Oleh:
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana definisi dari ideologi Muhammadiyah itu sendiri?
2. Apa saja konsep dan isi ideologi Muhammadiyah?
3. Apa saja pendapat Muhammadiyah?
4. Apa saja Pandangan Muhammadiyah?
5.
C. Tujuan
B. AQIDAH
Muhammadiyah adalah gerakan Islam dan dakwah amar ma’ruf nahi munkar, beraqidah
Islam dan bersumber pada Al-Qur’an dan sunnah, bercita-cita dan bekerja untuk tewujudnya
masyarakat utama, adil, makmur yang diridhai Allah SWT, untuk melaksanakan fungsi dan
misi sebagai hamba dan khalifah Allah di muka bumi. Muhammdiyah berkeyakinan bahwa
Islam adalah Agama Allah yang diwahyukan kepada Rasul-Nya, sejak nabi Adam, Nuh,
Musa, Isa, dan seterusnya sampai kepada Nabi penututp Muhammad SAW, sebagai hidayah
dan rahmat Allah kepada umat manusia sepanjang masa, dan menjamin kesejahteraan hidup
materil dan spiritual, duniawi dan ukhrawi. Muhammadiyah dalam mengamalkan Islam
berdasarkan: Al-Qur’an (Kitab Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW)
Sunnah Rasul (Penjelasan dan pelaksanaan ajaran-ajaran Al-Qur’an yang diberikan oleh Nabi
Muhammad SAW dengan menggunakan akal fikiran sesuai dengan jiwa ajaran Islam).
2. Bidang Hukum
Muhammadiyah melarang anggotanya bersikap taqlid, yaitu sikap mengikuti
pemikiran ulama tanpa mempertimbangkan argumentasi logis. Dan sikap keberagaman
menumal yang dibenarkan oleh Muhammadiyah adalah ittiba’, yaitu mengikuti pemikiran
ulama dengan mengetahui dalil dan argumentasi serta mengikutinya dengan pertimbangan
logika. Di samping itu, Muhammadiyah mengembangkan ijtihad sebagai karakteristik utama
organisasi ini. Adapun pokok-pokok utama pikiran Muhammadiyah dalam bidang hokum
yang dikembangkan oleh Majlis Tarjih antara lain:
1) Ijtihad dan istinbath atas dasar ‘illah terhadap hal-hal yang terdapat di dalam nash, dapat
dilakukan sepanjang tidak menyangkut bidang ta’abbdi dan memang merupakan hal yang
diajarkan dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia.
2) Tidak mengikatkan diri kepada suatu madzhab, tetapi pendapat madzhab dapat menjadi
bahan pertimbangan dalam menetapkan hukum.
3) Berprinsip terbuka dan toleran dan tidak beranggapan bahwa hanya Majlis Tarjih yang
paling benar. Koreksi dari siapa pun akan diterima sepanjang diberikan dalil-dalil yang lebih
kuat.
Dengan demikian, Majlis Tarjih dimungkinkan mengubah keputusan yang pernah
ditetapkan. Ibadah ada dua macam, yaitu ibadah khusus, yaitu apa yang telah ditetapkan
Allah akan perincian-perinciannya, tingkah dan cara-caranya yang tertentu, dan ibadah
umum, yaitu segala perbuatan yang dibolehkan oleh Allah dalam rangka mendekatkan diri
kepadaNya. Dalam bidang ibadah yang diperoleh ketentuan-ketentuannya dari Alquran dan
Sunnah, pemahamannya dapat menggunakan akal sepanjang diketahui latar belakang dan
tujuannya. Meskipun harus diakui bahwa akal bersifat nisbi, sehingga prinsip mendahulukan
nash daripada akal memiliki kelenturan dalam menghadapi perubahan.
