Anda di halaman 1dari 38

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Thalasemia

Definisi
Thalasemia adalah sekelompok heterogen anemia hipokromik herediter
dengan berbagai derajat keparahan. Defek genetik yang mendasari meliputi delesi
total atau parsial gen globin dan substitusi, delesi, atau insersi nukleotida. Akibat
dari berbagai perubahan ini adalah penurunan atau tidak adanya mRNA bagi satu
atau lebih rantai globin atau pembentukan mRNA yang cacat secara fungsional.
Akibatnya adalah penurunan dan supresi total sintesis rantai polipeptida Hb. Kira-
kira 100 mutasi yang berbeda telah ditemukan mengakibatkan fenotip thalasemia;
banyak di antara mutasi ini adalah unik untuk daerah geografi setempat. Pada
umumnya, rantai globin yang disintesis dalam eritrosit thalasemia secara struktural
adalah normal. Pada bentuk thalasemia-α yang berat, terbentuk hemoglobin
hemotetramer abnormal (β4 atau γ4) tetapi komponen polipeptida globin
mempunyai struktur normal. Sebaliknya, sejumlah Hb abnormal juga menyebabkan
perubahan hemotologi mirip thalasemia .

Epidemiologi
Di seluruh dunia, 15 juta orang memiliki presentasi klinis dari thalasemia.
Fakta ini mendukung thalasemia sebagai salah satu penyakit turunan yang
terbanyak; menyerang hampir semua golongan etnik dan terdapat pada hampir
seluruh negara di dunia.(2)

Beberapa tipe thalasemia lebih umum terdapat pada area tertentu di dunia.
Thalasemia o ditemukan terutama di Asia Tenggara dan kepulauan Mediterania,
thalasemia + tersebar di Afrika, Mediterania, Timor Tengah, India dan Asia
Tenggara. Angka kariernya mencapai 40-80%.

Thalasemia  memiliki distribusi sama dengan thalasemia  Dengan


kekecualian di beberapa negara, frekuensinya rendah di Afrika, tinggi di
mediterania dan bervariasi di Timor Tengah, India dan Asia Tenggara. HbE yang
merupakan varian thalasemia sangat banyak dijumpai di India, Birma dan beberapa
negara Asia Tenggara. Adanya interaksi HbE dan thalasemia   menyebabkan
thalasemia HbE sangat tinggi di wilayah ini.

Yayasan Thalasemia Indonesia menyebutkan bahwa setidaknya 100.000


anak lahir di dunia dengan Thalasemia mayor. Di Indonesia sendiri, tidak kurang
dari 1.000 anak kecil menderita penyakit ini. Sedang mereka yang tergolong
thalasemia trait jumlahnya mencapai sekitar 200.000 orang.
Di RSCM sampai dengan akhir tahun 2003 terdapat 1060 pasien thalasemia
mayor yang berobat jalan di Pusat Thalasemia Departemen Anak FKUI-RSCM
yang terdiri dari 52,5 % pasien thalasemia β homozigot, 46,2 % pasien thalasemia
HbE, serta thalasemia α 1,3%. Sekitar 70-80 pasien baru, datang tiap tahunnya. (4)

Gambar 1. Daerah Penyebaran Thalasemia/Sabuk Thalasemia.(2)

a. Mortalitas dan Morbiditas(2)


Thalasemia-α mayor adalah penyakit yang mematikan, dan semua janin
yang terkena akan lahir dalam keadaan hydrops fetalis akibat anemia berat.
Beberapa laporan pernah mendeskripsikan adanya neonatus dengan thalasemia-α
mayor yang bertahan setelah mendapat transfusi intrauterin. Penderita seperti ini
membutuhkan perawatan medis yang ekstensif setelahnya, termasuk transfusi darah
teratur dan terapi khelasi, sama dengan penderita thalasemia-β mayor. Terdapat
juga laporan kasus yang lebih jarang mengenai neonatus dengan thalasemia-α
mayor yang lahir tanpa hydrops fetalis yang bertahan tanpa transfusi intrauterin.
Pada kasus ini, tingginya level Hb Portland, yang merupakan Hb fungsional
embrionik, diperkirakan sebagai penyebab kondisi klinis yang jarang tersebut.
Pada pasien dengan berbagai tipe thalasemia-β, mortalitas dan morbiditas
bervariasi sesuai tingkat keparahan dan kualitas perawatan. Thalasemia-β mayor
yang berat akan berakibat fatal bila tidak diterapi. Gagal jantung akibat anemia
berat atau iron overload adalah penyebab tersering kematian pada penderita.
Penyakit hati, infeksi fulminan, atau komplikasi lainnya yang dicetuskan oleh
penyakit ini atau terapinya termasuk merupakan penyebab mortalitas dan
morbiditas pada bentuk thalasemia yang berat.
Mortalitas dan morbiditas tidak terbatas hanya pada penderita yang tidak
diterapi; mereka yang mendapat terapi yang dirancang dengan baik tetap berisiko
mengalami bermacam-macam komplikasi. Kerusakan organ akibat iron overload,
infeksi berat yang kronis yang dicetuskan transfusi darah, atau komplikasi dari
terapi khelasi, seperti katarak, tuli, atau infeksi, merupakan komplikasi yang
potensial.

b. Ras (2)
Meskipun thalasemia ditemukan pada semua ras dan etnik grup, ada
beberapa tipe thalasemia yang sering ditemukan pada grup tertentu dibanding
dengan yang lain. β thalasemia biasa ditemukan di Eropa Selatan, Timur Tengah,
India, dan Africa. α thalasemia biasa ditemukan di Asia Tenggara; meskipun juga
ditemukan di bagian dunia yang lain. Mutasi spesifik pada thalasemia sudah dapat
discrenning dan didiagnostik kelainannya. α thalasemia trait di Afrika is biasanya
bukan dari cis-delesi dari kromosom 16, berbeda dengan di Asia Tenggara, dimana
terjadi komplit absence dari α gene pada salah satu chromosome. Pada kedua orang
tua yang memiliki cis-delesi, bayinya bias saja mengalami hydrps fetalis. Karena
alasan ini, hydops fetalis tidak beresiko tinggi oada rang Afrika tetapi beresiko
tinggi pada Asia Tenggara.

c. Sex (2)

Baik pria maupun wanita,keduanya memiliki kemungkinan yang sama

d. Usia (2)
Meskipun thalasemia merupakan penyakit turunan (genetik), usia saat
timbulnya gejala bervariasi secara signifikan. Dalam thalasemia, kelainan klinis
pada pasien dengan kasus-kasus yang parah dan temuan hematologik pada
pembawa (carrier) tampak jelas pada saat lahir. Ditemukannya hipokromia dan
mikrositosis yang tidak jelas penyebabnya pada neonatus, digambarkan di bawah
ini, sangat mendukung diagnosis.
Gambar 2. Sapuan apus darah tepi Penyakit Hb H pada neonatus

Namun, pada thalasemia-β berat, gejala mungkin tidak jelas sampai paruh
kedua tahun pertama kehidupan; sampai waktu itu, produksi rantai globin γ dan
penggabungannya ke Hb Fetal dapat menutupi gejala untuk sementara.
Bentuk thalasemia ringan sering ditemukan secara kebetulan pada berbagai
usia. Banyak pasien dengan kondisi thalasemia-β homozigot yang jelas (yaitu,
hipokromasia, mikrositosis, elektroforesis negatif untuk Hb A, bukti bahwa kedua
orang tua terpengaruh) mungkin tidak menunjukkan gejala atau anemia yang
signifikan selama beberapa tahun. Hampir semua pasien dengan kondisi tersebut
dikategorikan sebagai thalasemia-β intermedia. Situasi ini biasanya terjadi jika
pasien mengalami mutasi yang lebih ringan, yaitu gabungan heterozygote for B+
dan B -0 thalssemia, atau gabungan dengan heterozygote yang lain.

