Anda di halaman 1dari 6

Gaya Bahasa

Gaya bahasa yang digunakan dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk ini yaitu menggunakan
bahasa Indonesia dan juga bahasa daerah, yaitu bahasa Jawa. Penggunaan bahasa daerah terlihat
dari adanya penggunaan kata-kata seperti mbak yu, wong bagus, jenganten, wong ayu, dan masih
banyak lagi. Tidak hanya dari pengguanaan kata-kata tersebut, penggunaan bahasa daerah juga
terlihat dari adanya nyanyian atau mantra-mantra yang digunakan pada saat Srintil menari
ronggeng, yaitu:

Uluk-uluk perkutut manggung

Teka suka ngendi,

Teka suka tanah sabrang

Pekanmu apa,

Pakanku mado tawon

Manis madu tawon,

Ora manis kaya putuku, Srintil

Dalam penggunaan bahasa, novel ini juga menggunakan beberapa majas, yaitu:

a. Majas Personifikasi
Personifiksi adalah majas kiasan yang menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang
yang tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat kemanusiaan.

1. Dukuh Paruk masih diam membisu meskipun beberapa jenis satwanya sudah terjaga. (hlm.
111)
Tohari melukiskan proses datangnya pagi hari menjelang cahaya matahari terbit dari timur
di Dukuh Paruk. Dukuh Paruk dilukiskan pada suasana pagi yang masih sepi dan belum
ada aktifitas manusia.

2. Tetes-tetes embun jatuh menimbulkan suara desahan desahan musik yang serempak. (hlm.
111)
Suasana pagi tampak di segala pepohonan terdapat embun yang secara bergantian menetes,
dengan demikian menimbulkan suara-suara bagai musik yang serempak. Tohari
menggambarkan kehidupan Dukuh Paruk yang masih alami sama sekali belum tersetuh
teknologi modern, setiap pagi hanya dihiasi, dihibur oleh suara musik dari tetes-tetes
embun yang berjatuhan dari atas pohon.
3. Dalam kerimbunan daun-daunnya sedang dipagelarkan merdunya harmoni alam yang
melantumkan kesyahduan. (hlm. 111)
Tohari menggambarkan sebuah pohon dengan daunnya yang tampak subur, rimbun, segar
sehingga terlihat indah dan asri serta selaras dengan alam.

4. Dukuh Paruk kembali menjatuhkan pundak-pundak yang berat, kembali bersimbah air
mata. (hlm. 276).
Di kutipan diatas kita mengetahui bahwa Dukuh Paruk hanyalah sebuah desa yang tidak
bisa menjatuhkan sebuah punggung

b. Majas Simile
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan pada novel yang berjudul “Ronggeng Dukuh
Paruk” ditemukan penggunaan gaya bahasa perbandingan/simile. Kalimat yang menggunakan
gaya bahasa simile, yaitu:

1. Di bagian langit lain, seekor burung pipit sedang berusaha mempertahankan nyawanya. Dia
terbang bagai batu lepas dari ketapel sambil menjerit-jerit sejadinya. (hlm. 9)

2. Biji dadap yang telah tua menggunakan kulit polongnya untuk terbang sebagai baling-
baling. Bila angin berembus tampak seperti ratusan kupu terbang menuruti arah angin
meninggalkan poho dadap. (hlm. 10)

3. Setelah didapat, Rasus memanjat. Cepat seperti seekor monyet. (hlm. 12)

4. Ibarat meniti sebuah titian panjang berbahaya, aku hanya bisa menceritakannya kembali,
mengulas serta merekamnya setelah aku sampai di seberang. (hlm. 32)

5. Emak sudah mati, ketika hidup ia secantik Srintil, tampilan emak bagai citra perempuan
sejati (hlm. 33)

6. Dengar, pak. Serintil masih segar seperti kecambah. ”sambung nyai kartareja sambil
menyentuh dada marsusi dengan lembut. (hlm. 121)

7. Arif seperti sepasang perkutut itu adalah Wirsiter dan Ciplak, istrinya. (hlm. 128)

8. Latar sejarahnya yang melarat dan udik ibarat beribil. (hlm. 185)

9. Tetapi Srintil tenang seperti awan putih bergerak di akhir musim kemarau. (hlm. 190)

10. Matanya berkilat seperti kepik emas hinggap di atas daun. (hlm. 190)

11. Dia menari seperti mengapung di udara; lincah dan bebas lepas. Kadang seperti burung
beranjangan, berdiri di atas satu titik meski sayap dan paruhnya terus bergetar. Kadang
seperti bangau yang melayang meniti arus angin. (hlm. 193)
12. Megap-megap, mulutnya terbuka seperti ikan mujair. (hlm. 194)

13. Di hadapan mereka Dukuh Paruk kelihatan remang seperti seekor kerbau besar sedang
lelap. (hlm. 197)

14. Kadang suara Srintil penuh semangat, garakannya cekatan, seperti seorang ibu yang
sedang mengajari anaknya berjalan. (hlm. 216)

