TINJAUAN PUSTAKA
Thalasemia
Definisi
Thalasemia adalah sekelompok heterogen anemia hipokromik herediter
dengan berbagai derajat keparahan. Defek genetik yang mendasari meliputi delesi
total atau parsial gen globin dan substitusi, delesi, atau insersi nukleotida. Akibat
dari berbagai perubahan ini adalah penurunan atau tidak adanya mRNA bagi satu
atau lebih rantai globin atau pembentukan mRNA yang cacat secara fungsional.
Akibatnya adalah penurunan dan supresi total sintesis rantai polipeptida Hb. Kira-
kira 100 mutasi yang berbeda telah ditemukan mengakibatkan fenotip thalasemia;
banyak di antara mutasi ini adalah unik untuk daerah geografi setempat. Pada
umumnya, rantai globin yang disintesis dalam eritrosit thalasemia secara struktural
adalah normal. Pada bentuk thalasemia-α yang berat, terbentuk hemoglobin
hemotetramer abnormal (β4 atau γ4) tetapi komponen polipeptida globin
mempunyai struktur normal. Sebaliknya, sejumlah Hb abnormal juga menyebabkan
perubahan hemotologi mirip thalasemia .
Epidemiologi
Di seluruh dunia, 15 juta orang memiliki presentasi klinis dari thalasemia.
Fakta ini mendukung thalasemia sebagai salah satu penyakit turunan yang
terbanyak; menyerang hampir semua golongan etnik dan terdapat pada hampir
seluruh negara di dunia.(2)
Beberapa tipe thalasemia lebih umum terdapat pada area tertentu di dunia.
Thalasemia o ditemukan terutama di Asia Tenggara dan kepulauan Mediterania,
thalasemia + tersebar di Afrika, Mediterania, Timor Tengah, India dan Asia
Tenggara. Angka kariernya mencapai 40-80%.
b. Ras (2)
Meskipun thalasemia ditemukan pada semua ras dan etnik grup, ada
beberapa tipe thalasemia yang sering ditemukan pada grup tertentu dibanding
dengan yang lain. β thalasemia biasa ditemukan di Eropa Selatan, Timur Tengah,
India, dan Africa. α thalasemia biasa ditemukan di Asia Tenggara; meskipun juga
ditemukan di bagian dunia yang lain. Mutasi spesifik pada thalasemia sudah dapat
discrenning dan didiagnostik kelainannya. α thalasemia trait di Afrika is biasanya
bukan dari cis-delesi dari kromosom 16, berbeda dengan di Asia Tenggara, dimana
terjadi komplit absence dari α gene pada salah satu chromosome. Pada kedua orang
tua yang memiliki cis-delesi, bayinya bias saja mengalami hydrps fetalis. Karena
alasan ini, hydops fetalis tidak beresiko tinggi oada rang Afrika tetapi beresiko
tinggi pada Asia Tenggara.
c. Sex (2)
d. Usia (2)
Meskipun thalasemia merupakan penyakit turunan (genetik), usia saat
timbulnya gejala bervariasi secara signifikan. Dalam thalasemia, kelainan klinis
pada pasien dengan kasus-kasus yang parah dan temuan hematologik pada
pembawa (carrier) tampak jelas pada saat lahir. Ditemukannya hipokromia dan
mikrositosis yang tidak jelas penyebabnya pada neonatus, digambarkan di bawah
ini, sangat mendukung diagnosis.
Gambar 2. Sapuan apus darah tepi Penyakit Hb H pada neonatus
Namun, pada thalasemia-β berat, gejala mungkin tidak jelas sampai paruh
kedua tahun pertama kehidupan; sampai waktu itu, produksi rantai globin γ dan
penggabungannya ke Hb Fetal dapat menutupi gejala untuk sementara.
