Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Geologi merupakan ilmu yang membahas tentang sifat-sifat dan bahan-bahan


yang membentuk bumi, struktur, dan proses-proses yang bekerja, baik didalam
maupun diatas permukaan bumi, kedudukannya di Alam semesta serta sejarah
perkembangannya sejak bumi ini terbentuk hingga sekarang. Geologi dapat
digolongkan sebagai suatu ilmu pengetahuan yang komplek dan mempunyai
pembahasan materi yang beraneka ragam, Salah satu ilmu yang paling penting untuk
dipelajari dalam geologi adalah paleontologi.
Secara etimologi, paleontologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu paleos yang
berarti tua, ontos yang berarti hidup, dan logos yang mempunyai arti ilmu. Jadi
paleontologi adalah ilmu yang mempelajari tentang kehidupan dimasa lampau.
Kehidupan yang dipelajari disini termasuk evolusi dan interaksi satu dengan lainnya
serta lingkungan kehidupan (paleokologi) sejak bumi terbentuk, hingga saat ini.
Dalam mempelajari jejak kehidupan dan segala sesuatu yang terjadi di masa
lampau, para ahli paleontologi menggunakan fosil yang terawetkan secara alami di
dalam kerak bumi sebagai sumber utama penelitian. Jenis-jenis fosil pun beraneka
ragam, yang diklasifikasikan sesuai dengan taksonominya. Sebagai contohnya adalah
fosil dari Filum Protozoa dan Bryozoa.
Filum Protozoa dapat diartikan sebagai kelompok hewan-hewan bersel satu
yang lengkap, baik dalam susunan dan fungsinya. Sedangkan filum Bryozoa
dianggap sebagai tumbuhan karena bentuk dan karakteristik dari Bryozoa
menyerupai tumbuhan lumut. Pengetahuan mengemai hewan avertebrata yang hidup
di air merupakan salah satu ilmu dasar dalam mempelajari ilmu-ilmu dalam idang
paleontologi. Fosil dari kedua filum ini banyak digunakan untuk menentukan umur,
lingkungan pengendapan, iklim, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, sangat penting
bagi seorang mahasiswa geologi untuk mempelajari kedua filum ini.
1.2 Maksud dan Tujuan

Maksud dilaksanakannya praktikum ini adalah untuk mengenal fosil-fosil dari


Filum Protozoa dan Bryozoa berdasarkan hasil deskripsi.
Adapun tujuan dilaksankannya praktikum ini adalah:
1. Agar mahasiswa dapat mengetahui ciri-ciri Filum Protozoa dan Bryozoa
2. Agar mahasiswa dapat mengetahui klasifikasi dari Filum Protozoa dan
Bryozoa
3. Agar mahasiswa dapat mengidentifikasi fosil dari Filum Protozoa dan Bryozoa
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Protozoa

Protozoa berasal dari dua kata yaitu Protos yang berarti pertama dan Zoon
yang berarti hewan. Protozoa merupakan kelompok hewan yang paling pertama
hidup di permukaan bumi. Secara umum Protozoa dapat diartikan sebagai kelompok
hewan bersel satu yang hidup sendiri atau dalm bentuk koloni/kelompok. Tiap
Protozoa merupakan kesatuan yang lengkap, baik dalam susunan maupun dalam
fungsinya, kebanyakan ukuran tubuhnya terlalu kecil untuk dapat dilihat dengan
mata telanjang tetapi terlihat pada rata-rata mikroskop. (Asisten Paleontologi, 2019)
Protozoa hidup di air atau setidaknya di tempat yang basah. Mereka umumnya
hidup bebas dan terdapat di lautan, lingkungan air tawar, atau daratan. Beberapa
spesies bersifat parasitik, hidup pada organisme inang. Inang protozoa yang bersifat
parasit dapat berupa organisme sederhana seperti algae, sampai vertebrata yang
kompleks, termasuk manusia. Beberapa spesies dapat tumbuh di dalam tanah atau
pada permukaan tumbuh-tumbuhan. Semua protozoa memerlukan kelembaban yang
tinggi pada habitat apapun. Beberapa jenis protozoa laut merupakan bagian dari
zooplankton. Protozoa laut yang lain hidup di dasar laut. Spesies yang hidup di air
tawar dapat berada di danau, sungai, kolam, atau genangan air. Ada pula protozoa
yang tidak bersifat parasit yang hidup di dalam usus termit atau di dalam rumen
hewan ruminansia. (Wisetiawan, 2011)
Protozoa telah ditemukan hampir disetiap jenis lingkungan. Jika kondisi
lingkungan tempat hidupnya tidak menguntungkan, maka protozoa akan membentuk
membrane tebal dan kuat yang disebut kista. Protozoa sendiri juga merupakan
sumber makanan yang penting bagi makhluk hidup yang kebih besar dam banyak
dasar rantai makanan. (Asisten Paleontologi, 2019)
2.1.1 Ciri-Ciri Filum Protozoa

1. Protozoa merupakan hewan-hewan yang bersel satu, dan terdiri dari atas
sebuah atau beberapa buah inti yang dikelilingi oleh protoplasma.
2. Pada filum Protozoa belum dapat diadakan pembagian badannya seperti biasa
dilakukan atas jasad hidup lainnya.
3. Protozoa merupakan hewan yang dapat hidup dalam segala lingkungan, yaitu
lingkungan laut, rawa-rawa, lingkungan anaerob, bahkan dapat hidup pada
usus-usus manusia, seperti golongan bakteri
4. Jumlahnya jauh melebihi jumlah hewan dari filum manapun.
5. Umumnya protozoa merupakan jasad hidup yang kecil, dengan ukuran rata-rata
satu mikro sampai beberapa millimeter. Tetapi diantaranya ada juga yang
melebihi 75 mm, seperti genus Fusulina.
6. Perkembangbiakan protozoa dapat secara seksual maupun aseksual.
7. Protozoa sebagian mencakup hewan, sebagian mencakup tumbuh-tumbuha.
8. Protozoa pada umunya hidup secara koloni.
9. Protozoa yang masih hidup terdiri dari cangkang dan dibagian luar ataupun
pada bagian dalam cangkangnya terdapat Protoplasma. Protozoa yang ada
diluar cangkang disebut endoplasa. (KEMENDIKBUD, 2014)

