Anda di halaman 1dari 10

Tugas Mentee

RESUME DISKUSI RESUME BUKU


MAGANG KE – 1 DILAKSANAKAN PADA MINGGU KE -13

1 NAMA MENTEE : HANIFA FERI KURNIA


2 NIP : 199009032017122002
3 PPC ANGKATAN : III
PENGADILAN
4 : PENGADILAN NEGERI CILACAP
MAGANG
5 MINGGU KE : 13 (TIGABELAS)
6 NAMA MENTOR : M. ISMA’IL HAMID, SH., MH

Jadwal kegiatan :
Hari , tanggal : Selasa, 11 Desember 2018
Pukul : 08.00 s.d 15.30 WIB

Pihak yang hadir :


Para Mentor : Koordinator Mentor Bpk. M. Isma’il SH., MH, Bpk. Akhmad
Budiawan, SH., MH dan Bpk. Cokia Ana Pontia O, SH., MH.

Para Mentee : a. Taruna Prisando; b. Wienda Kresnatyo; c. M. Hendra Cordova; d.


Andi R Fauzi; e. Sarmaida; f. Win Widarti; g. Andi Komara; h. Hanifa Feri K; i. Firstina A
Syahrini; j. Eddy Montana; k. Ari Wibowo; l. Syaiful Idris.

Tempat : Ruang Rapat yang terletak di Ruang KPN Cilacap pada lantai 2

Kegiatan presentasi dipandu / dibuka oleh Koordinator Mentor (Bpk. M. Isma’il Hamid, SH.,
MH). Presentasi dimulai sesuai dengan urutan Mentee yang telah ditetapkan sebelumnya
oleh Koordinator Mentor. Para Mentee memperesentasikan paper selama ± 5 sampai
dengan 7 menit, dan selesai seluruh Mentee presentasi maka masing-masing mentee
mendapatkan beberapa pertanyaan yang berasal dari Mentor, selain pertanyaan Mentee
juga mendapatkan arahan, saran/masukan mengenai resume buku yang telah dibuat oleh
mentee.

Pada intinya kegiatan presentasi Resume Buku Mentee yang dilakasanakan Minggu Ke-13
tepatnya pada hari Selasa, 11 Desember 2018 terlaksana dengan sangat lacar dan baik.
Untuk format pembuatan resume tidak ada dikoreksi oleh Mentor secara keseluruhan format
sudah sesuai dengan apa yang telah ditentukan dalam Buku Rapor. Untuk arahan lain dari
Mentor bahwa mengenai buku yang diangkat / dijadikan resume oleh para Mentee
dinyatakan cukup beragam, Para Mentee membuat resume buku tidak terkait dengan
pembahasan adminstrasi pengadilan (walaupun ada yang membahas hanya 1 mentee)
tetapi penyampaian yang disajikan dari buku-buku para Mentee yang sudah membahas
mengenai materiil / substansi untuk magang 2 dan magang 3 hal tersebut diapresiasi sangat
baik oleh Para Mentor. Adapun koreksi dari Mentor mengharapkan untuk penyampaian atau
pada saat presentasi para Mentee dapat bersikap tenang dan PD (Percaya diri).
Secara umum diskusi dari Para Mentor yakni mengenai :

1
1. Perbedaan dari HIR dan RBG terletak pada ketentuan Pasal 118 HIR dan 142 RBG
mengenai kewenangan untuk mengajukan gugatan bahwa di dalam HIR disebutkan
dapat mengajukan gugatan dengan dasar di mana obyek sengketa berada
sedangkan dalam RBG tidak disebutkan.;
2. Untuk pengaturan mengenai sengketa tanah sudah ada aturan yang terbaru,
sehingga dalam buku yang dibahas sudah tidak relevan untuk digunakan aturan
tersebut. aturan yang terbaru yakni Peraturan Mentri Agraria dan Tata ruang Nomor
11 tahun 2016 tentang penyelesaian sengketa.
3. Untuk batasan usia ditetapkan oleh Mahkamah Agung dalam PERMA Nomor 7
Tahun 2012

Berikut rekapan presentasi, diskusi dan disesuaikan dengan urutan presentasi dari
Para Mentee sbb:
1. MENTEE SYAIFUL IDRIS
a. Bibliografi singkat : Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, penulis Prof. Dr.
R. Supomo, SH, PT. Pradnya Paramita, 1986, Jakarta, Cetakan ke-10.
b. Inti Resume Buku : Mentee menyatakan bahwa secara keseluruhan
pembahasan buku mengenai acara perdata yang diatur dalam Herzien Indlansch
Reglemen (HIR) atau Reglemen Indonesia dengan membandingkan dalam
Rechtsvoordering (RV) dan Ordonansi Pengadilan Adat. Perancangan Reglemen
Indonesia yakni JHR Mr. H. Lwichers atas perintah dari Gubernur Jenderal
Rochssen, DDO dengan alasan 1) Periode 1819 s.d 1848 hanya terdapat 10
staatsblad tentang acara perdata; dan 2) dikota-kota besar di Jawa, Pengadilan
bagi golongan orang Indonesia menggunakan peraturan untuk orang Eropa
(Rechstvoordering) secara ilegal. Di dalam RV hakim itu bersifat pasif yakni
dalam proses persidangan adalah seputar persoalan kedua belah pihak yang
berperkara yang menggunakannya sebagai alat untuk menetapkan hubungan
hukumnya dikemudian hari dan hakim hanya mengawasi agar peraturan
perundang-undangan yang berlaku dituruti oleh kedua belah pihak. Sifat hakim
dalam HIR yakni aktif terlihat dalam ketentuan Pasal 119 HIR sewaktu penggugat
mengajukan gugatan, hakim dapat memberikan pertolongan dan Pasal 132 HIR
memberikan penerangan kepada para pihak dengan tujuan agar supaya
pemeriksaan perkara dapat berjalan dengan baik dan teratur. Ada pendapat dari
MR. Wicher mengenai alasan intervensi tidak diatur dalam HIR bahwa MR.
Wicher tidak bersedia menyalin aturan-aturan terkait intervensi (tussenkomst),
vrijwaring dan voegging dari RV ke Reglemen Indonesia (dalam bentuk konkret
dalam undang-undang) karena manurut aliran pikiran hukum ada suatu perkara
harus diakhiri (uitgemaakt).
Yang menarik lain dalam pembahasan buku yakni adanya Pengumpulan gugatan
menurut Mr. Star Busmann dibagi menjadi 2 yaitu (a) Sameenloop (berlaku
bersama) yaitu seseorang yang mempunyai lebih daru satu tuntutan (aansprak)
yang seluruhnya menuju pad atujuan yang sama, sehingga apabila salah satu
aansprak telah dipenuhi maka aansprak lainya juga akan dicapai; (b)
Samenoerging dibagi menjadi 2 yaitu Subyektif : dalam satu surat gugatan
terdapat beberapa penggugat atau tergugat dan obyektif : penggugat
mengajukan beberapa gugatan melawan seorang tergugat.

2
2. MENTEE ARI WIBOWO
a. Bibliografi singkat : Ganti Rugi dan Rehabilitasi Menurut KUHAP, Penulis M.
Hanafi Asmawie, SH, PT Pradnya Paramita, 1990, Jakarta, Cetakan ke-2.
b. Inti Resume Buku : Mentee menyatakan berdasarkan dalam buku tersebut
bahwa ganti rugi dan rehabilitasi menjadi bagian dari Praperadilan yang diatur
dalam ketentuan KUHAP. Tujuan dari Praperadilan untuk melindungi hak-hak
tersangka/terdakwa/terpidana dari tindakan sewenang-wenang alat penegak
hukum. Pasal 95 Ayat (1) KUHAP disebutkan tersangka/terdakwa/terpidana
berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili
atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang
atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan. Ganti
kerugian dalam KUHAP sebagai akibat tidak sahnya penangkapan atau
penahanan atau tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntut serta ganti
kerugian lainnya yang disebutkan dalam KUHAP. Yang dapat mengajukan ganti
kerugian yakni tersangka atau keluarganya atau pihak ketiga yang
berkepentingan. Sedangkan untuk rehablitasi merupakan pemulihan keduudkan,
kemampuan, harkat dan martabat atas perlakuan kesewenang-wenangan
penegak hukum yang tanpa berdasar karena tidak sahnya penyidikan atau
penuntutan, atau karena perkara pidanya dihentikan pada tingkat penyidikan
atau penuntutan dan juga karena diajukan berdasarkan putusan bebas atau
lepas dari segala tuntutan hukum. untuk yang berhak mengajukan rehabilitasi
yakni tersangka, keluarga/ahli waris atau kuasanya (tidak termasuk pihak ketiga).

