Jadwal kegiatan :
Hari , tanggal : Selasa, 11 Desember 2018
Pukul : 08.00 s.d 15.30 WIB
Tempat : Ruang Rapat yang terletak di Ruang KPN Cilacap pada lantai 2
Kegiatan presentasi dipandu / dibuka oleh Koordinator Mentor (Bpk. M. Isma’il Hamid, SH.,
MH). Presentasi dimulai sesuai dengan urutan Mentee yang telah ditetapkan sebelumnya
oleh Koordinator Mentor. Para Mentee memperesentasikan paper selama ± 5 sampai
dengan 7 menit, dan selesai seluruh Mentee presentasi maka masing-masing mentee
mendapatkan beberapa pertanyaan yang berasal dari Mentor, selain pertanyaan Mentee
juga mendapatkan arahan, saran/masukan mengenai resume buku yang telah dibuat oleh
mentee.
Pada intinya kegiatan presentasi Resume Buku Mentee yang dilakasanakan Minggu Ke-13
tepatnya pada hari Selasa, 11 Desember 2018 terlaksana dengan sangat lacar dan baik.
Untuk format pembuatan resume tidak ada dikoreksi oleh Mentor secara keseluruhan format
sudah sesuai dengan apa yang telah ditentukan dalam Buku Rapor. Untuk arahan lain dari
Mentor bahwa mengenai buku yang diangkat / dijadikan resume oleh para Mentee
dinyatakan cukup beragam, Para Mentee membuat resume buku tidak terkait dengan
pembahasan adminstrasi pengadilan (walaupun ada yang membahas hanya 1 mentee)
tetapi penyampaian yang disajikan dari buku-buku para Mentee yang sudah membahas
mengenai materiil / substansi untuk magang 2 dan magang 3 hal tersebut diapresiasi sangat
baik oleh Para Mentor. Adapun koreksi dari Mentor mengharapkan untuk penyampaian atau
pada saat presentasi para Mentee dapat bersikap tenang dan PD (Percaya diri).
Secara umum diskusi dari Para Mentor yakni mengenai :
1
1. Perbedaan dari HIR dan RBG terletak pada ketentuan Pasal 118 HIR dan 142 RBG
mengenai kewenangan untuk mengajukan gugatan bahwa di dalam HIR disebutkan
dapat mengajukan gugatan dengan dasar di mana obyek sengketa berada
sedangkan dalam RBG tidak disebutkan.;
2. Untuk pengaturan mengenai sengketa tanah sudah ada aturan yang terbaru,
sehingga dalam buku yang dibahas sudah tidak relevan untuk digunakan aturan
tersebut. aturan yang terbaru yakni Peraturan Mentri Agraria dan Tata ruang Nomor
11 tahun 2016 tentang penyelesaian sengketa.
3. Untuk batasan usia ditetapkan oleh Mahkamah Agung dalam PERMA Nomor 7
Tahun 2012
Berikut rekapan presentasi, diskusi dan disesuaikan dengan urutan presentasi dari
Para Mentee sbb:
1. MENTEE SYAIFUL IDRIS
a. Bibliografi singkat : Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, penulis Prof. Dr.
R. Supomo, SH, PT. Pradnya Paramita, 1986, Jakarta, Cetakan ke-10.
b. Inti Resume Buku : Mentee menyatakan bahwa secara keseluruhan
pembahasan buku mengenai acara perdata yang diatur dalam Herzien Indlansch
Reglemen (HIR) atau Reglemen Indonesia dengan membandingkan dalam
Rechtsvoordering (RV) dan Ordonansi Pengadilan Adat. Perancangan Reglemen
Indonesia yakni JHR Mr. H. Lwichers atas perintah dari Gubernur Jenderal
Rochssen, DDO dengan alasan 1) Periode 1819 s.d 1848 hanya terdapat 10
staatsblad tentang acara perdata; dan 2) dikota-kota besar di Jawa, Pengadilan
bagi golongan orang Indonesia menggunakan peraturan untuk orang Eropa
(Rechstvoordering) secara ilegal. Di dalam RV hakim itu bersifat pasif yakni
dalam proses persidangan adalah seputar persoalan kedua belah pihak yang
berperkara yang menggunakannya sebagai alat untuk menetapkan hubungan
hukumnya dikemudian hari dan hakim hanya mengawasi agar peraturan
perundang-undangan yang berlaku dituruti oleh kedua belah pihak. Sifat hakim
dalam HIR yakni aktif terlihat dalam ketentuan Pasal 119 HIR sewaktu penggugat
mengajukan gugatan, hakim dapat memberikan pertolongan dan Pasal 132 HIR
memberikan penerangan kepada para pihak dengan tujuan agar supaya
pemeriksaan perkara dapat berjalan dengan baik dan teratur. Ada pendapat dari
MR. Wicher mengenai alasan intervensi tidak diatur dalam HIR bahwa MR.
