Mantuq atinya adalah, yang diucapkan, yang tersurat atau teks, dan lain-lain.
Mantuq dalam istilah ilmu ushul fiqih adalah:
"Sesuatu yang ditunjuk oleh lafaz sesuai dengan teks ucapan itu.”
Al-Mafhûm artinya adalah, yang di faham, dan yang tersirat. Mafhûm yang
dimaksudkan adalah istilah ushul fiqih adalah:
Janganlah kamu berkata "ah" terhadap kedua ibu dan bapak. (al-Isra': 23).
Tidak boleh mengucapkan "ah" dalam ayat tersebut dinamakan mantuq, yakni
sesuai dengan lafaz ayat atau teks ayat, adapun tentang tidak bolehnnya memukul
ibu bapak adalah hasil pemahaman dari larangan mengucapkan "ah di ayat tersebut,
yang demikian dinamakan mafhûm.1
B. Macam-Macam Mantuq
1
Basic Djalil, Ilmu Ushul Fiqih 1&2, (Jakarta: Kencana, 2014), hlm 99.
Dilihat dari segi jenisnya, mantuq dapat dibagi dalam dua macam:
Dan langit itu kami bangun dengan tangan... (QS azd-Dzariyat: 47).
C. Macam-macam Mafhûm
2
Basic Djalil, Ilmu Ushul Fiqih 1&2, (Jakarta: Kencana, 2014), hlm 100.
Mafhûm dalam ushul fiqih ada dua macam:
a. Mafhûm Mawafaqah
Mafhûm Mawafaqah adalah mafhûm yang sesuai dengan mantuq-nya. Dan
ahli ushul memberi ta’rif Mafhûm Mawafaqah adalah:
"Apa-apa yang tidak tersebut (yakni yang tersirat) sesuai bagi yang tersurat."
1) Fakhwal Khitab yakni yang mana kadar mafhûmnya, lebih tinggi daripada
mantuq-nya. Sebagai contoh, firman Allah:
ٍّ َف....
....ٍّلَ تَقُلٍّ لَّ ُه َما اُف
…Janganlah berkata "ah" terhadap kedua ibu dan bapakmu. (al-Isra': 23)
Qadar mafhûm pada ayat tersebut, yakni "tidak boleh memukul" adalah lebih
tinggi qadar menyakitkannya daripada mengucapkan "ah" (ah).
2) Lahnul Khitab
Lahnul khitab adalah mafhûm yang mana kadar mafhumnya sama dengan
kadar mantuq. Sebagai contoh firman Allah:
َصلَ ْون
ْ َسي
َ َارا ۖ َو ُ ُظ ْل ًما إِنَّ َما يَأ ْ ُكلُونَ فِي ب
ً طو ِن ِه ْم ن ُ إِ َّن الَّذِينَ يَأ ْ ُكلُونَ أ َ ْم َوا َل ْاليَتَا َم ٰى
....يرا
ً س ِع
َ
Penjelasan:
Dalam hal contoh ayat di atas yakni "larangan jual beli ketika azan," dan
hadis "wajib zakat bagi ternak yang tidak dipelihara," bagi golongan yang menolak
Mafhûm Mukhalafah, mengakui juga bahwa boleh jual beli sebelum azan, dan wajib
zakat bagi ternak yang tidak dipelihara. Hal itu bukan dengan dasar Mafhûm
Mukhâlafah, tetapi karena hukum asalnya memang demikian, yakni jual beli pada
asalnya dan kapan saja boleh dilakukan, kecuali dalam hal-hal yang terlarang.
Demikian juga zakat.3
3
Basic Djalil, Ilmu Ushul Fiqih 1&2, (Jakarta: Kencana, 2014), hlm 100-104.
b. Mafhûm Illat yakni hubungan hukum dengan illat (sebab hukum).
Contoh firman Allah yang berbunyi:
ْ َان ف
...ُاجت َ ِنبُوه ِ طَ ش ْي
َّ ع َم ِل ال ٌ ِر ْج... إِنَّ َما ْالخ َْم ُر...