3. MENTEE HANIFA FERI KURNIA


a. Bibiografi singkat : Panitera Pengadilan Tugas, Fungsi & Tanggungjawab,
Penulis Drs. Wildan Suyuthi Mustofa, SH., MH, PT Tatanusa, 2002, Jakarta-
Indonesia, Cetakan Pertama.
b. Inti Resume Buku : Mentee menyatakan bahwa inti pembahasan dalam buku
mengenai tugas dari panitera di Pengadilan dalam kegiatan administrasi teknis
peradilan. Mahkamah Agung sebagai pengawas tertinggi setiap kegiatan yang
dilakukan oleh seluruh badan peradilan dibawahnya. Dalam pelaksanaan fungsi
pengawasan Mahkamah Agung mengharapkan terjadi atau terciptanya situasi
kondusif terhadap penegakkan disiplin serta peningkatan produktifitas dan etos
kerja serta keseragaman dan kerapihan kerja, maka Mahkamah Agung
menyusun pola adminsitrasi yustisil yang seragam dan berlaku dalam semua
lingkungan peradilan, tertuang dalam keputusan Ketua Mahkamah Agung RI
KMA/001/SK/I/1991 tentang Pola Pembinaan dan Pengendalian Administrasi
Kepaniteraan Pengadilan Agama dan KMA/012/SK/III/1998 jo
KM/019/SK/VIII/1991 tentang Pola-pola Pembinaan dan Pengendalian
Administrasi Kepaniteraan Pengadilan Umum. Peran posisi Panitera penting
sebagai unsur pembantu dari pimpinan atau secara langsung bertanggungjawab
kepada pimpinan dalam hal pelaksanaan administrasi perkara di pengadilan. Ada
3 tugas pokok dari Panitera: Tugas bidang administrasi; Tugas panitera dibidang
persidangan; dan Tugas panitera bidang pelaksanaan eksekusi. Surat keputsan
Ketua Mahkamah Agung Nomor KMA/012/SK/III/1998 jo KM/019/SK/VIII/1991
tentang Pola-pola Pembinaan dan Pengendalian Administrasi Kepaniteraan
Pengadilan Umum yang memuat 5 hal pokok yakni Pola prosedur
3
penyelenggaraan Administrasi perkara (berkaitan dengan tugas dari Meja I, Meja
II dan Meja III Pengertian Meja yakni kelompok pelaksana teknis yang harus
dilalui oleh suatu perkara di pengadilan mulai dari penerimaan sampai perkara
diselesaikan); pola register perkara (register haruslah dicatat secara rapih, tertib,
register akan memuat keadaan perkara dari perkara tersebut masuk hingga
selesai); pola keuangan perkara (keuangan perkara menjadi tanggungjawab
Panitera kepada Pihak Ketiga yang membayar panjar perkara dengan prinsip
tidak ada biaya tidak ada perkara, pencatatan keuangan perkara dengan Buku
Jurnal Keuangan dan Buku Induk Keuangan Perkara); pola laporan perkara (ada
berbagai macam laporan untuk pidana dan perdata dalam lingkungan peradilan
Agama tidak ditemukan laporan perkara pidana); dan pola arsip perkara ( arsip
diartikan sebagai warkat yang dalam kegiatan penertibannya ada petunjuk
pembenahan dan penataan berkas dengan melalui tahapan pemilahan,
penyempurnaan dan pemisahan arsip).

4. MENTEE ANDI KOMARA


a. Bibiografi singkat : Penyelesaian Sengketa Hukum Atas Tanah, Penulis
Rusmadi Murad, SH, Alumni, 1991, Bandung, Cetakan ke-1.
b. Inti Resume Buku : Mentee menyatakan bahwa dalam pembahasan buku yaitu
mengenai penyelesaian sengketa hukum atas tanah dengan diawali penjelasan
hubungan hak masyarakat dan kewajiban pemerintah dalam menjalankan
kepentingan terselenggaranya, kesehateraan umum bagi seluruh warga
masyrakat, yang mana berkaitan langsung dengan perbuatan administrasi
negara dan lembaga-lembaga yang mengaturnya. Pembahasan dalam buku ini
berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria
di mana diatur bahwa negara memberikan hak mengauasai atas tanah dan
memberikan kewenangan untuk memberikan kepastian hukum atas tanah. Selain
dari aturan dalam undang-undangan kewenangan pengaturan hak atas tidak
diatur melalui koridor kewenangan pemerintah sesuai dengan prinsip fries
emerssen. Dijelaskan pula bahwa sengketa hukum atas tanah terjadi karena
adanya keberatan dan tuntutan hak atas tanah berdasarkan pengaduan dari
pihak tertentu.

