Anda di halaman 1dari 20

1.

Mantuq dan Mafhûm


A. Pengertian Mantuq dan Mafhûm

Mantuq atinya adalah, yang diucapkan, yang tersurat atau teks, dan lain-lain.
Mantuq dalam istilah ilmu ushul fiqih adalah:

"Sesuatu yang ditunjuk oleh lafaz sesuai dengan teks ucapan itu.”

Al-Mafhûm artinya adalah, yang di faham, dan yang tersirat. Mafhûm yang
dimaksudkan adalah istilah ushul fiqih adalah:

"Sesuatu yang ditunjuk oleh lafaz di luar teks ucapan itu."

Jadi yang dinamakan lafaz adalah cetusan dari makna-makna. Terkadang


maksud dari suatu lafaz sesuai dengan yang terucap atau yang tersurat secara jelas,
yang demikian dinamakan "Mantuq". Dan terkadang yang dimaksudkan oleh suatu
lafaz, bukanlah yang terucap atau yang tersurat, tetapi yang dimaksudkannva adalah
yang tersirat, yang demikian dinamakan "Mafhûm".

Sebagai contoh firman Allah yang berbunyi:

ٍّ ُ ‫فَالَ تَقُ ْل لَ ُه َما أ‬....


....‫ف‬

Janganlah kamu berkata "ah" terhadap kedua ibu dan bapak. (al-Isra': 23).

Tidak boleh mengucapkan "ah" dalam ayat tersebut dinamakan mantuq, yakni
sesuai dengan lafaz ayat atau teks ayat, adapun tentang tidak bolehnnya memukul
ibu bapak adalah hasil pemahaman dari larangan mengucapkan "ah di ayat tersebut,
yang demikian dinamakan mafhûm.1

B. Macam-Macam Mantuq

1
Basic Djalil, Ilmu Ushul Fiqih 1&2, (Jakarta: Kencana, 2014), hlm 99.
Dilihat dari segi jenisnya, mantuq dapat dibagi dalam dua macam:

a. An-Nash atau Sarih artinya yang lelas atau Tegas


Maksudnya adalah, lafaz yang tidak memungkinkan untuk di takwil. Sebagai
contoh, firman Allah dalam hal kafarat sumpah bagi orang yang tidak mampu,
berbunyi:

....‫صيَا ُم ثَالَث َ ِة أَيَّام‬


ِ َ‫ف‬....

…Maka hendaklah berpuasa tiga hari... (QS. al-Maaidah: 89).


Ayat tersebut tidak memungkinkan pemalingan artinya kepada arti yang
lain, karena jelas menunjukkan wajib puasa tiga hari.

b. Az Zahir Artinya yang Tampak atau yang Nyata.


Maksudnya adalah, lafaz yang memungkinkan untuk ditakwil. Yang
demikian ini sering juga disebut dengan nama ghairu sarihartinya, tidak jelas
maksudnya.

Sebagai contoh adalah firman Allah:

....‫س َما َء بَ َن ْينَاهَا بِأَيْد‬


َّ ‫َوال‬

Dan langit itu kami bangun dengan tangan... (QS azd-Dzariyat: 47).

Arti "tangan" di ayat tersebut itu ditakwilkan artinya dengan "kekuasaan"


atau "kekuatan", karena tidak mungkin Allah bertangan seperti manusia. 2

C. Macam-macam Mafhûm

2
Basic Djalil, Ilmu Ushul Fiqih 1&2, (Jakarta: Kencana, 2014), hlm 100.
Mafhûm dalam ushul fiqih ada dua macam:
a. Mafhûm Mawafaqah
Mafhûm Mawafaqah adalah mafhûm yang sesuai dengan mantuq-nya. Dan
ahli ushul memberi ta’rif Mafhûm Mawafaqah adalah:

"Apa-apa yang tidak tersebut (yakni yang tersirat) sesuai bagi yang tersurat."

Mafhûm Mawafaqah dilihat dari bentuknya dapat dibagi dua:

1) Fakhwal Khitab yakni yang mana kadar mafhûmnya, lebih tinggi daripada
mantuq-nya. Sebagai contoh, firman Allah:

ٍّ َ‫ف‬....
....ٍّ‫لَ تَقُلٍّ لَّ ُه َما اُف‬

…Janganlah berkata "ah" terhadap kedua ibu dan bapakmu. (al-Isra': 23)

Qadar mafhûm pada ayat tersebut, yakni "tidak boleh memukul" adalah lebih
tinggi qadar menyakitkannya daripada mengucapkan "ah" (ah).

