PENDAHULUAN
dapat menyerang berbagai organ tetapi yang sering mengenai paru dimana
Pada tahun 2014, diperkirakan terdapat 9,6 juta kasus TB baru: 5,4 juta di
antara laki-laki, 3,2 juta di antara wanita dan 1,0 juta di antara anak-anak.(Global
TB report 2015). Laporan dari World Health Organization (WHO) pada tahun
2015 menyebutkan terdapat 9,6 juta kasus TB paru di dunia dan 58% kasus terjadi
di daerah Asia Tenggara dan Afrika. Tiga negara dengan insidensi kasus terbanyak
tahun 2015 yaitu India (23%), Indonesia (10%), dan China (10%). Indonesia
sekarang berada pada ranking kedua negara dengan beban TB tertinggi di dunia.7
merupakan gangguan pernapasan yang relatif umum dan dapat terjadi dalam
berbagai penyakit dan pada individu dari segala usia.3 pneumotorakss ditandai
dengan dispnea dan nyeri dada yang berasal dari paru-paru maupun dinding dada
yang disebabkan oleh adanya udara pada rongga pleura yang diikuti pecahnya
timbul. pneumotorakss dapat dibagi menjadi spontan primer (PSP) dan sekunder
(5:1).6 Kasus PSP di Amerika 7,4/100.000 per tahun untuk laki-laki dan
6,3/100.000 untuk laki-laki dan 2/100.000 untuk perempuan.7 PSS yang paling
1
sering terjadi yaitu pada PPOK sedangkan penelitian oleh Myers melapor-kan
jenis pneumotorakss mendapatkan 218 pasien PSP, 505 PSS, 403 pneumotorakss
kanan lebih banyak ditemukan dibandingkan lesi kiri10 sedangkan pada penelitian
memerlukan penanganan cepat dan tepat. Pengenalan gejala & tanda dari
morbiditas dan mortalitas. Pentingnya masalah ini membuat penulis tertarik untuk
ngan adanya laporan kasus ini bisa menambah pengetahuan tentang pneumotoraks
BAB II
ILUSTRASI KASUS
2
Keluhan utama : sesak napas sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit
Riwayat penyakit sekarang:
sesak napas sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit . Sesak napas tidak
menciut dan dirasakan tiba- tiba setelah sebelumnya pasien mengalami
batuk- batuk keras. Riwayat sesak napas sebelumnya dirasakan sejak 1
bulan yang lalu, dirasakan terutama saat pasien beraktivitas. Karena
sesaknya pasien masuk ke IGD RSUD Solok selatan, dilakukan rontgen
torak dan dirujuk ke RSUP Dr. M.Djamil Padang untuk penatalaksanaan
selanjutnya.
Batuk dirasakan meningkat sejak 1 minggu yang lalu. Batuk berdahak
berwarna putih kekuningan, sukar dikeluarkan. Batuk batuk sudah
dirasakan sejak 3 bulan yang lalu, batuk bersifat hilang- timbul. Pasien
sebelumnya telah didiagnosis Tuberkulosis Paru (TB Paru) dan telah
diberikan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) kategori 1 sejak tanggal 11
Oktober 2018 berdasarkan pemeriksaan Bakteri Tahan Asam(BTA) dahak
dengan hasil 2+, obat OAT telah diminum selama 2 bulan 17 hari dan saat
ini tengah mengkonsumsi OAT fase lanjutan.
Batuk darah tidak ada, riwayat batuk darah tidak ada
Nyeri dada tidak ada
Demam dikeluhkan dalam 1 minggu ini bersifat hilang timbul, demam
dirasakan tidak tinggi dan tidak menggigil.
Keringat malam dirasakan 2 bulan lalu, tetapi saat ini keringat malam
tidak dikeluhkan lagi.