15. Padahal sejak semula Rasus mengerti pekerjaan semacam itu ibarat mendongkel sejarah
dengan sebatang lidi. (hlm. 265)

16. Bila ternyata dirinya masih mewujud, pikir Srintil, itu karena aib adalah salah satu faset
kehidupan dan dia harus mewujud disana. Seperti tinja yang harus ada di dalam usus
manusia. (hlm. 272)

17. Dukuh Paruk merambat perlahan seperti akar ilalang menyusuri cadas. (hlm. 275)

18. Dan bila ditiup menentang arus angin, suara puput jadi muncul tenggelam seperti bulan
hilang-tampak di balik awan. (hlm. 290)

19. Srintil bingung seperti munyuk dirubung orang. (hlm. 296)

20. Namun setiap kali diurungkannya; batu-batu di atas jalan pegunungan itu bergerak seperti
mata gergaji besar yang akan menggorok apa saja yang jatuh ke permukaannya. (hlm. 297)

21. Dari jauh udara di permukaan tanah kelihatan berbinar seperti riak-riak panas pada telaga
yang mendidih. (hlm. 309)

22. Malam hari berlatar langit kemarau, langit seperti akan menelan segalanya kecuali apa-apa
yang bercahaya (hlm. 312)

c. Majas Metafora
Metafora adalah semacam analogi yang membandingkan dua hal secara langsung tetapi dalam
bentuk yang singkat.

1. Di pelataran yang membantu di bawah pohon nangka ketika angin tenggara bertiup dingin
menyapu harum bunga kopi yang selalu mekar di musim kemarau (hlm. 13)
Maknanya:
Melukiskan keadaan dukuh paruk yang masih asri, ketika malam hari pada musim kemarau
angin terasa dingin.
2. Mereka pantas berkejaran, bermain dan bertembang. Mereka sebaiknya tahu masa kanak-
kanak adalah surga yang hanya sekali datang. (hlm. 14)
Maknanya:
Melukiskan keindahan dunia anak-anak di dukuh kecil yang serba gembira, bebas bermain
dan belum memiliki tanggung jawab. Dunia anak-anak merupakan fase kehidupan yang
indah dan tidak mungkin terulang kembali pada kehidupan seseorang.
3. Wirsiter bersama istrinya pergi ke sana kemari menjajakan musik yang memanjakan rasa,
yang sendu, dan yang melankolik. Musiknya tidak membuat orang bangkit berjoget,
melainkan membuat pendengarnya mengangguk angguk menatap ke dalam diri atau
terbang mengapung bersama khayalan sentimental. (hlm. 130)
Maknanya:
Musik tradisional siter yang kini sudah langka dalam masyarakat, yang dimainkan oleh
sepasang suami istri, Wirsiter dan Ciplak. Tohari menempatkan musik yang memanjakan
rasa, membuat pendengarnya masuk ke alam khayalan sentimental. Di sinilah Tohari
membuat pesan tersirat bahwa musik siter adalah budaya kuno yang harus dilestarikan
jangan sampai dilupakan.

d. Majas Metonimia
Majas metonimia adalah majas yang memakai nama ciri atau nama hal yang ditautkan dengan
orang, barang atau hal sebagai penggantinya, kita dapat menyebut pencipta atau pembuatnya
jika yang kita maksudkan ciptaan atau buatannya ataupun kita menyebut bahannya jika yang
kita maksudkan barangnya.

1. Di sana di dalam kurung klambu yang tampak dari tempatku berdiri, akan terjadi
pemusnahan mustika yang selama ini amat kuhargai (hlm. 53)

Kata “mustika” pada kutipan di atas artinya sebuah keperawanan seorang gadis.

2. Pelita kecil dalam kamar itu melengkapi citra punahnya kemanusiaan pada diri bekas
mahkota Dukuh Paruk itu (hlm. 395)

Kata “Citra” pada kutipan di atas adalah gambaran kepribadian dari seorang ronggeng yaitu
tokoh srintil, citra tersebut telah hilang karena suatu deraan, cobaan hingga muncullah
kegoncangan jiwa pada srintil yang semula mendapat sebutan seorang mahkota Dukuh
Paruk.

