Anda di halaman 1dari 39

PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK) RSU HAJI

SURABAYA

TATA LAKSANA KASUS R SU


HAJI

ILMU KESEHATAN ANAK


2018 – 2020 SURABAYA

DEMAM BERDARAH DENGUE


( ICD 10: A91)
1. Pengertian Salah satu varian infeksi virus dengue yang ditandai oleh panas 2 – 7 hari dan pada
(Definisi) saat panas turun disertai / disusul dengan gangguan hemostatik dan kebocoran
plasma.

2. Anamnesis Gejala klinis :


1. Demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus menerus
selama 2 – 7 hari.
2. Nyeri perut.
3. Nyeri kepala.
4. Nyeri sendi.
5. Perdarahan.
6. Mual, muntah.

3. Pemeriksaan 1. Tanda-tanda syok : tekanan nadi <20 mm/Hg atau tensi tidak terukur, nadi
Fisik cepat dan kecil atau tidak teraba, akral dingin, CRT >2 detik.
2. Pembesaran hati.
3. Manifestasi perdarahan nyata atau uji tourniquet positif.
4. Tanda-tanda kebocoran plasma : syok atau pre-syok, efusi pleura, asites.

4. Pemeriksaan 1. Trombositopenia : ≤100.000/ µl.


Penunjang 2. Hematokrit meningkat atau hemokonsentrasi.
3. Thorax foto : efusi pleura.
4. Uji serologi : IgG dan IgM Dengue.

5. Kriteria Sesuai kriteria WHO (ditemukan 2 atau 3 kriteria kinis disertai trombositopenia
Diagnosis dan hemokonsentrasi).

6. Diagnosis Demam berdarah dengue


Kerja

7. Diagnosis 1. Morbili.
Banding 2. Idiopathic Trombocytopenic Purpura (ITP).

8. Terapi 1. Terapi cairan/ terapi syok sesuai derajat DBD (lihat algoritma lampiran 1).
2. Anti piretik : paracetamol 30 mg /kg BB /hari per-oral (jangan beri Ibuprofen /
Aspirin).
3. Kompres basah.
4. Minum manis cukup.
5. Dietetik sesuai kondisi penderita.
6. Terapi problem penyerta.
7. Pemberian multivitamin.

9. Edukasi 1. Laporkan kepada petugas medis bila ada :


a. Perdarahan.
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK) RSU HAJI
SURABAYA

TATA LAKSANA KASUS R SU


HAJI

ILMU KESEHATAN ANAK


2018 – 2020 SURABAYA

DEMAM BERDARAH DENGUE


( ICD 10: A91)
b. Anak anyep, BAK menurun.
c. Kejang dan atau kesadaran menurun.
d. BAB hitam (melena).
e. Muntah disertai darah.
f. Sesak.
2. Kebersihan lingkungan rumah (laksanakan 3 M).
3. Fogging.

10. Prognosis Dinyatakan baik bila :


1. Status gizi baik.
2. Kemajuan klinis.
3. Komplikasi teratasi.

11. Tingkat III


Evidens

12. Tingkat A
Rekomendas
i

13. Penelaah dr. Dyah Retno Wulan, SpA


Kritis

14. Indikator Indikator KRS :


Medis 1. Tidak terdapat perdarahan.
2. Tidak terjadi syok berulang.
3. Sudah melewati 2 x 24 jam syok.
4. Tidak terjadi infeksi sekunder.
5. Jumlah trombosit cenderung terjadi peningkatan atau sudah memasuki fase
penyembuhan penyakit (hari ketujuh).

15. Kepustakaan 1. Berman S., MD. 1991. Dengue Like Infection, in Pediatric Decision Making
(2nd ed). Philadelphia : B.C. Decker Inc. hal 24 – 5.
2. Pudjiadi, Antonius., dkk. 2010. Pedoman Pelayanan Medis IDAI. Jakarta :
IDAI hal 141 – 9.
3. Pusponegoro HD., Widodo DP., Ismael S. 2006. Konsensus 1 – 1C
Penatalaksanaan Kejang Demam Edisi 2. Jakarta : UKK Neurologi IDAI
Badan Penerbit IDAI hal 1 – 13.
4. WHO. 2009. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Jakarta :
WHO Indonesia dan Depkes RI hal 163 – 7.
Demam Berdarah Dengue Derajat I/II

RL 7cc/kg BB/1 jam

PCV, Vital Sign

Membaik Tetap buruk / respon (-)

PCV, T/N stabil, PCV, N↑, PP ≤ 20mmHg,


Diuresis (+) Diuresis (-)

RL 5cc/kg BB/1 jam Membaik RL 10cc/kg BB/1 jam

Tetap buruk / respon (-)

RL 3cc/kg BB/1 jam RL 15cc/kg BB/1 jam

Tetap buruk / respon (-)


Membaik 24 – 48 jam

PCV PCV
PCV, T/N stabil,
Diuresis (+)
Koloid/ Transfusi
Plasma Whole
STOP Blood

Membaik
Demam Berdarah Dengue Derajat III

Kristaloid 20 cc/kg BB dalam waktu kurang dari 30 menit

Membaik Tetap buruk/ respon (-)

Kristaloid Koloid 20cc/kg BB cepat


10cc/kg BB/1 jam

Membaik Membaik Tetap buruk / respon (-)

Kristaloid Koloid 10cc/kg BB/1 jam


Kristaloid
7 cc/kg BB/1 jam 10 cc/kg BB/1 jam

Kristaloid Kristaloid Membaik Tetap buruk /


5 cc/kg BB/1 jam 7 cc/kg BB/1 jam respon (-)

Kristaloid Kristaloid Kristaloid Perdarahan (+) Perdarahan (-)


3 cc/kg BB/1 jam 5 cc/kg BB/1 jam 10 cc/kg BB/1 jam

Kristaloid Kristaloid Transfusi inotropik


3 cc/kg BB/1 jam 7 cc/kg BB/1 jam Whole blood

Kristaloid
5 cc/kg BB/1 jam

Kristaloid
3 cc/kg BB/1 jam
Demam Berdarah Dengue Derajat IV

Kristaloid 20 cc/kg BB dalam waktu kurang dari 30 menit

Membaik Tetap buruk/ respon (-)

Koloid Koloid 20cc/kg BB cepat


10cc/kg BB/1 jam

Membaik Membaik ± Membaik (+) Tetap buruk / respon (-)

Kristaloid 10cc/kg BB/1 jam


Kristaloid Kristaloid Kristaloid
10 cc/kg BB/1 jam 10 cc/kg BB/1 jam 7 cc/kg BB/1 jam

Kristaloid Kristaloid Kristaloid Membaik Tetap buruk /


7 cc/kg BB/1 jam 7 cc/kg BB/1 jam 5 cc/kg BB/1 jam respon (-)

Kristaloid Kristaloid Kristaloid Kristaloid Perdarahan (+) Perdarahan (-)


5 cc/kg BB/1 jam 5 cc/kg BB/1 jam 3 cc/kg BB/1 jam 7 cc/kg BB/1 jam

Kristaloid Kristaloid Kristaloid Transfusi inotropik


3 cc/kg BB/1 jam 3 cc/kg BB/1 jam 5 cc/kg BB/1 jam Whole blood

Kristaloid
3 cc/kg BB/1 jam
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK) RSU HAJI
SURABAYA

TATA LAKSANA KASUS R SU


HAJI

ILMU KESEHATAN ANAK


2018 – 2020 SURABAYA

HIPERBILIRUBINEMIA ( ICD 10: P59.9)


1. Pengertian Hiperbilirubinemia adalah terjadinya peningkatan kadar serum bilirubin > 2 SD
(Definisi) atau lebih dari kadar yang diharapkan berdasarkan umur bayi atau lebih dari
persentil 90.

Sedangkan ikterus neonatorum adalah keadaan klinis bayi yang ditandai oleh
pewarnaan kuning pada kulit dan sklera akibat akumulasi bilirubin tak terkonjugasi
yang berlebih. Ikterus tampak secara klinis bila kadar bilirubin darah > 5-7 mg/dL.

2. Anamnesis 1. Riwayat ikterus pada anak sebelumnya


2. Riwayat keluarga anemi dan pembesaran hati dan limpa
3. Riwayat penggunaan obat selama ibu hamil
4. Riwayat infeksi maternal
5. Riwayat trauma persalinan
6. Riwayat asfiksia
7. Ibu diabetes pada kehamilan
8. Umur (dalam jam) mulai bayi tampak kuning
9. Umur kehamilan
10. ASI eksklusif
11. Dehidrasi
12. Etnis orang tua
13. Golongan darah ibu, bapak dan bayi
14. Jenis kelamin bayi

3. Pemeriksaan Umum :
Fisik Keadaan Umum dan Tanda Vital

Khusus :
1. Inspeksi visual dengan observasi warna kulit yaitu dengan cara menekan kulit
ringan memakai jari tangan dan dilakukan pada pencahayaan yang memadai
2. Berdasarkan Kramer dibagi menjadi :
Derajat Perkiraan Kadar
Daerah Ikterus
Ikterus Bilirubin
I Kepala dan leher 5,0 mg/dL
II Sampai badan atas (di atas umbilikus) 9,0 mg/dL
III Sampai badan bawah (di bawah 11,4 mg/dL
umbilikus) hingga tungkai atas (di atas
lutut)
IV Sampai lengan, tungkai bawah lutut 12,4 mg/dL
V Sampai telapak tangan dan kaki 16,0 mg/dL

3. Lakukan pemerikasaan fisik untuk mencari kemungkinan hiperbilirubinemia :


a. Prematuritas (lihat PPK BBLR)
b. Kecil masa kehamilan (lihat PPK BBLR)
c. Tanda-tanda infeksi intrauterin (lihat PPK Sepsis Neonatorum)
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK) RSU HAJI
SURABAYA