Fisiologi Hematopoesis

Maximow (1924) mengemukakan suatu dalil bahwa sel darah berasal dari
satu sel induk. Hal ini kemudian dikembangkan oleh Downey (1938) yang
membuat hipotesa dengan konsep hirarki dari sel pluripoten dan selanjutnya Till
dan Mc Culloch (1961) menyimpulkan bahwa satu sel induk merupakan koloni
yang memperlihatkan diferensiasi multilineage atau pluripoten menjadi eritroid,
mieloid serta megakariosit. Dari penelitian-penelitian tersebut ditetapkan bahwa sel
stem ada pada hematopoisis. Sistem hematopoitik mempunyai karakteristik berupa
pergantian sel yang konstan untuk mempertahankan populasi leukosit, trombosit
dan eritrosit.(3)
Sistem hematopoitik dibagi menjadi 3, yaitu:

1. Sel Stem (progenitor awal) yang menyokong hematopoiesis.


2. Colony forming unit (CFU) sebagai pelopor yang selanjutnya
berkembang dan berdiferensiasi dalam memproduksi sel.
3. Faktor regulator yang mengatur agar Sistem berlangsung beraturan.
Sel Stem merupakan satu sel induk (klonal) yang mempunyai kemampuan
berdiferensiasi menjadi beberapa turunan, membelah diri dan memperbaharui
populasi sel stem sendiri di bawah pengaruh faktor pertumbuhan
hematopoitik.Hematopoitik membutuhkan perangsang untuk pertumbuhan
koloni granulosit dan makrofag yang disebut "Colony Stimulating Factor"
(CSF) yang merupakan glikoprotein.

Dalam proses selanjutnya diketahui regulasi hematopoisis sangat kompleks


dan factor pertumbuhan yang berfungsi tumpang tindih serta banyak tempat untuk
memproduksi factor-faktor tersebut, termasuk organ hematopoitik. (3)

Faktor Sel Stimulasi Sumber Lokasi


Produksi Kromosom

CS1 (M-CSF) Monosit Sel endotel, 5q33-1


monosit,
fibroblast

GM-CSF Granulosit, megakariosit Sel T, sel endotel, 5q23-31


eritrosit,sel stem, blas fibroblast
leukemik

G-CSF Granulosit, makrofag, sel Sel endotel, 17q11-22


endotelial, fibroblas, blas plasenta, monosit
leukemia

IL-3 Granulosit, sel eritroid Sel T 5q23-31


progenitor, multipoten,
blas leukemia

IL-4 Sel B, T Sel T 5q31

IL-5 Sel B, CFU-Eo Sel T 5q31

IL-6 Sel B, CFU-GEMM, CFU Fibroblas, 7p15


GM, BFU-E, makrofag, leukosit, sel
sel sel saraf, hepatosit epitel
IL-7 Sel B Leukosit 8q-12-13

IL-8 Sel T, neutrofil Leukosit 4

IL-9 BFU-E, CFU-GEMM Limfosit 5q31

IL=11 Sel B, T, CFU-GEMM, Makrofag 7q11-22

Makrofag

Eritropoietin CFU-E, BFU-E Ginjal, hepar 7q11-22

c-kit figand Progenitor primitif NI NI


"stem cell
factor"

Tabel 1.1 Faktor pertumbuhan hematopoiesis serta karakterisitiknya. GM-CSF =


granulocyte macrophage colony stimulating factor, G-CSF= granulocyte colony
stimulating factor, IL=interleukin, BFU-E=burst forming unit erithrocyte, CFU -
E= colony forming unit erythrocyte, CFU-GEMM= colony forming unit
granulocyte, erythrocyte, macrophage monocyte, CFU-GM= colony forming unit
netrophil-macrophage(3)

Dikenal sejumlah sitokin yang mempunyai peranan dalam meningkatkan


aktifitas hematopoitik

a. Pembentukan dan asal darah (3)

Perkembangan sistem vaskuler dan hematopoisis dimulai pada awal


kehidupan embrio dan berlangsung secara paralel / bersamaan sampai masa dewasa
mempunyai hubungan dengan lokasi anatomi yang menyokong hematopoisis
tersebut.
Secara garis besar perkembangan hematopoisis dibagi dalam 3 periode:
1. Hematopoisis yolk sac (mesoblastik atau primitif )
2. Hematopoisis hati (definitif )
3. Hematopoisis medular
Gambar 3. Hematopoiesis prenatal dan postnatal (dikutip dari Hasan R,1985)

1. Hematopoisis Yolk Sac (mesoblastik atau primitif)


Sel darah dibuat dari jaringan mesenkim 2-3 minggu selelah fertilisasi.
Mula-mula terbentuk dalam blood island yang merupakan pelopor dari sistem
vaskuler dan hematopoisis. Selanjutnya eritrosit dan megakariosit dapat
diidentifikasi dalam yolk sac pada masa gestasi 16 hari.
Sel induk primitif hematopoisis berasal dari mesoderm mempunyai respons
terhadap faktor pertumbuhan antara lain eritropoetin, IL-3, IL-6 dan faktor sel
stem. Sel induk hematopoisis mulai berkelompok dalam hati janin pada masa
gestasi 5-6 minggu dan pada masa gestasi 8 minggu blood island mengalami
regresi. (3)

2. Hematopoisis hati (Definitif)


Hematopoisis hati berasal dari sel stem pluripoten yang berpindah dari
yolk sac. Perubahan empat hematopoisis dari yolk sac ke hati dan kemudian
sumsum tulang mempunyai hubungan dengan regulasi perkembangan oleh
lingkungan mikro, produksi sitokin dan komponen merangsang adhesi dari
matrik ekstraseluler dan ekspresi pada reseptor.
Pada masa gestasi 9 minggu, hematopoisis sudah terbentuk dalam hati.
Hematopoisis dalam hati yang terutama adalah eritropoisis, walaupun masih
ditemukan sirkulasi granulosit dan trombosit. Hematopoisis hati mencapai
puncaknya pada masa gestasi 4-5 bulan kemudian mengalami regresi perlahan-
lahan. Pada masa pertengahan kehamilan, tampak pelopor hematopoetik terdapat di
limpa, thymus, kelenjar limfe dan ginjal. (3)
Gambar 4. Perkembangan embrional dan fetal serta ontogeni hematopoesis
( dikutip dari Hasan, 1985)

3. Hematopoisis medular
Merupakan periode terakhir pembentukan sistem hematopoisis dan dimulai
sejak masa gestasi ulan. Ruang medular terbentuk dalam tulang rawan dan tulang
panjang dengan proses reabsorpsi.
Pada masa gestasi 32 minggu sampai lahir, semua rongga sumsum tulang
diisi jaringan hematopoitik yang aktif dan sumsum tulang penuh berisi sel
darah. Dalam perkembangan selanjutnya fungsi pembuatan sel darah diambil
alih oleh sumsum tulang, sedangkan hepar tidak berfungsi membuat sel darah
lagi. (3)
Sel mesenkim yang mempunyai kemampuan untuk membentuk sel darah
menjadi kurang, tetapi tetap ada dalam sumsum tulang, hati, limpa, kelenjar
getah bening dan dinding usus, dikenal sebagai sistem retikuloendotelial.
Pada bayi dan anak, hematopoisis yang aktif terutama pada sumsum
tulang termasuk bagian distal tulang panjang. Hal ini berbeda dengan dewasa
normal di mana hematopoisis terbatas pada vertebra (tulang belakang), tulang
iga, tulang dada (sternum), pelvis, skapula, skull (tulang tengkorak kepala) dan
jarang yang berlokasi pada humerus dan femur.
Selama masa intra uterin, hematopoisis terdapat pada tulang (skeletal)
dan ekstraskeletal dan pada waktu lahir hematopoisis terutama pada skeletal.
Secara umum hematopoisis extra medular terutama pada organ perut, terjadi
akibat penyakit yang menyebabkan gangguan produksi satu atau lebih tipe sel
darah, seperti eritroblastosis fetalis, anemia pernisiosa, thalasemia, nickel cell
anemia, sferositosis herediter dan variasi leukemia.
Perpindahan lokasi anatomi hematopoisis disertai perpindahan populasi sel
sampai ini belum dapat diketahui mekanismenya. (3)
Gambar 5. Pembentukan sel darah

b. Hemoglobin(4)
Merupakan kompleks protein yang terdiri dari heme yang mengandung besi
dan globin dengan interaksi dianatar heme dan globin menyebabkan hemoglobin
(Hb) merupakan perangkat yang ireversibel untuk mengangkut oksigen. Sesuai
dengan rangkaian hematopoisis yang dimulai dari yolk sac, limpa, hati dan sumsum
tulang diikuti juga dengan variasi sintesis hemoglobin. Sejak masa embrio, janin,
anak dan dewasa sel darah merah mempunyai 6 hemoglobin antara lain:
Hemoglobin embrional : Gower-1, Gower-2, Portland
Hemoglobin fetal : Hb-F
Hemoglobin dewasa : Hb-A1 dan Hb-A2

1. Hemoglobin embrional(4)
Selama masa gestasi 2 minggu pertama, eritroblas priomitif dalam yolk sac
membentuk rantai globin-epsilon () dan zeta (Z) yang akan membentuk
hemoglobin primitive Gower-1 (Z22). Selanjutnya mulai sintesis rantai α
mengganti rantai zeta; rantai γ mengganti rantai  di yolk sac, yang akan
membentuk Hb-Portland (Z2γ2) dan Gower-2 (α22)
Hemoglobin yang ditemukan terutama pada masa gestasi 4-8 minggu adalah
Hb-Gower-1 dan Gower-2 yaitu kira-kira 75% dan merupakan hemoglobin yang
disintesis di yolk sac, tetapi akan menghilang pada masa gestasi 3 bulan.

2. Hemoglobin fetal(4)
Migrasi pluripoten stem cell dari yolk sac ke hati, diikuti dengan sintesis
hemoglobin fetal dan awal sintesis rantai β. Setelah masa gestasi 8 minggu Hb-F
paling dominan dan setelah janin berusai 6 bulan merupakan 90% dari keseluruhan
hemoglobin, kemudian berkurang bertahap dan pada saat lahir ditemukan kira-kira
70% Hb-F. sintesis Hb-F menuurun secara cepat setelah bayi lahir dan setelah usia
6-12 bulan hanya sedikit ditemukan.

3. Hemoglobin dewasa(4)
Pada masa embrio telah dapat dideteksi HbA (α2β2) karena telah terjadi
perubahan sintesis rantai γ menjadi β dan selanjutnya globin β meningkat pada
,masa gestasi 6 bulan ditemukan 5-10% HbA, pada waktu lahir mencapai 30% dan
pada usia 6-12 bulan sudah memperlihatkan gambaran hemoglobin dewasa.
Hemoglobin dewasa minor (HbA2) ditemukan kira-kira 1% pada saat lahir
dan pada usia 12 bulan mencapai 2-3,4%, dengan rasio normal antara HbA dan
HbA2 adalah 30:1.Perubahan hemoglobin janin ke dewasa merupakan proses
biologi berupa diferensiasi sel induk eritroid, sel stem pluripoten, gen dan reseptor
yang mempengaruhi eritroid dan dikontrol oleh factor humoral.
Gambar 6. Sintesis rantai globin primitive dan definitive selama periode
embrional, fetal dan pascanatal dalam hubungannya dengan perubahan tempat
eritropoisis.

Patofisiologi
Hemoglobin (Hb) tersusun atas heme yang merupakan cincin porfirin dalam
ikatan dengan Fe dan globulin yang merupakan protein pendukung. Satu molekul
hemoglobin mengandung 4 sub-unit. Masing-masing sub-unit tersusun atas satu
molekul globin dan satu molekul heme.

Globulin terdiri atas 2 pasang rantai polipeptida, yaitu sepasang rantai α dan
sepasang rantai non alpha (β,γ,δ). Kombinasi rantai polipeptida tersebut akan
menentukan jenis hemoglobin. Hb A (2α2β) merupakan lebih dari 96 % Hb total,
Hb F (2α2γ) kurang dari 2% dan Hb A2 (2α2δ) kurang dari 3%. Pada janin
trisemester III kehamilan hampir 100% Hb adalah Hb F. Setelah lahir, sintesis
globin γ makin menurun digantikan oleh globin δ.

Gambar 7. Struktur hemoglobin


Rantai polipeptida α tersusun atas 141 asam amino, sedangkan rantai non α
tersusun atas 146 asam amino. Sintesis rantai α disandi oleh gen α1 dan gen α2 di
kromosom 16, sedangkan gen yang mensintesis rantai β, rantai γ dan rantai δ
terletak di kromosom 11. Pada orang normal sintesis rantai α sama dengan rantai
non alpha. Thalasemia akan terjadi bila sintesis salah satu rantai polipeptida
menurun.

Struktur kimia hemoglobin memungkinkan molekul hemoglobin memiliki


kemampuan untuk mengikat oksigen secara reversible. Zat besi dalam molekul
heme secara langsung berfungsi sebagai pengikat oksigen. Hemoglobin memiliki
struktur kuartener empat rantai polipeptida, masing-masing dengan satu tempat
pegikatan oksigen. Sehingga satu molekul hemoglobin dapat mengikat 4 molekul
oksigen. Hemoglobin yang merupakan suatu protein, disintesis berdasarkan
informasi genetik. Masing-masing polipeptida penyusun Hb berbeda dalam urutan
asam aminonya. Dengan demikian ada beberapa lokus gen terpisah dalam
kromosom yang mengatur sintesis rantai polipeptida dari hemoglobin. (2)
Lokus α β γ δ

Genotip

Αα β/β γ/γ
δ/δ
Polipetida yang terbentuk α β γ δ

Hb yang terbentuk α2β2 α2γ2 α2δ2


Untuk pembentukan α dan γ sebenarnya terdapat 2 lokus gen untuk masing-
masing, sedangkan β dan δ hanya memilki satu lokus gen. Lokus gen untuk α
terletak pada kromosom 16 sedangkan lainnya (β,γ,δ) terletak pada kromosom 11.

Sintesis rantai γ bersama dengan sintesi rantai menonjol selama masa


kehidupan janin. Rantai α akan terus disintesis sampai usia dewasa sedangkan rantai
γ mulai menurun pada trisemester akhir dan dengan cepat menurun setelah
kelahiran.

Thalasemia merupakan salah satu bentuk kelainan genetik hemoglobin yang


ditandai dengan kurangnya atau tidak adanya sintesis satu rantai globin atau lebih,
sehingga terjadi ketidak seimbangan jumlah rantai globin yang terbentuk.

Secara genetik, gangguan pembentukan protein globin dapat disebabkan


karena kerusakan gen yang terdapat pada kromosom 11 atau 16 yang ditempati
lokus gen globin. Sebagian besar kelainan hemoglobin dan jenis thalasemia
merupakan hasil kelaianan mutasi pada gamet yang terjadi pada replikasi DNA.
Pada replikasi DNA dapat terjadi pergantian urutan asam basa dalam DNA, dan
perubahan kode genetic akan diteruskan pada penurunan genetic berikutnya. Mutasi
ini dapat memperpendek rantai asam amino maupun memperpanjangnya. Kelainan
mutasi dapat pula terjadi pada keselahan berpasangan kromosom pada proses
meiosis yang mengakibatkan perubahan susunan material genetic. Bila terjadi
crossing over pada kesalahan berpasangan itu, sebagai hasil akhir peristiwa tadi
akan terjjadi apa yang disebut duplikasi, delesi, translokasi dan iversi. Kerusakan
pada salah satu kromosom homolog menimbulkan terjadinya keadaan heterozigot,
sedangkan kerusakan pada kedua kromosom homolog menimbulkan keadaan
homozigot.

Pada thalasemia homozigot sintesis rantai menurun atau tidak ada sintesis
sama sekali. Ketidakseimbangan sintesis rantai alpha atau rantai non alpha,
khususnya kekurangan sintesis rantai β akan menyebabkan kurangnya
pembentukan Hb.

Ketidakseimbangan dalam rantai protein globin alfa dan beta, yang


diperlukan dalam pembentukan hemoglobin, disebabkan oleh sebuah gen cacat
yang diturunkan. Untuk menderita penyakit ini, seseorang harus memiliki 2 gen
dari kedua orang tuanya. Jika hanya 1 gen yang diturunkan, maka orang tersebut
hanya menjadi pembawa tetapi tidak menunjukkan gejala-gejala dari penyakit ini.
(2)

Secara biokimia kelainan yang paling mendasar adalah menurunnya


biosintesis dari unit  globin pada Hb A. pada thalasemia β heterozigot, sintesis β
globin kurang lebih separuh dari nilai normalnya. Pada thalasemia β homozigot,
sintesis β globin dapat mencapai nol.
Karena adanya defisiensi yang berat pada rantai β, sintesis Hb A total
menurun dengan sangat jelas atau bahkan tidak ada, sehingga pasien dengan
thalasemia β homozigot mengalami anemia berat. Sebagai respon kompensasi,
maka sintesis rantai γ menjadi teraktifasi sehingga hemoglobin pasien mengandung
proporsi Hb F yang meningkat. Namun sintesis rantai γ ini tidak efektif dan secara
kuantitas tidak mencukupi. (7)

Pada thalasemia β homozigot, sintesis rantai α tidak mengalami perubahan.


