Anda di halaman 1dari 109

BEDAH ANGGARAN KESEHATAN

© 2020, Kementerian PPN/Bappenas

Penanggung Jawab
Dr. Ir. Subandi Sardjoko, M.Sc & Pungkas Bahjuri Ali, STP, M.S., Ph.D

Penulis
Dewi Amila Solikha, SKM, M.Sc
Sidayu Ariteja, SE, MPP
Prastuti Soewondo, SE, MPH, Ph.D

Editor
Pungkas Bahjuri Ali, STP, M.S., Ph.D.;

Pengolah Data
Yunita, MKM, Mohammad Dzulfikar Arifi, SKM, Bahagiati Maghfiroh, S.Si.

Kontributor Utama
Prof. dr. Ascobat Gani, MPH., Dr.PH; Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc.,
Ph.D; dr. Siswanto, MPH, DTM; Kunta WD Wibawa SE, MA, Ph.D; Erwin
Dimas, MSi; Drs Bayu Teja Muliawan, M.Pharm, MM; dr. Kalsum Komaryani,
MPPM; Renova GM Siahaan, SE, M.Sc; Inti Wikanestri, SKM, MPA;
Ardhiantie, SKM, MPH; dan Muhammad Zaki Firdaus, S. Farm, Apt.

Tim Lay Out


Budiyono, Hafid Wahyu Ramadhan, Hana Taqiyah

Diterbitkan dan dicetak oleh


Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat, Kedeputian Pembangunan
Manusia, Masyarakat dan Kebudayaan, Kementerian PPN/Bappenas
Jalan Taman Suropati No. 2, Jakarta Pusat, 10310
Telp: (021) 31934379, Fax: (021) 3926603, Email: kgm@bappenas.go.id

Cetakan pertama: Mei 2020


ISBN: 978-623-93153-8-2

Hak Penerbitan @ Kementerian PPN/Bappenas


Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari penulis dan
penerbit, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak,
photoprint, microfilm dan sebagainya.

ii
KATA PENGANTAR

Pembangunan kesehatan membutuhkan dukungan pembiayaan yang cukup


memadai. Alokasi anggaran yang adekuat, terintegrasi, stabil, dan
berkesinambungan memegang peran yang vital untuk penyelenggaraan
pelayanan kesehatan. Sejak tahun 2016, pemerintah pusat dan sebagian
besar pemerintah daerah telah mengalokasikan besaran anggaran
kesehatan sesuai dengan yang amanat UU No. 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan, yaitu minimal 5% (lima persen) dari APBN dan 10% (sepuluh
persen) dari APBD.

Tantangan pembangunan kesehatan masih cukup banyak, sehingga review


terhadap pemanfaatan anggaran kesehatan menjadi prioritas untuk
dilakukan. Peraturan yang ada saat ini belum secara rinci menjelaskan
bagaimana anggaran kesehatan ini digunakan. Dukungan studi untuk
membedah postur anggaran kesehatan selama empat tahun terakhir ini
menjadi sangat penting. Studi ini merupakan studi yang pertama kali
dilakukan setelah empat tahun pemenuhan mandat terhadap anggaran
kesehatan.

Harapannya, studi ini mampu menjawab belum jelasnya peraturan mengenai


definisi, lingkup, kriteria, formulasi, peruntukan, dan pemanfaatan anggaran
kesehatan dalam postur APBN dan APBD serta memperoleh gambaran
tingkat efisiensi anggaran kesehatan sebagai salah satu input kepada
pemangku kebijakan terkait dalam peningkatan kualitas penganggaran ke
depan.

Jakarta, Mei 2020

Dr. Ir. Subandi Sardjoko, M.Sc


Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat, dan Kebudayaan
Kementerian PPN/Bappenas

iii
UCAPAN TERIMA KASIH DAN PENGHARGAAN

Buku ini diperuntukkan bagi para pemangku kepentingan, akademisi,


mahasiswa, dan masyarakat secara luas yang mendalami ilmu ekonomi
kesehatan dan kebijakan kesehatan. Buku ini memberikan pengkayaan ilmu
khususnya dalam memberikan gambaran rinci postur anggaran kesehatan
dan review potensi efisiensi dalam anggaran kesehatan. Penghargaan dan
ucapan terima kasih setinggi-tingginya kami sampaikan kepada seluruh pihak
yang membantu dan memberikan kontribusi atas kerja kerasnya sehingga
buku ini dapat disusun dengan baik.

Penghargaan dan ucapan terima kasih secara khusus disampaikan kepada:

▪ Rekan-rekan Kementerian PPN/Bappenas yaitu Erwin Dimas, Msi; Woro


Srihastuti Sulistyaningrum, ST, MIDS; Prahesti Pandanwangi, SH, Sp.N,
LLM; R.M Dewo Broto Joko P., SH, LLM; Dra. Sri Rahayu, M.Ed; Mahendra
Arfan Azhar, S.Sos, MSi; Icha Puspitasari, S.Si; Rati Handayani, SKM;
Tanti Dian Ruhama, SH, MH; Fauzal Muslim, SE, MSc; dan Alfi Ma'rufi Ardi
Kusuma. Rekan-rekan Kementerian Keuangan yaitu Kunta WD Wibawa,
Ph.D dan Adinugroho Dwiutomo, M.Sc. Rekan-rekan Kementerian
Kesehatan yaitu dr. Siswanto, MPH, DTM, Bayu Teja Muliawan, M.Pharm,
MM, dan dr. Kalsum Komaryani, MPPM.
▪ Para pakar pembiayaan kesehatan, Prof. dr. Ascobat Gani, MPH., Dr.PH,
Prof.dr. Laksono Trisnantoro,MSc.,Ph.D.
▪ Para informan dalam focus group discussion dan diskusi tingkat pusat dan
diskusi tingkat daerah (Pemerintah Provinsi DIY, Pemerintah Kota
Yogyakarta, Pemerintah Kabupaten Bantul, dan Pemerintah Kabupaten
Kulonprogo).
▪ WHO Indonesia yang telah berkontribusi mendukung terselenggaranya
studi bedah anggaran kesehatan.

iv
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. iii


UCAPAN TERIMA KASIH DAN PENGHARGAAN ............................................... iv
DAFTAR ISI........................................................................................................... v
DAFTAR TABEL ................................................................................................... vi
DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. vii
DAFTAR SINGKATAN .......................................................................................... ix
RINGKASAN EKSEKUTIF ................................................................................... xii
BAB 1. PENDAHULUAN....................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang .......................................................................................... 1
1.2. Tujuan....................................................................................................... 2
1.3. Metodologi ................................................................................................ 2
1.4. Keterbatasan Studi ................................................................................... 3
BAB 2. TREN FISCAL SPACE DAN NHA 2016–2018.......................................... 6
BAB 3. TREN DAN POSTUR ANGGARAN KESEHATAN 2016–2020 ............... 10
BAB 4. ANALISIS POSTUR ANGGARAN KESEHATAN PUSAT ...................... 14
4.1. Definisi dan Lingkup Anggaran Kesehatan.............................................. 14
4.2. K/L yang Terhitung dalam Anggaran Kesehatan ..................................... 30
4.3. Hasil Perhitungan Kedua Opsi ............................................................... 33
4.4. Peruntukan Anggaran Kesehatan ........................................................... 34
4.5. Mekanisme Pengalokasian Anggaran Kesehatan ................................... 37
BAB 5. ANALISIS POSTUR ANGGARAN KESEHATAN DAERAH ................... 45
BAB 6. ANALISIS POTENSI EFISIENSI ANGGARAN KESEHATAN ................ 57
6.1. Budget Execution ...................................................................................... 62
6.2. Potensi Pendanaan Ganda........................................................................ 70
6.3. Fleksibilitas Anggaran ............................................................................... 73
6.4. Review Performance dan Baseline ............................................................ 80
BAB 7. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI .................................................... 85
REFERENSI ........................................................................................................ 88

v
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Perkembangan Alokasi DAK Kesehatan 2016-2020 ......................... 11


Tabel 2. Fungsi Kesehatan berdasarkan Systems of Health Accounts............ 16
Tabel 3. Perbandingan Lingkup Fungsi Anggaran Kesehatan ......................... 19
Tabel 4. Rangkuman Definisi dan Lingkup Anggaran Kesehatan .................... 28
Tabel 5. Rangkuman Analisis dari Kegiatan K/L terkait Kesehatan ................. 31
Tabel 6. Jenis-Jenis Upaya Kesehatan berdasarkan UU No. 36 Tahun 2009 . 35
Tabel 7. OPD dalam Perhitungan Anggaran Kesehatan di Kota Yogyakarta,
Kabupaten Bantul, dan Kabupaten Kulon Progo, Tahun 2019 ........... 48
Tabel 8. Perhitungan Proporsi Anggaran Kesehatan terhadap APBD di Kota
Yogyakarta, Kabupaten Bantul, dan Kabupaten Kulon Progo,
Tahun 2019 ....................................................................................... 50
Tabel 9. Metode Evaluasi Ekonomi dari Program atau Intervensi Kesehatan .. 60

vi
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Tingkat Pertumbuhan PDB & Belanja Kesehatan Indonesia,


2010-2018 ......................................................................................... 6
Gambar 2. Proporsi Belanja Kesehatan Nasional & Belanja Kesehatan
Pemerintah terhadap PDB, 2010-2018 .............................................. 7
Gambar 3. Proporsi Total Belanja Kesehatan terhadap PDB Negara Terpilih,
2010-2017 ......................................................................................... 8
Gambar 4. Anggaran Kesehatan dalam Postur APBN, 2016-2020 .................... 10
Gambar 5. Trend Belanja K/L dalam Postur Anggaran Kesehatan APBN,
2016-2020 (dalam Rp Trilyun) ......................................................... 12
Gambar 6. Hasil Perhitungan Anggaran Kesehatan 2019 .................................. 33
Gambar 7. Gambaran Peruntukan Anggaran Kesehatan, 2019 ......................... 37
Gambar 8. Mekanisme Alokasi Anggaran Kesehatan ........................................ 41
Gambar 9. Skema Mekanisme Koordinasi ......................................................... 43
Gambar 10. Rata-rata Belanja APBD Kesehatan Kab/Kota menurut Provinsi,
2017 ................................................................................................ 45
Gambar 11. Rata-rata Belanja APBD Kesehatan dan Proporsinya terhadap
APBD Kab/Kota, 2017 .................................................................... 46
Gambar 12. Rata-rata Belanja langsung APBD Kesehatan menurut OPD, 2017 . 47
Gambar 13. Komponen Anggaran Kesehatan dalam Perspektif APBN dan
APBD.............................................................................................. 54
Gambar 14. Tren Belanja Kemenkes, 2016 – 2018 (di luar Iuran PBI dan
Poltekkes) ........................................................................................ 63
Gambar 15. Proporsi Belanja Kemenkes per November 2019 ............................. 64
Gambar 16. Proporsi Belanja Pada Eselon Utama Kemenkes per November
2019 ................................................................................................ 65
Gambar 17. Alokasi, Realisasi dan Penyerapan pada Output Penyediaan Obat
dan Vaksin di Ditjen Farmalkes, 2013-2018 ..................................... 65
Gambar 18. Tren Belanja Kemenkes menurut Jenis Kewenangan, 2016 – 2018
(di luar iuran PBI dan Poltekkes) ...................................................... 66
Gambar 19. Tren Belanja Kemenkes menurut Jenis Kewenangan dan Jenis
Belanja, 2016 – 2018 (di luar iuran PBI dan Poltekkes) .................. 67

vii
Gambar 20. Tren Belanja Dana Dekonsentrasi pada Eselon Utama Kemenkes,
2016 – 2018 (di luar iuran PBI dan Poltekkes) ................................. 68
Gambar 21. Tren Anggaran Dekonsentrasi menurut Nama Kegiatan di Ditjen
Kesmas, 2016 – 2019 ...................................................................... 69
Gambar 22. Potensi Duplikasi Pendanaan pada Program Pelayanan Ibu Hamil
dan Bersalin..................................................................................... 71
Gambar 23. Penyelenggaraan Program Imunisasi ............................................... 72
Gambar 24. Tren Alokasi Kementerian Kesehatan Secara Nominal, 2010-2020 . 75
Gambar 25. Tren Alokasi Kementerian Kesehatan Secara Proporsi (diluar
Jamkes), 2010-2020 ........................................................................ 75
Gambar 26. Anggaran Kesehatan menurut Fungsi Layanan, 2019 ..................... 78
Gambar 27. Belanja Kesehatan Sektor Publik menurut Fungsi Layanan,
2020-2017 ....................................................................................... 78
Gambar 28. Belanja Kesehatan menurut Skema Pembiayaan dan Fungsi
Layanan, 2015-2017 ........................................................................ 79
Gambar 29. Contoh Nomenklatur dan Satuan Output Saat Ini Berikut
Rekomendasi Perbaikan yang Diusulkan ......................................... 80

viii
DAFTAR SINGKATAN

ADH : Atas Dasar Harga


ADS : Auto Disable Syringe
ANC : Antenatal Care
APBD : Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
APBN : Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
APBN-P : Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara- Perubahan
BA BUN : Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara
Bapelkes : Balai Pelatihan Kesehatan
BHP : Bahan Habis Pakai
Binwas : Pembinaan dan Pengawasan
BLU : Badan Layanan Umum
BLUD : Badan Layanan Umum Daerah
BMHP : Bahan Medis Habis Pakai
BOK : Bantuan Operasional Kesehatan
BOKB : Bantuan Operasional Keluarga Berencana
BPK : Badan Pemeriksa Keuangan
BPKAD : Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah
DAK : Dana Alokasi Khusus
DAU : Dana Alokasi Umum
DBH : Dana Bagi Hasil
DBHCHT : Dana Bagi Hasil dari Cukai Hasil Tembakau
DEA : Data Envelopment Analysis
DHA : District Health Account
DID : Dana Insentif Daerah
DIPA : Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran
DTPK : Daerah Tertinggal, Perbatasan, dan Kepulauan
GDP : Gross Domestic Product
FA : Financing Agents
FKRTL : Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut
FKTP : Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama
FS : Revenue of Financing Schemes
HC : Health Care Functions
HF : Health Care Financing Schemes
HK : Capital Expenditure
HP : Health Care Providers

ix
ISCO : International Standard Classification of Occupations
KIE : Komunikasi, Informasi, dan Edukasi
KIS : Kartu Indonesia Sehat
KKBPK : Kependudukan Keluarga Berencana dan Pengendalian
Penduduk
KP : Kantor Pusat
Labkesda : Laboratorium Kesehatan Daerah
LRA : Laporan Realisasi Anggaran
NAPZA : Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif
NHA : National Health Accounts
NSPK : Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria
OECD : Organisation for Economic Co-operation and Development
OPD : Organisasi Perangkat Daerah
Otsus : Otonomi Khusus
P2P : Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
P4GN : Pencegahan, Pemberantasan, Penyalahgunaan, Peredaran
Gelap Narkoba
PAD : Pendapatan Asli Daerah
PBI : Penerima Bantuan Iuran
PDB : Produk Domestik Bruto
Pemda : Pemerintah daerah
PER : Public Expenditure Review
Perkonsil : Peraturan Konsil Kesehatan Indonesia
Permendagri : Peraturan Menteri Dalam Negeri
Permenkes : Peraturan Menteri Kesehatan
Permenkeu : Peraturan Menteri Keuangan
Perpres : Peraturan Presiden
PFM : Public Financial Management
PHLN : Pinjaman dan Hibah Luar Negeri
PHE : Public Health Expenditure
PMK : Peraturan Menteri Keuangan
PMT : Pemberian Makanan Tambahan
PNBP : Penerimaan Negara Bukan Pajak
POLRI : Polisi Republik Indonesia
Poltekkes : Politeknik Kesehatan
PP : Peraturan Pemerintah
PPKBD : Pembantu Pembina Keluarga Berencana Desa
PTM : Penyakit Tidak Menular
QALY : Quality-Adjusted Life Years

x
Rajal : Rawat Jalan
Ranap : Rawat Inap
Rehab : Rehabilitasi
Renja : Rencana Kerja
Renja-K/L : Rencana Kerja Kementerian/ Lembaga
Renstra : Rencana Strategis
RKA : Rencana Kerja dan Anggaran
RKA-K/L : Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/ Lembaga
RKP : Rencana Kerja Pemerintah
RM : Rupiah Murni
RMP : Rupiah Murni Pendamping
RPP : Rancangan Peraturan Pemerintah
RPJMN : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
RS : Rumah Sakit
RUU : Rancangan Undang Undang
Satker : Satuan Kerja
SDM : Sumber Daya Manusia
SEA : Stochastic Frontier Analysis
Setjen : Sekretariat Jenderal
SHA : System of Health Account
SIP : Surat Izin Praktik
SKPD : Satuan Kerja Perangkat Daerah
SPM : Standar Pelayanan Minimal
STR : Surat Tanda Registrasi
TB : Tuberkulosis
THE : Total Health Expenditure
TKDD : Transfer Ke Daerah dan Dana Desa
TP : Tugas Pembantuan
Tupoksi : Tugas Pokok dan Fungsi
UHC : Universal Health Coverage
UKMPPD : Uji Kompetensi Mahasiswa Pendidikan Profesi Dokter
WB : World Bank

xi
RINGKASAN EKSEKUTIF

Pemenuhan minimal 5 persen anggaran kesehatan dan 10 persen anggaran


kesehatan daerah yang diamanatkan dalam UU No. 36 tahun 2009 tentang
kesehatan saat ini tidak memiliki batasan yang jelas, sehingga berpotensi
menyebabkan perbedaan interpretasi antar-stakeholders terutama mengenai
definisi, lingkup, peruntukan dan mekanisme pengalokasian. Tantangan lain juga
ditemui dalam bagaimana mengalokasikan anggaran kesehatan secara efisien.
Kompleksitas dalam perencanaan dan penganggaran menimbulkan kesulitan
dalam menghubungkan antara kinerja anggaran dengan pencapaian
pembangunan kesehatan.

Studi ini menggunakan metode: 1) telaah literatur (laporan National Health


Account Indonesia, India, Vietnam, dan United Kingdom; 10 pedoman
internasional; dan 35 peraturan perundang-undangan), 2) wawancara mendalam
(Kementerian PPN/Bappenas, Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam
Negeri, Kementerian Kesehatan, dan Pemerintah Provinsi & Kabupaten/Kota
terpilih Daerah Istimewa Yogyakarta, 3) diskusi pendalaman internal Direktorat
Kesehatan dan Gizi Masyarakat Kementerian PPN/Bappenas, 4) analisis
kuantitatif (NHA 2016 – 2019, APBN tahun 2019, nota keuangan 2016 – 2020,
dan sumber relevan lainnya).

Studi ini berupaya menjawab bagaimana sebaiknya anggaran kesehatan


dialokasikan, terutama pada 1) kejelasan definisi, lingkup, peruntukan dan
mekanisme pengalokasian; 2) komposisi belanja kesehatan daerah pada daerah
terpilih; dan 3) potensi efisiensi pada anggaran Kementerian Kesehatan dan
Dana Alokasi Khusus (DAK) Kesehatan.

xii
Simpulan serta rekomendasi yang dihasilkan dari studi ini, antara lain:

1) Diskursus anggaran kesehatan minimal 5% tidak relevan lagi dan


pengalokasian anggaran kesehatan ke depan lebih difokuskan pada efisiensi
anggaran kesehatan;
2) Belum ada panduan teknis perhitungan anggaran kesehatan, sehingga
diperlukan regulasi atau petunjuk teknis yang memberi batas yang jelas
tentang definisi, ruang lingkup, dan mekanisme pengalokasian;
3) Dengan berbagai pertimbangan literatur, diskusi pakar, dan hasil
pembahasan dengan para pemangku kepentingan, lingkup anggaran
kesehatan minimal 5% di tingkat pusat masih mencakup gaji, mengakomodasi
double tagging dengan anggaran pendidikan (internsip, Poltekkes Kemkes),
mengakomodasi double tagging anggaran perlindungan sosial (JKN/KIS),
menghitung anggaran K/L terkait kesehatan secara lebih tajam (anggaran
kependudukan BKKBN tidak termasuk anggaran kesehatan), menghitung
beberapa RS di luar Kemkes (RS TNI, RS POLRI, RS Olahraga Nasional, RS
BP Batam, dan RS Pengayoman);
4) Pemenuhan peruntukan anggaran kesehatan 2/3 untuk pelayanan publik
telah terpenuhi, namun kriteria pemanfaatan anggaran kesehatan yang perlu
diperjelas dan disepakati bersama;
5) Mekanisme pengalokasian anggaran kesehatan perlu dirumuskan dalam
forum bersama antara Kementerian PPN/Bappenas dan Kementerian
Keuangan minimal pada awal tahun dan menjelang penetapan pagu alokasi;
dan
6) Terkait dengan efisiensi, proses review anggaran kesehatan perlu dilakukan
secara rutin dan periodik, termasuk pentingnya monitoring terhadap anggaran
kesehatan di luar Kemenkes dan transfer ke daerah yang meningkat tiap
tahun.

xiii
BAB 1.
PENDAHULUAN

xiv
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Undang-undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 memberikan amanat


“mandatory spending” anggaran kesehatan sebesar minimum 5% dari APBN
dan 10% dari APBD yang harus dialokasikan untuk pembiayaan di sektor
kesehatan. Mandat ini telah digunakan oleh pemerintah sebagai acuan
penetapan postur anggaran kesehatan yang fokus pada pemenuhan
kewajiban pembiayaan 5% dari APBN di tingkat pusat dan 10% dari APBD di
tingkat pemerintah daerah. World Bank (2019) dalam literaturnya
mengedepankan tiga pilar utama dalam pembiayaan kesehatan yaitu aspek
kecukupan (sufficiency), pengalokasian anggaran yang efisien dan efektif
(efficiency and effectivenes), dan keberlanjutan pembiayaan kesehatan
(sustainability).

Di tingkat pusat, pemerintah telah berhasil menjaga pemenuhan minimal


“mandatory spending” untuk penetapan anggaran 5% dari APBN di bidang
kesehatan. Statistik menunjukkan bahwa pemerintah dalam periode 4 tahun
terakhir, telah memenuhi porsi 5% APBN untuk anggaran kesehatan,
meskipun masih terdapat beberapa catatan yang perlu diputuskan oleh para
pemangku kebijakan. Beberapa catatan tersebut akan dibahas satu persatu
dalam bab berikutnya. Definisi dan peruntukan anggaran kesehatan yang
dicantumkan dalam UU Kesehatan No.36 Tahun 2009 terlalu luas, sehingga
berpotensi adanya multi-interpretasi dan memberikan ruang pengalokasian
belanja kesehatan menjadi tidak sesuai peruntukan yang seharusnya.
Sampai dengan saat ini, belum terdapat perangkat peraturan yang sifatnya
operasional dan dapat digunakan sebagai panduan dalam pengalokasian
dan pemanfaatan anggaran sesuai dengan amanah yang telah ditetapkan.

Tantangan utama yang dihadapi dalam penyusunan anggaran kesehatan


adalah masih belum optimalnya koordinasi dan sinergi antar pemangku
kepentingan, sehingga masing-masing pihak belum mempunyai persepsi

1
yang sama. Ketepatan besaran peruntukkan anggaran kesehatan untuk
mendanai intervensi utama yang mendukung capaian prioritas nasional juga
menjadi isu kritis, sejalan dengan peningkatan anggaran kesehatan dari
tahun ke tahun.

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah memberikan rekomendasi kepada


Bappenas dan Kementerian Keuangan untuk lebih memperjelas
pengalokasian mandatory spending, terutama anggaran kesehatan dan
pendidikan. Pemanfaatan anggaran kesehatan perlu dipertajam terutama
tentang perencanaan penganggaran yang utuh, penggunaan anggaran yang
tepat dan berdaya guna, dan ketercapaian output dan outcome sesuai target
prioritas pembangunan nasional. Hasil dari studi ini diharapkan dapat
memberikan masukan untuk lebih mempertajam pengalokasian anggaran
kesehatan agar lebih tepat dan berkualitas.

1.2. TUJUAN

Studi ini bertujuan memberikan analisis terhadap pengalokasian postur


anggaran kesehatan 2016-2019 sekaligus memberikan rekomendasi dalam
definisi, kriteria, peruntukan, dan pemanfaatan serta mekanisme
pengalokasian anggaran kesehatan. Khusus anggaran kesehatan daerah,
studi ini bertujuan untuk memberikan analisis terhadap komposisi belanja
kesehatan daerah (daerah sampel). Selain ranah postur anggaran
kesehatan, studi ini mencoba menggali potensi efisiensi pada beberapa
komponen anggaran kesehatan (case study anggaran Kemkes dan DAK
kesehatan).

1.3. METODOLOGI

Studi ini menggunakan pendekatan kualitatif ditambah dengan studi literatur,


analisis berbasis data sekunder. Studi literatur dilakukan dengan
menganalisis 4 laporan, mencakup: National Health Account (NHA) dari
berbagai negara, 10 pedoman internasional, dan 35 peraturan perundangan-
undangan untuk menganalisis postur anggaran kesehatan. Lebih lanjut,
analisis kuantitatif dilakukan terhadap data NHA tahun 2010-2017, alokasi
anggaran kesehatan pada level K/L dalam postur APBN tahun 2019, nota

2
keuangan tahun 2016-2020, serta beberapa sumber pendukung lain untuk
mengetahui formulasi anggaran kesehatan yang ada saat ini dan aspek
efisiensi anggaran kesehatan. Selain itu, analisis juga diperkaya dengan
wawancara mendalam, focus group discussion baik di tingkat pusat maupun
daerah, dan diskusi secara intensif. Wawancara mendalam dilakukan dengan
informan dari Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu, Direktorat Penyusunan
APBN Kemenkeu, Biro Perencanaan dan Anggaran Kemenkes, Pusat
Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan Kemenkes, Direktorat Alokasi
Pendanaan Pembangunan Kementerian PPN/Bappenas, dan Direktorat
Perencanaan Anggaran Daerah Kemendagri dan World Bank. Dalam proses
sintesis dan finalisasi temuan studi postur dan efisiensi anggaran kesehatan,
maka dilakukan diskusi secara intensif dengan Direktorat Kesehatan dan Gizi
Masyarakat Kementerian PPN/Bappenas.

Hasil dari studi literatur, analisis kuantitatif, wawancara mendalam dan


diskusi intensif kemudian didiskusikan melalui FGD di tingkat pusat.
Sementara itu, FGD di tingkat daerah dilakukan di daerah sampel yang
melibatkan perwakilan pemangku kebijakan terkait anggaran kesehatan dari
Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Pemerintah Kabupaten
Bantul, Pemerintah Kabupaten Kulon Progo dan Pemerintah Kota
Yogyakarta untuk mengetahui postur anggaran kesehatan daerah.

1.4. KETERBATASAN STUDI

Studi ini memiliki keterbatasan, diantaranya sebagai berikut:


1. Telaah literatur dilakukan dengan mengakses berbagai dokumen seperti
laporan National Health Account, laporan realisasi anggaran kesehatan,
dan regulasi kesehatan di negara yang bersangkutan.
2. Data yang dianalisis pada level K/L dalam postur APBN hanya data alokasi
tahun 2019 mencakup informasi program, kegiatan, output, suboutput,
komponen, subkomponen, dan rincian subkomponen. Namun belum
dapat melakukan analisis mendalam menurut satuan kerja, sumber dana,

3
jenis kewenangan dan jenis belanja dikarenakan keterbatasan data yang
tersedia.
3. Untuk postur APBD belum dapat dianalisis seperti postur APBN karena
variasi data pelaporan yang cukup lebar. Data yang dianalisis pada level
daerah dalam postur APBD hanya pada data belanja tahun 2017 dan data
sampel dari tiga kabupaten/kota di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
dikarenakan keterbatasan data yang tersedia.
4. Analisis efisiensi melalui metode evaluasi ekonomi secara komprehensif
belum dapat dilakukan. Keterbatasan data anggaran juga menyebabkan
analisis dilakukan hanya pada anggaran Kemenkes dan DAK kesehatan
secara selected (tidak seluruh bagian dilakukan analisis).

4
BAB 2.
TREN FISCAL SPACE DAN NHA
2016-2018

5
BAB 2. TREN FISCAL SPACE DAN NHA 2016–2018

Perekonomian di Indonesia terus tumbuh selama kurun waktu 2010-2018.


Nilai Produk Domestik Bruto (PDB) mengalami peningkatan dari Rp 6,864
triliun (2010) menjadi Rp 10,425 triliun (2018) atas dasar harga konstan 2010.
Meskipun mengalami perlambatan pada tahun 2012-2015, tingkat
pertumbuhan PDB Indonesia (perhitungan atas dasar harga konstan) dari
tahun 2015-2018 relatif stabil. Hal ini tidak sejalan dengan tingkat
pertumbuhan dari belanja barang dan jasa pada sektor kesehatan yang
cenderung fluktuatif dan menurun signifikan pada tahun 2017 (Gambar 1).
Dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat melalui
penyelenggaraan program kesehatan, dibutuhkan komitmen dari pemerintah
maupun dukungan berbagai pihak untuk menjamin kecukupan pembiayaan
kesehatan di Indonesia. Selain itu, pelaksanaan monitoring pembiayaan
kesehatan juga perlu diperkuat untuk dapat menilai bagaimana kualitas
belanja kesehatan yang telah dianggarkan.

Gambar 1. Tingkat Pertumbuhan PDB dan Belanja Kesehatan Indonesia, 2010 - 2018

10% 8,9% 8,5%


8,3% 8,1%
6,5%
6,2% 6,0% 5,6% 5,0% 4,9% 5,0% 5,1% 5,2%
5%
4,2% 3,5%

0% - -1,6%
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018

-5%
Pertumbuhan PDB Indonesia (ADH Konstan)
Pertumbuhan Belanja Kesehatan Indonesia (ADH Konstan)

Sumber: GDP deflator dipublikasikan oleh World Bank, PDB Indonesia 2010-2018 dipublikasikan oleh
BPS, Data National Health Accounts (NHA) Indonesia, 2010-2018

World Health Organization (WHO) telah mengembangkan tools untuk


menggambarkan dan memonitor belanja kesehatan nasional secara
komprehensif dalam konteks sistem kesehatan, yaitu National Health

6
Accounts (NHA). Secara konstan, total belanja kesehatan Indonesia
meningkat dari Rp 204,7 triliun (2010) menjadi Rp 320,0 triliun (2017). Belanja
kesehatan perkapita per tahun Indonesia juga mengalami peningkatan dari
Rp 858 ribu (2010) menjadi Rp 1,2 juta (2018) menurut harga konstan.
Meskipun demikian, kontribusi belanja kesehatan terhadap total konsumsi
barang dan jasa di Indonesia cenderung stagnan karena proporsi total
belanja kesehatan terhadap nilai PDB hanya sekitar 3 persen selama tahun
2010-2018. Pada periode yang sama, hasil NHA dapat menunjukkan adanya
penguatan komitmen pemerintah dalam pembiayaan kesehatan mengingat
proporsi belanja kesehatan pemerintah terhadap PDB terus mengalami
peningkatan (Gambar 2).

Gambar 2. Proporsi Belanja Kesehatan Nasional & Belanja Kesehatan Pemerintah


terhadap PDB, 2010-2018

4,0
3,1 3,2 3,3 3,1
3,0 3,0 2,9 3,0 3,1
3,0

2,0 1,6 1,6


1,4 1,7
1,1 1,2
1,0 0,9 0,9 1,0

0,0
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018

Persentase THE terhadap PDB Persentase GHE terhadap PDB

Sumber: GDP deflator dipublikasikan oleh World Bank, PDB Indonesia 2010-2018 dipublikasikan oleh
BPS, Data National Health Accounts (NHA) Indonesia, 2010-2018

Total belanja kesehatan Indonesia terbilang cukup rendah jika dibandingkan


dengan beberapa negara di Asia (Gambar 3). Sebagian besar negara di
wilayah Asia Tenggara memiliki proporsi belanja kesehatan terhadap PBD
yang lebih tinggi dari Indonesia, kecuali Laos dan Brunei Darussalam.
Proporsi belanja kesehatan di negara Asia lainnya seperti India, Timor Leste,

7
China, dan Korea Selatan cenderung meningkat setiap tahun serta memiliki
proporsi belanja kesehatan terhadap PDB yang juga lebih tinggi dari
Indonesia.

Gambar 3. Proporsi Total Belanja Kesehatan terhadap PDB Negara Terpilih, 2010-2017

8,0

7,0

6,0

5,0

4,0

3,0 3,2 3,3 3,1


3,0 3,0 3,0 3,1
2,9

2,0

1,0
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017
India Indonesia Myanmar
Thailand Timor-Leste Cambodia
China Lao People's Democratic Republic Malaysia
Philipines Republic of Korea Brunei Darussalam

Sumber: PDB Indonesia 2010-2017 dipublikasikan oleh BPS; Data National Health Accounts (NHA)
Indonesia, 2010-2017; Proporsi total belanja kesehatan terhadap PDB negara terpilih 2010-2017
dipublikasikan oleh WHO

Dengan pertumbuhan ekonomi yang stabil (sekitar 5%), maka pengeluaran


kesehatan baik Total Health Expenditure (THE) maupun Public Health
Expenditure (PHE) meningkat. Dengan kompleksitas permasalahan
kesehatan seharusnya pertumbuhan Total Health Expenditure (THE) dan
Public Health Expenditure (PHE) melebihi atau setidaknya sama dengan
pertumbuhan PDB. Untuk itu, perlu kemauan politik (political will) .

8
BAB 3.
TREN DAN POSTUR
ANGGARAN KESEHATAN
2016-2020
BAB 3. TREN DAN POSTUR ANGGARAN KESEHATAN 2016–2020

Postur Anggaran Kesehatan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja


Negara (APBN) disusun oleh Kementerian Keuangan yang dituangkan dalam
Nota Keuangan APBN setiap tahunnya. Anggaran kesehatan dalam postur
APBN terdiri dari anggaran pemerintah pusat dan anggaran transfer ke
daerah serta dana desa (TKDD). Anggaran pemerintah pusat terdiri dari
anggaran Kementerian/Lembaga (K/L) dan non-K/L (Bagian Anggaran
Bendahara Umum Negara/BA BUN), sementara TKDD yang dihitung
mencakup Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Otonomi Khusus Papua.

Gambar 4. Anggaran Kesehatan dalam Postur APBN, 2016-2020

160 6%
5,2%
140 5% 5% 5% 5%
5%
Transfer
2,4
ke Daerah
120 1,2
32,5 dan Dana
1,2 4%
1,2 1,2 32,5 Desa
100
20 22,8 28,4
Rp triliun

80 20,1 31 3%
12,8 10,9
19,7
60 Pemerintah
2% Pusat
40
70,1 70,6 68,2 66,2
61,2 1%
20

0 0%
2016 2017 2018 2019 2020
K/L Non-K/L DAK Otsus Rasio Anggaran Kesehatan terhadap APBN

Sumber: Nota Keuangan Kemenkeu 2016-2020

Terdapat perubahan pola anggaran kesehatan dalam postur APBN dimana


anggaran non-K/L (BA BUN) yang merupakan kewenangan Kementerian
Keuangan selaku Bendahara Umum Negara dan DAK meningkat setiap

10
tahunnya, sedangkan anggaran K/L cenderung menurun (Gambar 4).
Penggunaan anggaran BA BUN ini antara lain adalah untuk membayar iuran
program JKN bagi pegawai pemerintah dan cadangan untuk anggaran yang
tidak terduga, misalnya untuk kemungkinan defisit program JKN dan alokasi
penanganan bencana.

Anggaran transfer ke daerah juga menunjukkan peningkatan secara


signifikan sebesar 62,5% pada tahun 2020 dibandingkan tahun 2016. DAK
fisik mengalami peningkatan yang lebih besar, terutama pada sub bidang
pelayanan kesehatan dasar dibandingkan dengan DAK non fisik. Mulai tahun
2017, DAK diperjelas peruntukannya bagi pencapaian target nasional dengan
adanya DAK penugasan.

Tabel 1. Perkembangan Alokasi DAK Kesehatan 2016-2020

Jenis/ Alokasi (Rp Miliar)


Subbidang DAK 2016 2017 2018 2019 2020
DAK Fisik Reguler 14.665,7 16.539,6 14.521,6 19.251,2 20.168,9
Subbidang Dasar 6.460,3 3.205,1 2.659,2 3.168,2 4.901,7
Subbidang Rujukan 4.563,5 4.201,8 2.485,8 5.598,3 6.913,5
Subbidang Farmasi 3.641,9 2.113,8 1.908,8 1.814,4 1.366,2

DAK Fisik 4.767,1 4.241,6 5.558,6 3.867,7


Penugasan
DAK Fisik Afirmasi 2.251,8 3.226,2 3.111,7 3.119,8
DAK Non Fisik 4.567,0 6.910,0 10.460,0 10.258,6 9.708,6

Sumber: Direktorat KGM Bappennas

K/L yang terhitung dalam anggaran kesehatan saat ini hanya K/L utama saja,
mencakup: Kemenkes, BKKBN, BPOM, dan K/L lainnya (Kemhan dan
TNI/POLRI). Dalam anggaran K/L tersebut, masih menghitung komponen
gaji. Berdasarkan Gambar 5, terlihat komposisi pengalokasian anggaran
pada K/L cukup berfluktuasi. Kemenkes sebagai bagian dari anggaran K/L

11
merupakan komponen terbesar pada anggaran kesehatan dalam postur
APBN. Anggaran kesehatan pada Kemenkes dan K/L lainnya (Kemhan dan
TNI/POLRI) cenderung menurun, sedangkan anggaran pada BKKBN
meningkat tajam pada tahun 2018 dibanding tahun 2017, namun kemudian
menurun.

Gambar 5. Trend Belanja K/L dalam Postur Anggaran Kesehatan APBN,


2016-2020 (dalam Rp Trilyun)

80

70 K/L
2,3 3,8
3,6 3,7 Lainnya
1,5 5,5 3,3
3,8 3,6
60 3,3 2,2 2,0
2,2 1,9
1,5
BKKBN
50
Rp triliun

40
BPOM
30 62,7
59,1 58,7 57,4
54,2

20
Kemenkes
10

0
2016 2017 2018 2019 2020

Sumber: Nota Keuangan Kemenkeu 2016-2020

12
BAB 4.
ANALISIS POSTUR
ANGGARAN KESEHATAN
PUSAT
BAB 4. ANALISIS POSTUR ANGGARAN KESEHATAN PUSAT

4.1. Definisi dan Lingkup Anggaran Kesehatan

Definisi Anggaran Kesehatan


Definisi anggaran kesehatan Pemerintah diatur dalam Undang-Undang
Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 dalam Pasal 171 ayat 1 yang menyatakan
bahwa alokasi anggaran pendapatan dan belanja negara untuk kesehatan
sebesar minimal 5% (di luar gaji). Mengacu pada definisi tersebut, gaji tenaga
kesehatan seharusnya tidak dihitung ke dalam porsi 5% anggaran kesehatan.
Pada praktiknya gaji masih dihitung ke dalam porsi 5% APBN untuk anggaran
kesehatan. Kementerian Keuangan sendiri mengeluarkan dua peraturan
Menteri yang membahas mengenai klasifikasi dari anggaran negara
berdasarkan aspek fungsi dan tematik. Dalam Lampiran II Peraturan Menteri
No. 102/PMK.02/2018, kesehatan diklasifikasikan sebagai fungsi 07, yang
mencakup hal-hal berikut:

a. 07.01: obat dan peralatan kesehatan


b. 07.02: pelayanan kesehatan perorangan
c. 07.03: pelayanan kesehatan masyarakat
d. 07.04: keluarga berencana
e. 07.05: penelitian dan pengembangan kesehatan
f. 07.90: kesehatan lainnya

Dalam lampiran tersebut tidak tertulis secara jelas mengenai penghitungan


gaji sebagai anggaran kesehatan. Peraturan tersebut menyatakan bahwa
hal-hal administratif dan operasional yang mendukung berjalannya sub-
fungsi di atas, digolongkan ke dalam fungsi kesehatan. Peraturan lain yang
dikeluarkan Kementerian Keuangan adalah Peraturan Menteri Keuangan No.
142/PMK.02/2018 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 94/PMK.02/2017 tentang Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan

14
Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga dan
Pengesahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran. Dalam aturan ini
dinyatakan bahwa output dari anggaran kesehatan adalah seluruh output
dalam kegiatan yang termasuk dalam fungsi kesehatan. Tidak ditemui aturan
tertulis mengenai penghitungan gaji dalam anggaran kesehatan di dalam
peraturan tersebut.

Landasan penghitungan 5% termasuk gaji mengacu pada hasil judicial review


di Mahkamah Konstitusi mengenai anggaran pendidikan. Kebijakan untuk
menghitung gaji sebagai bagian dari anggaran kesehatan dilakukan melihat
adanya kesamaan kondisi antara anggaran pendidikan dan anggaran
kesehatan. Dalam Surat Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 026/PUU-
IV/2006 diputuskan bahwa gaji terhitung sebagai anggaran pendidikan untuk
meningkatkan kesejahteraan tenaga pendidik sebagai bagian yang tidak bisa
dipisahkan dalam keseluruhan sistem pendidikan nasional. Diharapkan
bahwa dengan menerapkan kebijakan serupa, kesejahteraan tenaga
kesehatan dapat meningkat dan berdampak positif bagi ketercapaian target
pembangunan kesehatan nasional.

Kementerian Kesehatan sedang menyusun Rancangan Peraturan


Pemerintah (RPP) Pembiayaan Kesehatan sebagai peraturan turunan dari
Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009. Dalam dokumen tersebut, anggaran
kesehatan merupakan seluruh pengeluaran atas barang dan jasa, termasuk
anggaran untuk investasi yang tujuan utamanya berkaitan dengan sektor
kesehatan (termasuk promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif), dan
dialokasikan pemerintah pusat sekurang-kurangnya 5% di luar gaji
(Kementerian Kesehatan, 2019).

Dalam studi literatur tidak ditemukan rekomendasi definisi baku mengenai


anggaran kesehatan. Berdasarkan UK National Health and Social Care Act
2012 dan laporan National Health Account dari Vietnam, India, dan Inggris,
gaji dihitung sebagai bagian dari alokasi anggaran kesehatan (UK Health and

15
Social Care Act 2012; Ministry of Health Vietnam 2016; Ministry of Health and
Welfare India 2017; UK Department of Health and Social Care 2018). Hal ini
dilakukan dengan pertimbangan bahwa gaji merupakan komponen yang tidak
terpisahkan dari implementasi pelayanan kesehatan bagi masyarakat (UK
Department of Health and Social Care, 2018). Dalam Focus Group
Discussion (FGD) antara Kementerian PPN/Bappenas dengan Kementerian
Keuangan dan mempertimbangkan berbagai hal diatas, gaji masih terhitung
dalam anggaran kesehatan.

Lingkup Anggaran Kesehatan


WHO dalam panduan Systems of Health Accounts (SHA) mengklasifikasikan
lingkup anggaran kesehatan berdasarkan fungsi pelayanan kesehatan
(health care functions), dan fungsi modal (capital formation in health system),
sebagai berikut (WHO, 2011):

Tabel 2. Fungsi Kesehatan berdasarkan Systems of Health Accounts

Kode Deskripsi
Fungsi Pelayanan Kesehatan (Health Care Function)
HC.1 Pelayanan kuratif
HC.1.1 Rawat inap
HC.1.2 Pelayanan kuratif satu hari (one day care)
HC.1.3. Rawat jalan
HC.1.4 Pelayanan kuratif berbasis rumah
HC.2 Pelayanan rehabilitatif
HC.2.1 Pelayanan rehabilitatif dengan rawat inap
HC.2.2 Pelayanan rehabilitatif satu hari (one day care)
HC.2.3 Pelayanan rehabilitatif dengan rawat jalan
HC.2.4 Pelayanan rehabilitatif berbasis rumah
HC.3 Pelayanan jangka panjang
HC.3.1 Pelayanan rawat inap jangka panjang
HC.3.2 Pelayanan jangka panjang one day care
HC.3.3 Pelayanan rawat jalan jangka panjang
HC.3.4 Pelayanan rawat jalan jangka panjang berbasis rumah
HC.4 Pelayanan penunjang
HC.4.1 Pelayanan laboratorium
HC.4.2 Pelayanan radiologi dan imaging
HC.4.3 Transportasi pasien
HC.5 Barang medis

16
Tabel 2. Fungsi Kesehatan berdasarkan Systems of Health Accounts (Lanjutan)

Kode Deskripsi
HC.5.1 Sediaan farmasi dan barang medis habis pakai
HC.5.2 Alat terapi dan barang medis lain
HC.6 Pelayanan preventif
HC.6.1 Informasi, edukasi, dan konseling
HC.6.2 Program Imunisasi
HC.6.3 Deteksi dini penyakit
HC.6.4 Pengawasan kondisi kesehatan masyarakat
HC.6.5 Surveilans epidemiologi, risiko, dan pengendalian penyakit
HC.6.6 Mitigasi bencana dan kondisi kegawatdaruratan
HC.7 Tata kelola, sistem kesehatan, pembiayaan, dan administrasi
kesehatan
HC.7.1 Tata kelola dan administrasi sistem kesehatan
HC.7.2 Administrasi pembiayaan kesehatan
HC.9 Pelayanan kesehatan lain yang tidak terklasifikasi
Memorandum items
Reporting items
HC.RI.1 Total belanja sediaan farmasi
HC.RI.2 Obat tradisional
HC.RI.3 Pencegahan dan program kesehatan masyarakat
Health care related
HCR.1 Pelayanan jangka panjang (social care)
HCR.2 Promosi kesehatan dengan pendekatan multisektor
Fungsi Modal (Capital Formation in Health System)
HK.1 Modal kotor
HK.1.1. Modal tetap (termasuk infrastruktur; mesin dan peralatan; produk
kekayaan intelektual)
HK.1.2. Perubahan persediaan (changes in inventories)
HK.1.3. Acquisitions less disposals of valuables
HK.2 Aset non-finansial
HK.2.1 Tanah
HK.2.2 Aset lain
Memorandum items
HKR.1 Pinjaman
HKR.2 Akumulasi simpanan
HKR.3 Public-private partnership
HKR.4 Riset dan pengembangan bidang kesehatan
HKR.5 Pendidikan dan pelatihan tenaga kesehatan
Sumber: WHO, 2011

Dari hasil studi literatur terhadap dokumen peraturan perundang-undangan


dan laporan National Health Account dari Inggris, Vietnam, dan India,
ditemukan pendekatan berbeda dari ketiga negara tersebut dalam
menentukan lingkup anggaran kesehatan di negaranya masing-masing. India

17
dan Vietnam tidak menghitung riset dan pengembangan, serta pendidikan
dan pelatihan bagi tenaga kesehatan ke dalam anggaran kesehatan mereka.
Vietnam juga tidak mencantumkan pelayanan rehabilitatif dan pelayanan
jangka panjang ke dalam lingkup anggaran kesehatannya (Ministry of Health
Vietnam, 2016; Ministry of Health and Welfare India, 2017). Hal berbeda
diterapkan di Inggris, negara tersebut menerapkan seluruh fungsi SHA di atas
ke dalam perhitungan anggaran kesehatannya (UK Health and Social Care
Act, 2012; UK Department of Health and Social Care, 2018).

