Anda di halaman 1dari 18

Gangguan Depresi Mayor : Patofisiologi dan Penatalaksaan Klinis

Pendahuluan

Depresi adalah gangguan mental kronis yang menyebabkan perubahan suasana hati atau

mood, pikiran, perilaku dan kesehatan fisik. Hal ini umum terjadi, tetapi merupakan penyakit

serius yang dapat menghilangkan kemampuan seseorang untuk menikmati hidup dan

menyebabkan penurunan dalam kapasitas untuk melakukan tugas sehari-hari bahkan yang

sederhana. Selain bersifat kronis, gejala terkait dengan gangguan mental ini sering berulang dan

mengancam kehidupan. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) depresi adalah salah satu

penyebab utama kecacatan atau disability- adjusted life year (DALY) dan sekitar 350 orang di

seluruh dunia dikatakan menderita gangguan mental ini.

Seperti yang dijelaskan dalam diagnostik dan statistik Manual of Mental Disorders, 5th

edition (DSM - V), ciri dari gangguan depresi mayor (PDK) adalah terjadinya mood depresi

(dysphoria) dan penurunan ketertarikan pada aktivitas yang lebih menyenangkan (anhedonia)

yang terjadi setidaknya selama dua minggu. Gejala-gejala ini harus juga dapat disertai dengan

setidaknya empat manifestasi berikut seperti perubahan nafsu makan, perubahan pola tidur,

perubahan aktivitas psikomotor, perasaan tidak dihargai atau rasa bersalah, sulit konsentrasi atau

sulit membuat keputusan dan pemikiran berulang tentang kematian atau bunuh diri.

Meskipun ada banyak obat-obatan yang dikembangkan untuk penatalaksanaan depresi,

salah satu tantangan berurusan dengan penyakit ini yaitu bahwa jumlah yang signifikan dari

pasien yang menggunakan antidepresan gagal untuk mencapai remisi lengkap. Beberapa pasien

juga gagal untuk berespon terhadap obat-obatan anti depresan yang tersedia atau pendekatan

terapeutik yang lainnya.

1
Klasifikasi atau Tipe Depresi

Depresi adalah gangguan heterogen yang sering keliru untuk satu klinis penyakit mental.

Memang terdapat beragam bentuk depresi yang dapat menjadi kondisi ringan atau sangat parah

seperti psikotik depresi di mana pasien menunjukkan gejala seperti halusinasi dan waham.

Diagnosis gangguan ini cukup rumit karena banyak terjadi kondisi mental lainnya seperti

gangguan kecemasan, termasuk sindrom panic agoraphobia, fobia berat, gangguan cemas

menyeluruh, gangguan kecemasan sosial, post-traumatic stress disorder (PTSD) dan obsessive-

compulsive disorder (OCD). Morbiditas sering terlihat pada pasien usia lanjut dan juga terkait

dengan keparahan gejala somatik. Jenis depresi dapat dilihat di bawah ini.

- MDD (Major Depresive Disorder) : Pasien dengan gangguan depresif jenis ini biasanya

menunjukkan mood dysphoric dan anhedonia yang disertai dengan perubahan fisik

seperti kehilangan berat badan, peningkatan atau penurunan nafsu makan, gangguan

dalam pola tidur dan kelelahan yang berkepanjangan. Gangguan pada kognitif dan fungsi

eksekutif juga dimanifestasikan oleh kurangnya konsentrasi dan ketidakmampuan

berpikir koheren serta preokupasi mengerikan tentang kematian dan bunuh diri. Sebagian

besar gejala ini biasanya muncul hampir setiap hari dan mengakibatkan penderitaan yang

signifikan dan gangguan kehidupan sosial dan pekerjaan (DSM-V).

- Dysthymic disorder: jenis ini juga dikenal sebagai gangguan depresi persisten atau

menetap. Pasien menampilkan mood depresi atau kesedihan yang menetap berlangsung

selama durasi minimal 2 tahun pada dewasa dan 1 tahun pada anak-anak dan remaja.

Sebagian besar pasien tidak memenuhi kriteria penuh untuk MDD karena ada gangguan

secara singkat pada periode remisi. Namun, ada kasus di mana didapatkan pasien dengan

kriteria penuh yang mana mereka didiagnosis dengan MDD.

2
- Depresi melankolis: terdapat kurangnya kemampuan untuk merasakan kesenangan.

Retardasi psikomotor dan memburuknya mood pada pagi hari juga terlihat dari pasien.

Tipe depresi ini terlihat lebih umum terjadi pada orang tua, pada pasien dengan bentuk

depresinya yang lebih parah dan pada depresi psikotik.

- Seasonal affective disorder (SAD): merupakan jenis depresi yang digambarkan sebagai

depresi yang kejadiannya berulang setiap tahun selama musim gugur atau awal musim

dingin. Depresi “winter blues” atau SAD dicirikan oleh adanya mood yang menurun, rasa

bersalah dan tidak dihargai dan peningkatan gejala iritabilitas, dan gejala yang

didapatkan pada gangguan depresi lainnya. Selain itu, pasien menunjukkan peningkatan

nafsu makan yang signifikan dan keinginan untuk memakan makanan dengan karbohidrat

yang tinggi yang mengakibatkan peningkatan berat badan.

- Post-partum depresi (PPD): jenis ini menggambarkan kelompok gangguan depresi yang

heterogen atau berbeda yang terjadi pada ibu-ibu. Gejala-gejala ini mungkin ditemukan

sebelum atau setelah melahirkan. Dengan demikian, gangguan ini disebut secara

keseluruhan sebagai "peri-partum" episode. Menurut DSM-V mood yang berubah-ubah

dan gejala kecemasan selama kehamilan, disebut sebagai "Baby Blues" yang dapat

meningkatkan risiko untuk terjadinya episode depresi pascamelahirkan.

- Depresi Psikotik: jenis gangguan depresi yang sangat parah dan disertai dengan gejala

psikotik. Sering dilihat sebagai kombinasi psikosis dan depresi yang tidak dipisahkan satu

dengan yang lainnya. Gejalanya meliputi gejala psikotik seperti delusi atau halusinasi.

Selain keparahannya, psikotik depresi berat dikaitkan dengan perjalanan penyakit yang

berkepanjangan atau lama, respon terhadap obat-obatan yang buruk, dan angka

kekambuhan yang lebih tinggi.

3
Epidemiologi depresi

Depresi merupakan penyumbang penyakit terbesar secara global dan mempengaruhi

semua masyarakat di seluruh dunia dan sekitar 450 juta orang menderita dari beberapa jenis

gangguan mental atau perilaku. Prevalensi untuk depresi Mayor dilaporkan sebesar 14-17% dan

prevalensi yang dilihat untuk satu tahun adalah 4-8%. Prevalensi MDD pada perempuan sekitar

10-25%, dan laki-laki sekitar 5-12%.

Hampir 10% dari total beban penyakit di sub-Sahara Afrika adalah disebabkan oleh

gangguan neuropsychiatric. Prevalensi gangguan depresi minor di Ethiopia dilaporkan menjadi

2,2%. Studi lain yang dilakukan di Ethiopia menunjukkan prevalensi depresi yang dilihat selama

satu tahun menjadi 4,4% pada wanita. Prevalensi episode depresi dilaporkan menjadi 9,1%.

Faktor risiko utama untuk episode depresi ini adalah umur, status perkawinan, jumlah yang

didiagnosis menderita penyakit kronis yang tidak menular dan konsumsi alkohol. Depresi

menyumbang sekitar 6,5% beban penyakit di Ethiopia yang bahkan lebih tinggi dibandingkan

dengan penyakit menular utama seperti Human Immunodeficiency Virus. Selain itu, depresi dan

gangguan bipolar dikaitkan dengan peningkatan tiga kali lipat risiko untuk terjadinya kematian

lebih awal yang dibandingkan dalam populasi umum. Prevalensi depresi pada anak-anak relatif

rendah (< 1% dalam beberapa penelitian), dan kemudian meningkat jauh prevalensinya selama

menginjak remaja dengan prevalensi selama satu tahun 4 – 5% pada pertengahan sampai akhir

masa remaja. Depresi pada kenyataannya merupakan faktor risiko besar untuk terjadinya bunuh

diri yang diamati pada remaja; hal ini merupakan salah satu penyebab utama kematian pada

kelompok usia ini. Depresi juga menyebabkan gangguan sosial dan pendidikan yang serius dan

dikaitkan dengan peningkatan penggunaan rokok, penyalahgunaan zat dan obesitas.