Ketidak-seimbangan sintesis dari rantai polipeptida ini mengakibatkan kelebihan
adanya rantai α bebas di dalam sel darah merah yang berinti dan retikulosit. Rantai
α bebas ini mudah teroksidasi. Mereka dapat beragregasi menjadi suatu inklusi
protein (haeinz bodys), menyebabkan kerusakan membran pada sel darah merah
dan destruksi dari sel darah merah imatur dalam sumsum tulang sehingga jumlah
sel darah merah matur yang diproduksi menjadi berkurang. Sel darah merah yang
beredar kecil, terdistorsi, dipenuhi oleh inklusi α globin, dan mengandung
komplemen hemoglobin yang menurun. Hal yang telah disebutkan diatas adalah
gambaran dari Anemia Cooley: hipokromik, mikrosisitk dan poikilositik.

Sel darah merah yang sudah rusak tersebut akan dihancurkan oleh limpa,
hepar, dan sumsum tulang, menggambarkan komponen hemolitik dari penyakit ini.
Sel darah merah yang mengandung jumlah Hb F yang lebih tinggi mempunyai umur
yang lebih panjang.

Anemia yang berat terjadi akibat adanya penurunan oksigen carrying


capacity dari setiap eritrosit dan tendensi dari sel darah merah matur (yang
jumlahnya sedikit) mengalami hemolisa secara prematur.

Eritropoetin meningkat sebagai respon adanya anemia, sehingga sumsum-


sumsum tulang dipacu untuk memproduksi eritroid prekusor yang lebih banyak.
Namun mekanisme kompensasi ini tidak efektif karena adanya kematian yang
prematur dari eritroblas. Hasilnya adalah suatu ekspansi sumsum tulang yang masif
yang memproduksi sel darah merah baru.

Sumsum tulang mengalami ekspansi secara masif, menginvasi bagian


kortikal dari tulang, menghabiskan sumber kalori yang sangat besar pada umur-
umur yang kritis pada pertumbuhan dan perkembangan, mengalihkan sumber-
sumber biokimia yang vital dari tempat-tempat yang membutuhkannya dan
menempatkan suatu stress yang sangat besar pada jantung. Secara klinis terlihat
sebagai kegalan dari pertumbuhan dan perkembangan, kegagalan jantung high
output, kerentanan terhadap infeksi, deformitas dari tulang, fraktur patologis, dan
kematian di usia muda tanpa adanya terapi transfusi. (8)

Dengan pemberian transfusi darah, eritropoesis yang inefektif dapat


diperbaiki, dan terjadi peningkatan jumlah hormon hepcidin; sehingga penyerapan
besi akan berkurang dan makrofag akan mempertahankan kadar besi.
Pada pasien dengan iron overload (misalnya hemokromatosis), absorpsi
besi menurun akibat meningkatnya jumlah hepsidin. Namun, hal ini tidak terjadi
pada penderita thalasemia-β berat karena diduga faktor plasma menggantikan
mekanisme tersebut dan mencegah terjadinya produksi hepsidin sehingga absorpsi
besi terus berlangsung meskipun penderita dalam keadaan iron overload.
Efek hepsidin terhadap siklus besi dilakukan melalui kerja hormon lain
bernama ferroportin, yang mentransportasikan besi dari enterosit dan makrofag
menuju plasma dan menghantarkan besi dari plasenta menuju fetus. Ferroportin
diregulasi oleh jumlah penyimpanan besi dan jumlah hepsidin. Hubungan ini juga
menjelaskan mengapa penderita dengan thalasemia-β yang memiliki jumlah besi
yang sama memiliki jumlah ferritin yang berbeda sesuai dengan apakah mereka
mendapat transfusi darah teratur atau tidak. Sebagai contoh, penderita thalasemia-
β intermedia yang tidak mendapatkan transfusi darah memiliki jumlah ferritin yang
lebih rendah dibandngkan dengan penderita yang mendapatkan transfusi darah
secara teratur, meskipun keduanya memiliki jumlah besi yang sama.
Kebanyakan besi non-heme pada individu yang sehat berikatan kuat dengan
protein pembawanya, transferrin. Pada keadaan iron overload, seperti pada
thalasemia berat, transferrin tersaturasi, dan besi bebas ditemukan di plasma. Besi
ini cukup berbahaya karena memiliki material untuk memproduksi hidroksil radikal
dan akhirnya akan terakumulasi pada organ-organ, seperti jantung, kelenjar
endokrin, dan hati, mengakibatkan terjadinya kerusakan pada organ-organ tersebut
(organ damage). (2)

Klasifikasi

Thalasemia adalah grup kelainan sintesis hemoglobin yang heterogen


akibat pengurangan produksi satu atau lebih rantai globin. Hal ini
menyebabkan ketidakseimbangan produksi rantai globin.

Sebagaimana telah disebutkan di atas, secara garis besar terdapat dua tipe
utama thalasemia yaitu α thalasemia dan β thalasemia. Selain itu juga terdapat tipe
thalasemia lain seperti thalasemia intermediate.

Abnormalitas genetic Sindroma klinik

Thalasemia α
Penghapusan 4 gen- hydrops fetalis Kematian in utero
Penghapusan 3 gen- penyakit Hb H Anemia hemolitik

Penghapusan 2 gen ( trait thalasemia α° Sediaan darah mikrositik hipokrom


) tetapi biasanya tanpa anemia

Penghapusan 1 gen ( trait thalasemia


α+ )
Thalasemia β
Homozigot – thalasemia mayor Anemia berat perlu transfusi darah
Heterzigot- trait thalasemia Sediaan darah mikrositik hipokrom
tetapi biasanya dengan atau tanpa
anemia

Thalasemia intermediate

Sindroma klinik yang disebabkan oleh Anemia hipokrom mikrositik, hepato-


sejenis lesi genetik splenomegali, kelebihan beban besi.

Thalasemia diturunkan berdasarkan hukum Mendel, resesif atau ko-


dominan. Heterozigot biasanya tanpa gejala homozigot atau gabungan heterozigot
gejalanya lebih berat dari thalasemia  atau .(2)

Thalasemia-α(7)
Anemia mikrositik yang disebabkan oleh defisiensi sintesis globin-α banyak
ditemukan di Afrika, negara di daerah Mediterania, dan sebagian besar Asia. Delesi
gen globin-α menyebabkan sebagian besar kelainan ini. Terdapat empat gen globin-
α pada individu normal, dan empat bentuk thalasemia-α yang berbeda telah
diketahui sesuai dengan delesi satu, dua, tiga, dan semua empat gen ini.

Tabel 1. Thalasemia-α
Genotip Jumlah gen α Presentasi Hemoglobin Elektroforesis
Klinis Saat Lahir > 6 bulan
αα/αα 4 Normal N N
-α/αα 3 Silent carrier 0-3 % Hb N
Barts
--/αα atau 2 Trait thal-α 2-10% Hb N
–α/-α Barts
--/-α 1 Penyakit Hb H 15-30% Hb Hb H
Bart
--/-- 0 Hydrops fetalis >75% Hb Bart -
Ket : N = hasil normal, Hb = hemoglobin, Hb Bart’s = γ4, HbH = β4

a. Silent carrier thalasemia-α


- Merupakan tipe thalasemia subklinik yang paling umum, biasanya
ditemukan secara kebetulan diantara populasi, seringnya pada etnik Afro-
Amerika. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, terdapat 2 gen α yang
terletak pada kromosom 16.
- Pada tipe silent carrier, salah satu gen α pada kromosom 16 menghilang,
menyisakan hanya 3 dari 4 gen tersebut. Penderita sehat secara hematologis,
hanya ditemukan adanya jumlah eritrosit (sel darah merah) yang rendah
dalam beberapa pemeriksaan.
- Pada tipe ini, diagnosis tidak dapat dipastikan dengan pemeriksaan
elektroforesis Hb, sehingga harus dilakukan tes lain yang lebih canggih.
Bisa juga dicari akan adanya kelainan hematologi pada anggota keluarga
(misalnya orangtua) untuk mendukung diagnosis. Pemeriksaan darah
lengkap pada salah satu orangtua yang menunjukkan adanya hipokromia
dan mikrositosis tanpa penyebab yang jelas merupakan bukti yang cukup
kuat menuju diagnosis thalasemia. (7)

b. Trait thalasemia-α
- Trait ini dikarakterisasi dengan anemia ringan dan jumlah sel darah merah
yang rendah. Kondisi ini disebabkan oleh hilangnya 2 gen α pada satu
kromosom 16 atau satu gen α pada masing-masing kromosom. Kelainan ini
sering ditemukan di Asia Tenggara, subbenua India, dan Timur Tengah.
- Pada bayi baru lahir yang terkena, sejumlah kecil Hb Barts (γ4) dapat
ditemukan pada elektroforesis Hb. Lewat umur satu bulan, Hb Barts tidak
terlihat lagi, dan kadar Hb A2 dan HbF secara khas normal. (7)
Gambar 7. Thalasemia alpha menurut hukum Mendel (6)