3. Bidang Akhlak
Mengingat pentingnya akhlaq dalam kaitannya dengan keimanan seseorang, maka
Muhammadiyah sebagai gerakan Islam juga dengan tegas menempatkan akhlaq sebagai salah
satu sendi dasar sikap keberagamaannya. Dalam Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup
Muhammadiyah dijelaskan “Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya nilai-nilai akhlaq mulia
dengan berpedoman kepada ajaran-ajaran Alquran dan Sunnah Rasul, tidak bersendi pada
nilai-nilai ciptaan manusia. “Akhlak adalah nilai-nilai dan sifat yang tertanam dalam jiwa
yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan
pemikiran dan pertimbangan (Imam Ghazali). Nilai dan perilaku baik dan burruk seperti
sabar, syukur, tawakal, birrul walidaini, syaja’ah dan sebagainya (Al-Akhlaqul Mahmudah)
dan sombong, takabur, dengki, riya’, ‘uququl walidain dan sebagainya (Al-Akhlaqul
Madzmuham)”.
2. Ibadah yang bersifat umum (ghairu mahdlah). Ibadah yang ghairu mahdlah yakni
ibadah yang bersifat umum yang di izinkan oleh Allah, yang tidak ada aturan tertentu,
waktu yang mengikat, dan ukuran atau rincian lebih lanjut. (M. Dailamy SP. Ibadah
Dalam Islam.2010.h.5-6).
a. Pandangan Muhammadiyah dalam hal Ibadah Muhammadiyah dalam mengamalkan Islam
berdasarkan:
1) Al-Quran : Kitab Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW.
2) Sunnah Rasul : Penjelasan dan pelaksanaan ajaran-ajaran Al-Quran yang diberikan oleh Nabi
Muhammad SAW dengan menggunakan akal fikiran sesuai dengan jiwa ajaran Islam.
Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya ibadah yang dituntunkan oleh Rasulullah
SAW,tanpa tambahan dan perubahan dari manusia.
b. Penyebab Timbulnya Perbedaan Pendapat dalam Ibadah
Pada zaman Nabi Muhammad SAW atau zaman turunnya wahyu ,perbedaan pendapat
boleh dikatakan sangat kecil peluangnya. Hal ini karena apabila ada perbedaan pendapat
dapat langsung bertanya kepada Rasulullah. Hanya sahabat-sahabat yang tinggal di luar
Madinahlah yang mencoba menggunakan ijtihad. Ijtihad bukanlah suatu intervensi terhadap
hukum Allah, karena ia tidak lebih sekadar pemahaman langsung terhadap teks-teks syariah ,
atau paling jauh merupakan upaya konstruksi hukumberdasarkan teks yang dikajinya.
Penggunaan nalar lebih tepat untuk sekadar menemukan makna yang sudah ada dalam
kandungan syariah itu sendiri. Nalar hanya berfungsimenyingkap hukum yang sudah ada
dalam teks ayat atau hadits, bukan bertindak sebagaipencipta hukum sendiri.
Meskipun demikian, penggunaan nalar (ijtihad) merupakan awal dari munculnya
perbedaan pendapat dalam memahami syariat. Jadi walaupun syariat hanyalah satu, tetapi
pemahaman ulama melahirkan perbedaan pendapat dalam soal hukum dan teologi.
Tampaknya, hukum sebagai kandungan dari syariah, tidak otomatis identik dengan syariah.
Perbedaannya ialah bahwa syariah itu tida beragam, karena berasal dari Allah dan Rasul-Nya
sebagai pencipta syariat sedang hukum yang tidak lain dari kandungan syariah itu sendiri
diperoleh sebagai hasil penggalian dan pemikiran dari para mujtahid. Dengan kata lain, jika
syariah hanyalah berasal dari Allah dan Rasul-Nya semata, maka lain dengan hukum yang
salah satu sumbernya ialah ijtihad di samping Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Dalam
menggunakan nalarnya, para ulama menghadapi dua kemungkinan, yakni mereka langsung
mengetahui hukum dari dalilnya yang tegas, atau mereka dapat mengetahui hukum setelah
menggunakan nalar sesuai dengan konteks persoalannya, yang disebut fikih kontekstual. Hal
terakhir ini jika objek hukum yang dimaksudkan tidak disebut secara tegas dalam nash-nash
syariah. Baik pemahaman tekstual maupun pemahaman kontekstual , dua-duanya merupakan
ijtihad, yang memberi peluang adanya perbedaan pendapat.
