bunga yang timbul akibat penerbitan SBN dibebankan ke dalam bagian
postur APBN belanja bunga dalam belanja Pemerintah Pusat (above the line). Sementara
untuk pembayaran cicilan pokok SBN dan pembelian kembali SBN (cash
buyback) menjadi bagian dari SBN neto di bagian pembiayaan (below the line).
Sebenarnya tidak hanya SBN, namun semua biaya bunga yang timbul
dari utang Pemerintah menjadi bagian dari belanja bunga di dalam
belanja Pemerintah Pusat. Sementara itu, cicilan pokok utangnya menjadi
faktor pengurang penarikan utang (termasuk pinjaman) bruto sehingga
menghasilkan nilai utang neto.
Diagram 3.2
Jenis-jenis SBN

Surat Utang Negara (SUN) sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 24


Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara merupakan surat berharga yang
berupa surat pengakuan utang dalam mata uang rupiah maupun valuta
asing yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh Negara Republik
Indonesia sesuai dengan masa berlakunya.

30
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

Tujuan penerbitan SUN Tujuan penerbitan SUN adalah dimaksudkan untuk:


1. membiayai defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN);
2. menutup kekurangan kas jangka pendek akibat ketidaksesuaian antara
arus kas penerimaan dan pengeluaran dari Rekening Kas Negara dalam
satu tahun anggaran;
3. mengelola portofolio utang negara.
Pemerintah Pusat berwenang menerbitkan SUN setelah mendapat
persetujuan DPR yang disahkan dalam kerangka pengesahan APBN dan
setelah berkonsultasi dengan Bank Indonesia. Atas penerbitan tersebut,
Pemerintah berkewajiban membayar bunga dan pokok pada saat jatuh
tempo. Dana untuk pembayaran bunga dan pokok SUN disediakan di dalam
APBN.
Jenis-jenis SUN SUN terdiri dari Surat Perbendaharaan Negara (SPN) dan Obligasi Negara
(ON). SPN merupakan surat utang yang berjangka waktu sampai dengan 12
bulan yang pembayaran bunganya dilakukan secara diskonto, sementara
ON merupakan surat utang yang jangka waktu jatuh temponya di atas 12
bulan dan pembayaran bunganya dengan kupon dan atau secara diskonto.
Dari sisi mata uang, SUN diterbitkan dalam mata uang rupiah dan valas.
SUN dalam mata uang valas yang pernah diterbitkan adalah dalam kurs
dolar AS, JPY, dan Euro.
Ada lima jenis Surat Utang Negara yang diterbitkan oleh Pemerintah2 :
1. SPN/T-bills, SPN dijual kepada investor institusi melalui lelang dan private
placement, jangka waktu maksimum 1 tahun dalam denominasi Rupiah
dan tingkat kupon berupa diskonto;
2. Obligasi Negara Ritel (ORI) di pasar perdana hanya dijual kepada investor
individu (WNI) melalui Agen Penjual dengan minimal pembelian Rp5 juta.
Jangka waktu ORI rata-rata 3 tahun dengan jenis mata uang Rupiah.
Kupon bersifat tetap (fixed) dan dapat diperdagangkan di pasar sekunder.
3. SUN valuta asing diterbitkan melalui oleh Joint Lead Manager (JLM) di
pasar internasional. Saat ini SUN denominasi valas diterbitkan dalam
mata uang USD, EUR, dan JPY;
4. Saving Bond Ritel (SBR) SBR dijual kepada individu melalui agen penjual.
Minimal pembelian SBN adalah lima juta rupiah dengan kupon
mengambang mengikuti suku bunga LPS dengan batas kupon minimal
(floating with floor) dan sifatnya tidak dapat diperdagangkan.
5. Obligasi Negara (ON) atau T-bonds dijual kepada institusi melalui lelang
dan private placement. Jangka waktu ON diatas 1 tahun, dengan jenis mata
uang Rupiah atau USD. Kupon Obligasi Negara dapat bersifat tetap (fixed),
dibayar setiap 6 bulan atau bersifat mengambang (floating) yang dibayar
setiap 3 bulan sekali.

2 DJPPR,2016, http://www.djppr.kemenkeu.go.id/page/load/1655, 29 Agustus 2016

31
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

Boks 3.1
ILUSTRASI HASIL INVESTASI ORI
Apabila seseorang membeli ORI dengan pokok sebesar Rp20 juta dan nilai kupon 9%, maka ia
akan mendapat keuntungan:
9%/12 x Rp20.000.000,00 = Rp150.000,00 setiap bulannya sampai dengan jatuh tempo.
Namun, apabila ia menjual ORI sebelum jatuh tempo dengan harga 108%, maka keuntungannya
menjadi:
9%/12 x Rp20.000.000,00 = Rp150.000,00 setiap bulan sampai ORI tersebut dijual
Ditambah
(108% - 100%) x Rp20.000.000,00 = Rp1.600.000,00 (capital gain)
Akan tetapi, apabila ORI tersebut dijual dengan harga 90%, maka keuntungannya menjadi:
9%/12 x Rp20.000.000,00 = Rp150.000,00 setiap bulan sampai ORI tersebut dijual
Ditambah
(90%-100%) x Rp20.000.000,00 = -Rp2.000.000,00 (capital loss)
*ilustrasi belum memperhitungkan biaya lainnya, misalnya pajak atau biaya transaksi di pasar sekunder

SBSN instrumen keuangan Sementara itu, SBSN atau disebut Sukuk Negara baru disahkan pada tanggal
berbasis syariah 7 Mei 2008 dalam bentuk UU Nomor 19 Tahun 2008. Hal ini menimbang
bahwa instrumen keuangan berbasis syariah memiliki peluang besar
yang belum dimanfaatkan secara optimal. Karena karakteristik instrumen
keuangan syariah tidak sama dengan konvensional, perlu diberlakukan
pengaturan dan pengelolaan khusus terhadap instrumen ini.
SBSN merupakan surat berharga negara yang diterbitkan berdasarkan
prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap Aset SBSN,
baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing (pasal 1 UU SBSN Nomor
19 Tahun 2008). Dengan demikian untuk penerbitan SBSN, Pemerintah harus
memiliki aset SBSN yang memiliki nilai ekonomis sebagai dasar penerbitan,
baik berupa Barang Milik Negara (BMN) maupun proyek Pemerintah yang
berupa tanah/bangunan atau selain itu.
Penerbitan SBSN Penerbitan SBSN dapat dilakukan langsung oleh Pemerintah maupun
melalui Perusahaan Penerbit SBSN. Dalam melakukan penerbitan SBSN,
Menteri Keuangan terlebih dahulu berkoordinasi dengan Bank Indonesia.
Namun, khusus untuk penerbitan SBSN dalam rangka pembiayaan proyek,
Menteri Keuangan berkoordinasi dengan Bappenas.
Sesuai Pasal 4, UU tentang SBSN, tujuan penerbitan SBSN adalah untuk
membiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara termasuk membiayai
pembangunan proyek.
Penerbitan SBSN terlebih dahulu harus mendapat persetujuan DPR saat
pengesahan APBN dan diperhitungkan sebagai bagian dari nilai bersih
maksimal SBN yang akan diterbitkan Pemerintah dalam satu tahun anggaran.
Persetujuan ini tidak hanya memuat pembayaran semua kewajiban imbalan
dan nilai nominal yang timbul akibat penerbitan, tetapi juga BMN yang akan
dijadikan sebagai Aset SBSN. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya,
penerbitan SBSN harus memiliki aset sebagai underlying baik berupa BMN
maupun proyek dalam APBN. Namun, dalam hal-hal tertentu, SBSN yang
diterbitkan dapat melebihi nilai bersih maksimal yang telah disetujui DPR.

32
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

Hal ini dilaporkan sebagai bagian APBN Perubahan dan atau disampaikan
dalam Laporan Realisasi Anggaran tahun yang bersangkutan.
Jenis-jenis SBN Secara umum, SBSN memiliki jenis bertenor pendek (jatuh temponya s.d.
satu tahun) dan SBSN bertenor panjang (jatuh temponya di atas satu tahun).
Yang termasuk SBSN tenor pendek adalah seri SPNS.
Sementara itu, dari sisi mata uang, SBSN utamanya adalah dalam bentuk
SBSN rupiah dan sebagian dalam bentuk valas. SBSN valas saat ini baru ada
dalam mata uang dolar AS.
Adapun jenis sukuk negara yang telah diterbitkan oleh pemerintah adalah
sebagai berikut3.

1. Surat Perbendaharaan Negara Syariah (SPNS)


SPNS atau bisa juga disebut SBSN Jangka Pendek adalah SBSN yang
berjangka waktu sampai dengan 12 (dua belas) bulan dengan pembayaran
imbalan berupa kupon dan/atau secara diskonto. SPNS dijual kepada
investor institusi melalui lelang dan private placement dengan mata uang
Rupiah. Akad yang dapat digunakan pada produk ini adalah Akad Ijarah,
Akad Istishna’, Akad Musyarakah, Akad Mudarabah, atau akad lain yang sesuai
dengan prinsip syariah. SPNS pertama kali terbit dilakukan melalui lelang
pada tanggal 4 Agustus 2011, dan selanjutnya diterbitkan secara reguler
melalui lelang.

2. Sukuk Ritel
Sukuk Ritel adalah sukuk negara yang ditujukan sebagai instrumen
investasi bagi Warga Negara Indonesia (WNI) yang dijual melalui agen
penjual. Hasil penerbitan Sukuk Ritel ini akan digunakan untuk membiayai
pembangunan proyek-proyek infrastruktur di Indonesia. Sukuk Ritel
dijual kepada investor individu melalui Agen Penjual dengan pembelian
minimal 5 juta Rupiah. Kupon Sukuk Ritel bersifat fixed, dibayar tiap bulan
dan dapat diperjualbelikan.
Akad syariah dalam penerbitan Sukuk Ritel berbasis sewa (ijarah),
yaitu Sukuk yang mencerminkan kepemilikan aset berwujud yang
disewakan/akan disewakan. Sukuk Ritel bukan pernyataan utang namun
mencerminkan bukti kepemilikan terhadap Aset SBSN (underlying asset)
yang disewakan/akan disewakan. Investor Sukuk Ritel akan menerima
ujrah atau uang sewa dalam jumlah tetap secara berkala dari transaksi
tersebut. Sejak penerbitan perdana tahun 2009, Sukuk Ritel telah
diterbitkan dengan dua skema ijarah, yaitu Ijarah Sale and Lease Back dan
Ijarah Asset to be Leased.

3. Islamic Fixed Rate (IFR)


IFR jenis sukuk negara yang dijual kepada investor institusi melalui lelang
dan private placement dalam jangka waktu di atas 1 tahun. Jenis imbalan

3 DJPPR, 2016, http://www.djppr.kemenkeu.go.id/page/load/1656, 29 Agustus 2017


33
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

atau kupon IFR bersifat fixed dengan pembayaran tiap 6 bulan sekali
menggunakan mata uang Rupiah. IFR dapat diperdagangkan di pasar
sekunder.
IFR terbit perdana pada tahun 2008, penerbitan IFR dilakukan dengan
cara backbuilding di pasar dalam negeri. Namun sejak tersedianya sistem
lelang sukuk negara, maka sejak tahun 2009 penerbitan IFR dilakukan
dengan metode lelang yang dilaksanakan secara regular dan diikuti oleh
peserta lelang. Selanjutnya mulai tahun 2011, sukuk negara seri IFR ini
tidak diterbitkan lagi, dan digantikan dengan seri PBS (Project Based Sukuk)
yang memiliki fitur relatif sama dengan seri IFR.

4. Sukuk Dana Haji Indonesia (SDHI)


SDHI adalah penempatan Dana Haji dan Dana Abadi Umat (DAU)
dalam SBSN yang dilakukan dengan cara private placement, berdasarkan
kesepakatan bersama (MoU) antara Kementerian Agama dengan
Kementerian Keuangan. SDHI dijual kepada investor institusi lembaga
pengelola dana haji melalui private placement. Imbalan SDHI berupa kupon
yang bersifat fixed dan dibayarkan setiap bulan dengan menggunakan
mata uang Rupiah. SDHI tidak dapat diperdagangkan. Jenis akad yang
digunakan adalah Ijarah al-Khadamat dengan underlying assets berupa jasa
(services) layanan haji yang terdiri dari jasa flight (penerbangan), catering
(makanan), dan housing (pemondokan).
Sukuk Dana Haji Indonesia dengan cara private placement pertama kali
dilaksanakan pada bulan Mei 2009. Selanjutnya penempatan dana haji
dalam SBSN dilakukan secara periodik setiap tahunnya oleh Kementerian
Agama.

5. Project Based Sukuk (PBS)


PBS adalah sumber pendanaan melalui penerbitan SBSN untuk
membiayai kegiatan tertentu yang dilaksanakan oleh Kementerian
Negara/Lembaga. SBSN PBS dijual kepada investor institusi melalui lelang
dan private placement, menggunakan underlying berupa proyek maupun
kegiatan APBN. Imbalan SBSN PBS berupa kupon yang bersifat fixed dan
dibayarkan setiap 6 bulan sekali dengan jenis mata uang Rupiah. SBSN
PBS dapat diperdagangkan. PBS itu sendiri disusun dengan menggunakan
struktur ijarah Asset to be Leased dengan menggunakan underlying asset
berupa proyek Pemerintah dalam APBN.

6. Sukuk Valas
Sukuk Valas adalah SBSN yang diterbitkan dalam denominasi valas di
pasar perdana internasional, dengan tingkat imbalan tetap, serta dapat
diperdagangkan (tradable). Sukuk Valas diterbitkan di pasar internasional
dalam mata uang USD, melalui penjualan Joint Lead Manager (JLM). Sukuk
Valas pertama kali terbit pada maret 2016 dengan jangka waktu 10 tahun.

34
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

7. Sukuk Tabungan
Sukuk Tabungan merupakan jenis dari SBSN yang diterbitkan untuk
individu WNI. Sukuk Tabungan dijual kepada investor individu WNI melalui
Agen Penjual dengan pembelian minimal 2 juta Rupiah. Kupon Sukuk
Ritel bersifat fixed dan dibayarkan tiap bulan. Sukuk Tabungan tidak dapat
diperdagangkan, namun memiliki fasilitas early redemption. Akad yang
digunakan adalah Wakalah. Mulai dipasarkan pertama kali pada Agustus
2016.

Perhitungan SBN dalam Postur APBN


SBN merupakan bagian dari pembiayaan utang yang dicatat di below the line
postur APBN sebagaimana item pembiayaan yang lain, yakni pembiayaan
investasi, pemberian pinjaman, kewajiban penjaminan, dan pembiayaan lain.
Makna dari below the line adalah, bahwa semua item yang terdapat di dalamnya
tidak mempengaruhi besaran defisit, sebab defisit hanya dipengaruhi oleh
pendapatan dan belanja negara saja.
Diagram 3.3
SBN Neto dalam Pembiayaan Utang

Uraian
A. Pembiayaan Utang
I SBN (Neto)
1. Penerbitan
SBN Dalam Negeri
SBN Internasional
2. Pembayaran Pokok dan Pembelian Kembali
II Pinjaman (Neto)

SBN Neto
SBN Neto terdiri
terdiri dari
dari Penerbitan
Penerbitan (SBN
(SBN Bruto)
Bruto) dan
dan
Pembayaran Pokok
Pembayaran Pokok (SBN)
(SBN) dan
dan Pembelian
Pembelian Kembali/
Kembali/
Buyback
Buyback

Perhitungan SBN (neto) dalam SBN dalam postur APBN termasuk dalam kategori pembiayaan utang
postur APBN bersama dengan pinjaman. Namun, perbedaan SBN dengan pinjaman
terutama bahwa dalam pinjaman terdapat perjanjian komitmen pinjaman
dengan debitur yang dapat disebut loan agreement, sementara dalam SBN
tidak ada.
SBN yang dicantumkan dalam postur dan UU APBN setiap tahunnya adalah
SBN dalam bentuk neto (SBN neto). SBN neto merupakan selisih dari total
penerbitan SBN bruto dikurangi SBN jatuh tempo. SBN jatuh tempo terdiri
atas jumlah SBN yang jatuh tempo dan cash buyback (SBN yang dibeli kembali
oleh Pemerintah).
Jumlah penerbitan bruto dan pembayaran SBN jatuh tempo merupakan
strategi yang dapat berubah pada saat tahun anggaran berjalan,
menyesuaikan kebutuhan dan kondisi pasar, serta kombinasi biaya dan

35
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

risiko yang paling optimal. Pihak yang melaksanakan strategi dan teknis
penerbitan SBN adalah Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan
Risiko (DJPPR), Kementerian Keuangan.
SBN sumber pembiayaan utang Pembiayaan utang yang bersumber dari SBN memang relatif fleksibel.
yang fleksibel Fleksibilitas tersebut bermakna bahwa target SBN dapat bergerak lebih
dinamis pada saat penyusunan APBN dibandingkan sumber pembiayaan
lain, misalnya pinjaman kegiatan yang dalam perencanaannya membutuhkan
waktu yang cukup panjang.
Sebagai gambaran, jika terdapat kebutuhan defisit sebesar X rupiah, jumlah
penerbitan SBN umumnya lebih dari X rupiah karena SBN bersama dengan
pinjaman juga harus membiayai kebutuhan pembiayaan investasi dan
kewajiban penjaminan yang juga terdapat di below the line. Angka SBN dalam
postur bernilai positif mengindikasikan ada aliran uang masuk ke dalam
postur APBN. Dalam hal ini, SBN termasuk dalam golongan penerimaaan
pembiayaan.
Penerbitan SBN masuk ke dalam SBN dapat berasal dari dalam negeri maupun luar negeri, seperti telah
Rekening Kas Umum Negara disampaikan sebelumnya. Kemudian, seluruh dana dari penerbitan SBN akan
(RKUN) masuk ke dalam rekening kas umum negara (RKUN) sebagai pembiayaan
untuk kebutuhan pelaksanaan APBN secara umum (general financing), kecuali
SBSN khususnya SBSN pembiayaan proyek.
Diagram 3.4
Perubahan Nilai SBN (neto) dalam Postur APBN (1)
Dana di kas umum negara ini bersama-sama dengan pendapatan negara,

Pos t ur APB N Pos t ur I Pos t ur II

PENDAPATAN NEGARA 1.000 800


BELANJA NEGARA 1.200 950
DEFISIT 200 150
PEMBIAYAAN ANGGARAN 20 0 150
- Pembiayaan Utang 36 0 310
1 SBN 390 340
2 Pinjaman (30) (30)
- Pembiayaan Investasi (100) (100)
- Pemberian Pinjaman 20 20
- Kewajiban Penjaminan (90) (90)
- Pembiayaan Lainnya 10 10
Perubahan defisit memengaruhi kebutuhan pembiayaan utang

baik dari perpajakan, bukan pajak (Pendapatan Negara Bukan Pajak/ PNBP),
maupun hibah akan membiayai kebutuhan APBN tahun berjalan, misalnya
untuk dana pendidikan, kesehatan, infrastruktur, subsidi, dan lain-lain.
Diagram 3.4 mengasumsikan bahwa yang mengalami perubahan hanya
pendapatan dan belanja negara, sementara semua komponen dalam
pembiayaan anggaran (selain pembiayaan utang) tidak berubah.

36
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

Diagram 3.4 tersebut menjelaskan beberapa situasi dalam postur APBN


sebagai berikut:
1. Dalam rangka menyusun postur APBN tahun XY, Kementerian
Keuangan c.q. Direktorat Penyusunan APBN melakukan exercise postur
APBN berdasarkan masukan angka dari stakeholder (Direktorat terkait,
Kementerian terkait).
2. Angka tersebut disusun dan dihasilkan kondisi postur APBN sebagaimana
dalam kolom “Postur 1”.
3. Apabila terdapat perubahan dalam hal 1) pendapatan negara diperkirakan
tidak sebesar itu, sehingga angka pendapatan dikurangi dari Rp1.000
triliun menjadi Rp800 triliun, 2) rencana belanja negara diputuskan untuk
dihemat dari Rp1.250 triliun menjadi Rp950 triliun, sehingga menghasilkan
kondisi 3) defisit berkurang dari Rp200 triliun menjadi Rp150 triliun,
karena penurunan belanja lebih besar dari penurunan pendapatan.
4. Karena terdapat penurunan defisit sebesar Rp50 triliun, maka perkiraan
kebutuhan pembiayaan anggaran untuk menutup defisit pun turun dari
Rp200 triliun menjadi Rp150 triliun atau sebesar Rp50 triliun sebagaimana
ditunjukkan dalam kolom “Postur 2”.
5. Dengan asumsi tidak ada perubahan lain, maka kebutuhan pembiayaan
utang pun turun sebesar Rp50 triliun. Penurunan pembiayaan utang ini
seluruhnya ditutup dari SBN (neto). Dengan demikian, SBN (neto) turun
Rp50 triliun dari Rp360 triliun menjadi Rp310 triliun.
Diagram 3.5
Perubahan Nilai SBN (neto) dalam Postur APBN (2)

Pos t ur APB N Pos t ur I Pos t ur II


PENDAPATAN NEGARA 1.000 1.000
BELANJA NEGARA 1.200 1.200
DEFISIT 200 200
PEMBIAYAAN ANGGARAN 200 200
- Pembiayaan Utang 360 300
1 SBN 390 330
2 Pinjaman (30) (30)
- Pembiayaan Investasi (100) (40)
- Pemberian Pinjaman 20 20
- Kewajiban Penjaminan (90) (90)
- Pembiayaan Lainnya 10 10

Perubahan pada pembiayaan investasi mempengaruhi kebutuhan


pembiayaan utang

Diagram 3.5 mengasumsikan bahwa yang mengalami perubahan hanya di


below the line (dalam hal ini, pembiayaan investasi), sementara semua item di
above the line (pendapatan dan belanja negara) diasumsikan tetap.
Diagram tersebut menjelaskan beberapa situasi dalam proses penyusunan
postur APBN:

37
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

1. Dalam rangka menyusun postur APBN tahun XY, Kementerian


Keuangan c.q. Direktorat Penyusunan APBN melakukan exercise postur
APBN berdasarkan masukan angka dari stakeholder (Direktorat terkait,
Kementerian terkait).
2. Angka tersebut disusun dan dihasilkan kondisi postur APBN sebagaimana
dalam kolom “Postur 1”.
3. Namun, dalam proses penyusunan postur tersebut kemudian terdapat
perubahan dalam hal 1) alokasi pembiayaan investasi, misalnya angka
Penyertaan Modal Negara (PMN) kepada BUMN, diputuskan untuk
dikurangi, sehingga nilai total pembiayaan investasi turun dari semua
Rp100 triliun menjadi Rp40 triliun atau berkurang Rp60 triliun. Angka
negatif pembiayaan investasi dalam postur hanya menunjukkan adanya
aliran kas keluar dari rekening kas negara.
4. Karena semua item tidak berubah, maka penurunan kebutuhan
pembiayaan investasi tersebut berakibat pada menurunnya kebutuhan
pembiayaan utang, namun Pemerintah tidak ingin mengurangi jumlah
Pinjaman.
5. Dengan demikian, nilai SBN (neto) yang akan dikurangi yaitu sebesar Rp60
triliun, dari semula Rp360 triliun menjadi Rp300 triliun sebagaimana
ditunjukkan dalam kolom “Postur 2”.

BOKS 3.2
Sukuk Pembiayaan Proyek
Sesuai amanat UU nomor 19 tahun 2008 tentang SBSN, tujuan penerbitan sukuk adalah
membiayai APBN termasuk pembiayaan proyek. Pada tahun 2010, Pemerintah mulai
menerbitkan Sukuk berbasis proyek (Project Based Sukuk/PBS). Dalam penerbitan SBSN,
Pemerintah menggunakan Barang Milik Negara dan atau proyek/kegiatan dalam APBN sebagai
underlying. Underlying dalam penerbitan PBS menggunakan proyek/kegiatan dalam APBN yang
telah mendapat persetujuan DPR RI melalui UU APBN setiap tahunnya dan sebagian berupa
BMN.
SBSN PBS terdiri dari dua jenis, yakni
Sukuk Project Underlying dan Sukuk Project
Financing. Sukuk project underlying dilakukan
dengan menggunakan proyek-proyek yang
tercantum dalam APBN sebagai underlying.
Mekanismenya, proyek yang menjadi
underlying dibiayai dengan rupiah murni
terlebih dahulu, dan ketika ada dana/proceed
dari penerbitan Sukuk tersebut, maka
biayanya akan digunakan untuk mengganti
rupiah murni yang telah dipakai untuk proyek tersebut. Sementara itu, dalam sukuk project
financing/ sukuk pembiayaan proyek, Pemerintah melakukan earmark pada belanja negara,
sehingga dana untuk pembiayaan proyek semata-mata berasal dari penerbitan sukuk tersebut.
Proceed sukuk pembiayaan proyek ditempatkan di rekening khusus (reksus).
Sukuk pembiayaan proyek membantu Pemerintah dalam penyediaan dana untuk pembangunan
infrastruktur. Sukuk ini selama ini digunakan untuk membiayai sebagian proyek-proyek di
Kementerian Perhubungan, Kementerian Agama, dan Kementerian Pekerjaan Umum dan
Perumahan Rakyat seperti proyek pembangunan jalur ganda rel kereta api, pembangunan
KUA dan asrama haji, pembangunan jalan dan sumber daya air, dan lain-lain. Namun pada
APBN tahun anggaran 2018, ada pengembangan jumlah kementerian/lembaga (K/L) yang
menggunakan sukuk pembiayaan proyek untuk sebagian pendanaannya menjadi tujuh K/L,
yakni Kementerian Perhubungan, Kementerian Agama, Kementerian Pekerjaan Umum dan
Perumahan Rakyat, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Riset,

38 Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, Badan Standardisasi Nasional, dan Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia. Perkembangan Sukuk pembiayaan proyek dapat dilihat dalam grafik berikut.
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

Jatigede
Dam Project
Jatigede Dam project adalah
proyek pembangunan
bendungan di Sungai Cimanuk,
Kabupaten Sumedang, Jawa
Barat. Terletak 19 km timur kota
Sumedang. Pembangunan
bendungan dimulai pada tahun
2008 dan selesai pada tahun
2015.

Bab

4
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit dan Utang

PINJAMAN
Secara umum, bagian ini berisikan uraian teknis mengenai
perencanaan dan penggaran pembiayaan utang, utamanya
yang berkaitan dengan pinjaman, baik itu pinjaman yang
berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri.
Butir-butir pembahasannya mencakup bagaimana
perencanaan dan penganggarannya dilaksanakan, apa saja
kebijakan, penghitungannya dalam memproyeksikan angka,
serta kendala yang dihadapi. Namun yang mendasar,
bahasan dalam bagian ini menginformasikan bagaimana
pinjaman termasuk komponennya tersebut dicantumkan
dalam postur APBN.

39
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

Bab

4 PINJAMAN
Salah satu pilihan menutup defisit adalah dengan
mencetak uang. Mengapa Negara lebih memilih
pinjaman luar negeri dibandingkan dengan
mencetak uang?

Seputar Pinjaman Pemerintah

Seputar Pinjaman Luar Negeri

Pinjaman Kegiatan dalam Postur APBN

Pinjaman Tunai

Pinjaman Dalam Negeri

40
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

Seputar Pinjaman Pemerintah


Bahasan mengenai pinjaman pemerintah tentu tidak terlepas dari kebijakan
fiskal yang akan ditempuh pemerintah, yaitu defisit. Dalam hal ini, kebijakan
fiskal yang ditempuh pemerintah sebagaimana tercantum dalam Nota
Keuangan (misal pada tahun 2017) adalah menjaga kesinambungan fiskal
dan mengendalikan risiko dalam jangka menengah dan panjang melalui
pengendalian defisit, rasio utang, dan keseimbangan primer.
Dalam kerangka pengendalian defisit tersebut, pemerintah akan
memanfaatkan sumber pembiayaan, terutama yang berasal dari utang.
Untuk diketahui, pinjaman merupakan salah satu instrumen pembiayaan
utang. Pinjaman terdiri dari pinjaman luar negeri dan dalam negeri, jenis
masing-masing pinjaman dapat digambarkan dalam Diagram 4.1.
Diagram 4.1.
Instrumen Pinjaman

PINJAMAN

Pi njaman Pi njaman
Luar Negeri Dalam Negeri

Pinjaman Tunai/ Pinjaman


Program Kegiatan

Pinjaman
Proyek/
Pinjaman
Kegiatan

Pemerintah tidak serampangan dalam melakukan perikatan pinjaman


kepada pemberi pinjaman (lender), yaitu berdasarkan kebijakan pemerintah
mengenai utang dan kesepakatan DPR sebagai perwakilan rakyat. Pengadaan
pinjaman luar negeri mengacu pada Strategi Pengelolaan Utang Jangka
Menengah dan Strategi Pembiayaan Tahunan. Strategi pinjaman secara
operasional dilakukan sebgai berikut:
1. Sumber pinjaman disesuaikan dengan karakteristik kegiatan.
2. Mencari calon pemberi pinjaman yang memiliki keahlian di bidang
pembiayaan yang dibutuhkan. Hal ini dimaksudkan untuk mendorong
terjadinya alih teknologi.
3. Memilih syarat dan ketentuan yang paling menguntungkan dan sesuai
dengan strategi pengelolaan utang.

