PENELITIAN
Disusun Oleh :
Dokter Pembimbing :
Telah disetujui penelitian yang berjudul “Hubungan Pengetahuan Ibu Yang Memiliki
Anak Usia 2-5 Tahun Tentang Anemia Terhadap Angka Kejadian Stunting Di Desa
Mekarbakti Sumedang Jawa Barat Tahun 2019” yang disusun oleh Kepaniteraan Klinik
Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia Kelompok Kerja
Februari 2019.
Demikian hasil penelitian ini penulis buat, atas perhatiannya penulis ucapkan terima kasih.
Pembimbing
Mengetahui,
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan yang Maha Esa penulis panjatkan atas karunia dan
Ibu Yang Memiliki Anak Usia 2-5 Tahun Tentang Anemia Terhadap Angka
Kejadian Stunting Di Desa Mekarbakti Sumedang Jawa Barat Tahun 2019” dapat
diselesaikan dengan baik dan tepat waktu. Penelitian ini ditulis dalam rangka pemenuhan
salah satu syarat untuk menyelesaikan kepaniteraan Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas
Peneliti tidak lupa bahwa penelitian ini tidak akan selesai tanpa bantuan dan bimbingan
dari berbagai macam pihak. Oleh karena itu sebagai penulis ingin mengucapkan terima
kasih kepada :
2. dr. Hj. Anna Hernawati S. MKM, selaku Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten
Sumedang yang telah berbaik hati membantu penulis dalam penelitian ini
3. DR. Dhaniswara K Harjono, SH., MH., MBA., selaku Rektor Universitas Kristen
Indonesia (UKI) yang telah mendukung dan membuka jalan agar penelitian ini
berlangsung
4. Dr. dr. Robert Sirait, Sp.An, selaku dekan Fakultas Kedokteran UKI yang telah
ii
5. Dr. Sudung Nainggolan, MS, selaku Kepala Departemen Kepaniteraan Ilmu
6. dr. Vidi Posdo Simarmata, MKK selaku dosen pembimbing yang telah
Kedokteran UKI terima kasih atas segala ilmu yang berguna selama persiapan
menuju penelitiam
8. Kepada orang tua dan seluruh anggota keluarga yang telah memberikan
10. Kader desa Mekarbakti, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat yang telah
Tim Penulis
iii
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI............................................................................................................................ iv
ABSTRAK ................................................................................................................................ x
iv
2.1 Landasan Teori .......................................................................................................... …..4
v
BAB V PEMBAHASAN ........................................................................................................ 36
vi
DAFTAR TABEL
Tabel 6. Distribusi anak usia 2-5 tahun yang mengalami stunting berdasarkan tingkat
Tabel 7. Distribusi anak usia 2-5 tahun yang mengalami stunting berdasarkan jenis kelamin 34
Tabel 8. Distribusi anak usia 2-5 tahun yangmengalami stunting berdasarkan tingkat
Tabel 9. Hubungan pengetahuan ibu yang memiliki anak usia 2-5 tahun tentang anemia
vii
DAFTAR DIAGRAM
Diagram 6. Distribusi anak usia 2-5 tahun yang mengalami stunting berdasarkan tingkat
Diagram 7. Distribusi anak usia 2-5 tahun yang mengalami stunting berdasarkan jenis
kelamin ..................................................................................................................................... 34
Diagram 8. Distribusi anak usia 2-5 tahun yangmengalami stunting berdasarkan tingkat
Diagram 9. Hubungan pengetahuan ibu yang memiliki anak usia 2-5 tahun tentang anemia
viii
DAFTAR GAMBAR
ix
DAFTAR SINGKATAN
Fe: Ferrum
Hb: Haemoglobin
U: Usia
x
ABSTRAK
Anemia adalah suatu kondisi dimana terjadi penurunan jumlah sel darah merah atau kadar
hemoglobin di dalam sel darah merah yang disebabkan oleh beberapa faktor seperti penyakit
kronis, defisiensi zat besi dan asam folat, atau karena perdarahan. Anemia merupakan salah
satu masalah gizi di dunia, terutama di negara berkembang termasuk Indonesia. Menurut
RISKESDAS 2013, jumlah anak stunting di Indonesia mencapai angka 37% (9 juta anak
balita) Salah satu faktor yang dapat menyebabkan terjadinya stunting adalah keadaan anemia
pada ibu selama masa kehamilan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya
hubungan antara pengetahuan ibu tentang anemia dengan angka kejadian stunting. Jenis
penelitian yang dipakai adalah penelitian analitik dengan metode cross sectional, dengan
pengambilan data menggunakan kuesioner yang disebarkan kepada ibu yang memiliki anak
usia 2 – 5 tahun di Desa Mekarbakti, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Hasil yang didapat
dari penelitian ini menunjukan angka kejadian stunting tertinggi ada pada kelompok ibu
dengan pengetahuan yang baik tentang anemia. Kesimpulan yang dapat diambil dari
penelitian ini adalah tidak terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan ibu yang memiliki
anak usia 2 – 5 tahun tentang anemia terhadap angka kejadian stunting di Desa Mekarbakti (P
Value >0,05)
Kata kunci : Anemia, Stunting, Balita
Abstract
Anemia is a condition in which there is a decrease in the number of red blood cells or
haemoglobin levels in red blood cells caused by several factors such as chronic diseases, iron
and folic acid deficiency, or because of chronic bleeding. Anemia is one of the world’s
nutritional problems, especially in developing countries including Indonesia. According to
RISKESDAS 2013, the number of stunting children in Indonesia had reached 37%
(estimatedly 9 millions of toddlers) One of the factors that can cause stunting is anemia
during pregnancy. This research aims to determine wether there is correlation between
anemia-related knowledge of mother who have children aged 2-5 years old with the incidence
of stunting. The research used in the study used analytical research with a cross sectional
method. The data was collected using questionnaires distributed to mothers who have
children at the age of 2-5 years in Mekarbakti Village, Sumedang District, West Java. The
results of the study showed the incidence of stunting is higher in the group of respondent who
have better knowledge of anemia. The conclusion is there is no correlation between the level
of anemia-related knowledge of mothers who have children aged 2-5 years with the incidence
of stunting in Mekarbakti Village (P Value> 0.05).