Undang-undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 tidak mencantumkan


pelayanan kesehatan jangka panjang dan pelayanan penunjang. Namun
berdasarkan Lampiran Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2012 tentang
Sistem Kesehatan Nasional, tercantum bahwa layanan laboratorium
diperlukan untuk mendukung subsistem kesehatan nasional yang ada. Dalam
RPP Pembiayaan Kesehatan tercantum subkomponen sediaan farmasi dan
alat kesehatan, yang dapat disimpulkan terkait dengan fungsi pelayanan
kuratif, rehabilitatif, pelayanan penunjang, barang medis, dan pelayanan
preventif. Secara keseluruhan berdasarkan review 3 peraturan perundang-
undangan di atas, sebetulnya Indonesia sudah mengimplementasikan
pendekatan yang sama dengan pedoman yang direkomendasikan WHO
serta praktik dari negara lain terkait lingkup fungsi anggaran. Hanya saja
lingkup pelayanan jangka panjang di Indonesia belum secara eksplisit
dipisahkan dari pelayanan kuratif-rehabilitatif yang sudah berjalan. Tabel 3 di
bawah ini mencantumkan rangkuman hasil studi literatur lingkup anggaran
kesehatan di Indonesia dan negara lain:

18
Tabel 3. Perbandingan Lingkup Fungsi Anggaran Kesehatan

UK
UU Health
No. RPP India Vietnam &
Fungsi Kode SHA Perpres
36 Pembiayaan NHA NHA Social
Anggaran SHA 2011 72/2012
Tahun Kesehatan 2016 2013 Care
2009 Act
2012
Pelayanan kuratif HC.1 √ √ √ √ √ √

Pelayanan
HC.2 √ √ √ √ √ -
rehabilitatif
Pelayanan jangka
HC.3 √ - - - √ - √
panjang
Pelayanan
HC.4 √ - √ √ √ √ √
penunjang
Barang medis HC.5 √ √ √ √ √ √ √
Pelayanan
HC.6 √ √ √ √ √ √ √
preventif-promotif
Tata kelola,
sistem
kesehatan,
HC.7 √ √ √ √ √ √ √
pembiayaan, dan
administrasi
kesehatan
HK
Infrastruktur √ √ √ √ √ √ √
1.1.1

Riset dan
HKR.4 √ √ √ √ - - √
pengembangan
Pendidikan dan
pelatihan untuk HKR.5 √ √ √ - - - √
tenaga kesehatan

Sumber: Undang-undang No. 36 Tahun 2009; WHO, 2011; Perpres No. 72 Tahun 2012; UK Health and
Social Care Act 2012; Ministry of Health Vietnam, 2016; Ministry of Health and Welfare India,
2017

Di dalam UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan sudah disebutkan


amanat “mandatory spending” anggaran kesehatan sebesar minimum 5%
dari APBN dan 10% dari APBD yang harus dialokasikan untuk pembiayaan
di sektor kesehatan. Namun demikian, belum terdapat batasan atau ukuran
yang digunakan untuk menetapkan bahwa suatu pelayanan dapat
dikategorikan sebagai bagian dari anggaran kesehatan. Dengan
mempertimbangkan hal tersebut, selain kegiatan yang secara jelas bertujuan
untuk pelayanan kesehatan, kegiatan yang dapat dikategorikan dalam
anggaran kesehatan antara lain: pelaksanaan program dokter internsip,

19
pendidikan di Politeknik Kementerian Kesehatan, RS Pendidikan, klinik dan
rumah sakit di K/L, serta anggaran terkait kependudukan. Studi literatur
terhadap regulasi dalam negeri, pedoman internasional, serta praktik di
negara lain dilakukan untuk menganalisis jenis kegiatan yang termasuk
dalam anggaran kesehatan.

Berdasarkan studi literatur, WHO melalui dokumen SHA 2011


merekomendasikan 4 (empat) kriteria yang digunakan untuk dapat
menentukan suatu kegiatan termasuk sebagai belanja kesehatan, yaitu:

a. Tujuan utama kegiatan (the primary intent) adalah untuk meningkatkan,


memelihara atau mencegah status kesehatan termasuk untuk mitigasi
konsekuensi kesakitan dari individu, kelompok populasi tertentu, maupun
keseluruhan populasi.
b. Kegiatan dilakukan oleh dan/atau di bawah supervisi profesi yang
mempunyai pengetahuan dan keahlian medis maupun kegiatan terkait
fungsi administrasi dan pendanaan tata kelola sistem kesehatan. Profesi
yang dimaksud misalnya dokter dan paramedis, perawat, bidan, ahli
kesehatan masyarakat, atau tenaga kesehatan yang terdidik dan terlatih
lainnya, termasuk tenaga profesi pengobatan tradisional (tergantung
kebijakan masing-masing negara), sesuai dengan International Standard
Classification of Occupations (ISCO) kategori 2200 dan 3200.
c. Konsumsi yang terjadi merupakan konsumsi akhir oleh residen dari suatu
wilayah, bukan konsumsi antara/intermediate. Konsumsi akhir adalah
konsumsi yang langsung dirasakan oleh penerima manfaat, misalnya
rumah tangga yang berobat ke fasilitas kesehatan. Konsumsi akhir ini
dilakukan oleh residen, terlepas dimana pelayanan kesehatan ini terjadi
dan siapa yang membiayai. Seseorang disebut sebagai residen apabila
tinggal di wilayah tersebut minimal selama 6 (enam) bulan. Residen dapat
melakukan konsumsi akhir di dalam maupun di luar negara tempat tinggal
residen tersebut. Hal ini menyebabkan belanja kesehatan yang dihitung

20
mencakup impor (barang dan jasa kesehatan yang diberikan oleh
penyedia layanan kesehatan dari luar negeri), namun tidak termasuk
ekspor (barang dan jasa kesehatan yang diberikan oleh penyedia layanan
kesehatan dalam negeri kepada non-residen).
d. Adanya transaksi yang terjadi dalam kegiatan konsumsi barang dan jasa
pelayanan kesehatan. Transaksi adalah pertukaran antara barang dan
jasa pelayanan kesehatan yang diterima oleh konsumen dengan
pembayaran konsumen atau dengan kata lain aliran barang dan jasa
pelayanan kesehatan diikuti dengan aliran finansial, baik dibayarkan
langsung oleh pasien maupun secara tidak langsung yang dibayarkan oleh
pihak ketiga dalam suatu sistem kesehatan (misalnya dibayarkan oleh
pemerintah maupun oleh asuransi kesehatan). Transaksi yang dicatat
adalah transaksi yang terkait dengan penyediaan dan konsumsi barang
dan jasa pelayanan kesehatan untuk meningkatkan status kesehatan.

Program dokter internsip


Berdasarkan PP No. 52 Tahun 2017 Pasal 1 Ayat 6, program dokter internsip
merupakan proses untuk memantapkan mutu dan profesi dari dokter dan
dokter gigi, dengan menerapkan kompetensi yang diperoleh selama masa
studi secara terintegrasi, komprehensif, mandiri, dengan tujuan untuk
memahirkan dan menyelaraskan hasil pendidikan dengan kondisi di
lapangan. Proses ini dijalani seorang dokter setelah lulus Uji Kompetensi
Mahasiswa Pendidikan Profesi Dokter (UKMPPD), menjalani prosesi sumpah
profesi dokter, dan mendapat Surat Tanda Registrasi (STR) dan Surat Izin
Praktik (SIP) sementara (Perkonsil Nomor 1 Tahun 2010 tentang Registrasi
Dokter Program Internsip; Permenkes Nomor 2052 Tahun 2011 tentang Izin
Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran).

Dengan pendekatan fungsi, dokter internsip seharusnya dicatat sebagai


fungsi 10 (pendidikan), sesuai dengan aturan dalam Permenkeu No. 142
Tahun 2018. Di sisi lain, selama ini dokter internsip juga dicatat sebagai

21
fungsi anggaran 07 (kesehatan), sehingga terjadi double counting atau
penghitungan dua kali. Menurut PP No. 52 Tahun 2017 Pasal 7, program
internsip dokter dikoordinasikan oleh Menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang kesehatan. Dari aturan tersebut, wewenang
koordinasi program di bawah Menteri Kesehatan, bukan Menteri Pendidikan.

Permenkes No. 39 Tahun 2017 Pasal 23 menyatakan bahwa biaya


penyelenggaraan program tersebut dibebankan pada APBN, pemerintah
daerah dapat memberikan dukungan berupa penyediaan fasilitas dan
insentif. Regulasi serupa tidak ditemui dalam peraturan-peraturan yang
dikeluarkan oleh Menteri bidang pendidikan. WHO merekomendasikan
penyelenggaraan program dokter internship dihitung ke dalam anggaran
kesehatan (WHO, 2011). Diperlukan kejelasan batasan lingkup untuk fungsi
07 (kesehatan) dan 10 (pendidikan) untuk menentukan penghitungan
anggaran untuk program dokter internsip. Apabila program dokter internsip
akan dihitung sebagai output anggaran pendidikan, diperlukan penyesuaian
lebih lanjut terhadap PP No. 52 Tahun 2017 untuk memberi wewenang
kepada Menteri bidang pendidikan dalam mengkoordinasikan implementasi
dan penganggaran program tersebut. Pilihan klasifikasi tersebut memberikan
beberapa implikasi, antara lain:
▪ Jika dihitung sebagai anggaran kesehatan maka tenaga kesehatan yang
mengikuti internsip dapat ditempatkan di fasilitas pelayanan kesehatan milik
pemerintah.
▪ Jika dihitung sebagai anggaran pendidikan, maka diusulkan Kemenkes
secara bertahap menurunkan anggaran internship, untuk selanjutnya
dialihkan ke Kemendikbud.

Dalam Focus Group Discussion (FGD) antara Kementerian PPN/Bappenas


dengan Kementerian Keuangan dan mempertimbangkan berbagai hal di
atas, internsip masih terhitung dalam anggaran kesehatan.

22
Pendidikan di Politeknik Kementerian Kesehatan
Politeknik Kesehatan adalah perguruan tinggi di lingkungan Badan
Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan
(BPPSDMK) Kementerian Kesehatan, dan melaksanakan program
pendidikan vokasi dan profesi. Sebagai Badan Layanan Umum (BLU) dari
Badan PPSDM, selama ini anggarannya termasuk dalam anggaran
kesehatan, dan sumber pendapatan lain dari masyarakat (Permenkes No. 38
Tahun 2018).

Berdasarkan pendekatan fungsi, Kementerian Keuangan telah melakukan


tagging untuk pendidikan Poltekkes dalam fungsi 10 (pendidikan)
(Permenkeu No. 102 Tahun 2018; Permenkeu No. 142 Tahun 2018), namun
masih diperhitungkan juga ke dalam anggaran kesehatan karena berada di
bawah Kementerian Kesehatan (Permenkes No. 38 Tahun 2018).
Penghitungan anggaran Poltekkes ke dalam lingkup anggaran pendidikan
didukung justifikasi bahwa program pendidikan di Poltekkes tidak termasuk
ke dalam pendidikan kedinasan (Permenkeu No. 142 Tahun 2018). Dalam
PP No. 14 Tahun 2010 Pasal 4 Ayat 1 dinyatakan bahwa “program
pendidikan kedinasan hanya menerima peserta didik pegawai negeri dan
calon pegawai negeri.” Penyelenggaraan pendidikan di Poltekkes tidak
termasuk klasifikasi ini, karena peserta didiknya merupakan masyarakat
umum yang tidak terikat ikatan dinas dengan Kementerian Kesehatan.

WHO merekomendasikan bahwa penyelenggaraan pendidikan perguruan


tinggi untuk dihitung ke dalam fungsi pendidikan, bukan kesehatan (WHO,
2011). Diperlukan kejelasan dan batasan penamaan fungsi 07 (kesehatan)
dan 10 (pendidikan). Jika pendidikan di Poltekkes tetap dihitung ke dalam
anggaran kesehatan, maka dibutuhkan perubahan fungsi organisasi menjadi
institusi pendidikan kedinasan melalui penetapan mekanisme penempatan
dinas setelah lulus masa studi dalam jangka waktu tertentu. Pilihan klasifikasi
tersebut memberikan beberapa implikasi, antara lain:

23
▪ Jika dihitung sebagai anggaran kesehatan, maka lulusan Poltekkes
didayagunakan di fasilitas pelayanan kesehatan milik pemerintah.
▪ Jika dihitung sebagai anggaran pendidikan, maka diusulkan Kemkes secara
bertahap menurunkan anggaran Poltekkes untuk selanjutnya dialihkan ke
Kemendikbud.

Dalam Focus Group Discussion (FGD) antara Kementerian PPN/Bappenas


dengan Kementerian Keuangan dan mempertimbangkan berbagai hal diatas,
Politeknik Kementerian Kesehatan masih terhitung dalam anggaran
kesehatan.

Rumah Sakit pendidikan


Undang-undang Nomor 20 Tahun 2013 Pasal 1 Ayat 15 menyatakan bahwa
“rumah sakit pendidikan adalah rumah sakit yang mempunyai fungsi sebagai
tempat pendidikan, penelitian, dan pelayanan kesehatan secara terpadu
dalam bidang pendidikan kedokteran, pendidikan berkelanjutan, dan
pendidikan kesehatan lainnya secara multiprofesi.” Berdasarkan
rekomendasi WHO, penyediaan infrastruktur dan pendidikan bagi tenaga
kesehatan dihitung ke dalam lingkup anggaran kesehatan (WHO, 2011).

Praktik serupa ditemui di Inggris dimana pembangunan dan pengelolaan


infrastruktur kesehatan seperti gedung dan fasilitas pendukungnya dihitung
ke dalam anggaran kesehatan (UK Health and Social Care Act 2012; UK Dept
of Health Care Services Report 2018). Sesuai PP No. 93 Tahun 2015 Pasal
5 Ayat 1, RS pendidikan tidak hanya berfungsi untuk mendidik tenaga
kesehatan (seperti dokter spesialis dan subspesialis) yang bekerja di
lingkungan Kementerian Kesehatan, tapi juga mendidik tenaga kesehatan di
luar Kemenkes, dan mahasiswa yang sedang menjalani proses studi untuk
menjadi tenaga kesehatan (seperti mahasiswa program profesi pendidikan
dokter dan dokter gigi). Manfaat dari pendanaan RS pendidikan dari

24
anggaran kesehatan tidak hanya dirasakan oleh tenaga kesehatan, tapi juga
non-tenaga kesehatan.

Rumah sakit di lingkungan K/L selain Kementerian Kesehatan


Rumah sakit yang didirikan pemerintah merupakan unit pelaksana teknis dari
instansi pemerintah yang bersangkutan (termasuk TNI, Kepolisian, dan K/L
lain), penyelenggaraan aktivitasnya berdasarkan asas pengelolaan
keuangan badan layanan umum (BLU) (Permenkes No. 56 Tahun 2014).
Selain itu, fasilitas pelayanan kesehatan tersebut melayani masyarakat
umum, tidak hanya diperuntukan untuk kalangan internal. RS tersebut
mendapatkan alokasi anggaran dari instansinya masing-masing. Di sisi lain,
Permenkeu No. 102 Tahun 2018 menyatakan bahwa RS di lingkungan TNI
yang termasuk ke dalam fungsi pertahanan adalah yang dibangun dan
beroperasi di lapangan. Sedangkan RS militer tetap dihitung ke dalam fungsi
anggaran kesehatan (07.03).

WHO merekomendasikan bahwa penyediaan infrastruktur kesehatan untuk


dihitung ke dalam anggaran kesehatan, dan tidak terbatas hanya pada
lingkungan Kementerian Kesehatan (WHO, 2011). Praktik serupa juga
ditemui di Inggris, dimana pembangunan dan pengelolaan infrastruktur bagi
instansi pemerintah di luar departemen kesehatan juga dihitung ke dalam
anggaran kesehatan (UK Health and Social Care Act 2012; UK Dept of Health
Care Services Report 2018).

Pada praktiknya, terdapat kesulitan untuk menghitung realisasi anggaran


terkait output kegiatan RS di lintas K/L karena penamaannya tidak pada level
output. Perlu ada kejelasan penamaan fungsi dan batasan antara fungsi 07
(kesehatan), dan fungsi lain (misal jika terkait RS militer adalah fungsi 02).
Jika klinik dan RS di lingkungan K/L tidak dihitung sebagai anggaran
kesehatan, maka perlu ada pengaturan mekanisme pendanaan melalui
alokasi anggaran BLU di masing-masing K/L, serta revisi terhadap
Permenkeu No. 102 Tahun 2018. RS yang diusulkan masuk dalam

25
perhitungan anggaran kesehatan yakni RS yang memberikan pelayanan
kesehatan untuk masyarakat umum, mencakup: 1) RS TNI, 2) RS POLRI, 3)
RS Olahraga Nasional, 4) RS BP Batam, dan 5) RS Pengayoman.

Anggaran kependudukan
Isu ini muncul karena tugas pokok dan fungsi dari Badan Kependudukan dan
Keluarga Berencana cukup luas, tidak hanya menjalankan fungsi kesehatan
terkait penyediaan alat kontrasepsi dan implementasi program keluarga
berencana. Berdasarkan Undang-undang No. 52 Tahun 2009 Pasal 1 Ayat
2, kependudukan adalah hal ihwal yang berkaitan dengan jumlah, struktur,
pertumbuhan, persebaran, mobilitas, penyebaran, kualitas, dan kondisi
kesejahteraan yang menyangkut politik, ekonomi, sosial budaya, agama,
serta lingkungan penduduk setempat. Sehingga, ada cakupan program
BKKBN yang diperdebatkan apakah dihitung dalam anggaran kesehatan
atau tidak. Berdasarkan Renstra BKKBN tahun 2015-2019 tercantum
program-program terkait pengendalian penduduk dan kesejahteraan
keluarga yang mencakup aktivitas di luar lingkup fungsi kesehatan (BKKBN,
2015).

Perpres No. 62 Tahun 2010 Pasal 1 Ayat 1 menyatakan bahwa BKKBN


merupakan Lembaga pemerintah non kementerian yang berada di bawah
dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri yang bertanggung
jawab di bidang kesehatan. WHO merekomendasikan hanya program
keluarga berencana yang dihitung ke dalam anggaran kesehatan (WHO,
2011), dan diimplementasikan pula di Inggris (UK Health and Social Care Act
2012). Perlu ada batasan lingkup fungsi 07 (kesehatan) dan kependudukan.

Dalam Focus Group Discussion (FGD) antara Kementerian PPN/Bappenas


dengan Kementerian Keuangan dan mempertimbangkan berbagai hal di
atas, anggaran kependudukan pada BKKBN tidak perlu dihitung pada
anggaran kesehatan.

26
Anggaran Perlindungan Sosial

Anggaran jaminan kesehatan nasional (JKN) dalam pengalokasian premi PBI


disalurkan melalui Kementerian Kesehatan. Dalam penandaan (tagging)
tematik, PBI JKN terhitung sebagai anggaran kesehatan sekaligus sebagai
anggaran perlindungan sosial.

27
Tabel 4. Rangkuman Definisi dan Lingkup Anggaran Kesehatan

Faktor Penguat Terhitung Faktor Penghambat


No. Aspek Rekomendasi Kebijakan
Dalam Anggaran Kesehatan Terhitung Dalam Anggaran Kesehatan
1 Gaji ▪ Mengacu pada Surat Putusan MK No. ▪ Tidak sesuai dengan mandat UU No. 36 ▪ Gaji dihitung dalam anggaran kesehatan.
026/PUU-IV/2006 tentang anggaran Tahun 2009, terutama Pasal 171 ayat 2:
Pendidikan. Besar anggaran kesehatan Pemerintah
▪ Pedoman internasional dari WHO. dialokasikan minimal sebesar 5% (lima
▪ Praktik serupa di negara lain. persen) dari anggaran pendapatan dan
belanja negara di luar gaji.

2 Program ▪ Koordinasi di bawah Menteri ▪ Selama ini dihitung sebagai output fungsi ▪ Internsip terhitung dalam fungsi kesehatan.
dokter Kesehatan. pendidikan dan kesehatan. ▪ Jika dihitung sebagai anggaran kesehatan,
internsip ▪ Pedoman internasional dari WHO. maka diusulkan tenaga kesehatan yang
mengikuti internsip dapat ditempatkan di
fasilitas pelayanan kesehatan milik
pemerintah.

3 Pendidikan di ▪ Berada di bawah supervisi BPPSDM ▪ Selama ini sudah dihitung sebagai fungsi ▪ Pendidikan di Politeknik Kementerian
Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan. 10 (pendidikan). Kesehatan terhitung dalam fungsi kesehatan.
Kementerian ▪ Tidak termasuk pendidikan kedinasan ▪ Jika dihitung sebagai anggaran kesehatan,
Kesehatan ▪ Tidak direkomendasikan oleh WHO. maka lulusan Poltekkes dapat didayagunakan
di fasilitas pelayanan kesehatan milik
pemerintah.

4 RS pendidikan ▪ Berada di bawah koordinasi Menteri ▪ Mendidik mahasiswa yang belum menjadi ▪ RS Pendidikan dihitung dalam fungsi
Kesehatan. tenaga kesehatan. pendidikan.
▪ Pedoman internasional dari WHO. ▪ Mendidik tenaga kesehatan yang bekerja
▪ Praktik serupa dari negara lain. di luar lingkungan Kementerian
Kesehatan.