Nyeri ulu hati tidak ada
Penurunan nafsu makan sejak 1 bulan ini
Penurunan berat badan sejak 1 bulan ini, 5 kg
BAB dan BAK tidak ada keluhan
3
Riwayat Pekerjaan, Sosial Ekonomi dan Kebiasaan
Pasien seorang pedagang pakaian
Pasien tidak merokok
Pasien belum menikah
Riwayat sex bebas disangkal, riwayat minum alkohol disangkal, riwayat
narkoba disangkal
Pemeriksaan fisik
KU : tampak sakit sedang
Kesadaran : Komposmentis kooperatif
Tekanan darah: 110/70 mmHg
Nadi : 94x/menit
Nafas : 25x/ menit
Suhu : 36,8 0C
4
Hasil laboratorium:
Hb : 11.5 mg/dl Natrium : 140
Leukosit : 15.320 g/dl Kalium : 3,4
Trombosit : 641.000 mg/dl Clorida : 111
GDS : 75 mg/dl Albumin : 3.9
Ureum : 11 Globulin : 3.0
Kreatinine : 0,7 Bil. Total : 0.4
5
Analisa gas darah: dengan FiO2 = 0.35
pH : 7.32
pCO2 : 52
pO2 : 89
Base ekses : -2.3
HCO3- : 24
SO2 : 97%
Kesan : asidosis respiratorik
Gambar 1. Rontgen toraks
Terapi
Pemasangan Thorax Tube no 28 di LAM RIC V dextra
O2 3L/Menit via nasal kanul
IVFD NaCL 0,9% 12 jam/kolf
Drip aminofilin 10cc+40cc Nacl 0,9 % via syringe pump 4,2cc/jam
Inj.Metilprednisolon 2x125 mg (Tappering Off)
Injeksi Ceftriaxon 1x2gram
azitromisin tablet 1x 500 mg
OAT FDC 1X 3 tab
vit B6 1x 10 mg
Ipratropium bromida dan salbutamol 6x1 respul
Nebu asetilsistein 2x1 ampul
Follow up H-1
Subjektif : Sesak napas sudah berkurang
batuk berdahak ada sukar dikeluarkan,
Demam tidak ada
Objektif : tekanan darah 120/80 mmHg
Nadi 94 x/menit
Nafas 24 x/menit
Suhu 36.8
Paru : Auskultasi : Kanan : suara napas melemah
Kiri : suara nafas ekspirasi memanjang ,
wheezing + , ronki +
Planning :
o Terapi Oksigen dengan NRM 10L/i pada pukul 18.00- 06.00
o IVFD NaCL 0,9% 12 jam/kolf
o Drip aminofilin 10cc+40cc Nacl 0,9 % via syringe pump 4,2cc/jam
o Inj. Metilprednisolon 2x125 mg
o Injeksi Ceftriaxon 1x2gram
o Azitromisin tablet 1x 500 mg
o OAT FDC 1X 3 tab
o vit B6 1x 10 mg
o Nebu Ipratropium bromida dan salbutamol 6x1 respul
o Nebu asetilsistein 2x1 ampul
o Kirim kultur dan sensitivit kuman banal sputum
Follow up H-2
Follow up H-3
Subjektif : Sesak napas sudah berkurang
batuk berdahak ada sukar dikeluarkan,
Demam tidak ada
Objektif : tekanan darah 120/80 mmHg
Nadi 92 x/menit
Nafas 22 x/menit
Suhu 36.8
Paru : Auskultasi : Kanan : suara napas melemah sudah
terdengar di Apeks Paru
Kiri : suara nafas ekspirasi memanjang , , ro
nki + berkurang , wheezing -
Planning :
o Terapi Oksigen dengan NRM 10L/i pada pukul 18.00- 06.00
o IVFD NaCL 0,9% 12 jam/kolf
o Aminophilin tablet 3 x 150 mg
o Inj. Metilprednisolon 2x62,5 mg
o Injeksi Ceftriaxon 1x2gram
o Azitromisin tablet 1x 500 mg
o OAT FDC 1X 3 tab
o vit B6 1x 10 mg
o Nebu Ipratropium bromida dan salbutamol 6x1 respul
o Nebu asetilsistein 2x1 ampu
Follow up H-4
Subjektif : Sesak napas sudah berkurang
batuk berdahak ada sukar dikeluarkan,
Demam tidak ada
Objektif : tekanan darah 120/80 mmHg
Nadi 92 x/menit
Nafas 22 x/menit
Suhu 36.8
Paru : Auskultasi : Kanan : suara napas melemah sudah
terdengar di Apeks Paru
Kiri : suara nafas ekspirasi memanjang ,
, ronki + berkurang , wheezing -
Planning :
o Terapi Oksigen dengan NRM 10L/i pada pukul 18.00- 06.00
o IVFD NaCL 0,9% 12 jam/kolf
o Aminophilin tablet 3 x 150 mg
o Inj. Metilprednisolon 2x62,5 mg
o Injeksi Ceftriaxon 1x2gram
o Azitromisin tablet 1x 500 mg
o OAT FDC 1X 3 tab
o vit B6 1x 10 mg
o Nebu Ipratropium bromida dan salbutamol 6x1 respul
o Nebu asetilsistein 2x1 ampul
Follow up H-5
Subjektif : Sesak napas tidak ada
batuk berdahak sesekali,
Demam tidak ada
Objektif : tekanan darah 120/80 mmHg
Nadi 89 x/menit
Nafas 20 x/menit
Suhu 36.8
Paru : Auskultasi : Kanan : suara napas sama dengan yang
kiri dan sudah terdengar di Apeks Paru
Kiri : suara nafas ekspirasi memanjang , , ro
nki + berkurang , wheezing -
Telah dilakukan aspirasi pada selang torak tube, tetapi setelah aspirasi undulasi dan
bubble tidak ada, sehingga dinilai bahwa paru telah kembang
Laboratorium :
Hb : 11,5
Ht : 36
Leukosit : 5870
Trombosit : 445.000
Hitung jenis: 0/15/0/39/14/15.