Jika syariah dalam arti nash-nash (referensi) yang mengandung hukum adalah berasal dari
Allah, sedangkan fikih merupakan hasil upaya dari manusia, maka konsekuensinya ialah
syariah berlaku secara mutlak dan universal untuk segala zaman dan tempat, sedang fikih
hanyalah bersifat relatif, sesuai pikiran ulama serta kondisi zaman dan lingkungannya
masing-masing. Selain perbedaan pikiran, masih ada faktor-faktor lain yang membawa ke
perbedaan pandangan ulama.
Untuk jelasnya, faktor-faktor penyebab perbedaan pandangan ulama dapat dilihat sebagai
berikut:
1. Berbeda dalam memahami dan atau mengartikan teks atau nash sumber dasarnya.Contohnya
dalam hal arti kata menyentuh lawan jensi sebagai salah satu hal yang membatalkan wudhu;
sebagian memahami dengan arti persentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan, sedang
lainnya memahami dengan arti bersetubuh.
2. Perbedaan penilaian terhadap hadis yang dijadikan dasar pengamalan
Hadis tentang mengqadhakan hutang puasa bagi ahli waris atau walinya.
Dari Aisyah r.a. bahwasanya Rasulullah SAW pernah bersabda, “ Barang siapa
meninggaldunia dan dia masih mempunyai tanggungan puasa, maka hendaklah walinya
mempuasanya ( menyaur utangnya). Bagi mereka yang bulat-bulat menerima hadis shahih
berdasarkan kriteria sanad, akan mengamalkan isi hadis. Namun, bagi yang tidak mengakui
kesahihan hadis tersebut pasti tidak akan berpayah- payah mengqadha hutang puasa yang
meninggal. Kesahihan hadis tersebut dipertanyakan mengingat bertentangan dengan:
(a) Al-Quran Surah Al-Najm ayat 38-40, S. Al-An’am (6): 164,S. Al-Isra (17):15,S. Fathir (35)
:18, S al-Zumar (39):7.
(b) Al Quran Surah Al-Baqarah (2) :286
(c) Hadis Abu Hurairah (M . Dailamy SP. Melaksanakan Ajaran Agama.2011.h.51-54)
Contoh lain adalah salat Qabliyah Jumat ada yarng berpendapat bahwa semua salat
Wajib pasti ada salat rawatibnya. Oleh karena itu sebelum salat Jumat ada salat Qabliyah.
Namun ada yang berpendapat lain. “…ada riwayat yang menyebutkan bahwa apabila masuk
masjid sebelum waktu salat Jumat, para sahabat ra melaksanakan salat dengan begitu
hebatnya, masyaallah. Kemudian para sahabat itu duduk tanpa melaksanakan salat setelah
adzan dikumandangkan,tetapi justru mereka mendengarkan khutbah lalu melaksanakan salat
Jumat”. Dengan demikian, salat yang dilaksanakan sebelum salat Jumat hanyalah salat sunah
tahiyatul masjid. Semua riwayat yang terkait dengan salat sunah qabliyah Jumat berstatus
dha’if, dan tidak dapat dijadikan hujjah (landasan argumentasi). Sebab, hal sunah hanya dapat
ditetapkan dengan hadis shahih dan maqbul. (Ibadah Salah Kaprah, Wahid Abdul Salam Bali
hal.358) Al-Albani rahimahullah menuturkan : “ Semua hadis yang berisikan tentang salat
sunah qabliyah Jumat yang dilaksanakan oleh Nabi Muhammad sama sekali tidak ada yang
berstatus shahih, walau satuhadis pun. Satu dengan yang lain sama lemahnya. (As-Silsilah
Ash-shahihah hlm232 dalam 474 Ibadah Salah Kaprah, Wahid Abdul Salam Bali hal.360
terbitan Amzah .Jakarta 2006).