41
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

Meskipun upaya pemerintah tersebut telah dilakukan, tetapi hal ini tidak
menghalangi terjadinya persepsi yang negatif mengenai keberadaan pinjaman
pemerintah ini. Namun fakta sebenarnya, pemerintah telah mengupayakan
agar pengelolaan pinjaman dikelola dalam batas-batas tata pengelolaan
yang baik (good governance). Diagram 4.2 berikut ini menggambarkan
persepsi masyarakat dihadapkan dengan praktik sebenarnya dalam
pengelolaan pinjaman. Harapannya, gambaran dalam diagram tersebut
membuka cakrawala berpikir masyarakat mengenai pinjaman.
Diagram 4.2
Persepsi Publik Vs Praktik Pengelolaan Pinjaman

Lender Driven • Pinjaman Luar Negeri dilakukan sesuai prinsip antara


Campur tangan Lender dalam lain: kehati-hatian dan tidak disertai ikatan politik.
perencanaan pengadaan • Sesuai kebutuhan pemerintah (RPJM)
pinjaman • Pelaksanaan kegiatan sebagian telah menggunakan
sistem Indonesia
PERSEPSI PUBLIK

Proses yang rigid

PRAKTIK
Proses perencanaan, pengadaan, sampai dengan
Kekakuan dalam siklus
pelaksanaan dilakukan secara hati-hati, terukur dan
pinjaman mulai dari tahapan
terarah untuk menjaga good governance
perencanaan sampai
pelaksanaan

Implementasi kegiatan yang lama


Akibat proses yang rigid, Keterlambatan implementasi kegiatan diakibatkan
penyelesaian output pinjaman antara lain oleh ketidaksiapan executing agency,
sering terlambat permasalahan lahan

Proses perikatan pinjaman Agar memperoleh gambaran utuh mengenai proses perikatan pinjaman
yang dilakukan pemerintah. Diagram 4.3 mencoba menyederhanakan satu
siklus pinjaman, dalam hal ini pinjaman luar negeri. Melalui alur atau proses
pinjaman tersebut, harapannya gambaran mengenai upaya menjaga kehati-
hatian pemerintah untuk melakukan perikatan dengan pemberi pinjaman
dapat dipahami.
Dari siklus tersebut tergambar unit in charge dan para pemangku kepentingan
yang terlibat, mulai dari proses perencanaan, negoisasi, penganggaran,
pelaksanaan, sampai dengan pengakhiran dan pembayaran kembali. Rentang
waktu siklus pinjaman luar negeri tersebut bisa 5, 10, atau 20 tahun sesuai
kesepakatan dalam perikatan pinjam-meminjam sebagaimana tercantum
dalam dokumen Naskah Perjanjian Luar Negeri.
Namun demikian, bahasan dalam bagian ini tidak membicarakan mengenai
permasalahan-permasalahan teknis pinjaman. Jadi, bahasan yang ingin
disampaikan, antara lain berupa: ada dimana besaran pinjaman tersebut
dicantumkan dalam postur APBN; apa maknanya besaran angka pinjaman
apabila dikaitkan dengan belanja; apa pengaruh pinjaman terkait dengan
angka-angka yang ada di dalam postur APBN. Penjabaran mengenai
bahasan-bahasan tersebut dijelaskan dalam bagian-bagian berikutnya dari
bab ini.

42
Bappenas menilai dan
menyiapkan:
Usulan Kegiatan • Blue book Kemenkeu
Dari K/L ke Bappenas melakukan
• Green Book
• Daftar Kegiatan Check and Balance

PERENCANAAN
PINJAMAN

Persiapan • Penandatanganan
Negosiasi Negosiasi dan Pengaktifan
Completion PENGAKHIRAN
Pembayaran • Penelahanan •Pelaksanaan • Signing
report, DAN NEGOSIASI
kembali PENANDATANGANAN dokumen dan • Legal Opinion
Closing PEMBAYARAN perjanjian dan Penetapan • Evidence of Authority
DAN PENGEFEKTIFAN
KEMBALI term and hasil • Registrasi Loan
SIKLUS PINJAMAN condition Negosiasi • Pembayaran fee, dll
LUAR NEGERI pinjaman

Penyusunan Penyampaian Penuangan


K/L K/L RKAK/L Nota Keuangan dalam
melaksanakan dan RKA- dan RUU APBN DIPA
melaksanakan
pengadaan dan PELAKSANAAN PENGANGGARAN BUN ke DPR
pencairan dana
membuat
pinjaman
kontrak

Diagram 4.3
Siklus Pinjaman

43
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

Seputar Pinjaman Luar Negeri


Pinjaman luar negeri menurut jenisnya terdiri dari: Pinjaman Kegiatan dan
Pinjaman Tunai. Pinjaman Kegiatan/Proyek adalah pinjaman luar negeri yang
digunakan unutk membiayai kegiatan tertentu. Pinjaman Kegiatan/Proyek
digunakan untuk mendanai kegiatan/proyek pada Kementerian/Lembaga
dan/atau diteruspinjamkan kepada BUMN dan Pemda, dan/atau dihibahkan
kepada Pemda.
Sedangkan Pinjaman Tunai adalah pinjaman luar negeri dalam bentuk
devisa dan/atau Rupiah yang digunakan untuk pembiayaan defisit APBN dan
pengelolaan portofolio.
Mengapa pinjaman luar negeri Guna menjelaskan pertanyaan awam mengapa pinjaman luar negeri
diperlukan diperlukan, harus melihat perjalanan sejarah berdirinya Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI). Pada awalnya berdirinya NKRI, penerimaan
negara belum dapat memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan
khususnya kegiatan pembangunan. Pada masa itu, terdapat alternaitf
pembiayaan, apakah melalui pencetakan uang atau memanfaatkan pinjaman
luar negeri. Karena pencetakan uang bersifat inflatoir, maka pilihan yang
paling rasional adalah pemanfaatan pinjaman luar negeri.
Seiring dengan berjalannya waktu, pinjaman luar negeri masih juga tetap
diperlukan karena dengan pinjaman luar negeri diperoleh kepastian
ketersediaan pendanaan terhadap proyek-proyek dengan kontrak tahun
jamak.
Perencanaan pinjaman luar negeri dimulai dengan penyusunan rencana
Batas Maksimal Pinjaman Luar Negeri (BMPLN) oleh Kementerian Keuangan.
Rencana BMPLN disusun dengan mempertimbangkan:
1. Kebutuhan riil pembiayaan;
2. Kemampuan membayar kembali;
3. Batas maksimal kumulatif utang;
4. Kapasitas sumber pinjaman luar negeri; dan
5. Risiko utang
Dengan berpedoman pada RPJM dan memperhatikan BMPLN, Bappenas
menyusun Rencana Pemanfaatan Pinjaman Luar Negeri (RPPLN). Selanjutnya,
Bappenas melakukan penilaian kelayakan terhadap usulan kegiatan yang
disampaikan Kementerian/Lembaga/Pemda/BUMN, dengan memperhatikan
RPPLN. Hasil penilaian dicantumkan dalam berbagai dokumen perencanaan
pinjaman luar negeri baik yang bersifat jangka menengah, maupun tahunan.
Ringkasan dokumen-dokumen yang digunakan dalam proses perencanaan
pinjaman luar negeri sampai dengan kegiatan siap untuk dilaksanakan
sebagai disajikan dalam Diagram 4.4.

44
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

Diagram 4.4
Dokumen Perencanaan Pinjaman Luar Negeri

RPPLN DRPPLN
RPJM Kebutuhan dan rencana
DRPPLN JM
Rencana kegiatan K/L,
pemanfaatan pinjaman luar negeri Pemda, dan BUMN yang
Dokumen
tahunan meliputi rencana pinjaman layak dibiayai dari PLN yang
perencanaan Rencana kegiatan K/L, Pemda,
tahunan dan prioritas bidang tercantum dalam DRPPLN-JM
pembangunan periode dan BUMN yang layak dibiayai
pembangunan yang dibiayai PLN dan telah memiliki indikasi
5 tahun ditetapkan PLN dalam jangka menengah
presiden Disusun oleh Menteri Keuangan dan sumber pendanaan PLN
Menteri PPN Ditetapkan Menteri PPN
Ditetapkan oleh Menteri PPN
Ditetapkan oleh Presiden

Daftar Kegiatan
Naskah DRK yang telah memiliki indikasi

Pelaksanaan Perjanjian PLN komitmen pendanaan dari calon


PPLN/PLN, mencakup jenis kegiatan,
Ditandatangani oleh Menteri Keuangan instansi pengusul, pelaksana, rencana
dan Pihak Penyedia PLN alokasi pinjaman/hibah. Jadwal
pelaksanaan, rencana sumber
pendanaan luar negeri dan jenis
penerusan pinjaman dan/atau
penerushibahan luar negeri

Disampaikan oleh Menteri PPN kepada


Menteri Keuangan.
Tahapan berikutnya adalah perundingan yang terdiri dari serangkaian
kegiatan sebagai berikut:
1. Perundingan dalam rangka pinjaman luar negeri dilaksanakan Menteri
Keuangan.
2. Proses perundingan ini melibatkan beberapa instansi yaitu: Kementerian
Keuangan, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Bappenas,
Kementerian/Lembaga, Pemerintah Daerah, BUMN, dan/atau instansi
terkait lainnya.
3. Perundingan dengan calon Pemberi Pinjaman Luar Negeri dilakukan
setelah kriteria kesiapan kegiatan terpenuhi, serta bila diperlukan Menteri
Keuangan dapat meminta dokumen kesiapan perundingan kepada
Menteri/Pimpinan Lembaga, Pemerintah Daerah dan BUMN.
4. Hasil dari proses perundingan ini kemudian dituangkan dalam Naskah
Perjanjian Pinjaman Luar Negeri (Loan Agreement) yang ditandatangani
oleh Menteri Keuangan atau pejabat yang diberi kuasa dan Pemberi
Pinjaman Luar Negeri. Perjanjian luar negeri ini secara umum memuat
jumlah, peruntukan, hak dan kewajiban, dan ketentuan dan persyaratan.
Tahap berikutnya adalah tahap penganggaran. Untuk melaksanakan kegiatan
yang dibiayai dengan pinjaman luar negeri, alokasi anggarannya harus
ditetapkan terlebih dahulu dalam APBN. Proses penganggaran merupakan
penyusunan rencana penarikan pinjaman luar negeri melalui mekanisme
APBN atau sejalan dengan siklus APBN sebagaimana disajikan dalam
Diagram 4.5.
Sebagai catatan mengenai proses penganggaran, khususnya dokumentasi
pinjaman kegiatan K/L, ada K/L sebagai pengguna anggaran yang mengelola
belanjanya (terkait sumber pendanaan pinjaman luar negeri) dan Kementerian
Keuangan sebagai pengelola Bagian Anggaran BUN 999.01 yang mengelola
pinjaman luar negeri tersebut sebagai komponen pembiayaan anggaran.

45
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

Diagram 4.5
Siklus Penyusunan APBN (PP No.17/2017 dan PP No.90/2010)

S ik l us P eny us una n AP B N
(S es uai PP 17/20 17 dan PP 9 0 /20 10 )

Penyampaian Surat MK permintaan Penetapan Pagu Anggaran dan RKP


data proyeksi APBN (Kemenkeu dan Bappenas)
Ak hir Des em ber T - 2 Ak hir J uni T - 1

Pelaksanaan trilateral meeting Pelaksanaan Trilateral


meeting II (Penyusunan Pagu Penelaahan RKA-KL: K/L, Bappenas,
Penyusunan Rencana Penarikan Kemenkeu
Pinjaman dan Hibah Anggaran)
Minggu I F ebruari T - 1 Paling L am bat Minggu II J uni J uli - Agus tus T - 1
T- 1
Penyampaian bahan Res ourc e
E nvelope Pembicaraan pendahuluan RAPBN Pembahasan RAPBN, RUU APBN,
Minggu II F ebruari T - 1 (Pemerintah + DPR) Nota Keuangan (Pemerintah + DPR)
Mei – J uli T - 1 Agus tus - Ok tober T - 1
Penyusunan ketersediaan anggaran serta
Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-
Pokok Kebijakan Fiskal Trilateral Meeting Pembahasan Renja
Minggu III F ebrua ri T - 1 Penyiapan DIPA
K/L (Bappenas, Kemenkeu dan K/L)
April T - 1 Okt ober – Des em ber T - 1
Rancangan Awal RKP dan
Penetapan Pagu Indikatif (SEB MK
dan M PPN)
Maret T - 1

Dalam hal ini, Kementerian Keuangan yang terlibat dalam proses


pengelolaan pinjaman luar negeri adalah Ditjen Pengelolaan Pembiayaan
dan Risiko sebagai Pembantu Pengguna Anggaran BUN BA 999.01 dan Ditjen
Anggaran sebagai mitra kerja kementerian negara/lembaga yang nantinya
mengesahkan RKAKL dan DIPA.

Pinjaman Kegiatan dalam Postur APBN


Pinjaman kegiatan K/L Pinjaman luar negeri yang digunakan untuk membiayai program/kegiatan
dan dilaksanakannya oleh K/L dicatat dalam postur APBN sebagai Pinjaman
Kegiatan K/L. Pengalokasian dan pencatatan dalam postur APBN mengenai
pinjaman kegiatan K/L tersebut selalu dilakukan secara pararel dan
koordinatif. Artinya, pada saat belanja negara mencatat atau mengalokasikan
anggaran belanja K/L yang sumbernya berasal dari pinjaman luar negeri,
besaran angkanya sama dengan pencatatan pada bagian penarikan
pinjaman kegiatan K/L (komponen pinjaman luar negeri neto) sebagaimana
Diagram 4.6.
Komponen pinjaman luar negeri Rincian komponen yang ada pada pinjaman luar negeri terdiri dari penarikan
pinjaman luar negeri (bruto) dan pembayaran cicilan pokok pinjaman luar
negeri. Pencatatan dan pengalokasiannya dalam postur APBN pada bagian
pembiayaan anggaran, sama dengan dengan komponen pembiayaan
anggaran lainnya, yaitu menggunakan neto. Jadi, pencatatan alokasi
anggarannya merupakan penjumlahan dari keseluruhan rencana penarikan
pinjaman luar negeri pada tahun yang direncanakan (adanya arus uang
masuk ke kas negara) dan rencana pembayaran cicilan pokok pinjaman
luar negeri (adanya arus uang ke luar kas negara).

46
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

Sebagai contoh, postur APBN tahun 2017 menunjukkan bahwa pinjaman


luar negeri neto sebesar Rp1.486,8 miliar dengan rincian penarikan pinjaman
luar negeri Rp48.293,2 miliar dan pembayaran cicilan pokok pinjaman luar
negeri sebesar negatif Rp65.082,1 miliar 1
Kondisi ini berarti, rencana pinjaman luar negeri pada tahun yang
direncanakan (tahun 2017) lebih banyak membayar cicilan pokok pinjaman
dibanding dengan pinjaman baru.
Diagram 4.6
Pinjaman dalam Postur APBN

URAIAN 2017
(dalam miliar rupiah)
APBN

A. Pendapatan Negara 1.750.283,4


B. Belanja Negara 2.080.451,2
I.Belanja Pemerintah Pusat 1.315.526,1
II.Transfer Ke Daerah dan Dana Desa 764.925,1
C. Keseimbangan Primer (108.973,2)
D. Surplus/Defisit Anggaran (A - B) (330.167,8)
% defisit thd PDB (2,41)
E. Pembiayaan Anggaran 330.167,8
% pembiayaan thd PDB 2,41
A. Pembiayaan Utang 384.690,5
I. Surat Berharga Negara (Neto) 399.992,6
Sebesar Rp24.921,7
1. Penerbitan 537.935,7 miliar dari
-
-
SBN Dalam Negeri
SBN International
-
-
Rp.1.315.526,1 dibiayai
2. Pembayaran Pokok dan Pembelian Kembali (137.943,1) dari pinjaman kegiatan
II. Pinjaman (Neto)
1. Pinjaman Dalam Negeri (Neto)
(15.302,1)
1.486,8
K/L yang berasal dari
a. Penarikan Pinjaman Dalam Negeri (Bruto) 2.500,0 luar negeri
b. Pembayaran Cicilan Pokok Pinjaman Dalam Negeri (1.013,2)
2. Pinjaman Luar Negeri (Neto) (16.788,9)
a. Penarikan Pinjaman Luar Negeri (Bruto) 48.293,2
i. Pinjaman Tunai 13.300,0
ii. Pinjaman Kegiatan 34.993,2
(1) Pinjaman Kegiatan Pemerintah Pusat 24.921,7

(2) Pinjaman Kegiatan kepada BUMN/Pemda 10.071,4


b. Pembayaran Cicilan Pokok Pinjaman LN (65.082,1)
III. Tambahan Pembiayaan Utang -
B. Pembiayaan Investasi (47.488,9)
C. Pemberian Pinjaman (6.409,7)
D. Kewajiban Penjaminan (924,1)
E. Pembiayaan Lainnya 300,0
Sisa Lebih (Kurang) Pembiayaan Anggaran-SiLPA (SiKPA) -

Dalam rangka penyusunan postur APBN, permasalahan atau isu yang dikaitkan
dengannya adalah beban yang mengharuskan pemerintah menyediakan
anggaran untuk memenuhi amanat peraturan perundangan sektoral (UU
Sistem Pendidikan Nasional dan UU Kesehatan). Kondisi ini terjadi pada saat
penyusunan postur APBN, bukan dalam kerangka penyusunan APBNP.
Pinjaman luar negeri juga Jadi, jika ada alokasi anggaran berkenaan dengan belanja negara yang sumber
memengaruhi belanja negara dananya berasal dari pinjaman luar negeri, pemerintah harus menyediakan
20 persen tambahan anggaran. Mengapa? Mungkin sebagian besar orang
beranggapan bahwa anggaran belanja yang berasal dari pinjaman luar negeri
itu yang dipengaruhi hanya sisi belanjanya saja. Itu pun hanya pada bagian
dari pinjaman luar negeri-nya saja.

1 http://www.bppk.kemenkeu.go.id/publikasi/artikel/147-artikel-anggaran-dan perbendaharaan/20145-
peran-surat-utang-negara-sebagai-penutup-defisit-apbn

47
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

Yang tidak disadari adalah ada keharusan menjaga penyediaan belanja


negara secara persentase sebagai amanat Undang-Undang (untuk bidang
pendidikan sebesar 20 persen dari total belanja negara dan untuk bidang
kesehatan sebesar 5 persen juga dari belanja negara). Berdasarkan amanat
tersebut, pemerintah wajib menyediakan belanja negara tersebut (belanja
mandatory, istilahnya).
Permasalahan ini harus dicontohkan atau digambarkan sehingga jelas duduk
perkaranya dalam suatu simulasi pada Diagram 4.7. Kondisi awal, postur
APBN 1 mencatat (misal) belanja negara tidak ada pinjaman luar negeri.
Dan dalam postur APBN tersebut telah dihitung alokasi anggaran untuk
pendidikan 20 persen dan kesehatan 5 persen dari belanja negara total.
Diagram 4.7
Kondisi Awal Postur

Pos t ur APB N Pos t ur I


PENDAPATAN NEGARA 1.000
BELANJA NEGARA 1.100
DEFISIT 100
PEMBIAYAAN ANGGARAN 100
- Surat Berharga Negara 100

Defisit Rp100 dibiaya idari penerbitan SBN. Belanja


negara sebesar Rp1.100 tersebut telah
memperhitungkan alokasi anggaran untuk bidang
pendidikan sebesar 20 persen dan untuk beidang
kesehatan 5 persen dari belanja negara

Dalam Postur APBN 2 (Diagram 4.8), ada pinjaman luar negeri masuk
sebesar Rp100. Seharusnya, postur APBN mencatat pada komponen belanja
negara sebesar Rp100 dan pada komponen pembiayaan anggaran (melalui
pinjaman luar negeri) dicatat Rp100.
Diagram 4.8
Kondisi Postur APBN 2

Pos t ur APB N Pos t ur 2


PENDAPATAN NEGARA 1.000
BELANJA NEGARA 1.100
DEFISIT 20 0
PEMBIAYAAN ANGGARAN 100
- Surat Berharga Negara 100
- Pinjaman Luar Negeri 100

Defisit Rp200 dibiayai dari penerbitan SBN Rp100 dan


pinjaman luar negeri Rp100

Namun kenyataannya dalam penyusunan Postur APBN, pemerintah harus

48
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

menambahkan alokasi untuk anggaran bidang pendidikan sebesar 20


persen dan untuk anggaran kesehatan sebesar 5 persen (Diagram 4.9).
Pertanyaannya: mengapa harus demikian? Alasannya, belanja negara yang
berasal dari pinjaman luar negeri dimaksudkan oleh pemberi pinjaman
(lender) hanya untuk kegiatan/program tertentu saja. Istilahnya alokasi
anggaran belanja yang berasal dari pinjaman luar negeri tersebut ditandai
atau earmarking. Peruntukannya tidak boleh digunakan selain yang telah
menjadi kesepakatan dengan lender.
Diagram 4.9
Kondisi Konsolidasi Postur APBN 2

Rp25 dari keseluruhan belanja negara sebesar Rp1.225


berasal dari tambahan beban pemerintah untuk alokasi
anggaran bidang pendidikan dan bidang kesehatan:
Postur APBN 2 • Rp100 x 20% à Rp20 tambahan anggaran belanja
negara bidang pendidikan
• Rp100 x 5% à Rp5 tambahan anggaran belanja
Pendapatan Negara 1.000 negara bidang kesehatan
• Total tambahan belanja negara Rp25
Belanja Negara 1.225

Defisit 225
Dengan tambhaan belanja negara Rp100 yang
Pembiayaan Anggaran 225 berasal dari pinjaman luar negeri ternyata
berdampak penambahan defisit Rp25. tambahan
- Surat Berharga Negara 125 defisit Rp25 tersebut ditutup dari penerbitan SBN.

- Pinjaman luar negeri 100

Untuk menambah alokasi anggaran belanja negara (tambahan 20 persen


dan 5 persen) tersebut, pemerintah harus menambahkan sebagai tambahan
belanja. Dalam Diagram 4.9, besaran tambahan belanja tersebut sebesar
Rp25 (semula Rp1.200 menjadi Rp1.225).
Konsekuensi selanjutnya, adanya tambahan belanja Rp25 tentu menambah
celah defisit yang harus ditutupi. Sementara itu, pendapatan negara tidak
dapat ditambah lagi. Secara perhitungan, tambahan pendapatan negara untuk
menutup celah defisit memang dimungkinkan melalui tambahan pendapatan
negara. Namun, keberadaan tambahan pendapatan tersebut membawa
konsekuensi lain. Apabila tambahan tersebut berasal dari pendapatan pajak
(misal), adanya tambahan tersebut akan berpengaruh terhadap perhitungan
pendapatan dalam negeri neto (PDN). Untuk diketahui, PDN digunakan untuk
menghitung alokasi anggaran belanja Transfer ke Daerah dan Dana Desa.
Apabila terdapat tambahan PDN (pajak merupakan bagian dari komponen
PDN dalam postur APBN) sebesar Rp100, alokasi anggaran belanja untuk
Transfer ke daerah dan dana desa akan bertambah sebesar Rp26 atau 26
persen. Lebih rumit lagi, tambahan alokasi anggaran belanja tersebut harus
dibagi kepada daerah-daerah dengan memperhitungkan karakteristik dan/
atau kapasitas fiskal daerah. Best practice saat ini, tambahan anggaran belanja
mandatory spending sebesar Rp25 dialokasikan pada pembiayaan anggaran,
khususnya pada komponen SBN neto.
Perencanaan pinjaman luar Melihat dampak alokasi anggaran belanja negara yang berasal dari pinjaman
negeri harus matang luar negeri (biasanya dialokasikan dalam belanja kementerian negara/

49
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

lembaga (KL), KL dituntut untuk benar-benar yakin bahwa rencana pinjaman


luar negeri tersebut dapat diserap semaksimal mungkin pada tahun yang
direncanakan. Karena ada dampak yang harus dipertimbangkan apabila
tidak terserap sebagaimana yang direncanakan.
Beban bunga pinjaman luar Pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan c.q. DJPPR akan
negeri melaksanakan kebijakan defisit anggaran yang telah ditetapkan. Dalam kasus
di atas, kebijakan defisit sebesar Rp225 yang berasal dari pinjaman Rp100
dan SBN sebesar Rp125. Artinya, DJPPR akan melaksanakan penerbitan
SBN untuk menutup defisit anggaran sebesar Rp125. Dengan tugas ini,
pemerintah berupaya akan menerbitkan SBN senilai Rp125 berapapun
bunga pasar yang ada pada saat itu. Apabila bunga SBN yang diterbitkan
saat itu tinggi, kondisi ini menambah beban pembayaran bunga utang (akan
menambah anggaran belanja negara, khususnya pada pos belanja bunga
utang).
Dampak lain dari lebih rendahnya realisasi penyerapan pinjaman luar
negeri terhadap alokasi anggaran dalam DIPA adalah bertambahnya biaya
pinjaman terutama biaya pinjaman dalam bentuk commitment fee.
Grafik 4.1.
Perkembangan Penyerapan Pinjaman Luar Negeri
Perkembangan Penyerapan Pinjaman Luar Negeri, 2010 - 2016
45,000,000,000,000 80.0%

40,000,000,000,000 67% 66% 70.0%


63% 63% 64%

35,000,000,000,000 59%
60.0%

30,000,000,000,000
50.0%

25,000,000,000,000
Rupiah

37% 40.0%
20,000,000,000,000

30.0%
15,000,000,000,000

20.0%
10,000,000,000,000

5,000,000,000,000 10.0%

- 0.0%
2010
PAGU ANGGARAN 26,418,187,567,000 24,319,282,983,000 29,022,501,637,800 37,983,714,288,520 42,153,801,415,600 35,588,172,912,450 31,220,960,227,000
REALISASI 16,703,755,985,752 15,421,948,238,320 10,622,219,726,625 22,262,092,127,533 26,934,935,319,537 23,794,345,462,338 20,716,226,586,840
% REALISASI 63% 63% 37% 59% 64% 67% 66%

sssSumber: Kementerian Keuangan

Oleh karena itu, peran KL dalam merencanakan anggaran belanjanya yang


berasal dari pinjaman luar negeri sangat penting untuk menjaga kebijakan
fiskal pemerintah. Artinya, KL seharusnya merencanakan dengan sungguh-
sungguh berupa rencana kegiatan yang menggunakan belanja dari sumber
pendanaan pinjaman luar negeri.
Namun demikian, harapan agar realisasi pinjaman luar negeri sesuai dengan
yang direncanakan dapat dikatakan masih perlu ditingkatkan. Kondisi
tersebut dapat dilihat dari data realisasi pelaksanaan pinjaman luar negeri
2010-2016 sebagaimana Grafik 4.1. Data pinjaman luar negeri tidak terserap
pada tahun 2016 menunjukkan angka 33,6 persen.

50
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

Pinjaman Tunai
Pinjaman Tunai merupakan bagian dari pinjaman luar negeri yang
penggunaannya dimanfaatkan untuk dukungan anggaran dan pencairannya
dikaitkan dengan terlaksananya suatu kebijakan pemerintah (policy matrix) di
bidang kegiatan dalam kerangka mencapai MDGs (pengentasan kemiskinan,
pendidikan, pemberantasan korupsi), pemberdayaan masyarakat, atau
kebijakan terkait dengan perubahan iklim dan infrastruktur.
Istilah pinjaman tunai sebelumnya adalah pinjaman program. Gambaran
riilnya, pinjaman tersebut diterima dalam bentuk tunai dan pencairannya
mensyaratkan dipenuhinya kondisi tertentu yang disepakati kedua belah
pihak seperti terpenuhinya kebijakan pemerintah yang tertuang dalam
matriks atau dilaksanakannya kegiatan tertentu. Pinjaman dimaksud
merupakan pinjaman luar neger i dalam bentuk devisa dan/atau rupiah
yang digunakan untuk pembiayaan defisit APBN dan pengelolaan portofolio
utang.
Secara perhitungan, pinjaman tunai menggunakan konsep target indikatif
dalam setiap tahun anggaran dengan rumus sebagai berikut:

Pinjaman Tunai Rencana Penarikan


= x Asumsi Kurs
(Rupiah) (Valas)
Target indikatif pinjaman tunai Konsep target indikatif dalam pinjaman tunai bertujuan agar pemerintah
untuk fleksibilitas memiliki fleksibilitas dalam memilih atau mengganti donor dan jenis
pinjaman program di tengah-tengah tahun anggaran yang sedang berjalan.
Namun, perhitungan dimaksud tidak sampai mengubah target total yang
telah ditetapkan dalam APBN. Target total pinjaman tunai dalam postur APBN
juga dimungkinkan juga mengalami perubahan dalam konteks fleksibilitas
pembiayaan utang sebagaimana diatur dalam Undang-undang APBN. Dalam
hal ini, pemerintah dapat melakukan perubahan komposisi instrumen utang
untuk menjaga ketahanan ekonomi dan fiskal.
Terkadang pinjaman tunai jenis tertentu yang sudah direncanakan pada
awal penyusunan RAPBN tidak dapat direalisasikan dengan alasan tertentu.
Padahal, pemerintah membutuhkan sumber pendanaan tersebut untuk
membiayai defisit APBN. Oleh karenanya, pemerintah membutuhkan
keleluasaan untuk mengganti dengan jenis pinjamannya dan/atau lembaga
donornya.
Syarat-syarat pinjaman tunai Untuk menggambarkan bentuk pinjaman tunai, Diagram 4.10 merupakan
siklus pinjaman tunai. Dari siklus tersebut, pembaca diharapkan mendapat
gambaran proses untuk mendapat pinjaman tunai beserta syarat-syarat yang
diperlukan. Di samping itu, siklus juga menggambarkan upaya pemerintah
agar program-program reformasi yang sedang/akan dilaksanakan disepakati
menjadi underlying pinjaman tunai tersebut.

51
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

Diagram 4.10
Siklus Pinjaman Tunai

Beberapa tantangan dalam pemenuhan syarat-syarat pengadaan pinjaman


tunai antara lain: kesulitan dalam mengidentifikasi kebijakan-kebijakan
reform yang telah dan akan dilaksanakan, kesulitan untuk mendapatkan
komitmen dan dukungan Kementerian/Lembaga untuk berpartisipasi dalam
penyiapan dan pemenuhan policy matrix.

Dalam konteks postur APBN, fungsi pinjaman tunai digunakan untuk


pembiayaan defisit APBN dan pengelolaan portofolio utang seperti halnya
SBN.

