Anda di halaman 1dari 53

USULAN PENELITIAN

PENGARUH PHYSICAL EVIDENCE DAN VIRAL MARKETING


TERHADAP KEPUTUSAN BERKUNJUNG DAN KEPUASAN
KONSUMEN DI OBYEK WISATA MUNDUK ASRI PAYANGAN

Usulan penelitian diajukan untuk sebagai salah satu syarat


Untuk menyusun skripsi S1 Program Studi Manajemen

Diajukan Oleh :
NAMA : NI MADE SRISUTAMI
NIM : 1502612010102

FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS MAHASARASWATI
DENPASAR
2018
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada era globalisasi, produk atau jasa yang bersaing dalam satu pasar

semakin banyak dan beragam akibat keterbukaan pasar . Sehingga terjadilah

persaingan antar produsen yang menuntut setiap pengusaha untuk mampu

bersaing dan bertahan melawan pesaing untuk dapat memenuhi kebutuan

konsumen serta memberikan kepuasan kepada pelanggan secara maksimal.

Banyaknya perusahaan yang berlomba untuk mendapatkan konsumen

menjadikan kondisi kompetisi antar perusahaan berlangsung semakin ketat.

Persaingan yang sangat ketat menuntut para pengusaha untuk dapat

menentukan strategi yang tepat dalam berkompetisi, yaitu dalam melakukan

pemenuhan kebutuhan konsumen yang selalu bervariasi karena pada

dasarnya tujuan dari suatu bisnis adalah untuk menciptakan rasa puas pada

pelanggan. Menurut Peter dan Oloson dalam Achmad (2013:22), kepuasan

konsumen adalah konsep penting dalam pemasaran dan penelitian konsumen.

Jika konsumen merasa puas dengan suatu produk atau jasa, mereka cenderung

akan terus membeli dan menggunakannya serta memberi tahu orang lain

tentang pengalaman mereka yang menyenangkan dengan produk atau jasa

tersebut. Jika mereka tidak dipuaskan, maka cenderung beralih merk serta

mengajukan keberatan pada produsen dan bahkan menceritakannya kepada

orang lain.
Kepuasan akan dirasakan oleh konsumen setalah melakukan

penggunaan suatu produk atau jasa. Menurut Kotler (2005:228) ada dua

faktor yang dapat mempengaruhi keputasan pembelian. Faktor yang pertama

sikap orang lain yaitu sejauh mana sikap orang lain mengurangi alternatif

yang disukai seseorang. Faktor kedua adalah faktor situasi yang tidak

terantisipasi yang dapat muncul dan mengubah niat pembelian, yang akibat

akhirnya konsumen membatalkan keputusan pembeliannya terhadap suatu

produk.

Bersamaan dengan adanya perubahan lingkungan yang terjadi dan

adanya perubahan perilaku manusia, dan aktivitas manusia yang semakin

padat setiap harinya, maka semakin mendorong bertambahnya permintaan

akan kebutuhan rekreasi. Ada berbagai macam bisnis yang bisa menjadi

peluang usaha, salah satunya adalah pengembangan obyek wisata. Saat ini

sudah semakin banyak pengembangan obyek wisata yang terlibat dalam

pemenuhan kebutuhan dan keinginan konsumen. Hal tersebut membuat

pengusaha di bidang obyek wisata harus berupaya untuk memahami

kebutuhan, keinginan, dan permintaan pasar sasaran. Pengusaha tersebut

harus berupaya untuk mendapatkan perhatian serta ketertarikan khalayak

ramai (dalam hal ini calon konsumen), karena mereka bersaing dengan

perusahaan yang memiliki produk serupa. Maka dari itu setiap pengusaha

dengan jenis produk serupa harus memikirkan cara untuk memenangkan

pasar.

Salah satu cara untuk memenangkan persaingan adalah dengan

membuat sesuatu yang berbeda. Perbedaan diperlukan karena dari setiap


bisnis pasti didapati produk yang serupa dengan harga yang berkisar beda

tipis bahkan sama. Membuat konsumen tertarik adalah salah satu tujuan awal

dan selanjutnya pasti bertujuan untuk mendorong hasrat konsumen untuk

berkunjung dan kesan yang diperoleh berdampak pada kepuasan pelanggan.

Sebelum memutuskan untuk melakukan pembelian suatu produk atau jasa

konsumen dipengaruhi oleh beberapa faktor, dalam hal ini adalah physical

evidence dan viral marketing.

Physical evidence bisa menjadi alternatif untuk membedakan obyek

wisata yang satu dengan yang lainnya. Physical evidence bisa menjadi alasan

lebih bagi konsumen untuk tertarik dan memilih dimana ia akan berkunjung.

Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Levy dan Weitz (2001:556)

“Customer purchasing behavior is also influenced by the physical evidence“.

Dalam keputusan pembelian, konsumen tidak hanya memberi respon

terhadap barang dan jasa yang ditawarkan, tetapi juga memberikan respon

terhadap bukti fisik yang menyenangkan bagi konsumen. Hal ini membuat

konsumen tersebut memilih obyek wisata yang disukai dan melakukan

kunjungan. Physical evidenc yang ditawarkan produsen, jika ditanggapi

dengan positif oleh konsumen akan memperoleh peluang besar bagi tempat

tersebut untuk dikunjungi. Menurut Ratih Hurriyati (2010:64) : “Sesuatu hal

yang secara nyata turut mempengaruhi keputusan konsumen untuk membeli

dan menggunakan produk jasa yang ditawarkan”. Dapat diasumsikan bahwa

penilaian atau tanggapan konsumen terhadap physical evidence akan

mempengaruhi pembelian konsumen. Salah satu yang menjadi pertimbangan

dalam pengambilan keputusan pembelian adalah bukti fisik yang menarik.


Physical evidence tidak hanya berpengaruh terhadap keputusan

pembelian, tetapi juga berpengaruh terhadap kepuasan pelanggan. Ryu dan

Han (2010) dalam Heung dan Gu (2012) menyatakan bahwa “Meskipun

semua faktor penentu kepuasan pelanggan perlu diperhatikan dalam

penelitian dan praktek, untuk sebagian besar mungkin bukti fisik menentukan

tingkat keseluruhan kepuasan di industri obyek wisata”. Physical evidence

merupakan kombinasi dari hal-hal yang bersifat emosional. Menurut Mowen

dan Minor (2002:139) physical evidence mempengaruhi keadaan emosional

pembelanja, yang kemudian mendorong untuk meningkatkan atau

mengurangi niat berkunjung. Dampak dari physical evidence bisa

menciptakan kesan yang membuat pembeli akan meningkatkan niatnya atau

kemungkinan tidak berniat kembali lagi untuk berkunjung di tempat tersebut.

Selain physical evidence, perusahaan juga memilih strategi viral

marketing dalam memasarkan produknya, agar produknya dapat dijangkau

oleh konsumen di seluruh Indonesia melalui akses internet. Karena dilihat

dari kemajuan teknologi yang sudah meningkat, banyak dari konsumen sering

sekali menggunakan jejaring sosial dalam kehidupan sehari-hari.

Kepercayaan seorang konsumen atau pelanggan kepada perusahaan sangatlah

dibutuhkan, karena bisnis melalui viral marketing menggunakan jaringan

internet yang artinya tidak saling bertatap muka dalam bertransaksi. Jadi di

sini perusahaan harus bisa membuat seorang konsumen atau pelanggan dapat

menaruh kepercayaan terhadap perusahaan. Jadi di sini perusahaan harus bisa

membuat seorang konsumen atau pelanggan dapat menaruh kepercayaan

terhadap perusahaan. Cara yang dilakukan perusahaan beragam seperti


misalnya menawarkan sebuah produk yang bisa meyakinkan konsumen untuk

melakukan keputusan pembelian, membuat desain website yang menarik, dan

mencantumkan sebuah testimonial yang dapat meyakinkan konsumen tentang

produk atau jasa yang di tawarkan perusahaan.

Perusahaan membentuk kepercayaan kepada konsumen agar dapat

percaya dengan produk atau jasa yang ditawarkan yang nantinya akan

membuat konsumen untuk melakukan keputusan berkunjung. Menurut

Kotler (2005:228) ada dua faktor yang dapat mempengaruhi keputasan

berkunjung. Faktor yang pertama sikap orang lain yaitu sejauh mana sikap

orang lain mengurangi alternatif yang disukai seseorang. Faktor kedua adalah

faktor situasi yang tidak terantisipasi yang dapat muncul dan mengubah niat

kunjungan, yang akibat akhirnya konsumen membatalkan keputusan

berkunjungnya terhadap obyek wisata.