5 Rumah sakit di ▪ RS militer dihitung dalam fungsi ▪ Merupakan BLU K/L terkait. ▪ RS milik K/L di luar Kemenkes jika ditujukan
K/L terkait (di kesehatan (07.03). ▪ Kesulitan dalam proses penelusuran untuk memberikan pelayanan kesehatan
luar ▪ Pedoman internasional dari WHO. realisasi anggaran karena mekanisme terhadap masyarakat umum, maka dapat
Kementerian ▪ Praktik serupa di negara lain. tagging-nya tidak pada level output. dikategorikan sebagai fungsi kesehatan.
Kesehatan ▪ Memberikan pelayanan kepada ▪ Perlu ada kejelasan penamaan fungsi dan
masyarakat secara umum. batasan antara fungsi 07 (kesehatan) dan

28
Faktor Penguat Terhitung Faktor Penghambat
No. Aspek Rekomendasi Kebijakan
Dalam Anggaran Kesehatan Terhitung Dalam Anggaran Kesehatan
fungsi lain (misal jika terkait RS militer adalah
fungsi 02).
▪ RS yang diusulkan masuk dalam perhitungan
anggaran kesehatan yakni RS yang
memberikan pelayanan kesehatan untuk
masyarakat umum, mencakup: 1) RS TNI, 2)
RS POLRI, 3) RS Olahraga Nasional, 4) RS
BP Batam, dan 5) RS Pengayoman.

6 Anggaran Kepala BKKBN bertanggung jawab Fungsi BKKBN terkait pengendalian ▪ Anggaran kependudukan pada BKKBN tidak
terkait pada Presiden melalui Menteri penduduk dan kesejahteraan keluarga di perlu dihitung pada anggaran kesehatan.
kependudukan Kesehatan. luar lingkup fungsi 07 (kesehatan).

7. Anggaran Anggaran Jaminan Kesehatan Nasional Dalam penandaan (tagging) tematik, PBI ▪ Anggaran JKN terhitung dalam anggaran
Perlindungan (JKN) dalam pengalokasian premi PBI JKN terhitung sebagai anggaran kesehatan kesehatan dan perlindungan sosial.
Sosial disalurkan melalui Kementerian sekaligus sebagai anggaran perlindungan
Kesehatan. sosial.

Sumber: Putusan MK No. 026/PUU-IV/2006, UU No. 36 Tahun 2009, Direktorat KGM Bappenas 2019

29
4.2. K/L yang Terhitung dalam Anggaran Kesehatan

Komponen belanja pusat yang dimanfaatkan langsung untuk pemenuhan


program dan kegiatan untuk mendukung pencapaian prioritas nasional yaitu
belanja K/L. Saat ini K/L yang terhitung dalam anggaran kesehatan hanya
K/L utama saja, mencakup: 1) Kementerian Kesehatan (seluruh anggaran),
2) BPOM (seluruh anggaran), 3) BKKBN (seluruh anggaran), 4)
Kementerian Pertahanan (anggaran pengelolaan RS TNI), dan 5) POLRI
(anggaran pengelolaan RS POLRI).

Setelah melakukan analisis rencana kerja dan anggaran K/L, ditemukan


bahwa terdapat 19 K/L memiliki output terkait kesehatan dan 3 K/L
diantaranya telah di tag anggaran pendidikan (Kemristekdikti,
Kemendikbud, dan Kemnag). Jika ditelusuri lebih lanjut hanya K/L yang
memiliki pengelolaan RS dan memberikan pelayanan kesehatan terhadap
masyarakat umum, maka tidak hanya Kemenkes, Kemhan, dan TNI/POLRI,
namun juga Kemenpora (pengelolaan RS olahraga nasional), BP BATAM
(pengelolaan RS BP BATAM), dan Kemkumham (pengelolaan RS
Pengayoman).

Berdasarkan hasil diskusi antara Kementerian PPN/Bappenas dan


Kementerian Keuangan, studi ini merekomendasikan perhitungan anggaran
kesehatan ke depan menggunakan opsi 2. Perhitungan tersebut,
mencakup:
1. Kemkes (seluruh anggaran)
2. BPOM (seluruh anggaran)
3. BKKBN (anggaran kesehatan pada BKKBN, kecuali anggaran
kependudukan)
4. Kemhan (pengelolaan RS TNI)
5. TNI/POLRI (pengelolaan RS POLRI)
6. Kempora (pengelolaan RS olahraga nasional)
7. BP BATAM (pengelolaan RS BP Batam)
8. Kemkumham (pengelolaan RS Pengayoman)

30
Tabel 5. Rangkuman Analisis dari Kegiatan K/L terkait Kesehatan

Analisis terhadap
Saat ini (Eksisting) Analisis terhadap 19 K/L (Opsi 1) Rekomendasi
8 K/L (Opsi 2)
1. Kemenkes Secara umum, terdapat 19 K/L memiliki output terkait kesehatan 1. Kemenkes (seluruh Studi ini
(seluruh dan 3 K/L diantaranya telah di tag anggaran pendidikan anggaran) merekomendasikan
anggaran) (Kemenristekdikti, Kemendikbud, Kemnag). 2. BPOM (seluruh bahwa perhitungan
2. BPOM (seluruh Rincian K/L yang terhitung dalam anggaran kesehatan, anggaran) anggaran kesehatan
anggaran) mencakup: 3. BKKBN (anggaran perlu dipertajam
3. BKKBN (seluruh 1. Kemenkes (seluruh anggaran) kesehatan pada dengan menggunakan
anggaran) 2. BPOM (seluruh anggaran) BKKBN, kecuali opsi 2.
4. Kemhan 3. BKKBN (anggaran kesehatan pada BKKBN, kecuali anggaran anggaran
(pengelolaan RS kependudukan) kependudukan)
TNI) 4. Kemhan (pengelolaan RS TNI) 4. Kemhan (pengelolaan
5. TNI/POLRI 5. TNI/POLRI (pengelolaan RS POLRI) RS TNI)
(pengelolaan RS 6. Kemkumham (pengelolaan RS Pengayoman, perawatan 5. TNI/POLRI
POLRI) kesehatan dan rehabilitasi, pelaksanaan rehabilitasi medis, (pengelolaan RS
perawatan kesehatan warga binaan) POLRI)
7. Kemsos (terapi fisik dan perawatan kesehatan, honor pekerja 6. Kemenpora
sosial/tenaga kesejahteraan sosial/konselor adiksi bidang (pengelolaan RS
NAPZA) olahraga nasional)
8. BNN (rehabilitasi narkoba instansi pemerintah, penggiat anti 7. BP BATAM
narkoba, advokasi pembangunan berwawasan anti narkoba, (pengelolaan RS BP
diseminasi informasi P4GN) Batam)
9. KemdesPDTT (penguatan kader pemberdayaan masyarakat 8. Kemkumham
dalam pelayanan sosial dasar pencegahan stunting) (pengelolaan RS
10. KPPPA (fasilitasi pemenuhan hak anak atas kesehatan, Pengayoman)
sosialisasi ASI eksklusif, gizi seimbang, pembatasan GGL,
rokok, dan kesehatan reproduksi)
11. Kemnaker (peningkatan kualitas dan pengelolaan K3,
peningkatan penerapan norma keselamatan dan kesehatan
kerja)
12. Kemen PUPR (pelatihan ahli muda K3)

31
Analisis terhadap
Saat ini (Eksisting) Analisis terhadap 19 K/L (Opsi 1) Rekomendasi
8 K/L (Opsi 2)
13. Kemhub (pembangunan gedung balai kesehatan
penerbangan, pengadaan fasilitas pengujian kesehatan
pelaut, pengujian kesehatan personil penerbangan)
14. Kemenpora (pengelolaan RS Olahraga Nasional, peningkatan
kesehatan reproduksi pemuda)
15. BATAN (pelaksanaan inspeksi radiasi bidang kesehatan,
penerbitan KTUN bidang kesehatan)
16. BP BATAM (pengelolaan dan penyelenggaraan RS BP
BATAM)
17. Kemenristekdikti (operasional RS Pendidikan)
18. Kemendikbud (pemberian bantuan makanan sehat,
pelaksanan PROGAS, pembinaan UKS)
19. Kemnag (operasional dan pemeliharaan rumah sakit,
peningkatan mutu layanan kesehatan dan sanitasi di
pesantren).

Sumber: Nota Keuangan, Kemenkeu; Direktorat KGM Bappenas

32
4.3. Hasil Perhitungan Kedua Opsi

Anggaran kesehatan pada Opsi 1 merupakan anggaran kesehatan yang


menjadi perhitungan postur anggaran kesehatan saat ini dan studi ini
merekomendasikan perhitungan anggaran kesehatan (opsi 2). Pada opsi 2
postur anggaran kesehatan yang mencakup beberapa kementerian/lembaga
baru yang dapat dikategorikan memiliki anggaran kesehatan.
kementerian/lembaga dimaksud antara lain: 1) Kementerian Hukum dan
HAM (RS Pengayoman sebesar Rp 22,7 miliar); 2) Kementerian Pemuda dan
Olahraga (RS Olahraga Nasional sebesar Rp 6,9 miliar); serta 3) Badan
Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam
(RS BP Batam sebesar Rp 87,3 miliar). Dengan tambahan ini, jumlah
kementerian/lembaga yang dikategorikan memiliki anggaran kesehatan
menjadi delapan (dari sebelumnya lima).

Berikut adalah gambaran anggaran kesehatan di tingkat pusat untuk kedua


opsi tersebut:
Gambar 6. Hasil Perhitungan Anggaran Kesehatan 2019
(dalam Rp triliun)

Opsi 1 (saat ini) Opsi 2 (rekomendasi)


A. Pemerintah Pusat 88,3 88,3
1. K/L 68,2 68,2
a. Kemenkes 58,7 58,7
b. BPOM 2,0 2,0
c. BKKBN 3,8 3,8
d. Kemenhan 1,7 5,2
e. Polri 2,0 2,9
f. K/L Lain 0,1
▪ KemenkumHAM 0,0
▪ Kemenpora 0,0
▪ BP Batam 0,1
2. Non K/L
a. BA-BUN 20,1 20,1
B. Transfer ke Daerah dan 33,4 33,4
Dana Desa
1. DAK Fisik 19,9 19,9
2. DAK Non-Fisik 12,2 12,2
3. Otsus Papua 1,3 1,3

33
Opsi 1 (saat ini) Opsi 2 (rekomendasi)
a. Perkiraan 1,3 1,3
Anggaran
Kesehatan
Total (persen) 122,0 (5,0 persen) 126,4 (5,2 persen)

Sumber: FGD&Koordinasi Review Postur Anggaran dan Efisiensi Anggaran Kesehatan Bappenas, 2019

4.4. Peruntukan Anggaran Kesehatan

UU No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyebutkan bahwa 2/3 dari


anggaran kesehatan diperuntukkan untuk pelayanan publik, dan sisanya
untuk membiayai pelayanan lainnya. Dalam Pasal 171 ayat 3 Undang-
Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 dinyatakan bahwa: “Besar
anggaran kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2)
diprioritaskan untuk kepentingan pelayanan publik yang sekurang-kurangnya
2/3 (dua pertiga) dari anggaran kesehatan dalam anggaran pendapatan dan
belanja negara dan anggaran pendapatan dan belanja daerah”. Lebih lanjut,
dalam lampiran undang-undang tersebut dijelaskan “Yang dimaksud dengan
“kepentingan pelayanan publik” dalam ketentuan ini adalah pelayanan
kesehatan baik pelayanan preventif, promotif, kuratif, dan rehabilitatif yang
dibutuhkan masyarakat dalam meningkatkan derajat kesehatannya. Biaya
tersebut dilakukan secara efisien dan efektif dengan mengutamakan
pelayanan preventif dan promotif dan sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga)
dari APBN dan APBD”.

Pasal 172 ayat 1 mengamanatkan bahwa alokasi pembiayaan kesehatan


ditujukan untuk pelayanan publik yang diutamakan bagi penduduk miskin,
kelompok lanjut usia, dan anak terlantar. Secara umum, definisi pelayanan
publik diatur dalam Undang-undang No. 25 Tahun 2009. Dalam peraturan
tersebut pada pasal 4 dinyatakan bahwa “penyelenggaraan pelayanan publik
berasaskan kepentingan umum; kepastian hukum; kesamaan hak;
keseimbangan hak dan kewajiban; keprofesionalan; partisipatif; persamaan

34
perlakuan/tidak diskriminatif; keterbukaan; akuntabilitas; fasilitas dan
perlakuan khusus bagi kelompok rentan; ketepatan waktu; dan kecepatan;
kemudahan dan keterjangkauan.”

Lebih lanjut dalam Pasal 5 Ayat 1 dinyatakan bahwa ruang lingkup pelayanan
publik mencakup pelayanan barang publik, jasa publik, serta pelayanan
administratif. Sejauh ini belum ada regulasi di Indonesia yang secara jelas
mendefinisikan peruntukkan pelayanan publik di bidang kesehatan. Dalam
Pasal 46 Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 membagi upaya kesehatan ke
dalam upaya kesehatan perseorangan dan upaya kesehatan masyarakat.
Pasal 47 menyatakan bahwa upaya kesehatan yang dimaksud sebelumnya
dilaksanakan dengan pendekatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.
Jenis-jenis upaya kesehatan lebih lanjut dijabarkan dalam Pasal 48, serta
Pasal 126-166 sebagai berikut:

Tabel 6. Jenis-Jenis Upaya Kesehatan berdasarkan UU No. 36 Tahun 2009

No Pasal Upaya Kesehatan


1 Pasal 48 Ayat 1 Pelayanan kesehatan; pelayanan kesehatan
tradisional; peningkatan kesehatan dan
pencegahan penyakit; penyembuhan penyakit
dan pemulihan kesehatan; kesehatan reproduksi;
keluarga berencana; kesehatan sekolah;
kesehatan olahraga; pelayanan kesehatan pada
bencana; pelayanan darah; kesehatan gigi dan
mulut; penanggulangan gangguan penglihatan
dan gangguan pendengaran; kesehatan matra;
pengamanan dan penggunaan sediaan farmasi
dan alat kesehatan; pengamanan makanan dan
minuman; pengamanan zat adiktif; dan / atau
bedah mayat.
2 Pasal 126-140 Kesehatan ibu, bayi, anak, remaja, lanjut usia,
dan penyandang cacat
3 Pasal 141-143 Gizi
4 Pasal 144-151 Kesehatan jiwa
5 Pasal 152-161 Penyakit menular dan tidak menular
6 Pasal 162-163 Kesehatan lingkungan
7 Pasal 164-166 Kesehatan kerja
Sumber: UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

35
Mengacu pada regulasi-regulasi di atas, dapat dikategorikan bahwa
pelayanan publik di bidang kesehatan mencakup:
a. Pelayanan kuratif: Layanan yang bertujuan untuk mengobati dan
mengurangi tingkat kesakitan, mencakup ranap dan rajal, termasuk biaya
visit dokter, perawatan, konsultasi, barang medis (obat dan BMHP),
pemeriksaan laboratorium, infrastruktur, diklat, dan litbang pendukung
pelayanan kuratif.
b. Pelayanan rehabilitatif: Layanan terintegrasi yang bertujuan untuk
menjaga kualitas hidup pasien dengan kondisi disabilitas, termasuk
diantaranya terapi.
c. Pelayanan promotif dan preventif: Termasuk KIE, imunisasi, deteksi dini,
pemantauan kondisi sehat, surveilans epidemiologi, serta termasuk
infrastruktur, diklat, dan litbang pendukung pelayanan promotif preventif.
d. Jaminan Sosial Nasional bidang kesehatan: iuran PBI, ASN, pegawai
pemerintah.

Sementara anggaran kesehatan untuk pelayanan non-publik mencakup tata


kelola administrasi dan sistem kesehatan (kegiatan tatakelola termasuk
perencanaan dan perumusan kebijakan sistem kesehatan, administrasi dan
manajemen kesehatan, serta termasuk infrastruktur, diklat, dan litbang
pendukung kegiatan tatakelola administrasi dan sistem kesehatan). Berikut
adalah gambaran peruntukan anggaran kesehatan tahun 2019 di tingkat
pusat:

36
Gambar 7. Gambaran Peruntukan Anggaran Kesehatan, 2019

Transfer ke Daerah

TOTAL
Non-
Pelayanan* K/L DAK Peruntukkan
K/L DAK Otsus
Non- DID
Fisik Papua
Fisik
Nominal Persentase

Pelayanan 54,6 20,1 17,6 1,9 1,9 96,1 76,6% Pelayanan Pelayanan
Kuratif Publik 79,8%
95,4%
Pelayanan 0,2 0,2 0,1%
Rehabilitatif Infrastruktur
20,2%
Pelayanan 9,7 2,1 10,3 1,2 23,4 18,7%
Promotif
Preventif

Tata Kelola 5,6 0,2 5,7 4,6% Pelayanan


Administrasi Non-
dan Sistem Publik
Kesehatan 4,6%

TOTAL 70,1 20,1 19,9 12,2 1,2 1,9 125,4 100,0%


Sumber: Renja Kemenkes, diolah oleh Direktorat KGM Bappenas 2019
*Keterangan = klasifikasi dilakukan oleh tim Bappenas dengan mengacu pada definisi yang
ada dan menempatkan output pada klasifikasi tertentu dengan mempertimbangkan porsi
dukungan yang lebih besar. Hal ini dilakukan karena ketiadaan definisi operasional yang jelas
yang telah disepakati bersama oleh para pakar.

Berdasarkan hasil perhitungan diatas, peruntukan anggaran kesehatan telah


memenuhi amanat UU minimal 2/3 untuk pelayanan publik. Peruntukan
anggaran kesehatan ke depan, mencakup:
• Sejalan dengan policy objective (RPJMN, RKP, dll)
• Mengutamakan anggaran yang dapat dimanfaatkan langsung oleh
masyarakat dan diutamakan bagi penduduk miskin, kelompok lanjut usia,
dan anak terlantar
• Sesuai kewenangan dan kegiatan yang bersifat afirmasi

4.5. Mekanisme Pengalokasian Anggaran Kesehatan

Mekanisme pengalokasian anggaran kesehatan diatur dalam Peraturan


Pemerintah No. 17 Tahun 2017 tentang Sinkronisasi Proses Perencanaan
dan Penganggaran Pembangunan Nasional. Dalam peraturan tersebut

37
dinyatakan bahwa proses perencanaan anggaran dilaksanakan dengan
menerapkan pendekatan berbasis program (money follow programs) melalui
penganggaran berbasis kinerja (performance based budgeting). Pada proses
ini Menteri Keuangan dan Menteri PPN/Kepala Bappenas secara bersama-
sama mengawal setiap tahapan perencanaan anggaran. Tahap pertama dari
proses penganggaran adalah penyusunan tema, sasaran, arah kebijakan,
dan prioritas pembangunan oleh Menteri PPN/Kepala Bappenas. Hasil dari
proses penyusunan ini disampaikan kepada Presiden di bulan Januari untuk
disetujui, kemudian diumumkan kepada seluruh kementerian/lembaga,
pemerintah daerah, dan pihak terkait. Tema, sasaran, arah kebijakan, dan
prioritas pembangunan ini digunakan sebagai dasar penyusunan program
dan kegiatan di berbagai instansi.

Selanjutnya, Menteri Keuangan dan Menteri PPN/Kepala Bappenas


melakukan tinjau ulang (baseline review) angka dasar untuk menyusun pagu
indikatif bagi kementerian/lembaga. Proses ini dilakukan dengan mengacu
pada realisasi pelaksanaan program dan anggaran tahun sebelumnya,
program dan alokasi anggaran tahun berjalan, program dan angka prakiraan
maju tahun pertama, serta hasil evaluasi kinerja dari kementerian/lembaga
terkait. Proses ini dilaksanakan pada bulan Februari.

Menteri Keuangan dan Menteri PPN/Kepala Bappenas kemudian bersama-


sama melakukan proses penyusunan kerangka ekonomi makro dan pokok-
pokok kebijakan fiskal serta ketersediaan anggaran. Pertama-tama, Menteri
Keuangan dan Menteri PPN/Kepala Bappenas bersama-sama menetapkan
besaran indikator ekonomi makro. Indikator ekonomi makro ini digunakan
untuk penyusunan dokumen RKP dan dokumen kerangka ekonomi makro
dan pokok-pokok kebijakan fiskal. Hasil dari proses ini kemudian
disampaikan pada Presiden paling lambat di minggu ketiga bulan Februari
untuk memperoleh persetujuan. Menteri Keuangan kemudian menyampaikan

38
ketersediaan anggaran yang disetujui Presiden kepada Menteri PPN/Kepala
Bappenas paling lambat pada minggu pertama bulan Maret.

Setelah proses di atas, Menteri PPN/Kepala Bappenas menyusun dan


mengoordinasikan rancangan awal RKP, prioritas nasional, program
prioritas, kegiatan prioritas, proyek prioritas, penetapan lokasi dan keluaran,
serta berkoordinasi dengan kementerian/lembaga terkait. Menteri
PPN/Kepala Bappenas kemudian menyampaikan hasil dari proses di atas
kepada Menteri Keuangan, untuk bersama-sama menyusun rancangan pagu
indikatif kementerian/lembaga. Selanjutnya, Menteri Keuangan dan Menteri
PPN/Kepala Bappenas menyampaikan rancangan kerangka ekonomi makro,
pokok-pokok kebijakan fiskal, ketersediaan anggaran, rancangan awal RKP,
dan rancangan pagu indikatif pada Presiden di bulan Maret. Rancangan dan
pagu indikatif yang telah disetujui kemudian disampaikan kepada
kementerian/lembaga terkait melalui Surat Bersama Menteri Keuangan dan
Menteri PPN/Kepala Bappenas tentang pagu indikatif kementerian/lembaga.
Rancangan awal RKP dan pagu indikatif ini menjadi dasar penyusunan
rancangan Renja-K/L. Dalam proses ini, Menteri Keuangan juga didukung
oleh Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan untuk aktif
berkoordinasi dengan Kementerian PPN/Bappenas.

Renja-K/L yang disusun oleh masing-masing institusi kemudian disampaikan


kepada Menteri PPN dan Menteri Keuangan paling lambat di minggu kedua
bulan April. Setelahnya, Menteri PPN/Kepala Bappenas, Menteri Keuangan,
dan Menteri/pimpinan lembaga melakukan pertemuan tiga pihak (trilateral
meeting) dalam rangka mengkaji rancangan Renja-K/L. Hasil dari proses
penelaahan ini bersifat mengikat. Dalam tahap ini, Kementerian Keuangan
melibatkan Direktorat Jenderal Anggaran, dan tidak lagi menyertakan BKF.

Berdasarkan hasil koordinasi dan trilateral meeting, Menteri PPN/Kepala


Bappenas kemudian menetapkan rancangan RKP yang akan didiskusikan
dalam sidang kabinet bersama DPR di bulan Mei. Selanjutnya, Menteri

39
Keuangan dan Menteri PPN/Kepala Bappenas melakukan pemutakhiran
ketersediaan anggaran berdasarkan hasil sidang kabinet. Hasil dari
pemutakhiran ini, bersama-sama dengan kerangka ekonomi makro, pokok-
pokok kebijakan fiskal, rancangan akhir RKP, dan rancangan pagu anggaran
disampaikan pada Presiden di bulan Juni. Rancangan akhir RKP kemudian
diatur dengan Peraturan Presiden pada bulan yang sama, sedangkan
rancangan pagu anggaran diumumkan kepada kementerian/lembaga terkait
melalui Surat Bersama Menteri Keuangan dan Menteri PPN/Kepala
Bappenas terkait pagu anggaran. RKP yang sudah diatur dalam Perpres di
atas kemudian dijadikan pedoman dalam menyusun RUU tentang APBN dan
Nota Keuangan, serta menjadi rujukan pemutakhiran rancangan Renja-K/L
menjadi Renja-K/L.

