PERATURAN DIREKTUR
RUMAH SAKIT PKU MUHAMMADIYAH SAMPANGAN SURAKARTA
NOMOR : 022/ PERDIR/ RSPKUSAMP/ XI/ 2018
TENTANG
Kedokteran;
9. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 69 Tahun
2014 tentang Kewajiban Rumah Sakit Dan Kewajiban Pasien;
MEMUTUSKAN
Pasal 1
KETENTUAN UMUM
(1) Rumah Sakit adalah Rumah Sakit Umum Daerah RS PKU Muhammadiyah
Sampangan Surakarta, yaitu institusi pelayanan kesehatan yang
menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang
menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat.
(2) Pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya
untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan, baik secara
langsung maupun tidak langsung di Rumah Sakit Umum Daerah RS PKU
Muhammadiyah Sampangan Surakarta.
(3) Dokter dan Dokter Gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi, dan
dokter gigi spesialis lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi baik
di dalam maupun di luar negeri yang diakui ole Pemerintah Republik
Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(4) Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang
kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui
pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan
kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.
(5) Karyawan Rumah Sakit adalah seluruh pegawai Rumah Sakit terdiri dari
jajaran direksi/manajemen, Dokter dan Dokter Gigi, Tenaga Kesehatan, dan
tenaga non kesehatan.
(6) Tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang selanjutnya disebut Tindakan
Kedokteran adalah suatu tindakan medis berupa preventif, diagnostik,
terapeutic atau rehabilitatif yang dilakukan oleh dokter atau dokter gigi
terhadap pasien.
RUMAH SAKIT PKU MUHAMMADIYAH SAMPANGAN
Semanggi RT 002 / RW 020 Pasar Kliwon
0271-633894 Fax : 0271-630229
Sehat-aMANah-taNGGungjawab-Islami
SURAKARTA
(7) Tim Handling Komplain adalah tim yang dibentuk Rumah Sakit untuk
menerima pengaduan Pasien dan keluarganya atas pelayanan kesehatan.
(8) Panduan adalah merupakan petunjuk dalam melakukan kegiatan.
(9) Standar Prosedur Operasional yang selanjutnya disebut SPO, merupakan
suatu perangkat instruksi atau langkah-langkah yang dibakukan untuk
menyelesaikan proses kerja rutin tertentu.
Pasal 2
HAK-HAK PASIEN
Pasal 3
TANGGUNG JAWAB RUMAH SAKIT
(1) Rumah Sakit berkewajiban untuk menghormati dan melindungi hak-hak
Pasien Rumah Sakit sebagaimana tercantum dalam Pasal 2, dengan
memberlakukan peraturan dan standar Rumah Sakit, melakukan pelayanan
yang berorientasi pada hak dan kepentingan Pasien, serta melakukan
monitoring dan evaluasi penerapannya.
(2) Seluruh Karyawan Rumah Sakit bertanggung jawab atas pelaksanaan hak-hak
Pasien dengan melaksanakan segala ketentuan yang diatur dalam peraturan
ini.
Pasal 4
PERSETUJUAN UMUM (GENERAL CONSENT)
(1) Setiap Pasien berhak atas tubuhnya sendiri, dan untuk menghormati hak
pasien tersebut, Rumah Sakit wajib menyampaikan persetujuan umum
(general consent) kepada setiap Pasien dan/atau keluarga Pasien, sebelum
Pasien memperoleh pelayanan di rawat jalan dan rawat inap.
(2) Setiap Pasien wajib mengisi formulir Persetujuan Umum (General Consent)
yang berisi tentang:
RUMAH SAKIT PKU MUHAMMADIYAH SAMPANGAN
Semanggi RT 002 / RW 020 Pasar Kliwon
0271-633894 Fax : 0271-630229
Sehat-aMANah-taNGGungjawab-Islami
SURAKARTA
Pasal 5
PENYAMPAIAN INFORMASI TATA TERTIB SERTA HAK DAN
KEWAJIBAN PASIEN
(1) Rumah Sakit wajib menyampaikan informasi tentang tata tertib/peraturan
yang berlaku di Rumah Sakit serta hak dan kewajiban pasien.
(2) Penyampaian informasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilakukan
pada saat pendaftaran Pasien di rawat inap dan rawat jalan bersama pengisian
Persetujuan Umum (General Consent).
(3) Tata tertib Rumah Sakit dan hak dan kewajiban pasien diberikan kepada
Pasien dan/atau keluarganya dalam bentuk leaflet Tata Tertib
Pasien/Pengunjung RS PKU Muhammadiyah Sampangan Surakarta,
sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan ini.
(4) Penyampaian informasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
pelaksanaannya mengacu pada Panduan Hak Dan Kewajiban Pasien Dalam
Pelayanan, SPO Hak Pasien Dalam Pelayanan, sebagaimana tercantum dalam
Lampiran Peraturan ini.
Pasal 6
PENYAMPAIAN INFORMASI HAK DAN KEWAJIBAN PASIEN
DALAM PELAYANAN KESEHATAN
(1) Dalam perawatan kesehatan yang dilaksanakan oleh Rumah Sakit, Pasien
memiliki kewajiban untuk mematuhi peraturan yang berlaku di Rumah Sakit,
menggunakan fasilitas Rumah Sakit secara bertanggung jawab, menghormati
RUMAH SAKIT PKU MUHAMMADIYAH SAMPANGAN
Semanggi RT 002 / RW 020 Pasar Kliwon
0271-633894 Fax : 0271-630229
Sehat-aMANah-taNGGungjawab-Islami
SURAKARTA
hak-hak pasien lain, pengunjung, dan hak Tenaga Kesehatan serta petugas
lainnya yang bekerja di Rumah Sakit, memberikan memberikan informasi
yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya, memberikan
informasi mengenai kemampuan finansial dan jaminan kesehatan yang
dimilikinya, mematuhi rencana terapi yang direkomendasikan oleh
Dokter/Dokter Gigi dan Tenaga Kesehatan di Rumah Sakit yang disetujui
oleh Pasien setelah mendapatkan penjelasan, mematuhi nasihat dan petunjuk
Dokter/Dokter Gigi dan Tenaga Kesehatan, dan memberikan imbalan jasa
atas pelayanan yang diterima.
(2) Rumah Sakit dalam hal ini wajib menyampaikan kewajiban pasien
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), sehingga Pasien dapat berpartisipasi
secara aktif dan bertanggung jawab dalam pelayanan kesehatan yang
diperolehnya di Rumah Sakit.
(3) Penegasan kewajiban pasien terhadap pelayanan kesehatan, disampaikan
kembali oleh Dokter/Dokter Gigi dan Tenaga Kesehatan kepada Pasien saat
memperoleh pelayanan di rawat jalan maupun rawat inap.
(4) Penyampaian informasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2),
pelaksanaannya mengacu pada Panduan Hak Dan Kewajiban Pasien Dalam
Pelayanan, SPO Hak Pasien Dalam Pelayanan, sebagaimana tercantum dalam
Lampiran Peraturan ini.
Pasal 7
PENGADUAN ATAS KUALITAS PELAYANAN RUMAH SAKIT
(1) Pasien berhak untuk menyampaikan pengaduan atas kualitas pelayanan
Rumah Sakit.
(2) Rumah Sakit wajib menyediakan fasilitas bagi pengaduan secara 24
(duapuluh empat) jam atas kualitas pelayanan Rumah Sakit.
(3) Fasilitas bagi pengaduan Rumah Sakit sebagaimana dimaksud dalam ayat (2),
meliputi pengaduan secara langsung melalui Unit Pengaduan Masyarakat, dan
tidak langsung melalui kotak saran, website, telepon, media massa dan
kuisioner.
(4) Setiap pengaduan Pasien dan keluarga merupakan tanggung jawab Tim
Pelayanan Pengaduan (Handling Komplain) Rumah Sakit, untuk
ditindaklanjuti segera.
RUMAH SAKIT PKU MUHAMMADIYAH SAMPANGAN
Semanggi RT 002 / RW 020 Pasar Kliwon
0271-633894 Fax : 0271-630229
Sehat-aMANah-taNGGungjawab-Islami
SURAKARTA
(5) Pengaduan Pasien dan keluarga yang dilayani adalah pengaduan pasien dan
keluarga yang bertujuan untuk perbaikan mutu pelayanan kesehatan.
(6) Apabila pengaduan Pasien dan keluarga memerlukan klarifikasi, maka
Rumah Sakit wajib memberikan klarifikasi kepada Pasien dan Keluarga.
(7) Apabila pengaduan Pasien dan keluarga tidak memerlukan klarifikasi, maka
Rumah Sakit menangani pengaduan tersebut secara internal dan dijadikan
bahan evaluasi bagi peningkatan kualitas pelayanan Rumah Sakit.
(8) Setiap pengaduan Pasien dan keluarga kepada Rumah Sakit dituangkan dalam
formulir Laporan Tindak Lanjut Pengaduan sebagaimana terlampir dalam
Peraturan ini dan dilaporkan secara periodik kepada Direktur Rumah Sakit.
(9) Dokumentasi Laporan Tindak Lanjut Pengaduan disimpan oleh Tim Handling
Komplain
(10) Pelaksanaan pengaduan Pasien dan keluarga mengacu pada Panduan
Penyelesaian Keluhan/Komplain dan SPO Penanganan Keluhan/Komplain.
Pasal 8
DOKTER PENANGGUNG JAWAB PELAYANAN
(1) Rumah Sakit wajib menyediakan Dokter penanggung jawab pelayanan bagi
perawatan Pasien.
(2) Dokter penanggung jawab pelayanan wajib membuat rencana pelayanan.
(3) Dokter penanggung jawab pelayanan wajib memberikan informasi secara
jelas dan benar kepada pasien dan keluarganya.
(4) Informasi yang diberikan meliputi elemen-elemen sebagai berikut;
a. Diagnosis (diagnosis kerja dan diagnosis banding) dan dasar diagnosis;
b. Kondisi Pasien;
c. Rancana tindakan;
d. Tata cara dan tujuan tindakan;
e. Manfaat dan risiko tindakan;
f. Nama orang yang mengerjakan tindakan;
g. Kemungkinan alternatif dari tindakan;
h. Prognosis dari tindakan;
i. Kemungkinan hasil tidak terduga;
j. Kemungkinan hasil bila tidak dilakukan tindakan.
(5) Dokter Penanggung Jawab Pelayanan dalam memberikan Informasi kepada
pasien dilakukan secara lisan kemudian didokumentasikan secara tertulis pada
RUMAH SAKIT PKU MUHAMMADIYAH SAMPANGAN
Semanggi RT 002 / RW 020 Pasar Kliwon
0271-633894 Fax : 0271-630229
Sehat-aMANah-taNGGungjawab-Islami
SURAKARTA
Pasal 9
PERMINTAAN PENDAPAT MEDIS YANG BERBEDA (SECOND
OPINION)
(1) Setiap Pasien berhak untuk meminta konsultasi tentang penyakit yang
dideritanya kepada Dokter lain yang memiliki Surat Ijin Praktik baik di dalam
maupun di luar Rumah Sakit.
(2) Rumah Sakit memfasilitasi Pasien untuk memperoleh konsultasi dari Dokter
lain baik di dalam maupun di luar Rumah Sakit.
(3) Pasien yang ingin memperoleh konsultasi dari Dokter lain, wajib mengisi
formulir Persetujuan Permintaan Pendapat Medis Yang Berbeda (Second
Opinion) sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan ini.
(4) Pelaksanaan second opinion di Rumah Sakit mengacu pada Panduan
Permintaan Pendapat Medis Yang Berbeda (Second Opinion) dan SPO
Memperoleh Pendapat Medis Yang Berbeda (Second Opinion) yang
tercantum dalam Lampiran Peraturan ini.
Pasal 10
PRIVASI PASIEN
(1) Setiap Pasien berhak atas privasi dan kerahasiaan penyakit yang dideritanya.
(2) Rumah Sakit wajib menjaga identitas Pasien agar tidak dapat dibaca dan
dilihat oleh khalayak umum.
(3) Rumah Sakit wajib menjaga rahasia penyakit Pasien, dan tidak dibenarkan
untuk membuka rahasia tersebut kepada pihak lain, kecuali atas ijin Pasien
dan/atau menurut peraturan perundang-undangan.
(4) Rumah Sakit menjaga privasi Pasien rawat inap kelas perawatan II dan III
dengan cara Rumah Sakit memasang gorden/tirai pada setiap tempat tidur
Pasien.
(5) Rumah Sakit menjaga privasi Pasien di ruang pemeriksaan dan tindakan
dengan cara menempatkan Pasien dalam ruang pemeriksaan, menutup
gorden, memasang selimut, mempersilakan keluarga Pasien untuk menunggu
di luar, dan menutup pintu pada saat melakukan pemeriksaan dan tindakan.
RUMAH SAKIT PKU MUHAMMADIYAH SAMPANGAN
Semanggi RT 002 / RW 020 Pasar Kliwon
0271-633894 Fax : 0271-630229
Sehat-aMANah-taNGGungjawab-Islami
SURAKARTA
(6) Rumah Sakit menjaga privasi Pasien pada saat melakukan transportasi Pasien
dengan menutupi tubuh Pasien dengan selimut.
(7) Tidak dibenarkan siapa pun membicarakan privasi Pasien di Rumah Sakit.
(8) Rumah Sakit menjaga kerahasiaan rekam medis.
(9) Rumah Sakit memfasilitasi pasien apabila menghendaki tidak mau dijenguk
selama perawatan di Rumah Sakit.
(10) Pelaksanaan privasi pasien di Rumah Sakit mengacu pada Panduan Privasi
dan SPO Menjaga Privasi Pasien dan SPO Kerahasiaan Rekam Medis yang
tercantum dalam Lampiran Peraturan ini.
Pasal 11
MANAJEMEN NYERI
(1) Setiap pasien berhak mendapatkan hak untuk dikelola masalah nyeri yang
dideritanya.
(2) Rumah sakit mengatur assesmen dan monitoring nyeri dalam panduan
manejemen nyeri.
Pasal 12
PERSETUJUAN TINDAKAN KEDOKTERAN (INFORMED
CONSENT)
(1) Setiap tindakan kedokteran yang dilakukan harus meminta persetujuan
Pasien, dan persetujuan tersebut diperoleh setelah Dokter/Dokter gigi dan
Tenaga Kesehatan memberikan informasi yang memadai tentang tindakan
kedokteran tersebut.
(2) Setiap pasien berhak memberikan persetujuan atau menolak atas tindakan
yang akan dilakukan oleh Dokter/Dokter Gigi dan Tenaga Kesehatan
terhadap penyakit yang dideritanya dengan mengisi formulir Persetujuan
Tindakan Kedokteran atau Surat Pernyataan Penolakan Pengobatan.
(3) Persetujuan tindakan kedokteran dilakukan untuk:
a. semua tindakan pembedahan dan tindakan invasive;
b. semua tindakan anastesi, dan sedasi sedang serta sedasi dalam;
c. semua tindakan pemberian produk darah dan komponen darah; dan
d. semua tindakan yang berisiko tinggi.
RUMAH SAKIT PKU MUHAMMADIYAH SAMPANGAN
Semanggi RT 002 / RW 020 Pasar Kliwon
0271-633894 Fax : 0271-630229
Sehat-aMANah-taNGGungjawab-Islami
SURAKARTA
(4) Semua tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan obat-
obatan yang memerlukan persetujuan, dapat dilihat pada Daftar Tindakan-
tindakan Yang Memerlukan Persetujuan Tindakan Kedokteran (Informed
Consent) dan Daftar Obat Yang Memerlukan Persetujuan Tindakan
Kedokteran (Informed Consent) sebagaimana tercantum dalam Lampiran
Peraturan ini.
(5) Pelaksanaan persetujuan/penolakan tindakan kedokteran mengacu pada
Panduan Persetujuan Tindakan Kedokteran (Informed Consent) dan SPO
Persetujuan Tindakan Kedokteran (Informed Consent) dan SPO Penolakan
Tindakan Kedokteran (Informed Consent) sebagaimana tercantum dalam
Lampiran Peraturan ini.
(6) Jika Pasien dan/atau keluarga Pasien memutuskan untuk menghentikan
pengobatan dan pulang atas permintaan sendiri, Pasien wajib mengisi Surat
Pernyataan Penolakan Pengobatan dan Surat Pernyataan Pulang APS yang
tercantum dalam Lampiran Peraturan ini.
(7) Pasien dapat menolak tindakan resusitasi dengan mengisi Formulir Penolakan
Tindakan Resusitasi, dan pelaksanaannya mengacu pada Panduan Penolakan
Resusitasi (Do Not Resucitation (DNR)), dan SPO Penolakan Tindakan
Resusitasi.
Pasal 13
PELAYANAN KEROHANIAN
(1) Setiap Pasien berhak menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan
kepercayaanya selama hal tersebut tidak mengganggu Pasien lainnya.
(2) Rumah Sakit mengidentifikasi agama dan keyakinan setiap Pasien, dan wajib
memperhatikan dan menghargai nilai serta keyakinan Pasien dan keluarga
tersebut.
(3) Pelaksanaan identifikasi agama dan keyakinan setiap Pasien mengacu pada
Panduan Pelayanan Kerohanian.
(4) Rumah Sakit memberikan pelayanan kerohanian kepada pasien sesuai dengan
Panduan Pelayanan Kerohanian sebagaimana tercantum dalam Lampiran
Peraturan ini.
(5) Untuk pasien yang beragama islam, pelayanan rohani diberikan saat pasien
menjalani perawatan di rawat inap Rumah Sakit. Untuk pasien non muslim,
pasien berhak meminta pelayanan kerohanian dengan mengisi formulir
RUMAH SAKIT PKU MUHAMMADIYAH SAMPANGAN
Semanggi RT 002 / RW 020 Pasar Kliwon
0271-633894 Fax : 0271-630229
Sehat-aMANah-taNGGungjawab-Islami
SURAKARTA
Pasal 14
PERLINDUNGAN HARTA DAN BENDA MILIK PASIEN
(1) Setiap Pasien berhak memperoleh keamanan dan keselamatan dirinya selama
perawatan di Rumah Sakit.
(2) Pasien tidak dibenarkan memakai dan membawa perhiasan dan barang
berharga lainnya dengan sengaja selama dirawat di Rumah Sakit, dan dalam
hal ini Rumah Sakit tidak bertanggung jawab atas kehilangan dan kerusakan
pada barang-barang tersebut.
(3) Rumah Sakit tidak menerima penitipan uang atau barang-barang berharga
pada pasien yang sadar atau ada pendamping keluarga.
(4) Pada Pasien tidak sadar/hilang ingatan dan tanpa pendamping keluarga,
Rumah Sakit bertanggung jawab atas perhiasan dan barang berharga Pasien,
serta dalam hal ini Rumah Sakit menyediakan loker khusus penyimpanan
barang berharga Pasien dan menyiapkan Formulir Penitipan Harta Benda
Milik Pasien.
(5) Pelaksanaan perlindungan terhadap harta dan benda milik Pasien di Rumah
Sakit mengacu pada Panduan Perlindungan Harta Dan Benda Milik Pasien
dan SPO Perlindungan Harta Benda Milik Pasien dan SPO
Penitipan/Penyimpanan Barang Milik Pasien sebagaimana tercantum dalam
Lampiran Peraturan ini.
Pasal 15
PERLINDUNGAN PASIEN TERHADAP KEKERASAN FISIK
RUMAH SAKIT PKU MUHAMMADIYAH SAMPANGAN
Semanggi RT 002 / RW 020 Pasar Kliwon
0271-633894 Fax : 0271-630229
Sehat-aMANah-taNGGungjawab-Islami
SURAKARTA
(1) Setiap Pasien berhak memperoleh keamanan dan keselamatan dirinya selama
perawatan di Rumah Sakit.
(2) Seluruh karyawan Rumah Sakit wajib menggunakan tanda pengenal.
(3) Seluruh pengunjung, tamu dan pekerja lepas di Rumah Sakit wajib
teridentifikasi.
(4) Rumah Sakit memberikan perlindungan keamanan secara khusus kepada
populasi yang rentan kekerasan fisik, seperti: bayi dan anak-anak, Pasien
cacat, Pasien lanjut usia, Pasien perempuan yang mengalami kekerasan, orang
dengan gangguan jiwa, pasien tidak sadar atau pasien koma.
(5) Rumah Sakit menempatkan kamera CCTV pada area-area beresiko seperti
Ruang Anak, Ruang Bersalin dan ruang bayi.
(6) Pelaksanaan perlindungan Pasien terhadap kekerasan fisik mengacu pada
Panduan Perlindungan Pasien Terhadap Kekerasan Fisik, dan SPO
sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan ini.
Pasal 16
PELAYANAN PASIEN TERMINAL
(1) Setiap Pasien mempunyai hak untuk didampingi keluarga saat kondisi kritis.
(2) Rumah Sakit menghormati hak Pasien sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
dengan memfasilitasi kebutuhan-kebutuhan Pasien terminal sesuai agama dan
kepercayaannya.
(3) Pelaksanaan pelayanan Pasien terminal mengacu pada Panduan Pelayanan
Pasien Terminal dan SPO Pelayanan Pasien Terminal sebagaimana tercantum
dalam Lampiran Peraturan ini.
Pasal 17
LAIN-LAIN
(1) Rumah Sakit tidak melakukan penelitian klinis.
(2) Rumah Sakit tidak melakukan donasi organ.
RUMAH SAKIT PKU MUHAMMADIYAH SAMPANGAN
Semanggi RT 002 / RW 020 Pasar Kliwon
0271-633894 Fax : 0271-630229
Sehat-aMANah-taNGGungjawab-Islami
SURAKARTA
Pasal 18
PENUTUP
Peraturan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di : Surakarta
Pada tanggal : 1 November 2018
BAB I
DEFINISI
3
staf rumah sakit bertanggungjawab melindungi dan mengedepankan hak
pasien dan keluarga.
Tujuannya agar pasien dan keluarga memahami apa yang menjadi hak dan
kewajibannya.
BAB II
RUANG LINGKUP
4
2) Kemungkinan penyakit sebagai akibat tindakan tersebut dan
tindakan untuk mengatasinya.
3) Alternatif terapi lainnya.
4) Resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi.
5) Prognosis.
6) Perkiraan biaya pengobatan.
k. Pasien berhak menyetujui/memberikan izin atas tindakan yang akan
dilakukan oleh dokter sehubungan dengan penyakit yang dideritanya
dan berhak menolak tindakan yang hendak dilakukan terhadap
dirinya dan mengakhiri pengobatan serta perawatan atas
tanggungjawab sendiri sesudah memperoleh informasi yang jelas
tentang penyakitnya.
l. Pasien berhak didampingi keluarganya dalam keadaan kritis.
m. Pasien berhak menjalankan ibadah sesuai agama/kepercayaan yang
dianutnya selama hal itu tidak mengganggu pasien lainnya.
n. Pasien berhak atas keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam
perawatan di rumah sakit.
o. Pasien berhak mengajukan usul, saran, perbaikan atas perlakuan
perlakuan rumah sakit terhadap dirinya.
p. Pasien berhak menerima atau menolak bimbingan rohani yang tidak
sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianutnya.
q. Menggugat atau menuntut Rumah Sakit apabila Rumah Sakit diduga
memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik secara
perdata maupun pidana.
r. Mengeluhkan pelayanan Rumah sakit yang tidak sesuai dengan
standar pelayanan melalui media cetak dan elektonik sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
2. Setiap pasien mempunyai kewajiban :
a. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur tentang masalah
kesehatannya.
b. Mengetahui kewajibannya dan tanggungjawab pasien dan keluarga.
c. Mengajukan pertanyaan untuk hal yang tidak dimengerti.
d. Memahami dan menerima konsekuensi pelayanan.
e. Mematuhi instruksi dan menghormati peraturan Rumah Sakit.
f. Memperlihatkan sikap menghormati dan tenggang rasa.
5
g. Memenuhi kewajiban finansial yang disepakati.
BAB III
TATA LAKSANA
6
Informasi tentang hak dan kewajiban pasien dapat diperoleh pasien/
keluarga/ pengunjung Rumah Sakit melalui :
a. Petugas Admisi Rumah Sakit.
b. Petugas Informasi.
c. Petugas medis dan perawat.
d. Infomasi tertulis tentang hak dan kewajiban pasien tercantum pada :
(1) Formulir persetujuan umum (general consent).
(2) Leaflet tentang hak dan kewajiban pasien.
(3) X-Banner yang berisi tentang hak dan kewajiban pasien.
BAB IV
DOKUMENTASI
1. Seluruh pasien yang dirawat inap maupun yang dirawat jalan untuk
pertama kali, wajib mendapat penjelasan dan menandatangani
persetujuan umum (general consent).
2. Penjelasan tentang persetujuan umum (general consent) dilakukan
dibagian Admisi meliputi penjelasan tentang hak dan kewaiban pasien,
persetujuan pelayanan kesehatan, rahasia medis, privasi, barang
pribadi, pengajuan keluhan, kewajiban pembayaran, tata tertib pasien,
dan pelayanan kerohanian.
3. Formulir persetujuan umum (general consent) ditandatangani
pasien/keluarga dan disimpan dalam rekam medis pasien yang
bersangkutan.
4. Leaflet, X-Banner tentang hak dan kewajiban pasien.
7
BAB I
DEFINISI
Rumah sakit sebagai penyedia layanan harus bisa memastikan bahwa dia
mengetahui apa yang dibutuhkan dan diharapkan oleh pelanggan. Apabila
ada kebutuhan/ harapan pelanggan yang belum terpenuhi maka mereka pasti
akan kecewa. Hanya sedikit dari pelanggan yang mau mengungkapkan
kekecewaannya melalui komplain. Untuk mengatasi hal tersebut, rumah
sakit sebagai pemberi layanan mempunyai kewajiban untuk mencoba
memenuhinya dan juga menyiapkan saluran komplain untuk menampung
keluhan pelanggan agar mereka tidak mencari saluran lain diluar rumah
sakit. Klien/kostumer yang marah biasanya ingin:
a. Didengar
b. Dimengerti
c. Dihormati
d. Diberi permintaan maaf
e. Diberi penjelasan
f. Ada tindakan perbaikan dalam waktu yang tepat
8
a. Biarkan klien melepaskan kemarahannya. Cari fakta inti
permasalahannya, jangan lupa bahwa pada tahap ini kita berurusan
dengan perasaan dan emosi, bukan sesuatu yang rasional. Emosi
selalu menutupi maksud klien yang sesungguhnya.
b. Dengarkan dengan empati, bayangkan kita berada dalam posisi klien
yang lelah, gelisah, sakit, khawatir akan vonis dokter, dll.
c. Tatap mata klien dan fokus, jauhkan semua hal yang merintangi
konsentrasi kita pada klien (telepon, tamu lain,dll).
d. Ulangi setiap fakta yang dikemukakan klien, sebagai tanda kita
benar-benar mendengarkan mereka.
2. Berusaha sependapat dengan pelanggan
a. Bukan berarti kita selalu membenarkan klien/kostumer, kita mencari
point-point dalam pernyataan yang bisa kita setujui.
b. Misalnya : “ Ya Pak, saya sependapat bahwa tidak seharusnya pasien
menunggu lama untuk bisa mendapatkan kamar. Tapi saat ini kamar
perawatan kami memang sedang penuh, kami berjanji akan mencari
jalan keluarnya dan melaporkannya pada Bapak sesegera mungkin”.
3. Tetap tenang dan kuasai diri
a. Ingatlah karakteristik pelanggan di rumah sakit adalah mereka yang
sedang cemas, gelisah dan khawatir akan kondisi diri atau
keluarganya, sehingga sangat bisa dimengerti bahwa dalam kondisi
seperti itu seseorang cenderung bertindak emosional.
b. Berhati-hati dengan nada suara, harus tetap rendah, positif dan
menenangkan. Jangan terbawa oleh nada suara klien yang cenderung
tinggi dan cepat.
c. Sampaikan informasi dengan sopan dan pelan-pelan.
d. Tetap gunakan kata-kata hormat seperti silakan, terimakasih atas
masukannya, dan sebut klien dengan namanya.
4. Mengakui kemarahan kostumer
Gunakan kata-kata seperti,”Saya mengerti kalau Ibu menjadi marah. Ibu
benar, kalau saya jadi Ibu mungkin saya juga akan marah. Saya berjanji
hal seperti ini tidak akan terjadi lagi di kemudian hari”.
5. Permohonan maaf
a. Dalam rangka meredamkan marah kita harus meminta maaf apapun
yang terjadi.
9
b. Permohonan maaf dapat disampaikan tanpa harus mengakui
kesalahan, karena sering kali terjadi kesalahan justru ada pada
kostumer/klien yang belum memahami peraturan.
c. Misalnya ”Saya mohon maaf atas kesalahfahaman ini”atau “Saya
mohon maaf atas kesulitan yang telah Ibu alami”.
6. Perlihatkan empati
a. Simpati: Berhenti pada rasa kasihan. “Saya simpati dengan korban
bencana alam”.
b. Empati memahami masalah klien/kostumer dan berusaha melakukan
sesuatu untuk memperbaiki.
c. Pahami persepsi klien/kostumer dan tempatkan pada posisi klien.
10
g. Menggunakan kata-kata klise, ”Ini peraturan bakunya, Rumah sakit
lain pasti lebih sulit”.
h. Hindari humor, humor bisa dilakukan nanti saat masalah sudah
selesai dan emosi kostumer sudah sepenuhnya reda.
i. Minta dikasihani, ”Mohon maklum bu saya sedang ada masalah
keluarga”, ”Kalo atasan saya tahu, saya bisa kehilangan pekerjaan,”
j. Pukul rata masalah dan menganggap komplain tersebut adalah hal
biasa. Kostumer akan merasa heran karena perusahaan mengambil
langkah untuk memperbaiki masalah yang sudah biasa ini.
k. Mencari-cari kesalahan kostumer, ”Ya memang kami lalai, tapi
Bapak juga jangan lapor dulu”.
l. Memakai istilah teknis yang tidak dimengerti orang awam.
11
b. Pelanggan harus tahu apa yang akan terjadi pada keluhan mereka
setelah mereka menyampaikan keluhannya, dan kapan hal itu akan
dilaksanakan
c. Tentukan tenggat waktu yang realistis, lebih baik kita mempunyai
banyak waktu dalam merealisasikan janji kita
d. Bila ternyata sampai pada tenggat waktu yang ditentukan namun
janji belum terealisasikan, segera hubungi pelanggan dan jelaskan
permasalahannya
12
5) Credibility (Kredibilitas) kredibilitas merujuk kepada keinginan
organisasi untuk menyikapi bahwa pelanggan telah mendapat masalah.
Menurut Morris, 1988, organisasi dievaluasi tidak hanya oleh tanggapan
organisasi terhadap keluhan tetapi juga penjelasan / perhitungan
mengenai masalah yang telah dihadapi pelanggan dan juga apa yang akan
dilakukan organisasi untuk mencegah agar kejadian yang sama tidak
terjadi di masa depan.
6) Attentiveness (Perhatian)perhatian merujuk pada cara memberikan
perhatian dan komunikasi oleh organisasi kepada pelanggan yang
mengeluh interaksi antara organisasi dengan pelanggan yang mengeluh
dapat meningkatkan / mengurangi kepuasan pelanggan.
BAB II
RUANG LINGKUP
13
Ruang lingkup manajemen Komplain pada Rumah Sakit adalah sebagai
berikut:
a. Prosedur pelayanan
b. Persyaratan pelayanan
c. Kejelasan petugas pelayanan
d. Kedisiplinan petugas pelayanan
e. Tanggung jawab petugas pelayanan
f. Kemampuan petugas pelayanan
g. Kecepatan pelayanan
h. Keadilan mendapatkan pelayanan
i. Kesopanan dan keramahan petugas pelayanan
j. Kewajaran biaya pelayanan
k. Kepastian biaya pelayanan
l. Kepastian jadwal pelayanan
m. Kenyamanan lingkungan
n. Keamanan pelayanan
BAB III
TATA LAKSANA
14
Direktur
RS PKU Sampangan
Unit terkait
Media Pengaduan :
Kotak saran
Telepon
Pengaduan Masyarakat
Website RS
Kuisioner
BAB IV
DOKUMENTASI
15
BAB I
DEFINISI
BAB III
RUANG LINGKUP
Permasalahan kesehatan yang memerlukan second opinion yaitu:
1. Keputusan dokter mengenai tindakan operasi, diantaranya operasi usus
buntu, operasi amandel (tonsilektomi), operasi caesar, operasi
hordeolum (bintitan), operasi ligasi ductus lacrimalis (mata belekan
dan berair terus) dan tindakan operasi lainnya.
2. Keputusan dokter tentang pemberian obat jangka panjang lebih dari 2
minggu, misalnya pemberian obat TBC jangka panjang, pemberian
antibiotika jangka panjang, pemberian anti alergi jangka panjang dan
pemberian obat-obat jangka panjang lainnya.
3. Keputusan dokter dalam mengadviskan pemberian obat yang sangat
mahal: baik obat minum, antibiotik atau pemberian susu.
16
4. Kebiasaan dokter memberikan terlalu sering antibiotika berlebihan
pada kasus yang tidak seharusnya diberikan: seperti infeksi saluran
nafas, diare, muntah, demam virus, dan sebagainya. BRUiasanya
dokter memberikan diagnosis infeksi virus tetapi selalu diberi
antibiotik.
5. Keputusan dokter dalam mengadviskan pemeriksaan laboratorium
dengan biaya sangat besar dan tidak sesuai dengan indikasi penyakit
yang dideritanya.
6. Keputusan dokter mengenai suatu penyakit yang berulang diderita
misalnya: penyakit tipes berulang, pada kasus ini sering terjadi
overdiagnosis tidak mengalami tifus tetapi diobati tifus karena hasil
laboratorium yang menyesatkan.
7. Keputusan diagnosis dokter yang meragukan: biasanya dokter tersebut
menggunakan istilah “gejala” seperti gejala tifus, gejala demam
berdarah, gejala usus buntu dan lain-lain.
8. Keputusan pemeriksaan dan pengobatan yang tidak direkomendasikan
oleh institusi kesehatan nasional atau internasional.
BAB III
TATA LAKSANA
1. Prosedur Meminta Second Opinion
a. Kaji tingkat pengetahuan pasien tentang proses penyakit.
b. Pastikan pasien sudah mendapat informasi yang benar mengenai
proses penyakit yang dideritanya dari DPJP.
c. Hindari hal yang menyebabkan pasien/keluarga tidak tenang.
d. Berikan penguatan terhadap informasi yang diberikan oleh tim
kesehatan lain dengan tepat.
e. Jika pasien/keluarga masih bingung, dukung pasien untuk
mencari/mendapakan second opinion sesuai kebutuhan/indikasi.
f. Jelaskan kepada pasien/keluarga tentang hal yang perlu
dipertimbangkan dalam meminta pendapat lain.
g. Siapkan formulir permintaan pendapat lain/second opinion dan
rekam medis pasien.
17
h. Persilahkan pasien/keluarga mengisi formulir dengan lengkap dan
menandatanganinya.
i. Fasilitasi pasien untuk mendapatkan penjelasan second opinion dari
dokter dengan kompetensi yang sama.
18
g. Jangan menggurui dokter yang bila sudah memperoleh informasi
tentang kesehatan, karena informasi yang Anda dapat belum tentu
benar. Tetapi sebaiknya diskusikan informasi yang didapat
kemudian mintakan pendapat dokter tersebut tentang hal itu.
h. Bila pendapat kedua dokter tersebut berbeda, maka ambil salah satu
keputusan tersebut berdasarkan argument yang dapat diterima
secara logika. Atau, dalam keadaan tertentu ikuti advis dari dokter
tersebut bila terdapat perbaikan bermakna dan sesuai penjelasan
dokter maka keputusan tersebut mungkin dapat dijadikan pilihan.
Bila hal itu masih membingungkan, tidak ada salahnya melakukan
pendapat ketiga. Biasanya, dengan berbagai pendapat tersebut
penderita akan dapat memutuskannya. Bila pendapat ketiga tersebut
masih sulit dipilih biasanya kasus yang dihadapi adalah kasus yang
sangat sulit.
i. Keputusan second opinion terhadap terapi alternatif sebaiknya tidak
dilakukan karena pasti terjadi perbedaan pendapat dengan
pemahaman tentang kasus yang berbeda dan latar belakang
keilmuan yang berbeda.
j. Kebenaran ilmiah dibidang kedokteran tidak harus berdasarkan
senioritas dokter atau gelar professor yang disandang. Tetapi
berdasarkan kepakaran dan landasan pertimbangan kejadian ilmiah
berbasis bukti penelitian di bidang kedokteran (evidence base
medicine).
BAB IV
DOKUMENTASI
Bukti permintaan pendapat lain dari pasien/keluarga berupa formulir
persetujuan permintaan pendapat lain (second opinion) yang telah terisi
lengkap dan ditandatangani. Formulir tersebut kemudian disimpan dalam
rekam medis pasien yang bersangkutan.
19
BAB I
DEFINISI
20
9. Kepuasan akan berhubungan privasi sangat berhubungan dengan
seberapa besar lingkungan mengijinkan orang-orang didalamnya untuk
mandiri
10. Faktor budaya
11. Pada penelitian tiap-tiap budaya tidak ditemukan perbedaan dalam
banyaknya privasi yang diinginkan tetapi berbeda dalam cara bagaimana
mereka mendapatkan privasi. Misalnya rumah orang jawa tidak terdapat
pagar dan menghadap ke jalan, tinggal dirumah kecil dengan dinding
dari bambu terdiri dari keluarga tunggal anak,ayah,dan ibu
BAB II
RUANG LINGKUP
Pasien rawat inap maupun rawat jalan berhak mendapatkan privasi dan
kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk data-data medisnya. Lingkup
hak pasien dalam hal privasi melliputi :
a. Privasi identitas pasien.
b. Privasi di ruang perawatan.
c. Privasi di ruang pemeriksaan.
d. Privasi saat dilakukan tindakan.
e. Privasi saat dimandikan.
f. Privasi saat membantu BAB/BAK.
g. Privasi saat transportasi.
h. Privasi saat di kamar operasi.
i. Privasi rekam medis.
j. Privasi saat akan mengakhiri kehidupan.
BAB III
21
TATA LAKSANA
22
c. Menutup pintu dan keluarga menunggu di luar ruangan/memberikan
izin untuk menunggu kepada yan mempunyai keterkaitan
kepentingan dengan kondisi pasien.
5. Menjaga Privasi Pasien Saat Memandikan
a. Memberitahu kepada pasien dan keluarga, bahwa pasien akan
dimandikan.
b. Menutup gorden dan menyarankan agar keluarga pasien menunggu
di luar.
c. Membuka bagian-bagian tubuh yang hanya akan dibersihkan saja
secara bertahap.
d. Menggunakan selimut mandi.
6. Menjaga Privasi Pasien Saat Membantu BAB/BAK
a. Memberitahu kepada keluarga pasien agar menunggu di luar.
b. Menutup gorden.
c. Membuka pakaian bawah pasien.
d. Menutupi pasien dengan selimut mandi.
7. Privasi Pasien Saat Melakukan Transportasi
a. Menutupi tubuh pasien dengan selimut.
b. Memastikan bahwa semua bagian tubuh pasien tertutup, kecuali
muka pasien.
c. Menaikkan pengaman brancard/tempat tidur.
8. Menjaga Privasi Pasien Saat di Kamar Operasi
a. Membuka bagian/area yang akan dioperasi.
b. Tidak membicarakan privasi pasien walaupun pasien sudah tertutup
kecuali muka pasien.
c. Jangan tertawa/menertawakan keadaan pasien walaupun pasien
dalam kondisi terbius.
d. Menutup kembali semua tubuh pasien pada saat selesai operasi.
9. Menjaga Privasi Rekam Medis Pasien
a. Memastikan penempatan rekam medis pasien di tempat yang aman.
b. Rekam medis hanya boleh dibawa oleh petugas RS PKU
Muhammadiyah Sampangan Surakarta
c. Tidak dibenarkan rekam medis dibaca oleh semua orang kecuali
dokter/perawat yang merawat pasien tersebut atau tenaga kesehatan
yang berkepentingan dengan kesembuhan pasien.
23
d. Semua rekam medis setelah pasien pulang disimpan oleh bagian
rekam medis.
e. Rekam medis akan dimusnahkan setelah berumur lebih dari lima
tahun.
10. Menjaga Privasi Pasien Saat Berakhirnya Kehidupan
a. Keluarga pasien diinformasikan kondisi pasien.
b. Bila pasien dirawat di bangsal, makapasien dipindahkan ke tempat
khusus atau dengan menutup gorden sehingga terpisah dari
pandangan pasien lainnya.
c. Mengurangi kegiatan di kamar tersebut atau menimilkan
kebisingan.
d. Memfasilitasi bila keluarga membutuhkan pendamping
rohaniawan.
BAB IV
DOKUMENTASI
24
LAMPIRAN V: PANDUAN PERSETUJUAN TINDAKAN KEDOKTERAN
(INFORMED CONSENT)
BAB I
DEFINISI
25
Suami :
Seorang laki-laki yang dalam ikatan perkawinan dengan seorang
perempuan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Istri :
a. Seorang perempuan yang dalam ikatan perkawinan dengan seorang
laki-laki berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b. Apabila yang bersangkutan mempunyai lebih dari 1 (satu) istri
persetujuan / penolakan dapat dilakukan oleh salah satu dari mereka.
8. Wali, adalah orang yang menurut hukum menggantikan orang lain yang
belum dewasa untuk mewakilinya dalam melakukan perbuatan hukum,
atau orang yang menurut hukum menggantikan kedudukan orang tua.
9. Induk semang, adalah orang yang berkewajiban untuk mangawasi serta
ikut bertangung jawab terhadap pribadi orang lain, seperti pemimpin
asrama dari anak perantauan atau kepala rumah tangga dari seorang
pembantu rumah tangga yang belum dewasa.
10. Gangguan Mental, adalah sekelompok gejala psikologis atau perilaku
yang secara klinis menimbulkan penderitaan dan gangguan dalam fungsi
kehidupan seseorang, mencakup Gangguan Mental Berat, Retardasi
Mental Sedang, Retardasi Mental Berat, Dementia Senilis.
11. Pasien Gawat Darurat, adalah pasien yang tiba-tiba berada dalam
keadaan gawat atau akan menjadi gawat dan terancam nyawanya atau
anggota badannya (akan menjadi cacat) bila tidak mendapat pertolongan
secepatnya.
BAB II
RUANG LINGKUP
1. Konsep Umum
a. Bahwa masalah kesehatan seseorang (pasien) adalah tanggung
jawab seorang (pasien) itu sendiri. Dengan demikian, sepanjang
keadaan kesehatan tersebut tidak sampai menggangu orang lain,
maka keputusan untuk mengobati atau tidaknya masalah kesehatan
yang dimaksud, sepenuhnya terpulang dan menjadi tanggung jawab
yang bersangkutan. Bahwa tindakan kedokteran yang dilakukan
26
oleh dokter atau dokter gigi untuk meningkatkan atau memulihkan
kesehatan seseorang (pasien) hanya merupakan suatu upaya yang
tidak wajib diterima oleh seorang (pasien) yang bersangkutan.
Karena sesungguhnya dalam pelayanan kedokteran, tidak
seorangpun yang dapat memastikan keadaan hasil akhir dari
diselenggarakannya pelayanan kedokteran tersebut (uncertainty
result), dan karena itu tidak etis jika sifat penerimaannya
dipaksakan. Jika seseorang karena satu dan lain hal, tidak dapat atau
tidak bersedia menerima tindakan kedokteran yang ditawarkan,
maka sepanjang penolakan tersebut tidak membahayakan orang
lain, harus dihormati.
b. Bahwa hasil dari tindakan kedokteran akan lebih berdaya guna dan
berhasil guna apabila terjalin kerjasama yang baik antara dokter dan
pasien sehingga dapat saling mengisi dan melengkapi. Dalam
rangka menjalin kerjasama yang baik ini perlu diadakan ketentuan
yang mengatur tentang perjanjian antara dokter atau dokter gigi
dengan pasien. Pasien menyetujui (consent) atau menolak, adalah
merupakan hak pribadinya yang tidak boleh dilanggar, setelah
mendapat informasi dari dokter atau dokter gigi terhadap hal-hal
yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi sehubungan
dengan pelayanan kedokteran yang diberikan kepadanya.
c. Informed Consent terdiri dari kata informed yang berarti telah
mendapatkan informasi dan consent berarti persetujuan (ijin). Yang
dimaksud dengan Informed Consent dalam profesi kedokteran
adalah pernyataan setuju (consent) atau ijin dari seseorang (pasien)
yang diberikan secara bebas, rasional, tanpa paksaan (voluntary)
terhadap tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadapnya
sesudah mendapatkan informasi yang cukup tentang kedokteran
yang dimaksud.
d. Bahwa, untuk mengatur keserasian, keharmonisan, dan ketertiban
hubungan dokter atau dokter gigi dengan pasien melalui informed
consent harus ada pedoman sebagai acuan bagi seluruh personil
rumah sakit.
27
2. Jenis-Jenis Informed Consent
a. Persetujuan tindakan kedokteran.
b. Persetujuan tindakan kedokteran dan terapi beresiko tinggi.
c. Persetujuan tindakan pembiusan.
d. Persetujuan pemberian transfusi darah.
3. Informasi yang Diberikan Meliputi
a. Diagnosa.
b. Tata cara tindakan medis.
c. Tujuan tindakan.
d. Alternatif tindakan dan resikonya.
e. Resiko dan komplikasinya.
f. Prognosis terhadap tindakan.
g. Perkiraan biaya
4. Urutan Prioritas untuk Memberikan Persetujuan
a. Pasien sendiri.
b. Suami atau istrinya.
c. Anaknya yang sudah dewasa.
d. Orang tuanya.
e. Saudara kandungnya.
f. Keluarga lain, teman, atau kenalan bila yang disebut di atas tidak ada.
Dasar Hukum
Sebagai dasar ditetapkannya Panduan Pelaksanaan Persetujuan
Tindakan Kedokteran ini adalah peraturan perundang-undangan dalam
bidang kesehatan yang menyangkut persetujuan tindakan kedokteran, yaitu :
a. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran;
b. Undang –Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan;
c. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
d. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1966 tentang Wajib Simpan
Rahasia Kedokteran;
e. Peraturan Pemerintah nomor 32 tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan
f. Peraturan Menteri Kesehatan RI nomor 269/Menkes/Per/III/2008
tentang Rekam Medis;
g. Peraturan Menteri Kesehatan RI nomor 290/Menkes/Per/III/2008
tentang Persetujuan tindakan kedokteran;
28
h. Keputusan Direktorat Jendral Pelayanan Medik Nomor :
HK.00.06.3.5.1866 tahun 1999 tentang Pedoman Pelaksanaan
Persetujuan Tindakan Medis.
BAB III
TATA LAKSANA
29
6) Risiko atau akibat pasti jika tindakan kedokteran yang
direncanakan tidak dilakukan;
7) Informasi dan penjelasan tentang tujuan dan prospek
keberhasilan tindakan kedokteran yang dilakukan;
8) Informasi akibat ikutan yang biasanya terjadi sesudah
tindakan kedokteran.
30
2) Risiko dan komplikasi yang sangat jarang terjadi atau
dampaknya sangat ringan;
3) Risiko dan komplikasi yang tidak dapat dibayangkan
sebelumnya
b) Penjelasan tentang prognosis meliputi :
1) Prognosis tentang hidup-matinya (ad vitam);
2) Prognosis tentang fungsinya (ad functionam);
3) Prognosis tentang kesembuhan (ad senationam).
Penjelasan diberikan oleh dokter atau dokter gigi yang
merawat pasien atau salah satu dokter atau dokter gigi dari tim
dokter yang merawatnya.
Dalam hal dokter atau dokter gigi yang merawatnya
berhalangan untuk memberikan penjelasan secara langsung, maka
pemberian penjelasan harus didelegasikan kepada dokter atau
dokter gigi lain yang kompeten. Tenaga kesehatan tertentu
dapat membantu memberikan penjelasan sesuai dengan
kewenangannya. Tenaga kesehatan tersebut adalah tenaga
kesehatan yang ikut memberikan pelayanan kesehatan secara
langsung kepada pasien.
Demi kepentingan pasien, persetujuan tindakan kedokteran
tidak diperlukan bagi pasien gawat darurat dalam keadaan tidak
sadar dan tidak didampingi oleh keluarga pasien yang berhak
memberikan persetujuan atau penolakan tindakan
kedokteran.
e. Pihak yang Berhak Memberikan Persetujuan
Yang berhak untuk memberikan persetujuan setelah
mendapatkan informasi adalah:
1) Pasien sendiri, yaitu apabila telah berumur 21 tahun atau telah
menikah.
2) Bagi Pasien dibawah umur 21 tahun, persetujuan (informed
consent) atau Penolakan Tindakan Medis diberikan oleh
mereka menurut urutan hak sebagai berikut :
a. Ayah/ Ibu Kandung
b. Saudara – saudara kandung
31
3) Bagi pasien dibawah umur 21 tahun dan tidak mempunyai
orang tua atau orang tuanya berhalangan hadir, persetujuan
(Informed Consent) atau Penolakan Tindakan medis diberikan
oleh mereka menurut hak sebagai berikut :
a. Ayah/Ibu Adopsi
b. Saudara – saudara Kandung
c. Induk Semang
4) Bagi pasien dewasa dengan gangguan mental, persetujuan
(Informed Consent) atau penolakan penolakan tindakan medis
diberikan oleh mereka menurut hak sebagai berikut:
a. Ayah/Ibu kandung
b. Wali yang sah
c. Saudara – Saudara Kandung
5) Bagi pasien dewasa yang berada dibawah pengampuan
(curatelle) Persetujuan atau penolakan tindakan medis
diberikan menurut hal tersebut.
a. Wali
b. Curator
6) Bagi Pasien dewasa yang telah menikah/ orang tua,
persetujuan atau penolakan tindakan medik diberikan pleh
mereka menurut urutan hal tersebut.
a. Suami/ Istri
b. Ayah/ Ibu Kandung
c. Anak- anak Kandung
d. Saudara – saudara Kandung
32
gigi yang akan melakukan tindakan kedokteran atau oleh tenaga
medis lain yang diberi delegasi, untuk kemudian yang bersangkutan
dipersilahkan membacanya, atau jika dipandang perlu dibacakan
dihadapannya.
Persetujuan secara lisan diperlukan pada tindakan kedokteran
yang tidak mengandung risiko tinggi. Dalam hal persetujuan lisan
yang diberikan dianggap meragukan, maka dapat dimintakan
persetujuan tertulis.
33
tersebut harus dilakukan secara tertulis. Akibat penolakan tindakan
kedokteran tersebut menjadi tanggung jawab pasien.
6. Penolakan tindakan kedokteran tidak memutuskan hubungan dokter
pasien.
7. Persetujuan yang sudah diberikan dapat ditarik kembali (dicabut) setiap
saat, kecuali tindakan kedokteran yang direncanakan sudah sampai pada
tahapan pelaksanaan yang tidak mungkin lagi dibatalkan.
8. Dalam hal persetujuan tindakan kedokteran yang telah diberikan oleh
keluarga, maka yang berhak menarik kembali (mencabut) adalah anggota
keluarga tersebut atau anggota keluarga lainnya yang kedudukan
hukumnya lebih berhak sebagai wali.
9. Penarikan kembali (pencabutan) persetujuan tindakan kedokteran harus
diberikan secara tertulis dengan menandatangani format yang disediakan.
BAB IV
DOKUMENTASI
Dokumen Persetujuan Tindakan Kedokteran
a. Semua hal – hal yang sifatnya luar biasa dalam proses mendapatkan
persetujuan tindakan kedokteran harus dicatat dalam rekam medis.
b. Seluruh dokumen mengenai persetujuan tindakan kedokteran harus
disimpan bersama-sama rekam medis.
c. Format persetujuan tindakan kedokteran atau penolakan tindakan
kedokteran, menggunakan formulir dengan ketentuan sebagai berikut :
1) Diketahui dan ditandatangani oleh dua orang saksi. Tenaga
keperawatan bertindak sebagai salah satu saksi;
2) Formulir asli harus disimpan dalam berkas rekam medis pasien;
3) Formulir harus sudah mulai diisi dan ditandatangani 24 jam
sebelum tindakan kedokteran;
4) Dokter atau dokter gigi yang memberikan penjelaan harus ikut
membubuhkan tanda tangan sebagai bukti bahwa telah memberikan
informasi dan penjelasan secukupnya;
5) Sebagai tanda tangan, pasien atau keluarganya yang buta
huruf harus membubuhkan cap jempol jari kanan.
34
LAMPIRAN VI: PANDUAN PENATALAKSANAAN NYERI
BAB I
DEFINISI
BAB II
RUANG LINGKUP
Pentalaksanaan nyeri meliputi pasien nyeri yang datang pada klinik
rawat jalan, IGD maupun rawat inap di RS, dimana semua petugas medis
perawatan bertanggung jawab menatalaksanai rasa nyeri pada pasien sesuai
dengan kebijakan RS dan mengacu pada panduan penatalaksanaan nyeri yang
telah di tetapkan.
BAB III
TATA LAKSANA
ASESMEN NYERI
1. Anamnesis
a. Riwayat penyakit sekarang
i. Onset nyeri: akut atau kronik, traumatik atau non-traumatik.
ii. Karakter dan derajat keparahan nyeri: nyeri tumpul, nyeri
tajam, rasa terbakar, tidak nyaman, kesemutan, neuralgia.
35
iii. Pola penjalaran / penyebaran nyeri
iv. Durasi dan lokasi nyeri
v. Gejala lain yang menyertai misalnya kelemahan, baal,
kesemutan, mual/muntah, atau gangguan keseimbangan /
kontrol motorik.
vi. Faktor yang memperberat dan memperingan
vii. Kronisitas
viii. Hasil pemeriksaan dan penanganan nyeri sebelumnya,
termasuk respons terapi
ix. Gangguan / kehilangan fungsi akibat nyeri / luka
x. Penggunaan alat bantu
xi. Perubahan fungsi mobilitas, kognitif, irama tidur, dan aktivitas
hidup dasar (activity of daily living)
xii. Singkirkan kemungkinan potensi emergensi pembedahan,
seperti adanya fraktur yang tidak stabil, gejala neurologis
progresif cepat yang berhubungan dengan sindrom kauda
ekuina.
b. Riwayat pembedahan / penyakit dahulu
c. Riwayat psiko-sosial
i. Riwayat konsumsi alkohol, merokok, atau narkotika
ii. Identifikasi pengasuh / perawat utama (primer) pasien
iii. Identifikasi kondisi tempat tinggal pasien yang berpotensi
menimbulkan eksaserbasi nyeri
iv. Pembatasan /restriksi partisipasi pasien dalam aktivitas sosial
yang berpotensi menimbulkan stres. Pertimbangkan juga
aktivitas penggantinya.
v. Masalah psikiatri (misalnya depresi, cemas, ide ingin bunuh
diri) dapat menimbulkan pengaruh negatif terhadap motivasi
dan kooperasi pasien dengan program penanganan /
manajemen nyeri ke depannya. Pada pasien dengan masalah
psikiatri, diperlukan dukungan psikoterapi / psikofarmaka.
vi. Tidak dapat bekerjanya pasien akibat nyeri dapat menimbulkan
stres bagi pasien / keluarga.
36
d. Riwayat pekerjaan
i. Pekerjaan yang melibatkan gerakan berulang dan rutin, seperti
mengangkat benda berat, membungkuk atau memutar;
merupakan pekerjaan tersering yang berhubungan dengan nyeri
punggung.
f. Riwayat keluarga
i. Evaluasi riwayat medis keluarga terutama penyakit genetik.
2. Asesmen nyeri
a. Asesmen nyeri dapat menggunakan Numeric Rating Scale
i. Indikasi: digunakan pada pasien dewasa dan anak berusia > 9
tahun yang dapat menggunakan angka untuk melambangkan
intensitas nyeri yang dirasakannya.
ii. Instruksi: pasien akan ditanya mengenai intensitas nyeri yang
dirasakan dan dilambangkan dengan angka antara 0 – 10.
0 = tidak nyeri
37
1 – 3 = nyeri ringan (sedikit mengganggu aktivitas
sehari-hari)
4 – 6 = nyeri sedang (gangguan nyata terhadap aktivitas
sehari-hari)
7 – 10 = nyeri berat (tidak dapat melakukan aktivitas
sehari-hari)3
38
Wong Baker FACES Pain Scale4
c. COMFORT scale
i. Indikasi: pasien bayi, anak, dan dewasa di ruang rawat intensif
/ kamar operasi / ruang rawat inap yang tidak dapat dinilai
menggunakan Numeric Rating Scale Wong-Baker FACES Pain
Scale.
ii. Instruksi: terdapat 9 kategori dengan setiap kategori memiliki
skor 1-5, dengan skor total antara 9 – 45.
Kewaspadaan
Ketenangan
Distress pernapasan
Menangis
Pergerakan
Tonus otot
Tegangan wajah
Tekanan darah basal
Denyut jantung basal
COMFORT Scale5
3 – gelisah
39
4 – sadar sepenuhnya dan waspada
5 – hiper alert
Ketenangan 1 – tenang
2 – agak cemas
3 – cemas
4 – sangat cemas
5 – panik
2 – terisak-isak
3 – meraung
4 – menangis
5 – berteriak
40
Tonus otot 1 – otot relaks sepenuhnya, tidak ada tonus otot
41
selama 2 menit)
Skor total
d. Pada pasien dalam pengaruh obat anestesi atau dalam kondisi sedasi
sedang, asesmen dan penanganan nyeri dilakukan saat pasien
menunjukkan respon berupa ekspresi tubuh atau verbal akan rasa
nyeri.
e. Asesmen ulang nyeri: dilakukan pada pasien yang dirawat lebih dari
beberapa jam dan menunjukkan adanya rasa nyeri, sebagai berikut:
i. Lakukan asesmen nyeri yang komprensif setiap kali melakukan
pemeriksaan fisik pada pasien
ii. Dilakukan pada: pasien yang mengeluh nyeri, 1 jam setelah
tatalaksana nyeri, setiap empat jam (pada pasien yang sadar/
bangun), pasien yang menjalani prosedur menyakitkan,
sebelum transfer pasien, dan sebelum pasien pulang dari rumah
sakit.
iii. Pada pasien yang mengalami nyeri kardiak (jantung), lakukan
asesmen ulang setiap 5 menit setelah pemberian nitrat atau
obat-obat intravena
iv. Pada nyeri akut / kronik, lakukan asesmen ulang tiap 30 menit
– 1 jam setelah pemberian obat nyeri.6
42
3. Pemeriksaan Fisik
a. Pemeriksaan umum
i. Tanda vital: tekanan darah, nadi, pernapasan, suhu tubuh
ii. Ukurlah berat badan dan tinggi badan pasien
iii. Periksa apakah terdapat lesi / luka di kulit seperti jaringan parut
akibat operasi, hiperpigmentasi, ulserasi, tanda bekas jarum suntik
iv. Perhatikan juga adanya ketidaksegarisan tulang (malalignment),
atrofi otot, fasikulasi, diskolorasi, dan edema.
b. Status mental
i. Nilai orientasi pasien
ii. Nilai kemampuan mengingat jangka panjang, pendek, dan segera.
iii. Nilai kemampuan kognitif
iv. Nilai kondisi emosional pasien, termasuk gejala-gejala depresi, tidak
ada harapan, atau cemas.
c. Pemeriksaan sendi
i. Selalu periksa kedua sisi untuk menilai kesimetrisan
ii. Nilai dan catat pergerakan aktif semua sendi, perhatikan adanya
keterbatasan gerak, diskinesis, raut wajah meringis, atau asimetris.
iii. Nilai dan catat pergerakan pasif dari sendi yang terlihat abnormal /
dikeluhkan oleh pasien (saat menilai pergerakan aktif). Perhatikan
adanya limitasi gerak, raut wajah meringis, atau asimetris.
iv. Palpasi setiap sendi untuk menilai adanya nyeri
v. Pemeriksaan stabilitas sendi untuk mengidentifikasi adanya cedera
ligamen.
d. Pemeriksaan motorik
i. Nilai dan catat kekuatan motorik pasien dengan menggunakan
kriteria di bawah ini.
Derajat Definisi
5 Tidak terdapat keterbatasan gerak, mampu melawan tahanan kuat
4 Mampu melawan tahanan ringan
3 Mampu bergerak melawan gravitasi
2 Mampu bergerak / bergeser ke kiri dan kanan tetapi tidak mampu
melawan gravitasi
1 Terdapat kontraksi otot (inspeksi / palpasi), tidak menghasilkan
43
pergerakan
0 Tidak terdapat kontraksi otot
e. Pemeriksaan sensorik
i. Lakukan pemeriksaan: sentuhan ringan, nyeri (tusukan jarum-pin
prick), getaran, dan suhu.
g. Pemeriksaan khusus
i. Terdapat 5 tanda non-organik pada pasien dengan gejala nyeri tetapi
tidak ditemukan etiologi secara anatomi. Pada beberapa pasien
dengan 5 tanda ini ditemukan mengalami hipokondriasis, histeria,
dan depresi.
ii. Kelima tanda ini adalah:
Distribusi nyeri superfisial atau non-anatomik
Gangguan sensorik atau motorik non-anatomik
Verbalisasi berlebihan akan nyeri (over-reaktif)
44
Reaksi nyeri yang berlebihan saat menjalani tes /
pemeriksaan nyeri.
Keluhan akan nyeri yang tidak konsisten (berpindah-pindah)
saat gerakan yang sama dilakukan pada posisi yang berbeda
(distraksi)
6. Pemeriksaan radiologi
a. Indikasi:
i. pasien nyeri dengan kecurigaan penyakit degeneratif tulang belakang
ii. pasien dengan kecurigaan adanya neoplasma, infeksi tulang
belakang, penyakit inflamatorik, dan penyakit vascular.
iii. Pasien dengan defisit neurologis motorik, kolon, kandung kemih,
atau ereksi.
iv. Pasien dengan riwayat pembedahan tulang belakang
v. Gejala nyeri yang menetap > 4 minggu
b. Pemilihan pemeriksaan radiologi: bergantung pada lokasi dan karakteristik
nyeri.
i. Foto polos: untuk skrining inisial pada tulang belakang (fraktur,
ketidaksegarisan vertebra, spondilolistesis, spondilolisis, neoplasma)
ii. MRI: gold standard dalam mengevaluasi tulang belakang (herniasi
diskus, stenosis spinal, osteomyelitis, infeksi ruang diskus,
keganasan, kompresi tulang belakang, infeksi)
45
iii. CT-scan: evaluasi trauma tulang belakang, herniasi diskus, stenosis
spinal.
iv. Radionuklida bone-scan: sangat bagus dalam mendeteksi perubahan
metabolisme tulang (mendeteksi osteomyelitis dini, fraktur kompresi
yang kecil/minimal, keganasan primer, metastasis tulang)
7. Asesmen psikologi
a. Nilai mood pasien, apakah dalam kondisi cemas, ketakutan, depresi.
b. Nilai adanya gangguan tidur, masalah terkait pekerjaan
c. Nilai adanya dukungan sosial, interaksi sosial
46
3. Parasetamol
a. Efek analgesik untuk nyeri ringan-sedang dan anti-piretik. Dapat
dikombinasikan dengan opioid untuk memperoleh efek anelgesik yang lebih
besar.
b. Dosis: 10 mg/kgBB/kali dengan pemberian 3-4 kali sehari. Untuk dewasa
dapat diberikan dosis 3-4 kali 500 mg perhari.
6. Anti-konvulsan
a. Carbamazepine: efektif untuk nyeri neuropatik. Efek samping: somnolen,
gangguan berjalan, pusing. Dosis: 400 – 1800 mg/hari (2-3 kali perhari).
Mulai dengan dosis kecil (2 x 100 mg), ditingkatkan perminggu hingga dosis
efektif.
47
b. Gabapentin: Merupakan obat pilihan utama dalam mengobati nyeri
neuropatik. Efek samping minimal dan ditoleransi dengan baik. Dosis: 100-
4800 mg/hari (3-4 kali sehari).
9. Tramadol
a. Merupakan analgesik yang lebih poten daripada OAINS oral, dengan efek
samping yang lebih sedikit / ringan. Berefek sinergistik dengan medikasi
OAINS.
b. Indikasi: Efektif untuk nyeri akut dan kronik intensitas sedang (nyeri kanker,
osteoarthritis, nyeri punggung bawahm neuropati DM, fibromyalgia,
neuralgia pasca-herpetik, nyeri pasca-operasi.
c. Efek samping: pusing, mual, muntah, letargi, konstipasi.
d. Jalur pemberian: intravena, epidural, rektal, dan oral.
e. Dosis tramadol oral: 3-4 kali 50-100 mg (perhari). Dosis maksimal: 400mg
dalam 24 jam.
f. Titrasi: terbukti meningkatkan toleransi pasien terhadap medikasi, terutama
digunakan pada pasien nyeri kronik dengan riwayat toleransi yang buruk
terhadap pengobatan atau memiliki risiko tinggi jatuh.
48
Jadwal titrasi tramadol
Protokol Titrasi Dosis inisial Jadwal titrasi Direkomendasikan
untuk
Titrasi 10-hari 4 x 50mg 2 x 50mg selama 3 hari. Lanjut usia
selama 3 hari Naikkan menjadi 3 x 50mg selama 3 Risiko jatuh
hari. Sensitivitas
Lanjutkan dengan 4 x 50mg. medikasi
Dapat dinaikkan sampai tercapai efek
analgesik yang diinginkan.
Titrasi 16-hari 4 x 25mg 2 x 25mg selama 3 hari. Lanjut usia
selama 3 hari Naikkan menjadi 3 x 25mg selama 3 Risiko jatuh
hari. Sensitivitas
Naikkan menjadi 4 x 25mg selama 3 medikasi
hari.
Naikkan menjadi 2 x 50mg dan 2 x
25mg selama 3 hari.
Naikkan menjadi 4 x 50mg.
Dapat dinaikkan sampai tercapai efek
analgesik yang diinginkan.
10. Opioid
a. Merupakan analgesik poten (tergantung-dosis) dan efeknya dapat ditiadakan
oleh nalokson.
b. Contoh opioid yang sering digunakan: morfin, sufentanil, meperidin.
c. Dosis opioid disesuaikan pada setiap individu, gunakanlah titrasi.
d. Adiksi terhadap opioid sangat jarang terjadi bila digunakan untuk
penatalaksanaan nyeri akut.
e. Efek samping:
i. Depresi pernapasan, dapat terjadi pada:
Overdosis : pemberian dosis besar, akumulasi akibat
pemberian secara infus, opioid long acting
Pemberian sedasi bersamaan (benzodiazepin, antihistamin,
antiemetik tertentu)
Adanya kondisi tertentu: gangguan elektrolit, hipovolemia,
uremia, gangguan respirasi dan peningkatan tekanan
intrakranial.
49
Obstructive sleep apnoes atau obstruksi jalan nafas
intermiten
ii. Sedasi: adalah indikator yang baik untuk dan dipantau dengan
menggunakan skor sedasi, yaitu:
0 = sadar penuh
1 = sedasi ringan, kadang mengantuk, mudah
dibangunkan
2 = sedasi sedang, sering secara konstan mengantuk,
mudah dibangunkan
3 = sedasi berat, somnolen, sukar dibangunkan
S = tidur normal
50
Perbandingan Obat-Obatan Anti-Emetik
Kategori Metoklopramid Droperidol, Ondansetron Proklorperazin,
butirofenon fenotiazin
Durasi (jam) 4 4-6 (dosis rendah) 8-24 6
24 (dosis tinggi)
Efek samping:
Ekstrapiramidal ++ ++ - +
Anti-kolinergik - + - +
sedasi + + - +
Dosis (mg) 10 0,25-0,5 4 12,5
Frekuensi Tiap 4-6 jam Tiap 4-6 jam Tiap 12 jam Tiap 6-8 jam
Jalur pemberian Oral, IV, IM IV, IM Oral, IV Oral, IM
f. Pemberian Oral:
i. sama efektifnya dnegan pemberian parenteral pada dosis yang
sesuai.
ii. Digunakan segera setelah pasien dapat mentoleransi medikasi oral.
g. Injeksi intramuscular:
i. merupakan rute parenteral standar yang sering digunakan.
ii. Namun, injeksi menimbulkan nyeri dan efektifitas penyerapannya
tidak dapat diandalkan.
iii. Hindari pemberian via intramuscular sebisa mungkin.
h. Injeksi subkutan
i. Injeksi intravena:
i. Pilihan perenteral utama setelah pembedahan major.
ii. Dapat digunakan sebagai bolus atau pemberian terus-menerus
(melalui infus).
iii. Terdapat risiko depresi pernapasan pada pemberian yang tidak sesuai
dosis.
j. Injeksi supraspinal:
i. Lokasi mikroinjeksi terbaik: mesencephalic periaqueductal gray
(PAG).
ii. Mekanisme kerja: memblok respons nosiseptif di otak.
iii. Opioid intraserebroventrikular digunakan sebagai pereda nyeri pada
pasien kanker.
k. Injeksi spinal (epidural, intratekal):
i. Secara selektif mengurangi keluarnya neurotransmitter di neuron
kornu dorsalis spinal.
51
ii. Sangat efektif sebagai analgesik.
iii. Harus dipantau dengan ketat
l. Injeksi Perifer
i. Pemberian opioid secara langsung ke saraf perifer menimbulkan efek
anestesi lokal (pada konsentrasi tinggi).
ii. Sering digunakan pada: sendi lutut yang mengalami inflamasi2
b. Nyeri visceral:
i. Nosiseptor visceral lebih setikit dibandingkan somatic, sehingga jika
terstimulasi akan menimbulkan nyeri yang kurang bisa dilokalisasi,
bersifat difus, tumpul, seperti ditekan benda berat.
ii. Penyebab: iskemi/nekrosis, inflamasi, peregangan ligament, spasme
otot polos, distensi organ berongga / lumen.
iii. Biasanya disertai dengan gejala otonom, seperti mual, muntah,
hipotensi, bradikardia, berkeringat.
c. Nyeri neuropatik:
i. Berasal dari cedera jaringan saraf
ii. Sifat nyeri: rasa terbakar, nyeri menjalar, kesemutan, alodinia (nyeri
saat disentuh), hiperalgesia.
iii. Gejala nyeri biasanya dialami pada bagian distal dari tempat cedera
(sementara pada nyeri nosiseptif, nyeri dialami pada tempat
cederanya)
iv. Biasanya diderita oleh pasien dengan diabetes, multiple sclerosis,
herniasi diskus, AIDS, pasien yang menjalani kemoterapi /
radioterapi.
52
4. Tatalaksana sesuai mekanisme nyerinya.7
a. Farmakologi: gunakan Step-Ladder WHO
i. OAINS efektif untuk nyeri ringan-sedang, opioid efektif untuk nyeri
sedang-berat.
ii. Mulailah dengan pemberian OAINS / opioid lemah (langkah 1 dan
2) dnegan pemberian intermiten (pro re nata-prn) opioid kuat yang
disesuaikan dengan kebutuhan pasien.
iii. Jika langkah 1 dan 2 kurang efektif / nyeri menjadi sedang-berat,
dapat ditingkatkan menjadi langkah 3 (ganti dengan opioid kuat dan
prn analgesik dalam kurun waktu 24 jam setelah langkah 1).
iv. Penggunaan opioid harus dititrasi. Opioid standar yang sering
digunakan adalah morfin, kodein.
v. Jika pasien memiliki kontraindikasi absolut OAINS, dapat diberikan
opioid ringan.
vi. Jika fase nyeri akut pasien telah terlewati, lakukan pengurangan
dosis secara bertahap
Intravena: antikonvulsan, ketamine, OAINS, opioid
Oral: antikonvulsan, antidepresan, antihistamin, anxiolytic,
kortikosteroid, anestesi lokal, OAINS, opioid, tramadol.
Rektal (supositoria): parasetamol, aspirin, opioid, fenotiazin
Topical: lidokain patch, EMLA
Subkutan: opioid, anestesi lokal7
53
3-Step WHO Analgesic Ladder8
*Keterangan:
patch fentanyl tidak boleh digunakan untuk nyeri akut karena tidak sesuai
indikasi dan onset kerjanya lama.
Untuk nyeri kronik: pertimbangkan pemberian terapi analgesik adjuvant
(misalnya amitriptilin, gabapentin).
*Istilah:
NSAID: non-steroidal anti-inflammatory drug
S/R: slow release
PRN: when required
54
Algoritma Pemberian Opioid Intermiten Intravena untuk Nyeri Akut8
ya
tidak
Saat dosis telah diberikan, lakukan Apakah diresepkan opioid IV? Minta untuk diresepkan
monitor setiap 5 menit selama
minimal 20 menit.
Tunggu hingga 30 menit dari Gunakan spuit 10ml
pemberian dosis terakhir sebelum Ambil 10mg morfin sulfat dan
mengulangi siklus. ya
campur dengan NaCl 0,9%
Dokter mungkin perlu untuk hingga 10ml (1mg/ml)
meresepkan dosis ulangan Berikan label pada spuit
Siapkan NaCl ATAU
Gunakan spuit 10ml
Ya, tetapi
Ambil 100mg petidin dan
telah
campur dengan NaCl 0,9%
diberikan Observasi rutin
hingga 10ml (10mg/ml)
dosis total ya
Berikan label pada spuit
tidak
ya
Keterangan:
Skor nyeri: Skor sedasi: *Catatan:
0 = tidak nyeri 0 = sadar penuh Jika tekanan darah sistolik
1-3 = nyeri ringan 1 = sedasi ringan, kadang mengantuk, mudah < 100mmHg: haruslah
4-6 = nyeri sedang dibangunkan dalam rentang 30% tekanan
7-10 = nyeri berat 2 = sedasi sedang, sering secara konstan mengantuk, darah sistolik normal
pasien (jika diketahui), atau
mudah dibangunkan
carilah saran/bantuan.
3 = sedasi berat, somnolen, sukar dibangunkan
S = tidur normal
55
Teruskan penggunaan OAINS IV jika diresepkan bersama dengan opioid.
c. Non-farmakologi:
i. Olah raga
ii. Imobilisasi
iii. Pijat
iv. Relaksasi
v. Stimulasi saraf transkutan elektrik8
56
b. Panduan umum:
i. Pemberian parenteral: 30 menit
ii. Pemberian oral: 60 menit
iii. Intervensi non-farmakologi: 30-60 menit.
6. Pencegahan
a. Edukasi pasien:
i. Berikan informasi mengenai kondisi dan penyakit pasien, serta
tatalaksananya.
ii. Diskusikan tujuan dari manajemen nyeri dan manfaatnya untuk
pasien
iii. Beritahukan bahwa pasien dapat mengubungi tim medis jika
memiliki pertanyaan / ingin berkonsultasi mengenai kondisinya.
iv. Pasien dan keluarga ikut dilibatkan dalam menyusun manajemen
nyeri (termasuk penjadwalan medikasi, pemilihan analgesik, dan
jadwal control).
b. Kepatuhan pasien dalam menjalani manajemen nyeri dengan baik
57
8. Berikut adalah algoritma asesmen dan manajemen nyeri akut:
Algoritma Asesmen Nyeri Akut
Anamnesis dan
pemeriksaan fisik
Asesmen nyeri
ya
Apakah etiologi nyeri Prioritas utama: identifikasi
bersifat reversibel? dan atasi etiologi nyeri
tidak
Nyeri bersifat tajam, menusuk, Nyeri bersifat difus, seperti Nyeri bersifat menjalar, rasa
terlokalisir, seperti ditikam ditekan benda berat, nyeri terbakar, kesemutan, tidak
tumpul spesifik.
58
Algoritma Manajemen Nyeri Akut7
tidak
Edukasi pasien
Lihat manajemen ya Terapi farmakologi
nyeri kronik. Konsultasi (jika perlu)
Pertimbangkan Apakah nyeri > Prosedur pembedahan
untuk merujuk ke 6 minggu? Non-farmakologi
spesialis yang
sesuai
ya
tidak
Kembali ke kotak Mekanisme Analgesik adekuat?
‘tentukan tidak nyeri sesuai?
mekanisme nyeri’ ya
ya
Efek samping Manajemen
pengobatan? efek samping
tidak
Follow-up /
nilai ulang
59
MANAJEMEN NYERI KRONIK
1. Lakukan asesmen nyeri:
a. anamnesis dan pemeriksaan fisik (karakteristik nyeri, riwayat manajemen
nyeri sebelumnya)
b. pemeriksaan penunjang: radiologi
c. asesmen fungsional:
i. nilai aktivitas hidup dasar (ADL), identifikasi kecacatan / disabilitas
ii. buatlah tujuan fungsional spesifik dan rencana perawatan pasien
iii. nilai efektifitas rencana perawatan dan manajemen pengobatan
60
iii. Nyeri inflamasi (dikenal juga dengan istilah nyeri nosiseptif):
Contoh: artritis, infeksi, cedera jaringan (luka), nyeri pasca-
operasi
Karakteristik: pembengkakan, kemerahan, panas pada
tempat nyeri. Terdapat riwayat cedera / luka.
Tatalaksana: manajemen proses inflamasi dengan antibiotic /
antirematik, OAINS, kortikosteroid.
4. Asesmen lainnya:
a. Asesmen psikologi: nilai apakah pasien mempunyai masalah psikiatri
(depresi, cemas, riwayat penyalahgunaan obat-obatan, riwayat penganiayaan
secara seksual/fisik.verbal, gangguan tidur)
b. Masalah pekerjaan dan disabilitas
c. Faktor yang mempengaruhi:
i. Kebiasaan akan postur leher dan kepala yang buruk
ii. Penyakit lain yang memperburuk / memicu nyeri kronik pasien
d. Hambatan terhadap tatalaksana:
i. Hambatan komunikasi / bahasa
ii. Faktor finansial
iii. Rendahnya motivasi dan jarak yang jauh terhadap fasilitas kesehatan
iv. Kepatuhan pasien yang buruk
v. Kurangnya dukungan dari keluarga dan teman
61
i. Buatlah rencana perawatan tertulis secara komprehensif (buat tujuan,
perbaiki tidur, tingkatkan aktivitas fisik, manajemen stress, kurangi
nyeri).
62
Rencana Perawatan Pasien Nyeri Kronik
1. Tetapkan tujuan
Perbaiki skor kemampuan fungsional (ADL) menjadi:____ pada tanggal: _________
Kembali ke aktivitas spesifik, hobi, olahraga____________ pada tanggal: _________
a. ____________________________________________
b. ____________________________________________
c. ____________________________________________
Kembali ke kerja terbatas/ atau kerja normal pada tanggal: __________
5. Kurangi nyeri (level nyeri terbaik minggu lalu: ____/10, level nyeri terburuk minggu lalu: ____/10)
Tatalaksana non-medikamentosa
a. Dingin/panas ___________________________________________
b. ______________________________________________________
Medikasi
a. ______________________________________________________
b. ______________________________________________________
c. ______________________________________________________
d. ______________________________________________________
Terapi lainnya: ___________________________________________________
63
ii. Pasien harus berpartisipasi dalam program latihan untuk
meningkatkan fungsi
iii. Dokter dapat mempertimbangkan pendekatan perilaku kognitif
dengan restorasi fungsi untuk membantu mengurangi nyeri dan
meningkatkan fungsi.
Beritahukan kepada pasien bahwa nyeri kronik adalah
masalah yang rumit dan kompleks. Tatalaksana sering
mencakup manajemen stress, latihan fisik, terapi relaksasi,
dan sebagainya
Beritahukan pasien bahwa focus dokter adalah manajemen
nyerinya
Ajaklah pasien untuk berpartisipasi aktif dalam manajemen
nyeri
Berikan medikasi nyeri yang teratur dan terkontrol
Jadwalkan control pasien secara rutin, jangan biarkan
penjadwalan untuk control dipengaruhi oleh peningkatan
level nyeri pasien.
Bekerjasama dengan keluarga untuk memberikan dukungan
kepada pasien
Bantulah pasien agar dapat kembali bekerja secara bertahap
Atasi keengganan pasien untuk bergerak karena takut nyeri.
iv. Manajemen psikososial (atasi depresi, kecemasan, ketakutan pasien)
64
anestesi regional: blok simpatik, blok epidural /
intratekal, infus epidural / intratekal
terapi berbasis-stimulasi: akupuntur, stimulasi
spinal, pijat
rehabilitasi fisik: bidai, manipulasi, alat bantu,
latihan mobilisasi, metode ergonomis
prosedur ablasi: kordomiotomi, ablasi saraf dengan
radiofrekuensi
terapi lainnya: hypnosis, terapi relaksasi
(mengurangi tegangan otot dan toleransi terhadap
nyeri), terapi perilaku kognitif (mengurangi perasaan
terancam atau tidak nyaman karena nyeri kronis)
65
iv. nyeri mekanis / kompresi
penyebab yang sering: tumor / kista yang menimbulkan
kompresi pada struktur yang sensitif dengan nyeri, dislokasi,
fraktur.
Penanganan efektif: dekompresi dengan pembedahan atau
stabilisasi, bidai, alat bantu.
Medikamentosa kurang efektif. Opioid dapat digunakan
untuk mengatasi nyeri saat terapi lain diaplikasikan.
66
Skor DIRE (Diagnosis, Intractibility, Risk, Efficacy) 9
67
dosis obat sedang-tinggi
2 = fungsi meningkat tetapi kurang efisien (tidak menggunakan opioid dosis
sedang-tinggi)
3 = perbaikan nyeri signifikan, fungsi dan kualitas hidup tercapai dengan dosis
yang stabil.
Skor total =D+I+R+E
Keterangan:
Skor 7-13: tidak sesuai untuk menjalani terapi opioid jangka panjang
Skor 14-21: sesuai untuk menjalani terapi opioid jangka panjang
d. Manajemen level 2
i. meliputi rujukan ke tim multidisiplin dalam manajemen nyeri dan
rehabilitasinya atau pembedahan (sebagai ganti stimulator spinal
atau infus intratekal).
ii. Indikasi: pasien nyeri kronik yang gagal terapi konservatif /
manajemen level 1.
iii. Biasanya rujukan dilakukan setelah 4-8 minggu tidak ada perbaikan
dengan manajemen level 1.
68
Berikut adalah algoritma asesmen dan manajemen nyeri kronik:
Algoritma Asesmen Nyeri Kronik
Asesmen nyeri
Anamnesis
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fungsi Pasien dapat mengalami jenis
nyeri dan faktor yang
mempengaruhi yang beragam
Tentukan mekanisme nyeri
Perifer (sindrom nyeri Nyeri miofasial Artropati inflamasi Nyeri punggung bawah
regional kompleks, neuropati (rematoid artritis) Nyeri leher
HIV, gangguan metabolik) Infeksi Nyeri musculoskeletal
Sentral (Parkinson, multiple Nyeri pasca-oparasi (bahu, siku)
sclerosis, mielopati, nyeri Cedera jaringan Nyeri viseral
pasca-stroke, sindrom
fibromyalgia)
tidak
Apakah nyeri kronik? Pantau dan observasi
ya
ya Atasi etiologi nyeri sesuai
Apakah etiologinya dapat
dikoreksi / diatasi? indikasi
tidak
Asesmen lainnya
69
Algoritma Manajemen Nyeri Kronik9
Prinsip level 1
Asesmen hasil
70
MANAJEMEN NYERI PADA PEDIATRIK
1. Prevalensi nyeri yang sering dialami oleh anak adalah: sakit kepala kronik, trauma,
sakit perut dan faktor psikologi
2. Sistem nosiseptif pada anak dapat memberikan respons yang berbeda terhadap
kerusakan jaringan yang sama atau sederajat.
3. Neonates lebih sensitif terhadap stimulus nyeri
4. Berikut adalah algoritma manajemen nyeri mendasar pada pediatrik:
Obat Non-obat
Analgesik Kognitif
Analgesik adjuvant Fisik
anestesi perilaku
Berikan umpan balik mengenai penyebab dan faktor yang mempengaruhi nyeri kepada orang tua (dan anak)
Berikan rencana manajemen yang rasional dan terintegrasi
Asesmen ulang nyeri pada anak secara rutin
Evaluasi efektifitas rencana manajemen nyeri
Revisi rencana jika diperlukan
71
5. Pemberian analgesik:
a. ‘By the ladder’: pemberian analgesik secara bertahap sesuai dengan level
nyeri anak (ringan, sedang, berat).
i. Awalnya, berikan analgesik ringan-sedang (level 1).
ii. Jika nyeri menetap dengan pemberian analgesik level 1, naiklah ke
level 2 (pemberian analgesik yang lebih poten).
iii. Pada pasien yang mendapat terapi opioid, pemberian parasetamol
tetap diaplikasikan sebagai analgesik adjuvant.
iv. Analgesik adjuvant
Merupakan obat yang memiliki indikasi primer bukan untuk
nyeri tetapi dapat berefek analgesik dalam kondisi tertentu.
Pada anak dengan nyeri neuropatik, dapat diberikan
analgesik adjuvant sebagai level 1.
Analgesik adjuvant ini lebih spesifik dan efektif untuk
mengatasi nyeri neuropatik.
Kategori:
Analgesik multi-tujuan: antidepressant, agonis
adrenergic alfa-2, kortikosteroid, anestesi topical.
Analgesik untuk nyeri neuropatik: antidepressant,
antikonvulsan, agonis GABA, anestesi oral-lokal
Analgesik untuk nyeri musculoskeletal: relaksan
otot, benzodiazepine, inhibitor osteoklas,
radiofarmaka.
72
ii. Karena pasien takut dengan jarum suntik, pasien dapat menyangkal
bahwa mereka mengalami nyeri atau tidak memerlukan pengobatan.
iii. Untuk mendapatkan efek analgesik yang cepat dan langsung,
pemberian parenteral terkadang merupakan jalur yang paling efisien.
iv. Opioid kurang poten jika diberikan per oral.
v. Sebisa mungkin jangan memberikan obat via intramuscular karena
nyeri dan absorbsi obat tidak dapat diandalkan.
vi. Infus kontinu memiliki keuntungan yang lebih dibandingkan IM, IV,
dan subkutan intermiten, yaitu: tidak nyeri, mencegah terjadinya
penundaan/keterlambatan pemberian obat, memberikan control nyeri
yang kontinu pada anak.
Indikasi: pasien nyeri di mana pemberian per oral dan opioid
parenteral intermiten tidak memberikan hasil yang
memuaskan, adanya muntah hebat (tidak dapat memberikan
obat per oral)
Obat-obatan non-opioid
Obat Dosis Keterangan
Parasetamol 10-15mg/kgBB oral, setiap Efek antiinflamasi kecil, efek gastrointestinal dan
73
4-6 jam hematologi minimal
Ibuprofen 5-10mg/kgBB oral, setiap 6- Efek antiinflamasi. Hati-hati pada pasien dengan
8 jam gangguan hepar/renal, riwayat perdarahan
gastrointestinal atau hipertensi.
Naproksen 10-20mg/kgBB/hari oral, Efek antiinflamasi. Hati-hati pada pasien dengan
terbagi dalam 2 dosis disfungsi renal. Dosis maksimal 1g/hari.
Diklofenak 1mg/kgBB oral, setiap 8-12 Efek antiinflamasi. Efek samping sama dengan
jam ibuprofen dan naproksen. Dosis maksimal
50mg/kali.
6. Terapi non-obat
a. Terapi kognitif: merupakan terapi yang paling bermanfaat dan memiliki efek
yang besar dalam manajemen nyeri non-obat untuk anak
74
b. Distraksi terhadap nyeri dengan mengalihkan atensi ke hal lain seperti music,
cahaya, warna, mainan, permen, computer, permainan, film, dan sebagainya.
c. Terapi perilaku bertujuan untuk mengurangi perilaku yang dapat
meningkatkan nyeri dan meningkatkan perilaku yang dapat menurunkan
nyeri.
d. Terapi relaksasi: dapat berupa mengepalkan dan mengendurkan jari tangan,
menggerakkan kaki sesuai irama, menarik napas dalam. 10
Terapi non-obat
Kognitif Perilaku Fisik
Informasi latihan pijat
Pilihan dan control terapi relaksasi fisioterapi
Distraksi dan atensi umpan balik positif stimulasi termal
Hypnosis modifikasi gaya hidup / perilaku stimulasi sensorik
psikoterapi akupuntur
TENS (transcutaneous
electrical nerve stimulation)
75
6. Asesmen nyeri pada geriatric yang valid, reliabel, dan dapat diaplikasikan
menggunakan Functional Pain Scale seperti di bawah ini:
Functional Pain Scale
Skala nyeri Keterangan
0 Tidak nyeri
1 Dapat ditoleransi (aktivitas tidak terganggu)
2 Dapat ditoleransi (beberapa aktivitas edikit terganggu)
3 Tidak dapat ditoleransi (tetapi masih dapat menggunakan telepon, menonton
TV, atau membaca)
4 Tidak dapat ditoleransi (tidak dapat menggunakan telepon, menonton TV,
atau membaca)
5 Tidak dapat ditoleransi (dan tidak dapat berbicara karena nyeri)
7. Intervensi non-farmakologi
a. Terapi termal: pemberian pendinginan atau pemanasan di area nosiseptif
untuk menginduksi pelepasan opioid endogen.
b. Stimulasi listrik pada saraf transkutan / perkutan, dan akupuntur
c. Blok saraf dan radiasi area tumor
d. Intervensi medis pelengkap / tambahan atau alternatif: terapi relaksasi,
umpan balik positif, hypnosis.
e. Fisioterapi dan terapi okupasi.
76
vi. Jika efek analgesik masih kurang adekuat, dapat menaikkan opioid
sebesar 50-100% dari dosis semula.
c. Analgesik adjuvant
i. OAINS dan amfetamin: meningkatkan toleransi opioid dan resolusi
nyeri
ii. Nortriptilin, klonazepam, karbamazepin, fenitoin, gabapentin,
tramadol, mexiletine: efektif untuk nyeri neuropatik
iii. Antikonvulsan: untuk neuralgia trigeminal.
Gabapentin: neuralgia pasca-herpetik 1-3 x 100 mg sehari
dan dapat ditingkatkan menjadi 300 mg/hari
19. Beberapa obat yang sebaiknya tidak digunakan (dihindari) pada lansia:
a. OAINS: indometasin dan piroksikam (waktu paruh yang panjang dan efek
samping gastrointestinal lebih besar)
77
b. Opioid: pentazocine, butorphanol (merupakan campuran antagonis dan
agonis, cenderung memproduksi efek psikotomimetik pada lansia); metadon,
levorphanol (waktu paruh panjang)
c. Propoxyphene: neurotoksik
d. Antidepresan: tertiary amine tricyclics (efek samping antikolinergik)
20. Semua pasien yang mengkonsumsi opioid, sebelumnya harus diberikan kombinasi
preparat senna dan obat pelunak feses (bulking agents).
21. Pemilihan analgesik: menggunakan 3-step ladder WHO (sama dengan manajemen
pada nyeri akut).
a. Nyeri ringan-sedang: analgesik non-opioid
b. Nyeri sedang: opioid minor, dapat dikombinasikan dnegan OAINS dan
analgesik adjuvant
c. Nyeri berat: opioid poten
22. Satu-satunya perbedaan dalam terapi analgesik ini adalah penyesuaian dosis dan hati-
hati dalam memberikan obat kombinasi
BAB IV
DOKUMENTASI
78
LAMPIRAN VII: PANDUAN PENOLAKAN RESUSITASI (DO NOT
RESUSITATION/DNR)
BAB I
DEFINISI
79
10. Pada pasien-pasien yang berhasil dilakukan RJP, beberapa diantaranya
berhasil mengalami pemulihan sempurna, beberapa pulih tetapi memiliki
masalah kesehatan dan tidak pernah kembali ke level normal sebelum terjadi
henti jantung/napas, beberapa mengalami kerusakan/cedera otak atau koma,
dan beberapa lainnya jatuh kembali ke dalam kondisi henti jantung/napas
sehingga harus dilakukan RJP ulang.
11. Tingkat keberhasilan RJP bergantung pada:
a. Penyebab terjadinya henti jantung/napas pada pasien
b. Penyakit/masalah medis mendasari
c. Kondisi kesehatan pasien secara umum
12. Seringnya pasien yang berhasil dilakukan RJP masih mengalami kondisi
yang sakit dan membutuhkan penanganan lebih lanjut, dan biasanya dirawat
di ICU.
Penting untuk mengidentifikasi pasien dimana terjadinya henti napas dan
jantung menandakan kondisi terminal penyakit pasien dan dimana usaha RJP
tidak akan membuahkan hasil (sia-sia).
Dalam menetapkan kebijakan DNR, penting untuk diketahui bahwa
kebijakan ini harus dipatuhi dan diikuti oleh seluruh tenaga kesehatan profesional
di tingkat primer, rumah sakit, dan petugas/tim transfer intra dan antar rumah
sakit.
Hak pasien untuk menolak RJP harus dihargai. Hal ini mungkin
dikarenakan pasien berpendapat bahwa dengan melakukan usaha RJP hanya akan
memperpanjang kualitas hidup yang buruk.
Kebijakan ini hanya berkaitan dengan usaha RJP, bukan dengan penundaan
atau pembatalan pemberian tatalaksana lainnya, seperti terapi antibiotik, nutrisi
parenteral, dan sebagainya.
A. Pengertian
1. Henti jantung adalah suatu kondisi dimana terjadi kegagalan jantung secara
mendadak untuk mempertahankan sirkulasi yang adekuat.
a. Hal ini dapat disebabkan oleh fibrilasi ventrikel, asistol, atau pulseless
electrical activity (PEA).
b. Untuk memperoleh RJP yang efektif, resusitasi harus dimulai sesegera
mungkin (< 3 menit setelah kejadian henti jantung).
80
c. Jika pasien ditemukan tidak bernapas, tidak adanya denyut nadi, dan pupil
dilatasi maksimal, hal ini bukanlah kejadian henti jantung dan tidal perlu
dilakukan tindakan resusitasi.
2. Resusitasi Jantung-Paru (RJP) : didefinisikan sebagai suatu sarana dalam
memberikan bantuan hidup dasar dan lanjut kepada pasien yang mengalami
henti napas atau henti jantung. RJP diindikasikan untuk : pasien tidak sadar,
tidak bernapas, dan yang tidak menunjukkan adanya tanda-tanda sirkulasi dan
tidak tertulis intruksi DNR di rekam medisnya.
3. Tindakan Do Not Resuscitate (DNR) : adalah suatu tindakan dimana jika
pasien mengalami henti jantung atau napas, paramedis tidak akan dipanggil
dan tidak akan dilakukan usaha resusitasi jantung-paru dasar maupun lanjut.
a. Jika pasien mengalami henti jantung atau napas, lakukan asesmen segera
untuk mengidentifikasi penyebab dan memeriksa posisi pasien, potensi
jalan napas, dan sebagainya. Tidak perlu melakukan usaha bantuan hidup
dasar maupun lanjut.
b. DNR tidak berarti semua tatalaksana/penanganan aktif terhadap kondisi
pasien diberhentikan. Pemeriksaan dan penanganan pasien (misalnya
terapi intravena, pemberian obat-obatan) tetap dilakukan pada pasien
DNR.
c. Semua perawatan mendasar harus terus dilakukan tanpa kecuali.
4. Fase/kondisi terminal penyakit : adalah kondisi yang disebabkan oleh cedera
atau penyakit, yang menurut perkiraan dokter atau tenaga medis lainnya tidak
dapat disembuhkan dan bersifat ireversibel, dan pada akhirnya akan
menyebabkan kematian dalam rentang waktuyang singkat, dan dimana
pengaplikasian terapi untuk memperpanjang/mempertahankan hidup hanya
akan berefek dalam memperlama proses penderitaan /sekarat pasien.
5. Pelayanan paliatif : adalah pemberian dukungan emosional dan fisik untuk
mengurangi nyeri/penderitaan pasien. Hal ini termasuk: pemberian nutrisi,
hidrasi, dan kenyamanan, kecuali terdapat intruksi spesifik untuk menunda
pemberian nutrisi/hidrasi.
6. Formulir Instruksi DNR di Luar Rumah Sakit yang valid: formulir tertulis
yang dinyatakan valid jika terisi lengkap dan ditandatangani oleh pasien/wali
sahnya dan dokter penanggung jawab pasien. Fotocopy yang dilegalisir
dianggap sah dan berlaku.
81
7. Gelang DNR: adalah gelang pengenal yang berarti bahwa pemakainya
memiliki instruksi DNR yang valid. Gelang ini harus telah disetujui oleh
pemerintah setempat, resmi, mudah dikenali, dan khusus/khas, dipakai
dipergelangan tangan tangan atau kaki. Gelang ini harus dikenali oleh Tim
Kegawatdaruratan Medis dan petugas kesehatan lainnya.
BAB II
RUANG LINGKUP
A. Penanggung Jawab
1. Diektur bertanggung jawab untuk memberikan implementasi kebijakan Do
Not Resuscitate (DNR). Fungsi ini didelegasikan kepada Manajer Medis.
2. Manajer Medis: memastikan setiap staf/petugas mengetahui dan mematuhi
kebijakan ini, serta memastikan dilakukannya audit kebijakan DNR.
3. Staf/Petugas Rumah Sakit: semua staf terlibat dalam pengambilan keputusan
tindakan DNR dan resusitasi memahami dan menerapkan kebijakan ini.
Penyimpangan-penyimpangan yang terjadi selama proses ini berlangsung
harus dilaporkan pada berkas/formulir insiden sesuai dengan algoritma yang
berlaku.
B. Pengambil Keputusan untuk DNR
1. Beberapa kondisi medis yang membutuhkan anestesi untuk intervensi operatif
pada pasien keputusan DNR adalah:
a. Alat bantu asupan nutrisi (misalnya feeding tube)
b. Pembedahan segera untuk kondisi yang tidak berhubungan dengan
penyakit kronis pasien (misalnya: apendisitis akut)
c. Pembedahan segera untuk kondisi yang berhubungan dengan penyakit
kronis pasien tetapi tidak dianggap sebagai suatu bagian dari proses
terminal penyakitnya (misalnya: ileus obstruktif)
d. Prosedur untuk mengurangi nyeri (misalnya: operasi fraktur kolum femur)
e. Prosedur untuk menyediakan akses vascular.
2. Pada situasi emergensi:
a. Tidak selalu ada cukup waktu untuk melakukan peninjauan ulang
mengenai keputusan DNR sebelum melakukan anestesi, pembedahan atau
resusitasi.
82
b. Akan tetapi, harus tetap dilakukan usaha untuk mengklarifikasi adanya
keputusan DNR dini/awal yang telah dibuat sebelumnya (jika
memungkinkan).
3. Fase pre-operatif:
a. Lakukan diskusi antara pasien/wali sah, keluarga, anestesiologi, dokter
bedah, dokter penanggung jawab pasien, dan perawat.
b. Lakukan asesmen mengenai:
1) Kondisi medis pasien, termasuk status mental dan kompetensi pasien
2) Intervensi pembedahan yang perlu dilakukan
3) Riwayat keputusan DNR sebelumnya termasuk:
a) Durasi batas waktu berlakunya keputusan tersebut
b) Siapa yang bertanggung jawab menetapkan keputusan tersebut
c) Alasan keputusan tersebut dibuat
4) Keputusan pertama yang dibuat adalah mengenai apakah pasian ini
perlu menjalani anestesi dan pembedahan (pertimbangan dari sudut
pandang pasien, keluarga, dokter bedah, anestesiologi).
5) Jika pembedahan dianggap perlu, tentukanlah batasan-batasan
tindakan resusitasi apa saja yang dapat dilakukan di fase pre-operatif,
lakukan komunikasi yang efektif, detail, dan terbuka dengan pasien,
keluarga, dan atau wali sah pasien.
6) Jika keputusan DNR telah dibuat dan disepakati, harus dicatat di
rekam medis pasien, ditandatangani oleh pihak-pihak yang terlibat,
dan cantumkan tanggal keputusan dibuat.
7) Lakukan prosedur pembedahan segera setelah keputusan dibuat dan
kondisi medis pasien memungkinkan untuk menjalani pembedahan.
4. Fase intra-operatif:
a. Keputusan DNR diaplikasikan selama pasien berada di kamar pasien
operasi.
b. Jika dilakukan pemberian premedikasi, haruslah sangat hati-hati untuk
menghindari terjadinya perubahan status fisiologis pasien sebelum di
trasfer ke kamar operasi.
c. Semua petugas kamar operasi harus mengetahui mengenai pilihan
keputusan DNR yang diambil.
83
d. Dokter bedah dan anestesiologi yang terlibat dalam konsultasi pre-operatif
harus hadir selama prosedur berlangsung.
5. Fase pasca-operatif:
a. Pilihan keputusan DNR harus dikomunikasikn kepada petugas di ruangan
pemulihan.
b. Pilihan ini akan tetap berlaku hingga pasien dipulangkan/dipindahkan dari
ruangan pemulihan.
c. Keputusan DNR sebelumnya harus ditinjau ulang saat terjadi alih rawat
pasien dari ruangan pemuliahan ke perawat di ruang rawat inap.
d. Pada kasus tertentu, keputusan DNR dapat diperpanjang batas waktunya
hingga pasien telah ditrasfer ke ruangan rawat inap pasca-operasi.
e. Harus ada audit rutin mengenai manjemen pasien dengan keputusan DNR
yang dijadwalkan untuk menjalani operasi.
6. Keputusan DNR Pada Pediatrik
a. Pada pasien anak (usia<18 tahun), diskusikan dengan orang tua pasien.
b. Orang tua harus mendapat informasi selengkap-lengkapnya mengenai
kondisi dan penyakit pasien, prosedur RPJ dan DNR.
c. Pertimbangkanlah juga kondisi emosianal dan tumbuh kembang pasien
anak.
d. Intruksi DNR harus diberitahukan kepada orang tua pasien, kecuali pada
kondisi berikut ini:
Jika RJP dianggap membahayakan atau bersifat non-terapeutik.
e. Di rekam medis harus tertulis hasil diskusi dokter dengan orang tua
pasien. Keputusan harus ditandatangani oleh dokter, perawat yang terlibat,
dan orang tua pasien.
f. Pada kasus tertentu, dimana orang tua tetap meminta dilakukan RPJ
meskipun tim medis telah memberitahukan bahwa tindakan RPJ ini
membahayakan pasien/bersifat nonterapeutik, orang tua diperboleh
mencari pendapat ekspertise lainnaya(second opinion) atau (juka orang tua
meminta) di perbolehkan melakukan transfer pasien jika kondisi pasien
memungkinkan untuk di trasfer.
g. Jika masih belum ditemukan kesepakatan antara tim medis dengan orang
tua pasien, lakukanlah proses peninjauan ulang (review) oleh tim medis
untuk menentukan apakah DNR perlu dilakukan atau tidak, seperti
tercantum di bawah ini:
84
1) Tim medis harus menkonfirmasi bahwa terdapat kesepakatan diantara
anggota timnya mengenai keputusan DNR pada pasien.
2) Meminta pendapat dokter lain di luar tim medis pasien (second
opinion) mengenai apakah RJP pada pasien ini bersifat non-
terapeutik/membahayakn.
3) Jika second opinion ini mendukung keputusan DNR, salah seorang
anggota tim medis harus menghubungi Komisi Etik untuk
menjadwalkan konsultasi etik.
4) Jika hasil dari konsultasi etik mendukung keputusan DNR, tim medis
harus memberitahukan/melaporkannya kepada Kepala Pelayanan
Medis dan Lembaga Hukum.
5) Jika Kepala Pelayanan Medis setuju dan Lembaga Hukum menyatakan
bahwa keterlibatan secara hukum tidak diperlukan, orang tua harus
diberitahu bahwa keputusan DNR akan dituliskan di rekam medis
pasien.
6) Jika orang tua masih tidak setuju dengan keputusan DNR ini, orang
tua sebaiknya diberikan kesempatan dan bantuan untuk mentransfer
pasien ke fasilitas lainnya yang bersedia untuk menerima pasien.
7) Jika tidak memungkinkan untuk mentransfer pasien, instruksi DNR
akan dituliskan di rekam medis pasien.
BAB III
TATA LAKSANA
Prinsip
a. Harus tetap ada anggapan untuk selalu melakukan resusitasi kecuali telah
dibuat keputusan secara lisan dan tertulis untuk melakukan resusitasi
(DNR).
b. Keputusan tindakan DNR ini harus dicatat di rekam medis pasien.
c. Komunikasi yang baik sangatlah penting.
d. Dokter harus berdiskusi dengan pasien yang memiliki kemungkinan henti
nafas/jantung mengenai tindakan apa yang pasien ingin tim medis lakukan
jika hal ini terjadi.
e. Pasien harus diberikan informasi selengkap-lengkapnya mengenai kondisi
dan penyakit pasien, prosedur tindakan dan hasil yang mungkin terjadi.
85
f. Tanggung jawab dalam mengambil keputusan DNR terletak pada
konsultan/dokter umum yang bertanggung jawab atas pasien. Jika terdapat
keraguan dalam mengambil keputusan, dapat meminta saran dari dokter
senior.
g. RJP sebaiknya tidak dilakukan pada kondisi-kondisi berikut ini:
1) RJP dinilai tidak dapat mengembalikan fungsi jantung dan pernafasan
pasien.
2) Pasien dewasa, yang kompeten secara mental dan memiliki kapasitas
untuk mengambil keputusan, menolak untuk dilakukan usaha RJP.
3) Terdapat alasan yang valid, kuat, dan dapat diterima mengenai
pengambilan keputusan untuk tidak melakukan tindakan RJP.
4) Terdapat perintah DNR sebelumnya yang valid, lengkap, dan dengan
alasan kuat.
5) Pada pasien-pasien yang berada dalam fase terminal
penyakitnya/sekarat, dimana tindakan RJP tidak dapat menunda fase
terminal/kondisi sekarat pasien dan tidak memberikan keuntungan
terapeutik (risik/berbahayanya melebihi keuntungannya).
a) Contoh: henti jantung/nafas yang dialami oleh pasien merupakan
kejadian alamiah akibat penyakit terminal yang diderita. Pada
kasus ini, RJP mungkin dapat mengembalikan fungsi jantung-paru
pasien secara sementara tetapi kondisi keseluruhan pada pasien
dapat memburuk dan henti jantung/nafas akan terjadi kembali,
yang merupakan bagian dari proses alamiah dan tidak dapat
terhindar dari proses sekarat/kematian pasien.
b) Melakukan RJP pada kasus ini akan membahayakan/merugikan
pasien dan bertolak belakang dengan etika kedokteran (prinsip’do
not harm’).
h. Semua pasien harus menjalani asesmen secara personal.
i. Pengambilan keputusan DNR harus merupakan langkah terbaik untuk
pasien dan harus didiskusikan dengan pasien meskipun tidak ada kewajiban
secara etika untuk mendiskusikan DNR dengan pasien-pasien yang
menjalani perawatan paliatif (dimana usaha RJP adalah sia-sia).
j. Diskusi dengan pasien dan keluarga merupakan hal yang penting dan
tergantung dengan kapasitas mental dan harapan hidup pasien. Diskusi
dapat dilakukan oleh konsultan rumah sakit, dokter umum atau perawat
86
yang bertugas. Staf harus memberitahukan hasil diskusi mereka dengan
pasien kepada dokter penanggung jawab pasien.
k. Jika pada situasi tertentu, terdapat perbedaan pendapat antara dokter dan
pasien mengenai tindakan DNR, dokter harus menghargai keinginan pasien
(yang kompeten secara mental).
l. Hasil diskusi dengan pasien dan atau keluarganya harus dicatat di rekam
medis pasien.
m. Di rekam medis, harus tercantum:
1) Tulisan ‘pasien ini tidak dilakukan resusitasi’
2) Tulis tanggal dan waktu pengambilan keputusan
3) indikasi/alasan tindakan DNR
4) Nama dokter penanggung jawab pasien
5) Ditandatangani oleh dokter penanggung jawab pasien yang mengambil
keputusan.
n. Pada pasien asing (luar negeri) dan populasi etnis minoritas dimana
terdapat kesulitan pemahaman bahasa, harus terdapat layanan penerjemah
yang kompeten.
o. DNR hanya berarti tidak dilakukan tindakan RJP. Penanganan dan
tatalaksana pasien lainnya tetap dilakukan dengan optimal.
p. Tindakan DNR dapat dipertimbangkan dalam kondisi-kondisi sebagai
berikut:
1) Pasien berada dalam fase terminal penyakitnya atau kerugian/penderitaan
yang dirasakan pasien saat menjalani terapi melebihi keuntungan
dilakukannya terapi.
2) Pasien, yang kompeten secara mental dan memiliki kapasitas untuk
mengambil keputusan, menolak untuk dilakukan usaha RJP.
3) RJP bertentangan dengan keputusan dini/awal yang dibuat oleh pasien,
yang bersifat valid dan matang, mengenai penolakan semua tindakan
untuk mempertahankan hidup pasien.
87
3. Pasien dengan keputusan dini ini tetap diberikan terapi/ penanganan lainnya,
seperti pemberian obat-obatan, cairan infuse, dan lain-lain.
4. Putuskanlah apakah diskusi mengenai keputusan DNR ini perlu dilakukan.
5. Berikut adalah beberapa kondisi dimana perlu dilakukan diskusi dengan
pasien:
a. Pasien yang kompeten secara mental menyatakan bahwa mereka ingin
mendiskusikan tindakan DNR dengan dokternya.
b. Usaha RJP dianggap memiliki harapan untuk berhasil tetapi dapat
mengakibatkan kualitas hidup yang buruk bagi pasien.
c. Hal yang mendasari keputusan DNR adalah tidak adanya keuntungan
dalam hal medis. Diskusi harus ditekankan untuk membuat pasien
menyadari, memahami, dan menerima kondisi penyakitnya serta
menerima hasil keputusan yang telah didiskusikan. Diskusi juga
membahas mengenai manajemen paliatif dan prognosis secara
keseluruhan.
6. Berikut adalah beberapa kondisi dimana tidak perlu dilakukan diskusi
dengan pasien:
a. Jika resusitasi dianggap tidak ada gunanya/ sia-sia.
b. Diskusi berpengaruh buruk terhadap kesehatan pasien, misalnya pasien
menjadi depresi.
c. Pasien yang kompeten secara mental menyatakan bahwa mereka tidak
ingin mendiskusikan hal tersebut.
d. Pasien mengalami deteriorasi, misalnya pasien berada dalam fase
sekarat/terminal dari penyakitnya.
e. Pasien dinilai tidak memiliki kapasitas yang adekuat untuk mengambil
keputusan.
7. Pasien diperbolehkan untuk mengambil keputusan dini akan penolakan
tindakan penyelamatan hidup dengan memenuhi beberapa persyaratan di
bawah ini:
a. Usia pasien harus > 18 tahun.
b. Pasien harus kompeten dan memiliki kapasitas yang baik secara mental
untuk mengambil keputusan.
c. Keputusan ini harus tertulis, yang berarti harus ditulis oleh pasien sendiri
atau keluarga/kerabat yang dipercaya oleh pasien, dan harus dicatat di
rekam medis.
88
d. Harus ditandatangani oleh 2 orang, yaitu:
1) Penulis/pembuat keputusan atau oleh orang lain atas nama pasien
sambil diarahkan oleh pasien (jika pasien tidak mampu
menandatangani sendiri).
2) 1 oang lain sebagai saksi.
e. Harus diverifikasi oleh pernyataan spesifik yang dilakukan oleh pembuat
keputusan, dapat dituliskan di dokumen lain/terpisah, yang menyatakan
bahwa keputusan dini ini diaplikasikan untuk tindakan/penanganan
spesifik, bahkan jika terdapat resiko kematian.
f. Pernyataan keputusan dini di dokumen terpisah ini juga harus
ditandatangani dan disaksikan oleh 2 orang (salah satunya pasien).
8. Diskusi antara dokter dengan keluarga pasien mengenai keputusan ini harus
atas izin pasien.
9. Jika pasien tidak kompeten secara mental, diskusi dapat dilakukan dengan
keluarga/wali sah pasien dengan mempertimbangkan kondisi dan keinginan
pasien. Jika tidak terdapat keluarga/wali yang sah, keputusan dapat diambil
oleh dokter penanggung jawab pasien.
10. Jika terdapat situasi dimana pasien kehilangan kompetensinya untuk
mengambil keputusan tetapi telah membuat ‘keputusan dini DNR’
sebelumnya yang valid, keputusan ini haruslah tetap dihargai.
11. Dokter dapat tidak mengindahkan keputusan dini yang dibuat oleh pasien,
jika terdapat hal-hal berikut ini:
a. Pasien telah melakukan hal-hal yang tidak konsisten terhadap keputusan
dini/awal yang dibuat, yang mempengaruhi validitas keputusan tersebut
(misalnya, pasien pindah agama)
b. Terdapat situasi yang tidak diantisipasi oleh pasien dan situasi tersebut
dapat mempengaruhi keputusan pasien (misalnya, perkembangan terkini
dalam tatalaksana pasien yang secara drastis mengubah prospek kondisi
tertentu pasien).
c. Situasi/kondisi yang ada tidak jelas dan tidak dapat di prediksi.
d. Terdapat perbedaan/perselisihan mengenai validitas keputusan dini/awal
dan kasus tersebut telah dibawa ke pengadilan.
12. Jika terdapat keraguan terhadap apa yang pasien inginkan/maksudkan,
paramedis harus bertindak sesuai dengan kepentingan/hal yang terbaik untuk
pasien. Dapat meminta saran dokter senior juga.
89
13. Tatalaksana emergensi tidak boleh tertunda hanya karena mencari ada
tidaknya instruksi DNR pasien jika tidak terdapat indikasi jelas bahwa
instruksi tersebut ada.
14. Pasien tidak diperbolehkan menolak perawatan dasar yang diberikan.
15. Perawatan dasar ini didefinisikan sebagai pemberian tempat tidur yang
nyaman dan hangat, penguranagn rasa sakit/analgesik, manajemen gejala-
gejala yang memicu stress fisik (seperti sesak napas, muntah, inkontinensia),
dan manajemen higiene/kebersihan diri pasien.
16. Jika pasien tetap menolak perawatan dasar, dokter yang bertugas sebaiknya
meminta saran dari dokter senior dan masalah ini dapat juga dibawa ke
komisi etik.
17. Rumah sakit sebaiknya membuat kerangka konsep dalam hal mengambil
keputusan DNR.
90
e. “Beberapa orang memiliki pandangan yang kuat terhadap seberapa banyak
penanganan yang ingin mereka terima jika mereka menjadi sangat sakit.
Saya ingin tahu apakah Anda pernah memikirkan hal itu”.
8. Pemilihan waktu untuk berdiskusi:
a. Bukan waktu yang bagus untuk melakukan diskusi segera setelah
diagnosis ditegakkan.
b. Waktu diskusi yang terbaik adalah saat diagnosis dan prognosis sudah
jelas dan saat pasien telah mengetahui dan menerima penyakitnya.
9. Berusahalah untuk membangun pemahaman pasien mengenai situasinya
saat ini, sifat dasar resusitasi, kemungkinan tingkat keberhasilan resusitasi
jika dilakukan, harapan dan keinginan pasien. Pasien dan keluarganya
sering memiliki harapan/ ekspektasi yang tidak realistis dari nilai resusitasi.
10. Berikan informasi mengenai RJP menggunakan kata-kata sederhana yang
dapat dimengerti oleh pasien.
11. Tingkat pemberian informasi harus dinilai dari respons dan pemahaman
setiap pasien.
12. Jika tidak tercapai kesepakatan, diberikan pendapat dari sudut pandang
dokter (paramedis) mengenai kondisi pasien dan tindakan RJP. Dapat
dengan menyatakan: “Pendapat saya mungkin berbeda dengan apa yang
Anda inginkan. Karena alasan itulah saya ingin berdiskusi dengan Anda.”
13. Cobalah untuk mengerti:
a. Sudut pandang pasien
b. Nilai-nilai yang dianut oleh pasien
c. Ruang lingkup pengaplikasian (misalnya, penanganan apa saja yang
dijalani pasien)
14. Catat sudut pandang pasien, nilai-nilai yang dianut oleh pasien, dan ruang
lingkup pengaplikasian rekam medis.
15. Diskusikan keputusan mengenai RJP dalam konteks positif sebagai bagian
dari perawatan suportif. Banyak pasien yang merasa takut
diabaikan/ditelantarkan dan merasa nyeri, melebihi rasa takutnya akan
kematian.
16. Petugas harus menekankan mengenai terapi-terapi mana saja yang akan
tetap diberikan, pasien masih akan tetap dikunjungi oleh dokter secara
teratur, pengendalian nyeri, dan memberikan kenyamanan kepada pasien.
91
17. Penting untuk memisahkan/membedakan keputusan DNR dengan
keputusan mengenai manajemen pasien lainnya.
18. Dengan memberikan kesempatan kepada pasien untuk berdiskusi dengan
dokter, akan membuat pasien merasa dihargai dan menurunkan tingkat
kecemasan/stress pasien juga.
92
2) Pilihan kedua: keputusan DNR dimodifikasi, dengan mengizinkan
pemberian obat-obatan dan teknik anestesi yang sejalan/sesuai dengan
pemberian anestesi. Hal ini termasuk:
a) Monitor EKG, tekanan darah, oksigenasi, dan monitor intraoperatif
lainnya.
b) Manipulasi sementara dalam menjaga jalan napas dan pernapasan
dengan intubasi dan ventilasi, jika diperlukan dan dengan
pemahaman bahwa pasien akan bernapas secara spontan di akhir
prosedur.
c) Penggunaan vasopressor atau obat anti-aritmia untuk mengkoreksi
stabilitas kardiovaskular yang berhubungan dengan pemberian
anestesi dan pembedahan.
d) Penggunaan kardioversi atau defibriator untuk mengkoreksi
aritmia harus didiskusikan sebelumnya dengan pasien/wali sahnya.
Lakukan diskusi mengenai pemberian kompresi dada.
3) Pilihan ketiga: keputusan DNR tetap berlaku (tidak ada perubahan).
a) Pada beberapa kasus, pilihan ini tidak sesuai dengan pemberian
anestesi umum dalam pembedahan
b) Pasien dapat menjalani prosedur pembedahan minor dengan tetap
mempertahankan keputusan DNR-nya.
c) Anestesiologi harus berdiskusi dan membuat kesepakatan dengan
pasien/wali sah mengenai intervensi apa saja yang diperbolehkan,
seperti: kanulasi intravena, pemberian cairan intravena, sedasi,
analgesic, monitor obat vasopressor, obat anti-aritmia, oksigenasi,
atau intervensi lainnya.
e. Pilihan yang telah disepakati harus dicatat di rekam medis pasien.
f. Pilihan DNR ini harus dikomunikasikan kepada semua petugas medis
yang terlibat dalam perawatan pasien di dalam kamar operasi dan ruang
pemulihan.
g. Secara hukum yang berwenang untuk membuat keputusan DNR ini
adalah:
1) Pasien dewasa yang kompeten secara mental
2) Wali sah pasien (jika pasien tidak kompeten secara mental)
93
3) Dokter penanggung jawab pasien, yang bertindak dengan
mempertimbangkan tindakan terbaik untuk pasien (jika belum ada
keputusan DNR dini/awal yang telah dibuat oleh pasien/wali sahnya).
h. Jika setelah diskusi masih belum terdapat kesepakatan mengenai pilihan
DNR mana yang digunakan, penggunaan keputusan tetaplah diberikan ke
pasien/wali sahnya.
i. Jika terdapat keraguan atau ketidakjelasan mengenai siapa yang
berwenang untuk membuat keputusan DNR, atau terdapat keraguan
mengenai validitas suatu keputusan DNR dini/awal, atau terdapat
keraguan mengenai tindakan apa yang terbaik untuk pasien, segeralah
mencari saran kepada komisi etik atau lembaga hukum setempat.
j. Dalam kondisi gawat darurat, dokter harus membuat keputusan yang
menurutnya terbaik untuk pasien dengan menggunakan semua informasi
yang tersedia.
k. Pilihan keputusan DNR ini harus diaplikasikan selama pasien berada di
kamar operasi dan ruang pemulihan.
l. Keputusan DNR ini haruslah ditinjau ulang saat pasien kembali ke ruang
rawat inap.
94
G. Instruksi DNR Pada Pasien Di Luar Rumah Sakit
1. Pada situasi kasus emergensi yang terjadi di luar rumah sakit, usaha RJP
memiliki angka keberhasilan yang lebih rendah pada pasien dengan usia
sangat lanjut atau memiliki penyakit berat/terminal.
2. Saat itu, banyak pasien-pasien dengan kondisi tersebut memilih untuk
meninggal dengan tenang dan tidak ingin menjalani intervensi yang agresif,
seperti RJP. Banyak juga pasien yang memilih dirawat di tumah sampai akhir
usianya tiba.
3. Protokol pelayanan Kegawatdaruratan Medis menyatakan bahwa inisiasin RJP
ditujukan kepada semua pasien yang mengalami henti jantung/napas, kecuali
pasien telah ditemukan meninggal sebelumnya dengan tanda-tanda kematian
yang jelas atau pasien memiliki instruksi tertulis DNR yang valid dan
ditandatangani oleh dokter.
H. Penatalaksanaan
1. Tim Kegawatdaruratan Medis akan melakukan usaha RJP pada semua pasien
yang ditemukan henti nafas/jantung kecuali jika pasien tersebut memiliki
instruksi DNR yang valid.
2. Jika pasien dengan henti jantung/nafas memiliki instruksi DNR, tim
kegawatdaruratan medis harus:
a. Melakukan asesmen mengenai tidak adanya pernafasan dan atau denyut
jantung.
b. Jika petugas tiba di tempat kejadian tanpa mobil rawat intensif (MICU),
ikuti protocol setempat.
3. Jika pasien dengan instruksi DNR yang valid tidak berada dalam kondisi henti
jantung/nafas, tim kegawatdaruratan medis harus:
a. Melakukan asesmen pasien.
b. Menyediakan semua tatalaksana yang sesuai.
c. Menyediakan transportasi ke rumah sakit, jika diperlukan.
d. Menghargai dan memauhi instruksi DNR jika terjadi henti nafas/jantung
pada pasien selama transfer.
e. Memberikan salinan instruksi DNR ke rumah sakit penerima, jika tersedia.
4. Saat memutuskan untuk membuat instruksi DNR, dokter tidak boleh
mempengaruhi keinginan pasien/wali sahnya.
95
5. Instruksi DNR dapat dibatalkan kapapun oleh pasien dengan
merusak/menyobek formulir dan gelang DNR, atau dengan menyatakan
secara lisan .
6. Validitas Instruksi DNR:
a. Hanya dokter penanggung jawab pasien yang boleh menulis instruksi
DNR untuk pasien yang dirawat di rumah.
b. Hubungi dokter penanggung jawab pasien untuk mendiskusikan
pembuatan instruksi DNR.
c. Pastikan formulir DNR telah diisi dengan lengkap oleh dokter, termasuk
tanda tangan dan alamat pasien/wali sah; nama, alamat, nomor telepon,
dan tanda tangan dokter; dan tanggal pembuatannya.
d. Gelang DNR dapat diperoleh dari dokter atau rumah sakit tempat pasien
berobat. (lihat Lampiran 5 mengenai panduan gelang DNR)
e. Simpan salinan instruksi DNR di rumah dan selalu dibawa oleh pasien
kemanapun dia pergi.
f. Pastikan semua keluarga/wali pasien mengetahui instruksi DNR ini.
7. Pada pasien di panti jompo: perawat pasien diperbolehkan untuk menulis
instruksi DNR dan ‘penolakan untuk dirawat di rumah sakit’ (do not
hospitalized), berdasarkan hasil konsultasi dengan dokter.
a. Prosedur Dasar
1) Memperoleh izin persetujuan tertulis (informed consent) dari
pasien/wali sahnya.
2) Melengkapi informasi instruksi DNR di luar rumah sakit. Berikan
salinan direkam medis pasien. Berikan nenenrapa salinan kepada
pasien dan atau keluarga/pengasuh di luara rumah sakit/panti jompo.
3) Informasikan kepada pasien dan atau pengasuh mengenai penggunaan
formulir DNR ini anjurkan agar formulir ini diletakkan di tempat-
tempat yang mudah terlihat di rumah (misalnya: papan harian pasien,
senderan ranjang, pintu kamar tidur atau kulkas).
4) Pasien boleh menggunakan gelang DNR (tidak wajib). Gelang ini
harus dianggap valid dan mengindikasikan bahwa pasien memiliki
instruksi DNR di luar rumah sakit. Dokter harus menginformasikan
kepada pasien/wali sahnya mengenai ketersediaan gelang DNR
sebagai sarana tambahan untuk memberitahu Tim Kegawatdaruratan
Medis.
96
5) Lakukan peninjauan ulang terhadap status DNR secara periodik
dengan pasien/wali sahnya, lakukan revisi terhadap rencana
penanganan pasien (jika diperlukan), dan catatlah di rekam medis
pasien. Jika instruksi DNR ini dibatalkan, berikan instruksi untuk
menghancurkan/menyobek formulir DNR dan melepas gelang DNR.
97
4. Pasien/wali sahnya dapat meminta gelang DNR ini di rumah sakit tempat
pasien berobat dengan membawa formulir DNR tertulis yang didapat dari
dokter.
BAB IV
DOKUMENTASI
98
LAMPIRAN VIII: PANDUAN PELAYANAN KEROHANIAN
BAB I
DEFINISI
99
BAB II
RUANG LINGKUP
100
12. Tidak dibenarkan untuk memberikan keterangan dan/atau pendapat
dan/atau motivasi yang bertentangan dengan keterangan dokter, tenaga
medis, dan Peraturan Rumah sakit.
13. Tidak dibenarkan untuk mempengaruhi pasien terkait pengambilan
keputusan persetujuan tindakan yang akan dilakukan oleh dokter terhadap
pasien.
14. Tidak dibenarkan untuk membebankan biaya apapun terhadap pasien.
BAB III
TATA LAKSANA
BAB IV
DOKUMENTASI
101
LAMPIRAN IX: PANDUAN PERLINDUNGAN HARTA DAN BENDA MILIK
PASIEN
BAB I
DEFINISI
1. Barang milik pasien adalah segala sesuatu yang dimiliki oleh pasien
rumah sakit baik pasien rawat jalan mau pun pasien yang sedang
dalam rawatan rumah sakit yang mempunyai arti dan bisa dinilai
dengan uang.
2. Perlindungan adalah proses menjaga atau perbuatan untuk
melindungi.
3. Tempat penyimpanan / penitipan barang adalah suatu sarana atau
tempat untuk menyimpan barang-barang berharga milik pasien rumah
sakit yang tertutup dan terkunci serta jauh dari jangkauan pihak luar.
BAB II
RUANG LINGKUP
102
4. Setiap pasien/pengunjung/karyawan yang berada dalam Rumah Sakit
harus berusaha menjaga harta benda pribadi.
5. Tujuan utama perlindungan harta benda adalah untuk menjaga
keamanan yang memiliki harta benda tersebut.
6. Perlindungan harta benda digunakan pada proses
pasien/pengunjung/karyawan yang masuk dalam Rumah Sakit atau
selama berada dalam lingkungan Rumah Sakit.
103
b. Menyelidiki semua insiden salah perlindungan harta benda
pasien dan memastikan terlaksananya suatu tindakan untuk
mencegah terulangnya kembali kejadian tersebut.
BAB III
TATA LAKSANA
104
BAB IV
DOKUMENTASI
105
LAMPIRAN X: PANDUAN PERLINDUNGAN PASIEN TERHADAP
KEKERASAN FISIK
BAB I
DEFINISI
106
rumah sakit dan pasien lain serta menjamin keselamatan kelompok pasien
berisiko yang mendapat pelayanan di Rumah Sakit.
BAB II
RUANG LINGKUP
BAB III
TATA LAKSANA
107
5. Pascabedah;
6. Gangguan kesadaran;
7. Ibu hamil
8. Pasien dengan total care
108
dalam asuhan masuk ke tempat tidur /wali ( peraturan
RS)
3 Pasien cacat; 1. Akses difabel di beri Railling di kamar
petunjuk jelas mandi
2. Penyiapan toilet dengan
closet duduk
4 Manula 1. Pencegahan risiko jatuh 1. Pembatasan jam
2. Railling pada selasar RS kunjung
2. Verifikasi tamu
pengunjung di luar
jam bezoek
3. Tamu berkunjung di
luar jam bezoek di
catat di satpam
4. CCTV pada akses
pengunjung, di cek
berkala
4 Pascabedah; Pencegahan risiko jatuh 1. Pembatasan jam
kunjung
2. Verifikasi tamu
pengunjung di luar
jam bezoek
3. Tamu berkunjung di
luar jam bezoek di
catat di satpam
4. CCTV pada akses
pengunjung
5 Gangguan 1. Pembatasan jam
kesadaran; kunjung
2. Verifikasi tamu
pengunjung di luar
jam bezoek
3. Tamu berkunjung di
luar jam bezoek di
catat di satpam
109
4. CCTV pada akses
pengunjung
6 Ibu hamil 1. Peringatan penyampaian CCTV di area
kondisi hamil pada publik
petugas Rontgen
2. Penyampaian pada
petugas medis untuk
kondisi hamil untuk
pemilihan obat yang
aman
3. Pegangan sepanjang
tangga
7 Pasien dengan Papan catatan perawat 1. Pembatasan jam
total care untuk pasien total care, kunjung
harus di dahulukan 2. Verifikasi tamu
dalam evakuasi pengunjung di luar
jam bezoek
3. Tamu berkunjung di
luar jam bezoek di
catat di satpam
4. CCTV pada akses
pengunjung
110
operasi
3 Area semi terbuka, yaitu 1. Pembatasan jam kunjung
area yang terbuka pada 2. Verifikasi tamu pengunjung di luar jam
saat-saat tertentu dan bezoek
tertutup pada saat yang 3. Tamu berkunjung di luar jam bezoek di
lain, misalnya rawat inap catat di satpam
pada saat jam berkunjung 4. CCTV pada akses pengunjung
menjadi area terbuka, 5. Kode Kedaruratan
tetapi di luar jam
berkunjung menjadi area
tertutup untuk itu
pengunjung di luar jam
berkunjung harus diatur,
diidentifikasi, dan
menggunakan identitas
pengunjung
BAB IV
DOKUMENTASI
Pelaporan secara periodik kasus – kasus kelalaian dan kekerasan, melalui manager
masing – masing dan di teruskan ke direktur setiap bulan
111
LAMPIRAN XI: PANDUAN PELAYANAN PASIEN TERMINAL
BAB I
DEFINISI
1. Pelayanan pada tahap terminal adalah pelayanan yang diberikan untuk pasien
yang mengalami sakit atau penyakit yang tidak mempunyai harapan untuk
sembuh dan menuju pada proses kematian dalam 6 (enam) bulan atau kurang.
Pasien yang berada pada tingkat akhir hidupnya memerlukan pelayanan yang
berfokus akan kebutuhannya yang unik. Pasien dalam tahap ini dapat
menderita gejala lain yang berhubungan dengan proses penyakit atau terapi
kuratif atau memerlukan bantuan berhubungan dengan faktor psikososial,
agama, dan budaya yang berhubungan dengan proses kematian.
2. Keluarga dan pemberi layanan dapat diberikan kelonggaran melayani pasien
tahap terminal dan membantu meringankan rasa sedih dan kehilangan.
Penyakit terminal adalah suatu penyakit yang tidak bisa disembuhkan lagi.
Kematian adalah tahap akhir kehidupan. Kematian bisa datang tiba-tiba tanpa
peringatan atau mengikuti periode sakit yang panjang. Terkadang kematian
menyerang usia muda, tetapi selalu menunggu yang tua. Kondisi terminal
adalah suatu proses yang progresif menuju kematian berjalan melalui suatu
tahapan proses penurunan fisik, psikososial, dan spiritual bagi individu.
(Carpenito, 1995).
3. Sakaratul maut (dying) adalah merupakan kondisi pasien yang sedang
menghadapi kematian, yang memiliki berbagai hal dan harapan tertentu untuk
meninggal.
4. Kematian (death) merupakan kondisi terhentinya pernafasan, nadi, dan
tekanan darah serta hilangnya respons terhadap stimulus eksternal, ditandai
dengan terhentinya aktifitas otak atau terhentinya fungsi jantung dan paru
secara menetap.
112
BAB II
RUANG LINGKUP
BAB III
TATA LAKSANA
113
c. Melakukan intervensi untuk mengurangi rasa nyeri, secara primer atau
sekunder, serta memberikan pengobatan sesuai permintaan pasien dan
keluarga.
d. Menyediakan akses terapi lainnya yang secara realitas diharapkan dapat
memperbaiki kualitas hidup pasien. Mencakup terapi alternativ dan terapi
non tradisional.
e. Melakukan intervensi dalam masalah keagamaan dan aspek budaya
pasien dan keluarga.
f. Melakukan assesmen status mental terhadap keluarga yang ditinggalkan
serta edukasi terhadap mekanisme penanganannya.
g. Peka dan tanggap terhadap harapan keluarganya.
h. Menghormati hak pasien untuk menolak pengobatan atau tindakan medis
lainnya.
i. Mengikutsertakan keluarga dalam pemberian pelayanan.
114
5) Sarung tangan (Hands scouen)
6) Bengkok (piala ginjal)
7) Baskom
8) Waslap
9) Kantong plastik kecil (tempat perhiasan)
10) Kartu identitas pasien atau gelang identitas
11) Kain kaffan
12) Kapas lipat lembab dalam Koran
13) Kassa berminyak dalam kom
14) Kapas lipat kering dalam kom
15) Kapas alokohol dalam kom
16) Lysol 2-4 %
17) Ember bertutup
b. Prosedur
1) Memberitahukan kepada keluarga pasien
2) Mempersiapkan peralatan dan dekatkan ke jenazah
3) Mencuci tangan
4) Memakai celemek atau skort
5) Memakai sarung tangan (Hands scoen)
6) Melepas perhiasan dan benda-benda berharga lain dan berikan
kepada keluarga pasien (dimasukkan dalam kantong plastik)
7) Melepas peralatan invasive (infus set, kateter, NGT Tube, dan lain-
lain)
8) Membersihkan mata pasien dengan kassa, kemudian ditutup dengan
kapas berminyak
9) Membersihkan bagian hidung dengan kassa, kemudian ditutup
dengan kapas berminyak
10) Membersihkan bagian telinga dengana kassa, kemudian ditutup
dengan kapas berminyak
11) Membersihkan bagian mulut dengan kassa
12) Merapikan rambut jenazah dengan sisir
13) Mengikat dagu (dari bawah dagu sampai ke atas kepala) dengan
verban gulung
14) Menurunkan selimut sampai ke bawah kaki
115
15) Membuka pakaian bagian atas jenazah, kemudian tempatkan dalam
ember
16) Melipat kedua tangan dan arahkan ke bagian perut, kemudian
mengikatnya pada pergelangan tangan dengan verban gulung
17) Membuka pakaian bagian bawah jenazah, kemudian tempatkan
dalam ember
18) Membersihkan genetalia dengan kassa kering dan waslap
19) Membersihkan bagian anus dengan cara memiringkan jenazah ke
arah kiri dengan meminta bantuan keluarga
20) Memasukkan kassa berminya ke dalam anus jenazah
21) Melepaskan stcik laken dan perlak bersamaan dengan
membentangkan kain kaffan, lipat stick laken dan taruh dalam ember
22) Kembalikan jenazah ke posisi semula
23) Mengikat kaki di bagian lutut jenazah, pergelangan kaki, dan jari-jari
jempol dengan menggunakan peban gulung
24) Mengikatkan identitas jenazah pada jempol kaki
25) Membuka boven laken bersamaan dengan pemasangan kain kaffan
26) Jenazah dirapikan dan dipindahkan ke brankart
27) Alat-alat tenun dilepas dan dimasukkan ke dalam ember serta melipat
kasur
28) Merapikan alat
29) Melepas handscoon
30) Melepaskan celemek
31) Mencuci tangan
32) Setelah selesai perawatan jenazah, kemudian jenazah dibawa ke
kamar jenazah dan setelah mencapai 2 (dua) jam, boleh dibawa oleh
keluarga, dengan serah terima antar perawat dan keluarga, gelang
identitas dilepas.
116
BAB IV
DOKUMENTASI
Ditetapkan di : Surakarta
Pada tanggal : 1 November 2018
117