Anda di halaman 1dari 16

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Analisis Stilistika dalam Novel Aurora di Langit Alengka

Penelitian ini mengenai gaya bahasa (stilistika) yang terkandung dalam

novel Aurora di Langit Alengka karya Agus Andoko. Setelah melakukan teknik

analisis dokumen, data yang diperoleh ada tiga kajian stilistika yaitu: (a) bahasa

kiasan (figures of language) adalah penyimpangan penggunaan bahasa oleh

penutur dari pemahaman bahasa yang dipakai sehari-hari, (b) pilihan kata (diksi)

digunakan untuk pemilihan kata-kata, frasa, dan gaya bahasa dalam karya sastra,

dan (c) frasaologi merupakan cara pengungkapan kata secara yang khas.

4.1.1 Bahasa kiasan (figures of language)

Bahasa kiasan (figures of language) merupakan penyimpangan

penggunaan bahasa oleh penutur dari pemahaman bahasa yang dipakai sehari-

hari, penyimpangan dari bahasa standar, atau penyimpangan makna kata untuk

memperoleh beberapa arti khusus atau efek khusus. Bahasa kias dibagi dalam

tujum bagaian yaitu: perbandingan, metafora, perumpamaan epos (epic simile),

personifikasi, metonimi, dan alegori.

Kajian gaya bahasa kiasan tidak difokuskan pada penggunaan jenis gaya

bahasa tertentu tetapi lebih difokuskan pada banyak gaya bahasa kiasan yang

digunakan dalam keseluruhan cerita, dengan demikian penelitian ini tidak


menghitung bebrapa jumlah jenis gaya bahasa yang digunakan oleh pengarang,

namun penelitian hanya membahas tentang bahasa kiasan yang mendominasi

novel Aurora di Langit Alengka.

a. Simile

Simile atau persamaan adalah gaya bahasa perbandingan yang bersifat

eksplisit. Perbandingan bersifat eksplisit mempunyai maksud bahwa ia langsung

menyatakan sesuatu sama dengan hal yang lain. Gaya bahasa simile memerlukan

kata-kata perbandingan seperti kata-kata: bagai, bagaikan, seperti, laksana, bak,

dan sebagainya. Penggunaan gaya bahasa simile pada novel Aurora di Langit

Alengka karya Agus Andoko dapat dilihat pada kutipan berikut ini.

“Alam seperti ikut berbahagia dengan gembira hati seluruh penduduk


Kolasa”. (hal 150)
“Di mata Bara, Radit, dan Mambang, burung besar itu sepertipesawat
terbang yang berputar-putar di atas lapangan terbang menunggu
kesempatan mendarat”. (hal 154)
“Airnya sangat bening laksana Kristal mengalir disela-sela batu-batu besar
yang betebaran di tengah sungai’. (hal 208)
“Bara memperhatikan jemari Nyai Drembo, jemari itu besar-besar dan
gemuk seperti buah mentimun yang kerap ibunya beli di pasar”. (hal 109)
“Hal itu terlihat pada Sinta pagi ini. Wajahnya tampak begitu segar, bagai
tanaman yang baru saja tersiram air. Rona ceria makan menyempurnakan
kecantikan putrid dari kerajaan Mantali. Mata jernih bagai binatang timur,
pipinya merona merah bak buah delima matang dan bibirnya merekah
menyungging senyuman bahagia”.(hal 250)

Data tersebut merupakan contoh pemanfaatan gaya bahasa bentuk simile

karena terdapat kata perbandingan seperti, laksana. Kata perbandingan tersebut


digunakan untuk menggambarkan bahwa satu hal yang sedang dibicarakan

menpunyai kesamaan atau selakanya sama dengan hal ini, di laur yang

dibicarakan. Penggunaan kata perbandingan seperti pada data (hal 150)

menyamakan perasaan manusia dengan alam yang ikut berbahagia dan gembira,

karena pada saat itu suasana alam jauh berbeda dari hari selumnya. Selanjutnya

data (hal 154) kata seperti yang digunakan penulis untuk menyamakan burung

dengan pesawat terbang, karena di negeri Alengka sayap burung hamper sebesar

pesawat terbang, dan data (hal 208) penulis menyamakan air laksana Kristal yang

mengalir dari sela-sela abut, pengungkapan itu didasri oleh warna iar yang begitu

bening dan jernih, data (hal 190) di mata jemari tangan Nyai Drembo disamakan

dengan buah mentimun yang kerap ibunya beli di pasar, dan pada data (hal 250)

penulis menggunakan kata bagai dan kata bak untuk menyamakan kecantikan

yang alami. Gaya bahasa perbandingan yang digunakan oleh penulis di atas

bertujuan untuk memperkuat dan menyakinkan pembaca untuk ikut merasakan

apa yang dialami oleh tokoh-tokoh yang digambarkan oleh penulis dalam

novelnya.

