V. Media Penyuluhan
a. Leaflet
b. Lembar balik
VII. Evaluasi
1. Evaluasi Struktural
a. SAP dan media telah dikonsultasikan kepada pembimbing sebelum
pelaksanaan
b. Pemberi materi telah menguasai seluruh materi
c. Tempat dipersiapkan H-3 sebelum pelaksanaan
d. Mahasiswa, pasien dan keluarga berada di tempat sesuai kontrak waktu
yang telah disepakati
2. Evaluasi Proses
a. Proses pelaksanaan sesuai rencana
b. Anggota keluarga atau peserta aktif dalam diskusi dan tanya jawab
c. Anggota keluarga mengikuti kegiatan dari awal sampai akhir
3. Evaluasi Hasil
a. 60% peserta dapat menyebutkan pengertian, penyebab, tanda dan
gejala, komplikasi, cara perawatan, pencegahan dan penanganan
kekambuhan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) berulang.
b. Klien dan keluarga dapat meredemonstrasikan cara atau teknik batuk
efektif dengan benar.
VIII. Sumber
Agusti, A., (2007). Systemic Effects of Chronic Obstructive Pulmonary Disease.
Proc Am Thorac Soc; 4: 522-25.
Herdman,T.Heather. (2010). Diagnosa Keperawatan: definisi dan klasifikasi
2009-2011 .Jakarta : EGC
Tamsuri, Anas . (2008). Seri Asuhan Keperawtan Klien Gangguan Pernafasan.
Jakarta : EGC
Tim PDPI. (2008). Diagnosis dan Tatalaksana Kegawatdaruratan Paru. Jakarta :
Sagung Seto
LAMPIRAN MATERI
PPOK dan cara penanganannya
1. Pengertian
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan gangguan paru yang
memberikan kelainan ventilasi berupa obstruksi saluran pernapasan yang
bersifat progresif dan tidak sepenuhnya reversibel. Obstruksi ini berkaitan
dengan respon inflamasi abnormal paru terhadap partikel asing atau gas
yang berbahaya. Pada PPOK, bronkitis kronik dan emfisema sering
ditemukan bersama, meskipun keduanya memiliki proses yang berbeda.
Akan tetapi menurut GOLD 2015, bronkitis kronik dan emfisema tidak
dimasukkan definisi PPOK, karena bronkitis kronik merupakan diagnosis
klinis, sedangkan emfisema merupakan diagnosis patologi. Bronkitis
kronik merupakan suatu gangguan klinis yang ditandai oleh pembentukan
mukus yang meningkat dan bermanifestasi sebagai batuk kronik.
Emfisema merupakan suatu perubahan anatomis parenkim paru yang
ditandai oleh pembesaran alveoulus dan duktus alveolaris serta destruksi
dinding alveolar. (GOLD, 2015)
2. Penyebab atau etiologi
Ada tiga faktor yang mempengaruhi timbulnya PPOK yaitu rokok, infeksi
dan polusi.
1. Rokok
Menurut buku report of the WHO expert comitte on smoking control,
rokok adalah penyebab utama timbulnya PPOK. Secara fisiologi rokok
berhubungan langsung dengan hiperflasia kelenjar mukosa bronkus dan
metaplasia skuamulus epitel saluran pernafasan. Rokok juga dapat
menyebabkan bronko kontriksi akut. Menurut Crofton & Douglas
merokok menimbulkan pula inhibisi aktivitas sel rambut getar, makrofage
alveolar dan surfaktan.
2. Infeksi
Infeksi saluran pernafasan bagian atas pada seseorang penderita
bronchitiskronis hampir selalu menyebabkan infeksi paru bagian bawah.
Serta menyebabkan kerusakan paru bertambah. Ekserbasi bronchitis cronik
diperkirakan paling sering diawali dengan infeksi virus yang kemudian
menyebabkan infeksi sekunder oleh bakteri.
3. Polusi
Polusi zat-zat kimia yang juuga dapat menyebabkan bronchitis adalah zat
pereduksi seperti CO2, zat-zat pengoksidasi seperti N2O, hydrocarbon,
aldehid dan ozon.
Faktor penyebab dan faktor resiko menurut Neil F Gordan (2002) yaitu :
a. Usia semakin bertambah faktor resiko semakin tinggi
b. Merokok
c. Jenis kelamin pria lebih beresiko diibanding wanita
d. Berkurangnya fungsi paru paru
e. Keterbukaan terhadap polusi seperti asap rokok dan debu
f. Polusi udara
g. Infeksi saluran pernafasan akut seperti pnemonia dan bronkitus
h. Kurangnya alfa anti tripsin ini merupakan kekurangan suatu enzim
yang normalnya meliindungi paru-paru dari kerusakan peradangan.
4. Komplikasi
a. Jantung tidak normal (detak jantung tidak beraturan)
c. Gagal jantung
d. Gangguan tidur
5. Perawatan
Penatalaksanaan PPOK bertujuan mempertahankan faal paru,
meningkatkan kualitas hidup dan mencegah eksaserbasi. Penatalaksanaan
PPOK dapat mempertahankan PPOK yang stabil dan mencegah
eksaserbasi.
a. Menghindari rokok
Nikotin merupakan kandungan terbesar dalam rokok yang dapat
menginduksi aktivasi neutrofil dan makrofag menimbulkan radikal bebas
yaitu reactive oxygen species (ROS) yang pada dapat mengganggu struktur
protein, lipid, asam deoksiribonukleat saluran napas dan merangsang
terjadinya apoptosis (Moretti & Marchioni, 2007). Berhenti merokok dapat
memperlambat progresivitas dari PPOK. Konseling berhenti merokok
dapat membantu pasien yang mau berhenti merokok. Farmakoterapi
dilakukan jika konseling tidak efektif. Varenicline dapat membantu
penghentian merokok dengan mengurangi gejala nicotine withdrawal dan
menurunkan efek samping nikotin yang aman dengan efikasi cukup tinggi
(Ebbert, 2015).
b. Mengurangi paparan polutan.
Menurunkan polusi di dalam dan luar ruangan memerlukan sinergi antara
kebijakan politik, sumber daya nasional dan lokal, perubahan budaya, dan
langkah protektif dari individu. Sistem ventilasi yang efektif, bahan bakar
memasak yang tidak menghasilkan polusi dan intervensi sejenisnya harus
lakukan (GOLD, 2015).
c. Bronkodilator
Bronkodilator merupakan terapi utama pada PPOK untuk memperbaiki
gejala klinis dengan menurunkan hiperinflasi dan sesak nafas dengan
peningkatan sekitar 10% FEV1. Pemakaian β2 agonis jangka panjang
menurunkan kejadian eksaserbasi karena menurunkan adhesi bakteri
seperti Haemophylus influenza pada sel epitel saluran nafas (Dowling et
al., 1998). Antikolinergik lebih efektif untuk PPOK dibanding β2 agonis.
Antikolinergik tiotropium bromide mempunyai durasi yang lebih lama dan
diberikan sekali sehari (Rennard et al., 1996). Pasien PPOK menggunakan
β2 agonis dan antikolinergik kerja panjang. Bronkodilator inhalasi lebih
dianjurkan daripada bronkodilator oral terkait efikasi dan efek samping.
Terapi teofilin direkomendasikan bila bronkodilator kerja panjang tidak
tersedia. (GOLD, 2015).
Apabila diberikan secara inhalasi, antikolinergik seperti ipratropium dan
atropine menyebabkan efek bronkodilatasi, yaitu melalui penghambatan
secara kompetitif terhadap reseptor kolinergik yang ada di otot polos
bronkus. Aktivitas tersebut akan menghambat asetilkolin, yang selanjutnya
berefek pada pengurangan cyclic Guanosine Mono Phosphate (cGMP),
dimana cGMP ini secara normal berperan pada konstriksi otot polos
bronkus (Bourdet & Williams, 2005). Ipratropium bromida dan tiotropium
bromida merupakan golongan antikolinergik yang dapat memberikan
manfaat paling besar serta efek samping yang paling kecil. Ipratropium
tersedia dalam bentuk Metered Dose Inhaler (MDI) dan larutan inhalasi
yang menunjukkan puncak efek pada 1,5-2 jam dan durasi kerja 4-6 jam
(Bourdet & Williams, 2005). Ipratropium bromida diberikan dengan dosis
2 inhalasi 4x sehari dan dapat ditingkatkan sampai 12 inhalasi per hari jika
perlu. Efek sampingnya jarang terjadi dan biasanya berupa mulut kering,
rasa pahit, batuk, dan mual (Goldsmith & Weber, 2000).
d. Oksigen
Penggunaan terapi oksigen di rumah banyak dilakukan di Amerika Serikat,
yaitu sekitar lebih dari 30%. Tujuan utamanya pemberian oksigen adalah
meningkatkan baseline PaO2 minimal 8,0 kPa (60 mmHg) saat istirahat,
dan/atau saturasi O2 minimal 90% untuk menjamin suplai oksigen pada
fungsi organ vital. Penggunaan terapi oksigen jangka panjang menurunkan
mortalitas dan memperbaiki kualitas hidup pasien PPOK derajat berat
dengan tekanan parsial oksigen arteri <55 mmHg (Corrado et al., 2010).
Pemberian oksigen pada PPOK derajat berat ada tiga cara, yaitu kontinyu
jangka panjang (>15 jam per hari), pada exercise, dan mengurangi sesak
napas akut (Carpagnano et al., 2004).
e. Kortikosteroid
Penelitian terkini menunjukkan terapi kortikosteroid inhalasi jangka lama
tidak mengurangi progresivitas PPOK. Kortikosteroid inhalasi tidak
menekan proses inflamasi. Kortikosteroid hanya berpangaruh pada fungsi
netrofil. Sekitar 10% pasien PPOK mengalami perbaikan klinis dengan
kortikosteroid oral. Kortikosteroid inhalasi bermanfaat pada kondisi
eksaserbasi (Paggiaro et al., 1998). Terapi kortikosteroid inhalasi jangka
panjang direkomendasikan pada pasien PPOK berat dan sangat berat yang
sering mengalami eksaserbasi, yang tidak terkontrol secara adekuat dengan
bronkodilator aksi panjang (GOLD, 2015).
Beberapa produk kortikosteroid inhalasi tersedia di pasaran, namun
flutikason dan budesonid memberikan potensi dan bentuk sediaan yang
lebih nyaman bagi pasien karena membutuhkan inhalasi yang lebih sedikit
dibanding yang lain. Dosis tinggi budesonid berada pada kisaran 600-1000
µg/hari (3-5 inhalasi), sedangkan dosis pemeliharaan yang rendah antara
200-400 µg/hari (1- inhalasi). Flutikason memiliki potensi 220 µg/puff,
dengan dosis pemeliharaannya berada pada kisaran 220-440 µg/hari
(Goldsmith & Weber, 2000). Terapi untuk pasien eksaserbasi akut dimulai
dengan metilprednisolon 0,5- mg/kg setiap 6 jam. Bila gejala pasien telah
membaik dapat diganti dengan prednison 40-60 mg sehari. Steroid
sebaiknya dihentikan secara tapering untuk meminimalisasi penekanan
hypothalamic pituitary adrenal (HPA). Bila diperlukan terapi lebih lama,
digunakan dosis rendah yaitu 7,5 mg/hari, diberikan pada pagi hari atau
selang hari.
f. Vaksinasi
1. Tissue/sapu tangan
2. Wadah tertutup berisi cairan desinfektan (air sabun / detergen, air
bayclin, air lisol) atau pasir.
3. Gelas berisi air hangat
1. Berhenti merokok
Tips pertama adalah, tentu saja, untuk menghentikan penyebab utama
PPOK. Jika anggota keluarga Anda tidak pernah merokok, jangan
memulainya. Jika anggota keluarga Anda merokok, mereka harus
berhenti demi kesehatan diri serta keluarga. Meskipun Anda pernah
merokok, berhenti dapat membantu memperlambat perkembangan PPOK
dan membatasi kerusakan paru. Risiko merokok juga berlaku bagi
perokok pasif. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia, 10 persen dari
kematian terkait rokok diakibatkan oleh asap rokok. Berhenti merokok
sangatlah penting jika Anda memiliki kadar protein alpha-1 antitrypsin
yang rendah (protein yang diperlukan untuk melindungi paru-paru dan
hati). Orang yang menderita defisiensi alpha-1 antitrypsin bisa
mengurangi risiko PPOK parah mereka jika mereka mendapatkan
suntikan alpha-1 antitrypsin secara teratur. Anggota keluarga dari
seseorang yang menderita defisiensi alpha-1 antitrypsin harus diuji untuk
kondisi tersebut.
5. Dapatkan vaksin
Sebaiknya keluarga Anda mendapatkan vaksin PPOK. Suntikan yang
umum adalah untuk flu, pneumonia, dan vaksin pertussis (disebut juga
batuk rejan).