SURABAYA
3. Pemeriksaan 1. Tanda-tanda syok : tekanan nadi <20 mm/Hg atau tensi tidak terukur, nadi
Fisik cepat dan kecil atau tidak teraba, akral dingin, CRT >2 detik.
2. Pembesaran hati.
3. Manifestasi perdarahan nyata atau uji tourniquet positif.
4. Tanda-tanda kebocoran plasma : syok atau pre-syok, efusi pleura, asites.
5. Kriteria Sesuai kriteria WHO (ditemukan 2 atau 3 kriteria kinis disertai trombositopenia
Diagnosis dan hemokonsentrasi).
7. Diagnosis 1. Morbili.
Banding 2. Idiopathic Trombocytopenic Purpura (ITP).
8. Terapi 1. Terapi cairan/ terapi syok sesuai derajat DBD (lihat algoritma lampiran 1).
2. Anti piretik : paracetamol 30 mg /kg BB /hari per-oral (jangan beri Ibuprofen /
Aspirin).
3. Kompres basah.
4. Minum manis cukup.
5. Dietetik sesuai kondisi penderita.
6. Terapi problem penyerta.
7. Pemberian multivitamin.
12. Tingkat A
Rekomendas
i
15. Kepustakaan 1. Berman S., MD. 1991. Dengue Like Infection, in Pediatric Decision Making
(2nd ed). Philadelphia : B.C. Decker Inc. hal 24 – 5.
2. Pudjiadi, Antonius., dkk. 2010. Pedoman Pelayanan Medis IDAI. Jakarta :
IDAI hal 141 – 9.
3. Pusponegoro HD., Widodo DP., Ismael S. 2006. Konsensus 1 – 1C
Penatalaksanaan Kejang Demam Edisi 2. Jakarta : UKK Neurologi IDAI
Badan Penerbit IDAI hal 1 – 13.
4. WHO. 2009. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Jakarta :
WHO Indonesia dan Depkes RI hal 163 – 7.
Demam Berdarah Dengue Derajat I/II
PCV PCV
PCV, T/N stabil,
Diuresis (+)
Koloid/ Transfusi
Plasma Whole
STOP Blood
Membaik
Demam Berdarah Dengue Derajat III
Kristaloid
5 cc/kg BB/1 jam
Kristaloid
3 cc/kg BB/1 jam
Demam Berdarah Dengue Derajat IV
Kristaloid
3 cc/kg BB/1 jam
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK) RSU HAJI
SURABAYA
Sedangkan ikterus neonatorum adalah keadaan klinis bayi yang ditandai oleh
pewarnaan kuning pada kulit dan sklera akibat akumulasi bilirubin tak terkonjugasi
yang berlebih. Ikterus tampak secara klinis bila kadar bilirubin darah > 5-7 mg/dL.
3. Pemeriksaan Umum :
Fisik Keadaan Umum dan Tanda Vital
Khusus :
1. Inspeksi visual dengan observasi warna kulit yaitu dengan cara menekan kulit
ringan memakai jari tangan dan dilakukan pada pencahayaan yang memadai
2. Berdasarkan Kramer dibagi menjadi :
Derajat Perkiraan Kadar
Daerah Ikterus
Ikterus Bilirubin
I Kepala dan leher 5,0 mg/dL
II Sampai badan atas (di atas umbilikus) 9,0 mg/dL
III Sampai badan bawah (di bawah 11,4 mg/dL
umbilikus) hingga tungkai atas (di atas
lutut)
IV Sampai lengan, tungkai bawah lutut 12,4 mg/dL
V Sampai telapak tangan dan kaki 16,0 mg/dL
Pemeriksaan Neurologis :
Menilai adanya Ensefalopati Bilirubin akut :
Skor 7 – 9 : Ensefalopati Bilirubin Akut Berat
Skor 4 – 6 : Ensefalopati Bilirubin Akut Sedang
Skor 1 – 3 : Ensefalopati Bilirubin Akut Ringan
5. Kriteria Peningkatan kadar plasma bilirubin >2 SD dari kadar yang diharapkan berdasarkan
Diagnosis umur bayi atau lebih dari persentil 90. (Level 1 rekomendasi C)
Lihat Gambar dibawah :
8. Terapi 1. Fototerapi
Fototerapi dilakukan bila kadar total serum bilirubin (TSB) melebihi batas
yang diharapkan sesuai pada gambar 2. (Level 1 rekomendasi C)
Gambar 2. Panduan fototerapi pada bayi usia gestasi 35 minggu atau lebih
2. Penghentian fototerapi
Foto terapi berhasil :
Tergantung dari usia saat fototerapi dan penyebab hiperbilirubinemia. Pada
bayi yang masuk rumah sakit (TSB 18 mg/dl), fototerapi dapat dihentikan bila
TSB <10 mg/dL. (Level 1 rekomendasi C)
3. Tranfusi tukar
Dilakukan bila kadar total serum bilirubin melampaui garis seperti pada
gambar 3 (Level 1 rekomendasi D)
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK) RSU HAJI
SURABAYA
Gambar 3. Panduan tranfusi tukar pada bayi usia gestasi 35 minggu atau lebih.