َ س ِم ْن
…sesungguhnya (meminum) khamar... adalah perbuatan keji, termasuk
perbuatan setan. Karena itu jauhilah perbuatan-perbuatan itu... (QS. al-
Maaidah: 90)
Perintah "menjauhi" pada ayat tersebut, adalah satu larangan haram, illat
haramnya khamar di atas adalah "sifat memabukkannya" menurut sebagian
ulama, jadi mafhûm Mukhâlafah-nya "tidak haram bila tidak sampai
mabuk".
Yang tersebut adalah hanya sekadar sebagai contoh, karena hukum khamar
yang diharamkan adalah zatnya. Bukan sifatnya sebagaimana haramnya
minuman keras yang dibuat dari "selain perasan anggur”.
Mafhum mukhalafah ‘adad dalam ayat ini adalah jumlah pukulan tidak boleh
lebih dan tidak boleh kurang dari delapan puluh kali.
d. Mafhûm ghayah, yaitu lafal yang menunjukkan hukum sampai kepada ghayah (bata-
san, hinggaan), hingga lafal ghayah ini ada kalanya dengan “ilaa” dan
dengan “hatta”.
Contoh firman Allah yang berbunyi:
ُطلَّقَ َها فَالَ تَ ِح ُّل لَهُ ِم ْن َب ْعد ُ َحتَّى تَ ْن ِك َح زَ ْو ًجا َغي َْره
َ فَإ ِ ْن
Penunjukan lafaz menurut apa yang diucapkan atas hukum menurut apa
yang disebut dalam lafaz itu.
4
Basic Djalil, Ilmu Ushul Fiqih 1&2, (Jakarta: Kencana, 2014), hlm 104-105.
Ayat ini menurut manthûq-nya menunjukkan haramnya menikahi anak tiri
yang berada di bawah asuhan suami dari istri yang telah digauli. Apa yang ditunjuk
di sini memang jelas terbaca dalam apa yang tersurat dalam ayat tersebut.
Penunjukannya begitu jelas dan tidak memerlukan penjelasan di balik yang tersurat
itu.
b. Dilalah Mafhûm
Dilâlah mafhûm adalah:
Penunjukan lafaz yang tidak dibicarakan atas berlakunya hukum yang
disebutkan atau tidak berlakunya hukum yang disebutkan.
Atau dalam definisi lain yang lebih sederhana: Apa yang dapat dipahami
dari lafaz bukan menurut yang dibicarakan.
Contohnya, firman Allah dalam surat al-Isra' (17): 23:
Dari definisi mafhúm di atas terlihat ada dua macam mafhúm, yaitu:
Kedua: tidak berlakunya hukum yang disebutkan pada apa yang tidak
disebutkan. Mafhúm dalam bentuk ini disebut (mafhúm kebalikan).
1. Mafhúm muwâfaqah
Mafhúm muwâfaqah ialah mafhúm yang lafaz-nya menunjukkan bahwa
hukum yang tidak disebutkan sama dengan hukum yang disebutkan dalam
lafaz.
Dari segi kekuatan berlakunya hukum pada apa yang tidak disebutkan,
mafhúm mawâfaqah terbagi dua, yaitu:
a. Mafhúm aulawi atau disebut juga, yaitu berlakunya hukum pada
peristiwa yang tidak disebutkan itu lebih kuat atau lebih pantas
dibandingkan dengan berlakunya hukum pada apa yang disebutkan
dalam lafaz. Kekuatan hukum itu ditinjau dari segi alasan berlakunya
hukum pada manthûq-nya.
Umpamanya firman Allah dalam surat al-Isra' (17): 23, di atas.
Memukul orang tua hukumnya haram sebagaimana haramnya
mengucapkan kata "uf", karena sifat menyakiti dalam "memuk lebih
kuat dari sifat menyakiti dalam ucapan kasar (uf).
b. Mafhúm musawi atau disebut juga, yaitu berlakunya hukum pada
peristiwa yang tidak disebutkan dalam manthûq.
Contohnya, firman Allah dalam surat an-Nisa' (4): 10:
Para ulama sependapat tentang sahnya berhujah (menjadikan sebagai cara dalam
menetapkan hukum) dengan mafhûm muwâfaqah. Hanya kalangan ulama
Zhahiri yang menolak menetapkan hukum menurut mafhúm sebagaimana juga
menolak menggunakan gias, karena menurut mereka, mafhûm muwâfaqah
dalam hal ini sama dengan qiyas.
