Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan salah satu negara yang telah dikenal mempunyai keanekaragaman
hayati tinggi. Keberadaan hutan yang luas dan iklim tropis yang mendukung menjadi salah
satu pemicu tumbuhnya berbagai macam flora di Indonesia. Dari sekian banyak flora yang
tumbuh di Indonesia tersebut, ribuan diantaranya telah dikenal oleh masyarakat Indonesia
berkhasiat sebagai obat dan digunakan untuk mengobati banyak penyakit. Bagian-bagian
tertentu dari tumbuhan akan digunakan sebagai obat tradisional meskipun belum diketahui
jelas sifat fisikokimia maupun kandungan fitokimianya. Agar pemanfaatan bagian dari
tumbuhan sebagai obat secara tradisional dapat dipertanggungjawabkan maka diperlukan
penelitian ilmiah seperti penelitian dibidang farmakologi, toksikologi, isolasi, dan identifikasi
zat kimia aktif yang terdapat dalam tumbuhan. Metode identifikasi untuk mengetahui jenis
senyawa bergantung pada pengukuran sifat fisiko kimianya atau ciri lainnya, yang kemudian
dibandingkan dengan data dalam pustaka. Sifat fisiko kimia yang diukur antara lain titik leleh
(untuk senyawa padat), titik didih (untuk cairan), putar optik (untuk senyawa aktif optik), dan
Retordation factor (Rf) atau RRt (pada kondisi padat). Sedangkan perolehan data empiris
pada ekstrak tumbuhan maupun hewan dapat dilakukan dengan uji Spektroskopi Infra Merah
(IR) dan Spektroskopi Gass Chromatograph-Mass Spectrometer (GC-MS). Banyak tumbuh-
tumbuhan mengandung golongan senyawa kimia seperti flavonoid yang menunjukkan sifat
antimikroba. Beberapa golongan fenol seperti flavonoid, tanin dan senyawa fenol lainnya
berfungsi sebagai alat pertahanan bagi tumbuhan untuk melawan mikroorganisme patogen
(Hayet, etal. 2008). Dari sifat antibakteri senyawa tanin, maka tanin dapat digunakan sebagai
obat anti radang, antidiare, pengobatan infeksi pada kulit dan mulut, dan pengobatan luka
bakar. Oleh karena itu, tanin sebagai antibakteri dapat digunakan dalam bidang pengobatan .
Dalam sebuah penelitian didapatkan bahwa kandungan tanin dalam tumbuhan dapat
membantu dalam penyembuhan luka. Berdasarkan uraian diatas maka perlu dilakukan uji
skrining fitokimia terhadap senyawa tanin dan aktivitas penyembuhan luka dari tanin.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Tanin adalah senyawa metabolit sekunder yang terdapat pada beberapa tanaman.
Tanin mampu mengikat protein, sehingga protein pada tanaman dapat resisten terhadap
degradasi oleh enzim protease di dalam silo ataupun rumen (Kondo et al., 2004). Tanin selain
mengikat protein juga bersifat melindungi protein dari degradasi enzim mikroba maupun
enzim protease pada tanaman (Oliveira et al., 2009), sehingga tanin sangat bermanfaat dalam
menjaga kualitas silase. Tanin merupakan senyawa kimia yang tergolong dalam senyawa
polifenol (Deaville et al., 2010). Tanin mempunyai kemampuan mengendapkan protein,
karena tanin mengandung sejumlah kelompok ikatan fungsional yang kuat dengan molekul
protein yang selanjutnya akan menghasilkan ikatan silang yang besar dan komplek yaitu
protein tanin. Tanin mempunyai berat molekul 0,5-3 KD. Tanin alami larut dalam air dan
memberikan warna pada air, warna larutan tanin bervariasi dari warna terang sampai warna
merah gelap atau coklat, karena setiap tanin memiliki warna yang khas tergantung sumbernya
(Ahadi, 2003).
Tanin pada tanaman diklasifikasikan sebagai tanin terhidrolisis dan tanin
terkondensasi. Tanin terhidrolisis merupakan jenis tanin yang mempunyai struktur poliester
yang mudah dihidrolisis oleh asam atau enzim, dan sebagai hasil hidrolisisnya adalah suatu
asam polifenolat dan gula sederhana. Golongan tanin ini dapat dihidrolisis dengan asam,
mineral panas dan enzim-enzim saluran pencernaan. Sedangkan tanin terkondensasi, yang
sering disebut proantosianidin, merupakan polimer dari katekin dan epikatekin (Maldonado,
1994). Tanin yang tergolong tanin terkondensasi, banyak terdapat pada buah-buahan, biji-
bijian dan tanaman pangan, sementara yang tergolong tanin terhidrolisis terdapat pada bahan
non-pangan.
Kulit adalah organ tubuh yang terletak paling luar dan membatasinya dari lingkungan
hidup manusia. Kulit merupakan organ yang esensial dan vital serta merupakan cermin
kesehatan dan kehidupan. Kulit juga sangat kompleks, elastis dan peka. Masalah pada kulit
yang sering dijumpai adalah luka. Luka ada beberapa jenis, salah satunya adalah luka bakar.
Luka bakar adalah kerusakan atau kehilangan jaringan yang disebabkan kontak dengan
sumber panas seperti api, air panas, bahan kimia, listrik dan radiasi. Luka bakar jika tidak
ditangani sesegera mungkin, maka akan menyebabkan berbagai komplikasi seperti infeksi,
perdarahan, ketidakseimbangan elektrolit, sampai syok.
Tumbuhan digunakan masyarakat untuk mengobati berbagai penyakit seperti luka
terbakar, luka, sariawan, radang gusi (getahnya), radang tenggorokan, diare, disentri, batuk,
haid banyak, demam kuning, dan suara parau. Kandungan tanin dalam tumbuhan bekerja baik
sebagai antibakteri dan antifungi. Tanin dapat digunakan sebagai adstringen yang
menyebabkan penciutan pori-pori kulit, memperkeras kulit, menghentikan pendarahan yang
ringan, antiseptik dan obat luka bakar.
BAB III
METODELOGI

Jurnal 1
Penetapan Kadar Senyawa Fitokimia (Tanin, Saponin Dan Flavonoid Sebagai Kuersetin)
Pada Ekstrak Daun Inggu (Ruta angustifolia L.)

Metode Penelitian

1. Pembuatan Ekstraksi Daun Inggu


1.1. Proses Pengeringan
Daun inggu sebanyak 2 kg yang akan dijadikan sampel, diambil dari perkebunan Tanaman
Obat di Lembang, Bandung. Perlakuan terhadap daun Inggu yaiu:
1) Mencuci daun inggu dengan air mengalir sampai bersih
2) Mengeringkan daun inggu dengan cara diangin-anginkan dan tidak terkena sinar
matahari secara langsung selama 5 hari
3) Mengoven daun Inggu menggunakan wadah aluminium selama 24 jam pada suhu 50ᵒC.
1.2. Metode Ekstraksi
Sebanyak 700 gram daun Ingu kering dipisahkan kedalam 4 botol toples dengan berat
masing-masing 200 gram dalam 3 botol dan 1 botol lainnya berisi 100 gram, kemudian di
ekstraksi dengan cara maserasi (tanpa panas) dengan menggunakan pelarut etanol 96%
selama 24 jam dengan cara digoyang (shaker) dan diulang 3 kali (3 x 24 jam). Setiap 24
jam filtrat etanol dipisahkan kemudian dipekatkan dengan vakum evaporator. Ekstrak
pekat etanol kemudian di timbang bobotnya.
2. Cara kerja penetapan kadar senyawa fitokimia
2.1 Identifikasi Tanin
Uji fitokimia kandungan senyawa aktif dilakukan secara kualitatif. Sebanyak 0,5 g fraksi
aktif dilarutkan dalam 10 ml air dan dipanaskan diatas penangas air kemudian larutan
ditambahkan beberapa tetes larutan besi (III) klorida 1%, terbentuknya larutan warna biru
tua atau hijau kehitaman menunjukkan adanya tannin.
2.2 Cara Kerja Penetapan Kadar Tanin
1) Menimbang 2 gram sampel kedalam labu didih 500 mL, kemudian menambahkan 350
mL akuades dan merefluks selama 3 jam.
2) Mendinginkan sampel dan memindahkan secara kuantitatif kedalam labu ukur 500 ml.
3) Menyaring sampel dan mengambil filtrate sebanyak 2 ml untuk dimasukkan ke dalam
labu ukur 100 ml.
4) Menambahkan 2 ml pereaksi Folin Denis dan 5 ml Na2CO3 jenuh.
5) Membiarkannya selama 40 menit dan mengukur absorbansinya pada panjang
gelombang 725 nm.
6) Menambahkan 100 gram Natrium tungstat (Na2WO4), 20 gram asam phospomolibdat
dan 50 ml asam phospat 85% kedalam 750 ml akuades kemudian di refluks selama 3 jam,
mendinginkan dan menambahkan akuades sampai 1 liter.
7) Menambahkan 3 gram Na2CO3 anhidrat kedalam 100 ml akuades pada suhu 70-80,
kemudian mengaduk sampai larut, kemudian mendinginkannnya semalam. Melarutkan
100 mg asam tanat dengan 100 ml akuades, mengocoknya setiap akan melakukan running
pada UV-Vis.
8) Menambahkan 2 ml pereaks Folin Denis kedalam labu ukur 100 ml yang telah diisi 50-
70 ml akuades, memipet sebanyak 0,3 : 0,6 : 0,9 ; 1,2 dan 1,5 ml lartan standar asam tanat
kemudian menambahkan 5 ml larutan Na2CO3 jenuh kedalam masing-masing labu dan
menempatkannya hingga 100 ml dengan akuades.
9) Membiarkannya selama 40 menit sebelum diukur absorbansinya pada panjang
gelombang 725 nm untuk dibuat kurva standarnya.