xi
BAB I
PENDAHULUAN
Anemia adalah penurunan jumlah sel darah merah atau kadar hemoglobin di dalam sel
darah merah yang disebabkan oleh beberapa faktor seperti penyakit kronis, defisiensi zat besi
dan asam folat, atau karena perdarahan. Anemia merupakan masalah gizi di dunia, terutama
di negara berkembang termasuk Indonesia.
Menurut RISKESDAS 2018, angka kejadian anemia pada ibu hamil meningkat
sebanyak 11.8 persen dibandingkan pada tahun 2013. World Health Organization (WHO)
menyatakan bahwa masih terdapat 50 persen lebih wanita di dunia menderita anemia.
Kondisi ini dapat memberikan dampak merugikan di setiap kelompok umur termasuk ibu
hamil.1
Stunting merupakan kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat kekurangan gizi
kronis yang dapat menyebabkan anak menjadi pendek jika dibandingkan dengan anak
seusianya. Menurut RISKESDAS 2013, jumlah anak stunting di Indonesia mencapai angka
37% (9 juta anak balita) Salah satu faktor yang dapat menyebabkan terjadinya stunting adalah
keadaan anemia pada ibu selama masa kehamilan.2
1
I.2 Rumusan Masalah
1. Apakah ada hubungan tingkat pengetahuan ibu yang memiliki anak usia 2-5
tahun tentang anemia terhadap angka kejadian stunting di desa Mekarbakti,
Sumedang, Jawa Barat pada tahun 2019?
2. Bagaimana gambaran antropometri anak usia 2-5 tahun di desa Mekarbakti,
Sumedang, Jawa Barat pada tahun 2019?
3. Bagaimana distribusi anak stunting di desa Mekarbakti, Sumedang, Jawa
Barat menurut tingkat pendidikan akhir ibu?
4. Bagaimana distribusi anak stunting di desa Mekarbakti, Sumedang, Jawa
Barat berdasarkan jenis kelamin?
1. Mengetahui distribusi anak usia 2-5 tahun yang mengalami stunting di desa
Mekarbakti, Sumedang, Jawa Barat
2. Mengetahui gambaran pengetahuan ibu yang memiliki anak usia 2-5 tahun
tentang anemia di desa Mekarbakti, Sumedang, Jawa Barat.
2
I.4 Hipotesis
Terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan ibu yang memiliki anak usia 2-5 tahun
terhadap anemia terhadap angka kejadian stunting di desa Mekarbakti, Sumedang, Jawa Barat
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi wawasan bagi masyarakat
desa Mekarbakti dengan demikian pengetahuan akan stunting dan bahayanya dapat membuat
masyarakat sekitar lebih waspada dan peduli terhadap tumbuh kembang anak.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1.1 Anemia
Anemia adalah suatu keadaan dimana kadar hemoglobin (Hb) dalam darah
kurang dari normal. Faktor-faktor penyebab anemia gizi besi adalah status gizi yang
dipengaruhi oleh pola makanan, sosial ekonomi keluarga, lingkungan dan status
kesehatan. Khumaidi (1989) mengemukakan bahwa faktor-faktor yang
melatarbelakangi tingginya prevalensi anemia gizi besi di negara berkembang adalah
keadaan sosial ekonomi rendah meliputi pendidikan orang tua dan penghasilan yang
rendah serta kesehatan pribadi di lingkungan yang buruk.
4
II.1.1.1 Klasifikasi Anemia
1. Makrositik
Pada anemia makrositik ukuran sel darah merah bertambah besar dan jumlah
hemoglobin tiap sel juga bertambah. Ada dua jenis anemia makrositik yaitu :
Anemia Megaloblastik adalah kekurangan vitamin B12, asam folat dan
gangguan sintesis DNA.
Anemia Non Megaloblastik adalah eritropolesis yang dipercepat dan
peningkatan luas permukaan membran.
2. Mikrositik
Mengecilnya ukuran sel darah merah yang disebabkan oleh defisiensi besi, gangguan
sintesis globin, porfirin dan heme serta gangguan metabolisme besi lainnya.
3. Normositik
Pada anemia normositik ukuran sel darah merah tidak berubah, ini disebabkan oleh
kehilangan darah yang berlangsung lama, meningkatnya volume plasma secara
berlebihan, penyakit-penyakit hemolitik, gangguan endokrin, ginjal, dan hati.
