Jurnal Transplantasi Organ Tubuh Menurut Islam

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 7

JURNAL TRANSPLANTASI ORGAN TUBUH

MENURUT PANDANGAN ISLAM

BAB I
PENDAHULUAN

Masalah transplantasi organ tubuh merupakan masalah ijtihadiyah yang


terbuka kemungkinan untuk didiskusikan, karena belum pernah dibahas oleh para
ulama terdahulu seperti halnya bayi tabung, Eutanasia khususnya menyangkut
masalah-masalah kontemporer. Hal ini dikarenakan perubahan zaman yang semakin
lama semakin maju dan modern. Sehingga ilmu pengetahuan dan teknologi yang
semakin canggih menimbulkan masalah-masalah baru yang belum diterangkan
dalam Al-Qur`an, Hadits dan hasil ijtihad ulama-ulama terdahulu.
Namun, apa yang bisa dicapai dengan teknologi belum tentu bisa diterima
oleh agama dan hukum yang hidup di masyarakat. Karena itu, mengingat
transplantasi organ tubuh termasuk masalah ijtihadi, yang tidak terdapat hukumnya
secara eksplisit di dalam Al-Qur`an dan hadits, maka seharusnya masalah ini
dianalisis dengan memakai berbagai pendekatan. Supaya dapat diperoleh
kesimpulan berupa hukum ijtihadi yang proporsional dan mendasar yang tak lepas
dari Al-Qur`an dan As-Sunnah.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Transplantasi Organ Tubuh

Transplantasi atau pencangkokan organ tubuh adalah pemindahan organ


tubuh tertentu dari satu manusia kepada manusia lain. Dalam pelaksanaan
transplantasi organ tubuh ada tiga pihak yang terkait dengannya, yaitu: Orang yang
anggota tubuhnya dipindahkan disebut donor (pen-donor), sedang yang menerima
disebut repisien dan para dokter yang menangani operasi transplantasi dari pihak
donor kepada resipien.
Ditinjau dari segi kondisi donor (pendonor)-nya maka ada tiga keadaan donor:
1. Donor dalam keadaan hidup sehat;dalam keadaan ini harus diperhatikan dengan
cermat general check up (pemeriksaan kesehatan yang lengkap menyeluruh), baik
terhadap donor maupun resipien. Hal ini dilakukan untuk menghindari kegagalan
transpalantasi yang disebabkan adanya penolakan tubuh resipien. Dan mencegah
resiko bagi donor, karena sesuatu yang sudah sumbangkan tidak akan kembali
seperti sedia kala.
2. Donor dalam kedaan sakit (koma) yang diduga kuat akan meninggal segera, maka
dalam pengambilan organ tubuh memerlukan alat kontrol, misalnya dengan bantuan
alat pernapasan khusus.
3. Donor dalam keadaan meninggal. Dalam keadaan ini, organ tubuh yang akan
dicangkokkan diambil ketika donor sudah meninggal.

Dilihat dari hubungan genetik antara donor dan resipien, ada 3 macam
pencangkokan, yaitu ::
1. Auto transplantasi, yaitu transplantasi di mana donor resipiennya satu individu.
Seperti seorang yang pipinya dioperasi untuk memulihkan bentuk, diambillah daging
dari bagian badannya yang lain dalam badannya sendiri.
2. Homo transplantasi, yakni di mana transplantasi itu donor dan resipiennya
individu yang sama jenisnya (jenis manusia dengan manusia)
3. Hetero Transplantasi, ialah pendonor dan resipiennya dua individu yang berlainan
jenisnya.

B. Pandangan Hukum Islam Terhadap Transplantasi Organ


Tubuh

Sebagaimana dijelaskan ada tiga keadaan transplantasi dilakukan, yaitu pada


saat donor masih hidup sehat, donor ketika sakit (koma) dan diduga kuat akan
meninggal dan donor dalam keadaan sudah meninggal. Berikut hukum transplantasi
sesuai keadaannya masing-masing.

