Anda di halaman 1dari 55

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN FRAKTUR FEMUR

DI RUANG ALAMANDA 3 RSUD SLEMAN


YOGYAKARTA

Henrika Kusuma Wardani

NIM 161410

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN

AKADEMI KESEHATAN KARYA HUSADA YOGYAKARTA

2018
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN FRAKTUR FEMUR
DI RUANG ALAMANDA 3 RSUD SLEMAN
YOGYAKARTA

Penyusunan proposal ini disusun sebagai salah satu persyaratan menyelesaikan

tugas mata kuliah pengantar riset

Henrika Kusuma Wardani

NIM 161410

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN

AKADEMI KESEHATAN KARYA HUSADA YOGYAKARTA

2018

ii
iii
iv
v
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat serta hidayah-Nya, sehingga saya diberi kemudahan dalam menyelesaikan
Tugas Pengantar Riset yang berjudul “Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan
Fraktur Femur di Ruang Alamanda 3 RSUD Sleman Yogyakarta”.

Penyusunan Proposal ini tidak dapat terwujud tanpa bantuan, bimbingan,


arahan dan kerjasama dari semua pihak. Untuk itu, saya mengucapkan banyak
terimakasih kepada :

1. Ibu Budi Punjastuti, S.Kep, Ns, MPH, selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan masukan, arahan, dan bimbingan dalam menyusun proposal ini.
2. Semua pihak yang telah telah ikut membantu dan mendukung saya selama
penyusunan proposal ini.

Saya menyadari bahwa penyusunan proposal ini masih terdapat kekurangan,


oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat saya harapkan untuk lebih
menyempurnakan penyusunan proposal ini.

Yogyakarta, Maret 2018

Penulis

vi
DAFTAR ISI

Judul dalam…………………………………………………………………………ii

Pernyataan keaslian penulisan……………………………………………….……..iii

Lembar persetujuan……………………………………………………....…………vi

Lembar pengesahan…………………………………………………………………v

Kata pengantar………………………………………………………………………vi

Daftar isi…………………………………………………………………………….vii

Daftar tabel………………………………………………………………………….ix

Daftar gambar……………………………………………………………………….x

BAB I………………………………………………………………………………1

a. Latar belakang…………………………………………………………………1
b. Rumusan masalah…………………………...…………………………………2
c. Tujuan………………………………………………………………………….2
d. Manfaat…………………………………………………………………...……2

BAB II……………………………………………………………………………...3

a. Konsep Penyakit………………………………………………………………5
1. Pengertian…………………………………………………………………5
2. Anatomi fisiologi dan fungsi system muskuloskeletal……………………5
a) Anatomi…………………………………………………………...5
b) Fisiologi…………………………………………………………...8
c) Bentuk tulang……………………………………………………..9
3. Etiologi……………………………………………………………………9
4. Jenis fraktur ekstremitas………………………………………………….10
5. Klasifikasi………………………………………………………………...11
6. Patofisiologi……………………………………………………………....13
7. Manifestasi klinis………………………………………………………....15
8. Pemeriksaan diagnostic…………………………………………………..16
9. Penatalaksanaan…………………………………………………………..20
10. Komplikasi………………………………………………………………..23
b. Konsep Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Fraktur………………….24

vii
1. Pengkajian……………………………………………………………..24
a) Pathway asuhan keperawatan pada pasien dengan fraktur femur…28
2. Diagnosis keperawatan………………………………………………...29
3. Rencana keperawatan………………………………………………….30
4. Implementasi…………………………………………………………..37
5. Evaluasi………………………………………………………………..38
6. Dokumentasi keperawatan…………………………………………….38

BAB III………………………………………………………………………...40

a. Rancangan studi kasus…………………………………………………….40


b. Subyek studi kasus………………………………………………………...40
c. Focus studi kasus………………………………………………………….40
d. Definisi operasional……………………………………………………….40
e. Tempat dan waktu…………………………………………………………41
f. Pengumpulan data………………………………………………………....41
g. Analisis data dan penyajian data………………………………………..…43
1. Analisis data……………………………………………………….…..43
2. Penyajian data……………………………………………………..…..43
h. Etika studi kasus…………………………………………………………..43

Daftar Pustaka…………………………………………………………………44

viii
Daftar Tabel

Tabel 1.1 Tabel Pemeriksaan Diagnostic………………………………..16

ix
Daftar Gambar

Gambar 1.1 Anatomi tulang panjang………………………………………7

Gambar 2.2 Pathway asuhan keperawatan pada pasien dengan fraktur……28

x
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai


jenis dan luasnya (Smeltzer, 2002). Demikian pula menurut Sjamsuhidayat
(2005), fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan
tulang dan/atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa.
Sementara Doengoes (2000) memberikan batasan, fraktur adalah pemisahan
atau patahnya tulang. Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh
trauma atau tenaga fisik (Price, 1995). Sedangkan fraktur menurut Reeves
(2001), adalah setiap retak atau patah pada tulang yang utuh.

Fraktur disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan


puntir mendadak, dan bahkan kontraksi otot ekstrem (Smeltzer, 2002).
Umumnya fraktur disebabkan oleh trauma dimana terdapat tekanan yang
berlebihan pada tulang (Reeves, 2001).

Penyebab terbanyak fraktur adalah kecelakaan, baik itu kecelakaan


kerja, kecelakaan lalu lintas dan sebagainya. Tetapi fraktur juga bisa terjadi
akibat faktor lain seperti proses degeneratif dan patologi (Depkes RI, 2005).
Menurut Depkes RI 2011, dari sekian banyak kasus fraktur di Indonesia,
fraktur pada ekstremitas bawah akibat kecelakaan memiliki prevalensi yang
paling tinggi diantara fraktur lainnya yaitu sekitar 46,2%. Dari 45.987 orang
dengan kasus fraktur ekstremitas bawah akibat kecelakaan, 19.629 orang
mengalami fraktur pada tulang femur, 14.027 orang mengalami fraktur cruris,
3.775 orang mengalami fraktur tibia, 970 orang mengalami fraktur pada
tulang-tulang kecil di kaki dan 336 orang mengalami fraktur fibula.

Badan Kesehatan Dunia (WHO) mencatat pada tahun 2011-2012


terdapat 5,6 juta orang meninggal dunia dan 1,3 juta orang menderita fraktur
akibat kecelakaan lalu lintas. Tingkat kecelakaan transportasi jalan di kawasan
Asia Pasifik memberikan kontribusi sebesar 44% dari total kecelakaan di
dunia, yang didalamnya termasuk Indonesia. Berdasarkan hasil Riset
Kesehatan Dasar (RISKESDAS) oleh Badan Penelitian dan Pengembangan
Depkes RI tahun 2013 didapatkan data kecenderungan peningkatan proporsi

1
cedera transportasi darat (sepeda motor dan darat lain) dari 25,9% pada tahun
2007 menjadi 47,7%.
Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah tahun
2007 didapatkan sekitar 2.700 orang mengalami insiden fraktur, 56%
penderita mengalami kecacatan fisik, 24% mengalami kematian, 15%
mengalami kesembuhan dan 5% mengalami gangguan psikologis atau depresi
terhadap adanya kejadian fraktur. Menurut data dari Sistem Informasi Rumah
Sakit (SIRS) 2010, kasus patah tulang mengalami peningkatan setiap tahun
sejak 2007. Pada 2007 ada 22.815 insiden patah tulang, pada 2008 menjadi
36.947, pada 2009 menjadi 42.280 dan pada 2010 ada 43.003 kasus. Dari data
tersebut didapatkan rata-rata angka insiden patah tulang paha atas tercatat
sekitar 200/100.000 pada perempuan dan laki-laki di atas usia 40 tahun.
Sedangkan menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO) 50% patah tulang paha
atas akan menimbulkan kecacatan seumur hidup, dan 30% bisa menyebabkan
kematian (Noviardi, 2012).
Berdasarkan survey data dari Dinas Kesehatan Daerah Istimewa
Yogyakarta tahun 2010 terdapat 92 pasien usia 45-64 tahun dirawat di
berbagai Rumah sakit di Daerah Istimewa Yogyakarta dengan fraktur
paha dan pasien usia >65 tahun. Rincian data per kabupaten
menunjukkan pasien terbanyak pertama terkena fraktur adalah di Kabupaten
Kulon Progo sebanyak 40 orang pada usia 45-64 tahun, dan 74 orang
pada usia >65 tahun, disusul kabupaten Sleman sebanyak 28 orang pada
usia 45-64 tahun dan 82 orang pada usia >65 tahun.
Hasil studi pendahuluan tanggal 4 September 2012 di RSUD
Sleman pada tahun 2011 didapatkan pasien wanita dengan fraktur femur
berjumlah 11 orang dengan usia 45-55 berjumlah 1 orang dan usia >56 tahun
berjumlah 10 orang (Kurniasari,L, 2012). Hubungan menopause dengan
kejadian fraktur collum femuralis di RSUD Sleman Yogyakarta. Program
Studi DIII Kebidanan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Jenderal Achmad Yani
Yogyakarta.
Fraktur femur merupakan sosok trauma yang sangat menakutkan.
Bahkan sekarang di Indonesia fraktur menempati urutan ketiga sebagai
penyebab kematian yang di akibatkan kecelakaan lalulintas. Tanda dan
gejala fraktur femur adalah nyeri terus menerus, bergerak secara alamiah
(gerakan luar biasa) terjadinya pemendekan tulang karena kontraksi otot,
saat ekstrimitas di periksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang dan
pembengkakan yang disertai perubahan warna lokal pada kulit yang
disebabkan oleh trauma (Brunner dan suddarth, 2002).

2
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, peran perawat adalah
sebagai pelaksana yang sangat penting dalam memberikan asuhan
keperawatan pada pasien dengan fraktur femur untuk mendapatkan perawatan
yang optimal.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik untuk melakukan


penelitian tentang Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Fraktur Femur di
ruang Alamanda 3 RSUD Sleman Yogayakarta.

C. Tujuan
a. Tujuan umum

Mampu melakukan asuhan keperawatan pada pasien yang mengalami


fraktur femur di ruang Alamanda 3 RSUD Sleman Yogayakarta.

b. Tujuan khusus
1) Mampu melakukan pengkajian keperawatan pada klien yang
mengalami fraktur femur di ruang Alamanda 3 RSUD Sleman
Yogayakarta.
2) Mampu menetapkan diagnosa keperawatan pada klien yang
mengalami fraktur femur di ruang Alamanda 3 RSUD Sleman
Yogayakarta.
3) Mampu menyusun perencanaan keperawatan pada klien yang
mengalami fraktur femur di ruang Alamanda 3 RSUD Sleman
Yogayakarta.
4) Mampu melaksanakan tindakan keperawatan pada klien yang
mengalami fraktur femur di ruang Alamanda 3 RSUD Sleman
Yogayakarta.
5) Mampu melakukan evaluasi pada klien yang mengalami fraktur
femur di ruang Alamanda 3 RSUD Sleman Yogayakarta.

D. Manfaat
a. Bagi Institusi
Menambah buku bacaan di perpustakaan dalam bidang
fraktur, yang merupakan mata kuliah keperawatan medical bedah
khususnya pada system musculoskeletal.

3
b. Bagi RSUD Sleman Yogyakarta
Sebagai gambaran bagi tim kesehatan, khususnya perawat
dalam memberikan asuhan keperawatan bagi pasien yang mengalami
fraktur femur di Rumah Sakit dalam upaya meningkatkan pelayanan
pada pasien dengan fraktur. Memberikan masukan dalam
melaksanakan pelayanan keperawatan yang berorentasi pada masalah
kesehatan guna memenuhi kebutuhan dasar manusia.
c. Bagi profesi keperawatan
Diharapakan bisa menambah wawasan bagi perawat untuk
meningkatkan pelayanan khususnya dalam memberikan asuhan
untuk pasien.
d. Bagi penulis
Menambah pengetahuan, pengalaman, dan ketrampilan dalam
memberikan pelayanan terhadap pasien fraktur femur.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Penyakit
1. Pengertian
Fraktur adalah keadaan dimana hubungan kesatuan jaringan tulang
terputus. Tulang mempunyai daya lentur dengan kekuatan yang memadai,
apabila trauma melebihi dari daya lentur tersebut maka terjadi fraktur,
terjadinya fraktur disebabkan karena trauma, stress kronis dan berulang
maupun pelunakan tulang yang abnormal. (Admin 2005). Fraktur adalah
terputusnya kontinuitas tulang atau tulang rawan yang umumnya disebabkan
oleh ruda paksa (Sjamsuhidajat, 2005). Fraktur adalah patah tulang, biasanya
disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik. Kekuatan dan sudut dari tenaga
tersebut, keadaan tulang, dan jaringan lunak disekitar tulang akan menentukan
apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atau tidak lengkap. Fraktur lengkap
terjadi apabila seluruh tulang patah, sedangkan pada fraktur tidak lengkap
tidak melibatkan seluruh ketebalan tulang. (Price, 2006 : 1365). Fraktur
adalah terputusnya hubungan normal suatu tulang atau tulang rawan yang
disebabkan oleh kekerasan. Patah tulang dapat terjadi dalam keadaan normal
atau patologis. Pada keadaan patologis, misalnya kanker tulang atau
osteoporosis, tulang menjadi lebih lemah. Dalam keadaan ini, kekerasan
sedikit saja akan menyebabkan patah tulang. (Oswari , 2005 : 144).
Fraktur tertutup adalah suatu fraktur yang tidak mempunyai hubungan
dengan dunia luar. (PERMENKES RI, 2014)
Fraktur femur adalah terputusnya kontiunitas batang femur yang bisa
terjadi akibat truma langsung (kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian).
Patah pada daerah ini dapat menimbulkan perdarahan yang cukup banyak,
mengakibatkan penderita jatuh dalam syok (FKUI dalam Jitowiyono, 2010 :
15).
Jadi, kesimpulan fraktur adalah suatu cedera yang mengenai tulang
yang disebabkan oleh trauma benda keras.

2. Anatomi, Fisiologi, dan Fungsi Sistem Muskuloskeletal


Anatomi
Tulang adalah jaringan yang kuat dan tangguh yang memberi bentuk pada
tubuh. Skelet atau kerangka adalah rangkaian tulang yang mendukung dan
melindungi organ lunak, terutama dalam tengkorak dan panggul. Tulang

5
membentuk rangka penunjang dan pelindung bagi tubuh dan tempat untuk
melekatnya otot-otot yang menggerakan kerangka tubuh. Tulang juga
merupakan tempat primer untuk menyimpan dan mengatur kalsium dan
fosfat (Price dan Wilson, 2006).
Tulang membentuk rangka penunjang dan pelindung bagi tubuh dan
tempat untuk melekatnya otot- otot yang menggerakan kerangka tubuh.
Tulang juga merupakan tempat primer untuk menyimpan dan mengatur
kalsium dan fhosfat. Tulang rangka orang dewasa terdiri atas 206 tulang.
Tulang adalah jaringan hidup yang akan suplai syaraf dan darah. Tulang
banyak mengandung bahan kristalin anorganik (terutama garam- garam
kalsium ) yang membuat tulang keras dan kaku., tetapi sepertiga dari
bahan tersebut adalah fibrosa yang membuatnya kuat dan elastis (Price
dan Wilson, 2006).
Tulang ekstrimitas bawah atau anggota gerak bawah dikaitkan pada
batang tubuh dengan perantara gelang panggul terdiri dari 31 pasang antra
lain: tulang koksa, tulang femur, tibia, fibula, patella, tarsalia, meta
tarsalia, dan falang (Price dan Wilson, 2006).
a. Tulang Koksa (tulang pangkal paha)
OS koksa turut membentuk gelang panggul, letaknya disetiap sisi dan
di depan bersatu dengan simfisis pubis dan membentuk sebagian
besar tulang pelvis.
b. Tulang Femur ( tulang paha)
Merupakan tulang pipa dan terbesar di dalam tulang kerangka pada
bagian pangkal yang berhubungan dengan asetabulum membentuk
kepala sendi yang disebut kaput femoris, disebelah atas dan bawah
dari kolumna femoris terdapat taju yang disebut trokanter mayor dan
trokanter minor. Dibagian ujung membentuk persendian lutut,
terdapat dua buah tonjolan yang disebut kondilus lateralis dan
medialis. Diantara dua kondilus ini terdapat lakukan tempat letaknya
tulang tempurung lutut (patella) yang di sebut dengan fosa kondilus.

6
Gambar 1.1 Anatomi tulang panjang

c. Osteum tibialis dan fibularis (tulang kering dan tulang betis)


Merupakan tulang pipa yang terbesar sesudah tulang paha yang
membentuk persendian lutut dengan OS femur, pada bagian
ujungnya terdapat tonjolan yang disebut OS maleolus lateralis atau
mata kaki luar. OS tibia bentuknya lebih kecil dari pada bagian
pangkal melekat pada OS fibula pada bagian ujung membentuk
persendian dengan tulang pangkal kaki dan terdapat taju yang disebut
OS maleolus medialis. Agar lebih jelas berikut gambar anatomi os
tibia dan fibula.
d. Tulang tarsalia (tulang pangkal kaki)
Dihubungkan dengan tungkai bawah oleh sendi pergelangan kaki,
terdiri dari tulang-tulang kecil yang banyaknya 5 yaitu sendi talus,
kalkaneus, navikular, osteum kuboideum, kunaiformi.
e. Meta tarsalia (tulang telapak kaki)
Terdiri dari tulang- tulang pendek yang banyaknya 5 buah, yang
masing-masing berhubungan dengan tarsus dan falangus dengan
perantara sendi.
f. Falangus (ruas jari kaki) Merupakan tulang-tulang pipa yang pendek
yang masing-masingterdiri dari 3 ruas kecuali ibu jari banyaknya 2
ruas, pada metatarsalia bagian ibu jari terdapat dua buah tulang kecil
bentuknya bundar yang disebut tulang bijian (osteum sesarnoid).

7
Fisiologi
Sistem musculoskeletal adalah penunjang bentuk tubuh dan peran
dalam pergerakan. Sistem terdiri dari tulang sendi, rangka, tendon,
ligament, bursa, dan jaringan-jaringan khusus yang menghubungkan
struktur tersebut. Tulang adalah suatu jaringan dinamis yang tersusun dari
tiga jenis sel antara lain : osteoblast, osteosit dan osteoklas. Sel tulang
mencakup osteoblas (sel yang membentuk tulang), osteosit (sel yang
mempertahankan matriks tulang), osteoklas (sel yang meresorpsi tulang),
dan sel osteoprogenitor (sumber semua sel tulang kecuali osteoklas).
Matriks tulang adalah elemen ekstraseluler jaringan tulang; tulang terdiri
atas serabut kolagen, mineral (terutama kalium dan fosfat), protein
karbohidrat, dan substansi dasar). Substansi dasar adalah bahan gelatin
yang memfasilitasi difusi gizi, sampah, dan gas antara pembuluh darah
dan jaringan tulang. Tulang ditutupi dengan periosteum, jaringan ikat
berlapis ganda. Lapisan luar periosteum mengandung pembuluh darah
dan saraf; lapisan dalam menjangkarkan tulang.
Tulang tersusun atas jaringan ikat kaku yang disebut jaringan oseus,
ada dua jenis, yaitu tulang laminar (tulang kuat dan matur pada skeleton
orang dewasa) dan tulang beranyam (yang memberikan kerangka
sementara untuk menyokong dan ditemukan pada fetus yang berkembang,
sebagai bagian penyembuhan fraktur, dan pada area sekitar tumor dan
infeksi tulang). Ada dua jenis tulang matur : tulang padat dan tulang
kanselosa (berongga). Tulang padat membentuk kulit luar tulang,
sedangkan tulang kanselosa ditemukan dibagian dalam tulang. Tulang
kanselosa tersusun atas struktur seperti kisi-kisi (trabekula), dilapisi
dengan sel osteogenik dan diisi dengan sumsum tulang merah atau kuning
(Porth & Matfin, 2009)
Unit struktur dasar tulang laminar adalah sistem Havers (juga dikenal
sebagai osteon). Sistem Havers terdiri atas kanal sentral, disebut kanal
Havers; lapisan konsentrik matriks tulang, disebut lamella; ruang antara
lamella, disebut lakuna; osteosit dalam lakuna; dan saluran kecil disebut
kanalikuli. Bagian berongga pada tulang panjang dan tulang pipih
mengandung jaringan untuk hematopoiesus. Pada orang dewasa, bagian
ini disebut rongga sumsum tulang merah , ada di pusat berongga tulang
pipih (khususnya sternum) dan hanya pada dua tulang panjang, yaitu
humerus dan kepala femur.

Secara umum fungsi tulang menurut Price dan Wilson (2006) antara
lain:

8
1. Sebagai kerangka tubuh. Tulang sebagai kerangka yang menyokong
dan memberi bentuk tubuh.
2. Proteksi Sistem musculoskeletal melindungi organ- organ penting,
misalnya otak dilindungi oleh tulang-tulang tengkorak, jantung dan paru-
paru terdapat pada rongga dada (cavum thorax) yang di bentuk oleh
tulangtulang kostae (iga).
3. Ambulasi dan Mobilisasi Adanya tulang dan otot memungkinkan
terjadinya pergerakan tubuh dan perpindahan tempat, tulang memberikan
suatu system pengungkit yang di gerakan oleh otot- otot yang melekat
pada tulang tersebut ; sebagai suatu system pengungkit yang digerakan
oleh kerja otot- otot yang melekat padanya.
4. Deposit Mineral Sebagai reservoir kalsium, fosfor,natrium,dan
elemen- elemen lain. Tulang mengandung 99% kalsium dan 90% fosfor
tubuh.
5. Hemopoesis Berperan dalam bentuk sel darah pada red marrow.
Untuk menghasilkan sel- sel darah merah dan putih dan trombosit dalam
sumsum merah tulang tertentu.

Bentuk Tulang
Tulang diklasifikasikan berdasarkan bentuk :
a. Tulang panjang memiliki bagian tengah, atau batang, disebut diafisis
dan dua ujung lebar, disebut epifisis. Diafisis adalah tulang padat dan
mengandung rongga sumsum, yang dilapisi dengan endosteum.
Tulang panjang mencakup tulang lengan, tungkai, jari tangan, dan jari
kaki.
b. Tulang pendek, disebut juga tulang kuboid, mencakup tulang
pergelangan tangan dan pergelangan kaki.
c. Tulang pipih adalah tipis dan datar, serta sebagian besar sebagian
besar melengkung. Tulang pipih mencakup hampir sebagian besar
tulang tengkorak, sternum, dan iga.
d. Tulang irregular adalah tulang berbagai bentuk dan ukuran. Tulang
irregular mencakup vertebra, scapula, dan tulang gelang panggul.

3. Etiologi
Penyebab fraktur menurut Sachdeva dalam Jitowiyono dkk (2010: 16), dapat
dibagi menjadi tiga yaitu :
Cedera traumatik

9
a. Kekerasan langsung; kekerasan langsung menyebabkan patah tulang
pada titik terjadinya kekerasan. Fraktur demikian sering bersifat fraktur
terbuka dengan garis patah melintang atau miring.
b. Kekerasan tidak langsung; kekerasan tidak langsung menyebabkan
patah tulang ditempat yang jauh dari tempat terjadinya kekerasan. Yang
patah biasanya adalah bagian yang paling lemah dalam jalur hantaran
vector kekerasan.
c. Kekerasan akibat tarikan otot; patah tulang akibat tarikan otot sangat
jarang terjadi. Kekuatan dapat berupa pemuntiran, penekukan, dan
penekanan, kombinasi dari ketiganya, dan penarikan.

Fraktur Patologik

Dalam hal ini kerusakan tulang akibat proses penyakit dimana dengan trauma
minor dapat mengakibatkan fraktur dapat juga terjadi pada berbagai keadaan
berikut :

a. Tumor Tulang ( Jinak atau Ganas ) : pertumbuhan jaringan baru yang tidak
terkendali dan progresif

b. Infeksi seperti osteomielitis : dapat terjadi sebagai akibat infeksi akut atau
dapat timbul sebagai salah satu proses yang progresif, lambat dan sakit nyeri.
c. Rakhitis : suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh defisiensi Vitamin D
yang mempengaruhi semua jaringan skelet lain, biasanya disebabkan
kegagalan absorbsi Vitamin D atau oleh karena asupan kalsium atau fosfat
yang rendah.

Secara Spontan

Disebabkan oleh stress tulang yang terus menerus misalnya pada penyakit
polio dan orang yang bertugas dikemiliteran.

Menurut (Brunner & Suddarth, 2005) fraktur dapat disebabkan oleh pukulan
langsung, gaya meremuk, gerakan punter mendadak, dan bahkan kontraksi
otot ekstremitas, organ tubuh dapat mengalami cedera akibat gaya yang
disebabkan oleh fraktur atau akibat fragmen tulang.

4. Jenis fraktur ekstremitas


Fraktur ekstremitas terdiri dari fraktur ekstremita bawah dan atas adapun
jenis jenisnya adalah sebagai berikuit:
1) Fraktur ekatremitas atas :
a) Fraktur collum humerus

10
b) Fraktur humerus
c) Fraktur suprakondiler humerus
d) Fraktur radius dan ulna (fraktur an tebrachi)
e) Fraktur colles
f) Fraktur metacarpal
g) Fraktur phalang proksimal, medial, dan distal

2) Jenis fraktur ekstremitas bawah


a) Fraktur collum femur
b) Fraktur femur
c) Fraktur supra kondiler femur
d) Fraktur patella
e) Fraktur plateu tibia
f) Fraktur cruris
g) Fraktur ankle
h) Fraktur metatarsal
i) Fraktur phalang proksimal, medial dan distal

5. Klasifikasi
Menurut (Brunner & Suddarth, 2005), jenis-jenis fraktur adalah :
a. Complete fracture (fraktur komplet), patah pada seluruh garis tengah
tulang, luas dan melintang. Biasanya disertai dengan perpindahan posisi
tulang.
b. Closed fracture (simple fraktur), tidak menyebabkan robeknya kulit,
integritas kulit masih utuh.
c. Open fracture (compound fraktur/komplikata/kompleks), merupakan
fraktur dengan luka pada kulit (integritas kulit rusak dan ujung tulang
menonjol sampai menembus kulit) atau membrane mukosa sampai
kepatahan tulang.
Fraktur terbuka digradasi menjadi :
Grade I : Luka bersih, kurang dari 1 cm panjangnya
Grade II : Luka lebih luas tanpa kerusakan jaringan lunak yang ekstensif
Grade III : Luka sangat terkontaminasi, dan mengalami kerusakan
jaringan lunak ekstensif.
d. Greenstick, fraktur dimana salah satu sisi tulang patah sedang lainnya
membengkok
e. Transversal, fraktur sepanjang garis tengah tulang
f. Oblik, fraktur membentuk sudut dengan garis tengah tulang
g. Spiral, fraktur memuntir seputar batang tulang

11
h. Komunitif, fraktur dengan tulang pecah menjadi beberapa fragmen
i. Depresi, fraktur dengan fragmen patahan terdorong kedalam (terjadi pada
tulang tengkorak dan wajah)
j. Kompresi, fraktur dimana tulang mengalami kompresi (terjadi pada tulang
belakang)
k. Patologik, fraktur yang terjadi pada daerah tulang berpenyakit (kista
tulang, paget, metastasis tulang, tumor)
l. Epifisial, fraktur melalui epifisis
m. Impaksi, fraktur dimana fragmen tulang terdorong ke fragmen tulang
lainnya

Klasifikasi Fraktur Femur

Menurut Helmi (2012) faktur femur dapat dibagi lima jenis berdasarkan letak
garis fraktur seperti dibawah ini :

a. Fraktur Intertrokhanter Femur


Merupakan patah tulang yang bersifat ekstra kapsuler dari femur, sering
terjadi pada lansia dengan kondisi osteoporosis. Fraktur ini memiliki
risiko nekrotik avaskuler yang rendah sehingga prognosanya baik.
Penatalaksanaannya sebaiknya dengan reduksi terbuka dan pemasangan
fiksasi internal. Intervensi konservatif hanya dilakukan pada penderita
yang sangat tua dan tidak dapat dilakukan dengan anestesi general.
b. Fraktur Subtrokhanter Femur
Garis fraktur berada 5 cm distal dari trokhanter minor, diklasifikasikan
menurut Fielding & Magliato sebagai berikut: 1) Tipe 1 adalah garis
fraktur satu level dengan trokhanter minor; 2) Tipe 2 adalah garis patah
berada 1-2 inci di bawah dari batas atas trokhanter minor; 3) Tipe 3 adalah
2-3 inci dari batas atas trokhanter minor. Penatalaksanaannya dengan cara
reduksi terbuka dengan fiksasi internal dan tertutup dengan pemasangan
traksi tulang selama 6-7 minggu kemudian dilanjutkan dengan hip gips
selam tujuh minggu yang merupakan alternatif pada pasien dengan usia
muda.
c. Fraktur Batang Femur
Fraktur batang femur biasanya disebabkan oleh trauma langsung, secara
klinis dibagi menjadi: 1) fraktur terbuka yang disertai dengan kerusakan
jaringan lunak, risiko infeksi dan perdarahan dengan penatalaksanaan
berupa debridement, terapi antibiotika serta fiksasi internal maupun
ekternal; 2) Fraktur tertutup dengan penatalaksanaan konservatif berupa
pemasangan skin traksi serta operatif dengan pemasangan plate-screw.

12
d. Fraktur Suprakondiler Femur
Fraktur ini disebabkan oleh trauma langsung karena kecepatan tinggi
sehingga terjadi gaya aksial dan stress valgus atau varus dan disertai gaya
rotasi. Penatalaksanaan berupa pemasangan traksi berimbang dengan
menggunakan bidai Thomas dan penahan lutut Pearson, cast-bracing dan
spika pinggul serta operatif pada kasus yang gagal konservatif dan fraktur
terbuka dengan pemasangan nail-phroc dare screw.
e. Fraktur Kondiler Femur
Mekanisme trauma fraktur ini biasanya merupakan kombinasi dari gaya
hiperabduksi dan adduksi disertai denga tekanan pada sumbu femur ke
atas. Penatalaksanaannya berupa pemasangan traksi tulang selama 4-6
minggu dan kemudian dilanjutkan dengan penggunaan gips minispika
sampai union sedangkan reduksi terbuka sebagai alternatif apabila
konservatif gagal.

6. Patofisiologi
Fraktur gangguan pada tulang biasanya disebabkan oleh trauma
gangguan adanya gaya dalam tubuh, yaitu stress, gangguan fisik, gangguan
metabolic, patologik. Kemampuan otot mendukung tulang turun, baik yang
terbuka ataupun tertutup. Kerusakan pembuluh darah akan mengakibatkan
pendarahan, maka volume darah menurun. COP menurun maka terjadi
perubahan perfusi jaringan. Hematoma akan mengeksudasi plasma dan
poliferasi menjadi edem local maka terjadi penumpukan di dalam tubuh.
Fraktur terbuka atau tertutup akan mengenai serabut syaraf yang dapat
menimbulkan gangguan rasa nyaman nyeri. Selain itu dapat mengenai tulang
dan dapat terjadi neurovaskuler yang menimbulkan nyeri gerak sehingga
mobilitas fisik terganggu. Disamping itu fraktur terbuka dapat mengenai
jaringan lunak yang kemungkinan dapat terjadi infeksi terkontaminasi dengan
udara luar dan kerusakan jaringan lunak akan mengakibatkan kerusakan
integritas kulit. Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma
gangguan metabolic, patologik yang terjadi itu terbuka atau tertutup. Pada
umumnya pada pasien fraktur terbuka maupun tertutup akan dilakukan
immobilitas yang bertujuan untuk mempertahankan fragmen yang telah
dihubungkan tetap pada tempatnya sampai sembuh. (Sylvia, 2006 : 1183)
Jejas yang ditimbulkan karena adanya fraktur menyebabkan rupturnya
pembuluh darah sekitar yang dapat menyebabkan terjadinya perdarahan.
Respon dini terhadap kehilangan darah adalah kompensasi tubuh, sebagai
contoh vasokonstriksi progresif dari kulit, otot dan sirkulasi visceral. Karena
ada cedera, respon terhadap berkurangnya volume darah yang akut adalah

13
peningkatan detak jantung sebagai usaha untuk menjaga output jantung,
pelepasan katekolamin-katekolamin endogen meningkatkan tahanan
pembuluh perifer. Hal ini akan meningkatkan tekanan darah diastolic dan
mengurangi tekanan nadi (pulse pressure), tetapi hanya sedikit membantu
peningkatan perfusi organ. Hormon – hormon lain yang bersifat vasoaktif
juga dilepaskan ke dalam sirkulasi sewaktu terjadinya syok, termasuk
histamine, bradikinin beta-endorpin dan sejumlah besar prostanoid dan sitokin
sitokin lain. Substansi ini berdampak besar pada mikro-sirkulasi dan
permeabilitas pembuluh darah. Pada syok perdarahan yang masih dini,
mekanisme kompensasi sedikit mengatur pengembalian darah (venous return)
dengan cara kontraksi volume darah didalam system vena sistemik. Cara yang
paling efektif untuk memulihkan kardiak pada tingkat seluler, sel dengan
perfusi dan oksigenasi tidak adekuat tidak mendapat substrat esensial yang
sangat diperlukan untuk metabolisme aerobic normal dan produksi energy.
Pada keadaan awal terjadi kompensasi dengan berpindah ke metabolisme
anaerobic, hal mana mengakibatkan pembentukan asam laktat dan
berkembangnya asidosis metabolic. Bila syoknya berkepanjangan dan
penyampaian substrat untuk pembentuk ATP (adenosine triphosphate) tidak
memadai, maka membran sel tidak dapat lagi mempertahankan integritasnya
dan gradientnya elektrik normal hilang. Pembengkakan reticulum
endoplasmic merupakan tanda ultra structural pertama dari hipoksia seluler
setelah itu tidak lama lagi akan diikuti cedera mitokondrial. Lisosom pecah
dan melepaskan enzim yang mencernakan struktur intra-seluler. Bila proses
ini berjalan terus, terjadilah pembengkakan sel. Juga terjadi penumpukan
kalsium intra-seluler. Bila proses ini berjalan terus, terjadilah cedera seluler
yang progresif, penambahan edema jaringan dan kematian sel. Proses ini
memperberat dampak kehilangan darah dan hipoperfusi. (Purwadinata, 2000)
Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi disekitar tempat
patah dan kedalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut. Jaringan lunak juga
biasanya mengalami kerusakan. Reaksi peradangan biasanya timbul hebat
setelah fraktur. Sel-sel darah putih dan sel mast berakumulasi sehingga
menyebabkan peningkatan aliran darah ketempat tersebut. Fagositosis dan
pembersihan sisa-sisa sel mati dimulai. Ditempat patah terbentuk fibrin
(hematoma fraktur) dan berfungsi sebagai jala-jala untuk melakukan aktivitas
osteoblast terangsang dan terbentuk tulang baru imatur yang disebut callus.
Bekuan fibrin direabsorbsi dan sel-sel tulang baru mengalami remodeling
untuk membentuk tulang sejati (Corwin, 2000)

14
Insufisiensi pembuluh darah atau penekan serabut saraf yang berkaitan
dengan pembengkakan yang tidak ditangani dapat menurunkan asupan darah
ekstremitas dan mengakibatkan kerusakan saraf perifer. Bila tidak terkontrol
pembengkakan dapat mengakibatkan peningkatan tekanan jaringan, oklusi
darah total dapat berakibat anoksia jaringan yang mengakibatkan rusaknya
serabut saraf maupun jaringan otot. Komplikasi ini dinamakan sindrom
kompartemen. (Brunner & Suddarth, 2005)

7. Manifestasi klinis
Manifestasi fraktur menurut Brunner & Suddarth (2005) adalah nyeri,
hilangnya fungsi, deformitas, pemendekan ekstremitas, krepitus,
pembengkakan local, dan perubahan warna.
a. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang
diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk
bidai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar
fragmen tulang.
b. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan
cenderung bergerak secara tidak alamiah (gerakan luar biasa)
bukannya tetap rigid seperti normalnya. Pergeseran fragmen pada
fraktur lengan atau tungkai menyebabkan deformitas (terlihat maupun
teraba) ekstremitas yang bisa diketahui dengan membandingkan
dengan estremitas normal. Ekstremitas tak dapat berfungsi dengan
baik karena fungsi normal otot bergantung pada integritas tulang
tempat melekatnya otot.
c. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya
karena kontraksi otot yang melekat diatas ada dibawah tempat fraktur.
Fragmen sering saling melingkupi satu sama lain sampai 2,5 sampai 5
cm (1 sampai 2 inci).
d. Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang
dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu
dengan lainnya. Uji krepitus dapat mengakibatkan kerusakan jaringan
lunak yang lebih berat.
e. Pembengkakan dan perubahan warna local pada kulit terjadi sebagai
akibat trauma dan perdarahan yang mengalami fraktur. Tanda ini bisa
baru terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera.

Menurut Jutowiyono Sugeng, 2010 :

a. Tidak dapat menggunakan anggota gerak


b. Nyeri pembengkakan

15
c. Terdapat trauma seperti (kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian,
penganiayaan, tertimpa benda berat, kecelakaan kerja)
d. Gangguan pada anggota gerak
e. Deformitas
f. Kelainan gerak
g. Krepitasi atau datang dengan gejala-gejala lain :
h. Odema : muncul secara cepat dari lokasi ekstravaksasi darah dalam
jaringan yang berdekatan dengan fraktur
i. Kehilangan sensasi (mati rasa mungkin terjadi dari rusaknya saraf atau
perdarahan)

8. Pemeriksaan diagnostic
Hasil pemeriksaan diagnostic otot musculoskeletal dan fungsi otot
digunakan untuk menegakkan diagnosis cedera atau penyakit spesifik,
untuk memberikan informasi untuk mengidentifikasi atau memodifikasi
medikasi yang tepat atau terapi yang digunakan untuk menangani
penyakit, dan untuk membantu perawat memonitor respons pasien
terhadap terapi dan intervensi asuhan keperawatan.

Tabel 1.1 Tabel Pemeriksaan Diagnostic

NAMA TUJUAN & DESKRIPSI INTERVENSI


PEMERIKSAAN KEPERAWATAN
TERKAIT
Artrosentesis Prosedur ini dilakukan untuk Setelah prosedur, beri balut
mendapatkan cairan sinovial tekan dan beri tahu pasien
dari sendi untuk diagnosis untuk melaporkan semua
(seperti infeksi) atau perdarahan dan kebocoran
mengeluarkan kelebihan cairan ke penyedia asuhan
cairan. Jarum dimasukkan kesehatan.
melalui kapsula sendi dan
cairan diaspirasi.
Artoskopi Pemeriksaan endoskopik Jika digunakan anestesia
permukaan interior sendi, umum beritahu pasien untuk
artoskopi digunakan untuk tidak makan atau minum
melakukan pembedahan dan cairan setelah tengah malam
diagnosis penyakit pada sebelum prosedur. Setelah
patella, meniskus, dan prosedur, kaji perdarahan
sinovial serta membran dan pembengkakan, berikan
ekstrasinovial. Selain itu, es ke area jika
cairan dapat didrain dari diprogramkan, dan

16
sendi dan jaringan yang instruksikan pasien untuk
diangkat untuk biopsi. menghindari penggunaan
Endoskopi fib eroptik sendi secara berlebihan
dimasukkan ke sendi, baik untuk 2 hingga 3 hari.
menggunakan anestesia lokal
atau anestesia umum.
Artografi (pemeriksaan sinar-
X pada sendi) dilakukan
sebelum atroskopi.
Kimia darah Pemeriksaan Alkali fosfatase Tidak ada persiapan khusus
(ALP), kalsium (Ca), fosfor yang diperlukan
(P), fosfat (PO4), factor
rheumatoid (RF), asam urat,
antigen leukosit manusia,
kreatinin kinase (Creatinin
kinase, CK)
Kepadatan tulangPemeriksaan kepadatan Instruksikan pasien untuk
(blood density, BD) tulang dilakukan untuk melepaaskan semua benda
a. Absorpsiometr mengevaluasi kepadatan logam dari area yang akan
i sinar-X dual mineral tulang dan untuk dil;akukan scan (seperti
energy mengevaluasi derajat perhiasan, ikat pinggang,
(dual energi x-osteoporosis. DEXA dapat resleting).
ray menghitung ukuran dan
absorptiometr kepadatan tulang.
y, DEXA) Osteoporosis didiagnosis jika
b. Ultrasonografi kadar massa tulang puncak
kuantitatif dibawah >2,5 standar deviasi.
(quantitative Nilai normal : 1 standar
ultrasound, deviasi dibawah puncak
QUS) massa tulang.
c. Kepadatan
mineral tulang
(bone mineral
density, BMD)
d. Absorpsiometr
i tulang
Scan tulang Selama scan tulang, derajat Tidak ada persiapan khusus
ambilan radioisotope yang diperlukan; beritahu
(berdasarkan pada suplai pasien untuk meningkatkan
darah ke tulang) diukur cairan oral setelah
dengan penghitungan Geiger pemeriksaan untuk
dan dicatat pada kertas. membantu mengeluarkan
Ambilan meningkat pada radioisotope.
osteomyelitis, osteoporosis,

17
kanker tulang, dan pada
beberapa fraktur. Ambilan
menurun pada nekrosis
avascular.
Computed CT tulang panjang dan sendi Jika pewarna kontras
tomography (CT) memberikan gambaran tiga digunakan, kaji adanya
scan – tulang penjang dimensi yang digunakan alergi terhadap iodine,
dan sendi, spina untuk mengevaluasi trauma makanan laut, atau
musculoskeletal (fraktur) dan pewarnaan sinar-X (banyak
abnormalitas tulang (seperti mengandung iodine). Kaji
tumor). CT spina dapat medikasi: agens
mengidentifikasi tumor, kista, hipoglikemik oral
malformasi vascular, herniasi dikontraindikasikan untuk
diskus intervertebral. digunakan dengan kontras
teriodinasi. Lakukan
pemeriksaan sinar-X yang
tersedia. Jika dijadwalkan
mielogram dan CT spina,
pasien harus melakukan
mielogram terlebih dahulu.
Jika CT tulang panjang dan
sendi, pemeriksaan obat
nuklir untuk menempatkan
“bercak panas” harus
dilakukan terlebih dahulu
sebelum CT. Setelah
pemeriksaan, jika digunakan
pewarnaan kontras, monitor
reaksi alergi terlambat
(ruam, gatal, sakit kepala,
muntah) dan instruksi pasien
untuk meningkatkan asupan
cairan.
Elektromiogram EMG mengukur aktivitas Beritahu pasien untuk tidak
(EMG) kelistrikan pada otot skeletal meminum minuman yang
pada saat istirahat dan selama mengandung kafein atau
kontraksi; informasi ini merokok selama 3 jam
berguna dalam mendiagnosis sebelum pemeriksaan dan
penyakit neuromuscular. untuk tidak mengonsumsi
Jarum elektroda dipasang ke medikasi seperti relaksasi
dalam otot skeletal (seperti otot, antikolinergik, atau
pada tungkai) dan aktivitas kolinergik. Jika enzim
kelistrikan dapat didengar, serum, seperti SGOT, CPK,
dilihat pada osiloskop, dan atau LDH diprogramkan,

18
dicatat pada kertas grafik. specimen harus diambil
Normalnya, tidak ada sebelum EMG atau 5 hingga
aktivitas kelistrikan pada saat 10 hari setelah EMG.
istirahat.
Magnetic resonance MRI struktur tulang
Informasikan pasien
imaging (MRI) digunakan dalam diagnosis mengenai kebutuhan untuk
dan evaluasi nekrosis
tetap berbaring selama
avascular, osteomyelitis,
pemeriksaan. Kaji untuk
tumor, abnormalitas diskus,semua implant logam
dan robekan pada ligament (seperti pacemaker, klip
atau kartilago. Pemeriksaanpada aneurisma otak,
ini menggunakan gelombang tindikan di tubuh, tato,
radio dan bidang magnet; shrapnel). Jika ada, beritahu
gadolinium dapat
dokter yang melakukan
diinjeksikan untuk
MRI. Lepas semua koyo
meningkatkan visualisasi
medikasi transdermal (baik
tulang atau struktur otot. OTC maupun yang
diprogramkan) kecuali
diinstruksikan sebaliknya
(FDA, 2009). Ganti koyo
setelah prosedur. Beritahu
pasien untuk
menginformasikan staf
mengenai koyo ketika
membuat perjanjian dan
ketika membuat perjanjian
dan ketika menyelesaikan
informasi masuk. Tanya
apakah pasien hamil; jika
hamil pemeriksaan tidak
dilakukan. Tanya mengenai
klaustrofobia; jika masalah
mengharuskan pasien
bertanya untuk medikasi
perelaks untuk dikonsumsi
sebelum MRI.
Sinar-X skeletal Sinar –X dilakukan untuk Tanya wanita apakah ia
mengidentifikasi dan hamil; sinar-X harus
mengevaluasi kepadatan dan dihindari selema trimester
struktur tulang. pertama. Tidak ada
persiapan khusus yang
diperlukan untuk
pemeriksaan sinar-X
skeletal.

19
Somatosensory SSEP mengukur konduksi Tidak ada persiapan khusus
evoked potential saraf sepanjang jaras untuk diperlukan.
(SSEP) mengevaluasi pemicu
potensial kontraksi otot.
Digunakan untuk
mengidentifikasi disfungsi
neuron motoric bawah dan
juga penyakit otot. Elektroda
transkutaneus atau
perkutaneus diletakkan di
kulit dan memberi catatan.

(LeMone, Priscilla, dkk, 2017)

9. Penatalaksanaan
Prinsip penanganan fraktur meliputi reduksi, imobilisasi, dan
pengembalian fungsi serta kekuatan normal dengan rehabilitas (Brunner &
Suddarth, 2002). Reduksi fraktur berarti mengembalikan fragmen tulang
pada kesejajarannya dan rotasi anatomis. Metode untuk mencapai reduksi
fraktur adalah dengan reduksi tertutup, traksi, dan reduksi terbuka. Metode
yang dipilih untuk mereduksi fraktur bergantung pada sifat frakturnya.
Pada kebanyakan kasus, reduksi tertutup dilakukan dengan
mengembalikan fragmen tulang ke posisinya (ujung-ujungnya saling
berhubungan) dengan manipulasi dan traksi manual. Selanjutnya, traksi
dapat dilakukan untuk mendapatkan efek reduksi dan imobilisasi.
Beratnya traksi disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi. Tahapan
selanjutnya setelah fraktur direduksi adalah mengimobilisasi dan
mempertahankan fragmen tulang dalam posisi dan kesejajaran yang benar
sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi
interna dan fiksasi eksterna. Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan,
gips, bidai, traksi, kontin, pin, dan teknik gips. Sedangkan implant logam
digunakan untuk fiksasi interna.
Mempertahankan dan mengembalikan fragmen tulang, dapat
dilakukan dengan reduksi dan imobilisasi. Pantau status neurovaskuler,
latihan isometric, dan memotivasi klien untuk berpartisipasi dalam
memperbaiki kemandirian dan harga diri. (Brunner & Suddarth, 2005)

Prinsip penanganan fraktur dikenal dengan empat R yaitu :

a. Rekognisi adalah menyangkut diagnosis fraktur pada tempat kejadian


dan kemudian di rumah sakit.

20
b. Reduksi adalah usaha dan tindakan memanipulasi fragmen-fragmen
tulang yang patah sedapat mungkin untuk kembali seperti letak
asalnya.
c. Retensi adalah aturan umum dalam pemasangan gips, yang dipasang
untuk mempertahankan reduksi harus melewati sendi di atas fraktur
dan di bawah fraktur.
d. Rehabilitasi adalah pengobatan dan penyembuhan fraktur (Price,
2006).

Penatalaksanaan perawat menurut Mansjoer (2003), adalah sebagai


berikut :

a. Terlebih dahulu perhatikan adanya perdarahan, syok dan penurunan


kesadaran, baru periksa patah tulang
b. Atur posisi tujuannya untuk menimbulkan rasa nyaman, mencegah
komplikasi
c. Pemantauan neurocirculatory yang dilakukan setiap jam secara dini,
dan pemantauan neurocirculatory pada daerah yang cedera adalah :
1) Meraba lokasi apakah masih hangat
2) Observasi warna
3) Menekan pada akar kuku dan perhatikan pengisin kembali
kapiler
4) Tanyakan pada pasien mengenai rasa nyeri atau hilang sensasi
pada lokasi cedera
5) Meraba lokasi cedera apakah pasien bisa membedakan rasa
sensasi nyeri
6) Observasi apakah daerah fraktur bisa digerakan
d. Pertahankan kekuatan dan pergerakan
e. Mempertahankan kekuatan kulit
f. Meningkatkan gizi makanan-makanan yang tinggi serat anjurkan
intake protein 150-300 gr/hari
g. Memperhatikan immobilisasi fraktur yang telah direduksi dengan
tujuan untuk mempertahankan fragmen yang telah dihubungkan tetap
pada tempatnya sampai sembuh.

Tahap – tahap penyembuhan fraktur menurut Brunner & Suddarth (2005) :

1. Inflamasi, tubuh berespon pada tempat cedera terjadi hematom

21
2. Proliferasi sel, terbentuknya barang-barang fibrin sehingga terjadi
revaskularisasi
3. Pembentukan kalus, jaringan fibris yang menghubungkan efek tulang
4. Opsifikasi, merupakan proses penyembuhan pengambilan jaringan
tulang yang baru
5. Remodeling, perbaikan patah yang meliputi pengambilan jaringan
yang mati dan reorganisasi

Proses penyembuhan fraktur menurut (Sjamsuhidayat, 2005) :

1. Fase Hematoma
Apabila terjadi fraktur pada tulang panjang, maka pembuluh darah
kecil yang melewati kanalikuli dalam system Havers mengalami
robekan dan akan membentuk hematoma di kedua sisi fraktur.
Hematoma yang besar akan diliputi periosteum. Periosteum akan
terdorong dan dapat mengalami robekan akibat tekanan hematoma
sehingga terjadi ekstravasasi darah ke dalam jaringan lunak. Osteosit
di daerah fraktur akan kehilangan darah dan mati, sehingga
menimbulkan suatu daerah cincin avaskuler tulang yang mati pada
sisi-sisi fraktur setelah trauma.
2. Fase Proliferasi Seluler Subperiosteal dan Endosteal
Proses penyembuhan fraktur karena sel-sel osteogenik yang
berproliferasi dari periosteum untuk membentuk kalus eksterna dan
dari endosteum membentuk kalus interna sebagai aktivitas seluler
dalam kanalis medularis. Robekan yang hebat dari periosteum akan
menyebabkan penyembuhan sel dari diferensiasi sel-sel mesenkimal
yang tidak berdiferensiasi ke dalam jaringan lunak.
Pada tahap awal penyembuhan terjadi pertambahan sel-sel osteogenik.
Setelah beberapa minggu, kalis dari fraktur membentuk suatu massa
yang meliputi jaringan osteogenik (belum mengandung tulang,
sehingga apabila di foto rontgen akan tampak radiolusen)
3. Fase Pembentukan Kalus
Sel yang berkembang biak memiliki potensi kondrogenik dan
osteogenik yang apabila berada dalam keadaan yang tepat akan
membentuk tulang sejati dan kadang tulang kartilago. Tempat
osteoblast diduduki oleh matriks interseluler kolagen dan perlekatan
polisakarida oleh garam-garam kalsium membentuk suatu tulang
imatur yang disebut woven bone
Tulang fibrosa yang imatur (anyaman tulang) menjadi lebih padat,
gerakan pada tempat fraktur semakin berkurang. 4 minggu setelah

22
cedera, fraktur menyatu. Pada pemeriksaan radiologis woven bone
terlihat, merupakan indikasi radiologic pertama terjadinya
penyembuhan tulang
4. Fase Konsolidasi
Woven bone akan membentuk kalus primer dan secara perlahan diubah
menjadi tulang yang lebih matang oleh aktivitas osteoblast yang
menjadi struktur lamelar dan kelebihan kalus akan diresorpsi secara
bertahap
5. Fase Remodelling
Terjadi resorpsi secara osteoklastik dan tetap terjadi proses
osteoblastik pada tulang dan kalus eksterna perlahan-lahan
menghilang. Kalus intermediate berubah menjadi tulang.

10. Komplikasi
Komplikasi fraktur menurut (Price, A dan L. Wilson, 2006) :
a. Malunion, adalah suatu keadaan dimana tulang yang patah telah
sembuh dalam posisi yang tidak pada seharusnya, membentuk sudut
atau miring.
b. Delayed union, adalah proses penyembuhan tulang yang berjalan terus
tetapi dengan kecepatan yang lebih lambat dari keadaan normal.
c. Nonunion, adalah patah tulang yang tidak menyambung lagi.
d. Compartment syndrome, adalah suatu keadaan peningkatan tekanan
yang berlebihan di dalam suatu ruangan yang disebabkan perdarahan
masif pada suatu tempat.
e. Syok. Syok hipovolemik atau traumatic, terjadi karena kehilangan
banyak darah (eksterna maupun tak terlihat) dan meningkatnya
permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi.
Ini biasanya terjadi pada fraktur.
f. Fat embolisme syndrome, tetesan lemak masuk ke dalam pembuluh
darah. Factor resiko terjadinya emboli lemak ada fraktur meningkat
pada laki-laki usia 20-40 tahun, usia 70-80 fraktur tahun.
g. Tromboembolik complication, trombo vena dalam sering terjadi pada
individu yang imobilisasi dalam waktu yang lama karena trauma atau
ketidak mampuan lazimnya komplikasi pada perbedaan ekstremitas
bawah atau trauma komplikasi paling fatal bila terjadi pada daerah
ortopedi.
h. Infeksi, system pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan.
Pada trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superfisial) dan
masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi

23
bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin
dan plat.
i. Avascular nekrosis, pada umumnya berkaitan dengan aseptic atau
nekrosis iskemia.
j. Refleks symphathethik dysthropy, hal ini disebabkan oleh hiperaktif
system saraf simpatik abnormal syndrome ini belum banyak
dimengerti. Mungkin karena nyeri, perubahan tropic dan vasomotor
instability.

B. Konsep Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Fraktur Femur


Proses Keperawatan adalah suatu metode yang sistematis dan terorganisasi
dalam pemberian asuhan keperawatan, yang difokuskan pada reaksi dan
respons unik individu pada suatu kelompok atau perorangan terhadap
gangguan kesehatan yang dialami, baik actual maupun potensial (Deswani,
2011 ). Menurut Setiadi (2011), pada dasarnya proses keperawatan adalah
suatu metode ilmiah yang sistematis dan terorganisir untuk memberikan
asuhan keperawatan kepada klien. Tahapannya meliputi: pengkajian diagnosis
keperawatan, perencanaan (termasuk identifikasi hasil yang diperkirakan),
implementasi, dan evaluasi.

1. Pengkajian
Pengkajian adalah tahap yang sistematis dalam pengumpulan data tentang
individu, keluarga, dan kelompok. (Carpenito dan Moyet, 2007)
Pengkajian terdiri dari pengumpulan informasi subjektif dan objektif (mis.
tanda vital, wawancara pasien/keluarga, pemeriksaan fisik) dan peninjauan
informasi riwayat pasien pada rekam medic. (NANDA, 2015)
Mengumpulkan data berikut melalui riwayat kesehatan dan pemeriksaan
fisik
a. Riwayat kesehatan: Usia, riwayat kejadian traumatis, riwayat cedera
musculoskeletal sebelumnya, kesakitan kronik, medikasi
(menyebutkan secara spesifik mengenai antikoagulan dan suplemen
kalsium)
b. Pengkajian fisik: Nyeri saat bergerak, nadi, edema, warna kulit, dan
suhu, deformitas, rentang gerak, sentuhan. 5P pengkajian
neurovascular, seperti berikut ini, disertakan pada pengkajian awal
dan focus pengkajian yang terus-menerus.
1) Nyeri (pain). Kaji nyeri diekstremitas yang cedera dengan
meminta pasien membuat tingkatan pada skala 0 hingga 10,
dengan skala 10 sebagai nyeri yang paling hebat.

24
2) Nadi (pulse). Pengkajian nadi distal dimulai dengan ekstremitas
yang tidak terkena. Bandingkan kualitas nadi di ekstremitas yang
terkena dengan ekstremitas yang tidak terkena.
3) Kepucatan (palor). Observasi kepucatan dan warna kulit di
ekstrmitas yang cedera. Pucat dan dingin dapat mengindikasikan
penurunan arteri, sedangkan hangat dan warna kebiruan dapat
mengindikasikan genangan darah vena. Kaji capillary refill,
bandingkan ekstremitas yang terkena dan yang tidak terkena.
4) Paralisis/paresis. Kaji kemampuan untuk memindahkan bagian
tubuh distal ke tempat fraktur. Ketidakmampuan untuk
berpindah mengindikasikan paralisis. Kehilangan kekuatan otot
(kelemahan) ketika bergerak adalah paresis. Temuan
keterbatasan rentang gerak dapat mengarah ke pengenalan dini
masalah seperti kerusakan saraf dan paralisis.
5) Parestesia. Tanyakan pada pasien ada atau tidak adanya
perubahan dalam hal sensasi, seperti terbakar, baal, perasaan
berduri, atau menyengat (semua ini adalah parestesia) terjadi.
Kaji sensasi distal terhadap cedera, termasuk kemampuan untuk
membedakan sentuhan tajam dan tumpul serta membedakan dua
titik.

Tahap pengkajian terdiri dari :

a. Pengumpulan Data
Pengumpulan data adalah mengumpulkan informasi yang
sistematik tentang klien termasuk kekuatan dan kelemahan klien. Data
dikumpulkan dari klien, keluarga, orang terdekat, masyarakat, grafik,
dan rekam medis. Klien adalah sumber informasi primer, sumber data
yang asli. Sumber informasi sekunder meliputi catatan kesehatan
klien, laporan dari laboratorium dan tes diagnostic, keluarga, orang
terdekat, masyarakat, dan anggota tim kesehatan. Metode
pengumpulan data yang utama adalah observasi, wawancara,
konsultasi, dan pemeriksaan.
b. Validasi Data
Validasi data merupakan data subyektif dan data obyektif yang
dikumpulkan dari sumber primer/klien dan sekunder dengan standar
atau nilai normal yang diterima. Suatu standar atau nilai merupakan
aturan atau ukuran yang lazim dipakai.

25
c. Identifikasi Pola atau Deviasi atau Domain
Pola atau Domain merupakan gabungan dari beberapa data
yang sama dan menunjukkan rangkaian tingkah laku selama periode
tertentu daripada kejadian-kejadian tersendiri. Pola kesehatan atau
domain membantu dalam mengatur data yang telah dikumpulkan. Data
yang sama dikelompokkan dalam pola atau domain. Pola atau domain
dianggap fungsional jika mayoritas data dalam rentang nilai dan
standar normal, jadi menunjukkan kekuatan klien.
Sebuah pola atau domain dinilai fungsional oleh perawat jika
data yang telah dikelompokkan tidak memenuhi standar normal, jadi
menunjukkan kelemahan klien.
Model pengkajian keperawatan seperti 11 pola kesehatan
fungsional dari Gordon, 13 divisi diagnose dari Doengoes dan 13
domain NANDA berguna untuk mengatur riwayat keperawatan,
pemeriksaan fisik dan mengelompokkan diagnose keperawatan.

Menggunakan fomat 13 domain NANDA tahun 2015-2017, antara


lain:

1. Domain 1 : Promosi Kesehatan


Meliputi kebiasaan hidup klien seperti penggunaan obat steroid yang
dapat mengganggu metabolisme kalsium, pengkonsumsian alkohol yang
bisa mengganggu keseimbangannya dan apakah klien melakukan
olahraga atau tidak. (Ignatavicius, Donna D,1995).
2. Domain 2 : Nutrisi
Mengkonsumsi nutrisi lebih seperti kalsium, zat besi, protein 150-300
gr/hari, vit. C, tinggi serat, dan lainnya untuk membantu proses
penyembuhan tulang.
3. Domain 3 : Eliminasi dan Pertukaran
Perlu dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau feces pada pola
eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi,
kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga dikaji
ada kesulitan atau tidak.
4. Domain 4 : Aktivitas/Istirahat
Mengalami keterbatasan gerak, sehingga dapat mengganggu pola dan
kebutuhan tidur. Hilang fungsi pada daerah yang terkena. Dilakukan
pengkajian pada lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan
kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur (Doengos. Marilynn E, 2002).
(Ignatavicius, Donna D, 1995).

26
5. Domain 5 : Persepsi/Kognisi
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal
fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan. begitu juga
pada kognitifnya tidak mengalami gangguan. (Ignatavicius, Donna D,
1995).
6. Domain 6 : Persepsi Diri
Tidak ada masalah
7. Domain 7 : Hubungan Peran
Tidak ada masalah
8. Domain 8 : Seksualitas
Tidak ada masalah
9. Domain 9 : Koping/Toleransi Stress
Tidak ada masalah
10. Domain 10 : Prinsip Hidup
Tidak ada masalah
11. Domain 11 : Keamanan/Perlindungan
Laserasi kulit, perdarahan, perubahan warna, pembengkakan local.
12. Domain 12 : Kenyamanan
Pengaturan posisi, mencegah komplikasi, nyeri tiba-tiba saat cidera,
spasme / kram otot
13. Domain 13 : Pertumbuhan/Perkembangan
Kalis dari fraktur membentuk suatu massa yang meliputi jaringan
osteogenik
Woven bone membentuk kalus primer dan secara perlahan diubah
menjadi tulang yang lebih matang oleh aktivitas osteoblast yang menjadi
struktur lamellar.

27
Pathway Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Fraktur Femur

Gambar 2.2 Pathway asuhan keperawatan pada pasien dengan fraktur femur
modifikasi dari Doengoes (2002), Smeltzer (2002), Muttaqin (2008), dan
NANDA (2015).

28
2. Diagnosis Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah penilaian klinis tentang respons manusia
terhadap gangguan kesehatan/proses kehidupan, atau kerentanan repons
dari seorang individu, keluarga, kelompok, atau komunitas. Diagnosis
keperawatan biasanya berisi dua bagian : 1) deskripton atau pengubah, dan
2) focus diagnosis, atau konsep kunci dari diagnosis. (NANDA, 2015)
Tujuan diagnosa keperawatan adalah untuk menganalisis dan
mensintesis data yang telah dikelompokkan dalam 13 domain NANDA
seperti diatas.
Diagnosa keperawatan dirumuskan berdasarkan pada respon klien
terhadap perubahan-perubahan pada status kesehatan, masalah-masalah
yang diidentifikasi dan kemampuan perawat untuk membantu menemukan
penyelesaian masalah.
Diagnosa keperawatan menurut NANDA (2014) dibedakan menjadi 5
macam, yaitu :
a. Diagnosa keperawatan actual
Adalah suatu diagnosa keperawatan actual menggambarkan
penilaian klinis yang harus divalidasi perawat karena adanya batasan
karakteristik mayor.
b. Diagnosa keperawatan resiko
Adalah diagnosa keperawatan resiko menggambarkan
penilaian klinis dimana individu atau kelompok lebih rentan
mengalami masalah dibanding orang lain dalam situasi yang sama
atau serupa.
c. Diagnosa keperawatan kemungkinan
Adalah diagnosa keperawatan yang mungkin adalah
pernyataan yang menjelaskan masalah yang diduga memerlukan data
tambahan.
d. Diagnosa keperawatan “Wellness”
Diagnosa keperawatan kesejahteraan adalah penilaian klinis
tentang keadaan individu, keluarga, atau masyarakat dalam transisi
dari tingkat sejahtera tertentu ke tingkat sejahtera yang lebih tinggi.
e. Diagnosa keperawatan “Syndrome”
Diagnosa keperawatan syndrome adalah diagnosa yang terdiri
dari kelompok diagnose keperawatan actual atau resiko yang
diperkirakan ada karena situasi atau peristiwa tertentu.
Secara umum Doengoes (2002) merumuskan 8 masalah/diagnosis
keperawatan, yaitu : 1) risiko tinggi trauma tambahan, 2) nyeri
berhubungan dengan spasme otot, gerakan fragmen tulang, cedera pada

29
jaringan lunak, stress, ansietas, alat traksi/imobilisasi, 3) risiko tinggi
terhadap disfungsi neuvaskuler perifer, 4) risiko tinggi terhadp kerusakan
pertukaran gas, 5) kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan
kerusakan rangka neuromuscular, 6) kerusakan integritas kulit/jaringan
(actual/risiko tinggi) berhubungan dengan cedera tusuk, fraktur terbuka,
pemasangan pen traksi, perubahan sensasi, imobilisasi fisik, 7) risiko
tinggi terhadap infeksi, 8) dan kurang pengetahuan tentang kondisi,
prognosis, dan kebutuhan pengobatan.
Sementara Smeltzer (2002) merumuskan 3 diagnosis/masalah
keperawatan yang dapat terjadi pada fraktur tertutup, yaitu: 1) nyeri
berhubungan dengan fraktur, 2) risiko terhadap cedera berhubungan
dengan kerusakan neurovascular, tekanan, dan disuse, 3) kurang
perawatan diri berhubungan dengan hilangnya kemampuan menjalankan
aktivitas kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan dua pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa ada 9
masalah/diagnosis keperawatan yang dapat ditemukan pada klien fraktur
yaitu sebagai berikut :
1. Risiko tinggi trauma tambahan berhubungan dengan kerusakan
neurovaskuler, tekanan, dan disuse
2. Nyeri berhubungan dengan spasme otot, gerakan fragmen tulang,
cedera pada jaringan lunak, stress, ansietas, alat traksi/imobilisasi
3. Risiko tinggi terhadap disfungsi neuvaskuler perifer
4. Risiko tinggi terhadap kerusakan pertukaran gas
5. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan rangka
neuromuscular
6. Kurang perawatan diri berhubungan dengan hilangnya kemampuan
menjalankan aktivitas kehidupan sehari-hari
7. Kerusakan integritas kulit/jaringan (actual/risiko tinggi) berhubungan
dengan cedera tusuk, fraktur terbuka, pemasangan pen traksi,
perubahan sensasi, imobilisasi fisik
8. Risiko tinggi terhadap infeksi
9. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis, dan kebutuhan
pengobatan

3. Rencana Keperawatan
Perencanaan keperawatan yaitu pengembangan strategi desain untuk
mencegah, mengurangi, atau mengoreksi masalah-masalah yang
diidentifikasi pada diagnosa keperawatan.

30
Perencanaan keperawatan adalah perumusan tujuan, tindakan, dan
penilaian rangkaian asuhan keperawatan pada pasien atau klien
berdasarkan analisis pengkajian agar masalah kesehatan dan keperawatan
pasien dapat diatasi (Nursalam, 2008)

Tujuan perencaan adalah merumuskan rencana tindakan untuk


mengatasi masalah-masalah klien. Komponen tahap perencanaan adalah :

a. Menentukan prioritas urutan diagnosa keperawatan


Dalam perencanaan terlebih dahulu menentukan prioritas
masalah, kriteria hasil, dan cerita evaluasi. Ada beberapa cara
memprioritaskan masalah antara lain Hirarki Maslow ditentukan
berdasarkan kebutuhan dasar dan masalah yang mengancam
kehidupan atau keselamatan. Lima tingkatan Hirarki Maslow antara
lain :
1. Fisiolgi
2. Rasa aman dan nyaman
3. Social
4. Harga diri
5. Aktualisasi diri

Menurut (Zaidin, 2009) ada dua kriteria penting yang perlu


diperhatikan, yakni sebagai berikut :

1. Genting / urgensi merupakan ukuran waktu


a. Sangat genting/sangat urgen, yakni suatu keadaan proses yang
sangat mengancam jiwa klien.
b. Genting/urgen, yakni keadaan yang tidak membutuhkan
penanggulangan segera dan kadang-kadang dapat diatasi oleh
proses sendiri.
2. Penting, yakni keadaan/masalah yang harus ditanggulangi yang
apabila tidak ditanggulangi akan mengancam keselamatan klien atau
masyarakat sekitarnya, merupakan ukuran besar masalah. Disini dapat
pula ditetapkan dengan tiga tingkat, antara lain :
a. Sangat penting, yakni keadaan yang apabila tidak segera
ditanggulangi akan membahayakan orang banyak.
b. Penting, yakni keadaan yang perlu ditanggulangi tetapi tidak
begitu besar dampaknya pada masyarakat.
c. Kurang penting, yakni keadaan yang dapat ditanggulangi sendiri
oleh masyarakat/individu apabila mereka dibimbing untuk

31
mengatasinya, misalnya kekurangan cairain ringan, sakit kepala,
dll.
b. Menentukan kriteria hasil / outcome
Kriteria hasil/outcome adalah tujuan dan sasaran yang realistic
dan dapat diukur dimana klien diharapkan untuk mencapainya.
Dalam membuat outcome perawat dapat menggunakan standar
klasifikasi dari criteria hasil atau Nursing Outcomes Classification
(NOC).
NOC adalah standar klasifikasi pasien/outcome komprehensif
yang dibuat untuk mengevaluasi efek dari intervensi keperawatan.
NOC adalah klasifikasi dari patient outcomes yang responsive
terhadap nursing intervention. NOC identic dengan istilah patient
goal atau outcomes.
Pengukuran NOC menggunakan skala linkert dengan rentang 1
sampai 5. NOC digunakan untuk perencanaan tujuan dan evluasi.
Setelah menentukan nursing outcomes (NOC) yang akan memonitor
untuk evaluasi tahapan perbaikan dari setiap masalah pasien sesuai
nursing diagnose.
Menurut (Nursalam, 2008) menentukan kriteria hasil dengan
berdasarkan kriteria “SMART” antara lain :
S : Specific (tujuan harus jelas dan tidak menimbulkan arti
ganda)
M : Measureable (tujuan harus dapat diukur)
A : Achievable (tujuan harus dapat dicapai)
R : Rasionable (tujuan harus dapat dipertanggungjawabkan
secara ilmiah)
T : Time (tujuan harus mempunyai jangka waktu)

c. Menentukan rencana tindakan


The Nursing Intervention (NIC) adalah standarisasi intervensi
yang dilakukan oleh perawat secara komprehensif berdasarkan riset.
NIC berguna untuk mendokumentasikan klinik, komunikasi lintas
care setting, data terintegrasi, riset yang efektif, pengukuran
produktifitas, evaluasi kompetensi, reinforcement, desain kurikulum.
The Nursing Intervention (NIC) adalah komprehensif,
standardized language yang mendiskripsikan treatment yang
dilakukan perawat pada semua setting dari semua spesialis. Nursing
Intervention diklasifikasikan untuk memudahkan akses dan

32
penggunaan. Setiap Nursing Intervention mempunyai spesifik label
dan definisi serta aktivitas untuk pencapaian intervensi.
Nursing Intervention adalah setiap treatment berdasarkan
keputusan klinis dan pengetahuan yang dilakukan oleh perawat untuk
meningkatkan outcome dari pasien/klien.
Yang termasuk dalam Nursing Intervention adalah :
a. Direct care intervention
Treatment yang dilakukan melalui interaksi dengan pasien.
Termasuk psikologikal dan fisiologikal nursing action, laying on
hand action dan beberapa yang lebih mendukung dan konseling
alamiah.
b. Indirect care intervention
Treatment yang dilakukan tidak langsung kepada pasien, separuh
dari pasien atau grup pasien. Termasuk dalam nursing action
yang bertujuan untuk memanajemen lingkungan perawatan
pasien dan interdisipliner kolaborasi. Aksi tersebut mendukung
efektivitas dari direct intervention.
c. Nurse-iniated treatment
Intervensi atas inisiasi perawat sebagai respon terhadap nursing
diagnosis, aksi otonomi berdasarkan rasional ilmiah yang
diputuskan untuk memberikan manfaat bagi pasien sesuai
dengan nursing diagnosis dan outcome yang direncanakan.
Beberapa aksi termasuk treatment atas inisiasi advance pratical
nurse.
d. Physican-initiated treatment
Treatment atas inisiasi dokter dalam respon terhadap doctor
order. Perawat juga dapat melakukan treatment atas inisiasi
provider lain seperti pharmasis, terapis atau physician assistants.
Nursing activities adalah perilaku khusus atau action yang
dilakukan oleh perawat untuk mengimplementasikan intervensi
dan yang membantu pasien/klien menuju outcome yang
diharapkan.

Tabel 2.1 Rencana tindakan pada pasien fraktur femur

No Diagnosa Keperawatan Perencanaan


Tujuan Intervensi
1 Nyeri akut Setelah dilakukan Manajemen nyeri
tindakan keperawatan Gali bersama pasien
selama 3x24 jam factor-faktor yang dapat

33
tingkat nyeri pasien menurunkan atau
berkurang dengan memperberat nyeri
kriteria hasil : Berikan informasi
- Nyeri yang mengenai nyeri, seperti
dilaporkan (4) penyebab nyeri, berapa
- Ekspresi nyeri lama nyeri akan dirasakan,
wajah(4) dan antisipasi dari
- Tidak bisa ketidaknyamanan akibat
beristirahat (4) prosedur
Skala : Kolaborasi dengan pasien,
1. Berat orang terdekat dan tim
2. Cukup berat kesehatan lainnya untuk
3. Sedang memilih dan
4. Ringan mengimplementasikan
5. Tidak ada tindakan penurun nyeri
non farmakologi, sesuai
kebutuhan
2 Hambatan mobilitas Setelah dilakukan Terapi latihan : mobilitas
fisik tindakan keperawatan (pergerakan) sendi
selama 3x24 jam Monitor lokasi dan
pergerakan tercapai kecenderungan adanya
dengan kriteris hasil : nyeri dan
- Gerakan sendi (4) ketidaknyamanan selama
- Bergerak dengan pergerakan / aktivitas
mudah (3) Bantu pasien mendapatkan
Skala : posisi tubuh yang optimal
1. Sangat terganggu untuk pergerakan sendi
2. Banyak terganggu pasif maupun aktif
3. Cukup terganggu Dukung pasien untuk
4. Sedikit terganggu duduk ditempat tidur,
5. Tidak terganggu disamping tempat tidur
(“menjuntai”) atau dikursi
Kolaborasikan dengan ahli
terapi fisik dalam
mengembangkan dan
menerapkan sebuah
program latihan
3 Risiko infeksi Setelah dilakukan Perawatan luka
tindakan keperawatan Monitor karakteristik luka,
selama 3x24 jam dapat termasuk drainase, warna,
mengontrol risiko : ukuran, dan bau
proses infeksi dengan Ganti balutan sesuai
kriteria hasil : dengan jumlah eksudat dan
- Mengidentifikasi drainase

34
factor risiko infeksi Periksa luka setiap kali ada
(3) perubahan balutan
- Mengidentifikasi Anjurkan pasien dan
tanda dan gejala keluarga untuk mengenal
infeksi (3) tanda dan gejala infeksi
- Memonitor
perubahan status
kesehatan (3)
Skala :
1. Tidak pernah
menunjukkan
2. Jarang menunjukkan
3. Kadang-kadang
menunjukkan
4. Sering menunjukkan
5. Secara konsisten
menunjukkan
4 Defisit perawatan diri : Setelah dilakukan Bantuan perawatan diri :
mandi tindakan keperawatan mandi/kebersihan
selama 3x24 jam Monitor integritas kulit
perawatan diri : pasien
kebersihan tidak Sediakan lingkungan yang
terpenuhi dengan terapeutik dengan
kriteria hasil : memastikan kehangatan,
- Mempertahankan Susana rileks, privasi, dan
penampilan yang pengalaman pribadi
rapi (3) Sediakan barang pribadi
- Mempertahankan yang diinginkan
kebersihan tubuh (2) Berikan bantuan sampai
- Membersihkan area pasien benar-benar mampu
perineum (3) merawat diri secara
Skala : mandiri
1. Sangat terganggu
2. Banyak teganggu
3. Cukup terganggu
4. Sedikit terganggu
5. Tidak terganggu
5 Risiko harga diri Setelah dilakukan Peningkatan harga diri
rendah situasional tindakan keperawatan Monitor pernyataan pasien
selama 3x24 jam telah mengenai harga diri
beradaptasi terhadap Bantu pasien untuk
disabilitas fisik dengan menemukan penerimaan
kriteria hasil : diri
- Beradaptasi Bantu pasien untuk

35
terhadap menerima ketergantungan
keterbatasan secara terhadap orang lain dengan
fungsional (3) tepat
- Menggunakan Dukung pasien untuk
strategi untuk menerima tantangan baru
mengurangi stress Instruksikan orangtua
yang berhubungan untuk mengetahui
dengan disabilitas pencapaian anak
(3)
- Menerima
kebutuhan akan
bantuan fisik (3)
Skala :
1. Tidak pernah
dilakukan
2. Jarang dilakukan
3. Kadang-kadang
dilakukan
4. Sering dilakukan
5. Dilakukan secara
konsisten

6 Kerusakan integritas Setelah dilakukan Pengecekan kulit


kulit tindakan keperawatan Monitor sumber tekanan
selama 3x24 jam terjadi dan gesekan
penyembuhan luka : Monitor warna dan suhu
primer dengan kriteria Amati warna, kehangatan,
hasil : bengkak, pulsasi, tekstur,
- Memperkirakan edema, dan ulserasi pada
kondisi kulit (4) ekstremitas
Skala : Periksa kondisi luka
1. Tidak ada operasi, dengan tepat
2. Terbatas Ajarkan anggota keluarga
3. Sedang mengenai tanda-tanda
4. Besar kerusakan kulit dengan
5. Sangat besar tepat
- Eritema dikulit
sekitarnya (4)
- Lebam dikulit
sekitarnya (4)
Skala :
1. Sangat besar
2. Besar
3. Sedang

36
4. Terbatas
5. Tidak ada
7 Ketidakseimbangan Setelah dilakukan Manajemen nutrisi
nutrisi kurang dari tindakan keperawatan Monitor kalori dan asupan
kebutuhan tubuh selama 3x24 jam status makanan
nutrisi : asupan nutrisi Identifikasi adanya alergi
terpenuhi dengan atau intoleransi makanan
kriteria hasil : yang dimiliki pasien
- Asupan kalori (3) Tawarkan makanan ringan
- Asupan protein (3) yang padat gizi
- Asupan karbohidrat Instruksikan pasien
(3) mengenai kebutuhan
- Asupan vitamin (3) nutrisi
Skala : Anjurkan pasien untuk
1. Tidak aduekuat memantau kalori dan
2. Sedikit adekuat intake makanan
3. Cukup adekuat
4. Sebagian besar
adekuat
5. Sepenuhnya
adekuat

4. Implementasi
Implementasi keperawatan adalah tahap ketika perawat
mengaplikasikan rencana asuhan keperawatan ke dalam bentuk intervensi
keperawatan guna membantu klien mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
(Asmadi, 2008). Implementasi adalah pengelolaan dan perwujudan dari
rencana keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan (Setiada,
2012).
Ukuran intervensi keperawatan yang diberikan kepada klien terkait
dengan dukungan, pengobatan, tindakan untuk memperbaiki kondisi,
pendidikan untuk klien-keuarga, atau tindakan untuk mencegah masalah
kesehatan yang muncul dikemudian hari.
Intervensi merupakan pelaksanaan tindakan dari rencana intervensi
sesuai label NIC yang dipilih untuk mencapai tujuan spesifik yang
diharapkan sesuai label NOC yang ditentukan dalam rencana keperawatan
(nursing care plan).

37
5. Evaluasi
Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses
keperawatan yang menandakansejauh mana diagnosa, rencana tindakan
dan pelaksanaan sudah berhasil dicapai.
Evaluasi adalah sebagai sesuatu yang direncanakan dan perbandingan
sistemik pada status klien. Meski diletakkan diakhir proses keperawatan,
tetapi merupakan bagian integral pada setiap proses keperawatan.
Menurut Nursalam (2008) sasaran dan hasil pelaksanaan evaluasi
adalah :
a. Sasaran Evaluasi
1) Proses asuhan keperawatan, berdasarkan kriteria atau rencana
yang telah disusun.
2) Hasil tindakan keperawatan, berdasarkan kriteria keberhasilan
yang telah dirumuskan dalam rencana evaluasi.

b. Hasil Evaluasi
Terdapat 3 kemungkinan hasil evaluasi, antara lain`:
1) Tujuan tercapai, apabila pasien telah menunjukkan perbaikan
atau kemajuan sesuai dengan yang telah ditetapkan.
2) Tujuan tercapai sebagian, apabila tujuan itu tidak tercapai secara
maksimal sehingga perlu dicari penyebab dan cara
menanggulanginya.
3) Tujuan tidak tercapai, apabila pasien tidak menunjukkan
perubahan atau kemajuan sama sekali bahkan timbul masalah
baru. Dalam hal ini perawat perlu untuk mengkaji secara lebih
mendalam apakah terdapat data, analisis, diagnosis, tindakan,
dan factor lain yang tidak sesuai yang menjadi penyebab tidak
tercapainya tujuan.

6. Dokumentasi Keperawatan
a. Pengertian dokumentasi keperawatan
Dokumentasi keperawatan merupakan bukti pencatatan dan
laporan yang dimiliki perawat dalam melakukan catatan perawatan
yang berguna untuk kepentingan klien perawat dan tim kesehatan
dalam memberikan pelayanan kesehatan dengan dasar komunikasi
yang akurat dan lengkap secara tertulis dengan tanggung jawab
perawat. (Nursalam, 2008)

38
b. System pencatatan dokumentasi keperawatan
Menurut Zaidin (2009) dokumentasi keperawatan
menggunakan system pencatatan :
1) Lembar pengkajian
Meliputi data yang harus dikumpulkan berupa data obyektif dan
data subyektif dalam penggunaannya hindari penulisan ulang
informasi yang telah dicabut pada lembar pengkajian.
2) Pencatatan narasi
Pencatatn ini memberikan informasi data subyektif, obyektif,
tindakan keperawatan dan respon klien terhadap tindakan
keperawatan.
3) Pencatatan SOAP
Pencatatan ini digunakan dengan pencatatan medic yang
berorientasi pada masalah (Problem Oriented Medical Record)
POMR. Pencatatan ini memberikan kemajuan klien yang terus
menerus.
Komponen pencatatan SOAP terdiri dari empat bagian :
S (Subyektif) perawat menuliskan keluhan klien
O (Obyektif) perawat mencatat data yang dapat didengar, dilihat,
dan dirasa oleh perawat
A (Analisa) perawat menganalisa dan menginterpretasikan data
subyektif dan data obyektif
P (Plan) perawat mencatat rencana untuk mengatasi masalah yang
dicatat pada subyektif, obyektif, dan analisa.

39
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Rancangan Studi Kasus


Desain penelitian merupakan rencana penelitian yang disusun sedemikian
rupa sehingga peneliti dapat memperoleh jawaban terhadap pertanyaan
penelitian. Desain penelitian mengacu pada jenis atau macam penelitian yang
dipilih untuk mencapai tujuan penelitian, serta berperan sebagai alat dan
pedoman untuk mencapai tujuan tersebut (Setiadi, 2013).
Penulisan studi kasus ini menggunakan desain penelitian eksplorasi kasus
untuk memaparkan masalah asuhan keperawatan.

B. Subyek Studi Kasus


Subyek studi kasus yang digunakan yaitu menggunakan 2 pasien dengan
diagnosa yang sama yaitu fraktur femur dengan membandingkan teori yang
telah dipelajari tentang diagnosa fraktur femur.

C. Fokus Studi
Fokus studi kasus ini dilakukan pada pasien dengan diagnosa fraktur femur
dengan melakukan :
1) Pengkajian pada pasien dengan fraktur femur di ruang Alamanda 3 RSUD
Sleman Yogyakarta.
2) Menegakkan diagnosa pada pasien dengan fraktur femur di ruang
Alamanda 3 RSUD Sleman Yogyakarta.
3) Membuat perencanaan tindakan pada pasien dengan fraktur femur di
ruang Alamanda 3 RSUD Sleman Yogyakarta.
4) Melakukan implementasi pada pasien dengan fraktur femur di ruang
Alamanda 3 RSUD Sleman Yogyakarta.
5) Mengevaluasi tindakan pada pasien dengan fraktur femur di ruang
Alamanda 3 RSUD Sleman Yogyakarta.

D. Definisi Operasional
1. Pengkajian
Pengkajian adalah suatu proses awal dari sebuah proses keperawatan yang
bertujuan untuk mengumpulkan data tentang klien baik itu dari klien
sendiri maupun dari keluarga agar dapat diketahui masalahnya atau
penyakitnya.

40
2. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah suatu masalah yang telah diketahui atau
telah ditetapkan berdasakan pada tanda dan gejala yang saling
berhubungan dengan suatu penyakit atau masalah yang ada pada klien.
3. Rencana keperawatan
Rencana keperawatan adalah suatu rencana yang berbentuk tindakan
keperawatan yang akan dilakukan oleh perawat kepada klien agar klien
dapat kembali normal atau menjadi lebih baik dari sebelumnya.
4. Implementasi keperawatan
Implementasi keperawatan adalah tindakan nyata dari proses rencana
keperawatan yang bertujuan memberi kesembuhan pada klien.
5. Evaluasi keperawatan
Evaluasi keperawatan adalah hasil dari proses keperawatan yang
menandakan seberapa berhasilnya rencana keperawatan dan implementasi
keperawatan yang dilakukan dalam memenuhi kebutuhan klien.
6. Pasien
Pasien adalah orang sakit yang menerima atau membutuhkan bantuan
perawatan atau pengobatan dari tenaga kesehatan.
7. Penyakit
Penyakit adalah suatu ketidaknormalan tubuh yang menyebabkan
ketidaknyamanan pada penderita.
8. Fraktur
Fraktur adalah rusaknya tulang atau patah tulang yang disebabkan oleh
benturan yang sangat keras.
9. Fraktur femur
Fraktur femur adalah patah tulang yang terjadi pada bagian femur atau
batang paha yang disebabkan oleh trauma langsung.

E. Tempat dan Waktu


Studi kasus ini dilakukan di ruang Alamanda 3 RSUD Sleman Yogyakarta
dengan kasus fraktur femur, dimana pasien masuk melalui IGD lalu
dipindahkan di ruang Alamanda 3. Lama waktu dilakukannya studi kasus ini
yaitu pada tanggal 17 April 2018– 21 April 2018.

F. Pengumpulan Data
1. Wawancara
Wawancara merupakan suatu metode komunikasi yang direncanakan dan
meliputi tanya jawab antara perawat dengan klien yang berhubungan

41
dengan masalah kesehatan klien. Untuk itu kemampuan komunikasi
sangat dibutuhkan oleh perawat agar memperoleh data yang diperlukan.
Tujuan wawancara pada pengkajian keperawatan adalah (1) Mendapatkan
informasi yang diperlukan untuk mengidentifikasi dan merencanakan
asuhan keperawatan, (2) Meningkatkan hubungan perawat-klien dengan
adanya komunikasi, (3) Membantu klien untuk memperoleh informasi
akan kesehatannya dan ikut berpartisipasi dalam identifikasi masalah dan
pencapaian tujuan asuhan keperawatan, dan (4) Membantu perawat untuk
menentukan pengkajian lebih lanjut. (Nursalam, 2008)
2. Observasi
Metode pengumpulan data yang kedua adalah observasi. Observasi
merupakan kegiatan mengamati perilaku dan keadaan klien untuk
memperoleh data tentang masalah kesehatan klien. Observasi memerlukan
keterampilan disiplin dan praktik klinik sebagai bagian dari tugas perawat.
Kegiatan observasi meliputi 2S-HFT (sight,smell,hearing, feeling, taste).
Kegiatan tersebut mencakup aspek fisik, mental, social, dan spiritual.
Sight = Kelainan fisik, perdarahan, terbakar, menangis, dan seterusnya.
Smell = Alkohol, darah, feses, obat-obatan, urine, dan seterusnya.
Hearing = Tekanan darah, batuk, menangis, ekspresi nyeri, denyut dan
ritme jantung.
Feeling = Perasaan yang dirasakan oleh klien.
Taste = Hal yang dirasakan oleh indera pengecap. (Nursalam. 2008)
3. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik (physical examination) dalam pengkajian keperawatan
diperlukan untuk memperoleh data objektif dari klien. Tujuan dari
pemeriksaan fisik ini adalah untuk menentukan status kesehatan klien,
mengidentifikasi masalah kesehatan, dan memperoleh data dasar guna
menyusun rencana asuhan keperawatan. Pemeriksaan fisik sebaiknya
dilaksanakan bersamaan dengan wawancara. Focus pemeriksaan fisik
yang dilakukan perawat adalah pada kemampuan fungsional klien.
(Nursalam, 2008)
4. Studi dokumentasi
Pada studi dokumentasi yang digunakan adalah hasil laboratorium, rekam
medis, pemeriksaan penunjang, rontgen dan pemeriksaan lainnya yang
terkait dengan fraktur femur.

42
G. Analisis Data dan Penyajian Data
Analisis data
Analisis data dilakukan sejak peneliti dilapangan, sewaktu pengumpulan data
sampai dengan semua data terkumpul. Analisis data merupakan sebuah cara
untuk mengolah data menjadi informasi agar karakteristik data tersebut mudah
dipahami dan bermanfaat untuk solusi permasalahan, terutama hal yang
berkaitan dengan penelitian. Urutan dalam analisis adalah :
1. Pengumpulan data
Data dikumpulkan dari WOD (Wawancara, Observasi, Dokumentasi)
2. Mereduksi data
Data dari wawancara, observasi, dan dokumentasi yang terkumpul
selanjutnya dianalisis bedasarkan hasil pemeriksaan diagnostic kemudian
dibandingkan nilai normal.
3. Penyajian data
Penyajian data dapat dilakukan dengan tabel, gambar, bagan, maupun teks
naratif. Penyajian data pada studi kasus ini yaitu berupa teks naratif,
gambar, dan tabel.
4. Kesimpulan
Data yang disajikan kemudian dibahas dan dibandingkan dengan hasil-
hasil penelitian terdahulu dan secara teoritis dengan perilaku kesehatan.
Data yang dikumpulkan terkait dengan data pengkajian, diagnosa,
perencanaan, implementasi, dan evaluasi.
Penyajian data
Studi kasus ini tidak menganalisis data tetapi hanya mendeskripsikan studi
kasus secara deskriptif dalam bentuk naratif, tabel, gambar, dengan
membandingkan kasus dan konsep teori.

H. Etika Studi Kasus


1. Anonymity (tanpa nama)
Dalam hasil penulisan laporan, tidak disebutkan dengan jelas akan
keterangan nama secara lengkap tetapi hanya menggunakan inisial.
2. Confidentiality (kerahasiaan)
Pencegahan bagi yang tidak berkepentingan mengakses data seperti
identitas pribadi pasien.
3. Informed consent (persetujuan menjadi responden)
Dalam etik ini ketika akan mulai dilakukan pengkajian, harus meminta
persetujuan terlebih dahulu kepada yang bersangkutan.

43
Daftar Pustaka

LeMone, Priscilla, dkk. 2017. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta :
Buku Kedokteran EGC.

Nanda Internasional. 2015. Diagnosis Keperawatan Definisi & Klasifikasi 2015-


2017. Jakarta : EGC.

Moorhead, Sue. 2013. Nursing Outcomes Classification (NOC) 5th edition. Missouri :
Elseiver Mosby.

Bulechek. Gloria M, dkk. 2013. Nursing Interventions Classification (NIC) 6th


edition. Missouri : Elseiver Mosby.

Wijaya, Andra Saferi dan Yessie Mariza Putri. 2013. KMB 2 Keperawatan Medikal
Bedah (Keperawatan Dewasa).Yogyakarta : Nuha Medika.

Lukman, dan Ningsih, Nurna. 2009. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan
Gangguan Sistem Muskuloskeletal. Jakarta : Salemba Medika.

Nursalam. 2008. Proses dan Dokumentasi Keperawatan Edisi 2. Jakarta : Salemba


Medika.

Smeltzer dan Bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner &
Suddarth Vol 3 E/8. Jakarta : Buku Kedokteran EGC.

https://www.scribd.com/document/353120379/Di-Indonesia-angka-kejadian-patah-
tulang-atau-insiden-fraktur-cukup-docx

http://digilib.unisayogya.ac.id/32/1/Alan%20Yanuar_201110201003.pdf

http://eprints.ums.ac.id/30916/2/BAB_I.pdf

http://eprints.unipdu.ac.id/282/1/BAB%20I.pdf

http://repository.stikesayaniyk.ac.id/1518/2/Lela%20Kurniasari_1309033_nonfull.pdf

44
45

Anda mungkin juga menyukai