5. MENTEE ANDI RAMAWAN FAUZI PUTRA


a. Bibiografi singkat : Penjelasan Hukum Tentang Grosse Akta, Penulis Ahmad
Fikri Assegaf dan Elijah Tanzah, National egal Reform Program, 2010, Jakarta,
Cetakan Pertama.
b. Inti Resume Buku : Mentee menyatakan dalam pembahasan buku yakni Grosse
Akta adalah salah satu salinan akta untuk pengakuan utang dengan kepala akta
“Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” yang mempunyai
kekuatan ekskutorial, yang meliputi Akta Hipotek Kapal dan Akta Pengakuan
Utang dalam Pasal 224 HIR. Syarat Formil  Grosse akte berkepala “Demi
Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”; merupakan Salinan dari Akte
Pengakuan Utang yang dibuat oleh atau dihadapn Notaris, dengan memuat
kalimat penutup “diberikan sebagai grosse pertama atas permintaan” dengan
mencantumkan nama orang yang meminta, kepada siapa dikelaurkan serta
tanggal dikeluarkannya. Sedangkan syarat Materiil  untuk grosse akte
4
pengakuan utang, isinya harus merupakan pengakuan utang sepihak; memuat
secara jelas dan tetap jumlah utang yang harus dibayar dan tidak boleh
bertentangan dengan Pasal 14 UU Pelepasan Uang. Grosse Akte menurut
literatur, dapat ditemukan penjelasan para sarjana hukum mengenai apa yang
dimaksud dengan grosse akte, dengan kesimpulan tiga hal utama yaitu: (1)
merupakan salinan dari akte otentik, pada bagian atas memuat irah-irah “Demi
Keadilan Yang Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, (3) mempunyai
kekuatan eksekutorial. Ruang lingkup Grosse Akte yaitu Akte Pengakuan
Hutang, Akte Hipotek atas Kapal dan sertifikat Hak Tanggungan. Dasar eksekusi
terhadap Grosse Akte adalah irah-irah titel eksekutorial dengan terpehuninya
syarat formil dan materill suatu Grosse Akte, sehingga memiliki kekuatan
eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan tetap.
Cakupan eksekusi Akte Pengakuan Utang adalah utang pokok ditambah bunga
selama jangka waktu kredit beserta denda keterlambatan, sedangkan eksekusi
Akte Hipotek dan Hak Tanggungan adalah utang pokok, bunga, dan biaya lain
yang terdapat pada Akte, sehingga tidak perlu melihat lagi perjanjian pokoknya.

6. MENTEE WEINDA KRESNANTYO


a. Bibiografi singkat : Perananan Praperadilan dalam Hukum Acara Pidana,
Penulis Soewiyanto Tanusubroto, SH, Alumni, 1983, Bandung, Cetakan
Pertama.
b. Inti Resume Buku : Mentee menjelaskan bahwa pendahuluan buku memberikan
penjelasan mengenai urgensi dari adanya Praperadilan dalam Hukum Acara
Pidana yakni sebagai bentuk menjunjung tinggi asas praduga tidak bersalah dan
sebagai alat kontrol tindakan penyidikan yang dapat disalahgunakan. Dari buku
tersebut dinyatakan juga bahwa kehadiran lembaga Praperadilan memberikan
peringatan agar penegak hukum harus hati-hati dalam melakukan tindakan
hukumnya, ganti kerugian dan rahabilitasi sebagai upaya melindungi
warganegara atas kesewenangan penegakan hukum. ada pendapat dari ahlis E-
Utrecht, Subekti dan Soedrjono menjelaskan bahwa tujuan dan makna Hukum
acara pidana adalah proses untuk mencari dan menemukan kebenaran baik
pada pemeriksaan sebelum sidang dan pemeriksaan didepan persidangan
pengadilan. Asas yang terpenting dalam KUHAP adalah asas praduga tidak
bersalah. Hadirnya pengaturan Praperadilan dalam Pasal 77 – 83 KUHAP
bertujuan sebagai bentuk pengawasan terhadap perlindungan
tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan pendahuluan, di dalam buku juga
dijelaskan cara menyusun dan mengajukan Praperadilan, proses acara
pemeriksaan Praperadilan dan gugurnya Praperadilan. Obyek Praperadilan
dalam buku disebutkan sesuai dengan ketentuan dalam KUHAP yakni : (1) sah
atu tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka
atau keluarganya atau pihak lainnya atas kuasa tersangka; (2) sah atau tidaknya
penhentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi
tegakkanya hukum dan keadilan; dan (3) permintaan ganti kerugian atau
rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang
perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.