b. Personifikasi

Personifikasi adalah gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda mati

atau barang-barang yang tidak bernyawa seolah-olah memilki sifat manusia.

Adapun penggunaan gaya bahasa personifikasi dalam novel Aurora di Langit

Alengka karya Agus Andoko dapat dilihat pada kutipan teks berikut.

“Lentera yang bergantung di kereta bergoyang-goyang seirama langkah

penari”. (hal 71)


“Mereka kini melaju melewati jalan tanah dengan lading menghijau subur

dikana kirinya. Begitu cepat laju kuda yang mereka naiki sehingga

pepohonan yang tumbuh berjajar di pinggir jalan seperti berlari menjauh

dan segera leyap dari pandangan”.(hal 179)

Data-data di atas dikategorikan sebagai bentuk personifikasi karena

menggambarkan benda mati seolah-olah memiliki sifat manusia, pada data (hal

71) di mana Agus Andoko menyamakan benda mati seolah-olah hidup seperti

manusia, karena hanya manusia yang bisa bergoyang-goyang mengerakan tubuh

sesuai dengan irama. Selanjutnya pada (hal 179) data tersebut menjelakan di mana

pohon dan tumbuhan berlari menjauh sekan-akan pohon dan tumbuhan memiliki

kaki seperti manusia yang bisa berlari dan berpindahan tempat. Penggunaan gaya

bahasa personifikasi itu tidak lepas dari fungsi personifikasi itu sendiri yaitu

sebagai sarana retorika yang mampu m,enghidupkan deskripsi cerita dan

menyegarkan pengungkapan menjadi lebih bermakna.

c. Hiperbola

Hiperbola adalah semacam gaya bahasa yang mengandung suatu

pernyataan yang berlebihan, denggan membesar-besarkan suatu hal. Adpun

penggunaan gaya bahasa hiperbola pada novel Aurora di Langit Alengka karya

Agus Andoko dapat dilihat pada kutipan novel berikut.

“Sementara itu, sembura lembayung mewarnai kaki langit sebelah timur,


pertanda pagi akan segera menjalang, dan akhirnya matahari pagi mulai
menempakan diri, serupa bola api bundar berwarna jingga. Sinar hangat
lembutnya mengusir temara alam, mencairkan embun-embun yang
menempel di dedaunan dan mengakat udara yang semula terasa dingin
menggigit tulang“.(hal 97)

“Terima kasih Nyai, sahut Bara mengambil sedikit nasi merah dengan
centong kayu sebesar sekop semen ke atas selembar daun pisang yang
sudah disiapkannya”.(hal 109)

“Dari jauh, para penabuh dan pesiden tampak seperti boneka-boneka emas
yang berkilauan”. (hal 153)

“ Cundukan mental yang ujungnya dipenuhi permata berlian berayun-ayun


melesatkan cahaya-cahaya putih bagai kilatan-kilatan bintang jatuh”.(hal
55)

“Berada di keteduhan di bawah naungan paying putih waktu seolah


berhenti”.(hal 164)

“ Mata yang jernih berkilau tajam menundukan siapa pun yang


menatapnya”. (hal 184)

“Sayang, pemilik burung yang tak peka perasaannya tidak biasa


membedakan mana kicau riang dan tangis kepedihan. Burung-burung ini
tidak menarik suaranya, karena hanya berteriak-teriak dengan lengking
tinggi , tapi cantik sekali penampilannya. Bulu-bulunya berwarna hijau
cerah, kintras dengan paruhnya yang berwarna menyala”. (hal 199)

“Bara dan teman-temannya tahu, bunyi kaki Rahwana mengambil langkah


seribu”. (hal 289)

“Laras kaget bukan kepalang karena di depannya kini berdiri seorang


bertubuh besar mengerikan, berjari-jarinya sebesar buah pisang ambon
begitu kencang mencengkeram tangannya”. (hal 306)

Pemilihan kosakata dengan menggunakan majas hiperbola oleh Agus

Andoko dalam mendeskripsikan cerita salah satunya dimaksudkan untuk


menyakinkan pembaca bahwa apa yang dialami oleh para tokoh dalam cerita

benar-benar dirasakan oleh pembaca. Data-data di atas dikategorikan sebagai

bentuk majas hiperbola kareana terlalu membesar-besarkan apa yang yang

diungkapkan atau yang dikisahkan. Hal itu mampu menhidupkan cerita, artinya

mampu mengajak pembacanya merasakan apa yang dialami oleh tokoh cerita

menyegarkan pengungkapan. Kosakata yang digunakan dalam menggambarkan

keadaan tokoh sungguh berbeda dengan pengarang lain.

4.1.2 Pemilihan Kata (Diksi) dan Pemakaian Leksikon Bahasa Jawa.

Istilah diksi digunakan untuk pemilihan kata-kata, frasa, dan gaya bahasa

dalam karya sastra. Persoalan yang ada dalam gaya bahasa berkaiatan dengan

ungkapan-ungkapan individual atau karakteristik, sebagai satuan dari

perbendaharaan kata sebuah bahasa terdiri dari dua aspek, yaitu aspek bentuk dan

isi. Aspek bentuk atau ekspresi adalah segi yang terdapat diserap dengan penca

indra, yaitu dengan mendengar atau melihat. Aspek isi adalah segi yang

menimbulkan reaksi dalam pikiran pendengar atau pembaca karena rangsangan

aspek bentuk. Pilihan kata merupakan unsure stilistika yang berhubungan dengan

variasi. Pendekatan stilistika yang berkaitan dengan variasi dilihat dari

penyimpangan dalam pemilihan kata yqng ditemukan dalam novel Aurora di

Langit Alengka, karena di dalam novel ini banyak ditemukan pemanfaatan

kosakata yang secara etimologis berasal dari bahasa Jawa.

Pilihan kata digunakan untuk menamai tokoh diambil dari kosakata bahasa

Jawa. Kata-karta yang digunakan adalah Laras, Bara, Radit, Mambang, Sedah,
Sinta, Narasoma, Wibisana, Rama, Eyang Gondo, Hanoman, Rahwana dan lain-

lain, ada beberapa nama yang menyiratkan bahwa pemilik kebanyakan dipakai

oleh orang pendesaan seperti: Sedah, Sinta, Narasoma, Wibisana, Rama, Eyang

Gondo, Hanoman, Rahwana yang sering dipakia oleh masyarakat pedalaman

Jawa. Pemilihan kata seperti Laras, Radit, Mambang, dam Bara dipakai untuk

nama tokoh yang ditinggal di daerah perkotaan.

Pemilihan kata untuk penamaan tokoh tersebut digunakan oleh pengarang

untuk menampilkan latar, yaitu latar desa dan latar kota, ini artinya ada relasi

antara tokoh dengan latar. Pemilihan kata tidak hanya berkaitan dengan penamaan

tokoh dalam sebuah cerita namun juga menyangkut dengan prinsip strukturalisme

yaitu adanya relasional antara unsur-unsurnya, unsur-unsur gaya bahasa (dalam

hal ini diksi), penokohan, dan latar dalam novel Aurora di Langit Alengka. Pilihan

kata dari kosakata bahasa daerah yang digunakan untuk penamaan tokoh dapat

mempertegas latar tempat.

Pemanfaatan leksikon bahasa Jawa juga digunakan dalam novel Aurora di

Langit Alengka diantaranya dapat dilihat pada kata, frasa ataupun klausa bahasa

Jawa yang digunakan dalam kalimat bahasa Indonesia. Keunikan pemilihan dan

pemakaiaan leksikon bahasa Jawa dalam novel Aurora di Langit Alengka sebagai

berikut.

