2, Desember 2017
Abstract
Every community has a tradition or habit in everyday life that is inherited from its
ancestors and so does a coastal community who inhabit seafront area whose main
earning is fisherman. One of the coastal communities who has a tradition in their lives
and still preserved until now is a coastal community in the area of Sungsang, District
of Banyuasin II, Banyuasin Regency of South Sumatra Province. Since long time,
local people have been known to own and maintain some traditions that still exist now
and need to be preserved. This study aims to identify the form of traditions that exist
in Sungsang community and its existence in today era. The method being used in this
research is qualitative commonly used in cultural studies through literature studies,
interviews and field observations. Some Sungsang community’s distinctive traditions
are njerambaken, midang, enliven the night, store and use gold for women, and usher
the pilgrims. Various traditions show a coastal community has a unique tradition that
reflects the nobility of the culture.
Keywords: Tradition, Coastal Community, Fishermen
89
Suluah, Vol. 20, No. 2, Desember 2017
1
Pemerintah Kabupaten Banyuasin bakal menjadikan kawasan Sungsang di Kecamatan Banyuasin II, sebagai
kawasan wisata, sehingga nantinya jika sudah terwujud akan banyak wisatawan lokal dan mancanegara berkunjung,
serta. Sungsang diimpikan sebagai kota tepian air (Sungsang Water Front City) di masa mendatang. Hal itu
disebabkan Sungsang juga dikenal dengan pemandangan alam yang indah, ditandai dengan pemukiman nelayan
di sepanjang pantai dan rumah panggung yang menghiasinya. (Sumber: Sumatera Ekspres, Rabu, 12 November
2014).
90
Suluah, Vol. 20, No. 2, Desember 2017
memiliki sub-kebudayaan, yaitu sebuah lain. Hal ini sebagai hasil interaksi mereka
kebudayaan yang memiliki sedikit perbedaan dengan lingkungan beserta sumber daya alam
dalam hal perilaku dan kepercayaan dari yang ada di dalamnya.
kebudayaan induknya. Munculnya sub-kultur Kebudayaan masyarakat pesisir
disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya diantaranya terwujud dengan berbagai tradisi
karena perbedaan umur, ras, etnisitas, kelas, dalam kehidupannya sehari-hari, yang
aesthetik, agama, pekerjaan, pandangan merupakan warisan dari leluhurnya. Adat dan
politik dan gender. Kebudayaan juga tradisi itu sesungguhnya merupakan sistem
ditentukan oleh lingkungan tempat tinggal nilai yang berlaku pada suatu masyarakat.
dari masyarakat bersangkutan, seperti pesisir, Pada masyarakat pesisir, pembentukan sistem
pedalaman dan lainnya. Masyarakat yang nilai budaya itu tentunya terkait dengan
tinggal di pedesaan cenderung memiliki aktifitas dalam berh ubungan dengan
budaya yang berbeda dengan masyarakat sesamanya yang menghasilkan ragam
yang tin ggal di perkotaan, dan lain aktifitas budaya (tradisi), dan menjadi acuan
sebagainya. Demikian pula, setiap komuniti dalam kehidupan sehari-hari. Sistem nilai
(masyarakat), pada dasarnya memiliki itulah yang menjadi dasar terbentuknya aneka
kemampuan untuk beradaptasi dengan tradisi yang menunjukkan identitas khas
lingkungan hidupnya yang selalu berubah. masyarakat pesisir itu. Kebiasaan suatu
Masyarakat pesisir, secara teoritis masyarakat yang diwarisi dari generasi
merupakan masyarakat yang tinggal dan sebelumnya lazim juga disebut dengan tradisi
melakukan aktifitas sosial ekonomi yang (tradition).
terkait dengan sumberdaya wilayah pesisir Secara umum, tradisi dianggap sebagai
dan laut. Masyarakat pesisir sebagai suatu suatu kebiasaan dari kelompok masyarakat
komunitas memiliki kebudayaan sendiri yang pendukung kebudayaan yang penyebaran dan
lazim dengan kebudayaan pesisir. Mereka pewarisannya secara turun temurun. Dalam
memiliki sistem gagasan, tindakan dan hasil Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995)
karya man usia yang berbeda dengan diartikan sebagai kebiasaan turun temurun
masyarakat lain seperti petani, masyarakat yang masih dijalankan dalam masyarakat.
