Anda di halaman 1dari 11

Penafsiran Trilogi IMM Untuk Meningkatkan Semangat Berfastabiqul Khairat

Oleh: Angga Fahmi


Kabid Hikmah PK IMM FAI UMSU

Tulisan sederhana ini bermaksud memberikan gambaran bagaimana saharusnya menjadi kader
IMM yang ideal. Dalam hal ini, tulisan yang penulis ajukan merupakan penafsiran dari trilogi IMM
sebagaimana judul diatas dalam kapasitasnya sebagai basis proses pengkaderan.

Trilogi IMM tersebut penulis jabarkan sebagai tangga proses pengkaderan yang harus dilalui dari
tahap ketahap. Berangkat dari tangga proses pengkaderan tersebut, kader IMM ideal adalah seorang
pionir tajdid. Secara umum dapat dilihat dalam bagan di bawah ini.

Religiusitas

Pada tangga I (1, 2 dan 3) penulis mengkategorikan sebagai tangga yang dalam kapasitasnya
sebagai identitas atau jati diri kader IMM. Maka segala aspek, terutama corak keilmuan kader harus
merepresentasikan dari identitas dirinya itu. Dalam membentuk identitas tersebut, pertama-tama
harus diperkokoh fundamentalisme ke-Islaman, kemudian internalisasi nilai-nilai ke-
Muhammadiyahan, dan penyempurnaannya adalah dengan kulturisasi ke-IMM-an. Ketiga hal
tersebut secara mendasar dapat dibedakan dengan jelas, akan tetapi secara struktur tidak dapat
dipisahkan. Ketiganya merupakan kesatuan utuh dalam membentuk karakter dan corak identitas
kader IMM yang ideal, yaitu sebagai pionir tajdid.
1. Fundamentalisme Islam

Apabila kita bercermin pada Anggaran Dasar (AD) IMM BAB II tentang Asas Gerakan dan
Lambang (pasal 4), menyebut bahwa “Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah berazas Islam”.
Berdasarkan hal tersebut, (dalam konteks ini) berarti Islam telah menjadi darah daging dalam diri
IMM. Maka sudah barang tentu kader IMM yang ideal harus menjunjung tinggi azas gerakan IMM
tersebut. Di sisi lain, sebagai salah satu lembaga dakwah Muhammadiyah, IMM tentu harus mampu
mentransformasikan nilai-nilai Islam kepada mahasiswa khususnya dan masyarakat umumnya.
Dengan kata lain, kader IMM harus merepresentasikan diri sebagai kader umat yang dalam
eksistensinya sebagai suri tauladan.

Tentu mudah dipahami mengapa penulis menempatkan “fundamentalisme islam” pada tangga
pertama dalam bagan tersebut. Jawaban yang paling mendasar ialah agar Islam menjadi tumpuan
utama dalam segala aspek hidup dan kehidupan setiap kader IMM. Dalam hal ini, Islam menjadi
falsafah, idiologi dan semangat perjuangan yang harus dipegang teguh. Terlepas dari itu, tidak dapat
disangkal bahwa Islam merupakan kontruksi fondasi seorang muslim dalam menjalani setiap drama
kosmos. Maka sudah seharusnya dalam proses pengkaderan IMM, memastikan terlebih dahulu
bahwa fondasi tersebut telah terbangun secara kokoh. Terlepas dari itu, sejauh ini fundamentalisme
Islam tentu relevan dengan azas yang dianut oleh IMM itu sendiri.

Berdasarkan uraian diatas, maka cukup beralasan mengapa fundamentalisme Islam harus dijadikan
sebagai pijakan utama dalam merangkai karakter kader IMM. Secara sederhana penekanan dalam
penanaman fundamentalisme Islam dapat dilihat dalam tabel berikut:

Aspek dan Orientasi

1. Tauhid dan sumber hukum Islam

 Berperilaku sesuai tuntunan Islam (Al-Quran, As-sunah, Ijma, Qiyas);


 Tauladan bagi sesama kader dan umat.

2. Memahami hakikat Islam

 Memahami kaidah-kaidah dan aqidah Islam.


 Menjadikan islam sebagai pegangan hidup.
3. Mengkaji ilmu Islam (aspek pendukung)

 Mempu menjabarkan periodesasi perkembangan Islam;


 Memahami perbedaan mashab Islam;
 Mampu menjelaskan fenomena berdasarkan teologi Islam.