“di depan mereka terlihat sebuah desa, dan sebentar kemudian mereka
memauki gerbang batu berbentuk bentar dikanan jalan masuk”. (hal 76)

“ia mengenakan kain yang melilit ketubuhnya sabuk wolo”. (hal 83)
“Hei, anak-anak lelaki tidak boleh kedapur, keluar sana! Ora ilok”. (hal
95)

“oleh Sedah, sego golong tadi dibentuk menjadi kerucut di tengah sebuah
nyirut”. (hal 98)

Pemilihan dan pemakaian kata bentar, sabuk, ora ilok, dan nyirut pada

data-data di atas menunjukan bahwa Agus Andoko kaya akan pengetahuan

kosakata bahasa Jawa. Pemakaian kata-kata tersebut dalam deskripsi cerita,

misalnya pada data (1) bentar merupakan leksikon dalam bahasa Jawa yang

menggambarkan bangunan gapur atau gerbang menyupai gunung yang sementri,

kemudian pada data (2) sabuk wolo merupakan leksikon bahasa Jawa dalam cara

berapakaian. Sabuk wolo adalah cara berpakaian jarit, model kemban, namun

ditahan menggunakan tali/sabuk sehingga penggunanya bias bebas bergerak dan

bias juga digunakan oleh anak-anak, data (3) kata ora ilok yang berarti tidak

pantas bagi laki-laki untuk menginjakan kakinya di dapur dan data (4) Nyirut

merupakan leksikon dalam bidang penyajian makanan yang biasa digunakan oleh

oaring Jawa dalam acara-acara tertentu. Nyirut adalah alat rumah tangga

berbentuk bundar, dibuat dari ayaman bambu gunanya untuk menapi beras.

Pemilihan kosakata bahasa Jawa jika diganti dengan bahasa Indonesia

tertentunya pelukisan cerita akan terasa hambar. Pemilihan dan pemakaian

leksikon bahasa Jawa tersebut mencerminkan suasana yang sedang dialami oleh

para tokoh dalam novel dan penggambaran situasi menjadi lebih jelas.

Penggunaan bahasa Jawa juga digunakan dalam kalimat berikut.


“Enak sekali kamu Mambang, naik ditarik kerbau, teriak Radit yang
ngicak-icak di belakang”. (hal 115)

“ Sudah san gawe , kita pulang, kata Ki Buyut”. (hal 119)

“ Ulan yang datang pada kalian, diberikatilah kalian, hidup penuh cinta
sampai kaken ninem” . (hal 161)

Penggunaan kata bahasa Jawa pada data di atas, digunakan secara spotan oleh

penulia dalam mendeskripsikan cerita, pada data (1-3) kata ngincak-icak, san

gawe, dan kaken nimem merupakan kata asli bahasa Jawa yang sering digunakan

oleh penulis dalam novelnya. Kata ngicak-icak dalam bahasa Indonesia yang

artinya menginjak-injak, kata san gawe dalam bahasa Indonesia yang artinya

waktu siang untuk beristirahat, dan kata kaken ninem dalam bahasa Indoensia

yang artinya kakek dan nenek.

Pemilihan dan pemakaian leksikon bahasa Jawa pada data-data di atas jika

diganti dengan leksikon bahasa Indonesia, maka deskripsi cerita menjadi biasa

dan tidak memiliki daya pikat bagi pembaca. Agus Andoko berasal dari kota

Klaten yang selalu menggunakan bahasa Jawa dalam karya sastranya.

Pemanfaatan leksikon bahasa Jawa, kata sapaan dalam bahasa Jawa juga sering

digunakan dalam sebuah karya sastra. Novel Aurora di Langit Alengka karya

Agus Andoko terdapat bentuk-bentuk kebahasaan seperti kata yang digunakan

untuk saling merujuk pada situasi percakapan yangb berbeda-beda menurut sifat

hubungan antara pembicaraanya, adapun sifat hubungan itu didasarkan atas

hubungan kekerabatan, keakraban dan penghormatan. Bentuk-bentuk semacam

disebut kata sapaan.


Munculnya kata-kata sapaan di dalam suatu tindak komunikasi selalu

ditentukan oleh berbagai factor yang erat berkaiatan dengan penutur, lawan

bicara, dan situasi penuturnya. Faktor-faktor itu adalah situasi (resmi dan tidak

resmi), etnik (suku Jawa dan bukan Jawa), kekerabatan (berkerabat dan tidak

berkerabatan), keintiman (intim dan tidak intim), status (lebih tinggi dan rendah),

umur (lebih tua, sebaya, dan lebih muda), jenis kelami (laki-laki dan perempuan),

status perkawinan (kawin dan tidak kawin), dan asal (kota dan desa), berikut

adalah penggunakan kata sapaan dalam bahasa Jawa yang terdapat dalam novel

Aurora di Langit Alengka karya Agus Andoko.