3. Perbedaan disebabkan berpegang pada teks secara tekstual dan yang lainnya secara
kontekstual.Contohnya pada teks tentang memanjangkan kain sampai menutup matakaki
sebagaimana di temukan pada hadis riwayat Muslim. Dari Abu Dzardari Nabi SAW beliau
bersabda, “ Ada tiga kelompok (manusia) yang Allah tidak akan berkenan berbicara
dengannya besok pada hari kiamat, tidak pula akan melihatnya ,tidak pula akan mensucikan
mereka (bahkan). Mereka akan mendapatkan siksa yang pedih”. Beliau katakan hal itu
sampai tiga kali dan Abu Dzar berkata, “Celaka dan rugi mereka! Siapakah mereka wahai
Rasulullah?” Beliau bersabda, “al-musbil ( orang yang memanjangkan kainnya sampai
menutupi matakaki), al-mannan (orang yang suka menyebu-nyebut pemberiannya, orang
yang melariskan dagangannya dengan sumpah dusta.”
Secara tekstual ,hais shahih tersebut menyatakan dengan tegas salah satu dari tiga kelompok
orang yang akan mendapat kansiksa pedih besuk pada hari kiamat. Akan tetapi sebagian oleh
ang Islam lainnya ada yang berpendapat lain. Betulkah hanya karena orang ketika salat
tertutup matakakinya , kemudian akan disiksa oleh Allah dengan siksaan yang pedih.Tidak
bakal disucikan Allah, dan Allah tidak berkenan berbicara dengannya. (M . Dailamy SP.
Melaksanakan Ajaran Agama.2011.h.57-58).
4. Berbeda disebabkan perbedaan landasan dasar dan beribadah.
Adzan Jumat dua kali yang pertama pada saat masuk waktu dan yang kedua setelahnya, serta
melakukan shalat dua rakaat di antaranya . Ini bertentangan dengan petunjuk Rasulullah saw,
Abu Bakar, dan Umar yang mana mereka hanya mengumandangkan adzan sekali .
Sedangkan yang dilakukan pada masa Usman, adzan tambahan dilakukan sebelum masuk
waktu dan bukan setelahnya, dan ini dilakukan di pasar dan bukan di dalam masjid. Contoh
lain adalah hadis Ibnu Mas’ud yang artinya “Apa –apa yang dipandang baik oleh orang-orang
Islam maka ia adalah baik di sisi Allah.”. Sebagian umat Islam beranggapan bahwa
melakukan hal-hal yang dipandangnya baik sebagai ibadah kepada Allah, asalkan dengan
baik, niat yang baik dan caranya juga baik, walaupun hal tersebut tidak diperintahkan oleh
Allah ataupun Rasul-Nya.
Sebaliknya , di antara umat Islam ada yang berkeyakinan ,bahwa melaksanakan suatu
peribadatan walau kelihatannya baik dan dilaksanakan dengan cara yang baik sekalipun
,selagi tidak diperintahkan oleh Allah atau Rasul-Nya ,dipandangnya telah melakukan
kebid’ahan. Hal ini merujuk pada hadis Aisyah yang artinya, “Barangsiapa melakukan
(peribadatan) yang bukan aku perintahkan, maka akan tertolak. (M. Dailamy
SP.Melaksanakan Ajaran Agama.2011.h.86,87,93)
5. Berbeda karena pola fiqih istinbath dan fiqih maqashid.
Istinbath artinya mengeluarkan hukum dari dalil – dalilnya.Pola fiqih seperti ini bersifat kaku
sebagaimana apa adanya bunyi nash. Cenderung bersifat tekstualis. Kebanyakan ulama
mazhab adalah cenderung istinbath. Hasil fikih ini tidak keluar dari hukum kepada hukum.
Fiqih maqashid diartikan fikih yang lebih mengutamakan nilai-nilai kemanusiaan universal,
seperti kemaslahatan keadilan dan kesetaraan daripada hukum-hukum yang bersifat
partikuler. (M. Dailamy SP.Melaksanakan Ajaran Agama.2011.h.135-136). Dalam perkara
ini contohnya adalah dalam hal memberi salam kepada siapapun termasuk nonmuslim. Juga
dalam hal pembagian waris.