Tiga poin diatas secara sederhana memaparkan corak keilmuan kader tentang nilai-nilai Islam,
yang dimaksudkan agar setiap kader memiliki kesadaran sepenuhnya dari azas yang dianut IMM.
Dengan kata lain, bertujuan agar setiap kader menjiwai Islam dalam segala aspek. Tidak cukup
sampai disitu, fundamental tersebut harus direalisasikan dalam upaya mencari kebenaran demi
kebenaran itu sendiri.

2. Internalisasi nilai-nilai keMuhammadiyahan

Setelah fundamentalisme Islam tertanam dalam diri kader yang minimal dapat dilihat dari indikator-
indikator sebagaimana disebut sebelumnya. Maka selanjutnya adalah melakukan internalisasi nilai-
nilai kemuhammadiyahan. Mengapa hal tersebut harus dilakukan?. Berangkat dari sebuah penelitian
menunjukan bahwa 65 persen kader IMM bukan berasal dari keluarga Muhammadiyah(1). Realitas
seperti ini tentu mengharuskan IMM memperkenalkan induk organisasinya, dengan maksud agar
kader memahami gerakan Muhammadiyah dan ikut berkontribusi didalamnya. Hal ini sejalan
dengan tujuan dibentuknya IMM yang tertuang dalam Anggaran Dasar (AD) BAB III tentang
Tujuan dan Usaha (Pasal 7), yang berbunyi “tujuan IMM adalah mengusahakan terbentuknya
akademisi islam yang berakhlak mulia dalam rangka mencapai tujuan Muhammadiyah”.

Uraian diatas secara eksplisit memberikan gambaran tentang apa sebenarnya yang hendak menjadi
orientasi IMM. Maka mudah dipahami bahwa internalisasi nilai-nilai kemuhammadiyahan tidak
dapat ditawar-tawar lagi dalam proses pengkaderan IMM. Dalam hal ini, penulis memberikan
indikator-indikator sederhana dari internalisasi nilai-nilai kemuhammadiyahan tersebut, sebagai
berikut:

Aspek, Kecakapan, dan Sikap

1 Substansi Muhammadiyah

 Memahami latar belakang dan hakikat Muhammadiyah


 Memahami unsur-unsur dalam corak gerakan Muhammadiyah Keberpihakan
2 Esensi Muhammadiyah

 Memahami tujuan muhammadiyah;


 Implikasi sosial
 Transformasi sosial

Secara mendasar initernalisasi nilai-nilai keMuhammadiyahan dimaksudkan agar kader memahami


secara kompleks tentang organisasi Muhammadiyah. Pemahaman tersebut kemudian dituangkan
dalam corak pemikiran dan perjuangan kader dalam menegakkan islam yang tidak terlepas dari
konotasi Muhammadiyah.

3. Kulturisasi ke-IMM-an

Secara ‘struktural’ siapapun yang telah mengikuti rangkaian kegiatan pengkaderan yang
diagendakan oleh IMM, tentu layak disebut sebagai kader IMM. Akan tetapi hal tersebut tentu
belum cukup, seorang kader harus memiliki kultur IMM. Kultur IMM yang dimaksud disini
merupakan semacam budaya yang melekat pada IMM itu sendiri. Dalam artian ciri khas yang
membedakan IMM dengan kader Muhammadiyah pada ortom yang lain. Secara mendasar
kulturisasi ke-IMM-an harus menyentuh ranah afektif dan kognitif kader, atau yang sering kita
sebut moralitas dan intelektualitas.

Apabila ditinjau secara seksama, moral-intelektual dalam tubuh IMM telah ditempatkan sebagai
karakter setiap kader. Hal tersebut terbaca dalam slogan IMM yang secara umum telah kita ketahui,
yaitu “anggun dalam moral dan unggul dalam intelektual”. Substansi yang terkandung dalam slogan
tersebut secara eksplisit menggambarkan bahwa kader IMM adalah sosok individu yang memiliki
sikap, perilaku, perbuatan, dan tindakan yang mengindahkan norma-norma agama dan sosial.
Sedangkan dalam ranah kognitif, kader IMM adalah individu yang memiliki wawasan luas,
memiliki pemikiran, dan nalar yang kritis.

Berdasarkan uraian diatas, maka menjadi keharusan dalam proses pengkaderan untuk menanamkan
kultur IMM kedalam diri setiap kader. Tujuan dari kulturisasi ke-IMM-an tidak lain ialah agar
setiap kader merasa memiliki IMM. Hal tersebut kemudian akan memberikan dampak positif yang
lebih jauh, yaitu tertanamnya loyalitas, dedikasi dan kontribusi kader pada IMM. Sehingga setiap
kader pada ahirnya bukan hanya menjadi sekadar kader yang legal secara struktur IMM, melainkan
kader yang berkultur IMM.
Terlepas dari itu, karakter dan identitas kader yang dibangun dari basis tiga anak tangga pertama
yaitu fundamentalisme Islam, internalisasi nilai-nilai Muhammadiyah dan kulturisasi ke-IMM-an
merupakan identitas yang harus dimiki dan melekat dalam diri setiap kader. Ketiga anak tangga
tersebut merupakan kasatuan integral yang tidak dapat dipisahkan dalam membentuk karakter
pemikiran kader yang ideal. Hal tersebut bagaikan sisi segitiga yang dapat dibedakan akan tetapi
tidak dapat dipisahkan.

Secara umum kulturisasi ke-IMM-an mengarahkan agar kader memahami apa, bagaimana (sikap)
dan untuk siapa (tujuan) keberadaaan IMM ?. Dalam menjawab pertanyaan tersebut, penulis ingin
mengutip sedikit hal-hal berikut:

Terkait pertanyaan apa?

 Organisasi ini bernama Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah disingkat IMM adalah gerakan
mahasiswa islam yang beraqidah islam bersumber Al-quran dan As-sunah (Anggaran Dasar
IMM BAB I, pasal 1).
 IMM adalah lembaga pengkaderan islam yang berlandasakan idiologi Muhammadiyah.
(Deklaraasi Setengah Abad IMM, poin I).

Terkait pertanyaan, bagaimana sikap ?

 Membina para anggotanya menjadi kader perserikatan Muhammadiyah, kader umat dan
kader bangsa yang senantiasa setia terhadap keeyakinan dan cita-citanya (Anggaran Dasar
IMM Bab III, Pasal 8; Poin 1).
 Pengkaderan IMM berbasis pada penguatan kapasitas individu dan gerak komunal yang
bertumpu pada kearifan lokal (Deklaraasi Setengah Abad IMM, Poin 2).
 Pengkaderan IMM selalu menanamamkan nilai-nilai moralitas profetik dan multikultural
dalam rangka membumikan gerakan dakwah Islam (Deklarasi Setengah Abad IMM,Poin 3).

Terkait pertanyaan, untuk siapa?

 IMM adalah gerakan mahasiswa yang bergerak dibidang keagamaan, kemasyaraakatan dan
kemahasiswaan (Anggaran Dasar IMM Bab II, Pasal 5).
 Tujuan IMM adalah mengusahakan terbentuknya akademisi Islam yang berakhlak mulia
dalam rangka mencapai tujuan Muhammadiyah (Anggaran Dasar IMM Bab III, Pasal 7).
 Orientasi gerakan IMM diarahkan pada penyelesaian problematika kebangsaan pada
kemanusiaan universal (Deklaraasi Setengah Abad IMM, Poin 6).

Dari uraian diatas, identitas religiusitas kader IMM harus disempurnakan dengan membungkusnya
dalam kultur IMM. barangkali hal tersebut dapat dianalogikan seperti sebuah buku, azas Islam, dan
gerakan Muhammadiyah merupakan substansi atau tema dari apa yang terkandung di dalam buku
tersebut. Sedangkan IMM merupakan rangkaian kata yang akan menyampaiakan tema tersebut
kepada pembaca.

Integritas Cendekiawan (Intelektualitas)

Intelektualitas merupakan bagian kedua dalam trilogi IMM yang secara ideal memposisikan kader
sebagai sosok cendekiawan. Hal tersebut tentu tidak berlebihan, pasalnya sebgai sosok yang sedang
menempuh jenjang pendidikan formal tertinggi (sebagai mahasiswa), setiap kader IMM harus
mampu merepresentasikan diri sebagai sosok cendekiawan.

Seorang cendekiawan akan senantiasa terus menggali dan memperdalam ilmu pengetahuan,
mempertanyakan sesuatu yang dianggap tidak sesuai dengan ranah kebenaran, selalu menentang
dan melawan kekuasaan dalam sistem otoriter, selalu kritis dan mampu mengintegrasikan
permasalahan-permasalahan yang ada, menentang pelanggengan status quo, kaya akan gagasan dan
konsep, memiliki pengetahuan mumpuni dan sensitif akan problem sosiokultural masyarakat dan,
mereka para cendekiawaan tidak mudah dikooptasi kekuasaan.1

Ciri-ciri cendekiawan sebagaimana diungkapkan oleh Prof. Zamroni adalah:

1. Cendekiawan senantiasa mempertanyakan sesuatu. Seakan-akan bertanya merupakan fungsi


yang ada pada cendekiawan
2. Cendekiawan senantiasa memiliki sikap skeptis pada sesuatu yang baru.
3. Cendekiawan senantiasa menentang watak, prilaku dan kekuasaan otoriter.
4. Cendekiawan senantiasa memegang teguh dan konsisten dalam pikirannya.

Berangkat dari definisi dan ciri-ciri diatas, sebagai kader yang memiliki integritas cendekiawan,
sudah semestinya terus mencari ilmu pengetahuan dan kebenaran. Hal tersebut dilakukan dengan
terus mengkaji lintas disiplin ilmu. Selain itu, seorang kader harus mampu mengkorelasikan atau

1 Prof. Zamroni. 2011, Hlm 77. Dinamika Peningkatan Mutu.Yogyakarta: Gavin Kalam Utama.
mengkomparasikan berbagai ilmu pengetahuan tersebut dengan pandangan Islam yang mendahului
sebelumnya. Pada akhirnya ilmu pengetahuan tersebut tidak harus disimpan sendiri, melainkan
harus dimanfaatkan demi kebaikan bersama. Di sisi lain, integritas seorang cendekiawan akan
ditandai dengan memiliki tipikal kesadaran kritis dan kesadaran conceince, serta peka terhadap
realitas empiris-kontekstual. Hal-hal tersebut harus dimiliki oleh setiap kader sebagai tumpuan yang
akan memberikan warna dalam memasuki peran Humanitas.

4. Kesadaran Kritis dan Kesadaran Conceince

Dua jenis kesadaran, yaitu kesadaran kritis dan kesadaran conceince menurut masing-masing
pemukanya diklaim merupakan jenis kesadaran yang hanya dapat dicapai oleh manusia. Kesadaran
kritis merupakan jenis kesadaran tertinggi manusia yang dikemukakan oleh tokoh pendidikan asal
Brazil, Paulo Friere. Dalam kesadaran ini, manusia mampu mengkaitkan berbagai faktor, aspek dan
sistem atas suatu permasalahan yang terjadi. Dengan kata lain, kesadaran kritis adalah jenis
kesadaran yang mampu mengkorelasikan berbagai permasalahan dan kemudian mencari solusi atas
permasalahan tersebut. Selain itu, kesadaran kritis menuntut seseorang menjadi agen transformasi
sosial yaang terlibat dalam perubahan sosial ke arah yang lebih baik.

Kesadaran kritis tentu tidak dapat dicapai secara tiba-tiba melainkan harus melalui sebuah proses
pendidikan yang kompleks. Salah satu cara yang menurut penulis efektif dalam menumbuhkan
kesadaran kritis ialah menumbuhkan semangat membaca, mengkaji ilmu pengetahuan dan
berdiskusi. Secara tidak langsung hal tersebut akan menambah wawasan dan pengetahuan kader,
sehingga parlahan tapi pasti kader akan mampu memahami gejala-gejala sosial yang melenceng
atau telah keluar dari ranah kebenaran. Kemudian, seorang kader harus saling mengarahkan untuk
memperbaiki keadaan tersebut sesuai dengan tujuan yang sebenarnya.2

Sedangkan jenis kesadaran berikutnya ialah kesadaran yang dikemukankan oleh Kohntamm yaitu
kesadaran conceince. Sebelumnya, menurut Kohntamm tingkatan-tingkatan yang dilalui oleh
kehidupan manusia dalam proses menjadi, adalah sebagai berikut: pertama, tingkat orgnik, tingkat
dimana manusia hanya tumbuh berwujud yang hanya memperlihatkan tanda-tanda kehidupan.
Kedua, tingkat vegetatif, tingkat ketika pertanda hidup lebih tinggi, seperti adanya gerak-gerak
terbatas. Ketiga, tingkat animal, ialah ketika hidup telah memahami perangkat nafsu dan naluri.
Keempat, tingkat human, ialah ketika akal dan pikiran berperan dalam menjalani kehidupan.

2
Kumpulan Tulisan Kader IMM UMSU. Dalam Suatu Masa, Hlm 65. Medan: Global Base
Kelima, tingkat religius dan absolute, dalam tingkatan ini, hati berperan dalam mewarnai seluruh
kehidupan manusia sehingga individu dapat mampu melihat, memahami, dan menerapkan norma-
norma tertinggi dalam kehdupan. Kesadaran yang terahir ini disebut dengan kesadaran concience.

Berdasarkan penjelasan diatas, dapat dipahami bahwa kesadaran conceince adalah kesadaran yang
bersumber dari perasaan atau hati. Kesadaran jenis ini akan mendasari setiap perbuatan, sikap dan
tingkah laku manusia dalam menjalani hidup dan kehidupannya sebagai manusia secara utuh. Disisi
lain, kesadaran ini akan mendorong setiap individu memiliki rasa empati antara satu dan yang lain.
Kesadaran conceince berperan dalam memahami gejala dan realitas sosial berdasarkan sisi hati
kemanusiaan. Artinya, memandang kehidupan sosial bukan hanya dari segi intelektualitas
melainkan juga dari faktor yang selaras dengan sisi kemanusiaan. Kesadaran ini penting dimiliki
oleh setiap kader, agar masing-masing kader merasa memiliki IMM, merasa senasib dan
seperjuangan dalam misi kemanusian.

5. Peka Realitas Sosial

Kader IMM yang telah memijakan kaki pada anak tangga keempat, tentu tidak diragukan lagi
bahwa kader tersebut memiliki kepekaan terhadap realitas sosial. Pada dasarnya, peka realitas sosial
ini merupakan konsekuesi logis dari kesadaran kritis dan kesadaran conceince sebagaimana
dijelaskan sebelumnya. Dalam hal ini, menurut penulis indikator seorang kader “peka realitas
sosial” adalah sebagai berikut:

1. kemampuan kader dalam mengidentifikasi permasalahan sosial yang terjadi;


2. kemampuan kader dalam menjabarkan sebab permasalahan sosial tersebut terjadi;
3. kemampuan kader dalam menjabarkan dampak dan akibat dari permasalahan sosial tersebut;
4. kemampuan kader dalam merumuskan solusi atas permasalahan sosial tersebut.

Indikator-indikator diatas secara umum merupakan pijakan kader dalam menaiki anak tangga
berikutnya, yaitu realisasi yang terdiri dari dua tingkatan yaitu transformasi sosial dan pionir tajdid.
Dengan demikian, bentuk transformasi sosial dan sebagai agen tajdid seorang kader akan sangat
bergantung pada tingkat kepekaannya terhadap realitas sosial. Organisasi adalah bagian dari
lingkungan besar yang yang berinteraksi dengan unsur lain dari lingkungan.3

3
A Dale Timpe. Seri Manajemen Sumber Daya Manusia, Hlm 365. Jakarta, PT Gramedia
Realisasi (Humanitas)

Realisasi atau yang juga berarti “keterlibatan”, merupakan sebuah bentuk sikap yang harus dimiliki
oleh setiap kader IMM. Katerlibatan yang dimaksud disini adalah keikutsertaan kader dalam segala
hal (positif), sebagai bentuk representasi dari tingkatan-tingkatan anak tangga yang telah dilalui
sebelumnya. Keterlibatan kader harus berdasarkan panggilan hati, bukan karena hanya sekedar ikut-
ikutan semata.4

Dalam praktiknya, kader harus mentransformasikan diri dalam kehidupan sosial yang membawa
perubahan lebih baik. Hal tersebut dapat di mulai dari tingkatan struktural dalam diri IMM (kader
perserikatan), keterlibatan untuk umat (kader umat) dan keterlibatan dalam skala jauh lebih luas
(kader bangsa). Tidak hanya berhenti pada keterlibatan saja, kader IMM yang ideal kemudian harus
menjadi pionir tajdid.

6. Transformasi Sosial

Transformasi sosial yang dimaksud adalah keterlibatan kader dalam mengupayakan kehidupan
sosial yang lebih baik, yaitu mengubah pola atau sistem dalam kehidupan sosial yang tidak sesuai
dengan tujuannya. Dengan kata lain, transformasi sosial berarti memberikan solusi atas suatu
permasalahan sosial dan terlibat didalamnya. Misalnya, hal tersebut dapat dilakukan dengan cara
berdakwah, bakti sosial, advokasi kepada masyarakat dan lain sebagainya. Apabila permasalahan
sosial tersebut terjadi karena kebijakan penguasa yang keliru, maka kader wajib untuk mengkritk,
menolak, dan memberikan jalan keluarnya.

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, bahwa transformasi sosial erat kaitannya dengan
kesadaran kritis dan conceince serta kepekaan atas realitas sosial. Apabila kader tidak memiliki
sikap kritis dan apatis terhadap realitas sosial, maka hampir dapat dipastikan tidak mungkin kader
dapat melakukan transformasi sosial. Hubungan tersebut akan telihat pada ilustrasi dibawah ini:

Berdasarkan ilustrasi tersebut, sebelum melakukan transformasi sosial terlebih dahulu seorang
kader harus mengetahui keadaan sosial yang terjadi dan mengidentifikasinya, kemudian melakukan
analisis terhadap keadaan sosial yang dinilainya salah, selanjutnya merumuskan sebuah solusi untuk
keadaan yang demikian dan yang terahir terlibat didalamnya. Sekali lagi yang perlu ditekankan
dalam ranah transformasi sosial adalah karena panggilan hati dan kepedulian terhadap sesama.
Bukan karena faktor eksistensi, gengsi, apa lagi hanya menjadi epigon semata.

4
Dr.Muhammad Qorib, MA. Realisasi Humanitas di Kalangan Mahasiswa, Hlm 89. Medan, Global Base
7. Pionir Tajdid

Sebagaimana dari susunan katanya, pionir tajdid secara etimologis dapat kita artikan sebagai
berikut. Kata pionir menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki arti penganjur;
pelopor; perintis jalan; dan pembuka jalan. Sedangkan kata tajdid dalam KBBI memiliki arti
pembaruan; modernisasi; dan restorasi. Dengan demikian pionir tajdid adalah sosok yang selalu
berdiri didepan dalam mengembalikan, menjaga, dan merubah keadaan sesuai kebenaran yang
dibenarkan.5

Seorang pionir tajdid akan selalu memiliki semangat dalam menyerukan keadilan dan kebenaran.
Peran fungsi pionir tajdid antara lain: mengembalikan keadaan yang sosial yang tidak sesuai
kebenaran pada keadaan sebelumnya (restorasi) yang dinilai benar, apabila keadaan sebelumnya
adalah salah, maka pionir tajdid berkewajiban memberikan solusi dan kontribusi demi terciptanya
keadaan yang lebih baik dalam suasana dan kondisi yang baru (pembaharuan); ketika keadilan dan
kebenaran telah terwujud (atau sebelumnya memeng demikian), maka pionir tajdid akan senantiasa
menjaga keadaan tesebut. Sosok inilah yang menurut penulis layak disebut sebagai kader IMM
ideal.

Dari seluruh uraian diatas, penulis berharap tulisan sederhana ini dapat menjadi masukan dan
memberikan manfaat bagi kita semua kader-kader IMM dalam melaksanakan trilogi IMM.

5
Daftar Pustaka

1. Prof. Zamroni. 2011, Hlm 77. Dinamika Peningkatan Mutu.Yogyakarta: Gavin Kalam
Utama.
2. Kumpulan Tulisan Kader IMM UMSU, Hlm 65. Dalam Suatu Masa. Medan: Global Base.
3. A Dale Timpe. Seri Manajemen Sumber Daya Manusia, Hlm 365. Jakarta,
PT Gramedia.
4. Dr.Muhammad Qorib, MA. Realisasi Humanitas di Kalangan Mahasiswa,
Hlm 89. Medan, Global Base
5. Dr. Haedar Nashir. Gerakan Tajdid Muhammadiyah Hlm 78. Yogjakarta: Mizan

Anda mungkin juga menyukai