“Nantik malam Eyang akan berkunjung ke kemah kaliankata Eyang


Gondobayu”. (hal 35)

“Nyai Drembo?”

“Ya, kami memanggilnya Nyai Drembo. Ia tinggal di desa yang baru saja
kita lewati tadi”. (hal 80)

“Maaf Kisanat, adakah tempat penginapan di sini?’’ Tanya Bara. (hal 67)

Kata sapaan Eyang dan Nyai Drembo digunakan oleh eknis suku jawa

dalam memanggil orang yang lebih tua dari orang tua meraka, sedangkan kata

sapaan Kisanat digunakan untuk memulai percakapan dengan orang yang belum

mereka kenal. Selanjutnya kata sapaan yang menunjukan kekerabatan yaitu

Biyung, Diajeng, dan Kanda. Seperti yang terdapat pada kalimat berikut.

“Biyung bilang tidak boleh”. (hal 97)

“Apakah makan malam kita nantik, Diajeng?” (hal 26)


“Sampai sepekan ke dapan kita masih bias makan nasi Kanda” (hal 246)

Kata sapaan tersebut dipaki untuk kekerabatan antara ibu dan anak untuk

berkomunikasi dengan menggunakan kata sapaan biyung, sedangkan untuk

memanggil istri digunakan kata sapaan diajeng dan kata sapaan kanda digunakan

memanggil suami atau saudara laki-laki yang lebih tua. Perkembangan dunia

sastra yang lebih modern, di mana teori-teori sastra telah berkembang dan

diaplikasikan dalam sastra yang menggunakan imajinasi dan kata yang sangat

menarik hingga menimbulkan kesan elegan pada setiap karya sastra, namun Agus

Andoko mempertahankan bahasa daerahnya dalam karya sastranya. Hal ini

menunjukan bahwa Agus Andoko selaian melestarikan bahasa daerahnya

khususnya kata sapan dalam bahasa Jawa, ia juga memperkenalkan kata sapaan

tersebut kepada msayarkat luas, dalam hal ini pembaca karyanya. Pemnfaatan kata

sapaan yang digunakan ole penulis menambah kekhasan dan kekhususan kosakata

yang digunakan Agus Andoko dan menjadi cirri khas gaya bahasa penulis.

4.13 Frasaologi

Kata frasaologi terbentuk dari kata frasa yaitu gabungan dua kata atau

lebih yang bersifat tidak [redikatif. Frasaologi bukan saja membahasa tentang

frasa dalam suatu karya sastra, namun frasaologi juga dapat dikaitkan dengan

cara seorang pengarang dalam mengungkapakan bahasa secara khas. Novel

Aurora di Langit Alengka ditemukan ungkapan khas yang berasal dari bahasa

Jawa.
Novel Aurora di Langit Alengka berlatar kebudayaan Jawa sehingga

banyak ditemukan ungkupan khas dari bahasa Jawa. Ungkapan khas yang

digunakan oleh pengarang sebagai sarana ajaran yang bersifat religious.

Ungakapan itu seperti dalam kutipan berikut.

“Apakah itu, Jemab Apakah itu, Jember?” Tanyanya.


“itu kereta Barata Kuwera”.
“ Batara Kuwera”.
“Kuwera adalah dewa yang bertugas memberi rezeki kepada manusia yang
suka prihatin, betah melek. Beliau naik kereta terbang berkeliling
negeri”.

Anak-anak geng Sarotama itu ingat tembang “Pangkur” yang kerap

dilanturkan ayah mereka ketika mereka masih kecil dulu. Sebuah tembang

pengantar tidur.

Aju turu sore kaki


Ana dewa nganglang jagat
Nyakinh bokok kencananane
Isine donga tetulak
Sadhang lawan pangan
Yaiku bageanipu
Wong melek sabar narima (hal. 75-76)

Makna ungkapan dalam kutipan di atas adalah bentuk nasehat agar manusia

harus menjaga hati dan berjiwa sabar, kerena dewa akan membegaikan bongkahan

emas kepada masyarakat yang memiliki saifat baik. Pilihan ungkapan di atas

sesuai dengan situasi yang sedang dialami oleh para tokoh di negeri Alengka di

mana masyarakatnya masih beragama Hindu yang mempercayai dewa. Mereka


beranggapan bahwa dewa akan membagi rezeki kepada rakyatnya yang menjaga

hati yang berjiwa bersih.