Wicher tidak bersedia menyalin aturan-aturan terkait intervensi (tussenkomst),
vrijwaring dan voegging dari RV ke Reglemen Indonesia (dalam bentuk konkret
dalam undang-undang) karena manurut aliran pikiran hukum ada suatu perkara
harus diakhiri (uitgemaakt).
Yang menarik lain dalam pembahasan buku yakni adanya Pengumpulan gugatan
menurut Mr. Star Busmann dibagi menjadi 2 yaitu (a) Sameenloop (berlaku
bersama) yaitu seseorang yang mempunyai lebih daru satu tuntutan (aansprak)
yang seluruhnya menuju pad atujuan yang sama, sehingga apabila salah satu
aansprak telah dipenuhi maka aansprak lainya juga akan dicapai; (b)
Samenoerging dibagi menjadi 2 yaitu Subyektif : dalam satu surat gugatan
terdapat beberapa penggugat atau tergugat dan obyektif : penggugat
mengajukan beberapa gugatan melawan seorang tergugat.
2
2. MENTEE ARI WIBOWO
a. Bibliografi singkat : Ganti Rugi dan Rehabilitasi Menurut KUHAP, Penulis M.
Hanafi Asmawie, SH, PT Pradnya Paramita, 1990, Jakarta, Cetakan ke-2.
b. Inti Resume Buku : Mentee menyatakan berdasarkan dalam buku tersebut
bahwa ganti rugi dan rehabilitasi menjadi bagian dari Praperadilan yang diatur
dalam ketentuan KUHAP. Tujuan dari Praperadilan untuk melindungi hak-hak
tersangka/terdakwa/terpidana dari tindakan sewenang-wenang alat penegak
hukum. Pasal 95 Ayat (1) KUHAP disebutkan tersangka/terdakwa/terpidana
berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili
atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang
atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan. Ganti
kerugian dalam KUHAP sebagai akibat tidak sahnya penangkapan atau
penahanan atau tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntut serta ganti
kerugian lainnya yang disebutkan dalam KUHAP. Yang dapat mengajukan ganti
kerugian yakni tersangka atau keluarganya atau pihak ketiga yang
berkepentingan. Sedangkan untuk rehablitasi merupakan pemulihan keduudkan,
kemampuan, harkat dan martabat atas perlakuan kesewenang-wenangan
penegak hukum yang tanpa berdasar karena tidak sahnya penyidikan atau
penuntutan, atau karena perkara pidanya dihentikan pada tingkat penyidikan
atau penuntutan dan juga karena diajukan berdasarkan putusan bebas atau
lepas dari segala tuntutan hukum. untuk yang berhak mengajukan rehabilitasi
yakni tersangka, keluarga/ahli waris atau kuasanya (tidak termasuk pihak ketiga).
8. WIN WIDARTI
a. Bibiografi singkat : Penjelasan Hukum Tentag Batasan Umur, Penulis Ade
Maman Suherman dan J. Satrio, PT Gramedia, 2010, Jakarata, Cetakan ke II.
