Anda di halaman 1dari 11

Suluah, Vol. 20, No.

2, Desember 2017

TRADISI PADA MASYARAKAT PESISIR


STUDI KASUS DI SUNGSANG, KABUPATEN BANYUASIN
PROVINSI SUMATERA SELATAN
Refisrul

Abstract
Every community has a tradition or habit in everyday life that is inherited from its
ancestors and so does a coastal community who inhabit seafront area whose main
earning is fisherman. One of the coastal communities who has a tradition in their lives
and still preserved until now is a coastal community in the area of Sungsang, District
of Banyuasin II, Banyuasin Regency of South Sumatra Province. Since long time,
local people have been known to own and maintain some traditions that still exist now
and need to be preserved. This study aims to identify the form of traditions that exist
in Sungsang community and its existence in today era. The method being used in this
research is qualitative commonly used in cultural studies through literature studies,
interviews and field observations. Some Sungsang community’s distinctive traditions
are njerambaken, midang, enliven the night, store and use gold for women, and usher
the pilgrims. Various traditions show a coastal community has a unique tradition that
reflects the nobility of the culture.
Keywords: Tradition, Coastal Community, Fishermen

Pendahuluan pesisir secara turun temurun. Kusnadi (2009),


Masyarakat pesisir adalah kelompok menyebutkan bahwa masyarakat nelayan
orang yang tinggal di daerah pesisir (pantai) adalah masyarakat yang hidup, tumbuh dan
dan sumber kehidupan perekonomiannya berkembang di kawasan pesisir, yakni suatu
bergantung secara langsung dari pemanfaatan kawasan antara wilayah darat darat dan laut.
sumber daya laut dan pesisir. Masyarakat Identifikasi masyarakat pesisir sebagai
pesisir sebagai sekelompok manusia yang masyarakat nelayan bisa difahami karena
secara relatif mandiri, cukup lama hidup kondisi lingkungan yang berada di pesisir
bersama, mendiami suatu wilayah pesisir, pantai, dan apabila berbicara tentang
memiliki kebudayaan yang sama, yang masyarakat pesisir maka yang terbayang
identik dengan alam pesisir, dan melakukan adalah kehidupan nelayan dengan segala
kegiatan didalam kelompok tersebut (Zein, karakteristiknya. Oleh karen anya,
2002: 6). masyarakat nelayan merupakan unsur sosial
Aktifitas ekonomi yang dilakukan oleh yang sangat pentin g dalam struktur
masyarakat pesisir turun temurun adalah masyarakat pesisir, dan kebudayaan yang
sebagai nelayan (menangkap ikan), yang mereka miliki mewarnai karakteristik
merupakan pekerjaan tradisional masyarakat kebudayaan atau perilaku sosial budaya

89
Suluah, Vol. 20, No. 2, Desember 2017

masyarakat pesisir secara umum. kesehariannya masih terikat kuat dengan


Masyarakat pesisir, sebagaimana kebiasaan tradisional (tradisi) yang masih
masyarakat lainnya, memiliki tradisi atau tetap terpelihara sampai sekarang, seperti
kebiasaan sosial budaya yang diwarisi secara adat perkawinan, turun mandi, khitanan,
turun temurun dari leluhurnya. Tradisi atau kematian, dan lainnya. Disamping itu,
kebiasaan tersebut menjadi cerminan dari terdapat pula beberapa tradisi atau kebiasaan
budaya yang dimiliki oleh masyarakat pesisir khas, yakni njerambaken, midang lebaran,
(nelayan), yang mungkin tidak ditemukan meramaikan malam, memakai perhiasan bagi
pada masyarakat lain. Kondisi alam tempat wanita, dan mengantar orang naik haji.
tinggalnya yang dekat dengan laut dan Tradisi-tradisi ini mencerminkan kekayaan
kehidupan sebagai nelayan, ikut budaya masyarakat setempat dan dalam
mempengaruhi aktifitas sehari-harinya, lingkup luas masyarakat pesisir di Indonesia
termasuk adat dan kebiasaan yang telah umumnya. Sehubungan dengan itu, tulisan ini
berlaku sejak dahulu. Adat atau kebisaan difokuskan tentang aneka tradisi yang
(tradisi) yang terdapat pada masyarakat terdapat pada masyarakat Sungsang tersebut.
pesisir merupakan kekayaan budaya yang
perlu dan menarik untuk diketahui dan Kerangka Pemikiran
diupayakan kelestariannya. Hal yang terakhir Setiap masyarakat (suku bangsa),
ini menjadi lebih penting karena masyarakat sebagaimana diketahui, memiliki seperangkat
pesisir (nelayan) terbilang akrab dengan aturan yang mengatur pola kehidupannya
kemiskinan dan keterbelakangan. Dengan sehari-hari atau yang lazim dikenal sebagai
mengetahui kebiasaan atau aspek sosial kebudayaan. Kebudayaan merupakan
budaya masyarakat pesisir niscaya keseluruhan yan g kompleks, yan g di
memberikan pengetahuan tentang masyarakat dalamnya terkandung pen getahuan,
pesisir di Indonesia, serta untuk kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat
pemberdayaan masyarakat pesisir agar istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain
kehidupannya menjadi lebih baik.dan daerah yang didapat seseorang sebagai anggota
khususnya. masyarakat. Menurut Koentjaraningrat
Salah satu masyarakat pesisir (nelayan) (1979; 193), kebudayaan adalah keseluruhan
di Indonesia yang memiliki tradisi khas sistem gagasan, tindakan dan hasil karya
adalah masyarakat Sungsang di pesisir timur manusia dalam rangka kehidupan masyarakat
Provinsi Sumatera Selatan, yang terletak di yang dijadikan milik diri manusia dengan
muara pertemuan antara sungai Musi dan belajar. Dalam pengertian kh usus,
Selat Ban gka. Daerah Sungsang ini kebudayaan adalah suatu model pengetahuan
merupakan daerah kantong perikanan utama yang dijadikan pedoman atau pegangan oleh
di Sumatera Selatan, dan dikenal juga sebagai manusia untuk bersikap atau bertindak dan
perkampungan nelayan yang cukup ramai beradaptasi dalam mengh adapi
sejak dahulu. 1 Mayoritas masyarakat lingkungannya untuk dapat melangsungkan
Sungsang bermata pencaharian sebagai kehidupannya (Suparlan, 1983: 67).
nelayan (menangkap ikan di laut), dan dalam Sebuah kebudayaan besar biasanya

1
Pemerintah Kabupaten Banyuasin bakal menjadikan kawasan Sungsang di Kecamatan Banyuasin II, sebagai
kawasan wisata, sehingga nantinya jika sudah terwujud akan banyak wisatawan lokal dan mancanegara berkunjung,
serta. Sungsang diimpikan sebagai kota tepian air (Sungsang Water Front City) di masa mendatang. Hal itu
disebabkan Sungsang juga dikenal dengan pemandangan alam yang indah, ditandai dengan pemukiman nelayan
di sepanjang pantai dan rumah panggung yang menghiasinya. (Sumber: Sumatera Ekspres, Rabu, 12 November
2014).

90
Suluah, Vol. 20, No. 2, Desember 2017

memiliki sub-kebudayaan, yaitu sebuah lain. Hal ini sebagai hasil interaksi mereka
kebudayaan yang memiliki sedikit perbedaan dengan lingkungan beserta sumber daya alam
dalam hal perilaku dan kepercayaan dari yang ada di dalamnya.
kebudayaan induknya. Munculnya sub-kultur Kebudayaan masyarakat pesisir
disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya diantaranya terwujud dengan berbagai tradisi
karena perbedaan umur, ras, etnisitas, kelas, dalam kehidupannya sehari-hari, yang
aesthetik, agama, pekerjaan, pandangan merupakan warisan dari leluhurnya. Adat dan
politik dan gender. Kebudayaan juga tradisi itu sesungguhnya merupakan sistem
ditentukan oleh lingkungan tempat tinggal nilai yang berlaku pada suatu masyarakat.
dari masyarakat bersangkutan, seperti pesisir, Pada masyarakat pesisir, pembentukan sistem
pedalaman dan lainnya. Masyarakat yang nilai budaya itu tentunya terkait dengan
tinggal di pedesaan cenderung memiliki aktifitas dalam berh ubungan dengan
budaya yang berbeda dengan masyarakat sesamanya yang menghasilkan ragam
yang tin ggal di perkotaan, dan lain aktifitas budaya (tradisi), dan menjadi acuan
sebagainya. Demikian pula, setiap komuniti dalam kehidupan sehari-hari. Sistem nilai
(masyarakat), pada dasarnya memiliki itulah yang menjadi dasar terbentuknya aneka
kemampuan untuk beradaptasi dengan tradisi yang menunjukkan identitas khas
lingkungan hidupnya yang selalu berubah. masyarakat pesisir itu. Kebiasaan suatu
Masyarakat pesisir, secara teoritis masyarakat yang diwarisi dari generasi
merupakan masyarakat yang tinggal dan sebelumnya lazim juga disebut dengan tradisi
melakukan aktifitas sosial ekonomi yang (tradition).
terkait dengan sumberdaya wilayah pesisir Secara umum, tradisi dianggap sebagai
dan laut. Masyarakat pesisir sebagai suatu suatu kebiasaan dari kelompok masyarakat
komunitas memiliki kebudayaan sendiri yang pendukung kebudayaan yang penyebaran dan
lazim dengan kebudayaan pesisir. Mereka pewarisannya secara turun temurun. Dalam
memiliki sistem gagasan, tindakan dan hasil Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995)
karya man usia yang berbeda dengan diartikan sebagai kebiasaan turun temurun
masyarakat lain seperti petani, masyarakat yang masih dijalankan dalam masyarakat.
kota atau pedesaan, dan lainnya. Menurut Istilah tradisi kadang-kadang digunakan
Geertz (1981), ketergantungan masyarakat sebagai padanan bagi istilah kebudayaan
terhadap sektor kelautan ini memberikan khususnya mengenai “kebudayaan tradisoinal
identitas tersendiri sebagai masyarakat pesisir sehari-hari’ atau “kebudayaan rakyat” (folk
dengan pola hidup yang dikenal sebagai culture). Hal yang paling mendasar dari
kebudayaan pesisir. Ginkel (dlm Kusnadi; tradisi adalah adanya informasi yang
2010), menyebutkan bahwa kebudayaan diteruskan dari generasi ke generasi baik
nelayan berpen garuh besar terhadap tertulis maupun (sering kali) lisan, karena
terbentuknya iden titas kebudayaan tanpa adanya ini, suatu tradisi dapat punah.
masyarakat pesisir secara keseluruhan. Bertitik tolak dari hal diatas, difahami
Dilihat dari perspektif antropologis, bahwa suatu tradisi berhubungan dengan
masyarakat n elayan berbeda dengan kebiasaan pada suatu komunitas (masyarakat)
masyarakat lain2. Perspektif antropologis ini yang telah berlangsung sejak lama (turun
didasarkan pada realitas sosial bahwa temurun) dan berkaitan dengan aktifitas
masyarakat nelayan memiliki pola-pola bersama masyarakat. Tradisi atau kebiasaan
kebudayaan yang berbeda dari masyarakat tersebut pada dasarnya merupakan cerminan

2
Perspektif antropologis adalah suatu perspektif atau pendekatan untuk memahami masyarakat dan kebudayaan.

91
Suluah, Vol. 20, No. 2, Desember 2017

budaya masyarakatnya yang dipelajari dan mendapatkan kesinambungan dan kedalaman


diwariskan pada generasi selanjutnya. dalam memperoleh data. Cara analisis data
Keberadaan tradisi itu sekaligus memperkuat kualitatif menurut Milles dan Huberman
persatuan dan kesatuan komunitas tersebut, (dalam Bungin: 2003) dalam penelitian
yang dalam kehidupan sehari-hari saling adalah melalui tiga tahap yaitu :
membantu agar suatu pekerjaan dapat a. Reduksi data diartikan sebagai proses
diselesaikan dengan baik dan cepat. Suatu pemilihan pemusatan perhatian pada
tradisi pada hakikatnya mempunyai peran dan penyederhanaan, pengabstrakan dan
fungsi nilai budaya dalam kehidupan transformasi data “kasar” yang muncul
manusia, yang menjadi acuan bagi dari catatan tertulis di lapangan atau
masyarakat untuk bertingkah laku sesuai mempertegas selama pelaksanaan
kebudayaan yang diembannya. penelitian. Reduksi data dilakukan dari
hasil pengamatan dan wawancara
Metode dengan informan yang dilakukan
Kajian tentang tradisi pada masyarakat dengan cara menyusun dan
pesisir (nelayan ) di Sungsan g ini memberikan kategori pada tiap-tiap
menggunakan pendekatan kualitatif, yang pertanyaan reduksi data berlangsung
berusaha menjelaskan realitas sosial yang secara terus menerus selama penelitian.
pada masyarakat tersebut. Pendekatan Setelah data terkumpul maka data
kualitatif diartikan sebagai prosedur tersebut diseleksi, diolah, dipilih,
penelitian yang menghasilkan data deskriptif disederhanakan, difokuskan, dan
berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang- mengubah data kasar kedalam catatan
orang dan prilaku yang dapat diamati lapangan.
(Moleong, 1998: 3). Dipilihnya pendekatan b. Display data atau penyajian data,
kualitatif untuk mendapatkan informasi yang setelah melakukan reduksi data maka
lebih mendalam dan komprehensif tentang peneliti melakukan pengelompokan
masyarakat bersangkutan, khususnya aneka data secara tersusun agar memudahkan
tradisi yang dimilikinya. Data dan informasi peneliti untuk melihat gambaran secara
ditelusuri seluas-luasnya dan sedalam keseluruhan atau bagian -bagian
mungkin sesuai dengan variasi yang ada, tertentu dari penelitian. Setelah
sehingga dengan cara demikian peneliti dilakukan penelitian dan pemberian
mampu mendeskripsikan fenomena secara kategori pada tiap-tiap pertanyaan
utuh (Burhan, 2003: 53). reduksi data, dan mengelompokkan
Pen gumpulan data dan informasi data tersebut sesuai dengan
dilakukan melalui beberapa teknik yang lazim permasalahan penelitian.
digunakan dalam penelitian kebudayaan c. Penarikan kesimpulan (verifikasi),
(kualitatif) yakni studi kepustakaan, merupakan kegiatan yang dilakukan
wawancara dan observasi di lapangan. Data setelah reduksi data dan penyajian data
yang telah terkumpul dianalisa sebagaimana sehingga akh irnya dapat ditarik
yang lazim suatu penelitian kualitatif dan kesimpulan. Dalam verifikasi/
dilakukan penganalisaan. Analisis data, penarikan kesimpulan berdasarkan
dilakukan terus menerus dengan pada informasi yang diperoleh di
menggunakan teknik interaktif analisis yang lapangan atau melakukan interpretasi
terdiri dari tiga tahap yakni reduksi data, data, sehingga dapat memberikan
display data dan verifikasi. Tujuan penjelasan dengan jelas dan akurat.
dipakainya analisis ini adalah untuk

92
Suluah, Vol. 20, No. 2, Desember 2017

Hasil dan Pembahasan saja. Penduduk Sungsang sebagian besar


Sekilas Daerah Sungsang beragama Islam dan dikenal sebagai
Sungsang, suatu daerah yang termasuk masyarakat yang taat beragama dan
dalam wilayah Kecamatan Banyuasin II menjalankan tradisi keagamaan dalam
Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera kehidupan sehari-h arin ya. Pen duduk
Selatan3, berhadapan langsung dengan Selat Sungsang tinggal mengelompok disepanjang
Bangka. Daerah ini berjarak sekitar 120 km pantai dan jalan, dan tidak ada batas yang
dari Pangkalan Balai (ibukota Kabupaten spesifik antar desa. Rumah-rumah panggung
Banyuasin), dan 115 km dari Kota Palembang yang berjejer sepanjang pantai dan jalan
(ibukota Provinsi Sumatera Selatan). saling berdekatan, bah kan ada yang
Sun gsang dapat ditempuh dari Kota dindingnya menjadi satu atau berhimpitan.
Palembang dengan transportasi darat dan air Sebagian besar rumah menggunakan bahan
(Sungai Musi). Secara administratif daerah dari kayu, atap seng, dinding dan lantai dari
Sungsang terdiri dari 5 (lima) desa yakni Desa papan. Jarang terlihat rumah terbuat dari batu,
Sun gsang 1, Desa Sungsang 2, Desa rata-rata rumah bangunan kayu yang sudah
Sungsang 3, Desa Sungsang 4, dan Desa menghitam dimakan usia. Setiap rumah hanya
Marga Sungsang. Dahulunya, kelima desa ini memiliki beberapa ruangan yakni ruang tamu,
merupakan satu kampung (dusun) yakni ruang tengah dan beberapa kamar, dan secara
kampung Sungsang atau marga Sungsang. umum masih tergolong sederhana.
Penduduk Sungsang tergolong heterogen Di Sungsang, boleh dikatakan cukup
karena terdiri dari beberapa suku bangsa, susah mencari tan ah atau tempat
dengan penduduk aslinya adalah orang menguburkan orang yang meninggal karena
(marga) Sungsang4 yang telah menempati umumnya tanah berawa, dan sering pasang
wilayah ini sejak bad ke 17. 5 Penduduk air laut. Ketika air naik (pasang naik), makam
pendatang antara lain berasal dari Jawa, atau kuburan itu akan tergenang air, dan
Palembang (Ogan dan Komering), Bugis, ketika pasang surut kadangkala makam ikut
Minang dan lainnya. Sekarang ini mereka hanyut atau berubah letak. Sehingga, untuk
sudah berasimilasi (membaur) dalam mengatasi itu masyarakat setempat
kehidupan sehari-hari, dan menggunakan peti kayu dari jenis kayu
mengidentifikasikan dirinya sebagai orang unglen sebagai tempat mayat yang ditanam
Sungsang. pada tanah rawa tersebut. Kayu unglen yang
Sebagian besar penduduk Sungsang berat dan kuat itu bisa menahan makam dari
bekerja sebagai nelayan (manangkap ikan di arus pasang air laut. Disamping itu, kawasan
laut) sejak dahulu hingga sekarang, yang pemukiman Sungsang biasa dengan babi
biasa juga disebut dengan “melaut” atau yang berkeliaran terutama kolong rumah,
“berkarang” oleh masyarakat setempat. Jenis babi dibiarkan berkeliaran karena tidak
pekerjaan lain nya adalah mengambil mengganggu pada kehidupan masyarakat
mengambil daun dan pucuk nipah, sedangkan setempat walaupun babi terbilang haram
berkebun dan berladang padi hanya segelintir menurut ajaran agama Islam.

3
Kabupaten Banyuasin dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 6 tahun 2002 yang merupakan pemekaran
dari Kabupaten Musi Banyuasin.
4
Merga adalah kesatuan hidup masyarakat Sum atera Selatan yang sekaligus sebagau unit pemerintahan dengan
dipimpin oleh seorang pesirah. Daerah Sungsang dahulunya merupakan satu marga yang berkedudukan di Desa
Sungsang 2 sekarang.
5
Penduduk yang mendiami Sungsang juga sering disebut Suku “orang laut” mungkin karena mereka biasa hidup
dan berkembang di daerah pinggir sungai atau laut.

93
Suluah, Vol. 20, No. 2, Desember 2017

Daerah Sungsang sudah dikenal sejak orang dari kelompok yang sama. 7 Setelah
dahulu sebagai salah satu perkampungan menikah, seorang suami akan tinggal di
nelayan di Provinsi Sumatera Selatan, namun lingkungan kerabat isterinya, atau bersifat
tidak diketahui secara pasti tentang kapan matrilokal (uxorilokal). Ada kalanya atas
mulai didiami. Orang yang mula-mula pertimbangan dan persetujuan kedua belah
mendiami daerah ini dan keturunananya pihak, bisa saja seorang isteri bertempat
disebut dengan marga Sungsang. H. Nafian, tinggal di lingkungan kerabat suaminya.
tokoh masyarakat Sungsang, menyebutkan Namun, yang umum biasanya adalah seorang
bahwa adanya perkampungan di Sungsang suami akan menetap di lingkungan kerabat
dipelopori oleh Sunan Paluwo, yang berasal isterinya (matrilokal). Hubungan antara
dari Jawa Tengah. Pada saat berada di orang-orang sekerabat terjalin erat dan
Kerajaan Palembang Darussalam, Sunan ditan dai dengan adan ya aturan yang
Paluwo ditugasi untuk mendirikan suatu pos menentukan bagaimana seseorang bersikap
penjagaan untuk menginventarisir kapal- (tatakrama) pada kerabatnya itu, baik muda
kapal Belanda (VOC) yang masuk di Muara maupun tua.
Sungai Musi. Dia mendirikan kampung yang Penduduk Sungsang, masih teguh
kemudian dikenal sebagai Sungsang sekarang melaksanakan adat istiadat dan tradisi dalam
yang sebelumnya merupakan daratan rawa. kehidupan sehari-hari. Mereka dikenal
Orang-orang tersebutlah dikenal sebagai memiliki adat/tradisi yang khas, ditandai
cikal bakal orang Sungsang (nenek moyang). dengan pelaksanaan tradisi yang diwarisi dari
Dalam perkembangan kemudian, kampung generasi sebelumnya secara turun temurun.
Sungsang semakin ramai dan banyak Adat perkawinan (ngantenan) masyarakat
pendatang dari daerah lain seperti Bugis, Sungsang biasa juga disebut basengi
Jawa, Minang, Palembang dan lain-lain. 6 beberapa 17 tahapan yang masih berlaku
Sistem kekerabatan masyarakat sekarang ini yakn i mabad lurung,
Sungsang pada dasarnya mirip dengan orang beterengan, membuat tarub, nibuh kerbau,
Palembang yakni berdasarkan garis ayah majang (memotong kerbau), ngantar belanja,
(patrilinial). Orang-orang yang berasal dari serah-serahan, akad nikah, ngarak pacar,
keturunan yang sama biasa disebut dengan ngundah pengantin, tamat kaji (katam
sepuyang, atau puyang. Pengelompokan Qur’an), doa selamat (nimbang), malam
yang lebih luas sekaligus mengatur tata resepsi, nyembah, layon (mandi bersama),
kehidupan bersifat pemerintahan adalah tunggu jero, dan malam petut8. Masyarakat
berupa marga yang menghimpun orang- Sungsang juga masih melaksanakan kegiatan

6
Berkaitan dengan penamaan daerah ini dengan Sungsang, terdapat beberapa versi yang berkembang. Ada versi
yang mengatakan kata “sungsang” berasal dari kata terdampar (tersangsang), berdasarkan suatu kisah yang
terjadi dimasa lalu di daerah tersebut. Konon, pada zaman dahulu di daerah Banten (Jawa Barat) terdapat seorang
yang terkenal kesaktiannya yakni Demang Lebar Daun yang melakukan perjalanan ke arah Barat menyeberangi
Selat Sunda. Setelah beberapa lama berlayar, dia terdampar (tersangsang) di daerah pinggir pantai, dan daerah
tempat terdamparnya inilah yang sekarang dinamakan Sungsang, berasal dari kata sungsang (terdampar). Demang
Lebar Daun bermukim disana serta memperistri putri dari Kerajaan Sriwijaya (Palembang) dan merupakan
“nenek moyang orang Sungsang”. Versi lain menyebutkan bahwa ditempat itu bila terjadi pasang air akan mengalir
ke hulu, sehingga air terkesan menyungsang atau menantang arus (sungsang), sehingga dinamakanlah daerah
tersebut dengan “Sungsang” sampai sekarang. Ada juga yang menamakan tempat ini dengan pulau Percul namun
istilah ini tidak populer sehingga arti dan maksud Percul itu sendiri tidak banyak yang tahu.
7
Marga merupakan pemerintahan yang berlaku sejak kesultanan Palembang sampai keluarnya Undang-undang
No. 5 tahun 1979 tentang Sistem Pemerintahan Desa, sebagai dasar hukum penghapusan pemerintahan marga.
Sebuah marga dipimpin oleh seorang pasirah yang membawahi beberapa dusun (kampung).
8
Wawancara dengan H. Nafian, tokoh masyarakat Sungsang.

94
Suluah, Vol. 20, No. 2, Desember 2017

yang berhubungan dengan kepercayaan/gaib banyak banyak berada di rumahny. Pengantin


seperti tradisi ratipan yang berlangsung pada lama itu dia sengaja diundang oleh pengantin
malam hari (jam 3 pagi) dan dipimpin oleh baru dan akan memberikan amplop berisi
seorang khatib, serta upacara yang berkaitan uang bantuan untuk orangtua pengantin laki-
dengan keagamaan yakni Isr’ Mi”raj, Maulud laki yang akan menikah, dan kemudian
Nabi, Nuzul Qur’an dan lainnya. Tradisi- dijamu makan di rumah mempelai laki-laki.
tradisi tersebut merupakan kekayaan budaya Sesudah makan, pengantin perempuan
masyarakat Sungsang yang sekaligus menjadi lama ikut mengarak pengantin baru pria ke
identitas budaya masyarakatnya. Walaupun rumah pengantin baru (perempuan) bersama
sibuk dengan kehidupan sebagai nelayan, sesepuh masyarakat, termasuk yang baru
mereka tetap melaksanakan tradisi-tradisi pulang h aji sehingga jumlah nya bisa
tersebut dalam kehidupan sehari-hari, sejak mencapai ribuan orang. Para suami pengantin
dahulu hingga sekarang. wanita lama tidak boleh ikut mengarak
pengantin laki-laki baru, hanya dibolehkan
Aneka Tradisi langsung kerumah pengantin baru perempuan
Masyarakat Sungsang juga memiliki dengan berpakaian jas.
beberapa tradisi yang telah berlangsung sejak
dahulu hingga sekarang dan terbilang unik 2. Midang
yang menjadi kekhasan budayanya, seperti Midang, secara harafiah berarti jalan-
adat njerambaken, midang, meramaikan jalan saling berkunjung satu sama lain
malam, memakai perhiasan emas bagi (silaturrahmi) dengan kerabat pada saat
perempuan, dan mengantar calon jemaah lebaran Idul Fitri dan Idul Adha. Tradisi ini
haji. Tradisi-tradisi tersebut mengandung sudah sejak dah ulu dilakukan oleh
nilai-nilai budaya masyarakat Sungsang dan masyarakat Sungsang (turun temurun) yang
menjadi kekayaan budayanya, sekaligus bertujuan untuk silaturrahmi (jalan-jalan)
identitas khas budaya sehari-hari. dengan kerabat dengan men gunjungi
keluarga tersebut (sanjo-sanjoan). Semua
1. Adat Njerambaken orang akan berkelilin g kampung,
Adat njerambaken adalah adat yang mengunjungi rumah kerabat dan tetangga
menetapkan pengantin perempuan yang untuk saling meminta maaf dan silaturrahmi
belum lama menikah menghadiri undangan lebaran. Hal yang unik dalam acara ini adalah
pengantin baru. Setiap pengantin perempuan setiap hari midang, masyarakat Sungsang
yang sudah menikah dibawah 1 tahun, secara akan berganti-ganti pakaian dari pagi sampai
adat harus hadir pada pada setiap acara siang dengan berpakaian beda.
sedekah perkawinan atau acara madik (mabat Sebelum tahun 1990, acara midang Idul
lurung) di Sungsang.. Pengantin perempuan Adha dilakukan masyarakat selama 7 (tujuh)
yang belum lama menikah tersebut akan hari, sama seperti midang Idul Fitri, dan
datang berhias diri dan berpakaian seperti sekarang hanya 3 (tiga) hari berturut-turut.
layaknya pengantin baru. Jika dia baru Terjadinya pengurangan hari tersebut, karena
beberapa hari menikah, biasanya muka dahulunya seseorang harus menyiapkan
pengantin tersebut akan ditutupi kain songket. pakaian baru sebanyak 14 stel setiap midang
Adat njerambaken ini memberikan Idul Adha, sekarang baik midang Idul Adha
kesempatan kepada pengantin-pengantin maupun midang Idul Fitri, cukup 6 (enam)
wanita yang belum lama menikah untuk stel saja. begitupun siang hingga sorenya.
dibolehkan keluar rumah, karena biasanya Pakaian baru pada waktu midang sudah
pengantin baru di Sungsang secara adat harus menjadi tradisi, sehingga bagi yang tidak

95
Suluah, Vol. 20, No. 2, Desember 2017

memiliki pakaian baru atau perhiasan, tidak masyarakat yang keluar rumah, dan semua
akan keluar rumah mengikuti midang karena orang lebih senang berdiam didalam rumah
merasa malu. dari pagi sampai sore dan pada malam hari
Adat midang ini sendiri pada hari-hari baru keluar rumah. Ramainya daerah
pertama dan kedua tidak terlalu ramai dan Sungsang pada waktu malam hari ditandai
baru pada hari ketiga barulah ramai yang dengan untuk lewat di pasar saja terasa susah,
ditandai dengan penuhnya jalan di Sungsang karena antara bahu orang-orang yang hadir
sepanjang 4,5 km oleh masyarakat setempat. saling bersentuhan karena begitu ramainya
Masyarakat setempat atau peserta midang orang keluar rumah untuk sekedar jalan-jalan.
berada di jalan (berjalan-jalan saja) dan saling Kaum perempuan di Sungsang akan ikut
bersilaturrahmi sesamanya. Disamping itu, keluar rumah pada malam hari dengan
sehari sebelum lebaran setiap rumah biasanya ditemani oleh suaminya, kakak atau orang
akan memasak ketupat, sayur opor ayam dan tuanya untuk belanja atau jalan-jalan di pasar
lapik. Kue lapik mirip kue bongkol/lemang Sungsang. Selain itu, mereka tidak akan
yang dibungkus dengan daun nipah), dan begitu tampak dilihat orang lain dan merasa
terbuat dari ketan tumbuk padat dikukus daun aman karena tidak akan mendapat gangguan
nipah dimasak seharian dan diberi abon oleh siapapun.
udang bercampur kelapa, sehari sebelum Pada malam hari di Sungsang, semua
lebaran untuk disajikan pada kerabat dan toko besar maupun kecil, toko makanan atau
tamu lainnya. Setelah bertamu dan bahan pokok lainnya, pedagang besar
silaturrahmi dengan sanak keluarga, tetangga maupun pedagang kaki lima, semuanya
dan kawan, kegiatan midang diisi dengan membuka kedai/tokon ya un tuk ikut
aktifitas jalan-jalan (berkumpul) tanpa tujuan. memeriahkan malam hari sebagai bagian
Adat midang juga mencerminkan warga untuk mencari rejeki. Dapat dikatakan,
Sungsang yang berhasil, dilihat dari aksesoris perputaran uang pada malam hari jauh lebih
perhiasan yang dipakai warga saat midang banyak ketimbang pada saat siang hari.
yakni memakai emas dalam jumlah besar, Waktu malam hari, daerah Sungsang sangat
khususnya oleh kaum perempuan yang sudah terang benderang diterangi lampu-lampu
kawin. Mereka mengeluarkan dan memakai listrik, apalagi bila dilihat dari laut Selat
semua perhiasan ini pada prinsipnya bukan Bangka dan Sungai Musi. Inilah bagian dari
untuk pamer harta atau bersombong diri, keindahan Sungsang dan menjadi wilayah
tetapi karena tuntutan adat/kebiasaan, serta tujuan wisata men arik di Kabupaten
untuk saling memberi semangat kepada satu Banyuasin. Suasana metropolis malam hari
sama lain agar lebih giat bekerja yang halalan di Sungsang ini sangat berbeda dengan kota/
toyiban. Pada masa dahulu midang diikuti kecamatan lain di Kabupaten Banyuasin, dan
oleh para orang tua, tetapi sekarang kegiatan Sumatera Selatan umumnya. Tidak ada yang
tersebut hanya dilakukan oleh para muda bisa menjelaskan secara pasti kenapa warga
mudi. disini lebih senang meramaikan malam
ketimbang siang, namun diduga kuat terkait
3. Meramaikan Malam. dengan pekerjaan para lelaki sebagai nelayan
Pada malam hari daerah (pasar) (melaut) yang selalu tidak pernah ada di
Sungsang, selalu ramai oleh masyarakatnya rumah pada waktu pagi sampai sore,
dibandingkan siang, dan kondisi ini sudah bahkanterkadang melaut berhari-hari.
berlangsung (lazim) sejak dahulunya. Hal itu
disebabkan siang h ari tidak banyak

96
Suluah, Vol. 20, No. 2, Desember 2017

4. Menyimpan dan Memakai Perhiasan setiap tahun (bulan haji). Menunaikan rukun
Emas Islam ke 5 tersebut, menjadi impian atau
Tradisi menyimpan dan memakai orientasi masyarakat Sungsang (nelayan) dan
perhiasan emas, merupakan kebiasaan kaum mereka akan mempersiapkannya dengan
perempuan Sungsang sejak dahulu (turun- bekerja keras dan menabung hasil usahanya
temurun). Kaum perempuan memakai emas sebagai bekal pergi (naik) haji ke tanah suci
berupa kalung, cincin, gelang dan lainnya Mekah. Selain itu, menjadi seorang haji,
merupakan hal yang biasa di Sungsang setiap merupakan kebanggaan , dan akan
harinya. Masyarakat Sungsang khususnya menin gkatkan martabatnya di tengah
para wanita lebih senang menyimpan uang masyarakatnya.
dan menyimpannya dalam bentuk perhiasan Beberapa hari sebelum keberangkatan
yang besar-besar. Pemandangan memakai calon jemaah haji untuk masuk karantina di
kalung emas sebesar 30 suku atau setara 201 Asrama Haji di Kota Palembang, mereka
gram bukan hal yang aneh di Sungsang, mengadakan selamatan di rumah masing-
bahkan perhiasan emas inipun menjadi masin g dengan men gun dang warga
aksesoris wajib sehari-hari bagi kaum sekampung. Begitupun, pada saat
perempuan di Sungsang. 9 Komalasari (2015), keberan gkatan ke Palemban g, warga
menyebutkan bahwa masyarakat Sungsang melepasnya secara bersama-sama dan ikut
terkenal sebagai masyarakat yang mengantar calon jemaah haji ke Asrama Haji
menjadikan emas sebagai sumber Palembang secara beriringan. Sekembalinya
keberhasilan10. dari Mekah, mereka pun dijemput dan
Memakai emas bagi perempuan mengadakan selamatan di rumahnya sebagai
merupakan kebiasaan dan menyangkut tanda bersyukur telah dapat melaksanakan
prestise bagi pemakai dan keluarganya. ibadah haji dengan baik.
Apalagi jika ada pesta perkawinan
(ngantenan), njerambaken, dan midang, Penutup
serta hari kalangan (pasar), hampir semua Masyarakat pesisir memang tidak bisa
perempuan dewasa memakai perhiasan emas dilepaskan dari kehidupan mereka sebagai
tersebut, ditandai dengan gelang emas dan nelayan (menangkap ikan dilaut) untuk
kalung berangkai-rangkai menghiasi ibu-ibu memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari,
yang pergi ke pesta (kenduri). Pemakaian termasuk masyarakat daerah Sungsang di
perhiasan emas secara terbuka bukan hal yang Sumatera Selatan.Umumnya masyarakat
menakutkan tetapi kebanggaan bagi kaum pesisir (nelayan) masih kuat memelihara
perempuan setempat. Walaupun demikian, kebiasaan tradisional dalam kehidupannya
jarang terjadi perampokan atau pencurian sehari-hari, yang terwujud dalam pelaksanaan
emas di Sungsang. upacara adat dan tradisi yang merupakan
warisan dari leluhur yang masih dilaksanakan
5. Pelepasan Calon Jemaah Haji sekarang ini.
Tradisi pelepasan orang yang naik haji Daerah Sungsang Selain itu, yang
ke Mekah adalah kegiatan mengantar atau merupakan salah satu “kampung nelayan” di
melepas calon jemaah haji dari Sungsang ke Sumatera Selatan memiliki beberapa tradisi
Palembang (embarkasi), yang berlangsung khas yang telah adasejak dahulu, dan menjadi

9
Dalam istilah setempat 1 suku sama dengan 6,7 gram
10
Artikel “Menantang Peluang di Perairan Sungsang” pada Koran Sindo tanggal 23 Oktober 2015,

97
Suluah, Vol. 20, No. 2, Desember 2017

kekayaan budaya setempat yang perlu Daftar Pustaka


diketahui dan diupayakan kelestariannya
Ali, Lukman. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
yakni adat njerambaken, midang,
Jakarta : Balai Pustaka. 1995.
meramaikan malam, menyimpan dan
Bun gin, Burhan, Analisis Data Penelitian
memakai emas bagi wanita, dan mengantar/
Kualitatif, Jakarta PT. Raja Grafindo
melepas calon jemaah haji. Aneka tradisi
Persada. 2003.
tersebut masih eksis pada masa sekarang ini,
Din as Parsenibud, Pemuda dan Olahraga
dalam kehidupan masyarakat setempat. Fakta
Kabupaten Banyu asin . Sejara h,
tersebut menunjukkan bahwa masyarakat
Khasanah Budaya Dan Profil Potensi
setempat masih kental dengan budaya Kab upaten Banyu asin . Pan gkalan
tradisional yang merupakan warisan dari Balai: Din as Parsenibud Kab.
leluhur dan masih dilaksanakan hingga Banyuasin. 2014.
sekarang. Geertz, Hildred. Aneka Budaya dan Komunitas
Masih eksisnya aneka tradisi itu pada di Indonesia. Jakarta; Yayasan Ilmu-
masyarakat Sungsang antara lain disebabkan ilmu Sosial dan FIS UI. 1981.
1) Ikatan kekerabatan yang masih kuat yang Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi.
ditandai oleh kuatnya rasa kekeluargaan, baik Jakarta: Aksara baru. 1979.
di dalam kerabat maupun di luar kerabat, 2) Kusnadi. Nelayan, Strategi Ad aptasi d an
Solidaritas dan rasa persatuan yang kuat Jaringan Sosial. Bandung; Humaniora
dalam masyarakat sejak dahulu hingga Utama Press. 2001.
sekarang, 3) Ketaatan beragama yang ……….. Kebudayaan Masyarakat Nelayan.
ditandai dengan pengamalan ajaran Islam Makalah. Disampaikan dalam
dalam kehidupan sehari-hari, dan 4) Sikap Kegiatan Jelajah Budaya tahun 2010,
terbuka terhadap pendatang dan pengaruh dengan tema “Ekspresi Budaya
luar yang diikuti dengan sikap akomodatif Masyarakat Nelayan di Pantai Utara
terhadap dinamika yang terjadi. Adat dan Jawa” yang diselenggarakan oleh
tradisi yang terdapat dalam masyarakat BPSNT Yogyakarta tanggal 12-15 Juli
Sun gsan g tersebut, seyogyanyalah 2010.
diupayakan kelestariannya karena merupakan Moleong, Lexy J . Metod ologi Penelitian
kekayaan budaya yang bernilai tinggi. Peran Kualitatif, Bandung : PT. Remaja
pemerintah dan tokoh masyarakat setempat Rosdakarya. 2004.
sangatlah pen ting agar tercapainya Mubyarto dkk. Nelayan dan Kemiskinan. Jakarta;
kelestarian tradisi tersebut dalam kehidupan Rajawali. 1984.
masyarakat Sungsang sekarang dan akan Purwanti, Bela Dewi, dan Kusuma Wulandari.
datang. Gaya Hidup Masyarakat Nelayan (The
Lifestyle of Fisherman Community).
Artikel Ilmiah Hasil Penelitian
Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Jember (UNEJ)
tahun 2013.
Riawanti, Selly. Meneliti Tradisi. Makalah.
Jakarta: Direktorat Tradisi dan
Kepercayaan. 2003.
Shri Ahimsa-Putra, Heddy. Peran dan Fungsi
Nilai budaya dalam Kehidupan
Manusia. Kertas Kerja/makalah.

98
Suluah, Vol. 20, No. 2, Desember 2017

Yogyakarta; Fakultas Ilmu Budaya


UGM. 2007.
Suparlan, Parsudi. Kemiskinan di Perkotaan.
Jakarta; Yayasan Obor Indonesia.
1983.
Supriharyono. Pelestarian dan Pengolahan
Sumber Daya Alam di Wilayah Pesisir
Tropis. Jakarta; Gramedia Pustaka
Utama. 2000.
Zein, Alfian. Potensi Pengembangan Ekonomi
Kelautan di Sumatera Barat. Makalah.
disampaikan pada Seminar Budaya
Pesisir dan Kondisi Potensi Kelautan
Sumatera3 Barat di Museum
Adityawarman Padang tanggal 29
Agustus 2002.

99

Anda mungkin juga menyukai