Ungkapan khas juga terdapat dalam kutipan beriku.

“ Hari ini kiata mengadakan upacara syukuran sebagai ungkapan rasa terima

kasih kepada Sang Hyang Widhi Wasa yang telah menganungerahkan calon

permaisuri begi negeri kita! Begawa pemekas mengakat tangannya, dan

perlahan teriakan warga mereda”. (hal 12)

“Sekarang, lanjutnya setelah suasana kembali sepi, saatnya bagi kita

memanjatkan doa kepada Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan yang Maha

Kuasa”. (hal 10)

Arti ungkapan Sang Hyang Widhi Wasa adalah Tuhan yang Maha Kuasa

yang memengang kekuasaan penuh atas isi dunia ini, dalam ajaran agama Hindu

dan Budha setiap perayaan besar harus mengandakan acara syukuran atas nikmat

yang telah diberikan oleh sangat maha kuasa, tidak hanya ajaran agama Hindu dan

Budha saja, bahkan dalam agama Islam juga mengajarkan kita tentang arti kata

syukur atas nikmat Allah yang Maha Kuasa.


BAB V
PENUTUP

Setelah mengurai tentang analisis novel Aurora di Langit Alengaka karya

Agus Andoko, maka sebagai akhir dari tulisan ini penulis manarik simpulan,

disampaing itu, untuk mendapatk penjelasan berimbang juga ditemukan bebrapan

saran yang dianggap perlu.

5.1 Simpulan

Keunikan atau kekhasan pemakaian bahasa pada novel Aurora di Langit

Alengaka di latar belakangi oleh factor social penulis yang diungkapakan melalui

deskripsi ceritanya. Adapun keunikan pemilihan dan pemakaian kosakata yaitu

tanpak pada pemilihan dan pemakaian leksikon bahasa Jawa, pemilihan kata

sapaan dan frasaologi yang diungkapkan secara khas. Novel Aurora di Langit

Alengaka karya Agus Andoko mampu menonjolkan keunikan pemilihan dan

pemakaian kosakata yang spesifik dan lain dari yang lain. Hal itu menghasilkan

style tersendiri yang menjadi cirri khusus Agus Andoko dalam menuangkan

gagasan melalui karya sastranya.

Pemakaian gaya bahasa figurative pada novel Aurora di Langit Alengaka

membuat pengungkapan maksud menjadi lebih mengesankan lebih hidup, lebih

jelas dan lebih menarik. Analisis yang dilakukan oleh peneliti, tidak menghitung

seberapa banyaknya bahasa kiasan yang digunakan oleh penulis namun peneliti

hanya menghitung bahasa kiasan yang dominan yang digunakan penulis dalam

karyanya. Data-data tersebut merupakn contoah pemanfaatan bentuk penggunaan


gaya bahasa figurative yang unik dan menimbulkan efek-efek estetis pada

pembaca. Agus Andoko memanfaatkan kosakata metaforis yang disesuaikan

dengan makna dalam kalimat.

5.2 Saran

Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi proses pembelajaran di

sekolah- sekolah khususnya tentang sastra. Selain daripada itu, dengan adanya

penelitian ini dapat mengetahui stilistika yang terkandung di dalam novel

Anak Sejuta Bintang karya Akmal Nasery Basral, sehingga sangat pantas jika

novel ini dapat dijadikan sumber belajar atau sebagai buku pendukung dalam

dunia pendidikan, karena banyak mengandung pendidikan Saran yang dapat

diberikan dari hasil penelitian ini adalah bagi pembaca penelitian ini dapat

digunakan karakter yang dapat dipetik dari setiap kisahnya. sebagai salah satu

referensi dalam memahami sekaligus menambahkan ilmu pengetahuan tentang

pendidikan karakter yang terdapat dalam novel. Bagi peneliti lain yang meneliti

tentang sastra, khususnya yang meneliti tentang pendidikan karakter baik itu dari

novel yang sama maupun yang berbeda, semoga dapat menjadi bahan acuan atau

pedoman dalam menganalisis pendidikan karakter. Serta dapat mengembangkan

bagaimana menganalisis pendidikan karakter secara luas sehingga dapat

bermanfaat bagi diri sendiri dan bagi masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai