Anda di halaman 1dari 4

TUGAS MATA KULIAH

PENGEMBANGAN PULAU-PULAU KECIL DAN PESISIR

KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT PESISIR

DALAM MENGELOLA SUMBER DAYA LAUT

Disusun oleh:
Nama : Sofia Yogi Rahmani
NIM : 15/382422/GE/08192

PROGRAM STUDI PEMBANGUNAN WILAYAH


DEPARTEMEN GEOGRFI PEMBANGUNAN
FAKULTAS GEOGRAFI
UNIVERSITAS GADJAH MADA
2018
KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT PESISIR DALAM MENGELOLA SUMBER
DAYA LAUT

Sofia Yogi Rahmani


15/382422/GE/08192

Setiap masyarakat, khususnya masyarakat pedesaan, biasanya memiliki tradisi-tradisi


tertentu yang bersumber dari kearifan lokal. Kearifan lokal dimaknai sebagai ‘entitas yang sangat
meenentukan harkat dan martabat manusia dalam komunitasnya’. Kearifan lokal dimaknai pula
sebagai perilaku masyarakat yang mentradisi, karena didasari oleh nilai-nilai yang diyakini
kebenarannya (Geertz dalam Ernawi, 2010 dan Maryani,2011 dalam Basyari, 2014). Selain bernilai
tradisi, kearifan lokal ini secara tidak langsung juga berperan serta dalam menjaga sumber daya
alam di wilayah pedesaan. Bentuk kearifan lokal ini biasanya berupa peraturan atau pantangan-
pantangan dalam memanfaatkan sumber daya alam pada waktu-waktu tertentu. Tujuannya adalah
agar sumber daya alam memiliki waktu untuk regenerasi agar tetap lestari.

Berbagai bentuk kearifan lokal juga dapat ditemukan di kawasan pesisir dan pulau-pulau
kecil di Indonesia. Terdapat banyak sekali ragam kearifan lokal di berbagai daerah, salah satunya
adalah tradisi Nyabis dan Tellasan yang dilakukan oleh masyarakat Kabupaten Situbondo. Nyabis
merupakan tradisi yang dilakukan oleh hampir seluruh masyarakat lokal di daerah tersebut dengan
tujuan mendapatkan barokah dari para kyai. Pelaksanaan tradisi ini dilakukan pada hari Jumat di
mana Kyai libur mengajar dan nelayan juga berhenti melaut. Adapun tradisi Tellasan (hari raya)
mewajibkan masyarakat untuk berhenti melaut terhitung sejk H-3 hari raya hingga H+3 hari raya
(Ramadhanita, 2017).

Bentuk kearifan lokal yang lebih kompleks dapat djumpai di wilayah pesisir Aceh, yang
melibatkan peran lembaga adat di dalamnya. Menurut Puspita (tt) Lembaga adat tersebut dikenal
degan nama Panglima Laot. Panglima Laot telah ada sejak zaman Sultan Iskandar Muda (1607-
1636 M), bertugas dalam memberdayakan ekonomi kawasan serta menjaga pertahanan dan
keamanan laut. Wilayah kekuasaan Panglima Laot meliputi bineh pasie, leun pukat, kuala,teupien,
dan laot luah atau tepi pantai, kawasan tarik pukat darat, tepian pendaratan perahu, dan laut lepas.
Panglima Laot dalam menjalankan tugasnya berpegang teguh pada hukum adat. Salah satu
penerapan hukum adat ini adalah dillindunginya bak aron (pohon cemara) yang berperan sebagai
jalur hijau. Barang siapa menebang pohon cemara tersebut maka akan dikenai sanksi adat. Akan
tetapi saat ini hukum tersebut kurang diperhatikan lagi. Terdapat pula tradisi-tradisi berupa kenduri
adat laut dan hari pantang laut. Nelayan yang melanggar pantang laut akan dikenai sanksi berupa
disitanya seluruh hasil tangkapan dan larangan melaut sekurang-kurangnya tiga hari dan selama-
lamanya tujuh hari. Kenduri adat laut dilaksanakan minimal tiga kali setahun atau berdasarkan
kesepakatan nelayan setempat. Selama tiga hari terhitung sejak matahari terbit pada hari kenduri
hingga matahari tenggelam pada hari ketiga, nelayan dilarang melaut. Selain itu, adapula hari-hari
tertentu di mana nelayan tidak diperbolehkan melaut, di antaranya:

- Nelayan dilarang melaut sejak tenggelam matahari pada hari Kamis hingga terbenam
matahari pada hari Jumat
- Dua hari di hari Raya Idul Fitri
- Tiga hari di hari Raya Idul Adha
- Sehari di hari Kemerdekaan 17 Agustus (dihitung sejak tenggelam matahari tanggal 16
Agustus hingga terbenam matahari tanggal 17 Agustus)
- Sehari pada tanggal 26 Desember dalam rangka memperingati perstiwa tsunami 2004

Terdapat pula Adat Pemeliharaan Lingkongan Laot yang masih ditaati oleh masyarakat
nelayan. Adat tersebut berisi larangan-larangan bagi masyarakat nelayan untuk mengambil ikan
dan biota laut dengan cara yang merusak (bom, racun, bius, dan lain-lain), menebang pohon di
pesisir laut, menangkap ikan/iota yang dilindi, menggunakan jarring di area terumbu karang, dan
adanya pengaturan penangkapan ikan yang bertanda. Semua hukum adat ini memiliki tujuan agar
kelestarian biota laut tetap terjaga, sehingga masyarakat dapat terus memperoleh manfaatnya secara
optimal. (Puspita, tt)

Masyarakat pesisir di Kutai Timur juga memiliki kearifan lokal berupa kepercayaan,
pantangan, dan aturan dalam melaut. Mereka melakukan upacara adat atau selamatan kampung
saat pertama kali menggunakan perahu dan mesin. Mereka juga menganut pantangan untuk tidak
melaut pada hari Jumat dan tidak menangkap hiu tutul. Adapun beberapa peraturan yang bertujuan
untuk menjaga kelestarian sumber daya laut di antaranya adanya kelembagaan adat yang berperan
dalam mengelola dan memanfaatkan sumber daya perikanan serta kesepakatan penentuan wilayah
tangkapan dan jenis alat tangkap yang diperbolehkan untuk wilayah perairan tertentu (Juliani,
2015)
Daftar laman:

Ramadhanita, Rizki Arum. 2017. Kearifan Lokal Masyarakat di Kawasan Pesisir Kabupaten
Situbondo. Diakses dari
https://www.kompasiana.com/rizkiarum/5a0141c09b1e670b4679ec52/kearifan-lokal-
masyarakat-di-kawasan-pesisir-kabupaten-situbondo

Daftar Pustaka:

Basyari, Iin Wariin. 2014. Nilai-nilai Keartifan Lokal (Local Wisdom) Tradisi Memitu pada
Masyarakat Cirebon (Studi Masyarakat Desa Setupatok Kecamatan Mundu). Jurnal
Edunomic Volume 2 No 1 Tahun 2014.

Juliani. 2015. Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Berbasis Kearifan Lokal di Wilayah Pesisir
Kabupaten Kutai Timur. Jurnal ZIRAA’AH Vol 40 No1, Febrari 2015 Hal 8-17.

Puspita, Maya. Tt. Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Smber Daya Pesisir dan Laut. Hukum Adat
Laot dan Lembaga Panglima Laot di Nanggroe Aceh Darussalam. Jurnal Universitas
Diponegoro.

Anda mungkin juga menyukai