Tranfusi tukar segera bila bayi menunjukkan tanda ensefalopati
bilirubin akut (hipertonia, opistotonus, panas, menangis melengking)
atau TSB ≥5 di atas garis. Faktor risiko : isoimun hemolitik, defisiensi
G6PD, asfiksia, letargi, instabilitas temperatur, sepsis asidosis
9. Edukasi Mengajarkan kepada orang tua bagaimana mengenali keluhan kuning pada bayi
yang akan KRS (Level 1 rekomendasi D)
13. Kepustakaan 1. Brown AK, Kim MH, Wu PKY, Bryla DA. Efficacy of phototherapy in
prevention and management of neonatal hyperbilirubinemia. Pediatrics
1985;75:393
2. Scheidt PC, Bryla DA, Nelson KB, Hirtz DG, Hoffman HJ. Phototherapy for
neonatal hyperbilirubinemia:six year follow up of the national institute of child
health and human development clinical trial. Pediatrics.1990:85:455
3. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG. Neonatology, management,
procedures, on call problems disease and drugs; edisi ke-7. New York: Lange
Books/Mc Graw-Hill, 2013; 400-9.
4. Martin CR, Cloherty JP. Neonatal hyperbilirubinemia. Dalam: Cloherty JP,
Stark AR, eds. Manual of neonatal care; edisi ke-7. Boston: Lippincott
Williams & Wilkins, 2012; 304-39.
5. Khosim MS, Surjono A, Setyowireni D, et al. Buku panduan manajemen
masalah bayi baru lahir untuk dokter, bidan dan perawat di rumah sakit.
Jakarta: IDAI, MNH-JHPIEGO, Depkes RI, 2004; 42-8.
6. Sukadi A. Hiperbilirubinemia. Dalam: Kosim MS, Yunanto A, Dewi R,
Santosa GI, Usman A, eds. Buku ajar neonatologi, edisi ke-1. Jakarta: Badan
Penerbit IDAI, 2008; 147-69.
7. American Academic of Pediatrics. Management of hyperbilirubinemia in the
newborn infant 35 or more weeks of gestation. Pediatrics 2004; 114; 297-316.
8. Indrasanto E, Dharmasetiawani N, Rohsiswatmo R, Kaban RK. Buku acuan
pelatihan pelayanan obstetri dan neonatal emergensi komprehensif. Jakarta:
Depkes RI, 2008; 181-91.
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK) RSU HAJI
SURABAYA
BRONCHOPNEUMONIA
( ICD 10: J18)
1. Pengertian Penyakit peradangan parenkim paru yang disebabkan oleh bermacam etiologi
(Definisi) seperti bakteri, usus, virus, mikroplasma, jamur, atau bahan kimia / benda asing
yang teraspirasi dengan akibat timbulnya ketidakseimbangan ventilasi dengan
perfusi.
3. Pemeriksaan 1. Sianosis.
Fisik 2. Nafas cepat.
3. Ronki pada auskultasi.
4. Pernafasan cuping hidung.
5. Tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam.
6. Merintih.
4. Pemeriksaan 1. Pemeriksaan darah tepi : lekositosis demgam hitung jenis bergeser ke kiri.
Penunjang 2. Foto thorax :
1. Infiltrat alveoral dengan luas kelainan pada gambaran radiologis sesuai
dengan derajat klinis.
2. Konsolidasi pada 1 lobus atau lebih.
3. Penebalan pleura pada pleuritis.
4. Komplikasi dengan gambaran atelektasis, efusi pleura, pneumomediastinum,
pneumothorax, abses, pneumatokel.
5. Analisa gas darah, bila diperlukan.
5. Kriteria 1. Derajat ringan : disamping batuk dan kesulitan nafas, hanya terdapat nafas
Diagnosis cepat.
2. Derajat berat : batuk dan kesulitan bernafas ditambah minimal salah satu
berikut ini :
a. Pernafasan cuping hidung.
b. Tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam.
c. Foto thorax terdapat gambaran pneumoni.
d. Tidak dapat menyusu / minum / makan, atau memuntahkan semuanya.
e. Kejang, letargis / tidak sadar.
f. Sianosis.
g. Distress pernafasan berat.
6. Diagnosis Bronchopneumonia
Kerja
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK) RSU HAJI
SURABAYA
BRONCHOPNEUMONIA
( ICD 10: J18)
7. Diagnosis 1. Kelainan jantung.
Banding 2. Bronkiolitis.
3. Aspirasi benda asing.
4. Abses paru.
5. Khusus pada bayi : Meningitis, Illeus.
8. Terapi 1. Pasien dengan saturasi oksigen rendah atau mengalami takhipnoe diberikan
oksigen sesuai kebutuhan. Observasi setidaknya setiap 4 jam sekali, termasuk
pemeriksaan saturasi oksigen.
2. Antipiretik : Paracetamol 30 mg/kg BB/hari.
3. Mucocilliary clearance : Nebulisasi dengan β2-agonis (Salbutamol 0,1 cc/kg
BB/dosis tiap 4 – 6 jam) dan atau NaCl.
Pemberian Antibiotik
1. Antibiotik intravena diberikan pada pasien pneumonia yang tidak dapat
menerima obat per-oral (misal karena muntah atau termasuk dalam derajat
pneumonia berat).
2. Antibiotik intravena yang danjurkan adalah:
Nama Antibiotik Dosis Lama Pemberian
Ampisilin 100 mg/kg BB/hari
dan
Kloramfenikol 50 mg/kg BB/hari
Co-amoxiclav 100 mg/kg BB/hari 5 hari
Ceftriaxon 50 mg/kg BB/hari
Cefuroxime 75 mg/kg BB/hari
Cefotaxime 100 mg/kg BB/hari
BRONCHOPNEUMONIA
( ICD 10: J18)
11. Tingkat III
Evidens
12. Tingkat A
Rekomendas
i
15. Kepustakaan 1. Behrman, Kliegman, & Jenson. 2004. Nelson Textbook of Pediatrics (17th
ed). Philadelpia : WB Saunders Company.
2. IDAI. 1994. Pedoman Diagnosis dan Terapi Lab/UPF Ilmu Kesehatan Anak.
Surabaya : RSUD Dr. Soetomo Surabaya.
3. Pudjiadi, Antonius., dkk. 2010. Pedoman Pelayanan Medis IDAI. Jakarta :
IDAI hal 250 – 5.
4. WHO. 2009. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Jakarta
: WHO Indonesia dan Depkes RI hal 86 – 93.
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK) RSU HAJI
SURABAYA
7. Diagnosis -
Banding
8. Terapi 1. Resusitasi cairan dan elektrolit sesuai derajat dehidrasi dan kehilangan
elektrolit serta gangguan keseimbangan asam basanya. (lihat alur di
lampiran 1).
2. PemberianVitamin A intramuskuler :
a. Usia anak < 1 tahun :
- Dengan status gizi kurang / buruk (WHO) : 100.000 IU dilanjutkan
pemberian per oral 5000 IU / hari selama 10 hari
b. Usia anak > 1 tahun :
- Dengan status gizi kurang / buruk (WHO) : 200.000 IU dilanjutkan
pemberian per-oral 5000 IU / hari selama 10 hari.
3. Probiotik : usia <1 th = 1 sachet/hari ; 1 – 5 th = 2 sachet/hari ; >5th = 3
sachet/hari.
4. Pemberian preparat Zinc :
a. Usia anak < 6 bulan : peroral 10 mg / hari selama 10 hari
b. Usia anak > 6 bulan : peroral 20 mg / hari selama 10 hari
5. Rehidrasi per-oral dengan cairan rehidrasi oral sebanyak 10 cc/kg BB tiap
diare atau muntah.
6. Bila terdapat tanda infeksi diberikan antibiotik sesuai penyebab (lampiran
2).
7. Terapi simptomatik (tidak termasuk obat anti diare), penyakit penyerta &
komplikasi sesuai panduan klinis.
8. Dietetik : makanan tetap diberikan, ASI diteruskan, pasien dengan susu
formula diencerkan. Makanan tambahan sesuai umur dengan konsistensi
yang mudah dicerna.
12. Tingkat A
Rekomendasi
15. Kepustakaan 1. Berman S, MD. 1991. Acute Diarrea, in Pediatric Decisión Making (2nd
ed). Philadelpia : BC Decaer Inc. hal 320 – 5.
2. Berman S, MD. 1991. Chronic Diarrea, in Pediatric Decisión Making, 2nd
ed. Philadelpia : BC Decaer Inc. hal 326 – 7.
3. Behrman RE, MD., Kliecman RM, MD., Jonson HB, MD. 2007. Acute
Gastroenteritis in Children, in Nelson Textbook of Pediatrics (18th ed).
Philadelpia : WB. Saunders Co. hal 1605 – 26.
4. Pudjiadi, Antonius., dkk. 2010. Pedoman Pelayanan Medis IDAI. Jakarta :
IDAI hal 58 – 62.
5. Soeprapto P., Djupri LS., Sudarme SM., Ranuh IRG. 1999. Sindroma
Diare (Gangguan Absorpsi – Sekresi) (2nd ed). Surabaya : Gramil FK –
Unair RSUD Dr. Soetomo hal 37 – 142.
6. WHO. 2009. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit.
Jakarta : WHO Indonesia dan Depkes RI hal 131 – 52.
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK) RSU HAJI
SURABAYA
Maturitas Neurologis :
NILAI NILAI
TANDA
TANDA
-1 0 1 2 3 4 5
Postur
Sudut
Pergelangan
Tangan
Rekoil
Lengan
Sudut
Poplitea
Tanda
Selempang
Tumit ke
Telinga
5. Kriteria BKB/BBLR/SMK
Diagnosis
6. Diagnosis 1. BKB/BBLR/KMK
Kerja 2. BKB/BBLR/BMK
3. BCB/BBLR/KMK
4. BKB/BBLSR/SMK
5. BKB/BBLSR/KMK
6. BKB/BBLSR/BMK
7. BKB/BBLASR/SMK
8. BKB/BBLASR/KMK
9. BKB/BBLASR/BMK
5. Monitor :
a. Berat badan setiap dua hari sekali,
b. Produksi urine (dalam 12 jam pertama ada keluar urin atau tidak, 12-24 jam
pertama >0,5 ml/kg/jam, diatas 2 hari antara 1-2 ml/kg/jam)
c. Hemodinamik : denyut jantung (normal 140-160 x/menit), takikardia >160
x/menit
d. Mempertahankan glukosa darah 50-90 mg/dL dengan memberikan infus
glukosa 4-6 mg/kg/menit.
6. Infus Ca Glukonas 2 cc/kg/hari intravena
7. Pemberian antibiotik pada bayidengan faktor resiko :
Ketuban keruh, ketuban pecah dini > 18 jam, ibu dengan dugaan
chorioamniotis
Ampicillin 100 mg/kg/hari iv dibagi 2 dosis pemberian kombinasi gentamisin 5
mg/kg/hari sekali sehari iv (Level III rekomendasi B)
8. Hiperbilirubinemia : Upayakan serum bilirubin dibawah <10, fototerapi
dilakukan berdasarkan ambang fototerapi menurut guideline AAP 2004 (Level
1 rekomendasi C)
9. Tatalaksana nyeri dan stress pada bayi : memakai kelambu, membedong bayi,
menggunakan sangkar, musik, serta bila melakukan tindakan yang berakibat
nyeri memberikan larutan sukrosa 24% 2 menit sebelum tindakan dimulai dan
emla krim 30 menit sebelumnya. (Level 1 rekomendasi A)
10. Nutrisi : dimulai dengan nutrisi enteral minimal 10 mL/kg dinaikkan secara
bertahap dengan menggunakan ASI atau formula kurang bulan. Nutrisi
parenteral dimulai secara agresive pada hari pertama kehidupan. (Level 1
rekomendasi B)
11. Ultrasonografi kepala dilakukan dalam 7 hari pertama kehidupan untuk
menyingkirkan perdarahan intraventrikuler (Level 1 rekomendasi B)
12. High flow nasal canule : digunakan sebagai alternatif atau metode weaning
CPAP dengam flow >1 lpm dengan udara blender untuk tatalaksana gawat
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK) RSU HAJI
SURABAYA
11. Tingkat
Evidens
12. Tingkat
Rekomendas
i
15. Kepustakaan 1. Perlman JM, Wyllie J, Kattwinkel J, Atkins DL, Chameides L, Goldsmith JP,
et al. Part 11: neonatal rescucitation: 2010 international consesnsus on
cardiopulmonary rescucitation and emergency cardiovascular care science with
treatment recommendations. Circulation. 2010;122:S516-38
2. Schulze A, O'Donnell CP, Davis PG. Air versus oxygen for resuscitation of
infants at birth. Cochrane Database Syst Rev.2004;(3):CD002273
3. Davis PG, Tan A, O'Donnell CP, Schulze A. Resuscitation of newborn infants
with 100% oxygen or air: a systematic review and meta-analysis.
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK) RSU HAJI
SURABAYA
BRONKIOLITIS
( ICD 10: J21.9)
1. Pengertian Penyakit obstruktif akibat inflamasi akut pada saluran nafas kecil (bronkiolus) yang
(Definisi) terjadi pada anak <2 tahun dengan insidens tertinggi pada usia sekitar 2 – 6 bulan
dengan penyebab tersering respiratory sincytial.
3. Pemeriksaan 1. Wheezing.
Fisik 2. Ekspirasi memanjang.
3. Hiperinflasi dinding dada, dengan hipersonor pada perkusi.
4. Tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam.
5. Ronki pada auskultasi dada.
4. Pemeriksaan 1. Foto dada AP dan lateral : gambaran hiperinlasi paru (emfisema) dengan
Penunjang diameter anteroposterior membesar pada foto lateral serta dapat terlihat bercak
konsolidasi yang tersebar.
2. Analisis gas darah.
5. Kriteria 1. Derajat ringan : disamping batuk dan kesulitan nafas, hanya terdapat nafas
Diagnosis cepat.
2. Derajat berat : batuk dan kesulitan bernafas ditambah minimal salah satu
berikut ini :
1. Pernafasan cuping hidung.
2. Tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam.
3. Foto thorax terdapat gambaran pneumoni.
4. Tidak dapat menyusu / minum / makan, atau memuntahkan semuanya.
5. Kejang, letargis / tidak sadar.
6. Sianosis.
7. Distress pernafasan berat.
6. Diagnosis Bronkiolitis
Kerja
7. Diagnosis 1. Asma.
Banding 2. Aspirasi benda asing.
3. Bronkopneumonia.
4. Gagal jantung.
5. Miokarditis.
6. Fibrosis kristik.
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK) RSU HAJI
SURABAYA
BRONKIOLITIS
( ICD 10: J21.9)
8. Terapi 1. Oksigenasi.
2. Pemberian cairan (sesuai umur, rumus Halliday segar).
3. Antibiotik dapat diberikan pada keadaan umum yang kurang baik : curiga
pada infeksi sekunder (pneumoni atau pada penyakit yang berat).
Nama Cara Lama
Dosis
antibiotik Pemberian Pemberian
Ampisillin 50-100 mg/kg Intravena (iv) 7-10 hr
BB/hari terbagi
4 dosis
ATAU
Sefotaksim 50-100 mg/kg Intravena (iv) 7-10 hr
BB/hari terbagi
3 dosis
ATAU
Seftriakson 50-100 mg/kg Intravena (iv) 7-10 hr
BB/hr dosis
tunggal
ATAU
Eritromisin* 50 mg/kg Oral (p.o) 7-10 hr
BB/hr, terbagi
4 dosis
* Bila Alergi terhadap Penisilin
BRONKIOLITIS
( ICD 10: J21.9)
11. Tingkat III
Evidens
12. Tingkat A
Rekomendas
i
15. Kepustakaan 1. Behrman., Kliegman., Jenson. 2004. Nelson Textbook of Pediatrics (17th
ed). Philadelpia : WB Saunders Company hal 1432 – 5.
2. IDAI. 1994. Pedoman Diagnosis dan Terapi Lab/UPF Ilmu Kesehatan Anak.
Surabaya : RSUD Dr. Soetomo Surabaya.
3. Pudjiadi, Antonius., dkk. 2010. Pedoman Pelayanan Medis IDAI. Jakarta :
IDAI hal 30 – 2.
4. WHO. 2009. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Jakarta
: WHO Indonesia dan Depkes RI hal 86 – 93.
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK) RSU HAJI
SURABAYA
DEMAM TIFOID
( ICD 10: A01.0)
1. Pengertian Penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh kuman Salmonella typhi.
(Definisi)
3. Pemeriksaan 1. Pada demam tifoid berat dapat dijumpai penurunan kesadaran, kejang, dan
Fisik ikterus.
2. Kesadaran menurun mulai apatis sampai koma, delirium. Pada demam tifoid
berat anak tampak toksik.
3. Rhagaden, typhoid tongue (bagian tengah kotor dengan tepi hiperemis).
4. Meteorismus, hepatomegali lebih sering dijumpai dibandingkan splenomegali.
4. Pemeriksaan 1. Leukopenia.
Penunjang 2. Aneosonofilia.
3. Trombositopenia.
4. Serologi widal titer O Ag >1/200 atau meningkat lebih dari 4 kali dalam interval
waktu 1 minggu (titer fase akut ke fase konvalensens).
5. Kadar IgM dan IgG (Typhii-dot).
DEMAM TIFOID
( ICD 10: A01.0)
14 hari atau 7 hari bebas demam (po) ; atau
Amoksisilin 12,5 - 25 mg/kg BB/dosis, 3 - 4 x/hari, selama 21 hari atau 7
hari bebas demam (po) ; atau
Cefixime 10 - 15 mg/kg BB/hari, terbagi 2 dosis, selama 10 – 14 hari (po)
2. Pengobatan simptomatik dan perbaiki kondisi penderita :
a. Antipiretika : Paracetamol 10 – 15 mg/kg BB/dosis tiap 6 – 8 jam.
b. Kompres air PAM.
c. Jaga keseimbangan cairan, elektrolit & asam basa :
- Bila intake PO buruk : infus D5 ¼ saline atau D5 ½ saline sesuai usia
dengan rumus Halliday Segar.
- Bila intake PO baik : diet cukup kalori dan protein.
d. Diet rendah serat.
e. Bed rest total.
3. Pemberian steroid pada penderita dengan ensefalopati atau syok septic :
Dexametazon dosis awal 3 mg/kg BB (iv) per dosis pelan, kemudian disusul
dengan dosis 1 mg/kg BB/dosis dengan tenggang waktu 6 – 7 kali pemberian.
4. Pengobatan komplikasi bila ada komplikasi.
12. Tingkat A
Rekomendas
i
DEMAM TIFOID
( ICD 10: A01.0)
15. Kepustakaan 1. Behrman RE., Kliegman RM., Jenson HB. 2007. Enteric Fever (Typhoid
Fever), in Nelson Text Book of Pediatrics (18th ed). Philadelphia : WB
Saunders Co. hal 1186 – 91.
2. Christie AB. 1987. Typhoid and Paratyphoid Fever, in Infectious Diseases Vol
1 (4th ed). Churchill Livingstone : Medical Division of Longman Group UK
Ltd. hal 100.
3. Pudjiadi, Antonius., dkk. 2010. Pedoman Pelayanan Medis IDAI. Jakarta :
IDAI hal 47 – 9.
4. Warren KS., Mahmoud AAF. 1985. Typhoid Fever and Other Salmonella
Infections in, Tropical and Geographical Medicine. New York : Mc Graw-Hill
Book Co. hal 710.
5. WHO. 2009. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Jakarta :
WHO Indonesia dan Depkes RI hal 167.
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK) RSU HAJI
SURABAYA
3. Pemeriksaan Tidak spesifik tergantung usia dan lokasi infeksi saluran kemih :
Fisik 1. Suhu >37,5 °C.
2. Nyeri ketok pinggang.
11. Tingkat IV
Evidens
12. Tingkat B
Rekomendas
i
15. Kepustakaan 1. Brauhard BH., Travis BL. 1983. Infection of The Urinary Tract, in Practice of
Pediatrics vol VIII. New York : Harper and Row Publ hal 1 – 15.
2. Alatas H., Tambunan T., Trihono PP., Pardede SO. 2002. Infeksi Saluran
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK) RSU HAJI
SURABAYA
(A) Parenteral
Ampisilin 100 Tiap 12 jam (bayi <1 minggu)
Tiap 6 – 8 jam (bayi >1minggu)
Sefotaksim 150 Dibagi setiap 6 – 8 jam
Gentamisin 5 Tiap 12 jam (bayi <1 minggu)
Tiap 24 jam (bayi >1 minggu)
Seftriakson 75 Sekali sehari
Seftazidim 150 Dibagi setiap 6 – 8 jam
Sefazolin 50 Dibagi setiap 8 jam
Tobramisin 5 Dibagi setiap 8 jam
Ticarsilin 100 Dibagi setiap 6 jam
(B) Oral
Rawat jalan antibiotik oral (pengobatan standar)
Amoksisilin 20 – 40 mg/kg BB/hari q8h
Ampisilin 50 – 100 mg/kg BB/hari q6h
Augmentin 50 mg/kg BB/hari q8h
Cefaleksin 50 mg/kg BB/ hari q6 – 8h
Sefiksim 4 mg/kg BB q12h
Nitrofurantoin* 6 – 7 mg/kg BB q6h
Sulfisoksazole* 120 – 150 q6h – 8h
Trimetoprim* 6 – 12 mg/kg BB q6h
Sulfametoksazole 30 – 60 mg/kg BB q6 – 8h
*Tidak direkomendasikan untuk neonatus dan penderita dengan insufisiensi ginjal
KEJANG DEMAM
( ICD 10: R50.0)
1. Pengertian Bangkitan kejang yang terjadi karena kenaikan suhu tubuh yang disebabkan oleh
(Definisi) suatu proses ekstrakranium.
4. Pemeriksaan 1. Laboratorium tidak dianjurkan kecuali untuk mengevaluasi sumber infeksi atau
Penunjang mencari penyebab (DL, UL, Elektrolit, Gula darah)
2. Radiologi : X-ray kepala, CT-scan kepala atau MRI (bila diperlukan).
3. EEG (pemeriksaan pada saat rawat jalan).
7. Diagnosis 1. Meningitis.
Banding 2. Ensefalitis.