b. Inti Resume Buku : mentee menjelaskan pembahasan buku mengenai
pengaturan batasan umur yang ada dalam beberapa peraturan perundang-
6
undangan di Indonesia atau pada intinya tidak ada keseragaman untuk
pengaturan batas umur di Indonesia. Perbedaan pengaturan batasan cakap
melakukan perbuatan hukum seperti tilihat dalam Burgelijk Wetbook (Pasal 330
KUHAPERDATA), Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1975 tentang Perkawinan
(Pasal 6, Pasal 7, Pasal 47 dan Pasal 50), Hukum Adat, Hukum Islam dan aturan
lainnya, perbedaan tersebut terlihat dari pemanfaatan yang berbedam dasar
pembuatan atauran yang berbeda, dasar pertimbangan dalam pembuatan aturan
yang berbeda pula. Bahwa fungsi penentuan terhadap batasna dewasa atau
cakap melakukan perbuatan hukum adalah untuk menciptakan kepastian tetapi
hal tersebut memiliki kekurangan pada keadaan nyata / riil, di mana kedewasaan
seseorang tidaklah sama antara satu dengan lainnya dilihat dari faktor psikologis
dan lingkungan. Perlu untuk dibedakan kewenagan hukum, kecakapan bertindak
dan kewenangan bertindak. Kewenangan hukum adalah kewenangan untuk
mempunyai hak dan kewajiban dalam hukum sejak dilahirkan sampai meninggal.
Kecakapan bertindak adalah kewenangan seseorang pada umumnya untuk
melakukan perbuatan hukum pada umumnya. Kewenangan bertindak adalah
kewenangan khusus yang dimiliki seseorang secara khusus untuk melakukan
perbuatan hukum tertentu. Orang yang cakap bertinda belum tentu memiliki
kewenangan untuk bertindak. Ada pengecualian bahwa yang sudah cakap
hukum namun dalam keadaan tertentu tidak berwenang melakuan perbuatan
hukum tertentu. Begitu juga dengan yang belum cakap hukum namun dalam
keadaan tertentu mendapatkan pengecualian agar dapat berwenang melakukan
perbuatan hukum tertentu. Akibat dari ketidak cakapan adalah, orang yang tidak
cakap melakukan tindakan dapat menuntut pembatalan baik oleh dirinya sendiri
setelah dewasa atau melalui wakilnya. Sedangkan akibat dari tidak berwenang
melakukan tindakan adalah perbuatannya batal demi hukum. Putusan
pengadilan mengenai pertimbangan batasan cakap hukum berbeda karena
tergantung pada duduk perkaranya dan penggunaan batasan usia berbeda
karena menyesuaikan aturan yagn dapat diberlakukan atas perkara tersebut.
9. EDDY MONTANA
a. Bibiografi singkat : Pelaksanaan Penahanan Dan Kemungkinan Yang Ada
Dalam KUHAP, Penulis Sudibyo Triatmojo, S.H., Alumn, 1982, Bandung,
Cetakan Pertama.
b. Inti Resume Buku : Mentee menjelaskan bahwa degan diundangkannya
KUHAP pada 31 Desember 1981 menggantikan HIR memberikan harapan baru
bagi pelaksanaan sistem peradilan pidana yang menempatkan hak asasi
manusia ditempat yang sesuai dan layak, salah satu yang dapat dijadikan
acuannya yakni pelaksanaan penahanan. Penahanan diatur dalam KUHAP yakni
Pasal 21 Ayat (1) sebagai syarat subyektif dan Pasal 20 Ayat (1) s.d (3) dan
Pasal 21 Ayat (1) KUHAP sebagai syarat obyektif. Yang berwenang melakukan
penahanan diatur dalam Psal 20 KUHAP, jenis penahanan dalam Pasal 22 Ayat
(1) KUHAP dan lamanya penahanan diatur secara tegas dalam Pasal 24 s.d
Pasal 29 KUHAP. Di dalam buku ini dibahas secara khusus mengenai praktik
pelaksanaan penahanan yang terjadi pada masa berlakunya HIR dan
kemungkinan yang dapat terjadi dengan berlakunya KUHAP, seperti:
7
- syarat penahanan dan penanggulangannya (syarat subyektif yang diatur
dalam KUHAP masih menganut yang diatur dalam HIR dan berpotensi
terjadinya penyimpangan. Sehingga diharapkan pelaksanaan penahanan
hanya berdasarkan pada syarat obyektif walaupun harus menggunakan
syarat subyektif maka terdapat 2 alternatif yaitu: penentuan keadaan
tertentu sebagai syarat penahanan yang menggunakan syarat subyektif
harus diatur secara tersendiri dalam sebuah peraturan; dan membatasi
penahanan terhadap pelaksanaan penahanan yang memakai syarat
subyektif dimana hal tersebut juga harus diatur pada peraturan tersendiri.
