Anda di halaman 1dari 12

I.

PENDAHULUAN
Adenoid merupakan massa yang terdiri dari jaringan limfoid pada dinding
posterior nasofaring di atas batas palatum molle dan termasuk dalam cincin
waldeyer. Secara fisiologik pada anak-anak, adenoid dan tonsil mengalami
hipertrofi. Adenoid ini membesar pada anak usia 3 tahun dan kemudian mengecil
dan menghilang sama sekali pada usia 14 tahun. Apabila sering terjadi infeksi
pada saluran napas bagian atas, maka dapat terjadi hipertrofi adenoid yang akan
mengabatkan sumbatan pada koana, sumbatan tuba eustachius serta gejala umum.
Gejala umum yang ditemukan pada hipertrofi adenoid yaitu gangguan tidur, tidur
ngorok/mendengkur, retardasi mental dan pertumbuhan fisis kurang dan dapat
menyebabkan sumbatan pada jalan napas bagian atas yang dapat mencetuskan kor
pulmonale dimana sukar disembuhkan dengan penggunaan diuretik tetapi
memberikan respon yang cepat terhadap adenoidektomi. (1,2,3)

II. EPIDEMIOLOGI
Pada awal tahun 1960 dan 1970-an, telah dilakukan 1 sampai 2 juta
tonsilektomi, adenoidektomi atau gabungan keduanya setiap tahunnya di Amerika
serikat. Angka ini menunjukkan penurunan dari waktu ke waktu dimana pada
tahun 1996, diperkirakan anak-anak di bawah 15 tahun menjalani tonsilektomi,
dengan atau tanpa adenoidektomi. Dari jumlah ini, 248.000 anak (86,4%)
menjalani tonsiloadenoidektomi dan 39.000 lainnya (13,6%) menjalani
tonsilektomi saja. Tren serupa juga ditemukan di Skotlandia. Sedangkan pada
orang dewasa berusia 16 tahun atau lebih, angka tonsilektomi meningkat dari 72
per 100.000 pada tahun 1990 (2.919 operasi) menjadi 78 per 100.000 pada tahun
1996 (3.200 operasi). (4)
Di Indonesia, data nasional mengenai jumlah operasi tonsilektomi atau
tonsiloadenoidektomi belum ada. Namun, data yang didapatkan dari RSUPNCM
selama 5 tahun terakhir (1999-2003) menunjukkan kecenderungan penurunan
jumlah operasi tonsilektomi. Fenomena ini juga terlihat pada jumlah operasi
tonsiloadenoidektomi dengan puncak kenaikan pada tahun kedua (275 kasus) dan
terus menurun sampai tahun 2003 (152 kasus). Sedangkan data dari rumah sakit

1
Fatmawati dalam 3 tahun terakhir (2002-2004) menunjukkan kecenderungan
kenaikan jumlah operasi tonsilektomi dan penurunan jumlah operasi
tonsiloadenoidektomi. (5)

III. ETIOLOGI
Adenoid adalah pembesaran subepitelial dari limfosit pada minggu ke 16
kehamilan. Normalnya, pada saat lahir pada nasofaring dan adenoid banyak di
temukan organisme dan terdapat pada bagian atas saluran pernafasan yang mulai
aktif sesaat setelah lahir. Organisme-organisme tersebut adalah lactobacillus,
streptococcus anaerobik, actynomycosis, lusobacteriurn dan nocardia mulai
berkembang. Flora normal yang ditemukan pada adenoid antara lain alfa-
hemolytic streptococcus, euterococcus, corynebacterium, staphylococcus, neissria,
micrococcus dan stomatococcus.Etiologi pembesaran adenoid dapat di ringkas
menjadi dua yaitu secara fisiologis dan faktor infeksi. Secara fisiologis adenoid
akan mengalami hipertrofi pada masa puncaknya yaitu 3-7 tahun. Biasanya
asimptomatik, namun jika cukup membesar akan menyebabkan gejala. Hipertrofi
adenoid juga didapatkan pada anak yang mengalami infeksi kronik atau rekuren
pada saluran pernapasan atas atau ISPA. (2,3,6)

IV. ANATOMI
Faring adalah suatu kantong fibromuskular yang berbentuk corong yang
besar di bagian atas dan sempit di bagian bawah. Kantong ini mulai dari dasar
tengkorak terus menyambung ke esofagus setinggi vertebra servikal ke VI. Pada
bagian atas, faring berhubungan dengan rongga hidung melalui koana, pada
bagian depan berhubungan dengan mulut melalui istmus orofaring, sedangkan
laring di bawah berhubungan melalui additus laring dan ke bawah berhubungan
dengan esofagus. Panjang dinding posterior faring pada orang dewasa kurang
lebih 14 cm. bagian ini merupakan bagian dinding faring yang terpanjang.
Dinding laring dibentuk oleh selaput lendir, fasia faringobasiler, pembungkus otot
dan sebagian fasia bukofaringeal. Faring terbagi atas nasofaring, orofaring dan
laringofaring.(3)

2
Gambar 1: anatomi faring dan struktur sekitarnya (7)
Atap nasopharynx sesuai dengan dasar dari corpus ossis sphenoidalis yang
mengandung sinus sphenoidalis. Batas depan dari nasopharynx adalah choana
yang merupakan muara dari cavum nasi. Dinding belakangnya sesuai dengan
vertebra sevikalis I dan II. Batas bawahnya dibentuk oleh palatum molle dan
rongga nasofaring terpisah dari orofaring pada waktu menelan oleh kontraksi otot-
otot palatum malle (m.tensor veli palatini dan m.levator veli palatini) bersama
dengan m.constrictor faringis superior. Nasofaring relatif kecil mengandung serta
berhubungan erat dengan struktur seperti adenoid, jaringan limfoid pada dinding
lateral faring dengan ressesus faring yang disebut fossa Rosenmuller. Kantong
Rathke yang merupakan invaginasi struktur embrional hipofisis serebri. Torus
tubarius merupakan suatu refleksi mukosa faring, di atas penonjolan kartilago
tuba eustachius, koana, foramen jugulare yeng dilalui oleh n. Glosofaring,
n.vagus, dan n.asecorius spinal saraf cranial dan v. jugularis intema, bagian atas
petrosus os temporalis dan foramen laserum serta muara tuba eustachius.(2,3,4)

3
Cincin waldeyer merupakan jaringan limfoid yang mengelilingi faring.
Bagian terpentingnya adalah tonsil palatina dan tonsil faringeal (adenoid). Unsur
yang lain adalah tonsil lingual, gugus limfoid lateral faring dan kelenjar-kelenjar
limfoid yang tersebar dalam fossa Rosenmuller, di bawah mukosa dinding
posterior faring dan dekat orifisium tuba eustachius. Adenoid merupakan masa
limfoid yang berlobus dan terdiri dari jaringan limfoid yang sama dengan yang
terdapat pada tonsil. Lobus atau segmen tersebut tersusun teratur seperti suatu
segmen terpisah dari sebuah ceruk dengan celah atau kantong diantaranya. Lobus
ini tersusun mengelilingi daerah yang lebih rendah di bagian tengah, dikenal
sebagai bursa faringeus. (2,4)
Jaringan adenoid terdiri atas rangka jaringan ikat fibrosa, yang menunjang
massa limfoid. Jaringan ini terisi pembuluh darah dan pembuluh limfe, sedangkan
di beberapa tempat terdapat kelompok-kelompok kelenjar mukosa di dalam septa
yang bermuara kearah permukaan. Kelenjar mukosa sering terdapat di dalam
adenoid pada permukaan dasarnya. Di tengah-tengah jaringan ikat halus terdapat
kumpulan sel-sel leukosit atau sel-sel limfoid , bergabung menjadi jaringan
limfoid yang membentuk adenoid. Adenoid terletak di dinding belakang
nasofaring. Jaringan adenoid di nasofaring terutama ditemukan pada dinding atas
dan posterior, walaupun dapat meluas ke fossa Rosenmuller dan orifisium tuba
eustachius. Ukuran adenoid bervariasi pada masing-masing anak. Pada umumnya
adenoid akan mencapai ukuran maksimal antara usia 3-7 tahun kemudian akan
mengalami regresi.(2,8,9)

V. FISIOLOGI
Fungsi faring yang terutama ialah untuk respirasi, waktu menelan, resonasi
suara dan untuk artikulasi. Fungsi adenoid adalah bagian imunitas tubuh, banyak
alergen yang ikut bersama udara yang kita hirup, saat masuk ke dalam hidung
alergen dalam udara tersebut dijebak oleh lapisan permukaan adenoid yang terdiri
dari sel-sel epitel bersilia ditutupi oleh lapisan tipis lendir, yang bergerak konstan
seperti gelombang dan mendorong lendir yang berisi alergen yang telah

4
terperangkap turun ke faring, kemudian dari titik tersebut lendir terdorong oleh
gerakan menelan dari otot faring dan turun ke lambung yang mana epitelnya lebih
resisten terhadap alergen-alergen tersebut. Adenoid juga merupakan jaringan
limfoid bersama dengan struktur lain dalam cincin Waldeyer. Adenoid
memproduksi IgA sebagai bagian penting system pertahanan tubuh garis depan
dalam memproteksi tubuh dari invasi kuman mikroorganisme dan molekul asing.
(6)

VI. PATOGENESIS
Pada balita jaringan limfoid dalam cincin waldeyer sangat kecil. Pada anak
berumur 4 tahun bertambah besar karena aktivitas imun, karena tonsil dan adenoid
(pharyngeal tonsil) merupakan organ limfoid pertama di dalam tubuh yang
memfagosit kuman-kuman patogen. Jaringan tonsil dan adenoid mempunyai
peranan penting sebagai organ yang khusus dalam respon imun humoral maupun
selular, seperti pada bagian epithelium kripte, folikel limfoid dan bagian
ekstrafolikuler. Oleh karena itu, hipertrofi dari jaringan merupakan respons
terhadap kolonisasi dari flora normal itu sendiri dan mikroorganisme patogen.
Adenoid dapat membesar seukuran bola ping-pong, yang mengakibatkan
tersumbatnya jalan udara yang melalui hidung sehingga dibutuhkan adanya usaha
yang keras untuk bernapas sebagai akibatnya terjadi ventilasi melalui mulut yang
terbuka. Adenoid dapat menyebabkan obstruksi pada jalan udara pada nasal
sehingga mempengaruhi suara. Pembesaran adenoid dapat menyebabkan obstruksi
pada tuba eustachius yang akhirnya menjadi tuli konduktif karena adanya cairan
dalam telinga tengah akibat tuba eustachius yang tidak bekerja efisien karena
adanya sumbatan. (2,6)

VII. GEJALA KI.INIS


Pembesaran adenoid dapat menimbulkan beberapa gangguan sebagai
berikut ini : (1,10)
a. Obstruksi nasi oleh karena adenoid menyumbat parsial atau total
respirasi hidung sehingga terjadi ngorok, percakapan hiponasal, dan

5
membuat anak-anak akan terus bernafas melalui mulut. Bernafas
melalui mulut juga menyebabkan udara pernafasan tidak disaring dan
kelembabannya kurang, sehinnga mudah terjadi infeksi saluran
pernafasan bagian bawah.
b. Secara umum telah diketahui bahwa anak dengan pembesaran adenoid
mempunyai tampak muka yang karakteristik yang disebut facies
adenoid yang berupa mulut yang terbuka, gigi atas yang prominen dan
bibir atas yang pendek (namun sering juga muncul pada anak-anak
yang minum susu dengan menghisap dari botol dalam jangka
panjang), hidung yang kecil, maksila tidak berkembang/hipoplastik,
sudut alveolar atas lebih sempit, arkus palatum lebih tinggi
c. Pada sumbatan, tuba eustachius akan terjadi otitis media serosa baik
rekuren maupun otitis medis akut residif, otitis media kronik dan
terjadi tuli konduktif. Obstruksi ini juga menyebabkan perbedaan
dalam kualitas suara.
d. Sleep apnea pada anakyang berupa adanhya episode apnea pada saat
tidur dan hipersomnolen pada siang hari. Sering juga disertai dengan
hipoksemia dan bradikardi. Episode apnea dapat terjadi akibat adanya
obstruksi sentral atau campuran. (1,10)

VIII. DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan :
a. Anamnesis
b. Pemeriksaan Fisis, yang terbagi dua : (1,6,9)
Directa:
- Dengan melihat transoral langsung ke dalam nasofaring setelah
palatum molle di retraksi.
- Dengan rhinoskopi anterior melihat gerakan keatas palatum molle
waktu mengucapkan "i" yang terhambat oleh pembesaran adenoid, hal
ini disebut fenomena palatum molle yang negatif

6
Indirecta:
- Dengan cermin dan lampu kepala melihat nasofaring dari arah
orofaring dinamakan rhinoskopi posterior.
- Dengan nasofaringioskop, suatu alat seperti scytoskop yang
mempunyai sistem lensa dan prisma dan lampu diujungnya,
dimasukkan lewat cavum nasi, seluruh nasofaring dapat dilihat.
c. Palpasi:
Jari telunjuk yang dimasukkan ke nasofaring dapat meraba adenoid yang
membesar.
d. Pemeriksaan penunjang: (4,6)
1. Radiologi
Pengambilan foto polos leher lateral juga bisa membantu dalam
mendiagnosis hipertrofi adenoid jika endoskopi tidak dilakukan karena
ruang postnasal kadang sulit dilihat pada anak-anak, dan dengan
pengambilan foto lateral bisa menunjukkan ukuran adenoid dan derajat
obstruksi.

Gambar 2: gambaran radiologis adenoid pada foto polos kepala


lateral.(11)
2. Endoskopi
Endoskopi yang flexible membantu dalam mendiagnosis adenoid
hipertrofi, infeksi pada adenoid, dan insufisiensi velopharyngeal (VPi),
juga dalam menyingkirkan penyebab lain dari obstruksi nasal.

7
Gambar 3: gambaran endoskopi adenoid. (11)

IX. PENATALAKSANAAN
Tidak ada bukti yang mendukung bahwa adanya pengobatan medis untuk
infeksi kronis adenoid, pengobatan dengan menggunakan antibiotik sistemik
dalam jangka waktu yang panjang untuk infeksi jaringan limfoid tidak berhasil
membunuh bakteri. Sebenarnya, banyak kuman yang mengalami resistensi pada
penggunaan antibiotik jangka panjang. Beberapa penelitian menerangkan manfaat
dengan menggunakan steroid pada anak dengan hipertrofi adenoid. Penelitian
menujukkan bahwa selagi menggunakan pengobatan dapat mengecilkan adenoid
(sampai 10%). Tetapi jika pengobatan tersebut itu dihentikan adenoid tersebut
akan terulang lagi. Pada anak dengan efusi telinga tengah yang persisten atau
otitis media yang rekuren, adeinoidektomi meminimalkan terjadinya rekuren.
Indikasi adenoidektomi adalah : (6)
1 Sumbatan hidung yang menyebabkan bernafas melalui mulut
2 Sleep apnea
3 Gangguan menelan
4 Gangguan berbicara

8
5 Kelainan bentuk wajah muka dan gigi (adenoid face)
6 Infeksi
7 Kecurigaan neoplasma jinak/ganas
Adenoidektomi dan tonsilektomi dilakukan dengan anestesi general dan
penyembuhan terjadi dalam waktu 48 hingga 72 jam. Terdapat beberapa keadaan
yang disebutkan sebagai kontraindikasi, namun bila sebelumnya dapat diatasi,
operasi dapat dilaksanakan dengan tetap mempertimbangkan manfaat dan
risikonya, keadaan tersebut antara lain: (6)
1. Gangguan perdarahan
2. Risiko anestesi yang besar atau penyakit berat
3. Anemia
4. Infeksi akut yang berat

Teknik adenoidektomi terbagi atas dua cara yaitu :


1. Eksisi melalui mulut
Merupakan teknik yang paling banyak di gunakan. Adenoid di keluarkan
melalui mulut setelah mulut dibuka dengan menggunakan suatu alat dan menarik
langit-langit mulut. Suatu cermin digunakan untuk melihat adenoid karena
adenoid terletak pada rongga hidung bagian belakang melalui pendekatan ini
beberapa instrumen dapat dimasukkan. (6,10)
 Cold Surgical Techniques
- Curette adenoid : Merupakan patokan dan metode konvensional yang
sukses dilakukan. Alat adenoid currete mempunyai sisi yang tajam dan
bengkok. Untuk mengangkat adenoid digunakan mata pisau yang tajam
setelah terlebih dahulu memposisikan nasofaring. Perdarahan dapat
dikontrol dengan elektrocauter.
- Adenoid Punch : Penekanan pada adenoid dengan menggunakan satu
instrumen bengkok yang mempunyai celah dan ditempatkan di atas
adenoid kumudian celah itu ditutup dan pisau bedah mengangkat adenoid.
- Magill Forceps : Adalah suatu instnunen yang berbentuk bengkok yang
digunakan untuk mencabut jaringan sisa pada adenoid.

9
- Elektrocauter dengan suction bovie : Teknik kedua dengan menggunakan
elektrocauter dengan suatu suction bovie yang berfungsi untuk mencabut
jaringan adenoid. (6,10)
 Surgical microdebrider : Ahli bedah lain sudah menggunakan metode
microdebrider, sebagian orang menganggapnya lebih efektif. Perdarahan
pasti terjadi pada pengangkatan tetapi sebagian besar dilaporkan
perdarahan dengan menggunakan tradisional currete. Mikrodebrider
memindahkan jaringan adenoid yang sulit di jangkau oleh teknik lain. (6,10)

2. Eksisi melalui Hidung


Satu-satunyateknik bermanfaat untuk memindahkan adenoid melaui
rongga hidung dengan menggunakan alat mikrodebrider. Dengan prosedur ini,
jika terjadi perdarahan dikontrol dengan menggunakan cauter suction. (6,10)

X. KOMPLIKASI
Komplikasi dari tindakan adenoidektomi adalah perdarahan bila
pengerokan adenoid kurang bersih. Jika terlalu dalam menyebabkan akan terjadi
kerusakan dinding belakang faring. Bila kuretase terlalu ke lateral maka torus
tubarius akan rusak dan dapat mengakibatkan oklusi tuba eustachius dan timbul
tuli konduktif. (6,10)

XI. PROGNOSIS
Adenotonsillektomi merupakan suatu tindakan yang kuratif pada
kebanyakan individu. Jika pasien ditangani dengan baik diharapkan dapat sembuh
sempurna, kerusakan akibat cor pulmonal tidak menetap dan juga terjadi
perubahan terhadap keluhan-keluhan berikut ini: (6,12)
- Otitis media persisten kronik
Maw and Speller, Paradise menunjukkan bahwa sekitar 30-50% terjadi
penurunan otitis media setelah dilakukan adenoidectomy.
- Sinusitis kronik

10
Studi dari Lee and Rosenfeld pada tahun 1997, menunjukkan bahwa
sinusitis kronik tidak berkurang meskipun telah dilakukan
pengangkatan adenoid. Namun penelitian yang lain tetap menunjukkan
adanya resolusi gejala sinusitis setelah pengangkatan adenoid.
- Obstruksi jalan napas
Adenoidektomi menghilangkan obstruksi sehingga gejala-gejala
obstruksi nasal seperti sleep apnea, hiponasal menghilang dengan
sendirinya. (6,12)

11
DAFTAR PUSTAKA

1. Rusmarjono. Penyakit serta kelainan pada faring dan tonsil. Dalam: Efiaty AS;
Iskandar, Nurbaiti, editors. Buku ajar ilmu kesehatan telinga-hidung-tenggorok
kepala leher. 5th ed: Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2004. P. 184
2. Ballenger JJ. Penyakit Telinga, Hidung, tenggorok, Kepala dan Leher. 13th ed.
Alih bahasa: staf Ahli Bagian THT RSCM-FKUI Indonesia. Jakarta: Binarupa
Aksara. 1994.p.369-371
3. Adams G. Penyakit-penyakit nasofaring dan orofaring. Dalam: Effendi H,
Santoso RA, editors. Boies buku ajar penyakit THT. 6th ed: Jakarta : penerbit
buku kedokteran EGC; 1997. p. 320-327
4. Joseph GD, Wohl DL. Complication in Pediatric Otolaryngology. London:
Taylor& francis Group. 2005. p.232,296, 305
5. Direktorat Jendral Bina Upaya Kesehatan. Tonsilektomi pada anak dan
dewasa. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2002. p.3-5
6. McClay J. Adenoidectomy. Available from:http://emedicine.medscape.com/
article/872216overview
7. Wikipedia, the free encyclopedia. Adenoid Hypertrophy. 2008 . Available
from: http://en.wikipedia.org/wiki/Adenoid_hypertrophy
8. Pasha R. Otolaryngology Head and Neck Surgery. San Diego: singular
thompson learning. 2010.p.160-168
9. Fernandez D, Muradas M. Snoring and Obstructive apnea, Upper Airway
evaluation. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/868925-
overview
10. Hultcrantz E. Surgical treatment of children with obstructive sleep apnea. In: Onerci
M, Kountakis SE, editors. Rhinologic and sleep apnea surgical techniques. Berlin:
Springer. 2007. p. 379-390
11. Bull TR. Color Atlas of ENT Diagnosis. 4th ed. Stuttgart.Newyork: Thieme.
2003. P 109-111
12. Bechara Y. Ghorayeb. Otolaryngology Houston. November 5, 2008. Available
from: http://www.ghorayeb.com/Adenoids.html

12

Anda mungkin juga menyukai