Tabel 4.1
Kedudukan Pinjaman Tunai

52
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

Berbeda dengan pemenuhan pembiayaan defisit melalui SBN yang


pemanfaatannya dapat dilakukan sepanjang tahun, pemanfaatan pinjaman
tunai pada umumnya dilakukan menjelang akhir tahun anggaran. Hal ini
disebabkan oleh timing pencairan pinjaman tunai dipengaruhi kesiapan policy
matrix dan siklus tahun anggaran pemberi pinjaman yang mempengaruhi
jadwal persetujuan pinjaman.

Pinjaman Dalam Negeri


Pada bagian pembiayaan utang terdapat penerimaan negara yang harus
dibayar kembali berupa pinjaman dalam negeri (PDN). Sampai saat ini, PDN
dimanfaatkan pemerintah dalam rangka pengadaan alat utama sistem
pertahanan (Alutsista) untuk Kementerian Pertahanan dan alat matra
khusus (Almatsus) untuk Kepolisian Republik Indonesia.
Pinjaman dalam negeri relatif kecil dibandingkan dengan pinjaman luar
negeri. Hal ini disebabkan oleh pemanfaatan pinjaman dalam negeri sejauh
ini masih terbatas dilakukan untuk mendanai kegiatan-kegiatan pada
Kementerian Pertahanan dan Kepolisian RI.
Sumber pendanaan PDN masih Namun demikian, pemerintah memandang perlu adanya PDN karena
dapat dioptimalkan potensi sumber pendanaannya masih dapat dioptimalkan. Diharapkan juga,
keberadaannya dapat mendorong pertumbuhan ekonomi serta sebagai
salah satu strategi dalam pengelolaan utang negara untuk mengurangi
ketergantungan terhadap pinjaman luar negeri. Di samping itu, kegiatan
tertentu yang dilaksanakan oleh kementerian negara/lembaga dimaksudkan
dalam rangka pemberdayaan industri dalam negeri dan pembangunan
infrastruktur. Contohnya, kegiatan untuk pengadaan Alutsista dan Almatsus
yang dibiayai dari PDN dipercayakan kepada industri dalam negeri.
Pengelolaan PDN yang akuntabel Agar pengelolaan PDN akuntabel, pemerintah menerbitkan Peraturan
Pemerintah Nomor 54 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pengadaan dan
Penerusan Pinjaman Dalam Negeri oleh Pemerintah. Salah satu aturannya
menetapkan bahwa yang memberi Pinjaman Dalam Negeri kepada
Pemerintah adalah BUMN, Pemerintah Daerah, dan Perusahaan Daerah.
Jadi secara definisi, pinjaman dalam negeri adalah setiap pinjaman oleh
Pemerintah yang diperoleh dari pemberi pinjaman dalam negeri yang
harus dibayar kembali dengan persyaratan tertentu, sesuai dengan masa
berlakunya.
Sesuai dengan PP 54 Tahun 2008, PDN digunakan: (i) kementerian/lembaga
untuk membiayai kegiatan dalam rangka pemberdayaan industri dan
pembangunan infrastruktur, (ii) Pemerintah Daerah melalui penerusan
pinjaman untuk membiayai kegiatan pembangunan infrastruktur untuk
pelayanan umum dan kegiatan investasi yang menghasilkan penerimaan: (iii)
BUMN melalui penerusan pinjaman untuk membiayai kegiatan pembangunan
infrastruktur unutk pelayanan umum di luar kerangka pelaksanaan penugasan
pemerintah dan kegiatan investasi yang menghasilkan penerimaan.

53
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

Mekanisme PDN Dalam hal perencanaan dan penganggaran, PDN memiliki mekanisme
hampir sama dengan pinjaman luar negeri.
Pengelola PDN sebagai bagian dari Bagian Anggaran Bendahara Umum
Negara (BA BUN) mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor
PMK 193/PMK.02/2017 tentang Tata Cara Perencanaan, Penelaahan, dan
Penetapan Alokasi Anggaran Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara,
dan Pengesahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran Bendahara Umum
Negara. Dalam hal ini, Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan
Risiko sebagai pengelola atau Pembantu Pengguna Anggaran BA 999.01
mewakili Menteri Keuangan.
Karena PDN digunakan untuk kegiatan tertentu, pengalokasian dananya
sudah dapat direncanakan berdasarkan usulan kebutuhan Kementerian/
Lembaga yang telah melewati penelaahan dengan Bappenas (kesesuaiannya
dengan RKP). Untuk selanjutnya, usulan dimaksud disampaikan kepada
Menteri Keuangan c.q DJPPR. Dalam postur APBN untuk kegiatan yang
dibiayai dari PDN sudah jelas peruntukannya, dan pencatatannya pada pos
belanja dan pos pembiayaan anggaran.
Dari sisi belanja negara untuk kegiatan-kegiatan yang akan didanai dari
PDN, sifatnya “in out”. Artinya, adanya tambahan belanja negara (belanja
kementerian negara/lembaga) karena PDN berakibat bertambahnya jumlah
besaran penerimaan pembiayaan anggaran.
Namun, jika dilihat dari sisi postur APBN, kondisi tersebut akan berpengaruh
terhadap pembiayaan utang secara keseluruhan karena PDN menggunakan
konsep neto, sebagaimana Diagram 4.9 dan Diagram 4.10.
Diagram 4.11
Diagram 4.11
Simulasi1
Simulasi 1 PDN
PDN
POSTUR RINGKAS APBN
(miliar rupiah)
2017
URAIAN
APBNP
A. Pendapatan Negara 1.736.060,1
B. Belanja Negara 2.133.295,9
a.l Belanja K/L 802.082,2
C. Keseimbangan Primer (178.039,4)
D. Surplus/Defisit Anggaran (A - B) (397.235,8)
% defisit thd PDB (2,92)
E. Pembiayaan Anggaran 397.235,8
I. Pembiayaan Utang 461.343,6
1. SBN (neto) 467.314,3
2. Pinjaman (neto) (5.970,7)
1. Pinjaman Dalam Negeri (neto) 1.733,0
a. Penarikan Pinjaman Dalam Negeri (Bruto) 2.500,0
b. Pembayaran Cicilan Pokok Pinjaman Dalam Negeri (767,0)
2. Pinjaman Luar Negeri (neto) (7.703,7)
a. Penarikan Pinjaman Luar Negeri (Bruto) 57.500,3
b. Pembayaran Cicilan Pokok Pinjaman LN (65.204,0)
II. Pembiayaan Investasi (59.733,8)
III. Pemberian Pinjaman (3.668,7)
IV. Kewajiban Penjaminan (1.005,4)
V. Pembiayaan Lainnya 300,0

Dengan adanya tambahan anggaran pada belanja negara yang didanai


dari PDN, konsekuensi selanjutnya adalah bertambahnya defisit anggaran
apabila pendapatan negara tetap. Hal tersebut, secara tidak langsung akan
menambah pembiayaan utang secara keseluruhan, diantaranya untuk

54
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

pembayaran cicilan pokok pinjaman dalam negeri, serta memenuhi amanat


mandatory spending (belanja pendidikan sebesar 20 persen dan belanja
kesehatan sebesar 5 persen). Kekurangan atas pemenuhan mandatory
spending akan dipenuhi melalui pembiayaan utang dari SBN (neto).
Diagram 4.12
Diagram 4.12
Simulasi
Simulasi22PDN
PDN

POSTUR RINGKAS APBN


(miliar rupiah)
2017
URAIAN
APBNP
A. Pendapatan Negara 1.736.060,1
B. Belanja Negara 2.133.295,9
a.l Belanja K/L 802.082,2
a.l Belanja Non K/L ; Belanja Lain-lain :
- Penyesuaian anggaran pendidikan & kesehatan 5.137,6
C. Keseimbangan Primer (178.039,4)
D. Surplus/Defisit Anggaran (A - B) (397.235,8)
% defisit thd PDB (2,92)
E. Pembiayaan Anggaran 397.235,8
I. Pembiayaan Utang 461.343,6
1. SBN (neto) 467.314,3
2. Pinjaman (neto) (5.970,7)
1. Pinjaman Dalam Negeri (neto) 1.733,0
a. Penarikan Pinjaman Dalam Negeri (Bruto) 2.500,0
b. Pembayaran Cicilan Pokok Pinjaman Dalam Negeri (767,0)
2. Pinjaman Luar Negeri (neto) (7.703,7)
a. Penarikan Pinjaman Luar Negeri (Bruto) 57.500,3
b. Pembayaran Cicilan Pokok Pinjaman LN (65.204,0)
II. Pembiayaan Investasi (59.733,8)
III. Pemberian Pinjaman (3.668,7)
IV. Kewajiban Penjaminan (1.005,4)
V. Pembiayaan Lainnya 300,0

Perhitungan PDN menggunakan Jika diperhatikan Diagram 4.11 dan Diagram 4.12 secara seksama, cara
konsep neto perhitungan pinjaman dalam negeri ini menggunakan konsep neto. Artinya,
penarikan pinjaman dalam negeri bruto dikurangi dengan pembayaran
cicilan pokok pinjaman dalam negeri. Formula perhitungan pinjaman dalam
negeri neto dalam APBN adalah sebagai berikut:

PDN Penarikan PDN Pembayaran Cicilan Pokok


= -
(neto) Bruto PDN
Penggunaan konsep neto dimaksudkan untuk mengetahui apakah nilai
bersih arus dana yang bersumber dari pinjaman bernilai positif ataukah
negatif. Positif berarti menambah stok utang, sedangkan negatif berarti
mengurangi stok utang. Dari sini dapat diketahui apakah kebijakan yang
diterapkan positif ataukah negatif net flow.
Perhitungan pembayaran cicilan pokok PDN didasarkan pada jadwal jatuh
tempo pembayaran cicilan pokok pada tahun anggaran yang direncanakan.
PDN dapat dikelompokkan ke dalam jenis pinjaman kegiatan yaitu pinjaman
yang digunakan untuk membiayai kegiatan tertentu. Artinya pinjaman dalam
negeri yang ditarik langsung digunakan untuk membiayai kegiatan atau
proyek tertentu di K/L. Ini sejenis dengan pinjaman proyek yang berasal dari
pinjaman luar negeri.

55
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

Rencana penarikan PDN dalam setiap tahun anggaran didasarkan pada


Batas Maksimal PDN yang ditetapkan oleh Menkeu berdasarkan usulan dan
masukan dari Bappenas.
Kewajiban Pemerintah terhadap Pinjaman Dalam Negeri hanya dibebani
bunga pinjaman dan tidak ada biaya komitmen lainnya, sehingga apabila
kegiatan yang didanai dari PDN ini tidak terealisasi tidak ada biaya yang
harus dikeluarkan oleh Pemerintah pada periode pinjaman tersebut efektif,
namun Pemerintah tetap harus membayar bunga pinjamannya saja.
Apabila membahas permasalahan, ada beberapa permasalahan dalam
pinjaman dalam negeri sebagai berikut. Pertama mengenai keterlambatan
penyelesaian pekerjaan. Pekerjaan sering mengalami amandemen/
perpanjangan penyelesaian kontrak sampai dengan 8 – 9 bulan.
Konsekuensinya, waktu penarikan PDN tidak dapat diselesaikan dalam
satu tahun anggaran sehingga perlu dilanjutkan ke tahun-tahun berikutnya.
Tentunya terdapat dana yang idle, karena alokasi dana tersebut tidak dapat
digunakan untuk kegiatan lainnya yang belum ditetapkan.

56
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

Jembatan
Tayan
Jembatan Tayan yang
melintasi Sungai Kapuas,
Kabupaten Sanggau,
Kalimantan Barat menjadi
jembatan terpanjang di Pulau
Kalimantan. Panjang
bentangan jembatan
mencapai 1.420 meter. Ini
merupakan salah satu proyek
yang dilaksanakan oleh
Kementerian Pekerjaan Umum
dan Perumahan Rakyat

Bab

5
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit dan Utang

IMPLEMENTASI
PINJAMAN LUAR
NEGERI DALAM
BELANJA
KEMENTERIAN
NEGARA/LEMBAGA
Secara umum, bagian ini berisikan uraian teknis
mengenai implementasi pinjaman luar negeri sebagai
salah satu sumber pendanaan pada belanja
kementerian negara/lembaga. Sebagai sebuah
gambaran, bagian ini menjelaskan mulai dari proses
perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, serta
permasalahan yang sering ditemui.

57
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

IMPLEMENTASI
Bab PINJAMAN LUAR

5
NEGERI DALAM
BELANJA
KEMENTERIAN
NEGARA/LEMBAGA
Pinjaman Luar Negeri (PLN) melibatkan
banyak pihak. Siapa saja pihak yang terlibat
dalam perencanaan PLN?

Perencanaan PLN

Penganggaran PLN

Pelaksanaan PLN

Kendala Pengelolaan PLN

58
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

Perencanaan PLN
Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2011 tentang Tata Cara
Pengadaan Pinjaman Luar Negeri dan Hibah Luar Negeri, Pinjaman Luar
Negeri (PLN) terdiri dari 2 (dua) jenis, yaitu pinjaman tunai dan pinjaman
kegiatan. Pinjaman tunai merupakan pinjaman dalam bentuk devisa dan/
atau rupiah, yang digunakan untuk pembiayaan defisit APBN dan pengelolaan
portofolio utang. Pinjaman tunai tersebut dapat berupa pinjaman program,
stand by loan, pembiayaan likuiditas jangka pendek, pembiayaan kontinjensi,
pembiayaan untuk permodalan, dan lain-lain yang pencairannya bersifat
tunai dalam bentuk antara lain official development assistance/ODA (bilateral),
concessional (multilateral), non official development assistance/Non ODA
(bilateral), non concessional (multilateral), pinjaman komersial, dan mixed
credit/pinjaman komersial (bilateral). Sementara itu, pinjaman kegiatan
merupakan pinjaman yang digunakan untuk membiayai kegiatan tertentu.
Pinjaman kegiatan tersebut dapat berupa pinjaman proyek, credit line, dan
lain-lain, yang pencairannya terkait dengan kegiatan dalam bentuk antara
lain official development assistance/ODA (bilateral), concessional (multilateral),
non-official development assistance/Non-ODA (bilateral), nonpconcessional
(multilateral), fasilitas kredit ekspor, pinjaman komersial, dan mixed credit/
pinjaman campuran (bilateral).
RBM PLN sebagai alat pengendali Dalam perencanaan PLN, Kementerian Keuangan memegang peranan
PMN oleh pemerintah yang vital terutama dalam penyusunan Batas Maksimal PLN (BM PLN).
Penyusunan BM PLN tersebut mempertimbangkan faktor kebutuhan riil
pembiayaan, kemampuan membayar kembali, batas maksimal kumulatif
utang, kapasitas sumber PLN, dan risiko utang. Dalam praktiknya, untuk
mengakomodir kondisi keuangan terkini, BM PLN dapat ditinjau dalam
setiap tahunnya. Dengan adanya rencana batas maksimal PLN tersebut,
maka pemerintah telah mempunyai alat pengendali PLN.
Perencanaan Pinjaman Tunai Proses perencanaan pinjaman tunai dimulai dengan identifikasi kebutuhan
pembiayaan defisit melalui pinjaman tunai dengan mempertimbangkan
RBM PLN, Di samping itu, juga dilakukan identifikasi program reform yang
sedang/akan dilaksanakan yang akan dijadikan sebagai underlying. Setelah
proses identifikasi, Menteri Keuangan menyurati Menteri Koordinator yang
mebidangi substansi terkait untuk mengkoordinir penyiapan policy matrix
yang menjadi underlying.
Perencanaan Pinjaman kegiatan Untuk pinjaman kegiatan, perencanaan PLN melibatkan paling tidak
melibatkan 4 (empat) pihak terkait, yaitu (1) calon pemberi PLN; (2)
Menteri Perencanaan; (3) Menteri Keuangan; dan (4) K/L, Pemda, dan/atau
BUMN selaku pihak yang mengusulkan kegiatan yang akan didanai dari
PLN. Proses perencanaan pinjaman kegiatan dapat diilustrasikan dalam
Diagram 5.1.

59
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

Diagram 5.1
Ilustrasi Perencanaan Pinjaman Kegiatan

Sumber: Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman Luar Negeri dan
Pinjaman Hibah

Penyusunan DRPPLN-JM (Blue Tahapan perencanaan pinjaman kegiatan dimulai dengan penyusunan
Book) Rencana Pemanfaatan PLN (RPPLN) oleh Menteri Perencanaan dengan
berpedoman pada RPJM dan mempertimbangkan Rencana Batas Maksimal
Pinjaman. Rencana Pemanfaatan PLN tersebut memuat indikasi kebutuhan
dan rencana penggunaaan PLN dalam jangka menengah. Selanjutnya, dengan
berpedoman pada RP PLN dan RPJM/RPJMD, Kementerian/Lembaga, BUMN,
dan/atau Pemerintah Daerah dapat mengajukan usulan kegiatan yang
dapat dibiayai dari PLN. Usulan-usulan kegiatan tersebut kemudian dinilai
kelayakannya oleh Menteri Perencanaan untuk kemudian hasil penilaiannya
dituangkan dalam Daftar Rencana Pinjaman Luar Negeri-Jangka Menengah
(DRPLN-JM) atau sering disebut Blue Book. Mengingat DRPLN-JM bersifat
jangka menengah, maka DRPLN-JM dapat diperbarui dan disempurnakan
sesuai dengan kebutuhan dan/atau perkembangan perekonomian nasional.
Gambaran DRPPLN-JM (Blue Book) Sebagai contoh, atas usulan dari Kementerian/ Lembaga/ BUMN/ Pemerintah
Daerah terkait dengan kegiatan yang dapat dibiayai dari PLN dalam periode
2015-2019, setelah mempertimbangkan RPJM dan Rencana Batas Maksimal
Pinjaman, serta hasil penilaian kelayakan (feasibility evaluation) dari Menteri
Perencanaan, dihasilkan DRPLN-JM (List of Medium-Term Planned External
Loan) 2015-2019 (sebelum revisi di tahun 2016 dan 2017) dengan rincian
nama program (project), unit pelaksana (executing agency) dan besaran loan
sebagai berikut:

60
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

Tabel 5.1
DRPLN-JM Tahun 2015
Loan (USD
No Executing Agency Program/Project
000)
1 Kementerian Toll Roand Develompment Program 2.025.000,0
Pekerjaan Umum Develompment and Improvement od Natioal 1.500.000,0
dan Perumahan Bridges Program
Rakyat
Develompemnt and Imrovenment of National 2.000.000,0
Roads Program
Drinking water Development Program 1.197.680,0
Developing of Waste Water Management 3.583.000,0
Program
Development of Solid Waste Management 250.000,0
Program
Slum Alleviotion Program 3.614.740,0
Development and Management of Irogation 3.257.531,0
Program
Provision and Management of Bulk Water 623.862,0
Supply program,
DAM Development Program 2.133.750,0
Mitigation of Water Hazards Program 1.152.636,0
Management of Water Resources Infrastructure 650.000,0
Program
2 Kementerian Program for Provision of Housing dor Low- 500.000,0
Pekerjaan Umum Income Households
dan Perumahan
Rakyat
Perusahaan
Perumahan
Nasional
3 Kementerian Railway Development Program 6.815.336,7
Pekerjaan Umum
dan Perumahan
Rakyat
Pemerintah DKI
Jakarta
4 Kementerian Information Communication and Technology 1,706,000,0
Komunikasi dan (ICT) and Broadcasting Infrastructure
Teknologi Informasi Development Program
Polri
5 PLN Electricity Infrastucture Development Program 4.906.600,0
6 Kementerian Riset, Improving Acces, Quality, Relevance, and 290.311,5
Teknologi, dan Competitiveness of Higher Education Program
Pendidikan Tinggi
7 Kementerian Agama Improving Acces, Quality, Relevance, and 238.210
Competitiveness of Islamic Higher Education
Program
8 Kementerian PPN/ Human Resources Development for 300.000,0
Bappenas Bureaucracy Reform Program
9 Kementerian Basic Health Care Program 150.000,0
Kesehatan Program for Human resources Development in 240.000,0
Health Sector
Program for Desease Contriol, Environmental 100.400,0
health, and Strengthening Health Research and
Develompment

61
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

Loan (USD
No Executing Agency Program/Project
000)
10 Kementerian Health Service Refferal Program 1.362.400,0
Kesehatan
Pemerintah Provinsi
NAD
11 Kementerian Provision and Development of Agriculture 1.346.842.6
Pertanian Infrastructure Program
Agriculture Extention, Education, and Training 98.900,0
Improvement Program
12 Kementerian Inproving Labor Competitiveness Program 92.308,0
Ketenagakerjaan
13 Kementerian Improvement of Fisheries Facilities Program 107.000,0
Perikanan dan
Kelautan
14 BMKG Program for Development and Guidance of 150.000,0
Meterology, Climatology, and Geophysics
15 BPPT Science Park and Technopark Development 114.400,0
Program
Total 39.876.907,8

Sumber: Kementerian PPN/Bappenas, diolah

Penyusunan DRPPLN Berdasarkan DRPLN-JM yang telah diterbitkan oleh Menteri Perencanaan,
(Green Book) Kementerian/Lembaga/BUMN/Pemerintah Daerah diwajibkan melakukan
peningkatan kesiapan kegiatan agar rencana kegiatan yang telah tercantum
dalam DRPLN-JM dapat dicantumkan dalam Daftar Rencana Prioritas
Pinjaman Luar negeri (DRPPLN) atau disebut Green Book. Proses penerbitan
DRPPLN tersebut dilakukan oleh Menteri Perencanaan setelah melakukan
penilaian kesiapan kegiatan (partly readiness evaluation) atas kegiatan yang
telah tercantum di dalam DRPLN-JM berdasarkan kriteria kesiapan:
1. Rencana pelaksanaan kegiatan;
2. Indikator kinerja pemantauan dan evaluasi;
3. Organisasi dan manajemen pelaksanaan kegiatan; dan
4. Rencana pengadaan tanah dan/atau pemukiman kembali, dalam hal
kegiatan memerlukan lahan.
Gambaran DRPPLN (Green Book) Apabila dalam DRPPLN terdapat kegiatan prioritas nasional, maka
Kementerian/Lembaga mencantumkannya dalam dokumen Rencana Kerja
dan Anggaran Kementerian lembaga (RKA-K/L), Rencana Kerja Pemerintah
Daerah, atau Rencana Kerja BUMN. Sebagai gambaran umum, berdasarkan
partly readiness evaluation atas DRPLN 2015-2019 (awal), pada tahun 2015,
diterbitkan DRPPLN dengan rincian sebagai berikut.

62
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

Tabel 5.2
DRPPLN Tahun 2015 (dalam US$)
Counter
Executing Agen Program Title Loan Lender
Fund
Kementerian Development and 45.000 0 ADB
Pekerjaan Umum Inprovement of National
dan Perumahan Road
Rakyat
Toll Road Development 580.000 72.400 China (Exim
Program Bank)
Development of Waste 25.200 0 ADB
Water Management
Progra,
Drinking Water 401.380 749.650 World Bank,
Development Program ADB, Hungary,
Spain
DAM Development 55.130 0 ADB, China
Program (Exim Bank)
Mitigation of Water 118.320 48.668 ADB
Hazards Program
Development and 933.878 97.150 ABD, IFAD,
Management Irrigation Korea (EDCF)
Program
Provision and 2.000 0 ADB
Management of Bulk
Water Supply Program
Kementerian Railway Development 204.670 49.588 Japan (JICA),
Perhubungan Program China (Exim
Bank)
POLRI Information 20.000 3.500 Korea
Communication and
Technology (ICT)
and Broadcasting
Infrastructure
Development Program
Pemda Prov NAD Health Service Referral 106.800 10.680 Germany (KfW)
Program
Pemda Prov DKI Railway Development 752.200 74.980 Japan (JICA)
Jakarta Program
PLN Electricity Infrastructure 635.710 88.740 Japan (JICA)
Development Program

TOTAL 3.880.288 1.195.356

Sumber: Kementerian PPN/Bappenas, diolah

Penyusunan Daftar Kegiatan Setelah keseluruhan kriteria peningkatan kesiapan kegiatan terpenuhi
(fully met in fulfillment of readiness criteria), berdasarkan DRPPLN, Menteri
Perencanaan menyampaikan Daftar Kegiatan yang dapat dibiayai dari PLN
kepada Menteri Keuangan. Daftar Kegiatan dimaksud berisi usulan kegiatan
yang telah memenuhi kriteria kesiapan dan siap untuk dirundingkan dengan
calon Pemberi PLN.

63
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

Pengajuan Usulan Pinjaman Berdasarkan Daftar Kegiatan yang telah diterbitkan, Menteri Keuangan
Kegiatan mengajukan usulan pinjaman kegiatan kepada kreditor multilateral dan/
atau kreditor bilateral untuk mendapatkan komitmen pembiayaan.
Selanjutnya, Menteri Keuangan atau pejabat yang diberi kuasa melakukan
kegiatan perundingan dan perjanjian dengan calon pemberi PLN. Khusus
untuk pinjaman kegiatan, perundingan dapat dilakukan setelah kriteria
kesiapan kegiatan terpenuhi. Untuk teknis pelaksanaan, perundingan
dilakukan dengan melibatkan unsur Kementerian Keuangan, Kementerian
PPN/Bappenas, Kementerian/Lembaga, Pemerintah daerah, BUMN, dan/
atau instansi terkait lainnya.
Perjanjian PLN Hasil perundingan pengajuan PLN dituangkan dalam Perjanjian PLN yang
ditandatangani oleh Menteri Keuangan atau pejabat yang diberi kuasa dan
Pemberi PLN, yang setidaknya memuat terkait jumlah, peruntukkan, hak dan
kewajiban, serta ketentuan dan pelaksanaan PLN. Dengan diterbitkannya
Perjanjian PLN, maka tahapan perencanaan PLN telah selesai kecuali
terdapat perubahan dalam Perjanjian PLN.

Penganggaran PLN
Definisi Proses Penganggaran Proses penganggaran merupakan uraian mengenai proses dan
mekanisme penganggaran, mulai dari penyusunan pagu indikatif sampai
dengan penetapan pagu alokasi anggaran K/L yang bersifat final. Dalam
pelaksanaannya, proses penganggaran akan sangat berkaitan dengan proses
penyusunan RKA-K/L yang dilakukan oleh masing-masing Kementerian/
Lembaga.
Penetapan Pagu dalam proses Dalam proses penyusunan APBN, terkait dengan proses penganggaran,
Penyusunan APBN terdapat 3 (tiga) kali penetapan pagu untuk Kementerian/Lembaga. Tiga
penetapan pagu tersebut adalah pagu indikatif (sekitar bulan April), pagu
anggaran (sekitar bulan Juli), dan pagu alokasi anggaran (sekitar bulan
Oktober). Angka yang tercantum dalam pagu tersebut merupakan angka
tertinggi sehingga tidak boleh dilampaui oleh K/L dalam penyusunan RKA-
K/L nya masing-masing. Angka dalam pagu tersebut juga telah memuat
jenis program-kegiatan kementerian/lembaga yang akan dilaksanakan
pada tahun yang akan datang. Selain itu, angka dalam pagu tersebut juga
telah dirinci berdasarkan jenis sumber dana yang digunakan, yang meliputi
Rupiah Murni (RM), PNBP, PLN, PHDN, Hibah Langsung, dan SBSN/PBS.
Untuk selanjutnya, pembahasan terkait penganggaran akan difokuskan
untuk anggaran Kementerian/Lembaga yang bersumber dari PLN. Rincian
tahapan atau langkah dalam proses penganggaran diuraikan berikut ini.

Trilateral Meeting (TM) PHLN


Pelaksanaan TM PHLN Alokasi anggaran PLN dimulai dengan Trilateral Meeting (TM) PHLN. TM ini
diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan
Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan dengan mengundang Direktorat
Jenderal Anggaran (DJA) Kementerian Keuangan, Kementerian Perencanaan

64
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional


(Kementerian PPN/Bappenas), dan Kementerian/Lembaga (K/L). Tujuan
penyelenggaraan TM PHLN adalah untuk:
1. Meningkatkan kualitas penganggaran pinjaman dan hibah yang mengarah
kepada perbaikan penyerapan pinjaman/hibah;
2. Menghindari overbudgeting melalui penyusunan proyeksi pinjaman dan
hibah oleh K/L sesuai dengan kebutuhan dan realisasi kinerja pinjaman/
hibah;
3. Memantau kinerja pinjaman/hibah dan proyeksi kebutuhan kas dalam
asset liabilities management (ALM) melalui penyusunan rencana penarikan
dana pinjaman bulanan serta memonitoring dan evaluasi kinerja
penyerapan pinjaman dan hibah sebagai langkah upaya mencegah
rendahnya realisasi penyerapan;
4. Menghindari inkonsistensi penggunaan angka yang telah disepakati
dalam TM dengan angka yang dicantumkan dalam RKA-K/L.
Belum Terdapat Pedoman Teknis Dalam forum TM PHLN, terdapat beberapa hal yang perlu mendapatkan
Pelaksanaan TM PHLN perhatian. Sampai saat ini belum terdapat pedoman teknis dan formula
khusus yang digunakan dalam perhitungan alokasi anggaran pinjaman dan
hibah yang diusulkan dalam RAPBN pada saat pelaksanaan TM PHLN. Belum
adanya pedoman TM PHLN menyebabkan pejabat/petugas yang hadir tidak
dibekali dengan pedoman yang memadai tentang teknis pelaksanaan TM
PHLN. Padahal forum TM PHLN sangat strategis karena alokasi anggaran
PLN untuk tahun depan ditentukan pagunya dalam forum tersebut. Oleh
karena itu, saat mengikuti TM PHLN seringkali hanya berpedoman pada data
pagu dan realisasi anggaran pada tahun lalu.
Masukan terkait Pelaksanaan TM Oleh karena itu, dalam rangka perbaikan TM PHLN perlu dibuatkan pedoman
PHLN dan pembagian peran antar K/L yang terlibat dalam TM PHLN, misalnya:
1. Bappenas yang memiliki kewenangan untuk melakukan monitoring
pencapaian PLN diharapkan menyampaikan progres capaian PLN;
2. K/L menyampaikan capaian dan rencana kegiatan dan anggaran yang
akan dilaksanakan pada tahun depan; dan
3. K/L juga diharapkan dapat menyampaikan kendala-kendala yang
dihadapi dalam pengelolaan PLN.
Permasalahan lain terkait Selain belum terdapat pedoman teknis dan formula khusus dalam
Pelaksanaan TM PHLN pelaksanaan TM PHLN, pada pelaksanaan TM PHLN, biasanya usulan alokasi
anggaran K/L seringkali hanya berpedoman pada Annual Work Plan (AWP) yang
disusun sebagai bagian dari naskah PHLN. Padahal dalam kenyataannya,
pelaksanaan PLN tidak selalu sama dengan rencana awal. Tentunya, terdapat
kendala-kendala dalam pelaksanaan PLN yang akan mempengaruhi capaian
kemajuan proyek dan realisasi anggarannya sehingga AWP setiap tahun
perlu disesuaikan kembali dengan kondisi terkini.

65
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

Hasil Forum TM PHLN Dalam penyusunan kembali AWL, K/L harus memperhatikan capaian
proyek dan rencana kegiatan yang akan dilakukan. Apabila K/L tidak
melakukan revisi AWP, dapat berakibat rencana penarikan PLN lebih besar
dibandingkan dengan kemampuan untuk menyerap anggarannya. Ada pun
hasil dari forum TM PHLN menghasilkan dokumen Berita Acara Pembahasan
Rencana Penarikan PHLN. Sebagai contoh, berikut diilustrasikan hasil forum
TM PHLN.
Diagram 5.2
Hasil Technical Meeting atas Reviu PLN

Sumber: Kementerian Keuangan

Proses Penyusunan Pagu Indikatif Berdasarkan hasil forum TM PHLN, DJPPR akan menyampaikan surat
kepada DJA perihal XXX . Surat tersebut akan digunakan sebagai dasar
bagi DJA dalam melakukan reviu baseline, khususnya alokasi anggaran yang
bersumber dari PLN.

Penyusunan Pagu Indikatif PLN


Proses pernyusunan pagu indikatif dimulai dengan kegiatan
pemutakhiran angka dasar dan peninjauan angka dasar oleh
Kementerian/Lembaga, khususnya dalam kaitannya dengan penyesuaian
kebijakan tahun berjalan dan hasil evaluasi kinerja tahun-tahun sebelumnya.
Dalam pemutakhiran angka dasar dan peninjauan angka dasar tersebut, K/L
dapat menyusun rencana kebijakan baru terkait usulan program/kegiatan/
keluaran baru. Selanjutnya berdasarkan hasil pemutakhiran angka dasar
yang dilakukan oleh K/L, Kementerian Keuangan berkoordinasi dengan K/L
dan Kementerian PPN/Bappenas melakukan pemutakhiran angka dasar.
Di saat yang bersamaan, Kementerian Keuangan juga menyusun perkiraan
kapasitas fiskal yang akan digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam

66
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

pengalokasian inisiatif/kebijakan baru yang diusulkan K/L saat proses


pemutakhiran angka dasar K/L. Dengan memperhatikan kapasitas fiskal
dan pemenuhan prioritas pembangunan nasional, Menteri Keuangan dan
Menteri PPN/Kepala Bappenas menandatangai Surat Bersama tentang Pagu
indikatif pada bulan Maret. Pagu Indikatif tersebut telah dirinci menurut unit
organisasi, program dan kegiatan dan selanjutnya digunakan sebagai bahan
penyusunan rancangan awal RKP dan Renja-K/L.
Terkait dengan PLN, dalam pagu indikatif, telah dirinci sumber pendanaan
untuk per program yang dapat disajikan sebagai berikut.
Tabel 5.3
Ilustrasi Alokasi Pagu Indikatif

Sumber: Diolah dari Kementerian Keuangan (2013)

Penyusunan Pagu Anggaran PLN


Proses Penyusunan Pagu Dalam penyusunan dan penetapan pagu anggaran, dilakukan pertemuan
Anggaran 3 (tiga) pihak (trilateral meeting) antara K/L, Kementerian PPN/Bappenas,
dan Kementerian Keuangan. Trilateral Meeting tersebut dilakukan setelah
penetapan pagu indikatif. Tujuan dilakukannya trilateral Meeting adalah
untuk:
1. meningkatkan koordinasi dan kesepahaman anatara K/L, Kementerian
PPN/Bappenas, dan Kementerian Keuangan terkait dengan pencapaian
sasaran prioritas pembangunan nasional yang akan dituangkan dalam
RKP;
2. menjaga konsistensi kebijakan yang ada dalam dokumen perencanaan
dengan dokumen penganggaran, yaitu antara RPJMN, renstra, RKP, Renja
K/L dan RKA-K/L;

67
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

3. mendapatkan komitmen bersama atas penyempurnaan yang perlu


dilakukan terhadap rancangan awal RKP, yaitu kepastian mengenai
kegiatan prioritas, jumlah PLN, jumlah PDN, jumlah SBSN, dukungan
Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS), penandaan anggaran sesuai
kategori untuk semua keluaran yang dihasilkan, jumlah PNBP/BLU,
kebijakan baru, belanja operasional, kebutuhan tambahan rupiah murni,
dan pengalihan dekonsentrasi dan tugas pembantuan.
Berdasarkan hasil pertemuan Trilateral Meeting dan pagu indikatif, K/L
menyusun Renja K/L yang kemudian disampaikan kepada Kementerian
PPN/Bappenas dan Kementerian Keuangan sebagai bahan penyempurnaan
rancangan awal RKP dan bahan pembicaraan pendahuluan Rancangan
APBN. Setelah pemerintah menetapkan RKP dan menyampaikan pokok-
pokok pembicaraan pendahuluan, Menteri Keuangan bersama dengan
Menteri PPN/Kepala Bappenas menetapkan pagu anggaran.
Berdasarkan pagu anggaran, Renja-K/L, RKP hasil kesepakatan pemerintah
dan DPR dalam pembicaraan pendahuluan RAPBN, standar biaya, dan
kebijakan pemerintah pusat, Menteri/Pimpinan Lembaga menyusun
RKA-K/L untuk kemudian disampaukan kepada Kementerian keuangan
untuk dilakukan penelaahan. Setelah ditelaah, Kementerian Kementerian
Keuangan menghimpun RKA-K/L Pagu Anggaran untuk digunakan sebagai
bahan penyusunan Nota Keuangan, RAPBN, dan Rancangan UU tentang
APBN serta dokumen pendukung pembahasan RAPBN. Setelah dibahas
dalam sidang kabinet, Nota Keuangan, RAPBN, dan RUU APBN disampaikan
pemerintah kepada DPR untuk dilakukan pembahasan.
Terkait dengan PLN, dalam tahapan penetapan pagu anggaran, terdapat
proses yang penting khususnya sehubungan dengan perolehan komitmen
khususnya mengenai kepastian jumlah PLN.

Penyusunan Pagu Alokasi Anggaran PLN


Proses Penyusunan Pagu Alokasi Berdasarkan hasil pembahasan RKA-K/L pagu anggaran antara Kementerian/
Anggaran Lembaga dengan DPR (Rapat Panitia Kerja Belanja Pemerintah Pusat Badan
Anggaran DRR terkait pembicaraan tingkat I/Pembahasan UU tentang
APBN), Menteri Keuangan menyampaikan pagu alokasi anggaran kepada
Kementerian/Lembaga. K/L kemudian menyusun RKA-K/L alokasi anggaran
(penyesuaian RKA-K/L pagu anggaran) untuk selanjutnya dilakukan
penelaahan atas RKA-K/L alokasi anggaran. Selanjutnya, Kementerian
Keuangan menghimpun RKA-K/L alokasi anggaran hasil penelaahan anggaran
untuk digunakan sebagai bahan penyusunan lampiran Perpres mengenai
rincian APBN dan bahan penyusunan DIPA untuk kemudian diakhiri dengan
pengesahan DIPA.
Terkait dengan PLN, dalam tahapan pagu alokasi, besaran PLN dapat
mengalami peningkatan, penurunan atau tetap sesuai dengan hasil
pembahasan Rapat Panitia Kerja Belanja Pemerintah Pusat Badan Anggaran
DPR terkait pembicaraan tingkat I/Pembahasan UU tentang APBN. Dengan

68
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

ditetapkannya pagi alokasi anggaran, maka besaran PLN yang akan digunakan
di tahun anggaran berikutnya telah bersifat final, kecuali terdapat perubahan
kebijakan pada periode pelaksanaan dalam tahun anggaran berjalan.

Revisi PLN
Revisi PLN Dalam tahun berjalan atau untuk perencanaan tahun berikutnya, dapat
dilakukan revisi/perubahan PLN. Untuk melakukan revisi PLN, Menteri
Keuangan dapat mengajukan usulan perubahan Perjanjian PLN kepada
Pemberi PLN jika Menteri Keuangan menganggap perlu untuk melakukan
perubahan. Selain itu, usulan revisi Perjanjian PLN juga dapat dilakukan
apabila terdapat usulan perubahan perjanjian pinjaman dari Menteri/
Pmpinan Lembaga atau usul dari Pemerintah Daerah atau BUMN terkait
Perjanjian Penerusan PLN. Apabila usulan perubahan perjanjian PLN
dilakukan untuk pelaksanaan kegiatan, usulan perubahan tersebut dilakukan
setelah mendapat pertimbangan dari Menteri Perencanaan.

Pelaksanaan PLN
Pelaksanaan PLN terkait Tata Setelah program/kegiatan yang didanai dari sumber PLN ditetapkan di
Cara Penarikan PLN dalam DIPA, proses berikutnya adalah mencairkan dana PLN tersebut
sesuai dengan peruntukannya. Kegiatan pencairan PLN tersebut termasuk
dalam tahap pelaksanaan APBN sehingga harus berpedoman pada aturan
pelaksanaan APBN. Mekanisme penarikan PLN dijelaskan berikut ini.

Transfer ke R-KUN
Penarikan PLN melalui Transfer keUntuk mekanisme transfer ke Rekening Kas Umum Negara (R-KUN), tahapan
Rekening KUN penarikan PLN dimulai dengan penyampaian fotokopi Perjanjian PLN dan
Surat Keterangan tanggal efektif Perjanjian PLN (effectiveness date) oleh Ditjen
Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko c.q. Direktorat Pinjaman dan Hibah
(Direktorat PH) kepada Ditjen Perbendaharaan c.q. Direktorat Pengelolaan
Kas Negara (Direktorat PKN). Selanjutnya, Direktorat PKN menyampaikan
Surat Pengantar-Surat Penarikan Dana R-KUN (covering letter of withdrawal
application) kepada Pemberi PLN (Tembusan disampaikan kepada DJPPR c.q.
Direktorat PH serta Direktorat Evaluasi, Akuntansi, dan Setelmen (Direktorat
EAS).
Atas dasar Surat Pengantar-Surat Penarikan Dana R-KUN, Pemberi PLN
melakukan transfer ke R-KUN dan menyampaikan Notice of Disbursement
(NoD) kepada DJPPR c.q. Direktorat EAS. Selanjutnya, Direktorat EAS
menerbitkan dan menyampaikan Surat Perintah Pembukuan Penarikan PLN
dengan lampiran fotokopi NoD kepada DJPB c.q. Direktorat PKN. Setelah
dilakukan verifikasi terhadap Surat Pengantar-Surat Penarikan Dana R-KUN
dan Surat Perintah Pembukuan Penarikan PLN, dan fotokopi NoD, dilakukan
pembukuan atas penerimaan pembiayaan dan/atau pendapatan hibah.

69
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

Pembayaran Langsung
Penarikan PLN melalui Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran/Pejabat yang Ditunjuk
Pembayaran Langsung menyampaikan Surat Penarikan Dana Pembayaran Langsung (withdrawal
application/WA) oleh kepada Kantor Pelayanan Perendaharaan Negara
(KPPN). Atas dasar WA tersebut, KPPN menerbitkan dan menyampaikan
Surat Pengantar-Surat Penarikan Dana Pembayaran Langsung (covering
letter of WA) kepada Pemberi PLN (tembusan disampaikan kepada Pengguna
Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran dan DJPPR c.q. Direktorat EAS. Sebagai
pemberitahuan pelaksanaan transfer dana kepada rekanan/pihak yang
dituju, Pemberi PLN menerbitkan dan menyampaikan NoD kepada DJPPR
c.q. Direktorat EAS. Setelah melakukan verifikasi atas NoD dan dokumen
pembanding covering letter of WA (dari KPPN), Direktorat EAS menerbitkan dan
menyampaikan Surat Perintah Pembukuan Penarikan PLN yang dilampiri
fotokopi NoD kepada KPPN. Selanjutnya, KPPN melakukan validasi dan
verifikasi terhadap dokumen Surat Perintah Pembukuan Penarikan PLN,
fotokopi Nod, Surat Pengantar-Surat Penarikan Dana-Pembayaran Langsung
(covering letter of WA). Berdasarkan hasil validasi dan verifikasi tersebut, KPPN
menerbitkan dan menyampaikan Surat Perintah pembukuan/Pengesahan
(SP3) kepada Bank Indonesia/Bank Lain sebagai dasar pencatatan realisasi
penarikan PLN serta kepada Pengguna Angggaran/Kuasa Pengguna Anggaran
sebagai dasar pembukuan Sistem Akuntansi Instansi pada tahun anggaran
berjalan.

Reksus
Penarikan PLN melalui Rekening Direktorat PH menyampaikan fotokopi Perjanjian PLN kepada Direktorat PKN.
Khusus (Reksus) Selain itu, Direktorat PH juga menyampaikan Surat Keterangan Effectiveness
Date atas Perjanjian PLN kepada Excecuting Agency (EA), Direktorat EAS, serta
Direktorat PKN. Sementara itu, berdasarkan Surat Keterangan Effectiveness
Date, EA menyampaikan permintaan pembukaan Reksus, permintaan
pengisian Initial Deposit, permintaan penerbitan petunjuk pelaksanaan tata
cara pencairan dana PLN, serta surat keterangan kesiapan pelaksanaan
kegiatan kepada DJPB. Selanjutnya, DJPB menindaklanjuti permintaan EA
dengan melakukan pembukaan Reksus pada Bank Indonesia atau bank
lain, permintaan pengisian Initial Deposit kepada pemberi PLN, penyampaian
pemberitahuan kepada K/L selaku EA dan instansi bertikal DJPB mengenai
spesifikasi kegiatan yang dibiayai dari PLN (paling tidak memuat nomor
identitas PLN, nomor registerm nomor Reksus, batas akhir penerbitan Surat
Perintah Pencairan Dana, porsi dan ketegori pembiayaan PLN, serta EA).
Setelah Reksus dibuka dan dana Reksus telah tersedia, Pengguna
Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran/Pejabat yang Ditunjuk mengajukan
SPM-Reksus kepada KPPN dengan melampirkan semua dokumen yang
dipersyaratkan. Selanjutnya, untuk proses penerbitan, pembebanan dan
pertanggungjawaban SP2D-Reksus, proses tersebut mengikuti ketentuan
perundang-undangan mengenai pelaksanaan Sistem Perbendaharaan dan
Anggaran Negara. Di pihak lain, Bank Indonesia atau bank lainnya menerbitkan

70
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

dan menyampaikan Advis Debet Kredit dan laporan rekening koran Reksus
mingguan (1 rangkap) kepada DJPb c.q. Direktorat PKN. Selanjutnya, fotokopi
rekening koran Reksus disampaikan Direktorat PKN kepada Executing Agency
untuk digunakan sebagai dokumen pendukung penyusunan Surat penarikan
Dana (WA) Reksus.
Untuk pengisian kembali Reksus, EA mengajukan Surat Penarikan Dana (WA)
beserta dokumen pendukung (sesuai pernyaratan Perjanjian PLN) kelada
DJPB c.q. Direktorat PKN. Direktorat PKN kemudian mengajukan Surat
Pengantar-Surat Penarikan Dana (covering letter of withdrawal application)
Reksus kepada Pemberi PLN beserta dokumen pendukung (sesuai perjanjian
PLN) dengan tembusan disampaikan kepada DJPPR c.q. Direktorat EAS serta
Bank Indonesia (atau bank lainnya).
Sebagai pemberitahuan transfer dana PKHL ke Reksus, Pemberi PLN akan
menerbitkan dan menyampaikan NoD kepada DJPPR c.q. Direktorat EAS.
Selanjutnya, Direktorat EAS melakukan verifikasi NoD beserta dokumen
pendukungnya dengan pembanding berupa tembusan Surat Pengantar-Surat
Penarikan Dana Reksus sebelum menerbitkan Surat Perintah Pembukuan
Penarikan PLN (lampiran berupa fotokopi NoD) dan menyampaikannya
kepada DJPb c.q. Direktorat PKN.

Letter of Credit
Penarikan PLN melalui Letter of Untuk penarikan PLN melalui mekanisme Letter of Credit (L/C), prosesnya
Credit (L/C) dimulai dengan pengalokasian pagu sebesar nilai komitmen kontrak tahun
jamak atau yang ditentukan dalam perjanjian PLN pada DIPA oleh Pengguna
Anggran/Kuasa Pengguna Anggaran sebelum diterbitkan Surat Kuasa
Pembebanan L/C. Untuk tahun-tahun berikutnya, Pengguna Anggaran/Kuasa
Pengguna Anggaran mengalokasikan pagu di DIPA sebesar nilai rencana
penarikan tahunan kontrak pengadaan barang dan jasa.
Setelah menerima Surat Permintaan Penerbitan-Surat Kuasa Pembebanan
L/C (dilengkapi dengan ringkasan kontrak pengadaan barang dan jasa, daftar
barang yang akan diimpor/master list, daftar rencana penarikan L/C per tahun
anggaran, No Objection Letter atau NOL atau dokumen yang dipersamakan,
serta dokumen lain yang dipersyaratkan dalam perjanjian PLN), KPPN
menerbitkan Surat Kuasa Pembebanan L/C serta menyampaikannya kepada
Bank Indonesia (atau bank lainnya) dengan tembusan kepada Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai, DJPPR c.q. Direktorat EAS, dan Pengguna Anggaran/
Kuasa Pengguna Anggaran yang bersangkutan. Berdasarkan Surat Kuasa
Pembebanan L/C, Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran/ Pejabat
yang Ditunjuk kemudian memberitahukan kepada rekanan/kuasa rekanan
untuk mengajukan pembukaan L/C di bank Indonesia/bank lainnya (besaran
tidak melebihi nilai Surat Kuasa Pembebanan L/C). Bank Indonesia/bank
lainnya kemudian menindaklanjuti permintaan pembukaan L/C dari rekanan/
kuasa rekanan dan Surat Kuasa Pembebanan L/C dengan membuka L/C pada
bank koresponden serta menyampaikan surat pemberitahuan dan dokumen

71
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

pembukaan L/C kepada rekanan/kuasa rekanan, Pengguna Anggaran/Kuasa


Pengguna Anggaran, dan KPPN. Selain itu, Bank Indonesia/Bank Lainnya
selaku penerbit L/C mengajukan permintaan untuk menerbitkan Surat
Pernyataan Kesediaan melakukan Pembayaran (letter of commitment) kepada
Pemberi PLN apabila dipersyaratkan dalam perjanjian PLN. Sementara
itu, berdasarkan Surat Pemberitahuan Pembukaan L/C, KPPN melakukan
pencatatan pada Kartu Pengawasan L/C.
Apabila terjadi realisasi L/C, Bank Korespondensi menyampaikan dokumen
realisais L/C kepada Bank Indonesia/Bank Lainnya. Atas dasar dokumen
realisasi L/C tersebut, Bank Indonesia/bank lainnya menerbitkan Nota
Disposisi (Nodis) sebagai informasi realisasi L/C dan menyampaikannya
kepada rekanan/kuasa rekanan (tembusan disampaikan kepada KPPN,
Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran, dan DJPPR c.q. Direktorat
EAS). Dalam hal telah dilaksanakan transfer dana kepada benefisciary/supplier
atas realisasi L/C, Pemberi PLN menerbitkan dan menyampaikan NoD kepada
DJPPR c.q. Direktorat EAS (tembusan disampaikan kepada Bank Indonesia/
Bank Lainnya). Direktorat EAS kemudian menerbitkan dan menyampaikan
Surat Perintah Pembukuan Penarikan PLN yang dilampiri dengan fotokopi
NoD kepada KPPN. Setelah melakukan verifikasi Surat Perintah Pembukuan
Penarikan PLN tersebut, KPPN menerbitkan SP3 dan menyampaikannya
kepada Bank Indonesia/Bank Lainnya sebagai dasar pencatatan realisasi
penarikan PLN serta Pengguna/Kuasa Pengguna Anggaran sebagai dasar
pembukuan Sistem Akuntansi Instansi pada tahun anggaran berjalan

Pembiayaan Pendahuluan (Pre-Financing)


Penarikan PLN melalui Untuk penarikan PLN melalui mekanisme pembiayaan pendahuluan (pre-
Pembiayaan Pendahuluan financing), tahapannya dimulai dengan penyampaian fotokopi perjanjian
PLN oleh DJPPR c.q. Direktorat PH kepada DJPb c.q. Direktorat PKN. Selain
itu, Direktorat PPH juga menyampaian Surat Keterangan Effectiveness Date
kepada EA dan Direktorat PKN.
Di lain pihak, Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran/Pejabat
yang Ditunjuk mengajukan Surat Penarikan Dana (withdrawal application)
Pembiayaan Pendahuluan (pre-financing) kepada DJPb c.q. Direktorat PKN
atau KPPN dilengkapi dengan lampiran bukti pengeluaran pembiayaan
pendahuluan dan dokumen lainnya yang dipersyaratkan dalam Perjanjian
PLN. Direktorat PKN atau KPPN kemudian menindaklajuti Surat Penarikan
Dana Pembiayaan Pendahuluan dengan menerbitkan Surat Pengantar-
Surat Penarikan Dana (covering letter of withdrawal application) Pembiayaan
Pendahuluan (pre-financing) dan menyampaikannya kepada Pemberi PLN.
Apabila penarikan PLN dibiayai terlebih dahulu dari Rupiah Murni (RM),
pengajuan Surat Pengantar-Surat Penarikan Dana Pembiayaan Pendahuluan
dilakukan oleh DJPB c.q. Direktorat PKN kepada Pemberi PLN dengan
tembusan kepada DJPPR c.q. Direktorat EAS serta transfer dana pengganti
dilakukan ke R-KUN melalui rekening dalam rangka penerimaannya PLN

72
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

setelah Pemberi PLN menerima Surat Pengantar-Surat Penarikan Dana


Pembiayaan pendahuluan. Apabila penarikan PLN dibiayai terlebih dahulu
dari Pemerintah Daerah atau BUMN, maka pengajuan Surat Pengantar-Surat
Penarikan Dana Pembiayaan Pendahuluan dilakukan oleh KPPN kepada
Pemberi PLN dengan tembusan kepada DJPPR c.q. Direktorat EAS serta
transfer dana pengganti dilakukan Pemberi PLN ke rekening pemerintah
daerah/BUMN.
Pemberi PLN kemudian menerbitkan NoD dan menyampaikannya kepada
Direktorat Evaluasi, Akuntansi, dan Setelmen sebagai pemberitahuan telah
dilakukan transfer dana pengganti. Direktorat EAS kemudian menerbitkan
dan menyampikan Surat Perintah Pembukuan Penarikan PLN kepada DJPb
c.q. Direktorat PKN atau KPPN setelah melakukan verifikasi atas NoD dan
tembusan Surat Pengantar-Surat Penarikan Dana Pembiayan Pendahuluan.
Apabila pembiayaan pendahuluan dibiayai terlebih dahulu dari Rupiah Murni
(RM), maka Direktorat PKN maelakukan verifikasi Surat Perintah Pembukuan
Penarikan PLN yang dilampiri fotokopi NoD dengan dokumen pembanding
berupa Surat Pengantar-Surat Penarikan Dana Pembiayan Pendahuluan dan
bukti arus kas masuk pada rekening atas penerimaan PLN.
Sementara itu, apabila pembiayaan pendahuluan dibiayai terlebih dahulu
dari pemerintah daerah atau BUMN, maka KPPN melakukan validasi dan
verifikasi atas Surat Perintah Pembukuan Penarikan PLN yang dilampiri
fotokopi NoD dengan dokumen pembanding berupa Surat Pengantar-Surat
Penarikan Dana Pembiayaan pendahuluan. KPPN kemudian menerbitkan
dan menyampaikan SP3 kepada Bank Indonesia/Bank Lainnya sebagai
dasar pencatatan realisasi penarikan PLN serta Pengguna Anggaran/Kuasa
Pengguna Anggaran sebagai dasar pembukuan sistem akuntansi instansi
pada tahun anggaran berjalan. Di lain pihak, setelah melakukan verifikasi
terhadap Surat Pengantar-Surat Penarikan Dana Pembiayaan Pendahuluan
dan Surat perintah Pembukuan Penrikan PLN dengan lampiran fotokopi
NoD, Direktorat PKN melakukan pencatatan penerimaan pembiayaan dan/
atau pendapatan hibah saat terdapat arus kas masuk ke rekening.

Kendala Pengelolaan PLN


Kendala dalam mengelola PLN Pelaksanaan PLN dalam praktiknya menghadapi kendala sehingga
pelaksanaan kegiatan dan realisasi anggaran tidak sesuai target yang
ditetapkan dalam tahun berkenaan sesuai Annual Work Plan (AWP) sebagai
bagian dari naskah perjanjian pinjaman dan hibah luar negeri. Kendala yang
dihadapi dalam pengelolaan PLN sebagaimana berikut.

Regulasi
Perbedaan aturan pengelolaan Perbedaan aturan yang digunakan oleh pihak lender dengan pihak
PLN antara Lender dan pemerintah. Pada prinsipnya, pelaksanaan kegiatan yang dibiayai dari
Pemerintah Pinjaman Luar Negeri Pemerintah, tetap mengacu pada ketentuan dan

73
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

prosedur pelaksanaan APBN. Adapun mekanisme pelaksanaan mengikuti


ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2011 tentang Tata
Cara Pengadaan Pinjaman Luar Negeri dan Penerimaan Hibah.
Dalam pelaksanaan pengadaan barang dan jasa (proses tender), ketentuannya
mengikuti aturan pada guidelines lender, seperti IDB Procurement Guideliness.
Selain mengikuti guidelines tersebut proses pengadaan barang dan jasa
dapat berdasarkan kesepakatan dalam Perjanjian Pinjaman.
Lemahnya kapasitas pengelola PLN dalam memahami guidlines lender
menjadi kendala dalam mendapatkan NOL (No Objection Letter) dari Lender
dalam pengajuan persetujuan, misalnya pemenang lelang, draft kontrak,
dan sebagainya.

Kondisi Riil
Revisi Desain Proyek Kondisi riil merupakan kendala yang dihadapi di lapangan pada saat
pelaksanaan pinjaman luar negeri. Adapun kendala-kendala tersebut antara
lain sebagaimana berikut ini. Pada saat pelaksanaan design proyek, adanya
revisi desain/Detail Engineering Design (DED) Proyek dapat menyebabkan
tertundanya pelaksanaan proyek karena adanya perubahan-perubahan
pada ruang lingkup, nilai, dan lokasi proyek. Selain itu, proses review desain
yang dilakukan oleh lender juga dapat memperlambat pelaksanaan proyek.
Perubahan Nomenklatur K/L Permasalahan selanjutnya adalah perubahan struktur organisasi. Perubahan
nomenklatur Kementerian/Lembaga pada tahun 2015 dari Ditjen Pendidikan
Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ke Kementerian Riset,
Teknologi menjadi Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi
membuat kegiatan pada proyek Polytechnic Education Development Project
(PEDP) mengalami keterlambatan penyelesaiannya. Kegiatan PEDP yang
semula ada di Ditjen Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan beralih di bawah Ditjen Pembelajaran dan Kemahasiswaan,
Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi.
Permasalahan yang dihadapi saat Permasalahan di lapangan yang paling banyak adalah pada saat proses
proses pengadaan barang/jasa
pengadaan barang/jasa. Beberapa permasalahan tersebut, antara lain:
1. Lamanya persiapan dokumen lelang
hal ini antara lain terjadinya keterlambatan dalam proses persiapan
dokumen PQ (Pra-Qualification) dan administrasi dokumen tender yang
tidak lengkap.
2. Lamanya penerbitan NOL (No Objection Letter) dari Lender
3. dalam rangka pelaksanaan kegiatan yang memerlukan persetujuan/NOL
dari pihak lender membutuhkan waktu yang lama, sehingga berakibat
pada keterlambatan pelaksanaan penetapan kontrak. Hal ini terjadi
pada proyek the Development of Medical Education and Research Center and
Two Universiti Hospitals (3 in 1) yang proses penerbitan NOL mencapai 7
bulan.