2. Mafhûm mukhâlafah
Mafhûm mukhâlafah ialah mafhûm yang lafaz-nya menunjukkah bahwa
hukum yang tidak disebutkan berbeda dengan hukum yang disebutkan. Atau
bisa juga diartikan: hukum yang berlaku berdasarkan mafhûm yang
berlawanan dengan hukum yang berlaku pada Mafhûm mukhâlafah ini
dinamai juga dengan dalil khithab. Mafhûm mukhâlafah terbagi kepada
beberapa bentuk, di antaranya (yang pokok) adalah:
a. Mafhûm sifat
Mafhûm sifat ialah penunjukan suatu lafaz yang menggunakan suatu sifat
terhadap hukum yang berlawanan pada sesuatu yang tidak disebutkan
bila sifat tersebut tidak ada. Atau dengan arti sederhana selama ada sifat,
maka berlaku hukum pada lafaz itu. Tetapi bila sifat tersebut tidak ada,
maka berlakulah hukum yang sebaliknya.
Umpamanya firman Allah dalam surat an-Nisa' (4): 25:
ِ ت ۡال ُم ۡؤ ِم ٰن
ت فَ ِم ۡن َ ط ۡو ًَل اَ ۡن ي َّۡن ِك َح ۡال ُم ۡح
ِ ص ٰن َ َو َم ۡن لَّ ۡم َي ۡستَ ِط ۡع ِم ۡن ُك ۡم
....ت ِ َّما َملَـ َك ۡت اَ ۡي َمانُ ُك ۡم ِ ٍّم ۡن فَت َ ٰيـتِ ُك ُم ۡال ُم ۡؤ ِم ٰن
Barangsiapa di antara kamu yang tidak mampu untuk mengawini
perempuan merdeka yang mukmin, ia boleh mengawini wanita beriman
dari hamba sahaya yang kamu miliki.
Manthûq (apa yang tersurat) dari ayat ini alah bolehnya menikahi hamba
sahaya mukmin bila tidak mampu menikahi perempuan merdeka yang
mukmin. Mafhûm sifat (yang tersirat) dari ayat tersebut adalah tidak
bolehnya menikahi hamba sahaya yang tidak mukmin.
b. Mafhûm syarat
Mafhûm syarat ialah penunjukan suatu lafaz yang pada lafaz itu berlaku
hukum yang dikaitkan kepada suatu syarat, terhadap kebalikan hukum
pada sesuatu yang tidak disebutkan bila syarat itu tidak terpenuhi Atau
dalam definisi yang lebih mudah: bila syarat terpenuhi, maka berlaku
hukum; tetapi bila syarat itu tidak terpenuhi, maka dapat ditetapkan
hukum yang sebaliknya.
Umpamanya firman Allah dalam surat al-Thalaq (65), ayat 6:
Manthûq dari ayat di atas adalah menetapkan pukulan 100 kali untuk
pezina laki-laki dan perempuan. Mafhûm al-'adad dari ayat tersebut
adalah tidak sahnya pukulan terhadap pezina itu bila pukulannya lebih
atau kurang dari 100 kali yang ditentukan.
e. Mafhûm al-laqab/lgelar atau sebutan
Mafhûm al-laqab ialah: penunjukan suatu lafaz yang menjelaskan
berlakunya suatu hukum untuk suatu nama atau sebutan tertentu atas
tidak berlakunya hukum itu untuk orang-orang lain.
Umpamanya ucapan, "Muhammad itu adalah Rasul Allah". Manthûq dari
ucapan itu adalah menetapkan kerasulan untuk seseorang yang bernama
Muhammad bin Abdullah. Mafhûm laqab dari ucapan itu adalah tidak
berlakunya kerasulan bagi orang selain Muhammad bin Abdullah. 5
5
Amir Syarifudin, Ushul Fiqih Jilid II, (Jakarta: Prenada Media, 2014), hlm 153-162.
syarat, bilangan dan batas waktu untuk menunjukkan berlakunya hukum
bila terdapat kaitan tersebut; juga menunjukkan tidak berlakunya hukum
tersebut bila kaitan itu tidak terdapat dalam suatu keadaan.