7. FIRSTINA ANTIN SYAHRINI


5
a. Bibiografi singkat : Hukum Acara Pidana (Suatu Tinjauan Khusus Terhadap
Surat Dakwaan, Eksepsi, dan Putusan Peradilan), Penulis Lilik Mulyadi, SH, PT
Citra Aditya Bakti, 1996, Bandung.
b. Inti Resume Buku : tujuan dari hukum acara pidana dalam pedoman
pelaksanaan KUHAP yaitu mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya
mendekati kebenaran material berupa kebenaran yang selengkap-lengkapnya
dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan Hukum Acara Pidana
secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat
didakwa melakukan suatu pelanggaran hukum selanjutnya meminta pemeriksaan
dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu
tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang tersebut dapat dipersalahakan.
Disebutkan pula bahwa dalam hukum acara pidana terdapat pihak-pihak yakni
tersangka/terdakwa; Penyidik dan Penyelidik; Jaksa/Penuntut Umum dan
Penasehat Hukum. Pengaturan Surat Dakwaan dalam KUHAP yakni Pasal 143
KUHAP adanya syarat formal (kelengkapan identitas terdakwa) dan syarat
material (kejelasan uraian dakwaan secara cermat, jelas dan lengkap) yang
harus dipenuhi untuk penyusunan Surat Dakwaan, sedangkan untuk perubahan
dilakukan sebelum pengadilan negeri menetapkan hari sidang baik perubahan
yang bertujuan untuk menyempurnakan maupun untuk tidak melanjutkan
penuntutan (Pasal 144 Ayat (1) KUHAP) dan perubahan hanya dapat dilakukan 1
(satu) kali selambatnya 7 (tujuh) hari sebelum sidang dimulai (Pasal 144 Ayat (2)
KUHAP). Adapun bentuk dari Surat Dakwaan yakni Dakwaan Tungga; Dakwaan
Alternatif; Dakwaan Komulatif dan Dakwaan Subsidarita (bersusun lapis).
Selanjutnya pembahasan mengenai Keberatan dalam KUHAP disebutkan
keberatan merupakan aspek dalam Hukum Acara Pidana yang berisikan
tangkisan atau pembelaan terhadap materi surat dakwaan atau tidak
menyinggung pokok perkara. Ruang lingkup dan luas dari keberatan itu
mencakup mengenai pengadilan tidak berwenang mengadili perkaranya atau
dakwaan tidak dapat diterima atau surat dakwaan harus dibatalkan. Pihak yang
dapat mengajukan keberatan adalah Terdakwa atau Penasihat Hukum dan
keputusan yagn diambil oleh Hakim setelah Penuntut Umum diberikan
kesempatan untuk menyatakan pendapatnya (pengaturan Keberatan dalam
Pasal 156 KUHAP, macam-macam keberatan a. keberatan tidak berwenang
mengadili; b. keberatan dakwaan tidak dapat diterima dan c. Keberatan surat
dakwaan harus dbatalkan). Pembahasan selanjutnya pengertian Putusan Hakim
 pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang terbuka yang dapat berupa
pemidaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta
menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini (Pasal 1 angka 11 KUHAP),
sifat dari putusan hakim yakni putusan pemidanaan dan putusan yang bukan
pemidanaan berupa putusan bebas (vrijspraak) dan putusan lepas dari segala
tuntutan (onslag recht vervolging).