Bentuk thalasemia ringan sering ditemukan secara kebetulan pada berbagai
usia. Banyak pasien dengan kondisi thalasemia-β homozigot yang jelas (yaitu,
hipokromasia, mikrositosis, elektroforesis negatif untuk Hb A, bukti bahwa kedua
orang tua terpengaruh) mungkin tidak menunjukkan gejala atau anemia yang
signifikan selama beberapa tahun. Hampir semua pasien dengan kondisi tersebut
dikategorikan sebagai thalasemia-β intermedia. Situasi ini biasanya terjadi jika
pasien mengalami mutasi yang lebih ringan, yaitu gabungan heterozygote for B+
dan B -0 thalssemia, atau gabungan dengan heterozygote yang lain.
Fisiologi Hematopoesis
Maximow (1924) mengemukakan suatu dalil bahwa sel darah berasal dari
satu sel induk. Hal ini kemudian dikembangkan oleh Downey (1938) yang
membuat hipotesa dengan konsep hirarki dari sel pluripoten dan selanjutnya Till
dan Mc Culloch (1961) menyimpulkan bahwa satu sel induk merupakan koloni
yang memperlihatkan diferensiasi multilineage atau pluripoten menjadi eritroid,
mieloid serta megakariosit. Dari penelitian-penelitian tersebut ditetapkan bahwa sel
stem ada pada hematopoisis. Sistem hematopoitik mempunyai karakteristik berupa
pergantian sel yang konstan untuk mempertahankan populasi leukosit, trombosit
dan eritrosit.(3)
Sistem hematopoitik dibagi menjadi 3, yaitu:
Makrofag
3. Hematopoisis medular
Merupakan periode terakhir pembentukan sistem hematopoisis dan dimulai
sejak masa gestasi ulan. Ruang medular terbentuk dalam tulang rawan dan tulang
panjang dengan proses reabsorpsi.
Pada masa gestasi 32 minggu sampai lahir, semua rongga sumsum tulang
diisi jaringan hematopoitik yang aktif dan sumsum tulang penuh berisi sel
darah. Dalam perkembangan selanjutnya fungsi pembuatan sel darah diambil
alih oleh sumsum tulang, sedangkan hepar tidak berfungsi membuat sel darah
lagi. (3)
Sel mesenkim yang mempunyai kemampuan untuk membentuk sel darah
menjadi kurang, tetapi tetap ada dalam sumsum tulang, hati, limpa, kelenjar
getah bening dan dinding usus, dikenal sebagai sistem retikuloendotelial.
Pada bayi dan anak, hematopoisis yang aktif terutama pada sumsum
tulang termasuk bagian distal tulang panjang. Hal ini berbeda dengan dewasa
normal di mana hematopoisis terbatas pada vertebra (tulang belakang), tulang
iga, tulang dada (sternum), pelvis, skapula, skull (tulang tengkorak kepala) dan
jarang yang berlokasi pada humerus dan femur.
Selama masa intra uterin, hematopoisis terdapat pada tulang (skeletal)
dan ekstraskeletal dan pada waktu lahir hematopoisis terutama pada skeletal.
Secara umum hematopoisis extra medular terutama pada organ perut, terjadi
akibat penyakit yang menyebabkan gangguan produksi satu atau lebih tipe sel
darah, seperti eritroblastosis fetalis, anemia pernisiosa, thalasemia, nickel cell
anemia, sferositosis herediter dan variasi leukemia.
Perpindahan lokasi anatomi hematopoisis disertai perpindahan populasi sel
sampai ini belum dapat diketahui mekanismenya. (3)
Gambar 5. Pembentukan sel darah
b. Hemoglobin(4)
Merupakan kompleks protein yang terdiri dari heme yang mengandung besi
dan globin dengan interaksi dianatar heme dan globin menyebabkan hemoglobin
(Hb) merupakan perangkat yang ireversibel untuk mengangkut oksigen. Sesuai
dengan rangkaian hematopoisis yang dimulai dari yolk sac, limpa, hati dan sumsum
tulang diikuti juga dengan variasi sintesis hemoglobin. Sejak masa embrio, janin,
anak dan dewasa sel darah merah mempunyai 6 hemoglobin antara lain:
Hemoglobin embrional : Gower-1, Gower-2, Portland
Hemoglobin fetal : Hb-F
Hemoglobin dewasa : Hb-A1 dan Hb-A2
1. Hemoglobin embrional(4)
Selama masa gestasi 2 minggu pertama, eritroblas priomitif dalam yolk sac
membentuk rantai globin-epsilon () dan zeta (Z) yang akan membentuk
hemoglobin primitive Gower-1 (Z22). Selanjutnya mulai sintesis rantai α
mengganti rantai zeta; rantai γ mengganti rantai di yolk sac, yang akan
membentuk Hb-Portland (Z2γ2) dan Gower-2 (α22)
Hemoglobin yang ditemukan terutama pada masa gestasi 4-8 minggu adalah
Hb-Gower-1 dan Gower-2 yaitu kira-kira 75% dan merupakan hemoglobin yang
disintesis di yolk sac, tetapi akan menghilang pada masa gestasi 3 bulan.