Setelah proses di atas, Menteri dan pimpinan lembaga terkait menyusun


RKA-K/L berdasarkan RKP dan Surat Bersama yang ada. RKA-K/L ini
kemudian ditelaah oleh Menteri Keuangan dan Menteri PPN/Kepala
Bappenas, untuk menjadi bahan penyusunan nota keuangan dan RUU
APBN. Kedua dokumen ini kemudian disampaikan kepada Presiden, untuk
selanjutnya akan dibahas bersama dengan DPR. Dalam proses pembahasan
ini, Menteri Keuangan membentuk tim kerja lintas kementerian/lembaga
untuk terlibat dalam diskusinya. Hasil kesepakatan bersama dengan DPR ini
kemudian disampaikan kepada Presiden dan menjadi dasar dari alokasi
anggaran. Pada tahap ini, Menteri/pimpinan lembaga dapat mengajukan
perubahan dengan menyampaikan kepada Presiden untuk mendapat
persetujuan. Di sisi lain, Menteri dan pimpinan lembaga perlu melakukan
penyesuaian terhadap Renja-K/L dan RKA-K/L dengan memprioritaskan
target pembangunan yang tercantum dalam RKP. Hasil dari proses
penyesuaian ini kemudian ditelaah oleh Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan, Menteri Keuangan, dan Menteri PPN/Kepala Bappenas.
Hasil penelaahan kemudian bersifat mengikat sebagai dasar pengesahan

40
DIPA. Gambaran dari proses perencanaan anggaran ini tercantum dalam
Gambar 8 berikut:

Gambar 8. Mekanisme alokasi anggaran kesehatan

Penetapan pagu indikatif berdasarkan: Peluang bagi


• historis
K/L mengubah
• kemampuan untuk absorpsi Peluang bagi K/L anggaran (2)
• inflasi 7 persen
mengusulkan
• capaian output yang menunjang program
• kesiapan K/L untuk melaksanakan program anggaran (1)

Trilateral Trilateral
Meeting Meeting

Peluang bagi
K/L mengubah
anggaran (3)

Sumber: Kementerian Keuangan

Dari hasil wawancara mendalam yang dilakukan dengan perwakilan dari Biro
Perencanaan dan Anggaran Kemenkes, Pusat Pembiayaan dan Jaminan
Kesehatan Kemenkes, Direktorat APP Kementerian PPN/Bappenas, BKF
Kemenkeu, dan DJA Kemenkeu, teridentifikasi beberapa tantangan yang
ditemui selama proses alokasi anggaran. Pada tahap awal proses
penganggaran, Kementerian PPN/Bappenas belum bisa mendeteksi
anggaran untuk BA BUN, sehingga proses perencanaan menjadi kurang
komprehensif. Tantangan lain dihadapi oleh kementerian teknis saat proses
trilateral meeting berjalan. Pada tahap ini Kemenkeu tidak lagi diwakili oleh
BKF, dan digantikan oleh DJA. Pada tahapan ini, kemungkinan adanya
penyesuaian pagu anggaran sangatlah tinggi sehingga pada beberapa
kesempatan terdapat penurunan pagu yang telah diterima sebelumnya
karena adanya perubahan asumsi makro.

41
Secara ideal, kementerian/lembaga terkait seharusnya mendapat
kesempatan untuk mengadvokasikan perubahan anggaran sesuai kebutuhan
instansinya. Dalam praktiknya, kementerian teknis sering mengalami
kesulitan dalam proses negosiasi dan memberikan justifikasi ekonomi
mengenai urgensi perubahan anggaran yang mereka butuhkan, sehingga
inovasi program dan kegiatan terbatas pada ketersediaan alokasi
pembiayaan secara memadai.

Di sisi lain, terdapat kesenjangan antara historical budget dan money follows
program. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2017 merekomendasikan
perencanaan anggaran berbasis pada kebutuhan program, namun seringkali
saat pengalokasian anggaran program merujuk pada anggaran sebelumnya
(historical budget) dibandingkan dengan pemenuhan kebutuhan program
secara ideal (money follows program). Ke depan, perlu disusun suatu
mekanisme koordinasi dalam postur anggaran kesehatan terutama sebelum
pagu indikatif ditetapkan. Pembahasan di awal tahun (Januari-Februari)
difokuskan pada: 1) review capaian output terhadap target nasional (review
performance), 2) review baseline, dan 3) pembahasan peruntukan anggaran
kesehatan.

Jika diperlukan pembahasan postur anggaran kesehatan juga dapat


dilakukan diskusi lanjutan pasca pagu anggaran dan sebelum pagu alokasi
ditetapkan. Pembahasan lanjutan tersebut difokuskan pada: 1) review
pengalokasian anggaran kesehatan, dan 2) perbaikan kebijakan peruntukan
pengalokasian anggaran kesehatan.

42
Gambar 9. Skema Mekanisme Koordinasi

Feb-Mar Apr-Mei Jun-Jul Agt-Sept Okt-Nov Desember


Januari/Feb

Pertemuan 3 Pertemuan 3 Pembahasan Pertemuan 3 DIPA


Pembahasan Review
Pihak Pihak Lanjutan Pihak
Awal Angka Dasar Anggaran
Anggaran Kesehatan
Kesehatan (Jika
SB Pagu SB Pagu Diperlukan) SB Pagu
Resource
Indikatif Anggaran Alokasi
Envelope
Pagu
Indikatif
Renja K/L
Renja K/L Renja K/L
RKA K/L RKA K/L

Sumber: Usulan Bappenas

43
BAB 5.
ANALISIS POSTUR ANGGARAN
KESEHATAN DAERAH

44
BAB 5. ANALISIS POSTUR ANGGARAN KESEHATAN DAERAH

Berdasarkan data belanja kesehatan tahun 2017 dari DJPK Kemenkeu,


diketahui bahwa proporsi belanja APBD bervariasi di tiap kabupaten/kota.
Secara nasional, rata-rata belanja APBD kabupaten/kota untuk kesehatan
adalah sebanyak Rp 210 miliar dengan proporsi belanja langsung sebesar
67% dan belanja tidak langsung sebesar 33%. Rata-rata belanja APBD untuk
kesehatan tertinggi ada di kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat yang
mencapai Rp 488 miliar, sedangkan yang terendah di kabupaten/kota di
Provinsi Maluku Utara (Gambar 10).

Gambar 10. Rata-rata Belanja APBD Kesehatan Kab/Kota menurut Provinsi, 2017

600

488
500
Rp Miliar

386
343
30%
326
400

308
291

24%
249
228

28%
219

300
210
206
204

33%
195
189
177
177
168
164

46%
37%
156
155
145
142
139
138
137
137
135
134

36%
122

27%

200
113
113
109
103
100

39%
33%
31%
34%

70%
34%
26%

37%
33%

76%
30%
40%
28%

41%

72%
42%
32%
70% 30%
69% 31%

63% 37%
62% 38%

67%
56% 44%
59% 41%
60% 40%
69% 31%
68% 32%

100
63%
64% 36%
70% 30%
64% 36%

54%
73%
64%
69%

67%
66%

61%
74%

66%
67%
63%
70%
72%

60%
68%

59%
58%

% Belanja Langsung % Belanja Tidak Langsung


Rata-rata APBD Kesehatan

Sumber: Data DJPK Kemenkeu dan BPS, diolah tim NHA

45
Jika belanja tidak langsung (gaji dan tunjangan) dikeluarkan dari perhitungan,
maka rata-rata proporsi belanja APBD untuk kesehatan terhadap total APBD
secara nasional adalah 9,2% dengan proporsi tertinggi di kabupaten/kota di
Provinsi Gorontalo sebesar 12,6% dan terendah di kabupaten/kota di Provinsi
Jambi sebesar 6,5% (Gambar 11). Mayoritas kabupaten/kota di daerah Jawa
mempunyai rata-rata proporsi belanja APBD untuk kesehatan diatas 10%.

Gambar 11. Rata-rata Belanja APBD Kesehatan dan Proporsinya terhadap APBD
Kab/Kota, 2017

12,6% 13,0% 12,3%


400
Rp Miliar

11,2%
10,8% 10,9% 12%
350 10,7%
9,7% 9,9% 10,0%
9,2% 9,5% 9,2% 10%
300 8,6% 9,0% 8,8%
8,8%
8,3%
7,9% 7,9% 7,9% 7,9% 8,3%7,7%
7,4% 7,8%
250 7,5% 7,5% 7,2%
7,2% 7,5%
6,8% 7,5% 8%
6,5%
200
6%

342
293
150

247
4%

219
182
100

166
166
159
141
141
136
133
131
129
119
118
117
104

2%
98
97
96
93
92
90

50
86
84
80
78
78
77
74
70
70
66

- 0%

Rata-Rata Belanja Kesehatan (diluar gaji)


Rata-Rata Proporsi APBD Kes thd Total APBD

Sumber: Data DJPK Kemenkeu dan BPS diolah tim NHA

Jika dilihat berdasarkan OPD, belanja langsung APBD untuk kesehatan


secara keseluruhan mencakup belanja di Dinas Kesehatan, rumah sakit dan
dinas lainnya (Gambar 12). Secara nasional, proporsi belanja langsung
APBD untuk kesehatan di dinas kesehatan adalah sebesar 71%. Dengan
distribusi yang demikian, belum dapat digunakan untuk mengukur apakah
alokasi anggaran kesehatan ini berdampak pada perbaikan indikator
kesehatan selanjutnya.

46
Gambar 12. Rata-rata Belanja langsung APBD Kesehatan menurut OPD, 2017

100%

7%
12%
13%
14%
15%

16%

16%

16%

16%
16%
17%

17%
21%

21%
24%

24%
24%

24%
90%

25%
26%

27%
27%
28%

28%
29%
29%

31%
31%

32%
33%
35%
35%

39%
80%
48%

70%
60%

83%
50%

79%

76%

76%
80%

85%

87%
82%

62%
78%
80%

82%
74%

84%

67%

76%
65%
63%

71%
72%
62%
75%

75%
70%
40%
66%
69%

62%
66%
59%
67%

64%
63%

61%
49%

30%
20%
10% 7%
9% 4% 3% 9% 8% 5% 8%10% 13%8% 5%
0% 1% 4% 2% 3% 3% 1% 4% 5% 6% 3% 3% 1% 0% 1% 2% 4% 8% 5% 1% 1% 4% 3%

Dinas Lain Dinkes RS

Sumber: Data DJPK Kemenkeu dan BPS diolah tim NHA

OPD yang Terhitung dalam Anggaran Kesehatan

Di dalam Permendagri No. 13 tahun 2006 (direvisi menjadi Permendagri


No.59 tahun 2007) tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah pada
pada Lampiran A.VI Kode dan Klasifikasi Belanja Daerah Menurut Fungsi
Untuk Keselarasan dan Keterpaduan Pengelolaan Keuangan Negara
disebutkan perhitungan anggaran fungsi kesehatan daerah meliputi urusan
kesehatan dan keluarga berencana. Di dalam Lampiran A.I Kode dan
Klasifikasi Urusan Pemerintah Daerah dan Organisasi disebutkan bahwa
urusan kesehatan mencakup anggaran di dinas kesehatan, rumah sakit, dll,
sementara urusan keluarga berencana dan keluarga sejahtera mencakup
anggaran di badan koordinasi keluarga berencana daerah, dll.

Kendati demikian, pada praktiknya terdapat variasi di daerah dimana


komposisi OPD dalam perhitungan anggaran kesehatan tidak sepenuhnya
sesuai dengan peraturan dalam Permendagri tersebut. Dari hasil focus group
discussion dengan 3 perwakilan kabupaten/kota di provinsi DIY, diperoleh
gambaran sebagai berikut:

47
Tabel 7. OPD dalam Perhitungan Anggaran Kesehatan di Kota Yogyakarta, Kabupaten
Bantul, dan Kabupaten Kulon Progo, Tahun 2019

Dinas PMD
Kab/Kota Dinas Dinas
RSUD Dalduk dan
OPD Kesehatan PUPKP
KB
Kota Yogyakarta √ √ √
Kabupaten Bantul √ √
Kabupaten Kulon
√ √ √
Progo

Sumber: Paparan Perwakilan dari Kota Yogyakarta, Kabupaten Bantul, dan Kabupaten Kulon Progo
dalam FGD Postur APBD yang diolah Konsultan, 2019

Berdasarkan tabel tersebut, diketahui bahwa perhitungan anggaran


kesehatan yang sesuai dengan Permendagri No. 13 tahun 2006 adalah
Kabupaten Kulon Progo, sementara Kabupaten Bantul hanya mencakup
OPD Dinas Kesehatan dan RSUD serta Kota Yogyakarta mencakup OPD
Dinas Kesehatan, RSUD, dan Dinas PUPKP. Anggaran kesehatan di Dinas
PUPKP Kota Yogyakarta adalah berupa pembangunan Kantor UPT
Laboratorium Kesehatan Lingkungan.

Gaji
Definisi anggaran kesehatan pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota
diatur dalam Undang-undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009, dimana
dalam Pasal 171 ayat 1 dinyatakan:

“Besar anggaran kesehatan untuk pemerintah daerah provinsi,


kabupaten/kota dialokasikan minimal sebesar 10% (sepuluh persen) dari
anggaran pendapatan dan belanja daerah di luar gaji”.

Mengacu pada definisi tersebut, gaji tenaga kesehatan tidak dihitung ke


dalam porsi 10% anggaran kesehatan. Definisi diluar gaji dalam UU tersebut
belum dijelaskan secara rinci di dalam peraturan turunan seperti peraturan
pemerintah, sehingga pada praktiknya terdapat variasi interpretasi dari

48
pemangku kebijakan terkait, sebagaimana disampaikan oleh informan
berikut:

“Menurut kami semua gaji tenaga yang mendukung pencapaian target


kesehatan kami masukkan, namun jika ada arahan perlu keluarkan maka
bisa dipisahkan.” (BPKAD, Kota Yogyakarta)

“Untuk perhitungan kami, yang dengan gaji di tahun 2018 itu 19.61%.
untuk 2019 itu termasuk gaji 16.79%, dan RAPBD 17.16%. Jika tanpa
gaji di 2018 itu 15.49%, di 2019 itu 12.62% di 2020 rencananya 13an %.”
(Bappeda, Kab. Bantul)

“Gaji sebenarnya perlu dimasukkan karena layanan pasti berkaitan erat


dengan SDM yang memberikan pelayanan. Kalaupun gaji masuk, pasti
lebih dari 10%” (Dinkes, Kab. Kulon Progo)

“Untuk kesehatan, misal tenaga administrasi yang tidak menangani


secara langsung layanan kesehatan. Agak sulit untuk dipisahkan.
Kalaupun masuk atau tidak, tidak harus sama dengan mandatory
spending 10%” (Bappeda, Kab. Kulon Progo)

“... yang jelas 10% dari APBD di luar gaji, tetap sesuai regulasi yang ada.
Masalah lengkap atau tidak lengkap jangan ditanya kepada kami.
Tanyalah kepada K/L yang mengatur karena kami ngga mungkin
mengurusi masalah urusan kesehatan. Itu silakan tanya kepada
kemenkes, kalau mau revisi, kami siap mengakomodir hasil revisi.”
(Keuda Kemendagri)

Terdapat dua pendapat terkait perlakuan komponen gaji dalam anggaran


kesehatan dimana daerah menyatakan gaji perlu dimasukkan, namun gaji
yang dimasukkan hanya mencakup komponen gaji pada tenaga yang
memberikan pelayanan langsung ke masyarakat. Meskipun pada praktiknya
akan ditemui kesulitan dalam mengidentifikasi gaji antara tenaga yang

49
melakukan pelayanan langsung dan tenaga yang tidak melakukan pelayanan
langsung. Sementara, Kemendagri berpendapat bahwa gaji tidak
dimasukkan dalam anggaran kesehatan karena berpedoman pada UU yang
ada. Berikut adalah gambaran perhitungan proporsi anggaran kesehatan
terhadap APBD di ketiga daerah sampel.

Tabel 8. Perhitungan Proporsi Anggaran Kesehatan terhadap APBD di Kota


Yogyakarta, Kabupaten Bantul, dan Kabupaten Kulon Progo, Tahun 2019

Kab/Kota Proporsi Proporsi


Kesehatan Kesehatan
APBD APBD Kesehatan Kesehatan terhadap terhadap
(termasuk gaji) (diluar gaji) (termasuk gaji) (diluar gaji) APBD APBD
(termasuk (diluar
gaji) gaji)
Anggaran a b c d e f
Kota (1.933.398.837.146,52-
18,6% 23,05%
Yogyakarta 1.933.398.837.146,52 372.553.176.104) = 359.784.558.191
(e=c/a) (f=c/b)
1.560.845.661.042,52
Kabupaten 16,79% 12,62%
2.383.356.028.670 400.199.378.335 300.894.975.152
Bantul (e=c/a) (f=d/a)
Kabupaten
18,52%
Kulon 1.771.951.990.877,35 328.145.290.081,24
(e=c/a)
Progo
Sumber: Paparan Perwakilan dari Kota Yogyakarta, Kabupaten Bantul, dan Kabupaten Kulon Progo
dalam FGD Postur APBD yang diolah Konsultan, 2019

Dari data anggaran kesehatan tahun 2019 di Kota Yogyakarta, Kabupaten


Bantul, dan Kabupaten Kulon Progo, dapat diketahui bahwa anggaran
kesehatan di ketiga kabupaten/kota tersebut sudah di atas 10% baik diluar
gaji maupun termasuk gaji. Kendati demikian, perhitungan anggaran
kesehatan diluar gaji berbeda persepsi antara Kota Yogyakarta dan
Kabupaten Bantul. Anggaran diluar gaji yang dihitung oleh Kota Yogyakarta
adalah pada anggaran APBD, sementara Kabupaten Bantul adalah pada
anggaran kesehatan. Perbedaan persepsi ini dikarenakan belum ada
peraturan yang jelas terkait perhitungan anggaran kesehatan diluar gaji
tersebut.

50
Untuk mengatasi ketidakseragaman tersebut, daerah memberikan beberapa
input seperti berikut:

“Menurut kami, jangan dibatasi bahwa kesehatan hanya yang berada


di dinkes dan RS, karena jika seperti itu maka substansinya ga kena.
Yang penting penganggaran itu inklusif, yang penting substansi yang
dikedepankan. Masalah anggaran itu ditempatkan dimana, maka
biarkan itu berjalan sesuai sistemnya. Misal pembangunan Gedung RS
di PU, tapi saat penghitungan akan kita hitung sebagai fungsi
kesehatan. Yang penting justifikasinya jelas. Termasuk masalah
tenaga kesehatan yang disekolahkan dan akan dimanfaatkan di
pelayanan, maka harusnya bisa diklaim sebagai anggaran kesehatan.

Masalah gaji memang dilema, sejatinya gaji kan untuk melakukan


pelayanan. Jika ingin benar-benar inklusif, maka gaji PNS yang di luar
kesehatan dikeluarkan, tapi untuk gaji kesehatan maka tetap bisa
dimasukkan sebagai fungsi kesehatan

Mekanisme alokasi di kami mulai 2020 tidak ada pagu indikatif, dan
sesuai dengan kebutuhan. Meski ranah kesehatan, jika kurang penting
maka akan dihapus. Ada pertimbangan efektifitas dan efisiensi
anggaran juga.” (Bappeda, Kota Yogyakarta)

“Bagaimana harus efektif efisien. Bagaimana sosialisasi kita ga mesti


turun. Kita harus berinovasi, misal buat penyuluhan kita buat CD untuk
disebar ke sekolah-sekolah, ponpes dst, sehingga tidak harus nakes itu
terus turun ke lapangan. Misal kita mau pemberdayaan masyarakat
dengan mandiri. Kita akan mengusulkan saat musrenbang apa yang
perlu dilakukan masyarakat, tapi tidak perlu ada anggaran dr OPD. ”

Berdasarkan input tersebut, dapat disintesiskan sebagai berikut:

a. Urusan kesehatan tidak dibatasi pada OPD tertentu, tetapi


inklusif dengan mengutamakan substansi.

51
b. Mekanisme penetapan alokasi pagu indikatif tidak
berdasarkan persentase, tetapi berdasarkan kebutuhan.
c. Mendorong inovasi agar anggaran dapat efektif dan efisien.

Dengan mempertimbangkan input tersebut, sehingga diusulkan agar disusun


regulasi yang lebih operasional dalam pengalokasian anggaran kesehatan
agar dapat mengakomodasi usulan tersebut dan dapat menjabarkan
perhitungan anggaran kesehatan sehingga perhitungan seragam
antardaerah dan dapat diperbandingkan.

Data belanja kesehatan daerah dari DJPK Kemenkeu belum dapat


diidentifikasi secara spesifik berdasarkan sumber. Informasi berdasarkan
sumber yang tersedia hanya pada total APBD, sedangkan untuk belanja
APBD untuk kesehatan tidak dirinci berdasarkan sumber. Dari 3 daerah
sampel, juga tidak secara spesifik menyajikan anggaran kesehatan
berdasarkan sumber, namun di dalam diskusi disampaikan informasi seperti
berikut:

“Alokasi dinkes dari APBD (PAD) 31 M. DAK Fisik 43 M, DAK non fisik
23 M. DBHCHT dan pajak rokok masuk ke PAD” (BPKAD, Kab. Kulon
Progo)

“Sumber anggaran kesehatan DAU, DAK, dan Pendapatan” (Bappeda,


Kab. Bantul)

“Kami sangat berharap dengan DAK karena pembangunan rehab


puskesmas dll baik fisik maupun non fisik. Peruntukannya semua untuk
di puskesmas / pelayanan langsung. Untuk non fisik sebagian besar
untuk bantuan operasional kesehatan di puskesmas untuk upaya
preventif promotif. Dari APBD tetap ada juga. BOK ini juga untuk
jampersal bagi ibu hamil sampai bersalin jika mereka tidak punya
jaminan kesehatan. DAK 2019 penyerapan turun karena sebagian
besar sudah include ke kepesertaan JKN, jadi jampersal menurun.

52
Pendapatan puskesmas menurun karena cakupan kepesertaan BPJS-
nya menurun di 2020. DAK di tahun 2019 sekitar 46 M, tapi di 2020 itu
37 M. BOK tidak memberatkan, malah sangat dibutuhkan untuk
memenuhi indikator SPM, makanya problematik juga saat gap oleh
buat BMHP padahal puskesmas butuh beli reagen buat screening dst”
(Dinkes, Kab. Bantul)

“APBD murni 28,6 M, pajak rokok 18 M (75% untuk premi PBI),


DBHCHT 3M (digunakan untuk puskesmas, bisa rehab pkm, ada
program dan aktivitasnya juga). Juknis DBHCHT ini agak sempit. APBD
murni kita utamakan untuk pelayanan administrasi perkantoran,
pengawasan obat dan makanan, intinya yang tidak bisa menggunakan
dari APBN dan pajak rokok, maka ya dari APBD murni. Untuk promotif
dan preventif dari DAU juga ada” (Dinkes, Prov DIY)

Dari diskusi tersebut dapat diperoleh sintesis bahwa anggaran kesehatan


bersumber dari berbagai jenis pendanaan dimana dana perimbangan APBN
baik DAK fisik maupun DAK non-fisik merupakan sumber utama pendanaan
anggaran kesehatan di daerah. Hal ini sejalan dengan studi PER (WB, 2018)
yang memperoleh gambaran serupa dimana belanja program spesifik seperti
HIV, TB, malaria, imunisasi, kesehatan ibu dan gizi mayoritas bersumber dari
APBN.