Viral Marketing ini akan mengakibatkan terjadinya Buzz Marketing

atau komunikasi yang terjadi antara konsumen, dalam hal ini antara pemilik

aplikasi Instagram dan Facebook. Maka di dunia maya pelaku atau pemilik

akun yang melalukan Viral Marketing disebut dengan buzzer. Viral

Marketing yang bekerja seperti penyebaran virus dalam dunia komunikasi

pemasaran agar pesan atau iklan yang dilempar kemasyarakat dapat

disebarluaskan kembali berkali-kali kepada orang lain. Banyak pemasar yang

menggunakan aplikasi chatting atau sosial media untuk melakukan promosi,

harus mampu menarik perhatian dari konsumen agar konsumen tertarik untuk

berkunjung ke tempat obyek wisata yang dipasarkan


Subyek dari penelitian ini adalah obyek wisata Munduk Asri

Payangan. Munduk Asri Payangan adalah salah obyek wisata di kabupaten

Gianyar kecamatan Payangan tepatnya di desa Kerta yang memiliki konsep

sangat unik. Obyek wisata ini menarik untuk diteliti karena memiliki konsep

physical evidence yang menarik dengan mengusung konsep wisata hutan

rimba. Diantaranya konsep akar raksasa dari pohon Taep yang menjalar di

dinding tebing tampil unik dan berbeda yang menjadi ikon dari Munduk Asri

tersebut. Selain itu juga dilengkapi dengan berbagai fasilitas seperti warung

atau toko disekitar kawasan Munduk Asri, terowongan akar, TV area, dan

lain-lain sehingga menjadikan tempat ini selalu dikunjungi pada setiap

harinya. Selain suasananya unik, tempatnya juga strategis yakni berada di

antara obyek wisata kintamani dan tempat rekreasi rafting yaitu sungai ayung.

Seiring dengan perkembangan Obyek wisata Munduk Asri Payangan

menggunakan media sosial sebagai alat untuk melakukan promosi. Media

sosial yang digunakan dalam hal memasarkan yaitu instagram dan facebook,

yang dapat dilihat dalam tabel berikut

Tabel 1.1

Jumlah pengikut obyek wisata Munduk Asri Payangan di sosial media

No Aplikasi Jumlah Pengikut Jumlah yang Membagikan

1 Instagram 1.475 1.131

2 Facebook 1.000 200

Melihat fenomena diatas peneliti beranggapan hal ini layak dan

penting dijadikan sebuah penelitian. Merujuk pada penelitian terdahulu yang


dilakukan Purba (2016), dalam penelitiannya menemukan bahwa, viral

marketing melalui aplikasi Line berpengaruh positif terhadsap keputusan

pembelian dan juga penelitian terdahulu Sukotjo dan Radix (2010), dalam

penelitiannya mengartikan physical evidence sebagai lingkungan fisik.

Lingkungan fisik merupakan keadaan atau kondisi yang di dalamnya juga

termasuk suasana lokasi yang merupakan tempat beroperasinya proses kerja

baik itu pelayanan jasa maupun pelayanan jual beli suatu produk. penelitian

ini juga penting dilakukan demi menambah refrensi perusahaan dan para

akademisi dalam melihat perkembangan pemasaran saat ini. Hal inilah yang

mendorong melakukan penelitian lebih jauh dengan judul Pengaruh Physical

Evidence dan Viral Marketing Terhadap Keputusan Berkunjung dan

Kepuasan Konsumen di Obyek Wisata Munduk Asri Payangan.

1.2 Rumusan Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka permasalahan

penelitian ini dirumuskan sebagai berikut.

1) Apakah physical evidence berpengaruh terhadap keputusan berkunjung

konsumen di Obyek Wisata Munduk Asri Payangan?

2) Apakah viral marketing berpengaruh terhadap keputusan berkunjung

konsumen di Obyek Wisata Munduk Asri Payangan?

3) Apakah keputusan berkunjung berpengaruh terhadap kepuasan

konsumen di Obyek Wisata Munduk Asri Payangan?

1.3 Tujuan Penelitian


Sesuai dengan perumusan masalah yang telah dijelaskan di atas, maka

tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah.

1) Untuk mengetahui apakah physical evidence berpengaruh terhadap

keputusan berkunjung konsumen di Obyek Wisata Munduk Asri

Payangan?

2) Untuk mengetahui apakah viral marketing berpengaruh terhadap

keputusan berkunjung konsumen di Obyek Wisata Munduk Asri

Payangan?

3) Untuk mengetahui apakah keputusan berkunjung berpengaruh terhadap

kepuasan konsumen di Obyek Wisata Munduk Asri Payangan?

1.4 Kegunaan Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian di atas, penelitian ini diharapkan dapat

memberikan kegunaan sebagai berikut.

1) Bagi Mahasiswa

Penelitian ini diharapkan mampu memperluas wawasan dan

pengetahuan mahasiswa serta menambah pemahaman yang dapat

dijadikan refrensi pengetahuan, bahan diskusi, dan bahan kajian lanjut

tentang masalah yang berkaitan dengan keputusan berkunjung

konsumen dan dapat dijadikan sarana untuk mempraktekkan dan

menerapkan ilmu pengetahuan yang diperoleh.

2) Bagi Perusahaan (Instansi)

Bagi Perusahaan (Instansi), hasil penelitian ini diharapkan dapat

memberikan tambahan informasi dan masukan bagi perushaan untuk

menentukan kebijakan perusahaan


3) Bagi Universitas Mahasaraswati Denpasar

Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan bukti

empiris mengenai pengaruh pengaruh physical evidence dan strategi

promosi melalui media sosial terhadap keputusan berkunjung

konsumen di Obyek Wisata Munduk Asri Payangan, sehingga

dijadikan acuan untuk penelitian dimasa yang akan datang.


BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Pemasaran Jasa

Pemasaran dimulai dengan pemenuhan kebutuhan manusia

yang kemudian bertumbuh menjadi keinginan manusia. Proses dalam

pemenuhan kebutuhan dan keinginan manusia inilah yang

memunculkan konsep pemasaran. Konsep pemasaran adalah sebuah

falsafah bisnis yang menyatakan bahwa pemuasan kebutuhan

konsumen merupakan syarat ekonomi dan sosial bagi kelangsungan

hidup perusahaan. Konsep pemasaran dipaparkan oleh Kotler (1997 :

8) pemasaran adalah suatu proses sosial dan manajerial yang

didalamnya individu dan kelompok mendapatkan apa yang mereka

butuhkan dan inginkan dengan menciptakan, menawarkan, dan

mempertukarkan produk yang bernilai dengan pihak lain.

Pemasaran menurut Kotler (2005 : 10) dibedakan antar definisi

pemasaran secara sosial dan secara manajerial. Definisi sosial

menunjukan peran yang dimainkan oleh pemasaran di masyarakat yaitu

pemasaran adalah proses sosial yang dengan prose situ individu dan

kelompok mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan inginkan

dengan menciptakan, menawarkan dan secara bebas mempertukarkan

produk dan jasa yang bernilai dengan pihak lain. Sedangkan definisi
manajerial, pemasaran sering digambarkan sebagai seni menjual

produk.

Menurut Mowen dan Minor (2002) pemasaran adalah kegiatan

manusia yang ditujukan untuk memuaskan kebutuhan dan keinginan

melalui proses pertukaran. Menurut Rangkuti (2002), tujuan kegiatan

pemasaran: (1) konsumen potensial mengetahui secara detail produk

yang dihasilkan dan perusahaan dapat menyediakan semua permintaan

atas produk yang dihasilkan, (2) perusahaan dapat menjelaskan secara

detail semua kegiatan yang berhubungan dengan pemasaran. Kegiatan

pemasaran meliputi kegiatan mengenai produk, desain produk, promosi

produk, pengiklanan produk, komunikasi kepada konsumen,

pengiriman produk kepada konsumen.

Cara berfikir pemasaran di mulai dengan kebutuhan dan

keinginan manusia, kebutuhan manusia adalah keadaan merasa tidak

memiliki kepuasan dasar, sedangkan keinginan adalah hasrat akan

pemuasan tertentu dari kebutuhan tersebut. Keinginan menjadi

permintaan apabila di dukung dengan daya beli, maka permintaan

adalah keinginan akan suatu produk yang di dukung dengan

kemampuan serta kesediaan membelinya

Menurut Kotler (2005: 111) jasa adalah setiap tindakan atau

kinerja yang dapat ditawarkan satu pihak kepada pihak lain, yang pada

dasarnya tidak berwujud dan tidak mengakibatkan kepemilikan sesuatu.

Jasa merupakan suatu kegiatan yang memiliki beberapa unsur

ketakwujudan (intangibility) yang berhubungan dengannya yang


melibatkan beberapa interaksi dengan konsumen/dengan properti

dalam kepamilikannya dengan tidak menghasilkan transfer

kepemilikan perubahan kondisi mungkin saja berhubungan atau bisa

pula tidak berkaitan dengan produk fisik.

Jasa sering dipandang sebagai suatu fenomena yang rumit. Kata

jasa itu sendiri mempunyai banyak arti, mulai dari pelayanan personal

(personal service) sampai jasa sebagai produk. Berbagai konsep

mengenai pelayanan banyak dikemukakan oleh para ahli seperti

Haksever et al (2000) menyatakan bahwa jasa atau atau pelayanan

(service) didefinisikan sebagai kegiatan ekonomi yang menghasilkan

waktu, tempat, bentuk, dan kegunaan psikologis. Menurut Edvardsson

et al (2005) dalam Manajemen Operasi Jasa (Wahyu Ariani, 2009:11)

jasa atau pelayanan juga merupakan kegiatan, proses dan interaksi serta

merupakan perubahan dalam kondisi orang atau sesuatu dalam

kepemilikan pelanggan.

Sinambela (2010: 3), pada dasarnya setiap manusia

membutuhkan pelayanan, bahkan secara ekstrim dapat dikatakan

bahwa pelayanan tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan manusia.