74
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

4. Lamanya proses tender atau terjadinya retender


hal ini mengakibatkan seluruh atau sebagian paket belum dapat
terkontrak seperti pada proyek IP-541 Hasanuddin University Development
dan IP-553 Development of Bandung Institute of Technology III.
Proses lelang menjadi lama, contohnya yaitu pada saat PQ hanya ada
1 (satu) penyedia jasa yang lulus, sehingga lelang harus diulang lagi
(retender).
5. Gagal lelang
hal ini terkait dengan pelaksanaan tender yang harus diulang akibat
kurangnya pemahaman panitia tender terhadap guidelines dan tidak
adanya calon peserta tender yang sesuai dengan persyaratan ataupun
tidak adanya penawaran yang masuk, serta lambatnya persetujuan dari
lender untuk masing-masing tahapan lelang.
Kasus tidak adanya calon peserta tender yang sesuai dengan persyaratan
terjadi pada proyek the Reconstruction and Upgrading of the State University of
Padang (UNP). Pihak IDB meminta komponen “Financial Auditing Consultant”
untuk dilelang ulang karena kurangnya jumlah peminat dari standar yang
mendaftar. Lelang ulang ini akan menjadi lelang ulang ketiga sejak proyek
dilaksanakan karena konsultan akuntansi di lokasi proyek memang sedikit
sehingga peminat lelang pun sedikit.
Kendala dalam Pembebasan Apabila proyek atau kegiatannya memerlukan lahan/tanah, permasalahan
Lahan tidak kalah rumit adalah pengadaan lahan/pembebasan tanah. Masalah
pembebasan lahan yang membutuhkan waktu lama sehingga pelaksanaan
kegiatan mundur dari jadwal semula. Hal ini biasanya disebabkan karena
proses perijinan, maupun terkait dengan kurangnya anggaran untuk
pembayaran ganti rugi. Secara umum masalah pengadaan/pembebasan
lahan terjadi pada proyek-proyek pembangunan jalan di Kementerian PUPera
dan Kementerian Perhubungan dan pembangunan gedung di Kementerian
Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi.
Kendala Administrasi Permasalahan lain juga muncul dan dikelompokkan sebagai permasalahan
administrasi. Permasalahan terkait dengan administrasi ini biasanya
menyebabkan kegiatan menjadi tertunda, seperti sebagai berikut :
1. Kekurangan alokasi DIPA,
Kekurangan alokasi pada DIPA salah satunya dapat mengakibatkan harga
penawaran melebihi pagu alokasi anggaran pada DIPA. Salah satu hal
yang bisa dilakukan oleh Project Management Unit (PMU) proyek yaitu
menggunakan dana kontingensi atas loan tersebut. Hal ini terjadi pada
proyek IND-0168 the Support to the Development of Higher Education Project
(7 in 1) yang mengusulkan penggunaan dana kontingensi pada tahun
anggaran 2017.
Hal ini mengakibatkan keterlambatan pembayaran proyek kegiatan
seperti pada pembayaran Detail Engineer Design Consultant (DEDC) pada
the Quality Improvement of Padjajaran University Project.

75
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

2. pengesahan SP3 (Surat Perintah Pengesahan Pembukuan)


Seringnya terjadi keterlambatan penerbitan SP3 pada akhir tahun,
sehingga DIPA tahun berjalan seolah-olah tidak terserap dan
mengakibatkan peluncuran DIPA pada tahun berikutnya.
Lemahnya Koordinasi dan Selanjutnya, permasalahan laten adalah lemahnya manajemen dan
manajemen di lapangan koordinasi lapangan. Kondisi tersebut masih terjadi pada proyek-proyek
yang dalam pelaksanaannya memerlukan koordinasi dengan instansi lain
maupun dengan Pemerintah Daerah. Lemahnya koordinasi lapangan juga
membuat rendahnya kinerja kontraktor yang berakibat pada keterlambatan
penyelesaian proyek. Contohnya adalah proyek IND-0168 the Support to
the Development of Higher Education Project (7 in 1) dan 2928-INO Polytechnic
Education Development Project.
Kendala dalam implementasi PLN Sementara itu, beberapa permasalahan atau kendala dalam implementasi
pinjaman luar negeri dapat dirangkum sebagai berikut:
1. Potensi perpanjangan loan
2. Hal ini disebabkan karena relatif rendahnya daya serap dana pinjaman
di awal pelaksanaan dan akan melonjak menjelang berakhirnya suatu
pinjaman/hibah luar negeri. Hal ini berdampak pada potensi adanya
perpanjangan loan/grant closing date, sehingga dari segi biaya (cost
of borrowing) akan terjadi peningkatan di samping keterlambatan
penyelesaian kegiatan.
3. Backlog yang membebani rekening pemerintah.
4. Backlog ini umumnya terjadi akibat belum dipenuhinya syarat-syarat
administrasi untuk pencairan dana pinjaman.
5. Pada proyek berupa pembangunan Rumah Sakit Pendidikan, terdapat
risiko kurangnya ketersediaan tenaga paramedis dan pengelolaan
Rumah Sakit Pendidikan tersebut.
6. Pengalokasian anggaran dalam tahun berjalan yang terlalu tinggi. Hal
ini berdampak pada realisasi penyerapan anggaran yang rendah pada
Kementerian/Lembaga tersebut.

Risiko Fiskal
Risiko fiskal yang menjadi kendala dalam pelaksanaan pinjaman luar negeri
ini terkait dengan bertambahnya beban APBN yang disebabkan oleh sesuatu
di luar kendali Pemerintah.
Sehubungan dengan pinjaman luar negeri, terdapat beberapa risiko fiskal
yang terjadi :
1. Penurunan nilai tukar rupiah (khususnya terhadap dolar Amerika Serikat)
memiliki dampak pada semua sisi APBN, termasuk pembiayaan. Pada sisi
pembiayaan, yang akan terkena dampaknya adalah pinjaman luar negeri
baik pinjaman program maupun pinjaman proyek serta pembayaran
cicilan pokok utang luar negeri.

76
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

2. Terdapat Pinjaman Luar Negeri yang dikategorikan at risk berdasarkan


nilai present value (PV) ≤ 0,30 yang berarti realisasi penarikan Pinjaman
mengalami keterlambatan yang akut sehingga berisiko tinggi
memunculkan biaya tambahan yang harus ditanggung APBN. Terhadap
Pinjaman Luar Negeri yang termasuk kategori at risk ini dapat dilakukan
langkah-langkah sebagai berikut:
a) Perubahan sasaran kegiatan dari sasaran yang tercantum dalam
perjanjian Pinjaman.
b) Perubahan alokasi dana Pinjaman dari alokasi yang tercantum dalam
perjanjian Pinjaman.
c) Pengusulan pembatalan sebagian atau seluruh dana Pinjaman yang
tercantum dalam perjanjian pinjaman.
d) Penyusunan rencana aksi dan mengkoordinasikannya dengan pihak-
pihak terkait.
3. Contingencies Liabilities
Risiko ini berasal dari dukungan dan/atau jaminan yang diberikan oleh
Pemerintah terhadap proyek Pinjaman. Pemberian jaminan ini membawa
konsekuensi fiskal bagi Pemerintah dalam bentuk peningkatan kewajiban
kontinjen Pemerintah. Ketika risiko-risiko yang dijamin Pemerintah
tersebut terjadi dan Pemerintah harus menyelesaikan kewajiban
kontinjen dimaksud, maka kondisi ini kemudian dapat menjadi tambahan
beban bagi APBN.

77
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

78
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

Tol Trans
Sumatera
Pembangunan jalan Tol Trans
Sumatera sepanjang 2.700 km
yang menghubungkan Provinsi
Aceh hingga Lampung dengan
investasi hampir Rp300 triliun.

Bab

6
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekedar Defisit dan Utang

PEMBIAYAAN
INVESTASI
& PEMBIAYAAN
LAINNYA
Bagian ini menjelaskan komponen pembiayaan
anggaran berupa pembiayaan Investasi dan pembiayaan
lainnya. Seperti halnya penjelasan pada komponen
pembiayaan anggaran, pembahasan difokuskan pada
proses proyeksi alokasi anggarannya. Jika pembiayaan
investasi merupakan pengeluaran pembiayaan,
pembiayaan lainnya merupakan komponen yang
memberikan kontribusi arus kas positif.

79
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

Bab PEMBIAYAAN

6 INVESTASI &
PEMBIAYAAN
LAINNYA
Dalam kondisi defisit, investasi pemerintah
bersumber dari utang sehingga sebagian
masyarakat memandang hal tersebut berlebihan.
Benarkah pandangan tersebut? Kapan sebaiknya
Pemerintah berinvestasi?

Upaya pemerintah Melalui Pembiayaan Investasi

Mengapa Pembiayaan Investasi/Penambahan


Penyertaan Modal Negara (PNM)

Alur Proses Penganggaran Pembiayaan Investasi

Struktur Pembiayaan Investasi

Pembiayaan Lainnya

80
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

Upaya Pemerintah Melalui Pembiayaan Investasi


Meningkatkan peran Badan Bagi Indonesia, peranan belanja pemerintah terhadap PDB masih jauh dari
Usaha Milik Negara (BUMN) guna potensi yang ada. Tidak dipungkiri, selama ini struktur belanja pemerintah
meningkatkan laju pertumbuhan
sangat jauh dari kategori ideal. Lebih dari separuh anggaran pemerintah
perekonomian
tersebut dialokasikan untuk belanja rutin (birokrasi) dan subsidi. Salah
satu cara untuk meningkatkan peran pemerintah dalam mendorong laju
pertumbuhan perekonomian adalah dengan meningkatkan peran Badan
Usaha Milik Negara (BUMN). Badan usaha ini tidak hanya mencari keuntungan
semata tetapi juga harus bisa berkontribusi terhadap pembangunan sebagai
agen pembangunan (agent of development).
Salah satu upaya pemerintah tersebut dilakukan melalui penambahan
Penyertaan Modal Negara (PMN) kepada BUMN yang sebagian besar
dipergunakan untuk mendukung pembangunan infrastruktur. Penanaman
modal negara atau PMN merupakan istilah yang dipakai untuk menyebut
upaya pemerintah tersebut.
Selain investasi kepada BUMN, pemerintah juga melakukan pembiayaan
investasi kepada Badan Layanan Umum (BLU) untuk mendukung peran
pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Manfaat
nyata yang sering kita dengar antara lain penyaluran dana bergulir bagi
Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), pemberian beasiswa bagi putra-
putri Indonesia melalui Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) dan
pemberian bantuan pembiayaan perumahan melalui Fasilitas Likuiditas
Pembiayaan Perumahan (FLPP) bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah
(MBR).
Grafik 6.1
Perkembangan Alokasi Pembiayaan Investasi

81
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

Penambahan alokasi PMN Langkah peningkatan peran BUMN sebagai mesin penggerak perekonomian
ini dilaksanakan untuk ini telah dilaksanakan secara riil oleh Pemerintah yang tercemin dari
meningkatkan kemampuan pengalokasian pembiayaan investasi terutama pada tahun 2015 dan 2016
leverage BUMN
sebagaimana terlihat pada Grafik 6.1, yang meningkat pesat dari tahun-
tahun sebelumnya. Penambahan PMN kepada BUMN pada tahun 2015-
2016 sebesar masing-masing Rp64,8 triliun dan Rp50,5 triliun merupakan
penambahan PMN kepada BUMN yang terbesar selama ini. Penambahan
alokasi PMN ini dilaksanakan untuk meningkatkan kemampuan leverage
BUMN dalam menunjang pertumbuhan perekonomian Indonesia.
Diharapkan dengan dialokasikannya pembiayaan untuk infrastruktur ini
dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia serta akhirnya
mampu meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup masyarakat Indonesia.

Mengapa Pembiayaan Investasi/Penambahan Penyertaan Modal


Negara (PNM)
Melihat gelagat-gelagat ekonomi yang melambat cenderung menurun,
harga barang yang terus naik, daya beli masyarakat yang rendah dan turun,
banyak PHK yang terjadi di mana-mana, banyak industri yang penjualannya
turun alias tidak mencapai target penjualan, penjualan properti yang agak
stagnan, nilai tukar dolar Amerika Serikat (AS) yang menguat sehingga
rupiah melemah, bursa saham yang terus-terusan turun, wajar kiranya
timbul pemikiran di beberapa kalangan masyarakat bahwa investasi yang
dilakukan oleh Pemerintah adalah tindakan yang berlebihan dan kurang
bermanfaat. Terlebih lagi kondisi keuangan negara dalam dasawarsa terakhir
selalu dalam kondisi defisit, hal ini berarti bahwa investasi Pemerintah mau
tidak mau pasti bersumber dari utang.
Bila demikian, kapankah waktu yang tepat bagi Pemerintah untuk memulai
berinvestasi? Untuk menjawab hal ini perlu kiranya kita menilik dari sisi
ilmu ekonomi mengenai definisi dan kegunaan dari investasi itu sendiri.

Pembentukan Produk Domestik Dari sisi ilmu ekonomi produk domestik bruto (PDB) umum digunakan
Bruto (PDB) sebagai patokan untuk mengukur kesejahteraan suatu negara. Dalam
kerangka ekonomi makro, sedikitnya ada empat aktor yang berperan dalam
pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) empat aktor yang berperan
dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB), yakni sektor rumah
tangga yang direpresentasikan dalam bentuk konsumsi masyarakat (C),
sektor swasta yang direpresentasikan melalui investasi (I), sektor pemerintah
melalui pengeluaran belanja pemerintah yang tercermin di dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (G) dan juga masyarakat luar negeri yang
tercermin dari arus ekspor dan impor (X-M). Perubahan (naik maupun turun)
dari akumulasi keempat sektor tersebut akan menentukan tinggi rendahnya
pertumbuhan ekonomi suatu negara.
Dalam teori pertumbuhan Harrod dan Domar (Todaro, 2004) investasi
didefinisikan sebagai perubahan tingkat modal (stock) yang terjadi dalam
suatu perekonomian dimana sebagian dari pendapatan digunakan untuk
tabungan. Pergerakan arus tabungan tersebut kemudian diarahkan untuk

82
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

menciptakan dana investasi yang dapat mempercepat pertumbuhan


ekonomi.
Diagram 6.1
Aktor yang berperan dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB)

Investasi Belanja
Pemerintah
(I) (G)

Expor dan
Konsumsi Impor
(C) Produk (X-M)
Domestik
Bruto

investasi merupakan faktor Selain itu, peningkatan investasi diyakini memiliki konstribusi sebagai
penting yang memainkan peran pengungkit terhadap bergeraknya pembangunan ekonomi suatu bangsa.
strategis terhadap pertumbuhan
dan pembangunan ekonomi suatu
Dalam ekonomi makro, investasi juga berperan sebagai salah satu komponen
negara dari pendapatan nasional, Produk Domestik Bruto (PDB) atau Gross Domestic
Product (GDP). Secara sederhana pengaruh investasi terhadap perekonomian
suatu negara tercermin dari pendapatan nasional negara tersebut dimana
investasi berkorelasi positif dengan GDP. Apabila investasi naik maka GDP
cenderung naik, atau sebaliknya apabila investasi turun maka GDP cenderung
turun.
Sebagian ahli ekonomi memandang pembentukan investasi merupakan
faktor penting yang memainkan peran strategis terhadap pertumbuhan
dan pembangunan ekonomi suatu negara. Ketika pengusaha atau individu
atau pemerintah melakukan investasi, maka akan ada sejumlah modal yang
ditanam, ada sejumlah pembelian barang-barang yang tidak dikonsumsi,
tetapi digunakan untuk produksi, sehingga menghasilkan barang dan jasa
di masa akan datang. Suatu negara akan berkembang secara dinamis jika
investasi yang dikeluarkan jauh lebih besar daripada nilai penyusutan faktor-
faktor produksinya. Negara yang memiliki Investasi yang lebih kecil daripada
penyusutan faktor produksinya akan cenderung mengalami perekonomian
yang stagnasi.
Kondisi Indonesia dalam Berangkat dari definisi dan kegunaan investasi bagi perekonomian suatu
menghadapi tantangan dan
negara tersebut, mari melihat kondisi Indonesia sekarang dalam menghadapi
peluang
tantangan dan peluang di masa yang akan datang yang menjadi dasar
Pemerintah melakukan Pembiayaan Investasi/Penambahan Penyertaan
Modal Negara (PMN).

83
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

Indonesia saat ini masih Pertama, rendahnya kuantitas dan kualitas infrastruktur nasional. Indonesia
tertinggal di bidang infrastruktur saat ini masih tertinggal di bidang infrastruktur. Bahkan, jika dibanding
negara-negara yang infrastrukturnya minim, Indonesia masih berada di
bawahnya. Berdasarkan data The Global Competitiveness Report 2016-2017
yang dikeluarkan oleh World Economic Forum (WEF), daya saing Indonesia
berada pada peringkat 41 dan daya saing infrastruktur pada peringkat 60
dari 134 negara.
Infrastruktur menjadi sorotan utama karena infrastruktur merupakan roda
penggerak pertumbuhan ekonomi dan kunci untuk meningkatkan peringkat
daya saing Indonesia. Oleh karena itu, pembangunan infrastruktur di segala
bidang mulai dari pembangunan jalan, jembatan, bendungan, saluran irigasi,
air bersih, perumahan dan penataan kawasan harus segera dilakukan.
Dari alokasi pembiayaan publik dan swasta, infrastruktur dipandang
sebagai lokomotif pembangunan nasional dan daerah. Secara ekonomi
makro ketersediaan dari jasa pelayanan infrastruktur mempengaruhi
marginal productivity of private capital, sedangkan dalam konteks ekonomi
mikro, ketersediaan jasa pelayanan infrastruktur berpengaruh terhadap
pengurangan biaya produksi (Kwik Kian Gie, 2002).
Dampak dari keterbatasan ketersediaan infrastruktur juga menyebabkan
mahalnya biaya logistik. Biaya logistik di Indonesia masih sangat tinggi
dibandingkan negara lain. Tingginya biaya logistik membuat kesenjangan
harga yang tidak wajar.
Berdasarkan Logistic Performance Index (LPI) 2016, peringkat Indonesia turun
dari 53 pada 2014 menjadi 63 pada 2016. Peringkat Indonesia di bawah
Singapura (5), Malaysia (32), dan Thailand (45). Infrastruktur yang berkaitan
langsung dengan logistik adalah sektor transportasi, terutama infrastruktur
pelabuhan, jalan, dan hubungan antar moda.
Oleh karena itu, investasi untuk perbaikan infrastruktur terutama di kawasan
Indonesia bagian timur harus segera dilakukan. Pembangunan infrastruktur
sebagai prioritas utama, merupakan pilihan yang logis dan strategis dalam
meningkatkan daya saing Indonesia sekaligus untuk mengejar ketertinggalan.
Masih terjadi kesenjangan antara Kedua, tingginya backlog perumahan. Masih terjadi kesenjangan antara
kebutuhan dan penyediaan kebutuhan dan penyediaan rumah dikarenakan terdapat berbagai kendala
rumah
yang dihadapi, khususnya oleh masyarakat berpenghasilan menengah
dan rendah yang antara lain karena masih rendahnya daya beli dan/atau
terbatasnya akses mereka ke sistem pembiayaan perumahan.
Angka backlog menurut perkiraan Kementerian Perumahan PUPR mencapai
11.3 juta rumah tangga di tahun 2015, sehingga apabila angka tersebut
dikonversi berdasarkan harga jual rumah sederhana dan sehat, maka total
kebutuhan untuk menyediakan rumah sebesar Rp1.421 Triliun. Salah satu
penyebab tingginya angka backlog tersebut adalah rendahnya pembiayaan
sektor perumahan dari pemerintah maupun swasta sehingga diperlukan
intervensi pemerintah baik dalam hal bantuan langsung, skema pembiayaan

84
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

pemerintah dan swasta, ataupun penjaminan agar mampu mengatasi backlog


tersebut.
Kualitas sumber daya manusia Ketiga, rendahnya kualitas sumber daya manusia (SDM). SDM adalah modal
perlu terus ditingkatkan sehingga utama dalam pembangunan nasional. Oleh karena itu kualitas sumber
mampu memberikan daya saing daya manusia perlu terus ditingkatkan sehingga mampu memberikan daya
yang tinggi
saing yang tinggi yang antara lain ditandai dengan meningkatnya Indeks
Pembangunan Manusia (IPM), Indeks Pembangunan Gender (IPG), dan
Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) yang dicapai melalui peningkatan taraf
pendidikan.
Nilai IPM Indonesia di tahun 2015 adalah 0,689. Nilai ini menempatkan
Indonesia di peringkat 113 dari 188 negara. Tetapi bila faktor kesenjangan
diperhitungkan, nilai IDG Indonesia menurun ke 0,563 atau turun 18,2 persen.
Rata-rata penurunan akibat kesenjangan di negara-negara Asia Timur dan
Pasifik adalah 19,3 persen. Artinya kesenjangan di Indonesia sedikit lebih baik
dari negara-negara Asia Timur dan Pasifik.
Pada tahun 2015, nilai IPM untuk perempuan di Indonesia sebesar 0,660,
sementara IPM laki-laki 0,712, sehingga nilai IPG di Indonesia sebesar 0,926.
Nilai ini menunjukkan tingkat kesetaraan pembangunan gender di Indonesia
masih di bawah rata-rata kesetaraan di Asia Timur dan Pasifik yang nilai IPG
rata-ratanya 0,956.
Di samping itu, Indonesia mempunyai peluang untuk dapat menikmati
‘bonus demografi’, yaitu percepatan pertumbuhan ekonomi akibat
berubahnya struktur umur penduduk yang ditandai dengan menurunnya
rasio ketergantungan (dependency ratio) penduduk non-usia kerja kepada
penduduk usia kerja. Perubahan struktur ini memungkinkan bonus demografi
tercipta karena meningkatnya suplai angkatan kerja (labor supply), tabungan
(saving), dan kualitas sumber daya manusia (human capital).
Di Indonesia, rasio ketergantungan telah menurun dan melewati batas di
bawah 50 persen pada tahun 2012 dan mencapai titik terendah sebesar 46,9
persen antara tahun 2028 dan 2031. Indonesia mempunyai potensi untuk
memanfaatkan bonus demografi baik secara nasional maupun regional.
Penduduk usia produktif Indonesia sendiri menyumbang sekitar 38 persen
dari total penduduk usia produktif di ASEAN. Tingginya jumlah dan proporsi
penduduk usia kerja Indonesia selain meningkatkan angkatan kerja dalam
negeri juga membuka peluang untuk mengisi kebutuhan tenaga bagi negara-
negara yang proporsi penduduk usia kerjanya menurun seperti Singapura,
Korea, Jepang dan Australia.
Bonus demografi tidak diperoleh secara otomatis, tetapi harus diupayakan
dan diraih dengan arah kebijakan yang tepat. Oleh karena itu, investasi di
sektor SDM merupakan suatu keharusan dan bukan suatu yang bisa ditunda.

85
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

Skala ekonomi BUMN Indonesia Keempat, rendahnya daya saing BUMN. Dapat dikatakan skala ekonomi
saat ini masih jauh di bawah BUMN Indonesia saat ini masih jauh di bawah negara lain seperti Singapura
negara lain seperti Singapura dan
dan Malaysia. Pada sektor perbankan contohnya, Bank Mandiri hanya
Malaysia
menempati posisi delapan di kawasan ASEAN untuk indikator kapitalisasi.
Secara umum peran BUMN terhadap pembangunan nasional dapat
dijelaskan berdasarkan grafis berikut.
Diagram 6.2
Peran BUMN terhadap pembangunan nasional

BUMN

Negara dan Masyarakat


1. Sumbangan bagi APBN;
Shareholder Stakeholder 2. Mengejar keuntungan;
3. Pemenuhan hajat hidup
orang banyak;
4. Perintis kegiatan usaha;
5. Asistensi & bantuan pada
Kontribusi UKM & masy ekonomi
Profit/Pajak
Pembangunan lemah.

KUR,
Pasar Modal Ketahanan Ketahanan Ketahanan
PKBL, Kemaritiman
Indonesia Pangan Energi Nasional
PSO

Equitable Growth : Welfare

Berdasarkan info grafis tersebut dapat kita ketahui bersama bahwa BUMN
dapat memberikan manfaat dan kontribusi kepada negara dan masyarakat.
Dari sudut pandang negara, BUMN dapat memberikan keuntungan secara
langsung dalam bentuk pajak yang setiap tahun diterima oleh negara.
Tidak hanya itu, BUMN juga memberikan keuntungan secara tidak langsung
kepada Pemerintah dalam bentuk kontribusi BUMN dalam pembangunan
perekonomian Indonesia. Di lain sisi BUMN dapat membantu Pemerintah
dalam menyejahterakan hajat hidup orang banyak, yang dilaksanakan
melalui berbagai kegiatan BUMN itu sendiri seperti mewujudkan ketahanan
energi (PT. PLN dan PT. Geo Dipa Energi), dan mewujudkan ketahanan
pangan (Perum Bulog, PT. Perikanan Nusantara, PT. RMI, PT. Pertani, Perum
Perikanan Indonesi, dan PT. Sanghyang Seri).
Pengaruh pembiayaan investasi (PMN) terhadap BUMN memang terjadi
secara tidak langsung (time lag). Pemberian PMN akan menyehatkan
struktur neraca BUMN, terutama yang mengalami kerugian. Neraca
perusahaan yang semakin sehat akan berdampak pada kemampuan BUMN
memeroleh pinjaman dari sektor keuangan, baik dari dalam maupun luar
negeri. Contohnya, pengajuan PMN PT Perusahaan Listrik Negara (Persero)
senilai Rp 5,23 triliun dapat menurunkan Debt to Equity Ratio (DER) yang telah
mencapai 257 persen. Rasio DER yang tetap tinggi dan mengkhawatirkan
memasung perusahaan untuk mengakses sumber-sumber pembiayaan
sehingga kinerja keuangannya akan tetap buruk.

86
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

Tambahan suntikan dana pemerintah tersebut dapat memberikan ruang


gerak dan leverage bagi BUMN. Dengan demikian, BUMN dapat meningkatkan
kinerjanya ke depan sehingga membantu pemerintah dalam membiayai
pembangunan melalui peningkatan setoran deviden. Selain itu dengan
meningkatnya kondisi keuangan dan meningkatnya akses sumber-sumber
pembiayaan tersebut, BUMN diharapkan mampu melaksanakan perannya
sebagai agent of development yang dilaksanakan melalui pelaksanaan
penugasan pemerintah kepada BUMN. Diharapkan dengan adanya
peningkatan kapasitas ini BUMN dapat berperan aktif sebagai penggerak
roda perekonomian.
Rendahnya akses Usaha mikro, Kelima, rendahnya akses usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM)
kecil, dan menengah (UMKM)
terhadap sektor perbankan. Menurut data BPS, perekonomian Indonesia
terhadap sektor perbankan.
banyak memperoleh kontribusi dari sektor UMKM terutama dalam hal
memberikan kesempatan kerja. Data statistik menunjukkan jumlah unit
UMKM mendekati 99,98% terhadap total unit usaha di Indonesia. Sementara
jumlah tenaga kerja yang terlibat mencapai 91,8 juta orang atau 97,3%
terhadap seluruh tenaga kerja Indonesia.
Namun masalah klasik seputar pembiayaan dan pengembangan usaha
masih tetap melekat pada UMKM. Pemerintah mencatat dari 56,4 juta
UMKM yang ada di seluruh Indonesia, baru 30 persen yang dapat mengakses
pembiayaan. Hambatan yang menghalangi UMKM untuk dapat mengakses
pembiayaan dari lembaga keuangan, usaha kecil dituntut menyajikan
proposal usaha yang feasible atau layak usaha dan menguntungkan. Di
samping itu lembaga keuangan mensyaratkan usaha kecil harus bankable
atau dapat memenuhi ketentuan bank. Beranjak dari sinilah kehadiran
Pemerintah diperlukan untuk meningkatkan akses pembiayaan bagi UMKM
yang salah satunya dilaksnakan oleh Badan Layanan Umum (BLU) dalam
bentuk penyaluran dana bergulir.
Berdasarkan uraian di atas, maka pengeluaran investasi yang dilakukan
Pemerintah adalah suatu keharusan dan tidak bisa ditunda lagi. Pemerintah
tidak boleh menunggu semua kondisi eksternal maupun internal dalam
keadaan ideal dan mempunyai cukup uang baru melakukan investasi.
Semua akan terlambat bila itu dilakukan. Meski investasi dilakukan oleh
pemerintah, itu bukan berarti kita membuang uang. Tapi Pemerintah
mengharapkan return. Pemerintah beda dengan korporasi. Saat pemerintah
melalukan investasi, return yang diharapkan adalah ekonomi dan sosial
return yang jauh lebih besar.