kota atau pedesaan, dan lainnya. Menurut Istilah tradisi kadang-kadang digunakan
Geertz (1981), ketergantungan masyarakat sebagai padanan bagi istilah kebudayaan
terhadap sektor kelautan ini memberikan khususnya mengenai “kebudayaan tradisoinal
identitas tersendiri sebagai masyarakat pesisir sehari-hari’ atau “kebudayaan rakyat” (folk
dengan pola hidup yang dikenal sebagai culture). Hal yang paling mendasar dari
kebudayaan pesisir. Ginkel (dlm Kusnadi; tradisi adalah adanya informasi yang
2010), menyebutkan bahwa kebudayaan diteruskan dari generasi ke generasi baik
nelayan berpen garuh besar terhadap tertulis maupun (sering kali) lisan, karena
terbentuknya iden titas kebudayaan tanpa adanya ini, suatu tradisi dapat punah.
masyarakat pesisir secara keseluruhan. Bertitik tolak dari hal diatas, difahami
Dilihat dari perspektif antropologis, bahwa suatu tradisi berhubungan dengan
masyarakat n elayan berbeda dengan kebiasaan pada suatu komunitas (masyarakat)
masyarakat lain2. Perspektif antropologis ini yang telah berlangsung sejak lama (turun
didasarkan pada realitas sosial bahwa temurun) dan berkaitan dengan aktifitas
masyarakat nelayan memiliki pola-pola bersama masyarakat. Tradisi atau kebiasaan
kebudayaan yang berbeda dari masyarakat tersebut pada dasarnya merupakan cerminan
2
Perspektif antropologis adalah suatu perspektif atau pendekatan untuk memahami masyarakat dan kebudayaan.
91
Suluah, Vol. 20, No. 2, Desember 2017
92
Suluah, Vol. 20, No. 2, Desember 2017
3
Kabupaten Banyuasin dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 6 tahun 2002 yang merupakan pemekaran
dari Kabupaten Musi Banyuasin.
4
Merga adalah kesatuan hidup masyarakat Sum atera Selatan yang sekaligus sebagau unit pemerintahan dengan
dipimpin oleh seorang pesirah. Daerah Sungsang dahulunya merupakan satu marga yang berkedudukan di Desa
Sungsang 2 sekarang.
5
Penduduk yang mendiami Sungsang juga sering disebut Suku “orang laut” mungkin karena mereka biasa hidup
dan berkembang di daerah pinggir sungai atau laut.
93
Suluah, Vol. 20, No. 2, Desember 2017
Daerah Sungsang sudah dikenal sejak orang dari kelompok yang sama. 7 Setelah
dahulu sebagai salah satu perkampungan menikah, seorang suami akan tinggal di
nelayan di Provinsi Sumatera Selatan, namun lingkungan kerabat isterinya, atau bersifat
tidak diketahui secara pasti tentang kapan matrilokal (uxorilokal). Ada kalanya atas
mulai didiami. Orang yang mula-mula pertimbangan dan persetujuan kedua belah
mendiami daerah ini dan keturunananya pihak, bisa saja seorang isteri bertempat
disebut dengan marga Sungsang. H. Nafian, tinggal di lingkungan kerabat suaminya.
tokoh masyarakat Sungsang, menyebutkan Namun, yang umum biasanya adalah seorang
bahwa adanya perkampungan di Sungsang suami akan menetap di lingkungan kerabat
dipelopori oleh Sunan Paluwo, yang berasal isterinya (matrilokal). Hubungan antara
dari Jawa Tengah. Pada saat berada di orang-orang sekerabat terjalin erat dan
Kerajaan Palembang Darussalam, Sunan ditan dai dengan adan ya aturan yang
Paluwo ditugasi untuk mendirikan suatu pos menentukan bagaimana seseorang bersikap
penjagaan untuk menginventarisir kapal- (tatakrama) pada kerabatnya itu, baik muda
kapal Belanda (VOC) yang masuk di Muara maupun tua.
Sungai Musi. Dia mendirikan kampung yang Penduduk Sungsang, masih teguh
kemudian dikenal sebagai Sungsang sekarang melaksanakan adat istiadat dan tradisi dalam
yang sebelumnya merupakan daratan rawa. kehidupan sehari-hari. Mereka dikenal
Orang-orang tersebutlah dikenal sebagai memiliki adat/tradisi yang khas, ditandai
cikal bakal orang Sungsang (nenek moyang). dengan pelaksanaan tradisi yang diwarisi dari
Dalam perkembangan kemudian, kampung generasi sebelumnya secara turun temurun.
Sungsang semakin ramai dan banyak Adat perkawinan (ngantenan) masyarakat
pendatang dari daerah lain seperti Bugis, Sungsang biasa juga disebut basengi
Jawa, Minang, Palembang dan lain-lain. 6 beberapa 17 tahapan yang masih berlaku
Sistem kekerabatan masyarakat sekarang ini yakn i mabad lurung,
Sungsang pada dasarnya mirip dengan orang beterengan, membuat tarub, nibuh kerbau,
Palembang yakni berdasarkan garis ayah majang (memotong kerbau), ngantar belanja,
(patrilinial). Orang-orang yang berasal dari serah-serahan, akad nikah, ngarak pacar,
keturunan yang sama biasa disebut dengan ngundah pengantin, tamat kaji (katam
sepuyang, atau puyang. Pengelompokan Qur’an), doa selamat (nimbang), malam
yang lebih luas sekaligus mengatur tata resepsi, nyembah, layon (mandi bersama),
kehidupan bersifat pemerintahan adalah tunggu jero, dan malam petut8. Masyarakat
berupa marga yang menghimpun orang- Sungsang juga masih melaksanakan kegiatan
6
Berkaitan dengan penamaan daerah ini dengan Sungsang, terdapat beberapa versi yang berkembang. Ada versi
yang mengatakan kata “sungsang” berasal dari kata terdampar (tersangsang), berdasarkan suatu kisah yang
terjadi dimasa lalu di daerah tersebut. Konon, pada zaman dahulu di daerah Banten (Jawa Barat) terdapat seorang
yang terkenal kesaktiannya yakni Demang Lebar Daun yang melakukan perjalanan ke arah Barat menyeberangi
Selat Sunda. Setelah beberapa lama berlayar, dia terdampar (tersangsang) di daerah pinggir pantai, dan daerah
tempat terdamparnya inilah yang sekarang dinamakan Sungsang, berasal dari kata sungsang (terdampar). Demang
Lebar Daun bermukim disana serta memperistri putri dari Kerajaan Sriwijaya (Palembang) dan merupakan
“nenek moyang orang Sungsang”. Versi lain menyebutkan bahwa ditempat itu bila terjadi pasang air akan mengalir
ke hulu, sehingga air terkesan menyungsang atau menantang arus (sungsang), sehingga dinamakanlah daerah
tersebut dengan “Sungsang” sampai sekarang. Ada juga yang menamakan tempat ini dengan pulau Percul namun
istilah ini tidak populer sehingga arti dan maksud Percul itu sendiri tidak banyak yang tahu.
7
Marga merupakan pemerintahan yang berlaku sejak kesultanan Palembang sampai keluarnya Undang-undang
No. 5 tahun 1979 tentang Sistem Pemerintahan Desa, sebagai dasar hukum penghapusan pemerintahan marga.
Sebuah marga dipimpin oleh seorang pasirah yang membawahi beberapa dusun (kampung).
8
Wawancara dengan H. Nafian, tokoh masyarakat Sungsang.
94
Suluah, Vol. 20, No. 2, Desember 2017
95
Suluah, Vol. 20, No. 2, Desember 2017
memiliki pakaian baru atau perhiasan, tidak masyarakat yang keluar rumah, dan semua
akan keluar rumah mengikuti midang karena orang lebih senang berdiam didalam rumah
merasa malu. dari pagi sampai sore dan pada malam hari
Adat midang ini sendiri pada hari-hari baru keluar rumah. Ramainya daerah
pertama dan kedua tidak terlalu ramai dan Sungsang pada waktu malam hari ditandai
baru pada hari ketiga barulah ramai yang dengan untuk lewat di pasar saja terasa susah,
ditandai dengan penuhnya jalan di Sungsang karena antara bahu orang-orang yang hadir
sepanjang 4,5 km oleh masyarakat setempat. saling bersentuhan karena begitu ramainya
Masyarakat setempat atau peserta midang orang keluar rumah untuk sekedar jalan-jalan.
berada di jalan (berjalan-jalan saja) dan saling Kaum perempuan di Sungsang akan ikut
bersilaturrahmi sesamanya. Disamping itu, keluar rumah pada malam hari dengan
sehari sebelum lebaran setiap rumah biasanya ditemani oleh suaminya, kakak atau orang
akan memasak ketupat, sayur opor ayam dan tuanya untuk belanja atau jalan-jalan di pasar
lapik. Kue lapik mirip kue bongkol/lemang Sungsang. Selain itu, mereka tidak akan
yang dibungkus dengan daun nipah), dan begitu tampak dilihat orang lain dan merasa
terbuat dari ketan tumbuk padat dikukus daun aman karena tidak akan mendapat gangguan
nipah dimasak seharian dan diberi abon oleh siapapun.
udang bercampur kelapa, sehari sebelum Pada malam hari di Sungsang, semua
lebaran untuk disajikan pada kerabat dan toko besar maupun kecil, toko makanan atau
tamu lainnya. Setelah bertamu dan bahan pokok lainnya, pedagang besar
silaturrahmi dengan sanak keluarga, tetangga maupun pedagang kaki lima, semuanya
dan kawan, kegiatan midang diisi dengan membuka kedai/tokon ya un tuk ikut
aktifitas jalan-jalan (berkumpul) tanpa tujuan. memeriahkan malam hari sebagai bagian
Adat midang juga mencerminkan warga untuk mencari rejeki. Dapat dikatakan,
Sungsang yang berhasil, dilihat dari aksesoris perputaran uang pada malam hari jauh lebih
perhiasan yang dipakai warga saat midang banyak ketimbang pada saat siang hari.
yakni memakai emas dalam jumlah besar, Waktu malam hari, daerah Sungsang sangat
khususnya oleh kaum perempuan yang sudah terang benderang diterangi lampu-lampu
kawin. Mereka mengeluarkan dan memakai listrik, apalagi bila dilihat dari laut Selat
semua perhiasan ini pada prinsipnya bukan Bangka dan Sungai Musi. Inilah bagian dari
untuk pamer harta atau bersombong diri, keindahan Sungsang dan menjadi wilayah
tetapi karena tuntutan adat/kebiasaan, serta tujuan wisata men arik di Kabupaten
untuk saling memberi semangat kepada satu Banyuasin. Suasana metropolis malam hari
sama lain agar lebih giat bekerja yang halalan di Sungsang ini sangat berbeda dengan kota/
toyiban. Pada masa dahulu midang diikuti kecamatan lain di Kabupaten Banyuasin, dan
oleh para orang tua, tetapi sekarang kegiatan Sumatera Selatan umumnya. Tidak ada yang
tersebut hanya dilakukan oleh para muda bisa menjelaskan secara pasti kenapa warga
mudi. disini lebih senang meramaikan malam
ketimbang siang, namun diduga kuat terkait
3. Meramaikan Malam. dengan pekerjaan para lelaki sebagai nelayan
Pada malam hari daerah (pasar) (melaut) yang selalu tidak pernah ada di
Sungsang, selalu ramai oleh masyarakatnya rumah pada waktu pagi sampai sore,
dibandingkan siang, dan kondisi ini sudah bahkanterkadang melaut berhari-hari.
berlangsung (lazim) sejak dahulunya. Hal itu
disebabkan siang h ari tidak banyak
96
Suluah, Vol. 20, No. 2, Desember 2017
4. Menyimpan dan Memakai Perhiasan setiap tahun (bulan haji). Menunaikan rukun
Emas Islam ke 5 tersebut, menjadi impian atau
Tradisi menyimpan dan memakai orientasi masyarakat Sungsang (nelayan) dan
perhiasan emas, merupakan kebiasaan kaum mereka akan mempersiapkannya dengan
perempuan Sungsang sejak dahulu (turun- bekerja keras dan menabung hasil usahanya
temurun). Kaum perempuan memakai emas sebagai bekal pergi (naik) haji ke tanah suci
berupa kalung, cincin, gelang dan lainnya Mekah. Selain itu, menjadi seorang haji,
merupakan hal yang biasa di Sungsang setiap merupakan kebanggaan , dan akan
harinya. Masyarakat Sungsang khususnya menin gkatkan martabatnya di tengah
para wanita lebih senang menyimpan uang masyarakatnya.
dan menyimpannya dalam bentuk perhiasan Beberapa hari sebelum keberangkatan
yang besar-besar. Pemandangan memakai calon jemaah haji untuk masuk karantina di
kalung emas sebesar 30 suku atau setara 201 Asrama Haji di Kota Palembang, mereka
gram bukan hal yang aneh di Sungsang, mengadakan selamatan di rumah masing-
bahkan perhiasan emas inipun menjadi masin g dengan men gun dang warga
aksesoris wajib sehari-hari bagi kaum sekampung. Begitupun, pada saat
perempuan di Sungsang. 9 Komalasari (2015), keberan gkatan ke Palemban g, warga
menyebutkan bahwa masyarakat Sungsang melepasnya secara bersama-sama dan ikut
terkenal sebagai masyarakat yang mengantar calon jemaah haji ke Asrama Haji
menjadikan emas sebagai sumber Palembang secara beriringan. Sekembalinya
keberhasilan10. dari Mekah, mereka pun dijemput dan
Memakai emas bagi perempuan mengadakan selamatan di rumahnya sebagai
merupakan kebiasaan dan menyangkut tanda bersyukur telah dapat melaksanakan
prestise bagi pemakai dan keluarganya. ibadah haji dengan baik.
Apalagi jika ada pesta perkawinan
(ngantenan), njerambaken, dan midang, Penutup
serta hari kalangan (pasar), hampir semua Masyarakat pesisir memang tidak bisa
perempuan dewasa memakai perhiasan emas dilepaskan dari kehidupan mereka sebagai
tersebut, ditandai dengan gelang emas dan nelayan (menangkap ikan dilaut) untuk
kalung berangkai-rangkai menghiasi ibu-ibu memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari,
yang pergi ke pesta (kenduri). Pemakaian termasuk masyarakat daerah Sungsang di
perhiasan emas secara terbuka bukan hal yang Sumatera Selatan.Umumnya masyarakat
menakutkan tetapi kebanggaan bagi kaum pesisir (nelayan) masih kuat memelihara
perempuan setempat. Walaupun demikian, kebiasaan tradisional dalam kehidupannya
jarang terjadi perampokan atau pencurian sehari-hari, yang terwujud dalam pelaksanaan
emas di Sungsang. upacara adat dan tradisi yang merupakan
warisan dari leluhur yang masih dilaksanakan
5. Pelepasan Calon Jemaah Haji sekarang ini.
Tradisi pelepasan orang yang naik haji Daerah Sungsang Selain itu, yang
ke Mekah adalah kegiatan mengantar atau merupakan salah satu “kampung nelayan” di
melepas calon jemaah haji dari Sungsang ke Sumatera Selatan memiliki beberapa tradisi
Palembang (embarkasi), yang berlangsung khas yang telah adasejak dahulu, dan menjadi
9
Dalam istilah setempat 1 suku sama dengan 6,7 gram
10
Artikel “Menantang Peluang di Perairan Sungsang” pada Koran Sindo tanggal 23 Oktober 2015,
97
Suluah, Vol. 20, No. 2, Desember 2017
98
Suluah, Vol. 20, No. 2, Desember 2017
99