Kesan : Leukosit dalam batas normal
Planning :
o Roentgen thorax
o IVFD NaCL 0,9% 12 jam/kolf
o Aminophilin tablet 3 x 150 mg
o Metilprednisolon tablet 2x8 mg
o Cefixim 2x 200 mg
o Azitromisin tablet 1x 500 mg
o OAT FDC 1X 3 tab
o vit B6 1x 10 mg
o Nebu Ipratropium bromida dan salbutamol 4 x1 respul
o Asetil sistein tablet 2x 200 mg
Follow up H-6
Subjektif : Sesak napas tidak ada
batuk berdahak sesekali,
Demam tidak ada
Objektif : tekanan darah 120/80 mmHg
Nadi 87 x/menit
Nafas 20 x/menit
Suhu 36.8
Paru : Auskultasi :
Suara napas bronkovesikuler ronki (-/-) wheezing (-/- ),Intensitas
suara napas kanan sama dengan yang kiri dan sudah terdengar di
Apeks Paru
Roentgen :
Berdasarkan rontgen torak di atas, kesan paru telah kembang, tidak tampak lagi
gambaran pneumotoraks sehingga torak tube di klemp selama 2x24 jam dan
dilakukan evaluasi pengembangan paru. Dilakukan evaluasi secara klinis terutama
adanya keluhan sesak napas yang muncul atau peningkatan keluhan sesak napas,
pemeriksaan fisik torak dan evaluasi torak tube dalam 2x 24 jam. Setelah 2x 24 jam
setelah evaluasi, kondisi pasien stabil atau tidak terdapat klinis dan tanda munculnya
pneumotoraks kembali, akan dilakukan rontgen torak ulang untuk konfirmasi akhir
sebelum torak tube di buka.
Planning :
o IVFD NaCL 0,9% 12 jam/kolf
o Aminophilin tablet 3 x 150 mg
o Metilprednisolon tablet 2x8 mg
o Cefixim 2x 200 mg
o Azitromisin tablet 1x 500 mg
o OAT FDC 1X 3 tab
o vit B6 1x 10 mg
o Nebu Ipratropium bromida dan salbutamol 3 x1 respul
o Asetil sistein tablet 2x 200 mg
Follow up H-7
Subjektif : Sesak napas tidak ada
batuk berdahak sesekali,
Demam tidak ada
Objektif : tekanan darah 120/80 mmHg
Nadi 86 x/menit
Nafas 20 x/menit
Suhu 36.8
Paru : Auskultasi :
Suara napas bronkovesikuler ronki (-/-) wheezing (-/- ),Intensitas
suara napas kanan sama dengan yang kiri dan sudah terdengar di
Apeks Paru
Roentgen :
Dilakukan rongten torak ulang setelah torak tube di klemp selama 2x 24 jam.
Berdasarkan rongten torak di atas tampak paru tetap kembang setelah dilakukan
klemp torak tube 2x 24 jam, sehingga torak tube dapat di lepas
Planning :
o Rencana Pulang
o Salbutamol tablet 3 x 2 mg
o Aminophilin tablet 3 x 150 mg
o Metilprednisolon tablet 2x8 mg
o Cefixim 2x 200 mg
o Azitromisin tablet 1x 500 mg
o OAT FDC 1X 3 tab
o vit B6 1x 10 mg
o Asetil sistein tablet 2x 200 mg
BAB III
DISKUSI DAN PEMBAHASAN
tubuh lainnya seperti kelenjer getah bening, tulang belakang, kulit, saluran kemih,
otak, usus, mata dan organ lain karena penyakit tuberkulosis merupakan penyakit
sistemik yaitu penyakit yang dapat menyerang seluruh bagian tubuh dan dapat
panjangnya 1-4 mikron x 0,3-0,6 mikron, tumbuh optimal pada suhu sekitar 37˚C
dengan pH optimal 6,4-7, dengan bentuk batang tipis, lurus atau agak bengkok, tidak
mempunyai selubung tetapi lapisan luar tebal yang terdiri dari lipoid.4,5
mampu tahan terhadap asam serta sangat tahan terhadap zat kimia dan faktor fisik.
Bakteri ini juga tahan dalam keadaan kering dan dingin, bersifat dorman dan aerob.