2) Lahnul Khitab
Lahnul khitab adalah mafhûm yang mana kadar mafhumnya sama dengan
kadar mantuq. Sebagai contoh firman Allah:

َ‫صلَ ْون‬
ْ َ‫سي‬
َ ‫َارا ۖ َو‬ ُ ُ‫ظ ْل ًما إِنَّ َما يَأ ْ ُكلُونَ فِي ب‬
ً ‫طو ِن ِه ْم ن‬ ُ ‫إِ َّن الَّذِينَ يَأ ْ ُكلُونَ أ َ ْم َوا َل ْاليَتَا َم ٰى‬
....‫يرا‬
ً ‫س ِع‬
َ

Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim,


sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya... (QS. An-Nisaa: 10)

Mantuq ayat tersebut melarang memakan harta anak yatim, mafhûmnya


adalah melarang membakar harta anak yatim. Dalam hal ini qadar mafhûm dan
mantuq (yakni memakan dan membakar) adalah sama, dari sisi mengandung sifat
menghabiskan.
b. Mafhûm Mukhâlafah
Mafhûm Mukhâlafah adalah, mafhûm yang didapati dengan jalan mengambil
kebalikan dari mantuq-nya.
Ahli Ushul memberikan ta'rif sebagai berikut:
"Apa-apa yang tidak disebut (yakni yang tersirat) kebalikan dari yang
tersurat, bentuk posiuif atau negatif.”

Sebagai contoh, firman Allah:

....‫َّللاِ َوذَ ُروا ْالبَ ْي َع‬


َّ ‫ص َالةِ ِم ْن يَ ْو ِم ْال ُج ُمعَ ِة فَا ْسعَ ْوا إِلَ ٰى ِذ ْك ِر‬ َ ‫إِذَا نُود‬....
َّ ‫ِي ِلل‬

Apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jumat, maka


bersegeralah kamu mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli... (QS. Al
Jum'ah: 9)

Mafhûm Mukhâlafah dari ayat tersebut adalah menunjukkan akan kebolehan


jual beli sebelum azan. Sebagai contoh lainnya adalah seperti Hadis Nabi yang
berbunyi:

"Ternak yang dipelihara wajib dikeluarkan zakatnya." (HR. Abu Daud)

Mafhûm Mukhâlafah hadis tersebut adalah menunjukkan bahwa ternak yang


tidak dipelihara tidak wajib zakat.

Penjelasan:

Para ahli ushul berbeda pendapat tentang boleh tidaknya Mafhûm


Mukhâlafah dipakai: Golongan yang membolehkan berhujah dengan Mafhûm
Mukhâlafah (kecuali mafhûm laqab), memberikan banyak syarat (akan disebutkan
satu per satu). Jadi maksudnya adalah lafaz-lafaz atau mantuq-mantuq yang tidak
terkena larangan syarat-syarat saja yang boleh dipakai Mafhûm Mukhala fah-nya.
Yang berpendapat demikian termasuk Asy-syafi'iyah.
Golongan yang menolak secara mutlak berhujah dengan Mafhûm
Mukhâlafah adalah Abu Hanifah dan Ahli Mantiq dengan alasan bahwa hasil
Mafhûm Mukhâlafah tidak dapat dipastikan benarnya, yakni belum tentu demikian
yang dimaksudkan oleh mantuq. Seperti seseorang berkata misalnya: "si A berbaju
putih", kata-kata ini tidak menunjukkan bahwa si B, si C, si D, dan lain-lain tidak
ada yang berbaju putih.

Dalam hal contoh ayat di atas yakni "larangan jual beli ketika azan," dan
hadis "wajib zakat bagi ternak yang tidak dipelihara," bagi golongan yang menolak
Mafhûm Mukhalafah, mengakui juga bahwa boleh jual beli sebelum azan, dan wajib
zakat bagi ternak yang tidak dipelihara. Hal itu bukan dengan dasar Mafhûm
Mukhâlafah, tetapi karena hukum asalnya memang demikian, yakni jual beli pada
asalnya dan kapan saja boleh dilakukan, kecuali dalam hal-hal yang terlarang.
Demikian juga zakat.3

D. Macam-macam Mafhûm Mukhâlafah


a. Mafhûm Sifat yakni hubungan hukum terhadap salah satu sifat dari beberapa
sifat sesuatu.
Contoh: firman Allah yang berbunyi:

.‫ير َرقَ َبة ُمؤْ ِمنَة‬


ُ ‫ َفت َ ْح ِر‬....

…Maka hendaklah engkau memerdekakan seorang hamba sahaya yang


beriman (QS. an-Nisaa': 93).

Bagi golongan yang menerima mafhûm Mukhâlafah, berarti tidak boleh


memerdekakan selain hamba mukmin, dengan jalan mafhûm Mukhâlafah.
Sedang bagi golongan yang menolak mafum Mukhâlafah, tidak bolehn ya
selain mukmin, bukan karena mafhûm Mukhâlafah tetapi karena tidak
termasuk yang diperintah.