Menurut Kotlern dalam Sampara Lukman, pelayanan adalah setiap

kegiatan yang menguntungkan dalam suatu kumpulan atau kesatuan,

dan menawarkan kepuasan meskipun hasilnya tidak terikat pada suatu

produk secara fisik.


1) Karakteristik Jasa

Berbagai riset dan literatur pemasaran jasa mengungkap

bahwa jasa memiliki sejumlah karakteristik unik yang

membedakannya dari barang dan berdampak pada cara

memasarkannya. Secara garis besar, ada 5 karakteristik jasa yang

terdiri dari intangibility, inseparability, variability/heterogenety,

perishability,dan lack of ownership (Tjiptono 2014:28-33).

a) Intangibility

Jasa berbeda dengan barang. Bila barang merupakan suatu objek,

alat, atau benda; maka jasa adalah suatu perbuatan, tindakan,

pengalaman, proses, kinerja (performance), atau usaha. Oleh sebab

itu, jasa tidak dapat dilihat, dirasa, dicium, didengar, atau diraba

sebelum dibeli dan dikomsumsi. Bagi para pelanggan,

ketidakpastian dalam pembelian jasa relatif tinggi, karena

terbatasnya search qualities, yakni karakteristik fisik yang dapat

dievaluasi pembeli sebelum pembelian dilakukan. Selain itu, jasa

biasanya mengandung unsur experience quality dan credence

quality yang tinggi. Experience quality adalah karakteristik-

karakteristik yang hanya dapat dinilai pelanggan setelah

pembelian. Sedangkan credence quality merupakan aspek-aspek

yang sulit dievaluasi, bahkan setelah pembelian dilakukan. Oleh

karena jasa relatif rendah dalam search qualities dan tinggi dalam

experiance dan credence qualities, maka pelanggan merasakan

risiko yang lebih besar dalam keputusan pembelian.


b) Inseparability

Barang biasanya diproduksi, kemudian dijual, lalu dikonsumsi.

Sedangkan jasa umumnya dijual terlebih dahulu, baru kemudian

diproduksi dan dikonsumsi pada waktu dan tempat yang sama.

Karakteristik semacam ini mempunyai beberapa implikasi bagi

konsumen dan juga penyedia jasa tersebut atau pihak manajemen

yang bertanggung jawab atas penyampaian jasa itu sendiri.

c) Variability/heterogenety

Jasa bersifat sangat variabel karena merupakan non-standardized

output, artinya banyak variasi bentuk, kualitas jenis, tergantung

kepada siapa, kapan, dan dimana jasa tersebut diproduksi. Berbeda

dengan mesin, orang biasanya tidak bisa diprediksi dan cenderung

tidak konsisten dalam hal sikap dan perilaku.

d) Perishability

Perishability berarti, jasa tidak tahan lama dan tidak dapat

disimpan. Artinya jasa yang dihasilkan akan dimanfaatkan pada

saat konsumsi jasa tersebut berlangsung. Dengan demikian maka

pemanfaatan jasa yang tidak mengenal penyimpanan ini

memerlukan suatu kondisi permintaan jasa yang sedang terjadi.

Jika terdapat permintaan maka jasa tersebut akan ditawarkan dan

permintaan selanjutnya merupakan penawaran jasa berikutnya.

Permintaan pelanggan terhadap jasa sangat fluktuatif. Kegagalan

dalam memenuhi permintaan puncak menyebabkan ketidakpuasan

pelanggan. Akan tetapi sebaliknya, di saat periode sepi akan terjadi


kapasitas jumlah mengangur dalam jumlah besar. Dalam hal ini

manajemen penyedia jasa memiliki lima pendekatan alternatif

dalam hal permintaan.

(1) Mengurangi permintaan pada periode puncak

(2) Meningkatkan permintaan pada periode sepi

(3) Menyimpan permintaan dengan system reservasi dan janji

(4) Menerapkan sistem antrean

(5) Mengembangkan jasa atau pelayanan komplementer

e) Lack of ownership

Lack of ownership merupakan perbedaan dasar antara barang dan

jasa. Pada pembelian barang, konsumen memiliki hak penuh atas

penggunaan dan manfaat produk yang dibelinya. Mereka bisa

mengkonsumsi, menyimpan, atau menjualnya. Di lain pihak pada

pembelian jasa, pelanggan mungkin hanya memiliki akses

personal atas suatu jasa untuk jangka waktu yang terbatas.

Pembayaran biasanya ditujukan untuk pemakain, akses atau

penyewaan item-item tertentu berkaitan dengan jasa yang

ditawarkan. Untuk mengantisipasi masalah lack of ownership

penyedia jasa dapat melakukan tiga pendekatan yaitu :

(1) Menekankan keunggulan atau keuntungan non-owenership.

(2) Menciptakan asosiasi keanggotaan untuk memperlihatkan

kepemilikan.

(3) Memberikan intensif bagi para pengguna rutin.


2.1.2 Physical Evidence

Simpulan sarana fisik (physical evidence) dari penelitian

Zeithaml, Bitner, Mary dan Dwayne (2009) adalah lingkungan di mana

pelayanan dikirim dan di mana perusahan dan pelanggan saling

berinteraksi dan komoditi nyata/berwujud yang memfasilitasi

performa/komunikasi pelayanan. Sarana fisik ini merupakan suatu hal

yang secara nyata turut mempengaruhi keputusan konsumen untuk

membeli dan menggunakan produk jasa yang ditawarkan. Unsur-unsur

yang termasuk didalam sarana fisik antara lain lingkungan fsiik, dalam

hal ini bangunan fisik, peralatan, perlengkapan, logo, warna, dan

barang-barang lainya yang disatukan dengan service yang diberikan

seprti tiket, sampul, lebel dan sebagainya. Hal tersebut sesuai dengan

pendapat Lupiyoadi, et. al (2009) yang memberikan batasan bahwa

perusahaan melalui tenaga pemasaranya menggunakan tugas cara

dalam mengelola bukti fisik yang strategis yaitu sebagai berikut:

a) A attention-Creating Medium.

Perusahan jasa melakukan differensiasi dengan pesaing dan

membuat sarana fisik semenarik mungkin untuk menjaring

pelanggan dari target pasarnya.

b) As a message-creating medium

Menggunakan simbol atau isyarat untuk mengkomunikasikan

secara intensif kepada audiens mengenai kekhususan kulaitas

dari produk jasa


c) An effect-crating medium

Baju seragam yang berwarna, bercorak, suara dan desain untuk

mencipakan sesuatu yang lain dari produk jasa yang ditawarkan.

Lupiyoadi, Rambat & Hamdanai (2009:71) menyatakan bahwa

“bukti fisik (phisyical evidence) merupakan lingkungan fisik tempat

jasa diciptakan dan langsung berinteraksi dengan konsumen”. Ada dua

jenis bukti fisik sebagai berikut:

a) Bukti penting (essential evidenece) merupakan keputusan-

keputusan yang dibuatoleh pemberi jasa mengenai desain

dan tata letak dari gedung, ruang dan lain-lain

b) Bukti pendukung (peripheral evidence) merupakan nilai

tambah yang bila berdiri sendiri tidak akan berarti apa-apa.

Jadi, hanya berfungsi sebagai pelengkap saja. Sekalipun

demikian peranannya sangat penting dalam proses produksi

jasa.

1) Indikator Physical Evidence

Simpulan indikator menurut Zeithaml dan Bitner dalam

Wijaya (2012) bukti fisik jasa pendidikan dibagi menjadi lima

kategori, antara lain:

1) Exterior design, Tingkat kemenarikan dan keunikan

gedung/bangunan luar

2) Signage (tanda/logo/simbol/papan merek), Tingkat

kejelasan tanda atau papan nama dan daya tarik tanda atau

papan nama
3) Parking (tempat parkir), tingkat kemudahan dan

kenyamanan

4) Landscape (pemandangan), daya Tarik pemandangan obyek

wisata

5) Surrounding environment (lingkungan sekitar), tingkat

kenyamana dan kebersihan lingkungan sekitar

6) Interior design, daya Tarik dan keunikan interior design

7) Equipment (perlengkapan), tingkat ketersediaan dan

kelayakan perlengkapan

8) Layout (tata ruang), tingkat kesesuaian tata letak didalam

areal obyek wisata

9) Employee dress (pakaian pegawai), daya Tarik dan kerapian

pakaian kerja pegawai

10) Brochures (brosur), tingkat kejelasan dan kemenarikan

brosur

2.1.3 Viral Marketing

Beberapa ahli dalam komunikasi pemasaran mencoba

mendefinisikan WOM dari berbagai perspektif. Pada penelitian ini,

WOM yang di maksud merupakan hasil dari penerapan strategi

experiental marketing yang dirasakan oleh konsumen. Di sini,

konsumen yang telah merasakan experience dengan sendirinya akan

melakukan WOM. Menurut Kotler & Keller (2009:512) word of mouth

marketing adalah kegiatan pemasaran melalui perantara orang ke orang

baik secara lisan, tulisan, maupun alat komunikasi elektronik yang


berhubungan dengan pengalaman pembelian jasa atau pengalaman

menggunakan produk atau jasa.

