DISUSUN OLEH :
1. KARINA DEA
2. DIAH IXSAR M.D
3. IMUNG DESY E.P
4. GONDO ARINTOKO
A. Latar Belakang
a. Data
Kecelakaan lalu lintas merupakan masalah kesehatan diseluruh dunia,
khususnya di negara berkembang. Kecelakaan lalu lintas dapat dialami oleh siapa saja
dan kapan saja. Berdasarkan prevalensi data menurut World Health of Organisation
(WHO) menyebutkan bahwa 1,24 juta korban meninggal tiap tahunnya di seluruh
dunia akibat kecelakaan lalu lintas. Menurut Departemen Kesehatan Republik
Indonesia (Depkes RI) tahun 2013 menyebutkan bahwa jenis fraktur yang paling
banyak terjadi yaitu ekstremitas bawah sebesar 65,2%. Menurut Desiartama &
Aryana (2017) di Indonesia kasus fraktur femur merupakan yang paling sering yaitu
sebesar 39% dimana penyebab terbesar fraktur femur adalah kecelakaan lalu lintas
yang biasanya disebabkan oleh kecelakaan mobil, motor, atau kendaraan rekreasi
(62,6%) dan jatuh (37,3%) dan mayoritas adalah pria (63,8%).4,5% Puncak distribusi
usia pada fraktur femur adalah pada usia dewasa (15 - 34 tahun) dan orang tua (diatas
70 tahun).
Laparatomi merupakan salah satu prosedur pembedahan mayor dengan
melakukan penyayatan pada lapisan-lapisan dinding abdomen untuk mendapatkan
bagian organ yang mengalami masalah. Data Tabulasi Nasional Departemen
Kesehatan Republik Indonesia menyatakan tindakan pembedahan menempati urutan
ke-11 dari 50 pertama pola penyakit di rumah sakit se-Indonesia dengan 12,8%,
diperkirakan 32% diantaranya merupakan tindakan laparatomi. Departemen
Kesehatan RI tahun 2011 menyatakan tindakan bedah laparotomi meningkat 20%
dari 1.320 kasus menjadi 1.567 kasus. (Sjamsuhidayat & Jong, 2010; Depkes RI,
2011).
Penatalaksanaan fraktur atau laparatomi tersebut dapat mengakibatkan masalah
atau komplikasi seperti kesemutan, nyeri, kekakuan otot, bengkak atau edema serta
pucat pada anggota gerak yang dioperasi (Carpintero, 2014). Masalah tersebut dapat
disebabkan oleh beberapa faktor salah satunya adalah kurang atau tidak dilakukannya
mobilisasi dini pasca pembedahan (Lestari, 2014). Pelaksanaan mobilisasi dini dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu pengetahuan, faktor demografi, faktor
fisiologis, gaya hidup, dukungan sosial serta faktor emosional yang salah satunya
yaitu kecemasan (Widuri, 2010). Kecemasan merupakan perasaan yang dialami
secara universal serta merupakan respons terhadap stress yang umumnya memiliki
fungsi adaptif yang memotivasi kita untuk bersiap menghadapi segala situasi
(O„Brien, 2014). Kozier & Erb (1999) dalam Hernawilly (2012) menyatakan bahwa
kondisi psikologi seseorang dapat menurunkan kemampuan untuk melakukan
pergerakan (mobilisasi), seseorang yang mengalami perasaan tidak aman dan
nyaman, kebahagiaan, kepercayaan, tidak termotivasi akan mudah mengalami
perubahan dalam melakukan pergerakan (mobilisasi).
Berdasarkan studi pendahuluan terdapat 3 dari 6 pasien post operasi belum
melakukan pergerakan paska operasi mengatakan masih belum berani banya
bergerak, karena khawatir akan bertambahnya nyeri.
b. Rumusan Masalah
Bagaimana penatalaksanaan mobilisasi dini dilakukan setelah pasien operasi?