3
Basic Djalil, Ilmu Ushul Fiqih 1&2, (Jakarta: Kencana, 2014), hlm 100-104.
b. Mafhûm Illat yakni hubungan hukum dengan illat (sebab hukum).
Contoh firman Allah yang berbunyi:

ْ َ‫ان ف‬
...ُ‫اجت َ ِنبُوه‬ ِ ‫ط‬َ ‫ش ْي‬
َّ ‫ع َم ِل ال‬ ٌ ‫ ِر ْج‬... ‫إِنَّ َما ْالخ َْم ُر‬...
َ ‫س ِم ْن‬
…sesungguhnya (meminum) khamar... adalah perbuatan keji, termasuk
perbuatan setan. Karena itu jauhilah perbuatan-perbuatan itu... (QS. al-
Maaidah: 90)

Perintah "menjauhi" pada ayat tersebut, adalah satu larangan haram, illat
haramnya khamar di atas adalah "sifat memabukkannya" menurut sebagian
ulama, jadi mafhûm Mukhâlafah-nya "tidak haram bila tidak sampai
mabuk".
Yang tersebut adalah hanya sekadar sebagai contoh, karena hukum khamar
yang diharamkan adalah zatnya. Bukan sifatnya sebagaimana haramnya
minuman keras yang dibuat dari "selain perasan anggur”.

c. Mafhûm Adad yakni hubungan hukum dengan bilangan tertentu.


Contoh firman Allah yang berbunyi:

‫دو ُه ْم ثَ َما ِنيْنَ َج ْلدَة‬ ُ ‫ت ث ُ َّم لَ ْم يَأْتُواْ بِأ َ ْربَعَ ِة‬


ْ َ‫ش َهدَا َء ف‬
ْ ‫اج ِل‬ َ ‫ َوالَّ ِذيْنَ َي ْر ُم ْونَ ْال ُم ْح‬...
ِ ‫ص َن‬

“orang-orang menuduh perempuan-perempuan baik berbuat curang (zina).


Kemudian mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka pukullah
mereka delapan puluh kali pukulan”. (QS. An-Nur: 4)

Mafhum mukhalafah ‘adad dalam ayat ini adalah jumlah pukulan tidak boleh
lebih dan tidak boleh kurang dari delapan puluh kali.

d. Mafhûm ghayah, yaitu lafal yang menunjukkan hukum sampai kepada ghayah (bata-
san, hinggaan), hingga lafal ghayah ini ada kalanya dengan “ilaa” dan
dengan “hatta”.
Contoh firman Allah yang berbunyi:

ُ‫طلَّقَ َها فَالَ تَ ِح ُّل لَهُ ِم ْن َب ْعد ُ َحتَّى تَ ْن ِك َح زَ ْو ًجا َغي َْره‬
َ ‫فَإ ِ ْن‬

“kemudian jika si suami menalak (sesudah talak yang kedua) maka


perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang
lain”. (Q.S Al-Baqarah : 23).

Mafhum mukhalafah ghayahnya adalah sebelum istrinya menikah dengan


suami kedua dan diceraikannya maka dia belum halal bagi suami pertama.4

E. Dilalah dalam Pandangan Ulama Syafi'iyah


Dalam pandangan ulama Syaf'yah, dilâlah itu ada dua macam, vaitu: dilalah
manthûq dan dilâlah mafhûm.
a. Dilâlah Manthûq
Dilâlah manthûq dalam pandangan ulama Syafi'iyah adalah:

Penunjukan lafaz menurut apa yang diucapkan atas hukum menurut apa
yang disebut dalam lafaz itu.

Definisi ini mengandung pengertian bahwa bila kita memahami "suatu


hukum" dari apa yang langsung tersurat dalam lafaz itu, maka disebut pemahaman
secara "manthûq".

Umpamanya firman Allah dalam surat an-Nisa (4): 23:

....‫الالتِي دَخ َْلت ُ ْم‬


َّ ‫سائِ ُك ُم‬
َ ِ‫ور ُك ْم ِم ْن ن‬ َّ ‫ َو َربَائِبُ ُك ُم‬....
ِ ‫الالتِي فِي ُح ُج‬
(Diharamkan atasmu mengawini) anak anak tiri yang berada dalam
asuhanmu dari istri-istri yang telah kamu gauli.

