Anda di halaman 1dari 128

RUMAH SAKIT PKU MUHAMMADIYAH SAMPANGAN

Semanggi RT 002 / RW 020 Pasar Kliwon


 0271-633894 Fax : 0271-630229
Sehat-aMANah-taNGGungjawab-Islami
SURAKARTA

PERATURAN DIREKTUR
RUMAH SAKIT PKU MUHAMMADIYAH SAMPANGAN SURAKARTA
NOMOR : 022/ PERDIR/ RSPKUSAMP/ XI/ 2018

TENTANG

PEDOMAN PELAKSANAAN HAK DAN KEWAJIBAN PASIEN


DI RUMAH SAKIT PKU MUHAMMADIYAH SAMPANGAN SURAKARTA

DIREKTUR RUMAH SAKIT PKU MUHAMMADIYAH SAMPANGAN SURAKARTA

Menimbang : a. bahwa dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat,


rumah sakit berkewajiban untuk menghormati dan melindungi hak-
hak pasien;
b. bahwa salah satu standar penilaian dalam akreditasi rumah sakit
adalah implementasi hak-hak pasien pada pelayanan kesehatan;
c. bahwa dalam rangka pemenuhan hak-hak pasien, rumah sakit perlu
melakukan upaya-upaya sistematis dan terorganisir;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf
a, huruf b, dan huruf c serta untuk memberikan kepastian hukum,
perlu membentuk sebuah peraturan direktur.

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran;


2. Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan;
3. Undang-undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit;
4. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 269/Menkes/Per/III/2008 tentang
Rekam Medis;
5. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290/Menkes/Per/III/2008 tentang
Persetujuan Tindakan Kedokteran;
6. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1691/MENKES/PER/VIII/2011
tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit;
7. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 12 Tahun
2012 tentang Akreditasi Rumah Sakit;
8. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 36 Tahun 2012 tentang Rahasia
RUMAH SAKIT PKU MUHAMMADIYAH SAMPANGAN
Semanggi RT 002 / RW 020 Pasar Kliwon
 0271-633894 Fax : 0271-630229
Sehat-aMANah-taNGGungjawab-Islami
SURAKARTA

Kedokteran;
9. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 69 Tahun
2014 tentang Kewajiban Rumah Sakit Dan Kewajiban Pasien;

MEMUTUSKAN

Menetapkan : PERATURAN DIREKTUR TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN


HAK DAN KEWAJIBAN PASIEN DI RUMAH SAKIT PKU
MUHAMMADIYAH SAMPANGAN SURAKARTA

Pasal 1
KETENTUAN UMUM
(1) Rumah Sakit adalah Rumah Sakit Umum Daerah RS PKU Muhammadiyah
Sampangan Surakarta, yaitu institusi pelayanan kesehatan yang
menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang
menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat.
(2) Pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya
untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan, baik secara
langsung maupun tidak langsung di Rumah Sakit Umum Daerah RS PKU
Muhammadiyah Sampangan Surakarta.
(3) Dokter dan Dokter Gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi, dan
dokter gigi spesialis lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi baik
di dalam maupun di luar negeri yang diakui ole Pemerintah Republik
Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(4) Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang
kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui
pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan
kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.
(5) Karyawan Rumah Sakit adalah seluruh pegawai Rumah Sakit terdiri dari
jajaran direksi/manajemen, Dokter dan Dokter Gigi, Tenaga Kesehatan, dan
tenaga non kesehatan.
(6) Tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang selanjutnya disebut Tindakan
Kedokteran adalah suatu tindakan medis berupa preventif, diagnostik,
terapeutic atau rehabilitatif yang dilakukan oleh dokter atau dokter gigi
terhadap pasien.
RUMAH SAKIT PKU MUHAMMADIYAH SAMPANGAN
Semanggi RT 002 / RW 020 Pasar Kliwon
 0271-633894 Fax : 0271-630229
Sehat-aMANah-taNGGungjawab-Islami
SURAKARTA

(7) Tim Handling Komplain adalah tim yang dibentuk Rumah Sakit untuk
menerima pengaduan Pasien dan keluarganya atas pelayanan kesehatan.
(8) Panduan adalah merupakan petunjuk dalam melakukan kegiatan.
(9) Standar Prosedur Operasional yang selanjutnya disebut SPO, merupakan
suatu perangkat instruksi atau langkah-langkah yang dibakukan untuk
menyelesaikan proses kerja rutin tertentu.

Pasal 2
HAK-HAK PASIEN

Setiap Pasien Rumah Sakit memiliki hak:


(1) memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang berlaku di
Rumah Sakit;
(2) memperoleh informasi tentang hak dan kewajiban Pasien
(3) memperoleh layanan yang manusiawi, adil, jujur, dan tanpa diskriminasi;
(4) memperoleh layanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan standar profesi
dan standar prosedur operasional;
(5) memperoleh layanan yang efektif dan efisien sehingga Pasien terhindar dari
kerugian fisik dan materi;
(6) mengajukan pengaduan atas kualitas pelayanan yang didapatkan;
(7) memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan keinginannya dan
peraturan yang berlaku di Rumah Sakit;
(8) meminta konsultasi tentang penyakit yang dideritanya kepada dokter lain
yang mempunyai Surat Izin Praktik (SIP) baik di dalam maupun di luar
Rumah Sakit;
(9) mendapatkan privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk data-
data medisnya;
(10) mendapat informasi yang meliputi diagnosis dan tata cara tindakan medis ,
tujuan tindakan medis, alternatif tindakan, risiko dan komplikasi yang
mungkin terjadi, dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan serta
perkiraan biaya pengobatan;
(11) memberikan persetujuan atau menolak atas tindakan yang akan dilakukan
oleh tenaga kesehatan terhadap penyakit yang dideritanya;
(12) didampingi keluarganya dalam keadaan kritis;
RUMAH SAKIT PKU MUHAMMADIYAH SAMPANGAN
Semanggi RT 002 / RW 020 Pasar Kliwon
 0271-633894 Fax : 0271-630229
Sehat-aMANah-taNGGungjawab-Islami
SURAKARTA

(13) menjalankan ibadah sesuai agama atau kepercayaan yang dianutnya


selama hal itu tidak mengganggu Pasien lainnya;
(14) memperoleh keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam perawatan
di Rumah Sakit;
(15) mengajukan usul, saran, perbaikan atas perlakuan Rumah Sakit terhadap
dirinya;
(16) menolak pelayanan bimbingan rohani yang tidak sesuai dengan agama dan
kepercayaan yang dianutnya;
(17) menggugat dan/atau menuntut Rumah Sakit apabila Rumah Sakit diduga
memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan stndar baik secara perdata
ataupun pidana; dan
(18) mengeluhkan pelayanan rumah sakit yang tidak sesuai dengan standar
pelayanan melalui media cetak dan elektronik sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Pasal 3
TANGGUNG JAWAB RUMAH SAKIT
(1) Rumah Sakit berkewajiban untuk menghormati dan melindungi hak-hak
Pasien Rumah Sakit sebagaimana tercantum dalam Pasal 2, dengan
memberlakukan peraturan dan standar Rumah Sakit, melakukan pelayanan
yang berorientasi pada hak dan kepentingan Pasien, serta melakukan
monitoring dan evaluasi penerapannya.
(2) Seluruh Karyawan Rumah Sakit bertanggung jawab atas pelaksanaan hak-hak
Pasien dengan melaksanakan segala ketentuan yang diatur dalam peraturan
ini.

Pasal 4
PERSETUJUAN UMUM (GENERAL CONSENT)
(1) Setiap Pasien berhak atas tubuhnya sendiri, dan untuk menghormati hak
pasien tersebut, Rumah Sakit wajib menyampaikan persetujuan umum
(general consent) kepada setiap Pasien dan/atau keluarga Pasien, sebelum
Pasien memperoleh pelayanan di rawat jalan dan rawat inap.
(2) Setiap Pasien wajib mengisi formulir Persetujuan Umum (General Consent)
yang berisi tentang:
RUMAH SAKIT PKU MUHAMMADIYAH SAMPANGAN
Semanggi RT 002 / RW 020 Pasar Kliwon
 0271-633894 Fax : 0271-630229
Sehat-aMANah-taNGGungjawab-Islami
SURAKARTA

a. Persetujuan untuk perawatan dan pengobatan;


b. Persetujuan pelepasan informasi;
c. Hak dan tanggung jawab pasien;
d. Informasi rawat inap;
e. Privasi; dan
f. Informasi Biaya.
(3) Penyampaian persetujuan umum (general consent) sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2), mengacu pada Panduan Hak Dan Kewajiban Pasien Dalam
Pelayanan, SPO Hak Pasien Dalam Pelayanan, serta formulir Persetujuan
Umum (General Consent) sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan
ini.

Pasal 5
PENYAMPAIAN INFORMASI TATA TERTIB SERTA HAK DAN
KEWAJIBAN PASIEN
(1) Rumah Sakit wajib menyampaikan informasi tentang tata tertib/peraturan
yang berlaku di Rumah Sakit serta hak dan kewajiban pasien.
(2) Penyampaian informasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilakukan
pada saat pendaftaran Pasien di rawat inap dan rawat jalan bersama pengisian
Persetujuan Umum (General Consent).
(3) Tata tertib Rumah Sakit dan hak dan kewajiban pasien diberikan kepada
Pasien dan/atau keluarganya dalam bentuk leaflet Tata Tertib
Pasien/Pengunjung RS PKU Muhammadiyah Sampangan Surakarta,
sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan ini.
(4) Penyampaian informasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
pelaksanaannya mengacu pada Panduan Hak Dan Kewajiban Pasien Dalam
Pelayanan, SPO Hak Pasien Dalam Pelayanan, sebagaimana tercantum dalam
Lampiran Peraturan ini.

Pasal 6
PENYAMPAIAN INFORMASI HAK DAN KEWAJIBAN PASIEN
DALAM PELAYANAN KESEHATAN
(1) Dalam perawatan kesehatan yang dilaksanakan oleh Rumah Sakit, Pasien
memiliki kewajiban untuk mematuhi peraturan yang berlaku di Rumah Sakit,
menggunakan fasilitas Rumah Sakit secara bertanggung jawab, menghormati
RUMAH SAKIT PKU MUHAMMADIYAH SAMPANGAN
Semanggi RT 002 / RW 020 Pasar Kliwon
 0271-633894 Fax : 0271-630229
Sehat-aMANah-taNGGungjawab-Islami
SURAKARTA

hak-hak pasien lain, pengunjung, dan hak Tenaga Kesehatan serta petugas
lainnya yang bekerja di Rumah Sakit, memberikan memberikan informasi
yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya, memberikan
informasi mengenai kemampuan finansial dan jaminan kesehatan yang
dimilikinya, mematuhi rencana terapi yang direkomendasikan oleh
Dokter/Dokter Gigi dan Tenaga Kesehatan di Rumah Sakit yang disetujui
oleh Pasien setelah mendapatkan penjelasan, mematuhi nasihat dan petunjuk
Dokter/Dokter Gigi dan Tenaga Kesehatan, dan memberikan imbalan jasa
atas pelayanan yang diterima.
(2) Rumah Sakit dalam hal ini wajib menyampaikan kewajiban pasien
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), sehingga Pasien dapat berpartisipasi
secara aktif dan bertanggung jawab dalam pelayanan kesehatan yang
diperolehnya di Rumah Sakit.
(3) Penegasan kewajiban pasien terhadap pelayanan kesehatan, disampaikan
kembali oleh Dokter/Dokter Gigi dan Tenaga Kesehatan kepada Pasien saat
memperoleh pelayanan di rawat jalan maupun rawat inap.
(4) Penyampaian informasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2),
pelaksanaannya mengacu pada Panduan Hak Dan Kewajiban Pasien Dalam
Pelayanan, SPO Hak Pasien Dalam Pelayanan, sebagaimana tercantum dalam
Lampiran Peraturan ini.

Pasal 7
PENGADUAN ATAS KUALITAS PELAYANAN RUMAH SAKIT
(1) Pasien berhak untuk menyampaikan pengaduan atas kualitas pelayanan
Rumah Sakit.
(2) Rumah Sakit wajib menyediakan fasilitas bagi pengaduan secara 24
(duapuluh empat) jam atas kualitas pelayanan Rumah Sakit.
(3) Fasilitas bagi pengaduan Rumah Sakit sebagaimana dimaksud dalam ayat (2),
meliputi pengaduan secara langsung melalui Unit Pengaduan Masyarakat, dan
tidak langsung melalui kotak saran, website, telepon, media massa dan
kuisioner.
(4) Setiap pengaduan Pasien dan keluarga merupakan tanggung jawab Tim
Pelayanan Pengaduan (Handling Komplain) Rumah Sakit, untuk
ditindaklanjuti segera.
RUMAH SAKIT PKU MUHAMMADIYAH SAMPANGAN
Semanggi RT 002 / RW 020 Pasar Kliwon
 0271-633894 Fax : 0271-630229
Sehat-aMANah-taNGGungjawab-Islami
SURAKARTA

(5) Pengaduan Pasien dan keluarga yang dilayani adalah pengaduan pasien dan
keluarga yang bertujuan untuk perbaikan mutu pelayanan kesehatan.
(6) Apabila pengaduan Pasien dan keluarga memerlukan klarifikasi, maka
Rumah Sakit wajib memberikan klarifikasi kepada Pasien dan Keluarga.
(7) Apabila pengaduan Pasien dan keluarga tidak memerlukan klarifikasi, maka
Rumah Sakit menangani pengaduan tersebut secara internal dan dijadikan
bahan evaluasi bagi peningkatan kualitas pelayanan Rumah Sakit.
(8) Setiap pengaduan Pasien dan keluarga kepada Rumah Sakit dituangkan dalam
formulir Laporan Tindak Lanjut Pengaduan sebagaimana terlampir dalam
Peraturan ini dan dilaporkan secara periodik kepada Direktur Rumah Sakit.
(9) Dokumentasi Laporan Tindak Lanjut Pengaduan disimpan oleh Tim Handling
Komplain
(10) Pelaksanaan pengaduan Pasien dan keluarga mengacu pada Panduan
Penyelesaian Keluhan/Komplain dan SPO Penanganan Keluhan/Komplain.

Pasal 8
DOKTER PENANGGUNG JAWAB PELAYANAN
(1) Rumah Sakit wajib menyediakan Dokter penanggung jawab pelayanan bagi
perawatan Pasien.
(2) Dokter penanggung jawab pelayanan wajib membuat rencana pelayanan.
(3) Dokter penanggung jawab pelayanan wajib memberikan informasi secara
jelas dan benar kepada pasien dan keluarganya.
(4) Informasi yang diberikan meliputi elemen-elemen sebagai berikut;
a. Diagnosis (diagnosis kerja dan diagnosis banding) dan dasar diagnosis;
b. Kondisi Pasien;
c. Rancana tindakan;
d. Tata cara dan tujuan tindakan;
e. Manfaat dan risiko tindakan;
f. Nama orang yang mengerjakan tindakan;
g. Kemungkinan alternatif dari tindakan;
h. Prognosis dari tindakan;
i. Kemungkinan hasil tidak terduga;
j. Kemungkinan hasil bila tidak dilakukan tindakan.
(5) Dokter Penanggung Jawab Pelayanan dalam memberikan Informasi kepada
pasien dilakukan secara lisan kemudian didokumentasikan secara tertulis pada
RUMAH SAKIT PKU MUHAMMADIYAH SAMPANGAN
Semanggi RT 002 / RW 020 Pasar Kliwon
 0271-633894 Fax : 0271-630229
Sehat-aMANah-taNGGungjawab-Islami
SURAKARTA

formulir pemberian informasi didalam rekam medis pasien yang sudah


disediakan.

Pasal 9
PERMINTAAN PENDAPAT MEDIS YANG BERBEDA (SECOND
OPINION)
(1) Setiap Pasien berhak untuk meminta konsultasi tentang penyakit yang
dideritanya kepada Dokter lain yang memiliki Surat Ijin Praktik baik di dalam
maupun di luar Rumah Sakit.
(2) Rumah Sakit memfasilitasi Pasien untuk memperoleh konsultasi dari Dokter
lain baik di dalam maupun di luar Rumah Sakit.
(3) Pasien yang ingin memperoleh konsultasi dari Dokter lain, wajib mengisi
formulir Persetujuan Permintaan Pendapat Medis Yang Berbeda (Second
Opinion) sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan ini.
(4) Pelaksanaan second opinion di Rumah Sakit mengacu pada Panduan
Permintaan Pendapat Medis Yang Berbeda (Second Opinion) dan SPO
Memperoleh Pendapat Medis Yang Berbeda (Second Opinion) yang
tercantum dalam Lampiran Peraturan ini.

Pasal 10
PRIVASI PASIEN
(1) Setiap Pasien berhak atas privasi dan kerahasiaan penyakit yang dideritanya.
(2) Rumah Sakit wajib menjaga identitas Pasien agar tidak dapat dibaca dan
dilihat oleh khalayak umum.
(3) Rumah Sakit wajib menjaga rahasia penyakit Pasien, dan tidak dibenarkan
untuk membuka rahasia tersebut kepada pihak lain, kecuali atas ijin Pasien
dan/atau menurut peraturan perundang-undangan.
(4) Rumah Sakit menjaga privasi Pasien rawat inap kelas perawatan II dan III
dengan cara Rumah Sakit memasang gorden/tirai pada setiap tempat tidur
Pasien.
(5) Rumah Sakit menjaga privasi Pasien di ruang pemeriksaan dan tindakan
dengan cara menempatkan Pasien dalam ruang pemeriksaan, menutup
gorden, memasang selimut, mempersilakan keluarga Pasien untuk menunggu
di luar, dan menutup pintu pada saat melakukan pemeriksaan dan tindakan.
RUMAH SAKIT PKU MUHAMMADIYAH SAMPANGAN
Semanggi RT 002 / RW 020 Pasar Kliwon
 0271-633894 Fax : 0271-630229
Sehat-aMANah-taNGGungjawab-Islami
SURAKARTA

(6) Rumah Sakit menjaga privasi Pasien pada saat melakukan transportasi Pasien
dengan menutupi tubuh Pasien dengan selimut.
(7) Tidak dibenarkan siapa pun membicarakan privasi Pasien di Rumah Sakit.
(8) Rumah Sakit menjaga kerahasiaan rekam medis.
(9) Rumah Sakit memfasilitasi pasien apabila menghendaki tidak mau dijenguk
selama perawatan di Rumah Sakit.
(10) Pelaksanaan privasi pasien di Rumah Sakit mengacu pada Panduan Privasi
dan SPO Menjaga Privasi Pasien dan SPO Kerahasiaan Rekam Medis yang
tercantum dalam Lampiran Peraturan ini.

Pasal 11
MANAJEMEN NYERI
(1) Setiap pasien berhak mendapatkan hak untuk dikelola masalah nyeri yang
dideritanya.
(2) Rumah sakit mengatur assesmen dan monitoring nyeri dalam panduan
manejemen nyeri.

Pasal 12
PERSETUJUAN TINDAKAN KEDOKTERAN (INFORMED
CONSENT)
(1) Setiap tindakan kedokteran yang dilakukan harus meminta persetujuan
Pasien, dan persetujuan tersebut diperoleh setelah Dokter/Dokter gigi dan
Tenaga Kesehatan memberikan informasi yang memadai tentang tindakan
kedokteran tersebut.
(2) Setiap pasien berhak memberikan persetujuan atau menolak atas tindakan
yang akan dilakukan oleh Dokter/Dokter Gigi dan Tenaga Kesehatan
terhadap penyakit yang dideritanya dengan mengisi formulir Persetujuan
Tindakan Kedokteran atau Surat Pernyataan Penolakan Pengobatan.
(3) Persetujuan tindakan kedokteran dilakukan untuk:
a. semua tindakan pembedahan dan tindakan invasive;
b. semua tindakan anastesi, dan sedasi sedang serta sedasi dalam;
c. semua tindakan pemberian produk darah dan komponen darah; dan
d. semua tindakan yang berisiko tinggi.
RUMAH SAKIT PKU MUHAMMADIYAH SAMPANGAN
Semanggi RT 002 / RW 020 Pasar Kliwon
 0271-633894 Fax : 0271-630229
Sehat-aMANah-taNGGungjawab-Islami
SURAKARTA

(4) Semua tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan obat-
obatan yang memerlukan persetujuan, dapat dilihat pada Daftar Tindakan-
tindakan Yang Memerlukan Persetujuan Tindakan Kedokteran (Informed
Consent) dan Daftar Obat Yang Memerlukan Persetujuan Tindakan
Kedokteran (Informed Consent) sebagaimana tercantum dalam Lampiran
Peraturan ini.
(5) Pelaksanaan persetujuan/penolakan tindakan kedokteran mengacu pada
Panduan Persetujuan Tindakan Kedokteran (Informed Consent) dan SPO
Persetujuan Tindakan Kedokteran (Informed Consent) dan SPO Penolakan
Tindakan Kedokteran (Informed Consent) sebagaimana tercantum dalam
Lampiran Peraturan ini.
(6) Jika Pasien dan/atau keluarga Pasien memutuskan untuk menghentikan
pengobatan dan pulang atas permintaan sendiri, Pasien wajib mengisi Surat
Pernyataan Penolakan Pengobatan dan Surat Pernyataan Pulang APS yang
tercantum dalam Lampiran Peraturan ini.
(7) Pasien dapat menolak tindakan resusitasi dengan mengisi Formulir Penolakan
Tindakan Resusitasi, dan pelaksanaannya mengacu pada Panduan Penolakan
Resusitasi (Do Not Resucitation (DNR)), dan SPO Penolakan Tindakan
Resusitasi.

Pasal 13
PELAYANAN KEROHANIAN
(1) Setiap Pasien berhak menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan
kepercayaanya selama hal tersebut tidak mengganggu Pasien lainnya.
(2) Rumah Sakit mengidentifikasi agama dan keyakinan setiap Pasien, dan wajib
memperhatikan dan menghargai nilai serta keyakinan Pasien dan keluarga
tersebut.
(3) Pelaksanaan identifikasi agama dan keyakinan setiap Pasien mengacu pada
Panduan Pelayanan Kerohanian.
(4) Rumah Sakit memberikan pelayanan kerohanian kepada pasien sesuai dengan
Panduan Pelayanan Kerohanian sebagaimana tercantum dalam Lampiran
Peraturan ini.
(5) Untuk pasien yang beragama islam, pelayanan rohani diberikan saat pasien
menjalani perawatan di rawat inap Rumah Sakit. Untuk pasien non muslim,
pasien berhak meminta pelayanan kerohanian dengan mengisi formulir
RUMAH SAKIT PKU MUHAMMADIYAH SAMPANGAN
Semanggi RT 002 / RW 020 Pasar Kliwon
 0271-633894 Fax : 0271-630229
Sehat-aMANah-taNGGungjawab-Islami
SURAKARTA

Permintaan Pelayanan Kerohanian. Selanjutnya Rumah Sakit akan


memfasilitasi pelayanan kerohanian dengan memanggil petugas dari pihak
Kementrian Agama kota Surakarta.
(6) Pelayanan kerohanian pada Pasien dapat berupa motivasi, konsultasi,
ceramah, agama, atau do’a yang dipimpin oleh rohaniawan.
(7) Pada Pasien terminal, Rumah Sakit menawarkan bimbingan rohani dan Pasien
didampingi keluarganya.

Pasal 14
PERLINDUNGAN HARTA DAN BENDA MILIK PASIEN
(1) Setiap Pasien berhak memperoleh keamanan dan keselamatan dirinya selama
perawatan di Rumah Sakit.
(2) Pasien tidak dibenarkan memakai dan membawa perhiasan dan barang
berharga lainnya dengan sengaja selama dirawat di Rumah Sakit, dan dalam
hal ini Rumah Sakit tidak bertanggung jawab atas kehilangan dan kerusakan
pada barang-barang tersebut.
(3) Rumah Sakit tidak menerima penitipan uang atau barang-barang berharga
pada pasien yang sadar atau ada pendamping keluarga.
(4) Pada Pasien tidak sadar/hilang ingatan dan tanpa pendamping keluarga,
Rumah Sakit bertanggung jawab atas perhiasan dan barang berharga Pasien,
serta dalam hal ini Rumah Sakit menyediakan loker khusus penyimpanan
barang berharga Pasien dan menyiapkan Formulir Penitipan Harta Benda
Milik Pasien.
(5) Pelaksanaan perlindungan terhadap harta dan benda milik Pasien di Rumah
Sakit mengacu pada Panduan Perlindungan Harta Dan Benda Milik Pasien
dan SPO Perlindungan Harta Benda Milik Pasien dan SPO
Penitipan/Penyimpanan Barang Milik Pasien sebagaimana tercantum dalam
Lampiran Peraturan ini.

Pasal 15
PERLINDUNGAN PASIEN TERHADAP KEKERASAN FISIK
RUMAH SAKIT PKU MUHAMMADIYAH SAMPANGAN
Semanggi RT 002 / RW 020 Pasar Kliwon
 0271-633894 Fax : 0271-630229
Sehat-aMANah-taNGGungjawab-Islami
SURAKARTA

(1) Setiap Pasien berhak memperoleh keamanan dan keselamatan dirinya selama
perawatan di Rumah Sakit.
(2) Seluruh karyawan Rumah Sakit wajib menggunakan tanda pengenal.
(3) Seluruh pengunjung, tamu dan pekerja lepas di Rumah Sakit wajib
teridentifikasi.
(4) Rumah Sakit memberikan perlindungan keamanan secara khusus kepada
populasi yang rentan kekerasan fisik, seperti: bayi dan anak-anak, Pasien
cacat, Pasien lanjut usia, Pasien perempuan yang mengalami kekerasan, orang
dengan gangguan jiwa, pasien tidak sadar atau pasien koma.
(5) Rumah Sakit menempatkan kamera CCTV pada area-area beresiko seperti
Ruang Anak, Ruang Bersalin dan ruang bayi.
(6) Pelaksanaan perlindungan Pasien terhadap kekerasan fisik mengacu pada
Panduan Perlindungan Pasien Terhadap Kekerasan Fisik, dan SPO
sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan ini.

Pasal 16
PELAYANAN PASIEN TERMINAL
(1) Setiap Pasien mempunyai hak untuk didampingi keluarga saat kondisi kritis.
(2) Rumah Sakit menghormati hak Pasien sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
dengan memfasilitasi kebutuhan-kebutuhan Pasien terminal sesuai agama dan
kepercayaannya.
(3) Pelaksanaan pelayanan Pasien terminal mengacu pada Panduan Pelayanan
Pasien Terminal dan SPO Pelayanan Pasien Terminal sebagaimana tercantum
dalam Lampiran Peraturan ini.

Pasal 17
LAIN-LAIN
(1) Rumah Sakit tidak melakukan penelitian klinis.
(2) Rumah Sakit tidak melakukan donasi organ.
RUMAH SAKIT PKU MUHAMMADIYAH SAMPANGAN
Semanggi RT 002 / RW 020 Pasar Kliwon
 0271-633894 Fax : 0271-630229
Sehat-aMANah-taNGGungjawab-Islami
SURAKARTA

Pasal 18
PENUTUP
Peraturan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di : Surakarta
Pada tanggal : 1 November 2018

Direktur Rumah Sakit PKU Muhammadiyah


Sampangan Surakarta

dr. Rosnedy Ariswati, M.Kes


NBM: 827348
LAMPIRAN PERATURAN DIREKTUR
RUMAH SAKIT PKU
MUHAMMADIYAH SAMPANGAN
SURAKARTA NOMOR: 022/ PERDIR/
RSPKUSAMP/ XI/ 2018
TENTANG PEDOMAN
PELAKSANAAN HAK DAN
KEWAJIBAN PASIEN

LAMPIRAN I: PANDUAN HAK DAN KEWAJIBAN PASIEN

BAB I
DEFINISI

1. Hak adalah tuntutan seseorang terhadap sesuatu yang merupakan


kebutuhan pibadinya, sesuai dengan keadilan, moralitas dan legalitas.
2. Kewajiban adalah tanggung jawab seseorang untuk melakukan sesuatu
yang memang harus dilakukan agar dapat dipertanggungjawabkan sesuai
dengan haknya.
3. Pasien adalah penerima jasa pelayanan kesehatan di Rumah Sakit baik
dalam keadaan sehat maupun sakit.
4. Persetujuan Umum atau General Consent adalah pernyataan kesepakatan
yang diberikan oleh pasien terhadap peraturan Rumah Sakit yang bersifat
umum.
5. Persetujuan Tindakan atau Informed Consent adalah pernyataan setuju
(consent) atau izin dari seseorang (pasien) yang diberikan secara bebas,
rasional, tanpa paksaan (voluntary) terhadap tindakan kedokteran yang
akan dilakukan terhadapnya sesudah mendapatkan informasi (informed)
yang cukup tentang tindakan kedokteran yang dimaksud.

Penjelasan hak dan kewajiban pasien dalam pelayanan adalah informasi


yang diberikan oleh pihak Rumah Sakit kepada pasien atau keluarganya
yang mencakup informasi tentang hak dan kewajiban pasien. Hak pasien
dan keluarga merupakan pelaksanaan hak asasi manusia atas pelayanan
kesehatan di rumah sakit yang dilindungi oleh hukum, sehingga seluruh

3
staf rumah sakit bertanggungjawab melindungi dan mengedepankan hak
pasien dan keluarga.

Tujuannya agar pasien dan keluarga memahami apa yang menjadi hak dan
kewajibannya.

BAB II
RUANG LINGKUP

1. Setiap pasien mempunyai hak:


a. Pasien berhak memperoleh informasi mengenai tata tertib dan
peraturan yang berlaku di rumah sakit.
b. Pasien berhak memperoleh informasi tentang hak dan kewajiban
pasien.
c. Pasien berhak atas pelayanan yang manusiawi, adil dan jujur dan
tanpa diskriminasi.
d. Pasien berhak memperoleh pelayanan medis yang bermutu sesuai
dengan standar profesi kedokteran / kedokteran gigi dan sesuai
dengan standar prosedur operasional (SPO).
e. Pasien berhak memperoleh layanan yang efektif dan efisien sehingga
pasien terhindar dari kerugian fisik dan materi.
f. Mengajukan pengaduan atas kualitas pelayanan yang didapatkan.
g. Pasien berhak memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan
keinginannya dan sesuai dengan peraturan yang berlaku di rumah
sakit.
h. Pasien berhak meminta konsultasi kepada dokter lain yang
mempunyai SIP (Surat Izin Praktik) yang terdaftar di rumah sakit
tersebut maupun di luar Rumah Sakit (second opinion) terhadap
penyakit yang dideritanya, sepengetahuan dokter yang merawat.
i. Pasien berhak atas privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita
termasuk data-data medisnya.
j. Pasien berhak mendapat informasi yang meliputi :
1) Penyakit yang diderita atau diagnosis, tata cara tindakan medis
apa yang hendak dilakukan dan tujuan tindakan medis.

4
2) Kemungkinan penyakit sebagai akibat tindakan tersebut dan
tindakan untuk mengatasinya.
3) Alternatif terapi lainnya.
4) Resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi.
5) Prognosis.
6) Perkiraan biaya pengobatan.
k. Pasien berhak menyetujui/memberikan izin atas tindakan yang akan
dilakukan oleh dokter sehubungan dengan penyakit yang dideritanya
dan berhak menolak tindakan yang hendak dilakukan terhadap
dirinya dan mengakhiri pengobatan serta perawatan atas
tanggungjawab sendiri sesudah memperoleh informasi yang jelas
tentang penyakitnya.
l. Pasien berhak didampingi keluarganya dalam keadaan kritis.
m. Pasien berhak menjalankan ibadah sesuai agama/kepercayaan yang
dianutnya selama hal itu tidak mengganggu pasien lainnya.
n. Pasien berhak atas keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam
perawatan di rumah sakit.
o. Pasien berhak mengajukan usul, saran, perbaikan atas perlakuan
perlakuan rumah sakit terhadap dirinya.
p. Pasien berhak menerima atau menolak bimbingan rohani yang tidak
sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianutnya.
q. Menggugat atau menuntut Rumah Sakit apabila Rumah Sakit diduga
memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik secara
perdata maupun pidana.
r. Mengeluhkan pelayanan Rumah sakit yang tidak sesuai dengan
standar pelayanan melalui media cetak dan elektonik sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
2. Setiap pasien mempunyai kewajiban :
a. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur tentang masalah
kesehatannya.
b. Mengetahui kewajibannya dan tanggungjawab pasien dan keluarga.
c. Mengajukan pertanyaan untuk hal yang tidak dimengerti.
d. Memahami dan menerima konsekuensi pelayanan.
e. Mematuhi instruksi dan menghormati peraturan Rumah Sakit.
f. Memperlihatkan sikap menghormati dan tenggang rasa.

5
g. Memenuhi kewajiban finansial yang disepakati.

BAB III
TATA LAKSANA

1. Penjelasan Tentang hak dan kewajiban pasien


a. Hak dan kewajiban pasien secara lengkap tercantum dalam
persetujuan umum (general consent).
b. Pasien/keluarga wajib membaca uraian hak dan kewajiban yang
tercantum dalam persetujuan umum (general consent).
c. Petugas admisi mempunyai tanggungjawab dalam memberikan
penjelasan kepada pasien/keluarga tentang hak dan kewajiban
pasien dalam bahasa yang mudah difahami.
d. Informasi yang diberikan petugas admisi meliputi :
(1) Hak dan kewajiban sebagai pasien.
(2) Persetujuan pelayanan kesehatan.
(3) Akses infomasi kesehatan.
(4) Rahasia medis.
(5) Privasi.
(6) Barang pribadi.
(7) Pengajuan keluhan.
(8) Kewajiban pembayaran.
(9) Tata tertib pasien
(10) Pelayanan kerohanian
e. Jika diperlukan mintalah kepada pasien/keluarga untuk mengulang
beberapa penjelasan terpenting yang telah diberikan sebagai bukti
verifikasi bahwa pasien/keluarga telah memahaminya.
f. Berikan kesempatan pasien/keluarga untuk bertanya.
g. Pastikan pasien/keluarga menandatangani fomulir persetujuan
umum (general consent).
h. Fomulir persetujuan umum (general consent) disimpan dalam
rekam medis pasien yang bersangkutan.
i. Salinan tentang hak dan kewajiban pasien diberikan kepada
pasien/keluarga dalam bentuk leaflet.
2. Akses mendapatkan informasi hak dan kewajiban pasien

6
Informasi tentang hak dan kewajiban pasien dapat diperoleh pasien/
keluarga/ pengunjung Rumah Sakit melalui :
a. Petugas Admisi Rumah Sakit.
b. Petugas Informasi.
c. Petugas medis dan perawat.
d. Infomasi tertulis tentang hak dan kewajiban pasien tercantum pada :
(1) Formulir persetujuan umum (general consent).
(2) Leaflet tentang hak dan kewajiban pasien.
(3) X-Banner yang berisi tentang hak dan kewajiban pasien.

BAB IV
DOKUMENTASI

1. Seluruh pasien yang dirawat inap maupun yang dirawat jalan untuk
pertama kali, wajib mendapat penjelasan dan menandatangani
persetujuan umum (general consent).
2. Penjelasan tentang persetujuan umum (general consent) dilakukan
dibagian Admisi meliputi penjelasan tentang hak dan kewaiban pasien,
persetujuan pelayanan kesehatan, rahasia medis, privasi, barang
pribadi, pengajuan keluhan, kewajiban pembayaran, tata tertib pasien,
dan pelayanan kerohanian.
3. Formulir persetujuan umum (general consent) ditandatangani
pasien/keluarga dan disimpan dalam rekam medis pasien yang
bersangkutan.
4. Leaflet, X-Banner tentang hak dan kewajiban pasien.

LAMPIRAN II: PANDUAN PENYELESAIAN KELUHAN/KOMPLAIN

7
BAB I
DEFINISI

1. Keluhan/komplain pelanggan adalah suatu bentuk pernyataan


ketidakpuasan/kekecewaan pelanggan mengenai kebutuhan dan harapan
yang tidak terpenuhi. Pernyataan dapat disampaikan dengan melalui
berbagai saluran.
2. Komplain atau keluhan adalah saran dan masukan berupa kritikan dan
atau keberatan yang disampaikan secara lisan ataupun tertulis dari pihak
eksternal maupun internal rumah sakit mengenai kinerja yang dihasilkan
oleh rumah sakit/perusahaan.
3. Marah adalah perasaan seseorang akibat pengalaman yang tidak
memuaskan atau mengganggu. Luapan tersebut akibat tekanan yang
terlampau besar. Kemarahan dalam bentuk komplain atau keluhan bisa
disampaikan langsung pada pihak terkait, tapi bisa juga disampaikan pada
pihak-pihak luar.

Rumah sakit sebagai penyedia layanan harus bisa memastikan bahwa dia
mengetahui apa yang dibutuhkan dan diharapkan oleh pelanggan. Apabila
ada kebutuhan/ harapan pelanggan yang belum terpenuhi maka mereka pasti
akan kecewa. Hanya sedikit dari pelanggan yang mau mengungkapkan
kekecewaannya melalui komplain. Untuk mengatasi hal tersebut, rumah
sakit sebagai pemberi layanan mempunyai kewajiban untuk mencoba
memenuhinya dan juga menyiapkan saluran komplain untuk menampung
keluhan pelanggan agar mereka tidak mencari saluran lain diluar rumah
sakit. Klien/kostumer yang marah biasanya ingin:
a. Didengar
b. Dimengerti
c. Dihormati
d. Diberi permintaan maaf
e. Diberi penjelasan
f. Ada tindakan perbaikan dalam waktu yang tepat

A. Strategi Meredam Kemarahan Pelanggan


1. Dengarkan

8
a. Biarkan klien melepaskan kemarahannya. Cari fakta inti
permasalahannya, jangan lupa bahwa pada tahap ini kita berurusan
dengan perasaan dan emosi, bukan sesuatu yang rasional. Emosi
selalu menutupi maksud klien yang sesungguhnya.
b. Dengarkan dengan empati, bayangkan kita berada dalam posisi klien
yang lelah, gelisah, sakit, khawatir akan vonis dokter, dll.
c. Tatap mata klien dan fokus, jauhkan semua hal yang merintangi
konsentrasi kita pada klien (telepon, tamu lain,dll).
d. Ulangi setiap fakta yang dikemukakan klien, sebagai tanda kita
benar-benar mendengarkan mereka.
2. Berusaha sependapat dengan pelanggan
a. Bukan berarti kita selalu membenarkan klien/kostumer, kita mencari
point-point dalam pernyataan yang bisa kita setujui.
b. Misalnya : “ Ya Pak, saya sependapat bahwa tidak seharusnya pasien
menunggu lama untuk bisa mendapatkan kamar. Tapi saat ini kamar
perawatan kami memang sedang penuh, kami berjanji akan mencari
jalan keluarnya dan melaporkannya pada Bapak sesegera mungkin”.
3. Tetap tenang dan kuasai diri
a. Ingatlah karakteristik pelanggan di rumah sakit adalah mereka yang
sedang cemas, gelisah dan khawatir akan kondisi diri atau
keluarganya, sehingga sangat bisa dimengerti bahwa dalam kondisi
seperti itu seseorang cenderung bertindak emosional.
b. Berhati-hati dengan nada suara, harus tetap rendah, positif dan
menenangkan. Jangan terbawa oleh nada suara klien yang cenderung
tinggi dan cepat.
c. Sampaikan informasi dengan sopan dan pelan-pelan.
d. Tetap gunakan kata-kata hormat seperti silakan, terimakasih atas
masukannya, dan sebut klien dengan namanya.
4. Mengakui kemarahan kostumer
Gunakan kata-kata seperti,”Saya mengerti kalau Ibu menjadi marah. Ibu
benar, kalau saya jadi Ibu mungkin saya juga akan marah. Saya berjanji
hal seperti ini tidak akan terjadi lagi di kemudian hari”.
5. Permohonan maaf
a. Dalam rangka meredamkan marah kita harus meminta maaf apapun
yang terjadi.

9
b. Permohonan maaf dapat disampaikan tanpa harus mengakui
kesalahan, karena sering kali terjadi kesalahan justru ada pada
kostumer/klien yang belum memahami peraturan.
c. Misalnya ”Saya mohon maaf atas kesalahfahaman ini”atau “Saya
mohon maaf atas kesulitan yang telah Ibu alami”.
6. Perlihatkan empati
a. Simpati: Berhenti pada rasa kasihan. “Saya simpati dengan korban
bencana alam”.
b. Empati memahami masalah klien/kostumer dan berusaha melakukan
sesuatu untuk memperbaiki.
c. Pahami persepsi klien/kostumer dan tempatkan pada posisi klien.

B. Hal-hal Yang Tidak Boleh Dilakukan


1. Jangan berdebat
Ingat bahwa saat ini kita masih dalam proses meredakan kemarahan klien.
Kesempatan untuk menjelaskan fakta dan kebenaran akan datang setelah
kustomer/klien reda dan menjadi lebih logis dan rasional.
2. Jangan bertanya “Kenapa?”
a. “Kenapa Ibu tidak datang lebih pagi?”
b. “Kenapa kartu pasien Ibu bisa hilang?”
c. Pertanyaan seperti itu cenderung meningkatkan kemarahan
kostumer karena mereka merasa disalahkan.
3. Jangan terlalu cepat mengambil kesimpulan atau mematuhi persepsi kita
4. Konsep dua belas tabu
a. Menyalahkan, “Jangan marah-marah dulu dong Bu, Ibu sendiri
yang datang terlambat”.
b. Sarkastik (sinis), “Bisa saja hal ini saya lakukan, tapi biayanya
cukup besar lho Pak”.
c. Menjelekan pihak lain, ”Iya memang perawat itu orangnya judes”.
d. Memotong pembicaraan kostumer.
e. Memberikan isyarat non verbal yang berlawanan dengan perkataan
verbal. “Ya, saya akan membantu semaksimal mungkin” dengan
ekspresi datar atau jemu.
f. Melempar ke pihak lain, ”Wah itu urusan bagian IGD bu”.

10
g. Menggunakan kata-kata klise, ”Ini peraturan bakunya, Rumah sakit
lain pasti lebih sulit”.
h. Hindari humor, humor bisa dilakukan nanti saat masalah sudah
selesai dan emosi kostumer sudah sepenuhnya reda.
i. Minta dikasihani, ”Mohon maklum bu saya sedang ada masalah
keluarga”, ”Kalo atasan saya tahu, saya bisa kehilangan pekerjaan,”
j. Pukul rata masalah dan menganggap komplain tersebut adalah hal
biasa. Kostumer akan merasa heran karena perusahaan mengambil
langkah untuk memperbaiki masalah yang sudah biasa ini.
k. Mencari-cari kesalahan kostumer, ”Ya memang kami lalai, tapi
Bapak juga jangan lapor dulu”.
l. Memakai istilah teknis yang tidak dimengerti orang awam.

C. Cara Memecahkan Permasalahan


1. Identifikasi
a. Tentukan pokok masalah, coba dapatkan detilnya untuk membantu
mengetahui permasalahan yang sebenarnya. Cara yang paling
efektif adalah dengan bertanya langsung, “Berapa nomor antrian
yang Ibu dapatkan?”
b. Pada akhir pembicaraan seharusnya sudah ada jawaban atas tiga
pertanyaan berikut:
1) Apa yang terjadi sehingga pelanggan marah ?
2) Perlakuan apa yang diterima pelanggan ?
3) Apa yang pelanggan inginkan?
2. Penilaian (Asessment)
a. Pada tahap ini kita sudah memahami permasalahan pelanggan dan
sudah bisa membayangkan bagaimana pemecahannya.
b. Yang perlu dipertimbangkan adalah, pengaruh munculnya
masalah ini pada orang banyak dan pada Rumah Sakit.
c. Resiko cost: biaya, waktu, tenaga.
d. Ketidaknyamanan pelanggan.
3. Negosiasi
4. Tindakan
a. Proses ini berdasarkan pada APA dan KAPAN

11
b. Pelanggan harus tahu apa yang akan terjadi pada keluhan mereka
setelah mereka menyampaikan keluhannya, dan kapan hal itu akan
dilaksanakan
c. Tentukan tenggat waktu yang realistis, lebih baik kita mempunyai
banyak waktu dalam merealisasikan janji kita
d. Bila ternyata sampai pada tenggat waktu yang ditentukan namun
janji belum terealisasikan, segera hubungi pelanggan dan jelaskan
permasalahannya

D. Pengaruh Respon Organisasi Terhadap Sikap Pelanggan Pasca Pelayanan


Respon organisasi terhadap keluhan akan dievaluasi oleh pelanggan,
hasilnya adalah kepuasan dan ketidakpuasan terhadap penanganan keluhan.
Dari kepuasan atau ketidakpuasan tersebut akan dapat mempengaruhi cerita
pelanggan kepada orang lain (word of mouth likelihood), isi cerita yang
disampaikan tersebut bisa bersifat negative maupun bersifat positive (word
of mouth valence). Dari aktivitas word of mouth tersebut juga akan
mempengaruhi pelanggan untuk kembali (mendapatkan pelayanan ulang di
tempat tersebut).
Terdapat enam buah dimensi respon organisasi yang dihipotesiskan
yang mempengaruhi kepuasan menyeluruh dari pelanggan yang mengeluh
dan juga mempengaruhi akfivitas word of mouth serta keinginan untuk
kembali (intention to repurchase) sebagai berikut :
1) Timeliness yaitu kecepatan waktu dalam merespon pengaduan
2) Facilitation (Mekanisme atau prosedur yang digunakan organisasi untuk
mendukung keluhan pelanggan) Pemfasilitasian akan membuat keluhan
pelanggan didengar oleh organisasi.
3) Redress (Perbaikan) salah satu respon yang diharapkan pelanggan ketika
memiliki masalah adalah perbaikan / penggantian yang adil. Menurut
Conlon dan Muray (1996) memperlihatkan bahwa perbaikan memiliki
pengaruh positif terhadap kepuasan dan keinginan untuk membeli ulang.
4) Apology (Permintaan maaf) permintaan maaf bukanlah suatu ungkapan
bahwa organisasi telah bersalah, tetapi lebih sebagai sebuah indikasi
bahwa organisasi memperhatikan keluhan / komplain pelanggan secara
serius dan akan menangani keluhan tersebut.

12
5) Credibility (Kredibilitas) kredibilitas merujuk kepada keinginan
organisasi untuk menyikapi bahwa pelanggan telah mendapat masalah.
Menurut Morris, 1988, organisasi dievaluasi tidak hanya oleh tanggapan
organisasi terhadap keluhan tetapi juga penjelasan / perhitungan
mengenai masalah yang telah dihadapi pelanggan dan juga apa yang akan
dilakukan organisasi untuk mencegah agar kejadian yang sama tidak
terjadi di masa depan.
6) Attentiveness (Perhatian)perhatian merujuk pada cara memberikan
perhatian dan komunikasi oleh organisasi kepada pelanggan yang
mengeluh interaksi antara organisasi dengan pelanggan yang mengeluh
dapat meningkatkan / mengurangi kepuasan pelanggan.

Keenam dimensi respon organisasi tersebut diatas akan mempengaruhi


kepuasan pelanggan (satisfaction) secara menyeluruh. Kepuasan adalah
perasaan senang secara menyeluruh dari pelanggan terhadap organisasi yang
telah merespon / menangani keluhan pelanggan dengan baik.
Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan, disebutkan bahwa
kepuasan pelanggan terhadap penanganan keluhan berkolerasi positif dengan
aktivitas word of mouth dan keinginan untuk membeli ulang. word of mouth
likelihood didefinisikan sebagai kemungkinan pelanggan yang mengeluh
akan menceritakan pengalamannya terhadap orang lain dan word of mouth
valence didefinisikan sebagai isi dari cerita pelanggan yang diceritakan
kepada orang lain tersebut dimana isi cerita bisa bersifat positif maupun
negative.
Pelanggan yang puas akan melakukan aktifitas word of mouth kepada
orang lain, dan dia akan bertindak konsisten sesuai dengan apa yang telah
dia katakan kepada orang lain tersebut. Apabila pelanggan yang mengeluh
mendapatkan respon yang menyenangkan dari organisasi, maka
kemungkinan untuk menceritakan pengalaman yang tidak menyenangkan
tersebut akan semakin kecil.

BAB II
RUANG LINGKUP

13
Ruang lingkup manajemen Komplain pada Rumah Sakit adalah sebagai
berikut:
a. Prosedur pelayanan
b. Persyaratan pelayanan
c. Kejelasan petugas pelayanan
d. Kedisiplinan petugas pelayanan
e. Tanggung jawab petugas pelayanan
f. Kemampuan petugas pelayanan
g. Kecepatan pelayanan
h. Keadilan mendapatkan pelayanan
i. Kesopanan dan keramahan petugas pelayanan
j. Kewajaran biaya pelayanan
k. Kepastian biaya pelayanan
l. Kepastian jadwal pelayanan
m. Kenyamanan lingkungan
n. Keamanan pelayanan

BAB III
TATA LAKSANA

1. Media – Media yang Digunakan dalam Penanganan Keluhan / Komplain


a. Kotak Saran
b. Telepon
c. Website
2. Alur Penanganan Keluhan/Komplain Pelanggan

14
Direktur

RS PKU Sampangan

Manajer Mutu dan IT

Tim Handling Komplain

Unit terkait

Media Pengaduan :

 Kotak saran
 Telepon
Pengaduan Masyarakat
 Website RS
 Kuisioner

BAB IV
DOKUMENTASI

1. Laporan petugas unit terkait terkait pengaduan masyarakat.


2. Laporan pembahasan dan analisa komplain oleh tim handling komplain.
3. Tindak lanjut komplain bila belum ada penyelesaian oleh manajer mutu
dan direktur.

LAMPIRAN III: PANDUAN PERMINTAAN PENDAPAT MEDIS YANG


BERBEDA (SECOND OPINION)

15
BAB I
DEFINISI

Second Opinion adalah pendapat medis yang diberikan oleh dokter


lain terhadap suatu diagnose atau terapi maupun rekomendasi medis lain
terhadap penyakit yang diderita pasien.
Opini Medis adalah pendapat, pikiran atau pendirian dari seorang
dokter atau ahli medis terhadap suatu diagnose, terapi dan rekomendasi
medis lain terhadap penyakit seseorang.
Undang-Undang no.44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, bagian 4
pasal 32 poin H tentang hak pasien menyebutkan:“setiap pasien memiliki
hak meminta konsultasi tentang penyakit yang dideritanya kepada dokter
lain yang mempunyai Surat Izin Praktik (SIP) baik di dalam maupun diluar
rumah sakit”.
Kesalahan diagnosis dan perbedaan penatalaksanaan pengobatan
dokter yang satu berbeda dengan dokter lainnya sering terjadi di belahan
dunia manapun. Di negara yang paling maju dalam bidang kedokteran pun,
para dokter masih saja sering melakukan overdiagnosis, overtreatment atau
wrong diagnosis pada penanganan pasiennya.

BAB III
RUANG LINGKUP
Permasalahan kesehatan yang memerlukan second opinion yaitu:
1. Keputusan dokter mengenai tindakan operasi, diantaranya operasi usus
buntu, operasi amandel (tonsilektomi), operasi caesar, operasi
hordeolum (bintitan), operasi ligasi ductus lacrimalis (mata belekan
dan berair terus) dan tindakan operasi lainnya.
2. Keputusan dokter tentang pemberian obat jangka panjang lebih dari 2
minggu, misalnya pemberian obat TBC jangka panjang, pemberian
antibiotika jangka panjang, pemberian anti alergi jangka panjang dan
pemberian obat-obat jangka panjang lainnya.
3. Keputusan dokter dalam mengadviskan pemberian obat yang sangat
mahal: baik obat minum, antibiotik atau pemberian susu.

16
4. Kebiasaan dokter memberikan terlalu sering antibiotika berlebihan
pada kasus yang tidak seharusnya diberikan: seperti infeksi saluran
nafas, diare, muntah, demam virus, dan sebagainya. BRUiasanya
dokter memberikan diagnosis infeksi virus tetapi selalu diberi
antibiotik.
5. Keputusan dokter dalam mengadviskan pemeriksaan laboratorium
dengan biaya sangat besar dan tidak sesuai dengan indikasi penyakit
yang dideritanya.
6. Keputusan dokter mengenai suatu penyakit yang berulang diderita
misalnya: penyakit tipes berulang, pada kasus ini sering terjadi
overdiagnosis tidak mengalami tifus tetapi diobati tifus karena hasil
laboratorium yang menyesatkan.
7. Keputusan diagnosis dokter yang meragukan: biasanya dokter tersebut
menggunakan istilah “gejala” seperti gejala tifus, gejala demam
berdarah, gejala usus buntu dan lain-lain.
8. Keputusan pemeriksaan dan pengobatan yang tidak direkomendasikan
oleh institusi kesehatan nasional atau internasional.

BAB III
TATA LAKSANA
1. Prosedur Meminta Second Opinion
a. Kaji tingkat pengetahuan pasien tentang proses penyakit.
b. Pastikan pasien sudah mendapat informasi yang benar mengenai
proses penyakit yang dideritanya dari DPJP.
c. Hindari hal yang menyebabkan pasien/keluarga tidak tenang.
d. Berikan penguatan terhadap informasi yang diberikan oleh tim
kesehatan lain dengan tepat.
e. Jika pasien/keluarga masih bingung, dukung pasien untuk
mencari/mendapakan second opinion sesuai kebutuhan/indikasi.
f. Jelaskan kepada pasien/keluarga tentang hal yang perlu
dipertimbangkan dalam meminta pendapat lain.
g. Siapkan formulir permintaan pendapat lain/second opinion dan
rekam medis pasien.

17
h. Persilahkan pasien/keluarga mengisi formulir dengan lengkap dan
menandatanganinya.
i. Fasilitasi pasien untuk mendapatkan penjelasan second opinion dari
dokter dengan kompetensi yang sama.

2. Edukasi Pasien atau Keluarga Sebelum Melakukan Second Opinion


a. Berikan saran untuk mencari second opinion kepada dokter yang
sesuai kompetensinya atau keahliannya.
b. Rekomendasi atau pengalaman keberhasilan pengobatan temana
atau keluarga terhadap dokter tertentu dengan kasus yang sama
sangat penting untuk dijadikan referensi. Karena, pengalaman yang
sama tersebut sangatlah penting dijadikan sumber referensi.
c. Anjurkan mencari informasi sebanyak-banyaknya di internet
tentang permasalahan kesehatan yang tersebut. Jangan mencari
informasi sepotong-sepotong, karena seringkali akurasinya tidak
bisa dipertanggungjawabkan. Carilah sumber informasi internet dari
sumber yang kredibel seperti WHO, CDC, IDAI, IDI, atau
organisasi resmi lainnya.
d. Keputusan second opinion dalam keadaan emergensi atau kondisi
tertentu juga harus dilakukan dalam waktu singkat hari itu juga,
seperti operasi usus buntu.
e. Anjurkan mencari second opinion terhadap dokter yang dapat
menjelaskan dengan mudah, jelas, lengkap, dan dapat diterima
dengan logika biasanya dokter tersebut akan menjelaskan tidak
berbelit-belit dan mudah diterima. Dokter yang cerdas dan
bijaksana biasanya tidak akan pernah menyalahkan keputusan
dokter sebelumnya atau tidak akan pernah menjelek-jelekkan dokter
sebelumnya atau menganggap dirinya paling benar.
f. Ketika melakukan second opinion sebaiknya awalnya jangan
menceritakan dulu pendapat dokter sebelumnya, agar dokter
terakhir tersebut dapat objektif dalam menangani kasusnya. Kecuali
dokter tersebut menanyakan pengobatan yang sebelumnya pernah
diberikan atau pemeriksaan yang telah dilakukan.

18
g. Jangan menggurui dokter yang bila sudah memperoleh informasi
tentang kesehatan, karena informasi yang Anda dapat belum tentu
benar. Tetapi sebaiknya diskusikan informasi yang didapat
kemudian mintakan pendapat dokter tersebut tentang hal itu.
h. Bila pendapat kedua dokter tersebut berbeda, maka ambil salah satu
keputusan tersebut berdasarkan argument yang dapat diterima
secara logika. Atau, dalam keadaan tertentu ikuti advis dari dokter
tersebut bila terdapat perbaikan bermakna dan sesuai penjelasan
dokter maka keputusan tersebut mungkin dapat dijadikan pilihan.
Bila hal itu masih membingungkan, tidak ada salahnya melakukan
pendapat ketiga. Biasanya, dengan berbagai pendapat tersebut
penderita akan dapat memutuskannya. Bila pendapat ketiga tersebut
masih sulit dipilih biasanya kasus yang dihadapi adalah kasus yang
sangat sulit.
i. Keputusan second opinion terhadap terapi alternatif sebaiknya tidak
dilakukan karena pasti terjadi perbedaan pendapat dengan
pemahaman tentang kasus yang berbeda dan latar belakang
keilmuan yang berbeda.
j. Kebenaran ilmiah dibidang kedokteran tidak harus berdasarkan
senioritas dokter atau gelar professor yang disandang. Tetapi
berdasarkan kepakaran dan landasan pertimbangan kejadian ilmiah
berbasis bukti penelitian di bidang kedokteran (evidence base
medicine).

BAB IV
DOKUMENTASI
Bukti permintaan pendapat lain dari pasien/keluarga berupa formulir
persetujuan permintaan pendapat lain (second opinion) yang telah terisi
lengkap dan ditandatangani. Formulir tersebut kemudian disimpan dalam
rekam medis pasien yang bersangkutan.

LAMPIRAN IV: PANDUAN PRIVASI

19
BAB I
DEFINISI

1. Kerahasiaan pribadi (Privasi) adalah kemampuan satu atau sekelompok


individu untuk mempertahankan kehidupan dan urusan personalnya dari
public, atau untuk mengotrol arus informasi mengenai diri mereka.
Privasi kadang dihubungkan dengan anonimitas walaupun anonimitas
terutama lebih dihargai oleh orang yang dikenal public. Privasi dapat
dianggap sebagai suatu aspek dar keamanan.
2. Privasi merupakan tingkatan interaksi atau keterbukaan yang
dikehendaki seseorang pada suatu kondisi atau situasi tertentu.
Tingkatan privasi yang diinginkan itu menyangkut keterbukaan atau
ketertutupan, yaitu adanya keinginan untuk berinteraksi dengan orang
lain, atau justru ingin menghindari atau berusaha supaya sulit dicapai
orang lain.
3. Adapun defenisi lain dari privasi yaitu sebagai suatu kemampuan untuk
mengontrol interaksi, kemampuan untuk memperoleh pilihan-pilihan
atau kemampuan untuk mencapai interaksi seperti yang diinginkan.
Privasi jangan dipandang hanya sebagai penarikan diri seseorang secara
fisik terhadap pihak pihak lain.
4. Identifikasi privasi pasien adalah suatu proses untuk mengetahui
kebutuhan privasi pasien selama dalam rumah sakit
5. Privasi pasien adalah merupakan hak pasien yang perlu dilindungi dan
dijaga selama dalam rumah sakit. Guna mengetahui kebutuhan pasien
akan privasinya selama dalam rumah sakit sebagai bentuk kepedulian
Rumah Sakit yang diterapkan untuk melindungi hak-hak asasi pasien
(hak privasi).
6. Faktor privasi
7. Ada perbedaan jenis kelamin dalam privasi, dalam suatu penelitian pria
lebih memilih ruangan yang terdapat tiga orang sedangkan wanita tidak
mempermasalahkan isi dalam ruangan itu. Menurut Maeshall perbedaan
dalam latar belakang pribadi akan berhubungan dengan kebutuhan
privasi.
8. Faktor situasional

20
9. Kepuasan akan berhubungan privasi sangat berhubungan dengan
seberapa besar lingkungan mengijinkan orang-orang didalamnya untuk
mandiri
10. Faktor budaya
11. Pada penelitian tiap-tiap budaya tidak ditemukan perbedaan dalam
banyaknya privasi yang diinginkan tetapi berbeda dalam cara bagaimana
mereka mendapatkan privasi. Misalnya rumah orang jawa tidak terdapat
pagar dan menghadap ke jalan, tinggal dirumah kecil dengan dinding
dari bambu terdiri dari keluarga tunggal anak,ayah,dan ibu

BAB II
RUANG LINGKUP

Pasien rawat inap maupun rawat jalan berhak mendapatkan privasi dan
kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk data-data medisnya. Lingkup
hak pasien dalam hal privasi melliputi :
a. Privasi identitas pasien.
b. Privasi di ruang perawatan.
c. Privasi di ruang pemeriksaan.
d. Privasi saat dilakukan tindakan.
e. Privasi saat dimandikan.
f. Privasi saat membantu BAB/BAK.
g. Privasi saat transportasi.
h. Privasi saat di kamar operasi.
i. Privasi rekam medis.
j. Privasi saat akan mengakhiri kehidupan.

BAB III

21
TATA LAKSANA

1. Menjaga Privasi Identitas Pasien


a. Menjaga identitas pasien/informasi tentang kesehatan pasien agar
tidak dapat dilihat/dibaca oleh khalayak umum.
b. Identitas pasien tidak dicantumkan di Nurse Station, di depan kamar
pasien, dan di dalam kamar pasien.
c. Menggunakan simbol-simbol/istilah yang hanya diketahui oleh
petugas RS PKU Sampangan.
2. Privasi di ruang perawatan
a. Untuk kamar perawatan yang memuat lebih dari satu orang agar
menempatkan pasien dalam satu kamar, tidak bercampur antara
pasien laki-laki dan perempuan, dan setiap tempat tidur pasien agar
dipasang gorden/sampiran.
b. Memastikan satu orang perawat (PPJA) dan satu orang dokter
(DPJP) yang bertanggung jawab terhadap pasien.
c. Peliputan yang dilakukan oleh media massa baik berupa wawancara
maupun pengambilan gambar harus mendapat izin dari Rumah
Sakit, dokter yang merawat pasien, dan pasien sendiri atau keluarga
pasien.
d. Melakukan wawancara survey harus seizin pasien.
e. Memfasilitasi pasien yang menghendaki tidak mau dijenguk.
3. Menjaga Privasi di Ruang Pemeriksaan
a. Menempatkan pasien dalam ruang pemeriksaan.
b. Menutup gorden pada saat pemeriksaan.
c. Memasang selimut pada saat melakukan pemeriksaan.
d. Memberitahukan pasien/keluarga pasien akan dilakukan
pemeriksaan dan memberikan izin keluarga pasien untuk melihat
jalannya pemeriksaan seizin dari pasien.
e. Menutup pintu kamar pada saat dilakukan pemeriksaan.
4. Menjaga Privasi Pasien Saat Melakukan Tindakan
a. Membuka bagian yang akan dilakukan intervensi.
b. Kalau perlu, memberikan pakaian khusus pada pasien.

22
c. Menutup pintu dan keluarga menunggu di luar ruangan/memberikan
izin untuk menunggu kepada yan mempunyai keterkaitan
kepentingan dengan kondisi pasien.
5. Menjaga Privasi Pasien Saat Memandikan
a. Memberitahu kepada pasien dan keluarga, bahwa pasien akan
dimandikan.
b. Menutup gorden dan menyarankan agar keluarga pasien menunggu
di luar.
c. Membuka bagian-bagian tubuh yang hanya akan dibersihkan saja
secara bertahap.
d. Menggunakan selimut mandi.
6. Menjaga Privasi Pasien Saat Membantu BAB/BAK
a. Memberitahu kepada keluarga pasien agar menunggu di luar.
b. Menutup gorden.
c. Membuka pakaian bawah pasien.
d. Menutupi pasien dengan selimut mandi.
7. Privasi Pasien Saat Melakukan Transportasi
a. Menutupi tubuh pasien dengan selimut.
b. Memastikan bahwa semua bagian tubuh pasien tertutup, kecuali
muka pasien.
c. Menaikkan pengaman brancard/tempat tidur.
8. Menjaga Privasi Pasien Saat di Kamar Operasi
a. Membuka bagian/area yang akan dioperasi.
b. Tidak membicarakan privasi pasien walaupun pasien sudah tertutup
kecuali muka pasien.
c. Jangan tertawa/menertawakan keadaan pasien walaupun pasien
dalam kondisi terbius.
d. Menutup kembali semua tubuh pasien pada saat selesai operasi.
9. Menjaga Privasi Rekam Medis Pasien
a. Memastikan penempatan rekam medis pasien di tempat yang aman.
b. Rekam medis hanya boleh dibawa oleh petugas RS PKU
Muhammadiyah Sampangan Surakarta
c. Tidak dibenarkan rekam medis dibaca oleh semua orang kecuali
dokter/perawat yang merawat pasien tersebut atau tenaga kesehatan
yang berkepentingan dengan kesembuhan pasien.

23
d. Semua rekam medis setelah pasien pulang disimpan oleh bagian
rekam medis.
e. Rekam medis akan dimusnahkan setelah berumur lebih dari lima
tahun.
10. Menjaga Privasi Pasien Saat Berakhirnya Kehidupan
a. Keluarga pasien diinformasikan kondisi pasien.
b. Bila pasien dirawat di bangsal, makapasien dipindahkan ke tempat
khusus atau dengan menutup gorden sehingga terpisah dari
pandangan pasien lainnya.
c. Mengurangi kegiatan di kamar tersebut atau menimilkan
kebisingan.
d. Memfasilitasi bila keluarga membutuhkan pendamping
rohaniawan.

BAB IV
DOKUMENTASI

1. Sesuai kebijakan RS PKU Muhammadiyah Sampangan Surakarta


tentang hak dan kewajiban pasien, maka seluruh pasien yang dirawat
di Rumah Sakit ini (rawat inap, maupun rawat jalan) mendapatkan
privasi/jaminan kerahasiaan pribadi pasien yang telah tercantum dalam
Formulir Persetujuan Umum (General Consent) dan seluruh staf
Rumah Sakit wajib menghormati dan melaksanakan hak privasi pasien
tersebut.
2. Pasien yang menghendaki adanya privasi khusus atau privasi tertentu,
dilakukan identifikasi di bagian Admisi Rumah Sakit dan
dicatat/didokumentasikan dalam Formulir Persetujuan Umum
(General Consent).

24
LAMPIRAN V: PANDUAN PERSETUJUAN TINDAKAN KEDOKTERAN
(INFORMED CONSENT)

BAB I
DEFINISI

1. Persetujuan Tindakan Kedokteran adalah persetujuan yang diberikan


oleh pasien atau keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan secara
lengkap mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan
dilakukan terhadap pasien.
2. Tindakan Kedokteran atau Kedokteran Gigi yang selanjutnya disebut
Tindakan Kedokteran, adalah suatu tindakan medis berupa preventif,
diagnostik, terapeutik atau rehabilitatif yang dilakukan oleh dokter atau
dokter gigi terhadap pasien.
3. Tindakan Invasif, adalah tindakan yang langsung dapat mempengaruhi
keutuhan jaringan tubuh pasien.
4. Tindakan Kedokteran yang mengandung resiko tinggi adalah tindakan
medis yang berdasarkan tingkat probabilitas tertentu, dapat
mengakibatkan kematian atau kecacatan.
5. Pasien, adalah penerima jasa pelayanan kesehatan di Rumah Sakit baik
dalam keadaan sehat maupun sakit.
6. Dokter dan Dokter Gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi dan
dokter gigi spesialis lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi
baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh Pemerintah
Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan
7. Keluarga terdekat adalah suami atau istri, ayah atau ibu kandung, anak-
anak kandung, saudara-saudara kandung atau pengampunya.
Ayah :
a. Ayah Kandung
b. Termasuk “Ayah” adalah ayah angkat yang ditetapkan berdasarkan
penetapan pengadilan atau berdasarkan hukum adat.
Ibu :
a. Ibu Kandung
b. Termasuk “Ibu” adalah Ibu angkat yang ditetapkan berdasarkan
penetapan pengadilan atau berdasarkan hukum adat

25
Suami :
Seorang laki-laki yang dalam ikatan perkawinan dengan seorang
perempuan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Istri :
a. Seorang perempuan yang dalam ikatan perkawinan dengan seorang
laki-laki berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b. Apabila yang bersangkutan mempunyai lebih dari 1 (satu) istri
persetujuan / penolakan dapat dilakukan oleh salah satu dari mereka.
8. Wali, adalah orang yang menurut hukum menggantikan orang lain yang
belum dewasa untuk mewakilinya dalam melakukan perbuatan hukum,
atau orang yang menurut hukum menggantikan kedudukan orang tua.
9. Induk semang, adalah orang yang berkewajiban untuk mangawasi serta
ikut bertangung jawab terhadap pribadi orang lain, seperti pemimpin
asrama dari anak perantauan atau kepala rumah tangga dari seorang
pembantu rumah tangga yang belum dewasa.
10. Gangguan Mental, adalah sekelompok gejala psikologis atau perilaku
yang secara klinis menimbulkan penderitaan dan gangguan dalam fungsi
kehidupan seseorang, mencakup Gangguan Mental Berat, Retardasi
Mental Sedang, Retardasi Mental Berat, Dementia Senilis.
11. Pasien Gawat Darurat, adalah pasien yang tiba-tiba berada dalam
keadaan gawat atau akan menjadi gawat dan terancam nyawanya atau
anggota badannya (akan menjadi cacat) bila tidak mendapat pertolongan
secepatnya.

BAB II
RUANG LINGKUP

1. Konsep Umum
a. Bahwa masalah kesehatan seseorang (pasien) adalah tanggung
jawab seorang (pasien) itu sendiri. Dengan demikian, sepanjang
keadaan kesehatan tersebut tidak sampai menggangu orang lain,
maka keputusan untuk mengobati atau tidaknya masalah kesehatan
yang dimaksud, sepenuhnya terpulang dan menjadi tanggung jawab
yang bersangkutan. Bahwa tindakan kedokteran yang dilakukan

26
oleh dokter atau dokter gigi untuk meningkatkan atau memulihkan
kesehatan seseorang (pasien) hanya merupakan suatu upaya yang
tidak wajib diterima oleh seorang (pasien) yang bersangkutan.
Karena sesungguhnya dalam pelayanan kedokteran, tidak
seorangpun yang dapat memastikan keadaan hasil akhir dari
diselenggarakannya pelayanan kedokteran tersebut (uncertainty
result), dan karena itu tidak etis jika sifat penerimaannya
dipaksakan. Jika seseorang karena satu dan lain hal, tidak dapat atau
tidak bersedia menerima tindakan kedokteran yang ditawarkan,
maka sepanjang penolakan tersebut tidak membahayakan orang
lain, harus dihormati.
b. Bahwa hasil dari tindakan kedokteran akan lebih berdaya guna dan
berhasil guna apabila terjalin kerjasama yang baik antara dokter dan
pasien sehingga dapat saling mengisi dan melengkapi. Dalam
rangka menjalin kerjasama yang baik ini perlu diadakan ketentuan
yang mengatur tentang perjanjian antara dokter atau dokter gigi
dengan pasien. Pasien menyetujui (consent) atau menolak, adalah
merupakan hak pribadinya yang tidak boleh dilanggar, setelah
mendapat informasi dari dokter atau dokter gigi terhadap hal-hal
yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi sehubungan
dengan pelayanan kedokteran yang diberikan kepadanya.
c. Informed Consent terdiri dari kata informed yang berarti telah
mendapatkan informasi dan consent berarti persetujuan (ijin). Yang
dimaksud dengan Informed Consent dalam profesi kedokteran
adalah pernyataan setuju (consent) atau ijin dari seseorang (pasien)
yang diberikan secara bebas, rasional, tanpa paksaan (voluntary)
terhadap tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadapnya
sesudah mendapatkan informasi yang cukup tentang kedokteran
yang dimaksud.
d. Bahwa, untuk mengatur keserasian, keharmonisan, dan ketertiban
hubungan dokter atau dokter gigi dengan pasien melalui informed
consent harus ada pedoman sebagai acuan bagi seluruh personil
rumah sakit.

27
2. Jenis-Jenis Informed Consent
a. Persetujuan tindakan kedokteran.
b. Persetujuan tindakan kedokteran dan terapi beresiko tinggi.
c. Persetujuan tindakan pembiusan.
d. Persetujuan pemberian transfusi darah.
3. Informasi yang Diberikan Meliputi
a. Diagnosa.
b. Tata cara tindakan medis.
c. Tujuan tindakan.
d. Alternatif tindakan dan resikonya.
e. Resiko dan komplikasinya.
f. Prognosis terhadap tindakan.
g. Perkiraan biaya
4. Urutan Prioritas untuk Memberikan Persetujuan
a. Pasien sendiri.
b. Suami atau istrinya.
c. Anaknya yang sudah dewasa.
d. Orang tuanya.
e. Saudara kandungnya.
f. Keluarga lain, teman, atau kenalan bila yang disebut di atas tidak ada.

Dasar Hukum
Sebagai dasar ditetapkannya Panduan Pelaksanaan Persetujuan
Tindakan Kedokteran ini adalah peraturan perundang-undangan dalam
bidang kesehatan yang menyangkut persetujuan tindakan kedokteran, yaitu :
a. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran;
b. Undang –Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan;
c. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
d. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1966 tentang Wajib Simpan
Rahasia Kedokteran;
e. Peraturan Pemerintah nomor 32 tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan
f. Peraturan Menteri Kesehatan RI nomor 269/Menkes/Per/III/2008
tentang Rekam Medis;
g. Peraturan Menteri Kesehatan RI nomor 290/Menkes/Per/III/2008
tentang Persetujuan tindakan kedokteran;

28
h. Keputusan Direktorat Jendral Pelayanan Medik Nomor :
HK.00.06.3.5.1866 tahun 1999 tentang Pedoman Pelaksanaan
Persetujuan Tindakan Medis.

BAB III
TATA LAKSANA

Persetujuan dan Penjelasan Tindakan Kedokteran Dalam menetapkan


dan Persetujuan Tindakan Kedokteran harus memperhatikan ketentuan-
ketentuan sebagai berikut :
a. Memperoleh Informasi dan penjelasan merupakan hak pasien dan
sebaliknya memberikan informasi dan penjelasan adalah kewajiban
dokter atau dokter gigi.
b. Pelaksanaan Persetujuan Tindakan kedokteran dianggap benar jika
memenuhi persyaratan dibawah ini :
1) Persetujuan atau Penolakan Tindakan Kedokteran diberikan
untuk tindakan kedokteran yang dinyatakan secara spesifik (The
Consent must be for what will be actually performed)
2) Persetujuan atau Penolakan Tindakan Kedokteran diberikan
tanpa paksaan (Voluntary)
3) Persetujuan atau Penolakan Tindakan Kedokteran diberikan oleh
seseorang (pasien) yang sehat mental dan yang memang berhak
memberikannya dari segi hukum
4) Persetujuan dan Penolakan Tindakan Kedokteran diberikan
setelah diberikan cukup (adekuat) informasi dan penjelasan yang
diperlukan tentang perlunya tindakan kedokteran dilakukan.
c. Informasi dan penjelasan dianggap cukup (adekuat) jika sekurang-
kurangnya mencakup :
1) Diagnosis dan tata cara tindakan kedokteran;
2) Tujuan tindakan kedokteran yang dilakukan;
3) Alternatif tindakan lain, dan risikonya;
4) Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi;
5) Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan;

29
6) Risiko atau akibat pasti jika tindakan kedokteran yang
direncanakan tidak dilakukan;
7) Informasi dan penjelasan tentang tujuan dan prospek
keberhasilan tindakan kedokteran yang dilakukan;
8) Informasi akibat ikutan yang biasanya terjadi sesudah
tindakan kedokteran.

d. Kewajiban memberikan informasi dan penjelasan.


Dokter atau dokter gigi yang akan melakukan tindakan medik
mempunyai tanggung jawab utama memberikan informasi dan
penjelasan yang diperlukan. Apabila berhalangan, informasi dan
penjelasan yang harus diberikan dapat diwakilkan kepada dokter
atau dokter gigi lain dengan sepengetahuan dokter atau dokter gigi
yang bersangkutan. Bila terjadi kesalahan dalam memberikan
informasi tanggung jawab berada ditangan dokter atau dokter gigi
yang memberikan delegasi.
Penjelasan harus diberikan secara lengkap dengan bahasa
yang mudah dimengerti atau cara lain yang bertujuan untuk
mempermudah pemahaman. Penjelasan tersebut dicatat dan
didokumentasikan dalam berkas rekam medis oleh dokter atau
dokter gigi yang memberikan penjelasan dengan mencantumkan
 Tanggal
 Waktu
 Nama
 Tandatangan pemberi penjelasan dan penerima penjelasan
Dalam hal dokter atau dokter gigi menilai bahwa penjelasan
yang akan diberikan dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien
atau pasien menolak diberikan penjelasan, maka dokter atau dokter
gigi dapat memberikan penjelasan kepada keluarga terdekat dengan
didampingi oleh seorang tenaga kesehatan lain sebagai saksi.
a) Penjelasan tentang risiko dan komplikasi tindakan kedokteran
adalah semua risiko dan komplikasi yang dapat terjadi
mengikuti tindakan kedokteran yang dilakukan, kecuali :
1) Risiko dan komplikasi yang sudah menjadi pengetahuan
umum;

30
2) Risiko dan komplikasi yang sangat jarang terjadi atau
dampaknya sangat ringan;
3) Risiko dan komplikasi yang tidak dapat dibayangkan
sebelumnya
b) Penjelasan tentang prognosis meliputi :
1) Prognosis tentang hidup-matinya (ad vitam);
2) Prognosis tentang fungsinya (ad functionam);
3) Prognosis tentang kesembuhan (ad senationam).
Penjelasan diberikan oleh dokter atau dokter gigi yang
merawat pasien atau salah satu dokter atau dokter gigi dari tim
dokter yang merawatnya.
Dalam hal dokter atau dokter gigi yang merawatnya
berhalangan untuk memberikan penjelasan secara langsung, maka
pemberian penjelasan harus didelegasikan kepada dokter atau
dokter gigi lain yang kompeten. Tenaga kesehatan tertentu
dapat membantu memberikan penjelasan sesuai dengan
kewenangannya. Tenaga kesehatan tersebut adalah tenaga
kesehatan yang ikut memberikan pelayanan kesehatan secara
langsung kepada pasien.
Demi kepentingan pasien, persetujuan tindakan kedokteran
tidak diperlukan bagi pasien gawat darurat dalam keadaan tidak
sadar dan tidak didampingi oleh keluarga pasien yang berhak
memberikan persetujuan atau penolakan tindakan
kedokteran.
e. Pihak yang Berhak Memberikan Persetujuan
Yang berhak untuk memberikan persetujuan setelah
mendapatkan informasi adalah:
1) Pasien sendiri, yaitu apabila telah berumur 21 tahun atau telah
menikah.
2) Bagi Pasien dibawah umur 21 tahun, persetujuan (informed
consent) atau Penolakan Tindakan Medis diberikan oleh
mereka menurut urutan hak sebagai berikut :
a. Ayah/ Ibu Kandung
b. Saudara – saudara kandung

31
3) Bagi pasien dibawah umur 21 tahun dan tidak mempunyai
orang tua atau orang tuanya berhalangan hadir, persetujuan
(Informed Consent) atau Penolakan Tindakan medis diberikan
oleh mereka menurut hak sebagai berikut :
a. Ayah/Ibu Adopsi
b. Saudara – saudara Kandung
c. Induk Semang
4) Bagi pasien dewasa dengan gangguan mental, persetujuan
(Informed Consent) atau penolakan penolakan tindakan medis
diberikan oleh mereka menurut hak sebagai berikut:
a. Ayah/Ibu kandung
b. Wali yang sah
c. Saudara – Saudara Kandung
5) Bagi pasien dewasa yang berada dibawah pengampuan
(curatelle) Persetujuan atau penolakan tindakan medis
diberikan menurut hal tersebut.
a. Wali
b. Curator
6) Bagi Pasien dewasa yang telah menikah/ orang tua,
persetujuan atau penolakan tindakan medik diberikan pleh
mereka menurut urutan hal tersebut.
a. Suami/ Istri
b. Ayah/ Ibu Kandung
c. Anak- anak Kandung
d. Saudara – saudara Kandung

Cara pasien menyatakan persetujuan dapat dilakukan secara


terucap (oral consent), tersurat (written consent), atau tersirat
(implied consent). Setiap tindakan kedokteran yang mengandung
risiko tinggi harus memperoleh persetujuan tertulis yang
ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan.
Persetujuan tertulis dibuat dalam bentuk pernyataan yang tertuang
dalam formulir Persetujuan Tindakan Medis Kedokteran.
Sebelum ditandatangani atau dibubuhkan cap ibu jari tangan
kiri, formulir tersebut sudah diisi lengkap oleh dokter atau dokter

32
gigi yang akan melakukan tindakan kedokteran atau oleh tenaga
medis lain yang diberi delegasi, untuk kemudian yang bersangkutan
dipersilahkan membacanya, atau jika dipandang perlu dibacakan
dihadapannya.
Persetujuan secara lisan diperlukan pada tindakan kedokteran
yang tidak mengandung risiko tinggi. Dalam hal persetujuan lisan
yang diberikan dianggap meragukan, maka dapat dimintakan
persetujuan tertulis.

A. Ketentuan pada Situasi Khusus


1. Tindakan penghentian/penundaan bantuan hidup (withdrawing/
withholding life support) pada seorang pasien harus mendapat persetujuan
keluarga terdekat pasien.
2. Persetujuan penghentian/penundaan bantuan hidup oleh keluarga terdekat
pasien diberikan setelah keluarga mendapat penjelasan dari tim dokter
atau dokter gigi yang bersangkutan. Persetujuan harus diberikan secara
tertulis.

B. Penolakan Tindakan Kedokteran


1. Penolakan tindakan kedokteran dapat dilakukan oleh pasien dan/atau
keluarga terdekatnya setelah menerima penjelasan tentang tindakan
kedokteran yang akan dilakukan.
2. Jika pasien belum dewasa atau tidak sehat akalnya maka yang berhak
memberikan atau menolak memberikan persetujuan tindakan kedokteran
adalah orang tua, keluarga, wali atau kuratornya.
3. Bila pasien yang sudah menikah maka suami atau isteri tidak diikut
sertakan menandatangani persetujuan tindakan kedokteran, kecuali untuk
tindakan keluarga berencana yang sifatnya irreversible; yaitu tubektomi
atau vasektomi.
4. Jika orang yang berhak memberikan persetujuan menolak menerima
informasi dan kemudian menyerahkan sepenuhnya kepada kebijakan
dokter atau dokter gigi maka orang tersebut dianggap telah menyetujui
kebijakan medis apapun yang akan dilakukan dokter atau dokter gigi.
5. Apabila yang bersangkutan, sesudah menerima informasi, menolak untuk
memberikan persetujuannya maka penolakan tindakan kedokteran

33
tersebut harus dilakukan secara tertulis. Akibat penolakan tindakan
kedokteran tersebut menjadi tanggung jawab pasien.
6. Penolakan tindakan kedokteran tidak memutuskan hubungan dokter
pasien.
7. Persetujuan yang sudah diberikan dapat ditarik kembali (dicabut) setiap
saat, kecuali tindakan kedokteran yang direncanakan sudah sampai pada
tahapan pelaksanaan yang tidak mungkin lagi dibatalkan.
8. Dalam hal persetujuan tindakan kedokteran yang telah diberikan oleh
keluarga, maka yang berhak menarik kembali (mencabut) adalah anggota
keluarga tersebut atau anggota keluarga lainnya yang kedudukan
hukumnya lebih berhak sebagai wali.
9. Penarikan kembali (pencabutan) persetujuan tindakan kedokteran harus
diberikan secara tertulis dengan menandatangani format yang disediakan.

BAB IV
DOKUMENTASI
Dokumen Persetujuan Tindakan Kedokteran
a. Semua hal – hal yang sifatnya luar biasa dalam proses mendapatkan
persetujuan tindakan kedokteran harus dicatat dalam rekam medis.
b. Seluruh dokumen mengenai persetujuan tindakan kedokteran harus
disimpan bersama-sama rekam medis.
c. Format persetujuan tindakan kedokteran atau penolakan tindakan
kedokteran, menggunakan formulir dengan ketentuan sebagai berikut :
1) Diketahui dan ditandatangani oleh dua orang saksi. Tenaga
keperawatan bertindak sebagai salah satu saksi;
2) Formulir asli harus disimpan dalam berkas rekam medis pasien;
3) Formulir harus sudah mulai diisi dan ditandatangani 24 jam
sebelum tindakan kedokteran;
4) Dokter atau dokter gigi yang memberikan penjelaan harus ikut
membubuhkan tanda tangan sebagai bukti bahwa telah memberikan
informasi dan penjelasan secukupnya;
5) Sebagai tanda tangan, pasien atau keluarganya yang buta
huruf harus membubuhkan cap jempol jari kanan.

34
LAMPIRAN VI: PANDUAN PENATALAKSANAAN NYERI

BAB I

DEFINISI

1. Nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang diakibatkan adanya


kerusakan jaringan yang sedang atau akan terjadi, atau pengalaman sensorik
dan emosional yang merasakan seolah-olah terjadi kerusakan jaringan.
(International Association for the Study of Pain)
2. Nyeri akut adalah nyeri dengan onset segera dan durasi yang terbatas,
memiliki hubungan temporal dan kausal dengan adanya cedera atau penyakit.
3. Nyeri kronik adalah nyeri yang bertahan untuk periode waktu yang lama.
Nyeri kronik adalah nyeri yang terus ada meskipun telah terjadi proses
penyembuhan dan sering sekali tidak diketahui penyebabnya yang pasti. 1

BAB II
RUANG LINGKUP
Pentalaksanaan nyeri meliputi pasien nyeri yang datang pada klinik
rawat jalan, IGD maupun rawat inap di RS, dimana semua petugas medis
perawatan bertanggung jawab menatalaksanai rasa nyeri pada pasien sesuai
dengan kebijakan RS dan mengacu pada panduan penatalaksanaan nyeri yang
telah di tetapkan.

BAB III
TATA LAKSANA

ASESMEN NYERI
1. Anamnesis
a. Riwayat penyakit sekarang
i. Onset nyeri: akut atau kronik, traumatik atau non-traumatik.
ii. Karakter dan derajat keparahan nyeri: nyeri tumpul, nyeri
tajam, rasa terbakar, tidak nyaman, kesemutan, neuralgia.

35
iii. Pola penjalaran / penyebaran nyeri
iv. Durasi dan lokasi nyeri
v. Gejala lain yang menyertai misalnya kelemahan, baal,
kesemutan, mual/muntah, atau gangguan keseimbangan /
kontrol motorik.
vi. Faktor yang memperberat dan memperingan
vii. Kronisitas
viii. Hasil pemeriksaan dan penanganan nyeri sebelumnya,
termasuk respons terapi
ix. Gangguan / kehilangan fungsi akibat nyeri / luka
x. Penggunaan alat bantu
xi. Perubahan fungsi mobilitas, kognitif, irama tidur, dan aktivitas
hidup dasar (activity of daily living)
xii. Singkirkan kemungkinan potensi emergensi pembedahan,
seperti adanya fraktur yang tidak stabil, gejala neurologis
progresif cepat yang berhubungan dengan sindrom kauda
ekuina.
b. Riwayat pembedahan / penyakit dahulu

c. Riwayat psiko-sosial
i. Riwayat konsumsi alkohol, merokok, atau narkotika
ii. Identifikasi pengasuh / perawat utama (primer) pasien
iii. Identifikasi kondisi tempat tinggal pasien yang berpotensi
menimbulkan eksaserbasi nyeri
iv. Pembatasan /restriksi partisipasi pasien dalam aktivitas sosial
yang berpotensi menimbulkan stres. Pertimbangkan juga
aktivitas penggantinya.
v. Masalah psikiatri (misalnya depresi, cemas, ide ingin bunuh
diri) dapat menimbulkan pengaruh negatif terhadap motivasi
dan kooperasi pasien dengan program penanganan /
manajemen nyeri ke depannya. Pada pasien dengan masalah
psikiatri, diperlukan dukungan psikoterapi / psikofarmaka.
vi. Tidak dapat bekerjanya pasien akibat nyeri dapat menimbulkan
stres bagi pasien / keluarga.

36
d. Riwayat pekerjaan
i. Pekerjaan yang melibatkan gerakan berulang dan rutin, seperti
mengangkat benda berat, membungkuk atau memutar;
merupakan pekerjaan tersering yang berhubungan dengan nyeri
punggung.

e. Obat-obatan dan alergi


i. Daftar obat-obatan yang dikonsumsi pasien untuk mengurangi
nyeri (suatu studi menunjukkan bahwa 14% populasi di AS
mengkonsumsi suplemen / herbal, dan 36% mengkonsumsi
vitamin)
ii. Cantumkan juga mengenai dosis, tujuan minum obat, durasi,
efektifitas, dan efek samping.
iii. Direkomendasikan untuk mengurangi atau memberhentikan
obat-obatan dengan efek samping kognitif dan fisik.

f. Riwayat keluarga
i. Evaluasi riwayat medis keluarga terutama penyakit genetik.

g. Asesmen sistem organ yang komprehensif


i. Evaluasi gejala kardiovaskular, psikiatri, pulmoner,
gastrointestinal, neurologi, reumatologi, genitourinaria,
endokrin, dan muskuloskeletal)
ii. Gejala konstitusional: penurunan berat badan, nyeri malam
hari, keringat malam, dan sebagainya.2

2. Asesmen nyeri
a. Asesmen nyeri dapat menggunakan Numeric Rating Scale
i. Indikasi: digunakan pada pasien dewasa dan anak berusia > 9
tahun yang dapat menggunakan angka untuk melambangkan
intensitas nyeri yang dirasakannya.
ii. Instruksi: pasien akan ditanya mengenai intensitas nyeri yang
dirasakan dan dilambangkan dengan angka antara 0 – 10.
 0 = tidak nyeri

37
 1 – 3 = nyeri ringan (sedikit mengganggu aktivitas
sehari-hari)
 4 – 6 = nyeri sedang (gangguan nyata terhadap aktivitas
sehari-hari)
 7 – 10 = nyeri berat (tidak dapat melakukan aktivitas
sehari-hari)3

Numeric Rating Scale3

b. Wong Baker FACES Pain Scale


i. Indikasi: Pada pasien (dewasa dan anak > 3 tahun) yang tidak
dapat menggambarkan intensitas nyerinya dengan angka,
gunakan asesmen
ii. Instruksi: pasien diminta untuk menunjuk / memilih gambar
mana yang paling sesuai dengan yang ia rasakan. Tanyakan
juga lokasi dan durasi nyeri
 0 - 1 = sangat bahagia karena tidak merasa nyeri sama
sekali
 2 – 3 = sedikit nyeri
 4 – 5 = cukup nyeri
 6 – 7 = lumayan nyeri
 8 – 9 = sangat nyeri
 10 = amat sangat nyeri (tak tertahankan)

38
Wong Baker FACES Pain Scale4

c. COMFORT scale
i. Indikasi: pasien bayi, anak, dan dewasa di ruang rawat intensif
/ kamar operasi / ruang rawat inap yang tidak dapat dinilai
menggunakan Numeric Rating Scale Wong-Baker FACES Pain
Scale.
ii. Instruksi: terdapat 9 kategori dengan setiap kategori memiliki
skor 1-5, dengan skor total antara 9 – 45.
 Kewaspadaan
 Ketenangan
 Distress pernapasan
 Menangis
 Pergerakan
 Tonus otot
 Tegangan wajah
 Tekanan darah basal
 Denyut jantung basal

COMFORT Scale5

Kategori Skor Tanggal / waktu

Kewaspadaan 1 – tidur pulas / nyenyak

2 – tidur kurang nyenyak

3 – gelisah

39
4 – sadar sepenuhnya dan waspada

5 – hiper alert

Ketenangan 1 – tenang

2 – agak cemas

3 – cemas

4 – sangat cemas

5 – panik

Distress 1 – tidak ada respirasi spontan dan tidak ada batuk


pernapasan
2 – respirasi spontan dengan sedikit / tidak ada
respons terhadap ventilasi

3 – kadang-kadang batuk atau terdapat tahanan


terhadap ventilasi

4 – sering batuk, terdapat tahanan / perlawanan


terhadap ventilator

5 – melawan secara aktif terhadap ventilator, batuk


terus-menerus / tersedak

Menangis 1 – bernapas dengan tenang, tidak menangis

2 – terisak-isak

3 – meraung

4 – menangis

5 – berteriak

Pergerakan 1 – tidak ada pergerakan

2 – kedang-kadang bergerak perlahan

3 – sering bergerak perlahan

4 – pergerakan aktif / gelisah

5 – pergrakan aktif termasuk badan dan kepala

40
Tonus otot 1 – otot relaks sepenuhnya, tidak ada tonus otot

2 – penurunan tonus otot

3 – tonus otot normal

4 – peningkatan tonus otot dan fleksi jari tangan


dan kaki

5 – kekakuan otot ekstrim dan fleksi jari tangan


dan kaki

Tegangan wajah 1 – otot wajah relaks sepenuhnya

2 – tonus otot wajah normal, tidak terlihat tegangan


otot wajah yang nyata

3 – tegangan beberapa otot wajah terlihat nyata

4 – tegangan hampir di seluruh otot wajah

5 – seluruh otot wajah tegang, meringis

Tekanan darah 1 – tekanan darah di bawah batas normal


basal
2 – tekanan darah berada di batas normal secara
konsisten

3 – peningkatan tekanan darah sesekali ≥15% di


atas batas normal (1-3 kali dalam observasi
selama 2 menit)

4 – seringnya peningkatan tekanan darah ≥15% di


atas batas normal (>3 kali dalam observasi
selama 2 menit)

5 – peningkatan tekanan darah terus-menerus


≥15%

Denyut jantung 1 – denyut jantung di bawah batas normal


basal
2 – denyut jantung berada di batas normal secara
konsisten

3 – peningkatan denyut jantung sesekali ≥15% di


atas batas normal (1-3 kali dalam observasi

41
selama 2 menit)

4 – seringnya peningkatan denyut jantung ≥15% di


atas batas normal (>3 kali dalam observasi
selama 2 menit)

5 – peningkatan denyut jantung terus-menerus


≥15%

Skor total

d. Pada pasien dalam pengaruh obat anestesi atau dalam kondisi sedasi
sedang, asesmen dan penanganan nyeri dilakukan saat pasien
menunjukkan respon berupa ekspresi tubuh atau verbal akan rasa
nyeri.
e. Asesmen ulang nyeri: dilakukan pada pasien yang dirawat lebih dari
beberapa jam dan menunjukkan adanya rasa nyeri, sebagai berikut:
i. Lakukan asesmen nyeri yang komprensif setiap kali melakukan
pemeriksaan fisik pada pasien
ii. Dilakukan pada: pasien yang mengeluh nyeri, 1 jam setelah
tatalaksana nyeri, setiap empat jam (pada pasien yang sadar/
bangun), pasien yang menjalani prosedur menyakitkan,
sebelum transfer pasien, dan sebelum pasien pulang dari rumah
sakit.
iii. Pada pasien yang mengalami nyeri kardiak (jantung), lakukan
asesmen ulang setiap 5 menit setelah pemberian nitrat atau
obat-obat intravena
iv. Pada nyeri akut / kronik, lakukan asesmen ulang tiap 30 menit
– 1 jam setelah pemberian obat nyeri.6

f. Derajat nyeri yang meningkat hebat secara tiba-tiba, terutama bila


sampai menimbulkan perubahan tanda vital, merupakan tanda adanya
diagnosis medis atau bedah yang baru (misalnya komplikasi pasca-
pembedahan, nyeri neuropatik).

42
3. Pemeriksaan Fisik
a. Pemeriksaan umum
i. Tanda vital: tekanan darah, nadi, pernapasan, suhu tubuh
ii. Ukurlah berat badan dan tinggi badan pasien
iii. Periksa apakah terdapat lesi / luka di kulit seperti jaringan parut
akibat operasi, hiperpigmentasi, ulserasi, tanda bekas jarum suntik
iv. Perhatikan juga adanya ketidaksegarisan tulang (malalignment),
atrofi otot, fasikulasi, diskolorasi, dan edema.

b. Status mental
i. Nilai orientasi pasien
ii. Nilai kemampuan mengingat jangka panjang, pendek, dan segera.
iii. Nilai kemampuan kognitif
iv. Nilai kondisi emosional pasien, termasuk gejala-gejala depresi, tidak
ada harapan, atau cemas.

c. Pemeriksaan sendi
i. Selalu periksa kedua sisi untuk menilai kesimetrisan
ii. Nilai dan catat pergerakan aktif semua sendi, perhatikan adanya
keterbatasan gerak, diskinesis, raut wajah meringis, atau asimetris.
iii. Nilai dan catat pergerakan pasif dari sendi yang terlihat abnormal /
dikeluhkan oleh pasien (saat menilai pergerakan aktif). Perhatikan
adanya limitasi gerak, raut wajah meringis, atau asimetris.
iv. Palpasi setiap sendi untuk menilai adanya nyeri
v. Pemeriksaan stabilitas sendi untuk mengidentifikasi adanya cedera
ligamen.

d. Pemeriksaan motorik
i. Nilai dan catat kekuatan motorik pasien dengan menggunakan
kriteria di bawah ini.

Derajat Definisi
5 Tidak terdapat keterbatasan gerak, mampu melawan tahanan kuat
4 Mampu melawan tahanan ringan
3 Mampu bergerak melawan gravitasi
2 Mampu bergerak / bergeser ke kiri dan kanan tetapi tidak mampu
melawan gravitasi
1 Terdapat kontraksi otot (inspeksi / palpasi), tidak menghasilkan

43
pergerakan
0 Tidak terdapat kontraksi otot

e. Pemeriksaan sensorik
i. Lakukan pemeriksaan: sentuhan ringan, nyeri (tusukan jarum-pin
prick), getaran, dan suhu.

f. Pemeriksaan neurologis lainnya


i. Evaluasi nervus kranial I – XII, terutama jika pasien mengeluh nyeri
wajah atau servikal dan sakit kepala
ii. Periksa refleks otot, nilai adanya asimetris dan klonus. Untuk
mencetuskan klonus membutuhkan kontraksi > 4 otot.

Refleks Segmen spinal


Biseps C5
Brakioradialis C6
Triseps C7
Tendon patella L4
Hamstring medial L5
Achilles S1

iii. Nilai adanya refleks Babinski dan Hoffman (hasil positif


menunjukkan lesi upper motor neuron)
iv. Nilai gaya berjalan pasien dan identifikasi defisit serebelum dengan
melakukan tes dismetrik (tes pergerakan jari-ke-hidung, pergerakan
tumit-ke-tibia), tes disdiadokokinesia, dan tes keseimbangan
(Romberg dan Romberg modifikasi).

g. Pemeriksaan khusus
i. Terdapat 5 tanda non-organik pada pasien dengan gejala nyeri tetapi
tidak ditemukan etiologi secara anatomi. Pada beberapa pasien
dengan 5 tanda ini ditemukan mengalami hipokondriasis, histeria,
dan depresi.
ii. Kelima tanda ini adalah:
 Distribusi nyeri superfisial atau non-anatomik
 Gangguan sensorik atau motorik non-anatomik
 Verbalisasi berlebihan akan nyeri (over-reaktif)

44
 Reaksi nyeri yang berlebihan saat menjalani tes /
pemeriksaan nyeri.
 Keluhan akan nyeri yang tidak konsisten (berpindah-pindah)
saat gerakan yang sama dilakukan pada posisi yang berbeda
(distraksi)

4. Pemeriksaan Elektromiografi (EMG)


a. Membantu mencari penyebab nyeri akut / kronik pasien
b. Mengidentifikasi area persarafan / cedera otot fokal atau difus yang terkena
c. Mengidentifikasi atau menyingkirkan kemungkinan yang berhubungan
dengan rehabilitasi, injeksi, pembedahan, atau terapi obat.
d. Membantu menegakkan diagnosis
e. Pemeriksaan serial membantu pemantauan pemulihan pasien dan respons
terhadap terapi
f. Indikasi: kecurigaan saraf terjepit, mono- / poli-neuropati, radikulopati.

5. Pemeriksaan sensorik kuantitatif


a. Pemeriksaan sensorik mekanik (tidak nyeri): getaran
b. Pemeriksaan sensorik mekanik (nyeri): tusukan jarum, tekanan
c. Pemeriksaan sensasi suhu (dingin, hangat, panas)
d. Pemeriksaan sensasi persepsi

6. Pemeriksaan radiologi
a. Indikasi:
i. pasien nyeri dengan kecurigaan penyakit degeneratif tulang belakang
ii. pasien dengan kecurigaan adanya neoplasma, infeksi tulang
belakang, penyakit inflamatorik, dan penyakit vascular.
iii. Pasien dengan defisit neurologis motorik, kolon, kandung kemih,
atau ereksi.
iv. Pasien dengan riwayat pembedahan tulang belakang
v. Gejala nyeri yang menetap > 4 minggu
b. Pemilihan pemeriksaan radiologi: bergantung pada lokasi dan karakteristik
nyeri.
i. Foto polos: untuk skrining inisial pada tulang belakang (fraktur,
ketidaksegarisan vertebra, spondilolistesis, spondilolisis, neoplasma)
ii. MRI: gold standard dalam mengevaluasi tulang belakang (herniasi
diskus, stenosis spinal, osteomyelitis, infeksi ruang diskus,
keganasan, kompresi tulang belakang, infeksi)

45
iii. CT-scan: evaluasi trauma tulang belakang, herniasi diskus, stenosis
spinal.
iv. Radionuklida bone-scan: sangat bagus dalam mendeteksi perubahan
metabolisme tulang (mendeteksi osteomyelitis dini, fraktur kompresi
yang kecil/minimal, keganasan primer, metastasis tulang)

7. Asesmen psikologi
a. Nilai mood pasien, apakah dalam kondisi cemas, ketakutan, depresi.
b. Nilai adanya gangguan tidur, masalah terkait pekerjaan
c. Nilai adanya dukungan sosial, interaksi sosial

FARMAKOLOGI OBAT ANALGESIK


1. Lidokain tempel (Lidocaine patch) 5%
a. Berisi lidokain 5% (700 mg).
b. Mekanisme kerja: memblok aktivitas abnormal di kanal natrium neuronal.
c. Memberikan efek analgesik yang cukup baik ke jaringan lokal, tanpa adanya
efek anestesi (baal), bekrja secara perifer sehingga tidak ada efek samping
sistemik
d. Indikasi: sangat baik untuk nyeri neuropatik (misalnya neuralgia pasca-
herpetik, neuropati diabetik, neuralgia pasca-pembedahan), nyeri punggung
bawah, nyeri miofasial, osteoarthritis
e. Efek samping: iritasi kulit ringan pada tempat menempelnya lidokain
f. Dosis dan cara penggunaan: dapat memakai hingga 3 patches di area yang
paling nyeri (kulit harus intak, tidak boleh ada luka terbuka), dipakai selama
<12 jam dalam periode 24 jam.

2. Eutectic Mixture of Local Anesthetics (EMLA)


a. Mengandung lidokain 2,5% dan prilokain 2,5%
b. Indikasi: anestesi topical yang diaplikasikan pada kulit yang intak dan pada
membrane mukosa genital untuk pembedahan minor superfisial dan sebagai
pre-medikasi untuk anestesi infiltrasi.
c. Mekanisme kerja: efek anestesi (baal) dengan memblok total kanal natrium
saraf sensorik.
d. Onset kerjanya bergantung pada jumlah krim yang diberikan. Efek anesthesia
lokal pada kulit bertahan selama 2-3 jam dengan ditutupi kassa oklusif dan
menetap selama 1-2 jam setelah kassa dilepas.
e. Kontraindikasi: methemoglobinemia idiopatik atau kongenital.
f. Dosis dan cara penggunaan: oleskan krim EMLA dengan tebal pada kulit dan
tutuplah dengan kassa oklusif.

46
3. Parasetamol
a. Efek analgesik untuk nyeri ringan-sedang dan anti-piretik. Dapat
dikombinasikan dengan opioid untuk memperoleh efek anelgesik yang lebih
besar.
b. Dosis: 10 mg/kgBB/kali dengan pemberian 3-4 kali sehari. Untuk dewasa
dapat diberikan dosis 3-4 kali 500 mg perhari.

4. Obat Anti-Inflamasi Non-Steroid (OAINS)


a. Efek analgesik pada nyeri akut dan kronik dengan intensitas ringan-sedang,
anti-piretik
b. Kontraindikasi: pasien dengan Triad Franklin (polip hidung, angioedema,
dan urtikaria) karena sering terjadi reaksi anafilaktoid.
c. Efek samping: gastrointestinal (erosi / ulkus gaster), disfungsi renal,
peningkatan enzim hati.
d. Ketorolak:
i. merupakan satu-satunya OAINS yang tersedia untuk parenteral.
Efektif untuk nyeri sedang-berat
ii. bermanfaat jika terdapat kontraindikasi opioid atau dikombinasikan
dengan opioid untuk mendapat efek sinergistik dan meminimalisasi
efek samping opioid (depresi pernapasan, sedasi, stasis
gastrointestinal). Sangat baik untuk terapi multi-analgesik.

5. Efek analgesik pada Antidepresan


a. Mekanisme kerja: memblok pengambilan kembali norepinefrin dan serotonin
sehingga meningkatkan efek neurotransmitter tersebut dan meningkatkan
aktivasi neuron inhibisi nosiseptif.
b. Indikasi: nyeri neuropatik (neuropati DM, neuralgia pasca-herpetik, cedera
saraf perifer, nyeri sentral)
c. Contoh obat yang sering dipakai: amitriptilin, imipramine, despiramin: efek
antinosiseptif perifer. Dosis: 50 – 300 mg, sekali sehari.

6. Anti-konvulsan
a. Carbamazepine: efektif untuk nyeri neuropatik. Efek samping: somnolen,
gangguan berjalan, pusing. Dosis: 400 – 1800 mg/hari (2-3 kali perhari).
Mulai dengan dosis kecil (2 x 100 mg), ditingkatkan perminggu hingga dosis
efektif.

47
b. Gabapentin: Merupakan obat pilihan utama dalam mengobati nyeri
neuropatik. Efek samping minimal dan ditoleransi dengan baik. Dosis: 100-
4800 mg/hari (3-4 kali sehari).

7. Antagonis kanal natrium


a. Indikasi: nyeri neuropatik dan pasca-operasi
b. Lidokain: dosis 2mg/kgBB selama 20 menit, lalu dilanjutkan dengan 1-
3mg/kgBB/jam titrasi.
c. Prokain: 4-6,5 mg/kgBB/hari.

8. Antagonis kanal kalsium


a. Ziconotide: merupakan anatagonis kanal kalsium yang paling efektif sebagai
analgesik. Dosis: 1-3ug/hari. Efek samping: pusing, mual, nistagmus,
ketidakseimbangan berjalan, konstipasi. Efek samping ini bergantung dosis
dan reversibel jika dosis dikurangi atau obat dihentikan.
b. Nimodipin, Verapamil: mengobati migraine dan sakit kepala kronik.
Menurunkan kebutuhan morfin pada pasien kanker yang menggunakan
eskalasi dosis morfin.

9. Tramadol
a. Merupakan analgesik yang lebih poten daripada OAINS oral, dengan efek
samping yang lebih sedikit / ringan. Berefek sinergistik dengan medikasi
OAINS.
b. Indikasi: Efektif untuk nyeri akut dan kronik intensitas sedang (nyeri kanker,
osteoarthritis, nyeri punggung bawahm neuropati DM, fibromyalgia,
neuralgia pasca-herpetik, nyeri pasca-operasi.
c. Efek samping: pusing, mual, muntah, letargi, konstipasi.
d. Jalur pemberian: intravena, epidural, rektal, dan oral.
e. Dosis tramadol oral: 3-4 kali 50-100 mg (perhari). Dosis maksimal: 400mg
dalam 24 jam.
f. Titrasi: terbukti meningkatkan toleransi pasien terhadap medikasi, terutama
digunakan pada pasien nyeri kronik dengan riwayat toleransi yang buruk
terhadap pengobatan atau memiliki risiko tinggi jatuh.

48
Jadwal titrasi tramadol
Protokol Titrasi Dosis inisial Jadwal titrasi Direkomendasikan
untuk
Titrasi 10-hari 4 x 50mg  2 x 50mg selama 3 hari.  Lanjut usia
selama 3 hari  Naikkan menjadi 3 x 50mg selama 3  Risiko jatuh
hari.  Sensitivitas
 Lanjutkan dengan 4 x 50mg. medikasi
 Dapat dinaikkan sampai tercapai efek
analgesik yang diinginkan.
Titrasi 16-hari 4 x 25mg  2 x 25mg selama 3 hari.  Lanjut usia
selama 3 hari  Naikkan menjadi 3 x 25mg selama 3  Risiko jatuh
hari.  Sensitivitas
 Naikkan menjadi 4 x 25mg selama 3 medikasi
hari.
 Naikkan menjadi 2 x 50mg dan 2 x
25mg selama 3 hari.
 Naikkan menjadi 4 x 50mg.
 Dapat dinaikkan sampai tercapai efek
analgesik yang diinginkan.

10. Opioid
a. Merupakan analgesik poten (tergantung-dosis) dan efeknya dapat ditiadakan
oleh nalokson.
b. Contoh opioid yang sering digunakan: morfin, sufentanil, meperidin.
c. Dosis opioid disesuaikan pada setiap individu, gunakanlah titrasi.
d. Adiksi terhadap opioid sangat jarang terjadi bila digunakan untuk
penatalaksanaan nyeri akut.

e. Efek samping:
i. Depresi pernapasan, dapat terjadi pada:
 Overdosis : pemberian dosis besar, akumulasi akibat
pemberian secara infus, opioid long acting
 Pemberian sedasi bersamaan (benzodiazepin, antihistamin,
antiemetik tertentu)
 Adanya kondisi tertentu: gangguan elektrolit, hipovolemia,
uremia, gangguan respirasi dan peningkatan tekanan
intrakranial.

49
 Obstructive sleep apnoes atau obstruksi jalan nafas
intermiten

ii. Sedasi: adalah indikator yang baik untuk dan dipantau dengan
menggunakan skor sedasi, yaitu:
 0 = sadar penuh
 1 = sedasi ringan, kadang mengantuk, mudah
dibangunkan
 2 = sedasi sedang, sering secara konstan mengantuk,
mudah dibangunkan
 3 = sedasi berat, somnolen, sukar dibangunkan
 S = tidur normal

iii. Sistem Saraf Pusat:


 Euforia, halusinasi, miosis, kekakukan otot
 Pemakai MAOI : pemberian petidin dapat menimbulkan
koma
iv. Toksisitas metabolit
 Petidin (norpetidin) menimbulkan tremor, twitching,
mioklonus multifokal, kejang
 Petidin tidak boleh digunakan lebih dari 72 jam untuk
penatalaksanaan nyeri pasca-bedah
 Pemberian morfin kronik: menimbulkan gangguan fungsi
ginjal, terutama pada pasien usia > 70 tahun
v. Efek kardiovaskular :
 Tergantung jenis, dosis, dan cara pemberian; status volume
intravascular; serta level aktivitas simpatetik
 Morfin menimbulkan vasodilatasi
 Petidin menimbulkan takikardi
vi. Gastrointestinal: Mual, muntah. Terapi untuk mual dan muntah:
hidrasi dan pantau tekanan darah dengan adekuat, hindari pergerakan
berlebihan pasca-bedah, atasi kecemasan pasien, obat antiemetic.

50
Perbandingan Obat-Obatan Anti-Emetik
Kategori Metoklopramid Droperidol, Ondansetron Proklorperazin,
butirofenon fenotiazin
Durasi (jam) 4 4-6 (dosis rendah) 8-24 6
24 (dosis tinggi)
Efek samping:
 Ekstrapiramidal ++ ++ - +
 Anti-kolinergik - + - +
 sedasi + + - +
Dosis (mg) 10 0,25-0,5 4 12,5
Frekuensi Tiap 4-6 jam Tiap 4-6 jam Tiap 12 jam Tiap 6-8 jam
Jalur pemberian Oral, IV, IM IV, IM Oral, IV Oral, IM

f. Pemberian Oral:
i. sama efektifnya dnegan pemberian parenteral pada dosis yang
sesuai.
ii. Digunakan segera setelah pasien dapat mentoleransi medikasi oral.
g. Injeksi intramuscular:
i. merupakan rute parenteral standar yang sering digunakan.
ii. Namun, injeksi menimbulkan nyeri dan efektifitas penyerapannya
tidak dapat diandalkan.
iii. Hindari pemberian via intramuscular sebisa mungkin.
h. Injeksi subkutan
i. Injeksi intravena:
i. Pilihan perenteral utama setelah pembedahan major.
ii. Dapat digunakan sebagai bolus atau pemberian terus-menerus
(melalui infus).
iii. Terdapat risiko depresi pernapasan pada pemberian yang tidak sesuai
dosis.
j. Injeksi supraspinal:
i. Lokasi mikroinjeksi terbaik: mesencephalic periaqueductal gray
(PAG).
ii. Mekanisme kerja: memblok respons nosiseptif di otak.
iii. Opioid intraserebroventrikular digunakan sebagai pereda nyeri pada
pasien kanker.
k. Injeksi spinal (epidural, intratekal):
i. Secara selektif mengurangi keluarnya neurotransmitter di neuron
kornu dorsalis spinal.

51
ii. Sangat efektif sebagai analgesik.
iii. Harus dipantau dengan ketat
l. Injeksi Perifer
i. Pemberian opioid secara langsung ke saraf perifer menimbulkan efek
anestesi lokal (pada konsentrasi tinggi).
ii. Sering digunakan pada: sendi lutut yang mengalami inflamasi2

MANAJEMEN NYERI AKUT


1. Nyeri akut merupakan nyeri yang terjadi < 6 minggu.
2. Lakukan asesmen nyeri: mulai dari anamnesis hingga pemeriksaan penunjang.
3. Tentukan mekanisme nyeri:
a. Nyeri somatik:
i. Diakibatkan adanya kerusakan jaringan yang menyebabkan
pelepasan zat kima dari sel yang cedera dan memediasi inflamasi dan
nyeri melalui nosiseptor kulit.
ii. Karakteristik: onset cepat, terlokalisasi dengan baik, dan nyeri
bersifat tajam, menusuk, atau seperti ditikam.
iii. Contoh: nyeri akibat laserasi, sprain, fraktur, dislokasi.

b. Nyeri visceral:
i. Nosiseptor visceral lebih setikit dibandingkan somatic, sehingga jika
terstimulasi akan menimbulkan nyeri yang kurang bisa dilokalisasi,
bersifat difus, tumpul, seperti ditekan benda berat.
ii. Penyebab: iskemi/nekrosis, inflamasi, peregangan ligament, spasme
otot polos, distensi organ berongga / lumen.
iii. Biasanya disertai dengan gejala otonom, seperti mual, muntah,
hipotensi, bradikardia, berkeringat.

c. Nyeri neuropatik:
i. Berasal dari cedera jaringan saraf
ii. Sifat nyeri: rasa terbakar, nyeri menjalar, kesemutan, alodinia (nyeri
saat disentuh), hiperalgesia.
iii. Gejala nyeri biasanya dialami pada bagian distal dari tempat cedera
(sementara pada nyeri nosiseptif, nyeri dialami pada tempat
cederanya)
iv. Biasanya diderita oleh pasien dengan diabetes, multiple sclerosis,
herniasi diskus, AIDS, pasien yang menjalani kemoterapi /
radioterapi.

52
4. Tatalaksana sesuai mekanisme nyerinya.7
a. Farmakologi: gunakan Step-Ladder WHO
i. OAINS efektif untuk nyeri ringan-sedang, opioid efektif untuk nyeri
sedang-berat.
ii. Mulailah dengan pemberian OAINS / opioid lemah (langkah 1 dan
2) dnegan pemberian intermiten (pro re nata-prn) opioid kuat yang
disesuaikan dengan kebutuhan pasien.
iii. Jika langkah 1 dan 2 kurang efektif / nyeri menjadi sedang-berat,
dapat ditingkatkan menjadi langkah 3 (ganti dengan opioid kuat dan
prn analgesik dalam kurun waktu 24 jam setelah langkah 1).
iv. Penggunaan opioid harus dititrasi. Opioid standar yang sering
digunakan adalah morfin, kodein.
v. Jika pasien memiliki kontraindikasi absolut OAINS, dapat diberikan
opioid ringan.
vi. Jika fase nyeri akut pasien telah terlewati, lakukan pengurangan
dosis secara bertahap
 Intravena: antikonvulsan, ketamine, OAINS, opioid
 Oral: antikonvulsan, antidepresan, antihistamin, anxiolytic,
kortikosteroid, anestesi lokal, OAINS, opioid, tramadol.
 Rektal (supositoria): parasetamol, aspirin, opioid, fenotiazin
 Topical: lidokain patch, EMLA
 Subkutan: opioid, anestesi lokal7

53
3-Step WHO Analgesic Ladder8
*Keterangan:
 patch fentanyl tidak boleh digunakan untuk nyeri akut karena tidak sesuai
indikasi dan onset kerjanya lama.
 Untuk nyeri kronik: pertimbangkan pemberian terapi analgesik adjuvant
(misalnya amitriptilin, gabapentin).
*Istilah:
 NSAID: non-steroidal anti-inflammatory drug
 S/R: slow release
 PRN: when required

vii. Berikut adalah algoritma pemberian opioid intermiten (prn)


intravena untuk nyeri akut, dengan syarat:
 Hanya digunakan oleh staf yang telah mendapat instruksi
 Tidak sesuai untuk pemberian analgesik secara rutin di ruang
rawat inap biasa
 Efek puncak dari dosis intravena dapat terjadi selama 15
menit sehingga semua pasien harus diobservasi dengan ketat
selama fase ini.

54
Algoritma Pemberian Opioid Intermiten Intravena untuk Nyeri Akut8

Apakah pasien nyeri sedang/berat? tidak


Observasi rutin

ya
tidak
 Saat dosis telah diberikan, lakukan Apakah diresepkan opioid IV? Minta untuk diresepkan
monitor setiap 5 menit selama
minimal 20 menit.
 Tunggu hingga 30 menit dari  Gunakan spuit 10ml
pemberian dosis terakhir sebelum  Ambil 10mg morfin sulfat dan
mengulangi siklus. ya
campur dengan NaCl 0,9%
 Dokter mungkin perlu untuk hingga 10ml (1mg/ml)
meresepkan dosis ulangan  Berikan label pada spuit
Siapkan NaCl ATAU
 Gunakan spuit 10ml
Ya, tetapi
 Ambil 100mg petidin dan
telah
campur dengan NaCl 0,9%
diberikan Observasi rutin
hingga 10ml (10mg/ml)
dosis total ya
 Berikan label pada spuit
tidak

Nyeri ya Skor sedasi 0 atau 1?  Minta saran ke dokter senior


 Tunda dosis hingga skor sedasi <2 dan
ya tidak kecepatan pernapasan > 8 kali/menit.
 Pertimbangkan nalokson IV (100ug)
Kecepatan pernapasan >
8 kali/menit?
ya

Tekanan darah sistolik ≥ tidak Minta saran


Tunggu selama 5
menit 100 mmHg?*
ya
tidak  Jika skor nyeri 7-10: berikan 2ml
Usia pasien < 70 tahun?  Jika skor nyeri 4-6: berikan 1 ml

ya

 Jika skor nyeri 7-10: berikan 3ml


 Jika skor nyeri 4-6: berikan 2 ml

Keterangan:
Skor nyeri: Skor sedasi: *Catatan:
0 = tidak nyeri 0 = sadar penuh  Jika tekanan darah sistolik
1-3 = nyeri ringan 1 = sedasi ringan, kadang mengantuk, mudah < 100mmHg: haruslah
4-6 = nyeri sedang dibangunkan dalam rentang 30% tekanan
7-10 = nyeri berat 2 = sedasi sedang, sering secara konstan mengantuk, darah sistolik normal
pasien (jika diketahui), atau
mudah dibangunkan
carilah saran/bantuan.
3 = sedasi berat, somnolen, sukar dibangunkan
S = tidur normal

Gunakan tabel obat-obatan antiemetic (jika diperlukan)

55
Teruskan penggunaan OAINS IV jika diresepkan bersama dengan opioid.

viii. Manajemen efek samping:


 opioid
 Mual dan muntah: antiemetic
 Konstipasi: berikan stimulant buang air besar,
hindari laksatif yang mengandung serat karena dapat
menyebabkan produksi gas-kembung-kram perut.
 Gatal: pertimbangkan untuk mengganti opioid jenis
lain, dapat juga menggunakan antihistamin.
 Mioklonus: pertimbangkan untuk mengganti opioid,
atau berikan benzodiazepine untuk mengatasi
mioklonus.
 Depresi pernapasan akibat opioid: berikan nalokson
(campur 0,4mg nalokson dengan NaCl 0,9%
sehingga total volume mencapai 10ml). Berikan 0,02
mg (0,5ml) bolus setiap menit hingga kecepatan
pernapasan meningkat. Dapat diulang jika pasien
mendapat terapi opioid jangka panjang.
 OAINS:
 Gangguan gastrointestinal: berikan PPI (proton
pump inhibitor)
 Perdarahan akibat disfungsi platelet: pertimbangkan
untuk mengganti OAINS yang tidak memiliki efek
terhadap agregasi platelet.

b. Pembedahan: injeksi epidural, supraspinal, infiltrasi anestesi lokal di tempat


nyeri.

c. Non-farmakologi:
i. Olah raga
ii. Imobilisasi
iii. Pijat
iv. Relaksasi
v. Stimulasi saraf transkutan elektrik8

5. Follow-up / asesmen ulang


a. Asesmen ulang sebaiknya dilakukan dengan interval yang teratur.

56
b. Panduan umum:
i. Pemberian parenteral: 30 menit
ii. Pemberian oral: 60 menit
iii. Intervensi non-farmakologi: 30-60 menit.

6. Pencegahan
a. Edukasi pasien:
i. Berikan informasi mengenai kondisi dan penyakit pasien, serta
tatalaksananya.
ii. Diskusikan tujuan dari manajemen nyeri dan manfaatnya untuk
pasien
iii. Beritahukan bahwa pasien dapat mengubungi tim medis jika
memiliki pertanyaan / ingin berkonsultasi mengenai kondisinya.
iv. Pasien dan keluarga ikut dilibatkan dalam menyusun manajemen
nyeri (termasuk penjadwalan medikasi, pemilihan analgesik, dan
jadwal control).
b. Kepatuhan pasien dalam menjalani manajemen nyeri dengan baik

7. Medikasi saat pasien pulang


a. Pasien dipulangkan segera setelah nyeri dapat teratasi dan dapat beraktivitas
seperti biasa / normal.
b. Pemilihan medikasi analgesik bergantung pada kondisi pasien.

57
8. Berikut adalah algoritma asesmen dan manajemen nyeri akut:
Algoritma Asesmen Nyeri Akut

Pasien mengeluh nyeri

Anamnesis dan
pemeriksaan fisik

Asesmen nyeri

ya
Apakah etiologi nyeri Prioritas utama: identifikasi
bersifat reversibel? dan atasi etiologi nyeri

tidak

 Lihat manajemen nyeri


ya kronik.
Apakah nyeri berlangsung > 6
 Pertimbangkan untuk
minggu?
merujuk ke spesialis yang
sesuai
tidak

Tentukan mekanisme nyeri (pasien


dapat mengalami > 1 jenis nyeri)

Nyeri somatic Nyeri viseral Nyeri neuropatik

Nyeri bersifat tajam, menusuk, Nyeri bersifat difus, seperti Nyeri bersifat menjalar, rasa
terlokalisir, seperti ditikam ditekan benda berat, nyeri terbakar, kesemutan, tidak
tumpul spesifik.

58
Algoritma Manajemen Nyeri Akut7

Nyeri somatic Nyeri viseral Nyeri neuropatik

 Parasetamol  Kortikosteroid  Antikonvulsan


 Cold packs  Anestesi lokal intraspinal  Kortikosteroid
 Kortikosteroid  OAINS  Blok neuron
 Anestesi lokal (topical / infiltrasi)  Opioid  OAINS
 OAINS  Opioid
 Opioid  Antidepresan trisiklik
 Stimulasi taktil (amitriptilin)

Pilih alternatif terapi


yang lainnya
Pencegahan

tidak
 Edukasi pasien
 Lihat manajemen ya  Terapi farmakologi
nyeri kronik.  Konsultasi (jika perlu)
 Pertimbangkan Apakah nyeri >  Prosedur pembedahan
untuk merujuk ke 6 minggu?  Non-farmakologi
spesialis yang
sesuai
ya

tidak
Kembali ke kotak Mekanisme Analgesik adekuat?
‘tentukan tidak nyeri sesuai?
mekanisme nyeri’ ya

ya
Efek samping Manajemen
pengobatan? efek samping

tidak

Follow-up /
nilai ulang

59
MANAJEMEN NYERI KRONIK
1. Lakukan asesmen nyeri:
a. anamnesis dan pemeriksaan fisik (karakteristik nyeri, riwayat manajemen
nyeri sebelumnya)
b. pemeriksaan penunjang: radiologi
c. asesmen fungsional:
i. nilai aktivitas hidup dasar (ADL), identifikasi kecacatan / disabilitas
ii. buatlah tujuan fungsional spesifik dan rencana perawatan pasien
iii. nilai efektifitas rencana perawatan dan manajemen pengobatan

2. Tentukan mekanisme nyeri:


a. manajemen bergantung pada jenis / klasifikasi nyerinya.
b. Pasien sering mengalami > 1 jenis nyeri.
c. Terbagi menjadi 4 jenis:
i. Nyeri neuropatik:
 disebabkan oleh kerusakan / disfungsi sistem
somatosensorik.
 Contoh: neuropati DM, neuralgia trigeminal, neuralgia
pasca-herpetik.
 Karakteristik: nyeri persisten, rasa terbakar, terdapat
penjalaran nyeri sesuai dengan persarafannya, baal,
kesemutan, alodinia.
 Fibromyalgia: gatal, kaku, dan nyeri yang difus pada
musculoskeletal (bahu, ekstremitas), nyeri berlangsung
selama > 3bulan

ii. Nyeri otot: tersering adalah nyeri miofasial


 mengenai otot leher, bahu, lengan, punggung bawah,
panggul, dan ekstremitas bawah.
 Nyeri dirasakan akibat disfungsi pada 1/lebih jenis otot,
berakibat kelemahan, keterbatasan gerak.
 Biasanya muncul akibat aktivitas pekerjaan yang repetitive.
 Tatalaksana: mengembalikan fungsi otot dengan fisioterapi,
identifikasi dan manajemen faktor yang memperberat
(postur, gerakan repetitive, faktor pekerjaan)

60
iii. Nyeri inflamasi (dikenal juga dengan istilah nyeri nosiseptif):
 Contoh: artritis, infeksi, cedera jaringan (luka), nyeri pasca-
operasi
 Karakteristik: pembengkakan, kemerahan, panas pada
tempat nyeri. Terdapat riwayat cedera / luka.
 Tatalaksana: manajemen proses inflamasi dengan antibiotic /
antirematik, OAINS, kortikosteroid.

iv. Nyeri mekanis / kompresi:


 Diperberat dengan aktivitas, dan nyeri berkurang dengan
istirahat.
 Contoh: nyeri punggung dan leher (berkaitan dengan
strain/sprain ligament/otot), degenerasi diskus, osteoporosis
dengan fraktur kompresi, fraktur.
 Merupakan nyeri nosiseptif
 Tatalaksana: beberapa memerlukan dekompresi atau
stabilisasi.

3. Nyeri kronik: nyeri yang persisten / berlangsung > 6 minggu

4. Asesmen lainnya:
a. Asesmen psikologi: nilai apakah pasien mempunyai masalah psikiatri
(depresi, cemas, riwayat penyalahgunaan obat-obatan, riwayat penganiayaan
secara seksual/fisik.verbal, gangguan tidur)
b. Masalah pekerjaan dan disabilitas
c. Faktor yang mempengaruhi:
i. Kebiasaan akan postur leher dan kepala yang buruk
ii. Penyakit lain yang memperburuk / memicu nyeri kronik pasien
d. Hambatan terhadap tatalaksana:
i. Hambatan komunikasi / bahasa
ii. Faktor finansial
iii. Rendahnya motivasi dan jarak yang jauh terhadap fasilitas kesehatan
iv. Kepatuhan pasien yang buruk
v. Kurangnya dukungan dari keluarga dan teman

5. Manajemen nyeri kronik


a. Prinsip level 1:

61
i. Buatlah rencana perawatan tertulis secara komprehensif (buat tujuan,
perbaiki tidur, tingkatkan aktivitas fisik, manajemen stress, kurangi
nyeri).

Berikut adalah formulir rencana perawatan pasien dengan nyeri


kronik:

62
Rencana Perawatan Pasien Nyeri Kronik

1. Tetapkan tujuan
 Perbaiki skor kemampuan fungsional (ADL) menjadi:____ pada tanggal: _________
 Kembali ke aktivitas spesifik, hobi, olahraga____________ pada tanggal: _________
a. ____________________________________________
b. ____________________________________________
c. ____________________________________________
 Kembali ke  kerja terbatas/ atau  kerja normal pada tanggal: __________

2. Perbaikan tidur (goal: _______ jam/malam, saat ini: ________ jam/malam)


 Ikuti rencana tidur dasar
a. Hindari kafein dan tidur siang, relaksasi sebeum tidur, pergi tidur pada jam yang
ditentukan _____________
 Gunakan medikasi saat mau tidur
a. ______________________________________________
b. ______________________________________________
c. ______________________________________________

3. Tingkatkan aktivitas fisik


 Ikuti fisioterapi ( hari/minggu ___________________)
 Selesaikan peregangan harian (_____ kali/hari, selama _____ menit)
 Selesaikan latihan aerobic / stamina
a. Berjalan (_____ kali/hari, selama _____ menit)
b. Treadmill, bersepeda, mendayung (_____ kali/minggu, selama _____ menit)
c. Goal denyut jantung yang ditargetkan dengan latihan ______ kali/menit
 Penguatan
a. Elastic, angkat beban (_____ menit/hari, _____ hari/minggu)

4. Manajemen stress – daftar penyebab stress utama ____________________________________


 Intervensi formal (konseling, kelompok terapi)
a. _________________________________________________
 Latihan harian dengan teknik relaksasi, meditasi, yoga, dan sebagainya
a. _________________________________________________
b. _________________________________________________
 Medikasi
a. _________________________________________________
b. _________________________________________________

5. Kurangi nyeri (level nyeri terbaik minggu lalu: ____/10, level nyeri terburuk minggu lalu: ____/10)
 Tatalaksana non-medikamentosa
a. Dingin/panas ___________________________________________
b. ______________________________________________________
 Medikasi
a. ______________________________________________________
b. ______________________________________________________
c. ______________________________________________________
d. ______________________________________________________
 Terapi lainnya: ___________________________________________________

Nama Dokter: __________________________________________ Tanggal: _______________

63
ii. Pasien harus berpartisipasi dalam program latihan untuk
meningkatkan fungsi
iii. Dokter dapat mempertimbangkan pendekatan perilaku kognitif
dengan restorasi fungsi untuk membantu mengurangi nyeri dan
meningkatkan fungsi.
 Beritahukan kepada pasien bahwa nyeri kronik adalah
masalah yang rumit dan kompleks. Tatalaksana sering
mencakup manajemen stress, latihan fisik, terapi relaksasi,
dan sebagainya
 Beritahukan pasien bahwa focus dokter adalah manajemen
nyerinya
 Ajaklah pasien untuk berpartisipasi aktif dalam manajemen
nyeri
 Berikan medikasi nyeri yang teratur dan terkontrol
 Jadwalkan control pasien secara rutin, jangan biarkan
penjadwalan untuk control dipengaruhi oleh peningkatan
level nyeri pasien.
 Bekerjasama dengan keluarga untuk memberikan dukungan
kepada pasien
 Bantulah pasien agar dapat kembali bekerja secara bertahap
 Atasi keengganan pasien untuk bergerak karena takut nyeri.
iv. Manajemen psikososial (atasi depresi, kecemasan, ketakutan pasien)

b. Manajemen level 1: menggunakan pendekatan standar dalam


penatalaksanaan nyeri kronik termasuk farmakologi, intervensi, non-
farmakologi, dan tetapi pelengkap / tambahan.
i. Nyeri Neuropatik
 Atasi penyebab yang mendasari timbulnya nyeri:
 Control gula darah pada pasien DM
 Pembedahan, kemoterapi, radioterapi untuk pasien
tumor dengan kompresi saraf
 Control infeksi (antibiotic)
 Terapi simptomatik:
 antidepresan trisiklik (amitriptilin)
 antikonvulsan: gabapentin, karbamazepin
 obat topical (lidocaine patch 5%, krim anestesi)
 OAINS, kortikosteroid, opioid

64
 anestesi regional: blok simpatik, blok epidural /
intratekal, infus epidural / intratekal
 terapi berbasis-stimulasi: akupuntur, stimulasi
spinal, pijat
 rehabilitasi fisik: bidai, manipulasi, alat bantu,
latihan mobilisasi, metode ergonomis
 prosedur ablasi: kordomiotomi, ablasi saraf dengan
radiofrekuensi
 terapi lainnya: hypnosis, terapi relaksasi
(mengurangi tegangan otot dan toleransi terhadap
nyeri), terapi perilaku kognitif (mengurangi perasaan
terancam atau tidak nyaman karena nyeri kronis)

ii. nyeri otot


 lakukan skrining terhadap patologi medis yang serius, faktor
psikososial yang dapat menghambat pemulihan
 berikan program latihan secara bertahap, dimulai dari latihan
dasar / awal dan ditingkatkan secara bertahap.
 Rehabilitasi fisik:
 Fitness: angkat beban bertahap, kardiovaskular,
fleksibilitas, keseimbangan
 mekanik
 pijat, terapi akuatik
 manajemen perilaku:
 stress / depresi
 teknik relaksasi
 perilaku kognitif
 ketergantungan obat
 manajemen amarah
 terapi obat:
 analgesik dan sedasi
 antidepressant
 opioid jarang dibutuhkan

iii. nyeri inflamasi


 control inflamasi dan atasi penyebabnya
 obat anti-inflamasi utama: OAINS, kortikosteroid

65
iv. nyeri mekanis / kompresi
 penyebab yang sering: tumor / kista yang menimbulkan
kompresi pada struktur yang sensitif dengan nyeri, dislokasi,
fraktur.
 Penanganan efektif: dekompresi dengan pembedahan atau
stabilisasi, bidai, alat bantu.
 Medikamentosa kurang efektif. Opioid dapat digunakan
untuk mengatasi nyeri saat terapi lain diaplikasikan.

c. Manajemen level 1 lainnya


i. OAINS dapat digunakan untuk nyeri ringan-sedang atau nyeri non-
neuropatik
ii. Skor DIRE: digunakan untuk menilai kesesuaian aplikasi terapi
opioid jangka panjang untuk nyeri kronik non-kanker.9

66
Skor DIRE (Diagnosis, Intractibility, Risk, Efficacy) 9

Skor Faktor Penjelasan


Diagnosis 1 = kondisi kronik ringan dengan temuan objektif minimal atau tidak adanya
diagnosis medis yang pasti. Misalnya: fibromyalgia, migraine, nyeri punggung
tidak spesifik.
2 = kondisi progresif perlahan dengan nyeri sedang atau kondisi nyeri sedang
menetap dengan temuan objektif medium. Misalnya: nyeri punggung dengan
perubahan degeneratif medium, nyeri neuropatik.
3 = kondisi lanjut dengan nyeri berat dan temuan objektif nyata. Misalnya:
penyakit iskemik vascular berat, neuropati lanjut, stenosis spinal berat.
Intractability 1 = pemberian terapi minimal dan pasien terlibat secara minimal dalam
(keterlibatan) manajemen nyeri
2 = beberapa terapi telah dilakukan tetapi pasien tidak sepenuhnya terlibat dalam
manajemen nyeri, atau terdapat hambatan (finansial, transportasi, penyakit medis)
3 = pasien terlibat sepenuhnya dalam manajemen nyeri tetapi respons terapi tidak
adekuat.
Risiko (R) R = jumlah skor P + K + R + D
Psikologi 1 = disfungsi kepribadian yang berat atau gangguan jiwa yang mempengaruhi
terapi. Misalnya: gangguan kepribadian, gangguan afek berat.
2 = gangguan jiwa / kepribadian medium/sedang. Misalnya: depresi, gangguan
cemas.
3 = komunikasi baik. Tidak ada disfungsi kepribadian atau gangguan jiwa yang
signifikan
Kesehatan 1 = penggunaan obat akhir-akhir ini, alkohol berlebihan, penyalahgunaan obat.
2 = medikasi untuk mengatasi stress, atau riwayat remisi psikofarmaka
3 = tidak ada riwayat penggunaan obat-obatan.
Reliabilitas 1 = banyak masalah: penyalahgunaan obat, bolos kerja / jadwal control,
komplians buruk
2 = terkadang mengalami kesulitan dalam komplians, tetapi secara keseluruhan
dapat diandalkan
3 = sangat dapat diandalkan (medikasi, jadwal control, dan terapi)
Dukungan 1 = hidup kacau, dukungan keluarga minimal, sedikit teman dekat, kehilangan
sosial peran dalam kehidupan normal
2 = kurangnya hubungan dengan oral dan kurang berperan dalam sosisl
3 = keluarga mendukung, hubungan dekat. Terlibat dalam kerja/sekolah, tidak ada
isolasi sosial
Efikasi 1 = fungsi buruk atau pengurangan nyeri minimal meski dengan penggunaan

67
dosis obat sedang-tinggi
2 = fungsi meningkat tetapi kurang efisien (tidak menggunakan opioid dosis
sedang-tinggi)
3 = perbaikan nyeri signifikan, fungsi dan kualitas hidup tercapai dengan dosis
yang stabil.
Skor total =D+I+R+E

Keterangan:
Skor 7-13: tidak sesuai untuk menjalani terapi opioid jangka panjang
Skor 14-21: sesuai untuk menjalani terapi opioid jangka panjang

iii. Intervensi: injeksi spinal, blok saraf, stimulator spinal, infus


intratekal, injeksi intra-sendi, injeksi epidural
iv. Terapi pelengkap / tambahan: akupuntur, herbal

d. Manajemen level 2
i. meliputi rujukan ke tim multidisiplin dalam manajemen nyeri dan
rehabilitasinya atau pembedahan (sebagai ganti stimulator spinal
atau infus intratekal).
ii. Indikasi: pasien nyeri kronik yang gagal terapi konservatif /
manajemen level 1.
iii. Biasanya rujukan dilakukan setelah 4-8 minggu tidak ada perbaikan
dengan manajemen level 1.

68
Berikut adalah algoritma asesmen dan manajemen nyeri kronik:
Algoritma Asesmen Nyeri Kronik

Pasien mengeluh nyeri

Asesmen nyeri

 Anamnesis
 Pemeriksaan fisik
 Pemeriksaan fungsi  Pasien dapat mengalami jenis
nyeri dan faktor yang
mempengaruhi yang beragam
Tentukan mekanisme nyeri

Nyeri neuropatik Nyeri otot Nyeri inflamasi Nyeri mekanis/kompresi

 Perifer (sindrom nyeri Nyeri miofasial  Artropati inflamasi  Nyeri punggung bawah
regional kompleks, neuropati (rematoid artritis)  Nyeri leher
HIV, gangguan metabolik)  Infeksi  Nyeri musculoskeletal
 Sentral (Parkinson, multiple  Nyeri pasca-oparasi (bahu, siku)
sclerosis, mielopati, nyeri  Cedera jaringan  Nyeri viseral
pasca-stroke, sindrom
fibromyalgia)

tidak
Apakah nyeri kronik? Pantau dan observasi

ya
ya Atasi etiologi nyeri sesuai
Apakah etiologinya dapat
dikoreksi / diatasi? indikasi

tidak

Asesmen lainnya

 Masalah pekerjaan dan disabilitas


 Asesmen psikologi dan spiritual
 Faktor yang mempengaruhi dan
hambatan

Algoritma Manajemen Nyeri Kronik

69
Algoritma Manajemen Nyeri Kronik9

Prinsip level 1

 Buatlah rencana dan tetapkan tujuan


 Rehabilitasi fisik dengan tujuan fungsional
 Manajemen psikososial dengan tujuan fungsional

Manajemen level 1: Manajemen level 1: Manajemen level 1: Manajemen level 1: Nyeri


Nyeri neuropatik Nyeri otot Nyeri inflamasi mekanis/kompresi

Manajemen level 1 lainnya

 Farmakologi (skor DIRE)


 Intervensi
 Pelengkap / tambahan

Layanan primer untuk mengukur


pencapaian tujuan dan meninjau ulang
rencana perawatan

Tujuan terpenuhi? tidak Telah melakukan ya Manajemen level 2


 Fungsi manajemen level 1
 Kenyamanan dengan adekuat?  Rujuk ke tim interdisiplin,
 hambatan atau
 Rujuk ke klinik khusus
ya manajemen nyeri

Rencana perawatan selanjutnya oleh tidak


pasien

Asesmen hasil

70
MANAJEMEN NYERI PADA PEDIATRIK
1. Prevalensi nyeri yang sering dialami oleh anak adalah: sakit kepala kronik, trauma,
sakit perut dan faktor psikologi
2. Sistem nosiseptif pada anak dapat memberikan respons yang berbeda terhadap
kerusakan jaringan yang sama atau sederajat.
3. Neonates lebih sensitif terhadap stimulus nyeri
4. Berikut adalah algoritma manajemen nyeri mendasar pada pediatrik:

Algoritma Manajemen Nyeri Mendasar Pada Pediatrik

1. Asesmen nyeri pada anak

 Nilai karakteristik nyeri


 Lakukan pemeriksaan medis dan penunjang yang sesuai
 Evaluasi kemungkinan adanya keterlibatan mekanisme nosiseptif dan
neuropatik
 Kajilah faktor yang mempengaruhi nyeri pada anak

2. Diagnosis penyebab primer dan sekunder

 Komponen nosiseptif dan neuropatik yang ada saat ini


 Kumpulkan gejala-gejala fisik yang ada
 Pikirkan faktor emosional, kognitif, dan perilaku

3. Pilih terapi yang sesuai

Obat Non-obat

 Analgesik  Kognitif
 Analgesik adjuvant  Fisik
 anestesi  perilaku

4. Implementasi rencana manajemen nyeri

 Berikan umpan balik mengenai penyebab dan faktor yang mempengaruhi nyeri kepada orang tua (dan anak)
 Berikan rencana manajemen yang rasional dan terintegrasi
 Asesmen ulang nyeri pada anak secara rutin
 Evaluasi efektifitas rencana manajemen nyeri
 Revisi rencana jika diperlukan

71
5. Pemberian analgesik:
a. ‘By the ladder’: pemberian analgesik secara bertahap sesuai dengan level
nyeri anak (ringan, sedang, berat).
i. Awalnya, berikan analgesik ringan-sedang (level 1).
ii. Jika nyeri menetap dengan pemberian analgesik level 1, naiklah ke
level 2 (pemberian analgesik yang lebih poten).
iii. Pada pasien yang mendapat terapi opioid, pemberian parasetamol
tetap diaplikasikan sebagai analgesik adjuvant.
iv. Analgesik adjuvant
 Merupakan obat yang memiliki indikasi primer bukan untuk
nyeri tetapi dapat berefek analgesik dalam kondisi tertentu.
 Pada anak dengan nyeri neuropatik, dapat diberikan
analgesik adjuvant sebagai level 1.
 Analgesik adjuvant ini lebih spesifik dan efektif untuk
mengatasi nyeri neuropatik.
 Kategori:
 Analgesik multi-tujuan: antidepressant, agonis
adrenergic alfa-2, kortikosteroid, anestesi topical.
 Analgesik untuk nyeri neuropatik: antidepressant,
antikonvulsan, agonis GABA, anestesi oral-lokal
 Analgesik untuk nyeri musculoskeletal: relaksan
otot, benzodiazepine, inhibitor osteoklas,
radiofarmaka.

b. ‘By the clock’: mengacu pada waktu pemberian analgesik.


i. Pemberian haruslah teratur, misalnya: setiap 4-6 jam (disesuaikan
dengan masa kerja obat dan derajat keparahan nyeri pasien), tidak
boleh prn (jika perlu) kecuali episode nyeri pasien benar-benar
intermiten dan tidak dapat diprediksi.
c. ‘by the child’: mengacu pada peemberian analgesik yang sesuai dengan
kondisi masing-masing individu.
i. Lakukan monitor dan asesmen nyeri secara teratur
ii. Sesuaikan dosis analgesik jika perlu

d. ‘By the mouth’: mengacu pada jalur pemberian oral.


i. Obat harus diberikan melalui jalur yang paling sederhana, tidak
invasive, dan efektif; biasanya per oral.

72
ii. Karena pasien takut dengan jarum suntik, pasien dapat menyangkal
bahwa mereka mengalami nyeri atau tidak memerlukan pengobatan.
iii. Untuk mendapatkan efek analgesik yang cepat dan langsung,
pemberian parenteral terkadang merupakan jalur yang paling efisien.
iv. Opioid kurang poten jika diberikan per oral.
v. Sebisa mungkin jangan memberikan obat via intramuscular karena
nyeri dan absorbsi obat tidak dapat diandalkan.
vi. Infus kontinu memiliki keuntungan yang lebih dibandingkan IM, IV,
dan subkutan intermiten, yaitu: tidak nyeri, mencegah terjadinya
penundaan/keterlambatan pemberian obat, memberikan control nyeri
yang kontinu pada anak.
 Indikasi: pasien nyeri di mana pemberian per oral dan opioid
parenteral intermiten tidak memberikan hasil yang
memuaskan, adanya muntah hebat (tidak dapat memberikan
obat per oral)

e. Analgesik dan anestesi regional: epidural atau spinal


i. Sangat berguna untuk anak dengan nyeri kanker stadium lanjut yang
sulit diatasi dengan terapi konservatif.
ii. Harus dipantau dengan baik
iii. Berikan edukasi dan pelatihan kepada staf, ketersediaan segera obat-
obatan dan peralatan resusitasi, dan pencatatan akurat mengenai
tanda vital / skor nyeri.
f. Manajemen nyeri kronik: biasanya memiliki penyebab multipel, dapat
melibatkan komponen nosiseptif dan neuropatik
i. Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik menyeluruh
ii. Pemeriksaan penunjang yang sesuai
iii. Evaluasi faktor yang mempengaruhi
iv. Program terapi: kombinasi terapi obat dan non-obat (kognitif, fisik,
dan perilaku).
v. Lakukan pendekatan multidisiplin

g. Berikut adalah tabel obat-obatan non-opioid yang sering digunakan untuk


anak:

Obat-obatan non-opioid
Obat Dosis Keterangan
Parasetamol 10-15mg/kgBB oral, setiap Efek antiinflamasi kecil, efek gastrointestinal dan

73
4-6 jam hematologi minimal
Ibuprofen 5-10mg/kgBB oral, setiap 6- Efek antiinflamasi. Hati-hati pada pasien dengan
8 jam gangguan hepar/renal, riwayat perdarahan
gastrointestinal atau hipertensi.
Naproksen 10-20mg/kgBB/hari oral, Efek antiinflamasi. Hati-hati pada pasien dengan
terbagi dalam 2 dosis disfungsi renal. Dosis maksimal 1g/hari.
Diklofenak 1mg/kgBB oral, setiap 8-12 Efek antiinflamasi. Efek samping sama dengan
jam ibuprofen dan naproksen. Dosis maksimal
50mg/kali.

h. Panduan penggunaan opioid pada anak:


i. Pilih rute yang paling sesuai. Untuk pemberian jangka panjang,
pilihlah jalur oral.
ii. Pada penggunaan infus kontinu IV, sediakan obat opioid kerja
singkat dengan dosis 50%-200% dari dosis infus perjam kontinu prn.
iii. Jika diperlukan >6 kali opioid kerja singkat prn dalam 24 jam,
naikkan dosis infus IV per-jam kontinu sejumlah: total dosis opioid
prn yang diberikan dalam 24 jam dibagi 24. Alternatif lainnya adalah
dengan menaikkan kecepatan infus sebesar 50%.
iv. Pilih opioid yang sesuai dan dosisnya.
v. Jika efek analgesik tidak adekuat dan tidak ada toksisitas , tingkatkan
dosis sebesar 50%.
vi. Saat tapering-off atau penghentian obat: pada semua pasien yang
menerima opioid >1 minggu, harus dilakukan tapering-off (untuk
menghindari gejala withdrawal). Kurangi dosis 50% selama 2 hari,
lalu kurangi sebesar 25% setiap 2 hari. Jika dosis ekuivalen dengan
dosis morfin oral (0,6 mg/kgBB/hari), opioid dapat dihentikan.
vii. Meperidin tidak boleh digunakan untuk jangka lama karena dapat
terakumulasi dan menimbulkan mioklonus, hiperrefleks, dan kejang.

i. Terapi alternatif / tambahan:


i. Konseling
ii. Manipulasi chiropractic
iii. Herbal

6. Terapi non-obat
a. Terapi kognitif: merupakan terapi yang paling bermanfaat dan memiliki efek
yang besar dalam manajemen nyeri non-obat untuk anak

74
b. Distraksi terhadap nyeri dengan mengalihkan atensi ke hal lain seperti music,
cahaya, warna, mainan, permen, computer, permainan, film, dan sebagainya.
c. Terapi perilaku bertujuan untuk mengurangi perilaku yang dapat
meningkatkan nyeri dan meningkatkan perilaku yang dapat menurunkan
nyeri.
d. Terapi relaksasi: dapat berupa mengepalkan dan mengendurkan jari tangan,
menggerakkan kaki sesuai irama, menarik napas dalam. 10

Terapi non-obat
Kognitif Perilaku Fisik
 Informasi  latihan  pijat
 Pilihan dan control  terapi relaksasi  fisioterapi
 Distraksi dan atensi  umpan balik positif  stimulasi termal
 Hypnosis  modifikasi gaya hidup / perilaku  stimulasi sensorik
 psikoterapi  akupuntur
 TENS (transcutaneous
electrical nerve stimulation)

MANAJEMEN NYERI PADA KELOMPOK USIA LANJUT (GERIATRI)


1. Lanjut usia (lansia) didefinisikan sebagai orang – orang yang berusia ≥ 65 tahun.
2. Pada lansia, prevalensi nyeri dapat meningkat hingga dua kali lipatnya dibandingkan
dewasa muda.
3. Penyakit yang sering menyebabkan nyeri pada lansia adalah artritis, kanker,
neuralgia trigeminal, neuralgia pasca-herpetik, reumatika polimialgia, dan penyakit
degenerative.
4. Lokasi yang sering mengalami nyeri: sendi utama / penyangga tubuh, punggung,
tungkai bawah, dan kaki.
5. Alasan seringnya terjadi manajemen nyeri yang buruk adalah:
a. Kurangnya pelatihan untuk dokter mengenai manajemen nyeri pada geriatric.
b. Asesmen nyeri yang tidak adekuat
c. Keengganan dokter untuk meresepkan opioid

75
6. Asesmen nyeri pada geriatric yang valid, reliabel, dan dapat diaplikasikan
menggunakan Functional Pain Scale seperti di bawah ini:
Functional Pain Scale
Skala nyeri Keterangan
0 Tidak nyeri
1 Dapat ditoleransi (aktivitas tidak terganggu)
2 Dapat ditoleransi (beberapa aktivitas edikit terganggu)
3 Tidak dapat ditoleransi (tetapi masih dapat menggunakan telepon, menonton
TV, atau membaca)
4 Tidak dapat ditoleransi (tidak dapat menggunakan telepon, menonton TV,
atau membaca)
5 Tidak dapat ditoleransi (dan tidak dapat berbicara karena nyeri)

*Skor normal / yang diinginkan : 0-2

7. Intervensi non-farmakologi
a. Terapi termal: pemberian pendinginan atau pemanasan di area nosiseptif
untuk menginduksi pelepasan opioid endogen.
b. Stimulasi listrik pada saraf transkutan / perkutan, dan akupuntur
c. Blok saraf dan radiasi area tumor
d. Intervensi medis pelengkap / tambahan atau alternatif: terapi relaksasi,
umpan balik positif, hypnosis.
e. Fisioterapi dan terapi okupasi.

8. Intervensi farmakologi (tekankan pada keamanan pasien)


a. Non-opioid: OAINS, parasetamol, COX-2 inhibitor, antidepressant trisiklik,
amitriptilin, ansiolitik.
b. Opioid:
i. risiko adiksi rendah jika digunakan untuk nyeri akut (jangka
pendek).
ii. Hidrasi yang cukup dan konsumsi serat / bulking agent untuk
mencegah konstipasi (preparat senna, sorbitol).
iii. Berikan opioid jangka pendek
iv. Dosis rutin dan teratur memberikan efek analgesik yang lebih baik
daripada pemberian intermiten.
v. Mulailah dengan dosis rendah, lalu naikkan perlahan.

76
vi. Jika efek analgesik masih kurang adekuat, dapat menaikkan opioid
sebesar 50-100% dari dosis semula.
c. Analgesik adjuvant
i. OAINS dan amfetamin: meningkatkan toleransi opioid dan resolusi
nyeri
ii. Nortriptilin, klonazepam, karbamazepin, fenitoin, gabapentin,
tramadol, mexiletine: efektif untuk nyeri neuropatik
iii. Antikonvulsan: untuk neuralgia trigeminal.
 Gabapentin: neuralgia pasca-herpetik 1-3 x 100 mg sehari
dan dapat ditingkatkan menjadi 300 mg/hari

9. Risiko efek samping OAINS meningkat pada lansia. Insidens perdarahan


gastrointestinal meningkat hampir dua kali lipat pada pasien > 65 tahun.
10. Semua fase farmakokinetik dipengaruhi oleh penuaan, termasuk absorbsi, distribusi,
metabolisme, dan eliminasi.
11. Pasien lansia cenderung memerlukan pengurangan dosis analgesik. Absorbs sering
tidak teratur karena adanya penundaan waktu transit atau sindrom malabsorbsi.
12. Ambang batas nyeri sedikit meningkat pada lansia.
13. Lebih disarankan menggunakan obat dengan waktu paruh yang lebih singkat.
14. Lakukan monitor ketat jika mengubah atau meningkatkan dosis pengobatan.
15. Efek samping penggunaan opioid yang paling sering dialami: konstipasi.
16. Penyebab tersering timbulnya efek samping obat: polifarmasi (misalnya pasien
mengkonsumsi analgesik, antidepressant, dan sedasi secara rutin harian).
17. Prinsip dasar terapi farmakologi: mulailah dengan dosis rendah, lalu naikkan
perlahan hingga tercapai dosis yang diinginkan.
18. Nyeri yang tidak dikontrol dengan baik dapat mengakibatkan:
a. Penurunan / keterbatasan mobilitas. Pada akhirnya dapat mengarah ke
depresi karena pasien frustasi dengan keterbatasan mobilitasnya dan
menurunnya kemampuan fungsional.
b. Dapat menurunkan sosialisasi, gangguan tidur, bahkan dapat menurunkan
imunitas tubuh
c. Control nyeri yang tidak adekuat dapat menjadi penyebab munculnya agitasi
dan gelisah.
d. Dokter cenderung untuk meresepkan obat-obatan yang lebih banyak.
Polifarmasi dapat meningkatkan risiko jatuh dan delirium.

19. Beberapa obat yang sebaiknya tidak digunakan (dihindari) pada lansia:
a. OAINS: indometasin dan piroksikam (waktu paruh yang panjang dan efek
samping gastrointestinal lebih besar)

77
b. Opioid: pentazocine, butorphanol (merupakan campuran antagonis dan
agonis, cenderung memproduksi efek psikotomimetik pada lansia); metadon,
levorphanol (waktu paruh panjang)
c. Propoxyphene: neurotoksik
d. Antidepresan: tertiary amine tricyclics (efek samping antikolinergik)

20. Semua pasien yang mengkonsumsi opioid, sebelumnya harus diberikan kombinasi
preparat senna dan obat pelunak feses (bulking agents).
21. Pemilihan analgesik: menggunakan 3-step ladder WHO (sama dengan manajemen
pada nyeri akut).
a. Nyeri ringan-sedang: analgesik non-opioid
b. Nyeri sedang: opioid minor, dapat dikombinasikan dnegan OAINS dan
analgesik adjuvant
c. Nyeri berat: opioid poten
22. Satu-satunya perbedaan dalam terapi analgesik ini adalah penyesuaian dosis dan hati-
hati dalam memberikan obat kombinasi

BAB IV

DOKUMENTASI

Penatalaksanaan nyeri harus di dokumentasikan pada rekam medis pasien, sesuai


formulir – formulir dokumentasi yang telah di siapkan, serta di lakukan evaluasi
sesuai prosedur RS.

78
LAMPIRAN VII: PANDUAN PENOLAKAN RESUSITASI (DO NOT
RESUSITATION/DNR)

BAB I
DEFINISI

Resusitasi jantung-Paru (RJP) didefinisikan sebagai suatu sarana dalam


memberikan bantuan hidup dasar dan lanjut kepada pasien yang mengalami henti
nafas atau henti jantung. RJP diindikasikan untuk pasien yang tidak sadar, tidak
bernafas, dan yang tidak menunjukkan adanya tanda-tanda sirkulasi.
1. RJP merupakan suatu prosedur emergensi dan di rumah sakit biasanya telah
dibentuk tim khusus yang terlatih dan berpengalaman dalam melakukan RJP.
2. Menurut statistic, tindakan RJP dilakukan sebanyak 1/3 dari 2 miliar
kematian pasien yang terjadi di rumah sakit Amerika Serikat setiap tahunnya.
Proporsi dari tindakan RJP ini dianggap berhasil merestorasi fungsi
kardiopulmoner pasien.
3. Dari pasien-pasien yang dilakukan RJP, sebanyak 1/3-nya berhasil dan 1/3
dari pasien-pasien yang berhasil ini dapat bertahan hingga pulang dari rumah
sakit.
4. Tingkat keberhasilan RJP bergantung pada sifat dan derajat penyakit pasien.
5. Pada suatu studi di Rumah Sakit Boston, pasien dengan kanker lanjut yang
telah bermetastasis tidak ada yang dapat bertahan hidup hingga pulang dari
rumah sakit. Diantara pasien gagal ginjal hanya 2% yang bertahan hidup
sampai pulang dari rumah dari rumah sakit.
6. Biasanya pada pasien yang berhasil dilakukan RJP inisial tetapi meninggal
sebelum pulang dari rumah sakit, hampir selalu dirawat di Ruang Rawat
Intensif (intensive Care Unit- ICU).
7. Pada suatu studi lainnya menyatakan bahwa sekitar 11% pasien yang berhasil
dilakukan RJP inisial akan mengalami RJP ulang minimal 1 kali selama masa
perawatannya di rumah sakit.
8. Biasanya pasien RJP yang berhasil bertahan hidup dan pulang dari rumah
sakit tidak mengalami gangguan / disfungsi yang berat.
9. Suatu studi menyatakan 93% dari pasien-pasien ini memiliki orientasi yang
baik saat dipulangkan dari rumah sakit.

79
10. Pada pasien-pasien yang berhasil dilakukan RJP, beberapa diantaranya
berhasil mengalami pemulihan sempurna, beberapa pulih tetapi memiliki
masalah kesehatan dan tidak pernah kembali ke level normal sebelum terjadi
henti jantung/napas, beberapa mengalami kerusakan/cedera otak atau koma,
dan beberapa lainnya jatuh kembali ke dalam kondisi henti jantung/napas
sehingga harus dilakukan RJP ulang.
11. Tingkat keberhasilan RJP bergantung pada:
a. Penyebab terjadinya henti jantung/napas pada pasien
b. Penyakit/masalah medis mendasari
c. Kondisi kesehatan pasien secara umum
12. Seringnya pasien yang berhasil dilakukan RJP masih mengalami kondisi
yang sakit dan membutuhkan penanganan lebih lanjut, dan biasanya dirawat
di ICU.
Penting untuk mengidentifikasi pasien dimana terjadinya henti napas dan
jantung menandakan kondisi terminal penyakit pasien dan dimana usaha RJP
tidak akan membuahkan hasil (sia-sia).
Dalam menetapkan kebijakan DNR, penting untuk diketahui bahwa
kebijakan ini harus dipatuhi dan diikuti oleh seluruh tenaga kesehatan profesional
di tingkat primer, rumah sakit, dan petugas/tim transfer intra dan antar rumah
sakit.
Hak pasien untuk menolak RJP harus dihargai. Hal ini mungkin
dikarenakan pasien berpendapat bahwa dengan melakukan usaha RJP hanya akan
memperpanjang kualitas hidup yang buruk.
Kebijakan ini hanya berkaitan dengan usaha RJP, bukan dengan penundaan
atau pembatalan pemberian tatalaksana lainnya, seperti terapi antibiotik, nutrisi
parenteral, dan sebagainya.

A. Pengertian
1. Henti jantung adalah suatu kondisi dimana terjadi kegagalan jantung secara
mendadak untuk mempertahankan sirkulasi yang adekuat.
a. Hal ini dapat disebabkan oleh fibrilasi ventrikel, asistol, atau pulseless
electrical activity (PEA).
b. Untuk memperoleh RJP yang efektif, resusitasi harus dimulai sesegera
mungkin (< 3 menit setelah kejadian henti jantung).

80
c. Jika pasien ditemukan tidak bernapas, tidak adanya denyut nadi, dan pupil
dilatasi maksimal, hal ini bukanlah kejadian henti jantung dan tidal perlu
dilakukan tindakan resusitasi.
2. Resusitasi Jantung-Paru (RJP) : didefinisikan sebagai suatu sarana dalam
memberikan bantuan hidup dasar dan lanjut kepada pasien yang mengalami
henti napas atau henti jantung. RJP diindikasikan untuk : pasien tidak sadar,
tidak bernapas, dan yang tidak menunjukkan adanya tanda-tanda sirkulasi dan
tidak tertulis intruksi DNR di rekam medisnya.
3. Tindakan Do Not Resuscitate (DNR) : adalah suatu tindakan dimana jika
pasien mengalami henti jantung atau napas, paramedis tidak akan dipanggil
dan tidak akan dilakukan usaha resusitasi jantung-paru dasar maupun lanjut.
a. Jika pasien mengalami henti jantung atau napas, lakukan asesmen segera
untuk mengidentifikasi penyebab dan memeriksa posisi pasien, potensi
jalan napas, dan sebagainya. Tidak perlu melakukan usaha bantuan hidup
dasar maupun lanjut.
b. DNR tidak berarti semua tatalaksana/penanganan aktif terhadap kondisi
pasien diberhentikan. Pemeriksaan dan penanganan pasien (misalnya
terapi intravena, pemberian obat-obatan) tetap dilakukan pada pasien
DNR.
c. Semua perawatan mendasar harus terus dilakukan tanpa kecuali.
4. Fase/kondisi terminal penyakit : adalah kondisi yang disebabkan oleh cedera
atau penyakit, yang menurut perkiraan dokter atau tenaga medis lainnya tidak
dapat disembuhkan dan bersifat ireversibel, dan pada akhirnya akan
menyebabkan kematian dalam rentang waktuyang singkat, dan dimana
pengaplikasian terapi untuk memperpanjang/mempertahankan hidup hanya
akan berefek dalam memperlama proses penderitaan /sekarat pasien.
5. Pelayanan paliatif : adalah pemberian dukungan emosional dan fisik untuk
mengurangi nyeri/penderitaan pasien. Hal ini termasuk: pemberian nutrisi,
hidrasi, dan kenyamanan, kecuali terdapat intruksi spesifik untuk menunda
pemberian nutrisi/hidrasi.
6. Formulir Instruksi DNR di Luar Rumah Sakit yang valid: formulir tertulis
yang dinyatakan valid jika terisi lengkap dan ditandatangani oleh pasien/wali
sahnya dan dokter penanggung jawab pasien. Fotocopy yang dilegalisir
dianggap sah dan berlaku.

81
7. Gelang DNR: adalah gelang pengenal yang berarti bahwa pemakainya
memiliki instruksi DNR yang valid. Gelang ini harus telah disetujui oleh
pemerintah setempat, resmi, mudah dikenali, dan khusus/khas, dipakai
dipergelangan tangan tangan atau kaki. Gelang ini harus dikenali oleh Tim
Kegawatdaruratan Medis dan petugas kesehatan lainnya.

BAB II
RUANG LINGKUP

A. Penanggung Jawab
1. Diektur bertanggung jawab untuk memberikan implementasi kebijakan Do
Not Resuscitate (DNR). Fungsi ini didelegasikan kepada Manajer Medis.
2. Manajer Medis: memastikan setiap staf/petugas mengetahui dan mematuhi
kebijakan ini, serta memastikan dilakukannya audit kebijakan DNR.
3. Staf/Petugas Rumah Sakit: semua staf terlibat dalam pengambilan keputusan
tindakan DNR dan resusitasi memahami dan menerapkan kebijakan ini.
Penyimpangan-penyimpangan yang terjadi selama proses ini berlangsung
harus dilaporkan pada berkas/formulir insiden sesuai dengan algoritma yang
berlaku.
B. Pengambil Keputusan untuk DNR
1. Beberapa kondisi medis yang membutuhkan anestesi untuk intervensi operatif
pada pasien keputusan DNR adalah:
a. Alat bantu asupan nutrisi (misalnya feeding tube)
b. Pembedahan segera untuk kondisi yang tidak berhubungan dengan
penyakit kronis pasien (misalnya: apendisitis akut)
c. Pembedahan segera untuk kondisi yang berhubungan dengan penyakit
kronis pasien tetapi tidak dianggap sebagai suatu bagian dari proses
terminal penyakitnya (misalnya: ileus obstruktif)
d. Prosedur untuk mengurangi nyeri (misalnya: operasi fraktur kolum femur)
e. Prosedur untuk menyediakan akses vascular.
2. Pada situasi emergensi:
a. Tidak selalu ada cukup waktu untuk melakukan peninjauan ulang
mengenai keputusan DNR sebelum melakukan anestesi, pembedahan atau
resusitasi.

82
b. Akan tetapi, harus tetap dilakukan usaha untuk mengklarifikasi adanya
keputusan DNR dini/awal yang telah dibuat sebelumnya (jika
memungkinkan).
3. Fase pre-operatif:
a. Lakukan diskusi antara pasien/wali sah, keluarga, anestesiologi, dokter
bedah, dokter penanggung jawab pasien, dan perawat.
b. Lakukan asesmen mengenai:
1) Kondisi medis pasien, termasuk status mental dan kompetensi pasien
2) Intervensi pembedahan yang perlu dilakukan
3) Riwayat keputusan DNR sebelumnya termasuk:
a) Durasi batas waktu berlakunya keputusan tersebut
b) Siapa yang bertanggung jawab menetapkan keputusan tersebut
c) Alasan keputusan tersebut dibuat
4) Keputusan pertama yang dibuat adalah mengenai apakah pasian ini
perlu menjalani anestesi dan pembedahan (pertimbangan dari sudut
pandang pasien, keluarga, dokter bedah, anestesiologi).
5) Jika pembedahan dianggap perlu, tentukanlah batasan-batasan
tindakan resusitasi apa saja yang dapat dilakukan di fase pre-operatif,
lakukan komunikasi yang efektif, detail, dan terbuka dengan pasien,
keluarga, dan atau wali sah pasien.
6) Jika keputusan DNR telah dibuat dan disepakati, harus dicatat di
rekam medis pasien, ditandatangani oleh pihak-pihak yang terlibat,
dan cantumkan tanggal keputusan dibuat.
7) Lakukan prosedur pembedahan segera setelah keputusan dibuat dan
kondisi medis pasien memungkinkan untuk menjalani pembedahan.

4. Fase intra-operatif:
a. Keputusan DNR diaplikasikan selama pasien berada di kamar pasien
operasi.
b. Jika dilakukan pemberian premedikasi, haruslah sangat hati-hati untuk
menghindari terjadinya perubahan status fisiologis pasien sebelum di
trasfer ke kamar operasi.
c. Semua petugas kamar operasi harus mengetahui mengenai pilihan
keputusan DNR yang diambil.

83
d. Dokter bedah dan anestesiologi yang terlibat dalam konsultasi pre-operatif
harus hadir selama prosedur berlangsung.
5. Fase pasca-operatif:
a. Pilihan keputusan DNR harus dikomunikasikn kepada petugas di ruangan
pemulihan.
b. Pilihan ini akan tetap berlaku hingga pasien dipulangkan/dipindahkan dari
ruangan pemulihan.
c. Keputusan DNR sebelumnya harus ditinjau ulang saat terjadi alih rawat
pasien dari ruangan pemuliahan ke perawat di ruang rawat inap.
d. Pada kasus tertentu, keputusan DNR dapat diperpanjang batas waktunya
hingga pasien telah ditrasfer ke ruangan rawat inap pasca-operasi.
e. Harus ada audit rutin mengenai manjemen pasien dengan keputusan DNR
yang dijadwalkan untuk menjalani operasi.
6. Keputusan DNR Pada Pediatrik
a. Pada pasien anak (usia<18 tahun), diskusikan dengan orang tua pasien.
b. Orang tua harus mendapat informasi selengkap-lengkapnya mengenai
kondisi dan penyakit pasien, prosedur RPJ dan DNR.
c. Pertimbangkanlah juga kondisi emosianal dan tumbuh kembang pasien
anak.
d. Intruksi DNR harus diberitahukan kepada orang tua pasien, kecuali pada
kondisi berikut ini:
 Jika RJP dianggap membahayakan atau bersifat non-terapeutik.
e. Di rekam medis harus tertulis hasil diskusi dokter dengan orang tua
pasien. Keputusan harus ditandatangani oleh dokter, perawat yang terlibat,
dan orang tua pasien.
f. Pada kasus tertentu, dimana orang tua tetap meminta dilakukan RPJ
meskipun tim medis telah memberitahukan bahwa tindakan RPJ ini
membahayakan pasien/bersifat nonterapeutik, orang tua diperboleh
mencari pendapat ekspertise lainnaya(second opinion) atau (juka orang tua
meminta) di perbolehkan melakukan transfer pasien jika kondisi pasien
memungkinkan untuk di trasfer.
g. Jika masih belum ditemukan kesepakatan antara tim medis dengan orang
tua pasien, lakukanlah proses peninjauan ulang (review) oleh tim medis
untuk menentukan apakah DNR perlu dilakukan atau tidak, seperti
tercantum di bawah ini:

84
1) Tim medis harus menkonfirmasi bahwa terdapat kesepakatan diantara
anggota timnya mengenai keputusan DNR pada pasien.
2) Meminta pendapat dokter lain di luar tim medis pasien (second
opinion) mengenai apakah RJP pada pasien ini bersifat non-
terapeutik/membahayakn.
3) Jika second opinion ini mendukung keputusan DNR, salah seorang
anggota tim medis harus menghubungi Komisi Etik untuk
menjadwalkan konsultasi etik.
4) Jika hasil dari konsultasi etik mendukung keputusan DNR, tim medis
harus memberitahukan/melaporkannya kepada Kepala Pelayanan
Medis dan Lembaga Hukum.
5) Jika Kepala Pelayanan Medis setuju dan Lembaga Hukum menyatakan
bahwa keterlibatan secara hukum tidak diperlukan, orang tua harus
diberitahu bahwa keputusan DNR akan dituliskan di rekam medis
pasien.
6) Jika orang tua masih tidak setuju dengan keputusan DNR ini, orang
tua sebaiknya diberikan kesempatan dan bantuan untuk mentransfer
pasien ke fasilitas lainnya yang bersedia untuk menerima pasien.
7) Jika tidak memungkinkan untuk mentransfer pasien, instruksi DNR
akan dituliskan di rekam medis pasien.

BAB III
TATA LAKSANA

Prinsip
a. Harus tetap ada anggapan untuk selalu melakukan resusitasi kecuali telah
dibuat keputusan secara lisan dan tertulis untuk melakukan resusitasi
(DNR).
b. Keputusan tindakan DNR ini harus dicatat di rekam medis pasien.
c. Komunikasi yang baik sangatlah penting.
d. Dokter harus berdiskusi dengan pasien yang memiliki kemungkinan henti
nafas/jantung mengenai tindakan apa yang pasien ingin tim medis lakukan
jika hal ini terjadi.
e. Pasien harus diberikan informasi selengkap-lengkapnya mengenai kondisi
dan penyakit pasien, prosedur tindakan dan hasil yang mungkin terjadi.

85
f. Tanggung jawab dalam mengambil keputusan DNR terletak pada
konsultan/dokter umum yang bertanggung jawab atas pasien. Jika terdapat
keraguan dalam mengambil keputusan, dapat meminta saran dari dokter
senior.
g. RJP sebaiknya tidak dilakukan pada kondisi-kondisi berikut ini:
1) RJP dinilai tidak dapat mengembalikan fungsi jantung dan pernafasan
pasien.
2) Pasien dewasa, yang kompeten secara mental dan memiliki kapasitas
untuk mengambil keputusan, menolak untuk dilakukan usaha RJP.
3) Terdapat alasan yang valid, kuat, dan dapat diterima mengenai
pengambilan keputusan untuk tidak melakukan tindakan RJP.
4) Terdapat perintah DNR sebelumnya yang valid, lengkap, dan dengan
alasan kuat.
5) Pada pasien-pasien yang berada dalam fase terminal
penyakitnya/sekarat, dimana tindakan RJP tidak dapat menunda fase
terminal/kondisi sekarat pasien dan tidak memberikan keuntungan
terapeutik (risik/berbahayanya melebihi keuntungannya).
a) Contoh: henti jantung/nafas yang dialami oleh pasien merupakan
kejadian alamiah akibat penyakit terminal yang diderita. Pada
kasus ini, RJP mungkin dapat mengembalikan fungsi jantung-paru
pasien secara sementara tetapi kondisi keseluruhan pada pasien
dapat memburuk dan henti jantung/nafas akan terjadi kembali,
yang merupakan bagian dari proses alamiah dan tidak dapat
terhindar dari proses sekarat/kematian pasien.
b) Melakukan RJP pada kasus ini akan membahayakan/merugikan
pasien dan bertolak belakang dengan etika kedokteran (prinsip’do
not harm’).
h. Semua pasien harus menjalani asesmen secara personal.
i. Pengambilan keputusan DNR harus merupakan langkah terbaik untuk
pasien dan harus didiskusikan dengan pasien meskipun tidak ada kewajiban
secara etika untuk mendiskusikan DNR dengan pasien-pasien yang
menjalani perawatan paliatif (dimana usaha RJP adalah sia-sia).
j. Diskusi dengan pasien dan keluarga merupakan hal yang penting dan
tergantung dengan kapasitas mental dan harapan hidup pasien. Diskusi
dapat dilakukan oleh konsultan rumah sakit, dokter umum atau perawat

86
yang bertugas. Staf harus memberitahukan hasil diskusi mereka dengan
pasien kepada dokter penanggung jawab pasien.
k. Jika pada situasi tertentu, terdapat perbedaan pendapat antara dokter dan
pasien mengenai tindakan DNR, dokter harus menghargai keinginan pasien
(yang kompeten secara mental).
l. Hasil diskusi dengan pasien dan atau keluarganya harus dicatat di rekam
medis pasien.
m. Di rekam medis, harus tercantum:
1) Tulisan ‘pasien ini tidak dilakukan resusitasi’
2) Tulis tanggal dan waktu pengambilan keputusan
3) indikasi/alasan tindakan DNR
4) Nama dokter penanggung jawab pasien
5) Ditandatangani oleh dokter penanggung jawab pasien yang mengambil
keputusan.
n. Pada pasien asing (luar negeri) dan populasi etnis minoritas dimana
terdapat kesulitan pemahaman bahasa, harus terdapat layanan penerjemah
yang kompeten.
o. DNR hanya berarti tidak dilakukan tindakan RJP. Penanganan dan
tatalaksana pasien lainnya tetap dilakukan dengan optimal.
p. Tindakan DNR dapat dipertimbangkan dalam kondisi-kondisi sebagai
berikut:
1) Pasien berada dalam fase terminal penyakitnya atau kerugian/penderitaan
yang dirasakan pasien saat menjalani terapi melebihi keuntungan
dilakukannya terapi.
2) Pasien, yang kompeten secara mental dan memiliki kapasitas untuk
mengambil keputusan, menolak untuk dilakukan usaha RJP.
3) RJP bertentangan dengan keputusan dini/awal yang dibuat oleh pasien,
yang bersifat valid dan matang, mengenai penolakan semua tindakan
untuk mempertahankan hidup pasien.

C. Keputusan Dini/Awal (Dahulu Dikenal Dengan Istilah Surat Wasiat)


1. Terdapat kebijakan dari pihak rumah sakit mengenai keputusan dini akan
penolakan tindakan penyelamatan hidup/ nyawa oleh pasien.
2. Dokter sebaiknya menghargai keputusan yang diambil oleh pasien
(autonomi).

87
3. Pasien dengan keputusan dini ini tetap diberikan terapi/ penanganan lainnya,
seperti pemberian obat-obatan, cairan infuse, dan lain-lain.
4. Putuskanlah apakah diskusi mengenai keputusan DNR ini perlu dilakukan.
5. Berikut adalah beberapa kondisi dimana perlu dilakukan diskusi dengan
pasien:
a. Pasien yang kompeten secara mental menyatakan bahwa mereka ingin
mendiskusikan tindakan DNR dengan dokternya.
b. Usaha RJP dianggap memiliki harapan untuk berhasil tetapi dapat
mengakibatkan kualitas hidup yang buruk bagi pasien.
c. Hal yang mendasari keputusan DNR adalah tidak adanya keuntungan
dalam hal medis. Diskusi harus ditekankan untuk membuat pasien
menyadari, memahami, dan menerima kondisi penyakitnya serta
menerima hasil keputusan yang telah didiskusikan. Diskusi juga
membahas mengenai manajemen paliatif dan prognosis secara
keseluruhan.
6. Berikut adalah beberapa kondisi dimana tidak perlu dilakukan diskusi
dengan pasien:
a. Jika resusitasi dianggap tidak ada gunanya/ sia-sia.
b. Diskusi berpengaruh buruk terhadap kesehatan pasien, misalnya pasien
menjadi depresi.
c. Pasien yang kompeten secara mental menyatakan bahwa mereka tidak
ingin mendiskusikan hal tersebut.
d. Pasien mengalami deteriorasi, misalnya pasien berada dalam fase
sekarat/terminal dari penyakitnya.
e. Pasien dinilai tidak memiliki kapasitas yang adekuat untuk mengambil
keputusan.
7. Pasien diperbolehkan untuk mengambil keputusan dini akan penolakan
tindakan penyelamatan hidup dengan memenuhi beberapa persyaratan di
bawah ini:
a. Usia pasien harus > 18 tahun.
b. Pasien harus kompeten dan memiliki kapasitas yang baik secara mental
untuk mengambil keputusan.
c. Keputusan ini harus tertulis, yang berarti harus ditulis oleh pasien sendiri
atau keluarga/kerabat yang dipercaya oleh pasien, dan harus dicatat di
rekam medis.

88
d. Harus ditandatangani oleh 2 orang, yaitu:
1) Penulis/pembuat keputusan atau oleh orang lain atas nama pasien
sambil diarahkan oleh pasien (jika pasien tidak mampu
menandatangani sendiri).
2) 1 oang lain sebagai saksi.
e. Harus diverifikasi oleh pernyataan spesifik yang dilakukan oleh pembuat
keputusan, dapat dituliskan di dokumen lain/terpisah, yang menyatakan
bahwa keputusan dini ini diaplikasikan untuk tindakan/penanganan
spesifik, bahkan jika terdapat resiko kematian.
f. Pernyataan keputusan dini di dokumen terpisah ini juga harus
ditandatangani dan disaksikan oleh 2 orang (salah satunya pasien).
8. Diskusi antara dokter dengan keluarga pasien mengenai keputusan ini harus
atas izin pasien.
9. Jika pasien tidak kompeten secara mental, diskusi dapat dilakukan dengan
keluarga/wali sah pasien dengan mempertimbangkan kondisi dan keinginan
pasien. Jika tidak terdapat keluarga/wali yang sah, keputusan dapat diambil
oleh dokter penanggung jawab pasien.
10. Jika terdapat situasi dimana pasien kehilangan kompetensinya untuk
mengambil keputusan tetapi telah membuat ‘keputusan dini DNR’
sebelumnya yang valid, keputusan ini haruslah tetap dihargai.
11. Dokter dapat tidak mengindahkan keputusan dini yang dibuat oleh pasien,
jika terdapat hal-hal berikut ini:
a. Pasien telah melakukan hal-hal yang tidak konsisten terhadap keputusan
dini/awal yang dibuat, yang mempengaruhi validitas keputusan tersebut
(misalnya, pasien pindah agama)
b. Terdapat situasi yang tidak diantisipasi oleh pasien dan situasi tersebut
dapat mempengaruhi keputusan pasien (misalnya, perkembangan terkini
dalam tatalaksana pasien yang secara drastis mengubah prospek kondisi
tertentu pasien).
c. Situasi/kondisi yang ada tidak jelas dan tidak dapat di prediksi.
d. Terdapat perbedaan/perselisihan mengenai validitas keputusan dini/awal
dan kasus tersebut telah dibawa ke pengadilan.
12. Jika terdapat keraguan terhadap apa yang pasien inginkan/maksudkan,
paramedis harus bertindak sesuai dengan kepentingan/hal yang terbaik untuk
pasien. Dapat meminta saran dokter senior juga.

89
13. Tatalaksana emergensi tidak boleh tertunda hanya karena mencari ada
tidaknya instruksi DNR pasien jika tidak terdapat indikasi jelas bahwa
instruksi tersebut ada.
14. Pasien tidak diperbolehkan menolak perawatan dasar yang diberikan.
15. Perawatan dasar ini didefinisikan sebagai pemberian tempat tidur yang
nyaman dan hangat, penguranagn rasa sakit/analgesik, manajemen gejala-
gejala yang memicu stress fisik (seperti sesak napas, muntah, inkontinensia),
dan manajemen higiene/kebersihan diri pasien.
16. Jika pasien tetap menolak perawatan dasar, dokter yang bertugas sebaiknya
meminta saran dari dokter senior dan masalah ini dapat juga dibawa ke
komisi etik.
17. Rumah sakit sebaiknya membuat kerangka konsep dalam hal mengambil
keputusan DNR.

D. Panduan Dalam Mendiskusikan Keputusan DNR Dengan Pasien


1. Pastikan tercipta suasana yang kondusif, tenang, privasi pasien terjaga.
2. Kehadiran yang lengkap dari orang-orang yang ingin dilibatkan oleh pasien
dalam mendiskusikan hal ini.
3. Komunikasi dan tatap mata sebaiknya sejajar dengan tinggi/posisi pasien.
4. Jika pasien tidak keberatan, ajaklah satu orang perawat untuk mendampingi
diskusi.
5. Perawat dapat membantu dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan pasien
dalam memberi dukungan dan penguatan kepada pasien setelah dokter
meninggalkan ruangan.
6. Mulailah dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan umum seperti
bagaimanakah pandangan pasien terhadap penyakit dan tatalaksana yang
dijalani.
7. Mengangkat topik utama:
a. Mulai dengan menyatakan: “Saya ingin berdiskusi dengan Anda”
b. “Apa yang Anda ingin kami (paramedis) lakukan jika suatu waktu Anda
menjadi terlalu sakit untuk dapat berbicara dengan kami?”
c. Salah satu hal penting adalah mengenai pernyataan tindakan resusitasi.
d. “Meskipun hal ini jarang terjadi, saya perlu untuk mempertimbangkan
mengenai tindakan apa yang harus kami lakukan jika jantung Anda
berhenti.”

90
e. “Beberapa orang memiliki pandangan yang kuat terhadap seberapa banyak
penanganan yang ingin mereka terima jika mereka menjadi sangat sakit.
Saya ingin tahu apakah Anda pernah memikirkan hal itu”.
8. Pemilihan waktu untuk berdiskusi:
a. Bukan waktu yang bagus untuk melakukan diskusi segera setelah
diagnosis ditegakkan.
b. Waktu diskusi yang terbaik adalah saat diagnosis dan prognosis sudah
jelas dan saat pasien telah mengetahui dan menerima penyakitnya.
9. Berusahalah untuk membangun pemahaman pasien mengenai situasinya
saat ini, sifat dasar resusitasi, kemungkinan tingkat keberhasilan resusitasi
jika dilakukan, harapan dan keinginan pasien. Pasien dan keluarganya
sering memiliki harapan/ ekspektasi yang tidak realistis dari nilai resusitasi.
10. Berikan informasi mengenai RJP menggunakan kata-kata sederhana yang
dapat dimengerti oleh pasien.
11. Tingkat pemberian informasi harus dinilai dari respons dan pemahaman
setiap pasien.
12. Jika tidak tercapai kesepakatan, diberikan pendapat dari sudut pandang
dokter (paramedis) mengenai kondisi pasien dan tindakan RJP. Dapat
dengan menyatakan: “Pendapat saya mungkin berbeda dengan apa yang
Anda inginkan. Karena alasan itulah saya ingin berdiskusi dengan Anda.”
13. Cobalah untuk mengerti:
a. Sudut pandang pasien
b. Nilai-nilai yang dianut oleh pasien
c. Ruang lingkup pengaplikasian (misalnya, penanganan apa saja yang
dijalani pasien)
14. Catat sudut pandang pasien, nilai-nilai yang dianut oleh pasien, dan ruang
lingkup pengaplikasian rekam medis.
15. Diskusikan keputusan mengenai RJP dalam konteks positif sebagai bagian
dari perawatan suportif. Banyak pasien yang merasa takut
diabaikan/ditelantarkan dan merasa nyeri, melebihi rasa takutnya akan
kematian.
16. Petugas harus menekankan mengenai terapi-terapi mana saja yang akan
tetap diberikan, pasien masih akan tetap dikunjungi oleh dokter secara
teratur, pengendalian nyeri, dan memberikan kenyamanan kepada pasien.

91
17. Penting untuk memisahkan/membedakan keputusan DNR dengan
keputusan mengenai manajemen pasien lainnya.
18. Dengan memberikan kesempatan kepada pasien untuk berdiskusi dengan
dokter, akan membuat pasien merasa dihargai dan menurunkan tingkat
kecemasan/stress pasien juga.

E. Keputusan DNR Pada Pasien Dewasa Peri-Operatif


1. Tindakan pembedahan dan anastesi turut berkontribusi dalam perubahan
kondisi medis pasien dengan keputusan DNR sebelumnya dikarenakan adanya
perubahan fisiologis yang dapat meningkatkan resiko pasien.
2. Tindakan anestesi sendiri (baik regional ataupun umum), akan menimbulkan
instabilitas kardiopulmuner yang akan membutuhkan dukungan/penanganan
medis.
3. Angka keberhasilan RJP di kamar operasi lebih tinggi secara signifikan
dibandingkan di ruang rawat inap (dimana keputusan DNR ini ditetapkan).
Angka keberhasilan RJP di kamar operasi ini dapat mencapai 92%.
4. Menilik dari hal-hal tersebut di atas, maka diperlukan peninjauan ulang
keputusan DNR sebelum melakukan prosedur anestesi dan pembedahan.
5. Rekomendasi:
a. Pasien dengan keputusan DNR yang mungkin memerlukan prosedur
pembedahan harus dikonsultasikan kepada tim bedah dan anestesiologis.
b. Lakukan peninjauan ulan keputusan DNR oleh anestesiologis dan dokter
bedah dengan pasien, wali, keluarga atau dokter penanggung jawab pasien
(jika diindikasikan) sebelum melakukan prosedur anestesi dan
pembedahan.
c. Tujuan peninjauan ulan ini adalah untuk memperoleh kesepakatan
mengenai penanganan apa saja yang akan boleh dilakukan selama
prosedur anestesi dan pembedahan.
d. Terdapat 3 pilihan dalam meninjau ulang keputusan DNR, yaitu:
1) Pilihan pertama: keputusan DNR dibatalkan selama menjalani anestesi
dan pembedahan, dan tinjau ulang kembali saat pasien keluar dari
ruang pemulihan. Saat menjalani pembedahan dan anestesia, lakukan
RJP jika terdapat henti jantung/napas.

92
2) Pilihan kedua: keputusan DNR dimodifikasi, dengan mengizinkan
pemberian obat-obatan dan teknik anestesi yang sejalan/sesuai dengan
pemberian anestesi. Hal ini termasuk:
a) Monitor EKG, tekanan darah, oksigenasi, dan monitor intraoperatif
lainnya.
b) Manipulasi sementara dalam menjaga jalan napas dan pernapasan
dengan intubasi dan ventilasi, jika diperlukan dan dengan
pemahaman bahwa pasien akan bernapas secara spontan di akhir
prosedur.
c) Penggunaan vasopressor atau obat anti-aritmia untuk mengkoreksi
stabilitas kardiovaskular yang berhubungan dengan pemberian
anestesi dan pembedahan.
d) Penggunaan kardioversi atau defibriator untuk mengkoreksi
aritmia harus didiskusikan sebelumnya dengan pasien/wali sahnya.
Lakukan diskusi mengenai pemberian kompresi dada.
3) Pilihan ketiga: keputusan DNR tetap berlaku (tidak ada perubahan).
a) Pada beberapa kasus, pilihan ini tidak sesuai dengan pemberian
anestesi umum dalam pembedahan
b) Pasien dapat menjalani prosedur pembedahan minor dengan tetap
mempertahankan keputusan DNR-nya.
c) Anestesiologi harus berdiskusi dan membuat kesepakatan dengan
pasien/wali sah mengenai intervensi apa saja yang diperbolehkan,
seperti: kanulasi intravena, pemberian cairan intravena, sedasi,
analgesic, monitor obat vasopressor, obat anti-aritmia, oksigenasi,
atau intervensi lainnya.
e. Pilihan yang telah disepakati harus dicatat di rekam medis pasien.
f. Pilihan DNR ini harus dikomunikasikan kepada semua petugas medis
yang terlibat dalam perawatan pasien di dalam kamar operasi dan ruang
pemulihan.
g. Secara hukum yang berwenang untuk membuat keputusan DNR ini
adalah:
1) Pasien dewasa yang kompeten secara mental
2) Wali sah pasien (jika pasien tidak kompeten secara mental)

93
3) Dokter penanggung jawab pasien, yang bertindak dengan
mempertimbangkan tindakan terbaik untuk pasien (jika belum ada
keputusan DNR dini/awal yang telah dibuat oleh pasien/wali sahnya).
h. Jika setelah diskusi masih belum terdapat kesepakatan mengenai pilihan
DNR mana yang digunakan, penggunaan keputusan tetaplah diberikan ke
pasien/wali sahnya.
i. Jika terdapat keraguan atau ketidakjelasan mengenai siapa yang
berwenang untuk membuat keputusan DNR, atau terdapat keraguan
mengenai validitas suatu keputusan DNR dini/awal, atau terdapat
keraguan mengenai tindakan apa yang terbaik untuk pasien, segeralah
mencari saran kepada komisi etik atau lembaga hukum setempat.
j. Dalam kondisi gawat darurat, dokter harus membuat keputusan yang
menurutnya terbaik untuk pasien dengan menggunakan semua informasi
yang tersedia.
k. Pilihan keputusan DNR ini harus diaplikasikan selama pasien berada di
kamar operasi dan ruang pemulihan.
l. Keputusan DNR ini haruslah ditinjau ulang saat pasien kembali ke ruang
rawat inap.

F. Keputusan DNR dan Transfer Pasien


1. Jika pasien ditransfer ke rumah sakit lain dengan instruksi DNR, dokter senior
yang saat itu sedang bertugas atau konsultan harus bertanggung jawab untuk
melakukan asesmen ulang dan mengambil keputusan berdasarkan informasi
yang didapat saat ini mengenai: ‘Apakah instruksi DNR masih berlaku atau
tidak?’ Sebelum asesmen ulang tersebut dilakukan, pasien masih dianggap
sebagai DNR.
2. Jika pasien ditransfer ke pelayanan primer lain dengan instruksi DNR, dokter
umum di layanan primer tersebut bertanggung jawab melakukan asesmen
ulang dan pengambilan keputusan harus dikomunikasikan dengan semua
petugas yang terlibat dalam perawatan pasien. Sebelum asesmen ulang
tersebut dilakukan, pasien masih dianggap sebagai DNR.
3. Saat melakukan transfer pasien, formulir DNR harus tetap disertakan dalam
rekam medis pasien. Formulir DNR ini tidak boleh difotocopy.

94
G. Instruksi DNR Pada Pasien Di Luar Rumah Sakit
1. Pada situasi kasus emergensi yang terjadi di luar rumah sakit, usaha RJP
memiliki angka keberhasilan yang lebih rendah pada pasien dengan usia
sangat lanjut atau memiliki penyakit berat/terminal.
2. Saat itu, banyak pasien-pasien dengan kondisi tersebut memilih untuk
meninggal dengan tenang dan tidak ingin menjalani intervensi yang agresif,
seperti RJP. Banyak juga pasien yang memilih dirawat di tumah sampai akhir
usianya tiba.
3. Protokol pelayanan Kegawatdaruratan Medis menyatakan bahwa inisiasin RJP
ditujukan kepada semua pasien yang mengalami henti jantung/napas, kecuali
pasien telah ditemukan meninggal sebelumnya dengan tanda-tanda kematian
yang jelas atau pasien memiliki instruksi tertulis DNR yang valid dan
ditandatangani oleh dokter.

H. Penatalaksanaan
1. Tim Kegawatdaruratan Medis akan melakukan usaha RJP pada semua pasien
yang ditemukan henti nafas/jantung kecuali jika pasien tersebut memiliki
instruksi DNR yang valid.
2. Jika pasien dengan henti jantung/nafas memiliki instruksi DNR, tim
kegawatdaruratan medis harus:
a. Melakukan asesmen mengenai tidak adanya pernafasan dan atau denyut
jantung.
b. Jika petugas tiba di tempat kejadian tanpa mobil rawat intensif (MICU),
ikuti protocol setempat.
3. Jika pasien dengan instruksi DNR yang valid tidak berada dalam kondisi henti
jantung/nafas, tim kegawatdaruratan medis harus:
a. Melakukan asesmen pasien.
b. Menyediakan semua tatalaksana yang sesuai.
c. Menyediakan transportasi ke rumah sakit, jika diperlukan.
d. Menghargai dan memauhi instruksi DNR jika terjadi henti nafas/jantung
pada pasien selama transfer.
e. Memberikan salinan instruksi DNR ke rumah sakit penerima, jika tersedia.
4. Saat memutuskan untuk membuat instruksi DNR, dokter tidak boleh
mempengaruhi keinginan pasien/wali sahnya.

95
5. Instruksi DNR dapat dibatalkan kapapun oleh pasien dengan
merusak/menyobek formulir dan gelang DNR, atau dengan menyatakan
secara lisan .
6. Validitas Instruksi DNR:
a. Hanya dokter penanggung jawab pasien yang boleh menulis instruksi
DNR untuk pasien yang dirawat di rumah.
b. Hubungi dokter penanggung jawab pasien untuk mendiskusikan
pembuatan instruksi DNR.
c. Pastikan formulir DNR telah diisi dengan lengkap oleh dokter, termasuk
tanda tangan dan alamat pasien/wali sah; nama, alamat, nomor telepon,
dan tanda tangan dokter; dan tanggal pembuatannya.
d. Gelang DNR dapat diperoleh dari dokter atau rumah sakit tempat pasien
berobat. (lihat Lampiran 5 mengenai panduan gelang DNR)
e. Simpan salinan instruksi DNR di rumah dan selalu dibawa oleh pasien
kemanapun dia pergi.
f. Pastikan semua keluarga/wali pasien mengetahui instruksi DNR ini.
7. Pada pasien di panti jompo: perawat pasien diperbolehkan untuk menulis
instruksi DNR dan ‘penolakan untuk dirawat di rumah sakit’ (do not
hospitalized), berdasarkan hasil konsultasi dengan dokter.
a. Prosedur Dasar
1) Memperoleh izin persetujuan tertulis (informed consent) dari
pasien/wali sahnya.
2) Melengkapi informasi instruksi DNR di luar rumah sakit. Berikan
salinan direkam medis pasien. Berikan nenenrapa salinan kepada
pasien dan atau keluarga/pengasuh di luara rumah sakit/panti jompo.
3) Informasikan kepada pasien dan atau pengasuh mengenai penggunaan
formulir DNR ini anjurkan agar formulir ini diletakkan di tempat-
tempat yang mudah terlihat di rumah (misalnya: papan harian pasien,
senderan ranjang, pintu kamar tidur atau kulkas).
4) Pasien boleh menggunakan gelang DNR (tidak wajib). Gelang ini
harus dianggap valid dan mengindikasikan bahwa pasien memiliki
instruksi DNR di luar rumah sakit. Dokter harus menginformasikan
kepada pasien/wali sahnya mengenai ketersediaan gelang DNR
sebagai sarana tambahan untuk memberitahu Tim Kegawatdaruratan
Medis.

96
5) Lakukan peninjauan ulang terhadap status DNR secara periodik
dengan pasien/wali sahnya, lakukan revisi terhadap rencana
penanganan pasien (jika diperlukan), dan catatlah di rekam medis
pasien. Jika instruksi DNR ini dibatalkan, berikan instruksi untuk
menghancurkan/menyobek formulir DNR dan melepas gelang DNR.

I. Peninjauan Ulang Mengenai Keputusan DNR


1. Keputusan mengenai DNR ini harus ditinjau ulang secara teratur dan rutin,
terutama jika terjadi perubahan apapun terhadap kondisi dan keinginan pasien.
2. Frekuensi peninjauan ulang ini harus ditentukan oleh dokter senior yang saat
itu sedang bertugas atau oleh konsultan penanggung jawab pasien.
3. Biasanya peninjauan ulang ini dilakukan setiap 7 hari sekali, tetapi dapat juga
dilakukan setiap hari pada kasus-kasus tertentu.
4. Peninjauan ulang ini dipengaruhi oleh diagnosis pasien, potensi perbaiakan
kondisi, dan respons pasien terhadap terapi/pengobatan.

J. Pembatalan Keputusan DNR


1. Jika instruksi DNR tidak lagi berlaku, bagian pembatalan formulir DNR harus
dilengkapi/diisi. Dituliskan tanggal dan ditandatangani oleh dokter senior
yang saat itu sedang bertugas atau oleh konsultan.
2. Pembatalan ini harus dengan jelas dicatat di dalam rekam medis pasien.

K. Penggunaan Gelang DNR


1. Gelang DNR merupakan salah satu metode untuk mengidentifikasi pasien
yang memiliki instruksi DNR yang valid dan berada di luar rumah sakit.
2. Gelang ini harus dihargai dan ditaati oleh tim kegawatdaruratan medis dengan
atau tanpa adanya formulir DNR tertulis.
3. Gelang ini harus:
a. Dipakai di pergelangan tangan/kaki pasien.
b. Bertuliskan:
1) Nama pasien
2) Nama dan nomor telepon dokter
3) Tanggal pembuatan instruksi DNR dan masa berlakunya (jika ada)
c. Tidak rusak/sobek.

97
4. Pasien/wali sahnya dapat meminta gelang DNR ini di rumah sakit tempat
pasien berobat dengan membawa formulir DNR tertulis yang didapat dari
dokter.

BAB IV
DOKUMENTASI

1. Rumah sakit akan menyimpan salinan formulir instruksi DNR.


2. Rumah sakit akan bertanggung jawab dalam:
a. Memberikan gelang DNR kepada pasien, berdasarkan formulir tertulis
DNR yang ada.
b. Melengkapi tulisan di gelang DNR, meliputi nama pasien, nama
dokter, dan tanggal pembuatan DNR.
c. Memberikan informasi kepada pasien dan keluarga mengenai tujuan
dan maksud dari instruksi DNR in. Menekankan bahwa instruksi DNR
ini hanya berlaku untuk usaha RJP, penanganan lainnya tetap
dilakukan.
3. Instruksi DNR dapat dibatalkan dengan cara:
a. Melepaskan gelang DNR
b. Menyatakan secara lisan mengenai pembatalan instruksi DNR
c. Menghancurkan/merobek instruksi tertulis DNR
4. Pembatalan DNR ini harus dilaporkan kepada dokter pembuat formulir dan
rumah sakit tempat pasien berobat sehingga dapat dicatat ke rekam medis
pasien.

98
LAMPIRAN VIII: PANDUAN PELAYANAN KEROHANIAN

BAB I
DEFINISI

Setiap pasien yang datang di RS PKU Muhammadiyah Sampangan


Surakarta tentu dengan maksud untuk berobat agar sakitnya lekas sembuh (
sehat kembali ), maka oleh para dokter telah diberikan obatnya setelah di
temukan diagnosanya.
Pelayanan kerohanian adalah suatu usaha bimbingan yang diberikan
oleh pihak RS PKU Muhammadiyah Sampangan Surakarta yang bekerja sama
di bidang kerohanian,untuk mendampingi dan menemui pasien rawat inap,
agar mampu memahami arti dan makna hidup sesuai dengan keyakinan dan
agama yang dianut masing-masingyang diakui oleh Negara berupa sarana dan
prasarana peribadatan dan bimbingan kerohanian. Pelayanan ini sangat berarti
sebagai upaya meningkatkan rasa percaya diri kepada Tuhan Yang Maha Esa
yang menentukan kehidupan manusia, sehingga motivasi ini dapat menjadi
pendorong dalam proses penyembuhan.Sarana dan prasarana peribadatan
adalah tempat dan alat yang diperlukan pasien dan keluarga untuk dapat
menjalankan ibadahnya sesuai dengan agama dan kepercayaan yang diakui
oleh Negara.
Bimbingan kerohanian adalah bimbingan dari rohaniawan kepada
pasien dan keluarga sesuai dengan agama dan kepercayaan yang diakui oleh
Negara. Pelayanan bimbingan rohani diberikan kepada setiap pasien rawat
inap yang muslim. Pelayanan agama selain islam dilayani atas permintaan
pasien/keluarga pasien dengan mengisi formulir yang diberikan dari rekam
medis, dan ditindaklanjuti oleh bagian perawat bangsal.

99
BAB II
RUANG LINGKUP

Ruang lingkup kegiatan pelayanan kerohanian diberikan untuk pasien


rawat inap RS PKU Muhammadiyah Sampangan Surakarta yang beragama
Islam. Pelayanan agama lain seperti Kristen, Katolik, Hindu dan Budha
bekerjasama dengan Kementrian Agama kota Surakarta.
1. Panduan ini diberlakukan untuk semua pasien dan keluarganya yang di
rawat di RS PKU Muhammadiyah Sampangan Surakarta
2. Pelaksana panduan ini adalah binroh RS PKU Muhammadiyah
Sampangan Surakarta, yang tugasnya adalah, sebelum mengunjungi
pasien petugas binroh di harapkan memperhatikan jadwal kunjunganya
dan mendata pasien yang baru, kemudian mempersiapkan buku data
kunjungan dan buku tuntunan rohani bagi orang sakit yang akan di
bagikan / di berikan kepada pasien yang akan di kunjunginya.
3. Ketika yang sakit adalah pasien bayi dan anak – anak maka kunjungan
binroh di tujukan kepada keluarga pasien.
4. Rumah sakit merespon dan memfasilitasi kebutuhan kerohanian pasien.
5. Bimbingan kerohanian pasien harus dilakukan sesuai dengan
agama/kepercayaan pasien.
6. Seluruh staf yang memberikan pelayanan pasien harus memahami dan
menjalankan kebijakan ini.
7. Pelayanan Rohani dapat berupa Motivasi, Konsultasi, Ceramah Agama
dan Doa yang dipimpin oleh rohaniawan.
8. Tidak dibenarkan untuk menggunakan pelayanan rohani sebagai usaha
untuk merekrut atau mengajak pasien atau keluarga pasien memeluk atau
mengubah kepercayaan yang sudah dianutnya.
9. Materi pelayanan Rohani disesuaikan dengan kemampuan Rohaniawan
dan Kebutuhan Rohani Pasien.
10. Tidak dibenarkan untuk menjelekkan atau mencemarkan suatu
kepercayaan atau budaya tertentu dalam proses pelayanan rohani.
11. Tidak dibenarkan untuk menjelekkan atau mencemarkan suatu Instansi
termasuk rumah sakit dalam proses pelayanan rohani.

100
12. Tidak dibenarkan untuk memberikan keterangan dan/atau pendapat
dan/atau motivasi yang bertentangan dengan keterangan dokter, tenaga
medis, dan Peraturan Rumah sakit.
13. Tidak dibenarkan untuk mempengaruhi pasien terkait pengambilan
keputusan persetujuan tindakan yang akan dilakukan oleh dokter terhadap
pasien.
14. Tidak dibenarkan untuk membebankan biaya apapun terhadap pasien.

BAB III
TATA LAKSANA

1. Perawat memberikan informasi kepada bagian kerohanian tentang pasien baru


beragama islam yang akan mendapatkan pelayanan kerohanian agama islam.
2. Pastikan pasien beragama islam untuk mendapatkan bimbingan rohani agama
islam,
3. Pasien yang menghendaki bimbingan rohani agama selain islam, diharap
mengisi form permintaan pelayanan rohani agama lain
4. Hubungi petugas kerohanian
5. Meminta informasi dari perawat/bidan ruangan tentang pasien yang akan
diberi pelayanan rohani;
6. Berikan pelayanan rohani kepada pasien sesuai uraian tugas kerohanian;
7. Evaluasi kegiatan bimbingan rohani secara periodik dan buat laporan secara
periodik kepada Manajemen melalui Manager Administrasi dan Umum.

BAB IV
DOKUMENTASI

1. Formulir permintaan pelayanan kerohanian.


2. Buku kunjungan rohaniawan.
3. Laporan secara periodik kepada Manajemen melalui Manager Administrasi
dan Umum.

101
LAMPIRAN IX: PANDUAN PERLINDUNGAN HARTA DAN BENDA MILIK
PASIEN

BAB I
DEFINISI

1. Barang milik pasien adalah segala sesuatu yang dimiliki oleh pasien
rumah sakit baik pasien rawat jalan mau pun pasien yang sedang
dalam rawatan rumah sakit yang mempunyai arti dan bisa dinilai
dengan uang.
2. Perlindungan adalah proses menjaga atau perbuatan untuk
melindungi.
3. Tempat penyimpanan / penitipan barang adalah suatu sarana atau
tempat untuk menyimpan barang-barang berharga milik pasien rumah
sakit yang tertutup dan terkunci serta jauh dari jangkauan pihak luar.

BAB II
RUANG LINGKUP

1. Panduan ini diterapkan pada semua pasien/pengunjung/karyawan


selama berada di Rumah Sakit.
2. Pelaksana panduan ini adalah semua karyawan yang bekerja di
Rumah Sakit (medis ataupun non medis).
3. Semua pasien/pengunjung/karyawan yang berada dalam Rumah Sakit
harus mendapat perlindungan harta benda pribadi dengan benar saat
masuk Rumah Sakit dan selama berada di Rumah Sakit.

102
4. Setiap pasien/pengunjung/karyawan yang berada dalam Rumah Sakit
harus berusaha menjaga harta benda pribadi.
5. Tujuan utama perlindungan harta benda adalah untuk menjaga
keamanan yang memiliki harta benda tersebut.
6. Perlindungan harta benda digunakan pada proses
pasien/pengunjung/karyawan yang masuk dalam Rumah Sakit atau
selama berada dalam lingkungan Rumah Sakit.

KEWAJIBAN DAN TANGGUNG JAWAB


1. Seluruh Staf Rumah Sakit
a. Memahami dan menerapkan prosedur perlindungan harta benda
pribadi milik pasien/pengunjung.
b. Memastikan prosedur perlindungan harta benda pribadi milik
pasien/pengunjung yang benar ketika pasien/pengunjung
selama beraada di Rumah Sakit.
c. Melaporkan kejadian salah prosedur perlindungan harta benda
milik pasien/pengunjung/karyawan.
2. SDM yang Bertugas
a. Perawat/bidan :
 Bertanggung jawab memberikan perlindungan harta benda
pasien dengan berkoordinasi dengan bagian
keamanan/security
 Memastikan harta benda tersimpan dengan baik. Jika
terdapat kesalahan penyimpanan, maka penyimpanan harus
dipindah tempatnya.
b. Petugas keamanan/security :
 Bertanggung jawab memberikan pengamanan harta benda
pasien dan memastikan pengamana tersebut tercatat pada
laporan.
 Memastikan harta benda tersimpan dengan baik.
3. Kepala Instalasi/Kepala Ruangan
a. Memastikan seluruh staf di instalasi memahami prosedur
perlindungan harta benda pasien.

103
b. Menyelidiki semua insiden salah perlindungan harta benda
pasien dan memastikan terlaksananya suatu tindakan untuk
mencegah terulangnya kembali kejadian tersebut.

BAB III
TATA LAKSANA

a. Semua pasien sebelum masuk rawat inap harus diinformasikan


bahwa Rumah Sakit tidak bertanggung jawab jika ada harta benda
yang hilang sebab pada saat akan masuk rawat inap sudah
diinformasikan oleh bagian pendaftaran.
b. Pastikan bahwa pasien sudah menyetujui dan mengerti tentang
informasi yang disampaikan tentang perlindungan harta benda.
c. Hubungi pihak keamanan untuk menindaklanjuti perlindungan harta
benda pasien.
d. Pastikan adanya proses serah terima penyimpanan sementara untuk
harta benda berharga milik pasien.
e. Segera hubungi pihak keamanan untuk kasus kehilangan harta benda
milik pasien jika ada peristiwa kehilangan.
f. Jika perlu hubungi pihak yang berwajib untuk menangani kasus
kehilangan harta benda milik pasien jika kasus tersebut berlanjut.
g. Berikut adalah beberapa prosedur yang membutuhkan perlindungan
harta benda pasien: Pada saat pasien hilang kesadaran/hilang ingatan/
gangguan jiwa yang tidak ada keluarga yang mendampingi.
h. Pada staf RS PKU Muhammadiyah Sampangan Surakarta harus
memberikan perlindungan harta benda pasien dengan benar dan
menanyakan kejelasan informasi yang disampaikan oleh bagian
pendaftaran.

104
BAB IV
DOKUMENTASI

1. Pasien-pasien dengan keadan tertentu yang memerlukan


perlindungan harta benda diidentifikasi di ruangan rawat inap.
2. Barang-barang pasien yang dititipkan dicatat dengan lengkap dalama
formulir khusus, dengan saksi minimal 2 orang yang berasal dari
petugas keamanan dan petugas ruangan yang bersangkutan.
3. Formulir tersebut kemudian disimpan dalam rekam medis pasien.

105
LAMPIRAN X: PANDUAN PERLINDUNGAN PASIEN TERHADAP
KEKERASAN FISIK

BAB I
DEFINISI

1. Kekerasan fisik (WHO) adalah tindakan fisik yang dilakukan terhadap


orang lain atau kelompok yang mengakibatkan luka fisik, seksual, dan
psikologi. Tindakan itu antara lain berupa memukul, menendang,
menampar, menembak, mendorong (paksa), dan menjepit.
2. Pengertian Kelompok Rentan tidak dirumuskan secara eksplisit dalam
peraturan perundang-undangan, seperti tercantum dalam Pasal 5 ayat (3)
Undang-Undang No.39 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa setiap orang
yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh
perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya.
Dalam Penjelasan pasal tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud
dengan kelompok masyarakat yang rentan, antara lain, adalah orang lanjut
usia, anak-anak, fakir miskin, wanita hamil dan penyandang cacat.
3. Perlindungan Pasien Terhadap Kekerasan Fisik adalah suatu upaya rumah
sakit untuk melindungi pasien dari kekerasan fisik oleh pengunjung,
pasien lain atau staf rumah sakit melalui prosedur identifikasi seluruh
pengunjung atau penghuni Rumah Sakit, investigasi kepada setiap orang
yang tidak memiliki identifikasi, monitoring lokasi yang terpencil
terisolasi di Rumah Sakit dan secara cepat bereaksi terhadap mereka yang
berada dalam bahaya kekerasan.
4. Kelalaian adalah suatu sifat yang kurang hati-hati, kurang waspada atau
kelalaian tingkat kasar. Empat unsur kesalahan (kelalaian) sebagai tolok
ukur di dalam hukum pidana;
a. Bertentangan dengan hukum
b. Akibatnya dapat dibayangkan
c. Akibatnya dapat dihindarkan
d. Perbuatannya dapat dipersalahkan

Tujuan dari perlindungan terhadap kekerasan fisik, usia lanjut, penderita


cacat,anak-anak dan yang berisiko disakiti adalah melindungi kelompok
pasien berisiko dari kekerasan fisik yang dilakukan oleh pengunjung, staf

106
rumah sakit dan pasien lain serta menjamin keselamatan kelompok pasien
berisiko yang mendapat pelayanan di Rumah Sakit.

BAB II
RUANG LINGKUP

Kelompok yang berisiko untuk mengalami kekerasan fisik :


Dalam Penjelasan Pasal 5 ayat (3) Undang-undang No.39 tahun
1999 disebutkan bahwa yang termasuk kelompok rentan adalah orang
lansia, anak-anak, fakir-miskin, wanita hamil, dan penyandang cacat.
Oleh karena itu secara eksplisit hanya wanita hamil yang termasuk
Kelompok Rentan.

Area rumah sakit yang rentan untuk terjadi kekerasan adalah :


1. area publik yang terbuka, untuk umum seperti area parkir, rawat
jalan, dan penunjang pelayanan;
2. area tertutup, yang hanya dapat dimasuki orang tertentu dengan
izin khusus dan pakaian tertentu, misalnya kamar operasi;
3. area semi terbuka, yaitu area yang terbuka pada saat-saat tertentu
dan tertutup pada saat yang lain, misalnya rawat inap pada saat
jam berkunjung menjadi area terbuka, tetapi di luar jam
berkunjung menjadi area tertutup untuk itu pengunjung di luar jam
berkunjung harus diatur, diidentifikasi, dan menggunakan identitas
pengunjung.

BAB III
TATA LAKSANA

Rumah sakit PKU Muhammadiyah Sampangan Surakarta


mengidentifikasi kelompok pasien berisiko yang tidak dapat melindungi
dirinya sendiri, yaitu :
1. Bayi baru lahir
2. Anak-anak;
3. Pasien cacat;
4. Manula;

107
5. Pascabedah;
6. Gangguan kesadaran;
7. Ibu hamil
8. Pasien dengan total care

Rumah sakit PKU Muhammadiyah Sampangan Surakarta


menetapkan tingkat perlindungan terhadap pasien tersebut. Perlindungan
ini mencakup tidak hanya kekerasan fisik, tetapi juga mencakup hal-hal
terkait keamanan, seperti kelalaian dalam asuhan, tidak memberi layanan,
atau tidak memberi bantuan waktu terjadi kebakaran. Semua anggota staf
memahami tanggung jawabnya dalam proses ini.

TABEL 1. PERLINDUNGAN RS TERHADAP KELOMPOK BERISIKO


No KELOMPOK JENIS PERLINDUNGAN
PERLINDUNGAN DARI
DARI KELALAIAN KEKERASAN
1 Bayi baru 1. Identifikasi bayi di 1. CCTV pada akses
lahir saksikan ibu bayi ruang bayi
2. Perpindahan bayi 2. Pengantaran bayi ke
menggunakan baby ibu untuk keperluan
basket, TIDAK BOLEH Rooming In dengan
di gendong proses serah terima
3. Pengantaran bayi pulang tertulis ( SPO )
sampai gerbang RS di 3. Pengantaran dan
dorong oleh perawat pengambilan bayi
TIDAK BOLEH di oleh petugas
gendong ( SPO ) berseragam khusus
( SPO )
4. Penyerahan bayi
harus pada IBU
bayi BUKAN yang
lain ( SPO )

2 Anak-anak Tempat tidur pakai Kewajiban di


(yang masih railing dan ibu bisa tunggu orang tua

108
dalam asuhan masuk ke tempat tidur /wali ( peraturan
RS)
3 Pasien cacat; 1. Akses difabel di beri Railling di kamar
petunjuk jelas mandi
2. Penyiapan toilet dengan
closet duduk
4 Manula 1. Pencegahan risiko jatuh 1. Pembatasan jam
2. Railling pada selasar RS kunjung
2. Verifikasi tamu
pengunjung di luar
jam bezoek
3. Tamu berkunjung di
luar jam bezoek di
catat di satpam
4. CCTV pada akses
pengunjung, di cek
berkala
4 Pascabedah; Pencegahan risiko jatuh 1. Pembatasan jam
kunjung
2. Verifikasi tamu
pengunjung di luar
jam bezoek
3. Tamu berkunjung di
luar jam bezoek di
catat di satpam
4. CCTV pada akses
pengunjung
5 Gangguan 1. Pembatasan jam
kesadaran; kunjung
2. Verifikasi tamu
pengunjung di luar
jam bezoek
3. Tamu berkunjung di
luar jam bezoek di
catat di satpam

109
4. CCTV pada akses
pengunjung
6 Ibu hamil 1. Peringatan penyampaian CCTV di area
kondisi hamil pada publik
petugas Rontgen
2. Penyampaian pada
petugas medis untuk
kondisi hamil untuk
pemilihan obat yang
aman
3. Pegangan sepanjang
tangga
7 Pasien dengan Papan catatan perawat 1. Pembatasan jam
total care untuk pasien total care, kunjung
harus di dahulukan 2. Verifikasi tamu
dalam evakuasi pengunjung di luar
jam bezoek
3. Tamu berkunjung di
luar jam bezoek di
catat di satpam
4. CCTV pada akses
pengunjung

TABEL 2. RUMAH SAKIT MENJAGA KEAMANAN DALAM TIGA


AREA
NO AREA UPAYA PENGAMANAN
1 Area publik yang terbuka CCTV pada area 2 berisiko , layar
untuk umum seperti area monitor di monitor petugas keamanan
parkir, rawat jalan, dan RS
penunjang pelayanan
2 Area tertutup yang hanya Pembuatan Panduan Kode
dapat dimasuki orang Kedaruratan
tertentu dengan izin (Emergency Codes)
khusus dan pakaian Pada BAB IX PERDIR PEDOMAN K3
tertentu, misalnya kamar RS

110
operasi
3 Area semi terbuka, yaitu 1. Pembatasan jam kunjung
area yang terbuka pada 2. Verifikasi tamu pengunjung di luar jam
saat-saat tertentu dan bezoek
tertutup pada saat yang 3. Tamu berkunjung di luar jam bezoek di
lain, misalnya rawat inap catat di satpam
pada saat jam berkunjung 4. CCTV pada akses pengunjung
menjadi area terbuka, 5. Kode Kedaruratan
tetapi di luar jam
berkunjung menjadi area
tertutup untuk itu
pengunjung di luar jam
berkunjung harus diatur,
diidentifikasi, dan
menggunakan identitas
pengunjung

BAB IV
DOKUMENTASI

Pelaporan secara periodik kasus – kasus kelalaian dan kekerasan, melalui manager
masing – masing dan di teruskan ke direktur setiap bulan

111
LAMPIRAN XI: PANDUAN PELAYANAN PASIEN TERMINAL

BAB I
DEFINISI

1. Pelayanan pada tahap terminal adalah pelayanan yang diberikan untuk pasien
yang mengalami sakit atau penyakit yang tidak mempunyai harapan untuk
sembuh dan menuju pada proses kematian dalam 6 (enam) bulan atau kurang.
Pasien yang berada pada tingkat akhir hidupnya memerlukan pelayanan yang
berfokus akan kebutuhannya yang unik. Pasien dalam tahap ini dapat
menderita gejala lain yang berhubungan dengan proses penyakit atau terapi
kuratif atau memerlukan bantuan berhubungan dengan faktor psikososial,
agama, dan budaya yang berhubungan dengan proses kematian.
2. Keluarga dan pemberi layanan dapat diberikan kelonggaran melayani pasien
tahap terminal dan membantu meringankan rasa sedih dan kehilangan.
Penyakit terminal adalah suatu penyakit yang tidak bisa disembuhkan lagi.
Kematian adalah tahap akhir kehidupan. Kematian bisa datang tiba-tiba tanpa
peringatan atau mengikuti periode sakit yang panjang. Terkadang kematian
menyerang usia muda, tetapi selalu menunggu yang tua. Kondisi terminal
adalah suatu proses yang progresif menuju kematian berjalan melalui suatu
tahapan proses penurunan fisik, psikososial, dan spiritual bagi individu.
(Carpenito, 1995).
3. Sakaratul maut (dying) adalah merupakan kondisi pasien yang sedang
menghadapi kematian, yang memiliki berbagai hal dan harapan tertentu untuk
meninggal.
4. Kematian (death) merupakan kondisi terhentinya pernafasan, nadi, dan
tekanan darah serta hilangnya respons terhadap stimulus eksternal, ditandai
dengan terhentinya aktifitas otak atau terhentinya fungsi jantung dan paru
secara menetap.

112
BAB II
RUANG LINGKUP

Ciri-ciri pokok pasien yang akan meninggal


Pasien yang menghadapi sakaratul maut akan memperlihatkan tingkah laku
yang khas, antara lain :
a. Penginderaan dan gerakan menghilang secara berangsur-angsur yang
dimulai pada gerakan paling ujung, khususnya pada ujung kaki,
tangan, ujung hidung yang terasa dingin dan lembab.
b. Kulit tampak kebiru-biruan, kelabu atau pucat.
c. Nadi mulai tidak teratur dan lemah.
d. Terdengar suara mendengkur disertai sura nafas Cyenes Stokes.
e. Menurunnya tekanan darah, peredaran darah perifer menjadi terhenti
dan rasa nyeri yang ada biasanya menjadi hilang. Kesadaran dan
tingkat kekuatan ingatan dari individu biasanya bervariasi. Otot
rahang menjadi mengendur, wajah pasien yang tadinya kelihatan
cemas tampak lebih pasrah menerima.

BAB III
TATA LAKSANA

Tata laksana kegiatan pelayanan pada tahap terminal akhir hidup di RS


PKU Muhammadiyah Sampangan Surakarta
a. Melakukan assesmen dan pengelolaan yang sesuai terhadap pasien dalam
tahap terminal. Problem yang berkaitan dengan kematian antara lain :
1) Problem fisik, berkaitan dengan kondisi atau penyakit terminalnya.
2) Problem psikologi, ketidakberdayaan, kehilangan kontrol,
ketergantungan, dan kehilangan diri dan harapan.
3) Problem sosial, isolasi, dan perpisahan.
4) Problem spiritual.
5) Ketidaksesuaian antara kebutuhan dan harapan dengan perlakuan
yang didapat (dokter, perawat, keluarga, dan lain-lain).
b. Memberikan pelayanan dan perawatan pada pasien tahap terminal dengan
hormat dan respek.

113
c. Melakukan intervensi untuk mengurangi rasa nyeri, secara primer atau
sekunder, serta memberikan pengobatan sesuai permintaan pasien dan
keluarga.
d. Menyediakan akses terapi lainnya yang secara realitas diharapkan dapat
memperbaiki kualitas hidup pasien. Mencakup terapi alternativ dan terapi
non tradisional.
e. Melakukan intervensi dalam masalah keagamaan dan aspek budaya
pasien dan keluarga.
f. Melakukan assesmen status mental terhadap keluarga yang ditinggalkan
serta edukasi terhadap mekanisme penanganannya.
g. Peka dan tanggap terhadap harapan keluarganya.
h. Menghormati hak pasien untuk menolak pengobatan atau tindakan medis
lainnya.
i. Mengikutsertakan keluarga dalam pemberian pelayanan.

Pelayanan tahap akhir di Rumah Sakit dilakukan di Instalasi Gawat Darurat


(IGD) dan di Unit Rawat Inap. Adapun proses operasional pelayanan ini atau
assesmen pasien tahap terminal dilakukan oleh perawat/bidan.
Keperawatan/kebidanan yang mempunyai Surat Tanda Registrasi (STR)
dan bekerja di RS PKU Muhammadiyah Sampangan Surakarta minimal 6 (enam)
bulan, yang meliputi intervensi untuk mengurangi rasa nyeri, gejala primer dan
atau sekunder, mencegah gejala dan komplikasi sedapat mungkin, intensitas
dalam hal ini masalah psikologis, pasien dan keluarga, masalah emosional dan
kebutuhan spiritual mengenai kematian dan kesusahan, intervensi dalam masalah
kegamaan dan aspek budaya pasien dan keluarga, serta mengikutsertakan pasien
dan keluarga dalam pemberian pelayanan.
Bila pasien meninggal dunia, maka dilakukan tindakan perawatan pasien
setelah meninggal dunia atau perawatan jenazah, dengan tujuan membersihkan
dan merapikan jenazah, memberikan penghormatan terakhir dan rasa puas
kepada sesama insani.
a. Peralatan yang diperlukan :
1) Celemek atau skort
2) Verban atau kassa gulung
3) Gunting verban
4) Pinset

114
5) Sarung tangan (Hands scouen)
6) Bengkok (piala ginjal)
7) Baskom
8) Waslap
9) Kantong plastik kecil (tempat perhiasan)
10) Kartu identitas pasien atau gelang identitas
11) Kain kaffan
12) Kapas lipat lembab dalam Koran
13) Kassa berminyak dalam kom
14) Kapas lipat kering dalam kom
15) Kapas alokohol dalam kom
16) Lysol 2-4 %
17) Ember bertutup
b. Prosedur
1) Memberitahukan kepada keluarga pasien
2) Mempersiapkan peralatan dan dekatkan ke jenazah
3) Mencuci tangan
4) Memakai celemek atau skort
5) Memakai sarung tangan (Hands scoen)
6) Melepas perhiasan dan benda-benda berharga lain dan berikan
kepada keluarga pasien (dimasukkan dalam kantong plastik)
7) Melepas peralatan invasive (infus set, kateter, NGT Tube, dan lain-
lain)
8) Membersihkan mata pasien dengan kassa, kemudian ditutup dengan
kapas berminyak
9) Membersihkan bagian hidung dengan kassa, kemudian ditutup
dengan kapas berminyak
10) Membersihkan bagian telinga dengana kassa, kemudian ditutup
dengan kapas berminyak
11) Membersihkan bagian mulut dengan kassa
12) Merapikan rambut jenazah dengan sisir
13) Mengikat dagu (dari bawah dagu sampai ke atas kepala) dengan
verban gulung
14) Menurunkan selimut sampai ke bawah kaki

115
15) Membuka pakaian bagian atas jenazah, kemudian tempatkan dalam
ember
16) Melipat kedua tangan dan arahkan ke bagian perut, kemudian
mengikatnya pada pergelangan tangan dengan verban gulung
17) Membuka pakaian bagian bawah jenazah, kemudian tempatkan
dalam ember
18) Membersihkan genetalia dengan kassa kering dan waslap
19) Membersihkan bagian anus dengan cara memiringkan jenazah ke
arah kiri dengan meminta bantuan keluarga
20) Memasukkan kassa berminya ke dalam anus jenazah
21) Melepaskan stcik laken dan perlak bersamaan dengan
membentangkan kain kaffan, lipat stick laken dan taruh dalam ember
22) Kembalikan jenazah ke posisi semula
23) Mengikat kaki di bagian lutut jenazah, pergelangan kaki, dan jari-jari
jempol dengan menggunakan peban gulung
24) Mengikatkan identitas jenazah pada jempol kaki
25) Membuka boven laken bersamaan dengan pemasangan kain kaffan
26) Jenazah dirapikan dan dipindahkan ke brankart
27) Alat-alat tenun dilepas dan dimasukkan ke dalam ember serta melipat
kasur
28) Merapikan alat
29) Melepas handscoon
30) Melepaskan celemek
31) Mencuci tangan
32) Setelah selesai perawatan jenazah, kemudian jenazah dibawa ke
kamar jenazah dan setelah mencapai 2 (dua) jam, boleh dibawa oleh
keluarga, dengan serah terima antar perawat dan keluarga, gelang
identitas dilepas.

116
BAB IV
DOKUMENTASI

1. Status rawat jalan emergensi (instalasi gawat darurat/IGD)


2. Status rawat inap
3. Format asesmen pasien tahap terminal
4. Formulir permintaan pelayanan kerohanian
5. Buku kunjungan pelayanan kerohanian
6. Surat kematian

Ditetapkan di : Surakarta
Pada tanggal : 1 November 2018

Direktur Rumah Sakit PKU Muhammadiyah


Sampangan Surakarta

dr. Rosnedy Ariswati, M.Kes


NBM: 827348

117

Anda mungkin juga menyukai