B. Tujuan
a. Tujuan Umum
Setelah dilakukan pendidikan kesehatan tentang mobilisasi dini diharapkan
pasien dan keluarga mampu melaksanakan mobilisasi dini post operasi
b. Tujuan Khusus
Setelah mengikuti pendidikan kesehatan mobilisasi dini, pasien dan keluarga
dapat memahami dan menjelaskan tentang :
1. Pengertian mobilisasi dini
2. Tujuan dilakukannya mobilisasi dini
3. Tahapan mobilisasi dini
4. Cara melakukan mobilisasi
C. Bahasan
a. Pokok bahasan : Menjelaskan tentang mobilisasi dini
b. Sub bahasan :
1. Menjelaskan Pengertian mobilisasi dini
2. Menjelaskan Tujuan dilakukannya mobilisasi dini
3. Menjelaskan Tahap-tahap mobilisasi dini
4. Menjelaskan cara melakukan mobilisasi
D. Metode
1. Ceramah
2. Tanya jawab
3. Diskusi
4. Demonstrasi
E. Media
1. Layar TV
2. Leaflet
F. Pengorganisasian
Penanggung Jawab : Okti Sri Purwanti, S.kep., M.Kep., Ns., Sp.Mb
Moderator : Gondo arintoko
Penyaji : Diah Ixsar m.d
Fasilitator : Karina Dea
Notulen & timer : Imung Desy e.p
Observer : Yuli Setyowati S.Kep.,Ns
Tugas :
Penanggung Jawab : Bertanggung jawab atas acara penyuluhan
Penyaji : Bertugas memberikan penjelasan tentang materi yang akan
disampaikan kepada audiens
Observer : Bertugas mengobservasi jalannya kegiatan dari awal hingga
hingga akhir penyuluhan
G. Setting Tempat
Keterangan :
: LCD : Penanggung jawab dan observer
: Penyaji : Pasien
H. Kegiatan Penyuluhan
No. Waktu Kegiatan Penyuluhan Kegiatan Peserta Alokasi waktu
1. 10.00 – 10.05 Pembukaan: Menjawab salam 5 menit
WIB Memberikan salam Mendengarkan dan
Menjelaskan tujuan memperhatikan
Pendidikan kesehatan
Apersepsi
Menyebutkan materi
yang di sampaikan
2. 10.05 – 10.20 Pelaksanaan materi: Menyimak dan 15 menit
WIB Menjelaskan materi memperhatikan
pendidikan kesehatan
secara berurutan dan
teratur
Materi:
1. Pengertian mobilisasi
dini
2. Tujuan dilakukannya
mobilisasi dini
3. Tahap-tahap mobilisasi
dini
4. Cara melakukan
mobilisasi
Aktif bertanya dan
Memberi kesempatan menjawab post tes
kepada audience untuk
bertanya
LAMPIRAN MATERI
MOBILISASI POST OP
C. Macam-Macam Mobilisasi
Menurut Digiulio (2014) mobilisasi dibagi menjadi dua yakni :
a. Mobilisasi secara pasif
Mobilisasi dimana pasien dalam menggerakkan tubuhnya dengan cara dibantu
dengan orang lain secara total atau keseluruhan.
b. Mobilisasi secara aktif
Mobilisasi dimana pasien dalam menggerakkan tubuh dilakukan secara mandiri
tanpa bantuan dari orang lain.
Mobilisasi sudah dapat dilakukan sejak 8 jam setelah pembedahan, tentu setelah
pasien sadar atau anggota gerak tubuh dapat digerakkan kembali setelah dilakukan
pembiusan regional. Pada saat awal, pergerakan fisik bisa dilakukan di atas tempat
tidur dengan menggerakkan tangan dan kaki yang bisa ditekuk atau diluruskan,
mengkontraksikan otot-otot dalam keadaan statis maupun dinamis termasuk juga
menggerakkan badan lainnya, miring ke kiri atau ke kanan. Pada 12 sampai 24 jam
berikutnya atau bahkan lebih awal lagi badan sudah bisa diposisikan duduk, baik
bersandar maupun tidak dan fase selanjutnya duduk di atas tempat tidur dengan kaki
yang dijatuhkan atau ditempatkan di lantai sambil digerak-gerakan (Smeltzer &
Bare 2013).
Di hari kedua pasca operasi, rata-rata untuk pasien yang dirawat di kamar atau
bangsal dan tidak ada hambatan fisik untuk berjalan, semestinya memang sudah
bisa berdiri dan berjalan di sekitar kamar atau keluar kamar, misalnya berjalan
sendiri ke toilet atau kamar mandi dengan posisi infus yang tetap terjaga (Smeltzer
& Bare 2013).
Pada penelitian Lestari (2014) bergerak pasca operasi selain dihambat oleh rasa
nyeri terutama di sekitar luka operasi, bisa juga oleh beberapa selang yang
berhubungan dengan tubuh, seperti; infus, cateter, pipa nasogastrik
(NGT=nasogastric tube), drainage tube, kabel monitor dan lain-lain. Perangkat ini
pastilah berhubungan dengan jenis operasi yang dijalani. Namun paling tidak dokter
bedah akan mengintruksikan susternya untuk membuka atau melepas perangkat itu
tahap demi tahap seiring dengan perhitungan masa mobilisasi ini. Untuk operasi di
daerah kepala, seperti trepanasi, operasi terhadap tulang wajah, kasus THT, mata
dan lain-lain, setelah sadar baik, sudah harus bisa menggerakkan bagian badan
lainnya. Terhadap operasi yang dikerjakan di daerah dada, perhatian utama pada
pemulihan terhadap kemampuan otot-otot dada untuk tetap menjamin pergerakan
menghirup dan mengeluarkan nafas. Untuk operasi di perut, jika tidak ada
perangkat tambahan yang menyertai pasca operasi, tidak ada alasan untuk berlama-
lama berbaring di tempat tidur. Hernawilly (2012) menyatakan perlu diperhatikan
kapan diit makanan mulai diberikan, terutama untuk jenis operasi yang menyentuh
saluran pencernaan. Yang luka operasinya berada di areal punggung, misalnya pada
pemasangan fiksasi pada tulang belakang, kemampuan untuk duduk sedini mungkin
akan menjadi target dokter bedahnya. Sedangkan operasi yang melibatkan saluran
kemih dengan pemasangan cateter dan atau pipa drainage sudah akan memberikan
keleluasaan untuk bergerak sejak dua kali 24 jam pasca operasi. Apalagi operasi
yang hanya memperbaiki anggota gerak, seperti operasi patah tulang, sudah
menjadi kewajiban pasien untuk menggerakkan otot dan persendian di sekitar areal
luka operasinya secepat mungkin.
I. Cara melakukan mobilisasi dini
Menurut Gross, Fetto & Rosen, (2009)..
1. Cara melakukan nafas dalam
a. Posisi pasien terlentang, beri kenyamananan pasien
b. Ambil nafas dari hidung, keluarkan dari mulut selama 8 hitungan
c. Ulangi hingga 3 kali
2. Cara melatih gerak sendi
a. Posisi terlentang
b. memutar pergelangan kaki dan tangan,
c. lalu tekuk lutut dan sikut.
3. Cara memiringkan ke kanan dan kiri
a. Posisi terlentang, pasangkan pagar tempat tidur
b. Tekut kaki kanan, tangan kanan berpegangan ke pagar sebelah kiri
c. Lalu, miringkan badan ke arah kiri
(dan sebaliknya untuk miring ke kanan)
4. Cara mendudukan pasien
a. Miringkan pasien ke salah satu sisi
b. Bantu pasien mengangkat badannya hingga posisi duduk
c. Tanyakan apakah merasa pusing
5. Cara membantu pasien bersajalan
a. Posisikan pasien duduk, turunkan kedua kaki ke lantai
b. Rangkul pundak pasien dari arah depan untuk memposisikan pasien berdiri di
samping tempat tidur
c. Rangkul di salah satu sisi pundak pasien, dan bantu pasien berjalan
DAFTAR PUSTAKA