4
Basic Djalil, Ilmu Ushul Fiqih 1&2, (Jakarta: Kencana, 2014), hlm 104-105.
Ayat ini menurut manthûq-nya menunjukkan haramnya menikahi anak tiri
yang berada di bawah asuhan suami dari istri yang telah digauli. Apa yang ditunjuk
di sini memang jelas terbaca dalam apa yang tersurat dalam ayat tersebut.
Penunjukannya begitu jelas dan tidak memerlukan penjelasan di balik yang tersurat
itu.

b. Secara garis besanya, " dilâlah manthûq terbagi 2, yaitu: manthûq


sharikh/jelas dan
manthûq ghair sharikh/yang tidak jelas
1. Manthiq sharikh ialah manthûq yang penunjukannya itu timbul dari
"wadh'iyah muthabiqiyah" dan "wadh’iyah tadhamminiyah" (lihat dalam
pembahasan dilalah secara umum)
Manthûq sharikh dalam istilah ulama Syafi'iyah ini adalah apa yang
diistilahkan dengan dilalah 'ibarah dalam pengertian ulama Hanafiyah.
2. Manthûq ghairu sharikh (tidak jelas) adalah manthûq yang penunjukannya
timbul dari "wadh'iyah iltizhamiyah".
Manthûq ghairu sharikh ini terbagi kepada dua macam, yaitu:
a. Penunjukannya itu dimaksud oleh pembicara, dan
b. Penunjukannya itu tidak dimaksud oleh pembicara.
a. Dilalah manthûq ghairu sharikh yang penunjukan (dilalah) nya
dimaksud oleh pembicara, ada dua macam: (1) dilalah iqtidha dan (2)
dilalah ima’.
Dilalah iqtidha ini di kalangan ulama Hanafiyah juga disebut dilâlah
iqtidha atau iqtidha al-nash.
Sedangkan yang dimaksud dengan dilâlah ima' ialah:
Penyertaan sifat dengan hokum dalam bentuk seandainya sifat itu bukan
yang menjadi 'illat untuk hukum tersebut, maka penyertaan itu tidak ada
artinya.
Dengan demikian, dilalah ima’ itu secara sederhana dapat diartikan
sebagai petunjuk yang mengisyaratkan sesuatu. Umpamanya sabda Nabi
kepada seorang Arab pedesaan yang melaporkan kepada beliau bahwa ia
telah menggauli istrinya di siang hari bulan Ramadhan. Nabi bersabda,
"Merdekakanlah hamba sahaya."
Disebutkannya suatu kejadian, yaitu "mencampuri istri di siang hari
bulan Ramadhan" dihubungkan kepada ucapan Nabi "merdekakanlah
hamba sahaya," memberi isyarat bahwa kejadian itulah yang menjadi
'illat untuk hukum yang disebutkan. Seandainya tidak menjadi ‘illat
maka pernyertaan sifat dengan hukum itu menjadi sia-sia Hal yang
demikian tidak mungkin terjadi pada "pembuat hukum" yang bijaksana.
b. Dilâlah manthûq ghairu sharikh yang penunjukan (dilâlah) nya tidak
dimaksud oleh pembicara hanya terbatas pada satu bentuk yang disebut
"dilâlah isyarah" yang di kalangan ulama Hanafiyah juga disebut
"dilâlah isyarah atau dengan istilah isyarah al-nash yang telah
dibicarakan dalam uraian tentang "Pembagian Dilalah dalam Pandangan
Ulama Hanafiyah".

b. Dilalah Mafhûm
Dilâlah mafhûm adalah:
Penunjukan lafaz yang tidak dibicarakan atas berlakunya hukum yang
disebutkan atau tidak berlakunya hukum yang disebutkan.
Atau dalam definisi lain yang lebih sederhana: Apa yang dapat dipahami
dari lafaz bukan menurut yang dibicarakan.
Contohnya, firman Allah dalam surat al-Isra' (17): 23:

ٍّ ُ ‫فَ َال تَقُ ۡل لَّ ُہ َم ۤا ا‬....


....‫ف َّو ََل ت َ ۡن َہ ۡرہ ُ َما‬
Jangan kamu mengucapkan kepada kedua ibu bapakmu ucapan "uf" dan
¡anganlah kamu membentak keduanya.
Hukum yang tersurat dalam ayat tersebut adalah larangan mengucapkan
kata kasar atau uf" dan menghardik orang tua. Dari ayat yang disebutkan itu,
juga dapat dipahami adanya ketentuan hukum yang tidak disebutkan
(tersirat) dalam ayat tersebut, yaitu haramnya memukul orang tua dan
perbuatan lain yang menyakiti orang tua.

Dari definisi mafhúm di atas terlihat ada dua macam mafhúm, yaitu:

Pertama: berlakunya hukum yang disebutkan pada apa yang tidak


disebutkan. Mafhûm dalam bentuk ini disebut (mafhúm kesamaan)

Kedua: tidak berlakunya hukum yang disebutkan pada apa yang tidak
disebutkan. Mafhúm dalam bentuk ini disebut (mafhúm kebalikan).
1. Mafhúm muwâfaqah
Mafhúm muwâfaqah ialah mafhúm yang lafaz-nya menunjukkan bahwa
hukum yang tidak disebutkan sama dengan hukum yang disebutkan dalam
lafaz.
Dari segi kekuatan berlakunya hukum pada apa yang tidak disebutkan,
mafhúm mawâfaqah terbagi dua, yaitu:
a. Mafhúm aulawi atau disebut juga, yaitu berlakunya hukum pada
peristiwa yang tidak disebutkan itu lebih kuat atau lebih pantas
dibandingkan dengan berlakunya hukum pada apa yang disebutkan
dalam lafaz. Kekuatan hukum itu ditinjau dari segi alasan berlakunya
hukum pada manthûq-nya.
Umpamanya firman Allah dalam surat al-Isra' (17): 23, di atas.
Memukul orang tua hukumnya haram sebagaimana haramnya
mengucapkan kata "uf", karena sifat menyakiti dalam "memuk lebih
kuat dari sifat menyakiti dalam ucapan kasar (uf).
b. Mafhúm musawi atau disebut juga, yaitu berlakunya hukum pada
peristiwa yang tidak disebutkan dalam manthûq.
Contohnya, firman Allah dalam surat an-Nisa' (4): 10:

‫ظ ۡل ًما اِنَّ َما َي ۡا ُكلُ ۡونَ ِف ۡى‬


ُ ‫ا َِّن الَّذ ِۡينَ َي ۡا ُكلُ ۡونَ اَمۡ َوا َل ۡال َي ٰتمٰ ى‬
‫را‬ َ َ‫سيَـصۡ لَ ۡون‬
ً ‫س ِع ۡي‬ َ ‫َارا َو‬ ً ‫ط ۡونِ ِه ۡم ن‬ ُ ُ‫ب‬

Babwasanya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara


aniaya, sesungguhnya ia telah memakan api neraka dalam perutnya.
Manthûq ayat ini menunjukkan haramnya memakan harta anak yatim
secara aniaya. Ada yang tersirat di balik manthûq tersebut, yaitu
haramnya "membakar" harta anak yatim, karena "meniadakan harta
anak yatim" itu terdapat dalam "memakan" yang jug.a terdapat dalam
"membakar" harta. Kekuatan hukum haram pada membakar sama
dengan hukum haram pada memakan karena kesamaan alas an
"meniadakan" pada kedua keadaan tersebut. Dengan demikian
hukum pada yang tersirat (tidak disebutkan), kekuatannya sama
dengan hukum pada yang tersurat (disebutkan).

Para ulama sependapat tentang sahnya berhujah (menjadikan sebagai cara dalam
menetapkan hukum) dengan mafhûm muwâfaqah. Hanya kalangan ulama
Zhahiri yang menolak menetapkan hukum menurut mafhúm sebagaimana juga
menolak menggunakan gias, karena menurut mereka, mafhûm muwâfaqah
dalam hal ini sama dengan qiyas.

Kalangan ulama yang menggunakan mafhúm sebagai hujah mengemukakan


alasan dengan tradisi penggunaan bahasa Arab. Bila seseorang mengatakan
kepada pembantunya, "Ja ngan kamu berikan uang seribu rupiah itu kepada
pengemis, maka berlakulah larangan itu untuk uang seribu rupiah atau lebih dari
itu. Bila Nabi bersabda, "Siapa yang mencuri tongkat seorang muslim harus
mengembalikannya." Dari sabda Nabi itu dapat dipahami keharusan meng-
embalikan barang lain seharga tongkat atau lebih dari itu.

Meskipun para ulama sepakat tentang bolehnya berhujah dengan mafhûm


muwâfaqah, namun mereka berbeda dalam hal sandaran hukum yang tidak
disebutkan itu:

a. Kelompok ulama yang berpendapat bahwa penemuan hukum yang tidak


disebutkan itu adalah semata-mata dan pemahaman lafaz atau dilâlah lafaz.
b. Kelompok ulama yang mengatakan berlakunya hokum pada apa yang tidak
disebutkan adalah melalui qiyas
Alasan kelompok pertama, bahwa untuk qiyas tidak dipersyaratkan adanya
alasan hukum pada yang tidak disebutkan harus lebih serasi dibandingkan
dengan alasan pada hukum yang disebutkan. Sedangkan pada pemahaman lafaz
dipersyaratkan yang demikian. Dengan begitu pemahaman hukum pada
(mafhùm muwâfaqah) adalah semata-mata dari pemahaman lafaz, bukan melalui
qiyas.
Alasan kelompok kedua, bahwa berlakunya hukum pada ke- jadian yang
tidak disebutkan (tersirat) adalah karena kesamaan alasan hukum pada hukum
yang tersirat dengan hukum yang disebutkan (tersurat). Hal ini dinamakan 'illat
yang sama dalam kedua alasan hukum tersebut. Hukum yang disebutkan
(tersurat) adalah ashal (yang dijadikan dasar untuk memberlakukan hukum pada
apa yang tidak tersurat), sedangkan hokum yang tidak disebutkan (tersirat)
adalah furu'. Dengan demikian memberlakukan hokum pada apa yang tidak
tersurat adalah melalui qiyâs. Karena hukum yang berlaku pada furu' lebih kuat
dan yang berlaku pada ashal, maka cara istidlal seperti ini dinamakan qiyâs jail.

2. Mafhûm mukhâlafah
Mafhûm mukhâlafah ialah mafhûm yang lafaz-nya menunjukkah bahwa
hukum yang tidak disebutkan berbeda dengan hukum yang disebutkan. Atau
bisa juga diartikan: hukum yang berlaku berdasarkan mafhûm yang
berlawanan dengan hukum yang berlaku pada Mafhûm mukhâlafah ini
dinamai juga dengan dalil khithab. Mafhûm mukhâlafah terbagi kepada
beberapa bentuk, di antaranya (yang pokok) adalah:
a. Mafhûm sifat
Mafhûm sifat ialah penunjukan suatu lafaz yang menggunakan suatu sifat
terhadap hukum yang berlawanan pada sesuatu yang tidak disebutkan
bila sifat tersebut tidak ada. Atau dengan arti sederhana selama ada sifat,
maka berlaku hukum pada lafaz itu. Tetapi bila sifat tersebut tidak ada,
maka berlakulah hukum yang sebaliknya.
Umpamanya firman Allah dalam surat an-Nisa' (4): 25:

ِ ‫ت ۡال ُم ۡؤ ِم ٰن‬
‫ت فَ ِم ۡن‬ َ ‫ط ۡو ًَل اَ ۡن ي َّۡن ِك َح ۡال ُم ۡح‬
ِ ‫ص ٰن‬ َ ‫َو َم ۡن لَّ ۡم َي ۡستَ ِط ۡع ِم ۡن ُك ۡم‬
....‫ت‬ ِ ‫َّما َملَـ َك ۡت اَ ۡي َمانُ ُك ۡم ِ ٍّم ۡن فَت َ ٰيـتِ ُك ُم ۡال ُم ۡؤ ِم ٰن‬
Barangsiapa di antara kamu yang tidak mampu untuk mengawini
perempuan merdeka yang mukmin, ia boleh mengawini wanita beriman
dari hamba sahaya yang kamu miliki.
Manthûq (apa yang tersurat) dari ayat ini alah bolehnya menikahi hamba
sahaya mukmin bila tidak mampu menikahi perempuan merdeka yang
mukmin. Mafhûm sifat (yang tersirat) dari ayat tersebut adalah tidak
bolehnya menikahi hamba sahaya yang tidak mukmin.

b. Mafhûm syarat
Mafhûm syarat ialah penunjukan suatu lafaz yang pada lafaz itu berlaku
hukum yang dikaitkan kepada suatu syarat, terhadap kebalikan hukum
pada sesuatu yang tidak disebutkan bila syarat itu tidak terpenuhi Atau
dalam definisi yang lebih mudah: bila syarat terpenuhi, maka berlaku
hukum; tetapi bila syarat itu tidak terpenuhi, maka dapat ditetapkan
hukum yang sebaliknya.
Umpamanya firman Allah dalam surat al-Thalaq (65), ayat 6:

َ‫ض ْعن‬ َ ‫ت َح ْمل فَأَن ِفقُوا‬


َ َ‫علَ ْي ِه َّن َحتَّى ي‬ َ ُ ‫و ِإن ُك َّن أ‬....
ِ ‫وَل‬ َ
....‫َح ْملَ ُه َّن‬
Jika perempuan (yang dicerai) itu dalam keadaan hamil maka berilah
mereka nafkah sampai mereka melahirkan anak.
Manthûq dari ayat ini menetapkan hukum wajibmemberi nafkah untuk
perempuan yang dicerai dengan syarat dia sedang dalam keadaan hamil.
Mafhûm syarat (yang tersirat) dari ayat tersebut adalah tidak wajibnya
memberi nafkah pada istri yang dicerai bain bila ia tidak dalam hamil.
c. Mafhûm al-ghâyah/limit waktu
Mafhûm al-ghâyah ialah: penunjukan suatu lafaz yang pada lafaz itu ada
hukum yang dibatasi dengan limit waktu untuk tidak berlakunya hukum
tersebut bila limit waktu sudah berlalu. Atau dalam definisi yang lebih
sederhana: sebelum limit waktu yang ditentukan habis, maka berlaku
hukum; tetapi sesudah habis limit waktu yang ditentukan, maka hukum
tersebut tidak berlaku lagi.
Contohnya, firman Allah dalam surat al-Bagarah (2): 230:

َ ‫طلَّقَ َها فَ َال تَ ِح ُّل لَهُ ِم ْن بَ ْعدُ َحت َّ ٰى تَ ْن ِك َح زَ ْو ًجا‬


‫غيْر‬ َ ‫فَإِ ْن‬
Jika suami mentalak istrinya (talak tiga), tidalk halal bekas istri itu
untuknya hingga bekas istri itu mengawini laki-laki lain.
Manthûq (yang tersurat) dari ayat tersebut tidak bolehnya menikahi istri
yang telah ditalak tiga hingga ia mengawini laki-laki lain.
Mafhûm ghayah dari ayat ini ialah bila bekas istri yang ditalak tiga telah
kawin lagi dengan laki-laki lain, kemudian bercerai dan telah habis masa
iddahnya, maka boleh mengawini bekas istri yang telah ditalak tiga itu.
d. Mafhûm al-'adad/bilangan
Mafhûm al-‘adad ialah penunjukan suatu lafaz yang menjelaskan
berlakunya hukum dengan bilangan tertentu, terhadap hukum
kebalikannya untuk bilangan lain dari bilangan yang ditentukan itu.
Umpamanya firman Allah dalam surat an-Nur (24): 2.

....‫احد ِم ْن ُه َما ِمائَةَ َج ْلدَة‬


ِ ‫اج ِلدُوا ُك َّل َو‬ َّ ‫الزانِيَة َو‬
ْ َ‫الزانِي ف‬ َّ
Pezina perempuan dan pezina laki-laki pukullah masing-masing
sebanyak 100 kali.

Manthûq dari ayat di atas adalah menetapkan pukulan 100 kali untuk
pezina laki-laki dan perempuan. Mafhûm al-'adad dari ayat tersebut
adalah tidak sahnya pukulan terhadap pezina itu bila pukulannya lebih
atau kurang dari 100 kali yang ditentukan.
e. Mafhûm al-laqab/lgelar atau sebutan
Mafhûm al-laqab ialah: penunjukan suatu lafaz yang menjelaskan
berlakunya suatu hukum untuk suatu nama atau sebutan tertentu atas
tidak berlakunya hukum itu untuk orang-orang lain.
Umpamanya ucapan, "Muhammad itu adalah Rasul Allah". Manthûq dari
ucapan itu adalah menetapkan kerasulan untuk seseorang yang bernama
Muhammad bin Abdullah. Mafhûm laqab dari ucapan itu adalah tidak
berlakunya kerasulan bagi orang selain Muhammad bin Abdullah. 5

F. Berhujah dengan Mafhûm Mukhâlafah


Mafhûm mukhâlafah adalah suatu istilah yang populer dalam pemba- hasan
ushul fiqh. Namun tentang penetapan hukum melalui cara Mafhûm mukhâlafah
terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama.
Semua ulama sepakat untuk tidak beramal dengan mafhûm laqab karena
dalam bentuk mafhûm laqab itu tidak mungkin kita menghasilkan suatu ketentuan
hukum kebalikannya; sebab dengarn berlakunya suatun ketentuan pada nama
tertentu, maka tidak lazim untuk tidak memberlakukannya di luar nama itu.
Para ulama sepakat tentang bolehnya berhujah dengan mafhûm sifat,
mafhûm syarat, mafhûm ghayah, dan mafhûm 'adad di luar lingkungan nash-nash
syar’iah (teks hukum). Umpamanya di dalam akad perjanjian dan ucapan-ucapan.
Tetapi para ulama berbeda pendapat mengenai kekuatan hokum afhum
tersebut dalam yang ditetapkan melalui beberapa bentuk mafhûm tersebut dalam
kaitannya dengan teks hukum:
1. Jumhur ulama berpendapat bahwa nash-nash hukum yang memberi petunjuk
tentang hukum atas sesuatu kejadian bila dikait kan kepada suatu sifat,
syarat, bilangan atau limit waktu, mempunyai kekuatan untuk menetapkan
hukum atas kejadian yang memiliki sifat, syarat, bilangan atau batas waktu
tersebut. Begitu pula, nash hukum tersebut mempunyai kekuatan dalam
menetapkan hukum yang sebaliknya jika tidak terdapat sifat, syarat,
bilangan atau batas waktunya sudah berlalu.
Di antara argumentasi (yang terkuat) dari pandangan Jumhur ulama adalah:
a. Yang mudah dipahami dari ungkapan bahasa Arab dan tradisi
penggunaan 'ibaratnya adalah bahwa mengaitkan sesuatu dengan sifat,