Anemia Defisiensi besi adalah anemia yang terjadi akibat kekurangan zat besi
dalam darah, artinya konsentrasi hemoglobin dalam darah berkurang karena
terganggunya pembentukan sel-sel darah merah akibat kurangnya kadar zat besi dalam
darah.6
Jika simpanan zat besi dalam tubuh seseorang sudah sangat rendah berarti orang
tersebut mendekati anemia walaupun belum ditemukan gejala-gejala fisiologis. Simpanan
zat besi yang sangat rendah lambat laun tidak akan cukup untuk membentuk sel- sel darah
merah di dalam sumsum tulang sehingga kadar hemoglobin terus menurun di bawah batas
normal, keadaan inilah yang disebut anemia gizi besi. Menurut Evatt, anemia Defisiensi besi
adalah anemia yang disebabkan oleh berkurangnya cadangan besi tubuh. Keadaan ini ditandai
5
dengan menurunnya saturasi transferin, berkurangnya kadar feritin serum atau hemosiderin
sumsum tulang. Secara morfologis keadaan ini diklasifikasikan sebagai anemia
mikrositikhipokrom disertai penurunan kuantitatif
pada sintesis hemoglobin.6
Defisiensi besi merupakan penyebab utama anemia. Wanita usia subur sering
mengalami anemia, karena kehilangan darah sewaktu menstruasi dan peningkatan
kebutuhan besi sewaktu hamil.6
Zat besi diperlukan untuk hemopoesis (pembentukan darah) dan juga diperlukan
oleh berbagai enzim sebagai faktor penggiat. Zat besi yang terdapat dalam enzim juga
diperlukan untuk mengangkut elektro (sitokrom), untuk mengaktifkan oksigen
(oksidase dan oksigenase). Defisiensi zat besi tidak menunjukkan geja la yang khas
(asymptomatik) sehingga anemia pada balita sukar untuk dideteksi. 5
Tanda-tanda dari anemia gizi dimulai dengan menipisnya simpanan zat besi
(feritin) dan bertambahnya absorbsi zat besi yang digambarkan dengan meningkatnya
kapasitas pengikatan besi. Pada tahap yang lebih lanjut berupa habisnya simpanan zat
besi, berkurangnya kejenuhan transferin, berkurangnya jumlah protoporpirin yang
diubah menjadi heme, dan akan diikuti dengan menurunnya kadar feritin serum.
Akhirnya terjadi anemia dengan cirinya yang khas yaitu rendahnya kadar Hb. 5
Diagnosis anemia zat gizi ditentukan dengan tes skrining dengan cara mengukur
kadar Hb, hematokrit (Ht), volume sel darah merah (MCV), konsentrasi Hb dalam sel
darah merah (MCH) dengan batasan terendah 95% acuan (Dallman,1990)
6
Etiologi Anemia Defisiensi Besi
Penyebab Anemia Defisiensi Besi adalah :
1. Asupan zat besi
Rendahnya asupan zat besi sering terjadi pada orang-orang yang mengkonsumsi
bahan makananan yang kurang beragam dengan menu makanan yang terdiri dari nasi,
kacang-kacangan dan sedikit daging, unggas, ikan yang merupakan sumber zat besi.
Gangguan defisiensi besi sering terjadi karena susunan makanan yang salah baik jumlah
maupun kualitasnya yang disebabkan oleh kurangnya penyediaan pangan, distribusi
makanan yang kurang baik, kebiasaan makan yang salah, kemiskinan dan ketidaktahuan.
2. Penyerapan zat besi
Diet yang kaya zat besi tidaklah menjamin ketersediaan zat besi dalam tubuh karena
banyaknya zat besi yang diserap sangat tergantung dari jenis zat besi dan bahan makanan
yang dapat menghambat dan meningkatkan penyerapan besi.
3. Kebutuhan meningkat
Kebutuhan akan zat besi akan meningkat pada masa pertumbuhan seperti pada bayi,
anak- anak, remaja, kehamilan dan menyusui. Kebutuhan zat besi juga meningkat pada
kasus-kasus pendarahan kronis yang disebabkan oleh parasit.
4. Kehilangan zat besi
Kehilangan zat besi melalui saluran pencernaan, kulit dan urin disebut kehilangan zat
besi basal. Pada wanita selain kehilangan zat besi basal juga kehilangan zat besi melalui
menstruasi. Di samping itu kehilangan zat besi disebabkan pendarahan oleh infeksi cacing di
dalam usus.7
II.1.1.3 Diagnosis
1. Anamnesis
1). Riwayat faktor predisposisi dan etiologi :
a. Kebutuhan meningkat secara fisiologis terutama pada masa pertumbuhan yang
cepat, menstruasi, dan infeksi kronis
b. Kurangnya besi yang diserap karena asupan besi dari makanan tidak adekuat
malabsorpsi besi
c. Perdarahan terutama perdarahan saluran cerna (tukak lambung, penyakit Crohn,
colitis ulserativa)
7
2). Pucat, lemah, lesu, gejala pika5
2. Pemeriksaan fisis
a. anemis, tidak disertai ikterus, organomegali dan limphadenopati
b. stomatitis angularis, atrofi papil lidah
c. ditemukan takikardi ,murmur sistolik dengan atau tanpa pembesaran jantung5
3. Pemeriksaan penunjang
a. Hemoglobin, Hct dan indeks eritrosit (MCV, MCH, MCHC) menurun
b. Hapus darah tepi menunjukkan hipokromik mikrositik
c. Kadar besi serum (SI) menurun dan TIBC meningkat, saturasi menurun
d. Kadar feritin menurun dan kadar Free Erythrocyte Porphyrin (FEP) meningkat
e. sumsum tulang: aktifitas eritropoitik meningkat5
Akibat-kibat yang merugikan kesehatan pada individu yang menderita anemi gizi besi
adalah
8
II.1.1.5 Penentuan kadar hemoglobin
Menurut WHO, nilai batas hemoglobin (Hb) yang dikatakan anemia gizi besi
untuk wanita remaja adalah < 12 gr/dl dengan nilai besi serum < 50 mg/ml dan nilai feritin <
12 mg/ml. Nilai feritin merupakan refleksi dari cadangan besi tubuh sehingga dapat
memberikan gambaran status besi seseorang.
Untuk menentukan kadar Hb darah, salah satu cara yang digunakan adalah metoda
Cyanmethemoglobin. Cara ini cukup teliti dan dianjurkan oleh International Committee for
Standardization in Hemathology (ICSH). Menurut cara ini darah dicampurkan dengan
larutan drapkin untuk memecah hemoglobin menjadi cyanmethemoglobin, daya serapnya
kemudian diukur pada 540 nm dalam kalorimeter fotoelekrit atau spektrofotometer.
Cara penentuan Hb yang banyak dipakai di Indonesia ialah Sahli. Cara ini untuk di
lapangan cukup sederhana tapi ketelitiannya perlu dibandingkan dengan cara standar yang
dianjurkan WHO.
Ada tiga uji laboratorium yang dipadukan dengan pemeriksaan kadar Hb agar hasil
lebih tepat untuk menentukan anemia gizi besi. Untuk menentukan anemia gizi besi yaitu :
Ferritin diukur untuk mengetahui status besi di dalam hati. Bila kadar SF < 12 mg/dl
maka orang tersebut menderita anemia gizi besi.
Kadar besi dan Total Iron Binding Capacity (TIBC) dalam serum merupakan salah
satu menentukan status besi. Pada saat kekurangan zat besi, kadar besi menurun dan TIBC
meningkat, rasionya yang disebut dengan TS. TS < dari 16 % maka orang tersebut defisiensi
zat besi.
9
Tabel 1. Nilai normal kadar Hb
Bila kadar zat besi dalam darah kurang maka sirkulasi FEB dalam darah meningkat.
Kadar normal FEB 35-50 mg/dl RBC.
2. Fungsi Hemoglobin
a. Suplementasi tabet Fe
10
mengkonsumsi tablet tambah darah. Telah terbukti dari berbagai
penelitian bahwa suplementasi, zat besi dapat meningkatkan kadar
Hemoglobin.
11
II.1.1.7 Penanggulangan Anemia
Efek samping dari pemberian besi per oral adalah mual, ketidaknyamanan
epigastrium, kejang perut, konstipasi dan diare. Efek ini tergantung dosis yang diberikan
dan dapat diatasi dengan mengurangi dosis dan meminum tablet segera setelah makan
atau bersamaan dengan makanan.
Fortifikasi adalah penambahan suatu jenis zat gizi ke dalam bahan pangan
untuk meningkatkan kualitas pangan . Kesulitan untuk fortifikasi zat besi adalah
sifat zat besi yang reaktif dan cenderung mengubah penampilan bahan yang di
fortifikasi. Sebaliknya fortifikasi zat besi tidak mengubah rasa, warna,
penampakan dan daya simpan bahan pangan. Selain itu pangan yang difortifikasi
adalah yang banyak dikonsumsi masyarakat seperti tepung gandum untuk
pembuatan roti.
12
Salah satu efek Anemia defisiensi besi (ADB) adalah kelahiran premature
dimana hal ini berasosiasi dengan masalh baru seperti berat badan lahir rendah,
defisiensi respon imun dan cenderung mendapat masalah psikologik dan pertumbuhan.
Apabila hal ini berlanjut maka hal ini berkorelasi dengan rendahnya IQ dan
kemampuan belajar. Semua hal tersebut mengakibatkan rendahnya kualitas sumber
daya manusia, produktivitas dan implikasi ekonomi.10
II.1.3 Tingkat Pengetahuan Ibu tentang anemia dengan kejadian Anemia pada
Kehamilan
Hasil yang sama juga diperoleh dari penelitian yang dilakukan oleh Nursilmi
(2016) dimana didapatkan hasil yang menunjukan adanya hubungan antara tingkat
pengetahuan tentang anemia dengan angka kejadian anemia pada ibu hamil. Hal ini
menunjukan hasil koefisien korelasi yaitu pengetahuan atau kognitif merupakan domain
yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Dari pengalaman dan
penelitian, ternyata perilaku yang disadari oleh pengetahuan akan lebih bertahan lama
daripada perilaku yang tidak disadari oleh pengetahuan. 11
II.1.3 Stunting
Balita Pendek (Stunting) adalah status gizi yang didasarkan pada indeks PB/U
atau TB/U dimana dalam standar antropometri penilaian status gizi anak, hasil
pengukuran tersebut berada pada ambang batas (Z-Score) <-2 SD sampai dengan -3
SD (pendek/ stunted) dan <-3 SD (sangat pendek / severely stunted). Stunting adalah
masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh asupan gizi yang kurang dalam
waktu cukup lama akibat pemberian makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan
gizi. Stunting dapat terjadi mulai janin masih dalam kandungan dan baru nampak saat
anak berusia dua tahun.9
13
Stunting yang telah tejadi bila tidak diimbangi dengan catch-up growth
(tumbuh kejar) mengakibatkan menurunnya pertumbuhan, masalah stunting
merupakan masalah kesehatan masyarakat yang berhubungan dengan meningkatnya
risiko kesakitan, kematian dan hambatan pada pertumbuhan baik motorik maupun
mental.9
Stunting dibentuk oleh growth faltering dan catcth up growth yang tidak
memadai yang mencerminkan ketidakmampuan untuk mencapai pertumbuhan
optimal, hal tersebut mengungkapkan bahwa kelompok balita yang lahir dengan
berat badan normal dapat mengalami stunting bila pemenuhan kebutuhan
selanjutnya tidak terpenuhi dengan baik.9
Penilaian status gizi balita yang paling sering dilakukan adalah dengan
cara penilaian antropometri. Secara umum antropometri berhubungan dengan
berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai
tingkat umur dan tingkat gizi. Antropometri digunakan untuk melihat
ketidakseimbangan asupan protein dan energi. Beberapa indeks
antropometri yang sering digunakan adalah berat badan menurut umur
(BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), berat badan menurut tinggi
badan (BB/TB) yang dinyatakan dengan standar deviasi unit z (Z- score).9
Stunting dapat diketahui bila seorang balita sudah ditimbang berat
badannya dan diukur panjang atau tinggi badannya, lalu dibandingkan dengan
standar, dan hasilnya berada dibawah normal. Jadi secara fisik balita akan
lebih pendek dibandingkan balita seumurnya. Penghitungan ini menggunakan
standar Z score dari WHO. Normal, pendek dan Sangat Pendek adalah status
gizi yang didasarkan pada indeks Panjang Badan menurut Umur (PB/U) atau
Tinggi Badan menurut Umur (TB/U) yang merupakan padanan istilah stunted
(pendek) dan severely stunted (sangat pendek). Berikut klasifikasi status gizi
stunting berdasarkan indikator tinggi badan per umur (TB/U).9
• Sangat pendek : Zscore < -3,0
• Pendek : Zscore < -2,0 s.d. Zscore ≥ -3,0
• Normal : Zscore ≥ -2,0
14
Dan di bawah ini merupakan klasifikasi status gizi stunting berdasarkan
indikator TB/U dan BB/TB.
I. Pendek-kurus : Z-score TB/U < -2,0 dan Z-score BB/TB < -2,0
II. Pendek -normal : Z-score TB/U < -2,0 dan Z-score BB/TB antara -
2,0 s/d 2,0
III. Pendek-gemuk : Z-score ≥ -2,0 s/d Z-score ≤ 2,0
A. Umur
Umur adalah suatu angka yang mewakili lamanya kehidupan seseorang. Usia
dihitung saat pengumpulan data, berdasarkan tanggal kelahiran. Apabila lebih hingga
14 hari maka dibulatkan ke bawah, sebaliknya jika lebih 15 hari maka dibulatkan ke
atas. Informasi terkait umur didapatkan melalui pengisian kuesioner.8
15
B. Tinggi badan
Tinggi atau panjang badan ialah indikator umum dalam mengukur tubuh dan
panjang tulang. Alat yang biasa dipakai disebut stadiometer. Ada dua macam yaitu:
‘stadiometer portabel’ yang memiliki kisaran pengukur 840-2060 mm dan ‘harpenden
stadiometer digital’ yang memiliki kisaran pengukur 600-2100 mm.
Tinggi badan diukur dalam keadaan berdiri tegak lurus, tanpa alas kaki dan
aksesoris kepala, kedua tangan tergantung rileks di samping badan, tumit dan pantat
menempel di dinding, pandangan mata mengarah ke depan sehingga membentuk posisi
kepala Frankfurt Plane (garis imaginasi dari bagian inferior orbita horisontal terhadap
meatus acusticus eksterna bagian dalam). Bagian alat yang dapat digeser diturunkan
hingga menyentuh kepala (bagian verteks). Sentuhan diperkuat jika anak yang diperiksa
berambut tebal. Pasien inspirasi maksimum pada saat diukur untuk meluruskan tulang
belakang.
Pada bayi yang diukur bukan tinggi melainkan panjang badan. Biasanya panjang
badan diukur jika anak belum mencapai ukuran linier 85 cm atau berusia kurang dari 2
tahun. Ukuran panjang badan lebih besar 0,5-1,5 cm daripada tinggi. Oleh sebab itu,
bila anak diatas 2 tahun diukur dalam keadaan berbaring maka hasilnya dikurangi 1 cm
sebelum diplot pada grafik pertumbuhan.
16
sanitasi, dan lingkungan. Kondisi-kondisi tersebut dapat mempengaruhi munculnya
faktor penyebab sebagai berikut.10
Faktor maternal, dapat dikarenakan nutrisi yang buruk selama pre- konsepsi,
kehamilan, dan laktasi. Selain itu juga dipengaruhi perawakan ibu yang pendek, infeksi,
kehamilan muda, kesehatan jiwa, IUGR dan persalinan prematur, jarak persalinan yang
dekat, dan hipertensi. Lingkungan rumah, dapat dikarenakan oleh stimulasi dan
aktivitas yang tidak adekuat, penerapan asuhan yang buruk, ketidakamanan pangan,
alokasi pangan yang tidak tepat, rendahnya edukasi pengasuh.10
17
pertama untuk mencapai tumbuh kembang optimal. Setelah enam bulan, bayi mendapat
makanan pendamping yang adekuat sedangkan ASI dilanjutkan sampai usia 24 bulan.
Menyusui yang berkelanjutan selama dua tahun memberikan kontribusi signifikan
terhadap asupan nutrisi penting pada bayi.10
G. Infeksi
Beberapa contoh infeksi yang sering dialami yaitu infeksi enterik seperti diare,
enteropati, dan cacing, dapat juga disebabkan oleh infeksi pernafasan (ISPA), malaria,
berkurangnya nafsu makan akibat serangan infeksi, dan inflamasi.10
H. Kelainan endokrin
Pada referensi lain dikatakan bahwa tinggi badan merupakan hasil proses dari
faktor genetik (biologik), kebiasaan makan (psikologik) dan terpenuhinya makanan
yang bergizi pada anak (sosial). Stunting dapat disebabkan karena kelainan endokrin
dan non endokrin. Penyebab terbanyak adalah adalah kelainan non endokrin yaitu
penyakit infeksi kronis, gangguan nutrisi, kelainan gastrointestinal, penyakit
jantung bawaan dan faktor sosial ekonomi.10
18
Cimanggung. Jika dilihat dari pusat Kecamatan Pamulihan, posisinya berada di sebelah selatan
dengan jarak sekitar empat kilometer.