8. WIN WIDARTI
a. Bibiografi singkat : Penjelasan Hukum Tentag Batasan Umur, Penulis Ade
Maman Suherman dan J. Satrio, PT Gramedia, 2010, Jakarata, Cetakan ke II.
b. Inti Resume Buku : mentee menjelaskan pembahasan buku mengenai
pengaturan batasan umur yang ada dalam beberapa peraturan perundang-
6
undangan di Indonesia atau pada intinya tidak ada keseragaman untuk
pengaturan batas umur di Indonesia. Perbedaan pengaturan batasan cakap
melakukan perbuatan hukum seperti tilihat dalam Burgelijk Wetbook (Pasal 330
KUHAPERDATA), Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1975 tentang Perkawinan
(Pasal 6, Pasal 7, Pasal 47 dan Pasal 50), Hukum Adat, Hukum Islam dan aturan
lainnya, perbedaan tersebut terlihat dari pemanfaatan yang berbedam dasar
pembuatan atauran yang berbeda, dasar pertimbangan dalam pembuatan aturan
yang berbeda pula. Bahwa fungsi penentuan terhadap batasna dewasa atau
cakap melakukan perbuatan hukum adalah untuk menciptakan kepastian tetapi
hal tersebut memiliki kekurangan pada keadaan nyata / riil, di mana kedewasaan
seseorang tidaklah sama antara satu dengan lainnya dilihat dari faktor psikologis
dan lingkungan. Perlu untuk dibedakan kewenagan hukum, kecakapan bertindak
dan kewenangan bertindak. Kewenangan hukum adalah kewenangan untuk
mempunyai hak dan kewajiban dalam hukum sejak dilahirkan sampai meninggal.
Kecakapan bertindak adalah kewenangan seseorang pada umumnya untuk
melakukan perbuatan hukum pada umumnya. Kewenangan bertindak adalah
kewenangan khusus yang dimiliki seseorang secara khusus untuk melakukan
perbuatan hukum tertentu. Orang yang cakap bertinda belum tentu memiliki
kewenangan untuk bertindak. Ada pengecualian bahwa yang sudah cakap
hukum namun dalam keadaan tertentu tidak berwenang melakuan perbuatan
hukum tertentu. Begitu juga dengan yang belum cakap hukum namun dalam
keadaan tertentu mendapatkan pengecualian agar dapat berwenang melakukan
perbuatan hukum tertentu. Akibat dari ketidak cakapan adalah, orang yang tidak
cakap melakukan tindakan dapat menuntut pembatalan baik oleh dirinya sendiri
setelah dewasa atau melalui wakilnya. Sedangkan akibat dari tidak berwenang
melakukan tindakan adalah perbuatannya batal demi hukum. Putusan
pengadilan mengenai pertimbangan batasan cakap hukum berbeda karena
tergantung pada duduk perkaranya dan penggunaan batasan usia berbeda
karena menyesuaikan aturan yagn dapat diberlakukan atas perkara tersebut.

9. EDDY MONTANA
a. Bibiografi singkat : Pelaksanaan Penahanan Dan Kemungkinan Yang Ada
Dalam KUHAP, Penulis Sudibyo Triatmojo, S.H., Alumn, 1982, Bandung,
Cetakan Pertama.
b. Inti Resume Buku : Mentee menjelaskan bahwa degan diundangkannya
KUHAP pada 31 Desember 1981 menggantikan HIR memberikan harapan baru
bagi pelaksanaan sistem peradilan pidana yang menempatkan hak asasi
manusia ditempat yang sesuai dan layak, salah satu yang dapat dijadikan
acuannya yakni pelaksanaan penahanan. Penahanan diatur dalam KUHAP yakni
Pasal 21 Ayat (1) sebagai syarat subyektif dan Pasal 20 Ayat (1) s.d (3) dan
Pasal 21 Ayat (1) KUHAP sebagai syarat obyektif. Yang berwenang melakukan
penahanan diatur dalam Psal 20 KUHAP, jenis penahanan dalam Pasal 22 Ayat
(1) KUHAP dan lamanya penahanan diatur secara tegas dalam Pasal 24 s.d
Pasal 29 KUHAP. Di dalam buku ini dibahas secara khusus mengenai praktik
pelaksanaan penahanan yang terjadi pada masa berlakunya HIR dan
kemungkinan yang dapat terjadi dengan berlakunya KUHAP, seperti:

7
- syarat penahanan dan penanggulangannya (syarat subyektif yang diatur
dalam KUHAP masih menganut yang diatur dalam HIR dan berpotensi
terjadinya penyimpangan. Sehingga diharapkan pelaksanaan penahanan
hanya berdasarkan pada syarat obyektif walaupun harus menggunakan
syarat subyektif maka terdapat 2 alternatif yaitu: penentuan keadaan
tertentu sebagai syarat penahanan yang menggunakan syarat subyektif
harus diatur secara tersendiri dalam sebuah peraturan; dan membatasi
penahanan terhadap pelaksanaan penahanan yang memakai syarat
subyektif dimana hal tersebut juga harus diatur pada peraturan tersendiri.
- siapa yang berwenang melakukan penahanan dan penanggulangannya
(di dalam HIR belum diatur secara tegas dan di dalam KUHAP telah
diatur secara tegas sehingga praktik penyimpangan dalam HIR tidak
terulang lagi. Dan dalam hal ini yang diperlukan adalah moril yang baik
dalam penegakkan hukum dan keadilan serta Hak Asasi Manusi)
- cara penahanan dan penanggulangannya (tempat penahanan yang
dijadikan komodit bagi aparat penegak hukum merupakan hal yang harus
dihindari sehingga pelru peraturan bersifat obyektif dalam penentuan
tempat penahanan)
- jangka waktu penahanan dan penanggulangannya (penahanan berbulan
– bulan merupakan hal yang harus dilihat dngna aspek HAM sheingga
harus ada pertimbangan dari petugas / pejabat yang berwenang dan
pihakyang ditahan terkait perpanjangan penahanan dan Berita Acara
Penahanan yang dapat berisikan keberatan pihak yang ditahan serta
adanya resume hasil pemeriksaan yang memberikan kontrol untuk
melakukan penahanan)
- upaya lain untuk melindungi hak asasi manusia (Upaya yang ditempuh
untuk melindungi hak asasi manusia yaitu pra-peradilan; penangguhan;
ganti rugi/rehabilitasi; pidana; dan bantuan hokum)

10. M. HENDRA CORDOVA MASPUTRA


a. Bibiografi singkat : Bunga Rampai Hukum Pidana, Penulis Prof. Dr. Muladi, SH
dan Prof. Barda Nawai Arief, SH, Alumni, 1992, Bandung, Cetakan Pertama.
b. Inti Resume Buku : mentee menjelaskan bahwa akar pemikiran penulis yakni
adanya sosical policy, ciriminal policy, law enforcement policy kemudian
menghasilan kebijakan sosial dan pertahanan sosial itulah yang menjadi
perkembangan dari hukum Pidana. Dijelaskan dalam buku tersebut bahwa akar
dari kriminalitas dengan streotip lama yaitu Kemiskinan dan Kebodohan. Namun
yang terlihat dalam perkembangannya yakni terjadinya white collar crime
perubahan status pelaku tindak pidana di mana pelaku merupakan orang yang
menjabat dalam jabatan tertentu atau memiliki karakter pekerjaan. Menurut
pandangan E.H Sutherland bahwa white collar crime adalah kejahatan yang
dilakukan oleh mereka yang berkedudukan atau berstatus sosial tinggi atau
melalui pendekat teknis dikata sebagai socio – economic offenses atau
Economic crime. Ciri dari kejahatan tersebut yakni memiliki krakteristik tindak
pidana yang bersifat tersembunyi, kesembronoan dan ketidaktahuan korban dan
penyembunyian pelanggaran. Kejahatan white collar crime merupakan masalah
internasional berdasarkan Kongres PBB, dan belum diatur dalam aturan yang
8
memuat banyak mengenai bagaimana memperkuat efektivitas pencegahan
terhadap tindak pidana sosio ekonomi, sehingga diperlukan improvisasi politik
kriminal yang dapat mengatur berbagai hal melalui sarana penal (pidana) dan
non penal. Kejahatan ekonomi dianggap mengancam tatanan sosial, hukum dan
ekonomi dilihat dari mala in se dan mala in prohibita. Dengan unsur dalam
rangka kegiatan eknomi, melanggar kepentingan negara, masyrakat dan tidak
hanya individual dan mencakup lingkungan bisnis yang merugikan perusahaan
dan individual. Disebutkan pula dalam buku mengenai kejahatan komputer
dengan melihat pada perkembangan komputer yang harus diimbangi dengan
aturan hukum yang ada untuk menghadapi permasalahan penipuan dan
pemalsuan dari manipulasi komputer seperti pencurian data yang sama dengan
Pasal 362 KUHP, hacking yang sama dengan Pasal 167 KUHP (memasuki tanpa
ijin), sehingga perlu kriminalisasi terhadap kejahatan komputer namun jangan
terjadi over criminalization. Selanjutnya dalam perkembagannya hukum pidana
juga adanya kejahatan di lingkungan profesional yang melibatkan keahlian dan
kalangan profesional. Terhadap berbagai macam permasalahan sudah
seharusnya hukum pidana dapat berfungsi, beroperasi atau bekerja dan terwujud
secara konkrit melibatkan sistem hukum yakni susbtansi hukum, struktur hukum
dan budaya hukum sehingga setiap kejahatan dapat dipertanggungjawabkan
secara pidana sebagai ultimum remidium (ancaman terkahir).