5
Amir Syarifudin, Ushul Fiqih Jilid II, (Jakarta: Prenada Media, 2014), hlm 153-162.
syarat, bilangan dan batas waktu untuk menunjukkan berlakunya hukum
bila terdapat kaitan tersebut; juga menunjukkan tidak berlakunya hukum
tersebut bila kaitan itu tidak terdapat dalam suatu keadaan.
Nabi bersabda, "Keengganan orang kaya membayar utang adalah sautu
penganiayaan." Setiap orang dengan mudah dapat memahami bahwa bila
yang enggan membayar utang adalah orang miskin, maka bukanlah suatu
penganiayaan. Cara pemahaman seperti ini disebut berdalil dengan
mafhûm mukhâlafah.
b. Kaitan yang terdapat dalam nash syara' (teks hukum) baik dalam bentuk
sifat, syarat, bilangan atau limit waktu, bukan- lah tanpa arti. la
mempunyai maksud tertentu, yaitu untukmenetapkan hukum dalam
kejadian lain, kecuali bila ada penjelasan tersendiri yang menyatakan
adanya maksud lain dari kaitan tersebut. Dalam keadaan demikian
memang tidak berlaku mafhûm mukhâlafah
2. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa nash syara' yang menunjukkan hukum
pada suatu kejadian bila dikaitkan pada suatu sifat, syarat, bilangan dan
batas waktu, maka mempunyai kekuat an hukum terhadap kejadian yang
disebutkan sifat, syarat, bi langan atau imit waktu itu saja secara manthûq
(tersurat). Adapun nash hukum yang tidak ditemukan sifat, syarat, bilangan
dan batas waktu, maka tidak dapat diketahui hukumnya hanya dari mafhûm
mukhâlafah-nya, tetapi harus melalui dalil lain. Hal ini berarti, kita tidak
dapat menetapkan hukum apa pun 2. hanya melalui mafhûm mukhâlafah
saja.
Di antara argumentasi yang mereka kemukakan adalah:
a. Tidaklah umum dalam ungkapan bahasa Arab bahwa mengaitkan hukum
dengan sifat, syarat, bilangan atau limit waktu berarti menunjukkan
berlakunya hukum ketika ada kaitannya itu, dan hokum itu tidak berlaku
bila kaitannya itu tidak ada. Cukup banyak ungkapan bahasa Arab yang
dikait kan dengan salah satu dari kaitan itu (sifat, syarat, bilangan, dan
limit waktu) tetapi tidak mengandung daya mafhûm (maksud tersirat).
Umpamanyafirman Allah yang berbunyi:

Janganlah kamu memakan riba secara berlipat ganda.

Larangan riba dalam ayat ini diberi kaitan dengan sifat berlipat ganda.
Meskipun demikian riba tersebut tetap saja harammeskipun dilakukan
tidak secara berlipat ganda.

b. Banyak nash syara' yang menunjukkan suatu hokum diberi kaitan


dengan suatu kait, namun hukum itu tetap saja berlaku meskipun kaitan
tersebut tidak ada. Shalat dalam perjalanan tetap dapat di qasar meskipun
orang yang melakukannya tidak lagi dalam keadaan takut diserang dalam
peperangan, padahal kebolehan qasar itu diberi syarat kalau takut akan
mendapat serangan, sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah, surat
an-Nisa' (4): 101:

۟ ‫ص ُر‬
َ‫وا ِمن‬ ُ ‫علَ ْي ُك ْم ُجنَا ٌح أَن تَ ْق‬ َ ‫ض فَلَي‬
َ ‫ْس‬ ِ ‫ض َر ْبت ُ ْم ِفى ْٱْل َ ْر‬ َ ‫َو ِإذَا‬
....‫صلَ ٰوةِ إِ ْن ِخ ْفت ُ ْم أَن يَ ْفتِنَ ُك ُم ٱلَّذِينَ َكفَ ُر ٓو ۟ا‬
َّ ‫ٱل‬
Bila kamu melakukan perjalanan di atas bumi, maka tidaklah mengapa
kamu meng-qasar shalat dan bila kamu takut diserang orang-orang
kafir.
Bila kita mengamalkan mafhûm mukhâlafah dari ayat tersebut, tentu
tidak boleh lagi mengqasar shalat di waktu tidak ada lagi peperangan.
Masih berlakunya qasar shalat meskipun tidak lagi dalam perang berarti
mafhûm mukhâlafah tidak diamalkan dalam pemahaman ayat tersebut.
Perbedaan pendapat diantara dua kelompok ulama ini kelihatannya
bukanlah hanya sekedar beda dalam lafaz.6

6
Amir Syarifudin, Ushul Fiqih Jilid II, (Jakarta: Prenada Media, 2014), hlm 162-164.
Daftar Pustaka
1. Djalil, Basic. 2014. Ilmu Ushul Fiqih 1&2. Jakarta: Kencana
2. Syarifudin, Amir. 2014. Ushul Fiqih Jilid II. Jakarta: Prenada Media.

Anda mungkin juga menyukai