Bakteri ini mati pada pemanasan 100˚C selama 5-10 menit atau pada pemanasan
60˚C selama 30 menit. Bakteri ini tahan selama 1-2 jam di udara terutama di tempat
yang lembab dan gelap, namun tidak tahan terhadap sinar ultraviolet.4
Patogenesis
Sumber penularan adalah penderita TB paru BTA positif (+) yang dapat
kontak erat dengan penderita. Pada waktu batuk atau bersin penderita menyebarkan
kuman ke udara dalam bentuk droplet nuklei. Partikel yang mengandung kuman dapat
bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam, tergantung ada tidaknya
sinar matahari, ventilasi yang baik dan kelembapan.4 Bakteri TB masuk ke dalam
tubuh manusia melalui saluran pernapasan dan bisa menyebar ke bagian tubuh
lainnya melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe atau langsung ke organ
terdekatnya. Tidak semua kuman TB paru yang masuk ke dalam tubuh akan
bekerja dan kuman yang masuk tersebut akan dilumpuhkan. Namun jika kondisi
kesehatan sedang buruk maka daya tahan tubuh akan berkurang, sehingga
Infeksi primer terjadi pada seseorang yang terpapar pertama kali dengan
kuman TB. Infeksi ini dapat terjadi dalam paru dan organ lain seperti hidung, tonsil,
usus, kulit, kelenjar parotis, dan konjungtiva. Namun sebagian besar (95%) infeksi
primer terjadi di dalam paru. Hal ini disebabkan penularan basil TB sebagian besar
melalui udara, masuk melalui saluran pernapasan dan karena jaringan paru mudah
melalui pernapasan, kuman TB dapat menyebar dari paru ke bagian tubuh lainya
seperti bagian paru lain, selaput otak, otak, tulang, hati, ginjal, dan lain-lain melalui
TB paru primer adalah peradangan paru yang disebabkan oleh basil TB pada
tubuh penderita yang belum pernah mempunyai kekebalan spesifik terhadap basil
tersebut. Tiga ribu droplet nuklei akan dikeluarkan oleh pasien TB BTA positif yang
sedang batuk dan berbicara selama 5 menit. Droplet nuklei ini dapat terhirup oleh
orang-orang yang ada di sekitar penderita ini, sampai kejauhan sekitar 3 meter.
Kuman TB yang ada dalam droplet nuklei yang terhirup, dapat menembus sistem
mukosilier saluran napas sehingga dapat mencapai dan bersarang di bronkus dan
alveoli.169
umum yaitu melalui infiltrasi sel-sel radang ke jaringan tubuh yang mengandung basil
TB. Reaksi tubuh ini disebut reaksi non spesifik yang berlangsung kurang lebih 3-7
minggu. Pada tahap ini tubuh menunjukkan reaksi radang yakni kalor, rubor, tumor,
tetapi uji kulit dengan tuberkulin masih negatif. 16 Setelah reaksi radang non spesifik
dilampaui, reaksi tubuh memasuki tahap alergis yang berlangsung kurang lebih 3-7
minggu. Pada saat itu sudah terbentuk zat anti sehingga tubuh dapat menunjukkan
reaksi yang khas yaitu peradangan umum ditambah uji kulit dengan tuberkulin yang
tuberkulin dari negatif menjadi positif. Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung
kuman yang masuk dan besarnya respon daya tahan tubuh. Pada umumnya reaksi
Meskipun demikian ada beberapa kuman akan menetap sebagai kuman persisten.
paru.18
Tuberkulosis Paru Post Primer19
tuberkulosis, adult type tuberkulosis, phthysis dan lain-lain. Infeksi dapat berasal
dari :
a. Dari luar (eksogen): infeksi ulang pada tubuh yang pernah menderita TB.
b.Dari dalam (endogen): infeksi berasal dari basil yang sudah berada dalam tubuh,
merupakan proses lama yang pada mulanya tenang dan oleh suatu keadaan menjadi
aktif kembali.
Gambaran Klinis
Gambaran klinis TB paru dibagi atas 2 golongan yaitu gejala sistemik dan
gejala respiratorik.11
Gejala Sistemik
a. Demam
Biasanya timbul pada sore dan malam hari disertai dengan keringat mirip
dengan influenza yang segera mereda. Demam seperti ini dapat hilang timbul.
Demam dapat mencapai suhu tinggi yaitu 40˚C. b. Gejala sistemik lain adalah
Gejala Respiratorik5
a. Batuk
Gejala batuk timbul paling awal dan merupakan gangguan yang paling sering
dikeluhkan. Biasanya batuk bersifat ringan sehingga dianggap batuk biasa. Pada
penderita TB paru, batuk akan timbul ketika penyakit telah mengenai bronkus, dan
peradangan pada bronkus sehingga terjadi batuk yang produktif, batuk ini dapat
b. Batuk Darah
tuberkulosis atau initial symptom karena batuk darah merupakan tanda telah
terjadinya ekskavasi dan ulserasi dari pembuluh darah pada dinding kavitas.