Cleland (2000) mengatakan bahwa word of mouth seringkali

dikatakan dengan istilah viral marketing, yaitu sebuah teknik

pemasaran yang digunakan untuk menyebarkan sebuah pesan

pemasaran dari satu website atau pengguna-pengguna kepada website

atau para pengguna lain, yang mana dapat menciptakan pertumbuhan

eksponensial yang potensial seperti layaknya sebuah virus. Dengan

adanya internet terciptalah sebuah paradigma baru dalam komunikasi

word of mouth dan inilah awal pemunculan dari istilah electronicword

of mouth atau EWOM. EWOM sekarang ini dianggap sebagai evolusi

dari komunikasi tradisional interpersonal yang menuju generasi baru

dari cyberspace. Dengan kemajuan teknologi semakin banyak trend

konsumen untuk sibuk mencari informasi yang dibutuhkan mengenai

suatu produk sebelum mereka melakukan suatu pembelian dan ini

menghasilkan aktivitas EWOM.

Menurut Thurau and Gwinner, et al., (2004) electronic word of

mouth merupakan bentuk komunikasi pemasaran yang berisi tentang

pernyataan positif ataupun negatif yang dilakukan pelanggan potensial,

pelanggan maupun mantan pelanggan tentang suatu produk atau

perusahaan, yang tersedia bagi banyak orang atau melembaga melalui

media internet. Jansen (2009) menyebutkan bahwa meskipun mirip

dengan bentuk WOM, EWOM menawarkan berbagai cara untuk

bertukar informasi, banyak juga diantaranya secara anonim atau secara


rahasia. Hal ini dilakukan untuk memberikan kebebasan geografis dan

temporal, apalagi EWOM memiliki setidaknya beberapa diantaranya

bersifat permanen berupa tulisan.

Menurut Hasan (2010:42) viral marketing pada dasarnya

merupakan bentuk pemasaran dari mulut ke mulut berbasis internet (e-

mouth to mouth marketing atau juga disebut e-word of mouth

marketing) yang fungsi promosinya bersifat networking dan dirancang

seperti virus berjangkit dari satu orang ke orang lainnya secara cepat

dan luas dengan memberikan imbalan yang khusus kepada

konsumennya. Richardson (2004:4) menuliskan bahwa istilah viral

marketing ini dipopulerkan pertama kali oleh Steve Juvertson. Juvertso

dan rekan-rekannya adalah pemilik modal hotmail. Dapatkan email

privat anda secara gratis di hotmail adalah ide mereka. Ternyata

peletakan ide mereka dalam setiap email hotmail menciptakan sebuah

proses reveral yang dapat dijalani dengan mudah. Juvertson kemudian

menyebut proses tersebut dengan nama viral marketing pada tahun

1997 di newsletter Netspace yang menjelaskan dengan fenomena

kesuksesan hotmail.

Menurut Armstrong dan Kotler (2004:90), viral marketing is the

internet version ofword of mouth marketing, that involves creating an

e-mail massage or other marketing event that is so infectious that

customers will want to pass it along to their friends, artinya viral

marketing adalah versi internet dari penggunaan pemasaran dari mulut

ke mulut, yang sangat berhubungan dengan menciptakan e-mail atau


acara pemasaran yang sangat menular sehingga pelanggan mau

menyampaikannya kepada teman mereka.

Kunci dari viral marketing adalah mendapatkan

pengunjung website dan merekomendasikannya pada mereka yang

nantinya akan dianggap tertarik. Mereka akan menghubungkan pesan

tersebut kepada konsumen potensial yang akan menggunakan barang

atau jasa yang ditawarkan serta merekomendasikannya kepada

konsumen lain. Pengguna internet yang loyal akan lebih mudah

dihadapi dibanding dengan browser biasa. Hal ini dikarenakan mereka

lebih mungkin memberikan feedback seperti memberi informasi

tambahan ataupun saran-saran. Menurut Zien dalam Skrob (2005:6),

viral marketing dapat dibagi menjadi dua struktur dasar, yaitu active

viral marketing dan frictionless viral marketing.

a) Active Viral marketing

Active viral marketing diasosiasikan dengan konsep tradisional

word-of-mouth karena pemakai biasanya terlibat secara personal

pada proses menjaring konsumen baru.

b) Frictionless Viral marketing

Frictionless viral marketing berbeda dengan active viral marketing

karena tidak mensyaratkan partisipasi aktif dari konsumen untuk

mengiklankan atau menyebarkan informasi suatu produk. Produk

akan secara otomatis mengirimkan pesan promosi pada alamat

yang dituju. Jadi dorongan awal untuk viral didahului perusahaan

pembuat produk sendiri.


Menurut Skrob (2005:8) secara umum, strategi viral marketing

dapat dibagi menjadi dua kelompok dilihat dari derajat keterlibatan

konsumen dalam proses pemasaran.

a) Low Intergration Strategy

Dalam strategi ini keterlibatan konsumen sangat sedikit.

Penyebaran promosi hanya melalui email. Contoh rekomendasinya

juga terbatas pada tombol “kirim ke teman” dalam suatu

homepage.

b) High Intergration Strategy

Perbedaan dalam strategi ini adalah adanya keterlibatan konsumen

secara langsung dalam membidik konsumen baru.

1) Instrumen viral marketing

Skrob (2005:12) mengidentifikasikan beberapa instrumen yang

dapat menstimulasi viral marketing, diantaranya adalah customer

recommendation (rekomendasi), newsletter, lingking strategies,

communities (komunitas), free offer, sweepstakes, list of prospective

buyers (daftar konsumen potensial), chatrooms, reference list (daftar

referensi), producttexts, affiliate programs, dan search engine.

2) Indikator viral marketing

Menurut Kaplan dan Haenlein (2011:253) dimensi yang dapat

dijadikan tolak ukur dalam viral marketing :

a) Komponen pertama : Messenger “The first critical element in

creating a viral marketing epidemic entails finding the right people

to spread the message. Three groups of messengers are required to


ensure the transformation of an ordinary message into a viral

phenomenon: market mavens, social hubs, and salespeople”.

Elemen penting dalam menciptakan epidemi viral marketing ialah

memerlukan orang yang tepat untuk menyebarkan pesan. Tiga

kelompok utusan diperlukan untuk memastikan transformasi pesan

biasa menjadi fenomena viral yaitu pakar pasar, hubungan sosial dan

penjual.

b) Komponen kedua : Message “Only messages that are both

memorable and sufficiently interesting to be passed on to others have

the potential to spur a viral marketing phenomenon”. Hanya pesan

yang baik serta mengesankan dan cukup menarik untuk diteruskan

kepada orang lain memiliki potensi untuk memacu fenomena viral

marketing.

Komponen ketiga : Environment “In addition to getting the right

message to the right people, both of environmental conditions make

the difference between success and failure in the domain of viral

marketing”. Selain mendapatkan pesan yang tepat kepada orang

yang tepat, baik dari kondisi lingkungan membuat perbedaan antara

keberhasilan dan kegagalan dalam domain viral marketing.

2.1.4 Keputusan Berkunjung

Menurut Kotler dan Keller (2012: 170), dalam tahap evaluasi,

para konsumen membentuk preferensi atas merek-merek yang ada di

dalam kumpulan pilihan. Konsumen juga dapat membentuk niat untuk

membeli merek yang paling disukai. Dalam pembelian produk sehari-


hari, keputusannya lebih kecil dan kebebasannya juga lebih kecil.

Dalam beberapa kasus, konsumen bisa mengambil keputusan untuk

tidak secara formal mengevaluasi setiap merek. Dalam kasus lain,

faktor-faktor yang mengintervensi bisa memengaruhi keputusan final.

a) Model pilihan konsumen yang non-kompensasi

Model harapan nilai adalah model kompensasi dimana hal-hal yang

dianggap baik pada sebuah produk dapat membantu mengatasi hal-

hal lain yang dirasa buruk. Namun, konsumen mungkin tidak ingin

menghabiskan begitu banyak waktu dan energi untuk menilai merek.

Dengan model non-kompensasi pada pilihan konsumen,

pertimbangan atribut positif dan negatif tidak perlu disaring.

Mengevaluasi atribut lebih dalam membuat keputusan menjadi lebih

mudah bagi seorang konsumen, tapi juga meningkatkan

kemungkinan orang untuk melakukan pilihan yang berbeda jika dia

lebih leluasa menghadapi rincian yang lebih besar. Disini kita

menyoroti tiga warisan pilihan tersebut yaitu:

(1)Pada pengalaman konjungtif, konsumen menetapkan satu tingkat

minimum yang dapat diterima untuk setiap atribut dan memilih

alternatif pertama yang memenuhi standar minimum untuk

sebuah atribut.

(2)Pada pengalaman leksikografik, konsumen memilih merek

terbaik berdasarkan atribut yang dirasakan paling penting.

(3)Pada pengalaman eliminasi berdasarkan aspek, konsumen

membandingkan merek pada sebuah atribut yang diseleksi


dengan memerhatikan tingkat probabilitas (dimana probabilitas

memilih sebuah atribut itu secara positif berhubungan dengan arti

pentingnya) dan merek dieliminasi jika tidak memenuhi tingkat

minimum yang dapat diterima.

b) Faktor-faktor yang mengganggu

Walaupun konsumen membentuk evaluasi merek, ada beberapa

faktor yang dapat berada di antara niat pembelian dan keputusan

pembelian. Tahap penilaian keputusan menyebabkan konsumen

membentuk pilihan merek diantara beberapa merek yang tergabung

dalam perangkat pilihan. Konsumen membentuk suatu minat

terhadap merek yang paling disukai. Faktor pertama cara sikap

orang lain mengurangi alternatif yang disukai akan bergantung pada

dua hal yaitu intensitas negatif orang lain pada alternatif yang

disukai konsumen dan faktor kedua motivasi konsumen untuk

menuruti keinginan orang lain. Minat beli berada pada posisi setelah

konsumen melakukan evaluasi alternatif sebelum melakukan

keputusan pembelian.

1) Indikator keputusan berkunjung

Menurut Abdullah & Tantri (2012:19), terdapat 5 tahap proses

dalam keputusan pembelian yaitu pengenalan masalah atau kebutuhan,

pencarian informasi, evaluasi alternatif, keputusan pembelian dan

perilaku pasca pembelian.

a) Pengenalan Kebutuhan
Munculnya proses pembelian ketika konsumen menyadari

munculnya suatu masalah atau kebutuhan yang harus dipenuhi.

b) Pencarian Informasi

Penganalan kebutuhan akan membuat konsumen untuk mencari

informasi ke berbagai sumber untuk mendapatkan informasi yang

lebih banyak.

c) Evaluasi Alternatif

Membandingkan informasi mengenai suatu produk yang ada untuk

mencari kelebihan dan kekurangan dan mencari nilai produk atau

jasa.

d) Keputusan Pembelian

Dalam tahap evaluasi, konsumen membantu preferensi di antara

merek-merek dalam kelompok pilihan. Konsumen mungkin juga

membentuk minat pembelian untuk membeli merek paling disukai.

e) Perilaku Setelah Pembelian

Setelah mengkonsumsi sebuah produk maka tahapan selanjutnya

yang dilakukan oleh konsumen adalah mengevaluasi setelah

pemakaian produk atau jasa. Tugas pemasaran tidak berakhir saat

produk dibeli, tetapi berlanjut sampai periode setelah pembelian.

2.1.5 Kepuasan Konsumen

Dalam upaya memenuhi kepuasan konsumen, perusahaan

memang dituntut kejeliannya untuk mengetahui pergeseran kebutuhan


dan keinginan konsumen yang hampir setiap saat berubah. Pembeli

akan bergerak setelah membentuk persepsi terhadap nilai penawaran,

kepuasan sesudah pembelian tergantung dari kinerja penawaran

dibandingkan dengan harapannya.

Menurut Peter dan Oloson dalam Achmad (2013:22) kepuasan

konsumen adalah konsep penting dalam pemasaran dan penelitian

konsumen. Sudah menjadi pendapat umum jika konsumen merasa puas

dengan suatu produk atau jasa, mereka cenderung akan terus membeli

dan menggunakannya serta memberi tahu orang lain tentang

pengalaman mereka yang menyenangkan dengan produk atau jasa

tersebut. Jika mereka tidak dipuaskan, maka cenderung beralih merk

serta mengajukan keberatan pada produsen dan bahkan

menceritakannya kepada orang lain.

Menurut Kotler dalam Sunyoto (2013:35), kepuasan konsumen

adalah tingkat perasaan seseorang setelah membandingkan (kinerja

atau hasil) yang dirasakan dibandingkan dengan harapannya.

Konsumen dapat mengalami salah satu dari tiga tingkat kepuasan

umum yaitu kalau kinerja di bawah harapan, konsumen akan merasa

kecewa tetapi jika kinerja sesuai dengan harapan pelanggan akan

merasa puas dan apa bila kinerja bisa melebihi harapan maka pelanggan

akan merasakan sangat puas senang atau gembira.

1) Indikator kepuasan pelanggan

Menurut Kotler dan Keller (2009:140) mempertahankan

pelanggan merupakan hal penting daripada memikat pelanggan. Oleh


karena itu terdapat 3 dimensi untuk mengukur kepuasan pelanggan

yaitu:

1) Membeli lagi

2) Mengatakan hal-hal yang baik tentang perusahaan kepada orang lain

dan merekomendasikan

3) Menawarkan ide produk atau jasa kepada perusahaan.

2.2 Pembahasan Hasil Penelitian Sebelumnya

Penelitian yang akan dilakukan penuilis terdapat unsur kesamaan

dengan penelitian terdahulu, tetapi juga mengandung beberapa perbedaan.

Untuk lebih jelasnya, diuraikan secara singkat hasil penelitian terdahulu yang

dilakukan oleh:

1) Purba (2016), dalam penelitiannya menemukan bahwa, viral marketing

melalui aplikasi Line berpengaruh positif terhadsap keputusan pembelian.

Perbedaan penelitian yang dilakukan oleh Purba dengan penelitian

ini adalah, penelitian yang dilakukan Purba hanya menggunakan variabel

viral marketing sebagai variabel independent, sedangkan dalam penelitian

ini menggunakan variabel physical evidence dan viral marketing sebagai

variabel independent, dalam penelitian Purba hanya menggunakan

variabel keputusan pembelian sebagai variabel dependent sedangkan

penelitian ini menggunakan variabel intervening yaitu keputusan

berkunjung terhadap kepuasan konsumen, objek yang diteliti dalam

penelitian Purba adalah pengguna aplikasi Line, sedangakn dalam

penelitian ini objek yang diteliti adalah konsumen obyek wisata Munduk
Sari Payangan, dan tempat penelitian yang dilakukan Purba yaitu di

Universitas Telkom, berbeda dengan penelitian ini yaitu di Payangan

Gianyar

2) Hanif (2016), dalam penelitiannya menemukan bahwa, ada pengaruh

signifikan antara viral marketing dan brand awareness, ada pengaruh

signifikan antara brand awareness terhadap keputusan pembelian, ada

pengaruh viral marketing terhadap keputusan pembelian, ada pengaruh

antara viral marketing terhadap keputusan pembelian melalui brand

awareness, dan pengaruh yang paling besar ada pada viral marketing

terhadap keputusan pembelian.

Perbedaan penelitian yang dilakukan oleh Hanif dengan penelitian

ini adalah, dalam penelitian ini, menggunakan variabel intervening yaitu

antara keputusan berkunjung terhadap kepuasan konsumen, sedangkan

penelitian yang dilakukan Hanif menggunakan variabel intervening yaitu

antara brand awareness terhadap keputusan pembelian dan tempat

penelitian yang dilakukan Hanif yaitu di Universitas Pembangunan

Nasional “Veteran” Yogyakarta, berbeda dengan penelitian ini yaitu di

Payangan Gianyar.

3) Andini, dkk (2014), dalam penelitiannya menemukan bahwa, pengaruh

viral marketing terhadap kepercayaan pelanggan secara langsung adalah

signifikan dan bernilai positif, kepercayaan pelanggan memiliki pengaruh

secara langsung terhadap keputusan pembelian dan bernilai positif, viral

marketing memiliki pengaruh secara langsung terhadap keputusan

pembelian, dan viral marketing memiliki pengaruh secara langsung


terhadap keputusan pembelian dan secara tidak langsung viral marketing

berpengaruh terhadap keputusan pembelian melalui kepercayaan.

Perbedaan penelitian yang dilakukan oleh Andini, dkk dengan

penelitian ini adalah, penelitian yang dilakukan Andini, dkk hanya

menggunakan variabel viral marketing sebagai variabel independent,

sedangkan dalam penelitian ini menggunakan variabel physical evidence

dan viral marketing sebagai variabel independent, dalam penelitian yang

dilakukan Andini, dkk menggunakan variabel intervening yaitu antara

kepercayaan pelanggan terhadap keputusan pembelian sedangkan

penelitian ini menggunakan variabel intervening yaitu antara keputusan

berkunjung terhadap kepuasan konsumen, objek yang diteliti dalam

penelitian Andini, dkk adalah Mahasiswa Fakultas Ilmu Administrasi

Universitas Brawijaya Angkatan 2013 yang melakukan pembelian online

melalui media sosial instagram, sedangkan dalam penelitian ini objek yang

diteliti adalah konsumen Obyek Wisata Munduk Asri Payangan, dan

tempat penelitian yang dilakukan Andini, dkk yaitu di Universitas

Brawijaya Malang, berbeda dengan penelitian ini yaitu di Payangan

Gianyar.

4) Magenta (2015), dalam penelitiannya menemukan bahwa, produk

memiliki pengaruh secara positif terhadap keputusan pembelian, harga

memiliki pengaruh secara positif terhadap keputusan pembelian, lokasi

memiliki pengaruh secara positif terhadap keputusan pembelian, promosi

memiliki pengaruh secara positif terhadap keputusan pembelian, dan


keputusan pembelian memiliki pengaruh secara positif terhadap kepuasan

konsumen.

Perbedaan penelitian yang dilakukan oleh Magenta dengan

penelitian ini adalah, penelitian yang dilakukan Magenta menggunakan

variabel keputusan pembelian dan kepuasan konsumen, sedangkan dalam

penelitian ini menggunakan variabel physical evidence dan viral

marketing, keputusan berkunjung, dan kepuasan konsumen, objek yang

diteliti dalam penelitian Magenta adalah konsumen Toko Essy’s Brownies

Semarang, sedangkan dalam penelitian ini objek yang diteliti adalah

konsumen Obyek Wisata Munduk Asri Payangan

5) Almaulidta, dkk (2015), dalam penelitiannya menemuka bahwa, terdapat

pengaruh signifikan antara variabel keputusan pembelian (Y1) terhadap

variabel kepuasan konsumen (Y2) dan variabel green brand (X) secara

tidak langsung berpengaruh terhadap variabel kepuasan konsumen (Y2)

melalui variabel keputusan pembelian (Y1) sebagai variabel antara.

Perbedaan penelitian yang dilakukan oleh Almaulidta, dkk dengan

penelitian ini adalah, penelitian yang dilakukan Almaulidta, dkk

menggunakan variabel green brand sebagai variabel independent,

sedangkan dalam penelitian ini menggunakan variabel physical evidence

dan viral marketing, dan objek yang diteliti dalam penelitian Almaulidta,

dkk adalah Mahasiswa Program Strata 1 Fakultas Ilmu Administrasi

Universitas Brawijaya yang menggunakan produk elektronik merek Sony,

sedangkan dalam penelitian ini objek yang diteliti adalah konsumen Obyek

Wisata Munduk Asri Payangan.


BAB III

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS

3.1 Kerangka Berpikir

Kerangka berpikir ini disusun berdasarkan hubungan antar variabel

yang saling terkait, dimana physical evidence adalah lingkungan di mana

pelayanan dikirim dan di mana perusahan dan pelanggan saling berinteraksi

dan komoditi nyata/berwujud yang memfasilitasi performa/komunikasi

pelayanan yang berpengaruh pada keputusan konsumen untuk melakukan

pembelian atau penggunaan layanan jasa. Tanpa bukti fisik keberadaan

perusahaan kurang mendapat perhatian dari konsumen atau bahkan

pelanggan tidak tahu sama sekali mengenai produk tersebut. Apabila

pelanggan merasa puas, maka dia akan menunjukkan besarnya kemungkinan

untuk kembali membeli produk yang sama. Pelanggan yang puas juga akan

cenderung memberikan referensi yang baik terhadap produk kepada orang

lain. Proses itu akan terus berulang sampai konsumen merasa terpuaskan atas

keputusan pembelian produknya

Tidak hanya physical evidence, keputusan penggunaan layanan dapat

juga dipengaruhi oleh viral marketing. Menurut Natasya, dkk (2014:2)

berpendapat viral marketing, yang nantinya perusahaan harus bisa membuat

seorang konsumen dapat percaya dengan produk/jasa yang ditawarkan dan

konsumen melakukan keputusan pembelian terhadap produk-produknya atau

penggunaan mengunjungi serta konsumen dapat merekomendasikannya.

Dengan semakin majunya media internet memudahkan seseorang


berkomunikasi dan berbagi informasi dalam mencari informasi tentang suatu

produk atau jasa langsung dengan orang yang telah memiliki dan

berpengalaman tanpa harus saling bertatap muka sebelum konsumen

melakukan pembelian suatu barang atau jasa yang dibelinya. Viral marketing

merupakan cara yang paling cocok untuk menciptakan suatu keputusan

berkunjung ke obyek wisata saat ini. Indikator viral marketing menurut

Kaplan dan Haenlein (2011:253) yaitu, messenger, message, dan

environment. Menurut Abdullah dan Tantri (2012:19) indikator keputusan

penggunaan layanan, yaitu pengenalan kebutuhan, pencarian informasi,

evaluasi alternatif, keputusan pembelian, dan perilaku setelah pembelian.

Setelah melakukan pembelian konsumen akan mengalami tingkat

kepuasan terhadap suatu barang atau jasa yang telah dibelinya, apabila barang

atau jasa yang dibeli sesuai dengan kebutuhan dan keinginan. Sebaliknya,

konsumen akan mengalami ketidakpuasan setelah melakukan pembelian jika

barang atau jasa tersebut tidak sesuai dengan harapan. Dalam jurnal penelitian

terdahulu yang dilakukan oleh Kautsar, dkk (2012), menyatakan bahwa

keputusan pembelian mempunyai pengaruh positif terhadap kepuasan

konsumen. Menurut Kotler dan Keller (2009:140) indikator dari kepuasan

konsumen, adalah membeli lagi, mengatakan hal-hal yang baik tentang

perusahaan kepada orang lain dan merekomendasikan, dan menawarkan ide

produk atau jasa kepada perusahaan.

Berdasarkan uraian yang telah dijabarkan diatas, maka kerangka

berpikir dapat dirumuskan sebagai berikut:


Gambar 3.1

Kerangka Berpikir

Physical Evidence (X1)


a) Exterior design
b) Signage
(tanda/logo/simbol/papan
merek)
c) Parking (tempat parkir)
d) Landscape (pemandangan)
e) Surrounding environment
(lingkungan sekitar) Keputusan Berkunjung
f) Interior design (Y1) Kepuasan Konsumen (Y2)
g) Equipment (perlengkapan) 1) Pengenalan 1) Membeli Lagi
h) Layout (tata ruang) Kebutuhan 2) Mengatakan hal-hal
i) Employee dress (pakaian 2) Pencarian yang baik tentang
pegawai) Informasi perusahaan kepada
j) Brochures (brosur)
3) Evaluasi Alternatif orang lain dan
(Zeithaml dan bitner dalam 4) Keputusan merekomendasikan
wijaya, 2012) Pembelian 3) Menawarkan ide
5) Perilaku setelah produk atau jasa kepada
pembelian perusahaan.

(Abdullah & Tantri, (Kotler dan Keller (2009:140))


Viral Marketing (X2) 2012)
1) Messenger
2) Message
3) Environment

(Kaplan dan Haenlein, 2011)

Sumber: Hasil Pemikiran Peneliti

3.2 Hipotesis

Berdasarkan kerangka pemikiran diatas, maka dapat dirumuskan

hipotesis yang merupakan dugaan sementara dalam menguji suatu penelitian,

sebagai berikut:
H1: Physical Evidence mempunyai pengaruh positif terhadap keputusan

berkunjung konsumen di Obyek Wisata Munduk Asri Payangan.

H2: Viral marketing mempunyai pengaruh positif terhadap keputusan

keputusan berkunjung konsumen di Obyek Wisata Munduk Asri Payangan.

H3: Keputusan penggunaan layanan mempunyai pengaruh positif terhadap

kepuasan konsumen di Obyek Wisata Munduk Asri Payangan


BAB IV

METODE PENELITIAN.

4.1 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian tentang pengaruh physical evidence dan viral

marketing terhadap keputusan keputusan berkunjung dan kepuasan

konsumen di Obyek Wisata Munduk Asri Payangan.

4.2 Obyek Penelitian

Adapaun yang menjadi objek pada penelitian ini adalah di Obyek

Wisata Munduk Asri Payangan.

4.3 Identifikasi Variabel

Dalam penelitian ini terdapat tiga variabel yaitu dua variabel bebas,

satu variabel terikat dan satu variabel intervening.

1) Variabel Independent/Bebas (X)

Sugiyono (2014:59), variabel independent/bebas merupakan variabel

yang memengaruhi atau menjadi sebab perubahan atau timbulnya

variabel terikat. Variabel independen dalam penelitian ini adalah

physical evidence dan viral marketing.

2) Variabel Dependen/Terikat (Y)

Sugiyono (2014:59), mengatakan bahwa variabel dependen merupakan

variabel yang mampu dipengaruhi atau menjadi akibat, karena adanya


variabel independen. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah

kepuasan konsumen.

3) Variabel Intervening

Sugiyono (2014:61), variabel intervening adalah variabel yang berada

diantara variabel dependen dengan variabel independen. Sehingga

mampu mempengaruhi hubungan tidak langsung antara variabel

independen dengan variabel dependen. Variabel intervening dalam

penelitian ini adalah keputusan berkunjung

4.4 Definisi Operasional Variabel

Definisi operasional variabel merupakan suatu definisi yang diberikan

kepada suatu variabel dengan cara memberikan arti atau menspesifikasikan

kegiatan. Definisi operasional variabel untuk penelitian ini adalah sebagai

berikut:

4.4.1 Physical Evidence (X1)

Physical Evidence merupakan lingkungan di mana pelayanan dikirim

dan di mana perusahan dan pelanggan saling berinteraksi dan komoditi

nyata/berwujud yang memfasilitasi performa/komunikasi pelayanan

yang berpengaruh pada keputusan konsumen untuk melakukan

pembelian atau penggunaan layanan jasa.

Indikator Physical Evidence, adalah:

a) Exterior design, Tingkat kemenarikan dan keunikan

gedung/bangunan luar
b) Signage (tanda/logo/simbol/papan merek), Tingkat kejelasan

tanda atau papan nama dan daya tarik tanda atau papan nama

c) Parking (tempat parkir), tingkat kemudahan dan kenyamanan

d) Landscape (pemandangan), daya Tarik pemandangan obyek

wisata

e) Surrounding environment (lingkungan sekitar), tingkat

kenyamana dan kebersihan lingkungan sekitar

f) Interior design, daya Tarik dan keunikan interior design

g) Equipment (perlengkapan), tingkat ketersediaan dan kelayakan

perlengkapan

h) Layout (tata ruang), tingkat kesesuaian tata letak didalam areal

obyek wisata

i) Employee dress (pakaian pegawai), daya Tarik dan kerapian

pakaian kerja pegawai

j) Brochures (brosur), tingkat kejelasan dan kemenarikan brosur

4.4.2 Viral marketing (X2)

Viral marketing adalah pemasaran yang dilakukan konsumen Obyek

Wisata Munduk Asri Payangan berbasis internet untuk mempengaruhi

orang lain berkaitan dengan Obyek Wisata Munduk Asri Payangan.

Indikator viral marketing, adalah:

a) Messenger adalah informasi mengenai Obyek Wisata Munduk Asri

Payangan disampaikan oleh orang yang tepat dan dapat dipercayai

oleh konsumen.
b) Message adalah informasi yang baik mengenai Obyek Wisata

Munduk Asri Payangan dan dapat dipahami oleh konsumen akan

dapat diteruskan kepada orang lain melalui media sosial.

c) Environment adalah lingkungan sosial dari konsumen Obyek Wisata

Munduk Asri Payangan mengetahui dengan baik Obyek Wisata

Munduk Asri Payangan.

4.4.3 Keputusan berkunjung (Y1)

Keputusan berkunjung merupakan tahap dimana konsumen

memutuskan untuk mengunjungi Obyek Wisata Munduk Asri

Payangan diantara obyek wisata lainnya yang sejenis.

Indikato keputusan penggunaan layanan, yaitu:

1) Pengenalan kebutuhan adalah ketika konsumen menyadari

munculnya suatu masalah atau kebutuhan yang harus dipenuhi.

2) Pencarian informasi adalah pengenalan kebutuhan akan membuat

konsumen untuk mencari informasi mengenai Obyek Wisata

Munduk Asri Payangan ke berbagai sumber untuk mendapatkan

informasi yang lebih banyak.

3) Evaluasi alternatif adalah membandingkan informasi mengenai suatu

produk jasa sejenis Obyek Wisata Munduk Asri Payangan yang ada

untuk mencari kelebihan dan kekurangan dan mencari nilai produk

atau jasa.

4) Keputusan pembelian adalah konsumen akan membentuk minat

berkunjung untuk mengunjungi Obyek Wisata Munduk Asri

Payangan.
5) Perilaku setelah pembelian adalah setelah mengunjungi Obyek

Wisata Munduk Asri Payangan sebuah produk maka tahapan

selanjutnya yang dilakukan oleh konsumen adalah mengevaluasi

setelah mengunjungi Obyek Wisata Munduk Asri Payangan.

4.4.4 Kepuasan konsumen (Y2)

Jika konsumen merasa puas dengan mengunjungi Obyek Wisata Munduk

Asri Payangan, mereka cenderung akan terus membeli dan memberi tahu

orang lain tentang pengalaman mereka yang menyenangkan dengan

berkunjung ke Obyek Wisata Munduk Asri Payangan tersebut. Jika

mereka tidak dipuaskan, maka cenderung beralih tempat serta

mengajukan keberatan pada produsen dan bahkan menceritakannya

kepada orang lain.

Indikator kepuasan konsumen, yaitu:

1) Membeli lagi adalah konsumen Obyek Wisata Munduk Asri

Payangan menggunakan kembali mengunjungi Obyek Wisata

Munduk Asri Payangan.

2) Mengatakan hal-hal yang baik tentang perusahaan kepada orang lain

dan merekomendasikan adalah konsumen Obyek Wisata Munduk

Asri Payangan akan mengatakan hal baik tentang mengunjungi

Obyek Wisata Munduk Asri Payangan dan merekomendasikannya

kepada orang lain.

3) Menawarkan ide produk atau jasa kepada perusahaan adalah

konsumen Obyek Wisata Munduk Asri Payangan memberikan ide


yang mereka miliki terkait dengan Obyek Wisata Munduk Asri

Payangan.

4.5 Jenis dan Sumber Data

4.5.1 Jenis Data

Data yang dipakai dalam penelitian ini adalah data primer yaitu

variable Physical Evidence, viral marketing, keputusan pengunaan

layanan, dan kepuasan konsumen, maka data ini bersifat kualitatif,

maka data tersebut dikuantitatifkan dengan memberikan skor pada

masing-masing jawaban responden (skala likert).

4.5.2 Sumber Data

1) Data Primer

Menurut Supangat (2010:2), data primer yaitu data yang diperoleh

secara langsung dari objek yang diteliti, baik dari objek individual

(responden) maupun dari suatu instansi yang dengan sengaja

melakukan pengumpulan data dari instansi-instansi atau badan

lainnya untuk keperluan penelitian dari pengguna. Dalam penelitian

ini data primer diperoleh dari hasil penyebaran kuisiner kepada

konsumen Obyek Wisata Munduk Asri Payangan.

2) Data Sekunder

Menurut Istinjanto (2009:38) data sekunder (secondary data) berarti

kedua atau bukan secara langsung dari sumbernya melainkan dari

pihak lain. Data sekunder merupakan jenis yang bukan diusahakan

sendiri pengumpulannya oleh peneliti. Data ini dapat diperoleh dari


literatur-literatur, jurnal-jurnal penelitian terdahulu, majalah,

maupun data dokumen yang diperlukan dalam penelitian ini.

4.6 Metode Penentuan Sampel


4.6.1 Populasi

Pengertian populasi menurut Sugiyono (2014:115), yaitu

populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas; obyek/subyek

yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan

oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya.

Populasi dalam penelitian ini adalah semua pengunjung Obyek Wisata

Munduk Asri Payangan di kabupaten Gianyar. Jumlah populasi dalam

penelitian ini tidak diketahui.

4.6.2 Sampel

Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang

dimiliki oleh populasi tersebut. Bila populasi besar, dan peneliti tidak

mungkin mempelajari semua yang ada pada populasi, misalnya karena

keterbatasan dana, tenaga, waktu, maka peneliti dapat menggunakan

sampel yang diambil dari populasi itu (Sugiyono, 2014). Menurut

Istijanto (2009:113) sampel adalah sebagai suatu bagian yang ditarik

dari populasi. Akibatnya sampel selalu merupakan bagian yang lebih

kecil dari populasi. Adapun teknik penarikan sampel menggunkan

teknik nonprobability sampling. Teknik ini tidak menggunakan

prosedur pemilihan peluang melainkan mengandalkan judgement

pribadi peneliti (Malhotra, 2009:371). Teknik pengambilan sampel yang

digunakan oleh penulis adalah metode Accidental sampling juga dikenal


sebagai Sampling Peluang, Convenience Sampling atau pengambilan

sampel bebas.

Accidental sampling/ Convenience sampling adalah non-

probabilitas sampling teknik dimana subyek dipilih karena aksesibilitas

nyaman dan kedekatan mereka kepada peneliti. Pengambilan sampel

didasarkan pertimbangan bahwa responden pernah mengunjungi Obyek

Wisata Munduk Asri Payangan. Sampel yang akan dipilih oleh penulis

sebagai sumber data yang dibutuhkan untuk penelitian ini adalah

konsumen yang pernah berkunjung ke obyek Wisata Munduk Asri

Payangan. Sedangkan untuk ukuran sampel penelitian menurut Roscoe

dalam Sugiyono (2012:52) menyatakan bahwa ukuran sampel yang

layak untuk penelitian adalah antara 30 sampai 500. Jumlah sample

dalam penelitian ini menurut Rao Purba (2006) dalam Kharis (2011:50)

dihitung dengan menggunakan rumus berikut:

𝑍2
n=
4(Moe)2

Dimana :

n = jumlah sample

Z = tingkat distribusi normal

Moe = margin of error max, yaitu tingkat kesalahan maksimal

pengambilan sampel yang masih dapat ditoleransi atau yang diinginkan.

Dengan tingkat keyakinan sebesar 95% atau Z = 1,96 dan moe sebesar

10% maka jumlah sampel dapat ditentukan sebagai berikut:


1,962
n=
4(0,10)2
3,8416
n= 0,04

n = 96,04 atau 96

dan dibulatkan menjadi 100

Berdasarkan hasil perhitungan, maka jumlah sampel yang akan

digunakan sebanyak 96,04 responden dan dibulatkan menjadi 100

responden. Karena dasar itulah peneliti menentukan jumlah sampel

dalam penelitian ini sebanyak 100.

4.7 Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dimaksudkan untuk memperoleh bahan-

bahan yang relevan, akurat dan terpercaya. Metode pengumpulan data yang

digunakan pada penelitian ini adalah :

Kuesioner

Kuesioner adalah cara pengumpulan data dengan menggunakan pertanyaan

yang disebarkan kepada responden mengenai Physical Evidence, viral

marketing, keputusan berkunjung, dan kepuasan konsumen Obyek Wisata

Munduk Asri Payangan. (Arikanto 2005:123), Teknik pengukuran (teknik

penskalaan) dalam kuisioner ini menggunakan skala Likert’s yaitu skala

dengan jawaban pertanyaan dinyatakan dalam antara sangat setuju sampai

sangat tidak setuju . Dalam penelitian ini, skala yang akan digunakan adalah

sebagai berikut :
STS TS CS S SS
1 2 3 4 5

Dimana : 1 = Sangat Tidak Setuju

2 = Tidak Setuju

3 = Cukup Setuju

4 = Setuju

5 = Sangat Setuju

4.8 Teknik Analisis Data

4.8.1 Pilot Test

Sebelum dilakukannya penyebaran kuesioner kepada

responden, peneliti melakukan uji coba (pilot test) terlebih dahulu

terhadap instrument penelitian tersebut. Menurut Gulo (2007) pilot test

adalah uji coba instrument penelitian kepada bagian dari populasi yang

bukan sampel untuk mengetahui instrument dapat dipahami atau tidak.

Pilot test ini dilakukan dengan cara menyebarkan kuesioner kepada 30

responden.

1) Uji Validitas

Pengujian validitas terhadap instrumen-instumen di dalam

kuesioner merupakan syarat mutlak untuk mendapatkan hasil

penelitian yang valid dan reliabel. Priyatno (2008 : 16) mengatakan

validitas adalah ketepatan atau kecermatan suatu instrumen

mengukur apa yang diukur. Suatu instrumen penelitian dapat


dikatakan valid apabila mampu mengukur apa yang ingin diukur dan

dapat mengungkapkan data dari variabel-variabel yang diteliti

secara tetap. Validitas menggunakan teknik product moment pada

tingkat signifikan 5 persen. Batas minimum dianggap memenuhi

syarat jika koefisien kolerasi product moment melebihi 0,3

(Suliyanto, 2005:42). Apabila korelasi antar butir skor dengan skor

total kurang dari 0,3 maka butir pertanyaan atau pernyataan dalam

instrument tersebut dinyatakan tidak valid.

2) Uji Reliabilitas

Uji reabilitas adalah suatu indeks yang menunjukkan sejauh

mana alat pengukur dapat dihandalkan hasil penelitian yang reliabel,

bila terdapat kesamaan data dalam waktu yang berbeda. Apakah

responden dapat mengungkap data-data yang ada pada variabel –

variabel penelitian. Perhitungan reliabilitas menggunakan teknik

analisa alpha cronbach dengan α dinilai reliabel jika lebih besar dari

0,60 (Ghozali, 2008:42).

4.8.2 Analisis SEM (Structural Equation Model)

Menurut Wiyono (2011:395), Partial Least Square (PLS) adalah

salah satu teknik Structural Equation Modeling (SEM) yang mampu

menganalisis variabel laten, variabel indikator dan kesalahan pengukuran

secara langsung. PLS dikembangkan sebagai alternatif apabila teori

digunakan lemah atau indikator yang tersedia tidak memenuhi model

pengukuran reflektif. Herman Wold sebagai pengembang PLS

menyebutkan bahwa PLS sebagai ‘Soft Modeling’. PLS merupakan


model analisis yang powerfull karena dapat diterapkan pada semua skala

data, tidak banyak membutuhkan asumsi, dan ukuran sampel tidak besar.

Selain digunakan untuk konfirmasi teori, PLS juga dapat digunakan

untuk membangun hubungan yang belum ada landasan teorinya atau

untuk pengujian proposisi.

Dibandingkan Structural Equation Modeling (SEM) dengan

pendektan covariance based yang sudah banyak digunakan seperti:

LISREL, AMOS, EQS, COSAN, dan EZPATH, terdapat dua hal penting

dari PLS yang menggunakan pendekatan variance based, yaitu memiliki

kemampuan menghindari dua masalah serius:

1) Inadmissible Solution

Yaitu solusi yang tidak dapat diterima, dalam hal ini, pada PLS

bebrasis varians tidak akan pernah terjadi masalah matriks

singularity. Selain iu, karena PLS bekerja pada model struktural

yang bersifat rekursif, maka masalah unidentified, under-identified

atau over-identified juga tidak akan terjadi.

2) Factor Indetereminacy

Faktor yang tidak dapat ditentukan, artinya jika terjadi adanya lebih

dari satu faktor yang terdapat dalam sekumpulan indikator sebuah

variabel, khusus indikator yang bersifat formatif tidak memerlukan

adanya common factor, sehingga selalu diperoleh variabel laten yang

bersifat komposit. Dalam hal semacam ini, variabel laten merupakan

kombinasi linier dari indikator-indikatornya.


Adapun prinsip dasar penggunaan kedua pendekatan tersebut,

apakah model persamaan struktural digunakan untuk uji dan

pengembangan teori ataukah untuk tujuan prediksi. Apabila tujuan

utamanya untuk pengujian dan pengembangan model, pendekatan

berdasarkan kovarian merupakan metode yang paling sesuai. Namun jika

terjadi ketidakpastian dari pendugaan skor faktor (factor indeterminacy)

maka akan menyebabkan menurunnya keakuratan prediksi. Sedangkan

jika untuk tujuan prediksi, maka pendekatan berdasarkan varians seperti

PLS lebih tepat, terutama dengan indikator yang bersifat formatif.

Dengan variabel laten berupa kombinasi linier dari indikatornya, maka

prediksi nilai dari variabel laten dapat dengan mudah diperoleh, sheingga

prediksi terhadap variabel laten yang dipengaruhi juga dapat dengan

mudah dilakukan. Untuk lebih jelasnya, perbedaan kedua pendekatan

tersebut disampaikan pada tabel berikut ini.

Evaluasi terhadap model Partial Least Squares (PLS) dalam

contoh penelitian ini didasari oleh 2 (dua) evaluasi mendasar yaitu

evaluasi model hasil pengukuran (outer model) dan evaluasi model

strukural (inner model).

4.8.3 Outer Model (Uji Indikator)

Wiyono (2011:398) menyatakan bahwa outer model yaitu

spesifikasi hubungan antara variabel laten dengan indikatornya, disebut

juga dengan outer relation atau measurement model, yang menjelaskan

karakteristik variabel laten dengan indikator. Evaluasi pengukuran outer

model Partial Least Square (PLS) adalah untuk mengetahui validitas dan
reliabilitas indikator–indikator yang mengukur variabel laten. Menilai

outer model atau measurement model dengan menggunakan uji

convergent validity, discriminant validity, composite reliability, dan

average variance extracted.

1) Validitas konvergen (convergent validity) merujuk kepada derajat

kesesuaian antara atribut hasil pengukuran alat ukur dan konsep-

konsep teoretis yang menjelaskan keberadaan atribut-atribut dari

variabel tersebut. Dari model pengukuran dengan refleksif indikator

convergent validity dinilai dari loading faktor pada variabel laten

dengan indikator-indikatornya, nilai loading factor dinyatakan valid

apabila nilainya >0,5.

2) Validitas diskriminan (discriminant validity) merujuk kepada derajat

ketidaksesuaian antara atribut-atribut yang seharusnya tidak diukur

oleh alat ukur dan konsep-konsep teoretis tentang variabel tersebut.

Discriminant validity dari model pengukuran refleksif dapat

dihitung berdasarkan nilai cross loading dari variabel manifes

terhadap masing-masing variabel laten. Jika korelasi antara variabel

laten dengan setiap indikatornya (variabel manifes) lebih besar

daripada korelasi dengan variabel laten lainnya, maka variabel laten

tersebut dapat dikatakan memprediksi indikatornya lebih baik

daripada variabel laten lainnya.

3) Nilai AVE (average variance extracted) digunakan untuk mengukur

banyaknya varians yang dapat ditangkap oleh konstruknya


dibandingkan dengan variansi yang ditimbulkan oleh kesalahn

pengukuran. Nilai AVE harus lebih besar (> 0.5).

4) Nilai composite reliability ini menunjukan internal consistency yaitu

nilai composite reliability yang tinggi menunjukan nilai konsistensi

dari masing-masing indikator dalam mengukur konstruknya. Data

yang memiliki composite reliability >0.7 dapat dinyatakan reliabel.

4.8.4 Inner Model (Uji Hipotesis)

Inner model yaitu spesifikasi hubungan antarvariabel laten (structural

model), disebut juga dengan inner relation, menunjukan hubungan

antarvariabel laten berdasarkan subtantif theory dari penelitian. Tanpa

kehilangan sifat umumnya, diasumsikan bahwa variabel laten dan

indikator skala dengan zero means dan unit varians sama dengan satu,

sehingga parameter lokasi (konstanta) dapat dihilangkan dari model.

1) R-Square pada konstruk endogen. Nilai R-Square (R2) digunakan

untuk menilai seberapa besar pengaruh variabel laten independen

tertentu terhadap variabel laten dependen. Nilai R-Square adalah

koefisien determinasi pada konstruk endogen, nilai R-Square sebesar

0.67 (kuat), 0.33 (moderat) dan 0.19 (lemah).

2) Koefisien Parameter, dimana nilai estimasi untuk hubungan jalur

dalam model struktural harus signifikan. Nilai ini dapat dilihat dari

tabel Koefisien Jalur dan T-Statistik, dengan melakukan t test,

dimana T-Hitung > T-Tabel dimana T-Tabel sebesar 1,96 (Hussein:

2015:20). Dan dengan melihat tanda positif maupun negatif pada

nilai koefisien jalur.


3) Koefisien Korelasi merupakan teknik analisis yang termasuk dalam

salah satu teknik pengukuran asosiasi / hubungan (measures of

association). Pengukuran asosiasi merupakan istilah umum yang

mengacu pada sekelompok teknik dalam statistik bivariat yang

digunakan untuk mengukur kekuatan hubungan antara dua variabel.

Anda mungkin juga menyukai