1. Transplantasi Organ Dari Donor Yang Masih Hidup.

Apabila pencangkokan tersebut dilakukan, di mana donor dalam keadaan sehat wal
afiat. Maka ada yang membolehkan dan ada yang melarang mengenai hukumnya.
Menurut Yusuf Qardhawi boleh mendonorkan anggota tubuhnya tetapi dia tidak
boleh mendonorkan seluruh anggota tubuhnya. Didalam kaidah syar'iyah ditetapkan
bahwa mudarat itu harus dihilangkan sedapat mungkin. Karena itulah kita
disyariatkan untuk menolong orang yang dalam keadaan tertekan/terpaksa,
menolong orang yang terluka, memberi makan orang yang kelaparan, melepaskan
tawanan, mengobati orang yang sakit, dan menyelamatkan orang yang menghadapi
bahaya, baik mengenai jiwanya maupun lainnya.

Maka tidak diperkenankan seorang muslim yang melihat suatu dharar


(bencana, bahaya) yang menimpa seseorang atau sekelompok orang, tetapi dia tidak
berusaha menghilangkan bahaya itu padahal dia mampu menghilangkannya, atau
tidak berusaha menghilangkannya menurut kemampuannya. Karena itu dikatakan
bahwa berusaha menghilangkan penderitaan seorang muslim merupakan tindakan
yang diperkenankan syara', bahkan terpuji dan berpahala bagi orang yang
melakukannya. Karena dengan demikian berarti dia menyayangi orang yang di
bumi, sehingga dia berhak mendapatkan kasih sayang dari yang di langit.

Tetapi Kebolehannya bersifat muqayyad (bersyarat), bahwa seseorang tidak


boleh mendonorkan anggota tubuhnya jika akan menimbulkan dharar, kemelaratan
dan kesengsaraan bagi dirinya. Oleh sebab itu, tidak diperkenankan seseorang
mendonorkan organ tubuh yang cuma satu-satunya dalam tubuhnya. Misal: hati,
jantung, karena seseorang tidak dapat hidup tanpa adanya organ tersebut. Kaidah
Hukum Islam:
Artinya” Bahaya tidak boleh dihilangkan dengan menimbulkan bahaya lainnya.”
Dalam kasus ini bahaya yang mengancam seorang resipien tidak boleh diatasi
dengan cara membuat bahaya dari orang lain, yakni pendonor. Para Ulama Ushul
menafsirkan kaidah tersebut dengan pengertian: tidak boleh menghilangkan dharar
dengan menimbulkan dharar yang sama atau yang lebih besar daripadanya.

Sedangkan menurut Dr. H. Abuddin Nata, dilarang (haram) berdasarkan alasan-


alasan sebagai berikut :

a. Firman Allah dalam surat Al-Baqarah: 195

Artinya:”Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu ke dalam kebinasaan”


Ayat tersebut mengingatkan agar jangan gegabah dalam melakukan sesuatu, tetapi
harus perhatikan akibatnya. Karena bisa berakibat fatal bagi diri donor, meskipun
perbuatan itu mempunyai tujuan kemanusiaan yang baik dan luhur. Orang yang
mendonorkan organ tubuhnya pada waktu ia masih hidup dan sehat kepada orang
lain, ia akan menghadapi resiko, sewaktu-waktu akan mengalami tidak normalnya
atau tidak berfungsinya mata atau ginjalnya yang tinggal sebuah itu . karena
mustahil Allah menciptakan mata atau ginjal secara berpasangan kalau tidak ada
hikmah dan mamfaatnya.

b. Kaidah hukum Islam:


Artinya: “Menolak kerusakan harus didahulukan atas meraih kemaslahatan”.
Dalam kasus ini, seseorang harus lebih mengutamakan memelihara dirinya dari
kebinasaan, dari pada menolong orang lain dengan cara mengorbankan diri sendiri,
sehingga ia tidak dapat melaksanakan kewajibannya dalam melaksanakan ibadah.
Misalnya pendonor mengorbankan dirinya dengan cara melepas organ tubuhnya
untuk diberikan kepada orang lain dan demi kemaslahatan orang lain, yakni resipien.
Sehingga berakibat fatal bagi dirinya, ini tidak dibolehkan dalam Islam.