c. Penyakit Hb H

Kelainan disebabkan oleh hilangnya 3 gen globin α,


merepresentasikan thalasemia-α intermedia, dengan anemia sedang sampai
berat, splenomegali, ikterus, dan jumlah sel darah merah yang abnormal.
Pada sediaan apus darah tepi yang diwarnai dengan pewarnaan supravital
akan tampak sel-sel darah merah yang diinklusi oleh rantai tetramer β (Hb
H) yang tidak stabil dan terpresipitasi di dalam eritrosit, sehingga
menampilkan gambaran golf ball. Badan inklusi ini dinamakan sebagai
Heinz bodies. (7)
Gambar 8. Pewarnaan supravital pada sapuan apus darah tepi Penyakit Hb H
yang menunjukkan Heinz-Bodies

d. Thalasemia-α mayor
- Bentuk thalasemia yang paling berat, disebabkan oleh delesi semua gen
globin-α, disertai dengan tidak ada sintesis rantai α sama sekali.
- Karena Hb F, Hb A, dan Hb A2 semuanya mengandung rantai α, maka tidak
satupun dari Hb ini terbentuk. Hb Barts (γ4) mendominasi pada bayi yang
menderita, dan karena γ4 memiliki afinitas oksigen yang tinggi, maka bayi-
bayi itu mengalami hipoksia berat. Eritrositnya juga mengandung sejumlah
kecil Hb embrional normal (Hb Portland = ζ2γ2), yang berfungsi sebagai
pengangkut oksigen.
- Kebanyakan dari bayi-bayi ini lahir mati, dan kebanyakan dari bayi yang
lahir hidup meninggal dalam waktu beberapa jam. Bayi ini sangat hidropik,
dengan gagal jantung kongestif dan edema anasarka berat. Yang dapat hidup
dengan manajemen neonatus agresif juga nantinya akan sangat bergantung
dengan transfusi. (7)

Thalasemia-β (8)
Sama dengan thalasemia-α, dikenal beberapa bentuk klinis dari thalasemia-
β; antara lain :

a. Trait thalasemia-β+ heterozigot (Thalasemia minor)


- Penderita mengalami anemia ringan, nilai eritrosit abnormal, dan
elektroforesis Hb abnormal dimana didapatkan peningkatan jumlah Hb A2,
Hb F, atau keduanya.
- Individu dengan ciri (trait) thalasemia sering didiagnosis salah sebagai
anemia defisiensi besi dan mungkin diberi terapi yang tidak tepat dengan
preparat besi selama waktu yang panjang. Lebih dari 90% individu dengan
trait thalasemia-β mempunyai peningkatan Hb-A2 yang berarti (3,4%-7%).
Kira-kira 50% individu ini juga mempunyai sedikit kenaikan HbF, sekitar
2-6%. Pada sekelompok kecil kasus, yang benar-benar khas, dijumpai Hb
A2 normal dengan kadar HbF berkisar dari 5% sampai 15%, yang mewakili
thalasemia tipe δβ. (8)

Gambar 9. Thalasemia beta menurut Hukum Mendel


Gambar 10. Sapuan darah tepi tampak sel target

b. Thalasemia-β° homozigot (Anemia Cooley, Thalasemia Mayor)


- Bergejala sebagai anemia hemolitik kronis yang progresif selama 6 bulan
kedua kehidupan. Transfusi darah yang reguler diperlukan pada penderita
ini untuk mencegah kelemahan yang amat sangat dan gagal jantung yang
disebabkan oleh anemia. Tanpa transfusi, 80% penderita meninggal pada 5
tahun pertama kehidupan.
- Pada kasus yang tidak diterapi atau pada penderita yang jarang menerima
transfusi pada waktu anemia berat, terjadi hipertrofi jaringan eritropoetik
disumsum tulang maupun di luar sumsum tulang. Tulang-tulang menjadi
tipis dan fraktur patologis mungkin terjadi. Ekspansi masif sumsum tulang
di wajah dan tengkorak menghasilkan bentuk wajah yang khas.

Gambar 11. Deformitas tulang pada thalasemia beta mayor (Facies Cooley)
- Pucat, hemosiderosis, dan ikterus sama-sama memberi kesan coklat
kekuningan. Limpa dan hati membesar karena hematopoesis ekstrameduler
dan hemosiderosis. Pada penderita yang lebih tua, limpa mungkin
sedemikian besarnya sehingga menimbulkan ketidaknyamanan mekanis
dan hipersplenisme sekunder.

Gambar 12. Splenomegali pada thalasemia

- Pertumbuhan terganggu pada anak yang lebih tua; pubertas terlambat atau
tidak terjadi karena kelainan endokrin sekunder. Diabetes mellitus yang
disebabkan oleh siderosis pankreas mungkin terjadi. Komplikasi jantung,
termasuk aritmia dan gagal jantung kongestif kronis yang disebabkan oleh
siderosis miokardium sering merupakan kejadian terminal.
- Kelainan morfologi eritrosit pada penderita thalasemia-β° homozigot yang
tidak ditransfusi adalah ekstrem. Disamping hipokromia dan mikrositosis
berat, banyak ditemukan poikilosit yang terfragmentasi, aneh (sel bizarre)
dan sel target. Sejumlah besar eritrosit yang berinti ada di darah tepi,
terutama setelah splenektomi. Inklusi intraeritrositik, yang merupakan
presipitasi kelebihan rantai α, juga terlihat pasca splenektomi. Kadar Hb
turun secara cepat menjadi < 5 gr/dL kecuali mendapat transfusi. Kadar
serum besi tinggi dengan saturasi kapasitas pengikat besi (iron binding
capacity). Gambaran biokimiawi yang nyata adalah adanya kadar HbF yang
sangat tinggi dalam eritrosit. (8)

Gejala Klinis (Stadium Thalasemia) (9)


Gejala klinis pada thalasemia hampir semua sama, yang membedakan
adalah tingkat keparahannya, dari ringan (asimptomatik) sampai parahnya gejala.
Gejala klinis biasa berupa tanda-tanda anemia seperti pucat, lemah, letih, lesu, tidak
aktif beraktifitas atau jarang bermain dengan teman seusianya, sesak nafas kurang
konsentrasi, sering pula disertai dengan kesulitan makan, gagal tumbuh, infeksi
berulang dan perubahan tulang. Pada pemeriksaan fisik didapatkan facies Cooley,
Konjungtiva anemis, bentuk tulang yang abnormal, pembesarah lien dan atau hepar.
Terdapat suatu sistem pembagian stadium thalasemia berdasarkan jumlah
kumulatif transfusi darah yang diberikan pada penderita untuk menentukan tingkat
gejala yang melibatkan kardiovaskuler dan untuk memutuskan kapan untuk
memulai terapi khelasi pada pasien dengan thalasemia-β mayor atau intermedia.
Pada sistem ini, pasien dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu :
 Stadium I
Merupakan mereka yang mendapat transfusi kurang dari 100 unit Packed
Red Cells (PRC). Penderita biasanya asimtomatik, pada echokardiogram (ECG)
hanya ditemukan sedikit penebalan pada dinding ventrikel kiri, dan
elektrokardiogram (EKG) dalam 24 jam normal.
 Stadium II
Merupakan mereka yang mendapat transfusi antara 100-400 unit PRC dan
memiliki keluhan lemah-lesu. Pada ECG ditemukan penebalan dan dilatasi pada
dinding ventrikel kiri. Dapat ditemukan pulsasi atrial dan ventrikular abnormal pada
EKG dalam 24 jam.
 Stadium III
Gejala berkisar dari palpitasi hingga gagal jantung kongestif, menurunnya
fraksi ejeksi pada ECG. Pada EKG dalam 24 jam ditemukan pulsasi prematur dari
atrial dan ventrikular.