Alur Proses Penganggaran Pembiayaan Investasi


Alur proses penganggaran Alur proses penganggaran pembiayaan investasi dapat dibagi dalam
pembiayaan investasi dapat
empat periode perencanaan. Periode pertama adalah proses perencanaan
dibagi dalam empat periode
perencanaan. yang dilakukan dalam bulan Januari–April. Periode dua adalah proses
penyusunan yang dilaksanakan dalam bulan Mei-Juli. Periode tiga adalah
proses pembahasan yang dilakukan dalam bulan Agustus-Desember.
Periode terakhir yang berjalan secara bersamaan dengan periode tiga, yaitu

87
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

dalam bulan November-Desember merupakan proses penetapan. Rincian


proses dari tiap-tiap periode tersebut dijelaskan di bawah ini.
Proses perencanaan yang dilaksanakan pada Januari-April meliputi beberapa
tahapan/kegiatan. Pertama, pembicaraan pendahuluan antara Direktorat
Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) sebagai Pembantu Pengguna Anggaran
Bendahara Umum Negara (PPA BUN) BA 999.03 dengan Direktorat Jenderal
Anggaran (DJA) untuk memperoleh gambaran umum atas kebijakan APBN
tahun depan. Hal ini dilakukan agar PPA memperoleh arahan yang jelas atas
kebijakan APBN tahun yang direncanakan.
Dua, PPA berkoordinasi dengan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dalam
mempersiapkan usulan alokasi investasi pemerintah (Rencana Dana
Pengeluaran Bendahara Umum Negara atau RDP BUN) yang kemudian
diajukan ke Kementerian Keuangan c.q DJA. KPA menyertakan kajian
terhadap tingkat kepastian atas manfaat ekonomi dan sosial atau jasa atas
investasi dimaksud.
Tiga, mekanisme trilateral meeting antara DJA, DJKN sebagai PPA dan unit-
unit lain yang bertindak sebagai KPA untuk menyusun RDP BUN. Hal-hal
yang dibahas antara lain keterkaitan usulan dana investasi pemerintah
dengan arah kebijakan anggaran, prioritas anggaran, RPJMN APBN, evaluasi
kinerja penggunaan dana serta kapasitas fiskal yang tersedia.
Empat, PPA mengajukan RDP BUN kepada DJA pada minggu ketiga bulan
Januari, sekaligus sebagai draft indikasi kebutuhan dana anggaran Investasi
Pemerintah.
Lima, Kementerian Keuangan c.q. DJA mengkompilasi seluruh RDP BUN
yang telah dilampirkan dasar perhitungan angka yang diusulkan.
Enam, internal Kementerian Keuangan memperoses hasil trilateral meeting
yang diintegrasikan ke dalam postur APBN yang kemudian dibahas di Rapat
Pimpinan Kementerian Keuangan.
Tujuh, Menteri Keuangan memberikan persetujuan atas hasil trilateral
meeting yang diintegrasikan ke dalam postur APBN yang kemudian akan
didokumentasikan dalam dokumen Indikasi Kebutuhan Dana.
Sementara itu, proses penyusunan anggaran yang dilaksanakan pada Mei-
Juli) meliputi beberapa tahapan/kegiatan. Pertama, Kementerian Keuangan
menyusun Kerangka Ekonomi Makro (KEM), Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal
(PPKF), dan Bappenas menyusun Rencana Kerja Pemerintah (RKP). Tahap
dua, pembicaraan pendahuluan RAPBN (KEM, PPKF, dan RKP) antara
Pemerintah dengan DPR. Tiga, penyusunan RAPBN, RUU APBN, Nota
Keuangan dan Himpunan RKA-K/L.
Tahapan selanjutnya, proses pembahasan yang dilaksanakan pada Agustus-
Desember meliputi beberapa tahapan. Pertama, Kementerian Keuangan
c.q DJA melakukan pembahasan RAPBN, RUU APBN, Nota Keuangan dan
Himpunan RKA-K/L dengan DPR. Dua, DPR membahas BUN khususnya

88
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

dana Investasi Pemerintah dengan Badan Anggaran dan Panja untuk


pembahasan mengenai kebijakan, besaran angka/nominal, beserta rencana
penggunaannya. Tiga, penyusunan RAPBN, RUU APBN, Nota Keuangan dan
Himpunan RKA-K/L yang telah dibahas di DPR. Empat, persetujuan RUU
APBN menjadi UU APBN dalam sidang paripurna oleh DPR.
Terakhir, proses penetapan anggaran yang dilaksanakan pada November-
Desember meliputi beberapa tahapan. Pertama, Menteri Keuangan
menerbitkan Surat Edaran Alokasi Anggaran BUN yang di dalamnya terdapat
alokasi Investasi Pemerintah hasil kesepakatan antara Pemerintah dan DPR
yang kemudian disampaikan kepada PPA. Dua, DJA menyusun Keputusan
Presiden tentang Rincian Anggaran Belanja Pemerintah Pusat (ABPP) dan
diajukan kepada Presiden untuk ditetapkan. Tiga, penetapan Keputusan
Presiden tentang Rincian ABPP oleh Presiden. Terakhir, KPA melakukan
penyusunan DIPA sebagai dasar pelaksanaan alokasi anggaran.

Struktur Pembiayaan Investasi


Pembiayaan investasi secara keseluruhan terdiri dari empat bagian utama.
Pengelompokan ini didasarkan pada kepada siapa investasi pemerintah
tersebut diberikan sebagaimana Diagram 6.2. Pertama, investasi kepada
BUMN dimaksudkan dalam rangka: mewujudkan kesejahteraan umum
masyarakat; menyelamatkan perekonomian nasional; memperbaiki struktur
permodalan dan meningkatkan kapasitas usaha BUMN dan Perseroan
Pembiayaan investasi secara Terbatas.
keseluruh terdiri dari empat
Diagram 6.3
bagian utama.
Kemana Pemerintah Investasi

Sementara itu ruang lingkup investasi kepada BUMN meliputi: pendirian


BUMN atau Perseroan Terbatas; investasi pada Perseroan Terbatas yang di

89
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

dalamnya belum terdapat saham milik negara; investasi pada BUMN atau
Perseroan Terbatas yang di dalamnya telah terdapat saham milik negara.
Bentuk-bentuk PMN kepada BUMN mencakup: (1) dana segar (fresh money),
Pemerintah memberikan sejumlah uang kepada BUMN; (2) Piutang
Pemerintah, Pemerintah mengkonversi utang BUMN kepada Pemerintah
menjadi PMN; (3) Saham, Pemerintah menempatkan saham pada BUMN
milik BUMN/Perseroan terbatas lain; (4) Barang Milik Negara (BMN), BUMN
mendapat PMN berupa BMN yang diserahkan oleh Kementerian Negara,
yang pengadaannya melalui DIPA Kementerian Negara/Lembaga.
Dua, investasi kepada lembaga/badan lainnya. Investasi kepada lembaga/
badan lainnya dialokasikan untuk mencapai beberapa tujuan, antara lain:
(1) modal awal badan usaha selain BUMN, penyertaan modal negara pada
saham minoritas Pemerintah, dan badan hukum/lembaga lainnya, seperti
BPJS Kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan, Lembaga Pembiayaan Ekspor
Indonesia (LPEI), dan pengambilalihan PT Indonesia Asahan Aluminium
(Inalum); (2) menambah modal badan hukum seperti International Rubber
Consortium Limited (IRCo) dan Bank Indonesia; (3) mendukung kebijakan
Pemerintah di sektor tertentu, seperti keberlangsungan program dana
jaminan sosial (DJS) Kesehatan melalui PMN kepada BPJS Kesehatan.
Nilai investasi kepada lembaga/badan lainnya, cenderung berfluktuatif
menyesuaikan dengan dukungan Pemerintah pada sektor tertentu serta
jumlah komitmen dan jadwal pembayaran pada masing-masing badan
usaha.
Tiga, investasi kepada Badan Layanan Umum (BLU). Badan Layanan Umum
(BLU) merupakan organisasi sektor publik yang dioperasikan oleh pemerintah
pusat maupun daerah yang fungsi utamannya ialah menjual barang dan/
atau jasa dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Sebelum
ditetapkan sebagai unit BLU, instansi tersebut dikenal dengan istilah satuan
kerja (satker) yang menyelenggarakan tugas dan peran pemerintah dalam
penyediaan layanan umum. Menurut ketentuannya, instansi yang sudah
ditetapkan menjadi BLU dikelola bukan untuk mencari keuntungan namun
atas dasar prinsip efisiensi dan produktivitas. Menurut teori agensifikasi,
BLU merupakan agen pemerintah yang memperoleh kewenangan yang lebih
luas dalam hal antara lain manajemen organisasi, pengelolaan keuangan
maupun dalam hal pelaporan dan akuntabilitas kinerja.
Untuk mengetahui lebih dalam soal investasi kepada BLU, salah satu bentuk
investasi kepada BLU sebagaimana Diagram 6.4 adalah dana bergulir. Dana
bergulir adalah dana yang dikelola oleh BLU tertentu untuk dipinjamkan dan
digulirkan kepada masyarakat/lembaga dengan tujuan untuk meningkatkan
ekonomi rakyat dan tujuan lainnya.

Mekanisme perguliran dana Dana pemberdayaan yang dialokasikan melalui pembiayaan, dipinjamkan
diharapkan dapat meningkatkan kepada masyarakat, untuk selanjutnya dikembalikan kepada Pemerintah
jumlah masyarakat yang dapat dalam jangka waktu tertentu, dan selanjutnya dipinjamkan kembali
menerima dana (dipergulirkan) kepada masyarakat lain yang membutuhkan. Mekanisme

90
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

perguliran dana diharapkan dapat meningkatkan jumlah masyarakat


yang dapat menerima dana sehingga terjadi snowballing effects yang dapat
meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat.
Karakterisitik dana bergulir Karakterisitik dana bergulir antara lain sebagai berikut:
1. merupakan bagian dari keuangan negara;
2. dicantumkan dalam APBN dan/atau laporan keuangan;
3. dimiliki, dikuasai, dan/atau dikendalikan oleh Penggunan Anggaran/
Kuasa Penggunan Anggaran;
4. disalurkan/dipinjamkan kepada masyarakat/kelompok masyarakat,
ditagih kembali dengan atau tanpa nilai tambah, dan digulirkan kembali
kepada masyarakat/kelompok masyarakat (revolving fund);
5. ditujukan untuk perkuatan modal koperasi, usaha mikro, kecil, menengah,
dan usaha lainnya;
6. dapat ditarik kembali pada suatu saat.
Sumber pendanaan Dana Bergulir Sementara itu, sumber pendanaan Dana Bergulir dapat berasal dari: (a)
Rupiah murni, (b) Hibah, (c) Penarikan kembali pokok dana bergulir, (d)
Pendapatan dari dana bergulir, (e) Saldo pokok pembiayaan yang diterima
dari APBN, dan (f) sumber lainnya. Pengeluaran dana bergulir yang bersumber
dari rupiah murni dialokasikan sebagai pengeluaran pembiayaan dalam
APBN pada DIPA Bagian Anggaran Pembiayaan dan Perhitungan atau bagian
anggaran lain yang dikuasai oleh Bendahara Umum Negara.
Diagram 6.4
Bentuk Investasi di BLU

91
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

Empat, Investasi kepada organisasi/Lembaga Keuangan Internasional (LKI)/


Badan Usaha Internasional yang bertujuan, antara lain adalah:
1. Memenuhi komitmen Indonesia atas skedul penambahan/peningkatan
kuota/saham/voting share di masing-masing Organisasi/LKI/Badan Usaha
Internasional,
2. Mempertahankan hak suara Indonesia pada Organisasi/LKI/Badan Usaha
Internasional, dan
3. Menjaga citra positif terhadap Indonesia di dunia internasional.
Ruang lingkup investasi kepada Organisasi/LKI adalah Pendirian Organisasi/
LKI/Badan Usaha Internasional, investasi pada Organisasi/LKI/Badan
Usaha Internasional yang di dalamnya belum terdapat saham milik negara,
investasi pada Organisasi/LKI/Badan Usaha Internasional yang didalamnya
telah terdapat saham milik negara.

Pembiayaan Lainnya
Pengertian pembiayaan lainnya Pembiayaan lainnya merupakan komponen pembiayaan anggaran yang
terdiri atas Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (Silpa)/Saldo Anggaran Lebih
(SAL), dan Hasil Pengelolaan Aset (HPA). Untuk lebih detail atas masing-
masing bagian dari pembiayaan lainnya ini dapat dijelaskan berikut ini.
Silpa adalah selisih lebih realisasi pembiayaan atas realisasi defisit anggaran
yang terjadi dalam satu periode pelaporan. Sementara itu SAL merupakan
akumulasi dari sisa lebih pembiayaan anggaran tahun anggaran yang lalu
dan tahun anggaran yang bersangkutan setelah ditutup, ditambah/dikurangi
dengan koreksi pembukuan.
Faktor Penyebab terjadinya Silpa Faktor penyebab terjadinya Silpa dan SAL adalah:
dan SAL
1. Realisasi pendapatan negara yang lebih tinggi daripada realisasi belanja
negara, yang disebabkan kondisi perekonomian yang semakin membaik.
2. Realisasi pembiayaan lebih tinggi daripada realisasi defisit, yang
disebabkan menguatnya kurs rupiah, sehingga penerimaan pembiayaan
yang berasal dari pinjaman luar negeri bertambah dan pengeluaran
pembiayaan untuk membayar pokok utang menurun, sebaliknya realisasi
bunga utang (belanja) menurun.
Peruntukan penggunaan SAL/Silpa mencakup beberapa tujuan. Pertama,
untuk menutupi/dana talangan kebutuhan kas awal tahun. Pada saat
pendapatan negara belum mencukupi untuk mendanai belanja negara.
Penggunaan SAL untuk kebutuhan kas tidak perlu mengajukan ijin kepada
DPR dan tidak dialokasikan ke dalam APBN (Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2006 tentang Perhitungan Anggaran Negara tahun 2003).
Dua, untuk pembiayaan defisit tahun anggaran berikutnya. Penggunaan hal
ini harus mendapatkan persetujuan DPR dan dialokasikan dalam APBN/

92
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

APBN-P (Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara,


Pasal 27 ayat 3 huruf d).
Tiga, untuk mengantisipasi terjadinya pembalikan (reversal) dana asing
dari pasar Surat Berharga Negara (SBN) domestik yang membahayakan
pembiayaan APBN dan stabilisasi pasar keuangan domestik. Kondisi seperti
ini harus mendapat persetujuan DPR (undang-undang APBN dan PMK Nomor
188 Tahun 2011 tentang Tata Cara Penggunaan SAL dalam rangka Stabilisasi
Pasar SBN Domestik).
Selanjutnya, penerimaan negara yang berasal dari hasil pengelolaan aset
dalam APBN adalah penjualan aset-aset milik negara yang berasal dari aset
perbankan yang masuk dalam program penyehatan perbankan nasional
(restrukturisasi perbankan). Seiring dengan berakhirnya masa tugas Badan
Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) pada 24 Februari 2004 yang
didasarkan pada Kepres No. 15 Tahun 2004 tentang Pengakhiran Tugas dan
Pembubaran BPPN dan sejalan dengan ketentuan Pasal 11 ayat 2 PP Nomor
17 Tahun 1999 tentang BPPN, maka segala kekayaan BPPN beralih menjadi
kekayaan negara yang pengelolaannya dilakukan oleh Menteri Keuangan.
Kekayaan Negara yang berasal dari BPPN tersebut dikuasai untuk sementara
dan pengelolaan Kekayaan Negara yang tidak terkait perkara diserahkelolakan
kepada PT Perusahaan Pengelola Aset (PT PPA) (Persero). Pengelolaan
kekayaan negara oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Negara dan PT PPA
(Persero), dilakukan dalam rangka pengembalian uang negara yang tersalur
pada program penyehatan perbankan antara lain dengan cara penjualan.
Pihak-pihak yang menjadi pengelola aset adalah:
1. Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, Kementerian Keuangan yang
mempunyai tugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan
Pihak-pihak yang menjadi standardisasi teknis di bidang kekayaan negara, piutang negara, dan lelang
pengelola aset sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dan
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Peraturan
Menteri Keuangan No. 184/PMK.01/2010).
2. PT Perusahaan Pengelola Aset (Persero) yang didirikan berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah
terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2008 (PMK
No.32/PMK.06/2006).

93
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

94
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

MRT
Jalur MRT Jakarta rencananya
akan membentang kurang
lebih ±110.8 km, yang terdiri
dari Koridor Selatan – Utara
(Koridor Lebak Bulus -
Kampung Bandan) sepanjang
±23.8 km dan Koridor Timur –
Barat sepanjang ±87 km.

Bab

7
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit dan Utang

PEMBERIAN
PINJAMAN
Bagian ini berisikan uraian secara teknis mengenai
perencanaan dan penggaran pemberian pinjaman:
bagaimana perencanaan itu dilaksanakan dan bagaimana
penganggarannya, kebijakan, penghitungannya dalam
memproyeksikan angka, serta kendala yang dihadapi.

95
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

Bab

7 PEMBERIAN
PINJAMAN
Proses pengalokasian dan penganggaran
pemberian pinjaman mencakup proses
pencantumannya dalam postur APBN dan
penganggaran dalam dokumen anggaran. Proses
tersebut melibatkan para pemangku kepentingan.
Siapakah pemangku kepentingan pengelolaan
pemberian pinjaman?

Kedudukan dalam Postur APBN

Latar Belakang Pemberian Pinjaman

Proses Pengalokasian dan Penganggaran


Pemberian Pinjaman

Hubungan dalam Postur APBN

96
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

Kedudukan dalam Postur APBN


Pemberian pinjaman pemerintah saat ini berbentuk penerusan pinjaman
yang berasal dari pinjaman luar negeri. Pengalokasian dan pencatatan dalam
postur APBN diawali sebagai bagian dari penarikan pinjaman luar negeri.
Pemberian pinjaman pemerintah Selanjutnya, pinjaman luar negeri tersebut diteruspinjamkan kepada badan
saat ini berbentuk penerusan usaha milik negara (BUMN)/pemerintah daerah (Pemda) sebagai pemberian
pinjaman yang berasal dari
pinjaman oleh pemerintah pusat sebagaimana Diagram 7.1.
pinjaman luar negeri.
Diagram 7.1
Hubungan Pinjaman dan Pemberian Pinjaman

URAIAN 2017
(dalam miliar rupiah)
APBN

E. Pembiayaan Anggaran 330.167,8


% pembiayaan thd PDB 2,41
A. Pembiayaan Utang 384.690,5
I. Surat Berharga Negara (Neto) 399.992,6
1. Penerbitan 537.935,7
- SBN Dalam Negeri -
- SBN International -
2. Pembayaran Pokok dan Pembelian Kembali (137.943,1)
II. Pinjaman (Neto) (15.302,1)
1. Pinjaman Dalam Negeri (Neto) 1.486,8
a. Penarikan Pinjaman Dalam Negeri (Bruto) 2.500,0

b. Pembayaran Cicilan Pokok Pinjaman Dalam Negeri (1.013,2) Pada saat dialokasikan sebagai bagian
2. Pinjaman Luar Negeri (Neto) (16.788,9) dari pinjaman luar negeri,
a. Penarikan Pinjaman Luar Negeri (Bruto) 48.293,2
i. Pinjaman Tunai 13.300,0
pencatatannya positif (ada uang masuk
ii. Pinjaman Kegiatan 34.993,2
(+) ke kas negara yang berasal dari
(1) Pinjaman Kegiatan Pemerintah Pusat 24.921,7 penarikan pinjaman luar negeri).
(2) Pinjaman Kegiatan kepada BUMN/Pemda 10.071,4
b. Pembayaran Cicilan Pokok Pinjaman LN (65.082,1)
III. Tambahan Pembiayaan Utang -
B. Pembiayaan Investasi (47.488,9)
Pada saat dialokasikan sebagai bagian
C. Pemberian Pinjaman (6.409,7)
(-) dari pemberian pinjaman,
I. Pinjaman kepada BUMN/Pemda/Lembaga/Badan Lainnya (6.409,7) pencatatannya negatif (ada uang keluar
1. Pinjaman kepada BUMN/Pemda (neto)
2. Penerimaan Cicilan Pengembalian Pinjaman
(10.071,4)
3.661,8
dari kas negara karena pemerintah
D. Kewajiban Penjaminan (924,1) meneruskan pinjaman tersebut kepada
E. Pembiayaan Lainnya 300,0 BUMN/Pemda sebagai pemberian
Sisa Lebih (Kurang) Pembiayaan Anggaran-SiLPA (SiKPA) -
pinjaman)

Pemberian pinjaman pemerintah merupakan alokasi pembiayaan anggaran


yang dicatat dalam neto. Rincian komponen terdiri dari pemberian pinjaman
kepada BUMN/Pemda (negatif) dan penerimaan cicilan pengembalian
pinjaman (positif). Sekali lagi, positif dan negatif dalam ranah pembiayaan
merupakan sudut pandang kas negara: apakah ada pemasukan ke kas
negara yang berarti positif atau pengeluaran dari kas negara yang berarti
negatif.

Latar Belakang Pemberian Pinjaman


Pemberian pinjaman secara umum merupakan bentuk pemberian pinjaman
oleh pemerintah kepada pihak-pihak yang terlibat dalam rangka mendukung
kebijakan pemerintah. Pihak yang diberi pinjaman tersebut antara lain BUMN/
Pemda Pinjaman kepada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Pemberian
pinjaman kepada BUMN/Pemda merupakan kebijakan berbentuk fasilitas
pinjaman karena kegiatan/proyek yang dilaksanakan sejalan dengan prioritas
pemerintah. Dalam hal pemberian pinjaman kepada LPS, amanat undang-
undang APBN menugaskan pemerintah untuk memberikan pinjaman

97
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

apabila LPS mengalami kesulitan likuiditas. Pemberian pinjaman kepada


LPS merupakan bentuk antisipasi pemerintah untuk menjaga stabilitas
moneter.
pinjaman luar negeri dapat Pada awalnya, pemberian pinjaman tidak terlepas dari pinjaman luar negeri.
dimanfaatkan sebagai salah Pengaturan mengenai pinjaman luar negeri sendiri baru ditetapkan pada
satu sumber pembiayaan tahun 1972 (Keputusan Presiden Nomor 59 Tahun 1972 tentang Penerimaan
pembangunan
Kredit Luar Negeri). Salah satu aturan tersebut adalah pinjaman luar negeri
dapat dimanfaatkan sebagai salah satu sumber pembiayaan pembangunan
karena keterbatasan sumber pembiayaan dalam negeri yang berasal dari
pendapatan negara dan/atau tabungan pemerintah (surplus APBN).
Dalam hal proyek yang dibiayai dari pinjaman luar negeri dilaksanakan oleh
badan usaha negara dan badan usaha daerah, skema atau caranya dilakukan
melalui penerusan pinjaman (Subsidiary Loan Agreement/SLA). Penerusan
pinjaman kepada badan usaha milik negara (BUMN) dan badan usaha milik
daerah (BUMD) dimaksudkan agar kemampuan unit-unit usaha tersebut
semakin optimal dalam melaksanakan misinya sebagai agen pembangunan.
Rekening Dana Investasi dan Terkait dengan pelaksanaan proyek-proyek yang dibiayai dari pinjaman luar
Rekening Pembangunan Daerah negeri, BUMN dan BUMD diwajibkan untuk menyediakan dana pendamping
pinjaman luar negeri. Dana pendamping tersebut selain dapat berasal dari
likuiditas internal perusahaan, dapat pula berasal dari dana yang diberikan
oleh Pemerintah, yang bersumber dari Rekening Dana Investasi (RDI).
Sumber dana RDI tersebut berasal dari :
1. pembiayaan kembali dana penyertaan modal pemerintah oleh unit-unit
usaha;
2. pembayaran kembali pokok dan bunga pinjaman yang berasal dari
bantuan proyek oleh unit-unit usaha;
3. dana anggaran yang disisihkan oleh pemerintah untuk penyertaan modal
dan atau untuk pembiayaan kredit investasi.
Di samping pembiayaan melalui RDI, Pemerintah juga membuka rekening
lain yang didedikasikan untuk menampung dana yang dipergunakan sebagai
pinjaman kepada pemerintah daerah (Pemda), yaitu Rekening Pembangunan
Daerah (RPD). Tujuan penggunaan dana RPD adalah untuk membiayai
investasi Pemda dalam bentuk pinjaman untuk pembangunan prasarana
yang terdiri dari air bersih, persampahan, terminal (baik darat, sungai, dan
danau), pasar, serta rumah sakit umum daerah. Secara umum, RDP ini
terkait dengan infrastruktur di daerah. Sumber dana RPD berasal dari :
1. pembayaran kembali pokok dan non pokok pinjaman yang berasal dari
penerusan pinjaman luar negeri;
2. pembayaran kembali pokok pijaman yang berasal dari RPD yang
dipinjamkan kepada Pemda dan BUMD;
3. dana APBN yang dialokasikan oleh pemerintah untuk RPD guna
pembiayaan investasi proyek-proyek pemerintah daerah; dan
4. pinjaman atau hibah kepada pemerintah dari luar negeri.

98
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

Dengan memperhatikan latar belakang keberadaan RDI/RDP tersebut, dapat


dibayangkan bahwa transaksinya merupakan transaksi di luar mekanisme
penganggaran (tetapi tercatat dalam laporan keuangan), istilahnya off budget
– on treasury. Sekali lagi, hal ini berkaitan dengan tujuan awal pembentukan
RDI dan RPD sebagai pemupukan dana dalam suatu rekening yang
didedikasikan untuk kebutuhan investasi.
Penetapan Undang-Undang Keuangan Negara, UU Perbendaharaan, dan
UU Pemeriksaan Pengelolaan Keuangan Negara mengharuskan perubahan
pembiayaan anggaran yang semula di luar mekanisme penganggaran
menjadi bagian dari mekanisme penganggaran: seluruh penerimaan negara
disetorkan ke Kas Negara dan penggunaannya harus melalui mekanisme
penganggaran (on budget – on treasury).
Saat ini, fungsi RDI dan RPD hanya sebagai rekening penampungan, tidak
lagi sebagai rekening pemupukan dana untuk investasi. Tidak ada lagi
pinjaman baru yang bersumber dari RDI dan RPD sehingga Pemerintah
hanya mengelola penatausahaan pinjaman yang berasal dari pinjaman RDI
dan RPD sebelum tahun 2009, yaitu tahun terakhir pemberian pinjaman
yang dilakukan melalui RDI/RPD.
Pemberian pinjaman tersebut merupakan fasilitas yang diberikan pemerintah
pusat kepada BUMN dan kepada Pemda. Tujuannya adalah menyediakan
alternatif pembiayaan dalam rangka meningkatkan kinerja BUMN dan peran
Pemda dalam memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat melalui
pembangunan yang memberikan manfaat ekonomi dan sosial. Pemberian
pinjaman ini dikhususkan untuk pembiayaan bagi kegiatan tertentu.
Dasar hukum yang mengatur pemberian pinjaman adalah Peraturan
Pemerintah No. 10 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman Luar
Negeri dan Penerimaan Hibah, Kementerian/Lembaga, Pemda, dan BUMN.
Dasar hukum yang mengatur Berikut ini beberapa ketentuan penting yang diatur. Pertama, BUMN/Pemda
pemberian pinjaman adalah tidak bisa secara langsung berhubungan atau mengadakan perikatan
Peraturan Pemerintah No. 10 dengan pemberi pinjaman (lender). Perikatan pinjaman luar negeri hanya
Tahun 2011
dapat dilakukan oleh pemerintah pusat c.q. Kementerian Keuangan. Artinya,
BUMN/Pemda dilarang melakukan perikatan dalam bentuk apapun yang
dapat menimbulkan kewajiban. Mengapa? Pihak lender hanya melihat atau
memperhitungkan kemampuan pemerintah pusat sebagai ultimate borrower,
tidak memperhitungkan kondisi Pemda atau BUMN yang bersangkutan.
Kedua, usulan pendanaan kegiatan/investasi yang diperlaukan tanpa
melibatkan peran kementerian negara/lembaga sebagai pelaksana kegiatan
(executing agency). Dalam hal ini, peran pemerintah dalam pendanaan
kegiatan/proyek BUMN, selain sebagai kreditur, adalah sebagai pemberi
mandat atas public service obligation (PSO) kepada BUMN atas proyek-proyek
infrastruktur yang menjadi kebutuhan nasional.
Ketiga, terkait dengan kepada Pemda, penerusan pinjaman luar negeri
harus sejalan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2011 tentang

99
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

Pinjaman Daerah yang mengatur bahwa penerusan pinjaman luar negeri


digunakan untuk membiayai kegiatan investasi prasarana dan/atau sarana
dalam rangka pelayanan publik yang menghasilkan penerimaan langsung
bagi APBD, menghasilkan penerimaan tidak langsung berupa penghematan
belanja dalam APBD, dan memberi manfaat ekonomi dan sosial.
Kriteria dalam pemberian Secara teknis, kriteria dalam pemberian pinjaman kepada BUMN/Pemda
pinjaman kepada BUMN/Pemda diatur lebih lanjut dan rinci dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor
108/PMK.05/2016 tentang Tata Cara Penerusan Pinjaman dalam Negeri dan
Penerusan Pinjaman Luar Negeri kepada BUMN dan Pemda:
1. Ruang lingkup
a. Untuk BUMN, kegiatan/proyek yang dapat diberikan pinjaman
merupakan prioritas pembangunan nasional;
b. Untuk Pemda, kegiatan yang dapat diberikan pinjaman harus sesuai
peraturan perundangan dan/atau diteruspinjamnkan kepada BUMN
2. Tujuannya merupakan alternatif pembiayaan anggaran dalam rangka:
a. Peningkatan kinerja BUMN, dan
b. Pengembangan daerah bagi Pemda.
3. BUMN/Pemda mampu memberikan pelayanan terbaik kepada
masyarakat, serta memberikan kontribusai bagi pembangunan sosial
dan ekonomi jangka panjang. Untuk BUMN, pemberian pinjaman ini
diberikan dalam rangka pembangunan infrastruktur yang terkait dengan
pelayanan umum di luar kerangka pelaksanaan penugasan khusus
pemerintah dan investasi yang menghasilkan penerimaan. Sedangkan
untuk Pemda Pemda, pemberian pinjaman diberikan sebagai pinjaman
jangka menengah atau jangka panjang.

Proses Pengalokasian dan Penganggaran Pemberian Pinjaman


Pembahasan mengenai proses pengalokasian dan penganggaran pemberian
pinjaman mencakup proses pencantumannya dalam postur APBN dan
penganggaran dalam dokumen anggaran. Dengan memperhatikan proses-
proses tersebut, pembaca dapat menarik kesimpulan para pemangku
kepentingan yang terlibat.
Untuk menjelaskan baik proses tersebut, sudut pandang yang dipilih adalah
melihat penyusunan postur APBN terlebih dahulu sebagai sebuah kebijakan
fiskal yang utuh untuk selanjutnya dirinci dan didokumentasikan dalam
dokumen RDP BUN. Dalam praktek, dua proses tersebut sebenarnya tidak
terpisahkan secara mutlak tetapi terkoordinasi dalam waktu yang dapat
dikatakan bersamaan.
Pencantuman rencana pemberian pinjaman dalam postur APBN dapat
dikatakan sejalan dengan komponen pembiayaan pinjaman luar negeri.
Tahap pertama, hasil penetapan asumsi dasar ekonomi makro disampaikan
Badan Kebijakan Fiskal (BKF) kepada pemangku kepentingan, seperti Ditjen
Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko, Ditjen Perbendaharaan, dan Ditjen

100
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

Anggaran. Berdasarkan, asumsi tersebut, khususnya terkait dengan kurs


dolar, para pemangku kepentingan melakukan exercise, koordinasi, dan
validasi pencantuman dan pengalokasian anggaran pemberian pinjaman
dalam postur APBN.
Pada proses penyusunan dokumen RDP BUN, Ditjen Anggaran yang telah
mencantumkan alokasi anggaran pemberian pinjaman dalam postur APBN
menyampaikan kepada koordinator PPA BA BUN untuk ditindaklanjuti menjadi
dokumen anggaran berupa RDP BUN BA 999.04. untuk lebih lengkapnya,
Diagram 7.2 mencoba menggambarkan 2 proses dimaksud.
Diagram 7.2
Proses Penyusunan dalam Postur APBN dan RDP BUN Pemberian Pinjaman

Jika memperhatikan proses di atas, para pemangku kepentingan dari


pemberian pinjaman dapat dilihat dari dua sisi. Pertama, para pengelola
Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara 999.04 (BA BUN 999.04)
subbagian anggaran BUN. Tentu saja tugas utama pengelola tersebut adalah
melakukan pengelolaan pinjaman pemerintah pusat kepada Pemda, BUMN,
lembaga, dan/atau badan lainnya yang harus dibayar kembali dengan
ketentuan dan persyaratan tertentu.
Untuk melihat pengelola BA BUN, yang harus dilihat adalah tugas dan
fungsinya terkait BA BUN, bukan unit in charge. Hal ini dikemukakan mengingat
unit in charge bisa saja sama tetapi tugas dan fungsinya yang berbeda. Contoh
pada Diagram 7.2, nomor 2, Ditjen Anggaran memiliki beberapa tugas
dan fungsinya dalam pengelolaan BA BUN secara umum (salah satunya,
pemberian pinjaman). Ditjen Anggaran c.q. Dit. Anggaran Polhukam dan BA
BUN berperan selaku mitra kerja PPA BA BUN dan Koordinator PPA BA BUN
dalam kerangka penyusunan dokumen RDD BUN. Sementara itu, Ditjen
Anggaran c.q. Dit. Penyusunan APBN, Diagram 7.2, nomor 1, berperan dalam
kerangka penyusunan postur APBN.