Keterkaitan antara Anggaran Pusat dan Anggaran Daerah

Keterkaitan anggaran kesehatan pusat dan daerah adalah pada komponen


anggaran kesehatan yang dihitung. Pada anggaran kesehatan dalam APBN
memperhitungkan dana yang ditransfer dari pusat ke daerah sebagai bagian
anggaran kesehatan dalam APBN. Di sisi lain, pada anggaran kesehatan
APBD juga memperhitungkan dana yang ditransfer dari pusat ke daerah
sebagai bagian anggaran kesehatan dalam APBD. Hal ini mengindikasikan

53
adanya komponen anggaran yang sama untuk kesehatan yang dihitung, baik
dalam perspektif APBN maupun APBD (Gambar 13).

Gambar 13. Komponen Anggaran Kesehatan dalam Perspektif APBN dan APBD

>5% APBN

K/L Kesehatan
Belanja
PP
Non-K/L
≥10% APBD
DAK Kesehatan&KB
Belanja DAK Kesehatan&KB
Transfer

Otsus Papua
Otsus Papua

DAU&DBH-CT

PAD

Sumber: Bappenas, 2019

Berdasarkan informasi yang disampaikan oleh informan, baik dari Biro


Perencanaan dan Penganggaran Kemenkes, Badan Kebijakan Fiskal (BKF)
Kemenkeu, serta Kemendagri menjelaskan bahwa memang terjadi duplikasi
perhitungan komponen anggaran kesehatan antara pusat dan daerah.
Terbatasnya kapasitas fiskal tiap daerah menjadi salah satu permasalahan
untuk dapat mengeluarkan komponen dana transfer pusat agar tidak menjadi
perhitungan anggaran kesehatan di daerah. Apabila dana transfer tersebut
dikeluarkan dari perhitungan anggaran kesehatan daerah, maka daerah yang
memilki kapasitas fiskal rendah tidak akan bisa memenuhi target indikator
yang ada. Dengan demikian, disepakati bahwa komponen anggaran
kesehatan di pusat dan daerah tetap memperhitungkan dana transfer. Ke
depan, diperlukan peninjauan ulang pada perhitungan alokasi anggaran

54
kesehatan dalam UU Kesehatan untuk mencapai persamaan persepsi
antarjenjang pemerintahan dengan mempertimbangkan kapasitas fiskal tiap
daerah. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah adanya kecenderungan efek
susbtitusi dana transfer terhadap APBD murni daerah dalam pembiayaan
program.

55
BAB 6.
ANALISIS POTENSI EFISIENSI
ANGGARAN KESEHATAN

56
BAB 6. ANALISIS POTENSI EFISIENSI ANGGARAN KESEHATAN

Allocative efficiency merupakan pendekatan yang terdiri atas komposisi


beberapa jenis intervensi kesehatan (seperti obat-obatan dan pelayanan
kesehatan) yang dianggap sebagai komposisi input, sedangkan status
kesehatan komunitas merupakan output dari input tersebut (Liu, 2003).
Pendekatan ini bertujuan untuk memaksimalkan outcome kesehatan dengan
komposisi intervensi kesehatan seminimal mungkin (World Bank, 2016). Di
sisi lain, technical efficiency bertujuan untuk meminimalisasi input sebanyak
mungkin untuk mencapai target output yang diinginkan, atau memaksimalkan
pencapaian output dengan kondisi input yang ada (Cylus et al, 2016). Pada
umumnya, pemerintah suatu negara mengimplementasikan allocative dan
technical efficiency melalui kebijakan fiskal nasional yang dimiliki, maupun
dengan menerbitkan petunjuk teknis seperti pedoman kajian teknologi
kesehatan yang ditujukan untuk mengidentifikasi dan memprioritaskan
alokasi belanja kesehatan (NICE UK, 2019; The Pharmaceutical Benefit
Scheme, 2019).

Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 4


Tahun 2017 untuk penerapan efisiensi belanja barang pada K/L dalam
rangka peningkatan dan penajaman prioritas pelaksanaan APBN di K/L.
Efisiensi ini dilakukan untuk mengendalikan defisit anggaran dalam batas
yang aman. Terdapat dua pendekatan yang dilakukan, yaitu:
a. Efisiensi belanja barang meliputi perjalanan dinas dan paket meeting,
honorarium tim/kegiatan, belanja operasional perkantoran, belanja jasa,
belanja pemeliharaan, belanja barang operasional, dan non operasional
lainnya.
b. Efisiensi belanja barang tidak termasuk pinjaman dan hibah dalam/luar
negeri; rupiah murni pendamping; PNBP dan pendapatan BLU, tambahan
belanja hasil pembahasan UU mengenai APBN (dana optimalisasi); dan
output cadangan.

57
Presiden Joko Widodo memberi lima arahan penerapan Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2020 – 2024 dalam sidang
kabinet paripurna tanggal 14 Oktober 2019, yang terdiri dari (Sekretariat
Negara, 2019):
a. RPJMN tidak menjadi dokumen formalitas semata, namun menjadi
panduan dan rencana dalam melangkah ke depan menuju Indonesia
Maju.
b. RPJMN harus memuat peta jalan dan bagaimana mencapai target-target
tersebut.
c. Seluruh jajaran pemerintah harus mengacu pada RPJMN sebagai
penuangan visi misi Presiden dan Wakil Presiden.
d. Rancangan perencanaan yang dibuat harus tersambung dengan
penganggaran dan tersampaikan dengan baik oleh kementerian.
Bappenas dan Kementerian Keuangan harus menjadi tangan Presiden
dalam memastikan RPJMN terwujud dalam rencana dan anggaran
kementerian/lembaga.
e. Ada sinergi antara lintas kementerian/lembaga dan pemerintah derah
sehingga ada kesamaan gerak langkah. Para Menteri perlu memperkuat
pengendalian atas eksekusi program-program prioritas di lapangan.

Seperti mandat di atas, pemerintah telah mengarahkan efisiensi anggaran di


tiap kementerian/lembaga, dan harus berkaitan dengan kebijakan nasional,
seperti RPJMN 2020–2024. Namun, upaya efisiensi anggaran harus
mempertimbangkan kemampuan alokasi belanja kesehatan saat ini untuk
mengakomodasi tantangan peningkatan usia harapan hidup penduduk
Indonesia yang diikuti dengan beban penyakit tidak menular yang meningkat,
perkembangan pesat teknologi kesehatan, dan pertumbuhan penduduk.
Pemerintah perlu mengevaluasi apakah alokasi belanja kesehatan yang ada
saat ini sudah memberikan daya ungkit langsung pada perbaikan indikator
kesehatan dan sudah dialokasikan secara tepat dan memprioritaskan aspek
efisiensi anggaran di atas. Secara umum, terdapat dua pendekatan dalam

58
menganalisis efektifitas dan efisiensi anggaran kesehatan meliputi evaluasi
ekonomi (economic evaluation) dan analisis benchmarking (benchmarking
analysis) sebagai berikut (Peacock et al, 2001):

Evaluasi ekonomi
Evaluasi ekonomi merupakan metode analisis perbandingan dari biaya
versus konsekuensi atau outcome dari implementasi program kesehatan
yang dilakukan. Hasil dari evaluasi ekonomi dapat digunakan oleh penyedia
layanan kesehatan untuk menentukan tindakan medis atau pelayanan
kesehatan lain yang efektif serta meningkatkan technical efficiency. Lebih
lanjut, analisis ini bermanfaat bagi pengambil kebijakan untuk menentukan
prioritas program kesehatan dan meningkatkan allocative efficiency. Pada
umumnya, evaluasi ekonomi memiliki tiga prinsip utama sebagai berikut:
a. Menghitung biaya dan konsekuensi dari suatu program atau intervensi
kesehatan yang dilakukan.
b. Membandingkan beberapa program kesehatan secara spesifik.
c. Menggunakan indikator outcome dalam mengukur konsekuensi dari suatu
program atau intervensi kesehatan yang dilakukan.

Suatu program kesehatan dinilai layak untuk diimplementasikan jika


berdasarkan hasil evaluasi ekonomi menunjukkan nilai manfaat yang lebih
besar dibanding biaya yang harus dikeluarkan. Terdapat beberapa metode
evaluasi manfaat program atau intervensi kesehatan sebagai berikut:

59
Tabel 9. Metode Evaluasi Ekonomi dari Program atau Intervensi Kesehatan

Pertimbangan
Pengukuran
No Jenis Metode Pengukuran Kriteria Seleksi
Outcome
Outcome
1. Cost Outcome identik Evaluasi dari Minimalisasi biaya
minimisation dari beberapa outcome tidak program; ranking
analysis program atau begitu penting dari program-
intervensi program alternatif
kesehatan, yang ada
seperti dampak
yang sama dari
tindakan bedah
dan intervensi
obat
2. Cost- Hanya satu a. Numbers of lives a. Meminimalisasi
effectiveness dimensi dari saved biaya per unit
analysis outcome (efek b. Life years outcome atau
tunggal) gained memaksimalkan
c. Penurunan outcome per unit
insiden penyakit biaya
d. Jumlah pasien b. Ranking dari
yang melakukan program-
screening program
e. Hasil tes alternatif yang
diagnosis yang ada
positif
f. Operasi yang
sukses
g. Dan lain-lain
3. Cost-utility Beberapa Quality adjusted a. Meminimalisasi
analysis dimensi dari life years (QALYs) biaya per QALY
outcome (multi yang diperoleh,
efek); dampak atau
dari kesakitan memaksimalkan
terhadap kualitas QALY per unit
hidup turut cost
dihitung b. Ranking dari
program-
program
alternatif yang
ada
4. Cost-benefit Beberapa Dollar Manfaat yang lebih
analysis dimensi dari besar daripada
outcome (multi biaya
efek); dampak
dari kesakitan
terhadap kualitas
hidup turut
dihitung
Sumber: McKie et al., 1998 dalam Peacock et al, 2001

60
Analisis Benchmarking
Analisis benchmarking digunakan untuk menganalisis dan membandingkan
beberapa aktivitas pelayanan kesehatan yang dilakukan dan aspek
operasional yang diperlukan dalam menjalankan pelayanan kesehatan
tersebut, seperti contohnya pada rumah sakit. Berikut beberapa contoh
analisis benchmarking yang dapat diterapkan (Peacock et al, 2001):
a. Simple ratio analysis: jenis analisis ini membandingkan dua variabel,
meliputi kuantitas input dan output. Pemilihan variabel input dan output,
beserta indikator efisiensi yang digunakan, tergantung pada ketersediaan
data dan kedalaman analisis yang diinginkan.
b. Unit cost analysis: analisis unit cost dapat dilihat sebagai salah satu
indikator efisiensi dengan menggunakan harga dari input sebagai bobot
dalam membandingkan beberapa rasio dari input-input berbeda terhadap
suatu output tertentu. Pengukuran unit cost biasanya terkait dengan
recurrent costs, capital costs, atau total costs. Beberapa output perlu
diagregasi dalam menghitung unit cost dari keseluruhan proses produksi
yang dilaksanakan.
c. Stochastic frontier analysis (SEA): analisis ini menggunakan metode
ekonometri untuk mengestimasi persamaan batas produksi stokastik.
Jenis analisis ini dapat mengakomodasi berbagai jenis spesifikasi proses
produksi, termasuk faktor lingkungan. Uji statistik terhadap hipotesis
tentang batas produksi suatu pelayanan kesehatan juga dapat dilakukan
dengan menggunakan SEA. Namun, SEA memiliki keterbatasan dimana
analisis ini membutuhkan sampel yang besar untuk mendukung analisis
ekonometri yang diperlukan.
d. Data envelopment analysis (DEA): analisis ini menggunakan metode
pemrograman matematis dalam menganalisis efisiensi dari suatu unit
yang memakai beberapa input untuk mendapatkan output yang
diinginkan. DEA tercatat sebagai metode yang paling tepat dalam

61
mengukur efisiensi pelayanan kesehatan, meskipun memiliki beberapa
keterbatasan dalam modelling yang digunakan.

Pembahasan terkait allocative dan technical efficiency tidak terlepas dari isu
Public Financial Management (PFM). Dari segi public finance, tujuan dari
PFM adalah menjaga sustainability dari posisi fiskal di suatu negara,
menjamin secara strategis dalam mengalokasikan sumber dana secara
efektif dan efisien, serta menjaga transparansi dan akuntabilitas anggaran
(Cashin et al, 2017). Dari perspektif PFM, kesehatan dianggap sebagai salah
satu sektor pengeluaran untuk barang dan jasa publik, namun memiliki
kekurangan dalam pemahaman peran PFM serta efektivitas dan akuntabilitas
keuangan (Rajan D, Barroy H, Stenberg K, 2016).

PFM mengatur bagaimana anggaran diformulasikan, pencairan dana,


pemanfaatan dana, serta pencatatan untuk pertanggungjawaban yang dapat
digunakan dalam proses monitoring evaluasi. Penerapan sistem PFM yang
baik dapat menyeimbangkan fiscal discipline dengan kebutuhan yang dapat
disesuaikan dengan tujuan kebijakan termasuk pada sektor kesehatan, serta
dapat meningkatkan kesesuaian antara pengeluaran dengan prioritas
pemerintah (Cashin et al, 2017).

Adapun dalam pembahasan efisiensi dalam studi ini mencakup review


terhadap beberapa input yang mengindikasikan adanya potensi inefisiensi,
yaitu dengan melihat isu budget execution, potensi pendanaan ganda,
fleksibilitas anggaran, serta review performance.

6.1. Budget Execution

Dalam hal budget execution, merupakan suatu proses eksekusi pemanfaatan


anggaran secara efektif dan efisien, serta sesuai dengan program prioritas
(Cashin et al, 2017). Implementasi anggaran dan kapasitas pelaksanaan
anggaran di beberapa negara masih lemah dengan sistem anggaran yang

62
kurang tepat, sehingga pada pelaksanaan anggaran sangat jauh dari
anggaran yang telah direncanakan (Rajan D, Barroy H, Stenberg K, 2016).
Sebagian besar kelompok low-income countries, seringkali mengalami
permasalahan terkait belanja kesehatan yang secara aktual jauh lebih rendah
dari yang sudah dialokasikan sebelumnya (Rajan D, Barroy H, Stenberg K,
2016). Hal tersebut mencerminkan kesulitan yang dialami institusi dalam
melakukan perencanaan yang berpotensi pada terjadinya inefektivitas dan
inefisiensi anggaran.

Gambar 14. Tren Belanja Kemenkes, 2016 – 2018 (di luar iuran PBI dan Poltekkes)

40,0 36,8 100,0%


87,6% 87,7%
Rp Triliun

33,3
80,6%
30,9
29,2 80,0%
30,0 27,0
29,7
60,0%
20,0
40,0%

10,0
20,0%

0,0 0,0%
2016 2017 2018

Alokasi Realisasi Penyerapan

Sumber: Kementerian Kesehatan, 2019

Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 214/PMK.02/2017 tentang


pengukuran dan evaluasi kinerja anggaran atas pelaksanaan rencana kerja
dan anggaran kementerian/lembaga disebutkan bahwa penyerapan menjadi
salah satu komponen dalam evaluasi kinerja anggaran K/L. Adapun
komponen lainnya yang diukur dalam evaluasi kinerja anggaran adalah
capaian keluaran, efisiensi, dan konsistensi penyerapan anggaran terhadap
perencanaan. Pada Gambar 14, terlihat kenaikan penyerapan anggaran
pada tahun 2017 dibanding tahun 2016. Akan tetapi, secara nominal (alokasi
dan realisasi) mengalami penurunan dibanding tahun 2016. Berdasarkan

63
hasil wawancara mendalam dengan Biro Perencanaan dan Anggaran
Kemenkes dijelaskan bahwa penyerapan tahun lalu menjadi salah satu
perhitungan baseline pada perencanaan pagu indikatif.

Salah satu penyebab rendahnya penyerapan pada tahun 2016 adalah


adanya penghematan belanja K/L yang disampaikan melalui Instruksi
Presiden Nomor 8 Tahun 2016 tentang langkah-langkah penghematan
belanja K/L dalam rangka pelaksanaan APBNP T.A 2016. Penghematan
anggaran di Kemenkes sebesar 9 persen atau Rp 5,6T dari total APBNP
2016.

Berdasarkan data realisasi Kemenkes per November 2019, proporsi belanja


Kemenkes yang terserap adalah sebesar 82,6 persen (Gambar 15). Ditjen
Farmalkes memiliki penyerapan belanja yang sangat rendah, yaitu hanya
25,6 persen dana terserap pada belanja per November 2019.

Gambar 15. Proporsi Belanja Kemenkes per November 2019

Proporsi
belanja
yang TIDAK
terserap
17,4%

Proporsi
belanja
yang
terserap
82,6 %

Sumber: DJA Kemenkeu, Realisasi per November 2019

64
Gambar 16. Proporsi Belanja Pada Eselon Utama Kemenkes per November 2019*

100,0 0,4
14,2 8,7
19,7
80,0 24,9 27,0 26,0

60,0 44,9

40,0
74,4
20,0
85,8 99,6 91,3 55,1 75,1 25,6 73,0 73,6 80,3
-
Dukman JKN Itjen Kesmas Yankes Farmalkes P2P Balitbangkes PPSDMK

Proporsi belanja yang terserap Proporsi belanja yang TIDAK terserap

Sumber: DJA Kemenkeu, Realisasi per November 2019

*Keterangan= dihitung dari pagu awal Kemkeu (sebelum terdapat pemotongan anggaran)

Keterbatasan kapasitas dalam melakukan perencanaan anggaran dapat


mengakibatkan adanya inefisiensi dalam pemanfaatan belanja dan juga
penyerapan anggaran. Pada Gambar 17 terlihat bahwa tren penyerapan
pada Ditjen Farmalkes cenderung fluktuatif.

Gambar 17. Alokasi, Realisasi dan Penyerapan pada Output Penyediaan Obat dan
Vaksin di Ditjen Farmalkes, 2013-2018

95,5% 98,2% 99,7%


Rp triliun

6,0 100%
82,9% 84,2% 82,1%
5,0 80%
4,0
60%
3,0
4,8 40%
2,0 3,9
2,9 3,1 3,1
1,0 2,5 20%
1,4 1,4 1,5 1,3 1,6 1,6
0,0 0%
2013 2014 2015 2016 2017 2018
Alokasi Realisasi Penyerapan

Sumber: Kementerian Kesehatan, 2019

Perencanaan pengalokasian obat program belum mencerminkan kebutuhan


di lapangan. Perencanaan kebutuhan obat sebenarnya sudah menyesuaikan

65
dengan usulan dari program. Akan tetapi, pada saat proses pengadaan,
seringkali terdapat perubahan usulan dari program jauh lebih rendah
dibanding usulan awal. Hal ini berpotensi inefisiensi pada anggaran obat
program yang mengakibatkan penyerapan pada Ditjen Farmalkes mengalami
penurunan. Dengan demikian, diperlukan peningkatan kapasitas SDM dalam
proses perhitungan kebutuhan obat program sesuai dengan kondisi di daerah
(berbasis data sasaran).

Penyerapan rendah pada tahun 2016 terjadi di seluruh jenis kewenangan


dengan penyerapan terendah adalah pada jenis kewenangan Dekonsentrasi
(Gambar 18). Dalam evaluasi pelaksanaan program/kegiatan bersumber
APBN dan DAK Bidang Kesehatan Tahun 2018, Biro Perencanaan dan
Anggaran Kemenkes menjelaskan bahwa permasalahan pada pelaksanaan
dekonsentrasi adalah kecenderungan provinsi yang mengutamakan kegiatan
bersumber APBD. Salah satu penilaian kinerja instansi provinsi adalah
penyerapan APBD, sehingga prioritas pelaksanaan program/kegiatan di
dinas kesehatan provinsi adalah yang bersumber APBD. Selain itu, daerah
juga mengalami hambatan pelaksanaan kegiatan dana dekon karena
terdapat perubahan menu dekon.

Gambar 18. Tren Belanja Kemenkes menurut Jenis Kewenangan, 2016 – 2018
(di luar iuran PBI dan Poltekkes)

25,0 88,1% 88,2% 86,0% 89,5% 90,0% 84,6% 84,7% 100,0%


Rp Triiliun

19,4 76,7%
20,0 18,2 18,3 80,0%
16,7 16,3 16,5
58,7% 15,3
13,9
15,0 11,7 11,6 11,8 60,0%
9,8
10,0 40,0%
5,0 2,1 1,1 1,0
20,0%
1,2 1,10,9
0,0 0,0%
2016 2017 2018 2016 2017 2018 2016 2017 2018
DK KD KP

Alokasi Realisasi Penyerapan

Sumber: Kementerian Kesehatan, 2019

66
Berdasarkan jenis belanja pada tiap jenis kewenangan, belanja barang
cenderung fluktuatif di Kantor Pusat (KP) (Gambar 19). Pada tahun 2016,
belanja barang memiliki penyerapan yang rendah di seluruh jenis
kewenangan, terutama pada Dekonsentrasi (DK). Dalam Instruksi Presiden
Nomor 8 tahun 2016 disebutkan bahwa penghematan dilakukan utamanya
terhadap belanja honorarium, perjalanan dinas, paket meeting, langganan
daya dan jasa, honorarium tim/kegiatan, biaya rapat, iklan, operasional
perkantoran lainnya, pemeliharaan gedung, peralatan kantor serta
pembangunan gedung kantor, pengadaan kendaraan, sisa dana lelang
dan/atau swakelola, anggaran dari kegiatan yang belum dikontrakkan atau
yang tidak akan dilaksanakan hingga akhir tahun, serta kegiatan yang tidak
mendesak atau dapat dilanjutkan (carry over) ke tahun anggaran berikutnya.

Gambar 19. Tren Belanja Kemenkes menurut Jenis Kewenangan dan Jenis Belanja,
2016 – 2018 (di luar iuran PBI dan Poltekkes)

14 91% 91% 120%


87%
Rp Triliun

12 88% 88% 91% 92% 95% 95%


89% 93%
100%
79% 82% 78% 87% 78%
10 69% 69%
71% 80%
59%
8
60%
6
52% 40%
4
2 20%

- 0%
2016
2017
2018

2016
2017
2018

2016
2017
2018

2016
2017
2018

2016
2017
2018

2016
2017
2018

2016
2017
2018

BELANJA BARANG BELANJA BARANG BELANJA MODAL BELANJA BELANJA BARANG BELANJA MODAL BELANJA
PEGAWAI PEGAWAI
DK KD KP

Alokasi Realisasi Penyerapan

Sumber: Kementerian Kesehatan, 2019

Upaya peningkatan investasi dalam promotif preventif bersumber dana


dekonsentrasi belum dimanfaatkan secara optimal. Hal tersebut terlihat
dalam Gambar 20 bahwa tren penyerapan Ditjen Kesmas dan P2P Setjen
untuk jenis kewenangan Dekonsentrasi cenderung fluktuatif. Padahal Ditjen
Kesmas dan P2P memiliki tugas utama terkait promotif preventif (Permenkes

67
Nomor 64 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian
Kesehatan). Sebagian besar pendanaan di Ditjen Kesmas dan P2P fokus
pada upaya promotif preventif yang meliputi deteksi dini, surveilans, KIE,
imunisasi, pemantauan kondisi kesehatan. Akan tetapi, dukungan dari pusat
kepada provinsi belum terserap secara optimal. Pendanaan yang
terfragmentasi masih menjadi tantangan bagi daerah dalam melaksanakan
program.

Gambar 20. Tren Belanja Dana Dekonsentrasi pada Eselon Utama Kemenkes,
2016 – 2018 (di luar iuran PBI dan Poltekkes)

1200,000 89,6% 91,4% 91,3% 100%


87,0% 92,0% 89,1% 87,1% 89,0%
Rp Milyar

82,2% 89,4% 81,5% 90,2%90%


87,0% 87,7%
1000,000
80%

59,2% 70%
800,000
55,2%
55,8% 60%
47,6%
600,000 50%
40%
400,000
30%
20%
200,000
10%
- 00%
2016
2017
2018

2016
2017
2018

2016
2017
2018

2016
2017
2018

2016
2017
2018

2016
2017
2018
BPPSDM Ditjen Farmalkes Ditjen Kesmas Ditjen Yankes Ditjen P2P Setjen

Alokasi Realisasi Penyerapan

Sumber: Kementerian Kesehatan, 2019

Selain itu, tantangan dan kendala lainnya yang dialami oleh provinsi dalam
pemanfaatan dana dekonsentrasi adalah menu dekon yang seragam untuk
seluruh provinsi. Tren anggaran dana dekon untuk kegiatan promosi
kesehatan dan pemberdayaan masyarakat cenderung fluktuatif (Gambar
21). Pada tahun 2018, penyerapan anggaran kegiatan tersebut rendah. Akan
tetapi, secara nominal alokasi mengalami peningkatan dari tahun 2016
sampai 2018. Kemudian pada tahun 2019, alokasi kegiatan untuk promosi
kesehatan dan pemberdayaan masyarakat mengalami penurunan kembali
sebesar 53 persen dibanding tahun sebelumnya.

68
Gambar 21. Tren Anggaran Dekonsentrasi menurut Nama Kegiatan di Ditjen Kesmas,
2016 – 2019

400,0 91,0% 89,0% 100%


91,9% 91,8% 90,6% 90,7% 92,3% 91,6%
Rp Milyar

89,4% 90,4% 86,9% 81,3% 90%


350,0
69,0% 80%
300,0
58,3% 59,8% 70%
250,0 62,0% 60%
54,7%
200,0 38,4% 50%

150,0 40%
30%
100,0
20%
50,0 10%
- 00%
2016
2017
2018
2019

2016
2017
2018
2019

2016
2017
2018
2019

2016
2017
2018
2019

2016
2017
2018
2019

2016
2017
2018
2019
Dukman Program Pembinaan Gizi Pembinaan Pembinaan Upaya Penyehatan Promkes dan
Pembinaan Kesmas Masyarakat Kesehatan Keluarga Kesehatan Kerja dan Lingkungan Pemberdayaan
Olahraga Masyarakat

Alokasi Realisasi Penyerapan

*Keterangan: Tahun 2019 hanya alokasi


Sumber: Kementerian Kesehatan, 2019

Sementara nominal alokasi anggaran pada kegiatan lainnya (selain kegiatan


promkes dan pemberdayaan masyarakat) mengalami penurunan setiap
tahunnya. Mengingat daerah yang cenderung mengutamakan pemanfaatan
dana APBD, apakah sebenarnya dana dekon masih diperlukan oleh daerah?
Diperlukan pemetaan kapasitas fiskal daerah untuk mengetahui daerah mana
yang masih membutuhkan dana dekon dan daerah yang sudah bisa mandiri
tanpa adanya dana dekon. Pendanaan yang terfragmentasi membutuhkan
keterampilan “konvergensi” multi sumber dan menjadi tantangan bagi daerah
dalam pelaksanaan program.

Untuk mencapai target kinerja nasional, diperlukan perhitungan anggaran


sesuai dengan kebutuhan dan kapasitas fiskal daerah karena daerah
merupakan pelaksana teknis untuk keseluruhan program. Kinerja K/L tidak
hanya sebatas dari penyerapan anggaran, namun perlu diperkuat
kompetensi untuk mengkaitkan antara pelaksanaan kegiatan dengan
capaian output program prioritas. Hal tersebut penting untuk diperhatikan
agar menghindari terjadinya inefisiensi anggaran.

69
6.2. Potensi Pendanaan Ganda
Peningkatan kualitas belanja untuk mendukung perbaikan output dan
outcome di bidang kesehatan perlu diupayakan seiring dengan meningkatnya
anggaran kesehatan pada sektor publik. Pada era desentralisasi ini, potensi
pendanaan ganda antara anggaran kesehatan pemerintah pusat dan
pemerintah daerah menjadi salah satu tantangan yang dihadapi dalam
rangka mewujudkan belanja kesehatan yang berkualitas, efektif, dan efisien.
Sebagai contoh, berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 4 Tahun
2019 tentang Standar Pelayanan Minimum, ditemukan terdapat beberapa
mekanisme pendanaan program pelayanan ibu hamil dan bersalin, dimulai
dari tahap pendaftaran peserta hingga rujukan untuk persalinan. Pada setiap
tahapan kegiatan, terdapat potensi duplikasi pendanaan, seperti pendanaan
untuk alat kesehatan pada pemeriksaan ANC dan pelayanan persalinan di
FKTP yang dapat didanai dengan rupiah murni (RM) APBN (KP) maupun
APBD.

70
Gambar 22. Potensi Duplikasi Pendanaan pada Program Pelayanan Ibu Hamil
dan Bersalin

Sumber: Permenkes No. 4 tahun 2019, Permenkes No. 52 tahun 2016, Juknis DAK Fisik dan DAK non
Fisik, Studi PER

Selain program pelayanan ibu hamil dan pelayanan ibu bersalin, potensi
pendanaan ganda juga dapat terjadi pada program imunisasi, misalnya

71
dalam hal penyediaan Auto Disable Syringe (ADS), safety box, dan peralatan
cold chain yang dapat didanai melalui APBN maupun APBD sesuai dengan
penjelasan dalam Peraturan Menteri Kesehatan nomor 12 tahun 2017
tentang Penyelenggaraan Imunisasi. Terkecuali kegiatan penyediaan tempat
penyimpanan vaksin dengan kendali suhu tertentu, yang secara sepenuhnya
merupakan tanggung jawab daerah (APBD) (Gambar 23). Dengan sistem
desentralisasi, tentunya daerah-daerah terpencil, perbatasan, dan kepulauan
(DTPK) atau daerah lain yang belum memiliki infrastruktur instalasi listrik
yang mendukung akan mengalami keterbatasan dalam memenuhi kebutuhan
tempat penyimpanan vaksin sesuai dengan standar tersebut.

Gambar 23. Penyelenggaraan Program Imunisasi

Sumber: Permenkes No. 12 Tahun 2017

Selain kedua program tersebut, potensi pendanaan ganda juga dapat terjadi
pada program gizi, misalnya dalam hal penyediaan Pemberian Makanan
Tambahan (PMT). Direktorat Gizi Masyarakat di bawah Direktorat Jenderal
Kesmas Kemenkes mempunyai alokasi anggaran bersumber rupiah murni
(RM) dalam APBN Kemenkes (dengan jenis kewenangan KP) untuk
penyediaan PMT yang akan disalurkan ke daerah. Di samping bersumber RM
APBN (KP), daerah juga mempunyai keleluasaan untuk penyediaan PMT

72
bersumber dari APBD, baik APBD bersumber DAK fisik (DAK fisik penugasan
untuk percepatan penurunan stunting sesuai dengan Permenkes No. 2 tahun
2019 tentang Petunjuk Operasional Penggunaan Dana Alokasi Khusus Fisik
bidang Kesehatan tahun 2019), DAK non-fisik (DAK non-fisik untuk BOK di
puskesmas sesuai dengan Permenkes No. 3 tahun 2019 tentang Petunjuk
Operasional Penggunaan Dana Alokasi Khusus Non-fisik bidang Kesehatan
tahun 2019), maupun bersumber dari APBD murni (berdasarkan hasil studi
PER tahun 2016).

Berdasarkan contoh-contoh tersebut, diketahui bahwa satu kegiatan dapat


didanai dari berbagai sumber. Kendati demikian, narasumber dari Kemenkes
menyebutkan bahwa menu kegiatan kesehatan yang dirancang dalam
anggaran bersumber DAK fisik, DAK non-fisik, RM APBN ataupun sumber
lainnya dipastikan tidak akan tumpang tindih satu sama lain. Hal ini
dikarenakan Kemenkes sudah melakukan pemetaan lokus (wilayah) dan
sasaran untuk masing-masing sumber pendanaan, meskipun belum terdapat
evaluasi komprehensif untuk membuktikan pernyataan tersebut. Menyikapi
kondisi tersebut, untuk menghindari pendanaan ganda dan inefisiensi
anggaran di era desentralisasi, maka diperlukan satu koordinasi, integrasi
dan konvergensi antara pemerintah pusat dan daerah untuk memastikan
belanja kesehatan tersebut berkualitas dan tepat sasaran. Selain itu, perlu
dibangun sistem informasi terintegrasi yang dapat digunakan oleh
pemerintah pusat dalam memonitor pemanfaatan anggaran kesehatan di era
desentralisasi.

6.3. Fleksibilitas Anggaran

Komitmen pemerintah dalam memenuhi anggaran kesehatan sesuai dengan


amanat Undang-undang Kesehatan Nomor 36 tahun 2009 terus diupayakan
seiring dengan meningkatnya anggaran kesehatan pada sektor publik. Pada
tahun 2019, anggaran kesehatan dalam postur APBN (diluar PBI) mencapai
Rp 98,7 T, yang terdiri atas anggaran pemerintah pusat (Rp 63,5 T) dan

73
Tranfer ke Daerah dan Dana Desa (35,2 T). Komponen anggaran kesehatan
pada pemerintah pusat terdiri dari anggaran Kemenkes (46,7 persen), BPOM
(3,1 persen), BKKBN (2,6 persen), Kemhan (9,2 persen), POLRI (5,2 persen),
K/L lain (1,6 persen), dan BA-BUN (31,7 persen). Sementara untuk
kompenan anggaran pada TKDD terdiri dari DAK Fisik (56,4 persen), DAK
Non-Fisik (34,7 persen), Otsus Papua (3,4 persen), dan Dana Insentif Daerah
(5,5 persen).

Data menunjukkan bahwa alokasi anggaran kesehatan untuk dana transfer,


premi PBI JKN, dan BA-BUN cenderung meningkat, sementara alokasi
belanja Kementerian Kesehatan mengalami penurunan. Artinya, pola alokasi
belanja kesehatan pada sektor publik mengalami pergeseran yang dapat
terjadi seiring dengan penyelenggaraan program JKN (pembayaran premi
PBI dan defisit JKN) sejak tahun 2014, serta perubahan mekanisme
penyaluran dana Bantuan Operasional Kesehatan (BOK), dari mekanisme
Tugas Pembantuan (berada pada anggaran Kementerian Kesehatan)
menjadi mekanisme DAK nonfisik yang disalurkan melalui dana transfer sejak
tahun 2016.

74
Gambar 24. Tren Alokasi Kementerian Kesehatan Secara Nominal, 2010-2020
100

90

80

70
66
62
59 58,7 57,4
60 54 11,7
50 13,5
0,8 12,7 12,5
50 10,8 13,4
39 8,7 1,2 0,9 0,3
0,7 0,2
40 33 0,8 28,3
31 19,9 22 19,2
7,3 17,0
30 25 6,5 0,9 20,9 22,9
5,4 1,2
4,5 1,7
20 1,8 22,1
17,4 18,5
14,2 24,8 25,4 25,5 26,7 26,7
10 19,9 19,9
4,8 6,5 7,2 8,3
0
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020
Jamkes RM & RMP PHLN BLU & PNBP Total

Sumber: Kementerian Kesehatan, 2019

Gambar 25. Tren Alokasi Kementerian Kesehatan Secara Proporsi (diluar Jamkes),
2010-2020
100%
22,0% 22,0% 24,8% 24,1%
28,6% 31,4% 28,7%
80% 37,6% 37,1% 39,1%
43,7%
8,8% 6,9% 4,6% 3,0%
2,6% 2,0%
2,0%
60% 3,6% 2,5% 0,9%
0,8%

40%
69,3% 71,0% 70,6% 72,9% 68,8% 66,6% 69,4%
58,9% 60,4% 60,0% 55,5%
20%

0%
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020

RM & RMP PHLN BLU & PNBP

Sumber: Kementerian Kesehatan, 2019

75
Komposisi sumber dana pada anggaran Kementerian Kesehatan terdiri dari
dana Jaminan Kesehatan (Jamkes), Rupiah Murni (RM) dan Rupiah Murni
Pendamping (RMP), Penerimaan Hibah Luar Negeri (PHLN), Badan Layanan
Umum (BLU) dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Tren anggaran
Kementerian Kesehatan secara nominal cenderung mengalami penurunan
sejak tahun 2017 (Gambar 25). Jika diidentifikasi berdasarkan komposisi
sumber dana, premi PBI JKN yang diperhitungkan pada anggaran
Kementerian Kesehatan dengan jumlah nominal yang cukup besar
cenderung mengalami peningkatan. Peningkatan juga terjadi pada alokasi
anggaran bersumber BLU dan PNBP. Sementara nilai nominal untuk sumber
dana lainnya seperti RM dan RMP maupun PHLN cenderung menurun.
Analisis secara proporsi (tanpa memperhitungkan dana Jamkes) menunjukan
bahwa komposisi sumber dana pada anggaran Kementerian Kesehatan
didominasi oleh RM dan RMP. Akan tetapi, tren menunjukkan bahwa proporsi
sumber dana tersebut terus menurun sejak tahun 2016 seiring dengan
meningkatnya dana bersumber BLU dan PNBP (Gambar 25).

Kementerian Kesehatan sebagai leading sektor pada urusan bidang


kesehatan perlu aktif melakukan berbagai upaya untuk menjamin tersedianya
pembiayaan yang memadai dalam melaksanakan tugas, pokok, dan fungsi
utama kesehatan. Proses penyusunan anggaran Kemenkes juga
membutuhkan berbagai inovasi sehingga dapat mengakomodir dinamika
tantangan kesehatan dan selaras dengan program prioritas nasional. Seiring
dengan meningkatnya anggaran kesehatan di luar Kementerian Kesehatan,
peningkatan koordinasi dengan lintas sektor sangat penting dilakukan dalam
rangka mencapai target indikator kinerja program.

Upaya monitoring terhadap pemanfaatan dana transfer bidang kesehatan


juga perlu diperkuat untuk dapat menilai apakah belanja kesehatan yang
semakin tinggi telah berkualitas dan berdampak baik pada perbaikan
indikator kesehatan masyarakat. Penurunan sumber dana RM dan RMP juga
menjadi tantangan untuk meningkatkan investasi pada upaya promotif

76
preventif mengingat dana BLU dan PNBP maupun dana Jamkes yang
semakin tinggi cenderung diarahkan untuk upaya kuratif. Tingginya dana BLU
dan PNBP Kementerian Kesehatan juga kurang dapat dimanfaatkan untuk
meningkatkan investasi pada belanja promotif preventif karena merupakan
dana milik satker (Rumah Sakit) sehingga kurang fleksibel dan tidak dapat
diberlakukan mekanisme shifting.

Gambaran National Health Accounts (NHA) tahun 2010-2017 menunjukkan


bahwa sebagian besar barang dan jasa kesehatan pada sektor publik
(belanja kesehatan Kementerian Kesehatan, Kementerian atau Lembaga
lainnya, Pemerintah Daerah, dan Jaminan Kesehatan Nasional) dibelanjakan
untuk layanan kuratif, baik layanan rawat jalan dan rawat inap (Gambar 26).
Setiap tahun fungsi kuratif terus meningkat secara nominal, yaitu dari Rp 32,4
triliun (2010) menjadi Rp 164,0 triliun (2017) dan meningkat secara proporsi,
dari 52,8 persen (2010) menjadi 71,5 persen (2017). Dalam rangka
meningkatkan efisiensi dan efektifitas anggaran, Undang-Undang Kesehatan
mengamanatkan bahwa alokasi anggaran kesehatan perlu diutamakan untuk
fungsi layanan promotif preventif (penjelasan pasal 171 ayat 3 UU Nomor 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan). Akan tetapi, belanja fungsi layanan promotif
preventif selama tahun 2010-2017 cenderung menurun secara proporsi,
meskipun secara nominal nilainya meningkat dari Rp 10,8 triliun (2010)
menjadi Rp 23,5 triliun (2017).

77
Gambar 26. Gambar 27.
Anggaran Kesehatan menurut Belanja Kesehatan Sektor Publik
Fungsi Layanan, 2019 menurut Fungsi Layanan, 2020-2017

Tata Kelola
Administrasi &
Sistem Kesehatan
4,6%

Rehabilitatif
0,1%

Promotif
Preventif
18,6%

Kuratif
76,6%

Sumber: Kementerian Kesehatan, 2019

Tingginya belanja untuk fungsi layanan kuratif juga dihadapi oleh berbagai
negara. Secara rata-rata, hampir dua per tiga dari total belanja kesehatan
(diluar belanja investasi) pada sebagian besar negara OECD (Organisation
for Economic Co-operation and Development) digunakan untuk fungsi
layanan rawat inap dan rawat jalan (OECD, 2015). Kondisi demikian dapat
terjadi karena penyelenggaraan layanan tersebut cenderung membutuhkan
sumber daya dengan biaya yang tinggi.

Pemerintah perlu meningkatkan investasi pada layanan promotif preventif


untuk menekan beban biaya kesehatan yang semakin tinggi. Pada anggaran
kesehatan tahun 2019 dapat terlihat bahwa proporsi anggaran untuk fungsi
layanan promotif preventif semakin meningkat hingga mencapai 18,6 persen
(termasuk fungsi investasi) dari total anggaran kesehatan (Gambar 28). Akan
tetapi, peningkatan anggaran promotif preventif tersebut juga diikuti dengan
semakin besarnya proporsi anggaran kesehatan untuk layanan kuratif yang

78
mencapai 76,6 persen (termasuk fungsi investasi). Gambaran anggaran
kesehatan menurut fungsi layanan ini dapat menjadi bahan pertimbangan
apakah alokasi anggaran kesehatan saat ini sudah tepat atau masih
membutuhkan perbaikan.

Gambar 26. Belanja Kesehatan menurut Skema Pembiayaan


dan Fungsi Layanan, 2015-2017

100%
90%
80%
70% 16,0% 14,4%
60% 30,6% 19,1%
26,3%
50% 34,1% 94,1% 93,7% 95,2%
40% 28,8% 28,1%
29,3%
53,9% 60,9% 60,9%
30%
20% 40,8% 39,8%
10% 24,0% 28,1% 30,9% 23,1%
0%
2015 2016 2017 2015 2016 2017 2015 2016 2017 2015 2016 2017
Skema Kementerian Kesehatan Skema K/L Skema Pemerintah Daerah Skema JKN

Kuratif Rehabilitatif
Promotif Preventif Tatakelola Administrasi & Sistem Kesehatan
HK. Investasi

Sumber: Kementerian Kesehatan

Seluruh skema pembiayaan pada sektor publik memberikan kontribusi pada


fungsi layanan kuratif (Gambar 28). Setiap tahun pembiayaan untuk fungsi
kuratif cenderung mendominasi, khususnya pada skema JKN dan skema
Pemerintah Daerah. Pada skema JKN, belanja fungsi layanan kuratif berupa
pembayaran klaim rawat inap dan rawat jalan. Pada skema Kementerian
Kesehatan, skema K/L, dan skema Pemerintah Daerah, belanja fungsi kuratif
sebagian besar dalam bentuk belanja Rumah Sakit, antara lain Rumah Sakit
vertikal Kementerian Kesehatan, Rumah Sakit di Kementerian Pertahanan,
Rumah Sakit di Polri, dan Rumah Sakit di Kementerian Pendidikan, serta
Rumah Sakit milik Pemerintah Daerah. Ke depan, dibutuhkan political will
untuk mewujudkan inovasi belanja kesehatan pada skema JKN dan

79
Pemerintah Daerah agar dapat berinvestasi lebih besar pada upaya promotif
preventif.

6.4. Review Performance dan Baseline

Dalam rangka mengoptimalkan sumber pembiayaan untuk mendukung


capaian program kesehatan nasional, proses pengalokasian anggaran
kesehatan perlu didorong untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Kualitas
pembiayaan kesehatan juga perlu diperhatikan dengan menilai apakah
anggaran kesehatan sudah dialokasikan dengan tepat dan mencerminkan
allocative efficiency yang ideal. Inefisiensi anggaran terjadi karena perkiraan
basis anggaran yang tidak tepat. Selanjutnya, proses penganggaran yang
masih terjadi saat ini adalah penganggaran yang berbasis historis. Dalam
penilaian kinerja, diperlukan evaluasi pada Key Performance Indicators (KPI).
KPI tersebut harus dapat didefinisikan secara jelas. Dengan adanya KPI yang
jelas, dapat dilakukan performance based budgeting dengan menyesuaikan
input yang ada dan target kinerja yang akan dicapai.

Gambar 27. Contoh Nomenklatur dan Satuan Output Saat Ini Berikut
Rekomendasi Perbaikan yang Diusulkan

Nomenklatur Existing (RKP) Satuan Rekomendasi Satuan

Layanan Imunisasi Layanan Pelaksanaan IDL %Bayi

Layanan Kewaspadaan Dini dan Respon KLB Layanan Respon Peringatan Dini KLB %Kab/Kota

Layanan Pencegahan dan Pengendalian HIV/AIDS Layanan Pengobatan ODHA baru yang ditemukan %ODHA

Paket Penyediaan Vaksin Imunisasi Rutin Paket Penyediaan Vaksin IDL %Kab/Kota

Paket Penyediaan Obat dan Perbekalan KIA Paket Penyediaan Obat dan Perbekalan KIA Kab/Kota

Paket Penyediaan Obat dan Perbekalan HIV/AIDS Paket Penyediaan Obat dan Perbekalan HIV/AIDS %Kab/Kota

Sumber: Kementerian Kesehatan, Direktorat KGM Bappenas

Akan tetapi, nomenklatur dan satuan output yang tercantum pada dokumen
anggaran maupun dokumen realisasi yang tersedia belum menggambarkan
kinerja. Dengan kondisi demikian, review performance untuk mengukur

80
“value for money” dari anggaran kesehatan yang sudah diinvestasikan
pemerintah dengan capaian indikator program tentunya sulit dilakukan.

Sebagai contoh, nomenklatur untuk anggaran kesehatan di Ditjen P2P


Kemenkes dengan output layanan imunisasi belum dapat menggambarkan
belanja program imunisasi seutuhnya karena masih terdapat komponen
anggaran vaksin yang terletak pada output paket penyediaan vaksin
imunisasi rutin di Ditjen Farmalkes Kemenkes. Kondisi yang sama juga terjadi
pada belanja program HIV/AIDS, TB, dan program prioritas lainnya.

Pada studi ini juga teridentifikasi beberapa contoh fragmentasi penganggaran


kesehatan yang dapat mempersulit pelaksanaan review performance, antara
lain karena adanya:

1. Fragmentasi input
Pengalokasian DAK Fisik Afirmasi hanya diperuntukkan untuk
pembangunan sarana dan prasarana, contohnya pembangunan
Puskesmas. Dalam rangka menyediakan pelayanan kesehatan yang
optimal, pembangunan Puskesmas tersebut juga perlu didukung dengan
adanya pendanaan untuk penempatan tenaga kesehatan. Hal ini
bertujuan agar peningkatan jumlah Puskesmas juga diimbangi dengan
jumlah tenaga kesehatan yang mencukupi, khususnya di Daerah
Tertinggal, Perbatasan, dan Kepulauan (DTPK). Menyikapi kondisi
tersebut, dibutuhkan pengalokasikan anggaran yang komprehensif,
mencakup penyediaan sarana dan prasarana, tenaga kesehatan, dan
operasional pemeliharaan dengan mengintegrasikan berbagai sumber
dana (DAK fisik, DAK non-fisik, APBN, dan APBD).

2. Fragmentasi jenjang atau kewenangan


Terdapat pengalokasian anggaran kesehatan di luar tupoksi utama (core
business) kesehatan sehingga mencerminkan adanya fragmentasi
kewenangan secara horizontal. Secara vertikal, fragmentasi dalam
pengalokasian terjadi karena adanya pembagian kewenangan/urusan

81
antara peran pusat dan daerah yang mempersulit penyusunan anggaran
secara komprehensif, padahal ukuran capaian indikator nasional menjadi
tanggung jawab K/L terkait. Tingkat pusat mempunyai kewenangan
terbatas pada penyusunan NSPK, binwas, dan pengadaan obat/vaksin
tertentu. Sebagai pelaksana teknis, pemerintah daerah diharapkan dapat
mengusulkan perencanaan kegiatan program yang komprehensif. Akan
tetapi, ada keterbatasan kapasitas SDM dan transparansi berbagai
potensi sumber pendanaan yang ada.

3. Fragmentasi peran pemangku kebijakan daerah


Pengalokasian DAK non-fisik (BOK) melalui mekanisme APBD. Terjadi
perbedaan waktu dan prioritas saat penyusunan anggaran APBD.
Informasi alokasi DAK non-fisik di daerah tidak diketahui saat anggaran
APBD disusun. Sebagai akibatnya, inefisiensi terjadi dimana dana DAK
non-fisik tidak digunakan sesuai dengan kebutuhan. Oleh karena itu,
diperlukan penyelarasan waktu penyusunan anggaran dana DAK Non-
fisik (BOK) agar sesuai dengan periode penganggaran di daerah.
Permasalahan lain yang terjadi adalah terkait dengan kewenangan
pencairan DAK non-fisik yang mengikuti mekanisme pencairan di daerah.
Pemangku kebijakan di Pemda (termasuk anggota DPRD) berperan
penting dalam kecepatan pencairan dana DAK non-fisik (BOK).
Diperlukan komitmen dan dukungan penuh dari pemerintah daerah atas
pelaksanaan kegiatan program prioritas dari berbagai sumber.

Kesulitan untuk melakukan review performance pada anggaran program


kesehatan akan terus terjadi apabila tidak ada perubahan kebijakan
penganggaran. Ke depan, diperlukan perbaikan nomenklatur dalam
penganggaran yang dapat secara langsung berhubungan dengan capaian
kinerja yang ditargetkan serta sinkronisasi nomenklatur penganggaran antara
pusat dan daerah.

82
Selain review performance, dalam menilai efisiensi anggaran juga perlu
memperhatikan baseline yang digunakan sebagai basis dalam proses
penganggaran. Seperti yang dijelaskan dalam subbab 4.5 bahwa saat ini
pemerintah masih menggunakan sistem penganggaran berbasis historis
(historical budgeting), belum mengacu pada kebutuhan untuk mencapai
sasaran dan target indikator yang ditetapkan. Ke depan, diperlukan perbaikan
review baseline dalam penganggaran dengan berbasis kebutuhan
berdasarkan indikator yang ditargetkan dan tentunya dengan
mempertimbangkan berbagai potensial sumber pendanaan serta pembagian
kewenangan pemerintahan di era desentralisasi.

83
BAB 7.
KESIMPULAN
DAN REKOMENDASI

84
BAB 7. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Temuan studi ini mengungkap bahwa definisi, lingkup, dan peruntukan


anggaran kesehatan yang cukup lebar yang tersurat dalam peraturan
perundang-undangan yang ada. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya
interpretasi yang berbeda-beda antar K/L di tingkat nasional, dan antar OPD
di tingkat daerah. Saat ini, sebagian besar porsi anggaran kesehatan terserap
untuk pelayanan kuratif. Di sisi lain, terdapat potensi duplikasi penghitungan
antara anggaran kesehatan dan pendidikan terkait alokasi untuk program
internsip bagi dokter dan dokter gigi, pendidikan di Poltekkes, anggaran RS
Pendidikan, anggaran bagi RS di lingkungan K/L, transfer anggaran ke
daerah dan duplikasi dengan anggaran fungsi perlindungan sosial. Untuk itu,
diperlukan regulasi atau petunjuk teknis yang memberikan pedoman detail
untuk alokasi anggaran kesehatan di tingkat pusat dan daerah untuk
mengatasi permasalahan tersebut.

Belum optimalnya koordinasi dalam proses perencanaan dan penganggaran


menimbulkan potensi terjadinya inefisiensi anggaran kesehatan. Hal tersebut
terlihat dengan belum adanya forum yang secara khusus membahas postur
anggaran kesehatan, baik evaluasi maupun perencanaan anggaran, yang
melibatkan kementerian/lembaga terkait. Kondisi ini berpotensi untuk
mempengaruhi kualitas perencanaan dan penganggaran program. Di sisi
lain, adanya beberapa mekanisme pendanaan yang terfragmentasi seperti
ditemukan dalam program pelayanan ibu hamil dan bersalin dapat
menyebabkan pendanaan ganda yang menimbulkan inefisiensi anggaran.
Lebih lanjut, saat ini belum terdapat mekanisme monitoring dan evaluasi
belanja kesehatan yang kuat untuk menilai keefektifan alokasi anggaran
dalam mencapai output program kesehatan yang diinginkan. Mekanisme
penandaan (tagging) masih tersebar di berbagai entitas yang berbeda untuk
satu jenis program yang sama dan menimbulkan kesulitan untuk mengukur
keefektifan anggaran.

85
Secara rinci, berikut kesimpulan dan rekomendasi anggaran kesehatan

1. Diskursus anggaran kesehatan 5% tidak relevan (fokus pada efisiensi


anggaran kesehatan). Selain itu, anggaran kesehatan telah memenuhi 5%
dan peruntukannya sudah memenuhi amanat UU minimal 2/3 untuk
pelayanan publik.

2. Belum ada panduan teknis dalam menghitung anggaran kesehatan. Oleh


karena itu, diperlukan penyusunan regulasi atau petunjuk teknis yang
memberi batasan jelas tentang definisi dan ruang lingkup anggaran
kesehatan.

a. Gaji tetap dimasukkan dalam perhitungan anggaran kesehatan minimal


5% di pusat, namun tidak untuk anggaran kesehatan minimal 10% di
daerah.

b. Internsip dan Politeknik Kementerian Kesehatan dimasukkan dalam


perhitungan anggaran kesehatan
▪ Jika dihitung sebagai anggaran kesehatan maka tenaga kesehatan
yang mengikuti internsip dan lulusan Poltekkes Kemkes dapat
ditempatkan di fasilitas pelayanan kesehatan milik pemerintah.
▪ Jika dihitung sebagai anggaran pendidikan, maka diusulkan Kemkes
secara bertahap menurunkan anggaran internsip dan anggaran
Poltekkes Kemkes, untuk selanjutnya dialihkan ke Kemristekdikti.

c. RS pendidikan tidak dihitung dalam anggaran kesehatan. RS di


lingkungan K/L selain Kemkes. RS yang diusulkan masuk dalam
perhitungan anggaran kesehatan yakni RS yang memberikan
pelayanan kesehatan untuk masyarakat umum, mencakup: 1) RS TNI,
2) RS POLRI, 3) RS Olahraga Nasional, 4) RS BP Batam, dan 5) RS
Pengayoman.

d. Anggaran kependudukan pada BKKBN tidak perlu dihitung pada


anggaran kesehatan.

86
e. Anggaran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) masih double tagging
antara anggaran kesehatan dan anggaran perlindungan sosial.

3. Mekanisme pengalokasian anggaran kesehatan, perlu dirumuskan dalam


forum bersama antara Kementerian PPN/Bappenas dan Kementerian
Keuangan di awal tahun dan menjelang penetapan pagu alokasi.

a. Pembahasan di awal tahun (Januari-Februari) difokuskan pada: 1)


review capaian output terhadap target nasional (review performance),
2) review baseline, dan 3) pembahasan peruntukan anggaran
kesehatan.

b. Jika diperlukan pembahasan postur anggaran kesehatan juga dapat


dilakukan diskusi lanjutan pasca pagu anggaran dan sebelum pagu
alokasi ditetapkan. Pembahasan lanjutan tersebut difokuskan pada: 1)
review pengalokasian anggaran kesehatan, 2) perbaikan kebijakan
peruntukan pengalokasian anggaran kesehatan.

4. Perhitungan alokasi anggaran kesehatan di daerah telah mampu sesuai


dengan amanat UU yakni diluar gaji. Dana transfer pusat ke daerah
dimasukkan dalam perhitungan anggaran kesehatan baik di pusat dan
daerah.

5. Allocative dan Technical Efficiency


▪ Proses review anggaran kesehatan perlu dilakukan secara terus
menerus dan sistematis tidak hanya waktu tertentu saja.
▪ Anggaran kesehatan di luar Kemenkes dan transfer ke daerah terus
meningkat, padahal Kemenkes belum mempunyai mekanisme yang
efektif untuk memonitor agar target kinerja kesehatan tercapai.
▪ Studi ini telah menyediakan analisis beserta usulan opsi terkait isu-isu
di atas secara detail dalam dokumen ini. Kesepakatan dan kolaborasi
antar pihak terkait diperlukan untuk peningkatan proses perencanaan
anggaran di tingkat pusat dan daerah, agar visi pembangunan
kesehatan dapat tercapai bersama-sama.

87
REFERENSI

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan


RI. 2018. Laporan Nasional Riskesdas 2018.
http://labmandat.litbang.depkes.go.id/images/download/laporan/RKD
/2018/Laporan_Nasional_RKD2018_FINAL.pdf (Diunduh pada 5
September 2019)
Badan Pusat Statistik Indonesia. “[Seri 2010] PDB Triwulanan Atas Dasar
Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha (Miliar Rupiah), 2010-2013
dan 2014-2019.”
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. 2015. Anggaran
Kependudukan
Biro Perencanaan dan Anggaran Sekretariat Jenderal Kementerian
Kesehatan. 2018. Evaluasi Pelaksanaan Program/Kegiatan
Bersumber APBN dan Dana Alokasi Khusus (DAK) Bidang Kesehatan
Tahun 2018. Pertemuan Koordinasi Monev Program Bersumber Dana
Dekon dan Transfer Daerah Kemenkes TA 2018, Jakarta: 06
Desember 2018. https://www.kemkes.go.id/resources/download/info-
terkini/Monev-Program-Dekon-2018/Evaluasi-Pelaksanaan-Program-
Bersumber-APBN-dan-DAK-Bid-Kesehatan.pdf (diunduh pada 27
November 2019)
Bobadilla, J.L., Cowley, P., Musgrove, P. et al. 1994. Design, content and
financing of an essential national package of health services. Bulletin
of the World Health Organization 1994; 72: 653–662
Cashin et al. 2017. Aligning public financial management and health
financing: sustaining progress toward universal health coverage.
Geneve: WHO.
Cylus, J., Papanicolas, I., Smith, P.C. 2016. Health Systems Efficiency: How
to make measurement matter for policy and management. Denmark:
WHO Regional Office for Europe
Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan. 2018.
Evaluasi Pelaksanaan Program Kesmas Bersumber APBN (Pusat
dan Dekonsentrasi) sampai dengan November 2018. Pertemuan
Koordinasi Monev Program Bersumber Dana Dekon dan Transfer
Daerah Kemenkes TA 2018, Jakarta: 06 Desember 2018.

88
https://www.kemkes.go.id/resources/download/info-terkini/Monev-
Program-Dekon-2018/Evaluasi-Pelaksanaan-Program-Dekon-
Kesmas-TW-3.pdf (diunduh pada 01 Desember 2019)
Instruksi Presiden No. 4 Tahun 2017 tentang Efisiensi Belanja Barang
Kementerian / Lembaga dalam Pelaksanaan APBN Tahun 2017
Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2106 tentang langkah-langkah
penghematan belanja K/L dalam rangka pelaksanaan APBNP Tahun
Anggaran 2016
Kementerian Kesehatan. 2019. Kolaborasi Pusat dan Dasrah dalam
Penguatan Pelayanan Kesehatan Menuju Cakupan Kesehatan
Semesta. Rapat Kerja Kesehatan Nasional (Rakerkesnas) 2019,
Jakarta 11 Februari 2019.
https://www.kemkes.go.id/resources/download/info-
terkini/rakerkesnas-2019/4-Kesimpulan-dan-Tindak-Lanjut-
Sesjen.pdf (diunduh 01 Desember 2019)
Kementerian Kesehatan. Laporan Akhir National Health Accounts (NHA)
Indonesia Tahun 2017. Jakarta; 2019
Kementerian Sekretariat Negara. 2019. “Prsedien Jokowi Beri Arahan soal
Penyusunan Pagu Indikatif RAPBN 2020”. Dipublikasi pada tanggal
15 Juli 2019. Diakses pada tanggal 01 Desember 2019.
https://setneg.go.id/baca/index/presiden_jokowi_beri_arahan_soal_p
enyusunan_pagu_indikatif_rapbn_2020
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/ Menkes/707/2018 tentang
Perubahan atas Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/
Menkes/659/2017 tentang Formularium Nasional
Keputusan Menteri Kesehatan RI No. HK.02.02/MENKES/52/2015 tentang
Renstra Kemenkes RI 2015-2019
McKie, K., Richardson, J., Singer, P., and Kuhse, H. 1998. The allocation of
health care resources. England: Dartmouth Publishing.
Ministry of Health and Family Welfare, Government of India. 2017. National
Health Accounts Estimates for India (2014-15). New Delhi, Ministry of
Health and Family Welfare, Government of India
Ministry of Health Government of Vietnam. 2016. Vietnam 2013 General
Health Accounts and Disease Expenditures with Sub-analysis of 2013
HIV/AIDS Expenditure. Hanoi, Ministry of Health Government of
Vietnam

89
Murray, SF., Hunter, BM., Bisht, R., Ensor, T., Bick, D. 2014. Effects of
demand-side financing on utilization, experiences, and outcomes of
maternity care in low- and middle-income countries: a systematic
review. BMC Pregnancy and Childbirth 2014, 14:30
NICE UK. 2019. Guidance and advice list. Diakses dari
https://www.nice.org.uk/guidance/published?type=ph pada 11
November 2019
Odendaal, WA., Ward, K., Uneke, J., Uro-Chukwu, H., Chitama, D.,
Balakrishna, Y., Kredo, T. 2018. Contracting out to improve the use of
clinical health services and health outcomes in low- and middle-
income countries. Cochrane Database Syst Rev, 2018 Apr
3;4:CD008133 DOI: 10.1002/14651858.CD008133.pub2
OECD, Eurostat, WH 2011. A System of Health Accounts, OECD Publishing.
doi: 10.1787/9789264116016-en
OECD. Health at a Glance 2015: OECD Indicators, OECD Publishing. Paris;
2015. http://dx.doi.org/10.1787/health_glance-2015-en.
Office of National Statistics. 2016. Introduction to Health Accounts (diakses
dari
https://www.ons.gov.uk/peoplepopulationandcommunity/healthandso
cialcare/healthcaresystem/methodologies/introductiontohealthaccoun
ts#what-categories-do-the-health-accounts-use-to-analyse-
healthcare-expenditure pada 29 Oktober 2019)
Peacock, S., Chan, C., Mangolini, M., and Johansen, D. 2001. Techniques
for measuring efficiency in health services. Productivity Commission
Staff Working Paper.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Keuangan
Daerah
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007 Perubahan Atas
PermendagriNo 13Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan
Keuangan Daerah
Peraturan Menteri Desa No. 11 Tahun 2019 tentang Prioritas Penggunaan
Dana Desa Tahun 2020
Peraturan Menteri Kesehatan No. 38 Tahun 2018 tentang OTK Politeknik
Kesehatan di Lingkungan Badan PPSDM

90
Peraturan Menteri Kesehatan No. 39 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan
Internship Dokter dan Dokter Gigi
Peraturan Menteri Kesehatan No. 56 Tahun 2014 tentang Klasifikasi dan
Perizinan Rumah Sakit
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 12 Tahun 2017 tentang
Penyelenggaraan Imunisasi
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 2 Tahun 2019 tentang Petunjuk
Operasional Penggunaan Dana Alokasi Khusus Fisik Bidang
Kesehatan Tahun Anggaran 2019
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2019 tentang Petunjuk
Operasional Penggunaan Dana Alokasi Khusus Non-fisik Bidang
Kesehatan Tahun Anggaran 2019
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 4 Tahun 2019 tentang Standar Teknis
Pemenuhan Mutu Pelayanan Dasar Pada Standar Pelayanan Minimal
Bidang Kesehatan
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 52 Tahun 2016 tentang Standar Tarif
Pelayanan Kesehatan dalam Penyelenggaraan Program Jaminan
Kesehatan
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 64 Tahun 2015 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Kementerian Kesehatan
Peraturan Menteri Keuangan No. 102 Tahun 2018 tentang Klasifikasi
Anggaran
Peraturan Menteri Keuangan No. 141 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Dana
Insentif Daerah
Peraturan Menteri Keuangan No. 142 Tahun 2018 tentang Petunjuk
Penyusunan dan Penelaahan RKAKL
Peraturan Menteri Keuangan No. 228/PMK/0.5/2016 tentang Mekanisme
Pelaksanaan Anggaran Bantuan Pemerintah Pada Kementerian
Negara / Lembaga
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 127/PMK.02/2015 tentang Klasifikasi
Anggaran
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 214/PMK.02/2017 tentang Pengukuran
dan Evaluasi Kinerja Anggaran atas Pelaksanaan Rencana Kerja dan
Anggaran Kementerian Negara/Lembaga

91
Peraturan Menteri PPN No. 5 Tahun 2018 tentang Tata Cara Penyusunan
Rencana Kerja Pemerintah
Peraturan Menteri Sosial No. 1 Tahun 2018 tentang Program Keluarga
Harapan
Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 2010 tentang Pendidikan Kedinasan
Peraturan Pemerintah No. 17 tahun 2017 tentang Sinkronisasi Proses
Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Nasional Tahunan
Peraturan Pemerintah No. 52 Tahun 2017 tentang Peraturan Pelaksanaan
UU No. 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran
Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2012 tentang Sistem Kesehatan
Nasional
Peraturan Pemerintah No. 93 Tahun 2015 tentang Rumah Sakit Pendidikan
Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2012 tentang Pelayanan Publik
Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah
Putusan MK No. 026/PUU-IV/2006 tentang Anggaran Pendidikan
Rajan D, Barroy H, Stenberg K. Chapter 8. Budgeting for health. In: Schmets
G, Rajan D, Kadandale S, editors. Strategizing national health in the
21st century: a handbook. Geneva: World Health Organization; 2016.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015 – 2019
SKB 4 Menteri No. 140-8698/2017 tentang Penyelarasan dan Penguatan
Kebijakan Percepatan Pelaksanaan UU No. 6 Tahun 2014 tentang
Desa
Strategi Nasional Percepatan Pencegahan Anak Kerdil (Stunting). 2018.
http://tnp2k.go.id/filemanager/files/Rakornis%202018/Stranas%20Pe
rcepatan%20Pencegahan%20Anak%20Kerdil.pdf (diunduh 01
Desember 2019)
The International Network of Agencies for Health Technology Assessment.
2019. NECA- National evidence-based healthcare collaborating
agencies. Diakses dari http://www.inahta.org/members/neca/ pada 11
November 2019
The Pharmaceutical Benefit Scheme Australia. 2019. Schedule of
pharmaceutical benefits – efficient funding of chemotherapy. Diakses

92
dari http://www.pbs.gov.au/publication/schedule/2019/11/2019-11-
01-efc-schedule.pdf pada 11 November 2019
UK Health Accounts 2016 (diakses dari
https://www.ons.gov.uk/peoplepopulationandcommunity/healthandso
cialcare/healthcaresystem/bulletins/ukhealthaccounts/2016 pada 29
Oktober 2019 )
UK Health Accounts 2017 (diakses dari
https://www.ons.gov.uk/peoplepopulationandcommunity/healthandso
cialcare/healthcaresystem/bulletins/ukhealthaccounts/2017 pada 29
Oktober 2019)
UK Health and Social Care Act 2012 (diakses dari
http://www.legislation.gov.uk/ukpga/2012/7/contents/enacted pada
31 Oktober 2019)
UK Health and Social Care Annual Report and Accounts 2018-19 (diakses
dari https://assets.publishing.service.gov.uk/government/uploads/
system/uploads/attachment_data/file/832765/dhsc-annual-report-
and-accounts-2018-to-2019.pdf pada 14 Mei 2020)
Undang-Undang Dasar 1945
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran
Undang-undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan
Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Berencana
Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik
Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
World Bank. 2016. Public Expenditure Review (PER).
World Bank. World Development Indicators.
https://databank.worldbank.org/source/world-development-indicators.
Published 2019. Accessed October 25, 2019.
World Health Organization. 2003. Fifty-sixth world health assembly,
resolutions and decisions. Geneve: World Health Organization
World Health Organization. 2004. The role of contracting in improving health
systems performance. Geneve: World Health Organization
World Health Organization. Regional Office for the Western Pacific. 2015.
The Kingdom of Thailand health system review. Manila : WHO

93
Regional Office for the Western Pacific.
https://apps.who.int/iris/handle/10665/208216
World Health Organization. Global Health Expenditures Database.
http://apps.who.int/nha/database/Select/Indicators/en. Published
2019. Accessed November 22, 2019.

94

Anda mungkin juga menyukai