Jurnal 2

PENETAPAN KADAR TANIN TOTAL EKSTRAK BIJI JINTAN HITAM (Nigella sativa)
SECARA SPEKTROFOTOMETRI UV-VIS

Metode Penelitian

1. Bahan
Bahan-bahan dalam penelitian ini adalah biji jintan hitam (Nigella sativa) yang
dikirim dari Mesir, aqubidestilata, asam tanat p.a, etanol 70%, FeCl3 5%, folin denis
p.a, gelatin 1%, heksan,NaCl 2% dan Na2CO3 jenuh.
2. Penyiapan Sampel
Sampel yang telah dikumpulkan kemudian dibersihkan dari kotoran dan dicuci
dengan air bersih, kemudian diangin-anginkan ditempat yang tidak terkena langsung
sinar matahari. Setelah kering, sampel diserbukkan, kemudian diayak. Sampel siap
untuk diekstraksi.
3. Metode Ekstraksi
Sampel biji jintan hitam (Nigella sativa) yang telah diserbukkan di timbang sebanyak
1 kg dimasukkan dalam wadah maserasi, kemudian ditambahkan pelarut etanol 70 %.
Wadah maserasi ditutup dan disimpan selama 24 jam ditempat terlindung dari sinar
matahari langsung sambil sesekali diaduk. Selanjutnya disaring, dipisahkan antara
ampas dan filtratnya. Ampas diekstraksi kembali dangan n-heksan yang baru dengan
jumlah yang sama. Ekstrak n-heksan yang diperoleh diuapkan cairan penyarinya
menggunakan evaporator sampai diperoleh ekstrak heksan kental.
4. Uji Kualitatif Tanin
Sebanyak 2 gram ekstrak etanol biji jintan hitam diesktraksi aquades panas kemudian
didinginkan. Setelah itu ditambahkan 1 ml NaCl 2% dan disaring. Filtrat dibagi 2 bagian A dan
B. Filtrat A ditambahkan 3 tetes pereaksi FeCl3 5%.Positif tanin apabila terbentuk warna
hitam kebiruan. Filtrat B diambahkan gelatin. Terbentuknya endapan putih menunjukkan
adanya tanin.
5. Penetapan Kadar Tanin
Pembuatan Larutan Standar Asam Tanat 1000 ppm :
0,1 gram asam tanat dilarutkan dalam 100 ml aquades. Larutan standar ini harus
selalu dibuat baru tiap kali akan melakukan pengujian (Cunnif, 1996). Dibuat seri
pengenceran 20 ppm, 40 ppm, 60 ppm, 80 ppm, dan 100 ppm. Diambil masing-
masing 1 ml dari seri pengenceran dan dimasukkan ke dalam wadah labu tentukur 10
ml yang berisi 7,5 ml aquabidestilata. Ke dalam labu tersebut ditambahkan 0,5 ml
pereaksi folin denis, didiamkan 3 menit dan ditambahkan 1 ml larutan Na2CO3 jenuh,
diinkubasi selama 15 menit. Kemudian serapannya dibaca pada panjang gelombang
740 nm.
Penetapan panjang gelombang serapan maksimum :
Diambil salah satu konsentrasi larutan baku, diukur serapannya pada rentang panjang
gelombang 400-800 nm. Panjang gelombang yang menunjukkan nilai serapan
tertinggi merupakan panjang gelombang maksimum
Pembuatan Kurva Baku :
Kurva baku dibuat dengan menghubungkan konsentrasi larutan standar dengan hasil
serapannya yang diperoleh dari pengukuran dengan menggunakan spektrofotometer
UV-VIS pada panjang gelombang 740 nm.
Penetapan Kadar Tanin :
Sebanyak 0,5 gram maserat ditimbang dan dilarutkan dengan aquabidestilata sampai
10 ml. Jika belum larut sempurna bisa dibantu dengan alat yang berfungsi untuk
menghomogenkan larutan. Dipipet 1,0 ml sampel dengan seksama, dimasukkan ke
dalam wadah berukuran 10 ml yang telah berisi 7,5 ml aquabidestilat. Ditambahkan
0,5 ml pereaksi folin denis, didiamkan selama 3 menit, ditambankan 1,0 ml larutan
Na2CO3 jenuh. Diinkubasi selama 15 menit, kemudian dibaca serapannya pada
panjang gelombang maksimum. Dihitung dengan menggunakan kurva baku yang
telah didapat sehingga diketahui konsentrasi dari sampel yang diukur.

Jurnal 3

Pengaruh Sediaan Salep Ekstrak Daun Sirih (Piper betle Linn.) terhadap Jumlah Fibroblas
Luka Bakar Derajat IIA pada Tikus Putih (Rattus norvegicus) Galur Wistar

Metode Penelitian

1. Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian true-experiment pasca tes dengan kelompok ek-
sperimen dan kontrol. Sampel dipilih dengan cara simple random sampling ber-
jumlah 24 ekor tikus putih jantan dengan umur 2,5-3 bulan dan berat badan 150-250
gram kemudian dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu 1 kelompok kontrol diberi NS 0,9
% dan 3 kelompok perlakuan diberi ekstrak daun sirih konsentrasi 15 %, 30 % dan 45
%. Mas-ing-masing kelompok berjumlah 6 ekor tikus.
2. Pembuatan Luka Bakar Derajat IIA
Balok sterofoam berukuran 2x2 cm di-lapisi dan dibungkus kassa yang dicelup air
panas 98 0C selama 3 menit dan ditempel-kan pada punggung tikus selama 30 detik
yang sebelumnya dianastesi menggunakan lidokain non adrenalin berdasarkan hasil
studi eksplorasi pada tanggal 17 Desember 2012 di Laboratorium Farmakologi
FKUB.
3. Perawatan Luka Bakar Derajat IIA
Pada kelompok perlakuan luka dibersihkan dengan NS 0,9 %, kemudian diberi
ekstrak daun sirih konsentrasi 15 %, 30 % dan 45 % yang dibuat dengan men-
campurkan vaseline dan ekstrak daun sirih menggunakan rumus sesuai dengan kon-
sentrasinya dan masing-masing diberikan secara topikal sebanyak 50 mg pada area
luka kemudian luka ditutup dengan kassa steril dan diplester. Sementara kelompok
kontrol dibersihkan dengan NS 0,9 % kemudian ditutup dengan kassa steril yang
sudah direndam dalam NS 0,9 % dan kemudian diperas. Perawatan luka dilakukan
sekali setiap hari pukul 10.00-13.00 WIB hingga hari ke-14.
4. Pembuatan Ekstrak Daun Sirih
Proses ekstraksi menggunakan 100 g serbuk daun sirih (Piper betle Linn.) kemudi-an
direndam dengan etanol 96 % hingga volume 1000 ml, dikocok selama 30 menit lalu
dibiarkan selama 24 jam sampai men-gendap. Lapisan atas dicampur etanol dengan
zat aktif, dimasukkan dalam labu evaporasi 1 liter, water bath diisi dengan air sampai
penuh, kemudian semua alat dipasang termasuk rotary evaporator, pema-nas water
bath (atur sampai 70-80 °C) lalu disambungkan dengan aliran listrik. Biarkan larutan
etanol memisah dengan zat aktif. Tunggu sampai aliran etanol berhenti menetes pada
labu penampung (± 1,5-2 jam untuk 1 labu). Hasilnya + 1/3 dari serbuk daun sirih.
Hasil ekstrak dimasukkan ke dalam botol plastik dan disimpan dalam freezer.
5. Pembuatan Konsentrasi Ekstrak Daun Sirih
Ekstrak daun sirih dicampurkan vaseline dengan menggunakan rumus: L = a/b x
100%
Keterangan :
L : Konsentrasi daun sirih (%)
a : Ekstrak daun sirih (mg)
b : Vaseline (mg)
Pembuatan konsentrasi ekstrak daun sirih dilakukan dengan menambahkan vase-line
sebanyak 50 mg (berdasarkan studi eksplorasi luas luka 2x2 cm2 )sesuai rumus di
atas, sehingga didapatkan hasil sbb:
 Konsentrasi 15 %: 7,5 mg ekstrak daun sirih dicampurkan dengan 50 mg
vaseline.
 Konsentrasi 30 %: 15 mg ekstrak daun sirih dicampurkan dengan 50 mg
vaseline.
 Konsentrasi 45 %: 22,5 mg ekstrak daun sirih dicampurkan dengan 50 mg
vaseline.
6. Pembuatan Preparat Histologi Jaringan Kulit
Sebelum membuat preparat histologi jaringan kulit, sampel dimatikan terlebih da-hulu
dengan cara memasukkan sampel da-lam stoples berisi larutan chlor. Setelah itu
dilakukan pengambilan jaringan kulit dan diproses untuk pembuatan preparat
histologi jaringan kulit. Pembuatan preparat histologi jaringan kulit melalui beberapa
tahap yaitu fiksasi, embedding, slicing, dan staining. Pada tahap fiksasi dilakukan
perendaman jaringan kulit pada larutan formalin 10 % selama 18-24 jam kemudian
jaringan kulit dicuci dengan air mengalir selama 15 menit. Pada tahap embedding,
jaringan kulit di-masukkan pada beberapa cairan yaitu ace-ton selama 1 jam x 4, xylol
selama ½ jam x 4, paraffin cair selama 1 jam x 3, dan pena-naman jaringan kulit pada
paraffin blok. Se-lanjutnya pada tahap slicing, blok yang su-dah tertanam jaringan
kulit diletakkan pada balok es selama ± 15 menit kemudian blok ditempelkan pada
cakram microtome rotary kemudian jaringan kulit disayat secara vertikal dengan
ukuran 4 mikron. Sayatan jaringan kulit yang berbentuk pita diambil dengan
menggunakan kuas kecil kemudian letakkan pada water bath yang mengandung
gelatin dengan suhu 36 °C. Setelah sayatan jaringan kulit merentang, sayatan diambil
dengan menggunakan object glass dan didi-amkan selama 24 jam. Pada tahap
staining, object glass dimasukkan ke dalam xylol selama 15 menit x 3, alkohol 96 %
selama 15 menit x 3, kemudian dicuci dengan air mengalir selama 15 menit, setelah
itu, object glass dimasukkan pada pewarna hematoxy-lin selama 15 menit dan dicuci
dengan air mengalir selama 15 menit. Object glass di-masukkan pada lithium
carbonat selama 20 detik dan dicuci dengan air mengalir selama 15 menit.
Selanjutnya, object glass dimasuk-kan pada pewarna eosin selama 15 menit, alkohol
96 % selama 15 menit x 3 dan xylol selama 15 menit x 3. Tahap terakhir adalah
preparat ditutup dengan menggunakan deck glass dan entellan.

7. Identifikasi Fibroblas
Proses identifikasi fibroblas dilakukan setelah perawatan luka selesai. Fibroblas
adalah sel yang berbentuk gelendong, mem-iliki inti satu atau lebih, bersifat basofilik,
dan tercat ungu pada pewarnaan hematoxylin eosin pada saat dilakukan pengamatan
preparat histologi jaringan kulit menggunakan mikroskop OLYMPUS seri XC10 yang
dilengkapi software OlyVIA dengan perbesaran 1000 kali tiap lapang pandang.
8. Analisis Data
Data yang didapatkan dianalisis dengan software SPSS. Metode analisis
menggunakan uji normalitas data dengan uji Kolmogorov-Smirnov. Uji homogenitas
menggunakan test of homogeneity of vari-ence. Uji one way ANOVA untuk
mengetahui perbedaan yang signifikan antar kelompok perlakuan. Uji post hoc Tukey
HSD untuk mengetahui kelompok perlakuan mana yang paling signifikan di antara
kelompok-kelompok uji coba. Uji regresi linear untuk mengetahui ada tidaknya
pengaruh ekstrak daun sirih terhadap jumlah fibroblas luka bakar derajat IIA.

Jurnal 4
UJI AKTIVITAS EKSTRAK ETANOL GAMBIR (Uncaria gambir Roxb.) TERHADAP
PENYEMBUHAN LUKA BAKAR PADA KULIT PUNGGUNG MENCIT PUTIH
JANTAN (Mus musculus)

Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: Gambir, etanol 95% dan vaselin flavum.

Metode
1. Konsentrasi Ekstrak Etanol Gambir Konsentrasi yang digunakan ada 3 peringkat
konsentrasi, di mana konsentrasi ekstrak etanol gambir yang digunakan adalah konsentrasi
(25%), (35%), dan (45%).
2. Penyiapan Hewan Uji Mencit putih yang akan digunakan pada pengujian terlebih dahulu
disiapkan dan dikondisikan selama 1 minggu dengan dilakukan penimbangan berat badan
mencit sekali setiap hari sebelum pengujian. Penyiapan hewan uji ini dilakukan agar
hewan uji dapat beradaptasi dengan lingkungan baru, mengontrol kesehatan dan
menyeragamkan makanannya.
3. Pembuatan Salep Ekstrak Gambir Vaselin flavum diaduk sebagian dengan ekstrak etanol
gambir, kemudian ditambahkan sisa vaselin flavum diaduk lagi sampai semuanya
tercampur atau homogen, disesuaikan dengan masing-masing konsentrasi.
4. Pembuatan Luka Bakar Solder panas dimodifikasi dengan lempeng stainless yang
berukuran 1x1 cm. Rambut pada daerah punggung mencit dicukur, kemudian ditempel
solder panas ke punggung mencit selama 2 detik, sampai bagian dermis beserta jaringan
yang terikat dibawahnya, sehingga terjadi pelepuhan dan kulit terkelupas pada bagian
tertentu.
5. Proses pengobatan luka bakar pada punggung mencit
a. Disiapkan 5 kelompok hewan uji yang terdiri dari 3 mencit tiap kelompok: kelompok I
pemberian kontrol positif (salep bermerek), kelompok II pemberian kontrol negatif
(vaselin flavum), kelompok III pemberian ekstrak etanol gambir konsentrasi 25% dan
vaselin flavum, kelompok IV pemberian ekstrak etanol gambir konsentrasi 35% dan
vaselin flavum, kelompok V pemberian ekstrak etanol gambir konsentrasi 45% dan
vaselin flavum.
b. Disiapkan sediaan uji yaitu salep bermerek, vaselin flavum, dan ekstrak etanol gambir.
c. Pengujian penyembuhan luka dengan :
1) Dioleskan salep bermerek pada kelompok pertama terhadap luka bakar pada kulit
punggung mencit.
2) Dioleskan vaselin flavum pada kelompok kedua terhadap luka bakar pada kulit
punggung mencit.
3) Dioleskan ekstrak etanol gambir dan vaselin flavum pada kelompok ketiga dengan
konsentrasi (25%), keempat dengan konsentrasi (35%), dan kelima dengan
konsentrasi (45%) terhadap luka bakar pada kulit punggung mencit.
d. Perawatan Luka Bakar Mencit yang telah dilukai pada bagian kulit punggungnya
masing-masing diberi perawatan berdasarkan kelompoknya. Perawatan dilakukan mulai
hari ke-1 sampai hari ke-14 sebanyak 1 kali sehari. Luka bakar dirawat secara terbuka
hingga sembuh yang ditandai dengan merapat dan tertutupnya luka.
e. Diamati perubahan pada luka bakar selama 14 hari secara makroskopik perkembangan
penyembuhan luka pada kulit punggung mencit dan pengukuran luas permukaan luka
dengan menggunakan jangka sorong.

Jurnal 5
UJI AKTIVITAS EKSTRAK ETANOL DAN EKSTRAK ETIL ASETAT DAUN SIRIH
MERAH (Piper cf. fragile. Benth) TERHADAP PENYEMBUHAN LUKA TERBUKA
PADA TIKUS

Metode Penelitian

Alat dan Bahan Penelitian

Alat-alat yang digunakan adalah alat-alat bedah, alat-alat gelas laboratoriun (Pyrex),
jangka sorong. Bahan yang digunakan adalah simplisia daun sirih merah. Daun sirih merah
(Piper cf. fragile, Benth) diperoleh dari Badan Penelitian Tanaman Rempah dan Obat
(Balittro), Bogor. Daun sirih merah tua segar dengan kriteria corak putih keabu-abuan
dideterminasi di Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
Cibinong. Bahan kimia yang digunakan adalah etanol 70%, etil asetat, ketamin. Bahan
pembanding yang digunakan adalah larutan Povidone Iodine (Betadine).

Jalannya Penelitian

1. Pembuatan ekstrak daun sirih merah


Daun sirih merah segar dicuci bersih dengan air mengalir, kemudian dikeringkan dengan
cara diangin-anginkan dan terlindung dari sinar matahari secara langsung untuk
menghindari rusaknya zat kimia yang terkandung dalam simplisia akibat panas sinar
matahari. Tujuan dari pengeringan adalah untuk mengurangi kadar air dalam simplisia
sehingga dapat disimpan dalam waktu yang lebih lama. Selain itu pengeringan juga
mencegah terjadinya reaksi enzimatik (Voight, 1995). Setelah kering daun sirih merah
diserbukkan dengan menggunakan blender lalu diayak dengan pengayak mesh 20.
Penyerbukan dilakukan untuk memperluas permukaan simplisia sehingga pelarut dengan
mudah menyerap ke dalam simplisia sehingga senyawa aktif yang tertarik lebih maksimal
(Voight, 1995). Daun sirih merah yang telah diserbukkan kemudian diekstraksi
menggunakan metode maserasi dengan cairan penyari yaitu etanol 70% dan etil asetat.
Tujuan menggunakan 2 cairan penyari adalah untuk membandingkan hasil penyarian
terbaik antara etanol 70% dan etil asetat. Metode maserasi merupakan metode ekstraksi
sederhana yang dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dengan cairan penyari.
Keuntungan penyarian dengan metode ini adalah cara pengerjaan dan peralatan yang
digunakan sederhana.

2. Pembuatan ekstrak etanol daun sirih merah


Ekstraksi dilakukan dengan memasukkan 200 g serbuk simplisia ke dalam bejana
maserasi kemudian ditambahkan etanol 70 % sampai seluruh serbuk simplisia terendam.
Kemudian wadah ditutup rapat dan dibiarkan selama 5 hari disimpan pada suhu ruang dan
terlindung dari cahaya. Selama perendaman dilakukan beberapa kali pengadukan. Setelah
5 hari, hasil perendaman disaring dengan menggunakan kertas saring. Ampas yang
diperoleh dari penyaringan dimaserasi dengan etanol 70% dengan prosedur yang sama,
maserasi dilakukan sebanyak tiga kali. Alasan pemilihan pelarut etanol 70% karena
pelarut ini merupakan cairan penyari yang umum digunakan untuk menarik zat aktif
tanaman. Etanol dapat digunakan sebagai bahan pengawet untuk mencegah pertumbuhan
jamur, bakteri, kapang, dan lain-lain. Cairan penyari etanol 70% mengandung 70% etanol
dan 30% air. Cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel
yang mengandung zat aktif, sehingga zat aktif terlarut. Adanya perbedaan konsentrasi
tersebut maka zat aktif dapat terus keluar sampai terjadi keseimbangan di dalam dan di
luar sel (Voight, 1995). Untuk menentukan akhir maserasi dilakukan dengan cara
organoleptis, seperti warna dan pemeriksaan zat aktif secara kualitatif pada maserat
terakhir. Maserat yang diperoleh dipekatkan dengan vacuum rotary evaporator pada suhu
50ºC hingga diperoleh ekstrak kental. Ekstrak kental yang diperoleh dikeringkan dengan
menggunakan oven pada suhu 50ºC. Pemekatan bertujuan untuk menaikkan kandungan
ekstrak daun sirih merah dengan mengurangi kadar air dan mengurangi sisa pelarut pada
saat proses maserasi.

3. Pembuatan ekstrak etil asetat daun sirih merah


Serbuk daun sirih merah ditimbang sebanyak 500 g, dimasukkan ke dalam bejana
maserasi, kemudian ditambahkan 5 L etil asetat secara bertahap lalu direndam selama 6
jam pertama sambil sekali-sekali diaduk kemudian didiamkan selama 24 jam. Kemudian
disaring, ampas dimaserasi kembali dengan etil asetat (lebih kurang 3 kali perlakuan).
Maserasi dilakukan selama 5 hari disimpan pada suhu ruang dan terlindung dari cahaya.
Setelah 5 hari hasil perendaman disaring dengan menggunakan kertas saring. Alasan etil
asetat dipilih karena pelarut tersebut bersifat semipolar, tidak beracun dan volatil terhadap
pemanasan, sehingga diharapkan dapat menarik senyawa-senyawa semipolar. Untuk
menentukan akhir maserasi, dilakukan uji dengan identifikasi ampas sampai tidak
terkandung zat aktifnya secara kualitatif pada maserat terakhir dan organoleptis seperti
warna. Semua filtrat disatukan dan dipekatkan dengan menggunakan vacuum rotary
evaporator pada suhu 50oC hingga diperoleh ekstrak kental. Ekstrak kental dikeringkan
menggunakan oven pada suhu 50oC (Depkes RI, 2008).

4. Penapisan fitokimia ekstrak etanol dan etil asetat daun sirih merah
a. Identifikasi alkaloid (Depkes RI (b), 1995) Sebanyak 500 mg ekstrak kering
dimasukkan dalam tabung reaksi, ditambahkan 1 ml HCl 2N dan 9 ml akuades,
dipanaskan di atas penangas air pada suhu 100oC selama 2 menit, didinginkan dan
disaring. Kemudian dibagi menjadi 2 tabung reaksi. Tabung pertama diberi pereaksi
Dragendorf, jika terbentuk endapan merah menunjukkan adanya alkaloid. Tabung
kedua diuji dengan pereaksi Meyer, terbentuk endapan putih menunjukkan adanya
alkaloid.
b. Identifikasi flavonoid (Depkes RI (b), 1995) Sebanyak 500 mg ekstrak kering
dimasukkan ke dalam tabung reaksi, ditambahkan 5 mL etanol, dikocok dan disaring.
Sebanyak 1 mL filtrat dimasukkan ke dalam tabung, ditambahkan 2 tetes HCl pekat
dan 200 mg logam Mg. Perubahan warna menjadi merah coklat menunjukkan adanya
flavonoid.
c. Identifikasi saponin (Depkes RI (b), 1995) Sebanyak 500 mg ekstrak kering
dimasukkan ke dalam tabung reaksi, ditambahkan 10 ml air panas, didinginkan dan
dikocok kuat selama 10 detik, terbentuk buih yang stabil selama tidak kurang dari 10
menit setinggi 1-10 cm. Penambahan 1 tetes HCl 2 N, buih tidak hilang, maka
menunjukkan adanya saponin.
d. Identifikasi tanin (Depkes RI (b), 1995) Sebanyak 500 mg ekstrak kering dimasukkan
ke dalam tabung reaksi, ditambahkan 100 mL air suling, dididihkan selama 15 menit
di atas penangas air pada suhu 100ºC, kemudian didinginkan lalu disaring dengan
kertas saring. Filtrat diambil kemudian ditambahkan 1-2 tetes FeCl3 1%, terbentuk
warna biru tua atau hijau kehitaman menunjukkan adanya tanin.

5. Pemeriksaan mutu ekstrak etanol dan etil asetat daun sirih merah
a. Pemeriksaan organoleptik (Depkes RI (b), 1995) Pemeriksaan organoleptik
dilakukan secara analisis kualitatif. Pemeriksaan organoleptic antara lain
pemeriksaan bentuk, warna, bau, dan rasa ekstrak etanol dan etil asetat daun sirih
merah.
b. Penetapan susut pengeringan (Depkes RI, 2008) Ekstrak kering ditimbang seksama
sebanyak 1 hingga 2 g dalam botol timbang bertutup yang sebelumnya telah
dipanaskan pada suhu 105°C dan ditara. Ekstrak diratakan dalam botol timbang
dengan menggoyangkan botol, hingga tebal lapisan kurang lebih 5-10 mm. Ekstrak
dimasukkan ke dalam eksikator, tutupnya dibuka dan dikeringkan pada suhu yang
sudah ditetapkan hingga mendapat bobot yang tetap. Setiap sebelum pengeringan,
botol dibiarkan dalam keadaan tertutup mendingin dalam eksikator hingga suhu
ruang.
c. Rendemen Perhitungan rendemen dilakukan dengan menghitung jumlah ekstrak
kering yang didapat terhadap jumlah serbuk kering sebelum dilakukan ekstraksi
kemudian dikalikan 100% (Depkes RI, 2000), seperti terlihat pada persamaan
Rendemen = Bobot Ekstrak Kering Daun Sirih Merah x 100%...................(1)
Bobot serbuk Kering Daun Sirih merah

6. Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan acak lengkap. Tikus dibagi
menjadi 8 kelompok perlakuan, masing-masing kelompok terdiri dari 4 ekor tikus.
Pengelompokkan hewan uji dihitung berdasarkan rumus Federer (Hanafiah, 1993).

7. Persiapan Hewan Uji


Tikus putih jantan diaklimatisasi selama 7 hari. Tikus yang diikut sertakan adalah
tikus yang sehat, mata yang jernih dan bulu yang bersih. Tikus yang digunakan dalam
percobaan sebanyak 32 ekor. Tikus diberi minum dan pakan standar. Tiap kelompok
tikus ditempatkan pada kandang yang terpisah. Tiap kandang berisi 4 ekor tikus.
Kandang diletakkan pada ruang tertutup dengan sirkulasi udara dan penerangan yang
cukup.
8. Penetapan Dosis
Konsentrasi ekstrak etanol dan etil asetat daun sirih merah yang digunakan
berdasarkan penelitian yang sebelumnya yaitu konsentrasi efektif rebusan daun sirih
merah 40% (Fimani, 2010). Berdasarkan konsentrasi tersebut maka akan dibuat
menjadi 3 variasi konsentrasi yang berbeda yaitu: 15, 20 dan 25 % b/v. Bahan
pembanding yang digunakan pada penelitian ini adalah Betadin® (povidon iodium)
dengan konsentrasi 10%.
9. Penentuan efek penyembuhan luka. Percobaan penentuan efek penyembuhan luka
dilakukan dengan menggunakan metode Morton yang telah dimodifikasi.Tikus
dicukur terlebih dahulu di daerah punggung bagian atas (dilakukan sehari sebelum
pembuatan luka). Pada saat akan dibuat luka, tikus dibius terlebih dahulu dengan
ketamine 40,08 mg/kg BB tikus secara intramuskular. Setelah itu daerah punggung
bagian atas dan sekitarnya dibersihkan dengan etanol 70%. Lalu dibuat luka
berbentuk lingkaran dengan diameter ± 2,5 cm, kemudian dibedah sampai bagian
subkutis, yaitu sampai bagian panniculus carnosus dan jaringan yang terikat
dengannya. Pemberian ekstrak etanol maupun etil asetat daun sirih merah untuk
masing-masing variasi dosis dilakukan satu kali sehari untuk masingmasing
konsentrasi (2%, 14%, dan 8%) sebanyak 0,5 mL. Sediaan larutan uji ekstrak etanol
dan etil asetat daun sirih merah dibuat dari ekstrak kering etanol maupun etil asetat
dilarutkan dengan akuades steril. Pemberian povidon iodium 10% sebanyak 0,5 mL
sebagai kontrol positif dilakukan satu kali sehari hingga menutupi luka. Pemberian
dilakukan setiap hari dimulai satu hari setelah luka dibuat, selama 15 hari. Perincian
pembagian kelompok terdiri dari 8 kelompok dengan masing-masing kelompok terdiri
dari 4 ekor. Perlakuan tiap kelompok adalah sebagai berikut : Kelompok I : Kontrol
positif, kelompok yang dibuat luka serta diberikan pembanding Betadin® (povidon
iodium) 10%selama 15 hari .
Kelompok II : Kontrol negatif, kelompok yang dibuat luka tanpa pemberian sediaan
uji.
Kelompok III : Kelompok uji 1, kelompok yang dibuat luka serta diberikan ekstrak
etanol konsentrasi 15%, 1x sehari selama 15 hari.
Kelompok IV : Kelompok uji 2, kelompok yang dibuat luka serta diberikan ekstrak
etanol konsentrasi 20%, 1x sehari selama 15 hari.
Kelompok V : Kelompok uji 3, kelompok yang dibuat luka serta diberikan ekstrak
etanol konsentrasi 25%, 1x sehari selama 15 hari.
Kelompok VI : Kelompok uji 4, kelompok yang dibuat luka serta diberikan ekstrak
etil asetat konsentrasi 15%, 1x sehari selama 15 hari.
Kelompok VII : Kelompok uji 5, kelompok yang dibuat luka serta diberikan ekstrak
etil asetat konsentrasi 20%, , 1x sehari selama 15 hari
Kelompok VIII : Kelompok uji 6, kelompok yang dibuat luka serta diberikan ekstrak
etil asetat konsentrasi 25%,, 1x sehari selama 15 hari.
Pemberian ekstrak etanol dan etil asetat daun sirih merah diberikan sekali
sehari dengan cara menggunakan syringe sebanyak 0,5 ml/200 g BB tikus. Pemberian
sediaan uji dilakukan dengan cara dioleskan secara merata pada luka. a. Luas daerah
luka dan persentase penyembuhan luka diamati dengan cara mengukur rata-rata
diameter luka yang diukur pada arah vertikal, horizontal, dan kedua diagonal. b. Data
penelitian yang diperoleh, ditabulasi, dibuat rata-rata kemudian dianalisis secara
statistik. 6. Pengamatan Percobaan (Morton dan Malone, 1972) Pengamatan
dilakukan dengan persentase penyembuhan luka dengan cara mengukur rata-rata
diameter luka yang diukur pada arah vertikal, horizontal, dan kedua diagonal.
Persentase penyembuhan luka dihitung dengan rumus 2.

x100%....................................................................(2)
Keterangan:
d1 : diameter luka sehari setelah pembuatan luka d2 : diameter luka pada hari
dilakukan pengamatan.
10. Analisis Data
Data yang diperoleh berupa data diameter luka dan persentase penyembuhan luka.
Data dianalisis dengan menggunakan program pengolah statistik dan dilakukan
terlebih dahulu uji normalitas dan homogenitasnya. pengolahan data secara statistik
KolmogrovSmirnov Test dan Test of Homogeneity of Variance. Jika data normal dan
homogen selanjutnya dilakukan uji anova dua arah dengan taraf signifikansi 95%
untuk melihat pengaruh dari pelakuan. Untuk mengetahui lebih lanjut adanya
perbedaan antar kelompok dilakukan uji Tukey (Priyatno, 2012).

Jurnal 6
Tannin extracts from immature fruits of Terminalia chebula Fructus Retz. Promote cutaneous
wound healing in rats

Metode penelitian

Bahan tanaman

Pada bulan Juli 2010, buah-buahan Terminalia chebula Fructus Retz yang belum
matang. dibeli dari Toko Obat Dalian Nepstar Chain provinsi Liaoning di Cina. Buah-buahan
diidentifikasi oleh Dr. Yun-Peng Diao, seorang profesor dari Universitas Kedokteran Dalian.
Spesimen voucher disimpan di laboratorium farmakognosi bersama dengan spesimen nomor
XT001 yang diberikan.

Optimalisasi teknologi ekstraksi dan pemurnian dan persiapan ekstrak

Ekstrak tanin peka terhadap suhu. Menurut persyaratan produksi, suhu selama
ekstraksi diatur ke 50 ° C, dan air dianggap sebagai pelarut ekstraksi. Empat faktor dapat
mempengaruhi ekstraksi: (A) durasi ekstraksi, (B) waktu maserasi, (C) rasio pelarut ekstrak,
dan (D) jumlah ekstraksi. Penelitian ini dilakukan sesuai dengan uji ortogonal dari empat
faktor pada tiga tingkatan berbeda. Bubuk buah belum matang dari Terminalia chebula
Fructus Retz. (10 g berat) diekstraksi dengan air (100 ml) pada 50 ° C. Setelah itu, ekstraknya
ditimbang. Kandungan ekstrak tanin diukur dan teknologi ekstraksi dan pemurnian (OEPT)
yang optimal ditentukan. Ekstrak ditambahkan ke etanol dengan konsentrasi 95%, dan
konsentrasi larutan ekstrak diencerkan hingga 80%. Larutan ekstrak diendapkan selama 12
jam dan disentrifugasi pada 4000 rpm selama 10 menit. Setelah filtrasi, kandungan ekstrak
tanin dianalisis dengan metode kasein.

Penentuan kandungan ekstrak tannin

Kandungan ekstrak tanin diukur dengan metode kasein yang dijelaskan dalam
Farmakope Cina

Pembuatan larutan pembanding

Dalam labu pengukur 25 ml berwarna coklat, larutan pembanding (0,05 g asam galat
per ml) dalam aliquot 1,0 ml, 2,0 ml, 3,0 ml, 4,0 ml, dan 5,0 ml ditempatkan secara terpisah.
Kemudian, 1 ml asam fosfotungstomolibdat ditambahkan ke masing-masing alikuot ini.
Setelah itu, masing-masing 11 ml, 10 ml, 9 ml, 8 ml, dan 7 ml air ditambahkan ke masing-
masing alikuot ini. Akhirnya, mereka diencerkan ke volume 25 ml menggunakan larutan
Na2CO3 29%. Absorbansi campuran reaksi dibaca pada 760 nm. Kurva kalibrasi asam galat
(mulai dari 1 hingga 10 μg / ml) disiapkan.

Prosedur determinasi

Jumlah kandungan fenol ditentukan sebagai berikut: 2 ml larutan sampel dituangkan


ke dalam 25 ml cokelat labu ukur. Kemudian, 10 ml air ditambahkan ke dalamnya dan
absorbansi diukur. Isi campuran ditentukan dengan menggunakan kurva standar. Kadar
polifenol yang tidak teradsorpsi ditentukan sebagai berikut: 25 ml larutan sampel dituangkan
ke dalam 100 ml labu berbentuk kerucut yang ditutup, mengandung kasein 0,6 g yang
ditambahkan sebelumnya. Campuran disimpan dalam penangas air pada suhu 30 ° C selama
1 jam; 2 ml filtrat diukur secara akurat dalam labu ukur 25 ml berwarna coklat dan
ditambahkan 10 ml air. Setelah mengukur absorbansi, isi campuran ditentukan dengan
menggunakan kurva standar. Kandungan tanin larutan dihitung dengan rumus berikut:
Konten ekstrak tanin = (Total konten fenol) - (Konten polifenol yang tidak teradsorpsi).
Aktivitas antibakteri

Aktivitas antibakteri dari ekstrak tanin dipelajari setelah mempertimbangkan


staphylococcus aureus (ATCC25923) dan Klebsiella pneumonia (ATCC700603).
Kemampuan antibakteri dipelajari dengan metode dilusi mikro. Menggunakan obat
antimikroba referensi seperti penisilin dan cefoperazone sodium (NCCLS, 2000), konsentrasi
penghambatan minimum (MIC) dan konsentrasi bakterisida minimum (MBC) ditentukan.
Setelah aktivasi dan pengembangan kultur selama 24 jam, 2% dari Staphylococcus aureus
dan Klebsiella Pneumonia secara terpisah diinokulasi dalam media berbasis kaldu yang
mengandung konsentrasi penghambatan minimum dari ekstrak tanin pada suhu 37 ° C
dengan getaran pada 120 rpm. Setelah menambahkan ekstrak tanin dan sentrifugasi, total 3
ml media dikumpulkan pada interval 4 jam, 24 jam, dan 30 jam. Sedimen bakteri yang
terkumpul dicuci dengan buffer fosfat tiga kali. Bakteri yang diperoleh digunakan untuk
menyiapkan spesimen. Perubahan morfologis dan struktur bakteri diamati, menggunakan
mikroskop elektron pemindaian KYKY-1000B.

Persiapan dan perawatan hewan

Tikus Sprague-Dawley jantan jantan, dengan berat 200-220 g, dipasok oleh Pusat
Eksperimen Hewan Universitas Kedokteran Dalian. Sebelum melakukan penelitian, setiap
tikus ditempatkan di kandang individu di ruangan yang sama selama 1 minggu. Lingkungan
terkontrol mencakup parameter berikut: siklus terang / gelap 12 jam, 23 ± 2 ° C, dan
kelembaban relatif 70%. Tikus itu diberi akses gratis ke makanan standar laboratorium dan
air. Semua prosedur eksperimental telah disetujui oleh Komite Etika Penelitian Hewan dari
Universitas Kedokteran Dalian, Dalian, Cina (DMU10 / 02/23).
Tikus dibius dengan injeksi intraoral peritoneal 10% hidratoral (0,3 ml / 100 g).
Permukaan punggung tikus dicukur, dan kulit di bawahnya dibersihkan dengan povidone
iodine. Lingkaran eksisi akut dengan diameter 1,5 cm diukir pada lukanya, menggunakan
pisau bedah di belakang tikus. Tikus-tikus itu kemudian secara acak dibagi menjadi
kelompok I, II, dan III (36 tikus di masing-masing kelompok). Luka kelompok I diobati
dengan salep vaseline dengan dosis 5 mg per luka, yang berfungsi sebagai kontrol negatif.
Luka kelompok II diobati dengan ekstrak tanin dengan dosis 5 mg per luka. Luka kelompok
III dirawat dengan salep eritromisin (Nomor Persetujuan: H11021246, Beijing Shuangji
Pharmacy Co. Ltd., China) dengan dosis 5 mg per luka, yang berfungsi sebagai kontrol
positif. Semua obat dioleskan setiap hari, sampai penyembuhan luka sempurna tercapai.

Pengukuran luka

Setelah penciptaan luka, enam tikus dari masing-masing kelompok dipilih secara acak
dan dikorbankan pada hari 1, 3, 7, 10, 14, dan 21, masing-masing. Diameter luka diukur, dan
area (cm2) dalam batas dihitung secara planimetri. Persentase kontraksi luka ditentukan
dengan menggunakan rumus berikut: persentase kontraksi luka = [(area luka asli - area tidak
sembuh) / area luka asli] × 100%.

Pemeriksaan histologis jaringan yang dipotong

Jaringan luka yang dieksisi diperbaiki dalam formalin buffer netral 10%. Itu dehidrasi
dalam etanol bertingkat, dibersihkan dalam xylene, dan tertanam dalam parafin. Pada slide
kaca, bagian epidermis, dermis, dan subkutan panniculus carnosus subkutan setebal lima
mikron telah dipasang. Setelah dewaxing sampel, itu direhidrasi menjadi air suling dan
diwarnai dengan hematoxylin dan eosin. Semua analisis selanjutnya dilakukan oleh ahli
patologi berpengalaman tanpa pengetahuan tentang perawatan sebelumnya. Berdasarkan
tingkat epitelisasi, pembentukan jaringan granulasi, dan organisasi kolagen, sistem penilaian
lima tingkat diadopsi untuk mengevaluasi perbedaan historis dari sampel yang berbeda

Analisis imunohistokimia dari ekspresi VEGFA

Bagian jaringan luka yang dipilih dideparaffinisasi dan redehydrasi setelah ditahan
pada suhu 60 ° C selama 2 jam. Setelah itu, 3% H 2 O 2 dalam metanol digunakan selama 10
menit untuk mencegah aktivitas peroksidase endogen. Bagian tersebut direbus dalam asam
sitrat 0,01 mol / L selama 20 menit untuk mengambil antigen. Untuk mencegah pengikatan
spesifik, serum kambing normal diaplikasikan pada suhu 37 ° C selama 10 menit. Bagian
tersebut kemudian direaksikan antibodi monoklonal VEGFA tikus-tikus (diencerkan 1: 5,
Abcam, UK) pada 37 ° C selama 1 jam. Setelah dicuci dengan larutan salin fosfat, bagian
pertama kali diinkubasi dengan antibodi anti-tikus kambing bio-tinilasi (Beijing Zhongshan
Biology Technology Co., Ltd, China) pada suhu 37 ° C selama 30 menit. Kemudian, proses
yang sama diulangi menggunakan streptavidin berlabel peroxidase lobak pada suhu 37 ° C
selama 30 menit. Setelah pewarnaan dengan 3, 3-diaminobenzidine (DAB) / H 2 O 2 dan
hematoxylin, bagian tersebut mengalami dehidrasi, dibersihkan, dan dipasang untuk dilihat.
Untuk analisis VEGFA, bagian pertama kali diperiksa di bawah mikroskop (pembesaran
100x) untuk mengidentifikasi ekspresi positif tertinggi pada luka. Kemudian, lima area
ekspresi tertinggi dipilih untuk dievaluasi di bawah mikroskop (pembesaran 400x). Untuk
menghitung area, densitas rata-rata, dan densitas optik terintegrasi dari ekspresi positif,
gambar dianalisis menggunakan perangkat lunak Image-pro-plus 6.0 (Media Cybernetics,
USA). Hasil rata-rata dari lima daerah dicatat dalam hal data statistik jaringan luka ini.

Analisis ekspresi mRNA VEGFA oleh RT-PCR

cDNA disintesis menggunakan kit RT-PCR (TaKaRa, Jepang) sesuai dengan protokol
pabrikan. Total RNA diisolasi dari jaringan yang dieksisi homogen menggunakan Trizol
(BBI, USA). Urutan oligonukleotida dari primer VEGFA adalah 5'-
TGCACCCACGACAGAAGGGGA-3 'untuk akal dan 5' -
TCACCGCCTTGGCTTGTCACAT-3 'untuk antisense. Di sisi lain, digunakan sebagai
kontrol, urutan primer GAPDH adalah 5'-GGCCGTGAAGTCGTCAGAAC-3 'untuk akal
dan 5'-GCCACGATGCCCAGGAA-3 'untuk antisense. Kondisi PCR dinyatakan sebagai
berikut: denaturasi pada 95 ° C selama 3 menit, dan kemudian 30 siklus denaturasi selama 20
detik pada 94 ° C, anil selama 30 detik pada 55 ° C, dan perpanjangan selama 30 detik pada
72 ° C. Lima μl produk PCR dipisahkan oleh elektroforesis menggunakan 1,0% agarosa gel
dan difoto di bawah sinar radiasi ultraviolet. Intensitas pita diukur dengan menggunakan
perangkat lunak Gel-Pro Analyzer 6.0 (Media Cybernetics, USA) dan dinormalisasi dengan
yang untuk GAPDH.
BAB IV
PEMBAHASAN

Jurnal 1 :
Tannin adalah salah satu golongan senyawa polifenol yang juga banyak dijumpai pada
tanaman. Tanin dapat didefinisikan sebagai senyawa polifenol dengan berat molekul yang
sangat besar yaitu lebih dari 1000 g/mol serta dapat membentuk senyawa kompleks dengan
protein. Tanin memiliki peranan biologis yang besar karena fungsinya sebagai pengendap
protein dan penghelat logam. Oleh karena itu tannin diprediksi dapat berperan sebagai
antioksidan biologis. Dalam penelitian ini, kadar tannin dalam ekstrak daun inggu sebesar
7,04% dan saponin sebesar 2,13%. Kadar senyawa fitokimia dalam daun inggu dapat
dikategorikan sedang dibandingkan hasil penelitian pada tumbuhan lain. Menurut penelitian
Windy (2013) menjelaskan bahwa secara kualitatif ekstrak daun inggu mengandung
metabolit sekunder yaitu triterpenoid, flavonoid, saponin, tannin, polifenol dan alkaloid.
Ekstrak daun inggu yang dihasilkan ternyata memiliki aktivitas terhadap bakteri Eschericia
coli. Dari pembahasan tersebut dapat dilihat bahwa daun inggu terbukti mengandung
senyawa-senyawa kimia yang potensial digunakan sebagai obat-obatan. Penelitian lanjutan
untuk membuktikan dan mendukung hasil penelitian ini sangat diperlukan guna
mengembangkan daun inggu sebagai bahan obat yang aman dan efektif.

Jurnal 2 :
Tanin merupakan senyawa aktif metabolit sekunder yang diketahui mempunyai beberapa
khasiat yaitu sebagai astringen, antidiare, antibakteri dan antioksidan. Metode ekstraksi yang
digunakan dalam penelitian ini adalah maserasi. Maserasi merupakan metode ekstraksi dingin
yang banyak digunakan dan cara pengerjaannya paling sederhana. Diekstraksi dengan pelarut
etanol 70 % agar sanyawa tanin dapat tertarik. Tanin merupakan senyawa polar karena
memiliki gugus hidroksi, sehingga untuk mengekstraksinya diperlukan senyawa-senyawa
polar seperti air, etanol dan aseton. Maserasi dilakukan dalam tiga tahap (3 × 24 jam) agar
komponen kimia dalam biji jintan hitam (Nigella sativa) dapat tertarik semua. Cairan penyari
yang digunakan diganti setiap 24 jam. Proses ekstrasi yang terjadi yaitu cairan penyari akan
masuk ke dalam sel melewati dinding sel dan masuk kedalam rongga yang mengandung zat
aktif, kemudian zat aktif disaring. Untuk proses analisis kualitatif dilakukan dengan
penambahan pereaksi FeCl3 dan larutan gelatin untuk menentukan apakah sampel
mengandung tanin. Mula-mula penambahan pereaksi FeCl3 terbentuk warna hijau kehitaman
atau biru tinta pekat menunjukkan adanya senyawa tanin dalam ekstrak biji jintan hitam
(Nigella sativa). Reaksi antara tanin dan FeCl3 membentuk senyawa kompleks. Selanjutnya
dilakukan penambahan larutan gelatin pada ekstrak biji jintan hitam (Nigella sativa). Gelatin
merupakan suatu protein, berdasarkan sifat tanin yang dapat menggumpalkan protein. Hasil
positif dari ekstrak biji jintan hitam terbentuk endapan. Pada pengukuran absorbansi tanin
total untuk penentuan kurva kalibrasi asam tanat dengan panjang gelombang 740 nm didapat
persamaan regresi y = 0,004 x + 0,097 dengan nilai koefisien determinasi sebesar 0,996. Nilai
(r) yang mendekati satu menunjukkan bahwa persamaan regresi tersebut adalah linear. Pada
penelitian ini kandungan tanin total ditentukan berdasarkan penambahan reagen pembentuk
warna, yaitu folin denis. Pembentukan warnanya berdasarkan reaksi reduksi oksidasi, dimana
tanin sebagai reduktor dan folin denis sebagai oksidator. Prinsip dari metode folin denis
adalah terbentuknya senyawa kompleks berwarna biru yang dapat diukur serapannya pada
daerah sinar tampak. Hasil penetapan kadar tanin total dari penelitian ini diperoleh kadar
tanin dalam biji jintan hitam (Nigella sativa) sebesar 4, 13 %.

Jurnal 3 :
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun sirih yang diekstrak dengan etanol
96 % dengan metode maserasi. Hal ini karena bahan aktif yang terkandung dalam daun sirih
cenderung larut dalam etanol. Ekstrak daun sirih dibuat dalam bentuk salep dengan
menambahkan vaseline. Penelitian ini menggunakan tiga konsentrasi ekstrak daun sirih yang
dipilih berdasarkan studi pendahuluan. Berdasarkan studi pendahuluan tersebut dapat
disimpulkan bahwa ekstrak daun sirih dengan kon-sentrasi 30 % mempunyai kemampuan
mempercepat penyembuhan luka yang optimal.
Fibroblas merupakan sel yang paling umum ditemui pada jaringan ikat. Fibroblas adalah sel
yang menghasilkan komponen ekstrasel dari jaringan ikat yang berkembang. Data penelitian
ini dianalisis menggunakan SPSS. Hasil uji one way ANOVA menunjukkan nilai signifikansi
0,000 (p < 0,05) yang berarti terdapat pengaruh yang signifikan pada pemberian ekstrak daun
sirih (Piper betle Linn.) terhadap peningkatan jumlah fibroblas luka bakar derajat IIA pada
tikus putih. Hasil uji regresi linear menunjukkan bahwa angka korelasinya sebesar -0,881 (r =
0,70-1,00) yang berarti terdapat korelasi atau pengaruh yang tinggi pada pemberian ekstrak
daun sirih terhadap jumlah fibroblas pada luka bakar derajat IIA. R-square sebesar 77,6 %
menunjukkan bahwa ekstrak daun sirih mempengaruhi jumlah fibroblas sebesar 77,6 %.
Angka korelasi negatif berarti hubungan bersifat tidak searah yaitu jika konsentrasi ekstrak
daun sirih semakin kecil maka jumlah fibroblas semakin besar. Peningkatan jumlah fibroblas
ini diduga karena efek kandungan senyawa aktif yang berasal dari ekstrak etanol daun sirih.
Hasil ekstraksi etanol daun sirih mengandung beberapa kandungan senyawa aktif yaitu
saponin, flavonid, tannin serta minyak atsiri. Kandungan tersebut dapat membantu proses
penyembuhan luka dengan mekanisme yang berbeda-beda. Tanin merupakan senyawa
phenolic yang larut air. Tanin berpotensi sebagai antoksidan yang melindungi dari kerusakan
oksidatif seperti kanker, arthritis dan penuaan. Kandungan tanin berguna sebagai astringen
atau menghentikan perdarahan, mempercepat penyembuhan luka dan inflamasi membran
mukosa, serta regenerasi jaringan baru. Selain itu, kandungan tanin mempunyai kemampuan
antioksidan dan antibakteri. Kandungan tanin mempercepat penyembuhan luka dengan
beberapa mekanisme seluler yaitu membersihkan radikal bebas dan oksigen reaktif,
meningkatkan penutupan luka serta meningkatkan pembentukan pembuluh darah kapiler juga
fibroblast.
Berdasarkan hasil penelitian pengaruh ekstrak daun sirih terhadap jumlah fibroblas luka
bakar derajat IIA pada tikus putih galur Wistar dapat ditarik kesimpulan bahwa penelitian ini
memiliki validitas internal yang tinggi ditandai dengan perbedaan signifikan antar kelompok
perlakuan berdasarkan analisis uji one way ANOVA. Penelitian ekstrak daun sirih ini
mempunyai efek terhadap peningkatan jumlah fibroblas namun masih diperlukan uji lebih
lanjut tentang farmakokinetik, farmakodinamik, toksisitas, dan efek ekstrak daun sirih ini
pada hewan coba dan clinical trial pada manusia.

Jurnal 4 :
Pengujian dilakukan secara bersamaan antara kelompok kontrol positif, kelompok kontrol
negatif, dan kelompok ekstrak etanol gambir dengan 3 variasi konsentrasi. Pada penelitian ini
digunakan 3 konsentrasi berbeda, yang bertujuan untuk mengetahui konsentrasi maksimal
dari ekstrak etanol gambir dalam penyembuhan luka bakar pada kulit punggung mencit.
Konsentrasi ekstrak etanol gambir terdiri dari konsentrasi 25%, 35%, dan 45% kemudian
semua kosentrasi dibuat dalam 1 g stok salep untuk persediaan 2 hari masing-masing hewan
uji diberikan dosis sebanyak 0,1 g untuk sekali oles. Sebelum melakukan pengujian terlebih
dahulu diadaptasikan masingmasing hewan uji selama 1 minggu, hal ini dimaksudkan agar
keadaan mencit kembali stabil, mengontrol kesehatannya dan dapat menyesuaikan diri
terhadap lingkungan baru.
Mencit dibagi menjadi 5 kelompok yang masing-masing kelompok terdiri dari 3
mencit kelompok pertama yaitu kontrol positif yang diberi salep bermerek, kelompok
kedua yaitu kontrol negatif yang diberi vaselin flavum, kelompok ketiga yaitu ekstrak
etanol gambir konsentrasi 25%, kelompok keempat yaitu ekstrak etanol gambir
konsentrasi 35%, dan kelompok kelima yaitu ekstrak etanol gambir konsentrasi 45%.
Setelah dilakukan pengelompokkan, selanjutnya dilakukan pencukuran bulu mencit
menggunakan alat pencukur bulu dibagian sekitar punggung mencit hal ini bertujuan agar
memudahkan pada saat pembuatan luka bakar pada kulit punggung mencit. Pembuatan
luka bakar dengan cara menempelkan solder panas diatas punggung mencit dengan
lempeng stainlees berukuran 1x1 cm selama 2 detik, kemudian salep dioleskan ke hewan
uji dan dioleskan sehari 1 kali.
Pengujian aktivitas ekstrak etanol gambir terhadap luka bakar pada kulit punggung
mencit dilakukan dengan cara mencampurkan ekstrak kental gambir dengan basis salep
vaselin flavum dengan konsentrasi yang telah ditentukan.

Hasil Persentase Penyembuhan Luka Bakar


Hasil persentase penyembuhakan luka bakar berdasarkan grafik menunjukkan bahwa
kontrol positif yang dioleskan salep bermerek lebih cepat menutup luka dengan persentase
kesembuhan sebesar 100% pada hari ke-11 hal ini dapat dikarenakan salep bermerek yang
digunakan sebagai kontrol positif merupakan salep yang dipasarkan sebagai salep luka
bakar yang sudah terkenal dan telah mengalami beberapa proses pengujian baik uji
praklinik maupun uji klinik dan pada salep bermerek yang digunakan memiliki zat aktif
lebih dari satu sehingga proses penyembuhan luka bakar terjadi dengan cepat. Fungsi
kontrol positif adalah sebagai pembanding apakah zat uji bisa berefek sama dengan obat
luka bakar yang digunakan sebagai kontrol positif. Salep bermerek yang digunakan
mengandung bahan aktif, Radix scutellarie yang memiliki khasiat untuk mengatasi
peradangan, demam, kejang-kejang dan meningkatkan daya tahan tubuh; Cortex
phellodendri yang berkhasiat untuk membunuh kuman, bakteri, jamur, dan dapat
mengurangi kulit merah dan peradangan; Rhizoma coptidis yang berkhasiat sebagai
antibakteri, anti peradangan, antioksidan, dan megeluarkan panas tubuh. Kontrol negatif
yang digunakan adalah vaselin flavum, kontrol negatif berfungsi untuk mengetahui apakah
basis yang digunakan mempunyai efek terhadap hewan uji. Kontrol negatif mulai terlihat
perubahan lukanya pada hari ke-5 hasil persentase penyembuhan yang dihasilkan kontrol
negatif sebesar 32,67%. Kontrol negatif memiliki persentase penyembuhan yang tidak
terlalu besar tetapi menunjukkan adanya proses penyembuhan. Hal ini dikarenakan vaselin
flavum dapat menghambat hilangnya kandungan air dari sel-sel kulit dengan membentuk
lapisan film yang waterproff. Vaselin flavum juga mampu meningkatkan hidrasi pada
kulit. Sifat-sifat tersebut sangat menguntungkan karena mampu mempertahankan
kelembaban kulit sehingga vaselin flavum disebut juga memiliki sifat moisturizer dan
emollient. Ekstrak etanol gambir konsentrasi 25% mulai terlihat proses penyembuhan luka
pada hari ke-4 dan memiliki persentase penyembuhan sebesar 72,00%, ekstrak etanol
gambir konsentrasi 35% dan 45% memiliki persentase penyembuhan sebesar 85,00% dan
88,67% karena didalam ekstrak etanol gambir terkandung senyawa kimia yang dapat
membantu proses penyembuhan luka bakar.
Mekanisme penyembuhan luka dengan ekstrak etanol gambir dapat terjadi dikarenakan
pada ekstrak etanol gambir terdapat senyawa kimia yang berfungsi mempercepat
penyembuhan luka yaitu senyawa flavonoid, tannin dan saponin. Tanin dalam gambir
berfungsi sebagai antibakteri dan antifungi serta sebagai adstringen yang menyebabkan
penciutan pori-pori kulit, memperkeras kulit, dan menghentikan pendarahan yang ringan.
Tanin mempunyai daya antibakteri dengan cara mempresipitasi protein, karena diduga
tanin mempunyai efek yang sama dengan senyawa fenolik. Efek antibakteri tanin antara
lain melalui reaksi dengan membran sel, inaktivasi enzim, dan destruksi atau inaktivasi
fungsi materi genetik.
Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan program SPSS, terlebih dahulu data
dianalisis untuk mengetahui data berdistribusi normal dengan menggunakan One-Sample
Kolmogrov-Smirnov Test setelah data dianalisis didapatkan kesimpulan bahwa data
berdistribusi normal karena nilai p-value > 0,05 yaitu 0,553. Data kemudian dianalisis
dengan menggunakan uji ANOVA didapatkan nilai p-value < 0,05 yaitu 0,000 yang berarti
data tersebut memiliki perbedaan bermakna. Data kemudian dilanjutkan ke uji LSD untuk
mengetahui perbedaan bermakna masing-masing perlakuan, sehingga diperoleh
kesimpulan hasil uji LSD menunjukkan bahwa ekstrak etanol gambir konsentrasi 25%,
35%, dan 45% memiliki perbedaan bermakna dengan kontrol positif dan kontrol negatif.
Ekstrak etanol gambir konsentrasi 25%, 35%, dan 45% masing-masing memiliki
perbedaan bermakna yang signifikan.

Jurnal 5
Tahap selanjutnya adalah uji penapisan fitokimia ekstrak etanol 70% dan ekstrak etanol dan
etil asetat daun sirih merah. Uji penapisan fitokimia dilakukan untuk mengetahui senyawa
metabolit sekunder yang terkandung dalam ekstrak etanol dan etil asetat daun sirih merah.
Hasil penapisan fitokimia menunjukkan bahwa ekstrak etil asetat mengandung alkaloid,
saponin dan steroid. Hasil penapisan ekstrak etanol mengandung alkaloid, flavonoid, saponin,
tannin, triterpenoid dan steroid. Hasil penapisan fitokimia.
Hasil pengolahan data secara statistik Kolmogrov-Smirnov Test didapat nilai sig.
(0,149)>α (0,05) dan pada Test of Homogeneity of Variance didapat nilai sig.>α (0,05) uji
kedunya menunjukkan data antar kelompok terdistribusi secara normal dan homogen. Hasil
uji ANOVA dua arah (two way) menunjukkan nilai sig. < α (0,05) berarti terdapat perbedaan
yang bermakna antara kelompok uji dan hari terhadap persentase penyembuhan luka.
Terakhir data dapat dilanjutkan dengan uji tukey. Hasil uji tukey menunjukkan bahwa
terdapat perbedaan bermakna antara kelompok kontrol negatif dengan kelompok kontrol
positif dan kelompok perlakuan uji I, II, III, IV, V dan VI. Dapat disimpulkanan bahwa pada
kelompok IV, VI, VII dan VIII tidak ada perbedaan dengan kelompok I (kontrol positif),
sedangkan kelompok III dan V memiliki perbedaan bermakna dengan kelompok I (kontrol
positif). Hal ini menunjukkan peranan ekstrak etanol konsentrasi 15% dan 25% memiliki
persentase penyembuhan luka lebih tinggi daripada kelompok kontrol positif (pembanding).
Begitu pula jika dibandingkan antara kelompok perlakuan ekstrak etanol dengan etil asetat,
dapat dikatakan bahwa kelompok esktrak etanol lebih baik dibandingkan dengan etil asetat
ditinjau dari persentase penyembuhan luka. Pada hasil uji ANOVA dua arah (two way)
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan bermakna setiap dua hari pengamatan luka sehingga
dapat disimpulkan bahwa hari ke-15 merupakan hari paling optimum dalam penyembuhan
luka tebuka.
Proses penyembuhan dibagi menjadi 3 fase yaitu fase inflamasi, fase poliferasi dan
fase maturasi (Syamsuhidayat, 2011). Pada fase inflamasi terjadi peningkatan aliran darah ke
daerah luka. Bersamaan dengan aliran darah, terjadi juga aliran fibrin untuk menutup
pembuluh darah yang luka dan melindungi adanya infeksi bakteri. Pada fase ini juga terjadi
pengerahan sel darah putih, monosit dan makrofag yang berfungsi untuk memfagositosit
mikroorganisme dan sisa sel-sel mati. Proses inflamasi pada penelitian ini mengakibatkan
luka sedikit bengkak dan kemerahan yang berlangsung kira-kira selama 1-3 hari, hal ini
sesuai dengan penelitian yang menyebutkan bahwa proses inflamasi berlangsung segera
setelah luka terjadi dan berakhir 3-4 hari (Syamsuhidayat, 2011). Proses inflamasi dari tiap
kelompok perlakuan menunjukkan ciri yang berbedabeda dimana kelompok normal dan
kontrol negatif tidak hanya menunjukkan kemerahan, panas, edema (bengkak) dan rasa sakit
namun juga ditemukan nanah yang disebabkan reaksi inflamasi akut terhadap bakteri
(piogenik) (Bratawidjaja, 2006). Hal tersebut dikarenakan kelompok normal dan kontrol
negatif tidak diberikan antiseptik maupun antibakteri, sedangkan pada kelompok kontrol
positif serta kelompok III sampai dengan VIII tidak menunjukkan ciri adanya nanah.
Fase berikutnya adalah fase proliferasi. Fase ini umumnya berlangsung pada hari ke-3
atau hari ke-4 sampai hari ke-21. Pada fase ini fibroblast membentuk kolagen dan jaringan
ikat, disini juga terjadi pembentukan kapiler baru yang dimulai saat terjadi peradangan
(Syamsuhidayat, 2011). Proses ini menandakan terjadinya kesembuhan yang dimulai dari
adanya pertumbuhan kapiler dan pertumbuhan jaringan granula yang dimulai dari dasar luka.
Luka akan berkembang menjadi scab (keropeng) yang terdiri dari plasma dan protein yang
bercampur dengan sel-sel mati. Tanda-tanda yang dapat diamati dengan jelas pada penelitian
ini adalah terjadinya warna merah dan adanya jaringan granulasi. Pada fase ini luka terlihat
seperti garis kuning yang menandakan sedang terjadi proses epitelisasi. Pada kelompok
kontrol positif (povidon iodine 10%), kelompok uji III, IV, V, VI, VII dan VIII menunjukkan
aktivitas dalam penyembuhan luka terbuka lebih cepat dibandingkan kelompok kontrol
negatif. Pada penelitian ini, kesembuhan luka untuk masing-masing kelompok perlakuan
ditandai dengan munculnya warna merah pada permukaan luka dimulai pada hari ke-4. Hal
ini menunjukkan adanya tanda penyembuhan yang baik karena proses angiogenesis
berlangsung dengan sempurna dan tidak ada infeksi mikroorganisme dan lainnya. Fase
selanjutnya adalah fase maturasi yang dimulai pada minggu ketiga dan berakhir sampai
kurang lebih 12 bulan. Fibroblast sudah mulai meninggalkan jaringan granulasi, warna
kemerahan pada luka mulai berkurang karena pembuluh mulai beregresi dan serat fibrin dari
kolagen bertambah banyak untuk memperkuat jaringan parut. Pada fase ini peran kolagen
sangatlah penting dimana bila produksi kolagen berlebih maka akan terjadi penebalan
jaringan parut dan sebaliknya bila berkurang maka akan terjadi penurunan kekuatan jaringan
parut dan luka akan selalu terbuka (Syamsuhidayat, 2011). Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa pemberian ekstrak etanol dan etil asetat daun sirih merah secara topikal pada luka
tikus dapat memperpendek fase inflamasi dan fase proliferasi seperti yang diuraikan di atas.
Kelompok perlakuan ekstrak etanol lebih baik dibandingkan dengan kelompok perlakuan etil
asetat terutama pada konsentrasi ekstrak etanol 15% dan 25% memiliki aktivitas lebih tinggi
dibandingkan dengan kelompok positif (pembanding). Hal ini mungkin disebabkan karena
kandungan yang terdapat dalam ekstrak etanol mengandung flavonoid, tannin, saponin,
alkaloid, steroid dan triterpenoid yang memiliki peranan dalam mempercepat penyembuhan
luka terbuka. Pada uji penapisan fitokimia ekstrak etil asetat daun sirih merah menunjukkan
adanya senyawa metabolit sekunder berupa alkaloid, steroid dan saponin.
Senyawa tanin juga berperan dalam proses penyembuhan luka karena tanin memiliki
sifat astrigen yang akan menyebabkan berkurangnya permeabilitas mukosa dan memperkuat
ikatan antar mukosa sehingga mikroorganisme dan zat kimia iritan tidak dapat masuk ke
dalam luka (Suprapto, 2012). Senyawa tanin juga mampu menghambat hipersekresi cairan
mukosa dan menetralisir protein inflamasi (Suprapto, 2012). Tanin memiliki afinitas terhadap
protein sehingga dapat terkonsentrasi pada area luka. Tanin juga memiliki aktivitas
hemostatik dengan mengubah protein tertentu yang larut menjadi tidak larut karena adanya
ikatan kimia yang berkembang di dalamnya, dimana kelompok phenolic hydroxyl mampu
bereaksi dengan hydrogen terikat kuat dengan atom protein yang mengikat peptide yang
dapat meningkatkan kekentalan darah dan menghambat pergerakan sel darah merah, hal
inilah yang memfasilitasi agregrat (Daugnon et al., 2012).

Jurnal 6
Obat-obatan botani seperti sanguisorbae, rhubarb, acaciae catechu dapat efektif dalam
pengobatan luka bakar termal. Eksperimen sebelumnya telah mengaitkan efektivitasnya
dengan tanin. Tanin, senyawa polifenol dari berbagai berat molekul, dapat ditemukan
berlimpah di alam dan memiliki kemampuan untuk mengendapkan protein. Dengan berat
molekul mulai dari 500 dan 4000 Da, bahan-bahan ini larut dalam air. Mereka merupakan
kelompok signifikan bahan-bahan sekunder tanaman. Dalam penelitian ini, berdasarkan
evaluasi potensi Terminalia chebula Fructus Retz., Kami menunjukkan bahwa ekstrak tanin
memiliki efek antimikroba dan aplikasi obat akan meningkatkan penyembuhan luka.
Ketika kami mengekstraksi dan memurnikan tanin, kami menggunakan air dan alkohol untuk
disolusi mengingat persyaratan produksi industri serta keamanan. Lebih lanjut menentukan
teknologi ekstraksi dan pemurnian (OEPT) ekstrak tanin yang optimal untuk memastikan
kandungan tanin yang tinggi.
Diketahui bahwa luka rentan terhadap infeksi bakteri, menyebabkan penyembuhan
luka yang lambat. Baru-baru ini, selain Staphylococcus aureus, bakteri yang resistan terhadap
obat, termasuk Klebsiella pneumonia telah ditemukan dalam luka karena penyalahgunaan
antibiotik. Penelitian kami menunjukkan bahwa ekstrak tanin jelas memiliki efek
penghambatan pada Klebsiella pneumonia dan Staphylococcus aureus. Dengan bantuan
mikroskop elektron, kami mengamati bahwa dinding sel bakteri hancur. Namun, kita perlu
menyelidiki lebih lanjut jika efek anti-bakteri berkorelasi dengan protoplasma pembekuan
mikroba atau beberapa enzim.
Selain itu, ekstrak tanin dari Terminalia chebula Fructus Retz. dapat meningkatkan
level imun-histokimia, transkripsi, dan translasi ekspresi VEGFA, meningkatkan jumlah
kapiler yang baru terbentuk pada fase inflamasi serta persentase kontraksi luka pada fase
pembentukan granulasi dan pembentukan bekas luka. Selain mempromosikan penyembuhan
luka, bila dibandingkan dengan salep eritromisin atau Vaseline, ekstrak tanin memiliki efek
angiogenik yang lebih kuat. Karena itu kami percaya bahwa ekstrak tanin meningkatkan
penyembuhan luka, mungkin melalui sifat angiogenik kuat yang terkait. Hasil kami
menunjukkan bahwa ekstrak tanin tidak mempengaruhi ekspresi VEGFA pada tahap
selanjutnya dari proses penyembuhan, sehingga menghasilkan percepatan kematangan luka.
Alasannya mungkin terkait dengan neovaskularitas, indikator jaringan granulasi yang belum
matang, berkurang secara bertahap dengan bertambahnya luka.
Studi terbaru menunjukkan bahwa luka yang terinfeksi biasanya memiliki sirkulasi
darah yang buruk. Karena itu, dengan konsentrasi darah yang efektif, antibiotik tidak dapat
mencapai lokasi luka. Dalam praktik klinis, aplikasi obat-obatan botani yang mengandung
tannin terkondensasi dapat memperoleh hasil yang memuaskan. Selain efek antibakteri
langsung, itu juga dapat mengurangi permeabilitas kapiler dalam luka dan mengurangi edema
dan eksudasi jaringan, sehingga pembentukan keropeng yang cepat. Akibatnya, secara efektif
dapat mencegah invasi mikroba asing, menghindari pembesaran dan pengembangan luka
yang terinfeksi. Kita perlu menyelidiki lebih lanjut apakah ekstrak tanin memiliki efek
langsung pada luka yang terinfeksi.
Meskipun kami awalnya mengeksplorasi mekanisme ekstrak tanin pada efek
antibakteri mempromosikan penyembuhan luka, sifat kimia, struktur, reaksi fisiologis, dan
efek patologis komponen tanin belum jelas. Tannin dapat memainkan aksi sinergis dengan
komposisi kimia lainnya. Tindakan ini dapat mengganggu faktor-faktor lain, sehingga
mengurangi efek obat botani. Kami menyadari bahwa studi lebih lanjut diperlukan untuk
mengungkap mekanismenya.
DAFTAR PUSTAKA

Handayani, F., Siswanto, E., Pangesti, L. A. T. 2015. Uji Aktivitas Ekstrak Etanol Gambir
(Uncaria Gambir Roxb.) terhadap Penyembuhan Luka Bakar pada Kulit Punggung
Mencit Putih Jantan (Mus Musculus). Jurnal Ilmiah Manuntung, 1(2), 133-139.

Kusumawardhani, A.D., Kalsum, Umi, Rini, I.S., 2015. Pengaruh Sediaan Salep Ekstrak
Daun Sirih (Piper betle Linn.) terhadap Jumlah Fibroblas Luka Bakar Derajat IIA
pada Tikus Putih (Rattus norvegicus) Galur Wistar. Malang : Fakultas Kedokteran
Universitas Brawijaya. Vol 2 No 1
Li, kun et al. 2011. Tannin extracts from immature fruits of Terminalia chebula Fructus Retz.
Promote cutaneous wound healing in rats. BMC complementary and Alternative
Medicine.

Mukhriani, Nonci, F.Y., Mumang. 2014. PENETAPAN KADAR TANIN TOTAL EKSTRAK
BIJI JINTAN HITAM (Nigella sativa) SECARA SPEKTROFOTOMETRI UV-VIS.
Makassar : J F FIK UINAM. Vol.2 No.4
Noer, Shafa., Pratiwi, Dewi R., Gresinta, Efri., 2017. Penetapan Kadar Senyawa Fitokimia
(Tanin, Saponin Dan Flavonoid Sebagai Kuersetin) Pada Ekstrak Daun Inggu (Ruta
angustifolia L.): Jakarta : Jurnal Ilmu-ilmu MIPA
Wardani, E., Rachmania, R. A. 2017. Uji Aktivitas Ekstrak Etanol dan Ekstrak Etil Asetat
Daun Sirih Merah (Piper cf. fragile. Benth) terhadap Penyembuhan Luka Terbuka
pada Tikus. Media Farmasi, Vol .14 No.1 Maret 2017: 43-60.

Anda mungkin juga menyukai