Seringkali darah yang dibatukkan pada penyakit tuberkulosis bercampur dahak yang
mengandung basil tahan asam. Batuk darah juga dapat terjadi pada tuberkulosis yang
sudah sembuh, hal ini disebabkan karena adanya robekan jaringan paru. Pada keadaan
c. Sesak napas
Sesak napas pada tuberkulosis disebabkan oleh penyakit yang luas pada paru
paru. Penderita yang sesak napas sering mengalami demam dan berat badan menurun.
d. Nyeri dada
Gejala ini biasanya ditemukan pada penderita yang mempunyai keluhan batuk
kering (non produktif) dan nyeri ini akan timbul bila infiltrasi radang sampai ke
Tuberkulosis Paru5
positif.
a.1.2 Hasil dari pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan hasil BTA
aktif.
a.1.3 Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukan hasil BTA positif
a.2.1 Hasil pemerikasaan dahak 3 kali menunjukan BTA negatif, sedangkan gambaran
a.2.2 Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, dan biakan M.
tuberkulosis positif.
b. Berdasarkan riwayat pengobatan13
Kasus Baru adalah penderita yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah
b.2 Kasus Kambuh (Relaps) adalah penderita yang sebelumnya pernah mendapat
pengobatan OAT dan dinyatakan sembuh, kemudian kembali lagi berobat dengan
b.3 Lalai (Defaulted/Drop out) adalah penderita yang sudah mengalami pengobatan
kurang lebih 1 bulan, dan berturut-turut tidak mengambil obat 2 bulan atau lebih,
sebelum masa pengobatannya selesai kemudian datang lagi berobat. b.4 Gagal adalah
penderita BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada
b.5 Kronis adalah penderita dengan hasil pemeriksaan BTA positif setelah selesai
pengobatan ulang dengan pengobatan kategori dua dengan pengawasan yang baik.
Tuberkulosis ekstra paru adalah TB yang menyerang organ tubuh lain selain
paru misalnya pleura, kelenjer getah bening, selaput otak, tulang, ginjal dan lain-lain.
Komplikasi5
Beberapa komplikasi yang mungkin timbul pada penderita tuberkulosis paru adalah:
a. Efusi pleura
dalam rongga pleura. Efusi pleura dapat disebabkan kerena kondisi gangguan pada
reabsorbsi dan peningkatan produksi cairan pleura (akibat infeksi pada pleura). Pada
tuberkulosis20
Hemoptisis adalah darah yang keluar dari mulut saat batuk. Darah yang
dikeluarkan pada penderita tuberkulosis paru dapat berupa garis atau bercak-bercak
darah, gumpalan-gumpalan darah atau darah segar dalam jumlah yang banyak. Batuk
darah pada tuberkulosis paru merupakan tanda telah terjadinya ekskavasi dan ulserasi
b. Bronkiektaksis
Bronkiektaksis merupakan dilatasi bronchus dan bronkhiolus kronis
permanen. Bronkietaksis sering kali ditunjukkan oleh tanda klinis infeksi yang kronis
atau berulang pada jalan napas yang melebar dan adanya sekret yang menumpuk pada
jalan napas. Pada penderita tuberkulosis paru, bronkiektaksis ditandai dengan gejala
c. Empiema
Awalnya, cairan pleura adalah cairan encer dengan jumlah leukosit rendah, tetapi
sering berlanjut menjadi stadium fibropurulen dan akhirnya sampai pada keadaan
dimana paru-paru tertutup oleh membran eksudat yang kental. Hal ini terjadi jika
d. Gagal napas
komplikasi dari penyakit paru obstruktif kronis dan trauma dada, dapat menyebabkan
gagal nafas. Kondisi ini merupakan suatu keadaan yang mengancam keselamatan
jiwa karena suplai oksigen yang tidak cukup atau terlalu banyak kandungan
e. pneumotorakss
pneumotorakss adalah suatu kondisi medis yang ditandai dengan
mengempisnya paru akibat bocornya udara ke ruangan antara dua lapisan pleura
(rongga pleura). Pleura adalah kantung yang terdiri dari dua lapisan yang meliputi
paru-paru dan memisahkannya dari dinding dada. Sejumlah kecil cairan di dalam
rongga pleura mengurangi gesekan dan memfasilitasi gerakan pernafasan. Cairan ini
negatif. Pada pneumotorakss, adanya udara antara dua lapisan pleura meningkatkan
tekanan pada rongga dada dan menyebabkan paru-paru yang elastis tertekan,
menyebabkan paru mengempis. Oleh karena itu, paru-paru tidak lagi dapat
tajam yang tiba-tiba ketika paru-paru mengempis, diikuti dengan kesulitan bernafas
sekunder (tabel 1). pneumotorakss spontan primer terjadi pada orang yang sehat tanpa
Tekanan pada rongga ini negatif terhadap tekanan atmosfer. Apabila udara dapat
masuk ke dalam rongga pleura maka rongga pleura akan kehilangan tekanan
negatifnya sehingga mendesak paru menjauh dari dinding dada sampai tercapai
tekanan yang sama antara tekanan di rongga pleura dengan tekanan atmosfer atau
sampai terjadi penutupan kebocoran. Apabila udara yang masuk ke rongga pleura saat
inspirasi dan saat ekspirasi tidak dapat keluar oleh karena mekanisme seperti katup
ventil sehingga tekanan rongga pleura lebih tinggi dari atmosfer dan akan menekan
diagnostik untuk penyakit paru. Kemampuan Computed Tomography scan (CT scan)
secara tepat anatomis paru normal atau abnormal. Penyempurnaan tehnik dan
teknologi CT scan menjadi HRCT diperkenalkan oleh Todo dkk dikutip dari 6 tahun 1982
udara dari rongga pleura dan mengurangi kemungkinan kekambuhan. 5,6 Diantara
pneumotoraks
Spontan Traumatik
Kecelakaan Buatan
yang sehat tidak memiliki riwayat penyakit paru sebelumya. pneumotorakss spontan
primer terutama pada usia dewasa muda dan sangat jarang terjadi pada anak. Rentang
usia antara 15-34 tahun paling sering terjadi pada usia dekade ketiga dan jarang
terjadi pada usia di atas 40 tahun. 1,9,10 pneumotorakS spontan primer lebih sering
18–28 per 100.000 laki–laki pertahun dan 2–6 per 100.000 perempuan pertahun.