TATA LAKSANA KASUS R SU


HAJI

ILMU KESEHATAN ANAK


2018 – 2020 SURABAYA

HIPERBILIRUBINEMIA ( ICD 10: P59.9)


d. Perdarahan ekstravaskuler, caput succedaneum, cephal hematom, subgaleal
hematom (lihat PPK Trauma persalinan)
e. Pucat berkaitan dengan anemia hemolitik
f. Petekhia berkaitan dengan infeksi intrauterin, sepsis dan tanda perdarahan
ekstravaskular
g. Hepatosplenomegali
h. Omfalitis (lihat PPK Sepsis Neonatorum)
i. Korioamnionitis (lihat PPK Sepsis Neonatorum)
j. Tanda-tanda hipotiroid
k. Suhu (lihat PPK Hipotermi)
l. Kelainan saluran cerna

Pemeriksaan Neurologis :
Menilai adanya Ensefalopati Bilirubin akut :
Skor 7 – 9 : Ensefalopati Bilirubin Akut Berat
Skor 4 – 6 : Ensefalopati Bilirubin Akut Sedang
Skor 1 – 3 : Ensefalopati Bilirubin Akut Ringan

Derajat Skor Uraian


None 0 Normal
Ringan 1 Mengantuk, malas minum
Sedang 2 Letargis, Irritabel
Berat 3 Semicoma, kejang, koma

Derajat Skor Tonus Otot


Normal 0 Normal
Ringan 1 Kaku leher, hipo/hipertoni
Sedang 2 Leher membusur, retrokolis
Berat 3 Bowing otot punggung/opistotonus

Derajat Skor Pola Tangis


None 0 Normal
Ringan 1 Melengking
Sedang 2 Melengking keras
Berat 3 Melengking terus menerus

4. Pemeriksaan 1. Bilirubin total (Level 1 rekomendasi C)


Penunjang 2. Bilirubin direk (Level 1 rekomendasi D)
3. Faal hati
4. Albumin (Level 1 rekomendasi D)
5. Golongan darah (ABO dan Rhesus) ibu dan anak (Level 1 rekomendasi A)
6. Darah rutin (Level 1 rekomendasi A)
7. Hapusan darah tepi
8. Retikulosit
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK) RSU HAJI
SURABAYA

TATA LAKSANA KASUS R SU


HAJI

ILMU KESEHATAN ANAK


2018 – 2020 SURABAYA

HIPERBILIRUBINEMIA ( ICD 10: P59.9)


9. Coomb test
10. Kadar enzim G6PD (pada riwayat keluarga dengan defisiensi G6PD) (Level
1C)
11. USG abdomen (pada ikterus berkepanjangan)
12. Infeksi TORCH
13. Urinalisis (Level 1 rekomendasi C)
14. Kultur Urin (Level 1 rekomendasi C)
15. Kultur darah
16. Profil Tiroid : FT4/TSH
Substansi reduksi urine (gangguan metabolisme)

5. Kriteria Peningkatan kadar plasma bilirubin >2 SD dari kadar yang diharapkan berdasarkan
Diagnosis umur bayi atau lebih dari persentil 90. (Level 1 rekomendasi C)
Lihat Gambar dibawah :

Gambar 1. Nomogram untuk penentuan risiko berdasarkan kadar bilirubin serum


spesifik berdasarkan waktu pada saat bayi pulang

Nomogram - persentil ke-95 untuk kadar bilirubin serum


24 jam :  8 mg/ dL (137 M/ L)
48 jam :  14 mg/ dL (239 M/ L)
72 jam :  16 mg/ dL (273 M/ L)
84 jam :  17 mg/ dL (290 M/ L)
Hipebilirubinemia direk bila kadar bilirubin direk >1 mg/dL bila bilirubin total <5
mg/Dl atau kadar bilirubin direk >20% dari bilirubin total bila bilirubin total >5
mg/dL

6. Diagnosis Hiperbilirubinemia Neonatus


Kerja

7. Diagnosis 1. Hiperbilirubinemia non fisiologis


Banding 2. Ensefalopati Bilirubin Akut (Ringan/Sedang/Berat)
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK) RSU HAJI
SURABAYA

TATA LAKSANA KASUS R SU


HAJI

ILMU KESEHATAN ANAK


2018 – 2020 SURABAYA

HIPERBILIRUBINEMIA ( ICD 10: P59.9)


3. Infeksi virus, sepsis atau meningitis
4. Kelainan kongenital susunan syaraf pusat
5. Trauma persalinan
6. Kelainan metabolisme bawaan
7. Kolestasis

8. Terapi 1. Fototerapi
Fototerapi dilakukan bila kadar total serum bilirubin (TSB) melebihi batas
yang diharapkan sesuai pada gambar 2. (Level 1 rekomendasi C)

Gambar 2. Panduan fototerapi pada bayi usia gestasi 35 minggu atau lebih

2. Penghentian fototerapi
Foto terapi berhasil :
Tergantung dari usia saat fototerapi dan penyebab hiperbilirubinemia. Pada
bayi yang masuk rumah sakit (TSB 18 mg/dl), fototerapi dapat dihentikan bila
TSB <10 mg/dL. (Level 1 rekomendasi C)

Foto terapi gagal :


Gagal menurunkan kadar bilirubin setelah fototerapi efektif selama 4-6 jam
dibawah ambang tranfusi tukar (Level 1 rekomendasi C)

3. Tranfusi tukar
Dilakukan bila kadar total serum bilirubin melampaui garis seperti pada
gambar 3 (Level 1 rekomendasi D)
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK) RSU HAJI
SURABAYA

TATA LAKSANA KASUS R SU


HAJI

ILMU KESEHATAN ANAK


2018 – 2020 SURABAYA

HIPERBILIRUBINEMIA ( ICD 10: P59.9)

Gambar 3. Panduan tranfusi tukar pada bayi usia gestasi 35 minggu atau lebih.
Tranfusi tukar segera bila bayi menunjukkan tanda ensefalopati
bilirubin akut (hipertonia, opistotonus, panas, menangis melengking)
atau TSB ≥5 di atas garis. Faktor risiko : isoimun hemolitik, defisiensi
G6PD, asfiksia, letargi, instabilitas temperatur, sepsis asidosis

Tabel 1. Rekomendasi manajemen hiperbilirubinemia pada bayi kurang bulan


(sehat dan sakit) dan bayi cukup bulan (sakit)
Total serum bilirubin (mg/dL)
Bayi sehat Bayi sakit
BB (g) Fototerapi Tranfusi Fototerapi Tranfusi
Tukar Tukar
Kurang bulan
<1000 5-7 Bervariasi 4-6 Bervariasi
1000-1500 7-10 Bervariasi 6-8 Bervariasi
1501-2000 10-12 Bervariasi 8-10 Bervariasi
2001-2500 12-15 Bervariasi 10-12 Bervariasi
Cukup bulan
>2500 15-18 20-25 12-15 18-20

4. Intravenous Gamma Globulin (IVIG)


Pada kasus isoimun hemolitik, maka pemberian IVIG dosis (0,5-1 g/kg/dalam
dua jam) direkomendasikan dimana fototerapi intensif tidak mampu
menurunkan kadar bilirubin atau kadar bilirubin 2-3 mg/dL di atas ambang
tranfusi tukar. Pengulangan dosis dapat diberikan setiap 12 jam (Level 1
rekomendasi B)
5. Tindak lanjut pada bayi baru lahir yang pulang (Level 1 rekomendasi C)
▪ dipulangkan sebelum 24 jam : kontrol ulang usia 72 jam
▪ dipulangkan usia 24-47,9 jam : kontrol ulang usia 96 jam
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK) RSU HAJI
SURABAYA

TATA LAKSANA KASUS R SU


HAJI

ILMU KESEHATAN ANAK


2018 – 2020 SURABAYA

HIPERBILIRUBINEMIA ( ICD 10: P59.9)


▪ dipulangkan usia 48-72 jam : kontrol ulang usia 120 jam

9. Edukasi Mengajarkan kepada orang tua bagaimana mengenali keluhan kuning pada bayi
yang akan KRS (Level 1 rekomendasi D)

10. Prognosis Hiperbilirubinemi


1. Ad vitam : dubia
2. Ad sanationam : dubia
3. Ad fungsionam : dubia

11. Penelaah dr. Monique Noorvitry, SpA


Kritis

12. Indikator 1. Gejala klinis ikterus menghilang, kadar bilirubin normal


Medis 2. Hiperbilirubinemia fisiologis terjadi 50 – 60% pada bayi cukup bulan dan 80%
pada bayi kurang bulan, gejala klinis keseluruhan menghilang dalam 2 minggu
3. Pada hiperbilirubinemia non fisiologis, ikterus bertahan >14 hari

13. Kepustakaan 1. Brown AK, Kim MH, Wu PKY, Bryla DA. Efficacy of phototherapy in
prevention and management of neonatal hyperbilirubinemia. Pediatrics
1985;75:393
2. Scheidt PC, Bryla DA, Nelson KB, Hirtz DG, Hoffman HJ. Phototherapy for
neonatal hyperbilirubinemia:six year follow up of the national institute of child
health and human development clinical trial. Pediatrics.1990:85:455
3. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG. Neonatology, management,
procedures, on call problems disease and drugs; edisi ke-7. New York: Lange
Books/Mc Graw-Hill, 2013; 400-9.
4. Martin CR, Cloherty JP. Neonatal hyperbilirubinemia. Dalam: Cloherty JP,
Stark AR, eds. Manual of neonatal care; edisi ke-7. Boston: Lippincott
Williams & Wilkins, 2012; 304-39.
5. Khosim MS, Surjono A, Setyowireni D, et al. Buku panduan manajemen
masalah bayi baru lahir untuk dokter, bidan dan perawat di rumah sakit.
Jakarta: IDAI, MNH-JHPIEGO, Depkes RI, 2004; 42-8.
6. Sukadi A. Hiperbilirubinemia. Dalam: Kosim MS, Yunanto A, Dewi R,
Santosa GI, Usman A, eds. Buku ajar neonatologi, edisi ke-1. Jakarta: Badan
Penerbit IDAI, 2008; 147-69.
7. American Academic of Pediatrics. Management of hyperbilirubinemia in the
newborn infant 35 or more weeks of gestation. Pediatrics 2004; 114; 297-316.
8. Indrasanto E, Dharmasetiawani N, Rohsiswatmo R, Kaban RK. Buku acuan
pelatihan pelayanan obstetri dan neonatal emergensi komprehensif. Jakarta:
Depkes RI, 2008; 181-91.
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK) RSU HAJI
SURABAYA

TATA LAKSANA KASUS R SU


HAJI

ILMU KESEHATAN ANAK


2018 – 2020 SURABAYA

BRONCHOPNEUMONIA
( ICD 10: J18)
1. Pengertian Penyakit peradangan parenkim paru yang disebabkan oleh bermacam etiologi
(Definisi) seperti bakteri, usus, virus, mikroplasma, jamur, atau bahan kimia / benda asing
yang teraspirasi dengan akibat timbulnya ketidakseimbangan ventilasi dengan
perfusi.

2. Anamnesis Gejala klinis :


1. Demam.
2. Batuk.
3. Sesak atau nafas cepat.
4. Menggigil.
5. Pada bayi kecil : hipotermi, kejang, atau kembung.

3. Pemeriksaan 1. Sianosis.
Fisik 2. Nafas cepat.
3. Ronki pada auskultasi.
4. Pernafasan cuping hidung.
5. Tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam.
6. Merintih.

4. Pemeriksaan 1. Pemeriksaan darah tepi : lekositosis demgam hitung jenis bergeser ke kiri.
Penunjang 2. Foto thorax :
1. Infiltrat alveoral dengan luas kelainan pada gambaran radiologis sesuai
dengan derajat klinis.
2. Konsolidasi pada 1 lobus atau lebih.
3. Penebalan pleura pada pleuritis.
4. Komplikasi dengan gambaran atelektasis, efusi pleura, pneumomediastinum,
pneumothorax, abses, pneumatokel.
5. Analisa gas darah, bila diperlukan.

5. Kriteria 1. Derajat ringan : disamping batuk dan kesulitan nafas, hanya terdapat nafas
Diagnosis cepat.

2. Derajat berat : batuk dan kesulitan bernafas ditambah minimal salah satu
berikut ini :
a. Pernafasan cuping hidung.
b. Tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam.
c. Foto thorax terdapat gambaran pneumoni.
d. Tidak dapat menyusu / minum / makan, atau memuntahkan semuanya.
e. Kejang, letargis / tidak sadar.
f. Sianosis.
g. Distress pernafasan berat.

6. Diagnosis Bronchopneumonia
Kerja
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK) RSU HAJI
SURABAYA

TATA LAKSANA KASUS R SU


HAJI

ILMU KESEHATAN ANAK


2018 – 2020 SURABAYA

BRONCHOPNEUMONIA
( ICD 10: J18)
7. Diagnosis 1. Kelainan jantung.
Banding 2. Bronkiolitis.
3. Aspirasi benda asing.
4. Abses paru.
5. Khusus pada bayi : Meningitis, Illeus.

8. Terapi 1. Pasien dengan saturasi oksigen rendah atau mengalami takhipnoe diberikan
oksigen sesuai kebutuhan. Observasi setidaknya setiap 4 jam sekali, termasuk
pemeriksaan saturasi oksigen.
2. Antipiretik : Paracetamol 30 mg/kg BB/hari.
3. Mucocilliary clearance : Nebulisasi dengan β2-agonis (Salbutamol 0,1 cc/kg
BB/dosis tiap 4 – 6 jam) dan atau NaCl.

 Pemberian Antibiotik
1. Antibiotik intravena diberikan pada pasien pneumonia yang tidak dapat
menerima obat per-oral (misal karena muntah atau termasuk dalam derajat
pneumonia berat).
2. Antibiotik intravena yang danjurkan adalah:
Nama Antibiotik Dosis Lama Pemberian
Ampisilin 100 mg/kg BB/hari
dan
Kloramfenikol 50 mg/kg BB/hari
Co-amoxiclav 100 mg/kg BB/hari 5 hari
Ceftriaxon 50 mg/kg BB/hari
Cefuroxime 75 mg/kg BB/hari
Cefotaxime 100 mg/kg BB/hari

3. Pemberian antibiotik oral harus dipertimbangkan jika terdapat perbaikan


setelah mendapat antibiotik intravena.

9. Edukasi 1. Kebutuhan nutrisi dan cairan.


2. Lanjutkan : pemberian ASI.
3. Hentikan pemberian makan atau minum bila ada tanda-tanda distress nafas.
4. Kebersihan lingkungan.
5. Kompres bila demam.
6. Waspada bila ada gejala klinis yang memberat : nafas cepat, kesulitan nafas,
dan sianosis.

10. Prognosis Dinyatakan baik bila :


1. Status gizi baik.
2. Kemajuan klinis.
3. Komplikasi teratasi.
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK) RSU HAJI
SURABAYA

TATA LAKSANA KASUS R SU


HAJI

ILMU KESEHATAN ANAK


2018 – 2020 SURABAYA

BRONCHOPNEUMONIA
( ICD 10: J18)
11. Tingkat III
Evidens

12. Tingkat A
Rekomendas
i

13. Penelaah dr. Arief Wijaya Rosli, SpA


Kritis

14. Indikator Indikator KRS :


Medis 1. Tidak terjadi komplikasi.
2. Terjadi perbaikan klinis (sesak teratasi, bebas demam 3 hari).
3. Intake dan terapi per-oral bisa terlaksana.

15. Kepustakaan 1. Behrman, Kliegman, & Jenson. 2004. Nelson Textbook of Pediatrics (17th
ed). Philadelpia : WB Saunders Company.
2. IDAI. 1994. Pedoman Diagnosis dan Terapi Lab/UPF Ilmu Kesehatan Anak.
Surabaya : RSUD Dr. Soetomo Surabaya.
3. Pudjiadi, Antonius., dkk. 2010. Pedoman Pelayanan Medis IDAI. Jakarta :
IDAI hal 250 – 5.
4. WHO. 2009. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Jakarta
: WHO Indonesia dan Depkes RI hal 86 – 93.
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK) RSU HAJI
SURABAYA

TATA LAKSANA KASUS R SU


HAJI

ILMU KESEHATAN ANAK


2018 – 2020 SURABAYA

DIARE ( ICD 10: A09)


1. Pengertian Keluar tinja cair lebih dari tiga kali / 24 jam :
(Definisi) 1. Diare akut : terjadi akut dan berlangsung paling lama 3 – 5 hari.
2. Diare berkepanjangan : berlangsung lebih dari 7 hari.
3. Diare kronis : berlangsung lebih dari 14 hari.

2. Anamnesis Gejala klinis :


1. Riwayat pemberian makan.
2. Diare :
a. Frekuensi BAB.
b. Lamanya diare terjadi (berapa hari).
c. Apakah ada darah dalam tinja.
d. Apakah ada muntah.
3. Pengobatan antibiotik atau pengobatan lainnya.
4. Gejala invaginasi (tangisan keras dan kepucatan pada bayi).
5. Produksi urin.

3. Pemeriksaan 1. Tanda-tanda dehidrasi :


Fisik a. Dehidrasi berat : jika terdapat 2 atau lebih tanda berikut :
- Letargi / tidak sadar.
- Mata cekung.
- Tidak bisa minum / malas minum.
- Turgor kulit menurun.
b. Dehidrasi ringan / sedang : terdapat 2 atau lebih tanda berikut :
- Rewel / gelisah.
- Mata cekung.
- Minum dengan lahap (haus).
- Turgor kulit menurun.
2. Darah dalam tinja.
3. Tanda gizi buruk.
4. Perut kembung.
5. Tanda invaginasi (masa intra abdominal, tinja hanya lendir dan darah).

4. Pemeriksaan 1. Feses lengkap.


Penunjang 2. Urin lengkap.
3. Serum elektrolit.
4. Blood gas analysis.
5. Tes fungsi ginjal.
Catatan : 2 – 5 jika diperlukan
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK) RSU HAJI
SURABAYA

TATA LAKSANA KASUS R SU


HAJI

ILMU KESEHATAN ANAK


2018 – 2020 SURABAYA

DIARE ( ICD 10: A09)


5. Kriteria 1. Sesuai anamnesa.
Diagnosis 2. Sesuai pemeriksaan fisik.
3. Sesuai pemeriksaan penunjang.

6. Diagnosis Kerja Diare

7. Diagnosis -
Banding

8. Terapi 1. Resusitasi cairan dan elektrolit sesuai derajat dehidrasi dan kehilangan
elektrolit serta gangguan keseimbangan asam basanya. (lihat alur di
lampiran 1).
2. PemberianVitamin A intramuskuler :
a. Usia anak < 1 tahun :
- Dengan status gizi kurang / buruk (WHO) : 100.000 IU dilanjutkan
pemberian per oral 5000 IU / hari selama 10 hari
b. Usia anak > 1 tahun :
- Dengan status gizi kurang / buruk (WHO) : 200.000 IU dilanjutkan
pemberian per-oral 5000 IU / hari selama 10 hari.
3. Probiotik : usia <1 th = 1 sachet/hari ; 1 – 5 th = 2 sachet/hari ; >5th = 3
sachet/hari.
4. Pemberian preparat Zinc :
a. Usia anak < 6 bulan : peroral 10 mg / hari selama 10 hari
b. Usia anak > 6 bulan : peroral 20 mg / hari selama 10 hari
5. Rehidrasi per-oral dengan cairan rehidrasi oral sebanyak 10 cc/kg BB tiap
diare atau muntah.
6. Bila terdapat tanda infeksi diberikan antibiotik sesuai penyebab (lampiran
2).
7. Terapi simptomatik (tidak termasuk obat anti diare), penyakit penyerta &
komplikasi sesuai panduan klinis.
8. Dietetik : makanan tetap diberikan, ASI diteruskan, pasien dengan susu
formula diencerkan. Makanan tambahan sesuai umur dengan konsistensi
yang mudah dicerna.

9. Edukasi 2. Hygiene sanitasi.


3. Pemberian oralit.
4. Pemantauan kecukupan cairan dan kalori.
5. Pemantauan jumlah output.
6. ASI diteruskan.
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK) RSU HAJI
SURABAYA

TATA LAKSANA KASUS R SU


HAJI

ILMU KESEHATAN ANAK


2018 – 2020 SURABAYA

DIARE ( ICD 10: A09)


10. Prognosis Dinyatakan baik bila :
1. Status gizi baik.
2. Kemajuan klinis.
3. Komplikasi teratasi.

11. Tingkat Evidens II

12. Tingkat A
Rekomendasi

13. Penelaah Kritis dr. Dyah Retno Wulan, SpA

14. Indikator Medis Indikator KRS :


1. Perbaikan gejala klinis.
2. Komplikasi teratasi.
3. Intake per-oral baik.

15. Kepustakaan 1. Berman S, MD. 1991. Acute Diarrea, in Pediatric Decisión Making (2nd
ed). Philadelpia : BC Decaer Inc. hal 320 – 5.
2. Berman S, MD. 1991. Chronic Diarrea, in Pediatric Decisión Making, 2nd
ed. Philadelpia : BC Decaer Inc. hal 326 – 7.
3. Behrman RE, MD., Kliecman RM, MD., Jonson HB, MD. 2007. Acute
Gastroenteritis in Children, in Nelson Textbook of Pediatrics (18th ed).
Philadelpia : WB. Saunders Co. hal 1605 – 26.
4. Pudjiadi, Antonius., dkk. 2010. Pedoman Pelayanan Medis IDAI. Jakarta :
IDAI hal 58 – 62.
5. Soeprapto P., Djupri LS., Sudarme SM., Ranuh IRG. 1999. Sindroma
Diare (Gangguan Absorpsi – Sekresi) (2nd ed). Surabaya : Gramil FK –
Unair RSUD Dr. Soetomo hal 37 – 142.
6. WHO. 2009. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit.
Jakarta : WHO Indonesia dan Depkes RI hal 131 – 52.
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK) RSU HAJI
SURABAYA

TATA LAKSANA KASUS R SU


HAJI

ILMU KESEHATAN ANAK


2018 – 2020 SURABAYA

BERAT BADAN LAHIR RENDAH (BBLR)


( ICD 10: P07)
1. Pengertian Bayi dengan berat lahir dibawah 2500 gram tanpa memandang usia kehamilan
(Definisi)

2. Anamnesis 1. Faktor maternal :


 Usia ibu saat persalinan (terlalu tua / terlalu muda), Faktor personal
(kemiskinan, ibu perokok, pengguna obat-obatan, kurang gizi, trauma),
 Ibu dengan kondisi medis tertentu ( ibu dengan gangguan ginjal, infeksi
saluran kencing, penyakit jantung dan paru, hipertensi)
 Riwayat kelahiran dengan prematuritas,
 Ketuban pecah dini,
 Perdarahan antepartum,
 Kehamilan dengan hidramnion,
 Kekerasan fisik, mental dan emosional pada ibu
2. Faktor Janin :
 Kehamilan multiple,
 Cacat janin,
 Infeksi dalam rahim
3. Usia Kehamilan
4. Riwayat kunjungan antenatal

3. Pemeriksaan Evaluasi Gawat Nafas dengan Skor Downe


Fisik

Gawat nafas ringan : 1-3


Gawat nafas sedang : 4-6
Gawat nafas berat : >7

Penilaian usia kehamilan New Ballard Score


Maturitas fisik
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK) RSU HAJI
SURABAYA

TATA LAKSANA KASUS R SU


HAJI

ILMU KESEHATAN ANAK


2018 – 2020 SURABAYA

BERAT BADAN LAHIR RENDAH (BBLR)


( ICD 10: P07)
NILAI NILAI
TANDA
TANDA
-1 0 1 2 3 4 5
Retak lebih
dalam, spt
Seperti agar, Merah muda Mengelupas Daerah pucat, Seperti kulit,
Lengket, kertas
Kulit transparan
merah, halus, vena dan/atau ruam, retak retak,
perkamen,
retak retak,
translusen terlihat sedikit vena vena jarang mengkerut
tidak tampak
pemb darah
Bagian
Lanugo Tidak ada Jarang Banyak Menipis Menghilang terbesar tidak
ada
Garis Tumit-jari,: Tumit-jari: Hanya garis
Tanda merah Beberapa garis Garis-garis di
Telapak 40-50mm: -1 >50 mm, tidak
sangat sedikit
melintang
di 2/3 anterior seluruh telapak
Kaki <40mm: -2 ada garis bgian anterior
Areola muncul Areola tampak
Areola datar Areola lebih
sedikit, penuh,
Payudara Tidak tampak Samar-samar tidak ada
tonjolan 1-2
jelas, tonjolan
tonjolan
tonjolan 3-4 mm
mm 5-10 mm
Daun telinga
Bentuk daun
Kelopak mata Kelopak mata sedikit Bentuk telinga
telinga lebih Tulang rawan
Mata/ tertutup: terbuka. Daun melengkung, sempurna,
baik, lunak, telinga tebal
Telinga longgar: -1 telinga datar, lunak, rekoil/ membalik
mudah dan kaku
kuat: -2 tetap terlipat membalik segera
membalik
lambat
Skrotum Testis ada di Testis
Genitalia Skrotum datar,
kosong, rugae atas kanal,
Testis turun, Testis turun,
menggantung,
Laki-laki lembut rugae cukup rugae baik
samar rugae jarang rugae dalam
Klitoris Klitoris Tonjolan labia Labia mayor
Genitalia Klitoris menonjol, menonjol dan mayor dan
Labia mayor
menutupi
menonjol, besar, labia
Perempu-an labia datar labia minor labia minor minor sama klitoris dan
minor kecil
kecil membesar besar labia minor

NILAI MATURITAS FISIS TOTAL

Maturitas Neurologis :
NILAI NILAI
TANDA
TANDA
-1 0 1 2 3 4 5

Postur

Sudut
Pergelangan
Tangan
Rekoil
Lengan

Sudut
Poplitea

Tanda
Selempang

Tumit ke
Telinga

NILAI NEROMUSKULAR TOTAL


PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK) RSU HAJI
SURABAYA

TATA LAKSANA KASUS R SU


HAJI

ILMU KESEHATAN ANAK


2018 – 2020 SURABAYA

BERAT BADAN LAHIR RENDAH (BBLR)


( ICD 10: P07)
4. Pemeriksaan 1. Bayi berat lahir rendah (BBLR) : berat lahir 1500-2499gram.
Penunjang 2. Bayi berat lahir sangat rendah (BBLSR) : berat lahir 1000-1499gram
3. Bayi berat lahir amat sangat rendah (BBLASR) : berat lahir < 1000 gram

5. Kriteria BKB/BBLR/SMK
Diagnosis

6. Diagnosis 1. BKB/BBLR/KMK
Kerja 2. BKB/BBLR/BMK
3. BCB/BBLR/KMK
4. BKB/BBLSR/SMK
5. BKB/BBLSR/KMK
6. BKB/BBLSR/BMK
7. BKB/BBLASR/SMK
8. BKB/BBLASR/KMK
9. BKB/BBLASR/BMK

7. Diagnosis 1. Darah Lengkap


Banding 2. Golongan Darah ( ABO dan sistem rhesus )
3. CRP
4. Analisis Gas Darah
5. Serum Elektrolit
6. Kadar Gula Darah
7. Kultur Darah
8. Fungsi Ginjal
9. Fungsi Hati
10. Thoraks foto
11. USG Kepala
12. Ekokardiografi

8. Terapi Tatalaksana di Ruang Bersalin :


1. Resusitasi :
a. Termoregulasi: dibungkus plastik (BBL < 1500 gram) menggunakan topi,
dikeringkan dan diletakkan di lingkungan suhu 25-26⁰C (Level 1
rekomendasi B)
b. Oksigen Blender FiO2 30-40% dengan menyesuaikan SpO2 88-92% pada
menit ke-10. (Level 1 rekomendasi A)
c. CPAP dengan PEEEP 4-6 cmH2O untuk mencegah atelectasis indikasi :
bayi mengalami kesulitan bernafas ( merintih, nafas cepat, tarikan dinding
dada, sianosis) maka dapat diberikan nasal. (Level 1 rekomendasi A)
Jika neonatus memerlukan transport maka harus dilakukan dalam keadaan
STABLE ( Sugar, Temperature, Airway secure, Blood, Laboratory
Examination, Emotional Support)
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK) RSU HAJI
SURABAYA

TATA LAKSANA KASUS R SU


HAJI

ILMU KESEHATAN ANAK


2018 – 2020 SURABAYA

BERAT BADAN LAHIR RENDAH (BBLR)


( ICD 10: P07)
Tatalaksana di ruang perawatan intensif
1. Mencegah insensible water loss, kelembaban inkubator antara 60-90%,
2. Penggantian inkubator setiap 7 hari ( BBL>1000gram) dan setiap 5 hari
(<1000gram),
3. Suhu bayi dipertahankan antara 36,5-37,5⁰C,
4. Kebutuhan cairan BBLR

5. Monitor :
a. Berat badan setiap dua hari sekali,
b. Produksi urine (dalam 12 jam pertama ada keluar urin atau tidak, 12-24 jam
pertama >0,5 ml/kg/jam, diatas 2 hari antara 1-2 ml/kg/jam)
c. Hemodinamik : denyut jantung (normal 140-160 x/menit), takikardia >160
x/menit
d. Mempertahankan glukosa darah 50-90 mg/dL dengan memberikan infus
glukosa 4-6 mg/kg/menit.
6. Infus Ca Glukonas 2 cc/kg/hari intravena
7. Pemberian antibiotik pada bayidengan faktor resiko :
Ketuban keruh, ketuban pecah dini > 18 jam, ibu dengan dugaan
chorioamniotis
Ampicillin 100 mg/kg/hari iv dibagi 2 dosis pemberian kombinasi gentamisin 5
mg/kg/hari sekali sehari iv (Level III rekomendasi B)
8. Hiperbilirubinemia : Upayakan serum bilirubin dibawah <10, fototerapi
dilakukan berdasarkan ambang fototerapi menurut guideline AAP 2004 (Level
1 rekomendasi C)
9. Tatalaksana nyeri dan stress pada bayi : memakai kelambu, membedong bayi,
menggunakan sangkar, musik, serta bila melakukan tindakan yang berakibat
nyeri memberikan larutan sukrosa 24% 2 menit sebelum tindakan dimulai dan
emla krim 30 menit sebelumnya. (Level 1 rekomendasi A)
10. Nutrisi : dimulai dengan nutrisi enteral minimal 10 mL/kg dinaikkan secara
bertahap dengan menggunakan ASI atau formula kurang bulan. Nutrisi
parenteral dimulai secara agresive pada hari pertama kehidupan. (Level 1
rekomendasi B)
11. Ultrasonografi kepala dilakukan dalam 7 hari pertama kehidupan untuk
menyingkirkan perdarahan intraventrikuler (Level 1 rekomendasi B)
12. High flow nasal canule : digunakan sebagai alternatif atau metode weaning
CPAP dengam flow >1 lpm dengan udara blender untuk tatalaksana gawat
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK) RSU HAJI
SURABAYA

TATA LAKSANA KASUS R SU


HAJI

ILMU KESEHATAN ANAK


2018 – 2020 SURABAYA

BERAT BADAN LAHIR RENDAH (BBLR)


( ICD 10: P07)
nafas dan apneu (Level 1 rekomendasi B)
13. CPAP dini dilakukan di ruang bersalin dengan setting minimal PEEP 7 CmH20
FiO2 30-40% Flow >6 lpm dengan permissive hypercapnea (pH 7,25 -7,32;
PCO2 45-60 mmHg) (Level 1 rekomendasi A)
14. Ventilator mode Synchronized Intermitten Mandatory Ventilation (SIMV) atau
P-CMV) bila bayi gagal nCPAP (Bayi apnea, pH < 7,2, BE >10, pCO2 >60,
FiO2 > 40%), Setting awal : Fset 30-60 x/menit; Ti 0,25-0,35; PIP disesuaikan
dengan ekspansi dada yang optimal untuk tidal volume 4-6 ml/kg; FiO2
disesuikan dengan target saturasi 85-92%; flow 6-8 lpm
15. Skrining kelainan bawaan jantung dengan ekokardiografi
16. Pemeriksaan tanda imaturitas mata
17. Pemeriksaan skrining pendengaran (OAE )

9. Edukasi 1. Resiko terjadi kematian pada masa neonatus


2. BBLR rentan terjadi komplikasi pada berbagai sistem organ
3. Monitoring tumbuh kembang

10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam


Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam/malam

11. Tingkat
Evidens

12. Tingkat
Rekomendas
i

13. Penelaah dr. Monique Noorvitry, SpA


Kritis

14. Indikator Indikator KRS :


Medis 1. Tidak ada gawat nafas (downe skor 0)
2. Toleransi minum baik
3. Kenaikan berat badan dalam tiga hari berturut turut

15. Kepustakaan 1. Perlman JM, Wyllie J, Kattwinkel J, Atkins DL, Chameides L, Goldsmith JP,
et al. Part 11: neonatal rescucitation: 2010 international consesnsus on
cardiopulmonary rescucitation and emergency cardiovascular care science with
treatment recommendations. Circulation. 2010;122:S516-38
2. Schulze A, O'Donnell CP, Davis PG. Air versus oxygen for resuscitation of
infants at birth. Cochrane Database Syst Rev.2004;(3):CD002273
3. Davis PG, Tan A, O'Donnell CP, Schulze A. Resuscitation of newborn infants
with 100% oxygen or air: a systematic review and meta-analysis.
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK) RSU HAJI
SURABAYA

TATA LAKSANA KASUS R SU


HAJI

ILMU KESEHATAN ANAK


2018 – 2020 SURABAYA

BERAT BADAN LAHIR RENDAH (BBLR)


( ICD 10: P07)
Lancet.2004;364 :1329– 1333
4. SUPPORT Study Group of the Eunice Kennedy Shriver NICHD Neonatal
Research Network. Early CPAP versus Surfactant in Extremely Preterm
Infants. N Engl J Med 2010; 362:1970-1979
5. Karlsen K. The STABLE Program. STABLE Program learner manual, 2006
6. Department of Reproductive Health and Research (RHR), World Health
Organisation. Thermal protection of the newborn: A practical guide
(WHO/RHT/MSM/97.2). Geneva: World Health Organisation. 1997
7. Vohra S., Roberts R.S., Zhang B., Janes M., Schmidt B.Heat Loss Prevention
(HeLP) in the delivery room: A randomized controlled trial of polyethylene
occlusive skin wrapping in very preterm infants. J Pediatr. 2004;145: 750-53
8. Stoll BJ, Hansen NI, Bell EF, et al., Eunice Kennedy Shriver National Institute
of Child Health and Human Development Neonatal Research Network .
Neonatal outcomes of extremely preterm infants from the NICHD Neonatal
Research Network. Pediatrics. 2010;126(3):443–456
9. Centers for Disease Control and Prevention. Prevention of perinatal group B
Sreptococcal disease—revised guidelines from CDC, 2010. MMWR Recomm
Rep. 2010;59(RR-10):1–36
10. AMERICAN ACADEMY OF PEDIATRICS. CLINICAL PRACTICE
GUIDELINE. Management of Hyperbilirubinemia in the Newborn Infant 35 or
More Weeks of Gestation Subcommittee on Hyperbilirubinemia. Pediatrics
2004;114:297–316
11. Stevens B, Yamada J, Lee GY, Ohlsoon A. Sucrose for analgesia in newborn
infants undergoing painful procedures. Cochrane Database Syst Rev. 2013 Jan
31;1:CD001069. doi: 10.1002/14651858.CD001069.pub4
12. Taddio A, Ohlsoon A, Einarson TR, Steven B, Koren G. A Systematic Review
of Lidocaine-Prilocaine Cream (EMLA) in the Treatment of Acute Pain in
Neonates. Pediatrics. 1998;101:1-9
13. Ibrahim HM, Jeroudi MA, Baier RJ, Dhanireddy R, Krouskop RW. Aggressive
early total parental nutrition in low-birth-weight infants. J Perinatol. 2004
Aug;24(8):482-6
14. CANADIAN PAEDIATRIC.SOCIETY STATEMENT. Routine screening
cranial ultrasound examinations for the prediction of long term
neurodevelopmental outcomes in preterm infants Paediatr Child
Health.2001;6:39-43
15. Bradley A. Yoder BA, Stoddard RA, Li M, Heated, Humidified High-Flow
Nasal Cannula Versus Nasal CPAP for Respiratory Support in Neonates.
Pediatrics 2013;131:1482–90
16. Ho JJ1, Henderson-Smart DJ, Davis PG. . Early versus delayed CDP for IRDS
in preterm infants. Cochrane Database Syst Rev. 2002;(2):CD002975
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK) RSU HAJI
SURABAYA

TATA LAKSANA KASUS R SU


HAJI

ILMU KESEHATAN ANAK


2018 – 2020 SURABAYA

BRONKIOLITIS
( ICD 10: J21.9)
1. Pengertian Penyakit obstruktif akibat inflamasi akut pada saluran nafas kecil (bronkiolus) yang
(Definisi) terjadi pada anak <2 tahun dengan insidens tertinggi pada usia sekitar 2 – 6 bulan
dengan penyebab tersering respiratory sincytial.

2. Anamnesis Gejala klinis :


1. Batuk.
2. Pilek.
3. Tanpa demam atau hanya subfebris.
4. Sesak nafas.
5. Sulit makan. menyusu, minum.

3. Pemeriksaan 1. Wheezing.
Fisik 2. Ekspirasi memanjang.
3. Hiperinflasi dinding dada, dengan hipersonor pada perkusi.
4. Tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam.
5. Ronki pada auskultasi dada.

4. Pemeriksaan 1. Foto dada AP dan lateral : gambaran hiperinlasi paru (emfisema) dengan
Penunjang diameter anteroposterior membesar pada foto lateral serta dapat terlihat bercak
konsolidasi yang tersebar.
2. Analisis gas darah.

5. Kriteria 1. Derajat ringan : disamping batuk dan kesulitan nafas, hanya terdapat nafas
Diagnosis cepat.
2. Derajat berat : batuk dan kesulitan bernafas ditambah minimal salah satu
berikut ini :
1. Pernafasan cuping hidung.
2. Tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam.
3. Foto thorax terdapat gambaran pneumoni.
4. Tidak dapat menyusu / minum / makan, atau memuntahkan semuanya.
5. Kejang, letargis / tidak sadar.
6. Sianosis.
7. Distress pernafasan berat.

6. Diagnosis Bronkiolitis
Kerja

7. Diagnosis 1. Asma.
Banding 2. Aspirasi benda asing.
3. Bronkopneumonia.
4. Gagal jantung.
5. Miokarditis.
6. Fibrosis kristik.
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK) RSU HAJI
SURABAYA

TATA LAKSANA KASUS R SU


HAJI

ILMU KESEHATAN ANAK


2018 – 2020 SURABAYA

BRONKIOLITIS
( ICD 10: J21.9)
8. Terapi 1. Oksigenasi.
2. Pemberian cairan (sesuai umur, rumus Halliday segar).
3. Antibiotik dapat diberikan pada keadaan umum yang kurang baik : curiga
pada infeksi sekunder (pneumoni atau pada penyakit yang berat).
Nama Cara Lama
Dosis
antibiotik Pemberian Pemberian
Ampisillin 50-100 mg/kg Intravena (iv) 7-10 hr
BB/hari terbagi
4 dosis
ATAU
Sefotaksim 50-100 mg/kg Intravena (iv) 7-10 hr
BB/hari terbagi
3 dosis
ATAU
Seftriakson 50-100 mg/kg Intravena (iv) 7-10 hr
BB/hr dosis
tunggal
ATAU
Eritromisin* 50 mg/kg Oral (p.o) 7-10 hr
BB/hr, terbagi
4 dosis
* Bila Alergi terhadap Penisilin

4. Kortikosteroid : Dexamethason 0,5 mg/kg BB dilanjutkan dengan 0,5 mg/kg


BB/ hari dibagi dalam 3 – 4 dosis.
5. Dapat diberikan nebulasi β-agonis (Salbutamol 0,1 mg/kg BB/dosis sehari 4
– 6 kali) diencerkan dengan normal salin.
6. Pemberian simptomatik sesuai gejala.

9. Edukasi 1. Kebutuhan nutrisi dan cairan.


2. Lanjutkan : pemberian ASI.
3. Hentikan pemberian makan atau minum bila ada tanda-tanda distress nafas.
4. Kebersihan lingkungan : hindarkan dari asap rokok.
5. Kompres bila demam.
6. Waspada bila ada gejala klinis yang memberat : nafas cepat, kesulitan nafas,
dan sianosis

10. Prognosis Dinyatakan baik bila :


1. Status gizi baik.
2. Kemajuan klinis.
3. Komplikasi teratasi.

Bayi dengan Bronkiolitis besar kemungkinan akan menderita mengi di kemudian


hari
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK) RSU HAJI
SURABAYA

TATA LAKSANA KASUS R SU


HAJI

ILMU KESEHATAN ANAK


2018 – 2020 SURABAYA

BRONKIOLITIS
( ICD 10: J21.9)
11. Tingkat III
Evidens

12. Tingkat A
Rekomendas
i

13. Penelaah dr. Arief Wijaya Rosli, SpA


Kritis

14. Indikator 1. Tidak didapatkan sesak / mengi.


Medis 2. Tidak didapatkan dehidrasi.
3. Intake per-oral baik.

15. Kepustakaan 1. Behrman., Kliegman., Jenson. 2004. Nelson Textbook of Pediatrics (17th
ed). Philadelpia : WB Saunders Company hal 1432 – 5.
2. IDAI. 1994. Pedoman Diagnosis dan Terapi Lab/UPF Ilmu Kesehatan Anak.
Surabaya : RSUD Dr. Soetomo Surabaya.
3. Pudjiadi, Antonius., dkk. 2010. Pedoman Pelayanan Medis IDAI. Jakarta :
IDAI hal 30 – 2.
4. WHO. 2009. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Jakarta
: WHO Indonesia dan Depkes RI hal 86 – 93.
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK) RSU HAJI
SURABAYA

TATA LAKSANA KASUS R SU


HAJI

ILMU KESEHATAN ANAK


2018 – 2020 SURABAYA

DEMAM TIFOID
( ICD 10: A01.0)
1. Pengertian Penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh kuman Salmonella typhi.
(Definisi)

2. Anamnesis Gejala klinis :


1. Demam lebih dari 7 hari, biasanya dimulai dengan sumer yang makin hari
makin meninggi, sehingga pada minggu ke-2 panas tinggi terus menerus
terutama malam hari.
2. Gangguan gastrointestinal berupa anoreksia, muntah, nyeri perut, konstipasi /
diare, kembung.
3. Anak sering mengigau (delirium), malaise, letargi.

3. Pemeriksaan 1. Pada demam tifoid berat dapat dijumpai penurunan kesadaran, kejang, dan
Fisik ikterus.
2. Kesadaran menurun mulai apatis sampai koma, delirium. Pada demam tifoid
berat anak tampak toksik.
3. Rhagaden, typhoid tongue (bagian tengah kotor dengan tepi hiperemis).
4. Meteorismus, hepatomegali lebih sering dijumpai dibandingkan splenomegali.

4. Pemeriksaan 1. Leukopenia.
Penunjang 2. Aneosonofilia.
3. Trombositopenia.
4. Serologi widal titer O Ag >1/200 atau meningkat lebih dari 4 kali dalam interval
waktu 1 minggu (titer fase akut ke fase konvalensens).
5. Kadar IgM dan IgG (Typhii-dot).

5. Kriteria 1. Sesuai anamnesis.


Diagnosis 2. Sesuai pemeriksaan fisik.
3. Sesuai pemeriksaan penunjang.

6. Diagnosis Demam tifoid


Kerja

7. Diagnosis 1. Stadium dini : Influenza, Gastroentritis, Bronkitis, Bronkopneumonia, ISK.


Banding 2. Tuberkulosis, Malaria.
3. Demam tifoid berat : Sepsis, Leukimia, Limfoma.

8. Terapi 1. Pengobatan penyebab :


A. Rawat Inap
Kloramfenikol 50 - 100 mg/kg BB/har, terbagi 4 dosis selama 14 hari (iv);
atau Seftriakson 80 – 100 mg/kg BB/hari, terbagi 2 dosis selama 5-10 hari
(iv)
Pada penderita yang resisten terhadap seftriakson :
Siprofloksasin 15 mg/kg BB/hari, terbagi 2 dosis selama 7-10 hr (iv)
B. Rawat Jalan
Kloramfenikol/Tiamfenikol 12,5 - 25 mg/kg BB/dosis, 3 - 4 x/hari , selama
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK) RSU HAJI
SURABAYA

TATA LAKSANA KASUS R SU


HAJI

ILMU KESEHATAN ANAK


2018 – 2020 SURABAYA

DEMAM TIFOID
( ICD 10: A01.0)
14 hari atau 7 hari bebas demam (po) ; atau
Amoksisilin 12,5 - 25 mg/kg BB/dosis, 3 - 4 x/hari, selama 21 hari atau 7
hari bebas demam (po) ; atau
Cefixime 10 - 15 mg/kg BB/hari, terbagi 2 dosis, selama 10 – 14 hari (po)
2. Pengobatan simptomatik dan perbaiki kondisi penderita :
a. Antipiretika : Paracetamol 10 – 15 mg/kg BB/dosis tiap 6 – 8 jam.
b. Kompres air PAM.
c. Jaga keseimbangan cairan, elektrolit & asam basa :
- Bila intake PO buruk : infus D5 ¼ saline atau D5 ½ saline sesuai usia
dengan rumus Halliday Segar.
- Bila intake PO baik : diet cukup kalori dan protein.
d. Diet rendah serat.
e. Bed rest total.
3. Pemberian steroid pada penderita dengan ensefalopati atau syok septic :
Dexametazon dosis awal 3 mg/kg BB (iv) per dosis pelan, kemudian disusul
dengan dosis 1 mg/kg BB/dosis dengan tenggang waktu 6 – 7 kali pemberian.
4. Pengobatan komplikasi bila ada komplikasi.

9. Edukasi 1. Hygiene perorangan dan lingkungan karena penularan lewat oro-fekal.


2. Imunisasi :
a. Vaksin polisakarida (capsular Vi polysacharide) usia 2 tahun atau lebih (im),
diulang tiap 3 bulan.
b. Vaksin tifoid oral (Ty21-a), diberikan pada usia 6 tahun dengan interval
seang sehari (1,3,5), ulangan setap 3 – 5 tahun.

10. Prognosis Dinyatakan baik bila :


1. Status gizi baik.
2. Kemajuan klinis.
3. Komplikasi teratasi.

11. Tingkat III


Evidens

12. Tingkat A
Rekomendas
i

13. Penelaah dr. Dyah Retno Wulan, SpA


Kritis

14. Indikator Indikator KRS :


Medis 1. Perbaikan gejala klinis selama 2 hari berturut-turut.
2. Tidak terdapat komplikasi.
3. Intake per-oral baik dan dapat meneruskan pengobatan antibiotika per-oral.
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK) RSU HAJI
SURABAYA

TATA LAKSANA KASUS R SU


HAJI

ILMU KESEHATAN ANAK


2018 – 2020 SURABAYA

DEMAM TIFOID
( ICD 10: A01.0)
15. Kepustakaan 1. Behrman RE., Kliegman RM., Jenson HB. 2007. Enteric Fever (Typhoid
Fever), in Nelson Text Book of Pediatrics (18th ed). Philadelphia : WB
Saunders Co. hal 1186 – 91.
2. Christie AB. 1987. Typhoid and Paratyphoid Fever, in Infectious Diseases Vol
1 (4th ed). Churchill Livingstone : Medical Division of Longman Group UK
Ltd. hal 100.
3. Pudjiadi, Antonius., dkk. 2010. Pedoman Pelayanan Medis IDAI. Jakarta :
IDAI hal 47 – 9.
4. Warren KS., Mahmoud AAF. 1985. Typhoid Fever and Other Salmonella
Infections in, Tropical and Geographical Medicine. New York : Mc Graw-Hill
Book Co. hal 710.
5. WHO. 2009. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Jakarta :
WHO Indonesia dan Depkes RI hal 167.
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK) RSU HAJI
SURABAYA

TATA LAKSANA KASUS R SU


HAJI

ILMU KESEHATAN ANAK


2018 – 2020 SURABAYA

INFEKSI SALURAN KEMIH


( ICD 10: R39.0)
1. Pengertian Peradangan saluran kemih akibat bakteri tertentu yang ditemukan pada sampel
(Definisi) urin.

2. Anamnesis Gejala klinis tidak spsifik sesuai usia penderita :


0 – 1 bln : dapat disertai dengan panas (demam).
1 bln – 2 th : dapat disertai dengan panas (demam), dan nyeri perut / pinggang.
2 – 6 th : dapat disertai dengan panas (demam), tidak dapat menahan kencing
(sering kencing), nyeri saat kencing (disuria), ngompol (enuresis).
6 – 18 th : dapat disertai dengan panas (demam), nyeri perut / pinggang, tidak
dapat menahan kencing, dan nyeri saaat kencing (disuria).

3. Pemeriksaan Tidak spesifik tergantung usia dan lokasi infeksi saluran kemih :
Fisik 1. Suhu >37,5 °C.
2. Nyeri ketok pinggang.

4. Pemeriksaan 1. Pemeriksaaan urin : proteinuria, leukosituria (leukosit >5/LBP), hematuria


Penunjang (eritrosit >5/LBP).
2. Biakan air kemih.
3. Ultrasonografi ginjal (USG) pada kasus ISK atas, kompleks (bila diperlukan).

5. Kriteria 1. Sesuai anamnesa.


Diagnosis 2. Sesuai pemeriksaan fisik.
3. Sesuai pemeriksaan penunjang.

6. Diagnosis Infeksi saluran kemih


Kerja

7. Diagnosis Demam Tifoid.


Banding

8. Terapi 1. Memberantas infeksi dengan antibiotika dengan ketentuan sebagai berikut:


a. Pemilihan antibiotik sesuai hasil biakan urine dan uji kepekaan antibiotik
jenis dan dosis (lihat lampiran).
b. Pemberian selama 10 – 14 hari pemantauan kebersihan terapi dinilai dengan
perbaikan gejala klinis dalam 2 x 24 jam. Bila gejala belum menghilang
dipikirkan untuk mengganti antibiotik yang lain sesuai dengan uji kepekaan
antibiotik yang lain.
2. Menghilangkan faktor predisposisi.
3. Pengobatan komplikasi.
4. Terapi suportif :
a. Asupan cairan cukup.
b. Bila intake PO buruk / muntah profus : cairan intravena sesuai Haliday segar
:
- Usia 3 bulan – 3 tahun : D5 ¼ saline.
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK) RSU HAJI
SURABAYA

TATA LAKSANA KASUS R SU


HAJI

ILMU KESEHATAN ANAK


2018 – 2020 SURABAYA

INFEKSI SALURAN KEMIH


( ICD 10: R39.0)
- Usia >3 tahun : D5 ½ saline.
c. Perawatan hygiene daerah perineum dan periurethra.
d. Pencegahan konstipasi.
5. Terapi simptomatis :
a. Antipiretik sesuai protap penatalaksanaan febris.
b. Antiemetik :
- Metoclorpramide : 0,1 – 0,2 mg/kg BB/dosis tiap 8 jam (iv/po).
- Domperidone : 0,3 mg/kg BB/dosis tiap 8 jam (po).
- Ondansentron : 4 mg/8 jam (iv) sesuai gejala klinis.
6. Koreksi hipokalemia (bila ada).

9. Edukasi 1. Menjelaskan perjalanan penyakit kepada keluarga pasien.


2. Menganjurkan kepada keluarga pasien agar anak tidak menahan kencing.
3. Menganjurkan untuk sunat dan dikonsulkan pada Spesialis Bedah.
4. Menjaga kebersihan daerah genetalia (mencuci menggunakan sabun setelah
BAB).
5. Pemakaian popok atau pamers harus ganti setiap buang air kemih atau buang air
besar.
6. Lengkapi imunisasi.
7. Penjelasan tentang kecukupan nutrisi.

10. Prognosis Dinyatakan baik bila :


1. Status gizi baik.
2. Kemajuan klinis.
3. Komplikasi teratasi.

11. Tingkat IV
Evidens

12. Tingkat B
Rekomendas
i

13. Penelaah dr. Dyah Retno Wulan, SpA


Kritis

14. Indikator Indikator KRS :


Medis 1. Tidak didapatkan demam dan gejala klinis lain dalam 3x 24 jam.
2. Tidak didapatkan komplikasi.
3. Anak bisa minum obat PO.

15. Kepustakaan 1. Brauhard BH., Travis BL. 1983. Infection of The Urinary Tract, in Practice of
Pediatrics vol VIII. New York : Harper and Row Publ hal 1 – 15.
2. Alatas H., Tambunan T., Trihono PP., Pardede SO. 2002. Infeksi Saluran
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK) RSU HAJI
SURABAYA

TATA LAKSANA KASUS R SU


HAJI

ILMU KESEHATAN ANAK


2018 – 2020 SURABAYA

INFEKSI SALURAN KEMIH


( ICD 10: R39.0)
Kemih, in Buku ajar Nefrologi Anak (2nd ed). Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia hal 142 – 163.
3. Pudjiadi, Antonius., dkk. 2010. Pedoman Pelayanan Medis IDAI. Jakarta :
IDAI hal 136 – 40.
Lampiran :

Jenis dan dosis antibiotik untuk terapi ISK


Tabel : Dosis antibiotik pareneteral (A), Oral (B), Profliaksis (C)

Obat Dosis mg / kg BB / hari Frekuensi / ( umur bayi)

(A) Parenteral
Ampisilin 100 Tiap 12 jam (bayi <1 minggu)
Tiap 6 – 8 jam (bayi >1minggu)
Sefotaksim 150 Dibagi setiap 6 – 8 jam
Gentamisin 5 Tiap 12 jam (bayi <1 minggu)
Tiap 24 jam (bayi >1 minggu)
Seftriakson 75 Sekali sehari
Seftazidim 150 Dibagi setiap 6 – 8 jam
Sefazolin 50 Dibagi setiap 8 jam
Tobramisin 5 Dibagi setiap 8 jam
Ticarsilin 100 Dibagi setiap 6 jam

(B) Oral
Rawat jalan antibiotik oral (pengobatan standar)
Amoksisilin 20 – 40 mg/kg BB/hari q8h
Ampisilin 50 – 100 mg/kg BB/hari q6h
Augmentin 50 mg/kg BB/hari q8h
Cefaleksin 50 mg/kg BB/ hari q6 – 8h
Sefiksim 4 mg/kg BB q12h
Nitrofurantoin* 6 – 7 mg/kg BB q6h
Sulfisoksazole* 120 – 150 q6h – 8h
Trimetoprim* 6 – 12 mg/kg BB q6h
Sulfametoksazole 30 – 60 mg/kg BB q6 – 8h
*Tidak direkomendasikan untuk neonatus dan penderita dengan insufisiensi ginjal

(C) Terapi profilaksis


Nitrofurantoin* 1 – 2 mg/kg BB
Sulfamentoxsazole* 50 mg/kg BB
(1x malan hari)
Trimetoxsazole* 2 mg/kg BB
30 – 60 mg/kg BB
Sumber : Pedoman Diagnosis dan Terapi Bag/SMF Ilmu Kesehatan Anak
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK) RSU HAJI
SURABAYA

TATA LAKSANA KASUS R SU


HAJI

ILMU KESEHATAN ANAK


2018 – 2020 SURABAYA

KEJANG DEMAM
( ICD 10: R50.0)
1. Pengertian Bangkitan kejang yang terjadi karena kenaikan suhu tubuh yang disebabkan oleh
(Definisi) suatu proses ekstrakranium.

2. Anamnesis Gejala klinis :


1. Kejang demam sederhana :
a. Kejang berlangsung singkat <15 menit.
b. Kejang umum tonik dan atau klonik.
c. Umumnya berhenti sendiri.
d. Tanpa gerakan fokal atau berulang dalam 24 jam.
2. Kejang demam komplikata :
a. Kejang berlangsung >15 menit.
b. Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang
parsial.
c. Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam.
3. Biasanya didapat riwayat kejang di dalam keluarga : ayah, ibu, atau saudara
kandung

3. Pemeriksaan Tidak didapatkan kelainan pada pemeriksaan neurologis.


Fisik

4. Pemeriksaan 1. Laboratorium tidak dianjurkan kecuali untuk mengevaluasi sumber infeksi atau
Penunjang mencari penyebab (DL, UL, Elektrolit, Gula darah)
2. Radiologi : X-ray kepala, CT-scan kepala atau MRI (bila diperlukan).
3. EEG (pemeriksaan pada saat rawat jalan).

5. Kriteria 1. Sesuai anamnesa.


Diagnosis 2. Sesuai pemeriksaan fisik.
3. Sesuai pemeriksaan penunjang.

6. Diagnosis Kejang demam


Kerja

7. Diagnosis 1. Meningitis.
Banding 2. Ensefalitis.
3. Abses otak.

8. Terapi 1. Melakukan ABC support (Airway, Breathing, Circulation).


2. Menghentikan kejang (lihat alur di lampiran).
3. Turunkan demam
a. Antipiretika : Paracetamol 10 mg/kg BB/dosis (po) atau Ibu profen 5 – 10
mg/kg BB/dosis (po). Keduanya diberikan 3 – 4 kali sehari.
b. Kompres air hangat atau air PAM.
4. Pengobatan penyebab : antibiotik sesuai penyakit primer (lihat PPK yang
sesuai)
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK) RSU HAJI
SURABAYA

TATA LAKSANA KASUS R SU


HAJI

ILMU KESEHATAN ANAK


2018 – 2020 SURABAYA

KEJANG DEMAM
( ICD 10: R50.0)
5. Pencegahan kejang
a. Pencegahan berkala (intermittent) untuk kejang demam sederhana dengan
Diazepam 0,3 mg/kg BB/dosis (po) dikombinasi dengan antipiretik
(Paracetamol) saat demam.
b. Pencegahan kontinu untuk kejang demam komplikata dengan Asam valproat
15 – 40 mg/kg BB/hari (po) dibagi dalam 2 – 3 dosis, lama terapi
disesuaikan dengan hasil EEG.

9. Edukasi 1. Saat kejang tidak boleh diberikan minum atau makan untuk menghindari
aspirasi atau tersedak.
2. Segera turunkan demam dengan antipiretik dan kompres.

10. Prognosis Dinyatakan baik bila :


1. Status gizi baik.
2. Kemajuan klinis.
3. Komplikasi teratasi.

11. Tingkat IV
Evidens

12. Tingkat B
Rekomendas
i

13. Penelaah dr. Dyah Retno Wulan, SpA


Kritis

14. Indikator 1. Kejang berhenti setelah pemberian Diazepam.


Medis 2. Kejang tidak berulang setelah pemberian anti konvulsan.
3. Demam turun setelah pemberian anti piretik.
4. Penyakit dasar teratasi.

15. Kepustakaan 1. Barman RJ. 2002. Febrile Seizures. E MED J Vol. 2 No. 3.
2. Campfield, C. 2000. Advance in Diagnosis & Management of Pediatrics
Seizure Disorder in Twentieth century. J. Pediatric 136 : 897 – 9.
3. Bherman RE, MD., Kliegman RM, MD., Jonson HB, MD. 2007. Febrile
Seizures, in Nelson Text book of Pediatrics (18th ed). Philadelphia : WB
Saunders Co. hal. 2457 – 8.
4. Pudjiadi, Antonius., dkk. 2010. Pedoman Pelayanan Medis IDAI. Jakarta :
IDAI hal 150 – 2.
5. Pusponegoro HD., Widodo DP., Ismael S. 2006. Konsensus 1 – 1C
Penatalaksanaan Kejang Demam Edisi 2. Jakarta : UKK Neurologi IDAI
Badan Penerbit IDAI hal. 1 – 13.
6. Widodo DP. 2006. Algoritma Penatalaksanaan Kejang Akut & Status
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK) RSU HAJI
SURABAYA

TATA LAKSANA KASUS R SU


HAJI

ILMU KESEHATAN ANAK


2018 – 2020 SURABAYA

KEJANG DEMAM
( ICD 10: R50.0)
Epilektikus pada Bayi & Anak, PKB Ilmu Kesehatan anak FKUI XLIX.
Yogyakarta : Badan Penerbit IDAI hal 63 – 9.
Alur Penatalaksanaan Kejang

Status Konvulsi

Pemeriksaan :
Tanda – tanda vital, kejang, Derajat Cari
gangguan kesadaran, Tanda – tanda fokal Penyebab

Menit ke 1 Tindakan Suportif Penataksanaan Kejang

Alrway Breathing Circulation Diazepam :


0,3 – 0,5 mg/kg BB/dosis IV
atau
0,4 – 0,6 mg/kg BB/dosis IV Rektasi Supp
Menit ke 3 Pasang infus D10
Inj D40 mg/kg BB/dosis
Inj Thiamin 25 mg/kg BB/dosis
Inj Dexamethasone 0,5 mg/kg BB/dosis Phenytoin :
Dosis awal :15 mg/kg BB/dosis IV (Maksimal
kecepatan pemberian 50 mg/menit )
(ARITMIA IRAMA JANTUNG !!)

Kejang
berhenti ?

Tidak Ya

Menit ke 20 Posisi semiprone Pindah ke ICU + Phenytoin :


Hindari trauma Diazepam 5 mg/kg BB/hari
Pasang NG tube (dosis ada) dibagi dalam 3 dosis

Kejang
berhenti ? Ya

Tidak

Menit ke 40 Pemantauan : Diazepam :


EKG, RR, TD, Nadi Dosis maksimal 3
mg/kgBB/jam IV dengan
Syringe Pump
(AWAS DEPRESI NAFAS)
+ Respirator
Terapi penyebab
Atasi penyulit

Midazolam : Kejang
Dosis awal 0,2 mg/kg BB IV Bolus Tidak berhenti ? Ya
pelan dalam 2 – 5 menit dilanjutkan
dengan Dosis rumatan 0,4 – 6 mg/kg
BB/menit atau 0,1 – 2 mg/kg BB/jam
IV dengan syringe pump
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK) RSU HAJI
SURABAYA

TATA LAKSANA KASUS R SU


HAJI

ILMU KESEHATAN ANAK


2018 – 2020 SURABAYA

PENATALAKSANAAN PEMBERIAN ANTI HEMOFILI


FAKTOR (FAKTOR VIII)
( ICD 10: 99.06)
1. Pengertian Manajemen perawatan pasien hemofilia dengan pemberian anti hemofilic factor
(Definisi) pada kasus rumatan dan kasus khusus (perdarahan, circumsisi dan pembedahan).

2. Indikasi 1. Adanya perdarahan.


2. Pembengkakan sendi.
3. Tindakan pembedahan, misalnya circumcisi.
4. Riwayat hemofilia.

3. Kontra Sensitif terhadap preparat faktor VIII.


Indikasi

4. Persiapan 1. Bak spuit atau tempat instrumen


2. Obat dan aqua pro injection
3. Spuit steril
4. Kapas alkohol, plester
5. Bengkok

5. Prosedur Transfusi faktor VIII : anti hemofilic factor (AHF) concentrate.:


Tindakan 1. Profilaksis (rumatan) : Dosis AHF 20 unit/kg BB/48 jam akan
mempertahankan kadar Faktor VIII diatas 1% sehingga perdarahan spontan
terhindarkan.
2. Perdarahan spontan dalam sendi, otot dengan kadar Faktor VIII 40 – 50 %,
dosis 20 – 25 unit/kg BB/12 jam (2 – 3 hari). Terapi pelengkap Prednisone 2
mg/kg BB/hari (1 kali), 1 mg/kg BB/hari (2 kali) Immobilisasi.
3. Perdarahan Hematuria, dengan kadar Faktor VIII 40 – 50 %, dosis 20 – 25
unit/kg BB/12 jam (sampai gross hematuria menghilang). Terapi pelengkap
Prednisone 2 mg/kg BB/hari (1 kali), 1 mg/kg BB/hari (2 kali) (EACA
kontraindikasi).
4. Perdarahan Hematom di tempat berbahaya, dengan kadar Faktor VIII 60
– 60 %, dosis 30 – 40 unit/kg BB/12 jam (5 – 7 hari). Terapi pelengkap
Fisioterapi jika ada gangguan saraf oleh karena tekanan.
5. Perdarahan Tindakan gigi : ekstraksi 1 gigi, dengan kadar Faktor VIII 20 –
30 %, dosis 10 – 15 unit/kg BB/12 jam (1 hari). Terapi pelengkap Perawatan
gigi profilaktik EACA 100 mg/kg BB/hari/6 jam (7 hari).
6. Perdarahan Ekstraksi multipel, dengan kadar Faktor VIII 40 – 50 %, dosis
20 – 25 unit/kg BB/12 jam (1 – 3 hari). Terapi pelengkap kumur anti septik.
7. Perdarahan Operasi besar, trauma kepala, kecelakaan berat, dengan
kadar Faktor VIII 100 – 150 %, dosis 50 – 75 unit/kg BB/12 jam. Terapi
pelengkap Skrining inhibitor, assay Faktor VIII tiap jam (ideal).
Keterangan : EACA = aminocaproic acid.
8. Untuk Circumsisi : (lihat algoritme di lampiran)
a. Hari I : kadar Faktor VIII 100%, dosis 50 IU/kg BB/hari
b. Hari II : Saat Circumsisi :
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK) RSU HAJI
SURABAYA

TATA LAKSANA KASUS R SU


HAJI

ILMU KESEHATAN ANAK


2018 – 2020 SURABAYA

PENATALAKSANAAN PEMBERIAN ANTI HEMOFILI


FAKTOR (FAKTOR VIII)
( ICD 10: 99.06)
- Pre OP kadar Faktor VIII 50 %, dosis 25 IU/kg BB/hari.
- Post OP kadar Faktor VIII 25 IU
c. Hari III : kadar Faktor VIII 50 %, dosis 25 IU/kg BB/hari
d. Hari IV : kadar Faktor VIII 50 %, dosis 25 IU/kg BB/hari
e. Hari V : kadar Faktor VIII 50 %, dosis 25 IU/kg BB/hari
f. Hari VI : kadar Faktor VIII 50 %, dosis 25 IU/kg BB/hari
g. Hari VII : kadar Faktor VIII 50 %, dosis 25 IU/kg BB/hari

10. Tingkat IV
Evidens

11. Tingkat B
Rekomendas
i

12. Penelaah dr. Sasongko, Sp. A


Kritis

13. Indikator 1. Perdarahan berhenti.


Prosedur 2. Faal hemostasis tidak memanjang.
Tindakan

14. Kepustakaan 1. Anonimouse World Federation of Hemophilia. Protocol for the Treatment of
Hemophilia and von willebrand Disease : Hemophilia of Geogia.
2. Miller DR., Baehner RL., Mille LP. 1995. Coagulation disorders, in Blood
Diseases of Inflancy and Childhood edisi ke – 7. St. Louis : Mosby hal 924 –
86.
3. Pudjiadi, Antonius., dkk. 2010. Pedoman Pelayanan Medis IDAI. Jakarta :
IDAI hal 92 – 7.
4. Lanzkowsky, P. 1995. Manual of Pediatric Hematology and Onocology edisi
ke – 2. New York : Churchill Livingstone Inc. hal 254 – 62.
5. Nelson WE., Behrman RE., Kliegman RM., Arvin AM. 2000. Hereditary
Clotting Factor Deficiencies (Bleeding Disorders), in Nelson Text Book of
Pediatric edisi ke – 16. Philadelphia : WB Saunders Co. hal 1508 – 11.

Anda mungkin juga menyukai