4
Patofisiologi depresi

Meskipun terdapat banyak penelitian yang berusaha menjelaskan patofisiologi depresi,

tetapi masih tetap sulit dipahami. Hal ini merupakan fakta alasan utama terlambatnya

perkembangan obat terhadap penyakit ini. Terdapat beragam teori tentang patogenesis depresi

yang paling didasarkan adalah pada pengukuran langsung marker, visum atau post mortem studi

dan teknik neuroimaging. Selama beberapa dekade, farmakoterapi depresi dan penjelasan yang

dihasilkan untuk mendasari patologi, berfokus pada tingkat neurotransmitter monoamine otak

setelah kebetulan ditemukan imipramine dan iproniazid sebagai antidepresan.

A. Depresi menurut sirkuit saraf : Menurut penelitian didapatkan berbagai kelainan

struktural dan fungsional di daerah otak yang bertanggung jawab untuk mengatur mood,

respon terhadap kesenangan dan fungsi eksekutif. Penelitian tentang neuroimaging dan

post-mortem telah dilaporkan adanya perubahan morfologi yang ditandai dengan

penurunan volume grey matter dan kepadatan glial di korteks prefrontal dan

hippocampus, merupakan daerah yang telah menerima banyak perhatian pada penelitian

menggunakan hewan tentang depresi. Penurunan fungsi hipokampus, yang diyakini

memiliki efek penghambatan pada aksis hypothalamic-pituitary-adrenal (HPA), bisa

berpotensi untuk terjadinya hypercortisolemia yang terlihat dalam depresi.

Sistem mesolimbik dopamin yang terdiri dari nukleus accumbens (NAc) dan

daerah tegmental ventral (VTA) juga diyakini memainkan peran penting dalam

patogenesis depresi. Daerah otak ini memperantarai respon terhadap perasaan

menyenangkan teradap stimulus seperti makanan, seks dan bahkan obat-obatan. Oleh

karena itu, kurangnya kesenangan yang terjadi pada pasien depresi mungkin dapat

dijelaskan sebagai disfungsi dalam sirkuit otak ini. Penelitian lain juga menunjukkan

5
penurunan kepadatan neuron pada Lokus coeruleus (LC) pada beberapa kasus pasien

dengan depresi dan bunuh diri dibandingkan dengan pasien kontrol.

B. Sirkuit respon stress : stres kronis dan hiperaktifitas dari axis HPA (penyebab

hypercortisolemia kronis) telah dihipotesiskan memegang peranan penting dalam

insidens depresi dan bahkan dalam terjadinya kekambuhan setelah remisi lengkap.

Kelainan struktur otak telah didokumentasikan pada pasien dengan peningkatan kadar

kortikosteroid. Salah satu struktur otak yang terkena adalah amigdala, bagian otak yang

terlibat terutama dalam mengatur aktifitas emosi dan untuk beberapa respon stress.

Bagian otak lain yang menunjukkan adanya penurunan ukuran dengan chronic

administration kortikosteroid adalah Hippocampus, bagian otak yang dipercaya untuk

mengeluarkan penghambat sinyal menuju axis HPA.

Masih didapatkan kurangnya pemahaman lengkap tentang bagaimana perilaku

stres dapat menyebabkan depresi. Namun, stres kronis telah diperlihatkan dapat

mengubah ekspresi gen yang mengatur sistem antioksidan, seperti superoksida

dismutases (SODs), catalase, glutation peroksidase, Glutathione reduktase dan NADPH

oksidase. Selain itu, penelitian pada hewan ditemukan bahwa pengobatan dengan

glukokortikoid menyebabkan peningkatan kadar oksigen reaktif species (ROS) in vitro

pada otak hewan, sementara itu juga mengatur penurunan berbagai enzim antioksidan dan

merangsang perilaku depresi.

C. Kerentanan genetik dan interaksi lingkungan: Sekarang telah menjadi argumen yang

meyakinkan bahwa terjadinya depresi perlu ada interaksi antara gen dengan lingkungan

yang kompleks yang mengubah respons individu terhadap situasi kehidupan yang penuh

tekanan. Tidak ada satupun gen Polimorfisme yang tampaknya bertanggung jawab untuk

6
menyebabkan depresi, hal tersebut telah disarankan bahwa faktor genetik membuat

individu-individu tertentu rentan terhadap depresi dengan meningkatkan kerentanan

mereka terhadap faktor-faktor stres lingkungan.

Genetic polimorfisme yang mungkin pernah menjadi pusat perhatian selama

bertahun-tahun adalah variasi allelic di bagian promotor gen pengkodean serotonin

transporter (5-HTT). Alel pendek dari 5-HTT memiliki aktivitas rendah dan telah terbukti

dapat menempatkan risiko yang lebih besar untuk berkembang menjadi depresi dalam

menanggapi peristiwa stres dalam kehidupan. Alel ini juga telah terkait dengan adanya

hasil yang rendah setelah diberikan terapi farmakologi antidepresan dan terapi non

farmakologis.

Pembatasan tingkat biosintesis enzim serotonin, triptofan enzim (TPH),

dikodekan oleh dua gen yang berbeda yaitu Tphl dan Tph2 dan telah diusulkan

memainkan peran dalam patogenesis gangguan depresi dan kejadian bunuh diri.

Polimorfisme nukleotida tunggal atau Single nucleotide polymorphisms (SNP) pada gen

Tph2 telah dihubungkan dengan peningkatan insiden Mayor Depresive Disorder dan

usaha bunuh diri. Gen Tph l, yang paling dominan didapatkan dalam kelenjar pineal,

yang diperkirakan berperan dalam mempengaruhi risiko bunuh diri dengan mengganggu

sintesis melatonin yang bertanggung jawab untuk pengaturan hormone ritme sirkadian

yang mengakibatkan peningkatan risiko bunuh diri.

Fungsi dari Polimorfisme adalah untuk memproduksi valin yang digunakan untuk

substitusi metionin pada kodon 66 (Val66Met) di regio pro-BDNF, yang mana telah

diidentifikasi dalam gen BDNF, memperlihatkan efek yang merugikan pada peradangan

intraseluler dan bergantung pada aktivitas sekresi dan mempengaruhi fungsi hipokampus,

7
memori dan morfologi otak. Individu yang sehat dengan varian BDNF Met menampilkan

kestabilan emosi yang rendah dan volume hippocampus yang lebih kecil. Penelitian juga

menyarankan ada interaksi yang kompleks antara polimorfisme dalam pengkodean gen

BDNF dan 5-HTT untuk membawa fenotipe depresi.

D. Teori biogenic monoamine : hipotesis monoamine tentang depresi muncul setelah adanya

penemuan secara kebetulan obat antidepresan pertama yang dikembangkan untuk kondisi

medis lainnya. Pengamatan atau penemuan klinis ini telah sangat berkontribusi terhadap

pemahaman tentang perubahan patofisiologi yang terjadi di otak individu yang

mengalami depresi. Obat tersebut diusulkan untuk meningkatkan jumlah neurotransmitter

monoamine di dalam otak dengan memblokir monoamine degrading enzim monoamine

oksidase inhibitor (MAOI) atau dengan menghalangi reuptake neurotransmitter ke neuron

presinaps.

i. Hipotesis Serotonin: Serotonin adalah monoamine neurotransmiter dengan

distribusi di seluruh sistem saraf pusat. Serotonin terlibat dalam reaksi fisiologis

sensasi rasa sakit, pengaturan nafsu makan, agresi dan mood. Disfungsi pada

sistem serotoninergic telah terlibat dalam gangguan suasana hati (mood) dan

gangguan kecemasan. Dasar bagi hipotesis ini adalah kenyataan bahwa obat

antidepresan pertama bekerja dengan menghidupkan kembali aktivitas

monoamine yang berkurang di otak. Dan kemudian SSRI saja ditemukan cukup

untuk mengobati gejala depresi secara efektif. Fakta ini diperkuat dengan adanya

keterlibatan dari 5-HT dalam patogenesis penyakit.

Subset dari pasien depresi telah dilaporkan memiliki penurunan tingkat 5-

hydroxyindoleacetic asam (5-HIAA) suatu metabolit 5-HT dalam cairan

8
serebrospinal (CSF), yang telah dihubungkan dengan perilaku agresif dan

meningkatnya keinginan untuk bunuh diri dan impulsifitas. Plasma level asam

amino (triptofan) prekursor 5-HT menurun dan gejala depresi dapat diinduksi

pada pasien yang rentan terhadap depresi dengan depleting (penipisan) asam

amino tersebut. Selain itu, menurut positron emission tomography (PET) telah

dilaporkan adanya penurunan kepadatan dari Subtipe reseptor 5-HT1A pada

pasien depresi pada berbagai daerah di otak. Didapatkan juga adanya penurunan

5-HTT di daerah otak tengah dan batang otak. Disfungsi kerja serotoninergic

dihubungkan dengan depresi, yang diperdebatkan apakah itu adalah faktor

etiologi atau faktor yang meningkatkan kerentanan untuk terjadinya depresi.

ii. Hipotesis katekolamin: hipotesis katekolamin tentang depresi muncul pada tahun

1960-an setelah adanya penelitian tentang reserpine; obat anti hipertensi yang

menghabiskan simpanan amina dalam sistem saraf pusat dan sistem saraf tepi,

yang menyebabkan depresi. Namun, tidak ada temuan-temuan yang konsisten

pada perubahan kadar NE metabolit dalam CSF pada pasien depresi. Di tahun-

tahun berikutnya, "hipotesis supersensitivity" yang diusulkan sebagai link

terjadinya depresi untuk supersensitive presinaps α2-R yang juga didukung oleh

peningkatan kepadatan jenis reseptor pada penelitian postmortem, mengarah ke

aktivitas NE yang terganggu.

Selain itu, beberapa gejala depresi termasuk anhedonia dan retardasi

psikomotor lebih tepat dijelaskan sebagai gangguan di sistem DA otak. Sistem ini

meliputi substansia nigra- ganglia basal system motorik dan melibatkan sirkuit

NAc dan VTA. Terdapat penurunan aktivitas DA di NAc khususnya yang sesuai

9
dengan ketidakmampuan untuk mengalami kesenangan yang merupakan salah

satu dari gejala utama gangguan depresi. Konsentrasi metabolit dopamine

homovanillic asam (HVA) dalam CSF dilaporkan juga lebih rendah pada pasien

dengan depresi.

E. Peradangan dan depresi: telah dinyatakan bahwa depresi merupakan suatu kelainan atau

gangguan peradangan yang telah menjadi perhatian saat ini. Hal ini didukung oleh

adanya fakta bahwa terdapat peningkatan kadar marker pro-inflamasi yang dilaporkan

terjadi pada pasien dengan gangguan depresi. Contoh dari marker tersebut adalah C-

reaktif protein (CRP), interleukin (IL)-6, IL-1 dan faktor nekrosis tumor alpha (TNF-α).

Bahkan perilaku depresi dapat diinduksi di laboratorium melalui pemasukan (IFN)-α,

sitokin inflamasi yang kuat, yang juga telah ditunjukkan dapat menghasilkan gejala

depresi seperti gejala pada pasien yang mendapatkan pengobatan Hepatitis C.

Peningkatan oksigen dan nitrogen reaktif, kerusakan oleh oksidatif dan nitrosative

stres (ONS), termasuk lipid peroxidation, kerusakan asam deoksiribonukleat (DNA) dan

protein juga telah ditemukan. Meskipun pemahaman lengkap tentang mekanisme

pastinya masih meragukan, peningkatan sitokin pro-inflamasi mengakibatkan kurangnya

plastisitas saraf dan akhirnya terjadi neurodegeneration. Dan juga sitokin pro-

inflamatorik dapat mengganggu aktivitas faktor pertumbuhan yang mengakibatkan

mengurangi neurogenesis sebagai kekebalan terhadap perubahan yang dapat merusak sel-

sel glial dan neuron.

Hipotesis Neurothrophic: telah ditemukan terjadinya atrofi yang signifikan pada daerah

korteks prefrontal dan hippocampus pada pasien dengan depresi serta penurunan tingkat

10
faktor pertumbuhan saraf (NGF) seperti BDNF telah menjadi hipotesis neurotrophic.

BDNF merupakan regulator molekuler yang paling penting untuk perkembangan dan

plastisitas saraf. Hal ini meningkatkan kelangsungan hidup neuron, merangsang

pertumbuhan dendrit dan meningkatkan kepadatan tulang belakang dan juga terlibat

dalam pematangan rangsang sinapsis, merupakan hal yang penting dalam proses

pembelajaran dan adaptasi yang tampaknya menjadi berkurang pada gangguan depresi.

Aktivitas BDNF diyakini dapat dihentikan oleh stres kronis dan faktor

pertumbuhan normal. Hal ini didapatkan setelah adanya keberhasilan dalam pengobatan

dengan antidepresan. Hal ini sesuai dengan fakta bahwa antidepresan memerlukan waktu

setidaknya 2-3 minggu untuk memunculkan efeknya, hal tersebut mungkin menyebabkan

perubahan lebih lama neuroadaptive dalam otak dibandingkan dengan peningkatan

neurotransmiter yang sederhana. Perubahan neuroadaptive ini mencakup proses

neurogenesis, merupakan fenomena yang baru saja terungkap juga terjadi di bagian

tertentu seperti zona subventricular dan zona subgranular dari gyrus dentate yang

meningkatkan neuron di hipokampus. Proses ini meliputi pembelahan sel, migrasi dan

diferensiasi oleh NGFs.

Faktor pertumbuhan endotel vascular/Vascular endothelial growth factor (VEGF)

merupakan NGF lain yang mencetuskan terjadinya proliferasi sel-sel pada beberapa

bagian saraf di otak seperti hippocampus. Hal tersebut dicapai dengan mengaktifkan

sinyal intraseluler Cascades yang melibatkan jalur mitogen-activated protein kinase

(MAPK). Jalur pensinyalan ini juga telah diasumsikan mendasari terjadinya

keterlmabatan respon terhadap antidepresan yang ada saat ini. Hal ini didapatkan melalui

11
aktivitas inducer transkripsi gen siklik AMP respon element binding protein (CREB)

yang diaktifkan oleh MAPK mengakibatkan stabilisasi dari plastisitas sinapsis.

F. Neuropeptides dan depresi: terdapat banyak bukti yang mengatakan bahwa neuropeptides

terlibat dalam modulasi stres-terkait perilaku dan mood dengan bertindak atau bekerja

pada reseptor tipe-1 neurokinin (NK-1). Substansi P (SP) merupakan salah satu

neuropeptides yang distribusinya menyebar di otak dan lokalisasinya bersama dengan 5-

HT dan neuron NE. Peningkatan konsentrasi CSF SP dilaporkan telah ditemukan pada

pasien depresi dan pasien dengan PTSD setelah terjadi paparan stimulus stress. Selain itu,

pusat administrasi SP telah terbukti menginduksi respon stres. Hal ini didukung oleh

adanya aktivitas antidepresi dari NK-1 antagonis.

G. Hormones dan depression

i. Hormon tiroid: didapatkan adanya ketidakseimbangan hormon tiroid (TH) yang

terlibat dalam patofisiologi neurodegeneratif dan kondisi psikiatri. Hormon ini

sangat penting untuk pertumbuhan dan pematangan otak, dan telah ditunjukkan

untuk memulai neurogenesis, khususnya, di hipokampus. Hipotiroidisme telah

dikaitkan dengan perilaku depresi yaitu dengan terganggunya neurogenesis

hipokampus yang dapat diterapi dengan penggantian hormon. Penelitian pada

hewan juga mengungkapkan bahwa hormon tiroid menyebabkan peningkatan

neurotransmission seretonergic yang mendukung fakta bahwa suplementasi TH

telah bermanfaat dalam penatalaksanaa kasus depresi berulang.

ii. Keterlibatan estrogen: peningkatan kerentanan perempuan terhadap depresi

sebagian besar tumpang tindih dengan kadar estrogen yang rendah pada siklus

menstruasi, pasca melahirkan dan setelah terjadinya menopause. Penelitian pada

12
hewan menunjukkan mood yang meningkat berkaitan dengan kinerja estrogen

serta sinergi dengan obat-obatan monoaminergic. Estrogen meningkatkan mood

dengan meningkatkan laju degradasi MAO dan transport intraneuronal 5-HT yang

menyebabkan peningkatan ketersediaan 5-HT pada sinaps. Dalam kerja

neurotransmission serotoninergic, estrogen juga diyakini memiliki efek

modulatory pada neurogenesis hipokampus, sinyal BDNF, dan fungsi axis HPA.

iii. Vasopresin dan depresi: arginin vasopresin (AVP) merupakan hormon hipotalamus

yang mempengaruhi beberapa kunci atau hal penting yang terkait dengan gangguan

depresi mayor. Peningkatan jumlahnya telah dilaporkan pada pasien yang menderita

gangguan mental ini. AVP telah dikaitkan memainkan peran penting dalam

pengaturan respon stres, salah satu yang menonjol dari depresi, yang bersinergi

dengan GGK pada level hipofisis untuk mempengaruhi pelepasan ACTH.

Peningkatan konsentrasi AVP juga dikaitkan dengan retardasi psikomotor pada

pasien dengan gangguan depresif mayor.

H. Implikasi dari ritme sirkadian dalam depresi: Melatonin, merupakan sebuah hormon yang

dikeluarkan oleh kelenjar pineal pada sirkuit sirkadian, yang mengatur irama berbagai

parameter biologis seperti tubuh suhu, sekresi kortisol dan siklus tidur dengan bekerja

pada reseptor dalam nucleus suprachiasmatic (SCN) di hipotalamus. Tertundanya ritme

sirkadian pada pasien dengan depresi telah dikaitkan dengan berkurang tingkat sinyal

melatonergic pada otak. Pasien mungkin bermanifestasi dengan tertundanya waktu tidur

(insomnia), kesulitan dalam mempertahankan tidur dan bangun terlalu pagi. Hal tersebut

telah memberikan jalan untuk menemukan agen antidepresan baru, yaitu agomelatin,

13
yang bertindak pada melatonin dan reseptor serotonin di SCN. Gangguan terhadap ritme

sirkadian juga telah diusulkan dapat membuat individu rentan terhadap depresi.

Penatalaksanaan depresi

Sebuah jalur atau pathway untuk pilihan pengobatan telah dikembangkan untuk

memerangi depresi selama dekade terakhir. Mencakup berbagai pendekatan farmakoterapi,

psikoterapi dan terapi somatik yang sering digunakan untuk pengobatan depresi.

- Farmakoterapi: Antidepresan pertama yang ditemukan secara kebetulan, setelah

pengamatan klinis yang tajam bahwa iproniazid, dikembangkan untuk pengobatan

tuberkulosis, menunjukkan adanya peningkatan mood. Sama seperti sebelumnya,

imipramine, obat antipsikotik yang menunjukkan aktivitas antidepresi. Penemuan ini

tidak hanya memulai cara untuk kajian-kajian berikutnya dalam hal untuk

mengembangkan obat antidepresan kelompok pertama, MAO inhibitor dan TCAs, tetapi

juga telah memberikan kontribusi sangat besar untuk pemahaman patofisiologi depresi

seperti yang kita tahu saat ini.

Sebagian besar obat antidepresan yang tersedia bekerja dengan memodulasi

monoamine neurotransmission di otak. Mekanisme utama obat ini adalah meningkatkan

konsentrasi keseluruhan sinaptik monoamines (serotonin, dopamin dan norepinefrin).

Semua neurotrasnmiter tersebut didapatkan baik dengan menghalangi reuptake ke neuron

presinaps dengan mengikat transporter neurotransmiter masing-masing atau melalui

monoamine degrading enzim MAO reversibel atau ireversibel. Antidepresan tertentu juga

bekerja di neurotransmiter presinaps atau reseptor postsynaptic untuk mengubah

14
neurotransmission. Ada juga obat antidepresan atipikal yang muncul di pasar. Daftar ini

mencakup antipsikotik, NK-1 antagonis, antagonis GR dan obat-obatan melatonergic.

Seperti disebutkan sebelumnya, terdapat keterlambatan respon di awal setelah

pengobatan dengan antidepresan. Diyakini bahwa adaptasi saraf yang lama mungkin agak

mendasari efek dari modulasi akut reseptor yang mengubah neurotransmission. Aktivasi

neuron yang berulang oleh obat ini diyakini mengakibatkan perubahan seperti plastisitas

sinapsis, pertumbuhan axonal, neurite ekstensi, dan pencetus keberlangsungan hidup sel

oleh mekanisme transduksi sinyal selular yang kompleks, yang melibatkan neurotrophins

dan berbagai faktor transkripsi.

- Terapi somatik : terapi somatik untuk depresi yaitu berdasarkan pada pendekatan yang

terdiri dari memasukkan transient listrik atau magnet listrik ke kulit kepala atau struktur

anatomis dalam otak. Menggunakan pendekatan ini lebih disukai dalam pengelolaan

depresi berulang dengan penggunaan obat-obatan yang tersedia. Hal ini juga memiliki

efek yang menetap untuk pemeliharaan setelah remisi lengkap, serta dapat digunakan

sebagai terapi tambahan. Berbagai penatalaksanaan somatik diyakini menyebabkan

kejang transien yang bertanggung jawab untuk terjadinya efek klinis. Mekanisme kerja

sebagian besar menyebabkan meningkatnya neurotransmiter dan sensitisasi reseptor post

sinaptik melalui pengubahan sasaran saraf di daerah-daerah yang terlibat. Ada juga

keterlibatan faktor pertumbuhan dan induksi jangka panjang proses adaptasi saraf.

ECT pada neurotransmiter, reseptor dan mekanisme sinyal postreceptor di otak,

terutama terlibat dalam mekanisme kerja obat antidepresan. Perhatian utama yaitu pada

cara kerja serotoninergik, noradrenergik, dan sistem dopaminergic dengan beberapa

pertimbangan γ-aminobutyric asam (GABA) dan baru-baru ini mekanisme glutamatergic.

15
Studi electrophysiological menyarankan bahwa dampak penting ECT pada sistem kerja

dalam otak tikus adalah adanya sensitisasi postsynaptic serotonin (5 HT) 1A reseptor dan

secara konsekuen terjadi peningkatan transmisi serotoninergic yang menghubungkan

antara transmisi kimia dan sinyal listrik yang berada di otak yang menyebabkan

peningkatan kadar hormon seperti TSH.

i. Electroconvulsive terapi: terapi Electroconvulsive (ECT) merupakan terapi

somatik pertama yang efektif digunakan untuk pengobatan gangguan mental

dengan tampilan klinis yang luas bahkan sampai sekarang. Pada dasarnya kejang

diinduksi dengan menerapkan arus listrik dengan lebar pulse lebih dari 0.3 untuk

1 msec, frekuensi dari 20 hingga 120 Hz, durasi stimulus 0,5 -8 sec ke permukaan

kepala. Prosedur ini memerlukan pembiusan pasien sebelum dilakukan untuk

menghindari setiap komplikasi yang serius. ECT diyakini menyebabkan

peningkatan kadar norepinefrin dalam darah dan menyebabkan sensitisasi reseptor

5-HT1A.

ii. Stimulasi Magnet Transcranial : Stimulasi Magnet Transcranial (TMS)

merupakan terapi somatik jenis lain untuk pengobatan depresi yang resisten. TMS

menginduksi depolarisasi dari neuron kortikal dengan menggunakan arus magnet

yang melewati logam Coil yang ditempelkan pada kulit kepala pasien, sehingga

menjadikannya non-invasif. TMS mengakibatkan peningkatan kadar dopamin dan

serotonin. Hal ini juga menyebabkan peningkatan pengaturan Adrenergik β dan

5HT reseptor di korteks frontal. Ada juga laporan tentang subsensitivity dari

presinaps autoreceptors serotoninergic yang diamati setelah menerima TMS.

16
iii. Stimulasi saraf vagus: stimulasi saraf Vagus (VNS) merupakan prosedur invasif

minimal yang mana perangkat generator impuls tertanam di daerah dada pasien

yang melekat pada saraf vagus kiri dengan kabel utamanya. Efek klinis

pengobatan VNS tidak terlihat segera setelah pengobatan, hal tersebut membuat

pilihan yang kurang menarik untuk penanganan awal pada depresi resisten.

Mekanisme tindakan VNS masih sulit dipahami.

- Obat dari tumbuh-tumbuhan yang digunakan untuk mengobati depresi: tumbuhan obat di

seluruh dunia telah digunakan untuk mengobati gangguan tubuh dan pikiran sejak jaman

dahulu. Pengobatan herbal telah menjadi alternatif untuk penanganan gangguan mental

seperti kecemasan, depresi, demensia dan banyak lainnya. Mengembangkan antidepresan

dari sumber-sumber herbal tampaknya menjadi pendekatan yang masuk akal karena

memiliki efikasi terapi dan insiden efek samping yang rendah. Hypericum perforatum

yang juga dikenal sebagai St John's wort merupakan satu-satunya antidepresan herbal

yang telah disetujui untuk pengobatan klinis gangguan ringan hingga sedang pada kasus

depresi. Hypericin dan hyperforin merupakan tampilan flavonoid dalam hypericum yang

dikatakan bertanggung jawab atas aktivasi antidepresi.

Tanaman obat yang paling banyak digunakan untuk pengobatan depresi di dunia

adalah Hypericum perforatum, Centella, Rhodiola, ekstrak Pfaffia paniculata, Rauwolia

serpentina, Rhododendron molle, Schizandra dagu, Thea sinensis, Uncaria tome,

Valeriana officinalis dan Withania somnifer. Terdapat sejarah panjang menggunakan

tanaman untuk mengobati banyak penyakit di Ethiopia. Terapi berbasis herbal ini sangat

dihargai dan telah diwariskan dari generasi ke generasi melalui lisan. Terapi herbal masih

tetap menjadi pengobatan lini pertama pilihan untuk hampir 80% dari populasi. Tanaman

17
seperti Justicia odora, Whitiana somnifera, Calpurnia aurea dan Asparagus leptocladodius

secara tradisional telah digunakan untuk pengobatan depresi.

18

Anda mungkin juga menyukai