11. SARMAIDA E.L.TOBING ANDI KOMARA MEMBAHAS


a. Bibiografi singkat : Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Penulis
Prof. Sudarto, SH, 1983, Bandung, Cetakan Pertama.
b. Inti Resume Buku : Mentee menjelaskan menurut buku tesebut bahwa
perkembangan masyarakat senantiasa akan beriringan dengan perkembangan
hukum. ada pengaruh timbal balik antara ilmu pengetahuan hukum dengan politik
hukum yang tidak terlepas juga dengan perkemabngan yang ada di masyrakat.
Ada 3 ajaran hukum yakni ajaran legisme, ajaran hukum yang fungsional
(functionele rechtleer) dan ajaran hukum yang kritis. Ajaran tersebut
berhubungan dengan pnejelasan tentang fungsi, hukum dan kaitannya dengan
pembangunan yang berlangsung. Berdasarkan hasil penelitian hukum,
sehubungan dengan perkembangan delik-delik khusus, ada 3 (tiga) masalah
penting dan mendasar yaitu: (1) Masalah frekuensi dan kualitas kejahatan; (2)
Masalah penerapan ketentuan-ketentuan hukum pidana; dan (3) Kriminalisasi
dan dekriminalisasi. Makna pembaharuan hukum pidana yang menyeluruh harus
meliputi pada pembaharuan hukum pidana materiil, hukum pidana formil dan
hukum pelaksanaan pidana. Apabila tidak serempak makan akan terjadi
kesulitan dalam pelaksanannya. Selain itu tujuan utama dari pembaharuan
adalah penanggulangan kejahatan disamping upaya-upaya non-penal.
Pembaharuan hukum pidana sudah cukup banyak dilakukan tetapi belum dikatan
law reform atau secara total karena masih terdapat tambal sulam, terkhusus
mengenai KUHP. Upaya yang dilakukan menyangkut politik hukum pidana yang
berarti usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai
dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan
datang

9
12. TARUNA PRISANDO
a. Bibiografi singkat : Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa, Penulis
Rahmat S.S. Soemadripradja, 2010, Jakarta, Cetakan Pertama.
b. Inti Resume Buku : Mentee menjelaskan mengenai pengertian overmacht
secara keseluruhan dari pasal-pasal KUH Perdata bahwa overmacht adalah
keadaan yang melepaskan seseorang atau suatu pihak yang mempunyai
kewajiban untuk dipenuhinya berdasarkan suatu perikatan, yang tidak atau tidak
dapat memenuhi kewajibannya, dari tanggung jawab untuk memberi ganti rugi,
biaya dan bunga, dan/atau dari tanggung jawab untuk memenuhi kewajibannya
tersebut. Berdasarkan ruang lingkup overmacht secara garis besar
dikelompokkan sebagai berikut :
1. Overmacht karena keadaan alam
2. Overmacht karena keadaan darurat
3. Overmacht karena keadaan ekonomi
4. Overmacht karena kebijakan atau peraturan pemerintah
5. Overmacht karena keadaan teknis yang tidak terduga
Secara umum pengaturan keadaan memaksa ( Force majeure/overmacht) dalam
perundang-undangan dapat dikelompokkan dalam 2 kelompok besar. Pertama,
force majeure ditentukan sebagai klausul yang harus dimasukkan dalam
kontrak/atau perjanjian mengenai subtansi yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan. Kedua, force majeure diatur dalam peraturan perundang-
undangan tetapi tidak berkaitan dengan kontrak atau perjanjian mengenai
subtansi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Salah satunya
perkembangan mengenai terminologi yang digunakan. Terminologi force majeure
telah bergeser dari hanya disebut force majeure atau overmacht seperti terdapat
dalam KUH Perdata menjadi keadaan paksa. Keadaan paksa banyak digunakan
dalam kontrak karya yang dibuat pada tahun 1980-an. Perubahan penggunaan
terminologi ini menunjukkan adanya upaya untuk menyerap terminologi force
majeure/overmacht yang berasal dari kosakata bahasa asing kedalam koleksi
kosakata bahasa indonesia. Pada sekitar awal tahun 2000-an diperkenalkan
terminologi lain, namun dengan maksud atau pengertian yang tetap sama, yaitu
keadaan kahar. Terminologi keadaan kahar dipergunakan dalam peraturan yang
mengatur mengenai pengadaan barang dan jasa. Sejalan dengan
perkembangannya, bergeser lagi dengan menggunakan terminologi keadaan
yang menghalangi.

--00--

10

Anda mungkin juga menyukai