Studi survey di masyarakat Swedia yang melibatkan 2414 pasien menunjukkan rasio
primer 7,4 per 100.000 laki–laki pertahun dan 1,2 per 100.000 perempuan pertahun.
Frekuensi kejadian pneumotorakss spontan primer pada paru kanan dan paru kiri
kongenital seperti sindrom Marfan, defisiensi enzim alfa 1-antitripsin atau beberapa
Patogenesis
disebabkan oleh tuberkulosis paru yang kemudian disadari bahwa banyak kasus
dikutip
pneumotorakss yang terjadi tanpa penyakit paru yang mendasarinya. Kjaergaard
dari 1
melakukan pengamatan pada 51 kasus pneumotorakss spontan tanpa penyakit
primer.1 Mekanisme terjadinya pneumotorakss spontan primer oleh karena ruptur bleb
yang terletak pada parenkim paru yang berhubungan dengan pleura viseral. Bleb
dapat terjadi oleh karena defek kongenital dari jaringan penyangga alveolus subpleura
hubungan antara bleb dengan rongga alveoli. Pada pasien pneumotorakss spontan
primer yang dilakukan pembedahan lebih dari 90 persen ditemukan bleb sering
ditemukan lebih dari satu dan lebih banyak terletak di apeks paru bahkan sering
Dahulu dipercaya bahwa inflamasi saluran napas distal dan obstruksi yang
disebabkan faktor internal dan eksternal kemudian menghasilkan bula yang kecil
(bleb) serta tidak menimbulkan gejala. Bleb ini sering ditemukan di apeks paru. Studi
yang dilakukan oleh Noppen dkk mengemukakan konsep tentang pleural porosity.10
Pada awalnya mereka mengamati sebuah kasus pada pasien yang diinhalasi dengan
menemukan bahwa terdapat area yang terlihat normal dengan lampu putih kemudian
pada pleura viseral. Mekanisme terjadinya pleural porosity adalah sel mesotel
digantikan oleh lapisan elastofibrotik sel – sel inflamasi yang meningkatkan pleural
porosity.1,11,12
primer oleh karena gradien tekanan pleura pada apeks paru lebih tinggi dari paru
bagian bawah disebabkan oleh gravitasi. Hal ini dapat diilustrasikan seperti sebuah
per, bagian atas per akan lebih teregang dibandingkan bagian bawah per (gambar 1).
Alveoli pada apeks paru pada orang yang lebih tinggi lebih terdistensi dibandingkan
orang yang lebih pendek, hal ini menyebabkan bleb subpleura mudah terjadi pada
orang yang lebih tinggi. Selain stres mekanis tersebut, apeks paru relatif iskemia
sehingga memudahkan terjadinya infeksi. Bleb lebih mudah terjadi karena inflamasi
yang terjadi pada zona maksimal stres.1,4 Studi pada penerimaan militer dengan
dikutip dari 4
pneumotorakss yang dilakukan oleh Withers dkk menemukan bahwa orang
Hasil yang sama juga ditunjukkan pada studi di Inggris menunjukkan hasil yang
pneumotorakss lebih panjang dan lebih kurus dibandingkan dengan kontrol. Studi di
pneumotorakss spontan primer dan merupakan salah satu faktor predisposisi. Studi
yang dilakukan di swedia menemukan hubungan bermakna antara jumlah rokok dan
terjadinya pneumotorakss 22 kali pada laki–laki dan 9 kali pada perempuan.1,2,13 Suatu
primer di masyarakat dalam waktu 1-2 tahun. Bronkiolitis ditemukan pada 70 dari 79
bleb subpleura. Bleb kemungkinan timbul oleh karena akibat terjadinya inflamasi
timbul dalam beberapa hari ketika terjadi perubahan tekanan atmosfer. Diasumsikan
bahwa udara pada bleb di apeks paru tidak berhubungan bebas dengan saluran napas
meningkat dan terjadi ruptur bleb. Akan tetapi dua studi yang lain menemukan tidak
terdapat hubungan bermakna antara perubahan atmosfer dan terjadinya
pneumotorakss spontan.4 Pada satu studi terdapat hubungan antara badai dan guntur
Hal ini dikemukakan pada studi yang dilakukan di angkatan bersenjata Israel 11,5%
dari 208 pasien dengan pneumotorakss spontan primer memiliki hubungan keluarga.
spontan primer herediter dengan pola autosomal dominan X link resesif. Laporan lain
halotype A2 , B40, akan tetapi penelitian lain tidak dapat menemukan hubungan antara
pneumotorakss, tumor jinak kulit dan sindrom tumor ginjal ditandai dengan mutasi
gen Foliculin (FLCN) dan merupakan autosomal dominan gen ini terletak pada
pneumotorakss dengan mutasi FLCN akan tetapi tidak terdapat tumor jinak kulit dan
tumor ginjal.,15
Manifestasi klinis
dan sangat jarang terjadi pada usia diatas 40 tahun. Gejala klinis yang sering
ditemukan adalah nyeri dada dan sesak. Nyeri dada terutama terlokalisir pada dada
yang terdapat pneumotorakss. Nyeri terutama bila pasien menarik napas dan berubah
posisi. Gejala pada pneumotorakss spontan primer terkadang ringan bahkan tak
bergejala dan datang mencari pertolongan beberapa hari setelah gejala.1 Makin lama
ketika gejala yang berat disertai dengan gangguan kardiovaskular yang berat harus
menyebabkan terjadinya sindrom horner yang disebabkan karena traksi pada ganglion
Diagnosis
pneumotorakss spontan primer ditegakkan dari foto toraks tegak posteroanterior. Dari
foto toraks dapat terlihat garis pleura dengan atau tanpa terdapatnya air fluid level
akan tetapi terkadang sulit untuk dideteksi terutama pada pneumotorakss yang
minimal, emfisema atau foto toraks yang terlalu keras. Selain itu pneumotorakss juga
dapat ditegakkan dengan menggunakan ultrasound.4 Computed tomography (CT
scan) dada dapat digunakan untuk mendeteksi pasien dengan pneumotorakss yang
minimal (<15%) akan tetapi CT scan dada tidak dianjurkan untuk digunakan secara
rutin pada semua kasus pneumotorakss spontan primer karena tidak ada hubungan
spontan primer.2
collins, metode Rhea, British Thoracic Society (BTS) dan American College of
-
Metode Light indeks dengan rumus : % pneumotorakss = 100 (1 –
-
Metode Rhea menggunakan tabel normogram yang menghubungkan
-
Metode Collins menggunakan rumus : % pneumotorakss = 4,2 + (4,7 –
(jarak apeks paru yang kolaps dengan apeks dinding dada + setengah jarak
antara bagian tengah paru kolaps dengan dinding dada + setengah jarak
pneumotorakss minimal bila < 1 cm, sedang 1-2 cm dan besar >2 cm. 2
besar.16
sampai 50% dengan rerata 25%. Kekambuhan biasanya terjadi dalam waktu 1-2
kedua pneumotorakss dan 83 persen setelah episode ketiga. Tidak ada predileksi
lokasi hemitoraks kiri atau kanan pada pneumotorakss pertama. Lebih dari 75 %
kekambuhan lebih banyak terjadi pada lokasi pneumotorakss yang sama. Walaupun
hanya 5-10 %. Kematian sangat jarang terjadi pada pneumotorakss spontan primer.
Angka yang dilaporkan adalah 0,09 % pada laki–laki dan 0,06 % pada perempuan.1
menggambarkan morfologi paru terutama pada diffuse lung disease yang terlihat
normal pada foto toraks. High resolution CT menggambarkan kontur dan morfologi
paru dengan lebih jelas dibandingkan dengan CT scan biasa. Pada kasus
pneumotorakss spontan primer HRCT dapat mendeteksi bleb atau bula subpleura
paparan rendah untuk pasien muda dan memerlukan serial HRCT untuk evaluasi.5
American College of Chest Physicians guidelines tidak merekomendasikan
penggunaan CT scan secara rutin pada pasien dengan pneumotorakss spontan primer
episode pertama dan tidak ada peran yang jelas dari CT scan pada pasien dengan
primer dan menyatakan bahwa CT scan adalah baku emas untuk diagnosis
pneumotorakss spontan primer untuk melihat terdapatnya bula atau bleb dengan
terdapat hubungan bermakna antara terdapatnya bula atau bleb (gambar 3) dengan
oleh Huang dan Sihoe menunjukkan pentingnya penggunaan HRCT pada pasien
rekurensi. Tetapi pada penelitian terakhir yang dilakukan oleh Ouanes-Berbes 19 pada
dapat terjadi oleh karena terdapat perbedaan protokol HRCT dan follow up dari
HRCT dengan lebih sensitif, jumlah sampel yang lebih banyak dan waktu follow up
yang lebih lama. Jika CT scan dapat memprediksi kemungkinan terjadinya rekurensi
primer pada individu dengan risiko tinggi seperti penerbang atau penyelam.4
A B
Gambar 3 Gambaran bleb pada apex paru kanan (A) dan gambaran bula pada
yaitu pecahnya bleb atau bula subpleura dan terdapatnya pleural porosity.1,4 Insidens
terjadinya kebocoran udara pada pecahnya bleb atau bula berkisar antara 3,6-73 %
dan insidens rekurensi pada pasien pneumotorakss spontan primer yang dilakukan
reseksi bula atau bleb sekitar 20%. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat penyebab
pada 2 hal yaitu pengeluaran udara dari rongga pleura dan mencegah rekurensi.
awal pneumotorakss spontan primer ACCP menyatakan tindakan aspirasi tidak sesuai
untuk penatalaksanaan pneumotorakss spontan primer yang luas akan tetapi BTS
menggunakan selang dada memiliki angka rekurensi sebesar 8-25%. Penelitian yang
primer pertama kali dengan menggunakan metode VATS lebih efektif secara biaya
dibandingkan dengan drainase. Demikian juga penelitian yang dilakukan oleh
Schramel dkk.21 mengemukakan bahwa VATS lebih efektif dalam hal biaya
spontan primer pertama kali maupun rekurens. American College of Chest Physician
(2)
BAB IV
KESIMPULAN
sekunder
4. Pengenalan gejala & tanda dari pneumotoraks sangat penting karena dengan
mortalitas.
DAFTAR PUSTAKA
1. Light RW ed. Pleural Diseases, 5th ed. Philadelphia:Lippincott Williams &
Wilkins; 2007.
5. Bauman MH, Strange C, Heffner JE, Light R, Kirby TJ, Kien J, et al. Management
of Spontaneous Pneumothorax: an American College of Chest Phycians Delphi
Consensus Statement. 2001; 119:590-602. Diakses dari:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/. 14 Agustus 2016.
12. Sahn SA, Heffner JE, Spontaneous Pneumothorax. The new England Journal of
Medicine;2000:868-74.
27
14. Graham RB, Nolasco M, Peterlin B, Garcia CK, Nonsense Mutations in Folliculin
Presenting as Isolated Familial Spontaneous Pneumothorax in Adults. American
Journal of Respiratory and Critical care Medicine. 2005; 172(1): 39-44.
15. Cheng YL, Huang TW, Lin CK, Lee SC, Tzao C, Chen JC, Chang H. The Impact
of Smoking in Primary Spontaneous Pneumothorax. Journal Thorac Cardiovascular
Surgery. 2009; 138(1):192-5.
19. Light RW. Mechanics of Respiration. In: George RB, Light RW, Matthay MA, et
al., eds. Chest Medicine: Essentials of Pulmonary and Critical Care medicine, 5th ed.
Philadelphia: Lippincott Williamms & Wilkins. 2005; 24-38.
20. Light RW ed. Pleural Diseases, 5th ed. Ch. 2, Physiology of the pleural space.
Tennessee: Lippincott Williams & Wilkins; 2007. p. 8–16.
23. Guyton AC, Hall JE, eds. Textbook of Medical Physiology, 11th ed. Ch. 37,
Pulmonary Ventilation. Philadelphia: WB Saunders Co.; 2006. p. 471–82.
28
24. Wang NS. Anatomy and physiology of the pleural space. Clin Chest Med.
1985;6(1):3-16.
25. Wang NS. Anatomy of the pleura. Clin Chest Med. 1998;19(2):229-40.
27. Moore KL, Dalley AF, Agur AMR eds. Clinically Oriented Anatomy, 6th ed. Ch.
1, Thorax. Baltimore: Lippincott Williams & Wilkins; 2010. p. 72-180.
28. Neas JF. Respiratory system – embryological development. In: Martini FH,
Tallitsch RB, Timmons MJ, eds. Human Anatomy, 6th ed. San Fransisco: Benjamin-
Cummings Pub. Co.; 2008. p. 638-56.
29. Zocchi L. Physiology and pathophysiology of pleural fluid turnover. Eur Respir J.
2002;20:1545-58.
31. Lai-Fook SJ. Pleural mechanics and fluid exchange. Physiol Rev. 2004:84;385-
410.
32. Amjadi K, Alvarez GG, Vanderhelst E, et al. The prevalence of blebs and bullae
among young healthy adults: a thoracoscopic evaluation. Chest 2007; 132: 1140-5.
37. Hatz RA, Kaps MF, Meimerakis G, et al. Long-term results after video-assisted
thoracoscopic surgery for first-time and recurrent spontaneous pneumothorax. Ann
Thorac Surg 2000; 70: 253-7.
39. Morrison PJ, Lowry RC, Nevin NC. Familial primary spontaneous pneumothorax
consistent with true autosomal dominant inheritance. Thorax 1998; 53: 151-2.
40. Bense L, Eklund G, Wiman LG. Bilateral bronchial anomaly. A pathogenetic
factor in spontaneous pneumothorax. Am Rev Respir Dis 1992; 146: 513-6.