2.1.2 Klasifikasi Filum Protozoa

Berdasarkan alat geraknya, protozoa dibedakan menjadi :


1. Klas Rhizopoda
Bergerak dengan kaki semu (pseudopodia) yang merupakan penjuluran
protoplasma sel. Hidup di air tawar, air laut, tempat-tempat basah, dan sebagian ada
yang hidup dalam tubuh hewan atau manusia. Jenis yang paling mudah diamati
adalah Amoeba. (Asisten Paleontologi, 2019)
2. Klas Mastighopora
Klas ini bergerak menggunakan flagel (semacam rambut) hidupnya bebas, dan
ada juga yang sebagai protozoa parasite. Spesies dari kelas ini hidup di air tawar
maupun asin, pada umumnya secara platonic maupun bentonik. Pada umunya
bagian-bagian yang keras. Hanya berupa buah saja yang memiliki bagian-bagian
yang keras sebagai zat pelindung, yang terdiri dari zat kapur dan zat silica. (Asisten
Paleontologi, 2019)
3. Klas Ciliata
Bentuk cangkang dari kelas ini sangat bermacam-macam. Cara bergeraknya
dengan menggunakan semacam rambut pendek (cillia). Klas ini sangat sedikit
dijumpai fosil-foilnya, sehingga dalam paleontology tidak dibicarakan tentang fosil-
fosilnya dan klasifikasinya meruakan kelas terbesar dari protozoa. Ciliate adalah
hewan yang berbulu getar. Silla berfungsi untuk bergerak. Menangkap makanan dan
untuk menerima rangsangan dari lingkungan. Habitat banyak di tempat berair.
Mempunyai bentuk tubuh yang tetap dan oval. Beberapa contoh kelas Paramecium
Caudatum. (KEMENDIKBUD, 2014)
4. Klas Sporozoa
Hewan ini merupakan golongan protozoa yang pasif, artinya tidak mempunyai
alat penggerak tertentu. Golongan ini juga tidak dibicarakan klasifikasinya, karena
sangat sedikit dijumpai fosil-fosilnya. (KEMENDIKBUD, 2014)
Klas Sporozoa tidak memiliki alat gerak khusus, menghasilkan spora
(sporozoid) sebagai cara perkembang biakannya. Sporozoid memiliki organel-
organel kompleks pada salah satu ujung (apex) selnya yang dikhususkan untuk
menembus sel dan jaringan inang. (Asisten Paleontologi, 2019)
5. Klas Sarcodina
Cara bergeraknya golongan ini menggunakan kaki palsu atau pseudopodia.
Dalam klas ini sangat banyak dijumpai fosil-fosilnya. Klas Sarcodina dapat hidup
dalam air tawar maupun air laut. Sedangkan cara hidupnya dapat secara soliter
maupun koloni. Karena pada kelas ini banyak dijumpai fosil-fosilnya, maka klas
inilah yang akan dipelajari dalam paleontologi.
Jenis ini umumnya tidak mempunyai dinding (selaput), bentuknya dapat
berubah-ubah oleh adanya pseudopodia. Hampir semua klas sarcodina memiliki satu
sel, tetapi beberapa spesies dari Hicetozoa dan Foraminifera berinti banya (multi
nucleus). (KEMENDIKBUD, 2014)
2.1.3 Bagian Tubuh

Gambar 2.1 Bagian tubuh Klas Rhizopoda

Gambar 2.2 Bagian tubuh Klas Flagellata

Gambar 2.3 Bagian tubuh Klas Cilliata


2.1.4 Manfaat Fosil Filum Protozoa

Dalam bidang geologi fosil dari kelompok protozoa berguna untuk :


1. Menentukan umur relatif batuan sedimen
2. Memberikan data kondisi lingkungan pada masa lampau
3. Membantu dalam eksplorasi minyak
4. Merekonstruksi lingkungan pengendapan
5. Membantu dalam proses penentuan stratigrafi suatu daerah
(Asisten Paleontologi, 2019)

2.2 Bryozoa

Dahulu Bryozoa dianggap oleh masyarakat awam sebagai salah satu jenis
tumbuhan yang hidup di perairan. Namun, setelah dilakukan beberapa penelitian
diketahui bahwa Bryozoa merupakan sekumpulan hewan yang berukuran
mikroskopis yang hidup berkoloni di perairan. Dalam bahasa Yunani, Bryozoa,
bryon berarti lumut dan zoon berarti hewan. Sehingga Bryozoa dikatakan juga
sebagai sekumpulan hewan yang menyerupai lumut. Selain disebut dengan Bryozoa,
hewan ini biasa disebut juga Polyzoa yang berarti binatang laut atau air tawar yang
membentuk koloni dari zooid dan Ectroprocta yang berarti hewan dengan anus
berada di luar.
Bryozoa dapat ditemukan di laut dan beberapa jenis dapat ditemukan di
perairan dangkal yang subur dan jernih. Bryozoa hidup dengan cara menempelkan
diri pada batu, benda, atau tumbuhan lain yang berada di perairan. (Eldin, 2018)

2.2.1 Ciri-ciri Bryozoa

Secara umum, filum Bryozoa memiliki ciri sebagai berikut :


1. Hidup berkoloni dan hidup bebas di air laut
2. Mirip dengan koral, bunga karang dan algae
3. Umumnya memiliki kerangka keras yang membatu
4. Biasanya sering ditemukan dibebatuan
5. Memiliki lubang-lubang kecil dipermukaan tubuhnya
6. Variasi bentuk tubuhnya bermacam-macam misalnya, bentuk ranting, bentuk
bercabang, dan menyerupai tenda (Asisten Paleontologi, 2019)

2.1.2 Klasifikasi Filum Bryozoa

Klasifikasi Bryozoa dibagi berdasarkan bentuk lophohore. Lophophore


berfungsi sebagai alat penangkap makanan bersuspensi dan terdapat tentakel bersilia
di sekelilingnya. Bryozoa dibagi atas tiga kelas, yaitu :
1. Phylactolaemata (Lophophore tapal kuda)
Phylactolaemata adalah salah satu kelas dari filum Bryozoa yang memiliki
bentuk lophophore seperti tapal kuda dan salah satu jenis Bryozoa yang hidup di air
tawar. Selain itu, kelas ini hanya memiliki satu ordo yaitu Plumatellina. Ciri lain
yang dimiliki kelas Phylactolaemata adalah memiliki epistoma dan dinding tubuh
berotot.
Kelas Phylactolaemata membentuk koloni atas bentuk yang sama. Hal ini
disebabkan kelas Phylactolaemata dapat menghasilkan statoblast yang berfungsi
untuk menghasilkan spesies yang sama.
2. Gymnolaemata (Lophophore lingkaran)
Gymnolaemata adalah kelas yang kedua pada filum Bryozoa. Pada kelas ini
lophophore berbentuk lingkaran dengan tentakel mengelilingi sekitar lophophore.
Tidak seperti kelas sebelumnya, kelas ini tidak memiliki epistoma dan tidak berotot
pada dinding tubuhnya. Selain itu, saat membentuk koloni kelas Gymnolaemata
cenderung memiliki bentuk yang beragam. Hewan ini terdiri lebih dari 3000 spesies
dan kebanyakan hidup di laut. Kelas Gymnolaemata memiliki dua ordo, yaitu
Ctenomata dan Cheilostomata.
3. Stenolaemata (Lophophore gelang)
Stenolaemata merupakan satu-satunya kelas Bryozoa yang memiliki banyak
ordo, yaitu Ordo Cyclostomata atau Tubulipora, Ordo Cystoporata, Ordo
Stomatopora, Ordo Cryptostomata, Ordo Trepostomatida dan Ordo Fenestrata.
Stenolaemata memiliki lophopore berbentuk seperti gelang. Spesies pada kelas
ini hanya dapat ditemukan di laut dan koloni berbentuk seperti terumbu karang.
(Eldin, 2018)
2.2.3 Bagian Tubuh

Gambar 2.4 Bagian-bagian tubuh Bryozoa

2.2.4 Manfaat Fosil Filum Bryozoa

Dalam bidang geologi fosil dari kelompok Filum Bryozoa dapat dimanfaatkan
untuk menganalisa kondisi lau pada masa lampau. Kondisi arus laut asupan nutrisi
dan suhu laut sangat mempengaruhi bentuk tubuh, ukuran, serta tingkat kepadatan
populasi dalam Filum Bryozoa semasa hidupnya, melalui data ini para ahli dapat
memperkiraan lingkungan dan kondisi laut masa lampau dari tempat hidup fosil
Filum Bryozoa yang di temukan. (Asisten Paleontologi, 2019)
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Metode Peneletian

Metode yang dilakukan pada acara 2 Protozoa dan Bryozoa ini adalah dengan
melakukan praktikum secara langsung. Data diambil melalui hasil pengamatan dan
deskripsi sampel fosil.

3.2 Tahapan Praktikum

Tahapan praktikum paleontologi acara pengenalan fosil adalah :


1. Tahapan Pendahuluan
Pada tahap ini seluruh praktikan diwajibkan untuk mengikut asistensi acara.
Dalam kegiatan ini, asisten memberikan materi mengenai pengenalan fosil, alat dan
bahan yang yang harus dipersiapkan, hal-hal yang akan dilakukan selama praktikum,
serta tugas pendahuluan yang harus dikerjakan dan dikumpulkan seluruh praktikan
sebelum mengikuti praktikum. Tugas pendahuluan ini berupa bab satu, dua, dan tiga
yang akan digunakan untuk kelengkapan laporan.
2. Tahap Praktikum
Sebelum praktikum dilaksanakan, asisten akan memberikan arahan mengenai
apa-apa saja yang harus dilakukan selama praktikum. Lalu praktikum dimulai dengan
pendeskripsian sampel fosil menurut taksonomi, proses pemfosilan, bentuk,
komposisi kimia, umur dan lingkungan pengendepan, yang ditulis di lembar kerja
praktikum, disertai dengan sketsa gambar.
3. Pembuatan laporan
Bab-bab yang menjadi tugas pendahuluan akan di perbaiki dan dilengkapi,
kemudian disusun menjadi laporan.
Gambar 3.1 Flow Chart Tahapan Praktikum

Tahap Pendahuluan

Tahap Praktikum

Pembuatan Laporan

3.3 Alat Dan Bahan

Adapun alat dan bahan yang digunakan pada praktikum ini adalah sebagai
berikut :
1. Alat Tulis
2. Sampel fosil
3. Lembar kerja praktikum
4. Lap kasar dan halus
5. Literatur
6. HCL
BAB IV
PEMBAHASAN

3.1 Sampel 1331

Gambar 4.1 Sphaerocodium leoleni WAGNER

Sphaerocodium leoleni WAGNER termasuk dalam filum Protozoa, Kelas


Sphaerocodium, Famili Sphaerocodiumidae. Fosil ini berbentuk globular, dimana
bentuknya bulat menyerupai bola. Setelah ditetesi dengan larutan HCL 0.1 M, fosil
ini bereaksi yang ditandai dengan adanya buih-buih pada daerah yang ditetesi HCL
0.1 M tersebut. Dari hal ini dapat diketahui bahwa terdapat kandungan kalsium
karbonat (CaCo3) pada fosil ini. Berdasarkan komposisi kimianya, maka dapat
ditarik kesimpulan bahwa fosil ini terendapkan pada lingkungan laut dangkal.
Proses pemfosilan fosil ini dimulai ketika organisme tersebut mati. Kemudian
jaringan tubuhnya yang tidak resisten akan mengalami pembusukan, menyisakan
bagian tubuhnya yang lebih resisten. Organisme ini kemudian akan tertransportasi
oleh air, angin, atau glatser, bersama dengan material sedimen, hingga sampai di
daerah lebih rendah yang relatif kedudukannya berupa cekungan. Selama proses
transportasi ini, beberapa unsur mineral sekunder yang lebih resisten akan mengisi
ruang antar sel. Adanya ruang-ruang ini disebabkan oleh tidak resistennya beberapa
meterial-material yang ada pada tubuh organisme tersebut terhadap pelapukan.
Setelah organisme dan material sedimen ini sampai disebuah cekungan, seiring
berjalannya waktu, akumulasi material sedimen akan menumpuk diatas organisme
secara bertahap dan menutupi organisme tersebut. Setelah berjuta-juta tahun, seiring
dengan bertambahnya material-material sedimen, maka tekanan yang dialami
organisme ini juga ikut bertambah. Tekanan yang besar ini akan mengakibatkan
material-material sedimen mengalami pemadatan (kompaksi) dan terjadi secara terus
menerus selama jutaan tahun hingga material ini tersementasi dan pada akhirnya
mengalami pembatuan (litifikasi). Proses pemfosilan yang terjadi adalah
permineralisasi, dimana terdapat proses perubahan mineral penyusun fosil oleh
mineral lain seperti silika (SiO2), kalsium karbonat (CaCo3), atau besi sulfida (FeS).
Dengan adanya proses ini, fosil akan menjadi lebih berat dan lebih awet.
Karena mengalami penimbunan, maka organisme yang telah menjadi fosil
tersebut tidak dapat muncul dipermukaan. Diperkirakan karena adanya gaya endogen
dan eksogen, yang dimana gaya endogen berupa aktifitas tektonik, menyebabkan
batuan sedimen yang telah terbentuk tersebut terangkat ke atas permukaan, lalu
kemudian terkena gaya eksogen berupa degradasi (pelapukan batuan, gerakan massa
batuan dan/atau erosi) menyebabkan fosil ini tampak dipermukaan.
Dalam skala waktu geologi, diperkirakan fosil ini berumur Trias tengah yaitu
antara 230-225 juta tahun yang lalu. Kegunaan fosil ini adalah sebagai bukti adanya
kehidupan pada zaman Jurasik tengah, untuk menentukan umur relatif batuan,
penentuan lingkungan tempat fosil tersebut diendapkan, untuk mengkorelasi batuan,
dan penentu iklim pada saat pembentukan batuan sedimen.

3.2 Sampel 121

Gambar 4.2 Fusulina alpina


Fusulina alpina termasuk dalam filum Protoza, Kelas Fusulina, Famili
Fusulinanide, Ordo Foraminifera, dan termasuk dalam genus Sarcodina. Fosil ini
berbentuk Plate, dimana kenampakannya fosilnya pipih. Setelah ditetesi dengan
larutan HCL 0.1 M, fosil ini bereaksi yang ditandai dengan adanya buih-buih pada
daerah yang ditetesi HCL 0.1 M tersebut. Dari hal ini dapat diketahui bahwa terdapat
kandungan kalsium karbonat (CaCo3) pada fosil ini. Berdasarkan komposisi
kimianya, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa fosil ini terendapkan pada
lingkungan laut dangkal.
Proses pemfosilan fosil ini dimulai ketika organisme tersebut mati. Kemudian
jaringan tubuhnya yang tidak resisten akan mengalami pembusukan, menyisakan
bagian tubuhnya yang lebih resisten. Organisme ini kemudian akan tertransportasi
oleh air, angin, atau glatser, bersama dengan material sedimen, hingga sampai di
daerah lebih rendah yang relatif kedudukannya berupa cekungan. Selama proses
transportasi ini, beberapa unsur mineral sekunder yang lebih resisten akan mengisi
ruang antar sel. Adanya ruang-ruang ini disebabkan oleh tidak resistennya beberapa
meterial-material yang ada pada tubuh organisme tersebut terhadap pelapukan.
Setelah organisme dan material sedimen ini sampai disebuah cekungan, seiring
berjalannya waktu, akumulasi material sedimen akan menumpuk diatas organisme
secara bertahap dan menutupi organisme tersebut. Setelah berjuta-juta tahun, seiring
dengan bertambahnya material-material sedimen, maka tekanan yang dialami
organisme ini juga ikut bertambah. Tekanan yang besar ini akan mengakibatkan
material-material sedimen mengalami pemadatan (kompaksi) dan terjadi secara terus
menerus selama jutaan tahun hingga material ini tersementasi dan pada akhirnya
mengalami pembatuan (litifikasi). Proses pemfosilan yang terjadi adalah karbonisasi,
dimana bahan-bahan organik organisme tersebut dilarutkan keluar oleh suatu
aktivitas tertentu yang mengakibatkan yang mengakibatkan terbentuknya cetakan
karbondioksida.
Karena mengalami penimbunan, maka organisme yang telah menjadi fosil
tersebut tidak dapat muncul dipermukaan. Diperkirakan karena adanya gaya endogen
dan eksogen, yang dimana gaya endogen berupa aktifitas tektonik, menyebabkan
batuan sedimen yang telah terbentuk tersebut terangkat ke atas permukaan, lalu
kemudian terkena gaya eksogen berupa degradasi (pelapukan batuan, gerakan massa
batuan dan/atau erosi) menyebabkan fosil ini tampak dipermukaan.
Dalam skala waktu geologi, diperkirakan fosil ini berumur karbon atas yaitu
antara 290-261 juta tahun yang lalu. Kegunaan fosil ini adalah sebagai bukti adanya
kehidupan pada zaman Jurasik bawah, untuk menentukan umur relatif batuan,
penentuan lingkungan tempat fosil tersebut diendapkan, untuk mengkorelasi batuan,
dan penentu iklim pada saat pembentukan batuan sedimen.