6. Berbeda disebabkan mengikuti mazhab dan yang lainnya mengikuti Rasulullah.
Bagi orang yang mengikuti mazhab Syafei misalkan, pada salat subuh harus pakai Qunut.
Sedangkan yang beribadah dengan dasar tuntunan dari Rasulullah tidak menggunakan Qunut
pada waktu salat subuh ,kecuali Qunut nazilah yang tidak hanya pada shalat subuh. (M.
Dailamy SP.Melaksanakan Ajaran Agama.2011.h.241).
Masalah qunut, semua mashab menerima adanya qunut, dan sebagian menganggapnya
sebagai sunah Rasulullah SAW. Perbedaan mereka ialah waktu pelaksanaannya, sebagian
mengatakan bahwa dilaksanakan sebelum ruku, pendapat lain mengatakan sesudah ruku. Hal
yang krusial ialah, apakah qunut itu diharuskan pada setiap shalat subuh. Al-Syafi`i,
mentradisikannya pada setiap shalat subuh, sementara yang lainnya membolehkan pada
setiap shalat, kapan saja terjadi musibah di kalangan umat Islam. Mazhab ini berdasar pada
asal-mula qunut, yani ketika terjadi pembunuhan masal atas sejumlah penghafal Al-Qur’an
oleh kaum musyrikin, seperti dalam hadits yang bersumber dari Anas bin Malik . Masalah
qunut termasuk masalah klasik dan terus berbeda pendapat di kalangan umat Islam. Hal ini
disebabkan telah berpengaruhnya pendapat para ulama dahulu yang memang sudah
memperselisihkannya. Di antara fuqaha ada yang berpendapat bahwa qunut shubuh itu
hukumnya mustahab (disukai) Ini adalah pendapat Imam Malik. Menurut Imam Syafi’i
hukumnya dalam shalat shubuh itu sunnat. Lain lagi dengan Imam Abu Hanifah tidak boleh
qunut dalam shalat shubuh, tetapi qunut hanya boleh dikerjakan dalam shalat witir.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dalam Muhammadiyah ideologi dapat dipahami sebagai sistem paham atau keyakinan dan
teori perjuangan untuk mengimplementasikan ajaran islam dalam kehidupan umat melalui
gerakan sosial-keagamaan. Karena rujukan dasarnya adalah islam, maka ideologi
muhammadiyah tidak akan bersifat dogmatik dan ekslusif secara taklid-buta, sehingga tetap
memiliki watak terbuka.
Muhammadiyah bukanlah Ideologi sebagaimana Ideologi dalam pengertian sistem paham
yang radikal, kaku, dan bercorak gerakan politik. Muhammadiyah kendati bukan Ideologi,
tetapi dalam perkembangannya sedikit atau banyak mengalami persentuhan dengan konsep-
konsep dan kepentingan ideologis. Dalam Muhammadiyah banyak diperbincangkan masalah-
masalah yang berkaitan dengan “Ideologi Islam”, seperti konsep Islam sebagai dasar Negara,
masyarakat Islam, asas Islam dan konsep-konsep politik Islam.
Aqidah Islam menurut Muhamadiyah dirumuskan sebagai konsekuensi logis dari
gerakannya. Formulasi aqidah yang dirumuskan dengan merujuk langsung kepada suber
utama ajaran Islam itu disebut ‘aqidah shahihah, yang menolak segala bentuk campur tangan
pemikiran teologis. Sumber aqidah Muhammadiyah adalah alquran dan Sunnah yang
dikuatkan dengan berita-berita yang mutawatir”.
B. SARAN
Berdasarkan materi diatas, maka diharapkan pembaca dapat menganalisis pembahasan
yang penulis sajikan. Serta pembaca diharapkan memberikan kritikan agar penulis dapat
memperbaiki makalah ini menjadi lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
http://blog.umy.ac.id/agusbangka/2012/01/05/ideologimuhammadiyah/
http://luqm.multiply.com/journal/item/74).
http://yassirdzulfiqor.blogspot.com/2012/05/ajaran-pokok-aqidah-islam-sesuai- paham.html