Diagnosis Banding

Thalasemia sering kali didiagnosis salah sebagai anemia defisiensi Fe, hal
ini disebabkan oleh karena kemiripan gejala yang ditimbulkan, dan gambaran
eritrosit mikrositik hipokrom. Namun kedua penyakit ini dapat dibedakan, karena
pada anemia defisiensi Fe didapatkan : (10)

- Pucat tanpa organomegali


- SI rendah
- IBC meningkat
- Tidak tedapat besi dalam sumsum tulang
- Bereaksi baik dengan pengobatan dengan preparat besi
Gambar 13. Apusan darah tepi defisiensi besi

Anemia sideroblastik dimana didapatkan pula gambaran apusan darah tepi


mikrositik hipokrom dan gejala-gejala anemia, yang membedakan dengan
thalasemia adalah kadar besi dalam darah tinggi, kadar TIBC (Total Iron Binding
Capacity) normal atau meningkat sedangkan pada thalasemia kadar besi dan TIBC
normal.
Dapat juga dibandingkan dengan anemia defisiensi G6PD, dimana enzim
ini bekerja untuk mencegah kerusakan eritrosit akibat oksidasi. Merupakan salah
satu anemia hemolitik juga. Dapat dibedakan dengan thalasemia dengan gambaran
apusan darah tepi dimana pada defisiensi G6PD nomositik-normokrom dan
pemeriksaan enzim G6PD.
Thalasemia juga didiagnosis banding dengan jenis thalasemia lainnya, yang
memberi gambaran klinis yang sama. Namun pada pemeriksaan elektroforesis
hemoglobin dapat diketahui jenis thalasemia α atau thalasemia β. Pada thalasemia
α dengan HbH ditemukan jaundice dan splenomegali. (9)

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium yang perlu untuk menegakkan diagnosis


thalasemia ialah:
1. Darah (2)

Pemeriksaan darah yang dilakukan pada pasien yang dicurigai menderita


thalasemia adalah :
- Darah rutin
Kadar hemoglobin menurun. Dapat ditemukan penurunan jumlah eritrosit,
peningkatan jumlah lekosit, ditemukan pula peningkatan dari sel PMN. Bila terjadi
hipersplenisme akan terjadi penurunan dari jumlah trombosit.

- Hitung retikulosit
Hitung retikulosit meningkat antara 2-8 %.

- Gambaran darah tepi


Anemia pada thalasemia mayor mempunyai sifat mikrositik hipokrom. Pada
gambaran sediaan darah tepi akan ditemukan retikulosit, poikilositosis, tear drops
sel dan target sel.

Gambar 13. Sapuan darah tepi pada thalasemia

- Serum Iron & Total Iron Binding Capacity


Kedua pemeriksaan ini dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan
anemia terjadi karena defisiensi besi. Pada anemia defisiensi besi SI akan menurun,
sedangkan TIBC akan meningkat.

- Tes Fungsi Hepar

Kadar unconjugated bilirubin akan meningkat sampai 2-4 mg%. bila angka
tersebut sudah terlampaui maka harus dipikir adanya kemungkinan hepatitis,
obstruksi batu empedu dan cholangitis. Serum SGOT dan SGPT akan meningkat
dan menandakan adanya kerusakan hepar. Akibat dari kerusakan ini akan berakibat
juga terjadi kelainan dalam faktor pembekuan darah.
2. Elektroforesis Hb (2)

Diagnosis definitif ditegakkan dengan pemeriksaan eleltroforesis


hemoglobin. Pemeriksaan ini tidak hanya ditujukan pada penderita thalasemia saja,
namun juga pada orang tua, dan saudara sekandung jika ada. Pemeriksaan ini untuk
melihat jenis hemoglobin dan kadar HbA2. Petunjuk adanya thalasemia α adalah
ditemukannya Hb Barts dan Hb H. Pada thalasemia β kadar Hb F bervariasi antara
10-90%, sedangkan dalam keadaan normal kadarnya tidak melebihi 1%.
3. Pemeriksaan sumsum tulang (2)

Pada sumsum tulang akan tampak suatu proses eritropoesis yang sangat
aktif sekali. Ratio rata-rata antara myeloid dan eritroid adalah 0,8. pada keadaan
normal biasanya nilai perbandingannya 10 : 3.

Gambar 14. Sapuan sumsum tulang May-Giemsa stain, x1000

4. Pemeriksaan rontgen (5)

Ada hubungan erat antara metabolisme tulang dan eritropoesis. Bila tidak
mendapat tranfusi dijumpai osteopeni, resorbsi tulang meningkat, mineralisasi
berkurang, dan dapat diperbaiki dengan pemberian tranfusi darah secara berkala.
Apabila tranfusi tidak optimal terjadi ekspansi rongga sumsum dan penipisan dari
korteknya. Trabekulasi memberi gambaran mozaik pada tulang. Tulang terngkorak
memberikan gambaran yang khas, disebut dengan “hair on end” yaitu menyerupai
rambut berdiri potongan pendek pada anak besar.
Gambar 15. Gmabar rontgen kepala “Hair on end” dan tulang panjang yang terjadi
penipisan korteks.

5. EKG dan echocardiography untuk mengetahui dan memonitor keadaan


jantungnya. Kadang ditemukan jantung yang kardiomegali akibat anemianya.

6. HLA typing untuk pasien yang akan di transplantasi sumsum tulang.

7. Pemeriksaan mata, pendengaran, fungsi ginjal dan test darah rutin untuk
memonitor efek terapi deferoxamine (DFO) dan shelating agent. (9)

Komplikasi

-
Splenomegali karena penimbunan besi dan eritrosit abnormal, leukosit dan
trombosit.
-
Anak dengan β thalasemia mayor dengan transfuse yang tidak adekuat dapat
menyebabkan pertumbuhan kurang dan mudah terinfeksi, hepatosplenomegali,
penipisan cortex tulang dan mudah fraktur.
-
Hemosdierosis akibat pemberian transfuse, sehingga kadar serum besi yang
berlebihan.
-
Kerusakan hepar yang disebabkan oleh besi yang berhubungan dengan
komplikasi sekunder dari transfuse dan infeksi hepatitis C merupakan penyebab
tersering hepatitis pada anak dengan thalasemia.
-
Congestive heart failure dan cardiac aritmia pada transfusi tanpa chelating
agent.
-
Thrombosis dan septikemia pada splenektomi
-
Wanita dengan fetus α- thalasemia meningkatkan komplikasi pada kehamilan
karena toksikemia dan peradarahan post partum. (10)

Terapi

Penderita trait thalasemia tidak memerlukan terapi ataupun perawatan lanjut


setelah diagnosis awal dibuat. Terapi preparat besi sebaiknya tidak diberikan
kecuali memang dipastikan terdapat defisiensi besi dan harus segera dihentikan
apabila nilai Hb yang potensial pada penderita tersebut telah tercapai. Diperlukan
konseling pada semua penderita dengan kelainan genetik, khususnya mereka yang
memiliki anggota keluarga yang berisiko untuk terkena penyakit thalasemia berat.
Penderita thalasemia berat membutuhkan terapi medis, dan regimen
transfusi darah merupakan terapi awal untuk memperpanjang masa hidup. Transfusi
darah harus dimulai pada usia dini ketika anak mulai mengalami gejala dan setelah
periode pengamatan awal untuk menilai apakah anak dapat mempertahankan nilai
Hb dalam batas normal tanpa transfusi.
a. Transfusi Darah (4)

- Transfusi darah bertujuan untuk mempertahankan nilai Hb tetap pada level 9-


9.5 gr/dL sepanjang waktu.
- Pada pasien yang membutuhkan transfusi darah reguler, maka dibutuhkan suatu
studi lengkap untuk keperluan pretransfusi. Pemeriksaan tersebut meliputi
fenotip sel darah merah, vaksinasi hepatitis B (bila perlu), dan pemeriksaan
hepatitis.
- Darah yang akan ditransfusikan harus rendah leukosit; 10-15 mL/kg PRC
dengan kecepatan 5 mL/kg/jam setiap 3-5 minggu biasanya merupakan regimen
yang adekuat untuk mempertahankan nilai Hb yang diinginkan.
- Pertimbangkan pemberikan asetaminofen dan difenhidramin sebelum transfusi
untuk mencegah demam dan reaksi alergi.

Komplikasi Transfusi Darah (4)

Komplikasi utama dari transfusi adalah yang berkaitan dengan transmisi


bahan infeksius ataupun terjadinya iron overload. Penderita thalasemia mayor
biasanya lebih mudah untuk terkena infeksi dibanding anak normal, bahkan tanpa
diberikan transfusi. Beberapa tahun lalu, 25% pasien yang menerima transfusi
terekspose virus hepatitis B. Saat ini, dengan adanya imunisasi, insidens tersebut
sudah jauh berkurang. Virus Hepatitis C (HCV) merupakan penyebab utama
hepatitis pada remaja usia di atas 15 tahun dengan thalasemia. Infeksi oleh
organisme opurtunistik dapat menyebabkan demam dan enteriris pada penderita
dengan iron overload, khususnya mereka yang mendapat terapi khelasi dengan
Deferoksamin (DFO). Demam yang tidak jelas penyebabnya, sebaiknya diterapi
dengan Gentamisin dan Trimetoprim-Sulfametoksazol.

b. Terapi Khelasi (Pengikat Besi) (4)

- Apabila diberikan sebagai kombinasi dengan transfusi, terapi khelasi dapat


menunda onset dari kelainan jantung dan, pada beberapa pasien, bahkan dapat
mencegah kelainan jantung tersebut.
- Chelating agent yang biasa dipakai adalah DFO yang merupakan kompleks
hidroksilamin dengan afinitas tinggi terhadap besi. Rute pemberiannya sangat
penting untuk mencapai tujuan terapi, yaitu untuk mencapai keseimbangan besi
negatif (lebih banyak diekskresi dibanding yang diserap). Karena DFO tidak
diserap di usus, maka rute pemberiannya harus melalui parenteral (intravena,
intramuskular, atau subkutan).
- Dosis total yang diberikan adalah 30-40mg/kg/hari diinfuskan selama 8-12 jam
saat pasien tidur selama 5 hari/minggu.

c. Transplantasi Sel Stem Hematopoetik (TSSH) (4)

TSSH merupakan satu-satunya yang terapi kuratif untuk thalasemia yang


saat ini diketahui. Prognosis yang buruk pasca TSSH berhubungan dengan adanya
hepatomegali, fibrosis portal, dan terapi khelasi yang inefektif sebelum
transplantasi dilakukan. Prognosis bagi penderita yang memiliki ketiga
karakteristik ini adalah 59%, sedangkan pada penderita yang tidak memiliki
ketiganya adalah 90%. Meskipun transfusi darah tidak diperlukan setelah
transplantasi sukses dilakukan, individu tertentu perlu terus mendapat terapi khelasi
untuk menghilangkan zat besi yang berlebihan. Waktu yang optimal untuk memulai
pengobatan tersebut adalah setahun setelah TSSH. Prognosis jangka panjang pasca
transplantasi , termasuk fertilitas, tidak diketahui. Biaya jangka panjang terapi
standar diketahui lebih tinggi daripada biaya transplantasi. Kemungkinan kanker
setelah TSSH juga harus dipertimbangkan.

d. Terapi Bedah(4)

Splenektomi merupakan prosedur pembedahan utama yang digunakan pada


pasien dengan thalasemia. Limpa diketahui mengandung sejumlah besar besi
nontoksik (yaitu, fungsi penyimpanan). Limpa juga meningkatkan perusakan sel
darah merah dan distribusi besi. Fakta-fakta ini harus selalu dipertimbangkan
sebelum memutuskan melakukan splenektomi.. Limpa berfungsi sebagai
penyimpanan untuk besi nontoksik, sehingga melindungi seluruh tubuh dari besi
tersebut. Pengangkatan limpa yang terlalu dini dapat membahayakan.

Sebaliknya, splenektomi dibenarkan apabila limpa menjadi hiperaktif,


menyebabkan penghancuran sel darah merah yang berlebihan dan dengan demikian
meningkatkan kebutuhan transfusi darah, menghasilkan lebih banyak akumulasi
besi.

Splenektomi dapat bermanfaat pada pasien yang membutuhkan lebih dari


200-250 mL / kg PRC per tahun untuk mempertahankan tingkat Hb 10 gr / dL
karena dapat menurunkan kebutuhan sel darah merah sampai 30%.

Risiko yang terkait dengan splenektomi minimal, dan banyak prosedur


sekarang dilakukan dengan laparoskopi. Biasanya, prosedur ditunda bila
memungkinkan sampai anak berusia 4-5 tahun atau lebih. Pengobatan agresif
dengan antibiotik harus selalu diberikan untuk setiap keluhan demam sambil
menunggu hasil kultur. Dosis rendah Aspirin® setiap hari juga bermanfaat jika
platelet meningkat menjadi lebih dari 600.000 / μL pasca splenektomi.

e. Transplantasi sumsum tulang(4)

Transplantasi sumsum tulang untuk thalasemia pertama kali dilakukan


tahun 1982. Transplantasi sumsum tulang merupakan satu-satunya terapi definitive
untuk thalasemia. Jarang dilakukan karena mahal dan sulit.

f. Diet thalasemia (11)

Pasien dianjurkan menjalani diet normal, dengan suplemen sebagai berikut:

o Vitamin C  100-250 mg/hari selama pemberian kelasi besi.


o Asam Folat  2-5 mg/hari untuk memenuhi kebutuhan yang meningkat.
o Vitamin E  200-400 IU setiap hari.
Sebaiknya zat besi tidak diberikan, dan makanan yang kaya akan zat besi
juga dihindari. Kopi dan teh diketahui dapat membantu mengurangi penyerapan zat
besi di usus.

Skrinning
Ada 2 pendekatan untuk menghinadari thalasemia:
i. Karena karier thalasemia β bias diketahui dengan mudah, skrinning populasi dan
koseling tentang pasangan bisa dilakukan. Bila heterozigot menikah, 1 dari 4
anak mereka bisa menjadi homozigot atau gabungan heterozigot.
ii. Bila ibu heterozigot sudah diketahui sebelum lahir, pasangannya bisa diperiksa
dan bila termasuk karier, pasangan tersebut ditawari diagnosis prenatal dan
terminasi kehamilan pada fetus dengan thalasemia β berat.

Bila populasi tersebut menghendaki pemilihan pasangan, dilakukan


skrinning premarital yang bisa dilakukan di sekolah anak. Penting menyediakan
program konseling verbal maupun tertulis mengenai skrinning.

Alternatif lain bisa juga dilakukan pemeriksaan terhadap setiap wanita


hamil berdasar ras, melalui ukuran eritrosit, kadar Hb A2 (meningkat pada
thalasemia-β). Bila kadarnya normal, pasien dikirim ke pusat yang bisa
menganalisis rantai α. (4)

Prognosis

Prognosis bergantung pada tipe dan tingkat keparahan dari thalasemia.


Seperti dijelaskan sebelumnya, kondisi klinis penderita thalasemia sangat bervariasi
dari ringan bahkan asimtomatik hingga berat dan mengancam jiwa, tergantung pula
pada terapi dan komplikasi yang terjadi. Bayi dengan thalasemia α mayor
kebanyakn lahir mati atau lahir hidup dan meninggal dalam beberapa jam. Anak
dengan thalasemia dengan transfuse darah biasanya hanya bertahan sampai usia 20
tahun, biasanya meninggal karena penimbunan besi. (9)
BAB 3
ANALISA KASUS
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang yang
dilakukan pada An. E.N.A usia 6 tahun yang datang bersama orang tuanya ke IGD
RSUD AWS Samarinda pada 24 januari 2019 dengan keluhan utama pucat 3 hari
sebelum masuk rumah sakit. Diagnosis masuk dan diagnosis kerja pasien ini adalah
Anemia et causa Thalasemia. Diagnosa ini ditegakkan berdasarkan hasil dari
anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium.

TEORI KASUS

ANAMNESIS

Gejala klinis pada thalasemia Pasien datang ke poli RSUD AWS


hampir semua sama, yang membedakan dengan keluhan pucat sejak 3 hari
adalah tingkat keparahannya, dari ringan
sebelum masuk rumah sakit. Pasien
(asimptomatik) sampai parahnya gejala..
juga mengeluhkan demam yang
Gejala klinis biasa berupa tanda-tandadirasakan terus menerus tanpa
anemia seperti pucat, lemah, letih, lesu,
disertai menggigil setelah muncul
tidak aktif beraktifitas atau jarang pucat. Selain itu pasien merasakan
bermain dengan teman seusianya, sesak lemas sejak 3 hari sebelum masuk
nafas kurang konsentrasi, sering pula rumah sakit.
disertai dengan kesulitan makan, gagal Keluhan kejang dan batuk
tumbuh, infeksi berulang dan perubahanpilek tidak ada. asupan minum
tulang. pasien dan makan pasein bagus dan
BAK normal.
PEMERIKSAAN FISIK
Pada pemeriksaan fisik Pemeriksaan fisik pada 24 januari
didapatkan facies Cooley, conjungtiva 2019 pukul 12.30 di melati
anemis, bentuk tulang yang abnormal,  Keadaan Umum: Sakit sedang
pembesarah lien dan atau hepar.
 T: 36,6 oC
 N: 100 x/i
 RR: 24x/i
 TD: 120 /60 mmHg
 BB: 17 kg
 TB: 98 cm
 Konjungtiva Anemis +/+
 Splenomegali
 Hepatomegali
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium yang Lab :
perlu untuk menegakkan diagnosis Hasil Lab DL tanggal 24 Januari
thalasemia ialah: 2019
Darah (2) GDS 112 g/dl
Eritrosit 2980000 /µL
Pemeriksaan darah yang dilakukan pada
Haemoglobin 6,7 g/dL
pasien yang dicurigai menderita
thalasemia adalah : Leukosit 12670 /µL
Hematokrit 20,4 %
- Darah rutin DD MCV 68,6 fL
Kadar hemoglobin menurun. Dapat MCH 22,4 pg
ditemukan penurunan jumlah eritrosit, MCHC 32,6 g/dL
peningkatan jumlah lekosit, ditemukan PLT 282000 /µL
pula peningkatan dari sel PMN. Bila RDW-SD 86,9 fL
terjadi hipersplenisme akan terjadi RDW-CV 33.5 %
penurunan dari jumlah trombosit.
PDW 15,0 fL
- Hitung retikulosit MPV 8,4 fL
Hitung retikulosit meningkat antara 2-8 P-LCR 21 %
%. PCT 0,24 %
Neutrofil 7100 /µ
- Gambaran darah tepi
Neutrofil % 56 %
Anemia pada thalasemia mayor
Limfosit 4950 /µ
mempunyai sifat mikrositik hipokrom.
Pada gambaran sediaan darah tepi akan Limfosit % 39 %
ditemukan retikulosit, poikilositosis, tear Monosit 400 /µ
drops sel dan target sel. Monosit % 3%
Eosinofil 150 /µ
- Serum Iron & Total Iron Binding Eosinofil % 1%
Capacity Basofil 100 /µ
Kedua pemeriksaan ini dilakukan untuk Basofil % 1%
menyingkirkan kemungkinan anemia
terjadi karena defisiensi besi. Pada
anemia defisiensi besi SI akan menurun,
sedangkan TIBC akan meningkat.
Hasil Lab DL tanggal 25 januari
2019
Eritrosit 3870000 /µL
Haemoglobin 9,8 g/dL
Leukosit 5550 /µL
Hematokrit 29,8 %
MCV 77,1 fL
MCH 25,4 pg
MCHC 32,9 g/dL
PLT 107000 /µL
RDW-SD 55,8 fL
RDW-CV 19,5 %
PDW 14,8 fL
MPV 7,9 fL
P-LCR 17 %
PCT 0,09 %
Neutrofil 3100 /µ
Neutrofil % 55 %
Limfosit 207 /µ
Limfosit % 37 %
Monosit 240 /µ
Monosit % 4%
Eosinofil 90 /µ
Eosinofil % 2%
Basofil 100 /µ
Basofil % 1%

DIAGNOSIS

Penegakan diagnosis Thalasemia Berdasarkan klinis diatas pasien


berdasarkan Gejala klinis, pemeriksaan diagnosis Thalasemia
fisik, dan pemeriksaan penunjang berupa
pemeriksaan darah, Hb elektroforesis,
atau pemeriksaan sumsum tulang.

PENATALAKSANAAN

Penderita trait thalasemia tidak Penatalaksanaan di berikan di


memerlukan terapi ataupun perawatan ruang Melati dan IGD yaitu:
lanjut setelah diagnosis awal dibuat.  D5 ½ NS 16 tpm
Terapi preparat besi sebaiknya tidak  Transfusi PRC 190 CC /12
diberikan kecuali memang dipastikan jam
terdapat defisiensi besi dan harus segera  Exjade 1 x 250 mg
dihentikan apabila nilai Hb yang  Vit C 1 x 1 tab
potensial pada penderita tersebut telah  As. Folat 1 x 1 tab
tercapai.

a. Transfusi Darah

Transfusi darah harus dimulai


pada usia dini ketika anak mulai
mengalami gejala dan setelah periode
pengamatan awal untuk menilai apakah
anak dapat mempertahankan nilai Hb
dalam batas normal tanpa transfusi.

- Transfusi darah bertujuan untuk


mempertahankan nilai Hb tetap pada
level 9-9.5 gr/dL sepanjang waktu.
- Darah yang akan ditransfusikan
harus rendah leukosit; 10-15 mL/kg
PRC dengan kecepatan 5 mL/kg/jam
setiap 3-5 minggu biasanya
merupakan regimen yang adekuat
untuk mempertahankan nilai Hb
yang diinginkan.
- Pertimbangkan pemberikan
asetaminofen dan difenhidramin
sebelum transfusi untuk mencegah
demam dan reaksi alergi.

b. Terapi Khelasi (Pengikat Besi) (4)


- Apabila diberikan sebagai kombinasi
dengan transfusi, terapi khelasi dapat
menunda onset dari kelainan jantung
dan, pada beberapa pasien, bahkan
dapat mencegah kelainan jantung
tersebut.
- Chelating agent yang biasa dipakai
adalah DFO yang merupakan
kompleks hidroksilamin dengan
afinitas tinggi terhadap besi. Rute
pemberiannya sangat penting untuk
mencapai tujuan terapi, yaitu untuk
mencapai keseimbangan besi negatif
(lebih banyak diekskresi dibanding
yang diserap). Karena DFO tidak
diserap di usus, maka rute
pemberiannya harus melalui
parenteral (intravena, intramuskular,
atau subkutan).
- Dosis total yang diberikan adalah 30-
40mg/kg/hari diinfuskan selama 8-12
jam saat pasien tidur selama 5
hari/minggu.

c. Diet

Pasien dianjurkan menjalani diet


normal, dengan suplemen sebagai
berikut:

o Vitamin C  100-250 mg/hari


selama pemberian kelasi besi.
o Asam Folat  2-5 mg/hari untuk
memenuhi kebutuhan yang
meningkat.
o Vitamin E  200-400 IU setiap hari.

BAB 4
KESIMPULAN

Pasien An. E.N.A, berjenis kelamin perempuan, dengan usia 6 tahun dengan
keluhan pucat sejak 3 hari yang lalu sebelum masuk rumah sakit dengan diagnosis
Anemia et causa Thalasemia. Selama perawatan, ditemukan anak tersebut sesuai
dengan teori dan menjalani penatalaksanaan sesuai teori.

Secara umum, mulai dari anamnesis, hasil pemeriksaan fisik dan penunjang,
penegakan diagnosis dan penatalaksanaan pada kasus ini sudah sesuai dengan teori
yag penulis dapatkan dari literatur yang ada. Prognosis pada pasien ini berdasarkan
perjalanan penyakit dan penatalaksanaan yang telah didapatkannya adalah dubia.

DAFTAR PUSTAKA
1. Behrman Richard E., Kliegman Robert, Arvin Ann M., et al. Kelainan
Hemoglobin: Sindrom Thalasemia. Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Volume 2.
Edisi ke-15. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2001. Hal 1708-1712.
2. Yaish Hassan M. Thalasemia. April 30, 2010. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/958850-overview.
3. Permono, Bambang H., Sutaryo, Ugrasena, IDG. Sel darah merah: Eritropoisis.
Buku Ajar Hematologi- Onkologi Anak. Cetakan ketiga. Ikatan Dokter
Indonesia. Jakarta : 2010. Hal 1-6, 16-23.
4. Permono, Bambang H., Sutaryo, Ugrasena, IDG. Hemoglobin Abnormal:
Thalasemia. Buku Ajar Hematologi- Onkologi Anak.. Cetakan ketiga. Ikatan
Dokter Indonesia. Jakarta : 2010. Hal 64-84.
5. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Hematologi. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Fakultas Kedokteran
Universita Indonesia: Bagian Ilmu Kesehatan Anak.
6. U.S Department of Health & Human Services. Thalasemias. Available at:
http://www.nhlbi.nih.gov/health/dci/Diseases/Thalasemia/Thalasemia_Causes.
html.
7. Bleibel, SA. Thalasemia Alpha. August 26, 2009. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/206397-overview
8. Takeshita, K. Thalasemia Beta. September 27, 2010. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/206490-overview
9. Yaish Hassan M. Thalasemia: Differential diagnoses & Workup. April 30,
2010. Available at : http://emedicine.medscape.com/article/958850-diagnosis
10. Hay WW, Levin MJ. Hematologic Disorders. Current Diagnosis and
Treatment in Pediatrics. 18th Edition. New York : Lange Medical Books/
McGraw Hill Publishing Division ; 2007. Hal 841-845.
Haut, A., Wintrobe MM. The hemoglobinopathies and thalasemias. Forfar and
Arneil’s Textbook of Paediatrics. Edisi 7. Chruchill Livingstone. 2010. Hal
1621-1632.

Anda mungkin juga menyukai