2. Hemoglobin fetal(4)
Migrasi pluripoten stem cell dari yolk sac ke hati, diikuti dengan sintesis
hemoglobin fetal dan awal sintesis rantai β. Setelah masa gestasi 8 minggu Hb-F
paling dominan dan setelah janin berusai 6 bulan merupakan 90% dari keseluruhan
hemoglobin, kemudian berkurang bertahap dan pada saat lahir ditemukan kira-kira
70% Hb-F. sintesis Hb-F menuurun secara cepat setelah bayi lahir dan setelah usia
6-12 bulan hanya sedikit ditemukan.
3. Hemoglobin dewasa(4)
Pada masa embrio telah dapat dideteksi HbA (α2β2) karena telah terjadi
perubahan sintesis rantai γ menjadi β dan selanjutnya globin β meningkat pada
,masa gestasi 6 bulan ditemukan 5-10% HbA, pada waktu lahir mencapai 30% dan
pada usia 6-12 bulan sudah memperlihatkan gambaran hemoglobin dewasa.
Hemoglobin dewasa minor (HbA2) ditemukan kira-kira 1% pada saat lahir
dan pada usia 12 bulan mencapai 2-3,4%, dengan rasio normal antara HbA dan
HbA2 adalah 30:1.Perubahan hemoglobin janin ke dewasa merupakan proses
biologi berupa diferensiasi sel induk eritroid, sel stem pluripoten, gen dan reseptor
yang mempengaruhi eritroid dan dikontrol oleh factor humoral.
Gambar 6. Sintesis rantai globin primitive dan definitive selama periode
embrional, fetal dan pascanatal dalam hubungannya dengan perubahan tempat
eritropoisis.
Patofisiologi
Hemoglobin (Hb) tersusun atas heme yang merupakan cincin porfirin dalam
ikatan dengan Fe dan globulin yang merupakan protein pendukung. Satu molekul
hemoglobin mengandung 4 sub-unit. Masing-masing sub-unit tersusun atas satu
molekul globin dan satu molekul heme.
Globulin terdiri atas 2 pasang rantai polipeptida, yaitu sepasang rantai α dan
sepasang rantai non alpha (β,γ,δ). Kombinasi rantai polipeptida tersebut akan
menentukan jenis hemoglobin. Hb A (2α2β) merupakan lebih dari 96 % Hb total,
Hb F (2α2γ) kurang dari 2% dan Hb A2 (2α2δ) kurang dari 3%. Pada janin
trisemester III kehamilan hampir 100% Hb adalah Hb F. Setelah lahir, sintesis
globin γ makin menurun digantikan oleh globin δ.
Genotip
Αα β/β γ/γ
δ/δ
Polipetida yang terbentuk α β γ δ
Pada thalasemia homozigot sintesis rantai menurun atau tidak ada sintesis
sama sekali. Ketidakseimbangan sintesis rantai alpha atau rantai non alpha,
khususnya kekurangan sintesis rantai β akan menyebabkan kurangnya
pembentukan Hb.
Sel darah merah yang sudah rusak tersebut akan dihancurkan oleh limpa,
hepar, dan sumsum tulang, menggambarkan komponen hemolitik dari penyakit ini.
Sel darah merah yang mengandung jumlah Hb F yang lebih tinggi mempunyai umur
yang lebih panjang.
Klasifikasi
Sebagaimana telah disebutkan di atas, secara garis besar terdapat dua tipe
utama thalasemia yaitu α thalasemia dan β thalasemia. Selain itu juga terdapat tipe
thalasemia lain seperti thalasemia intermediate.
Thalasemia α
Penghapusan 4 gen- hydrops fetalis Kematian in utero
Penghapusan 3 gen- penyakit Hb H Anemia hemolitik
Thalasemia intermediate
Thalasemia-α(7)
Anemia mikrositik yang disebabkan oleh defisiensi sintesis globin-α banyak
ditemukan di Afrika, negara di daerah Mediterania, dan sebagian besar Asia. Delesi
gen globin-α menyebabkan sebagian besar kelainan ini. Terdapat empat gen globin-
α pada individu normal, dan empat bentuk thalasemia-α yang berbeda telah
diketahui sesuai dengan delesi satu, dua, tiga, dan semua empat gen ini.
Tabel 1. Thalasemia-α
Genotip Jumlah gen α Presentasi Hemoglobin Elektroforesis
Klinis Saat Lahir > 6 bulan
αα/αα 4 Normal N N
-α/αα 3 Silent carrier 0-3 % Hb N
Barts
--/αα atau 2 Trait thal-α 2-10% Hb N
–α/-α Barts
--/-α 1 Penyakit Hb H 15-30% Hb Hb H
Bart
--/-- 0 Hydrops fetalis >75% Hb Bart -
Ket : N = hasil normal, Hb = hemoglobin, Hb Bart’s = γ4, HbH = β4
b. Trait thalasemia-α
- Trait ini dikarakterisasi dengan anemia ringan dan jumlah sel darah merah
yang rendah. Kondisi ini disebabkan oleh hilangnya 2 gen α pada satu
kromosom 16 atau satu gen α pada masing-masing kromosom. Kelainan ini
sering ditemukan di Asia Tenggara, subbenua India, dan Timur Tengah.
- Pada bayi baru lahir yang terkena, sejumlah kecil Hb Barts (γ4) dapat
ditemukan pada elektroforesis Hb. Lewat umur satu bulan, Hb Barts tidak
terlihat lagi, dan kadar Hb A2 dan HbF secara khas normal. (7)
Gambar 7. Thalasemia alpha menurut hukum Mendel (6)
c. Penyakit Hb H
d. Thalasemia-α mayor
- Bentuk thalasemia yang paling berat, disebabkan oleh delesi semua gen
globin-α, disertai dengan tidak ada sintesis rantai α sama sekali.
- Karena Hb F, Hb A, dan Hb A2 semuanya mengandung rantai α, maka tidak
satupun dari Hb ini terbentuk. Hb Barts (γ4) mendominasi pada bayi yang
menderita, dan karena γ4 memiliki afinitas oksigen yang tinggi, maka bayi-
bayi itu mengalami hipoksia berat. Eritrositnya juga mengandung sejumlah
kecil Hb embrional normal (Hb Portland = ζ2γ2), yang berfungsi sebagai
pengangkut oksigen.
- Kebanyakan dari bayi-bayi ini lahir mati, dan kebanyakan dari bayi yang
lahir hidup meninggal dalam waktu beberapa jam. Bayi ini sangat hidropik,
dengan gagal jantung kongestif dan edema anasarka berat. Yang dapat hidup
dengan manajemen neonatus agresif juga nantinya akan sangat bergantung
dengan transfusi. (7)
Thalasemia-β (8)
Sama dengan thalasemia-α, dikenal beberapa bentuk klinis dari thalasemia-
β; antara lain :
Gambar 11. Deformitas tulang pada thalasemia beta mayor (Facies Cooley)
- Pucat, hemosiderosis, dan ikterus sama-sama memberi kesan coklat
kekuningan. Limpa dan hati membesar karena hematopoesis ekstrameduler
dan hemosiderosis. Pada penderita yang lebih tua, limpa mungkin
sedemikian besarnya sehingga menimbulkan ketidaknyamanan mekanis
dan hipersplenisme sekunder.
- Pertumbuhan terganggu pada anak yang lebih tua; pubertas terlambat atau
tidak terjadi karena kelainan endokrin sekunder. Diabetes mellitus yang
disebabkan oleh siderosis pankreas mungkin terjadi. Komplikasi jantung,
termasuk aritmia dan gagal jantung kongestif kronis yang disebabkan oleh
siderosis miokardium sering merupakan kejadian terminal.
- Kelainan morfologi eritrosit pada penderita thalasemia-β° homozigot yang
tidak ditransfusi adalah ekstrem. Disamping hipokromia dan mikrositosis
berat, banyak ditemukan poikilosit yang terfragmentasi, aneh (sel bizarre)
dan sel target. Sejumlah besar eritrosit yang berinti ada di darah tepi,
terutama setelah splenektomi. Inklusi intraeritrositik, yang merupakan
presipitasi kelebihan rantai α, juga terlihat pasca splenektomi. Kadar Hb
turun secara cepat menjadi < 5 gr/dL kecuali mendapat transfusi. Kadar
serum besi tinggi dengan saturasi kapasitas pengikat besi (iron binding
capacity). Gambaran biokimiawi yang nyata adalah adanya kadar HbF yang
sangat tinggi dalam eritrosit. (8)
Diagnosis Banding
Thalasemia sering kali didiagnosis salah sebagai anemia defisiensi Fe, hal
ini disebabkan oleh karena kemiripan gejala yang ditimbulkan, dan gambaran
eritrosit mikrositik hipokrom. Namun kedua penyakit ini dapat dibedakan, karena
pada anemia defisiensi Fe didapatkan : (10)
Pemeriksaan Penunjang
- Hitung retikulosit
Hitung retikulosit meningkat antara 2-8 %.
Kadar unconjugated bilirubin akan meningkat sampai 2-4 mg%. bila angka
tersebut sudah terlampaui maka harus dipikir adanya kemungkinan hepatitis,
obstruksi batu empedu dan cholangitis. Serum SGOT dan SGPT akan meningkat
dan menandakan adanya kerusakan hepar. Akibat dari kerusakan ini akan berakibat
juga terjadi kelainan dalam faktor pembekuan darah.
2. Elektroforesis Hb (2)
Pada sumsum tulang akan tampak suatu proses eritropoesis yang sangat
aktif sekali. Ratio rata-rata antara myeloid dan eritroid adalah 0,8. pada keadaan
normal biasanya nilai perbandingannya 10 : 3.
Ada hubungan erat antara metabolisme tulang dan eritropoesis. Bila tidak
mendapat tranfusi dijumpai osteopeni, resorbsi tulang meningkat, mineralisasi
berkurang, dan dapat diperbaiki dengan pemberian tranfusi darah secara berkala.
Apabila tranfusi tidak optimal terjadi ekspansi rongga sumsum dan penipisan dari
korteknya. Trabekulasi memberi gambaran mozaik pada tulang. Tulang terngkorak
memberikan gambaran yang khas, disebut dengan “hair on end” yaitu menyerupai
rambut berdiri potongan pendek pada anak besar.
Gambar 15. Gmabar rontgen kepala “Hair on end” dan tulang panjang yang terjadi
penipisan korteks.
7. Pemeriksaan mata, pendengaran, fungsi ginjal dan test darah rutin untuk
memonitor efek terapi deferoxamine (DFO) dan shelating agent. (9)
Komplikasi
-
Splenomegali karena penimbunan besi dan eritrosit abnormal, leukosit dan
trombosit.
-
Anak dengan β thalasemia mayor dengan transfuse yang tidak adekuat dapat
menyebabkan pertumbuhan kurang dan mudah terinfeksi, hepatosplenomegali,
penipisan cortex tulang dan mudah fraktur.
-
Hemosdierosis akibat pemberian transfuse, sehingga kadar serum besi yang
berlebihan.
-
Kerusakan hepar yang disebabkan oleh besi yang berhubungan dengan
komplikasi sekunder dari transfuse dan infeksi hepatitis C merupakan penyebab
tersering hepatitis pada anak dengan thalasemia.
-
Congestive heart failure dan cardiac aritmia pada transfusi tanpa chelating
agent.
-
Thrombosis dan septikemia pada splenektomi
-
Wanita dengan fetus α- thalasemia meningkatkan komplikasi pada kehamilan
karena toksikemia dan peradarahan post partum. (10)
Terapi
d. Terapi Bedah(4)
Skrinning
Ada 2 pendekatan untuk menghinadari thalasemia:
i. Karena karier thalasemia β bias diketahui dengan mudah, skrinning populasi dan
koseling tentang pasangan bisa dilakukan. Bila heterozigot menikah, 1 dari 4
anak mereka bisa menjadi homozigot atau gabungan heterozigot.
ii. Bila ibu heterozigot sudah diketahui sebelum lahir, pasangannya bisa diperiksa
dan bila termasuk karier, pasangan tersebut ditawari diagnosis prenatal dan
terminasi kehamilan pada fetus dengan thalasemia β berat.
Prognosis
TEORI KASUS
ANAMNESIS
DIAGNOSIS
PENATALAKSANAAN
a. Transfusi Darah
c. Diet
BAB 4
KESIMPULAN
Pasien An. E.N.A, berjenis kelamin perempuan, dengan usia 6 tahun dengan
keluhan pucat sejak 3 hari yang lalu sebelum masuk rumah sakit dengan diagnosis
Anemia et causa Thalasemia. Selama perawatan, ditemukan anak tersebut sesuai
dengan teori dan menjalani penatalaksanaan sesuai teori.
Secara umum, mulai dari anamnesis, hasil pemeriksaan fisik dan penunjang,
penegakan diagnosis dan penatalaksanaan pada kasus ini sudah sesuai dengan teori
yag penulis dapatkan dari literatur yang ada. Prognosis pada pasien ini berdasarkan
perjalanan penyakit dan penatalaksanaan yang telah didapatkannya adalah dubia.
DAFTAR PUSTAKA
1. Behrman Richard E., Kliegman Robert, Arvin Ann M., et al. Kelainan
Hemoglobin: Sindrom Thalasemia. Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Volume 2.
Edisi ke-15. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2001. Hal 1708-1712.
2. Yaish Hassan M. Thalasemia. April 30, 2010. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/958850-overview.
3. Permono, Bambang H., Sutaryo, Ugrasena, IDG. Sel darah merah: Eritropoisis.
Buku Ajar Hematologi- Onkologi Anak. Cetakan ketiga. Ikatan Dokter
Indonesia. Jakarta : 2010. Hal 1-6, 16-23.
4. Permono, Bambang H., Sutaryo, Ugrasena, IDG. Hemoglobin Abnormal:
Thalasemia. Buku Ajar Hematologi- Onkologi Anak.. Cetakan ketiga. Ikatan
Dokter Indonesia. Jakarta : 2010. Hal 64-84.
5. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Hematologi. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Fakultas Kedokteran
Universita Indonesia: Bagian Ilmu Kesehatan Anak.
6. U.S Department of Health & Human Services. Thalasemias. Available at:
http://www.nhlbi.nih.gov/health/dci/Diseases/Thalasemia/Thalasemia_Causes.
html.
7. Bleibel, SA. Thalasemia Alpha. August 26, 2009. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/206397-overview
8. Takeshita, K. Thalasemia Beta. September 27, 2010. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/206490-overview
9. Yaish Hassan M. Thalasemia: Differential diagnoses & Workup. April 30,
2010. Available at : http://emedicine.medscape.com/article/958850-diagnosis
10. Hay WW, Levin MJ. Hematologic Disorders. Current Diagnosis and
Treatment in Pediatrics. 18th Edition. New York : Lange Medical Books/
McGraw Hill Publishing Division ; 2007. Hal 841-845.
Haut, A., Wintrobe MM. The hemoglobinopathies and thalasemias. Forfar and
Arneil’s Textbook of Paediatrics. Edisi 7. Chruchill Livingstone. 2010. Hal
1621-1632.