Jurnal Transplantasi Organ Tubuh Menurut Islam
Jurnal Transplantasi Organ Tubuh Menurut Islam
Jurnal Transplantasi Organ Tubuh Menurut Islam
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
PEMBAHASAN
Dilihat dari hubungan genetik antara donor dan resipien, ada 3 macam
pencangkokan, yaitu ::
1. Auto transplantasi, yaitu transplantasi di mana donor resipiennya satu individu.
Seperti seorang yang pipinya dioperasi untuk memulihkan bentuk, diambillah daging
dari bagian badannya yang lain dalam badannya sendiri.
2. Homo transplantasi, yakni di mana transplantasi itu donor dan resipiennya
individu yang sama jenisnya (jenis manusia dengan manusia)
3. Hetero Transplantasi, ialah pendonor dan resipiennya dua individu yang berlainan
jenisnya.
Apabila pencangkokan tersebut dilakukan, di mana donor dalam keadaan sehat wal
afiat. Maka ada yang membolehkan dan ada yang melarang mengenai hukumnya.
Menurut Yusuf Qardhawi boleh mendonorkan anggota tubuhnya tetapi dia tidak
boleh mendonorkan seluruh anggota tubuhnya. Didalam kaidah syar'iyah ditetapkan
bahwa mudarat itu harus dihilangkan sedapat mungkin. Karena itulah kita
disyariatkan untuk menolong orang yang dalam keadaan tertekan/terpaksa,
menolong orang yang terluka, memberi makan orang yang kelaparan, melepaskan
tawanan, mengobati orang yang sakit, dan menyelamatkan orang yang menghadapi
bahaya, baik mengenai jiwanya maupun lainnya.
Apabila transplantasi dilakukan terhadap donor yang dalam keadaan sakit (koma)
atau hampir meninggal, maka hukum Islam pun tidak membolehkan, karena hal ini
dapat mempercepat kematiannya dan mendahului kehendak Allah. Tidak etis apabila
melakukan transplantasi bagi orang yang sekarat. Seharusnya berusaha untuk
menyembuhkan orang yang sedang koma, meskipun menurut dokter sudah tidak ada
lagi harapan untuk sembuh. Sebab ada juga orang yang dapat sembuh kembali
walaupun hanya sebagian kecil. Oleh karena itu, mengambil organ tubuh donor
dalam keadaan koma tidak boleh menurut Islam berdasarkan alasan-alasan sebagai
berikut:
a. Hadits Rasulullah, dari Abu Sa`id, Sa`ad bin Sinan Al-Khudri, Rasulullah
bersabda :
Artinya:”Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh membayakan diri
orang lain.” (HR. Ibnu Majah). .
Dalam kasus ini adalah membuat madaharat pada diri orang lain, yakni pendonor
yang dalam keadaan sakit (koma) yang berakibat mempercepat kematiannya yang
disebut euthanasia
a. Resipien dalam keadaan darurat yang dapat mengancam jiwanya bila tidak
dilakukan transplantasi itu, sedangkan ia sudah menempuh pengobatan secara medis
dan non medis, tapi tidak berhasil. Hal ini berdasarkan qaidah fiqhiyah: “Darurat
akan membolehkan yang diharamkan”.
b. Pencangkokan cocok dengan organ resipien dan tidak akan menimbulkan
komplikasi penyakit yang lebih berat bagi repisien dibandingkan dengan keadaan
sebelum pencangkokan.
c. Harus ada wasiat dari donor kepada ahli warisnya untuk menyumbangkan organ
tubuhnya bila ia meninggal, atau ada izin dari ahli warisnya.
Demikian ini sesuai dengan fatwa Majelis Ulama Indonesia tanggal 29 Juni
1987, bahwa: “Dalam kondisi tidak ada pilihan lain yang lebih baik, maka
pengambilan katup jantung orang yang telah meninggal untuk kepentingan orang
yang masih hidup dapat dibenarkan oleh hokum Islam dengan syarat ada izin dari
yang bersangkutan (wasiat ketika masih hidup) dan izin keluarga atau ahli waris”.
Bahwa ayat tersebut secara analogis dapat difahami, bahwa Islam tidak
membenarkan pula orang membiarkan dirinya dalam keadaan bahaya atau tidak
berfungsi organ tubuhnya yang sangat vital baginya, tanpa ausaha-usaha
penyembuhannya secara medis dan non-medis termasuk pencangkokan organ tubuh
yang secara medis memberi harapan kepada yang bersangkutan untuk bisa bertahan
hidup.
Artinya: “Dan Sesungguhnya Telah kami muliakan anak-anak Adam, kami angkut
mereka di daratan dan di lautan, kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan
kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang Sempurna atas kebanyakan makhluk
yang Telah kami ciptakan.”
Oleh karena itu, kita harus mengormati jasad manusia walaupun sudah meninggal.
Karena Allah SWT telah menetapkan bahwa mayat mempun¬yai kehormatan yang
wajib dipelihara sebagaimana kehormatan orang hidup. Dan Allah telah
mengharamkan pelanggaran terha¬dap kehormatan mayat sebagaimana pelanggaran
terhadap kehor¬matan orang hidup. Allah menetapkan pula bahwa menganiaya
mayat sama saja dosanya dengan menganiaya orang hidup. Sebagaimana Rasulullah
SAW bersabda yang diriwayatkan dari A’isyah Ummul Mu’minin RA yang artinya:
“Memecahkan tulang mayat itu sama dengan memecahkan tulang orang hidup.”
(HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Hibban).
Akan tetapi menurut pemakalah, meskipun pekerjaan transplantasi itu ada yang
mengharamkan walau pada orang yang sudah meninggal. Demi kemaslahatan karena
membantu orang lain yang sangat membutuhkannya, maka hukumnya boleh selama
dalam pekerjaan transplantasi itu tidak ada unsur merusak tubuh mayat sebagai
penghinaan kepadanya. Hal ini berdasarkan qaidah fiqhiyah: “Apabila bertemu dua
hal yang mendatangkan mafsadah maka dipertahankan yang mendatangkan
mudharat yang paling besar, dengan melakukan perbuatan yang paling ringan
madhratnya dari dua mudharat”.
BAB III
KESIMPULAN
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA