Anda di halaman 1dari 4

IMM Tak Sekedar Religius

Oleh: Rezza Perwiranegara Sudirman


Tulisan ini sebagai tanggapan dialektis atas tulisan seorang sahabat seperjuangan saya, yang
berjuang bersama di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) komisariat Pondok Hajjah
Nuriyah Shabran, Cabang Sukoharjo. Yaitu Saudara Yahya Fathur Rozy, dengan judul “Benarkah
IMM Tidak Religius?” yang dimuat oleh Islamberkemajuan.id pada 31 Januari 2019.
Pada dasarnya IMM merupakan organisasi perkaderan sekaligus pergerakan mahasiswa Islam
yang bergerak dengan muara Trilogi IMM yaitu Keagamaan, Kemahasiswaan, dan
Kemasyarakatan. Sepadan dengan organisasi pergerakan mahasiswa seperti HMI, PMII, PMKRI,
dan lainnya yang hanya berbeda secara ideologis. Keberadaan IMM, jelas sebagai tangan panjang
dakwah Islam Muhammadiyah di ranah mahasiswa yang berusaha membentuk akademisi Islam
untuk mencapai cita-cita Muhammadiyah.

Dinamika yang terjadi dikalangan kader IMM memang sangat bervariasi, namun dalam konteks
ini. Pertama, Yahya memberikan deskripsi persoalan mengenai terma religiusitas/keagaaman.
Memang tidak sedikit, stigma yang menempel bahwa telah terjadi deviasi atas pemahaman
religiusitas dan praksis keagamaan yang membelok daripada nilai keislaman itu sendiri. Sehingga
kesan yang tidak Agamis ini timbul pada kader IMM. Selain itu, label sebagai orang kekiri-kirian
atau komunis, akibat dari diskusi-diskusi filsafat, sosial, bedah buku-buku kiri, agraria, ekologi,
hak asasi manusia (HAM), dan politik. Padahal itu anggapan yang irrasional.

Kedua, fenomena diskusi yang jarang peminat, karena pembahasannya yang jauh dari tema Islam
kekinian seperti “nikah muda, hijrah” dan berbagai tema lainnya. akibatnya banyak kader yang
membelot dari IMM dan memilih organisasi lain yang membahas dan mengkaji tema tersebut.
sehingga secara kuantitas, eksistensi kader IMM terancam degradasi. Bahkan menurut sebagian
beberapa kader IMM yang mengenakan pakaian yang tidak Syar’ie, tidak rapi, rambut acak-
acakan dan kurang memiliki marwah dan wibawa, memperkuat asumsi bahwa kader IMM semakin
tidak Religius. Sungguh mengerikan.

Pertama, mari sama-sama kita memahami bahwa, disetiap cabang IMM memiliki variasi ciri khas
keunggulan dan persoalannya sendiri. Bahwa dalam budaya pergerakan mahasiswa, tradisi
keilmuan, apalagi IMM, tidak elok jika ada stigmatisasi negatif yang terus-menerus diberikan
kepada mereka yang menghidupkan budaya keilmuan (diskusi).

Karena jelas stigmatisasi tersebut, selain mematikan nalar, juga tidak bisa dibenarkan secara logis
apalagi akademis, sebagai contoh: seorang yang belajar Islam bahkan hafal Qur’an dan hadis
belum bisa dikatakan sebagai orang yang muslim-religius, karena tidak sedikit orang orientalis
yang punya kemampuan itu, untuk menghancurkan Islam semata. Apalagi hanya sekedar pakai
kerudung panjang, baju koko, dan kopiah saja. Sungguh sempit pemahaman semacam itu. Jadi
sebaiknya, kuburkan dalam-dalam tradisi stigmatisasi negatif, yang membekukan penalaran kritis-
produktif, Dan waktunya kembali menghidupkan tradisi intelektual, yang menghangatkan, melalui
ruang –ruang dialektis.

Terlebih secara ideologis, IMM adalah anak kandung dari Muhammadiyah, Haedar Natsir (2019)
menjelaskan, bahwa Muhammadiyah itu tradisinya intelektual. Kalau tidak kembangkan tradisi
intelektual, bukan hanya menghianati Ahmad Dahlan, tetapi juga tidak membaca Al-Qur’an
dengan baik. Nasihat yang dalam, maka dengan ini IMM harus menjadi garda terdepan dalam
mengembangkan tradisi intelektual, dan dosen yang berada di PTM harus menjadi pendorong agar
budaya intelektual tetap hidup. Bukan malah memberikan stempel yang buruk, tidak patut. Apalagi
sampai melarang mahasiswa baca buku dan diskusi, sangat menghianati Muhammadiyah itu
sendiri.

Kedua, Gerakan keilmuan dalam IMM merupakan pembeda antara IMM dengan ortom
Muhammadiyah dan gerakan mahasiswa yang lain. Gerakan intelektual IMM sangat penting guna
merangsang gairah berfikir kritis, inovatif, liberal dan radikal. Untuk itu, IMM bukanlah organisasi
massa, jadi yang terpenting adalah mengasah kualitas intelektual kader, untuk bisa mempengaruhi
massa dalam skala besar, (tanpa menafi’kan kebutuhan kuantitas kader). Kekhawatiran
menurunnya kuantitas kader tidak perlu diambil pusing, karena memang jalan intelektual adalah
perjalanan sunyi, dan pekerjaan intelektual adalah pekerjaan untuk keabadian, tidak butuh banyak
orang untuk mengerjakannya. (Buya Syafi’i Ma’arif, 2007)

Indikator Religiusitas?
Dalam hal ini, secara subjektif saya kurang mengafirmasi argumentasi teori yang dibawakan oleh
Yahya, mengenai indikator, ciri-ciri, dan prinsip religiusitas seseorang dengan memenuhi konsepsi
maqashid al syari’ah-nya Abu Hamid al-Ghazali dan al-Syatibi yang melahirkan lima prinsip
syari’ah (ad-dlaruriyyaat al-khams) yaitu, menjaga agama (ad-Din) , jiwa (an-Nafs), akal (al-
‘Aql), keturunan (an-Nasl), dan harta (al-Mal). Selain beda konteks, secara implisit, teori ini juga
sudah dikembangkan dengan berbagai sistem pendekatan dan metodologis yang mutakhir. Seperti
Jasser Auda seorang cendekiawan multi-disipliner ilmu dalam bukunya Maqashid Shariah as
Philosophy of Islamic Law: a System Approach, konsepsi Maqashid dari penjagaan dan
perlindungan menuju pengambangan dan hak-hak asasi, dengan menyesuaikan terhadap
egalitarianism, keadilan, HAM, kebebasan berkeyakinan, pengambangan terhadap sumber daya
manusia, dan persoalan kontemporer lainnya. (h. 56-60. 2015)
Adakah indikator religiusitas? Apa tolak ukur keberhasilannya? Perlu memahami keutuhan atas
Tri Kompetensi dasar IMM, yaitu Religiusitas, Intelektualitas, dan Humanitas. Secara sederhana
Bahwa Tri Kompentensi dasar adalah kesatuan prinsip gerakan IMM, tidak bisa dipisah satu
dengan lainnya. jadi, hemat saya sementara ini belum ada rumus pengukuran terhadap religiusitas
seseorang, pun alat pengukurnya juga, toh lagi pula kita sendiri tidak bisa mengukur pahala dan
dosa yang kita perbuat selama ini, apalagi mengukur orang lain. Kendati demikian, tidak etis jika
ada stigma terhadap kader IMM yang “tidak agamis” ataupun “tidak religius”. Selain mengambil
alih otoritas tuhan terhadap makhluknya. Membuat indikator religiusitas, jugs sama saja
menjembatani untuk melakukan stigmatisasi serta mendikotomi terhadap seorang yang berbeda
secara teoritis maupun praksis. Padahal tradisi stigmatisasi itu harus segera dikubur, agar akar
persoalan tidak melebar.

Sebagai seorang “Cendekiawan Berpribadi” yang disematkan pada kader IMM, termaktub dalam
lagu kebanggaan Mars IMM. Seharusnya, menjadi perenungan yang radikal untuk mengevaluasi
dan melakukan pembaharuan (At-Tajdid) dakwah Islam dan gerakan sosial diranah mahasiswa
yang sesusai pada konteks zaman, agar bisa menarik perhatian, dan tidak tertinggal oleh gerakan
Tarbiyah yang ada dilingkungan PTM, tanpa meninggalkan ciri-khas dari IMM itu sendiri.