Non-
No Tahun Total Pesawahan Pemukiman Hutan Kebun Pangangonan Lainnya
Sawah
19
baratnya. Secara administratif, wilayah Desa Mekarbakti terbagi ke dalam sembilan
wilayah Rukun Warga (RW) dan 40 wilayah Rukun Tetangga (RT).
Untuk luas wilayahnya, sebagaimana disajikan sumber data yang sama, pada
tahun 2013 Desa Mekarbakti memiliki luas wilayah total sebesar 409,6 hektar. Luas
wilayah tersebut terbagi ke dalam beberapa jenis penggunaan atau tata guna lahan.
Utamanya adalah yang digunakan sebagai lahan pertanian dan lahan pemukiman. Lahan
pertanian di Desa Mekarbakti mencakup luasan sebesar 227,9 hektar. Dan sisanya
seluas 181,7 hektar merupakan kawasan pemukiman atau lahan perumahan dan
pemukiman. Untuk jenis lahan pertaniannya terbagi ke dalam dua jenis yaitu lahan
pesawahan dan lahan pertanian bukan pesawahan. Lahan pesawahannya memiliki
luasan sebesar 16,3 hektar dan untuk lahan pertanian bukan pesawahannya seluas 211,6
hektar.
20
timurnya merupakan kawasan kehutanan di lereng Gunung Kareumbi. Lahan
pemukiman terutama terletak di bagian barat wilayah desa.
Walau tidak terdapat data komposisi mata pencaharian, namun melihat dari tata
guna lahan yang sebagian besar dipergunakan sebagai lahan pertanian, tidak bisa
dipungkiri jika sebagian penduduk Desa Mekarbakti bekerja di sektor pertanian. Lahan
pesawahan di Desa Mekarbakti tergolong subur walau masih belum menggunakan
sistem pengairan teknis. Ini bisa dilihat dari produktivitasnya yang bagus dalam
menghasilkan produk utama berupa padi. Selain padi, dihasilkan juga produk lain
berupa jagung baik jagung hibrida, jagung manis maupun jagung lokal. Kemudian
dihasilkan juga ubi jalar, kacang tanah, dan berbagai jenis sayuran seperti tomat, cabai
besar, cabai rawit, kacang merah.
21
II.2 Kerangka Teori
22
II.3 Kerangka Konsep
23
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian survey analitik korelasional, dengan
rancangan penelitian cross-sectional untuk mengetahui hubungan pengetahuan ibu yang
memiliki anak usia 2 – 5 tahun mengenai anemia terhadap angka kejadian stunting di Desa
Mekarbakti tahun 2019
III.3 Populasi
Populasi target dalam penelitian ini adalah semua ibu yang memiliki anak
Populasi terjangkau dalam penelitian ini adalah ibu yang memiliki anak usia
Barat
24
III.4 Kriteria Inklusi dan Ekslusi
- Responden merupakan orang tua yaitu Ibu dengan anak usia 2 – 5 tahun
Jawa Barat.
Dimana:
n = ukuran sampel
25
e = persen kelonggaran ketidaktelitian karena kesalahan pengambilan
sampel yang masih dapat ditolerir atau diinginkan, sebesar 10%
n= 572…….
1 + (572)(0,1)2
n = 85,1 = 85 orang
III.6 Variabel
Variabel bebas pada penelitian ini adalah pengetahuan ibu yang memiliki anak
usia 2 – 5 tahun mengenai anemia
26
III.7 Definisi Operasional Variabel
Kondisi gagal
- 1=
tumbuh pada anak
Mengalami
balita (Bayi
Stunting (< -2
dibawah lima
SD)
Stunting tahun) akibat dari Antropometri Nominal
- 2 = Tidak
kekurangan gizi
mengalami
sehingga anak
Stunting (> -2
terlalu pendek
SD)
untuk usianya.
Pengetahuan - 1 = memiliki
Nominal
Pengetahuan yang pengetahuan
di ketahui / di baik
Kuesioner
miliki responden - 2= memiliki
mengenai anemia. pengetahuan
tidak baik
- 1 = SD
Pendidikan yang
Pendidikan Ibu - 2 = SMP
terakhir dijalani Kuesioner Ordinal
- 3 = SMA
oleh ibu.
- 4 = S1
Perbedaan bentuk,
sifat, dan fungsi
biologi laki-laki
dan perempuan
- 1 = Laki – laki
yang menentukan
Jenis Kelamin Kuesioner - 2= Nominal
perbedaan peran
Perempuan
mereka dalam
menyelenggarakan
upaya meneruskan
garis keturunan.
27
III.8 Sumber Data
Sumber data penelitian merupakan data primer yang diperoleh dari pengukuran
antropometri pada anak dan pengisian kuesioner mengenai pengetahuan tentang anemia oleh
orang tua yang memiliki anak usia 2-5 tahun.
1) Alat tulis
3) Lembar kuesioner
4) Alat antropometri
28
III.11 Cara Pengumpulan Data
e. Membagikan lembar kuesioner kepada ibu yang memiliki anak usia 2-5 tahun
Data Pengolahan data dilakukan dengan sistem komputerisasi melalui beberapa proses
sebagai berikut:
1. Editing, untuk memastikan data yang di peroleh terisi semua atau lengkap dan dapat
dibaca dengan baik, relevan, serta konsisten.
2. Coding, dapat diperoleh dari sumber data yang sudah diperiksa kelengkapannya
kemudian dilakukan pengkodean sebelum diolah dengan komputer.
3. Entry data, data yang telah di coding diolah dengan bantuan progam komputer.
4. Cleaning, proses pengecekan kembali data yang sudah dientry apakah ada kesalahan
atau tidak.
5. Analisis data, proses pengolahan data serta menyusun hasil yang akan di laporkan.
Analisis data dilakukan dengan menggunakan prosedur analisis univariat yang
bertujuan untuk melihat hubungan antara variable penelitian.
Penyajian penelitian, data selanjutnya disajikan secara deskriptif dalam bentuk narasi,
teks, tabel dan grafik.
29
BAB IV
HASIL PENELITIAN
Stunting
Valid Cumulative
Frequency Percent Percent Percent
Valid Stunting 40 47.1 47.1 47.1
Tidak 45 52.9 52.9 100.0
Stunting
Total 85 100.0 100.0
Tabel 4. Jumlah Responden yang memiliki anak stunting
30
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan didapatkan gambaran sebanyak 47.1% (40
responden) memiliki pendidikan terakhir SMP. Sebanyak 30.6% (26 responden) memiliki
tingkat pendidikan terakhir SD, 20.0% (17 responden) memiliki pendidikan terakhir SMA dan
sebanyak 2.4% (2 responden) adalah Sarjana.
Pendidikan Ibu
Valid Cumulative
Frequency Percent Percent Percent
Valid SD 26 30.6 30.6 30.6
SMP 40 47.1 47.1 77.6
SMA 17 20.0 20.0 97.6
S1 2 2.4 2.4 100.0
Total 85 100.0 100.0
Tabel 5. Distribusi Tingkat Pendidikan Ibu
31
IV. I . 2 Analisis Univariat
1. Tingkat pengetahuan ibu yang memiliki anak usia 2 – 5 tahun tentang anemia di Desa
Mekarbakti, Kecamatan Pamulihan, Sumedang Jawa Barat tahun 2019.
Gambaran tingkat pengetahuan ibu yang memiliki anak usia 2 – 5 tahun tentang anemia
dibagi atas dua katagori yakni pengetahuan baik dan pengetahuan yang kurang baik.
Diagram 6. Distribusi Anak Usia 2-5 Tahun yang Mengalami Stunting Berdasarkan Tingkat
Pengetahuan Ibu
32
2. Distribusi anak usia 2 – 5 tahun yang mengalami stunting dan tidak stunting berdasarkan
jenis kelamin di Desa Mekarbakti, Sumedang, Jawa Barat tahun 2019.
Hasil penelitian menunjukkan terdapat 17 anak laki-laki (41.4%) yang mengalami stunting dan
24 anak laki-laki (58.5%) yang tidak stunting. Sebanyak 23 balita perempuan (52.3%)
mengalami stunting dan 21 balita perempuan (47.7%) yang tidak mengalami stunting
Tabel 7. Distribusi Anak Usia 2-5 Tahun yang Mengalami Stunting Berdasarkan Jenis Kelamin
Diagram 7. Distribusi Anak Usia 2-5 Tahun yang Mengalami Stunting Berdasarkan Jenis
Kelamin
33
3. Distribusi anak usia 2 – 5 tahun yang mengalami stunting dan tidak stunting berdasarkan
pendidikan terakhir ibu di Desa Mekarbakti, Sumedang, Jawa Barat tahun 2019.
Gambaran karakteristik pendidikan ibu yang memiliki anak usia 2 – 5 tahun yang mengalami
stunting dan tidak stunting dibagi menjadi empat katagori : SD, SMP, SMA dan Sarjana.
Tabel 8. Distribusi Anak Usia 2-5 Tahun yang Mengalami Stunting Berdasarkan Tingkat
Pendidikan Ibu
Diagram 8. Distribusi Anak Usia 2-5 Tahun yang Mengalami Stunting Berdasarkan Tingkat
Pengetahuan Ibu
34
IV. 2 . 1 Analisis Bivariat
Pada hasil analisis hubungan tingkat pengetahuan ibu yang memiliki anak usia 2 – 5
tahun tentang anemia terhadap angka kejadian stunting Desa Mekarbakti Sumedang Jawa Barat
tahun 2019 didapatkan P Value 0.794 ( P Value > 0.05 ). Sehingga dapat dikatakan bahwa
tingkat pengetahuan terhadap anemia tidak memiliki hubungan yang bermakna terhadap
kejadian stunting.