Nabi bersabda, "Keengganan orang kaya membayar utang adalah sautu
penganiayaan." Setiap orang dengan mudah dapat memahami bahwa bila
yang enggan membayar utang adalah orang miskin, maka bukanlah suatu
penganiayaan. Cara pemahaman seperti ini disebut berdalil dengan
mafhûm mukhâlafah.
b. Kaitan yang terdapat dalam nash syara' (teks hukum) baik dalam bentuk
sifat, syarat, bilangan atau limit waktu, bukan- lah tanpa arti. la
mempunyai maksud tertentu, yaitu untukmenetapkan hukum dalam
kejadian lain, kecuali bila ada penjelasan tersendiri yang menyatakan
adanya maksud lain dari kaitan tersebut. Dalam keadaan demikian
memang tidak berlaku mafhûm mukhâlafah
2. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa nash syara' yang menunjukkan hukum
pada suatu kejadian bila dikaitkan pada suatu sifat, syarat, bilangan dan
batas waktu, maka mempunyai kekuat an hukum terhadap kejadian yang
disebutkan sifat, syarat, bi langan atau imit waktu itu saja secara manthûq
(tersurat). Adapun nash hukum yang tidak ditemukan sifat, syarat, bilangan
dan batas waktu, maka tidak dapat diketahui hukumnya hanya dari mafhûm
mukhâlafah-nya, tetapi harus melalui dalil lain. Hal ini berarti, kita tidak
dapat menetapkan hukum apa pun 2. hanya melalui mafhûm mukhâlafah
saja.
Di antara argumentasi yang mereka kemukakan adalah:
a. Tidaklah umum dalam ungkapan bahasa Arab bahwa mengaitkan hukum
dengan sifat, syarat, bilangan atau limit waktu berarti menunjukkan
berlakunya hukum ketika ada kaitannya itu, dan hokum itu tidak berlaku
bila kaitannya itu tidak ada. Cukup banyak ungkapan bahasa Arab yang
dikait kan dengan salah satu dari kaitan itu (sifat, syarat, bilangan, dan
limit waktu) tetapi tidak mengandung daya mafhûm (maksud tersirat).
Umpamanyafirman Allah yang berbunyi:
Larangan riba dalam ayat ini diberi kaitan dengan sifat berlipat ganda.
Meskipun demikian riba tersebut tetap saja harammeskipun dilakukan
tidak secara berlipat ganda.
۟ ص ُر
َوا ِمن ُ علَ ْي ُك ْم ُجنَا ٌح أَن تَ ْق َ ض فَلَي
َ ْس ِ ض َر ْبت ُ ْم ِفى ْٱْل َ ْر َ َو ِإذَا
....صلَ ٰوةِ إِ ْن ِخ ْفت ُ ْم أَن يَ ْفتِنَ ُك ُم ٱلَّذِينَ َكفَ ُر ٓو ۟ا
َّ ٱل
Bila kamu melakukan perjalanan di atas bumi, maka tidaklah mengapa
kamu meng-qasar shalat dan bila kamu takut diserang orang-orang
kafir.
Bila kita mengamalkan mafhûm mukhâlafah dari ayat tersebut, tentu
tidak boleh lagi mengqasar shalat di waktu tidak ada lagi peperangan.
Masih berlakunya qasar shalat meskipun tidak lagi dalam perang berarti
mafhûm mukhâlafah tidak diamalkan dalam pemahaman ayat tersebut.
Perbedaan pendapat diantara dua kelompok ulama ini kelihatannya
bukanlah hanya sekedar beda dalam lafaz.6
6
Amir Syarifudin, Ushul Fiqih Jilid II, (Jakarta: Prenada Media, 2014), hlm 162-164.
Daftar Pustaka
1. Djalil, Basic. 2014. Ilmu Ushul Fiqih 1&2. Jakarta: Kencana
2. Syarifudin, Amir. 2014. Ushul Fiqih Jilid II. Jakarta: Prenada Media.