Anda di halaman 1dari 142

PENGARUH GAYA HIDUP SEHAT TERHADAP

PSYCHOLOGICAL WELL-BEING DAN DAMPAKNYA PADA


AUDITOR KAP
(Studi Empiris pada Auditor Kantor Akuntan Publik di Kota
Surabaya dan Malang)

Skripsi
Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk
Memperoleh Gelar Sarjana Akuntansi

Oleh

RIFKA SEPTY FIEYATIWI


NPM. 2130820049

PROGRAM STUDI AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS ISLAM MALANG
2018
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Satu tantangan yang kerap dihadapi orang yang bekerja adalah munculnya

stres. Hampir semua orang yang bekerja termasuk auditor pasti pernah merasakan

stres ketika menjalani profesinya. Tingkat stres yang dihadapi bisa berbeda

tergantung jenis tugas serta posisi jabatan masing-masing. Umumnya semakin

tinggi tanggung jawab, semakin banyak pula tuntutan yang kemudian

menimbulkan rasa stres berlebihan. Tetapi tanggung jawab yang lebih sedikit atau

posisi yang lebih rendah tidak pula menjanjikan sebuah profesi yang

menyenangkan. Karena tekanan bisa jadi muncul secara situasional, misalnya saat

deadline atau situasi lingkungan yang kurang kondusif (Anjani. 2017).

Jobplanet, platform komunitas online melakukan riset survei tentang

profesi di Indonesia dengan tingkat stres paling tinggi dan paling rendah. Survei

diikuti 86.000 responden karyawan dan pekerja yang tersebar di seluruh Indonesia

dan berasal dari berbagai industri serta profesi sejak Agustus 2015 hingga Januari

2017. Dalam riset tersebut Jobplanet menganalisis tingkat stres pekerja

berdasarkan penilaian mereka terhadap faktor work-life balance (keseimbangan

antara kehidupan dan pekerjaan). Pekerja dengan tingkat stres paling tinggi

memiliki profesi dengan rata-rata tingkat work-life balance di bawah 3,00.

Sementara pekerja dengan tingkat stres paling rendah memiliki profesi dengan

rata-rata tingkat work-life balance di atas 3,50. Berdasarkan riset tersebut

1
2

diketahui bahwa tingkat work-life balance (keseimbangan antara kehidupan dan

pekerjaan) auditor sebesar 3,53 menduduki peringkat ke 13 dari 15 profesi dengan

tingkat stres paling rendah. (Sumber: blog.id.jobplanet.com)

Sedangkan di Amerika berkaitan dengan profesi auditor seperti dalam

penelitian Miller, Mur dan Cohen (1988) dalam Rizkia dan Reskino (2015)

dinyatakan bahwa profesi auditor merupakan salah satu dari sepuluh profesi yang

mengandung tingkat stres tertinggi di Amerika Serikat. Penelitian tersebut

merujuk pada penelitian Baker (1977) yang menyatakan bahwa profesi akuntansi

publik memiliki potensi konflik dan ketidakjelasan peran yang tinggi (Rizkia dan

Reskino, 2015).

Robbins (2003) dalam Paramitha (2014) merekomendasikan pendekatan

individual untuk mengelola stres adalah dengan menerapkan gaya hidup sehat

dalam kehidupan sehari-hari. Dengan berolahraga secara rutin, individu akan

memiliki ketahanan fisik yang baik sehingga staminanya juga meningkat,

berolahraga juga dapat memberikan sebuah pengalihan dari tekanan kerja dan

menawarkan cara untuk melepaskan energi, sasarannya adalah mencapai suatu

keadaan relaksasi sehingga kondisi psikologis individu pun dapat menjadi lebih

tenang dan berpikir positif. Dengan memiliki waktu istirahat yang cukup, individu

juga dapat lebih membagi waktu antara pekerjaan dan keluarga sehingga konflik

pekerjaan dan keluarga dapat lebih ditekan. Saat kondisi fisik dan psikologis

individu berada dalam kondisi yang baik maka tekanan yang terjadi dapat ditekan

sehingga membuat individu lebih nyaman dan betah dalam menjalani

pekerjaannya. Begitu pula dengan adanya asupan makanan sehat yang dianjurkan
3

yaitu dengan mengurangi alkohol dan rokok yang dapat mengancam kesehatan,

sehingga saat kondisi tubuh sehat maka secara psikis kondisi individu tersebut

juga lebih bahagia dan lebih tahan terhadap stres.

Kondisi gaya hidup yang tidak baik akan berpengaruh terhadap kesehatan

fisik jasmani dan hasil kerja yang diberikan. Terkadang seringkali orang tidak

sadar sedang mengorbankan kesehatannya sendiri demi pekerjaan. Misalnya,

bekerja hinga larut malam, bahkan tidak tidur berhari-hari demi menyelesaikan

pekerjaan sebelum deadline. Padahal hal itu sangat berbahaya bagi kesehatan,

bahkan bisa menyebabkan kematian. Mengutip dari laman kompas.com, adapun

beberapa kasus di Indonesia dan di luar negeri yang meninggal akibat kerja keras

berlebihan :

1. Li Jianhua (48), pegawai senior Komisi Regulator Perbankan China

meninggal akibat bekerja terlalu lama. Ia meninggal setelah lembur

semalaman untuk menyelesaikan pekerjaannya. Jian kerap bekerja

hingga tengah malam bahkan dini hari dan juga berkeliling ke 10

provinsi di China dan bertemu dengan 68 perusahaan pengelola

keuangan.

2. Jie Pan (25), seorang auditor dari KAP PricewaterhouseCoopers

meninggal akibat meningitis pada tahun 2011. Rekan kerja Jie Pan

mengaku para pegawai diberi pekerjaan yang tidak mungkin

diselesaikan tanpa kerja lembur.

3. Li Jing (43) seorang dokter di salah satu rumah sakit terkemuka di

Tiongkok meninggal dunia karena serangan jantung mendadak setelah


4

bekerja selama 24 jam nonstop. Jing meninggal saat berada di rumah

bersama istrinya, dan terlihat mengalami kelelahan fisik yang

berlebihan. Di mata rekan kerjanya, Jing dinilai sebagai pekerja yang

tak kenal lelah. Jing sering lembur untuk bisa meringankan beban kerja

rekan-rekannya.

4. Mina Mori (26) bunuh diri karena terlalu banyak bekerja lembur. Mori

bunuh diri pada Juni 2008, hanya dua bulan setelah bekerja di Watami

sebuah jaringan restoran ternama di Jepang. Dalam masa kerja yang

singkat itu, dia dipaksa bekerja panjang sehingga hanya memiliki

sedikit waktu untuk istirahat.

5. Mita Diran (25) warga Indonesia, seorang copywriter di agensi iklan

Young & Rubicam meninggal dunia pada Minggu (15/12/2013) malam

setelah bekerja tak kenal waktu. Menjelang kematiannya, diketahui

Mita bekerja tiga hari tanpa tidur. Mita bekerja nonstop selama 30 jam

karena menyelesaikan pekerjaan sebelum deadline. Selama lembur

Mita mengonsumsi minuman penambah energi yang berkafein tinggi.

Karyawan yang mengalami stres saat berhadapan dengan tuntutan

pekerjaan juga dialami oleh auditor yang bekerja di Kantor Akuntan Publik

(KAP). Beberapa kondisi karir di KAP berkontribusi pada situasi sulit yang

dihadapi auditor sehingga membuat auditor menghadapi tingkat stres yang tidak

teratur. PricewaterhouseCoopers (dalam Gratia, 2014) menyebutkan bahwa

kondisi-kondisi karir tersebut adalah tantangan bagi auditor. Secara umum

terdapat beberapa kondisi karir yang dihadapi oleh auditor di lingkungan


5

pekerjaannya, yaitu:

1. Busy season, adalah masa saat seorang auditor bekerja lebih keras dari

hari kerja biasa. Pada saat busy season auditor dapat menghabiskan

hingga lebih dari sepuluh jam setiap hari selama beberapa bulan

berturut-turut untuk menyelesaikan pekerjaannya (Fogarty et al, 2000;

Sanders et al, 1995; Friedman et al, 1958 dalam Gratia, 2014).

2. Peningkatan aktivitas di pasar modal seperti IPO (Initial Publik

Offering), merger, dan akuisisi yang membutuhkan adanya regulasi

dan perhatian dari para profesional, termasuk auditor (Lee, 2007 dalam

Gratia, 2014).

3. Auditor junior yang baru saja masuk harus menyediakan waktu untuk

belajar dan mengikuti ujian CPA (Certified Public Accountant), namun

di sisi lain auditor junior tetap harus menyelesaikan tuntutan

pekerjaannya sebagai auditor (Carpenter dan Hock, 2008 dalam Gratia,

2014).

4. Auditor terlatih untuk kritis dan membawa pulang pekerjaan dari

tempat kerja, yang sering kali mengarahkan auditor pada stres

interpersonal tambahan (Figler, 1980 dalam Gratia, 2014).

Secara umum KAP di Indonesia menyediakan berbagai jasa untuk

masyarakat yang dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok besar, yaitu: jasa

assurance dan jasa non assurance. Jasa assurance adalah jasa yang diberikan oleh

seorang profesional dengan tujuan meningkatkan mutu informasi bagi pengambil

keputusan. Jasa non assurance adalah jasa yang diberikan oleh KAP yang tidak
6

memberikan pendapat atau suatu bentuk keyakinan lain seperti yang disediakan

ketika memberikan jasa assurance. Salah satu jasa assurance yang disediakan

KAP adalah jasa atestasi. Jasa atestasi adalah jasa seorang professional yang

independen dan kompeten untuk memberikan pendapat tentang asersi suatu entitas

sudah sesuai dalam hal yang material, dengan kriteria yang ditetapkan (Mulyadi,

2002).

Setiawan dan Ghozali (2006) memaparkan bahwa profesi auditor tidak

hanya diminta untuk melayani kepentingan klien yang menggunakan jasa akuntan,

namun juga dituntut untuk melayani masyarakat umum. Tugas tersebut tidak serta

merta membuat para auditor berada pada posisi yang nyaman. Posisi sulit dapat

dialami auditor jika pihak-pihak eksternal, seperti klien dan masyarakat memiliki

kepentingan yang berbeda atau bahkan saling bertentangan. Posisi sulit semacam

ini dapat menjadi semakin parah apabila dalam proses menyelesaikan

pekerjaannya, auditor merasa tidak mendapat informasi yang cukup mengenai apa

dan bagaimana tanggung jawab pekerjaannya harus diselesaikan.

Berbagai jasa yang disediakan oleh KAP seringkali berpotensi

menimbulkan stres bagi auditor. Situasi kerja yang memiliki tingkat stres yang

tinggi di KAP adalah hal yang sangat berpengaruh pada perilaku auditor.

Pengaruh pada perilaku yang dialami auditor ini seringkali tidak dirasakan dalam

jangka pendek. Pengaruh pada perilaku tersebut akan terlihat setelah melalui

rentang waktu yang cukup panjang. Meskipun setiap tekanan dapat diatasi oleh

auditor, namun dalam jangka panjang tekanan yang begitu banyak sepanjang karir

auditor akan mempengaruhi pola pikir dalam pengambilan keputusan (Murtiasri


7

dan Ghozali, 2006). Pada jumlah tertentu, stres dapat membantu inividu dalam

menumbuhkan kesiapsiagaan, namun dalam jumlah berlebihan stres dapat

menjadi hal yang merugikan bagi individu dan organisasi (Collins dan Killough,

1989 dalam Gratia, 2014). Penelitian terdahulu menunjukkan adanya dampak

negatif dari stres yang dialami oleh auditor. Pada praktiknya, auditor yang bekerja

di KAP merasakan beban kerja yang semakin berat saat datangnya busy season.

Seorang auditor dapat saja menangani dua atau lebih perusahaan yang

menggunakan jasa KAP untuk mengaudit laporan keuangan. Pekerjaan semakin

bertambah dengan adanya pekerjaan lapangan yang mengharuskan auditor

mengobservasi langsung keberadaan perusahaan, persediaan, atau mesin-mesin

yang berada di luar daerah. Pada KAP-KAP kecil karyawan memiliki penugasan

yang cukup berat sebab bidang penugasan pajak, advising, kompilasi dan audit

kinerja ada pada karyawan yang sama (Wheeler et al, 1987 dalam Gratia, 2014).

Role stress yang terdiri atas role ambiguity, role conflict, dan role

overload dalam tingkat yang tinggi akan menimbulkan pengaruh negatif terhadap

job satisfaction dan job performance serta menimbulkan pengaruh positif

terhadap turnover intention auditor (Jones et al., 2010). Pada tingkat individu,

situasi kerja yang penuh dengan tekanan menimbulkan masalah dan kadangkala

membuat banyak auditor yang berkemampuan baik memilih mengundurkan diri

dari KAP. Pada tingkat organisasi, KAP juga akan mendapat dampak secara

langsung atau tidak langsung akibat tingkat stres yang dialami auditor. KAP akan

lebih sering mengalami disfungsionalitas turnover sukarela. Tingginya tingkat

turnover di kalangan auditor nantinya juga akan menimbulkan masalah yang


8

berkaitan dengan biaya yang harus disediakan oleh KAP.

Kondisi karir yang berat membuat beberapa auditor mengalami role stress

yang seringkali membawa pengaruh terhadap job outcomes. Pada beberapa kasus,

kondisi karir yang berat membuat auditor merasa tidak nyaman dan seringkali

memutuskan untuk keluar dari KAP dan mencari bidang profesi lain selain di

KAP. Hal seperti ini tentu akan menimbulkan kerugian bagi KAP sendiri.

Keberlanjutan sebuah organisasi sangat ditentukan oleh kualitas dan performa

sumber daya manusia yang dimilikinya. Hal ini berlaku khususnya bagi

perusahaan yang bergerak di bidang jasa yang menyediakan jasa para profesional

seperti KAP (Collins dan Killough, 1989 dalam Gratia, 2014).

Oleh sebab itu pada tingkat individu dan organisasi diperlukan sebuah

mekanisme yang mampu mengatasi role stress pada auditor dan memperbaiki job

outcomes yang diberikan auditor. Gratia (2014) memaparkan, dampak negatif role

stress terhadap job outcomes yang dimediasi oleh job burnout dan psychological

well-being dapat diminimalisasi dengan gaya hidup sehat oleh vitality dan

psychological well-being, sehingga pada akhirnya akan berpengaruh positif

terhadap job satisfaction, job performance, dan berpengaruh negatif terhadap

turnover intention. Psychological well-being memegang peranan yang cukup

penting dalam mengatasi role stress dan mempertahankan atau memperbaiki job

outcomes. Baik tidaknya kualitas psychological well-being individu sangat

berkaitan erat dengan seberapa baik kualitas gaya hidup sehat yang dijalani oleh

setiap individu. WHO menyatakan bahwa aktivitas fisik memegang peranan

penting untuk mendapatkan tubuh yang sehat dan psychological well-being yang
9

tinggi. Tingkat stres kerja yang tinggi diyakini dapat diatasi oleh setiap individu,

apabila setiap individu memiliki psychological well-being yang baik.

Penelitian ini merupakan repikasi dari penelitian yang dilakukan oleh

Gratia (2014). Adapun perbedaan penelitian ini dengan penelitian Gratia terletak

pada objek penelitian. Penelitian Gratia (2014), menggunakan sampel auditor

Kantor Akuntan Publik di Jawa Tengah dan DIY, sedangkan penelitian ini

dilakukan pada auditor KAP di Kota Surabaya dan Malang. Adapun tujuan

replikasi adalah untuk menelaah apakah hal serupa berlaku pula pada konteks riset

yang berbeda.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka penulis

tertarik untuk melakukan penelitian mengenai “Pengaruh Gaya Hidup Sehat

terhadap Psychological Well-Being dan Dampaknya pada Auditor KAP”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka rumusan masalah yang

hendak diteliti dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Apakah tingkat role stress (role ambiguity, role conflict, dan role

overload) berhubungan dengan job burnout?

2. Apakah tingkat job burnout berhubungan dengan psychological well-

being?

3. Apakah tingkat job burnout secara langsung berhubungan dengan job

satisfaction dan job performance serta berhubungan dengan turnover

intention?

4. Apakah gaya hidup sehat berhubungan dengan vitality dan


10

psychological well-being?

5. Apakah vitality berhubungan dengan psychological well-being?

6. Apakah gaya hidup sehat setelah dimediasi oleh vitality dan

peningkatan psychological well-being, akan mengurangi efek negatif

dari role stress yang dimediasi oleh job burnout dan psychological

well-being, menghasilkan hubungan positif dengan job satisfaction

dan job performance serta menghasilkan hubungan negatif dengan

turnover intention?

1.3 Tujuan Dan Manfaat Penelitian

1.3.1 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah tersebut, maka

tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk menganalisis dan membuktikan pengaruh tingkat role

stress (role ambiguity, role conflict, dan role overload)

berhubungan dengan job burnout.

2. Untuk menganalisis dan membuktikan apakah tingkat job burnout

berhubungan dengan psychological well-being.

3. Untuk menganalisis dan membuktikan apakah tingkat job burnout

secara langsung berhubungan dengan job satisfaction dan job

performance serta berhubungan dengan turnover intention.

4. Untuk menganalisis dan membuktikan apakah gaya hidup sehat

berhubungan dengan vitality dan psychological well-being.


11

5. Untuk menganalisis dan membuktikan apakah vitality

berhubungan dengan psychological well-being.

6. Untuk menganalisis dan membuktikan apakah gaya hidup sehat

setelah dimediasi oleh vitality dan peningkatan psychological

well-being, akan mengurangi efek negatif dari role stress yang

dimediasi oleh job burnout dan psychological well-being,

menghasilkan hubungan positif dengan job satisfaction dan job

performance serta menghasilkan hubungan negatif dengan

turnover intention.

1.3.2 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan berbagai manfaat secara

teoritis dan praktis untuk berbagai pihak, antara lain:

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam

upaya pengembangan teori di bidang akuntansi keperilakuan.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai salah satu

pertimbangan bagi para auditor untuk menerapkan perilaku hidup

sehat sebagai salah satu alternatif untuk meningkatkan

psychological well-being. Penelitian ini juga diharapkan dapat

menjadi pertimbangan bagi pimpinan KAP dan instansi terkait.

Pertimbangan itu berkaitan dengan penetapan kebijakan, regulasi

atau pedoman tentang beban kerja, lingkungan kerja, dan/atau


12

pelatihan mengelola stres kerja sebagai upaya untuk mengatasi

stres kerja yang dialami auditor agar hasil kerja para auditor dapat

maksimal.
BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Penelitian Terdahulu

Beberapa penelitian terdahulu terkait dengan role stress, job burnout, job

outcomes telah banyak dilakukan di Indonesia. Di antaranya penelitian yang

dilakukan oleh Murtiasri dan Ghozali (2006) yang menguji kembali kondisi

burnout sebagai mediasi antara role stressor dengan job outcomes pada profesi

auditor di Indonesia. Responden dalam penelitian ini adalah auditor KAP di

seluruh Indonesia yang terdaftar pada Direktori Kantor Akuntan Publik tahun

2004. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (i) kondisi burnout akan muncul

karena adanya pengaruh role stressor dan selanjutnya burnout tersebut akan

mempengaruhi behavioral outcomes (kecuali turnover intention) dan (ii) burnout

merupakan mediator bagi variabel kelebihan beban kerja (role overload) terhadap

job outcomes, namun bukan mediator bagi variabel konflik peran (role conflict)

dan ambiguitas peran (role ambiguity).

Penelitian Agustina (2009) yang berjudul ”Pengaruh Konflik Peran,

Ketidakjelasan Peran, dan Kelebihan Peran terhadap Kepuasan Kerja dan Kinerja

Auditor” yang bertujuan menguji kembali penelitian Fisher (2001). Responden

pada penelitian ini adalah auditor junior yang bekerja di KAP Big Four di DKI

Jakarta. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (i) role conflict, role ambiguity, dan

role overload secara simultan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap job

satisfaction dan job performance auditor dan (ii) role conflict, role ambiguity, dan

13
14

role overload secara parsial memberikan pengaruh negatif yang signifikan

terhadap job satisfaction dan job performance auditor.

Penelitian yang dilakukan Jones et al. (2010) yang berjudul “Healthy

Lifestyle As A Coping Mechanism For Role Stress In Public Accounting” ini

disimpulkan bahwa pengaruh negatif role stress dan job burnout dapat

diminimalisasi oleh healthy lifestyle dengan dimediasi oleh vitality dan

psychological well-being.

Dari hasil penelitian Sinaga dan Sinambela (2013) yang menguji pengaruh

stres kerja terhadap motivasi dan kinerja auditor pada akuntan publik di kota

Medan diketahui bahwa (i) stres kerja mempengaruhi motivasi kerja dan kinerja

auditor secara signifikan, (ii) motivasi kerja mempengaruhi kinerja auditor secara

signifikan, dan (iii) stres kerja dan motivasi kerja secara simultan mempengaruhi

kinerja auditor secara signifikan.

Penelitian yang dilakukan Gratia (2014) yang menguji kembali penelitian

Jones et al., (2010). Responden penelitian ini adalah auditor KAP di Jawa Tengah

dan DIY. Hasil penelitian menunjukkan beberapa hal yaitu:

1. Role ambiguity dan role overload pada level yang tinggi berhubungan

positif dengan job burnout. Role conflict pada level yang tinggi

berhubungan negatif dan tidak signifikan dengan job burnout.

2. Job burnout pada level yang tinggi berhubungan negatif dengan

psychological well-being.

3. Job burnout pada level yang tinggi dan tidak dimediasi oleh

psychological well-being akan berhubungan negatif dengan job


15

satisfaction. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa role conflict

pada level yang tinggi dan tidak dimediasi oleh psychological well-

being berhubungan positif dan signifikan dengan job performance.

Job burnout pada level yang tinggi dan tidak dimediasi oleh

psychological well-being berhubungan positif dengan turnover

intention.

4. Gaya hidup sehat berhubungan negatif dengan psychological well-

being. Gaya hidup sehat berhubungan positif dengan vitality. Vitality

berhubungan positif dengan psychological well-being.

5. Gaya hidup sehat yang dimediasi oleh vitality dan peningkatan

psychological well-being, mengurangi efek negatif dari role stress,

yang dimediasi oleh job burnout dan psychological well-being,

sehingga menghasilkan hubungan positif dengan job satisfaction dan

job performance. Penelitian ini tidak mampu membuktikan bahwa

gaya hidup sehat yang dimediasi oleh vitality dan peningkatan

psychological well-being, akan mengurangi efek negatif dari role

stress yang dimediasi oleh job burnout dan psychological well-being,

sehingga menghasilkan hubungan negatif dengan turnover intention.

Penelitian lain dilakukan oleh Kristanto dkk. (2014) bertujuan meneliti

faktor yang dapat mereduksi stres kerja pada auditor melalui gaya hidup sehat.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa stres kerja disebabkan karena tiga faktor:

ketidakpastian, konflik, dan overload, hasil ini sesuai dengan hasil penelitian

Swenney dan Summers (2002), Jones et al. (2010), serta Feldman dan Weitz
16

(1988) dan juga sesuai dengan Agency Theory. Hasil ini mengindikasikan bahwa

di dalam perusahaan atau kantor akuntan, konflik kepentingan juga terjadi. Hasil

ini juga menunjukkan bahwa ketika ada kondisi yang tidak pasti, konflik

pekerjaan, dan overload, akuntan akan cenderung mengalami stres kerja.

Pengujian dampak psikologis terhadap kepuasan kerja auditor, menunjukkan bukti

bahwa ketika kondisi psikologis bagus, kepuasan kerja auditor akan meningkat

juga. Hasil ini sesuai dengan penelitian Pronk et al. (2004), Goldsby et al. (2005),

dan Elavsky et al. (2005).

Dari hasil penelitian Rizkia dan Reskino (2015) diketahui bahwa (i)

Healthy lifestyle berpengaruh signifikan terhadap job satisfaction akan tetapi role

ambiguity tidak berpengaruh signifikan terhadap job satisfaction, (ii) Healthy

lifestyle, role conflict dan role ambiguity tidak mempengaruhi job burnout

terhadap job satisfaction, dan (iii) Healthy lifestyle, role conflict dan role

ambiguity tidak mempengaruhi psychological well-being terhadap job

satisfaction.

2.2 Tinjauan Teori

2.1.1 Role Theory

Secara bebas, role theory dapat diterjemahkan menjadi teori peran.

Soekanto (2009) mendefinisikan peran adalah proses dinamis kedudukan

(status). Apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai

dengan kedudukannya, dia menjalankan suatu peranan. Perbedaan antara

kedudukan dengan peranan adalah untuk kepentingan ilmu pengetahuan.

Keduanya tidak dapat dipisah-pisahkan karena yang satu tergantung pada


17

yang lain dan sebaliknya.

Riyadi (2002) peran dapat diartikan sebagai orientasi dan konsep dari

bagian yang dimainkan oleh suatu pihak dalam oposisi sosial. Dengan peran

tersebut, sang pelaku baik itu individu maupun organisasi akan berprilaku

sesuai harapan orang atau lingkungannya.

Dougherty dan Pritchard tahun 1985 (dalam Bauer, 2003) teori peran

ini memberikan suatu kerangka konseptual dalam studi perilaku di dalam

organisasi. Mereka menyatakan bahwa peran itu melibatkan pola penciptaan

produk sebagai lawan dari perilaku atau tindakan. Lebih lanjut, Dougherty

dan Pritchard (1985) dalam Bauer (2003) mengemukakan bahwa relevansi

suatu peran itu akan bergantung pada penekanan peran tersebut oleh para

penilai dan pengamat (biasanya supervisor dan kepala sekolah) terhadap

produk atau outcome yang dihasilkan. Dalam hal ini, strategi dan struktur

organisasi juga terbukti mempengaruhi peran dan persepsi peran (role

perception) (Khan, et al., 1964; Oswald, Mossholder, & Harris, 1997 dalam

Bauer, 2003).

Gratia (2014) memaparkan bahwa di kehidupan sehari-hari seorang

auditor terdapat beberapa interaksi sosial sekaligus yang masing-masing

melibatkan dua kelompok yang berperan sebagai aktor dan target. Beberapa

interaksi sosial tersebut antara lain:

1. Interaksi sosial antara auditor sebagai karyawan (individu) dengan

KAP tempat auditor bekerja (organisasi)

2. Interaksi sosial antara auditor sebagai karyawan (individu) dengan


18

organisasi profesi yang menaunginya, yaitu IAPI (organisasi)

3. Interaksi sosial antara auditor (individu) dengan klien (individu

dan/atau organisasi) saat auditor melaksanakan tugasnya

4. Interaksi sosial antara auditor (individu) dengan rekan kerjanya,

atasan, dan dengan bawahannya (individu)

5. Interaksi sosial antara auditor (individu) dengan keluarga dan

lingkungan masyarakat (individu dan/atau organisasi)

Dengan melihat banyaknya peran yang harus dijalankan oleh akuntan

pulik dalam kehidupan sehari-hari, jelaslah bahwa teori peran dapat

diterapkan untuk menganalisis setiap hubungan dalam interaksi sosial yang

melibatkan auditor.

