PENDAHULUAN
2.1. Pengertian
A. Teknik Pengumpulan Data
1. Teknik Pengumpulan data Kuantitatif
Setelah kegiatan pengembangan instrumen penelitian (jenis tes atau non
tes) selesai dilakukan sesuai dengan variabel yang dijadikan objek kajian, maka
aktivitas berikutnya yaitu pengumpulan data. Pengumpulan data adalah proses
mengumpulkan berbagai data yang diperlukan untuk memecahkan masalah
penelitian yang telah dirumuskan. Masalah yang dijadikan objek penelitian dapat
berupa masalah yang terkait dengan upaya pemerian variabel atau hubungan antar
variabel. Sifat masalah ini berhubungan langsung dengan macam dan jenis data
yang diperlukan dalam pemecahannya. Semakin kompleks masalah penelitian
yang akan dipecahkan, menuntut semakin kompleks dan semakin bervariasi data
yang diperlukan.
Tingkat kualitas data yang dikumpulkan dalam penelitian, sangat
tergantung pada beberapa faktor. Faktor – faktor tersebut antara lain: sifat
masalah yang dijadikan objek penelitian; kejelasan variabel sebagai representasi
dimensi masalah yang dijadikan objek pengukuran; kualitas instrumen yang
ditunjukkan dengan tingkat validitas dan reliabilitas instrumen yang digunakan;
ketepatan teknik pengumpulan data yang digunakan; kemampuan, komitmen, dan
integritas petugas pengumpul data; dan kondisi psikologis responden pada waktu
proses pengumpulan data. Hubungan keenam faktor ini secara fungsional menjadi
penting dalam upaya untuk menghasilkan data penelitian yang memenuhi tuntutan
data yang valid dan reliabel. Dengan kata lain, data penelitian yang valid dan
reliabel adalah data yang representativenes dalam mewakili atribut variabel yang
diukur atau data yang tidak bias atas atribut variabel yang menjadi tujuan
pengukuran. Hal ini penting, karena kualitas data yang dihasilkan dari proses
pengumpulan data akan berimplikasi pada interpretasi hasil dan kesimpulan
penelitian, bahkan pada generalisasi hasil penelitian.
Bertolak dari hubungan fungsional berbagai komponen, proses
pengumpulan data penelitian secara esensial terkait dengan proses
penguantifikasian suatu atribut fenomena (variabel) yang dimiliki oleh objek atau
subjek penelitian. Atribut fenomena ini dapat bersifat konkret (misalnya bakat,
kemampuan umum, IQ, motivasi) sedangkan objek atau subjek penelitian adalah
menunjukkan suatu atribut yang diukur itu berada. Tempat atribut melekat
dikatakan sebagai objek, apabila berupa barang atau benda lain, sedangkan tempat
atribut fenomena melekat dikatakan sebagai subjek, apabila berupa manusia
(bukan barang atau benda lain)
Hasil pengukuran suatu atribut fenomena sebagai objek atau subjek
penelitin yang lazim disebut dengan variabel penelitian dapat berupa lambang
atau simbol. Lambang atau simbol dalam pengukuran suatu atribut fenomena
(variabel) yang lazim digunakan adalah angka. Angka sebagai representasi atribut
variabel penelitian, dengan mengikuti aturan dan ketentuan tertentu dapat
memiliki makna kuantitas tertentu. Makna kuantitas tertentu hasil pengukuran
variabel sebagai representasi proses pengumpulan data ini yang dijadikan dasar
untuk melakukan pemilihan atas sifat atau karakteristik data yang dihasilkan.
Pemilihan sifat data sebagai representasi atribut variabel yang dijadikan objek
atau subjek pengukuran ini dikelompokan menjadi empat jenis data penelitian.
Keempat klasifikasi jenis data penelitian tersebut yaitu data penelitian yang
bersifat nominal, ordinal, interval, dan rasio.
Data bersifat nominal. Jika penggunaan angka dari hasil pengukuran suatu
atribut fenomena hanya untuk kepentingan kategorial (sebagai tanda), dan tidak
memiliki makna kuantitatif. Representasi angka tidak menunjukkan makna baik
secara kuntitatif maupun penjenjangan. Misalkan, dalam suatu atribut variabel
jenis kelamin yang menggunakan lambang angka 1 (satu) mewakili representasi
jenis kelamin laki-laki dan angka 2 (dua) mewakili representasi jenis perempuan.
Data bersifat ordinal. Jika penggunaan angka-angka dari hasil pengukuran
tidak hanya sebagai simbol suatu atribut fenomena, tetapi juga menunjukkan
gradasi representasi kuantitas suatu atribut fenomena. Gradasi kuantitatif atribut
fenomena ini dapat mulai dari kelompok tinggi, sedang, atau rendah. Namun,
jarak interval gradasi kuantitas suatu atribut fenomena ini tidak dapat ditentukan
secara eksak. Misalnya, gradasi juara dalam lomba lari 100 meter putri, ada juara
1, juara 2, juara 3. Dalam hal ini besaran gradasi (jarak interval gradasi waktu
tempuh) antara juara 1 dan 2, tidak sama dengan jarak interval gradasi waktu
tempuh juara 2 dan 3. Untuk itu, pada data penelitian yang berskala ordinal, maka
tanda tanda operasi bilangan matematik sebagaimana + (plus), - (minus), x (kali),
dan : (bagi) tidak dapat digunakan.
Data bersifat interval. Jika penggunaan angka sebagai lambang hasil
pengukuran suatu atribut fenomena memiliki gradasi representasi kuantitas
(tinggi, sedang dan rendah) dan jarak interval gradasi ini dapat ditentukan secara
eksak, tetapi tidak memiliki makna angka nol yang bersifat mutlak. Misalnya
penggunaan angka sebagai representasi hasil belajar mahasiswa atau siswa pada
suatu bidang studi tertentu direpresentasikan dengan angka: 30, 40, 50, 60, 70, 80
dan 90. Dalam hal ini lambang angka – angka: 30, 40, 50, 60, 70, 80, dan 90,
menunjukkan interval gradasi yang ajeg, tetapi tidak menunjukkan kuantitatif
(kapasitas) yang sama, dan tidak memiliki makna nol mutlak. Artinya, bukan
berarti apabila seseorang mahasiswa atau siswa yang memperoleh skor hasil
belajar 60 kemampuannya secara kuantitatif dua kali dari seseorang yang
memperoleh skor 30, atau seseorang mahasiswa atau siswa yang memperoleh
skor hasil belajar nol, bukan berarti yang bersangkutan tidak tahu sama sekali isi
bidang yang dipelajari.
Data bersifat rasio. Jika penggunaaan lambang angka angka sebagai
representasi hasil pengukuran suatu atribut fenomena memiliki gradasi kuantitas
(tinggi, sedang, dan rendah), dan jarak interval gradasi ini dapat ditentukan secara
eksak dan memiliki angka nol yang bersifat mutlak (angka 0 = tidak ada).
Misalnya lambang hasil pengukuran atribut fenomena berat badan si A = 50 kg,
berat badan si B = 100 kg, dan bila sesuatu objek (si C) beratnya = 0 kg, berarti
objek yang bersangkutan tidak memiliki nilai kuantitatif dalam satuan berat
(beratnya = 0). Dalam data jenis ini dapat dikatakan berat si B (100 kg) adalah
dua kali dari berat si A (50 kg).
A. Teknik Tes
Tes sebagai teknik pengumpulan data penelitian dalam bidang pendidikan dan
pembelajaran, psikologi atau sosial memiliki ciri utama respon dari testee
mengandung unsur benar atau salah. Penggunaan teknik dalam pengumpulan data
penelitian dapat dipilih menjadi tiga, yaitu berdasarkan perangkatnya, tujuan dan
substansinya, dan rancangan bentuknya (Mukhadis, 2013b). Teknik tes berdasarkan
perangkat pengumpulan data, yaitu seperangkat jens tes untuk mengumpulkan data
penelitian tentang kemampuan (ability) tertentu dari responden dengan menggunakan
sarana tertentu. Misalnya perangkat tes dengan kertas dan pensil, alat simulasi,
permodelan atau peralataan nyata, berbantuan komputer dan berbantuan video
display.
Tes berdasarkan tujuan dan subtansi isi sebagai teknik pengumpulan data dapat
dibagi menjadi tes bakat dan tes prestasi (Joni, 1984). Tes bakat digunakan, apabila
penelitian bermaksud mengungkap data tentang kemampuan dasar atau kapasitas
potensi individu tertentu. Sedang tes prestasi digunakan, apabila peneliti bermaksud
mengumpulkan data tentang kemampuan seseorang dalam mempelajari, memahami,
menguasai suatu ranah (kognitif, psikomotor atau afektif) pada suatu bidang dan
dalam interval waktu tertentu.
Tes berdasarkan rangcangan bentuknya, sebagai teknik pengumpulan data
penelitian dapat dibedakan menjadi: tes lisan, tertulis, tes esai, tes objektif, dan tes
pengamatan untuk kerja. Tes bentuk lisan lazimnya mirip dengan wawancara dalam
pelaksanaan pengumpulan data. Tes tulis sebagai representasi tes paper dan pencil,
dengan variasi bentuknya. Misalnya, tes pilihan ganda/tes objektif, tes esai, dan tes
melengkapi.
Berbagai faktor yang perlu diperhatikan dalam pengumpulan data penelitian
dengan tes, yaitu kualitas instrumen, kejelasan pedoman tes bagi testee, kondisi
kondusif bagi testee, dan petugas pengumpul data. Faktor kualitas instrumen tes,
khususnya dari sisi validalitas dan reliabilitas tes menjadi penting untuk
menghasilkan data penelitian yang berkualitas. Kejelasan pedoman bagi testee, juga
menjadi faktor yang perlu dipertimbagkan dalam upaya menghasilkan data penelitian
yang berkualitas. Kondisi tes yang kondusif, yang terkait dengan latar (tingkat
kenyamanan, kecukupan ventilasi dan kecukupan penerangan serta tingkat kebisingan
lokasi diamana tes dilakukan memberikan sumbangan yang signifikan dalam
menghasilkan data penelitian yang berkualitas) dan yang terkait dengan peserta tes.
Terakhir, petugas pengumpulan data, sikap dan perlakuan yang ditunjukkan selama
pengumpulan data melalui tes, berpotensi berpengaruh terhadapa tingkat kondusivitas
pelaksanaan tes.
C. Teknik Kusioner
Pengumpulan data penelitian melalui kuesioner paling banyak dipilih dan
digunakan, terutama pada penelitian survei. Karakteristik data penelitian survei yang
dikumpulkan dengan instrumen jenis ini dapat berupa respons yang bersifat singkat
(umum) sampai dengan respons yang bersifat terinci (detail) dari responden.
Kuesioner sebagai teknik pengumpulan data penelitian memiliki beberapa kelebihan,
antara lain dapat (1) menjangkau jumlah responden yang cukup besar, berasal dari
berbagai wilayah geografis, dan dalam aktu yang relatif singkat ; (2) dikirim kepada
responden, baik secara langsung maupun tidak langsung (lewat teknologi
komunikasi) (3) disi oleh responden, baik secara langsung maupun diwawancarakan
(langsung atau melalui media lain), baik kelompok maupun secara individu.
Tingkat keefektifan, efesiesi dan kemenarikan kuesioner sebagai teknik
pengumpulan data penelitian dapat mempertinggi tingkat validitas dan
representastivenees data dihasilkan. Hal tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor,
antara lain: tingkat kejelian dan kecermatan dalam pemilihan dan penggunaan kata,
pemilihan dan penggunanaan frasa, pemilihan dan penggunanaan istilah atau kalimat
yang sesuai dengan tipe karakteristik responden dan data yang diperlukan, pemilihan
alternatif bentuk pertanyaan atau pernyataan dalam kuesioner.
D. Teknik Wawancara
Wawancara sebagai teknik pengumpulan data penelitian, dilakukan dengan
mengajukan pertanyaan secara langsung, baik kepada responden maupun informan
yang dipandang relevan dengan jenis data yang diperlukan. Pembeda penggunanaan
istilah responden dan informan dalam konteks ini oleh Kuntjaraningrat, (2002) dapat
dipilih dari dua, yaitu dari jenis data dan acuan penetapannya. Responden ditinjau
dari jenis data yang diperlukan dipandang sebagai sumber penelitian untuk
mendapatkan berbagai data yang terkait dengan pendapat, pendirian dan persepsi
orang yang diwawancarai terhadap suatu fenomena. Sedangkan responden dari auan
penetapannya merupakan representatif sampel yang diambil dengan teknik sampling
tertentu dari suatu populasi yang dijadikan subjek wawancara.
Teknik wawancara dalam kegiatan pengumpulan data penelitian dapat
memperkecil kendala dan kekurangakuratan dalam upaya mengidentifikasi, menggali,
mengungkap, dan memerikan dan menghubungkan data penelitian (Kerlinger, 1973),
bilamana dilakukan dengan respon secara tertulis atau pengamatan dari responden.
Kelebihan teknik ini dalam pengumpulan data penelitian dapat dijelaskan sifat
karakteristik responden, keautentikan informasi, memperkecil kesalahan persepsi, kiat
interaksi.
Disamping kelebihan diatas, teknik wawancara dalam pengumpulan data
penelitian juga memiliki beberapa kekurangan, yaitu memerlukan waktu relatif lama,
biaya yang cukup besar, petugas yang andal.
E. Teknik Pengamatan
Teknik pengamatan dalam pengumpulan data penelitian dijadikan sebagai
alternatif yang utama, apabila peneliti bertujuan untuk memerikan, mengungkap dan
menghubungkan variabel yang terkait dengan tingkah laku subjek kajian secara
sistematis (Wellington, 2015 ; Rauf, 2008). Hal ini berdasarkan pertimbangan bahwa
tingkah laku suatu subjek sebagai reprensentasi gejala psikologis yang dipengaruhi
oleh beberapa faktor. Terkait dengan sifat ini, maka teknik untuk mengungkap
fenomena tingkah laku menjadi kurang representatif, bila hanya digunakan dengan
teknik kuesioner, tes atau self-invetory. Ketiga teknik pengamatan data ini dalam
mengungkapak dan menghubungkan data tingkah laku, berpotensi menghasilkan data
yang bias, yaitu kurang representatif untuk mengungkap ‘dia sebagai dia’ atau
mengungkap ‘mereka sebagai mereka’. Potensi kelemahan ini dapat diperkecil
dengan melakukan pengamatan langsung terhadap perilaku subjek yang dijadikan
objek kajian.
Secara akademik, teknik pengamatan yang digunakan dalam pengumpulan data
penelitian dapat dipilih menjadi empat kelompok, yaitu bebas dan terfokus, langsung
dan tidak langsung, alamiah dan terkendali, dan partisipan dan non-partisipan (Johson
& Cristensen, 2004 ; Ibnu, dkk. 2003). Namun , dalam tataran praktis, keempat
pemilihan teknik pengamatan lazimnya digunakan digunakan secara terpadu dan
komprehensif, yaitu kiat pengamatan yang satu menjadi pelengkap dan bahkan
melebur dengan kiat pengamatan yang lain dalam upaya mengungkap dan
menghubungkan tingkah laku dalam suatu kehidupan masyarakat tertentu, untuk
sampai pada tingkatan pengungkapan ‘mereka sebagai mereka’ diperlukan teknik
pengamatan secara terpadu, komprehensif dan simultan. Kualitas data penelitian yang
diungkap melalui teknik pengamatan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu
kejelasan fenomena yang dijadikan objek kajian, format pengamatan, proses
pengamatan dan kiat perekaman hasil amatan.
F. Teknik FGD
Teknik diskusi kelompok terfokus (FGD), digunakan dalam pengumpulan data
penelitian yang bertujuan untuk mengali, mengidentifikasi, mengungkap, memerikan
dan menghubungkan variabel yang dikaji, baik dalam pertimbangan secara kulitatif
atau kuantutatif. Teknik pengumpulan data ini berpotensi untuk mengungkapkan dan
memperdalam umpan balik (feedback) dari dari berbagai pihak secara komprehensif,
efektif, efisien dan bahkan menarik terhadap masalah penelitian. Teknik ini dikatakan
bersifat komprehensif, efektif , efisien karena peserta diskusi dari berbagai pihak
yang terpilih berdasarkan kriteria tertentu dan dilakukan dalam forum yang terancang
dan sistematis. Sedangkan dikatakan memiliki kemenarikan dari teknik ini, yaitu
dalam pengumpulan data penelitian, dilaksanakan dengan adanya pembagian
kelompok kelompok kecil untuk membahas topik yang relevan dengan keahlian
anggota kelompok dan difasilitasi secara langsung oleh narasumber.
Tingkat efektifitas, efesiensi, kemenarikan dan validitas data yang diperoleh
melalui teknik diskusi kelompok terfokus dipengaruhi oleh faktor kejelasan data yang
diharapkan, persiapkan diskusi, proses diskusi dan sistem perekaman hasil diskusi.
Faktor kejelasan data yang diperlukan menjadi penting, utamanya terkait dengan
operasionalisasi berbagai variabel sebagai representasi masalah penelitian yang
dicarikan jawaban melalui penelitian. Faktor persiapan diskusi yang berpengaruh
terhadap validitas data, dalam hal ini, baik terkait ketepatan dengan pemilihan peserta
diskusi, pemilihan narasumber,moderator diskusi. Faktor proses pelaksanaan diskusi
yaitu tingkat kualitas dan kondusivitas interaksi berbagai pihak yang terlibat dalam
diskusi yang mengarah pada data atau informasi yang diperlukan untuk memecahkan
masalah yang dikaji. Faktor sistem perekaman hasil diskusi yaitu kecermatan dan
ketepatan kinerja notulis dalam merekam berbagai pendapat atau data yang muncul
selama proses diskusi kelompok, baik kelompok kecil maupun kelompok besar
(pleno)
G. Teknik Dokumentasi
Teknik pengumpulan data penelitian yang dilakukan dengan menggunakan
dokumentasi, lazimnya untuk mengungkap, memeriksa, dan menghubungkan
karakteristik variabel yang datanya bersumber dari berbagai dokumen. Sumber data
penelitian yang termasuk kelompok dokumen dapat berupa : dokumen resmi
pemerintah yang berupa perundangan, peraturan dan surat edaran, atau dapat berupa
buku, jurnal, surat kabar, majalah, laporan kegiatan, notulen rapat, daftar nilai, kartu
hasil studi, transkip, prasasti dan yang sejenisnya. Dokumen dalam arti yang luas juga
foto, rekaman dalam kaset, video, disk, artifact dan monumen (Ibnu, dkk., 2003).
Data dokumen yang bersifat verbal atau nonverbal, secara subtansi dapat dipilih
menjadi dokumen yang tidak memiliki makna perspektif historis dalam arti
metodologi (Wellington, 2015 ; Creswall, 2010)
Tingkat validitas data penelitian yang bersumber dari dokumen yang digunakan
untuk menjawab permasalahan penelitian dipengaruhi oleh faktor ketepatan dalam
menentukan jenis sumber, kecermatan, pengumpulan dan pemilihan, kejelian
menelaah dan interpretasi, serta perekaman data.
1. Wawancara Terstruktur
Keterstrukturan wawancara dalam penelitian kualitatif dapat dilihat dari
keteraturan pertanyaan dan jawaban, yang memiliki ciri – ciri berikut :
(1) kata-kata dalam pertanyaan sudah ditentukan secara terstruktur,
(2) pilihan jawaban sudah disediakan, dan
(3) bentuk pertanyaannya sejenis angket.
Oleh karena itu, biasanya pertanyaan-pertanyaan itu disiapkan secara
tertulis dengan struktur urutan yang sistematis. Keterstrukturan lainnya juga bisa
dilihat dari suasana pada waktu wawancara. Pada waktu wawancara berlangsung,
suasana diatur secara formal yang sebelumnya telah disepakati oleh pihak peneliti
dan informan (sengaja disediakan waktu khusus untuk wawancara). Wawancara
terstruktur ini bisa juga disebut dengan wawancara terstandar dan terfokus.
Artinya dalam waktu yang singkat (satu sampai dua jam), informan memberikan
informasi atas pertanyaan peneliti yang diambilkan dari protokol/panduan
penelitian atau pedoman wawancara.
Wawancara terstruktur iru penggunaannya hampir seperti survei, yaitu
bertujuan untuk mengungkap suatu keadaan yang sangat umum atau kelaziman
suatu fenomena, misalnya persepsi masyarakat terhadap program perbaikan
lingkungan, pendapat masyarakat tentang proses pendidikan di sekolah, dan
sebagainya. Pada penelitian kualitatif khususnya studi kasus, wawancara
terstruktur ini dimaksudkan untuk melihat konsistensi keterangan tentang proses-
proses yang kausal (saling berpengaruh) baik pada pribadi maupun pada
masyarakat luas.
Kelemahan pada wawancara yang terstruktur untuk penelitian kualitatif
adalah adanya pertanyaan-pertanyaan yang kaku, sehingga tidak akan bisa
memberikan kesempatan kepada peneliti untuk masuk pada pandangan dan dunia
subjek yang diteliti. Penggunaan wawancara terstruktur dalam penelitian kualitatif
hanya dimaksudkan untuk mendapatkan data sosial-demografi dari responden
atau informan, seperti data tentang usia, pendapatan, status perkawman,
pendidikan formal, pengalaman pekerjaan, dan sebagainya.
Koentjaraningrat (1986) cenderung menggunakan wawancara tertruktur
untuk kepentingan yang berhubungan dengan penggunaan sampel yang
representatif dari orang-orang yang diwawancarai yang disebut responden. Untuk
rnernperoleh suatu informasi baru itu, maka digunakanlah teknik snowball
sampling.
2. Wawancara Tidak Terstruktur (open ended interview) dan Wawancara mendalam
(in-depth interview)
Bagaimanapun dalam investigasi kualitatif diperlukan wawancara yang
lebih terbuka (open ended interviewing). Pada tipe wawancara ini, pertanyaan
yang diajukan sangat bergantung pada pewawancara itu sendiri. Peneliti tidak
menggunakan panduan yang berisi pertanyaan sebagaimana yang telah disiapkan
seperti pada wawancara terstruktur. Pedoman wawancara yang digunakan hanya
berisi garis-garis besar permasalahan yang akan ditanyakan. Jenis wawancara ini
juga termasuk dalam kategori wawancara mendalam (in-depth interviewing),
wawancara intensif (intensive interviewing), dan wawancara tidak terstruktur
(unstructured interviewing) (Mantja, 2007).
Tipe wawancara yang tidak terstruktur ini memungkinkan responden atau
informan untuk dapat mengungkap secara lebih dalam tentang dunianya yang
unik. Hubungan pewawancara (peneliti) dengan terwawancara (informan) terjalin
secara wajar seperti suasana yang biasa terjadi sehari-hari. Pertanyaan dan
jawaban berjalan seperti dalam percakapan sehari-hari, bahkan bisa terjadi
terwawancara tidak menyadari atau tidak mengetahui kalau dirinya sedang
diwawancarai.
Wawancara tidak terstruktur ini juga bisa disebut wawancara etnografis
(Mantja, 2007), yaitu wawancara yang bermaksud untuk memahami mengapa
subjek memilih suatu cara atau pilihan tertentu, dan bagaimana pilihan itu
dirundingkan di antara anggota dalam komunitas subjek. Wawancara tidak
terstruktur atau wawancara etnografis ini bersifat luwes. Artinya, susunan
pertanyaan, bahasa, dan susunan kata dapat diubah pada saat wawancara,
disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi yang ada. Mulyana (2003)
memandang wawancara tidak terstruktur dalam penelitian kualitatif ini sebagai
interaksi sibolik, yaitu wawancara yang menghasilkan kreasi interaksional antara
kedua belah pihak (yang mewawancara dan yang terwawancara).
Digunakannya wawancara tidak terstruktur dimaksudkan agar peneliti
dapat menggali data sebanyak-banyaknya yang diperlukan tanpa mengurangi
informasi dan makna alamiah dari proses penggaliannya. Di samping itu, peneliti
juga dimungkinkan dapat mencatat respon afektif yang tampak selama wawancara
berlangsung dan dapat memilah pengaruh pribadi peneliti yang mungkin
mempengaruhi hasil wawancara. Menurut Glesne dan Peshkin (1992) wawancara
semacam ini secara psikologis lebih bebas sehingga tidak melelahkan dan
menjemukan informan.
(1) pengamatan partisipan, yaitu pengamatan ikut aktif dalam kegiatan yang
diamati;
(2) pengamatan nonpartisipan; yaitu pengamatan dimana pengamat tidak ikut
aktif di dalam bagian kegiatan yang diamati (pengamat hanya mengamati dari
jauh); dan
(3) pengamatan kuasi Partisipasi; yaitu pengarnatan dimana pengamat seolah-olah
turut berpartisipasi, tetapi yang sebenarnya hanya berpura-pura saja dalam
kegiatan yang diamati.
1. Partisipan Penuh
Partisipan penuh (complete participant) dalam hal ini adalah penganlat
(peneliti) terlibat secara penuh sebagai partisipan, bahkan menjadi anggota penuh
(insider) dari kelompok yang diamati. Dengan demikian ia dapat memperoleh
informasi apa saja yang dibutuhkannya, temasuk yang dirahasiakan sekalipun.
Sebagai contoh, seorang guru di suatu sekolab terlibat dalam suatu proyek
penelitian yang ingin memprofilkan "sekolah model". Sekolah yang akan
diprofilkan adalah sekolahnya sendiri. Untuk keperluan itu, dilakukanlah
pengamatan terhadap sekolahnya termasuk semua aktivitas gurunya. Dalam hal
ini, guru yang bersangkutan termasuk bagian dari yang diamati, dan sekaligus ia
juga yang mengamati. Ia bisa mengamati kapan saja dan dalam hal apa saja yang
dikehendaki, termasuk bagian-bagian yang tergolong "undercover" sekalipun.
Namun, karena ia terikat dengan etika penelitian, maka ia tidak mengatakan
kepada teman guru yang lain bahwa mereka sedang diamati, sehingga antara
dirinya dan guru-guru lain melakukan aktivitas yang wajar dan alamiah tanpa ada
perilaku yang dibuat-buat
4. Pengamat Penuh
Pengamat penuh (complete observer), dalam hal ini pengamat (peneliti)
betul-betul berada di luar (outsider) dari kelompok yang diamati. Biasanya hal ini
terjadi pada pengamatan suatu eksperimen di laboratoriurn yang menggunakan
kaca/jendela sepihak (one way screen/window). Peneliti dengan bebas mengamati
secara jelas subjeknya dari belakang kaca/jendela, sedangkan subjek yang diamati
sama sekali tidak mengetahui kalau mereka sedang diamati. Pengamatan jenis ini
tentu kurang dianjurkan dalam penelitian kualitatif yang bermaksud untuk
mendalami suatu peristiwa
Memang, tingkat kedalaman keikutsertaan peneliti dan perannya dalarn
pengamatan sangat beragam tergantung pada latar dan tujuan penelitiannya. Derajat
peran selain dilihat dari empat tingkatan sebagaimana terebut di atas, Spratley yang
dikutip oleh Maritja (2007) juga membagi empat tingkat peran partisipan secara
kontinum sebagai berikut (1) partisipasi penuh (lengkap), (2) partisipasi aktif, (3)
partisipasi moderat, dian (4) partisipasi pasif.
1. Partisipasi penuh atau lengkap (complete participation). Dalam hal ini,
peneliti mengamati orang/objek yang diamati sambil ia secara langsung
terlibat seluruh kegiatan yang diamati. Dalam suasana peneliti secara kasat
mata tidak tampak melakukan penelitian/ pengamatan.
2. Partisipasi aktif (active participation). Dalam hal ini, peneliti mengamati
orang/objek yang diamati sambil ia terlibat dalam sebagian banyak kegiatan
yang diamati (terlibat banyak tetapi tidak lengkap/tidak semuanya).
3. Partisipasi moderat (moderate participation). Dalam hal ini, peneliti
mengamati orangiobjek yang diamati sambil ia terlibat dalam sebagian
(separoh) kegiatan yang diamati. Pada suasana ini, terdapat keseimbangan
peneliti sebagai orang luar (yang mengamati) dan sebagai orang dalam yang
teribat dalam kegiatan yang diamati.
4. Partisipasi pasif (passive participation). Dalam hal ini, peneliti mengamati
orang/objek yang diamat, tetapi ia tidak terlibat dalam kegiatan yang diamati.
Pembagian lain juga dilakukan oleh Mantja (2007) yang sependapat dengan Lofland dan
Lofland bahwa ada enam tingkatan peran yang dimairtkan oleh peneliti dalam
pengamatan, yaitu
(1) mengamati dari luar (jauh),
(2) hadir secara pasif,
(3) berinteraksi tetapi terbatas,
(4) aktif namun terkendali,
(5) mengamati sebagai partisipan, dan
(6) berperanserta dengan identitas yang tersembunyi
Untuk memperluas wawasan tentang obyek yang diamati, Sugiyono (2008) memperluas
dengan sembilan komponen, yaitu:
1. Place, yaitu tempat kegiatan itu berlangsung, atau bisa dimaknai ruang dalam aspek
fisiknya;
2. Actor, yaitu pelaku atau orang yang memainkan peran, atau bisa dimaknai orang yang
terlibat dalam kegiatan itu;
3. Activity, yaitu kegiatan yang dilakukan oleh aktor, atau bisa dimaknai seperangkat
kegiatan yang dilakukan orang;
4. Object, yaitu obyek atau benda-benda yang ada di tempat itu;
5. Act, yaitu tindakan atau perbuatan tertentu yang dilakukan oleh orang;
6. Event, yaitu kejadian atau peristiwa, atau bisa dimaknai rangkaian aktivitas yang
dkerjakan oleh orang-orang;
7. Time, yaitu waktu atau urutan waktu kejadian;
8. Goal, yaitu tujuan atau sesuatu yang ingin dicapai oleh orang-orang;
9. Feeling, yaitu perasaan atau emosi yang dirasakan dan diekspresikan oleh orang-
orang.
Guna melengkapi apa yang seharusnya dapat diamati, Patton (dalam Moleong, 2008)
menyatakan bahwa hal itu bergantung pada jenis variasi pendekatan pengamatan yang
diperankan oleh pengamat itu sendiri. Ada lima dimensi pada suatu kontinum, yaitu:
1. Berkenaan dengan peranan pengamat yang diamati. Peranan pengamat itu ialah pada
latar pengamatan sebagian, atau pengamatan oleh orang luar.
2. Berkenaan dengan gambaran peranan peneliti terhadap yang lainnya. Pada pengamatan
terbuka, subjek mengetahui persis bahwa pengamatan sedang dilakukan oleh seorang
pengamat. Pada situasi lainnya; pengamat hanya diketahui oleh sebagian, sedangkan
sebagian lainnya tidak mengetahuinya. Situasi lain lagi, yaitu pada pengamatan tertutup,
subjek sama sekali tidak mengetahui kehadiran pengamat tidak mengetahui bahwa
sedang diadakan pengamatan.
3. Berkenaan dengan gambaran maksud pengamat terhadap lainnya. Pada sisi yang satu,
kepada seluruh subjek diberitahukan maksud tujuan pengarnatan. Penjelasan tentang
maksud barangkali hanya diberitahukan kepada sebagian subjek, yang ya tidak
diberitahu. Pada pengamatan tertutup maksud itu tidak diberitahukan sama sekali. Masih
ada lagi yang lainnya, yaitu dengan sengaja peneliti memberitahulcan malcsudnya, tetapi
secara tersamar atau disembunyikan atau barangkali maksudnya dibuat terbalik.
4. Berkenaan dengan lamanya pengamatan dilakukan. Pengamatan dilakukan hanya pada
saat yang singkat, misalnya satu jam, barangkali secara berulang. Di pihak lain
pengamatan dilakukan untuk jangka waktu yang lama, barangkali berbulan-bulan atau
menahun, seperti pengamatan berganda.
5. Berkenaan dengan fokus suatu pengamatan. Di satu sisi fokus studi untuk keperluan
pengamatan sangat sempit. Di pihak lain fokus studi itu secara meluas, yaitu dari segi
pandangan keutuhan (holistik), jadi mencakup seluruh latar dengan unsur-unsurnya.
Persoalan Pengamat Sebagai yang Diamati
Ada dua macam kemungkinan situasi ketika pengamat sebagai orang yang diamati.
Pertama, peranan pengamat pasif, diam, ia hanya mencatat, tidak memperlihatkan
ekspresi apa-apa. Namun, perlu diperhatikan bahwa biasanya peranan pasif demikian
tidak akan efektif dalam penjaringan data. Kedua, sebaliknya pengamat bertindak aktif
tidak hanya mengamati, tetapi dalam keadaan tertentu berbicara, berkelakar, sebagainya.
Jika kehadirannya aktif, ia sendiri sebagai pengamat diamati juga oleh para subjek,
sehingga keaktifannya akan mempengaruhi pengamatannya. Peranan aktif demikian
sangat diharapkan, tetapi sebaliknya bisa mempengaruhi subjek sehingga informasi yang
diperolehnya terkotori oleh kehadiran keaktifannya. Persoalan yang muncul sehubungan
dengan hal itu ialah apabila ia aktif, ia akan diamati sehingga menimbulkan penibahan;
tetapi sebaliknya, kehadiranrtya secara pasif tanpa melakukan sesuatu akan dapat
menimbulkanperubahan juga. Bagaimanakah hal itu dapat diatasi? Dalam hal
demikianpeneliti perlu berasumsi bahwa perubahan seperti itu tanpa kehadirannya pun
akan terjadi sehingga peng-umpulan datanya dapat terus dilakukan. Dalarn menghadapi
persoalan demikian hendaknya Peneliti bertindak wajar, manusiawi, tidak berkelebihan
(over acting), berbicaralah, tersenyumlah, berkelakarlah sebagaimana adanya. Dalam
kaitan dengan hal ini, peneliti memasukkan peran para subjeknya ke dalarn dirirtya. Dari
sisi ini, ia sebagai pengamat perlu mengorganisasi tindakannya. Hal ini berarti bahwa
tindakannya secara sosial dapat diterima secara alamiah. Dengan mengetahui
kehadirannya, dalam waktu yang relatif singkat para subjek akan bertindak wajar.
Sebagai partisipan (berperan serta), peneliti perlu bergaul dalam segala segi dengan
para subjeknya, dan secara sosial perlu memandang bahwa mereka sama dengan dirinya
dalam segala hal. Namun, sebagai peneliti ia bekerja atas dasar seperangkat konsepsi dan
pelaksanaannya. Perangkat konsepsi dan pelaksanaannya itu membuatnya terarah kepada
suatu strategi kerja tertentu. Jadi, dalam situasi pengamatan berperan serta ia mengalami
bersama, hidup bersama dengan para subjeknya, namun hubungan demikian perlu
diakhiri setelah peneliti mulai menganalisis data dan berperan sebagai analis. Pada tahap
ini ia benar-benar meninggalkan seluruh kesan perasaannya dan menggunakan pikiran
dan logikanya untuk menganalisis data secara tepat.
Sebagai pengamat yang diamati, peneliti hendaknya menjadi siswa yang baik pada
latar penelitian, sabar, toleran, dan simpatik. Penampilannya harus wajar, ia harus
menerirna apa yang dilihat dan didengarnya tanpa motivasi apa-apa. Jika ada
pertentangan dalam diskusi, ia tidak boleh memihak walaupun dia diminta untuk itu. Ia
hendaknya penuh pertimbangan, sopan, tetapi tidak pemalu, dan jangan memaksa. Ia
tidak boleh tenggelam ke dalam suatu hubungan intim walaupun dalam rangka
pengumpulan informasi. Ada banyak hal yang mempengaruhi kecermatan pengamatan,
yaitu
(1) ada tidaknya prasangka pengamat tentang obyek yang diamati,
(2) kemampuan fisik pengamat dalam melakukan pengamatan,
(3) kemampuan pengamat untuk mengingat dan memusatkan perhatian,
(4) kernampuan pengamat dalam menghubungkan fakta satu dengan fakta lainnya yang
timbul selama pengamatan,
(5) kemampuan pengamat untuk menggunakan alat pencatat/perekam,
(6) kemampuan pengamat untuk memahami situasi keseluruhan dari hal-hal yang
diamati, dan
(7) ketepatan dalam menggunakan alat pencatat/ perekam
Kelemahan Pengamatan
Pada pelaksanaan pengamatan, baik dari segi praktis maupun dari segi pengamat
sendiri, terdapat beberapa kelemahan. Dari segi teknik
pelaksanaart, kelemahan pengamatan terletak pada beberapa hal antara lain:
1. Pengamat terbatas dalam mengamati karena kedudukannya dalam kelompok,
hubungannya dengan anggota, dan yang semacamnya.
2. Pada pengamatan berperan serta (partisipasi), sering sulit memisahkan diri walaupun
hanya sesaat untuk membuat catatan hasil pengamatannya. Hasil pengarnatan berupa
sejumlah besar data sering memerlukan
3. memakan waktu yan.g relatif larna untuk menganalisisnya.
4. Dalam situasi pengamatan berperan serta, pengamat cenderung melakukan pengamatan
secara tidak sistematis. Untuk itu hendaknya penelitiipengamat selalu siap dengan jadwal
pengamatan agar hal demikian tidak terjadi.
5. Dari segi pengamat sendiri, sukar untuk mengatasi hal itu jika padanya tidak ada
umpan balik. Walaupun demikian, seperti sudah dikemukakan, mungkin saja dapat
diatasi jika kehadirannya akan membawa pengaruh pada latar.
Di samping itu, jika ditelusuri sebagai teknik pengumpul data, pengamatan memiliki
beberapa kelemahan yang lain, antara lain:
1. Banyak hal yang tidak dapat diungkap dengan penamatan. Misalnya kehidupan
pribadi seseorang yang sangat dirahasiakan.
2. Apabila obyek pengamatan mengetahu bahwa dia sedang diamati, maka bisa jadi ia
melakukan kegiatannya dengan tidak wajar.
3. Pengamatan banyak tergantung dari faktor yang tidak terkontrol.
4. Faktor subyektif pengamat sulit dihindarkan.
5. Timbulnya suatu kegiatan /kejadian yang hendak diamati tidak dapat dipastikan
sehingga pengamat sulit menentukan waktu yang tepat untuk melakukan pengamatan.
Kelemahan-kelemahan pelaksanaan yang diungkapkan di atas tentu saja jangan
sampai melemahkan semangat tekad peneliti untuk memanfaatkan teknik yang
pengamatan ini. Dengan mengetahui kelemahannya, justru seorang peneliti
menyadarinya, kemu dian rnenciptakan strategi taktik untuk mengatasinya apabila sudah
berada di lapangan penelitian. Di samping itu, hendaknya sebelum terjun ke latar
Penelitian yang sebenarnya calon peneliti atau peneliti hendaknya dilatih terlebih dahulu.
Latihan tersebut akan menajamkan kemampuan calon peneliti untuk mendengar, melihat,
merasakan, menghayati, kemampuan mencatat yang diperlukan. Latihan itu hendaknya
dibimbing oleh ahli yang sudah banyak berpengalaman, hasilnya dibahas, kelemahan-
kelemahan diungkapkan, dicontohkan bagaimana mengatasinya, dan sebagainya. Latihan
demikian hendaknya pada awalnya dilakukan pada latar buatan berakhir pada latar
sebenarnya. Dengan demikian kiranya kemampuan mengadakan pengamatan yang baik
akan terpenuhi.
Yang tergolong dokumen dan data sekunder menurut Johnson dan christensen (2004)
adalah:
Analisis Isi/Dokumen
Cara memanfaatkan dokumen sebagai data penelitian adalah dilakukan dengan
analisis isi (content analysis) atau analisis dokumen. Analisis isi adalah upaya peneliti
secara sistematis untuk mempelajari isi/bahan dokumen, dan menemukan
karakteristik pesan serta menarik suatu kesimpulan. Sebelum dilakukan analisis
sebagai data penelitian, maka perlu dipastikan terlebih dahulu apakah dokumen itu
otentik dan akurat. Untuk itu, pertanyaan-pertanyaan yang antara lain berikut ini perlu
dijawab terlebih dahulu untuk memastikan bahwa dokumen layak sebagai data
penelitian.
1. Bagaimana sejarah adanya dokumen itu?
2. Bagaimana yang dilakukan, sehingga dokumen itu bisa sampai di tangan
peneliti?
3. Apakah dokumen itu lengkap dan orisinil pembuatannya?
4. Adakah bagian dari dokumen itu yang rusak atau diedit?
5. Siapakah yang membuat dokumen itu?
6. Adakah unsur bias dari pembuatan dokumen itu?
7. Dan sebagainya.
Hal yang sangat penting juga harus dipastikan bahwa dokumen yang dijadikan
data adalah diambil dari sumber primer dan bukan sumber sekunder. Sumber primer
yang paling baik adalah yang mencerminkan adanya catatan waktu dan tempat
terjadinya peristiwa yang diambil secara langsung dari orang yang berkualitas (bukan
perantara). Jika sudah dipastikan bahwa dokumen itu otentik, maka analisis dapat
dimulai dengan mengembangkan dan mengadopsi sistem kode (coding) dan katalog
(cataloging). Setelah itu, semua dokumen tulis harus dicopy, termasuk dokumen
photo dan video.
Esensi dari analisis dokumen adalah prosedur yang sistematis untuk
mendeskripsikan isi yang dikomunikasikan melalui dokumen. Guba da Lincoln
(1981) menyarankan agar peneliti yang menggunakan analisis isi dilakukan dengan
prosedur "aturan— data —aturan — data, dan seterusnya". Memang tradisi penelitian
belum ada cara yang dapat dipedomani dalam melakukan analisis dokumen. Untuk
itu, beberapa peneliti mencoba melakukan analisis dokumen dengan cara
mengelompokan frekuensi dan macam-macam pesan serta menkonfirmasi hipotesis.
Peneliti sering juga mencoba dengan mengg-unakan panduan (protowl) dan membuat
unit analisis untuk menghitung frekuensi dan macam-macam pesan tersebut.
Panduan dan unit analisis yang dijadikan acuan untuk menganalisis dokumen
secara umum dibuat dengan mengikuti prosedur sebagai berikut: Pertama dimulai dari
pertanyaan penelitian, dilanjutkan dengan menentukan definisi kategori, mengurutkan
kategori, merevisi kategori dengan mengecek keajegannya dalam waktu tertentu, dan
yang terakhir menginterpretasikan hasil. Langkah itu dicontohkan oleh Moleong
(2008) dengan prosedur yang dilakukan oleh Mayring yang telah melakukan analisis
isi/konten di bidang komunikasi. Prosedur yang digunakan sebagai berikut:
1. Menyesuaikan materi ke dalam model komunikasi. Dalam hal ini ditentukan
bagian mana yang termasuk diteliti dan bagian mana yang tidak diteliti. Dengan
kata lain, pertanyaan-pertanyaan penelitian harus dijawab untuk membatasi
lingkupnya.
2. Membuat aturan analisis. Dalam hal ini, materi yang dianalisis secara bertahap
dikelompok-kelompokkan menjadi satuan-satuan.
3. Membuat kategorisasi. Dalam hal ini, interpretasi isi dilakukan dengan
mengikuti pertanyaan-pertanyaan penelitian, dan kemudian dimasukkan kategori-
kaategori. Kategori iitu ditemukan dan direvisi di dalam proses analisis.
4. Menentukan kredibilitas dan validitas. Dalam hal ini, prosedur harus dilakukan
secara komprehensif inter-subyektif, yaitu membandingkan hasil dengan teknik
dan sumber lain dengan memanfaatkan triangulasi.
5. Menginterpretasi hasil. Dalam hal ini, membuat simpulan data/hasil sebagai
temuan penelitian.
1. Pengolahan Data
Tahapan pengolahan data merupakan bagian awal dari proses analisis data dengan teknik
statistik. Kegiatan yang dilakukan pada tahapan ini meliputi kegiatan : pengecekan dan
pelabelan instrumen, pengeditan data dan pengodean data. Kegiatan pengecekan dan
pelabelan instrumen bertujuan untuk mengetahui kelengkapan jumlah instrumen dan
mengidentifikasi spesifikasi instrumen yang telah diisi dan dikembalikanoleh sumber
data. Kegiatan pengeditan data dilakukan setelah kegitan pengecekan jumlah dan
pelabelan instrumen penelitian selesai. Kegiatan pengeditan data sebagai representasi
pengoreksian atas kelengkapan pengisian atau jawaban pada instrumen. Utamanya, hal
hal yang terkait dengan aspek keterbacaan dan kejelasan makna jawaban, keajegan dan
relevansi jawaban (Johson & Cristensen, 2004). Kegiatan pengodean data merupakan
tindak lanjut dari kegiatan editing data dan menjadi bagian tak terpisahkan dari kegiatan
labeling data. Pembedanya pada kegiatan pengodean data lebih spesefik pada aspek
jawaban dari responden dalam suatu instrumen tertentu. Misalnya instrumen bentuk
kuesioner, tes, self-inventory, diskusi kelompok terfokus, lembar pengamatan atau
wawancara. Hasil akhir tahapan pengolahan data dapat berupa pengelompokan,
penyederhanaan dan penyajian data dalam bentuk statistik (skor maksimal, skor minimal,
skor rearta dan simpangan baku) yang dijadikan dasar untuk melakukan tahapan
berikutnya yaitu analisis data.
2. Analisis Data
Berdasarkan hasil pengolahan data dalam bentuk statistik (skor maksimal, skor
minimal, skor rearta dan simpangan baku) dilakukan analisis data dengan bantuan
statistik, baik deskriptif maupun statistik inferensial. Apabila penelitian bertujuan untuk
mendeskripsikan suatu fenomena yang dikaji, statistik sebagai alat analisis data yang
digunakan dapat dengan statistik deskriptif dan pilihan rumus untuk analisisnya. Hasil
analisis data dengan statistik deskriptif ini dapat berupa tabel distribusi frekuensi, grafik,
gambar, diagram, nilai rata rata, simpangan baku dan tendensi sentral.
Namun, apabila analisis data dilakukan dengan teknik statistik inferensial (baik
inferensial parametrik maupun non parametrik) diperlukan pemahaman atas ketepatan
dan ketajaman analisis, dan pemenuhan uji persyaratan analisis. Berdasarkan pemahaman
tentang persyaratan ketepatan, ketajaman dan uji persyaratan analisis di atas secara
memadai, peneliti dapat memilih dan menggunkan teknis statistik dan rumus yang sesuai,
baik pada statistik inferensial parametrik maupun statistik inferensial non parameterik
sebagai alat analisis data secara benar.
3. Interpretasi Hasil
Tahapan interpretasi hasil analisis dilakukan setelah analisis data dengan teknik
dan rumus statatis tertentu. Interpretasi hasil analisis adalah upaya memberikan makna
atas hasil analisis data dengan teknik statistika tertentu dan dengan kriteria atau taraf
signifikasi (a) tertentu. Kriteria tertentu yang bersifat satuan minimal kuantitatif dalam
bentuk persentase, rerata, tendensi sentral, dan lain sebagainya lazim digunakan pada
interpretasi hasil analisis data dengan teknik statistik deskriptif. Sedangkan taraf
signifikansi (a) tertentu, lazim digunakan pada interpretasi hasil analisis data dengan
teknik statistik inferensial, baik inferensial parametrik maupun inferensial nonparametrik.
Interpretasi hasil analisis data dengan teknik statistik deskriptif, lebih berorientasi
pada pemaknaan terhadap pemerian, klasifikasi, pencandraan atas suatu fenomena yang
dijadikan objek kajian tersebut sebagai bentuk jawaban atas masalah penelitian yang
telah ditetapkan. Sedangkan interpretasi hasil analisis data dengan teknik statistik
inferensial lebih berorientasi pada pemaknaan signifikansi hubungan atau perbedaan
anatarvariabel yang dijadikan objek kajian.
Gambar 4.1 Pemilihan Teknik Statistik Sebagai Alat Analisis Ditinjau dari Sifat Data,
Tujuan Penelitian, dan Persyaratan Analisis (Mukhadis, 2016)
Dasar pertimbangan lain dalam pemilihan dan penggunaan teknik statistik sebagai
analisis data adalah jumlah an sifat variabel penelitian. Perbedaan dalam pengelompokan
suatu variable penelitian, apakah termasuk dalam kelompok univariate, bivariate (apabila
hubungan antar variable yang dijadikan objek kajian terdiri atas hubungan beberapa
variable bebas dengan satu variable tergantung), dan multivariate (apabilan objek kajian
terdiri atas hubungan beberapa variable bebas dan tergantung) dan hubunganya dengan
pemilihan dan penggunaan teknik statistik sebagai alat analisis dijelaskan pada Gambar
4.2.
Y (satu X1
variable) X1
X2
X Y X2Y
X3
5.1 Perbedaan Proses Analisis Data Pada Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif
Perbedaan kedua proses analisis antara penelitian kualitatif dan kuantitatif adalah
terletak pada penggunaaan logika. Pada penelitian kuantitatif menggunakan logika
deduktif verifikatif yang bertolak dari umum ke khusus, sehingga perlu konsep teoretik
yang sangat tegas dan empiris. Bermula dari merumuskan masalah, merumuskan hipotesis,
menyusun alat engukuran, mengumpulan data, dan kemudian menganalisis data. Tetapi
dalam peneliitian kualitatif menggunakan logika induktif abstaktif yang bertolak dari
khusus ke umum. Konseptualisasi, kategorisasi, dan deskripsi dikembangkan oleh peneliti
berdasarkan kejadian, pertistiwa, dan fenomena yang diperoleh dari lapangan. Data yang
diperoleh dari pengumpulan data pada penelitian kualitatif kemudian dianalisis dengan
memalui beberapa tahapan seperti dibawah ini:
a. Analisis saat pengumpulan data, berarti peneliti bekerja mengumpulkna data
dilapangan sekaligus menganalisisnya. Paling tidak ada tiga tahapan dalam bekerja
dengan menganalisis data saat di lapangan, yaitu (1) mebuat transkrip dan catatan
lapangan, (2) mengorganisasikan data atau catatan lapan, dan (3) membuat kode
catatan. Mengorganisasikan data berarti membuat atau embentuk data menjadi unit –
unit yang beraturan, mengumpulkan data menjadi satu kesatuan. Mencari rumusan –
rumusan, menemukan mana yang lebih penting dan apa yang seharusnya dipelajari
serta memutuskan apa yang akan diinformasikan atau disampaikan kepada orang lain.
Kemudian, akhir dari semua prose situ menghasilkan laporan penelitian, buku- buku,
artikel, makalah, atau rekomendasi –rekomendasi dan perencanaan untuk tindakan
selanjutnya (Ulfatin, 2015).
Terkait dengan analisis data lapangan, berikut beberapa saran yang diutarakan oleh
Bogdan dan Biken (1998), Glesne dan Peshkin (1992), dan Mantca (2007) beserta
contoh penerapanya:
1. Upayakan segera memutuskan untuk mempersempit bidang kajian. Cara yang tepat
dalam mempersempit bidang kajian adalah dengan menyusun panduan yang berisi
pertanyaan yang terkait dengan focus penelitian atau protokol pengumpulan data,
misanya menyusun panduan wawancara. (Ulfatin, 2015) apabila penelitian yang
dilakukan multi sistus/kasus, mka peneliti membuat panduan dan format catatan
lapangan dengan kertas berwarna dimana setiap warna dari kertas tersebut
menunjukansitus/ kasus yang berbeda.
2. Menentukan bentuk atau tipe kajian yang ingin dilaksanakan. Memang dalam
penelitian kualitatif tidak harus kaku memilih satu metode atau menggabungkan
atau membedakan beberapa penelitianya. Namun, peneliti harus memikirkan
apakah akan melakukan deskripsi penuh settinganya atau cenderungn
menggeneralisasikan aspek teorinya. Sebagai contoh salah satu generalisasi aspek
teori tentang “hambatan guru wanita menjadi kepala sekolah” maka sejak awal
sudah menentukan bahwa penelitianya menggunakan rancangan studi multi kasus.
Agar dalam generalisasinya kuat maka ditentukanlah empat situs sebagai latarnya,
termasuk didalamnya digolongkan sebagai kasus negatif. Apanila sudah menetukan
rancangan, maka selanjutnya melakukan prosedur yang tepat dalam menganalisis
kasus. Misal rancangan yang digunakan adalah induksi analitik termodifikasi, maka
kita harus melakukan analisis sesuai dengan prosedur dalam rancangan yang
diikuti.
3. Mengembangkan pertanyaan abalitis. Yaitu dengan mengembangkan pertanyaan
substantive (bagaimana, mengapa, siapa, dan untuk apa) menjadi teoretis
(Grounded theory). Sebagai contoh yang dilakukan penulis ketika dalam
penelitianya ingin mengetahui bagaimana prosedur pengangkatan kepala sekolah
di madrasah swasta, sehingga guru wanita banyak yang tidak bisa menjadi kepala
sekolah. Ketika awal penulis di lapangan, memulai dengan peretanyaan: “apakah
ada standar peosedur (SOP) dalam seleksi/pengangkatan kepala sekolah?” Tetapi,
setelah melakukan observasi,diketahui bahwa banyak guru wanita yang memiliki
kemampuan manajerial dan memiliki pengalaman organisasional, tetapi ia tidak
diberdayakan untuk memimpin sekolah, maka pertanyaan harus diganti dengan
pertanyaan yang lebih analitis, yaitu “mengapa guru – guru wanita yang potensial
itu tidak bisa menjadi kepala sekolah?” selain pertanyaan – [[ertanyaan tersebut,
penulis juga membuat “memo” pada diri sendiri: “pelajari faham “androcentric” vs
“feminocentric” dalam manajemen pendidikan.
4. Membuat ringkasan data sementara dan merencanakan pengumpulan data
berikutnya dengann mem[erhatikan ringkasan data sebelumnya. Peneliti harus
mehami apakah perlu dilakukan pengamatan dan wawancara lagi agar data yang
didapat lebih spesifik. Sebagai contoh setelah peneliti sudah melewati
pengumpulan data, biasanya penulis mereview catatan lapangan. Setelah membuat
dan memahami catatan lapangan penulis membuat ringjasan data. Setelah ada
ringkasan data maka timbul pertanyaan kepada diri sendiri: “apa yang sudah saya
ketahui? Apa yang tidak saya ketahui?”, maka segeralah peneliti harus memutuskan
kembali bagaimana data yang harus dikumpulkan lagi.
5. Menulis sebanyak – banyaknya “komentar pengamat” tentang gagasan yang
berkembang atau gagasan yang akan digeneralisasikan. Catantan yang sudah dibuat
peniliti dilapangan mengandung deskripsi (catatan informasi dilapanga) dan
refleksi (ungkapan pengamat terhadap deskripsi). Apabila meneukan dugaan pada
pengumpulan data, maka mendorong penulis untuk memperkiraan makna sehingga
penulis menuliskan pikiran. Pikiran peneliti ini dituangkan dalam komentar
pengamat.
6. Menulis “memo” untuk diri sendiri tentang sesuatu yang harus dipelajari atau apa
yang segera dilakukan oleh peneliti. Sebagai contoh kasus yang pernah disebutkan
sebelumnya peneliti harus mempelajari faham “androcentric” vs “feminocentric”
dalam manajemen pendidikan ketika dalam penelitianya menemukan gejala bias
gender dalam pengangkagtan kepala sekolah.
7. Mencoba mengungkap gagasan – gagasann dan tema – tema tentang subyek
menjadi tema pokok dalam persoalan. Sebagai contoh dalam penelitian mengani
hambatan guru menjadi kepala sekolah, peneliti menemukan dilapangan banyak
guru wanitga yang memiliki kemampuan manajerial tinggi yang menurut prespektif
peneliti memenuhi syarat menjadi kepala sekolah . oleh karena itu, merekalah yang
disebut informan kunci (dianggap dapat dan cepat memahami maksud
penelitisn).karena itu pula, peneliti segera bermaksud mengungkap gagasan untuk
menggambarkan profil dari guru yang potensial dan memiliki kemam
puanmanajerial tersebut.
8. Mulailah mengkaji sumber kepustakaan sementara peneliti di lapangan penelitian.
Hal ini dilakukan agar membantu mengembangkan pertanyaan – pertanyaan dalam
pencarian data dan selanjutnya dapat memperlancar analisis kajian.
9. Bermain kata dengan menggunakan metofora, analogi, dan konsep. Hal ini
dilakukan untuk memperluas wawasan analitis. Sebagai contoh “nrimo ing
pandum” untuk menggambarkan guru wwanita yang tidak memiliki kesempatan
menjadi kepala sekolah, dan ia tidak protes, todak memonjolkan diri, atau tidak
memiliki ambisi menjadi kepa sekolah.
10. Gunakan alat – alat atau perlengkapan visual. Ketika dilapangan peneliti harus
merekam dengan cepat dan tepat terhadap fenomena yang diamati. Tetapi walaupun
mungkin dapat dibantu dengan elektronik seperti camera atau tape recorder, namun
peneliti harus mencatat dengan alat bantu visual seperti tabl, grafik, dan sebagainya.
Berbeda dengan analiisis data [pada penelitian kuantitatif, berikut beberapa tahapan
analisis data penelitian kuantitif menurut Ibnu, dkk. (2003):
1. Pengolahan data yaitu dengan kegiatan pegecekan dan pelabelan instrument yang
bertujuan untuk mengetahui kelengkapan jumlah instrumen, an mengidentifikasi
spesifikasi instrument yang telah diisi dan dikembalikan oleh sumber data. Selanjutnya
melakukan pengeditan data atau juga pengecekan kelengkapan pengisian atau jawaban
pada instrument. Dan yang terakhir dengn melakukan pengodean data sebagai
representasi upaya untuk melakukan pengelompokan data sesuai denga ragam dan
sifatnya berdasarkan notasi atau symbol yang digunakan pada jawaban responden pada
setiap butir instrument. Hasil akhir pada proses ini adalah data dapat berupa
pengelompokan, penyederhanaan, dan penyajian data dalam bentuk statistic (skor
maksimal, skor minimal, skor rerata, dan simpangan baku), yang dijadikan dasar untuk
melakukan tahapan berikutnya yaitu analsis data.
2. Analisis data. Apabila penelitian bertujuanmendeskripsikan suatu fenomena yang akan
dikaji, statistik sebagai alat analisis data yang digunakan dapat dengan satistik
deskriptif yang hasilnya berupa tabel distribusi frekuensi, grafik, gambar, diagram, dan
nilai rata – rata, simpangan baku, dan tendensi sentral. Namun apabila [analisis data
dilkukan dengan teknik statistik inferensial baik parametric maupun non-parametrik
diperlukan pemahaman atas ketepatan dan ketajaman analisis, dan pemenuhan uji
prasyarat analisis.
3. Interpretasi hasil atau memberikan makna atas hasil analisis data dengan teknik tertentu
dan dengan kriteria atau taraf signifikanasi tertentu. Menggunakan rumus statistik
untuk menguji signifikansi hubungan antar variable.
4. Menyimpulkan hasil penelitian pada tahap ini peril dijembatani dengan
kegiatanpembahasan hasil penelitian. Pembahasn hasil dalam penelitian kuantitaf
lazim ditulis pada bab hasil penelitian. Pembahasn ini dikonfirmasikan dengn teori atau
temuan yang ada sebelunya. Hasil konfirmasi terhadap teori sebelumnya menimbulkan
kesesuaian dan tidak kesesuaian maka peneliti wajib member penjelasan tentang
“kemengapaanya” terhadap kemungkinan tersebut sehingga penulis boleh megajukan
berbagai argumentasi. Disinilah peneliti memosisikan temuanya kedalam khazanah
teori yang ada sebelum. Alternatif posisi temenuan penelitian dapat bersifat
menguatkan, memodifikasi, menolak, atau menggugurkan, atau bersifat baru sama
sekali terhadap teori atau temuan sebelumnya. Berdasarkan hal tersebut maka peneliti
merumuskan penelitian dengan mengacu pada butir rumusan masalah dan hasil
pembahasan temuan penelitian.
5. Menulis rekomendasi setelah membuat rumusan simpulan selesai dilakukan. Esensi
rekomendasi ini ditujukan kepada pihak, baik yang terkaitu, dengan tindak lanjut
pemanfaatan secara praktis maupun melakukan penelitian lanjut terhadap simpulan
penelitian. Rumusan rekomendasi harus operasional yang dipengaruhi ketepatan
pijakan (dimensi atau rumusan manfaat penelitian pada Bab I) dan kejelasan redaksi
denga pertanyaan ‘apa yang akan direkomendasikan? Kepada siapa rekomndasi
ditujukan? bagaimana cara merealisaasi sesatu yang direkomendasikan?’ berdasarkan
kriteria ‘apa, siapa, dan bagaimana’ contoh rumusan rekomendasi diberikan berikut,
“Kepala sekolah SMK perlu meningkatkan keterampilan guru bidang produktif melalui
klinik pembelajaran dan pendampingan oleh LPTK dan Dudi yang relevan”.