3.3 Sampel 948

Gambar 4.3 Nummulites millecaput BOUBEE

Nummulites millecaput BOUBEE termasuk dalam filum Protozoa, Kelas


Sarcodina, Ordo Foraminifera, Famili Nummulitesidae, dan termasuk dalam genus
Nummulites. Fosil ini berbentuk plate, dimana kenampakannya fosilnya pipih.
Setelah ditetesi dengan larutan HCL 0.1 M, fosil ini bereaksi yang ditandai dengan
adanya buih-buih pada daerah yang ditetesi HCL 0.1 M tersebut. Dari hal ini dapat
diketahui bahwa terdapat kandungan kalsium karbonat (CaCo3) pada fosil ini.
Berdasarkan komposisi kimianya, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa fosil ini
terendapkan pada lingkungan laut dangkal.
Proses pemfosilan fosil ini dimulai ketika organisme tersebut mati. Kemudian
jaringan tubuhnya yang tidak resisten akan mengalami pembusukan, menyisakan
bagian tubuhnya yang lebih resisten. Organisme ini kemudian akan tertransportasi
oleh air, angin, atau glatser, bersama dengan material sedimen, hingga sampai di
daerah lebih rendah yang relatif kedudukannya berupa cekungan. Selama proses
transportasi ini, beberapa unsur mineral sekunder yang lebih resisten akan mengisi
ruang antar sel. Adanya ruang-ruang ini disebabkan oleh tidak resistennya beberapa
meterial-material yang ada pada tubuh organisme tersebut terhadap pelapukan.
Setelah organisme dan material sedimen ini sampai disebuah cekungan, seiring
berjalannya waktu, akumulasi material sedimen akan menumpuk diatas organisme
secara bertahap dan menutupi organisme tersebut. Setelah berjuta-juta tahun, seiring
dengan bertambahnya material-material sedimen, maka tekanan yang dialami
organisme ini juga ikut bertambah. Tekanan yang besar ini akan mengakibatkan
material-material sedimen mengalami pemadatan (kompaksi) dan terjadi secara terus
menerus selama jutaan tahun hingga material ini tersementasi dan pada akhirnya
mengalami pembatuan (litifikasi). Proses pemfosilan yang terjadi adalah
permineralisasi, dimana terdapat proses perubahan mineral penyusun fosil oleh
mineral lain seperti silika (SiO2), kalsium karbonat (CaCo3), atau besi sulfida (FeS).
Dengan adanya proses ini, fosil akan menjadi lebih berat dan lebih awet.
Karena mengalami penimbunan, maka organisme yang telah menjadi fosil
tersebut tidak dapat muncul dipermukaan. Diperkirakan karena adanya gaya endogen
dan eksogen, yang dimana gaya endogen berupa aktifitas tektonik, menyebabkan
batuan sedimen yang telah terbentuk tersebut terangkat ke atas permukaan, lalu
kemudian terkena gaya eksogen berupa degradasi (pelapukan batuan, gerakan massa
batuan dan/atau erosi) menyebabkan fosil ini tampak dipermukaan.
Dalam skala waktu geologi, diperkirakan fosil ini berumur Eosen tengah yaitu
antara 40-55 juta tahun yang lalu. Kegunaan fosil ini adalah sebagai bukti adanya
kehidupan pada zaman Eosen bawah, untuk menentukan umur relatif batuan,
penentuan lingkungan tempat fosil tersebut diendapkan, untuk mengkorelasi batuan,
dan penentu iklim pada saat pembentukan batuan sedimen.
3.4 Sampel 89

Gambar 4.4 Phylloporina furcate EICHW

Phylloporina furcate EICHW termasuk dalam filum Bryozoa, Kelas


Stenolaemata, Ordo Phyllopedia, Famili Phylloporinanidae, dan termasuk dalam
genus Phylloporina. Fosil ini berbentuk brenching, dimana kenampakannya
bercabang menyerupai koral. Setelah ditetesi dengan larutan HCL 0.1 M, fosil ini
bereaksi yang ditandai dengan adanya buih-buih pada daerah yang ditetesi HCL 0.1
M tersebut. Dari hal ini dapat diketahui bahwa terdapat kandungan kalsium karbonat
(CaCo3) pada fosil ini. Berdasarkan komposisi kimianya, maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa fosil ini terendapkan pada lingkungan laut dangkal.
Proses pemfosilan fosil ini dimulai ketika organisme tersebut mati. Kemudian
jaringan tubuhnya yang tidak resisten akan mengalami pembusukan, menyisakan
bagian tubuhnya yang lebih resisten. Organisme ini kemudian akan tertransportasi
oleh air, angin, atau glatser, bersama dengan material sedimen, hingga sampai di
daerah lebih rendah yang relatif kedudukannya berupa cekungan. Selama proses
transportasi ini, beberapa unsur mineral sekunder yang lebih resisten akan mengisi
ruang antar sel. Adanya ruang-ruang ini disebabkan oleh tidak resistennya beberapa
meterial-material yang ada pada tubuh organisme tersebut terhadap pelapukan.
Setelah organisme dan material sedimen ini sampai disebuah cekungan,
seiring berjalannya waktu, akumulasi material sedimen akan menumpuk diatas
organisme secara bertahap dan menutupi organisme tersebut. Setelah berjuta-juta
tahun, seiring dengan bertambahnya material-material sedimen, maka tekanan yang
dialami organisme ini juga ikut bertambah. Tekanan yang besar ini akan
mengakibatkan material-material sedimen mengalami pemadatan (kompaksi) dan
terjadi secara terus menerus selama jutaan tahun hingga material ini tersementasi dan
pada akhirnya mengalami pembatuan (litifikasi). Proses pemfosilan yang terjadi
adalah mineralisasi, dimana terjadi proses pergantian seluruh mineral penyusun fosil
oleh mineral lain seperti silika (SiO2), kalsium karbonat (CaCo3), atau besi sulfida
(FeS). Proses ini adalah kelanjutan dari proses permineralisasi. Dengan adanya
proses ini, fosil akan menjadi lebih berat dan lebih awet.
Karena mengalami penimbunan, maka organisme yang telah menjadi fosil
tersebut tidak dapat muncul dipermukaan. Diperkirakan karena adanya gaya endogen
dan eksogen, yang dimana gaya endogen berupa aktifitas tektonik, menyebabkan
batuan sedimen yang telah terbentuk tersebut terangkat ke atas permukaan, lalu
kemudian terkena gaya eksogen berupa degradasi (pelapukan batuan, gerakan massa
batuan dan/atau erosi) menyebabkan fosil ini tampak dipermukaan.
Dalam skala waktu geologi, diperkirakan fosil ini berumur ordovisium yaitu
antara 500-435 juta tahun yang lalu. Kegunaan fosil ini adalah sebagai bukti adanya
kehidupan pada zaman Eosen tengah, untuk menentukan umur relatif batuan,
penentuan lingkungan tempat fosil tersebut diendapkan, untuk mengkorelasi batuan,
dan penentu iklim pada saat pembentukan batuan sedimen.

3.5 Sampel 1608

Gambar 4.5 Micraster coranginum LESKE


Odontobelus tripartitus gracilus A. termasuk dalam filum Protozoa, Famili
Odontobelusidae, dan termasuk dalam genus Odontobelus.. Fosil ini berbentuk
globular, dimana kenampakannya menyerupai bola. Setelah ditetesi dengan larutan
HCL 0.1 M, fosil ini bereaksi yang ditandai dengan adanya buih-buih pada daerah
yang ditetesi HCL 0.1 M tersebut. Dari hal ini dapat diketahui bahwa terdapat
kandungan kalsium karbonat (CaCo3) pada fosil ini. Berdasarkan komposisi
kimianya, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa fosil ini terendapkan pada
lingkungan laut dangkal.
Proses pemfosilan fosil ini dimulai ketika organisme tersebut mati. Kemudian
jaringan tubuhnya yang tidak resisten akan mengalami pembusukan, menyisakan
bagian tubuhnya yang lebih resisten. Organisme ini kemudian akan tertransportasi
oleh air, angin, atau glatser, bersama dengan material sedimen, hingga sampai di
daerah lebih rendah yang relatif kedudukannya berupa cekungan. Selama proses
transportasi ini, beberapa unsur mineral sekunder yang lebih resisten akan mengisi
ruang antar sel. Adanya ruang-ruang ini disebabkan oleh tidak resistennya beberapa
meterial-material yang ada pada tubuh organisme tersebut terhadap pelapukan.
Setelah organisme dan material sedimen ini sampai disebuah cekungan,
seiring berjalannya waktu, akumulasi material sedimen akan menumpuk diatas
organisme secara bertahap dan menutupi organisme tersebut. Setelah berjuta-juta
tahun, seiring dengan bertambahnya material-material sedimen, maka tekanan yang
dialami organisme ini juga ikut bertambah. Tekanan yang besar ini akan
mengakibatkan material-material sedimen mengalami pemadatan (kompaksi) dan
terjadi secara terus menerus selama jutaan tahun hingga material ini tersementasi dan
pada akhirnya mengalami pembatuan (litifikasi). Proses pemfosilan yang terjadi
adalah mineralisasi, dimana terjadi proses pergantian seluruh mineral penyusun fosil
oleh mineral lain seperti silika (SiO2), kalsium karbonat (CaCo3), atau besi sulfida
(FeS). Proses ini adalah kelanjutan dari proses permineralisasi. Dengan adanya
proses ini, fosil akan menjadi lebih berat dan lebih awet.
Karena mengalami penimbunan, maka organisme yang telah menjadi fosil
tersebut tidak dapat muncul dipermukaan. Diperkirakan karena adanya gaya endogen
dan eksogen, yang dimana gaya endogen berupa aktifitas tektonik, menyebabkan
batuan sedimen yang telah terbentuk tersebut terangkat ke atas permukaan, lalu
kemudian terkena gaya eksogen berupa degradasi (pelapukan batuan, gerakan massa
batuan dan/atau erosi) menyebabkan fosil ini tampak dipermukaan.
Dalam skala waktu geologi, diperkirakan fosil ini berumur Jura bawah yaitu
antara 215-195 juta tahun yang lalu. Kegunaan fosil ini adalah sebagai bukti adanya
kehidupan pada zaman Kapur atas, untuk menentukan umur relatif batuan,
penentuan lingkungan tempat fosil tersebut diendapkan, untuk mengkorelasi batuan,
dan penentu iklim pada saat pembentukan batuan sedimen.