101
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

Dapat diambil kesimpulan, para pemangku kepentingan pengelolaan


pemberian pinjaman terdiri internal Kementerian Keuangan dan eksternal.
pemangku kepentingan Di lingkungan Kementerian Keuangan terdiri dari BKF, Ditjen Perbendaharaan
pengelolaan pemberian pinjaman (Dit. SMI), Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (Dit. SPP), dan Ditjen
Anggaran (Dit. Penyusunan APBN serta Dit. Polhukhankam dan BA BUN).
Secara teknis, tahapan penyusunan dokumen anggaran RDP BUN yang
terkait dengan pemberian pinjaman (999.04) sebagai berikut:
1. Pada awal tahun Ditjen Perbendaharaan menyusun rencana penarikan
pinjaman yang diteruspinjamkan untuk tahun anggaran yang direncanakan
dalam format Indikasi Kebutuhan Dana BUN 999.04 dan menyampaikan
kepada kepada Ditjen Anggaran paling lambat pekan ketiga bulan Januari.
Dalam rangka menyusun usulan Indikasi Kebutuhan Dana tersebut PPA
BUN berkoordinasi dengan KPA BUN, sebagai berikut:
a. usulan rencana penarikan disusun dan disampaikan oleh BUMN/
Pemda pelaksana kegiatan kepada Dirjen Perbendaharaan (DJPB)
sebagai PPA sekaligus KPA BA BUN 999.04 Pengelolaan Penerusan
Pinjaman.
b. Ditjen Perbendaharaan melakukan evaluasi usulan rencana penarikan
yang disampaikan oleh BUMN/Pemda.
2. Ditjen Anggaran menghimpun dan menilai Indikasi Kebutuhan Dana
untuk disampaikan kepada Menteri Keuangan sebagai dasar penetapan
pagu indikatif BUN paling lambat minggu terakhir bulan Maret.
3. Berdasarkan penetapan pagu indikatif BUN tersebut, PPA BUN
menyesuaikan Indikasi Kebutuhan Dana BUN dan menyampaikan
kembali kepada Ditjen Anggaran paling lambat bulan Juli.
4. Ditjen Anggaran meneliti hasil penyesuaian Indikasi Kebutuhan Dana
untuk disampaikan kepada Menteri Keuangan sebagai salah satu
pedoman dalam penetapan pagu anggaran BUN.
5. Berdasarkan hasil pembicaraan pendahuluan mengenai rancangan APBN
antara Pemerintah dengan DPR, Menteri Keuangan menetapkan pagu
anggaran BUN paling lambat pekan terakhir bulan Juni.
6. Berdasarkan pagu anggaran BUN, PPA menyusun Rencana Kerja Anggaran
(RKA) BUN.
7. Dalam rangka meningkatkan kualitas perencanaan penganggaran BUN,
RKA BUN di-review oleh Aparat Pengawasan Intern Pemerintah K/L terkait.
8. PPA menyampaikan RKA BUN kepada Ditjen Anggaran paling lambat
pekan kedua bulan Juli.
9. Ditjen Anggaran melakukan penelaahan terhadap RKA BUN dan hasilnya
disampaikan kepada Menteri Keuangan paling lambat pekan pertama
bulan Agustus.
10. Hasil dari penelaahan RKA K/L dan RDP BUN menjadi bahan penyusunan
Nota Keuangan dan RAPBN yang diajukan ke DPR.

102
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

11. Berdasarkan kesimpulan rapat kerja pembahasan Rancangan APBN


antara Pemerintah dan DPR, K/L dan PPA BUN melakukan penyesuaian
RKA-KL dan RKA BUN.
12. Selanjutnya Presiden menetapkan alokasi anggaran K/L dan Kementerian
keuangan selaku BUN dalam bentuk Peraturan Presiden tentang rincian
APBN.
13. Perpres tentang rincian APBN tersebut sebagai dasar untuk penyusunan
dan pengesahan DIPA K/L dan DIPA BUN.

Hubungan dalam Postur APBN


Ada beberapa hal, kalau boleh dikatakan sebagai permasalahan. Pertama,
pemberian pinjaman tidak berpengaruh terhadap posisi atau besaran defisit
anggaran. Penjelasannya: Posisi in going (uang masuk) atau arus kas positif
berada di komponen pembiayaan utang sebagai bagian dari penarikan
pinjaman luar negeri; Posisi out going (uang keluar) atau arus kas negatif
berada di komponen pembiayaan pemberian pinjaman. Dalam hal ini,
posisi in going sama dengan out going. Hal yang sama pun berlaku pada saat
realisasi pelaksanaan anggarannya atau penyusunan outlook-nya.
Diagram 7.3
Posisi Pemberian Pinjaman dalam Postur APBN

Diagram 7.3 akan menjelaskan kondisi tersebut di atas. Perubahan dari


Postur APBN 1 ke Postur APBN 2, khususnya yang bertanda lingkar merah.
Adanya pemberian pinjaman dan realisasinya tidak berpengaruh terhadap
defisit anggaran secara keseluruhan. Pada postur APBN 1, alokasi anggaran
pemberian pinjaman sebesar negatif Rp20. Besaran tersebut berasal dari
pinjaman kegiatan kepada BUMN/Pemda (bagian dari pinjaman luar negeri)
sebesar (positif) Rp20. Artinya, positif Rp20 ditambah negatif Rp20 sama
dengan 0.
Terkait dengan realisasi pun demikian halnya yang terjadi sebagaimana
Postur APBN 2. Realisasi pinjaman kegiatan kepada BUMN/Pemda sebesar

103
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

(positif) Rp20 yang diimbangi dengan pemberian pinjaman sebesar negatif


Rp10, atau sama dengan 0.
Jadi permasalahan yang mengemuka terkait dengan pemberian pinjaman
adalah kepastian pembayaran cicilan pokok para debitur (BUMN/Pemda)
pada saat pelaksanaan APBN. Apabila target-target pembayaran cicilan
pokok pada debitur tidak sesuai target, kekurangannya diambilkan dari
sumber pembiayaan yang lain, dalam hal ini berasal dari pinjaman secara
keseluruhan (lihat Diagram 7.4).
Diagram 7.4
Posisi Pemberian Pinjaman dalam Postur APBN 2

Diagram 7.4 mengasumsikan bahwa yang mengalami perubahan hanya


pemberian pinjaman saja, cateris paribus dalam istilah ekonomi. Diagram
tersebut menjelaskan beberapa situasi dalam postur APBN:
1. Penarikan pinjaman kegiatan kepada BUMN/Pemda semula Rp40
direalisasikan hanya Rp30 (bagian dari pinjaman luar negeri neto). Ada
arus penerimaan ke kas negara (positif);
2. Penarikan pinjaman tersebut juga dicatat sebagai pemberi pinjaman
kepada BUMN/Pemda semula negatif Rp40 dan direalisasikan menjadi
negatif Rp30 (sebagai bagian dari pemberian pinjaman). Ada arus
pengeluaran dari kas negara (negatif);
3. Pada komponen pembayaran cicilan pokok pinjaman luar negeri,
realisasinya 100 persen (bagian dari pinjaman luar negeri neto). Ini
menunjukkan kredibilitas pemerintah di mata lender dalam membayar
utangnya. Kondisi Ini juga menunjukkan bahwa peran ultimate borrower
benar-benar dijalankan Pemerintah Pusat. Besaran yang dibayarkan atau
Rp120 termasuk cicilan pokok pinjaman kepada BUMN/Pemda;

104
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

4. Sementara, penerimaan cicilan pokok pengembalian dari BUMN/Pemda


adalah realisasi angsuran pokok atas pemberian pinjaman dari BUMN/
Pemda. Nilai antara rencana dan realisasi bisa berbeda (semula Rp20
menjadi Rp15). Kondisi ini dapat terjadi karena:
a. Terdapat pinjaman yang sebelumnya diproyeksikan lancar menjadi
kurang lancar/macet;
b. Penguatan nilai kurs rupiah terhadap mata uang asing, mengingat
sebagian besar pemberian pinjaman dalam bentuk valas (USD, JPY,
EURO, dll).
5. Secara matematis, realisasi yang tidak mencapai target sebagaimana
rencana (butir 4) mengharuskan pemerintah untuk menutup kekurangan
tersebut melalui SBN neto.
Sebagai informasi, penerimaan pembiayaan yang berasal dari pemberian
pinjaman tidak seluruhnya merupakan cicilan pokok SLA (butir 3). Komponen
penerimaan pembiayaan dari pokok pinjaman (atas pemberian pinjaman)
terdiri dari: penerimaan cicilan pokok dari SLA; penerimaan cicilan atas RDI/
RPD; dan penerimaan lainnya (misal kredit program).
Masih terkait dengan pemberian pinjaman, sebenarnya terdapat juga
penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang berasal dari bunga pinjaman.
Tingkat bunga pemberian pinjaman tersebut dikenakan pemerintah pusat
lebih tinggi dari tingkat bunga yang diberikan lender (sebesar 0.34 persen
untuk pinjaman valas, dan sebesar SUN seri benchmark 20 tahun untuk
pinjaman valas ke rupiah). Di samping itu, ada juga jenis penerimaan yang
dikelompokkan sebagai PNBP lainnya dan dicatat sebagai penerimaan BA
999.04 berupa denda dan biaya lainnya, serta pendapatan bunga dari kredit
program.

105
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

BGUFGUYFYUYDYTUDYT-
DTYFTFYUFYFG

106
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

PLTP
Muaralaboh
Kewajiban penjaminan
digunakan untuk mendukung
pengembangan proyek PLTP
berkapasitas 80 MW di wilayah
kerja panasbumi (WKP) Muara
Laboh, Sumatera Barat. Ini
merupakan komitmen
pemerintah dalam
menghasilkan energi
terbarukan.

Bab

8
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekedar Defisit dan Utang

KEWAJIBAN
PENJAMINAN
Bagian ini berisikan uraian secara teknis mengenai
perencanaan dan penganggaran pembiayaan penjaminan
Pemerintah: mengapa perlu penjaminan pemerintah,
bagaimana skemanya, apa saja program penjaminan
pemerintah, bagaimana mekanisme penerbitannya,
bagaimana perencanaan itu dilaksanakan dan bagaimana
alokasi penganggarannya, kebijakannya, serta potensi risiko
yang dihadapi.

107
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

Bab

8 KEWAJIBAN
PINJAMAN
Penjaminan pemerintah menimbulkan risiko fiskal.
Untuk memitigasi risiko fiscal, selain dengan
melakukan kebijakan alokasi penjaminan
pemerintah, juga dengan kriteria untuk
mendapatkan penjaminan pemerintah. Apa
kriteria-kriteria tersebut?

Skema Penjaminan Pemerintah

Proses Penerbitan Penjaminan Pemerintah

Alokasi Dana Penjaminan

Perkembangan Penjaminan Pemerintah

Potensi Risiko Dan Keuntungan Dari


Penjaminan Pemerintah

Simulasi Penjaminan Pemerintah


108
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

Secara konseptual, saat ini penjaminan pemerintah merupakan kebijakan


yang timbul dalam rangka mendukung percepatan pembangunan proyek-
proyek infrastruktur. Penjaminan pemerintah dalam konteks APBN
dimaksudkan untuk menjamin pemenuhan penyediaan ‘barang publik’ pada
beberapa proyek infrastruktur yang dilaksanakan oleh badan usaha. Yang
dimaksud dengan barang publik adalah barang yang dibutuhkan masyarakat
dan dapat dikonsumsi secara bersama, tidak eksklusif.
Dalam mekanisme penjaminan tersebut, Pemerintah berlaku sebagai
pihak penjamin terhadap proyek-proyek infrastruktur yang dikerjakan
BUMN/BUMD. Kebijakan penjaminan Pemerintah, selain memberikan nilai
tambah bagi Pemerintah dalam pemenuhan penyediaan infrastruktur, juga
membawa konsekuensi timbulnya risiko fiskal, antara lain risiko default dari
pihak yang dijamin oleh Pemerintah. Risiko tersebut terjadi apabila BUMN/
BUMD dimaksud tidak dapat memenuhi kewajibannya kepada kreditur/
Badan Usaha sesuai perjanjian pinjaman/perjanjian kerjasama.
Penjaminan yang dilakukan Penjaminan yang dilakukan Pemerintah dalam APBN diklasifikasikan
Pemerintah dalam APBN sebagai kewajiban kontinjensi. Kewajiban kontinjensi merupakan kewajiban
diklasifikasikan sebagai potensial bagi Pemerintah yang timbul akibat adanya peristiwa masa lalu
kewajiban kontinjensi.
dan keberadaannya menjadi pasti dengan terjadi atau tidak terjadinya suatu
peristiwa di masa depan, yang tidak sepenuhnya berada dalam kendali
Pemerintah. Arti potensial adalah kondisi kemungkinan terjadi. Jadi, beban
Pemerintah benar-benar terjadi atau muncul apabila BUMN/BUMD dimaksud
tidak dapat membayar kewajibannya kepada kreditur/Badan Usaha sesuai
perjanjian pinjaman/perjanjian kerjasama.
Kerjasama Pemerintah Swasta Mekanisme penjaminan Pemerintah juga dapat diberikan pada proyek
(KPS) atau Public Private Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) atau dikenal juga dengan
Partnership (PPP) istilah Public Private Partnership (PPP). Praktiknya, Pemerintah (Pemerintah
Pusat/Pemerintah Daerah/BUMN/BUMD yang diberikan penugasan oleh
Pemerintah) melakukan kerjasama dengan Badan Usaha, dimana Badan
Usaha tersebut akan bertanggung jawab untuk menyediakan infrastruktur.
Sementara itu, Pemerintah selaku Penanggung Jawab Proyek Kerjasama
memenuhi kewajibannya sesuai dengan perjanjian kerjasama yang dilakukan
dengan Badan Usaha, di lain pihak Kementerian Keuangan sebagai penjamin
mengalokasikan dana jaminan berupa cadangan dari APBN dengan besaran
tertentu (tidak sebesar nilai proyek) dan dapat dicairkan apabila Pihak
Terjamin yakni Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah/BUMN/BUMD yang
melakukan kerjasama dengan badan usaha melakukan wanprestasi dalam
pemenuhan perjanjian dengan badan usaha tersebut.

Skema Penjaminan Pemerintah


Skema penjaminan Pemerintah tersebut terdiri dari skema penjaminan kredit
dan skema penjaminan investasi. Dengan kata lain, penjaminan Pemerintah
tersebut dapat berupa Pemerintah menjamin pinjaman/utang dari kreditur
kepada BUMN/BUMD atau Pemerintah menjamin hak-hak badan usaha

109
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

yang melakukan kerjasama dengan Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah/


BUMN/BUMD.
Terhadap penjaminan kredit perbankan dan penjaminan investasi tersebut,
Pemerintah mengalokasikan anggaran kewajiban penjaminan. Kebijakan
alokasi penjaminan Pemerintah tersebut ditujukan untuk memitigasi risiko
fiskal atas penjaminan yang dilakukan Pemerintah.
Skema penjaminan kredit digambarkan dalam Diagram 8.1 berikut ini.
Diagram 8.1
Skema Penjaminan Kredit

Pemerintah sebagai pihak Dalam skema penjaminan kredit tersebut, Pemerintah sebagai pihak
penjamin, memberikan jaminan penjamin, memberikan jaminan kepada BUMN/BUMD yang mengajukan
kepada BUMN/BUMD pinjaman kepada kreditur untuk melaksanakan suatu proyek. Untuk
mengerjakan proyek tersebut, BUMN/BUMD terkadang membutuhkan
pendanaan tambahan di luar pendanaan internal yang dimiliki. Oleh karena
itu, BUMN/BUMD mengajukan pinjaman kepada kreditur seperti perbankan.
Dalam rentang waktu yang sama, BUMN/BUMD mengajukan permohonan
permintaan penjaminan atas pinjaman kepada kreditur untuk pembangunan
proyek tersebut. Dengan disetujuinya permohonan penjaminan tersebut,
keluarlah surat jaminan kepada kreditur dari Pemerintah atas pinjaman
kepada BUMN/BUMD untuk pengerjaan proyek dimaksud dan perjanjian
regres antara Pemerintah dan BUMN/BUMD, yang mengatur bahwa
Pemerintah akan memiliki hak tagih kepada BUMN/BUMD atas pembayaran
klaim jaminan dari kreditur yang dilakukan oleh Pemerintah selaku penjamin.
Dalam hal terjadi klaim dari kreditur atas wanprestasi BUMN/BUMD (tidak
sanggup membayar cicilan pokok utang dan bunga utang, biasa disebut
default), Pemerintah sebagai pihak penjamin mempunyai kewajiban untuk
membayarkan porsi utang yang jatuh tempo tersebut kepada kreditur
berdasarkan surat jaminan. Realisasi pembayaran klaim penjaminan yang
dikeluarkan Pemerintah untuk membayarkan porsi utang jatuh tempo
tersebut menjadi piutangnya Pemerintah kepada BUMN/BUMD dan
pengembalian kepada Pemerintah dilakukan oleh BUMN/BUMD berdasarkan
perjanjian regres yang telah dibuat.
Sementara itu, skema penjaminan investasi utamanya terjadi dalam
penyediaan infrastruktur dengan pola KPBU, dimana Pemerintah Pusat (K/L),
Pemerintah Daerah (Pemda), BUMN, ataupun BUMD selaku Penanggung

110
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

Jawab Proyek Kerjasama dapat mengadakan perjanjian kerjasama dengan


badan usaha swasta. Pemerintah (K/L / Pemda / BUMN / BUMD) menjalankan
mekanisme lelang untuk memilih badan usaha atau Special Purpose Vehicle
(SPV), dimana SPV tersebut biasanya didirikan atas kerjasama beberapa
perusahaan yang yang menyuntikkan modal/equity kedalam SPV tersebut.
Di samping memperoleh equity dari beberapa perusahaan, SPV juga dapat
mengadakan perjanjian pinjaman kepada kreditur/perbankan sebagai modal
pengerjaan.
Penjaminan diberikan dalam bentuk Perjanjian Penjaminan yang menyatakan
bahwa Kementerian Keuangan selaku Penjamin akan menjamin kewajiban
tertentu (positive list) dari (K/L), Pemerintah Daerah (Pemda), BUMN, ataupun
BUMD dalam perjanjian kerjasama dengan Badan Usaha. Selain itu, dibuat
perjanjian regres antara Pemerintah dengan K/L, BUMN/BUMD, atau Pemda
yang memuat tata cara pengembalian piutang Pemerintah. Apabila terjadi
default dari K/L, BUMN/BUMD, atau Pemda terhadap kerjasama dengan
Badan Usaha, Pemerintah wajib membayarkan nilai jaminan sesuai dengan
perjanjian penjaminan tersebut dan pembayaran jaminan ini menjadi piutang
Pemerintah terhadap BUMN/BUMD dan Pemda, atau menjadi belanja K/L
(regres tidak berlaku bagi K/L). Skema penjaminan investasi digambarkan
berikut ini.
Diagram 8.2
Skema Penjaminan Investasi

Contoh proyek dengan skema penjaminan kredit adalah proyek percepatan


pembangunan pembangkit tenaga listrik 10.000 MW tahap I dan proyek
percepatan penyediaan air minum. Adapun penjaminan investasi diberikan
Pemerintah untuk menjamin kelayakan usaha PLN dalam Perjanjian Jual
Beli Listrik kepada pengembang swasta (proyek 10.000 MW tahap II).
Selain itu penjaminan investasi juga diberikan oleh Pemerintah bersama
PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PT PII) (Persero) dalam menjamin
kewajiban keuangan dalam proyek Kerjasama Pemerintah dengan Badan
Usaha (KPBU). KPBU tersebut didefinisikan sebagai kerjasama antara
Pemerintah dan Badan Usaha dalam penyediaan infrastruktur untuk
kepentingan umum dengan mengacu pada spesifikasi yang telah ditetapkan
oleh Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah/BUMN/BUMD, yang sebagian
atau seluruhnya menggunakan sumber daya Badan Usaha dengan
memperhatikan pembagian risiko di antara para pihak.

111
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

Proses Penerbitan Penjaminan Pemerintah


Penerbitan Penjaminan Pemerintah dilakukan melalui proses sebagai
berikut:
1. Nilai kelayakan proyek
Pada tahap ini executing agency menyiapkan studi kelayakan proyek dan
mengajukan usulan penjaminan kepada Kementerian Keuangan. Executing
agency yang dimaksud adalah Kementerian Negara/Lembaga, Pemda, serta
BUMN/BUMD.
2. Rekomendasi penerbitan jaminan Pemerintah
Terhadap pengajuan usulan penjaminan tersebut, Kementerian Keuangan
melakukan analisa yang meliputi kelayakan proyek, risiko-risiko yang
dijamin berdasarkan kemampuan fiskal, perjanjian pinjaman / perjanjian
kerja sama, dan rencana mitigasi risiko.
3. Penerbitan Jaminan Pemerintah
Diterbitkannya surat perjanjian jaminan Pemerintah yang ditandatangani
oleh Menteri Keuangan.
4. Pemantauan
Dilakukan oleh Kementerian Keuangan melalui analisis laporan keuangan,
financial model, internal credit rating, dan site visit. Pemantauan dilakukan
untuk mengetahui potensi risiko default dan upaya mitigasi risiko untuk
mencegah timbulnya default dan/atau timbulnya risiko yang menjadi
cakupan penjaminan.
5. Alokasi Dana Penjaminan
Dilakukan oleh Kementerian Keuangan melalui perhitungan alokasi dana
penjaminan dalam APBN (yang telah memperhitungkan probability of default
dan eksposur masing-masing proyek yang dijamin). Selain itu, dalam upaya
mitigasi risiko dan mengingat dana penjaminan didasarkan probability
of default, maka Kementerian Keuangan telah melakukan pembentukan
rekening dana cadangan penjaminan sebagai upaya memastikan kecukupan
dana penjaminan.
Mekanisme pembayaran klaim Selanjutnya, mekanisme pembayaran klaim penjaminan dilakukan melalui
penjaminan beberapa proses sebagai berikut:
1. Terjadi default pinjaman proyek, yakni pihak terjamin (K/L, BUMN/BUMD,
atau Pemda) tidak dapat memenuhi kewajiban dalam perjanjian.
2. Pengajuan klaim penjaminan kepada Menteri Keuangan dimana klaim
untuk mendapatkan pembayaran default atas jaminan tersebut diajukan
oleh kreditur/badan usaha.
3. Verifikasi klaim, dalam hal ini terhadap klaim tersebut dilakukan
verifikasi oleh Kementerian Keuangan dan/atau Badan Usaha Penjamin
Infrastruktur (BUPI) dalam hal proyek KPBU.

112
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

4. Pembayaran jaminan yang dibayarkan kepada kreditur atau badan usaha.


Dana pembayaran berasal dari alokasi dana kewajiban penjaminan dalam
APBN, namun apabila tidak mencukupi dapat dipenuhi melalui rekening
dana cadangan kewajiban penjaminan.
Untuk mendapatkan jaminan Pemerintah dan/atau BUPI, beberapa pihak
Kriteria untuk mendapatkan secara umum harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
penjaminan dari Pemerintah
1. Kriteria proyek:
a. Proyek infrastruktur.
b. Tercantum dalam daftar Proyek Infrastruktur yang ditetapkan oleh
Pemerintah (misalnya Daftar Proyek Prioritas dari Komite Percepatan
Penyediaan Infrastruktur Indonesia, Kementerian/Lembaga) atau
telah dinyatakan sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional dan Rencana Kerja Pemerintah oleh Menteri PPN/
Kepala Bappenas.
c. Layak secara ekonomi dan keuangan (termasuk aspek teknis,
amdal dan sosial). Dapat dikecualikan terhadap proyek penugasan
kepada BUMN melalui Perpres. Layak secara ekonomi berarti dengan
pembangunan infrastruktur tersebut maka akan memberikan
dampak secara ekonomi yang cukup baik bagi publik maupun
terhadap pertumbuhan ekonomi, dan layak secara finansial berarti
cashflow proyek mampu menutupi seluruh biaya yang dikeluarkan,
dan memperoleh laba.
2. Kriteria BUMN:
a. 100% milik Pemerintah atau atau sahamnya dimiliki oleh Pemerintah
bersama-sama dengan BUMN lain yang 100% milik Pemerintah
(non Tbk). Dapat dikecualikan terhadap BUMN yang mendapatkan
penugasan melalui Perpres.
b. Memiliki kemampuan keuangan: (i) kondisi keuangan sehat; dan (ii)
mampu membayar kembali pinjaman.
3. Kriteria Lembaga Keuangan Internasional (LKI):
Lembaga keuangan multilateral dan lembaga keuangan negara sahabat
dalam rangka kerja sama bilateral yang menyediakan Pinjaman Langsung
dengan syarat setara dengan sovereign loan.

Alokasi Dana Penjaminan


Teori Expected Losses (EL) Dalam perhitungan alokasi penjaminan Pemerintah, teori Expected Losses (EL)
digunakan sebagai dasar alokasi digunakan sebagai dasar alokasi penjaminan. EL dihitung dengan formula
penjaminan
sebagai berikut.
EL = PD x EAD x LGD
dimana:
• PD = Probability of Default, didasarkan pada default study dari lembaga
rating

113
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

• EAD = Exposure at Default, didasarkan pada eksposur kredit (tergantung


pada penarikan kredit dan cicilan)
• LGD = Loss Given Default = 1 – recovery rate. LGD diasumsikan 1 karena tidak
ada recovery pada saat timbulnya default atau dengan kata lain recovery
rate = 0.

Indikasi anggaran penjaminan Pemerintah pada tahun berjalan (T) dihitung


berdasarkan:
1. Eksposur penjaminan proyek pada tahun berjalan (T), yang merupakan
outstanding pinjaman proyek pada tahun sebelumnya (T-1);
2. Probability of Default tahunan, yang merupakan selisih Probability of Default
Cummulative tahun berjalan (T) dengan tahun sebelumnya (T-1), dimana
Probability of Default Cummulative menggunakan data tabel Transition
Matrix lembaga rating (S&P/Pefindo) terkini; dan
3. Asumsi kurs IDR/USD, yang sesuai dengan kesepakatan yang digunakan
dalam penyusunan RAPBN.
Formulasi indikasi anggaran Formulasi indikasi anggaran penjaminan Pemerintah dapat dituliskan
penjaminan Pemerintah berupa:
Anggaran Penjaminan = Exposure X Probability of Default Tahunan
Berikut ini merupakan contoh pengalokasian penjaminan kewajiban
pemerintah dalam APBN atas Proyek Percepatan Pembangunan Pembangkit
Tenaga Listrik. Dalam proyek percepatan pembangunan pembangkit
tenaga listrik 10.000 MW Tahap I, Pemerintah menetapkan kebijakan
untuk memberikan penugasan kepada PT PLN (Persero) dalam melakukan
percepatan pembangunan pembangkit tenaga listrik.
Untuk mendukung penugasan tersebut, Pemerintah melalui Kementerian
Keuangan memberikan jaminan penuh terhadap pembayaran kewajiban PT
PLN (Persero) kepada kreditur atau perbankan yang memberikan pinjaman
untuk proyek-proyek pembangunan pembangkit tenaga listrik dimaksud.
Penjaminan ini dimaksudkan untuk meningkatkan kelayakan kredit PT PLN
(Persero) dalam mencari pinjaman (credit worthiness) sekaligus menurunkan
biaya modal atas pendanaan proyek. Skema penjaminan ini memberikan
akses pendanaan murah dan bertenor panjang (setara sovereign debt)
bagi BUMN, dalam hal ini PT PLN (Persero), dalam membangun proyek
infrastruktur nasional (credit enchancement).
Secara langsung, mekanisme ini juga dapat memberikan kesinambungan
fiskal bagi pendanaan infrastruktur dalam APBN. Dalam struktur penjaminan
terhadap PT PLN (Persero) ini, Pemerintah selaku penjamin melakukan
upaya-upaya untuk memastikan bahwa PT PLN (Persero) mampu memenuhi
kewajiban kepada kreditur secara tepat waktu.
Alokasi dana penjaminan Pemerintah pada proyek percepatan pembangunan
pembangkit tenaga listrik dihitung menggunakan formula alokasi anggaran

114
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

penjaminan = eksposur penjaminan x probability of default tahunan. Sebagai


ilustrasi, pada APBNP tahun 2017, Pemerintah mengalokasikan dana
kewajiban penjaminan untuk proyek percepatan pembangunan pembangkit
tenaga listrik sebesar Rp428,0 miliar. Angka tersebut diperoleh berdasarkan:
1. Eksposur penjaminan dalam rupiah sebesar Rp14.642,0 miliar;
2. Eksposur penjaminan dalam dolar Amerika Serikat sebesar US$2,4 miliar;
3. Asumsi kurs dalam APBNP 2017 sebesar Rp13.400/US$; dan
4. Probability of default sebesar 0,92%.
Dari poin 1 – 3, diperoleh total eksposur dalam rupiah sebesar (Rp14.642,0
miliar + (US$2,4 miliar x Rp13.400/US$)) = Rp46.517,9 miliar. Selanjutnya,
dengan menggunakan formula perhitungan alokasi anggaran penjaminan,
diperoleh alokasi anggaran penjaminan Pemerintah sebesar Rp46.517,9
miliar x 0,92% = Rp428,0 miliar.

Perkembangan Penjaminan Pemerintah


Kewajiban kontinjensi bersumber dari pemberian dukungan dan/atau
jaminan Pemerintah atas proyek-proyek infrastruktur, program jaminan
sosial nasional, risiko penugasan ke lembaga keuangan, dan kewajiban
Pemerintah untuk menambahkan modal pada lembaga keuangan tertentu.
Kewajiban kontinjensi tersebar dalam struktur APBN baik dalam bentuk
belanja negara maupun pembiayaan anggaran. Untuk belanja negara,
kewajiban kontinjensi ini dalam bentuk jaminan Pemerintah atas jaminan
sosial nasional maupun subsidi. Sementara itu, dalam pos pembiayaan
anggaran, kewajiban kontinjensi ini dalam bentuk kewajiban penjaminan
Pemerintah yang digunakan dalam pelaksanaan/penyediaan proyek-
proyek infrastuktur. Selanjutnya, pembahasan dalam buku ini dibatasi pada
kewajiban kontinjensi dalam pos pembiayaan anggaran.
Mekanisme kewajiban penjaminan sudah digunakan Pemerintah sejak tahun
1994 dan perkembangannya dapat dilihat dalam tabel 8.1.
Gambaran alokasi dana kewajiban penjaminan Pemerintah sebagai berikut.
Anggaran kewajiban penjaminan Pemerintah mulai terealisasi sejak tahun
2013, namun bukan terealisasi karena ada pihak terjamin yang mengalami
default, melainkan terealisasi dalam bentuk pemindahbukuan alokasi
penjaminan Pemerintah melalui mekanisme Rekening Dana Cadangan
Penjaminan Pemerintah.
Berdasarkan peraturan yang berlaku, apabila hingga triwulan ketiga tahun
anggaran berjalan pihak terjamin tidak mengalami default, maka total alokasi
anggaran kewajiban penjaminan Pemerintah dalam APBN/APBNP dapat
dipindahbukukan ke dalam Rekening Dana Cadangan Penjaminan Pemerintah
yang dibuka di Bank Indonesia. Pembentukan rekening dilakukan dengan
mempertimbangkan keterbatasan fiskal APBN dan juga kebutuhan dana
penjaminan Pemerintah yang diperkirakan terus meningkat seiring dengan
meningkatnya kewajiban pembayaran pihak terjamin kepada kreditur/

115
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

badan usaha yang turut berperan dalam pembangunan infrastruktur, dan


mencegah kemungkinan cross default kepada Pemerintah karena tidak dapat
memenuhi kewajiban pembayaran jaminan.
Tabel 8.1
Perkembangan Penjaminan Pemerintah

Periode
Penerbitan 1994-2003 2008-2010 2008 – sekarang 2010 – sekarang
Jaminan
Proyek Proyek 1. Fast Track Program tahap 1 (FTP 1)
Proyek Kerjasama
Proyek yang Independent Independent 2. Program Percepatan Penyediaan Air
Pemerintah Swasta
dijamin Power Power Producer Minum (PDAM)
(KPS) / PPP Project
Producer (IPP) (IPP) 3. Fast Track Program tahap 2 (FTP 2)

UNMU antara 1. Perpres No. 91/2007 (FTP 1) Perpres No. 78/2010


Dasar Hukum - JBIC/NEXI dan 2. Perpres No. 29/2009 (PDAM)
GoI 3. Perpres No. 4/2010 (FTP 2)
Bentuk Confirmation
Support Letter Surat Jaminan Guarantee Agreement
Penjaminan Note
1. Perbankan nasional dan Project Company
Project
Beneficiary Company
JBIC and NEXI internasional
2. Project Company
Coverage Blanket Blanket
Specific risk guarantee Specific risk guarantee
Jaminan Guarantee Guarantee

tidak langsung ,
Exposure melalui PT
terhadap Langsung Langsung Langsung Penjaminan
APBN Infrastruktur
Indonesia (PT PII)

Oleh karena itu, sejak tahun 2013 Pemerintah telah memindahbukukan


alokasi penjaminan Pemerintah dalam APBN melalui mekanisme Rekening
Dana Cadangan Penjaminan Pemerintah sehingga besaran realisasinya
dalam LKPP senilai alokasinya dalam APBNP. Namun demikian, pada
tahun 2015 realisasi penjaminan Pemerintah dalam LKPP nihil dikarenakan
pertimbangan keterbatasan fiskal APBN dan kebutuhan pengeluaran negara.
Secara keseluruhan saat ini pada tahun 2017 Pemerintah telah memiliki
beberapa proyek yang dilaksanakan dengan menggunakan mekanisme
penjaminan Pemerintah. Pertama di sektor kelistrikan, Pemerintah
memberikan jaminan kredit penuh untuk Proyek 10.000 MW Tahap I
untuk pelaksanaan percepatan pembangunan pembangkit tenaga listrik
menggunakan batubara, dan penjaminan investasi untuk Proyek 10.000
MW Tahap II untuk pelaksanaan percepatan pembangunan pembangkit
tenaga listrik menggunakan energi terbarukan, batubara, dan gas. Kedua,
di sektor percepatan penyediaan air minum, Pemerintah memberikan
jaminan kredit investasi PDAM. Ketiga, terkait dengan proyek KPS,
Pemerintah juga memberikan jaminan investasi atas perjanjian kerja sama
Pemerintah dengan badan usaha yang dilakukan melalui Badan Usaha
Penjaminan Infrastruktur (BUPI). Keempat, jaminan Pemerintah diberikan
atas pembiayaan infrastruktur melalui pinjaman langsung dari lembaga
keuangan internasional kepada BUMN. Kelima, penjaminan Pemerintah
diberikan untuk percepatan pembangunan jalan tol di Sumatera. Selain
itu, Pemerintah juga mengalokasikan kewajiban penjaminan dalam rangka
penugasan penyediaan pembiayaan infrastruktur daerah kepada BUMN.

116
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

Potensi Risiko Dan Keuntungan Dari Penjaminan Pemerintah


Dalam penyediaan proyek-proyek infrastruktur melalui mekanisme
kewajiban penjaminan oleh Pemerintah maupun BUPI, terdapat risiko-risiko
baik secara langsung maupun tidak langsung yang akan berdampak terhadap
APBN. Untuk itu, Pemerintah secara berkelanjutan harus memantau dan
mengawal setiap proyek-proyek yang dijalankan melalui penjaminan baik
melalui skema KPBU maupun langsung dijaminkan oleh Pemerintah.
Risiko Pemerintah dalam Berikut adalah potensi-potensi risiko yang akan dihadapi Pemerintah dalam
penjaminan pembiayaan melakukan penyediaan infrastruktur melalui kewajiban penjaminan baik
risiko yang bersifat makro maupun mikro, yaitu:
1. Perubahan regulasi dan perundangan
Timbulnya kerugian sebagai dampak dari perubahan regulasi/perundangan
yang berdampak negatif terhadap proyek, seperti peraturan pajak, struktur
tarif, atau peraturan yang memengaruhi spesifikasi teknis proyek dan
menyebabkan perubahan biaya. Berlaku hanya jika kontrak secara eksplisit
terikat dengan regulasi/perundangan yang berlaku (melindungi terhadap
perubahan regulasi/perundangan). Pemerintah sebagai pembuat kebijakan
harus concern terhadap regulasi-regulasi yang justru akan memberikan
kerugian bagi penyediaan proyek-proyek melalui penjaminan.
2. Wanprestasi
Akibat adanya wanprestasi maka akan timbul klaim penjaminan dari
penerima jaminan. Terhadap proyek-proyek besar, Pemerintah hendaknya
harus melakukan uji kelayakan terhadap proyek maupun kemampuan dari
K/L, BUMN/BUMD, atau Pemda untuk melunasi/menyelesaikan pinjaman
kepada terjamin, serta Pemerintah memastikan tidak ada tindakan yang
melanggar kontrak, atau merubah kontrak secara sepihak.
3. Izin atau persetujuan
Risiko terhadap keterlambatan atau kegagalan dalam memberikan lisensi,
izin atau persetujuan (keterlambatan yang berdampak negatif terhadap biaya
konstruksi, biaya pendanaan dan dimulai perolehan pendapatan), misalnya
terhadap pembebasan lahan, amdal, dan sebagainya yang berpotensi akan
menghambat pengerjaan proyek yang berdampak pada timbulnya klaim
penjaminan.
4. Potensi risiko kahar
Kemungkinan terhadap risiko bahwa suatu kejadian di luar kendali kedua
belah pihak (perubahan-perubahan politik, bencana alam atau akibat
tindakan manusia) yang akan terjadi dan dapat menyebabkan keterlambatan
atau kegagalan K/L, BUMN/BUMD, atau Pemda untuk memenuhi kinerja
kewajiban kontraktual kepada terjamin sebagai pihak yang mengerjakan
proyek atau memberikan pinjaman.
Potensi-potensi risiko yang timbul dari adanya penjaminan Pemerintah
terhadap pengerjaan proyek infrastruktur, memang harus dapat di identifikasi

117
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

sejak awal sehingga akan mengurangi beban Pemerintah terhadap biaya-


biaya yang mungkin akan keluar dari APBN.
Saat ini Pemerintah telah mengidentifikasi potensi-potensi risiko dari
masing-masing proyek penjaminan. Sebagai contoh pertama adalah
identifikasi risiko Proyek Percepatan pembangunan pembangkit tenaga
listrik 10.000 MW (Fast Track Program/FTP) I. Dalam proyek infrastruktur ini,
risiko fiskal yang dapat timbul dengan adanya jaminan penuh Pemerintah
(full credit guarantee) terjadi ketika PT PLN (Persero) tidak mampu memenuhi
kewajiban kepada kreditur secara tepat waktu sehingga Pemerintah wajib
memenuhi kewajiban tersebut. Pemenuhan kewajiban Pemerintah tersebut
dilaksanakan melalui mekanisme APBN.
Dalam hal terjadi gagal bayar kewajiban PT PLN (Persero) kepada kreditur FTP
I, Pemerintah segera melakukan pembayaran kepada kreditur dalam waktu
45 (empat puluh lima) hari sejak kreditur menyampaikan bahwa PT PLN
(Persero) tidak mampu memenuhi kewajibannya. Faktor-faktor risiko yang
memengaruhi kemampuan PT PLN (Persero) dalam memenuhi kewajiban
kepada kreditur secara tepat waktu, antara lain berupa komitmen subsidi
dari Pemerintah, kebijakan tarif, fluktuasi nilai tukar, kenaikan harga BBM,
serta kekurangan pasokan batubara. Mulai tahun 2012, kewajiban PT PLN
(Persero) kepada kreditur sudah memasuki periode kewajiban pembayaran
bunga dan pokok atas pinjaman.
Contoh dua identifikasi risiko atas Proyek kerjasama Pemerintah dengan
Badan Usaha melalui BUPI (PT PII) atau proyek infrastruktur yang
menggunakan skema KPBU. Dengan skema KPBU (seperti proyek central java
power plant/CJPP dan jalan tol), pada dasarnya Pemerintah telah mengurangi
potensi risiko fiskal dari APBN, karena skema ini memberikan posisi
Pemerintah untuk melakukan co guarantee dengan PT PII dan menggunakan
prinsip pembagian risiko (risk sharing).
Co guarantee ini merupakan mekanisme penjaminan bersama antara PT PII
dengan Pemerintah, yang dalam hal ini Pemerintah dengan PT PII berlaku
sebagai penjamin proyek dengan pembagian besaran jaminan atau jenis
cakupan penjaminan. Potensi risiko yang mungkin timbul adalah apabila
terjadi kondisi-kondisi perubahan peraturan/kebijakan maupun keadaan
kahar (seperti gejolak politik dan bencana alam).
Untuk mengurangi potensi-potensi risiko yang mungkin akan muncul
dalam praktik penjaminan, Pemerintah telah menyusun kebijakan
pengelolaan kewajiban penjaminan, antara lain mengenai prinsip-prinsip
umum. Prinsip umum dalam pemberian penjaminan, yang terdiri atas (a)
pemberian jaminan Pemerintah harus sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, (b) penerbitan jaminan Pemerintah harus
memenuhi prinsip transparansi, akuntabilitas dan kehati-hatian, (c) jumlah
jaminan Pemerintah tidak boleh melebihi batas maksimal penjaminan, (d)
Pemerintah dapat mengenakan biaya (fee) atas penjaminan dalam rangka
mengurangi biaya dan risiko dari pemberian jaminan, (e) Pemerintah dapat
meminta entitas terjamin untuk memberi jaminan termasuk dalam bentuk

118
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

rekening penampungan (escrow account) sebesar satu kali pembayaran, guna


menjamin ketersediaan dana pembayaran kewajiban.
Namun demikian, selain adanya potensi-potensi risiko yang mungkin timbul
dari penjaminan Pemerintah terhadap penyediaan-penyediaan infrastruktur,
mekanisme kewajiban Penjaminan Pemerintah juga memberikan dampak
positif atau memberikan keuntungan yang tidak sedikit bagi APBN secara
khusus. Dampak positif yang memberikan keuntungan tersebut, secara
umum dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Dalam keterbatasan anggaran Pemerintah untuk penyediaan infrastruktur,
penjaminan sebagai salah satu bentuk dukungan fiskal memberikan
pembagian risiko yang wajar dan sesuai karakteristik proyek infrastruktur
yang membutuhkan pengembalian investasi dalam jangka panjang,
sehingga menurunkan risiko kreditur/investor yang pada akhir akan
menurunkan harga yang harus dibayarkan masyarakat pengguna layanan.
2. Konsep penjaminan membuat beban penyediaan infrastruktur APBN
menjadi lebih ringan, mengingat dana yang dialokasikan hanya sebesar
nilai probability of default yang sangat jauh lebih kecil jika dibandingkan
harus menyediakan 100% dana kebutuhan proyek.
3. Penjaminan Pemerintah membuka adanya skema KPBU, yang akan
mendukung pembangunan infrastruktur yang berkualitas. Pemerintah
melalui K/L, BUMN/BUMD, atau Pemda dapat menarik sektor swasta
untuk ikut serta dalam pengerjaan proyek dengan investasi yang menarik.
Sekaligus penunjukan PT PII sebagai penjamin memberikan keamanan
pada keuangan Pemerintah/APBN.
4. Penjaminan Pemerintah dengan skema KPBU, akan mendorong kompetisi
dalam proses tender proyek sehingga menghasilkan proposal proyek yang
lebih berkualitas dengan harga bersaing. Selain itu, untuk penjaminan
Pemerintah dengan sistem penjaminan kredit dapat memperpanjang
jangka waktu pinjaman, yang berdampak pada harga penawaran (bid)
yang lebih kompetitif.

Simulasi Penjaminan Pemerintah


Untuk lebih memahami mengenai penjaminan Pemerintah dalam konteks
postur APBN, ada baiknya disimulasikan melalui alur proses pengalokasian
dan realisasi Anggaran Kewajiban Penjaminan. PT ABC, sebuah BUMN yang
bergerak dibidang energi, mendapatkan penugasan dari Pemerintah untuk
membangun pembangkit listrik tenaga surya. Dalam rangka penugasan
tersebut, PT ABC mendapatkan penjaminan Pemerintah. Penjaminan
tersebut berupa penjaminan kredit dengan Bank XYZ sebagai krediturnya. PT
ABC melakukan perjanjian kredit sebesar Rp10.000,- dengan cicilan pokok
dan bunga kredit per tahun sebesar Rp500,- setiap tahunnya.
Beberapa informasi mengenai alokasi anggaran kewajiban penjaminan
dalam postur APBN serta besaran Rekening Dana Cadangan Penjaminan

119
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

Pemerintah pada tahun yang direncanakan, misal tahun 2020, sebagai


berikut:
• Anggaran Kewajiban Penjaminan Rp300,-
• Dana Cadangan Penjaminan Pemerintah Rp200,-
1

Selanjutnya, diasumsikan PT ABC mengalami kesulitan likuiditas, sehingga


tidak dapat membayar kewajibannya kepada Bank XYZ pada tahun 2020
sebesar Rp500,-. Sebagai catatan, kesulitan likuiditas PT ABC hanya terjadi
pada tahun 2020 saja dan pada tahun selanjutnya PT ABC mampu memenuhi
kewajibannya.
Berdasarkan perjanjian penjaminan, Pemerintah akan melakukan
pembayaran kredit PT ABC kepada Bank XYZ sebesar Rp500,- dengan rincian
sebagai berikut:
Klaim Kreditur 500
Anggaran Kewajiban 300
Cadangan Penjaminan 200
Total alokasi Penjaminan 500
Kekur angan Pem biayaan 0

Berdasarkan kondisi tersebut di atas, dapat kita lihat sumber pembiayaan


pertama untuk membayar klaim Bank XYZ berasal dari alokasi Anggaran
Kewajiban Penjaminan pada tahun 2020 sebesar Rp300,-. Karena masih
kurang, kekurangannya diambilkan dari dana pooling fund, Dana Cadangan
Penjaminan Pemerintah, yaitu sebesar Rp200,-. Jadi, pemerintah dapat
dilaksanakan secara penuh kewajiban penjaminannya kepada PT ABC
tersebut sebesar Rp500. Dan, postur APBN tidak terganggu atau tidak
berubah, sebagaimana Diagram 8.3.
Diagram 8.3
Simulasi Postur APBN 2020

1 Dana cadangan pemerintah atau disebut pooling fund ini ditempatkan di Bank Indonesia dan
merupakan akumulasi dari alokasi anggaran kewajiban penjaminan yang belum default dari
keseluruhan kewajiban penjaminan pemerintah

120
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

Bagaimana kalau kondisi likuiditas PT ABC pada tahun 2021 diperkirakan


sama buruknya, sehingga tidak dapat membayar kewajibannya lagi seperti
yang terjadi pada tahun 2020.
Secara teknis, kebijakan yang akan dilakukan pemerintah dapat dilihat
dalam postur APBN. Diasumsikan, kondisi pendapatan, belanja, dan
tingkat defisit masih sama dengan postur APBN tahun 2020. Pada tahun
yang direncanakan, tahun 2021, Pemerintah tidak mempunyai lagi dana
cadangan penjaminan pemerintah karena sudah dihabiskan untuk menutup
kekurangan penjaminan pemerintah tahun 2020.
Jadi yang dapat dilakukan pemerintah adalah menyusun postur APBN (sekali
lagi ini simulasi secara teknis dan matematis tetapi dalam praktik sangat
dipengaruhi kebijakan yang akan diambil pemerintah) dengan menambah
alokasi penarikan SBN untuk menutup kekurangan penjaminan pemerintah
sebagaimana Diagram 8.4. Karena tingkat defisit postur APBN 2021 masih
dipertahankan sebesar Rp200, pembiayaan anggaran harus menutup celah
defisit dimaksud. Di samping itu, tugas lain adalah memperbesar alokasi
anggaran kewajiban penjaminan menjadi Rp500 (bandingkan dengan
postur APBN 2020). Mengapa sebesar Rp 500? Jawabannya adalah untuk
menutup kebutuhan alokasi anggaran kewajiban penjaminan. Sekali lagi,
kondisi likuiditas PT ABC setelah tahun 2022 diperkirakan dapat memenuhi
kewajibannya secara normal kepada kreditur.
Jika pembaca masih ingat mengenai istilah regres atau hak tagih sebagaimana
telah disampaikan pada subbagian sebelumnya, pemerintah mempunyai
regres kepada PT ABC sebesar Rp1.000,-. Sebesar Rp500,- merupakan regres
tahun 2020 dan sebesar Rp500,- merupakan regres tahun 2021.
Diagram 8.4
Simulasi Postur APBN 2021

121
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

Daftar
Pustaka
Republik Indonesia, Surat Utang Negara (SUN), Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002.
__________, Surat Berharga Bersyariah Negara. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008.
__________, Pembiayaan Proyek Melalui Penerbitan Surat Berharga Syariah Negara, Peraturan
Pemerintah Nomor 56 tahun 2011.
__________, Pembiayaan Proyek Melalui Penerbitan Surat Berharga Syariah Negara, Peraturan
Pemerintah Nomor 56 tahun 2011.
__________, Tata Cara Pengadaan dan Penerusan Pinjaman Dalam Negeri oleh Pemerintah,
Peraturan Pemerintah Nomor 54 tahun 2008.
__________, Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga Sebagai
Pengganti Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2004, Peraturan Pemerintah Nomor 90 tahun
2010.
___________, Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur,
Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2015.
___________, Penjaminan Infrastruktur dalam Proyek Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha
yang Dilakukan Melalui Badan Usaha Penjaminan Infrastruktur, Peraturan Presiden Nomor 78
Tahun 2010.
__________, Tata Cara Perencanaan, Penelaahan, dan Penetapan Alokasi Anggaran Bagian Anggaran
Bendahara Umum Negara, dan Pengesahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran Bendahara Umum
Negara, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 193/PMK.02/2017
__________, Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian
Negara/Lembaga dan Pengesahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran, Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 94/PMK.02/2017 Tahun 2017.
__________, Perubahan Atas PMK Revisi Nomor 10/PMK.02/2017 Tentang Tata Cara Revisi Anggaran
2017, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.02/2017.
___________, Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 260/PMK.011/2010 tentang
Petunjuk Pelaksanaan Penjaminan Infrastruktur dalam Proyek Kerjasama Pemerintah dengan
Badan Usaha, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 8/PMK.08/2016.
__________, Tata Cara Pemantauan, Evaluasi, dan Pelaporan Pembiayaan Proyek/Kegiatan Melalui
Penerbitan Surat Berharga Syariah, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 120/PMK.08/2016.
__________, Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 224/PMK.08/2011 tentang Tata
Cara Pemantauan dan Evaluasi atas Pinjaman dan Hibah kepada Pemerintah, Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 180/PMK.08/2012.
122
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

Daftar
Pustaka
__________, Tata Cara Tata
Republik Indonesia, Penarikan
Cara Pinjaman
Pengadaandan/atau
PinjamanHibah
Luar Luar Negeri,
Negeri dan Peraturan
PenerimaanMenteri
Hibah,
Keuangan
Peraturan Nomor 151/PMK.05/2011.
Pemerintah Nomor 10 Tahun 2011.
__________, Pembiayaan
__________, Tata Cara Pemantauan dan Evaluasi
Proyek Melalui atas
Penerbitan Pinjaman
Surat dan Syariah
Berharga Hibah kepada
Negara,Pemerintah,
Peraturan
Peraturan
Pemerintah Menteri
NomorKeuangan
56 tahun Nomor
2011. 224/PMK.08/2011.
__________,
__________, Tata
TataCara
CaraPerencanaan
Pengadaan dan
danPengajuan
PenerusanUsulan Serta Dalam
Pinjaman Penilaian Kegiatan
Negeri olehyang Dibiayai
Pemerintah,
Dari Pinjaman
Peraturan Dan/Hibah
Pemerintah Luar Negeri,
Nomor 54 tahunPeraturan
2008. Menteri Negara Perencanaan Pembangunan
Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Nomor 5 Tahun 2006.
__________, Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga Sebagai
___________, Nota Keuangan
Pengganti Peraturan Dan Anggaran
Pemerintah Nomor 21Pendapatan
Tahun 2004,Dan Belanja Pemerintah
Peraturan Negara (beberapa
Nomortahun).
90 tahun
2010.
Direktorat Penyusunan APBN, 2015. Pokok-Pokok Proses Penyusunan Anggaran Belanja
Kementerian Negara/Lembaga,
___________, Kerjasama Jakarta:
Pemerintah Direktorat
dengan BadanPenyusunan APBN
Usaha dalam – Direktorat
Penyediaan Jenderal
Infrastruktur,
Anggaran.
Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2015.
Direktorat
___________, Penyusunan APBN, 2015.
Penjaminan Infrastruktur Analisis
dalam Sustainabilitas
Proyek Fiskal: Studi
Kerjasama Pemerintah Kasus
dengan Kewajiban
Badan Usaha
Penjaminan
yang DilakukanPemerintah dalam
Melalui Badan Proyek
Usaha Pembangunan
Penjaminan Infrastruktur,
Infrastruktur, Jakarta: Direktorat
Peraturan Presiden Nomor 78
Penyusunan
Tahun 2010. APBN -Direktorat Jenderal anggaran.
Direktorat
__________, Penyusunan APBN,
Perubahan Atas 2014. Dasar-Dasar
Peraturan PraktekNomor
Menteri Keuangan Penyusunan APBN di Indonesia
231/PMK.02/2015 edisi
Tentang II,
Tata
Jakarta: Direktorat Penyusunan
Cara Perencanaan, Penelaahan, APBN - Direktorat
dan Penetapan Jenderal
Alokasi anggaran.
Anggaran Bagian Anggaran Bendahara
Umum Negara, Dan Pengesahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran Bendahara
Direktorat Penyusunan APBN, 2014. Pokok-Pokok Siklus APBN Di Indonesia, Umum Negara,
Penyusunan Konsep
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 9/PMK.02/2017.
Kebijakan dan Kapasitas Fiskal Sebagai Langkah Awal, Jakarta: Direktorat Penysunan APBN -
Direktorat
__________, Jenderal
PetunjukAnggaran.
Penyusunan dan Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian
Negara/Lembaga
George, S. The debtdan Pengesahan
boomerang: DaftarWorld
how Third Isiandebt
Pelaksanaan Anggaran,
harms us all. Peraturan
Transnational Menteri
Institute, 1992.
Keuangan Nomor 94/PMK.02/2017.
Gie, Kwik Kian. Pembiayaan Pembangunan Infrastruktur dan Pemukiman, Materi Kuliah
__________, Perubahan
Disampaikan Atas PMK
pada Studium RevisiInstitut
General Nomor Teknologi
10/PMK.02/2017
BandungTentang Tata Cara 2002.
20 September Revisi Anggaran
2017, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.02/2017.
Permana, Chandra Darma; Asmara, Alla, 2010. Analisis Peranan Dan Dampak Investasi
___________, Perubahan
Infrastruktur atas PeraturanIndonesia:
Terhadap Perekonomian Menteri Keuangan Nomor 260/PMK.011/2010
Analisis Input-Output, Jurnal Manajemententang
&
Petunjuk Pelaksanaan
Agribisnis Penjaminan
Vol 7, No 1 (2010): Infrastruktur
Vol. 7 No. 1 Maret 2010 dalam Proyek
page. Kerjasama Pemerintah dengan
48-58.
Badan Usaha, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 8/PMK.08/2016.
Tanzi, V., & Blejer, M. I. 1988. Public Debt And Fiscal Policy In Developing Countries. In The
__________, of
Economics Tata Cara
Public Pemantauan,
Debt Evaluasi,
(pp. 230-263). dan Macmillan
Palgrave Pelaporan Pembiayaan
UK, 1988 Proyek/Kegiatan Melalui
Penerbitan Surat Berharga Syariah, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 120/PMK.08/2016.
Todaro, Michael P, dan Smith, Stephen C, 2004. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga Edisi
__________, Jakarta
Kedelapan, Perubahan atas Peraturan
: Penerbit Erlangga.Menteri Keuangan Nomor 224/PMK.08/2011 tentang Tata
Cara Pemantauan dan Evaluasi atas Pinjaman dan Hibah kepada Pemerintah, Peraturan Menteri
Williamson,
Keuangan NomorJ. Implications of the East Asian Crisis for Debt Management, 1999
180/PMK.08/2012.

123
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

BGUFGUYFYUYDYTUDYT-
DTYFTFYUFYFG

BGUFGUYFYUYDYTUDYT-
DTYFTFYUFYFG

124
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

BGUFGUYFYUYDYTUDYT-
DTYFTFYUFYFG

125
Pembiayaan Anggaran:
Bukan Sekadar Defisit & Utang

Pembiayaan
Anggaran
Bukan Sekadar Defisit dan Utang

Hidup memerlukan pembiayaan agar memenuhi syarat kelayakan


hidup sesuai standar masing masing. Oleh karena itu, fenomena
perusahaan pembiayaan (bahasa kerennya financing) yang menjamur di
sekitar kita dan menawarkan jasanya harus disikapi dengan wajar.
Karena, ada sebagian masyarakat membutuhkan pembiayaan anggaran
untuk menopang kelayakan hidup yang diinginkan. Jangan-jangan Anda
atau saya merupakan salah satu nasabahnya.

Kondisi di atas, sepertinya berlaku juga bagi pemerintah. Berbagai upaya


pemerintah untuk menyejahterakan rakyatnya memerlukan biaya yang
tidak sedikit. Dengan keterbatasan pendapatan negara, pemerintah
harus mencari sumber pendanaan lain agar tujuan kesejahteraan
rakyat tercapai. Namun, tetap dijaga governance dan akuntabilitasnya
dalam pemenuhan kebutuhan tersebut. Salah satunya melalui
Pembiayaan Anggaran.

Melalui kehadiran buku ini diharapkan dapat meningkatkan wawasan


dan pemahaman pembaca mengenai proses dan mekanisme
pembiayaan anggaran. Selain itu, langkah ini merupakan usaha
Pemerintah dalam mewujudkan transparansi di bidang pengelolaan
keuangan negara.

Direktorat Penyusunan APBN


Direktorat Jenderal Anggaran
Gedung Sutikno Slamet lt.13
Jalan Dr Wahidin Raya No.1
Jakarta Pusat 10710

Kementerian Keuangan

126

Anda mungkin juga menyukai