3. Abses otak.
KEJANG DEMAM
( ICD 10: R50.0)
5. Pencegahan kejang
a. Pencegahan berkala (intermittent) untuk kejang demam sederhana dengan
Diazepam 0,3 mg/kg BB/dosis (po) dikombinasi dengan antipiretik
(Paracetamol) saat demam.
b. Pencegahan kontinu untuk kejang demam komplikata dengan Asam valproat
15 – 40 mg/kg BB/hari (po) dibagi dalam 2 – 3 dosis, lama terapi
disesuaikan dengan hasil EEG.
9. Edukasi 1. Saat kejang tidak boleh diberikan minum atau makan untuk menghindari
aspirasi atau tersedak.
2. Segera turunkan demam dengan antipiretik dan kompres.
11. Tingkat IV
Evidens
12. Tingkat B
Rekomendas
i
15. Kepustakaan 1. Barman RJ. 2002. Febrile Seizures. E MED J Vol. 2 No. 3.
2. Campfield, C. 2000. Advance in Diagnosis & Management of Pediatrics
Seizure Disorder in Twentieth century. J. Pediatric 136 : 897 – 9.
3. Bherman RE, MD., Kliegman RM, MD., Jonson HB, MD. 2007. Febrile
Seizures, in Nelson Text book of Pediatrics (18th ed). Philadelphia : WB
Saunders Co. hal. 2457 – 8.
4. Pudjiadi, Antonius., dkk. 2010. Pedoman Pelayanan Medis IDAI. Jakarta :
IDAI hal 150 – 2.
5. Pusponegoro HD., Widodo DP., Ismael S. 2006. Konsensus 1 – 1C
Penatalaksanaan Kejang Demam Edisi 2. Jakarta : UKK Neurologi IDAI
Badan Penerbit IDAI hal. 1 – 13.
6. Widodo DP. 2006. Algoritma Penatalaksanaan Kejang Akut & Status
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK) RSU HAJI
SURABAYA
KEJANG DEMAM
( ICD 10: R50.0)
Epilektikus pada Bayi & Anak, PKB Ilmu Kesehatan anak FKUI XLIX.
Yogyakarta : Badan Penerbit IDAI hal 63 – 9.
Alur Penatalaksanaan Kejang
Status Konvulsi
Pemeriksaan :
Tanda – tanda vital, kejang, Derajat Cari
gangguan kesadaran, Tanda – tanda fokal Penyebab
Kejang
berhenti ?
Tidak Ya
Kejang
berhenti ? Ya
Tidak
Midazolam : Kejang
Dosis awal 0,2 mg/kg BB IV Bolus Tidak berhenti ? Ya
pelan dalam 2 – 5 menit dilanjutkan
dengan Dosis rumatan 0,4 – 6 mg/kg
BB/menit atau 0,1 – 2 mg/kg BB/jam
IV dengan syringe pump
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK) RSU HAJI
SURABAYA
10. Tingkat IV
Evidens
11. Tingkat B
Rekomendas
i
14. Kepustakaan 1. Anonimouse World Federation of Hemophilia. Protocol for the Treatment of
Hemophilia and von willebrand Disease : Hemophilia of Geogia.
2. Miller DR., Baehner RL., Mille LP. 1995. Coagulation disorders, in Blood
Diseases of Inflancy and Childhood edisi ke – 7. St. Louis : Mosby hal 924 –
86.
3. Pudjiadi, Antonius., dkk. 2010. Pedoman Pelayanan Medis IDAI. Jakarta :
IDAI hal 92 – 7.
4. Lanzkowsky, P. 1995. Manual of Pediatric Hematology and Onocology edisi
ke – 2. New York : Churchill Livingstone Inc. hal 254 – 62.
5. Nelson WE., Behrman RE., Kliegman RM., Arvin AM. 2000. Hereditary
Clotting Factor Deficiencies (Bleeding Disorders), in Nelson Text Book of
Pediatric edisi ke – 16. Philadelphia : WB Saunders Co. hal 1508 – 11.