3.6 Sampel 459

Gambar 4.6 Favosites polymorphus GOLDF-

Favosites polymorphus GOLDF termasuk dalam filum Bryozoa, famili


Favositesidae, dan termasuk dalam genus Favositesi. Fosil ini berbentuk brenching,
dimana bentuknya bercabang menyerupai koral. Setelah ditetesi dengan larutan HCL
0.1 M, fosil ini bereaksi yang ditandai dengan adanya buih-buih pada daerah yang
ditetesi HCL 0.1 M tersebut. Dari hal ini dapat diketahui bahwa terdapat kandungan
kalsium karbonat (CaCo3) pada fosil ini. Berdasarkan komposisi kimianya, maka
dapat ditarik kesimpulan bahwa fosil ini terendapkan pada lingkungan laut dangkal.
Proses pemfosilan fosil ini dimulai ketika organisme tersebut mati. Kemudian
jaringan tubuhnya yang tidak resisten akan mengalami pembusukan, menyisakan
bagian tubuhnya yang lebih resisten. Organisme ini kemudian akan tertransportasi
oleh air, angin, atau glatser, bersama dengan material sedimen, hingga sampai di
daerah lebih rendah yang relatif kedudukannya berupa cekungan. Selama proses
transportasi ini, beberapa unsur mineral sekunder yang lebih resisten akan mengisi
ruang antar sel. Adanya ruang-ruang ini disebabkan oleh tidak resistennya beberapa
meterial-material yang ada pada tubuh organisme tersebut terhadap pelapukan.
Setelah organisme dan material sedimen ini sampai disebuah cekungan, seiring
berjalannya waktu, akumulasi material sedimen akan menumpuk diatas organisme
secara bertahap dan menutupi organisme tersebut. Setelah berjuta-juta tahun, seiring
dengan bertambahnya material-material sedimen, maka tekanan yang dialami
organisme ini juga ikut bertambah. Tekanan yang besar ini akan mengakibatkan
material-material sedimen mengalami pemadatan (kompaksi) dan terjadi secara terus
menerus selama jutaan tahun hingga material ini tersementasi dan pada akhirnya
mengalami pembatuan (litifikasi). Proses pemfosilan yang terjadi adalah
permineralisasi, dimana terdapat proses perubahan mineral penyusun fosil oleh
mineral lain seperti silika (SiO2), kalsium karbonat (CaCo3), atau besi sulfida (FeS).
Dengan adanya proses ini, fosil akan menjadi lebih berat dan lebih awet.
Karena mengalami penimbunan, maka organisme yang telah menjadi fosil
tersebut tidak dapat muncul dipermukaan. Diperkirakan karena adanya gaya endogen
dan eksogen, yang dimana gaya endogen berupa aktifitas tektonik, menyebabkan
batuan sedimen yang telah terbentuk tersebut terangkat ke atas permukaan, lalu
kemudian terkena gaya eksogen berupa degradasi (pelapukan batuan, gerakan massa
batuan dan/atau erosi) menyebabkan fosil ini tampak dipermukaan.
Dalam skala waktu geologi, diperkirakan fosil ini berumur devon tengah yaitu
antara 395-370 juta tahun yang lalu. Kegunaan fosil ini adalah sebagai bukti adanya
kehidupan pada zaman Karbon atas, untuk menentukan umur relatif batuan,
penentuan lingkungan tempat fosil tersebut diendapkan, untuk mengkorelasi batuan,
dan penentu iklim pada saat pembentukan batuan sedimen.
3.7 Sampel 678

Gambar 4.7 Thecosmilia annularis FLEM.

Thecosmilia annularis FLEM termasuk dalam Filum Bryozoa, Kelas


Stenoloemata, Famili Thecosmilianidae, dan termasuk dalam Thecosmilia. Fosil ini
berbentuk tabular, dimana kenampakannya menyerupai tabung. Setelah ditetesi
dengan larutan HCL 0.1 M, fosil ini tidak bereaksi. Dari hal ini dapat diketahui
bahwa terdapat kandungan Silika (SiO2) pada fosil ini. Berdasarkan komposisi
kimianya, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa fosil ini terendapkan pada
lingkungan laut dalam
Proses pemfosilan fosil ini dimulai ketika organisme tersebut mati. Kemudian
jaringan tubuhnya yang tidak resisten akan mengalami pembusukan, menyisakan
bagian tubuhnya yang lebih resisten. Organisme ini kemudian akan tertransportasi
oleh air, angin, atau glatser, bersama dengan material sedimen, hingga sampai di
daerah lebih rendah yang relatif kedudukannya berupa cekungan. Selama proses
transportasi ini, beberapa unsur mineral sekunder yang lebih resisten akan mengisi
ruang antar sel. Adanya ruang-ruang ini disebabkan oleh tidak resistennya beberapa
meterial-material yang ada pada tubuh organisme tersebut terhadap pelapukan.
Setelah organisme dan material sedimen ini sampai disebuah cekungan, seiring
berjalannya waktu, akumulasi material sedimen akan menumpuk diatas organisme
secara bertahap dan menutupi organisme tersebut. Setelah berjuta-juta tahun, seiring
dengan bertambahnya material-material sedimen, maka tekanan yang dialami
organisme ini juga ikut bertambah. Tekanan yang besar ini akan mengakibatkan
material-material sedimen mengalami pemadatan (kompaksi) dan terjadi secara terus
menerus selama jutaan tahun hingga material ini tersementasi dan pada akhirnya
mengalami pembatuan (litifikasi). Proses pemfosilan yang terjadi adalah
permineralisasi, dimana terdapat proses perubahan mineral penyusun fosil oleh
mineral lain seperti silika (SiO2), kalsium karbonat (CaCo3), atau besi sulfida (FeS).
Dengan adanya proses ini, fosil akan menjadi lebih berat dan lebih awet.
Karena mengalami penimbunan, maka organisme yang telah menjadi fosil
tersebut tidak dapat muncul dipermukaan. Diperkirakan karena adanya gaya endogen
dan eksogen, yang dimana gaya endogen berupa aktifitas tektonik, menyebabkan
batuan sedimen yang telah terbentuk tersebut terangkat ke atas permukaan, lalu
kemudian terkena gaya eksogen berupa degradasi (pelapukan batuan, gerakan massa
batuan dan/atau erosi) menyebabkan fosil ini tampak dipermukaan.
Dalam skala waktu geologi, diperkirakan fosil ini berumur Jura atas yaitu
antara 176-160 juta tahun yang lalu. Kegunaan fosil ini adalah sebagai bukti adanya
kehidupan pada zaman Devon atas, untuk menentukan umur relatif batuan,
penentuan lingkungan tempat fosil tersebut diendapkan, untuk mengkorelasi batuan,
dan penentu iklim pada saat pembentukan batuan sedimen.

3.8 Sampel 90

Gambar 4.8 Pseudohornera bifida EICHW.

Pseudohornera bifida EICHW termasuk dalam filum Brozoa, Kelas


Stenolaenata, Ordo Phylloporitida, Famili Pseudohorneranidae, dan termasuk dalam
genus Pseudohornera.. Fosil ini berbentuk brenching, dimana bentuknya bercabang
menyerupai koral. Setelah ditetesi dengan larutan HCL 0.1 M, fosil ini tidak
bereaksi. Dari hal ini dapat diketahui bahwa terdapat kandungan Silika (SiO2) pada
fosil ini. Berdasarkan komposisi kimianya, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
fosil ini terendapkan pada lingkungan laut dalam.
Proses pemfosilan fosil ini dimulai ketika organisme tersebut mati. Kemudian
jaringan tubuhnya yang tidak resisten akan mengalami pembusukan, menyisakan
bagian tubuhnya yang lebih resisten. Organisme ini kemudian akan tertransportasi
oleh air, angin, atau glatser, bersama dengan material sedimen, hingga sampai di
daerah lebih rendah yang relatif kedudukannya berupa cekungan. Selama proses
transportasi ini, beberapa unsur mineral sekunder yang lebih resisten akan mengisi
ruang antar sel. Adanya ruang-ruang ini disebabkan oleh tidak resistennya beberapa
meterial-material yang ada pada tubuh organisme tersebut terhadap pelapukan.
Setelah organisme dan material sedimen ini sampai disebuah cekungan, seiring
berjalannya waktu, akumulasi material sedimen akan menumpuk diatas organisme
secara bertahap dan menutupi organisme tersebut. Setelah berjuta-juta tahun, seiring
dengan bertambahnya material-material sedimen, maka tekanan yang dialami
organisme ini juga ikut bertambah. Tekanan yang besar ini akan mengakibatkan
material-material sedimen mengalami pemadatan (kompaksi) dan terjadi secara terus
menerus selama jutaan tahun hingga material ini tersementasi dan pada akhirnya
mengalami pembatuan (litifikasi). Proses pemfosilan yang terjadi adalah
permineralisasi, dimana terdapat proses perubahan mineral penyusun fosil oleh
mineral lain seperti silika (SiO2), kalsium karbonat (CaCo3), atau besi sulfida (FeS).
Dengan adanya proses ini, fosil akan menjadi lebih berat dan lebih awet.
Karena mengalami penimbunan, maka organisme yang telah menjadi fosil
tersebut tidak dapat muncul dipermukaan. Diperkirakan karena adanya gaya endogen
dan eksogen, yang dimana gaya endogen berupa aktifitas tektonik, menyebabkan
batuan sedimen yang telah terbentuk tersebut terangkat ke atas permukaan, lalu
kemudian terkena gaya eksogen berupa degradasi (pelapukan batuan, gerakan massa
batuan dan/atau erosi) menyebabkan fosil ini tampak dipermukaan.
Dalam skala waktu geologi, diperkirakan fosil ini berumur Ordovisium atas
yaitu antara 500-435 juta tahun yang lalu. Kegunaan fosil ini adalah sebagai bukti
adanya kehidupan pada zaman Kambrian tengah, untuk menentukan umur relatif
batuan, penentuan lingkungan tempat fosil tersebut diendapkan, untuk mengkorelasi
batuan, dan penentu iklim pada saat pembentukan batuan sedimen.
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Setelah melakukan praktikum paleontologi acara 4 yaitu Filum Brachiopoda


dan Mollusca dapat ditarik kesimpulan bahwa :
1. Sampel fosil yang berupa kerang-kerangan dengan bentuk cangkang atas tidak
simetris bilateral merupakan fosil dari filum brachiopoda, pada filum
brachiopoda terdapat sulkus yang merupakan bagian tengah dari tubuh fosil
berbentuk cekungan, sedangkan fosil kerang yang memiliki bentuk simetri
bilateral merupan fosildari filum mollusca kelas phelecypoda. Fosil
invertebrata lain yang memiliki cangkang yang simetri merupakan bagian dari
filum mollusca.

2. Fosil filum brachiopoda kelas Artikulata ditandai dengan bentuk tubuh fosil
yang bikonveks dimana pedical valve dan pedical opening masih menyatu,
sedangkan filum mollusca pembagian kelasnya dapat dilihat secara langsung
dengan mengamati bentuk tubuh dan posisi atau kedudukan alat geraknya.

5.1 Saran

Dalam praktikum Mollusca dan Brachiopoda terjadi insiden yang tidak


diinginkan, dimana salah satu sampel sampel fosil filum molluska kelas scaphopoda
patah pada saat pendeskripsian fosil oleh praktikan, tentunya hal ini sangat
disayangkan mengingat sampel fosil sangat susah untuk didapatkan, oleh karena itu
sebaiknya sebelum praktikum sebaiknya asisten menegaskan kepada praktikan untuk
berhati-hati ketika memegang sampel fosil ketika sedang mendeskripsi.
DAFTAR PUSTAKA

Asisten Paleontologi. 2019. Penuntun Praktikum Paleontologi. Gowa. Universitas


Hasanuddin
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. 2014. Paleontologi

kelas X Semester 2. Jakarta : KEMENDIKBUD

Eldin. 2018. Ilmu Paleontologi Dasar. Kendari. Universitas Haluoleo

Wirasetiawan. 2011. PROTOZOA.

http://staff.unila.ac.id/hasti/files/2011/11/PROTOZOA.pdf. (Diakses pada

tanggal 18 Februari, Pukul 22:13 WITA)

Anda mungkin juga menyukai