e. Majas Hiperbola
Majas hiperbola adalah majas yang mengungkapkan sesuatu pernyataan yang berlebihan
dengan membesar besarkan suatu hal.
1. Ini cukup untuk kukatakan bahwa yang terjadi pada dirinya seribu kali lebih hebat daripada
kematian karena kematian itu sendiri adalah anak kandung kehidupan manusia. (hlm. 386)
2. Aku bisa mendengar semua bisik hati yang paling lirih sekalipun. (hlm. 394)
3. Aku dapat melihat mutiara-mutiara jiwa dalam lubuk yang paling pingit. (hlm. 394)
4. Kedua unggas kecil itu telah melayang berates-ratus bahkan beribu-ribu kilometer mencari
genangan air. (hlm. 9)
5. Dalam pemukiman yang sempit, hitam, gelap, gulita, pekat, terpencil itu lengang sekali,
amat sangat lengang. (hlm. 21)
6. Aku membiarkan Dukuh Paruk tetap cabul, kere, bodoh, dungu dan sumpah serapah. (hlm.
391)
7. Srintil meratap, meronta, menangis, melolong lolong di kamarnya yang persis bui. (hlm.
402)
8. Langit dan matahari menyaksikan luka pada lutut dan mata kaki yang bertambah parah
serta darahnya mengalir lebih banyak, menetes netes menggenangi batu batu. (hlm. 304)

f. Majas Sinekdoke
Majas sinekdoke adalah majas yang mempergunakan sebagian dari suatu hal yang
menyatakan keseluruhan (pars prototo) atau mempergunakan keseluruhan untuk menyatakan
sebagian (totem pro parte).
1. Celoteh di sudut pasar itu berhenti karena kehabisan bahan. (hlm. 126)
Penggambaran majas sinekdoke terdapat pada kata “di sudut pasar” padahal yang
dimaksudkan tidak hanya sudut pasar tetapi seluruh wilayah pasar, ungkapan ini termasuk
majas sinekdoke totem pro parte.
2. Sampean hanya memikirkan diri sendiri dan tidak mau mengerti urusan perut orang. (hlm.
288)
Majas sinekdoke pada kutipan tersebut terdapat pada kata “perut orang” yang maksud
sebenarnya adalah seluruh jiwa raga manusia.
3. Dua ekor anak kambing melompat lompat dalam gerakan amat lucu. (hlm. 118)
Majas sinekdoke pada kutipan tersebut terdapat pada kata “dua ekor anak kambing”
padahal yang sebenarnya adalah seluruh jiwa raga kambing bukan hanya ekornya.

g. Majas pertentangan (litotes)


Litotes adalah majas yang dipakai untuk menyatakan sesuatu dengan tujuan merendahkan diri.
Sesuatu hal kurang dari keadaan sebenarnya atau suatu pikiran dinyatakan dengan
menyangkal lawan katanya.
1. Aku sadar betul diriku terlalu kecil bagi alam. (hlm. 66)
Majas litotes terdapat pada kata diriku terlalu kecil.
2. Aku terkejut menyadari semua orang di tanah airku yang kecil ini memenuhi segala
keinginanku. (hlm. 104)
Majas litotes muncul dalam kata tanah airku yang kecil ini.
3. Kita ini memang buruk rupa tapi punya suami dan anak anak. (hlm. 339)
Majas litotes pada kutipan tersebut terdapat pada kata buruk rupa.

h. Majas Penegasan (repetisi)


Repetisi adalah majas yang mengandung pengulangan berkali-kali kata atau kelompok kata
yang sama.
1. Mereka hanya ingin melihat Srintil kembali menari, menari dan menari (hlm. 140)
Pada data kutipan di atas majas repetisi ditemukan pada kata kembali menari, menari dan
menari,
2. Srintil sedang berada dalam haribaan Dukuh Paruk yang tengah tidur lelap selelap
lelapnya, merenung dan terus merenung (hlm. 156)
Pada kutipan di atas majas repetisi terlihat pada kata tidur lelap selelap lelapnya, merenung
dan terus merenung.
3. Yang kelihatan adalah perempuan perempuan pekerja, perempuan perempuan bergiwang
serta perempuan perempuan berkaleng besar (hlm. 235)
Pada kutipan di atas repetisi tergambar pada kata perempuan perempuan pekerja,
perempuan perempuan bergiwang serta perempuan perempuan berkalung besar tersebut
dimaksudkan untuk penegasan gagasan tertentu. Dengan gaya bahasa repetisi terciptalah
makna yang lebih lugas dan intens.

i. Majas Sindiran (sarkasme)


Sarkasme merupakan suatu acuan yang lebih kasar dari ironi dan sinisme. Ia adalah suatu
acuan yang mengandung kepahitan dan celaan yang getir. Dalam RDP majas sarkasme
ditemukan pada kutipan di bawah ini,
1. Dower merasa berat dan mengutuk Kartareja dengan sengit “Si tua bangka ini sungguh
sungguh tengik !” (hlm. 71)
Majas sarkasme pada kutipan tersebut ada pada kata “si tua bangka sungguh tengik”.
2. Kertareja memang bajingan. Bajul buntung, “jawabku, mengumpat dukun ronggeng itu.
(hlm. 49)
Majas sarkasme pada kutipan tersebut ada pada kata “bajingan. Bajul buntung”.
3. Kalian mau mampus mampuslah tapi jangan katakan tempeku mengandung racun (hlm.
28)
Majas sarkasme pada kutipan tersebut ada pada kata “mampus mampuslah”.

Anda mungkin juga menyukai