2. Transplantasi Organ Tubuh Donor Dalam Keadaan Koma

Apabila transplantasi dilakukan terhadap donor yang dalam keadaan sakit (koma)
atau hampir meninggal, maka hukum Islam pun tidak membolehkan, karena hal ini
dapat mempercepat kematiannya dan mendahului kehendak Allah. Tidak etis apabila
melakukan transplantasi bagi orang yang sekarat. Seharusnya berusaha untuk
menyembuhkan orang yang sedang koma, meskipun menurut dokter sudah tidak ada
lagi harapan untuk sembuh. Sebab ada juga orang yang dapat sembuh kembali
walaupun hanya sebagian kecil. Oleh karena itu, mengambil organ tubuh donor
dalam keadaan koma tidak boleh menurut Islam berdasarkan alasan-alasan sebagai
berikut:

a. Hadits Rasulullah, dari Abu Sa`id, Sa`ad bin Sinan Al-Khudri, Rasulullah
bersabda :
Artinya:”Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh membayakan diri
orang lain.” (HR. Ibnu Majah). .
Dalam kasus ini adalah membuat madaharat pada diri orang lain, yakni pendonor
yang dalam keadaan sakit (koma) yang berakibat mempercepat kematiannya yang
disebut euthanasia

b. Manusia wajib berusaha untuk menyembuhkan penyakitnya demi


mempertahankan hidupnya, karena hidup dan mati itu urusan Allah SWT. Orang
tidak boleh menyebabkan matinya orang lain. Dalam kasus ini orang yang sedang
sakit (koma) akan meninggal dengan diambil organ tubuhnya tersebut. Sekalipun
tujuan dari pencangkokan tersebut adalah mulia, yakni untuk menyembuhkan
sakitnya orang lain (resipien).

3. Transplantasi Organ Dari Donor Yang Telah Meninggal

Apabila pencangkokan dilakukan ketika pendonor telah meninggal, baik secara


medis maupun yuridis, maka menurut hukum Islam ada yang membolehkan dan ada
yang mengharamkan. Yang membolehkan menggantungkan pada tiga syarat sebagai
berikut:

a. Resipien dalam keadaan darurat yang dapat mengancam jiwanya bila tidak
dilakukan transplantasi itu, sedangkan ia sudah menempuh pengobatan secara medis
dan non medis, tapi tidak berhasil. Hal ini berdasarkan qaidah fiqhiyah: “Darurat
akan membolehkan yang diharamkan”.
b. Pencangkokan cocok dengan organ resipien dan tidak akan menimbulkan
komplikasi penyakit yang lebih berat bagi repisien dibandingkan dengan keadaan
sebelum pencangkokan.

c. Harus ada wasiat dari donor kepada ahli warisnya untuk menyumbangkan organ
tubuhnya bila ia meninggal, atau ada izin dari ahli warisnya.

Demikian ini sesuai dengan fatwa Majelis Ulama Indonesia tanggal 29 Juni
1987, bahwa: “Dalam kondisi tidak ada pilihan lain yang lebih baik, maka
pengambilan katup jantung orang yang telah meninggal untuk kepentingan orang
yang masih hidup dapat dibenarkan oleh hokum Islam dengan syarat ada izin dari
yang bersangkutan (wasiat ketika masih hidup) dan izin keluarga atau ahli waris”.

Adapun alasan membolehkannya adalah sebagai berikut:

1. Al-Qur’an Surat Al-Baqarah 195 seperti yang di atas.

Bahwa ayat tersebut secara analogis dapat difahami, bahwa Islam tidak
membenarkan pula orang membiarkan dirinya dalam keadaan bahaya atau tidak
berfungsi organ tubuhnya yang sangat vital baginya, tanpa ausaha-usaha
penyembuhannya secara medis dan non-medis termasuk pencangkokan organ tubuh
yang secara medis memberi harapan kepada yang bersangkutan untuk bisa bertahan
hidup.

2. Surat Al-Maidah: 32.

Artinya;”Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka


seolah-olah ia memelihara kehidupan manusia seluruhnya.”
Ayat ini menunjukkan bahwa Islam sangat menghargai tindakan kemanusiaan yang
dapat menyelamatkan jiwa manusia. misalnya dalam kasus ini seseorang yang
dengan ikhlas menyumbangkan organ tubuhnya setelah meninggal, maka Islam
membolehkan. Bahkan memandangnya sebagai amal perbuatan kemanusiaan yang
tinggi nilainya, lantaran menolong jiwa sesama manusia atau membantu
berfungsinya kembali organ tubuh sesamanya yang tidak berfungsi.

3. Surah Al-Maidah ayat 2:

Artinya: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa,


dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran”.

4. Hadits Nabi SAW yang artinya:”Berobatlah wahai hamba Allah, karen


sesungguhnya Allah tidak meletakkan penyakit kecuali Dia meletakkan jua obatnya,
kecuali satu penyakit yang tidak ada obatnya, yaitu penyakit tua.”
Hadits ini menunjukkan bahwa wajib hukumnya berobat bila sakit, apapun jenis
penyakitnya, kecuali penyakit tua. Dalam kasus ini, pengobatannya adalah dengan
cara transplantasi organ tubuh, sebagai upaya untuk menghilangkan penyakit
hukumnya mubah asalkan tidak melanggar norma ajaran Islam.

5. Kaidah hukum Islam

Artinya:”Kemadharatan harus dihilangkan”


Seorang yang menderita sakit jantung atau ginjal yang hampir menghadapi maut
sewaktu-waktu. Maka menurut kaidah hukum di atas, bahaya tersebut harus di
tanggulangi dengan usaha pengobatan yakni transplantasi organ tubuh.
Dari dalil-dalil tersebut menyuruh berbuat baik kepada sesama manusia dan saling
tolong menolong dalam kebaikan. Menyumbangkan organ tubuh si mayit merupakan
suatu perbuatan tolong menolong dalam kebaikan karena memberi mamfaat bagi
orang lain yang sangat memerlukannya.
Sedangkan yang mengatakan tidak boleh, karena agama Islam sangat menjunjung
tinggi manusia, baik yang hidup maupun yang sudah mati. Sebab manusia memiliki
banyak kelebihan yang tidak dimiliki makhluk lainnya. Maka wajar Allah
memuliakan manusia berdasarkan Surah Al-Isra` ayat 70:

Artinya: “Dan Sesungguhnya Telah kami muliakan anak-anak Adam, kami angkut
mereka di daratan dan di lautan, kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan
kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang Sempurna atas kebanyakan makhluk
yang Telah kami ciptakan.”
Oleh karena itu, kita harus mengormati jasad manusia walaupun sudah meninggal.
Karena Allah SWT telah menetapkan bahwa mayat mempun¬yai kehormatan yang
wajib dipelihara sebagaimana kehormatan orang hidup. Dan Allah telah
mengharamkan pelanggaran terha¬dap kehormatan mayat sebagaimana pelanggaran
terhadap kehor¬matan orang hidup. Allah menetapkan pula bahwa menganiaya
mayat sama saja dosanya dengan menganiaya orang hidup. Sebagaimana Rasulullah
SAW bersabda yang diriwayatkan dari A’isyah Ummul Mu’minin RA yang artinya:
“Memecahkan tulang mayat itu sama dengan memecahkan tulang orang hidup.”
(HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Hibban).

Akan tetapi menurut pemakalah, meskipun pekerjaan transplantasi itu ada yang
mengharamkan walau pada orang yang sudah meninggal. Demi kemaslahatan karena
membantu orang lain yang sangat membutuhkannya, maka hukumnya boleh selama
dalam pekerjaan transplantasi itu tidak ada unsur merusak tubuh mayat sebagai
penghinaan kepadanya. Hal ini berdasarkan qaidah fiqhiyah: “Apabila bertemu dua
hal yang mendatangkan mafsadah maka dipertahankan yang mendatangkan
mudharat yang paling besar, dengan melakukan perbuatan yang paling ringan
madhratnya dari dua mudharat”.
BAB III
KESIMPULAN

Dari uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:


1. Transplantasi organ tubuh yang dilakukan ketika pendonor hidup sehat maka
hukumnya boleh selama ia tidak mudhrat atau kesengsaraan bagi si pendonor.
2. Transplantasi organ tubuh yang dilakukan ketika pendonor sakit (koma),
hukumnya haram.
3. Transplantasi organ tubuh yang dilakukan ketika pendonor telah meninggal, ada
yang berpendapat boleh dan ada yang berpendapat haram.

BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

 Aibak, Kutbuddin, Fiqh Kontemporer, Surabaya: Lembaga Kajian Agama


dan Filsafat, 2009.
 As-Sayuthi, Imam Jalaluddin `Abdirrahman ibn Abi Bakr, Al-Asybahu wan
Nadhair,
 Toko Kitab Hidayah, 1965.
 Depag RI, Al-Qur`an dan Terjemahannya, Depag RI: 2002.
 Nata, Abuddin, Masail Al-Fiqhiyah, Jakarta: Kencana, 2006.
 Nawawi, Imam, Terjemah Matan Hadits Arba`in, Solo: Insan Kamil, 2010.
 Qardhawi, Yusuf, Fatwa-fatwa Kontemporer, Jakarta: Gema Insani Press,
1995.

Anda mungkin juga menyukai