Seharusnya Bagaiamana?
Pertama, sebagai kader IMM, penting rasanya pemahaman atas identitas diri dan kesadaran kritis
terhadap realitas yang terjadi. Tri kompentensi dasar sebagai kesatuan prinsip gerakan IMM.
Dalam hal ini kecendekiawan IMM disepadankan dengan seorang intelektual. Intelektual dalam
IMM bukanlah intelektual menara gading, yang hanya pandai dalam membaca dan menafsirkan
realitas tetapi enggan terlibat dalam masyarakat, apalagi untuk mewujudkannya secara aplikatif
dalam rangka dakwah dan transformasi sosial.

Intelektual dalam IMM bisa disebut konsepsi rausyan fikr nya Ali Syariati yang mengisyaratkan
bahwa kaum intelektual ialah mereka yang senantiasa merasa terpanggil untuk memperbaiki
masyarakatnya, menangkap aspirasi, merumuskan dalam bahasa yang dapat dipahami oleh setiap
orang dan mampu menawarkan strategi serta alternatif pemecahan masalah.(Ideologi Kaum
Intelektual. Mizan 1984)

Atau yang lebih tepat dikatakan oleh Kuntowijoyo sebagai intelektual profetik. Menangkap pesan
al-Qur’an surat ali-Imron ayat 110 dan menyelaraskan dengan Ilmu Sosial Profetik. “Kamu (umat
Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, karena menyuruh berbuat yang
makruf, dan mencegah kepada yang mungkar, dan beriman kepada Allah”. Sering disebut
Humanisasi (Amar Makruf), Liberasi,(Nahyi Mungkar) dan Transendensi (Tu’minuna Billah).
(Paradigma Islam. Mizan 1991). Teori diatas adalah sebagai identitas yang selalu melekat, bahwa
kader IMM sering disebut sebagai gerakan intelektual profetik, dengan itu, urgensi pemahaman
identitas dan kesadaran kolektif, ini memungkinkan kita mampu melakukan terobosan baru
terhadap dakwah Islam dan gerakan sosial yang lebih relevan.

Kedua, kader IMM harus berani menginternalisasikan sikap inklusif, termasuk sikap inklusifitas
terhadap disiplin keilmuan. Memang ini agak berbeda dengan Profil Kader Ikatan point 4 yang
berbunyi, bahwa kader IMM harus Memiliki kecendikiawanan, mengingat spesialisasi dan
profesionalisasi mempersempit cakrawala berfikir dalam sub-bidang kehidupan yang sempit.
Namun, meminjam paradigma integrasi-interkoneksi ilmunya Amin Abdullah, ia menjelaskan
bahwa pentingnya menyemai sikap inklusif dan merevitalisasi budaya literasi multi-dimensional,
yaitu budaya literasi yang tidak sekedar memuat perspektif insider, perspektif yang cocok dengan
lingkungan dan kalangan intern sendiri, melainkan juga memuat kalangan outsider, yaitu
perspektif yang melawan arus pemahaman baku, yang bisa saja datang dari dalam maupun luar.
(Lihat. Pengantar Membumikan Hukum Islam, Melalui Maqashid Syariah. Mizan 2015) Jika
budaya ini didukung secara maksimal dan konsisten, maka ada harapan baru, pemahaman dan
gerakan IMM tidak akan mandul.

Ketiga, keberanian berproses secara mandiri dan berdikari, yang tidak melulu berlindung di bawah
ketiak para seniornya, agar juga tidak tertular penyakit oportunistik, yang memiliki idealisme, tapi
hanya untuk kepentingan segelintir orang saja. Selain itu, menjaga konsistensi membaca,
meningkatkan ritus spiritualitas, serta keberanian untuk mengintegrasikan kekuatan antara dzikir
dan pikir sebagai upaya mengaplikasikan kesatuan prinsip gerakan IMM. Hanya dengan itu
kemungkinan besar terjadi equalty gerakan intelektual, religius dan humanis, sehingga IMM tak
hanya sekedar religus.
Waallahu a’lam, fastabiq al-khairat.

Anda mungkin juga menyukai