- siapa yang berwenang melakukan penahanan dan penanggulangannya
(di dalam HIR belum diatur secara tegas dan di dalam KUHAP telah
diatur secara tegas sehingga praktik penyimpangan dalam HIR tidak
terulang lagi. Dan dalam hal ini yang diperlukan adalah moril yang baik
dalam penegakkan hukum dan keadilan serta Hak Asasi Manusi)
- cara penahanan dan penanggulangannya (tempat penahanan yang
dijadikan komodit bagi aparat penegak hukum merupakan hal yang harus
dihindari sehingga pelru peraturan bersifat obyektif dalam penentuan
tempat penahanan)
- jangka waktu penahanan dan penanggulangannya (penahanan berbulan
– bulan merupakan hal yang harus dilihat dngna aspek HAM sheingga
harus ada pertimbangan dari petugas / pejabat yang berwenang dan
pihakyang ditahan terkait perpanjangan penahanan dan Berita Acara
Penahanan yang dapat berisikan keberatan pihak yang ditahan serta
adanya resume hasil pemeriksaan yang memberikan kontrol untuk
melakukan penahanan)
- upaya lain untuk melindungi hak asasi manusia (Upaya yang ditempuh
untuk melindungi hak asasi manusia yaitu pra-peradilan; penangguhan;
ganti rugi/rehabilitasi; pidana; dan bantuan hokum)
9
12. TARUNA PRISANDO
a. Bibiografi singkat : Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa, Penulis
Rahmat S.S. Soemadripradja, 2010, Jakarta, Cetakan Pertama.
b. Inti Resume Buku : Mentee menjelaskan mengenai pengertian overmacht
secara keseluruhan dari pasal-pasal KUH Perdata bahwa overmacht adalah
keadaan yang melepaskan seseorang atau suatu pihak yang mempunyai
kewajiban untuk dipenuhinya berdasarkan suatu perikatan, yang tidak atau tidak
dapat memenuhi kewajibannya, dari tanggung jawab untuk memberi ganti rugi,
biaya dan bunga, dan/atau dari tanggung jawab untuk memenuhi kewajibannya
tersebut. Berdasarkan ruang lingkup overmacht secara garis besar
dikelompokkan sebagai berikut :
1. Overmacht karena keadaan alam
2. Overmacht karena keadaan darurat
3. Overmacht karena keadaan ekonomi
4. Overmacht karena kebijakan atau peraturan pemerintah
5. Overmacht karena keadaan teknis yang tidak terduga
Secara umum pengaturan keadaan memaksa ( Force majeure/overmacht) dalam
perundang-undangan dapat dikelompokkan dalam 2 kelompok besar. Pertama,
force majeure ditentukan sebagai klausul yang harus dimasukkan dalam
kontrak/atau perjanjian mengenai subtansi yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan. Kedua, force majeure diatur dalam peraturan perundang-
undangan tetapi tidak berkaitan dengan kontrak atau perjanjian mengenai
subtansi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Salah satunya
perkembangan mengenai terminologi yang digunakan. Terminologi force majeure
telah bergeser dari hanya disebut force majeure atau overmacht seperti terdapat
dalam KUH Perdata menjadi keadaan paksa. Keadaan paksa banyak digunakan
dalam kontrak karya yang dibuat pada tahun 1980-an. Perubahan penggunaan
terminologi ini menunjukkan adanya upaya untuk menyerap terminologi force
majeure/overmacht yang berasal dari kosakata bahasa asing kedalam koleksi
kosakata bahasa indonesia. Pada sekitar awal tahun 2000-an diperkenalkan
terminologi lain, namun dengan maksud atau pengertian yang tetap sama, yaitu
keadaan kahar. Terminologi keadaan kahar dipergunakan dalam peraturan yang
mengatur mengenai pengadaan barang dan jasa. Sejalan dengan
perkembangannya, bergeser lagi dengan menggunakan terminologi keadaan
yang menghalangi.
--00--
10