Teori mengatakan bahwa perilaku individu yang hanya “memainkan”

satu peran akan menjadi semakin sederhana, teratur dan konsisten, namun

pada praktiknya, dalam kehidupan nyata seseorang dihadapkan pada berbagai

peran yang harus dijalankan (Robbins, 2008). Setiap peran yang dijalankan

akan menjadi berbeda, tergantung di mana individu itu berada. Peran individu

saat berada dalam lingkungan pekerjaan tentu akan berbeda saat individu

tersebut berada dalam lingkungan keluarga, lingkungan religius, atau

lingkungan kelompok komunitas.

2.1.2 Role Stress

Pada berbagai kondisi, peran yang “dimainkan” oleh individu sering

kali berubah menjadi tekanan bagi individu itu sendiri. Tekanan yang dialami

oleh individu ini selanjutnya disebut sebagai role stress. Selye (1931) dalam
19

Paramitha (2009) menggambarkan stress sebagai suatu reaksi yang dihasilkan

seorang individu baik secara psikis maupun secara fisik yang disebabkan oleh

keadaan lingkungan, seperti keributan, tekanan lingkungan, kenaikan

pangkat, dan lain-lain yang dialami oleh individu tersebut.

Paramitha (2009) mendefinisikan Role stress sebagai stres yang

disebabkan tuntutan dari organisasi lainnya, atas peranan yang diemban oleh

seorang individu. Role stress dapat timbul di lingkungan manapun individu

berada. Lingkungan kerja merupakan salah satu lingkungan yang

berkontribusi dalam memicu role stress. Berdasarkan beberapa penelitian

terdahulu dapat disimpulkan bahwa role stress terdiri atas tiga dimensi, yaitu

role ambiguity, role conflict, dan role overload.

Role ambiguity adalah situasi yang terjadi ketika individu kekurangan

cukup informasi untuk menyelesaikan perannya di sebuah organisasi. Role

ambiguity dapat mengarahkan auditor pada ketidakpastian berkaitan dengan

ekspektasi supervisor dan klien (Senatra 1980; Khan et al., 1964 dalam

Gratia, 2014). Lebih lanjut, role ambiguity juga dapat muncul ketika ada

harapan dari pihak lain (misalnya rekan kerja, atasan, dan klien) yang

dipersepsikan tidak jelas (Singh, 1998 dalam Astriana, 2010).

Secara umum, lingkungan KAP terbagi atas empat jenjang karir,

mulai dari auditor junior, auditor senior, manajer, dan partner. Sebagai

contoh, saat akan bekerja seorang auditor junior berharap mendapatkan

pengarahan dan pembagian tugas yang jelas. Pada praktiknya, seringkali saat

auditor akan mulai bekerja auditor junior tidak mengetahui apa saja yang
20

harus dilakukan dan bagaimana cara menyelesaikan pekerjaan. Padahal

tuntutan pekerjaan mengharuskan para auditor selalu menghadapi situasi-

situasi baru, klien baru, dan industri baru (Jones, 2007 dalam Gratia, 2014).

Kondisi saat auditor junior kekurangan cukup informasi untuk menyelesaikan

tugasnya seperti ini, menimbulkan terjadinya role ambiguity. Pada situasi

yang lain, role ambiguity dapat terjadi jika KAP mengalami perubahan

struktur dan perubahan peraturan kepegawaian, yang menyebabkan timbulnya

masalah-masalah seperti tuntutan dan tekanan atas pekerjaan yang lebih baik

(Ameen, et al, 1995 dalam Cahyono, 2008).

Beberapa peran sekaligus yang harus “dimainkan” seorang individu

dapat memunculkan beberapa konflik peran atau role conflict (Robbins, 2008

dalam Gratia, 2014). Robbins (2008) mendefinisikan role conflict sebagai

sebuah situasi di mana seorang individu dihadapkan pada ekspekstasi-

ekspektasi peran yang berlainan. Pada situasi ekstrem, hal tersebut meliputi

situasi dimana dua atau lebih ekspektasi peran saling bertentangan.

Ekspektasi peran adalah apa yang diyakini oleh orang lain mengenai

bagaimana seorang individu harus bertindak pada suatu situasi.

Konflik sering terjadi dalam hubungan yang erat (Peterson, 1983

dalam Cahyono, 2008). Potensi terjadinya konflik semakin meningkat apabila

interaksi menjadi semakin kerap dan melibatkan berbagai kegiatan dan hal-

hal yang semakin luas. Di dalam KAP, konflik dapat terjadi saat ekspektasi

manajer audit berbeda dengan ekspektasi manajer audit lainnya. Konflik ini

dapat berkembang menjadi penunjang hubungan atau penghancur hubungan


21

tergantung bagaimana konflik tersebut diselesaikan (Cahyono, 2008).

Pada lingkup yang lebih luas role conflict terjadi berkaitan dengan dua

peran auditor, sebagai profesional dan sebagai karyawan KAP. Auditor

sebagai profesional harus tunduk pada kode etik profesi yang ditetapkan oleh

IAPI dan sebagai karyawan auditor harus patuh pada nilai-nilai organisasi.

Role conflict muncul apabila dalam perannya, auditor sebagai profesi maupun

sebagai anggota organisasi merasakan adanya pertentangan antara nilai-nilai

yang dianut dalam organisasi dengan nilai-nilai yang harus dijunjung dalam

profesinya. Sepanjang perilaku yang ditetapkan organisasi konsisten dengan

yang ditetapkan oleh kode etik profesi role conflict tidak akan terjadi

(Lathifah, 2008).

Role overload adalah situasi yang terjadi apabila seorang karyawan

harus melaksanakan sejumlah tugas yang masuk akal bila dikerjakan satu per

satu, namun tugas-tugas tersebut menjadi sulit untuk dilaksanakan apabila

harus dilaksanakan secara bersamaan dalam periode waktu yang telah

ditentukan (Schick et al., 1990 dalam Gratia, 2014). Role overload dapat

terjadi ketika auditor memiliki beban pekerjaan sangat berat yang tidak sesuai

dengan waktu yang tersedia dan kemampuan yang dimiliki (Shick, Gordon,

dan Haka, 1990 dalam Murtiasri dan Ghozali, 2006). Berkaitan dengan role

overload, hal-hal yang biasanya menjadi keluhan auditor adalah jam kerja

yang tinggi, beban kerja yang berat, dan lingkungan kerja yang tidak

bersahabat.

Di lingkungan kerja auditor role overload biasanya terjadi saat


22

datangnya busy season. Busy season adalah masa sibuk saat auditor memiliki

jumlah pekerjaan yang lebih banyak dari hari-hari biasanya, namun harus

segera diselesaikan dengan alokasi waktu yang singkat. Di Indonesia busy

season biasanya terjadi di bulan November hingga bulan Maret tahun

berikutnya. Pada masa ini auditor memiliki tanggung jawab untuk melakukan

pekerjaan lapangan dan mencari data yang dibutuhkan di kantor klien,

kemudian setelah itu harus segera mengaudit laporan keuangan dan

menyusun kertas kerja. Pekerjaan-pekerjaan tersebut, mungkin menjadi hal

yang ringan apabila dikerjakan pada hari-hari biasa, namun pekerjaan itu

menjadi berat pada masa busy season sebab auditor dibebani dengan

pekerjaan yang banyak dan harus diselesaikan dalam waktu yang telah

ditentukan.

2.1.3 Job Outcomes

Job outcomes secara sederhana dapat diterjemahkan sebagai “hasil

kerja”. Norman, Jones, dan Wier (2010) dalam Gratia (2014) membangun

variabel job outcomes yang terdiri atas tiga dimensi, yaitu job performance,

job satisfaction, dan turnover intention.

Dimensi yang pertama adalah job satisfaction atau kepuasan kerja.

Mayoritas definisi kepuasan kerja atau job satisfaction diambil atau

diadaptasi dari bidang psikologi. Job satisfaction didefinisikan sebagai

kondisi menyenangkan atau secara emosional positif yang berasal dari

penilaian seseorang atas pekerjaannya atau pengalaman kerjanya (Locke,

1976 dalam Gratia, 2014).


23

Setyorini (2011) menyimpulkan dari pendapat beberapa para ahli

bahwa kepuasan kerja atau job satisfaction ialah perasaan yang dirasakan

oleh karyawan terhadap pekerjaannya dan juga karena faktor-faktor yang

mendukung dalam menyelesaikan pekerjaannya seperti supervisi, gaji dan

tunjangan, kesempatan untuk mendapatkan promosi dan kenaikan pangkat,

kondisi kerja, pengalaman terhadap kecakapan, penilaian kerja yang adil dan

tidak merugikan, hubungan sosial di dalam pekerjaan yang baik, penyelesaian

yang cepat terhadap keluhan-keluhan dan perlakuan yang baik dari pimpinan

terhadap karyawan. Di sisi lain, kepuasan kerja tidak hanya berkaitan dengan

kondisi pekerjaan, tetapi juga berkaitan dengan kepribadian masing-masing

individu. Individu yang memiliki kepribadian negatif (cenderung galak atau

terlalu kritis) biasanya tidak menyukai sebagian besar hal dalam hidupnya,

termasuk pekerjaan mereka walaupun pekerjaannya tampak sangat hebat

(Robbins, 2008 dalam Gratia, 2014).

Variabel job satisfaction menjadi variabel yang penting sebab puas

atau tidak puasnya seorang individu dalam sebuah organisasi akan membawa

dampak yang cukup signifikan bagi organisasi. Dalam suatu organisasi

ketidakpuasan kerja dapat ditunjukkan melalui berbagai cara, Robins dan

Judge (2009) menerangkan ada empat respon yang bebeda satu sama lain

dalam dua dimensi yaitu konstruktif/destruktif dan aktif/pasif, dengan

penjelasan sebagai berikut:

1. Exit, ketidakpuasan ditunjukkan melalui perilaku diarahkan pada

meninggalkan organisasi, termasuk mencari posisi baru atau


24

mengundurkan diri.

2. Voice, Ketidakpuasan ditunjukkan melalui usaha secara aktif dan

konstruktif untuk memperbaiki keadaan, termasuk menyarankan

perbaikan, mendiskusikan masalah dengan atasan, dan berbagai

bentuk aktivitas perserikatan.

3. Loyalty, ketidakpuasan ditunjukkan secara pasif, tetapi optimistik

dengan menunggu kondisi untuk memperbaiki, termasuk dengan

berbicara bagi organisasi dihadapan kritik eksternal dan

mempercayai organisasi dan manajemen melakukan hal yang

benar.

4. Neglect, ketidakpuasan ditunjukkan melalui tindakan secara pasif

membiarkan kondisi semakin buruk, termasuk kemangkiran atau

keterlambatan secara kronis, mengurangi usaha, dan

meningkatkan tingkat kesalahan.

Dimensi yang kedua adalah job performance. Dalam bahasa Indonesia

performance dapat diartikan menjadi kinerja. Kamus Besar Bahasa Indonesia

mendefinisikan kinerja sebagai sesuatu yang dicapai atau prestasi yang

diperlihatkan. Astriana (2010) mengemukakan bahwa “Pada hakekatnya job

performance merupakan kesuksesan seorang karyawan dalam melakukan

suatu pekerjaan selama periode waktu tertentu dengan didasarkan pada

ketentuan yang telah ditetapkan”. Dari definisi tersebut dapat diketahui

bahwa job performance tidak dapat dievaluasi dalam satu rentang waktu yang

singkat, tetapi dalam rentang waktu yang cukup panjang. Individu yang
25

memiliki kinerja tinggi biasanya berorientasi pada prestasi, memiliki

kepercayaan diri, memiliki pengendalian diri, dan memiliki kompetensi

(Sinaga dan Sinambela, 2013). Berdasarkan karakteristik tersebut, dapat

disimpulkan bahwa job performance adalah tindakan nyata seseorang yang

dibuktikan dengan dimilikinya kompetensi yang sesuai dengan peran yang

sedang dijalankannya dan ditampilkan sebagai prestasi sesuai dengan peran

setiap individu dalam organisasi.

Pada tingkat individu terdapat beberapa faktor yang menentukan

tingkat job performance, yaitu kemampuan, motivasi, dukungan yang

diterima, keberadaan pekerjaan yang dilakukan, dan hubungan dengan

organisasi (Mathis dan Jackson, 2001 dalam Sinaga dan Sinambela, 2013).

Tinggi rendahnya tingkat kinerja seseorang tentu akan membawa pengaruh

bagi individu maupun organisasi. Apabila seseorang memiliki tingkat job

performance rendah, maka yang akan terjadi adalah meningkatnya potensi

kesalahan dan kurangnya kredibilitas (Fisher, 2001 dalam Astriana, 2010).

Dimensi yang ketiga adalah turnover intention. Turnover intention

adalah kecenderungan atau niat karyawan untuk berhenti bekerja dari

pekerjaannya (Zeffane, 1994). Menurut Mobley et al. (1978) dalam Grant et

al. (2001) keinginan untuk pindah dapat dijadikan gejala awal terjadinya

turnover dalam sebuah perusahaan. Toly (2001) menyatakan tingkat

keinginan berpindah yang tinggi para staf akuntan telah menimbulkan biaya

potensial untuk Kantor Akuntan Publik (KAP). Pendapat ini menunjukkan

bahwa turnover intention merupakan bentuk keinginan karyawan untuk


26

berpindah ke perusahaan lain. Turnover intention juga dapat diartikan sebagai

pergerakan tenaga kerja keluar dari organisasi. Turnover dapat berupa

pengunduran diri, perpindahan keluar unit organisasi, pemberhentian atau

kematian anggota organisasi.

Menurut Harnoto (dikutip oleh Carolina, 2012) dalam praktiknya

terjadinya turnover intention dapat diketahui dengan munculnya beberapa

tanda berikut ini:

1. Absensi yang meningkat

Pegawai yang memiliki keinginan untuk berpindah kerja,

biasanya ditandai dengan absensi yang semakin meningkat. Pada

fase ini tingkat tanggung jawab pegawai sangat kurang

dibandingkan dengan periode-periode sebelumnya.

2. Mulai malas bekerja

Pegawai yang memiliki keinginan untuk berpindah kerja,

cenderung menjadi lebih malas bekerja. Pegawai menjadi malas

karena orientasi pegawai ini adalah bekerja di tempat lainnya

yang dipandang lebih mampu memenuhi semua keinginan

pegawai yang bersangkutan.

3. Peningkatan terhadap pelanggaran tata tertib kerja

Pegawai yang memiliki keinginan untuk berpindah kerja,

biasanya mulai melakukan berbagai pelanggaran terhadap tata

tertib dalam lingkungan pekerjaan. Salah satu contoh yang paling

sederhana adalah pegawai lebih sering meninggalkan tempat kerja


27

pada jam-jam kerja bukan dengan tujuan menyelesaikan

kepentingan pekerjaan.

4. Peningkatan protes terhadap atasan

Pegawai yang memiliki keinginan untuk berpindah kerja,

cenderung lebih sering melakukan protes terhadap atasannya

berkaitan dengan kebijakankebijakan perusahaan. Materi protes

yang ditekankan biasanya berhubungan dengan balas jasa atau

aturan lain yang tidak sesuai dengan keinginan pegawai.

5. Perilaku positif yang sangat berbeda dari biasanya

Adanya turnover intention tidak selamanya ditandai dengan hal-

hal yang bersifat negatif, ada kalanya turnover intention juga

ditandai dengan halhal yang bersifat positif. Hal seperti ini

biasanya berlaku di kalangan pegawai yang memiliki karakteristik

positif. Pegawai ini mempunyai rasa tanggung jawab terhadap

tugas yang diberikan padanya. Suatu saat jika perilaku positif

pegawai ini meningkat jauh dan berbeda dari biasanya justru

menunjukkan pegawai ini memiliki niat untuk berpindah kerja.

Pada saat turnover telah terjadi perusahaan akan menanggung dampak

terlihat maupun tidak terlihat. Beberapa dampak yang termasuk dampak

terlihat antara lain adanya biaya iklan, biaya perjalanan penerimaan, gaji dan

biaya yang dikeluarkan selama proses aplikasi dan wawancara calon pegawai

baru, dan biaya penempatan karyawan baru. Beberapa dampak yang termasuk

dampak tidak tampak antara lain hilangnya produktivitas saat karyawan


28

pindah, karyawan lain harus melakukan pekerjaan yang lebih banyak, tidak

ada produktifitas di masa lowong, dan rendahnya produktivitas saat karyawan

baru menjalani pelatihan (Aamodt, 2004 dalam Carolina, 2012).

2.1.4 Job Burnout dan Psychological Well-being

Dewasa ini ilmu psikologi turut berpartisipasi pada pengembangan

bidang akuntansi. Hal ini disebabkan adanya hubungan yang erat antara

individu-individu yang terlibat dalam kegiatan akuntansi (auditor KAP,

auditor internal, dan analis keuangan) dan perilaku yang ditunjukkannya,

organisasi yang berkepentingan (KAP, perusahaan klien, pemungut pajak,

pasar modal pemerintah), dan masyarakat. Aspek psikologis yang banyak

berperan dalam aktivitas auditor sebagai individu adalah job burnout dan

psychological well-being.

Salah satu definisi burnout dapat diketahui dari Cordes & Dougherty

(dikutip dari Murtiasri dan Ghozali, 2006) yang mengemukakan bahwa

burnout adalah kondisi yang terjadi akibat gabungan dari tiga tendensi psikis,

yaitu kelelahan emosional (emotional exhaustion), penurunan prestasi kerja

(reduced personal accomplishment) dan sikap tidak peduli terhadap karir dan

diri sendiri (depersonalization).

Pertama, emotional exhaustion adalah suatu dimensi dari kondisi

burnout yang ditandai dengan hilangnya perasaan dan perhatian,

kepercayaan, minat dan semangat. Individu yang mengalami emotional

exhaustion ini akan merasa hidupnya kosong, lelah dan merasa tidak dapat

lagi mengatasi tuntutan pekerjaannya.


29

Kedua, reduced personal accomplishment merupakan dampak dari

tidak adanya aktualisasi diri, rendahnya motivasi kerja dan penurunan rasa

percaya diri. Seringkali kondisi ini ditandai dengan kecenderungan individu

untuk mengevaluasi diri secara negatif sehubungan dengan prestasi yang telah

dicapainya.

Ketiga, depersonalization adalah kecenderungan perasaan manusia

terhadap sesama yang merupakan pengembangan sikap sinis mengenai karir

dan kinerja diri sendiri. Orang yang mengalami depersonalisasi merasa tidak

ada satupun aktivitas yang dilakukannya bernilai atau berharga. Sikap ini

ditunjukkan melalui perilaku yang tidak acuh, bersikap sinis, tidak

berperasaan dan tidak memperhatikan kepentinganorang lain.

Definisi burnout juga dinyatakan oleh Feldman dan Weitz 1988

(dalam Gratia, 2014) yang menyatakan bahwa job burnout adalah hasil dari

akumulasi efek role stress. Role stress yang terdiri atas tiga dimensi (role

ambiguity, role conflict, dan role overload) mungkin tidak akan menimbulkan

dampak yang berlebihan jika terjadi tidak secara bersamaan, namun saat

ketiga hal tersebut dialami secara bersamaan hal tersebut dapat menutupi

sumber daya individu (Feldman dan Weitz, 1988 dalam Jones, Norman, dan

Wier, 2010). Dari definisi-definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa burnout

dapat terjadi setelah melalui jangka waktu yang cukup panjang dan dihasilkan

dari akumulasi stres kerja.

Psychological well-being adalah sebuah kondisi individu yang

memiliki sikap positif terhadap dirinya sendiri dan orang lain. Sikap positif
30

tersebut ditandai dengan adanya kemampuan membuat keputusan sendiri dan

mengatur tingkah lakunya. Individu yang bersangkutan juga dapat

menciptakan dan mengatur lingkungan yang sesuai dengan kebutuhannya,

memiliki tujuan hidup dan membuat hidup lebih bermakna, serta berusaha

mengeksplorasi dan mengembangkan dirinya (Ryff, 1989 dalam Gratia,

2014). Ryff (1995) memaparkan enam dimensi psychological well-being

berikut ini:

1. Dimensi Penerimaan Diri (Self-Acceptance)

Dimensi ini berkaitan dengan penerimaan individu pada masa kini

dan masa lalunya, self-acceptance juga berkaitan dengan sikap

positif terhadap diri sendiri (Ryff, 1989 dalam Gratia, 2014).

Seorang individu dikatakan memiliki nilai self-acceptance yang

tinggi apabila ia memiliki sikap positif terhadap dirinya sendiri,

mampu menghargai dan menerima berbagai aspek yang baik

maupun buruk dalam dirinya, dan merasa positif tentang

kehidupan masa lalunya. Sedangkan individu dikatakan memiliki

self-acceptance yang rendah apabila ia merasa tidak puas dengan

dirinya sendiri, kecewa terhadap apa yang terjadi di masa lalu,

bermasalah dengan kualitas tertentu pada dirinya dan selalu

berharap menjadi berbeda dari dirinya sekarang.

2. Dimensi Relasi Positif dengan Orang Lain (Positive Relations

with Others)

Seseorang dikatakan memiliki hubungan yang positif dengan


31

orang lain apabila ia mampu menjalin hubungan yang hangat dan

penuh kepercayaan dengan orang lain, mau memperhatikan

kesejahteraan sesamanya, mampu menunjukkan empati, afeksi,

dan intimitas. Hubungan positif dengan orang lain juga

ditunjukkan dengan kemampuan memahami konsep memberi dan

menerima dalam sebuah hubungan. Sedangkan seseorang yang

memiliki relasi positif pada tingkat yang rendah memiliki lebih

sedikit hubungan yang dekat dan penuh kepercayaan dengan

sesamanya, sulit menjadi pribadi yang hangat, terbuka, dan peduli

terhadap orang lain. Lebih lanjut, ia juga terisolasi dan putus asa

terhadap relasi interpersonal, dan tidak memiliki berkeinginan

untuk berkompromi dan mempertahankan hubungan dengan

orang lain.

3. Dimensi Autonomi (Autonomy)

Seseorang dikatakan memiliki autonomi yang tinggi apabila ia

memiliki kemandirian dan mampu memutuskan segala sesuatu

seorang diri, mampu bertahan dari tekanan-tekanan sosial untuk

berpikir dan bertindak dengan cara yang pasti. Ciri lainnya adalah

ia mampu mengevaluasi dirinya dengan standar yang telah

ditetapkannya. Sedangkan individu yang memiliki autonomi

rendah ditandai dengan sikap yang terlalu memperhatikan

ekspektasi dan penilaian dari orang lain dan bergantung pada

penilaian orang lain dalam membuat suatu keputusan penting.


32

4. Dimensi Penguasaan Lingkungan (Environmental Mastery)

Seseorang dikatakan memiliki penguasaan lingkungan yang tinggi

apabila ia memiliki kemampuan dalam mengelola atau menguasai

lingkungannya dan mampu mengendalikan aktivitas eksternal.

Selain itu ia juga mampu memanfaatkan peluang-peluang yang

ada di sekitarnya dengan efektif dan mampu memilih atau

menciptakan kondisi yang sesuai dengan kebutuhan dan nilai-

nilai personal. Sedangkan individu dikatakan memiliki

penguasaan lingkungan yang rendah apabila ia memiliki kesulitan

dalam mengelola situasi sehari-hari, tidak mampu mengubah atau

memperbaiki kondisi lingkungan sekitar, serta tidak tanggap

terhadap peluang-peluang yang ada di sekitarnya.

5. Dimensi Tujuan Hidup (Purpose in Life)

Seseorang dikatakan memiliki dimensi tujuan hidup yang tinggi

apabila ia memiliki cita-cita dalam hidup, merasa memiliki arti

terhadap kehidupan masa lalu dan masa kini, serta memiliki

kepercayaan terhadap tujuan hidup yang diberikan dan memiliki

target dalam kehidupannya setiap hari. Sedangkan individu yang

memiliki dimensi tujuan hidup yang rendah ditandai dengan

ketidakmampuan dalam menghargai hidup, hanya sedikit atau

tidak memiliki target, keterarahan. Individu tersebut juga tidak

memahami hikmah dari peristiwa yang terjadi di masa lalu.


33

6. Dimensi Pertumbuhan Pribadi (Personal Growth)

Seseorang dikatakan memiliki pertumbuhan pribadi yang tinggi

ditandai dengan adanya perasaan untuk terus berkembang,

terbuka terhadap pengalaman baru, dan memiliki kemampuan

untuk merealisasikan kemampuan yang dimilikinya. Lebih lanjut,

ia juga dapat merasakan peningkatan yang terjadi pada dirinya

dan dapat berubah menjadi pribadi yang lebih efektif dan

mengerti dirinya sendiri. Sedangkan seseorang yang memiliki

nilai pertumbuhan personal yang rendah biasanya merasa

mengalami stagnasi dalam hidupnya, selalu merasa bosan dan

tidak tertarik dengan kehidupannya. Ia juga kehilangan keinginan

untuk berkembang dan tidak memiliki kemampuan dalam

memperbaiki diri menuju perilaku dan kebiasaan baru yang lebih

baik.

Berdasarkan beberapa penelitian terdahulu, diketahui ada beberapa

faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya tingkat psychological well-being

setiap individu (Ryff, 1989; Ryff dan Keyes, 1995; Ryff, 1994; Ryff dan

Essex, 1992; Safarino, 1990 dalam Gratia, 2014). Faktor-faktor tersebut

adalah:

1. Faktor Demografis, yang terdiri atas usia, jenis kelamin, status

sosial ekonomi, dan budaya.

2. Dukungan Sosial, yang terdiri atas dukungan emosional,

dukungan penghargaan, dukungan instrumental, dan dukungan


34

informasional.

3. Evaluasi terhadap pengalaman hidup, yang terdiri atas mekanisme

perbandingan sosial, mekanisme perwujudan penghargaan,

mekanisme persepsi diri terhadap tingkah laku, dan mekanisme

pemusatan psikologis

4. Locus of Control Internal atau Locus of Control Eksternal

masing-masing individu.

5. Faktor Religiusitas yang terdiri atas doa, partisipasi aktif dalam

kegiatan keagamaan, dan keterlibatan religius.

2.1.5 Gaya Hidup Sehat dan Vitality

Menurut KBBI sehat didefinisikan sebagai keadaan yang baik seluruh

badan dan bagian-bagiannya. Definisi lain diberikan oleh Danna dan Griffin

(dalam Gratia, 2014) yang mendefinisikan healthy lifestyle sebagai aktivitas

mempertahankan program pelatihan fisik rutin, diet seimbang, kebiasaan tidur

yang baik, dan membatasi diri dari kelebihan konsumsi produk alkohol dan

tembakau. World Health Organization (WHO) memberikan definisi gaya

hidup sehat berkaitan dengan tiga hal utama dalam hidup, yaitu:

1. Gaya hidup sehat adalah cara hidup yang meminimalisasi resiko

penyakit-penyakit serius atau kematian. Meskipun tidak semua

penyakit dapat dicegah, namun data WHO menunjukkan bahwa

mayoritas kematian penduduk disebabkan oleh penyakit jantung

koroner dan kanker paru-paru, yang seharusnya dapat dicegah

sejak dini.
35

2. Gaya hidup sehat adalah cara hidup yang mampu membuat

seseorang dapat menikmati kehidupannya. Hal ini disebabkan

bahwa sehat tidak hanya berkaitan dengan sakit dan penyakit,

namun juga berkaitan dengan kondisi fisik, mental, dan

kesejahteraan sosial.

3. Gaya hidup sehat adalah gaya hidup yang dapat membantu

seluruh anggota keluarga. Ketika seseorang melaksanakan gaya

hidup sehat, maka ia adalah teladan yang baik bagi seluruh

anggota keluarga, termasuk anak-anak. Menerapkan gaya hidup

sehat berarti menciptakan lingkungan yang lebih baik, khususnya

untuk pertumbuhan anak-anak, dan turut berkontribusi dalam

membangun kesejahteraan dan kesuksesan anak-anak di masa

yang akan datang.

Menurut WHO, setidaknya ada empat hal utama yang harus menjadi

perhatian dalam menjalankan gaya hidup sehat. Empat hal tersebut adalah:

1. Rokok dan produk-produk tembakau lainnya

Rokok dan produk-produk tembakau lainnya memiliki potensi

yang besar dalam menyebabkan gangguan pernapasan, penyakit

jantung koroner, dan kanker bagi orang yang mengonsumsinya.

Belum lagi potensi infeksi yang dapat terjadi di rongga dada,

hidung, telinga, dan tenggorokan keluarga perokok yang dapat

meningkat dua hingga tiga kali lipat. Oleh sebab itu WHO

menganjurkan agar seseorang yang belum pernah merokok agar


36

jangan sekali-sekali mencoba merokok, dan mengimbau agar para

perokok untuk berhenti merokok demi kesehatan.

2. Aktivitas fisik

Delapan Aktivitas fisik diperlukan untuk menstimulasi sistem

pemeliharaan dan perbaikan tubuh secara alami. Organ-organ

tubuh, khususnya tulang, sendi, otot, dan jantung akan selalu

terpelihara meskipun tubuh memiliki aktivitas tinggi. Secara

sederhana dapat dikatakan bahwa aktivitas fisik berkaitan dengan

kondisi fisik yang baik. Secara umum ada tiga komponen utama

yang berkaitan dengan kondisi fisik yang baik, yaitu stamina,

kekuatan, dan fleksibilitas tubuh. Kondisi fisik yang baik dapat

dimiliki dengan berbagai cara yang sederhana dan murah untuk

dijalankan secara rutin seperti berjalan kaki, bersepeda, jogging,

atau berenang.

3. Makanan sehat dan asupan nutrisi berimbang

Menjadi hal yang sangat penting untuk menikmati makanan yang

dikonsumsi sehari-hari, namun beberapa bukti menunjukkan

bahwa mayoritas masyarakat terlalu banyak mengonsumsi

makanan yang mengandung lemak hewani yang berisiko bagi

kesehatan tubuh. WHO menganjurkan agar setiap individu

memperhatikan komposisi makanan yang dikonsumsinya. Setiap

makanan yang dikonsumsi setiap hari idealnya mengandung

beberapa nutrisi berikut:


37

a. Kentang, roti, beras, atau sereal sebagai sumber karbohidrat

yang memberi energi untuk seluruh aktivitas sehari-hari.

Makanan tersebut juga merupakan sumber protein, vitamin,

dan mineral.

b. Buah dan sayuran sebagai sumber vitamin dan mineral. Ada

pula yang menganjurkan untuk mengonsumsi kacang-

kacangan sebagai sumber zat besi.

c. Daging, telur, dan berbagai jenis ikan sebagai sumber lemak.

Jenis makanan ini penting bagi tubuh, namun tidak boleh

dikonsumsi dalam jumlah yang terlalu banyak. Jumlah lemak

yang terlalu banyak dalam tubuh dapat meningkatkan potensi

penyakit jantung koroner dan kelebihan berat badan.

d. Susu dan produk olahan susu seperti keju dan yoghurt adalah

sumber protein, vitamin, dan mineral yang baik. Pada situasi

yang memungkinkan cobalah untuk mengonsumsi susu atau

produk olahan susu yang rendah lemak.

e. Minyak dan gula, bahan makanan ini diperlukan oleh tubuh

dalam jumlah yang sangat sedikit.

4. Minuman beralkohol

Pada beberapa lingkungan tertentu, mengonsumsi alkohol dalam

jumlah yang sedikit membantu beberapa individu bergaul di

lingkungannya, namun alkohol dalam jumlah yang berlebihan

juga berbahaya bagi kesehatan tubuh. Terlalu sering


38

mengonsumsi alkohol dalam jumlah banyak berbahaya bagi

kesehatan tubuh sebab dapat meningkatkan resiko serangan

stroke, kanker, sirosis hati, malnutrisi dan meningkatkan potensi

kecelakaan di kantor, rumah, dan jalan raya. Dari segi psikologis,

alkohol juga berpotensi menyebabkan depresi, tindak kekerasan,

dan menjadi teladan yang buruk bagi lingkungan.

Kebiasaan seorang individu dalam menjalankan perilaku gaya hidup

sehat erat kaitannya dengan vitality. Vitality dapat diterjemahkan ke dalam

bahasa Indonesia menjadi vitalitas. Secara sederhana KBBI mendefinisikan

vitalitas sebagai kemampuan untuk bertahan hidup. Pandangan lain

mendefinisikan vitality sebagai dimilikinya perasaan positif atas kehidupan

dan energi (Ryan dan Frederick, 1997 dalam Gratia, 2014). Ryan dan

Frederick (1997) menyatakan bahwa perasaan positif ini semata-mata tidak

hanya berkaitan dengan tingkat keaktifan, kemampuan tergugah, atau bahkan

adanya cadangan kalori. Perasaan positif ini juga berkaitan dengan

dimilikinya antusiasme dan semangat oleh setiap individu. Masing-masing

individu memiliki pengalaman yang berbeda-beda berkaitan dengan vitality.

Pengalaman tersebut tidak hanya berkaitan dengan hal-hal yang berpengaruh

secara fisik seperti sakit, penyakit, dan kelelahan fisik, tetapi juga berkaitan

dengan faktor psikologis seperti perasaan jatuh cinta, dimilikinya tujuan, dan

menjadi seorang yang berhasil.

2.1.6 Profesi Akuntan Publik di Indonesia

Salah satu definisi profesi akuntan publik dapat ditemukan dalam


39

Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 17/PMK.01/2008 Tentang Jasa Akuntan

Publik. Akuntan Publik adalah akuntan yang telah memperoleh izin dari

Menteri untuk memberikan jasa sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri

Keuangan. Sedangkan Kantor Akuntan Publik yang selanjutnya disebut KAP,

adalah badan usaha yang telah mendapatkan izin dari Menteri sebagai wadah

bagi Akuntan Publik dalam memberikan jasanya. Bidang jasa Akuntan Publik

dan KAP adalah atestasi, yang meliputi:

a. Jasa audit umum atas laporan keuangan

b. Jasa pemeriksaan atas laporan keuangan prospektif

c. Jasa pemeriksaan atas pelaporan informasi keuangan proforma

d. Jasa reviu atas laporan keuangan

e. Jasa atestasi lainnya sebagaimana tercantum dalam SPAP.

Selain jasa sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) Peraturan

Menteri Keuangan Nomor: 17/PMK.01/2008 Tentang Jasa Akuntan Publik,

Akuntan Publik dan KAP dapat memberikan jasa audit lainnya dan jasa yang

berkaitan dengan akuntansi, keuangan, manajemen, kompilasi, perpajakan,

dan konsultasi sesuai dengan kompetensi Akuntan Publik dan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

Perkembangan berbagai bidang kehidupan, khususnya bidang

ekonomi menjadi salah satu faktor penyebab profesi akuntan publik tumbuh

dan berkembang di Indonesia. Keberadaan profesi akuntan publik di

Indonesia sungguh diakui dan didukung oleh pemerintah. Dukungan tersebut

dituangkan dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2011 tentang


40

Akuntan Publik yang menyatakan bahwa profesi akuntan publik memiliki

peranan yang besar dalam mendukung perekonomian nasional yang sehat dan

efisien serta meningkatkan transparansi dan mutu informasi dalam bidang

keuangan. Sebagai salah satu profesi pendukung kegiatan dunia usaha, dalam

era globalisasi perdagangan barang dan jasa, kebutuhan pengguna jasa

akuntan publik akan semakin meningkat, terutama kebutuhan atas kualitas

informasi keuangan yang digunakan sebagai salah satu pertimbangan dalam

pengambilan keputusan.

Profesi akuntan publik di Indonesia menanggung beban kerja yang

cukup berat sebab UU Nomor 5 Tahun 2011 tentang Akuntan Publik pasal 2

mengatur bahwa wilayah kerja akuntan publik meliputi seluruh wilayah

Negara Kesatuan Republik Indonesia. Wilayah kerja yang luas membuka

peluang bagi para akuntan publik untuk mendapat tugas mengobservasi

langsung keberadaan persediaan, peralatan, atau mesin-mesin yang dimiliki

perusahaan tidak hanya di kota tempat KAP beroperasi namun juga kota-kota

lain di seluruh wilayah nusantara.

Lebih lanjut, secara umum situasi kerja auditor di Indonesia dapat

dibagi menjadi dua periode yaitu busy season dan low season. Masa busy

season auditor di Indonesia biasanya berlangsung sejak bulan November

hingga bulan Maret tahun berikutnya. Pada bulan-bulan tersebut auditor

mulai melakukan interim fieldwork atau kerja lapangan sebelum klien

melakukan tutup buku laporan keuangan di bulan Desember. Setelah bulan

Desember, auditor melakukan final fieldwork untuk melengkapi interim


41

fieldwork berdasarkan laporan keuangan klien yang dibuat per bulan

Desember. Masa sibuk ini terus berlangsung hingga bulan Maret, April atau

Mei yang biasanya merupakan deadline penerbitan laporan keuangan yang

telah diaudit.

2.3 Kerangka Konseptual

Gambar 2.1
KERANGKA KONSEPTUAL

Gaya Hidup
Sehat

H4b+

Role H4a+ Job


Vitality H3a-
Ambiguity Satisfaction

H1a H5a+
H4c+

Role Job Psychological H5b+ Job


Conflict H1b H Burnout H2- Well-Being Performance

1b
H3c+ H5c-
H1c
Role H3b- Turnover
Overload Intention

Keterangan : Garis lurus dalam gambar menandakan adanya hubungan positif


maupun negatif antar variabel. Garis lurus ini juga yang membentuk
hipotesis penelitian.
42

2.4 Hipotesis

2.4.1 Hubungan antara role stress dengan job burnout

H1a : Role ambiguity berhubungan dengan job burnout.

H1b : Role conflict berhubungan dengan job burnout.

H1c : Role overload berhubungan dengan job burnout.

2.4.2 Hubungan antara job burnout dengan psychological well-being

dan job outcomes

H2 : Job burnout pada level yang tinggi akan berhubungan negatif


dengan psychological well-being.

H3a : Job burnout pada level yang tinggi dan tidak dimediasi oleh
psychological well-being akan berhubungan negatif dengan job
satisfaction.

H3b : Job burnout pada level yang tinggi dan tidak dimediasi oleh
psychological well-being akan berhubungan negatif dengan job
performance.

H3c : Job burnout pada level yang tinggi dan tidak dimediasi oleh
psychological well-being akan berhubungan positif dengan
turnover intention.

2.4.3 Hubungan antara gaya hidup sehat dan vitality dengan

psychological well-being

H4a : Gaya hidup sehat akan berhubungan positif dengan


psychological well-being.

H4b : Gaya hidup sehat akan berhubungan positif dengan vitality.

H4c : Vitality akan berhubungan positif dengan psychological well-


being.

2.4.4 Hubungan antara psychological well-being dengan job outcomes

H5a : Gaya hidup sehat yang dimediasi oleh vitality dan peningkatan
psychological well-being, akan mengurangi efek negatif dari
43

role stress, yang dimediasi oleh job burnout dan psychological


well being, sehingga menghasilkan hubungan positif dengan
job satisfaction.

H5b : Gaya hidup sehat yang dimediasi oleh vitality dan peningkatan
psychological well-being akan mengurangi efek negatif dari
role stress, yang dimediasi oleh job burnout dan psychological
well-being, sehingga menghasilkan hubungan positif dengan
job performance.

H5c : Gaya hidup sehat yang dimediasi oleh vitality dan peningkatan
psychological well-being, akan mengurangi efek negatif dari
role stress, yang dimediasi oleh job burnout dan psychological
well-being, sehingga menghasilkan hubungan negatif dengan
job turnover intention.
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis, Waktu, Lokasi Penelitian

3.1.1 Jenis Penelitian

Berdasarkan jenis datanya penelitian ini dapat dikategorikan sebagai

penelitian kuantitatif yaitu penelitian yang datanya merupakan data kuantitatif

sehingga analisis datanya menggunakan analisis kuantitatif (inferensi).

Menurut Emzir (2010) penelitian kuantitatif adalah analisis statistik dan data

yang dikumpulkan lebih mengambil bentuk yang dapat dihitung (numeric).

Penelitian ini juga merupakan penelitian kausalitas (hubungan sebab-

akibat). Menurut Sugiyono (2010) penelitian kausalitas adalah penelitian

yang bertujuan menganalisis hubungan sebab-akibat antara variabel

independen (variabel yang mempengaruhi) dan variabel dependen (variabel

yang dipengaruhi).

Berdasarkan metodenya penelitian ini juga dapat digolongkan sebagai

penelitian survei yaitu penelitian yang dilakukan pada populasi besar atau

kecil tetapi data yang dipelajari adalah data dari sampel yang diambil dari

populasi. Penelitian survei umumnya dilakukan untuk mengambil suatu

generalisasi dari pengamatan yang tidak mendalam (Prasetyo, 2005). Data

yang dikumpulkan dalam penelitian ini berupa data primer, yaitu data yang

dikumpulkan langsung kepada objek penelitian dengan menggunakan

kuesioner.

44
45

3.1.2 Waktu Penelitian

Waktu yang diambil peniliti dalam penelitian ini dimulai dari 1 Juli

2016 hingga selesai.

3.1.3 Lokasi Penelitian

Dalam penelitian ini peneliti memilih Kantor Akuntan Publik (KAP)

di Kota Surabaya dan Malang sebagai lokasi penelitian.

3.2 Populasi dan Sampel

3.2.1 Populasi

Populasi adalah jumlah keseluruhan objek (satuan atau individu) yang

karekteristiknya hendak diduga. Populasi merupakan wilayah generalisasi

yang terdiri dari atas objek atau subyek yang mempunyai kualitas dan

karekteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan

kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2008;115). Populasi dalam

penelitian ini adalah seluruh auditor yang bekerja pada Kantor Akuntan

Publik (KAP) di kota Surabaya dan Malang.

3.2.2 Sampel

Sampel dalam penelitian ini dipilih menggunakan metode simple

random sampling. Metode ini dipilih karena anggota populasi yakni seluruh

auditor KAP Kota Surabaya dan Malang dianggap homogen, pengambilan

sampel dilakukan secara acak tanpa memperhatikan strata yang ada . Auditor

yang berpartisipasi sebagai responden dalam penelitian ini adalah auditor

profesional pria dan wanita yang bekerja di bidang audit, perpajakan,


46

konsultan, dan bidang penugasan lainnya. Seluruh responden berasal dari

berbagai jenjang karir, mulai dari auditor junior, auditor senior, manajer, dan

partner.

3.3 Variabel Penelitian

Variabel adalah segala sesuatu yang berbentuk apa saja yang ditetapkan

oleh peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh informasi tentang hal tersebut,

kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2009). Penelitian ini menggunakan

variabel eksogen, variabel endogen, dan variabel mediating yang melibatkan

sepuluh variabel penelitian.

1. Variabel eksogen dalam penelitian ini adalah gaya hidup sehat dan

role stress yang terdiri atas tiga dimensi yaitu role ambiguity, role

conflict, dan role overload.

2. Variabel endogen dalam penelitian ini adalah job outcomes yang

terdiri atas tiga dimensi yaitu job satisfaction, job performance, dan

turnover intention.

3. Variabel mediating dalam penelitian ini adalah job burnout,

psychological well-being, dan vitality.

3.4 Definisi Operasional Variabel

Menurut Sugiyono (2012), definisi operasional variabel adalah penentuan

konstrak atau sifat yang akan dipelajari sehingga menjadi variabel yang dapat

diukur. Definisi operasional menjelaskan cara tertentu yang digunakan untuk

meneliti dan mengoperasikan konstrak, sehingga memungkinkan bagi peneliti


47

yang lain untuk melakukan replikasi pengukuran dengan cara yang sama atau

mengembangkan cara pengukuran konstrak yang lebih baik.

3.4.1 Role Ambiguity (RA)

Role ambiguity adalah situasi yang terjadi ketika individu

kekurangan informasi untuk menyelesaikan perannya di sebuah organisasi.

Role ambiguity dapat mengarahkan auditor pada ketidakpastian berkaitan

dengan ekspektasi supervisor dan klien (Senatra 1980; Khan et al., 1964

dalam Gratia, 2014). Variabel ini diukur menggunakan instrumen yang

dikembangkan Rizzo et al pada tahun 1970. Dalam penelitian ini responden

diminta untuk menjawab lima pertanyaan dengan skala likert 1 – 7 yang

digunakan untuk mengukur role ambiguity. Skor yang rendah menunjukkan

rendahnya tingkat role ambiguity yang dialami responden.

Gambar 3.1
MODEL VARIABEL ROLE AMBIGUITY

Q1

Q2

Q3 Role Ambiguity

Q4

Q5

Sumber: Dikembangkan untuk penelitian

3.4.2 Role Conflict

Role Conflict adalah situasi yang muncul saat individu dihadapkan

pada lebih dari satu tekanan atau ekspektasi dan salah satu pihak yang
48

berkepentingan menyebabkan pemenuhan ekspektasi dengan pihak lainnya

menjadi sulit atau mustahil (Khan et al., 1964 dalam Gratia, 2014). Pada

situasi ekstrim, hal tersebut meliputi situasi saat dua atau lebih ekspektasi

peran saling bertentangan (Robbins, 2008 dalam Gratia, 2014).

Variabel ini diukur menggunakan instrumen yang dikembangkan

Rizzo et al pada tahun 1970. Setiap responden diminta untuk menjawab tiga

pertanyaan dengan skala likert 1 – 7 yang digunakan untuk mengukur role

conflict. Skor yang rendah menunjukkan rendahnya tingkat role conflict yang

dialami responden.

Gambar 3.2
MODEL VARIABEL ROLE CONFLICT

Q6

Q7 Role Conflict

Q8

Sumber: Dikembangkan untuk penelitian

3.4.3 Role Overload (RO)

Role Overload adalah situasi yang terjadi apabila seorang karyawan

harus melaksanakan sejumlah tugas yang masuk akal bila dikerjakan satu per

satu, namun tugas-tugas tersebut menjadi sulit untuk dilaksanakan secara

bersamaan dalam periode waktu yang telah ditentukan (Schick et al., 1990

dalam Gratia, 2014). Variabel ini diukur menggunakan item pengukuran yang

dikembangkan Beehr et al pada tahun 1976. Responden diminta untuk

menjawab tiga buah pertanyaan dengan skala likert 1 – 7. Skor yang rendah
49

menunjukkan rendahnya tingkat role overload yang dialami responden.

Gambar 3.3
MODEL VARIABEL ROLE OVERLOAD

Q9
Role Overload
Q10

Sumber: Dikembangkan untuk penelitian

3.4.4 Job Burnout (JB)

Job Burnout adalah hasil dari akumulasi efek role stress. Role stress

yang terdiri atas tiga dimensi (role ambiguity, role conflict, dan role

overload) mungkin tidak akan berlebihan jika terjadi tidak secara bersamaan,

namun saat ketiga hal tersebut dialami secara bersamaan hal tersebut dapat

menutupi sumber daya individu (Feldman dan Weitz 1988 dalam Gratia,

2014). Variabel ini berperan sebagai variabel mediating dan diukur

menggunakan Maslach Burnout Inventory yang dikembangkan oleh Maslach

pada tahun 1982. Responden diminta untuk menjawab sembilan pertanyaan

dengan skala likert 1 – 7. Skor yang rendah menunjukkan bahwa responden

tidak mengalami job burnout atau mengalami pada tingkat yang rendah.
50

Gambar 3.4
MODEL VARIABEL JOB BURNOUT

Q11

Q12

Q13

Q14

Q15 Job

Q16 Burnout

Q17

Q18

Q19

Sumber: Dikembangkan untuk penelitian

3.4.5 Gaya Hidup Sehat / Healthy Lifestyle (HL)

Gaya hidup sehat didefinisikan sebagai aktivitas mempertahankan

program pelatihan fisik secara rutin, diet seimbang, kebiasaan tidur yang baik,

dan membatasi diri dari kelebihan konsumsi produk-produk yang

mengandung alkohol dan tembakau (Danna dan Griffin 1999 dalam Gratia,

2014). Pada penelitian ini gaya hidup sehat diukur menggunakan Exercise

Orientation Questionnaire (EOQ) yang dikembangkan oleh Yates et al pada

tahun 1999. Responden diminta untuk menjawab sepuluh pertanyaan

digunakan untuk mengukur variabel gaya hidup sehat. Pertanyaan disusun

menggunakan skala likert 1 – 7, skor yang rendah menunjukkan masih


51

rendahnya kebiasaan gaya hidup sehat yang dilakukan oleh responden.

Gambar 3.5
MODEL VARIABEL GAYA HIDUP SEHAT

Q20

Q21

Q22

Q23

Q24
Healthy Lifestyle
Q25

Q26

Q27

Q28

Q29

Sumber: Dikembangkan untuk penelitian

3.4.6 Vitality (V)

Vitality didefinisikan sebagai dimilikinya perasaan positif atas

kehidupan dan energi (Ryan dan Frederick 1997). Variabel ini diukur

menggunakan enam instrumen yang dikembangkan oleh Ryan dan Frederick

(1997) dan dimodifikasi oleh Bostic et al (2000). Pada penelitian ini

responden dimintan untuk menjawab enam buah pertanyaan dengan

menggunakan skala likert 1 – 7. Skor yang rendah menunjukkan vitality

masing-masing responden ada pada tingkat yang rendah.


52

Gambar 3.6
MODEL VARIABEL VITALITY

Q30

Q31

Q32
Vitality
Q33

Q34

Q35

Sumber: Dikembangkan untuk penelitian

3.4.7 Psychological Well-Being (PWB)

Psychological well-being adalah sebuah kondisi individu yang

memiliki sikap positif terhadap dirinya sendiri dan orang lain, dapat membuat

keputusan sendiri dan mengatur tingkah lakunya, dapat menciptakan dan

mengatur lingkungan yang sesuai dengan kebutuhannya, memiliki tujuan

hidup dan membuat hidup lebih bermakna, serta berusaha mengeksplorasi

dan mengembangkan dirinya (Ryff, 1989 dalam Rahayu, 2008). Pada

penelitian ini psychological well-being diukur menggunakan Satisfaction

With Life Scale (SWLS). Responden penelitian diminta untuk menjawab lima

pertanyaan dengan menggunakan skala like likert 1 – 7 untuk mengukur

variabel psychological well-being. Skor yang rendah menunjukkan tingkat

psychological well-being responden yang rendah.


53

Gambar 3.7
MODEL VARIABEL PSYCHOLOGICAL WELL-BEING

Q36

Q37
Psychological
Q38
Well-Being
Q39

Q40

Sumber: Dikembangkan untuk penelitian

3.4.8 Job Satisfaction (JS)

Pada penelitian ini job satisfaction (kepuasan kerja) didefinisikan

sebagai kondisi menyenangkan atau secara emosional positif yang berasal

dari penilaian seseorang atas pekerjaannya atau pengalaman kerjanya (Locke,

1976 dalam Setiawan dan Ghozali, 2006). Variabel ini diukur menggunakan

Hoppock’s Scale. Para responden penelitian ini diminta untuk menjawab tiga

buah pertanyaan dengan skala likert 1 – 7. Skor yang rendah menunjukkan

tingkat job satisfaction yang rendah pada responden.

Gambar 3.8
MODEL VARIABEL JOB SATISFACTION

Q41

Q42 Job Satisfaction

Q43

Sumber: Dikembangkan untuk penelitian


54

3.4.9 Job Performance (JP)

Job performance dapat didefinisikan sebagai hasil pola tindakan yang

dilakukan untuk mencapai tujuan sesuai dengan standar prestasi. Standar

prestasi ini telah ditetapkan oleh individu secara pribadi maupun oleh

perusahaan tempat individu bekerja dan dapat berupa standar kualitatif

maupun kuantitatif (Cahyono, 2008). Variabel job performance diukur

menggunakan instrumen yang diadaptasi dari Choo (1986). Responden

diminta untuk menjawab 12 pertanyaan yang menggunakan skala likert 1 – 7.

Skor yang rendah menunjukkan job performance responden yang rendah.

Gambar 3.9
MODEL VARIABEL JOB PERFORMANCE

Q44

Q45

Q46

Q47

Q48

Q49
Job Performance
Q50

Q51

Q52

Q53

Q54

Q55

Sumber: Dikembangkan untuk penelitian


55

3.4.10 Turnover Intention (TI)

Dalam Bahasa Indonesia, turnover intention dapat diterjemahkan

menjadi keinginan untuk keluar dari organisasi. Turnover intention dapat

diartikan sebagai kecenderungan sikap karyawan untuk mencari pekerjaan

baru di tempat lain atau adanya rencana untuk meninggalkan perusahaan di

masa yang akan datang (Low et al., 2001 dalam Carolina, 2012). Pada

penelitian ini variabel turnover intention diukur menggunakan instrumen

yang dikembangkan oleh Chatman (1991). Responden diminta untuk

menjawab tiga buah pertanyaan yang menggunakan skala likert 1- 7. Skor

yang rendah menunjukkan responden tidak memiliki keinginan untuk

berpindah organisasi atau memiliki keinginan untuk berpindah organisasi

pada tingkat yang rendah.

Gambar 3.10
MODEL VARIABEL TURNOVER INTENTION

Q57

Turnover
Q58
Intention

Q59

Sumber: Dikembangkan untuk penelitian

3.5 Sumber dan Metode Pengumpulan Data

3.5.1 Sumber Data

Penelitian ini menggunakan sumber pengambilan data secara primer

dengan menggunakan kuesioner penelitian yang dibagikan langsung kepada

auditor KAP di Kota Surabaya dan Malang. Untuk kepentingan penelitian,


56

data seluruh KAP yang terdapat di Kota Surabaya dan Malang diperoleh dari

Direktori Kantor Akuntan Publik yang dikeluarkan oleh Institut Akuntan

Publik Indonesia melalui web resmi http://www.iapi.or.id/iapi/.

3.5.2 Metode Pengumpulan Data

Pengisian kuesioner ini dilakukan secara manual oleh auditor yang

bekerja di KAP. Kuesioner pada penelitian ini terdiri atas pertanyaan tertutup

yang terbagi menjadi delapan bagian. Kuesioner penelitian disusun dengan

menggunakan skala likert 1 – 7. Pemberian skor dengan menggunakan skala

likert tujuh poin dengan rincian sebagai berikut:

a. Jawaban Sangat Setuju mendapat skor 7

b. Jawaban Setuju mendapat skor 6

c. Jawaban Cenderung Setuju mendapat skor 5

d. Jawaban Netral mendapat skor 4

e. Jawaban Cenderung Tidak Setuju mendapat skor 3

f. Jawaban Tidak Setuju mendapat skor 2

g. Jawaban Sangat Tidak Setuju mendapat skor 1

Penyusunan kuesioner dilakukan dengan menggunakan beberapa

prosedur untuk mengurangi efek potensial bias dan ketidakakuratan data.

Prosedur yang digunakan adalah:

1. Kuesioner dibuat bersifat anonim atau tidak mencantumkan

identitas pribadi responden. Hal ini dilakukan agar para responden

dapat mengisi kuesioner dengan jujur tanpa harus takut

identitasnya akan dipublikasikan.


57

2. Pada petunjuk pengisian dijelaskan bahwa jawaban kuesioner

tidak ada yang dinyatakan benar atau salah.

3. Meminimalisasi penggunaan kata-kata yang bermakna ganda dan

sulit dimengerti oleh responden.

4. Menggunakan skala pengukuran yang sebelumnya sudah

digunakan secara luas untuk mengurangi kemungkinan kesalahan

pengukuran.

5. Beberapa pernyataan pada kuesioner disajikan dengan diinvers.

Perlakuan ini diberikan pada beberapa pernyataan agar peneliti

dapat mengetahui kesungguhan responden dalam mengisi

kuesioner. Lebih lanjut, pernyataan yang diinvers juga dapat

digunakan untuk membantu peneliti mengetahui konsistensi

jawaban responden.

3.6 Metode Analisis Data

3.6.1 Statistik Deskriptif Variabel

Data responden yang telah dihimpun selanjutnya digunakan untuk

menyusun statistik deskriptif variabel. Dalam penelitian statistik deskriptif

digunakan untuk memberikan gambaran tentang tanggapan responden

mengenai variabel-variabel penelitian yang menunjukkan angka kisaran

teoritis dan kisaran sesungguhnya, rata-rata (mean) dan standar deviasi.

Kisaran teoritis merupakan kisaran atas bobot jawaban yang secara teoritis

didesain dalam kuesioner, sedangkan kisaran sesungguhnya adalah nilai

terendah (minimum) sampai nilai tertinggi (maximum) atas bobot jawaban


58

responden yang sesungguhnya.

3.6.2 Partial Least Square (PLS)

Metode analisis pada penelitian ini adalah Structural Equation Model

(SEM) berbasis component atau variance yang lebih dikenal dengan Partial

Least Square (PLS) adalah metode analisis yang powerfull karena PLS tidak

didasarkan pada banyak asumsi (Wold, 1985 dalam Gratia, 2014). Dengan

menggunakan metode analisis menggunakan PLS distribusi data tidak

menjadi masalah dan skala pengukuran dapat berupa nominal, ordinal,

interval, atau ratio. Model komplek dengan 100 indikator dapat dianalisis

hanya dengan jumlah data 50. Lebih lanjut, PLS dapat digunakan untuk

menjelaskan ada atau tidaknya hubungan antar variabel laten dan mampu

menyelesaikan SEM dengan model refleksif maupun formatif (Ghozali,

2006).

Penelitian ini dianalisis menggunakan software Smart PLS 2.0 dan

disusun menggunakan model pengukuran refleksif.

3.6.2.1 Menilai Outer Model

Outer Model dinilai berdasarkan tiga kriteria utama yaitu

convergent validity, composite reliability, dan discriminant validity.

Kriteria yang pertama adalah convergent validity. Convergent validity

dinilai berdasarkan korelasi antara item score dengan construct score

yang dihitung menggunakan PLS. Ukuran refleksif individual

dikatakan tinggi apabila berkorelasi lebih dari 0,70 dengan konstruk

yang diukur. Untuk penelitian tahap awal dari pengembangan skala


59

pengukuran nilai loading factor 0,5 sampai dengan 0,6 dianggap

cukup (Chin, 1998 dalam Gratia, 2014). Dengan demikian indikator-

indikator yang memiliki nilai loading factor kurang dari 0,5 harus

didrop dari analisis.

Kriteria yang kedua adalah discriminant validity. Discriminant

validity dari model pengukuran refleksif dinilai dengan melihat nilai

cross loading pengukuran dengan konstruk. Ghozali (2006)

memaparkan bahwa “Jika korelasi konstruk dengan item pengukuran

lebih besar daripada ukuran konstruk lainnya, maka hal ini

menunjukkan bahwa konstruk laten memprediksi ukuran pada blok

mereka lebih baik daripada ukuran pada blok lainnya”

Kriteria yang ketiga adalah composite reliability. Dengan

menggunakan PLS composite reliability dapat dihitung dengan rumus

berikut:
2
( ∑ i )
ρc = 2
( ∑ i ) + ∑i var (εi )

Sumber: Ghozali (2006)

Suatu konstruk dikatakan sangat reliabel apabila konstruk

memiliki nilai composite reliability yang lebih besar dari 0,80

(Ghozali, 2006).

3.6.2.2 Menilai Inner Model

Inner Model atau model struktural dievaluasi menggunakan R-

square konstruk dependen, Stone-Geisser Q-Square test untuk


60

predictive relevance, dan uji T serta signifikansi koefisien jalur

struktural (Ghozali, 2006). Penilaian model diawali dengan melihat R-

square setiap variabel dependen. Nilai R-square digunakan untuk

menilai pengaruh variabel laten independen terhadap variabel laten

dependen apakah mempunyai pengaruh yang substantif.

3.6.3 Pengujian Hipotesis

Penerimaan atau penolakan hipotesis dalam penelitian ini dilakukan

dengan melihat original sample dan membandingkan T-Statistik dengan T-

Tabel. Penilaian dilakukan dengan melihat apakah original sample memiliki

arah (negatif atau positif) yang sesuai dengan hipotesis yang telah ditetapkan.

Apabila hipotesis yang ditetapkan memiliki arah negatif, namun hasil analisis

menunjukkan hasil positif maka hipotesis penelitian ditolak. Hal tersebut juga

berlaku sebaliknya.

Nilai T-Statistik diperbandingkan dengan nilai T-Tabel. Nilai T-Tabel

dalam penelitian ini adalah sebesar 1,96 dengan tingkat signifikasi 0,05 (two-

tailed). Selanjutnya nilai T-Tabel tersebut dijadikan sebagai nilai cut-off

untuk penerimaan atau penolakan hipotesis yang diajukan. Apabila T-Statistik

menunjukkan nilai kurang dari 1,96 maka hipotesis penelitian ditolak


BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

4.1.1 Deskripsi Sampel Penelitian

Populasi pada penelitian ini adalah Auditor Kantor Akuntan Publik di

Kota Surabaya dan Malang. Pemilihan sampel dilakukan berdasarkan metode

simple random sampling karena anggota populasi yakni seluruh auditor KAP

Kota Surabaya dan Malang dianggap homogen, maka pengambilan sampel

dilakukan secara acak tanpa memperhatikan strata yang ada. Auditor yang

berpartisipasi sebagai responden dalam penelitian ini adalah auditor

profesional pria dan wanita yang bekerja di bidang audit, perpajakan,

konsultan, dan bidang penugasan lainnya. Seluruh responden berasal dari

berbagai jenjang karir, mulai dari auditor junior, auditor senior, manajer, dan

partner.

Data yang digunakan dalam penelitian ini dikumpulkan dengan

mengirimkan 134 kuesioner yang diantar langsung kepada Kantor Akuntan

Publik (KAP) di Kota Surabaya dan Malang. Total kuesioner penelitian yang

dikirim dihitung berdasarkan jumlah seluruh kuesioner yang diterima hanya

oleh KAP yang bersedia berpartisipasi dalam penelitian ini. Berikut ini

disajikan rincian deskripsi sampel penelitian dalam tabel 4.1 sebagai berikut:

61
62

Tabel 4.1
Tingkat Pengumpulan Sampel
KETERANGAN JUMLAH PERSENTASE
Total kuesioner yang disebarkan 134 100,00%
Total kuesioner yang kembali 110 82,09%
Total kuesioner yang tidak kembali 24 17,91%
Total kuesioner yang dapat diolah 110 82,09%
Sumber: Data primer diolah, 2018

Berdasarkan tabel 4.1 dapat dijelaskan bahwa dari 134 kuesioner yang

dibagikan, sebanyak 110 kuesioner atau 82,09% yang kembali. Sedangkan

yang tidak kembali sebanyak 24 kuesioner atau 17,91%. Dengan demikian,

jumlah kuesioner yang dapat diolah adalah 110 kuesioner atau 82,09%.

4.1.2 Deskripsi Karakteristik Responden

Tabel 4.2
Demografi Responden
KETERANGAN FREKUENSI PERSENTASE
USIA 20-24 tahun 52 47,3%
25-29 tahun 30 27,3%
30-34 tahun 18 16,4%
35-39 tahun 6 5,5%
40-44 tahun 2 1,8%
45-49 tahun 2 1,8%
110 100,0%
JENIS KELAMIN
Laki-laki 65 59,1%
Perempuan 45 40,9%
110 100,0%
LAMA BERGABUNG DI KAP
1-5 tahun 98 89,1%
6-10 tahun 11 10,0%
>10 tahun 1 0,9%
110 100,0%
63

KEDUDUKAN DALAM KAP


Partner 2 1,8%
Manajer 0 0,0%
Senior 49 44,5%
Junior 59 53,6%
110 100,0%
FUNGSI DALAM KAP
Audit 109
Konsultan 1
Pajak 2
Lainnya 1
Auditor Memegang 1 Fungsi 107 97,3%
Auditor Memegang 2 Fungsi 3 2,7%
110 100,0%
STATUS DALAM KAP
Pegawai Tetap 89 80,9%
Pegawai Tidak Tetap 21 19,1%
110 100%
Sumber: Data primer diolah, 2018

Berdasarkan tabel 4.2 dapat diketahui bahwa dari 110 orang auditor

KAP Kota Surabaya dan Malang yang menjadi responden dalam penelitian

mayoritas berumur 20–24 tahun sejumlah 52 orang atau 47,3%, disusul

kemudian 30 orang atau 27,3% berumur 25–29 tahun, responden yang

berumur 30–34 tahun sejumlah 18 orang atau 16,4%, dan responden yang

berumur 35–39 tahun sejumlah 6 orang atau 5,5%. Sementara responden yang

berumur 40–44 tahun dan 45–49 tahun memiliki persentase yang sama yaitu

1,8% atau sejumlah 2 orang. Responden dalam penelitian ini mayoritas 59,1%

berjenis kelamin laki-laki sejumlah 65 orang dan sisanya 40,9% berjenis

kelamin perempuan sejumlah 45 orang. Sebagian besar responden telah

bergabung dengan KAP selama 1–5 tahun sebanyak 98 orang atau 89,1% dan

11 orang atau 10,0% telah bergabung dengan KAP selama 6–10 tahun,
64

sementara 1 orang atau 0,9% responden telah bergabung dengan KAP selama

lebih dari 10 tahun. Responden paling banyak 53,6% berkedudukan sebagai

auditor junior dalam KAP, sejumlah 49 orang atau 44,5% berkedudukan

sebagai auditor senior dalam KAP, kemudian 1,8% responden berkedudukan

sebagai partner dalam KAP, sementara tidak satupun responden yang

berkedudukan sebagai manajer dalam KAP. Mayoritas responden bekerja di

bidang penugasan audit sejumlah 109 orang, 2 orang di bidang penugasan

pajak, 1 orang sebagai konsultan, dan 1 orang memiliki fungsi dalam KAP

sebagai lainnya, kemudian dapat diketahui bahwa auditor yang memegang

satu fungsi sejumlah 107 orang atau 97,3% dan auditor yang memegang 2

fungsi sejumlah 3 orang atau 2,7%. Sebagian besar responden merupakan

pegawai tetap sejumlah 89 orang atau 80,9% dan 21 orang atau 19,1%

responden merupakan pegawai tidak tetap.

4.1.3 Statistik Deskriptif Variabel Penelitian

Dalam penelitian statistik deskriptif digunakan untuk memberikan

gambaran tentang tanggapan responden mengenai variabel-variabel penelitian

yang menunjukkan angka kisaran teoritis dan sesungguhnya, rata-rata dan

standar deviasi. Kisaran teoritis merupakan kisaran atas bobot jawaban yang

secara teoritis didesain dalam kuesioner, sedangkan kisaran sesungguhnya

adalah nilai terendah sampai nilai tertinggi atas bobot jawaban responden

yang sesungguhnya. Dalam Tabel 4.3 berikut disajikan gambaran mengenai

variabel-variabel penelitian, kisaran teoritis, dan kisaran sesungguhnya.


65

Tabel 4.3
Statistik Deskriptif Variabel Penelitian
Teoritis Sesungguhnya
Variabel N
Kisaran Median Kisaran Mean SD
Role Ambiguity 110 5  35 20 19  35 29,06 2,855
Role Conflict 110 3  21 12 3  16 8,26 2,772
Role Overload 110 2  14 8 4  12 8,85 1,709
Job Burnout 110 9  63 36 20  55 34,88 6,724
Gaya Hidup Sehat 110 10  70 40 36  67 54,13 8,029
Vitality 110 6  42 24 25  42 33,42 3,706
Psychological Well-Being 110 5  35 20 14  32 24,36 3,568
Job Satisfaction 110 3 21 12 11  21 15,28 2,206
Job Performance 110 12 94 53 40  80 65,74 7,874
Turnover Intention 110 3  21 12 3  21 12,51 3,418
Sumber: Data primer diolah, 2018

Berdasarkan tabel di atas, gambaran umum dari 110 data sampel yang

telah didapat, dapat dideskripsikan sebagai berikut:

1. Variabel Role Ambiguity secara teoritis memiliki nilai kisaran 5  35 dan

median 20, sedangkan jawaban responden yang sesungguhnya atas

variabel Role Ambiguity memiliki nilai kisaran 19  35 dan memiliki

nilai rata-rata 29,06 dengan standar deviasi 2,855.

2. Variabel Role Conflict secara teoritis memiliki nilai kisaran 3  21 dan

median 12, sedangkan jawaban responden yang sesungguhnya atas

variabel Role Conflict memiliki nilai kisaran 3  16 dan memiliki nilai

rata-rata 8,26 dengan standar deviasi 2,772.

3. Variabel Role Overload secara teoritis memiliki nilai kisaran 2  14 dan

median 8, sedangkan jawaban responden yang sesungguhnya atas

variabel Role Overload memiliki nilai kisaran 4  12 dan memiliki nilai

rata-rata 8,85 dengan standar deviasi 1,709.


66

4. Variabel Job Burnout secara teoritis memiliki nilai kisaran 9  63 dan

median 36, sedangkan jawaban responden yang sesungguhnya atas

variabel Job Burnout memiliki nilai kisaran 20  55 dan memiliki nilai

rata-rata 34,88 dengan standar deviasi 6,724.

5. Variabel Gaya Hidup Sehat secara teoritis memiliki nilai kisaran 10  70

dan median 40, sedangkan jawaban responden yang sesungguhnya atas

variabel Gaya Hidup Sehat memiliki nilai kisaran 36  67 dan memiliki

nilai rata-rata 54,13 dengan standar deviasi 8,029.

6. Variabel Vitality secara teoritis memiliki nilai kisaran 6  42 dan median

24, sedangkan jawaban responden yang sesungguhnya atas variabel

Vitality memiliki nilai kisaran 25  42 dan memiliki nilai rata-rata 33,42

dengan standar deviasi 3,706.

7. Variabel Psychological Well-Being secara teoritis memiliki nilai kisaran

5  35 dan median 20, sedangkan jawaban responden yang sesungguhnya

atas variabel Psychological Well-Being memiliki nilai kisaran 14  32

dan memiliki nilai rata-rata 24,36 dengan standar deviasi 3,568.

8. Variabel Job Satisfaction secara teoritis memiliki nilai kisaran 3  21 dan

median 12, sedangkan jawaban responden yang sesungguhnya atas

variabel Job Satisfaction memiliki nilai kisaran 11  21 dan memiliki

nilai rata-rata 15,28 dengan standar deviasi 2,206.

9. Variabel Job Peformance secara teoritis memiliki nilai kisaran 12  94

dan median 53, sedangkan jawaban responden yang sesungguhnya atas

variabel Job Performance memiliki nilai kisaran 40  80 dan memiliki


67

nilai rata-rata 65,74 dengan standar deviasi 7,874.

10. Variabel Turnover Intention secara teoritis memiliki nilai kisaran 3  21

dan median 12, sedangkan jawaban responden yang sesungguhnya atas

variabel Turnover Intention memiliki nilai kisaran 3  21 dan memiliki

nilai rata-rata 12,51 dengan standar deviasi 3,418.

4.2 Pembahasan

Dalam penelitian ini dilakukan analisis data dengan menggunakan

Structural Equation Modeling (SEM) dengan SmartPLS (Partial Least Square).

Adapun langkah-langkahnya dalam menganalisis data adalah sebagai berikut:

4.2.1 Diagram Jalur

Gambar 4.1
FULL MODEL SEM SMARTPLS

Sumber: Output smartPLS dari data primer diolah, 2018


68

4.2.2 Evaluasi Model Pengukuran

4.2.2.1 Uji Convergent Validity

Uji Convergent Validity dimaksudkan untuk mengetahui valid

tidaknya indikator dalam mengukur variabel laten. Convergent

validity suatu indikator dalam mengukur variabel laten ditunjukkan

oleh besar kecilnya loading factor. Suatu indikator dikatakan valid

apabila loading factor bernilai positif dan lebih besar dari 0,6. Hasil

pengujian Convergent Validity dapat dilihat melalui tabel dibawah ini:

Tabel 4.4
Uji Convergent Validity menggunakan Loading Factor
Standard
Original T-Statistic
Variabel Indikator Error
Sample (O) (|O/STERR|)
(STERR)
RA1 0,763 0,049 15,500
Role Ambiguity RA3 0,870 0,027 31,890
RA4 0,908 0,015 60,143
RC1 0,923 0,014 65,339
Role Conflict
RC2 0,914 0,022 41,774
Role Overload RO1 1,000
JB1 0,775 0,028 27,560
Job Burnout JB6 0,840 0,024 35,300
JB7 0,853 0,023 37,698
HL3 0,808 0,051 15,905
HL4 0,938 0,014 68,990
Healthy Lifestyle HL5 0,881 0,020 44,896
HL6 0,953 0,008 121,681
HL7 0,892 0,015 61,404
V1 0,783 0,028 27,798
V2 0,633 0,076 8,305
V3 0,864 0,029 30,161
Vitality
V4 0,648 0,052 12,440
V5 0,713 0,051 13,999
V6 0,718 0,046 15,563
69

PWB1 0,840 0,022 37,435


Psychological Well- PWB2 0,876 0,024 36,834
Being PWB3 0,721 0,034 21,363
PWB4 0,792 0,046 17,272
JS1 0802 0,035 23,076
Job Satisfaction JS2 0,797 0,031 25,940
JS3 0,624 0,095 6,552
JP1 0,611 0,045 13,489
JP2 0,725 0,048 15,235
JP3 0,780 0,045 17,254
JP4 0,800 0,043 18,400
JP5 0,866 0,024 35,848
JP6 0,843 0,028 30,005
Job Performance
JP7 0,801 0,042 19,001
JP8 0,816 0,042 19,214
JP9 0,864 0,018 47,103
JP10 0,788 0,031 25,364
JP11 0,824 0,033 24,655
JP12 0,641 0,033 19,505
TOI1 0,869 0,027 32,358
Turnover Intention TOI2 0,838 0,041 20,407
TOI3 0,829 0,030 27,838
Sumber: Output smartPLS dari data primer diolah, 2018

Berdasarkan hasil analisis model pengukuran di atas dapat

diketahui bahwa semua indikator yang mengukur variabel role

ambiguity, role conflict, role overload, job burnout, healthy lifestyle,

vitality, psychological well-being, job satisfaction, job performance,

dan turnover intention menghasilkan loading factor yang lebih besar

dari 0,6. Dengan demikian indikator yang mengukur variabel-variabel

tersebut dinyatakan valid.

Convergent Validity selain dapat dilihat melalui loading factor,

juga dapat diketahui melalui Average Variance Extracted (AVE).


70

Suatu instrumen dikatakan memenuhi pengujian validitas konvergen

apabila memiliki Average Variance Extracted (AVE) di atas 0,5. Hasil

pengujian Convergent Validity disajikan dalam tabel berikut :

Tabel 4.5
Uji Convergent Validity menggunakan AVE
Variabel Laten AVE
Role Ambiguity 0,721
Role Conflict 0,844
Role Overload 1,000
Job Burnout 0,677
Healthy Lifestyle 0,803
Vitality 0,534
Psychological Well-Being 0,655
Job Satisfaction 0,556
Job Performance 0,614
Turnover Intention 0,715
Sumber: Output smartPLS dari data primer diolah, 2018

Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa variabel role

ambiguity, role conflict, role overload, job burnout, healthy lifestyle,

vitality, psychological well-being, job satisfaction, job performance,

dan turnover intention menghasilkan nilai Average Variance

Extracted (AVE) yang lebih besar dari 0,5. Dengan demikian

indikator yang mengukur variabel-variabel tersebut dinyatakan valid.

4.2.2.2 Pengujian Reliabilitas

Perhitungan yang dapat digunakan untuk menguji reliabilitas

konstruk dan composite reliability. Kriteria pengujian menyatakan

bahwa apabila composite reliability bernilai lebih besar dari 0,7 maka

konstruk tersebut dinyatakan reliabel. Hasil perhitungan composite


71

reliability dapat dilihat melalui ringkasan yang disajikan dalam tabel

berikut:

Tabel 4.6
Uji Reliabilitas
Variabel Laten Composite Reliability
Role Ambiguity 0,885
Role Conflict 0,916
Role Overload 1,000
Job Burnout 0,863
Healthy Lifestyle 0,953
Vitality 0,872
Psychological Well-Being 0,883
Job Satisfaction 0,788
Job Performance 0,950
Turnover Intention 0,882
Sumber: Output smartPLS dari data primer diolah, 2018

Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa nilai

composite reliability pada variabel role ambiguity, role conflict, role

overload, job burnout, healthy lifestyle, vitality, psychological well-

being, job satisfaction, job performance, dan turnover intention lebih

besar dari 0,7. Dengan demikian, berdasarkan perhitungan composite

reliability semua indikator yang mengukur variabel role ambiguity,

role conflict, role overload, job burnout, healthy lifestyle, vitality,

psychological well-being, job satisfaction, job performance, dan

turnover intention dinyatakan reliabel.

4.2.3 Model Pengukuran

4.2.3.1 Model Pengukuran Variabel Role Ambiguity

Indikator pengukur variabel Role Ambiguity dapat dilihat


72

melalui tabel di bawah ini:

Tabel 4.7
Indikator pengukur variabel Role Ambiguity
Loading
Variabel Indikator
Factor
Kesesuaian pekerjaan (RA1) 0,763
Role
Tujuan dan sasaran yang jelas dan terencana (RA3) 0,870
Ambiguity
Mengetahui dengan pasti apa yang diharapkan (RA4) 0,908
Sumber: Output smartPLS dari data primer diolah, 2018

Model pengukuran variabel Role Ambiguity adalah sebagai berikut:

RA1 = 0,763 RA RA4 = 0,908 RA

RA3 = 0,870 RA

Berdasarkan model pengukuran di atas diketahui bahwa nilai

loading indikator kesesuaian pekerjaan (RA1) sebesar 0,763. Hal ini

berarti keragaman variabel Role Ambiguity mampu dijelaskan oleh

indikator kesesuaian pekerjaan (RA1) sebesar 76,3%. Dengan kata

lain, kontribusi indikator kesesuaian pekerjaan (RA1) dalam

mengukur variabel Role Ambiguity sebesar 76,3%.

Kemudian nilai loading indikator tujuan dan sasaran yang jelas

dan terencana (RA3) sebesar 0,870. Hal ini berarti keragaman variabel

Role Ambiguity mampu dijelaskan oleh indikator tujuan dan sasaran

yang jelas dan terencana (RA3) sebesar 87,0%. Dengan kata lain,

kontribusi indikator tujuan dan sasaran yang jelas dan terencana

(RA3) dalam mengukur variabel Role Ambiguity sebesar 87,0%.

Selanjutnya nilai loading indikator mengetahui dengan pasti

apa yang diharapkan (RA4) sebesar 0,908. Hal ini berarti keragaman
73

variabel Role Ambiguity mampu dijelaskan oleh indikator mengetahui

dengan pasti apa yang diharapkan (RA4) sebesar 90,8%. Dengan kata

lain, kontribusi indikator mengetahui dengan pasti apa yang

diharapkan (RA4) dalam mengukur variabel Role Ambiguity sebesar

90,8%.

Model pengukuran variabel Role Ambiguity juga

menginformasikan bahwa indikator mengetahui dengan pasti apa yang

diharapkan (RA4) memiliki nilai loading yang paling tinggi yaitu

sebesar 0,908. Hal ini berarti indikator mengetahui dengan pasti apa

yang diharapkan (RA4) merupakan indikator yang paling dominan

dalam mengukur variabel Role Ambiguity.

4.2.3.2 Model Pengukuran Variabel Role Conflict

Indikator pengukur variabel Role Conflict dapat dilihat melalui

tabel di bawah ini:

Tabel 4.8
Indikator pengukur variabel Role Conflict
Loading
Variabel Indikator
Factor
Bekerja di bawah kebijakan dan pedoman yang saling
0,923
Role bertentangan (RC1)
Conflict Menerima tugas tanpa tenaga untuk
0,914
menyelesaikannya (RC2)
Sumber: Output smartPLS dari data primer diolah, 2018

Model pengukuran variabel Role Conflict adalah sebagai berikut:

RC1 = 0,923 RC RC2 = 0,914 RC

Berdasarkan model pengukuran di atas diketahui bahwa nilai

loading indikator bekerja di bawah kebijakan dan pedoman yang


74

saling bertentangan (RC1) sebesar 0,923. Hal ini berarti keragaman

variabel Role Conflict mampu dijelaskan oleh indikator bekerja di

bawah kebijakan dan pedoman yang saling bertentangan (RC1)

sebesar 92,3%. Dengan kata lain, kontribusi indikator bekerja di

bawah kebijakan dan pedoman yang saling bertentangan (RC1) dalam

mengukur variabel Role Conflict sebesar 92,3%.

Kemudian nilai loading indikator menerima tugas tanpa tenaga

untuk menyelesaikannya (RC2) sebesar 0,914. Hal ini berarti

keragaman variabel Role Conflict mampu dijelaskan oleh indikator

menerima tugas tanpa tenaga untuk menyelesaikannya (RC2) sebesar

91,4%. Dengan kata lain, kontribusi indikator menerima tugas tanpa

tenaga untuk menyelesaikannya (RC2) dalam mengukur variabel Role

Conflict sebesar 91,4%..

Model pengukuran variabel Role Conflict juga

menginformasikan bahwa indikator bekerja di bawah kebijakan dan

pedoman yang saling bertentangan (RC1) memiliki nilai loading yang

paling tinggi yaitu sebesar 0,908. Hal ini berarti indikator bekerja di

bawah kebijakan dan pedoman yang saling bertentangan (RC1)

merupakan indikator yang paling dominan dalam mengukur variabel

Role Conflict.

4.2.3.3 Model Pengukuran Variabel Role Overload

Indikator pengukur variabel Role Overload dapat dilihat

melalui tabel di bawah ini:


75

Tabel 4.9
Indikator pengukur variabel Role Overload
Loading
Variabel Indikator
Factor
Role Bekerja dengan pengarahan atau perintah yang tidak
1,000
Overload jelas (RO1)
Sumber: Output smartPLS dari data primer diolah, 2018

Model pengukuran variabel Role Overload adalah sebagai berikut:

RO1 = 1,000 RO

Berdasarkan model pengukuran di atas diketahui bahwa nilai

loading indikator bekerja dengan pengarahan atau perintah yang tidak

jelas (RO1) sebesar 1,000. Hal ini berarti keragaman variabel Role

Overload mampu dijelaskan oleh indikator bekerja dengan

pengarahan atau perintah yang tidak jelas (RO1) sebesar 100%.

Dengan kata lain, kontribusi indikator bekerja dengan pengarahan atau

perintah yang tidak jelas (RO1) dalam mengukur variabel Role

Overload sebesar 100%.

4.2.3.4 Model Pengukuran Variabel Job Burnout

Indikator pengukur variabel Job Burnout dapat dilihat melalui

tabel di bawah ini:

Tabel 4.10
Indikator pengukur variabel Job Burnout
Loading
Variabel Indikator
Factor
Emosi tersalurkan melalui pekerjaan (JB1) 0,775
Job Mudah merasakan bagaimana perasaan klien (JB6) 0,840
Burnout Khawatir pekerjaan dapat memberatkan secara
0,853
emosional (JB7)
Sumber: Output smartPLS dari data primer diolah, 2018
76

Model pengukuran variabel Job Burnout adalah sebagai berikut:

JB1 = 0,775 JB JB6 = 0,840 JB

JB7 = 0,853 JB

Berdasarkan model pengukuran di atas diketahui bahwa nilai

loading indikator emosi tersalurkan melalui pekerjaan (JB1) sebesar

0,775. Hal ini berarti keragaman variabel Job Burnout mampu

dijelaskan oleh indikator emosi tersalurkan melalui pekerjaan (JB1)

sebesar 77,5%. Dengan kata lain, kontribusi indikator emosi

tersalurkan melalui pekerjaan (JB1) dalam mengukur variabel Job

Burnout sebesar 77,5%.

Kemudian nilai loading indikator mudah merasakan

bagaimana perasaan klien (JB6) sebesar 0,840. Hal ini berarti

keragaman variabel Job Burnout mampu dijelaskan oleh indikator

mudah merasakan bagaimana perasaan klien (JB6) sebesar 84,0%.

Dengan kata lain, kontribusi indikator mudah merasakan bagaimana

perasaan klien (JB6) dalam mengukur variabel Job Burnout sebesar

84,0%.

Selanjutnya nilai loading indikator khawatir pekerjaan dapat

memberatkan secara emosional (JB7) sebesar 0,853. Hal ini berarti

keragaman variabel Job Burnout mampu dijelaskan oleh indikator

khawatir pekerjaan dapat memberatkan secara emosional (JB7)

sebesar 85,3%. Dengan kata lain, kontribusi indikator khawatir

pekerjaan dapat memberatkan secara emosional (JB7) dalam


77

mengukur variabel Job Burnout sebesar 85,3%.

Model pengukuran variabel Job Burnout juga

menginformasikan bahwa indikator khawatir pekerjaan dapat

memberatkan secara emosional (JB7) memiliki nilai loading yang

paling tinggi yaitu sebesar 0,853. Hal ini berarti indikator khawatir

pekerjaan dapat memberatkan secara emosional (JB7) merupakan

indikator yang paling dominan dalam mengukur variabel Job Burnout.

4.2.3.5 Model Pengukuran Variabel Healthy Lifestyle

Indikator pengukur variabel Healthy Lifestyle dapat dilihat

melalui tabel di bawah ini:

Tabel 4.11
Indikator pengukur variabel Healthy Lifestyle
Loading
Variabel Indikator
Factor
Memilih untuk berolahraga agar terbebas dari frustasi
0,808
(HL3)
Merasa lebih baik setelah berolahraga (HL4) 0,938
Healthy Olahraga membuat kondisi fisik begitu prima (HL5) 0,881
Lifestyle Mengatur pikiran menjadi lebih baik ketika
0,953
berolahraga (HL6)
Mempertahankan diet sehat yang mencakup konsumsi
0,892
4 sehat 5 sempurna (HL7)
Sumber: Output smartPLS dari data primer diolah, 2018

Model pengukuran variabel Healthy Lifestyle adalah sebagai berikut:

HL3 = 0,808 HL HL4 = 0,938 HL

HL5 = 0,881 HL HL6 = 0,953 HL

HL7 = 0,892 HL
78

Berdasarkan model pengukuran di atas diketahui bahwa nilai

loading indikator memilih untuk berolahraga agar terbebas dari

frustasi (HL3) sebesar 0,808. Hal ini berarti keragaman variabel

Healthy Lifestyle mampu dijelaskan oleh indikator memilih untuk

berolahraga agar terbebas dari frustasi (HL3) sebesar 80,8%. Dengan

kata lain, kontribusi indikator memilih untuk berolahraga agar

terbebas dari frustasi (HL3) dalam mengukur variabel Healthy

Lifestyle sebesar 80,8%.

Kemudian nilai loading indikator merasa lebih baik setelah

berolahraga (HL4) sebesar 0,938. Hal ini berarti keragaman variabel

Healthy Lifestyle mampu dijelaskan oleh indikator merasa lebih baik

setelah berolahraga (HL4) sebesar 93,8%. Dengan kata lain,

kontribusi indikator merasa lebih baik setelah berolahraga (HL4)

dalam mengukur variabel Healthy Lifestyle sebesar 93,8%.

Selanjutnya nilai loading indikator olahraga membuat kondisi

fisik begitu prima (HL5) sebesar 0,881. Hal ini berarti keragaman

variabel Healthy Lifestyle mampu dijelaskan oleh indikator olahraga

membuat kondisi fisik begitu prima (HL5) sebesar 88,1%. Dengan

kata lain, kontribusi indikator olahraga membuat kondisi fisik begitu

prima (HL5) dalam mengukur variabel Healthy Lifestyle sebesar

88,1%.

Kemudian nilai loading indikator mengatur pikiran menjadi

lebih baik ketika berolahraga (HL6) sebesar 0,953. Hal ini berarti
79

keragaman variabel Healthy Lifestyle mampu dijelaskan oleh indikator

mengatur pikiran menjadi lebih baik ketika berolahraga (HL6) sebesar

95,3%. Dengan kata lain, kontribusi indikator mengatur pikiran

menjadi lebih baik ketika berolahraga (HL6) dalam mengukur variabel

Healthy Lifestyle sebesar 95,3%.

Selanjutnya nilai loading indikator mempertahankan diet sehat

yang mencakup konsumsi 4 sehat 5 sempurna (HL7) sebesar 0,892.

Hal ini berarti keragaman variabel Healthy Lifestyle mampu dijelaskan

oleh indikator mempertahankan diet sehat yang mencakup konsumsi 4

sehat 5 sempurna (HL7) sebesar 89,2%. Dengan kata lain, kontribusi

indikator mempertahankan diet sehat yang mencakup konsumsi 4

sehat 5 sempurna (HL7) dalam mengukur variabel Healthy Lifestyle

sebesar 89,2%.

Model pengukuran variabel Healthy Lifestyle juga

menginformasikan bahwa indikator mengatur pikiran menjadi lebih

baik ketika berolahraga (HL6) memiliki nilai loading yang paling

tinggi yaitu sebesar 0,953. Hal ini berarti indikator mengatur pikiran

menjadi lebih baik ketika berolahraga (HL6) merupakan indikator

yang paling dominan dalam mengukur variabel Healthy Lifestyle.

4.2.3.6 Model Pengukuran Variabel Vitality

Indikator pengukur variabel Vitality dapat dilihat melalui tabel

di bawah ini:
80

Tabel 4.12
Indikator pengukur variabel Vitality
Loading
Variabel Indikator
Factor
Hidup terasa bertenaga (V1) 0,783
Merasa sangat hidup dan berapi-api (V2) 0633
Memiliki energi dan semangat (V3) 0,864
Vitality
Memandang masa depan setiap hari (V4) 0,648
Selalu terjaga dan bersiaga (V5) 0,713
Merasa berenergi (V6) 0,718
Sumber: Output smartPLS dari data primer diolah, 2018

Model pengukuran variabel Vitality adalah sebagai berikut:

V1 = 0,783 V V2 = 0,633 V

V3 = 0,864 V V4 = 0,648 V

V5 = 0,713 V V6 = 0,718 V

Berdasarkan model pengukuran di atas diketahui bahwa nilai

loading indikator hidup terasa bertenaga (V1) sebesar 0,783. Hal ini

berarti keragaman variabel Vitality mampu dijelaskan oleh indikator

hidup terasa bertenaga (V1) sebesar 78,3%. Dengan kata lain,

kontribusi indikator hidup terasa bertenaga (V1) dalam mengukur

variabel Vitality sebesar 78,3%.

Kemudian nilai loading indikator merasa sangat hidup dan

berapi-api (V2) sebesar 0,633. Hal ini berarti keragaman variabel

Vitality mampu dijelaskan oleh indikator merasa sangat hidup dan

berapi-api (V2) sebesar 63,3%. Dengan kata lain, kontribusi indikator

merasa sangat hidup dan berapi-api (V2) dalam mengukur variabel

Vitality sebesar 63,3%.


81

Selanjutnya nilai loading indikator memiliki energi dan

semangat (V3) sebesar 0,864. Hal ini berarti keragaman variabel

Vitality mampu dijelaskan oleh indikator memiliki energi dan

semangat (V3) sebesar 86,4%. Dengan kata lain, kontribusi indikator

memiliki energi dan semangat (V3) dalam mengukur variabel Vitality

sebesar 86,4%.

Kemudian nilai loading indikator memandang masa depan

setiap hari (V4) sebesar 0,648. Hal ini berarti keragaman variabel

Vitality mampu dijelaskan oleh indikator memandang masa depan

setiap hari (V4) sebesar 64,8%. Dengan kata lain, kontribusi indikator

memandang masa depan setiap hari (V4) dalam mengukur variabel

Vitality sebesar 64,8%.

Selanjutnya nilai loading indikator selalu terjaga dan bersiaga

(V5) sebesar 0,713. Hal ini berarti keragaman variabel Vitality mampu

dijelaskan oleh indikator selalu terjaga dan bersiaga (V5) sebesar

71,3%. Dengan kata lain, kontribusi indikator selalu terjaga dan

bersiaga (V5) dalam mengukur variabel Vitality sebesar 71,3%.

Berikutnya nilai loading indikator merasa berenergi (V6)

sebesar 0,718. Hal ini berarti keragaman variabel Vitality mampu

dijelaskan oleh indikator merasa berenergi (V6) sebesar 71,8%.

Dengan kata lain, kontribusi indikator merasa berenergi (V6) dalam

mengukur variabel Vitality sebesar 71,8%.


82

Model pengukuran variabel Vitality juga menginformasikan

bahwa indikator memiliki energi dan semangat (V3) memiliki nilai

loading yang paling tinggi yaitu sebesar 0,864. Hal ini berarti

indikator memiliki energi dan semangat (V3) merupakan indikator

yang paling dominan dalam mengukur variabel Vitality.

4.2.3.7 Model Pengukuran Variabel Psychological Well-Being

Indikator pengukur variabel Psychological Well-Being dapat

dilihat melalui tabel di bawah ini:

Tabel 4.13
Indikator pengukur variabel Psychological Well-Being
Loading
Variabel Indikator
Factor
Kehidupan sangat ideal (PWB1) 0,840
Kondisi kehidupan sangat baik (PWB 2) 0,876
Psychological
Well-Being Puas terhadap kehidupan (PWB 3) 0,721
Mendapat hal-hal penting yang diingikan dalam
0,792
hidup (PWB4)
Sumber: Output smartPLS dari data primer diolah, 2018

Model pengukuran variabel Psychological Well Being adalah sebagai

berikut:

PWB1 = 0,840 PWB PWB2 = 0,876 PWB

PWB3 = 0,721 PWB PWB4 = 0,792 PWB

Berdasarkan model pengukuran di atas diketahui bahwa nilai

loading indikator kondisi kehidupan sangat baik (PWB1) sebesar

0,840. Hal ini berarti keragaman variabel Psychological Well Being

mampu dijelaskan oleh indikator kondisi kehidupan sangat baik

(PWB1) sebesar 84,0%. Dengan kata lain, kontribusi indikator kondisi


83

kehidupan sangat baik (PWB1) dalam mengukur variabel

Psychological Well Being sebesar 84,0%.

Kemudian nilai loading indikator puas terhadap kehidupan

(PWB2) sebesar 0,876. Hal ini berarti keragaman variabel

Psychological Well Being mampu dijelaskan oleh indikator puas

terhadap kehidupan (PWB2) sebesar 87,6%. Dengan kata lain,

kontribusi indikator puas terhadap kehidupan (PWB2) dalam

mengukur variabel Psychological Well Being sebesar 87,6%.

Selanjutnya nilai loading indikator mendapat hal-hal penting

yang diingikan dalam hidup (PWB3) sebesar 0,721. Hal ini berarti

keragaman variabel Psychological Well Being mampu dijelaskan oleh

indikator mendapat hal-hal penting yang diingikan dalam hidup

(PWB3) sebesar 72,1%. Dengan kata lain, kontribusi indikator

mendapat hal-hal penting yang diingikan dalam hidup (PWB3) dalam

mengukur variabel Psychological Well Being sebesar 72,1%.

Kemudian nilai loading indikator mendapat hal-hal penting

yang diingikan dalam hidup (PWB4) sebesar 0,792. Hal ini berarti

keragaman variabel Psychological Well Being mampu dijelaskan oleh

indikator mendapat hal-hal penting yang diingikan dalam hidup

(PWB4) sebesar 79,2%. Dengan kata lain, kontribusi indikator

mendapat hal-hal penting yang diingikan dalam hidup (PWB4) dalam

mengukur variabel Psychological Well Being sebesar 79,2%.


84

Model pengukuran variabel Psychological Well Being juga

menginformasikan bahwa indikator kondisi kehidupan sangat baik

(PWB2) memiliki nilai loading yang paling tinggi yaitu sebesar 0,876.

Hal ini berarti indikator kondisi kehidupan sangat baik (PWB2)

merupakan indikator yang paling dominan dalam mengukur variabel

Psychological Well Being.

4.2.3.8 Model Pengukuran Variabel Job Satisfaction

Indikator pengukur variabel Job Satisfaction dapat dilihat

melalui tabel di bawah ini:

Tabel 4.14
Indikator pengukur variabel Job Satisfaction
Loading
Variabel Indikator
Factor
Menyukai pekerjaan saat ini (JS1) 0.802
Job Puas terhadap pekerjaan (JS2) 0.797
Satisfaction Tidak ada rekan yang lebih menyukai pekerjaannya
0.624
(JS3)
Sumber: Output smartPLS dari data primer diolah, 2018

Model pengukuran variabel Job Satisfaction adalah sebagai berikut:

JS1 = 0,802 JS JS2 = 0,797 JS

JS3 = 0,624 JS

Berdasarkan model pengukuran di atas diketahui bahwa nilai

loading indikator menyukai pekerjaan saat ini (JS1) sebesar 0,802.

Hal ini berarti keragaman variabel Job Satisfaction mampu dijelaskan

oleh indikator menyukai pekerjaan saat ini (JS1) sebesar 80,2%.

Dengan kata lain, kontribusi indikator menyukai pekerjaan saat ini

(JS1) dalam mengukur variabel Job Satisfaction sebesar 80,2%.


85

Kemudian nilai loading indikator puas terhadap pekerjaan

(JS2) sebesar 0,797. Hal ini berarti keragaman variabel Job

Satisfaction mampu dijelaskan oleh indikator puas terhadap pekerjaan

(JS2) sebesar 79,7%. Dengan kata lain, kontribusi indikator puas

terhadap pekerjaan (JS2) dalam mengukur variabel Job Satisfaction

sebesar 79,7%.

Selanjutnya nilai loading indikator tidak ada rekan yang lebih

menyukai pekerjaannya (JS3) sebesar 0,624. Hal ini berarti keragaman

variabel Job Satisfaction mampu dijelaskan oleh indikator tidak ada

rekan yang lebih menyukai pekerjaannya (JS3) sebesar 62,4%.

Dengan kata lain, kontribusi indikator tidak ada rekan yang lebih

menyukai pekerjaannya (JS3) dalam mengukur variabel Job

Satisfaction sebesar 62,4%.

Model pengukuran variabel Job Satisfaction juga

menginformasikan bahwa indikator menyukai pekerjaan saat ini (JS1)

memiliki nilai loading yang paling tinggi yaitu sebesar 0,802. Hal ini

berarti indikator menyukai pekerjaan saat ini (JS1) merupakan

indikator yang paling dominan dalam mengukur variabel Job

Satisfaction.

4.2.3.9 Model Pengukuran Variabel Job Performance

Indikator pengukur variabel Job Performance dapat dilihat

melalui tabel di bawah ini:


86

Tabel 4.15
Indikator pengukur variabel Job Performance
Loading
Variabel Indikator
Factor
Puas terhadap kuantitas hasil pekerjaan (JP1) 0.611
Puas terhadap kualitas hasil pekerjaan (JP2) 0.725
Puas terhadap kemampuan komunikasi lisan (JP3) 0.780
Puas terhadap kemampuan komunikasi tertulis (JP4) 0.800
Puas terhadap kemampuan untuk menerima
tanggung jawab dan inisiatif positif yang dimiliki 0.866
(JP5)
Puas terhadap kemampuan dalam menggunakan
0.843
keahlian profesional yang dimiliki (JP6)
Job Puas terhadap kemampuan untuk mematuhi
Performance kebijakan dan prosedur (JP7) 0.801

Puas terhadap kemampuan untuk merencanakan dan


0.816
mengorganisasikan pekerjaan (JP8)
Puas terhadap kemampuan untuk beradaptasi
0.864
dengan situasi baru (JP9)
Puas terhadap kemampuan dalam berhubungan
0.788
dengan karyawan lain (JP10)
Puas terhadap kemampuan dalam berhubungan
0.824
dengan klien di luar KAP (JP11)
Puas terhadap kemampuan untuk mengawasi (JP12) 0.641
Sumber: Output smartPLS dari data primer diolah, 2018

Model pengukuran variabel Job Performance adalah sebagai berikut:

JP1 = 0,611 JP JP2 = 0,725 JP

JP3 = 0,780 JP JP4 = 0,800 JP

JP5 = 0,866 JP JP6 = 0,843 JP

JP7 = 0,801 JP JP8 = 0,816 JP

JP9 = 0,864 JP JP10 = 0,788 JP

JP11 = 0,824 JP JP12 = 0,641 JP

Berdasarkan model pengukuran di atas diketahui bahwa nilai

loading indikator puas terhadap kuantitas hasil pekerjaan (JP1)


87

sebesar 0,611. Hal ini berarti keragaman variabel Job Performance

mampu dijelaskan oleh indikator puas terhadap kuantitas hasil

pekerjaan (JP1) sebesar 61,1%. Dengan kata lain, kontribusi indikator

puas terhadap kuantitas hasil pekerjaan (JP1) dalam mengukur

variabel Job Performance sebesar 61,1%.

Kemudian nilai loading indikator puas terhadap kualitas hasil

pekerjaan (JP2) sebesar 0,725. Hal ini berarti keragaman variabel Job

Performance mampu dijelaskan oleh indikator puas terhadap kualitas

hasil pekerjaan (JP2) sebesar 72,5%. Dengan kata lain, kontribusi

indikator puas terhadap kualitas hasil pekerjaan (JP2) dalam

mengukur variabel Job Performance sebesar 72,5%.

Selanjutnya nilai loading indikator puas terhadap kemampuan

komunikasi lisan (JP3) sebesar 0,780. Hal ini berarti keragaman

variabel Job Performance mampu dijelaskan oleh indikator puas

terhadap kemampuan komunikasi lisan (JP3) sebesar 78,0%. Dengan

kata lain, kontribusi indikator puas terhadap kemampuan komunikasi

lisan (JP3) dalam mengukur variabel Job Performance sebesar 78,0%.

Kemudian nilai loading indikator puas terhadap kemampuan

komunikasi tertulis (JP4) sebesar 0,800. Hal ini berarti keragaman

variabel Job Performance mampu dijelaskan oleh indikator puas

terhadap kemampuan komunikasi tertulis (JP4) sebesar 80,0%.

Dengan kata lain, kontribusi indikator puas terhadap kemampuan

komunikasi tertulis (JP4) dalam mengukur variabel Job Performance


88

sebesar 80,0%.

Selanjutnya nilai loading indikator puas terhadap kemampuan

untuk menerima tanggung jawab dan inisiatif positif yang dimiliki

(JP5) sebesar 0,866. Hal ini berarti keragaman variabel Job

Performance mampu dijelaskan oleh indikator puas terhadap

kemampuan untuk menerima tanggung jawab dan inisiatif positif yang

dimiliki (JP5) sebesar 86,6%. Dengan kata lain, kontribusi indikator

puas terhadap kemampuan untuk menerima tanggung jawab dan

inisiatif positif yang dimiliki (JP5) dalam mengukur variabel Job

Performance sebesar 86,6%.

Berikutnya nilai loading indikator puas terhadap kemampuan

dalam menggunakan keahlian profesional yang dimiliki (JP6) sebesar

0,843. Hal ini berarti keragaman variabel Job Performance mampu

dijelaskan oleh indikator puas terhadap kemampuan dalam

menggunakan keahlian profesional yang dimiliki (JP6) sebesar

84,3%. Dengan kata lain, kontribusi indikator puas terhadap

kemampuan dalam menggunakan keahlian profesional yang dimiliki

(JP6) dalam mengukur variabel Job Performance sebesar 84,3%.

Kemudian nilai loading indikator puas terhadap kemampuan

untuk mematuhi kebijakan dan prosedur (JP7) sebesar 0,801. Hal ini

berarti keragaman variabel Job Performance mampu dijelaskan oleh

indikator puas terhadap kemampuan untuk mematuhi kebijakan dan

prosedur (JP7) sebesar 80,1%. Dengan kata lain, kontribusi indikator


89

puas terhadap kemampuan untuk mematuhi kebijakan dan prosedur

(JP7) dalam mengukur variabel Job Performance sebesar 80,1%.

Selanjutnya nilai loading indikator puas terhadap kemampuan

untuk merencanakan dan mengorganisasikan pekerjaan (JP8) sebesar

0,816. Hal ini berarti keragaman variabel Job Performance mampu

dijelaskan oleh indikator puas terhadap kemampuan untuk

merencanakan dan mengorganisasikan pekerjaan (JP8) sebesar

81,6%. Dengan kata lain, kontribusi indikator puas terhadap

kemampuan untuk merencanakan dan mengorganisasikan pekerjaan

(JP8) dalam mengukur variabel Job Performance sebesar 81,6%.

Berikutnya nilai loading indikator puas terhadap kemampuan

untuk beradaptasi dengan situasi baru (JP9) sebesar 0,864. Hal ini

berarti keragaman variabel Job Performance mampu dijelaskan oleh

indikator puas terhadap kemampuan untuk beradaptasi dengan situasi

baru (JP9) sebesar 86,4%. Dengan kata lain, kontribusi indikator puas

terhadap kemampuan untuk beradaptasi dengan situasi baru (JP9)

dalam mengukur variabel Job Performance sebesar 86,4%.

Kemudian nilai loading indikator puas terhadap kemampuan

dalam berhubungan dengan karyawan lain (JP10) sebesar 0,788. Hal

ini berarti keragaman variabel Job Performance mampu dijelaskan

oleh indikator puas terhadap kemampuan dalam berhubungan dengan

karyawan lain (JP10) sebesar 78,8%. Dengan kata lain, kontribusi

indikator puas terhadap kemampuan dalam berhubungan dengan


90

karyawan lain (JP10) dalam mengukur variabel Job Performance

sebesar 78,8%.

Selanjutnya nilai loading indikator puas terhadap kemampuan

dalam berhubungan dengan klien di luar KAP (JP11) sebesar 0,824.

Hal ini berarti keragaman variabel Job Performance mampu

dijelaskan oleh indikator puas terhadap kemampuan dalam

berhubungan dengan klien di luar KAP (JP11) sebesar 82,4%.

Dengan kata lain, kontribusi indikator puas terhadap kemampuan

dalam berhubungan dengan klien di luar KAP (JP11) dalam

mengukur variabel Job Performance sebesar 82,4%.

Berikutnya nilai loading indikator puas terhadap kemampuan

untuk mengawasi (JP12) sebesar 0,641. Hal ini berarti keragaman

variabel Job Performance mampu dijelaskan oleh indikator puas

terhadap kemampuan untuk mengawasi (JP12) sebesar 64,1%.

Dengan kata lain, kontribusi indikator puas terhadap kemampuan

untuk mengawasi (JP12) dalam mengukur variabel Job Performance

sebesar 64,1%.

Model pengukuran variabel Job Performance juga

menginformasikan bahwa indikator puas terhadap kemampuan untuk

menerima tanggung jawab dan inisiatif positif yang dimiliki (JP5)

memiliki nilai loading yang paling tinggi yaitu sebesar 0,866 Hal ini

berarti indikator puas terhadap kemampuan untuk menerima tanggung

jawab dan inisiatif positif yang dimiliki (JP5) merupakan indikator


91

yang paling dominan dalam mengukur variabel Job Performance.

4.2.3.10 Model Pengukuran Variabel Turnover Intention

Indikator pengukur variabel Turnover Intention dapat dilihat

melalui tabel di bawah ini:

Tabel 4.16
Indikator pengukur variabel Turnover Intention
Loading
Variabel Indikator
Factor
Memilih pekerjaan lain yang lebih ideal dibanding
0,869
pekrjaan saat ini (TOI1)
Turnover Berpikir untuk berpindah perusahaan sejak awal
0,838
Intention bekerja di KAP ini (TOI2)
Akan bekerja di KAP ini untuk tiga tahun ke depan
0,829
(TOI3)
Sumber: Output smartPLS dari data primer diolah, 2018

Model pengukuran variabel Turnover Intention adalah sebagai

berikut:

TOI1 = 0,869 TOI TOI2 = 0,838 TOI

TOI3 = 0,829 TOI

Berdasarkan model pengukuran di atas diketahui bahwa nilai

loading indikator memilih pekerjaan lain yang lebih ideal dibanding

pekrjaan saat ini (TOI1) sebesar 0,869. Hal ini berarti keragaman

variabel Turnover Intention mampu dijelaskan oleh indikator memilih

pekerjaan lain yang lebih ideal dibanding pekrjaan saat ini (TOI1)

sebesar 86,9%. Dengan kata lain, kontribusi indikator memilih

pekerjaan lain yang lebih ideal dibanding pekrjaan saat ini (TOI1)

dalam mengukur variabel Turnover Intention sebesar 86,9%.

Kemudian nilai loading indikator berpikir untuk berpindah


92

perusahaan sejak awal bekerja di KAP ini (TOI2) sebesar 0,838. Hal

ini berarti keragaman variabel Turnover Intention mampu dijelaskan

oleh indikator berpikir untuk berpindah perusahaan sejak awal bekerja

di KAP ini (TOI2) sebesar 83,8%. Dengan kata lain, kontribusi

indikator berpikir untuk berpindah perusahaan sejak awal bekerja di

KAP ini (TOI2) dalam mengukur variabel Turnover Intention sebesar

83,8%.

Selanjutnya nilai loading indikator akan bekerja di KAP ini

untuk tiga tahun ke depan (TOI3) sebesar 0,829. Hal ini berarti

keragaman variabel Turnover Intention mampu dijelaskan oleh

indikator akan bekerja di KAP ini untuk tiga tahun ke depan (TOI3)

sebesar 82,9%. Dengan kata lain, kontribusi indikator akan bekerja di

KAP ini untuk tiga tahun ke depan (TOI3) dalam mengukur variabel

Turnover Intention sebesar 82,9%.

Model pengukuran variabel Turnover Intention juga

menginformasikan bahwa indikator memilih pekerjaan lain yang lebih

ideal dibanding pekrjaan saat ini (TOI1) memiliki nilai loading yang

paling tinggi yaitu sebesar 0,869. Hal ini berarti indikator memilih

pekerjaan lain yang lebih ideal dibanding pekrjaan saat ini (TOI1)

merupakan indikator yang paling dominan dalam mengukur variabel

Turnover Intention.
93

4.2.4 Goodness of Fit Model

Goodness of fit Model digunakan untuk mengetahui besarnya

kemampuan variabel endogen untuk menjelaskan keragaman variabel

eksogen, atau dengan kata lain untuk mengetahui besarnya kontribusi variabel

eksogen terhadap variabel endogen. Goodness of fit Model dalam analisis

PLS dilakukan dengan menggunakan Q-Square predictive relevance (Q2).

Adapun hasil Goodness of fit Model yang telah diringkas dalam tabel

berikut:

Tabel 4.17
Goodness of fit Model
Variabel R2
Vitality 0,251
Job Burnout 0,468
Job Satisfaction 0,397
Job Performance 0,291
Psychological Well Being 0,193
Turnover Intention 0,463
Q2 = 1 – ( (1 – R12) (1 – R22 ) (1 – R32 ) (1 – R42 ) (1 – R52 ) (1 – R62 ) )
Q2 = 1 – ( (1 – 0,251) (1 – 0,468) (1 – 0,397) (1 – 0,291 ) (1 – 0,193 ) (1 – 0,463) )
Q2 = 0,926
Sumber: Output smartPLS dari data primer diolah, 2018

R-square variabel Vitality bernilai 0,251 atau 25,1%. Hal ini dapat

menunjukkan bahwa keragaman variabel Vitality dijelaskan oleh variabel

Healthy Lifestyle sebesar 25,1%, atau dengan kata lain kontribusi variabel

Healthy Lifestyle terhadap variabel Vitality sebesar 25,1%, sedangkan sisanya

sebesar 74,9% merupakan kontribusi variabel lain yang tidak dibahas dalam

penelitian ini.
94

Kemudian R-square variabel Job Burnout bernilai 0,468 atau 46,8%.

Hal ini dapat menunjukkan bahwa keragaman variabel Job Burnout

dijelaskan oleh variabel Role Ambiguity, Role Conflict dan Role Overload

sebesar 46,8%, atau dengan kata lain kontribusi variabel Role Ambiguity, Role

Conflict dan Role Overload terhadap variabel Job Burnout sebesar 46,8%,

sedangkan sisanya sebesar 53,2% merupakan kontribusi variabel lain yang

tidak dibahas dalam penelitian ini.

Selanjutnya R-square variabel Job Satisfaction bernilai 0,397 atau

39,7%. Hal ini dapat menunjukkan bahwa keragaman variabel Job

Satisfaction dijelaskan oleh variabel Job Burnout dan Psychological Well-

Being sebesar 39,7%, atau dengan kata lain kontribusi variabel Job Burnout

dan Psychological Well-Being terhadap variabel Job Satisfaction sebesar

39,7%, sedangkan sisanya sebesar 60,3% merupakan kontribusi variabel lain

yang tidak dibahas dalam penelitian ini.

Berikutnya R-square variabel Job Performance bernilai 0,291 atau

29,1%. Hal ini dapat menunjukkan bahwa keragaman variabel Job

Performance dijelaskan oleh variabel Job Burnout dan Psychological Well-

Being sebesar 29,1%, atau dengan kata lain kontribusi variabel Job Burnout

dan Psychological Well-Being terhadap variabel Job Performance sebesar

29,1%, sedangkan sisanya sebesar 70,9% merupakan kontribusi variabel lain

yang tidak dibahas dalam penelitian ini.

Kemudian R-square variabel Psychological Well Being bernilai 0,193

atau 19,3%. Hal ini dapat menunjukkan bahwa keragaman variabel


95

Psychological Well Being dijelaskan oleh variabel Job Burnout, Healthy

Lifestyle dan Vitality sebesar 19,3%, atau dengan kata lain kontribusi variabel

Job Burnout, Healthy Lifestyle dan Vitality terhadap variabel Psychological

Well Being sebesar 19,3%, sedangkan sisanya sebesar 80,7% merupakan

kontribusi variabel lain yang tidak dibahas dalam penelitian ini.

Selanjutnya R-square variabel Turnover Intention bernilai 0,463 atau

46,3%. Hal ini dapat menunjukkan bahwa keragaman variabel Turnover

Intention dijelaskan oleh variabel Job Burnout dan Psychological Well-Being

sebesar 46,3%, atau dengan kata lain kontribusi variabel Job Burnout dan

Psychological Well-Being terhadap variabel Turnover Intention sebesar

46.3%, sedangkan sisanya sebesar 53,7% merupakan kontribusi variabel lain

yang tidak dibahas dalam penelitian ini.

Q-Square predictive relevance (Q2) bernilai 0,926 atau 92,6%. Hal ini

dapat menunjukkan bahwa keragaman model PLS secara umum mampu

dijelaskan oleh keseluruhan variabel sebesar 92,6%, atau dengan kata lain

kontribusi semua variabel terhadap model PLS secara keseluruhan sebesar

92,6%, sedangkan sisanya sebesar 7,4% merupakan kontribusi variabel lain

yang tidak dibahas dalam penelitian ini.

4.2.5 Pengujian Hipotesis

4.2.5.1 Pengujian Hipotesis Direct Effect

Pengujian hipotesis Direct Effect digunakan untuk menguji ada

tidaknya pengaruh secara langsung variabel eksogen terhadap variabel

endogen. Kriteria pengujian menyatakan bahwa apabila nilai T-


96

statistic ≥ T-tabel (1,96) maka dinyatakan adanya pengaruh signifikan

variabel eksogen terhadap variabel endogen. Hasil pengujian hipotesis

dapat diketahui melalui tabel berikut:

Tabel 4.18
Uji Hipotesis Direct Effect
Standar
Variabel Variabel Original d Error T-Statistic
Eksogen Endogen Sample (O) (STER (|O/STERR|)
R)
Role Ambiguity Job Burnout 0,412 0,052 7,893
Role Conflict Job Burnout 0,498 0,048 10,378
Role Overload Job Burnout -0,235 0,052 4,490
Healthy Lifestyle Vitality 0,501 0,063 8,004
Psychological 2,604
Job Burnout -0,188 0,072
Well-Being
Psychological 0,164
Healthy Lifestyle 0014 0,088
Well-Being
Psychological 7,968
Vitality 0,505 0,063
Well-Being
Job Burnout Job Satisfaction 0,281 0,075 3,753
Psychological
Job Satisfaction 0,539 0,051 10,628
Well-Being
Job Burnout Job Performance 0,210 0,064 3,298
Psychological
Job Performance 0,479 0,059 8,145
Well-Being
Turnover
Job Burnout 0,636 0,052 12,259
Intention
Psychological Turnover
0,191 0,066 2,910
Well-Being Intention
Sumber: Output smartPLS dari data primer diolah, 2018

Pengaruh Role Ambiguity terhadap Job Burnout menghasilkan

koefisien jalur sebesar 0,412 dengan nilai T-statistic sebesar 7,893.

Hasil pengujian tersebut menunjukkan bahwa nilai T-statistic > 1,96.

Hal ini berarti terdapat pengaruh signifikan Role Ambiguity terhadap

Job Burnout.
97

Pengaruh Role Conflict terhadap Job Burnout menghasilkan

koefisien jalur sebesar 0,498 dengan nilai T-statistic sebesar 10,378.

Hasil pengujian tersebut menunjukkan bahwa nilai T-statistic > 1,96.

Hal ini berarti terdapat pengaruh signifikan Role Conflict terhadap Job

Burnout.

Pengaruh Role Overload terhadap Job Burnout menghasilkan

koefisien jalur sebesar -0,235 dengan nilai T-statistic sebesar 4,490.

Hasil pengujian tersebut menunjukkan bahwa nilai T-statistic > 1.96.

Hal ini berarti terdapat pengaruh signifikan Role Overload terhadap

Job Burnout.

Pengaruh Healthy Lifestyle terhadap Vitality menghasilkan

koefisien jalur sebesar 0,501 dengan nilai T-statistic sebesar 8,004.

Hasil pengujian tersebut menunjukkan bahwa nilai T-statistic > 1,96.

Hal ini berarti terdapat pengaruh signifikan Healthy Lifestyle terhadap

Vitality.

Pengaruh Job Burnout terhadap Psychological Well-Being

menghasilkan koefisien jalur sebesar -0,188 dengan nilai T-statistic

sebesar 2,604. Hasil pengujian tersebut menunjukkan bahwa nilai T-

statistic > 1,96. Hal ini berarti terdapat pengaruh signifikan Job

Burnout terhadap Psychological Well-Being.

Pengaruh Healthy Lifestyle terhadap Psychological Well-Being

menghasilkan koefisien jalur sebesar 0,014 dengan nilai T-statistic

sebesar 0,164. Hasil pengujian tersebut menunjukkan bahwa nilai T-


98

statistic < 1,96. Hal ini berarti tidak terdapat pengaruh signifikan

Healthy Lifestyle terhadap Psychological Well-Being.

Pengaruh Vitality terhadap Psychological Well-Being

menghasilkan koefisien jalur sebesar 0,505 dengan nilai T-statistic

sebesar 7,968. Hasil pengujian tersebut menunjukkan bahwa nilai T-

statistic > 1,96. Hal ini berarti terdapat pengaruh signifikan Vitality

terhadap Psychological Well-Being.

Pengaruh Job Burnout terhadap Job Satisfaction menghasilkan

koefisien jalur sebesar -0,281 dengan nilai T-statistic sebesar 3,753.

Hasil pengujian tersebut menunjukkan bahwa nilai T-statistic > 1,96.

Hal ini berarti terdapat pengaruh signifikan Job Burnout terhadap Job

Satisfaction.

Pengaruh Psychological Well-Being terhadap Job Satisfaction

menghasilkan koefisien jalur sebesar 0,539 dengan nilai T-statistic

sebesar 10,628. Hasil pengujian tersebut menunjukkan bahwa nilai T-

statistic > 1,96. Hal ini berarti terdapat pengaruh signifikan

Psychological Well-Being terhadap Job Satisfaction.

Pengaruh Job Burnout terhadap Job Performance

menghasilkan koefisien jalur sebesar 0,210 dengan nilai T-statistic

sebesar 3,298. Hasil pengujian tersebut menunjukkan bahwa nilai T-

statistic > 1,96. Hal ini berarti terdapat pengaruh signifikan Job

Burnout terhadap Job Performance.


99

Pengaruh Psychological Well-Being terhadap Job Performance

menghasilkan koefisien jalur sebesar 0,479 dengan nilai T-statistic

sebesar 8,145. Hasil pengujian tersebut menunjukkan bahwa nilai T-

statistic > 1,96. Hal ini berarti terdapat pengaruh signifikan

Psychological Well-Being terhadap Job Performance.

Pengaruh Job Burnout terhadap Turnover Intention

menghasilkan koefisien jalur sebesar 0,636 dengan nilai T-statistic

sebesar 12,259. Hasil pengujian tersebut menunjukkan bahwa nilai T-

statistic > 1,96. Hal ini berarti terdapat pengaruh signifikan Job

Burnout terhadap Turnover Intention.

Pengaruh Psychological Well-Being terhadap Turnover

Intention menghasilkan koefisien jalur sebesar 0,191 dengan nilai T-

statistic sebesar 2,910. Hasil pengujian tersebut menunjukkan bahwa

nilai T-statistic > 1,96. Hal ini berarti terdapat pengaruh signifikan

Psychological Well-Being terhadap Turnover Intention.

4.2.5.2 Pengujian Hipotesis Indirect Effect

Pengujian hipotesis indirect effect dilakukan dengan tujuan

untuk menguji ada tidaknya pengaruh secara tidak langsung variabel

eksogen terhadap variabel endogen melalui variabel mediasi. Kriteria

pengujian menyatakan bahwa apabila T-statistic ≥ T-tabel (1,96) maka

dinyatakan terdapat pengaruh signifikan variabel eksogen terhadap

variabel endogen melalui variabel mediasi. Hasil pengujian hipotesis

indirect effect dapat dilihat melalui ringkasan dalam tabel berikut:


100

Tabel 4.19
Uji Hipotesis Indirect Effect
SE T-
Eksogen Mediasi 1 Mediasi 2 Endogen Indirect
Indirect Statistic
Role Psychological
Job Burnout -0,049 0,019 2,655
Ambiguity Well-Being
Role Job
Job Burnout 0,105 0,035 3,033
Ambiguity Satisfaction
Role Job
Job Burnout -0,039 0,019 2,043
Ambiguity Performance
Role Turnover
Job Burnout 0,003 0,019 0,159
Ambiguity Intention
Role Psychological Job
Job Burnout -0,025 0,010 2,521
Ambiguity Well-Being Satisfaction
Role Psychological Job
Job Burnout -0,014 0,006 2,166
Ambiguity Well-Being Performance
Role Psychological Turnover
Job Burnout -0,027 0,010 2,575
Ambiguity Well-Being Intention
Role Psychological
Job Burnout -0,113 0,029 3,949
Conflict Well-Being
Role Job
Job Burnout 0,240 0,042 5,681
Conflict Satisfaction
Role Job
Job Burnout -0,090 0,036 2,486
Conflict Performance
Role Turnover
Job Burnout 0,007 0,042 0,159
Conflict Intention
Role Psychological Job
Job Burnout -0,057 0,016 3,542
Conflict Well-Being Satisfaction
Role Psychological Job
Job Burnout -0,032 0,012 2,718
Conflict Well-Being Performance
Role Psychological Turnover
Job Burnout -0,061 0,016 3,699
Conflict Well-Being Intention
Role Psychological
Job Burnout -0,149 0,035 4,239
Overload Well-Being
Role Job
Job Burnout 0,319 0,048 6,667
Overload Satisfaction
Role Job
Job Burnout -0,120 0,047 2,554
Overload Performance
Role Turnover
Job Burnout 0,009 0,056 0,159
Overload Intention
Role Psychological Job
Job Burnout -0,075 0,020 3,747
Overload Well-Being Satisfaction
Role Psychological Job
Job Burnout -0,042 0,015 2,807
Overload Well-Being Performance
101

Role Psychological Turnover


Job Burnout -0,081 0,020 3,934
Overload Well-Being Intention
Healthy Psychological
Vitality 0,079 0,029 2,718
Lifestyle Well-Being
Healthy Psychological Job
0,251 0,040 6,343
Lifestyle Well-Being Satisfaction
Healthy Psychological Job
0,140 0,040 3,524
Lifestyle Well-Being Performance
Healthy Psychological Turnover
0,268 0,036 7,404
Lifestyle Well-Being Intention
Healthy Psychological Job
Vitality 0,040 0,015 2,574
Lifestyle Well-Being Satisfaction
Healthy Psychological Job
Vitality 0,022 0,010 2,200
Lifestyle Well-Being Performance
Healthy Psychological Turnover
Vitality 0,042 0,016 2,633
Lifestyle Well-Being Intention
Job Psychological Job
-0,119 0,030 3,937
Burnout Well-Being Satisfaction
Job Psychological Job
-0,066 0,023 2,884
Burnout Well-Being Performance
Job Psychological Turnover
-0,127 0,030 4,155
Burnout Well-Being Intention
Psychological Job
Vitality 0,096 0,035 2,722
Well-Being Satisfaction
Psychological Job
Vitality 0,054 0,023 2,290
Well-Being Performance
Psychological Turnover
Vitality 0,103 0,037 2,791
Well-Being Intention
Sumber: Output smartPLS dari data primer diolah, 2018

Berdasarkan pengujian yang tertera dalam tabel di atas dapat

diketahui bahwa pengaruh Role Ambiguity terhadap Psychological

Well-Being melalui Job Burnout diperoleh koefisien jalur sebesar -

0,049 dengan nilai T-statistic sebesar 2,655. Hasil pengujian tersebut

menunjukkan bahwa nilai T-statistic > 1,96. Hal ini menunjukkan

bahwa terdapat pengaruh signifikan Role Ambiguity terhadap

Psychological Well-Being melalui Job Burnout.

Kemudian pengaruh Role Ambiguity terhadap Job Satisfaction


102

melalui Job Burnout diperoleh koefisien jalur sebesar 0,105 dengan

nilai T-statistic sebesar 3,033. Hasil pengujian tersebut menunjukkan

bahwa nilai T-statistic > 1,96. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat

pengaruh signifikan Role Ambiguity terhadap Job Satisfaction melalui

Job Burnout.

Selanjutnya pengaruh Role Ambiguity terhadap Job

Performance melalui Job Burnout diperoleh koefisien jalur sebesar -

0,039 dengan nilai T-statistic sebesar 2,043. Hasil pengujian tersebut

menunjukkan bahwa nilai T-statistic > 1,96. Hal ini menunjukkan

bahwa terdapat pengaruh signifikan Role Ambiguity terhadap Job

Performance melalui Job Burnout.

Berikutnya pengaruh Role Ambiguity terhadap Turnover

Intention melalui Job Burnout diperoleh koefisien jalur sebesar 0,003

dengan nilai T-statistic sebesar 0,159. Hasil pengujian tersebut

menunjukkan bahwa nilai T-statistic < 1,96. Hal ini menunjukkan

bahwa tidak terdapat pengaruh signifikan Role Ambiguity terhadap

Turnover Intention melalui Job Burnout.

Kemudian pengaruh Role Ambiguity terhadap Job Satisfaction

melalui Job Burnout melalui Psychological Well-Being diperoleh

koefisien jalur sebesar -0,025 dengan nilai T-statistic sebesar 2,521.

Hasil pengujian tersebut menunjukkan bahwa nilai T-statistic > 1,96.

Hal ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh signifikan Role

Ambiguity terhadap Job Satisfaction melalui Job Burnout melalui


103

Psychological Well-Being.

Selanjutnya pengaruh Role Ambiguity terhadap Job

Performance melalui Job Burnout melalui Psychological Well-Being

diperoleh koefisien jalur sebesar -0,014 dengan nilai T-statistic

sebesar 2,166. Hasil pengujian tersebut menunjukkan bahwa nilai T-

statistic > 1,96. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh

signifikan Role Ambiguity terhadap Job Performance melalui Job

Burnout melalui Psychological Well-Being.

Berikutnya pengaruh Role Ambiguity terhadap Turnover

Intention melalui Job Burnout melalui Psychological Well-Being

diperoleh koefisien jalur sebesar -0,027 dengan nilai T-statistic

sebesar 2,575. Hasil pengujian tersebut menunjukkan bahwa nilai T-

statistic > 1,96. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh

signifikan Role Ambiguity terhadap Turnover Intention melalui Job

Burnout melalui Psychological Well-Being.

Kemudian pengaruh Role Conflict terhadap Psychological

Well-Being melalui Job Burnout diperoleh koefisien jalur sebesar -

0,113 dengan nilai T-statistic sebesar 3,949. Hasil pengujian tersebut

menunjukkan bahwa nilai T-statistic > 1,96. Hal ini menunjukkan

bahwa terdapat pengaruh signifikan Role Conflict terhadap

Psychological Well-Being melalui Job Burnout.

Selanjutnya pengaruh Role Conflict terhadap Job Satisfaction

melalui Job Burnout diperoleh koefisien jalur sebesar 0,240 dengan


104

nilai T-statistic sebesar 5,681. Hasil pengujian tersebut menunjukkan

bahwa nilai T-statistic > 1,96. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat

pengaruh signifikan Role Conflict terhadap Job Satisfaction melalui

Job Burnout.

Berikutnya pengaruh Role Conflict terhadap Job Performance

melalui Job Burnout diperoleh koefisien jalur sebesar -0,090 dengan

nilai T-statistic sebesar 2,486. Hasil pengujian tersebut menunjukkan

bahwa nilai T-statistic > 1,96. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat

pengaruh signifikan Role Conflict terhadap Job Performance melalui

Job Burnout.

Kemudian pengaruh Role Conflict terhadap Turnover Intention

melalui Job Burnout diperoleh koefisien jalur sebesar 0,007 dengan

nilai T-statistic sebesar 0,159. Hasil pengujian tersebut menunjukkan

bahwa nilai T-statistic < 1,96. Hal ini menunjukkan bahwa tidak

terdapat pengaruh signifikan Role Conflict terhadap Turnover

Intention melalui Job Burnout.

Selanjutnya pengaruh Role Conflict terhadap Job Satisfaction

melalui Job Burnout melalui Psychological Well-Being diperoleh

koefisien jalur sebesar -0,057 dengan nilai T-statistic sebesar 3,542.

Hasil pengujian tersebut menunjukkan bahwa nilai T-statistic > 1,96.

Hal ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh signifikan Role

Conflict terhadap Job Satisfaction melalui Job Burnout melalui

Psychological Well-Being.
105

Berikutnya pengaruh Role Conflict terhadap Job Performance

melalui Job Burnout melalui Psychological Well-Being diperoleh

koefisien jalur sebesar -0,032 dengan nilai T-statistic sebesar 2,718.

Hasil pengujian tersebut menunjukkan bahwa nilai T-statistic > 1,96.

Hal ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh signifikan Role

Conflict terhadap Job Performance melalui Job Burnout melalui

Psychological Well-Being.

Kemudian pengaruh Role Conflict terhadap Turnover Intention

melalui Job Burnout melalui Psychological Well-Being diperoleh

koefisien jalur sebesar -0,061 dengan nilai T-statistic sebesar 3,699.

Hasil pengujian tersebut menunjukkan bahwa nilai T-statistic > 1,96.

Hal ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh signifikan Role

Conflict terhadap Turnover Intention melalui Job Burnout melalui

Psychological Well-Being.

Selanjutnya pengaruh Role Overload terhadap Psychological

Well-Being melalui Job Burnout diperoleh koefisien jalur sebesar -

0,149 dengan nilai T-statistic sebesar 4,239. Hasil pengujian tersebut

menunjukkan bahwa nilai T-statistic > 1,96. Hal ini menunjukkan

bahwa terdapat pengaruh signifikan Role Overload terhadap

Psychological Well-Being melalui Job Burnout.

Berikutnya pengaruh Role Overload terhadap Job Satisfaction

melalui Job Burnout diperoleh koefisien jalur sebesar 0,319 dengan

nilai T-statistic sebesar 6,667. Hasil pengujian tersebut menunjukkan


106

bahwa nilai T-statistic > 1,96. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat

pengaruh signifikan Role Overload terhadap Job Satisfaction melalui

Job Burnout.

Kemudian pengaruh Role Overload terhadap Job Performance

melalui Job Burnout diperoleh koefisien jalur sebesar -0,120 dengan

nilai T-statistic sebesar 2,554. Hasil pengujian tersebut menunjukkan

bahwa nilai T-statistic > 1,96. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat

pengaruh signifikan Role Overload terhadap Job Performance melalui

Job Burnout.

Selanjutnya pengaruh Role Overload terhadap Turnover

Intention melalui Job Burnout diperoleh koefisien jalur sebesar 0,009

dengan nilai T-statistic sebesar 0,159. Hasil pengujian tersebut

menunjukkan bahwa nilai T-statistic < 1,96. Hal ini menunjukkan

bahwa tidak terdapat pengaruh signifikan Role Overload terhadap

Turnover Intention melalui Job Burnout.

Berikutnya pengaruh Role Overload terhadap Job Satisfaction

melalui Job Burnout melalui Psychological Well-Being diperoleh

koefisien jalur sebesar -0,075 dengan nilai T-statistic sebesar 3,747.

Hasil pengujian tersebut menunjukkan bahwa nilai T-statistic > 1,96.

Hal ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh signifikan Role

Overload terhadap Job Satisfaction melalui Job Burnout melalui

Psychological Well-Being.

Kemudian pengaruh Role Overload terhadap Job Performance


107

melalui Job Burnout melalui Psychological Well-Being diperoleh

koefisien jalur sebesar -0,042 dengan nilai T-statistic sebesar 2,807.

Hasil pengujian tersebut menunjukkan bahwa nilai T-statistic > 1,96.

Hal ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh signifikan Role

Overload terhadap Job Performance melalui Job Burnout melalui

Psychological Well-Being.

Selanjutnya pengaruh Role Overload terhadap Turnover

Intention melalui Job Burnout melalui Psychological Well-Being

diperoleh koefisien jalur sebesar -0,081 dengan nilai T-statistic

sebesar 3,934. Hasil pengujian tersebut menunjukkan bahwa nilai T-

statistic > 1,96. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh

signifikan Role Overload terhadap Turnover Intention melalui Job

Burnout melalui Psychological Well-Being.

Kemudian pengaruh Healthy Lifestyle terhadap Psychological

Well-Being melalui Vitality diperoleh koefisien jalur sebesar 0,079

dengan nilai T-statistic sebesar 2,718. Hasil pengujian tersebut

menunjukkan bahwa nilai T-statistic > 1,96. Hal ini menunjukkan

bahwa terdapat pengaruh signifikan Healthy Lifestyle terhadap

Psychological Well-Being melalui Vitality.

Selanjutnya pengaruh Healthy Lifestyle terhadap Job

Satisfaction melalui Psychological Well-Being diperoleh koefisien

jalur sebesar 0,251 dengan nilai T-statistic sebesar 6,343. Hasil

pengujian tersebut menunjukkan bahwa nilai T-statistic > 1,96. Hal ini
108

menunjukkan bahwa terdapat pengaruh signifikan Healthy Lifestyle

terhadap Job Satisfaction melalui Psychological Well-Being.

Berikutnya pengaruh Healthy Lifestyle terhadap Job

Performance melalui Psychological Well-Being diperoleh koefisien

jalur sebesar 0,140 dengan nilai T-statistic sebesar 3,524. Hasil

pengujian tersebut menunjukkan bahwa nilai T-statistic > 1,96. Hal ini

menunjukkan bahwa terdapat pengaruh signifikan Healthy Lifestyle

terhadap Job Performance melalui Psychological Well-Being.

Kemudian pengaruh Healthy Lifestyle terhadap Turnover

Intention melalui Psychological Well-Being diperoleh koefisien jalur

sebesar 0,268 dengan nilai T-statistic sebesar 7,404. Hasil pengujian

tersebut menunjukkan bahwa nilai T-statistic > 1,96. Hal ini

menunjukkan bahwa terdapat pengaruh signifikan Healthy Lifestyle

terhadap Turnover Intention melalui Psychological Well-Being.

Selanjutnya pengaruh Healthy Lifestyle terhadap Job

Satisfaction melalui Vitality melalui Psychological Well-Being

diperoleh koefisien jalur sebesar 0,040 dengan nilai T-statistic sebesar

2,574. Hasil pengujian tersebut menunjukkan bahwa nilai T-statistic >

1,96. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh signifikan

Healthy Lifestyle terhadap Job Satisfaction melalui Vitality melalui

Psychological Well-Being.

Berikutnya pengaruh Healthy Lifestyle terhadap Job

Satisfaction melalui Vitality melalui Psychological Well-Being


109

diperoleh koefisien jalur sebesar 0,040 dengan nilai T-statistic sebesar

2,574. Hasil pengujian tersebut menunjukkan bahwa nilai T-statistic >

1,96. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh signifikan

Healthy Lifestyle terhadap Job Satisfaction melalui Vitality melalui

Psychological Well-Being.

Kemudian pengaruh Healthy Lifestyle terhadap Job

Performance melalui Vitality melalui Psychological Well-Being

diperoleh koefisien jalur sebesar 0,022 dengan nilai T-statistic sebesar

2,200. Hasil pengujian tersebut menunjukkan bahwa nilai T-statistic >

1,96. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh signifikan

Healthy Lifestyle terhadap Job Performance melalui Vitality melalui

Psychological Well-Being.

Selanjutnya pengaruh Healthy Lifestyle terhadap Turnover

Intention melalui Vitality melalui Psychological Well-Being diperoleh

koefisien jalur sebesar 0,042 dengan nilai T-statistic sebesar 2,633.

Hasil pengujian tersebut menunjukkan bahwa nilai T-statistic > 1,96.

Hal ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh signifikan Healthy

Lifestyle terhadap Turnover Intention melalui Vitality melalui

Psychological Well-Being.

Berikutnya pengaruh Job Burnout terhadap Job Satisfaction

melalui Psychological Well-Being diperoleh koefisien jalur sebesar -

0,119 dengan nilai T-statistic sebesar 3,937. Hasil pengujian tersebut

menunjukkan bahwa nilai T-statistic > 1,96. Hal ini menunjukkan


110

bahwa terdapat pengaruh signifikan Job Burnout terhadap Job

Satisfaction melalui Psychological Well-Being.

Kemudian pengaruh Job Burnout terhadap Job Satisfaction

melalui Psychological Well-Being diperoleh koefisien jalur sebesar -

0,066 dengan nilai T-statistic sebesar 2,884. Hasil pengujian tersebut

menunjukkan bahwa nilai T-statistic > 1,96. Hal ini menunjukkan

bahwa terdapat pengaruh signifikan Job Burnout terhadap Job

Satisfaction melalui Psychological Well-Being.

Selanjutnya pengaruh Job Burnout terhadap Turnover

Intention melalui Psychological Well-Being diperoleh koefisien jalur

sebesar -0,127 dengan nilai T-statistic sebesar 4,155. Hasil pengujian

tersebut menunjukkan bahwa nilai T-statistic > 1,96. Hal ini

menunjukkan bahwa terdapat pengaruh signifikan Job Burnout

terhadap Turnover Intention melalui Psychological Well-Being.

Berikutnya pengaruh Vitality terhadap Job Satisfaction melalui

Psychological Well-Being diperoleh koefisien jalur sebesar 0,096

dengan nilai T-statistic sebesar 2,722. Hasil pengujian tersebut

menunjukkan bahwa nilai T-statistic > 1,96. Hal ini menunjukkan

bahwa terdapat pengaruh signifikan Vitality terhadap Job Satisfaction

melalui Psychological Well-Being.

Kemudian pengaruh Vitality terhadap Job Performance

melalui Psychological Well-Being diperoleh koefisien jalur sebesar

0,054 dengan nilai T-statistic sebesar 2,290. Hasil pengujian tersebut


111

menunjukkan bahwa nilai T-statistic > 1,96. Hal ini menunjukkan

bahwa terdapat pengaruh signifikan Vitality terhadap Job

Performancenc melalui Psychological Well-Being.

Selanjutnya pengaruh Vitality terhadap Turnover Intention

melalui Psychological Well-Being diperoleh koefisien jalur sebesar

0,103 dengan nilai T-statistic sebesar 2,791. Hasil pengujian tersebut

menunjukkan bahwa nilai T-statistic > 1,96. Hal ini menunjukkan

bahwa terdapat pengaruh signifikan Vitality terhadap Turnover

Intention melalui Psychological Well-Being.

4.2.6 Konversi Diagram Jalur ke Dalam Model Struktural

Konversi diagram jalur dalam model pengukuran dimaksudkan untuk

mengetahui bagaimana pengaruh variabel eksogen secara langsung maupun

tidak langsung terhadap variabel endogen melalui variabel mediasi

sebagaimana disajikan dalam tabel berikut:

Tabel 4.20
Direct Indirect Effect
Eksogen Mediasi 1 Mediasi 2 Endogen Direct Indirect Total
Role
Job Burnout 0,412* 0,412
Ambiguity
Role Psychological
Job Burnout -0,077* -0,077
Ambiguity Well-Being
Role Job
Job Burnout 0,116*
Ambiguity Satisfaction
0,074
Role Psychological Job
Job Burnout -0,042*
Ambiguity Well-Being Satisfaction
Role Job
Job Burnout 0,087*
Ambiguity Performance
0,049
Role Psychological Job
Job Burnout -0,037*
Ambiguity Well-Being Performance
Role Turnover
Job Burnout 0,262* 0,247
Ambiguity Intention
112

Role Psychological Turnover


Job Burnout -0,015
Ambiguity Well-Being Intention
Role Conflict Job Burnout 0.498* 0,498
Psychological
Role Conflict Job Burnout -0,094* -0,094
Well-Being
Job
Role Conflict Job Burnout 0,140*
Satisfaction
0,089
Psychological Job
Role Conflict Job Burnout -0,050*
Well-Being Satisfaction
Job
Role Conflict Job Burnout 0,105*
Performance
0,060
Psychological Job
Role Conflict Job Burnout -0,045*
Well-Being Performance
Turnover
Role Conflict Job Burnout 0,317*
Intention
0,299
Psychological Turnover
Role Conflict Job Burnout -0,018
Well-Being Intention
Role Overload Job Burnout -0.235 -0,235
Psychological
Role Overload Job Burnout 0,044* 0,044
Well-Being
Job
Role Overload Job Burnout -0,066*
Satisfaction
-0,042
Psychological Job
Role Overload Job Burnout 0,024*
Well-Being Satisfaction
Job
Role Overload Job Burnout -0,049*
Performance
-0,028
Psychological Job
Role Overload Job Burnout 0,021*
Well-Being Performance
Turnover
Role Overload Job Burnout -0,149*
Intention
-0,141
Psychological Turnover
Role Overload Job Burnout 0,008
Well-Being Intention
Healthy
Vitality 0,501* 0,501
Lifestyle
Healthy Psychological
Vitality 0,014 0,253* 0,267
Lifestyle Well-Being
Healthy Psychological Job
0,008
Lifestyle Well-Being Satisfaction
0,144
Healthy Psychological Job
Vitality 0,136*
Lifestyle Well-Being Satisfaction
Healthy Psychological Job
0,007
Lifestyle Well-Being Performance
0,128
Healthy Psychological Job
Vitality 0,121*
Lifestyle Well-Being Performance
113

Healthy Psychological Turnover


0,003
Lifestyle Well-Being Intention
0,051
Healthy Psychological Turnover
Vitality 0,048*
Lifestyle Well-Being Intention
Psychological
Job Burnout -0,188* -0,188
Well-Being
Psychological Job
Job Burnout 0,281* -0,101* 0,180
Well-Being Satisfaction
Psychological Job
Job Burnout 0,210* -0,090* 0,120
Well-Being Performance
Psychological Turnover
Job Burnout 0,636* -0,036 0,600
Well-Being Intention
Psychological
Vitality 0,505* 0,505
Well-Being
Psychological Job
Vitality 0,272* 0,272
Well-Being Satisfaction
Psychological Job
Vitality 0,242* 0,242
Well-Being Performance
Psychological Turnover
Vitality 0,096* 0,096
Well-Being Intention
Psychological Job
0,539* 0,539
Well-Being Satisfaction
Psychological Job
0,479* 0,479
Well-Being Performance
Psychological Turnover
0,191* 0,191
Well-Being Intention
Keterangan : * (Signifikan)
Sumber: Output smartPLS dari data primer diolah, 2018

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa model pengukuran

yang terbentuk adalah:

Persamaan 1:

Job Burnout = 0,412 Role Ambiguity + 0,498 Role Conflict - 0,235 Role

Overload

Dari persamaan 1 dapat diinformasikan bahwa :

1. Koefisien direct Role Ambiguity terhadap Job Burnout sebesar 0,412

menyatakan bahwa Role Ambiguity berpengaruh positif dan signifikan


114

terhadap Job Burnout. Hal ini berarti semakin tinggi Role Ambiguity

maka cenderung dapat meningkatkan Job Burnout.

2. Koefisien direct Role Conflict terhadap Job Burnout sebesar 0,498

menyatakan bahwa Role Conflict berpengaruh positif dan signifikan

terhadap ngaruh. Hal ini berarti semakin tinggi Role Conflict maka

cenderung dapat meningkatkan Job Burnout.

3. Koefisien direct Role Overload terhadap Job Burnout sebesar -0,235

menyatakan bahwa Role Overload berpengaruh negatif dan signifikan

terhadap Job Burnout. Hal ini berarti semakin tinggi Role Overload maka

cenderung dapat menurunkan Job Burnout.

Persamaan 2 :

Vitality = 0,501 Healthy Lifestyle

Dari persamaan 2 dapat diinformasikan bahwa :

1. Koefisien direct Healthy Lifestyle terhadap Vitality sebesar 0,501

menyatakan bahwa Healthy Lifestyle berpengaruh positif dan signifikan

terhadap Vitality. Hal ini berarti semakin baik Healthy Lifestyle maka

cenderung dapat meningkatkan Vitality.

Persamaan 3 :

Psychological Well-Being = -0,188 Job Burnout + 0,014 Healthy Lifestyle +

0,505 Vitality

Dari persamaan 3 dapat diinformasikan bahwa :

1. Koefisien direct Job Burnout terhadap Psychological Well-Being

sebesar -0,188 menyatakan bahwa Job Burnout berpengaruh negatif dan


115

signifikan terhadap Psychological Well-Being. Hal ini berarti semakin

tinggi Job Burnout maka cenderung dapat menurunkan Psychological

Well-Being.

2. Koefisien direct Healthy Lifestyle terhadap Psychological Well-Being

sebesar 0,014 menyatakan bahwa Healthy Lifestyle berpengaruh positif

namun tidak signifikan terhadap Psychological Well-Being. Hal ini

berarti semakin baik Healthy Lifestyle maka cenderung dapat

meningkatkan Psychological Well-Being meskipun peningkatannya tidak

signifikan.

3. Koefisien direct Vitality terhadap Psychological Well-Being sebesar

0,505 menyatakan bahwa Vitality berpengaruh positif dan signifikan

terhadap Psychological Well-Being. Hal ini berarti semakin baik Vitality

maka cenderung dapat meningkatkan Psychological Well-Being.

4. Koefisien indirect Role Ambiguity terhadap Psychological Well-Being

melalui Job Burnout sebesar -0,077 menyatakan bahwa Role Ambiguity

berpengaruh negatif dan signifikan terhadap Psychological Well-Being

melalui Job Burnout. Hal ini berarti semakin tinggi Role Ambiguity maka

cenderung dapat meningkatkan Job Burnout sehingga cenderung dapat

menurunkan Psychological Well-Being.

5. Koefisien indirect Role Conflict terhadap Psychological Well-Being

melalui Job Burnout sebesar -0,094 menyatakan bahwa Role Conflict

berpengaruh negatif dan signifikan terhadap Psychological Well-Being

melalui Job Burnout. Hal ini berarti semakin tinggi Role Conflict maka
116

cenderung dapat meningkatkan Job Burnout sehingga cenderung dapat

menurunkan Psychological Well-Being.

6. Koefisien indirect Role Overload terhadap Psychological Well-Being

melalui Job Burnout sebesar 0,044 menyatakan bahwa Role Overload

berpengaruh positif dan signifikan terhadap Psychological Well-Being

melalui Job Burnout. Hal ini berarti semakin tinggi Role Overload maka

cenderung dapat menurunkan Job Burnout sehingga cenderung dapat

meningkatkan Psychological Well-Being.

7. Koefisien indirect Healthy lifestyle terhadap Psychological Well-Being

melalui Vitality sebesar 0,253 menyatakan bahwa Healthy Lifestyle

berpengaruh positif dan tidak signifikan terhadap Psychological Well-

Being melalui Vitality. Hal ini berarti semakin baik Healthy Lifestyle

maka cenderung dapat meningkatkan Vitality sehingga cenderung dapat

meningkatkan Psychological Well-Being meskipun peningkatannya tidak

signifikan.

Persamaan 4 :

Job Satisfaction = 0,281 Job Burnout + 0,539 Psychological Well-Being

Dari persamaan 4 dapat diinformasikan bahwa :

1. Koefisien direct Job Burnout terhadap Job Satisfaction sebesar 0,281

menyatakan bahwa Job Burnout berpengaruh positif dan signifikan

terhadap Job Satisfaction. Hal ini berarti semakin tinggi Job Burnout

maka cenderung dapat meningkatkan Job Satisfaction.

2. Koefisien direct Psychological Well-Being terhadap Job Satisfaction


117

sebesar 0,539 menyatakan bahwa Psychological Well-Being berpengaruh

positif dan signifikan terhadap Job Satisfaction. Hal ini berarti semakin

baik Psychological Well-Being maka cenderung dapat meningkatkan Job

Satisfaction.

3. Koefisien indirect Role Ambiguity terhadap Job Satisfaction melalui

Job Burnout sebesar 0,116 menyatakan bahwa Role Ambiguity

berpengaruh positif dan signifikan terhadap Job Satisfaction melalui Job

Burnout. Hal ini berarti semakin tinggi Role Ambiguity maka cenderung

dapat meningkatkan Job Burnout sehingga cenderung dapat

meningkatkan Job Satisfaction.

4. Koefisien indirect Role Ambiguity terhadap Job Satisfaction melalui

Job Burnout melalui Psychological Well-Being sebesar -0,042

menyatakan bahwa Role Ambiguity berpengaruh negatif dan signifikan

terhadap Job Satisfaction melalui Job Burnout melalui Psychological

Well-Being. Hal ini berarti semakin tinggi Role Ambiguity maka

cenderung dapat meningkatkan Job Burnout sehingga cenderung dapat

menurunkan Psychological Well-Being dan berdampak pada menurunnya

Job Satisfaction.

5. Koefisien indirect Role Conflict terhadap Job Satisfaction melalui Job

Burnout sebesar 0,140 menyatakan bahwa Role Conflict berpengaruh

positif dan signifikan terhadap Job Satisfaction melalui Job Burnout. Hal

ini berarti semakin tinggi Role Conflict maka cenderung dapat

meningkatkan Job Burnout sehingga cenderung dapat meningkatkan Job


118

Satisfaction.

6. Koefisien indirect Role Conflict terhadap Job Satisfaction melalui Job

Burnout melalui Psychological Well-Being sebesar -0,050 menyatakan

bahwa Role Conflict berpengaruh negatif dan signifikan terhadap Job

Satisfaction melalui Job Burnout melalui Psychological Well-Being. Hal

ini berarti semakin tinggi Role Conflict maka cenderung dapat

meningkatkan Job Burnout sehingga cenderung dapat menurunkan

Psychological Well-Being dan berdampak pada menurunnya Job

Satisfaction.

7. Koefisien indirect Role Overload terhadap Job Satisfaction melalui

Job Burnout sebesar -0,066 menyatakan bahwa Role Overload

berpengaruh negatif dan signifikan terhadap Job Satisfaction melalui Job

Burnout. Hal ini berarti semakin tinggi Role Overload maka cenderung

dapat menurunkan Job Burnout sehingga cenderung dapat menurunkan

Job Satisfaction.

8. Koefisien indirect Role Overload terhadap Job Satisfaction melalui

Job Burnout melalui Psychological Well-Being sebesar 0,024

menyatakan bahwa Role Overload berpengaruh positif dan signifikan

terhadap Job Satisfaction melalui Job Burnout melalui Psychological

Well-Being. Hal ini berarti semakin tinggi Role Overload maka

cenderung dapat menurunkan Job Burnout sehingga cenderung dapat

meningkatkan Psychological Well-Being dan berdampak pada

meningkatnya Job Satisfaction.


119

9. Koefisien indirect Healthy Lifestyle terhadap Job Satisfaction melalui

Psychological Well-Being sebesar 0,008 menyatakan bahwa Healthy

Lifestyle berpengaruh positif dan tidak signifikan terhadap Job

Satisfaction melalui Psychological Well-Being. Hal ini berarti semakin

baik Healthy Lifestyle maka cenderung dapat meningkatkan

Psychological Well-Being sehingga cenderung dapat meningkatkan Job

Satisfaction meskipun peningkatannya tidak signifikan.

10. Koefisien indirect Healthy Lifestyle terhadap Job Satisfaction melalui

Vitality melalui Psychological Well-Being sebesar 0,136 menyatakan

bahwa Healthy Lifestyle berpengaruh positif dan signifikan terhadap Job

Satisfaction melalui Vitality melalui Psychological Well-Being. Hal ini

berarti semakin baik Healthy Lifestyle maka cenderung dapat

meningkatkan Vitality sehingga cenderung dapat meningkatkan

Psychological Well-Being dan berdampak pada meningkatnya Job

Satisfaction.

11. Koefisien indirect Job Burnout terhadap Job Satisfaction melalui

Psychological Well-Being sebesar -0,101 menyatakan bahwa Job

Burnout berpengaruh negatif dan signifikan terhadap Job Satisfaction

melalui Psychological Well-Being. Hal ini berarti semakin tinggi Job

Burnout maka cenderung dapat menurunkan Psychological Well-Being

sehingga cenderung dapat menurunkan Job Satisfaction.

12. Koefisien indirect Vitality terhadap Job Satisfaction melalui

Psychological Well-Being sebesar 0,272 menyatakan bahwa Vitality


120

berpengaruh positif dan signifikan terhadap Job Satisfaction melalui

Psychological Well-Being. Hal ini berarti semakin baik Vitality maka

cenderung dapat meningkatkan Psychological Well-Being sehingga

cenderung dapat meningkatkan Job Satisfaction.

Persamaan 5 :

Job Performance = 0,210 Job Burnout + 0,479 Psychological Well-Being

Dari persamaan 5 dapat diinformasikan bahwa :

1. Koefisien direct Job Burnout terhadap Job Performance sebesar 0,210

menyatakan bahwa Job Burnout berpengaruh positif dan signifikan

terhadap Job Performance. Hal ini berarti semakin tinggi Job Burnout

maka cenderung dapat meningkatkan Job Performance.

2. Koefisien direct Psychological Well-Being terhadap Job Performance

sebesar 0,479 menyatakan bahwa Psychological Well-Being

berpengaruh positif dan signifikan terhadap Job Performance. Hal ini

berarti semakin baik Psychological Well-Being maka cenderung dapat

meningkatkan Job Performance.

3. Koefisien indirect Role Ambiguity terhadap Job Performance melalui

Job Burnout sebesar 0,087 menyatakan bahwa Role Ambiguity

berpengaruh positif dan signifikan terhadap Job Performance melalui

Job Burnout. Hal ini berarti semakin tinggi Role Ambiguity maka

cenderung dapat meningkatkan Job Burnout sehingga cenderung dapat

menurunkan Job Performance.

4. Koefisien indirect Role Ambiguity terhadap Job Performance melalui


121

Job Burnout melalui Psychological Well-Being sebesar -0,037

menyatakan bahwa Role Ambiguity berpengaruh negatif dan signifikan

terhadap Job Performance melalui Job Burnout melalui Psychological

Well-Being. Hal ini berarti semakin tinggi Role Ambiguity maka

cenderung dapat meningkatkan Job Burnout sehingga cenderung dapat

menurunkan Psychological Well-Being dan berdampak pada menurunnya

Job Performance.

5. Koefisien indirect Role Conflict terhadap Job Performance melalui

Job Burnout sebesar 0,105 menyatakan bahwa Role Conflict

berpengaruh positif dan signifikan terhadap Job Performance melalui

Job Burnout. Hal ini berarti semakin tinggi Role Conflict maka

cenderung dapat meningkatkan Job Burnout sehingga cenderung dapat

meningkatkan Job Performance.

6. Koefisien indirect Role Conflict terhadap Job Performance melalui

Job Burnout melalui Psychological Well-Being sebesar -0,045

menyatakan bahwa Role Conflict berpengaruh negatif dan signifikan

terhadap Job Performance melalui Job Burnout melalui Psychological

Well-Being. Hal ini berarti semakin tinggi Role Conflict maka cenderung

dapat meningkatkan Job Burnout sehingga cenderung dapat menurunkan

Psychological Well-Being dan berdampak pada menurunnya Job

Performance.

7. Koefisien indirect Role Overload terhadap Job Performance melalui

Job Burnout sebesar -0,049 menyatakan bahwa Role Overload


122

berpengaruh negatif dan signifikan terhadap Job Performance melalui

Job Burnout. Hal ini berarti semakin tinggi Role Overload maka

cenderung dapat menurunkan Job Burnout sehingga cenderung dapat

menurunkan Job Performance.

8. Koefisien indirect Role Overload terhadap Job Performance melalui

Job Burnout melalui Psychological Well-Being sebesar 0,021

menyatakan bahwa Role Overload berpengaruh positif dan signifikan

terhadap Job Performance melalui Job Burnout melalui Psychological

Well-Being. Hal ini berarti semakin tinggi Role Overload maka

cenderung dapat menurunkan Job Burnout sehingga cenderung dapat

meningkatkan Psychological Well-Being dan berdampak pada

meningkatnya Job Performance.

9. Koefisien indirect Healthy Lifestyle terhadap Job Performance

melalui Psychological Well-Being sebesar 0,007 menyatakan bahwa

Healthy Lifestyle berpengaruh positif dan tidak signifikan terhadap Job

Performance melalui Psychological Well-Being. Hal ini berarti semakin

baik Healthy Lifestyle maka cenderung dapat meningkatkan

Psychological Well-Being sehingga cenderung dapat meningkatkan Job

Performance. Meskipun peningkatannya tiak signifikan.

10. Koefisien indirect Healthy Lifestyle terhadap Job Performance

melalui Vitality melalui Psychological Well-Being sebesar 0,121

menyatakan bahwa Healthy Lifestyle berpengaruh positif dan signifikan

terhadap Job Performance melalui Vitality melalui Psychological Well-


123

Being. Hal ini berarti semakin baik Healthy Lifestyle maka cenderung

dapat meningkatkan Vitality sehingga cenderung dapat meningkatkan

Psychological Well-Being dan berdampak pada meningkatnya Job

Performance.

11. Koefisien indirect Job Burnout terhadap Job Performance melalui

Psychological Well-Being sebesar -0,090 menyatakan bahwa Job

Burnout berpengaruh negatif dan signifikan terhadap Job Performance

melalui Psychological Well-Being. Hal ini berarti semakin tinggi Job

Burnout maka cenderung dapat menurunkan Psychological Well-Being

sehingga cenderung dapat menurunkan Job Performance.

12. Koefisien indirect Vitality terhadap Job Performance melalui

Psychological Well-Being sebesar 0,242 menyatakan bahwa Vitality

berpengaruh positif dan signifikan terhadap Job Performance melalui

Psychological Well-Being. Hal ini berarti semakin baik Vitality maka

cenderung dapat meningkatkan Psychological Well-Being sehingga

cenderung dapat meningkatkan Job Performance.

Persamaan 6 :

Turnover Intention = 0,636 Job Burnout + 0,191 Psychological Well-Being

Dari persamaan 6 dapat diinformasikan bahwa :

1. Koefisien direct Job Burnout terhadap Turnover Intention sebesar

0,636 menyatakan bahwa Job Burnout berpengaruh positif dan signifikan

terhadap Turnover Intention. Hal ini berarti semakin tinggi Job Burnout

maka cenderung dapat meningkatkan Turnover Intention.


124

2. Koefisien direct Psychological Well-Being terhadap Turnover

Intention sebesar 0,191 menyatakan bahwa Psychological Well-Being

berpengaruh positif dan signifikan terhadap Turnover Intention. Hal ini

berarti semakin baik Psychological Well-Being maka cenderung dapat

meningkatkan Turnover Intention.

3. Koefisien indirect Role Ambiguity terhadap Turnover Intention

melalui Job Burnout sebesar 0,262 menyatakan bahwa Role Ambiguity

berpengaruh positif dan signifikan terhadap Turnover Intention melalui

Job Burnout. Hal ini berarti semakin tinggi Role Ambiguity maka

cenderung dapat meningkatkan Job Burnout sehingga cenderung dapat

meningkatkan Turnover Intention.

4. Koefisien indirect Role Ambiguity terhadap Turnover Intention

melalui Job Burnout melalui Psychological Well-Being sebesar -0,015

menyatakan bahwa Role Ambiguity berpengaruh negatif dan tidak

signifikan terhadap Turnover Intention melalui Job Burnout melalui

Psychological Well-Being. Hal ini berarti semakin tinggi Role Ambiguity

maka cenderung dapat meningkatkan Job Burnout sehingga cenderung

dapat menurunkan Psychological Well-Being dan berdampak pada

menurunnya Turnover Intention. Namun penurunan tersebut tidak

signifikan.

5. Koefisien indirect Role Conflict terhadap Turnover Intention melalui

Job Burnout sebesar 0,317 menyatakan bahwa Role Conflict

berpengaruh positif dan signifikan terhadap Turnover Intention melalui


125

Job Burnout. Hal ini berarti semakin tinggi Role Conflict maka

cenderung dapat meningkatkan Job Burnout sehingga cenderung dapat

meningkatkan Turnover Intention.

6. Koefisien indirect Role Conflict terhadap Turnover Intention melalui

Job Burnout melalui Psychological Well-Being sebesar -0,018

menyatakan bahwa Role Conflict berpengaruh negatif dan tidak

signifikan terhadap Turnover Intention melalui Job Burnout melalui

Psychological Well-Being. Hal ini berarti semakin tinggi Role Conflict

maka cenderung dapat meningkatkan Job Burnout sehingga cenderung

dapat menurunkan Psychological Well-Being dan berdampak pada

menurunnya Turnover Intention.

7. Koefisien indirect Role Overload terhadap Turnover Intention melalui

Job Burnout sebesar -0,149 menyatakan bahwa Role Overload

berpengaruh negatif dan signifikan terhadap Turnover Intention melalui

Job Burnout. Hal ini berarti semakin tinggi Role Overload maka

cenderung dapat menurunkan Job Burnout sehingga cenderung dapat

meningkatkan Turnover Intention.

8. Koefisien indirect Role Overload terhadap Turnover Intention melalui

Job Burnout melalui Psychological Well-Being sebesar 0,008

menyatakan bahwa Role Overload berpengaruh positif dan tidak

signifikan terhadap Turnover Intention melalui Job Burnout melalui

Psychological Well-Being. Hal ini berarti semakin tinggi Role Overload

maka cenderung dapat menurunkan Job Burnout sehingga cenderung


126

dapat meningkatkan Psychological Well-Being dan berdampak pada

meningkatnya Turnover Intention. Namun peningkatan tersebut tidak

signifikan.

9. Koefisien indirect Healthy Lifestyle terhadap Turnover Intention

melalui Psychological Well-Being sebesar 0,003 menyatakan bahwa

Healthy Lifestyle berpengaruh positif dan tidak signifikan terhadap

Turnover Intention melalui Psychological Well-Being. Hal ini berarti

semakin baik Healthy Lifestyle maka cenderung dapat meningkatkan

Psychological Well-Being sehingga cenderung dapat meningkatkan

Turnover Intention. Meskipun peningkatannya tiak signifikan.

10. Koefisien indirect Healthy Lifestyle terhadap Turnover Intention

melalui Vitality melalui Psychological Well-Being sebesar 0,048

menyatakan bahwa Healthy Lifestyle berpengaruh positif dan signifikan

terhadap Turnover Intention melalui Vitality melalui Psychological Well-

Being. Hal ini berarti semakin baik Healthy Lifestyle maka cenderung

dapat meningkatkan Vitality sehingga cenderung dapat meningkatkan

Psychological Well-Being dan berdampak pada meningkatnya Turnover

Intention.

11. Koefisien indirect Job Burnout terhadap Turnover Intention melalui

Psychological Well-Being sebesar -0,036 menyatakan bahwa Job

Burnout berpengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap Turnover

Intention melalui Psychological Well-Being. Hal ini berarti semakin

tinggi Job Burnout maka cenderung dapat menurunkan Psychological


127

Well-Being sehingga cenderung dapat menurunkan Turnover Intention.

Namun penurunannya tidak signifikan.

12. Koefisien indirect Vitality terhadap Turnover Intention melalui

Psychological Well-Being sebesar 0,096 menyatakan bahwa Vitality

berpengaruh positif dan signifikan terhadap Turnover Intention melalui

Psychological Well-Being. Hal ini berarti semakin baik Vitality maka

cenderung dapat meningkatkan Psychological Well-Being sehingga

cenderung dapat meningkatkan Turnover Intention.

4.2.7 Pengaruh Dominan

Variabel eksogen yang memiliki pengaruh dominan terhadap variabel

endogen dapat diketahui melalui total efek yang paling besar. Hasil analisis

menginformasikan variabel eksogen yang memiliki total efek terbesar

terhadap Job Burnout adalah Role Conflict dengan total efek sebesar 0,498.

Dengan demikian Role Conflict memiliki pengaruh yang paling dominan

terhadap Job Burnout.

Kemudian variabel eksogen yang memiliki total efek terbesar terhadap

Psychological Well-Being adalah Vitality dengan total efek sebesar 0,505.

Dengan demikian Vitality memiliki pengaruh yang paling dominan terhadap

Psychological Well-Being.

Selanjutnya variabel eksogen yang memiliki total efek terbesar

terhadap Job Satisfaction adalah Psychological Well-Being dengan total efek

sebesar 0,539. Dengan demikian Psychological Well-Being memiliki

pengaruh yang paling dominan terhadap Job Satisfaction.


128

Berikutnya variabel eksogen yang memiliki total efek terbesar

terhadap Job Performance adalah Psychological Well-Being dengan total efek

sebesar 0,479. Dengan demikian Psychological Well-Being memiliki

pengaruh yang paling dominan terhadap Job Performance.

Kemudian variabel eksogen yang memiliki total efek terbesar terhadap

Turnover Intention adalah Job Burnout dengan total efek sebesar 0,600.

Dengan demikian Job Burnout memiliki pengaruh yang paling dominan

terhadap Turnover Intention.


129

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan Pengaruh Gaya Hidup Sehat

terhadap Psychological Well-Being dan Dampaknya pada Auditor KAP dapat

ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Role Ambiguity terhadap Job Burnout memiliki koefisien direct sebesar

0,412. Role Conflict terhadap Job Burnout memiliki koefisien direct sebesar

0,498. Role Overload terhadap Job Burnout memiliki koefisien direct sebesar

-0,235. Maka dapat disimpulkan bahwa Role Ambiguity dan Role Conflict

berpengaruh positif dan signifikan terhadap Job Burnout, sedangkan Role

Overload berpengaruh negatif dan signifikan terhadap Job Burnout.

2. Job Burnout berpengaruh negatif dan signifikan terhadap Psychological Well-

Being dengan koefisien direct sebesar 0,412.

3. Job Burnout terhadap Job Satisfaction memiliki koefisien direct sebesar

0,281. Job Burnout terhadap Job Performance memiliki koefisien direct

sebesar 0,210. Job Burnout terhadap Turnover Intention memiliki koefisien

direct sebesar 0,636. Maka dapat disimpulkan bahwa Job Burnout

berpengaruh positif dan signifikan terhadap Job Satisfaction, Job

Performance, dan Turnover Intention.

4. Gaya Hidup Sehat (Healthy Lifestyle) berpengaruh positif dan signifikan

terhadap Vitality dengan koefisien direct sebesar 0,501. Gaya Hidup Sehat
130

berpengaruh positif namun tidak signifikan terhadap Psychological Well-

Being dengan koefisien direct sebesar 0,014. Gaya Hidup Sehat berpengaruh

positif dan tidak signifikan terhadap Psychological Well-Being setelah

dimediasi oleh Vitality dengan koefisien indirect sebesar 0,253.

5. Vitality berpengaruh positif dan signifikan terhadap Psychological Well-Being

dengan koefisien direct sebesar 0,505.

6. Gaya Hidup Sehat setelah dimediasi oleh Vitality dan peningkatan

Psychological Well-Being, akan mengurangi efek negatif dari Role Stress

yang dimediasi oleh Job Burnout dan Psychological Well-Being,

menghasilkan hubungan positif dengan Job Satisfaction dan Job Performance

serta menghasilkan hubungan negatif dengan Turnover Intention. Penelitian

ini tidak mampu membuktikan bahwa Gaya Hidup Sehat (Healthy Lifestyle)

setelah dimediasi oleh Vitality dan peningkatan Psychological Well-Being,

akan mengurangi efek negatif dari Role Stress yang dimediasi oleh Job

Burnout dan Psychological Well-Being, sehingga menghasilkan hubungan

positif dengan Job Satisfaction dan Job Performance serta menghasilkan

hubungan negatif dengan Turnover Intention.

5.2 Keterbatasan Penelitian

Keterbatasan yang dimiliki dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Tidak adanya kontrol responden untuk mengetahui kebenaran hasil penelitian,

sehingga tidak diketahui apakah kuesioner benar-benar diisi oleh pihak-pihak

yang dimaksud atau tidak dan apakah maksud dari semua pernyataan dalam

kuesioner benar-benar dapat dipahami oleh responden.


131

2. Jumlah sampel data yang dianalisis relatif kecil yaitu sebanyak 110 data,

sehingga tingkat generalisasinya relatif rendah dibanding menggunakan

sampel data lebih dari 110 sampel.

3. Alat statistik yang digunakan adalah smartPLS 2.0 bukan merupakan versi

terbaru yakni smartPLS 3.0 yang mungkin lebih komplit dan lebih akurat dari

versi 2.0 dalam menganalisis data

5.3 Saran

Penelitian ini tidak terlepas dari keterbatasan sebagaimana telah dijelaskan

di atas, sehingga kesimpulan dari hasil penelitian ini perlu dikaji ulang. Oleh

karena itu, peneliti memberikan saran-saran sebagai berikut:

1. Penelitian berikutnya disarankan melakukan observasi (pengamatan)

langsung kepada objek dengan cara wawancara agar informasi yang didapat

lebih handal.

2. Jumlah responden penelitian selanjutnya diharapkan berjumlah lebih banyak

agar diperoleh tingkat generalisasi yang lebih tinggi.

3. Penelitian berikutnya disarankan menggunakan versi terbaru dari smartPLS

atau menggunakan alat statistik SEM yang lain seperti software AMOS,

sehingga hasil penelitian tersebut dapat dibandingkan dengan penelitian

sejenis yang menggunakan analisis SEM SmartPLS 2.0.


132

DAFTAR PUSTAKA

Agustina, Lidya. 2009. ”Pengaruh Konflik Peran, Ketidakjelasan Peran, dan


Kelebihan Peran terhadap Kepuasan Kerja dan Kinerja Auditor (Penelitian
pada Kantor Akuntan Publik yang Bermitra dengan Kantor Akuntan Publik
Big Four di Wilayah DKI Jakarta)”. Jurnal Akuntansi, Vol. 1, No 1.

Anjani, Rahmi. 2017. “Daftar Profesi di Indonesia dengan Tingkat Stres Paling
Tinggi”.
https://wolipop.detik.com/read/2017/02/28/191501/3434504/1133/daftar-
profesi-di-indonesia-dengan-tingkat-stres-paling-tinggi

Arjanti, Restituta. 2017. “Profesi-profesi di Indonesia dengan Tingkat Stres Paling


Tinggi dan Paling Rendah”. http://blog.id.jobplanet.com/profesi-profesi-di-
indonesia-dengan-tingkat-stres-paling-tinggi-dan-paling-rendah/

Astriana, Novika. 2010. “Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Job


Performance Auditor pada Kantor Akuntan Publik di Semarang”.
Universitas Diponegoro.

Bauer, Jeffrey C. 2003. “Role Ambiguity and Role Clarity”. Clermont: A


Comparison of Attitudes in Germany and the United States.

Cahyono, Dwi. 2008. “Persepsi Ketidakpastian Lingkungan, Ambiguitas Peran


dan Konflik Peran Sebagai Mediasi antara Program Mentoring dengan
Kepuasan Kerja, Prestasi Kerja dan Niat Ingin Pindah (Studi Empiris di
Lingkungan Kantor Akuntan Publik (KAP) Besar)”. Universitas
Diponegoro.

Carolina, Yunita Ayu. 2012. “Pengaruh Iklim Etika terhadap Komitmen


Organisasi dan Turnover Intention (Studi Kasus : PT. TRAC Cikarang)”.
Universitas Indonesia.

Emzir. 2010. “Metodologi Penelitian Kualitatif: Analisis Data”. Jakarta: Penerbit


PT Raja Grafindo Persada

Ghozali, Imam. 2006. “Structural Equation Modeling Alternatif dengan Partial


Least Square”. Semarang: BP UNDIP.

Grant, Ken, David W. Cravens, George S. Low, and William C. Moncrief. 2001.
“The Role of Satisfaction with Territory Design on The Motivation,
Attitudes, and Work Outcomes of Salespeople”. Journal of The Academy of
Marketing Science, Vol. 29, No. 2.

Gratia, Angelina Ave. 2014. “Pengaruh Gaya Hidup Sehat terhadap Psychological
133

Well-Being dan Dampaknya pada Auditor KAP (Studi Empiris pada Auditor
Kantor Akuntan Publik di Jawa Tengah dan DIY)”. Semarang: Universitas
Diponegoro.

Hardoko, Ervan. 2014. “Dalam Setahun 600.000 Karyawan di China Tewas


Akibat Lembur Berlebihan”.
http://internasional.kompas.com/read/2014/06/30/1657194/Dalam.Setahun.6
00.000.Karyawan.di.China.Tewas.Akibat.Lembur.Berlebihan

Jones, Ambrose, Carolyn Strand Norman dan Benson Wier. 2010. “Healthy
Lifestyle As A Coping Mechanism For Role Stress In Public Accounting”.
Behavioral Research Accounting American Accounting Association Vol. 22,
No. 1.

Kartika, Unoviana. 2013. “Lembur 30 Jam Picu Kematian Seorang Copywriter


Muda”.
http://lifestyle.kompas.com/read/2013/12/16/1106346/Lembur.30.Jam.Picu.
Kematian.Seorang.Copywriter.Muda

Kristanto, Septian Bayu, Yunita Wijayanti, Marsella, Steffi Djayadi, Christiana


Linus, dan Nova Christiana. 2014. “Dampak Penerapan Gaya Hidup Sehat
sebagai Upaya Menanggulangi Stress Kerja pada Auditor”. Disajikan pada
Simposium Riset Ekonomi VI – 2014, STIE Perbanas.

Lathifah, Ifah. 2008. “Pengaruh Konflik Pekerjaan-Keluarga terhadap Turnover


Intentions dengan Kepuasan Kerja sebagai Variabel Intervening (Studi
Empiris pada Auditor Kantor Akuntan Publik Di Indonesia)”. Semarang:
Universitas Diponegoro.

Mulyadi. 2002. Auditing. Jakarta: Salemba Empat.

Murtiasri, Eka dan Imam Ghozali. 2006. “Anteseden dan Konsekuensi pada
Auditor: Pengembangan Terhadap Role Stress Model”. Disajikan pada
Simposium Nasional Akuntansi, Padang, Indonesia, 23-26 Agustus 2006.

Paramitha, Novena Mayayu. 2014. “Pengaruh Gaya Hidup Sehat untuk Mengatasi
Turnover Intentions yang Terjadi di Akuntan Publik”. Jurnal Akuntansi
Bisnis. Vol. 13, No. 25.

Paramitha, Nyayu Kemala. 2009. “Pengaruh Role Stress Auditor Internal terhadap
Kinerja Internal Audit (Penelitian pada Departemen Internal Audit PT PLN
(Persero))”. Universitas Widyatama Bandung.

Riyadi. 2002. “Perencanaan Pembangunan Daerah Strategi Mengendalikan


Potensi dalam Mewujudkan Otonomi Daerah”. Jakarta: Gramedia

Rizkia, Putri dan Reskino. 2015. “Pengaruh Healthy Lifestyle, Role Ambiguity dan
Role Conflict terhadap Job Satisfaction Dimediasi oleh Job Burnout dan
134

Psychological Well-Being (Studi Empiris pada Auditor Internal di


Kementrian RI)”. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Robbins, S.P., and T.A., Judge, 2008. “Perilaku Organisasi. Jakarta: Salemba
Empat.

Ryff, Carol D dan Corey Lee M. Keyes. 1995. “The Structure of Psychological
Well-Being Revisited”. Journal of Personality and Social Psychology, Vol.
69, No. 4.

Setiawan, Ivan Aries dan Imam Ghozali. 2006. “Akuntansi Keperilakuan, Konsep
dan Kanjian Empiris Perilaku Akuntan”. Semarang: Universitas
Diponegoro.

Setyorini, Ari. 2011. “ Faktor-Faktor Penyebab Karyawan PT. Panarub Industry


Mengundurkan Diri”. Universitas Bina Nusantara.

Sinaga, Tibul dan Mutiara Sinambela. 2013. “Pengaruh Stres Kerja terhadap
Motivasi dan Kinerja Auditor pada Akuntan Publik di Kota Medan”. Jurnal
Akuntansi, Vol. XVII, No. 1, h. 75-83.

Soekanto, Soerjono. 2009. “Sosiologi Suatu Pengantar”. Jakarta: Edisi Baru


Rajawali Pers.

Sugiyono. 2010. “Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D”. Bandung.


Penerbit CV Alfabeta

Toly, Agus Arianto. 2001. “Analisis Faktor yang Mempengaruhi Turnover


Intentions pada Staf Kantor Akuntan Publik Jurnal Akuntansi, Universitas
Kristen Petra, Vol. 3, No.2.

Zeffane, R.M. 1994. “Understanding Employee Turnover: The Need for a


Contingency Approach”. International Journal of Manpower, Vol. 15, No.
9, h. 22-37.
LAMPIRAN

Lampiran 1. Analisis PLS

Outer Loadings (Mean, STDEV, T-Values)


Standard
Original Sample Standard T Statistics
Deviation
Sample (O) Mean (M) Error (STERR) (|O/STERR|)
(STDEV)

HL3 <- Gaya


0,808256 0,800027 0,050817 0,050817 15,905328
Hidup Sehat

HL4 <- Gaya


0,937501 0,935840 0,013589 0,013589 68,990382
Hidup Sehat

HL5 <- Gaya


0,880790 0,879850 0,019618 0,019618 44,896378
Hidup Sehat

HL6 <- Gaya


0,953426 0,951776 0,007835 0,007835 121,680817
Hidup Sehat

HL7 <- Gaya


0,892315 0,891624 0,014532 0,014532 61,404033
Hidup Sehat

JB1 <- Job


0,774650 0,771292 0,028108 0,028108 27,559772
Burnout

JB6 <- Job


0,840031 0,837205 0,023797 0,023797 35,300234
Burnout

JB7 <- Job


0,853210 0,853391 0,022633 0,022633 37,698131
Burnout

JP1 <- Job


0,610983 0,619794 0,045296 0,045296 13,488723
Performance

JP10 <- Job


0,788061 0,784014 0,031070 0,031070 25,364265
Performance

JP11 <- Job


0,823832 0,820151 0,033415 0,033415 24,654702
Performance
JP12 <- Job
0,641101 0,647458 0,032869 0,032869 19,504762
Performance

JP2 <- Job


0,724907 0,731739 0,047581 0,047581 15,235190
Performance

JP3 <- Job


0,779650 0,784297 0,045187 0,045187 17,253728
Performance

JP4 <- Job


0,800358 0,803558 0,043498 0,043498 18,399789
Performance

JP5 <- Job


0,866491 0,869298 0,024172 0,024172 35,847525
Performance

JP6 <- Job


0,843414 0,844367 0,028109 0,028109 30,005415
Performance

JP7 <- Job


0,800883 0,804159 0,042149 0,042149 19,001074
Performance

JP8 <- Job


0,816138 0,818604 0,042476 0,042476 19,214100
Performance

JP9 <- Job


0,863510 0,863828 0,018332 0,018332 47,102724
Performance

JS1 <- Job


0,802058 0,800613 0,034757 0,034757 23,076166
Satisfaction

JS2 <- Job


0,797162 0,796998 0,030730 0,030730 25,940413
Satisfaction

JS3 <- Job


0,623538 0,619468 0,095172 0,095172 6,551679
Satisfaction

PWB1 <- PWB 0,839556 0,843297 0,022427 0,022427 37,435215

PWB2 <- PWB 0,876482 0,877445 0,023795 0,023795 36,834475

PWB3 <- PWB 0,720720 0,721260 0,033736 0,033736 21,363314

PWB4 <- PWB 0,791739 0,793041 0,045839 0,045839 17,272049


RA1 <- Role
0,763231 0,751791 0,049240 0,049240 15,500146
Ambiguity

RA3 <- Role


0,869660 0,867634 0,027271 0,027271 31,889697
Ambiguity

RA4 <- Role


0,908388 0,914241 0,015104 0,015104 60,143431
Ambiguity

RC1 <- Role


0,923197 0,924581 0,014129 0,014129 65,338730
Conflict

RC2 <- Role


0,914446 0,913140 0,021890 0,021890 41,774049
Conflict

RO1 <- Role


1,000000 1,000000 0,000000
Overload

TOI1 <-
Turnover 0,868674 0,870189 0,026845 0,026845 32,358493
Intentions

TOI2 <-
Turnover 0,837659 0,838030 0,041048 0,041048 20,406619
Intentions

TOI3 <-
Turnover 0,829149 0,829912 0,029784 0,029784 27,838349
Intentions

V1 <- Vitality 0,783243 0,785841 0,028176 0,028176 27,797943

V2 <- Vitality 0,632895 0,615106 0,076203 0,076203 8,305354

V3 <- Vitality 0,863745 0,851389 0,028638 0,028638 30,161250

V4 <- Vitality 0,648070 0,648975 0,052095 0,052095 12,440118

V5 <- Vitality 0,712510 0,702461 0,050897 0,050897 13,999138

V6 <- Vitality 0,718263 0,722753 0,046153 0,046153 15,562649


Overview
AVE Composite Reliability R Square Cronbachs Alpha

Gaya Hidup Sehat 0,802645 0,952984 0,939688

Job Burnout 0,677901 0,863068 0,467612 0,761338

Job Performance 0,614439 0,949831 0,291457 0,942196

Job Satisfaction 0,555854 0,787595 0,396723 0,591806

PWB 0,654841 0,883035 0,193429 0,822842

Role Ambiguity 0,721333 0,885387 0,811874

Role Conflict 0,844252 0,915548 0,815638

Role Overload 1,000000 1,000000 1,000000

Turnover Intentions 0,714585 0,882463 0,462917 0,800850

Vitality 0,533942 0,871697 0,251027 0,838780


Path Coefficients (Mean, STDEV, T-Values)

Original Sample Standard Standard


T Statistics
Sample Mean Deviation Error
(|O/STERR|)
(O) (M) (STDEV) (STERR)

Gaya Hidup Sehat


0,014409 0,007688 0,087954 0,087954 0,163822
-> PWB

Gaya Hidup Sehat


0,501026 0,488478 0,062598 0,062598 8,003832
-> Vitality

Job Burnout ->


0,209927 0,211407 0,063659 0,063659 3,297682
Job Performance

Job Burnout ->


0,281279 0,276057 0,074956 0,074956 3,752578
Job Satisfaction

Job Burnout -> -


-0,187885 0,072145 0,072145 2,604284
PWB 0,187180

Job Burnout ->


Turnover 0,636048 0,631051 0,051886 0,051886 12,258580
Intentions

PWB -> Job


0,479023 0,486505 0,058813 0,058813 8,144886
Performance

PWB -> Job


0,539053 0,546381 0,050720 0,050720 10,627933
Satisfaction

PWB -> Turnover


0,191452 0,195193 0,065785 0,065785 2,910248
Intentions

Role Ambiguity ->


0,412195 0,408403 0,052225 0,052225 7,892745
Job Burnout

Role Conflict ->


0,497795 0,498976 0,047965 0,047965 10,378305
Job Burnout

Role Overload -> -0,235325 - 0,052412 0,052412 4,489924


Job Burnout 0,231503

Vitality -> PWB 0,504704 0,517220 0,063342 0,063342 7,967925


Path Diagram

Anda mungkin juga menyukai