Correlations
SkorP Stunting
SkorP Pearson Correlation 1 .029
Sig. (2-tailed) .794
N 85 85
Stunting Pearson Correlation .029 1
Sig. (2-tailed) .794
N 85 85
Tabel 9. Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu tentang Anemia dengan Angka Kejadian Stunting
Diagram 9. Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu tentang Anemia dengan Angka Kejadian
Stunting
35
BAB V
PEMBAHASAN
V. 1 Karakteristik Responden
Namun hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan di India
pada tahun 2018 dimana angka kejadian stunting lebih tinggi pada
perempuan walaupun pada penelitian ini dikatakan bahwa angkat kejadian
stunting tidak berhubungan dengan jenis kelamin. 15
36
Berdasarkan tabel 8 didapatkan distribusi anak usia 2 – 5 tahun yang
mengalami stunting dan tidak stunting berdasarkan pendidikan ibu. Sebanyak
26 responden adalah ibu dengan pendidikan terakhir SD yang terdiri atas 12
anak (46.1%) stunting dan 14 anak (53.9%) tidak stunting. Pendidikan
terakhir SMP sebanyak 40 responden dengan 19 anak (47.5%) mengalami
stunting dan 21 anak (52.5%) tidak mengalami stunting. Sebanyak 17
responden memiliki pendidikan terakhir SMA yang terdiri atas 8 anak (47%)
stunting dan 9 anak (52%) tidak stunting. Sebanyak 2 responden adalah ibu
dengan pendidikan terakhir SI (Sarjana) yang terdiri atas 1 anak (50%)
stunting dan 1 anak (50%) tidak stunting. Berdasarkan hasil penelitian
didapatkan tingkat pendidikan ibu yang memiliki anak stunting terbanyak
adalah tingkat pendidikan SMP. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Wanda Lestari dkk pada tahun 2018 dimana didapatkan hasil
angka kejadian stunting tertinggi terjadi pada ibu dengan pendidikan rendah
(SD dan SMP).14
Namun penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Rahmawati tahun 2018 di Jakarta. Dimana didapatkan angka kejadian
stunting tertinggi terjadi pada ibu dengan pendidikan terakhir tinggi (SMA
dan Sarjana). 16
37
BAB VI
PENUTUP
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada 85 Ibu yang memiliki anak usia
2-5 tahun di Desa Mekarbakti Kabupaten Sumedang, Jawa Barat didapatkan hasil 40 responden
memiliki anak stunting dan 45 responden memiliki anak tidak stunting. Dari data tersebut
dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :
1. Tidak ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan ibu tentang anemia dengan
kejadian stunting di Desa Mekarbakti Kabupaten Sumedang, Jawa Barat.
2. Berdasarkan tingkat pengetahuan ibu tentang anemia didapatkan hasil angka kejadian
stunting tertinggi pada ibu yang memiliki pengetahuan yang baik tentang anemia
sebanyak 26 orang (48.1%) dan angka kejadian tidak stunting tertinggi pada ibu yang
memiliki pengetahuan yang baik tentang anemia sebanyak 28 orang (62%).
3. Berdasarkan gambaran pendidikan terakhir ibu yang memiliki anak usia 2-5 tahun
didapatkan hasil anak stunting terbanyak pada ibu yang memiliki tingkat pendidikan
SMP sebanyak 19 orang (47.5%) dan anak tidak stunting terbanyak pada ibu yang
memiliki tingkat pendidikan SMP sebanyak 21 orang (46.7%).
4. Berdasarkan jenis kelamin ditemukan paling banyak angka kejadian stunting pada
kelompok anak perempuan sebanyak 23 anak (52.3%). Dan kelompok anak yang tidak
stunting terbanyak pada anak laki-laki sebanyak 24 orang (58.5%).
6.2 Saran
Pada penelitian selanjutnya disarankan untuk meneliti lebih lanjut ada atau tidaknya
riwayat anemia pada ibu dengan anak yang mengalami stunting. Serta meneliti mengenai ada
tidaknya hubungan antara sikap dan perilaku ibu yang mengalami anemia dengan angka
kejadian stunting.
Sedangkan untuk instansi dan tenaga medis di Desa Mekarbakti disarankan untuk
melakukan penyuluhan mengenai anemia dan dampaknya terhadap tumbuh kembang anak
sebagai pencegahan terjadinya stunting. Lalu disarankan melakukan pengukuran antropometri
terhadap anak usia balita secara berkala. Dan apabila terdapat orang tua dan balita yang tidak
38
dapat hadir saat pengukuran antropometri bisa dilakukan kunjungan ke rumah untuk dilakukan
pengukuran.
Untuk masyarakat disarankan untuk lebih aktif mengikuti kegiatan penyuluan agar
dapat meningkatkan wawasan dalam mencegah terjadinya stunting.
39
DAFTAR PUSTAKA
40
13. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. Riset
kesehatan dasar (Riskesdas). Jakarta: Balitbang Kemenkes RI; 2013
14. Wanda L dkk. Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Stunting pada AnakSekolah
Dasar Negeri 014610 Sei Renggas Kecamatan Kisaran Barat Kabupaten Asahan. Jurnal
dunia Gizi Vol. 1 No. 1, Juni 2018:59-64
15. Singh R, dkk. Socio-demographic correlates of stunting among children in Port Blair,
India. Int J Community Med Public Health. Oktober 2018:5(10):4231-6
16. Rahmawati, dkk. Prevalensi dan Faktor Resiko Kejadian Stunting Remaja Akhir.
Window of Health: Jurnal Kesehatan.April 2018 vol.1 No.2
17. Gwavuya, Stanley, Conrad Murendo, Naomi Wekwete, Felicia Takavarasha, and
Nyasha Madzingira. 2014. Maternal Iron and Vitamin A Supplementation and the
Nutritional Status of Children in the 2010-2011 Zimbabwe Demographic and Health
Survey. DHS Working Papers No. 109 (Zimbabwe Working Papers No. 10). Rockville,
Maryland, USA: ICF International
18. Ramakrishnan, U., N. Aburto, G. McCabe, and R. Martorell. 2004. “Multimicronutrient
Interventions but Not Vitamin A or Iron Interventions Alone Improve Child Growth:
Results from Three MetaAnalyses.” Journal of Nutrition 134 (10): 2592–602.
41