Anda di halaman 1dari 3

Artikel

Sejarah disyariatkan Wudhu

Kita, umat muslim di Indonesia khususnya, sudah memiliki cara pandang kalau wudhu dan
salat adalah dua hal yang tidak terpisahkan. Dalam penjelasan fikih, wudhu dikenal sebagai
syarat sah salat. Dengan kata lain, salat kita tidak bisa disebut sah jika tidak melaksanakan
wudhu.

Yang juga umum diketahui, adalah kapan perintah salat pertama kali diturunkan. Biasanya, di
setiap acara memperingati peristiwa Isra’ Miraj, para da’i biasanya akan bercerita bahwa
pada peristiwa ini Rasulullah Saw. diberikan perintah salat. Salat pada awalnya diperintahkan
sebanyak 50 waktu. Lalu atas “masukan” Nabi Musa As. kepada Nabi Muhammad Saw.,
diturunkan sampai hanya 5 waktu saja.

Tapi, jarang yang bertanya kapan pertama kali disyariatkannya wudhu ? apakah ia
diperintahkan bersama dengan salat, atau terpisah, atau sesudahnya, atau sebelumnya?

Di beberapa kitab fikih, seperti Fath al-Mu’in, tidak disebutkan kapan wudhu disebutkan,
disana hanya disebutkan kalau shalat disyariatkan sebelum hijrah ke Madinah, pada tahun ke-
10 kenabian Muhammad Saw. Dalam pendapat yang sama di kitab fikih Syafi’iyyah lain,
seperti Hasyiyah Qalyubi ‘ala al-Mahalli. Imam Qalyubi, penulis kitab juga memberikan
sejumlah pendapat lain. Menurutnya, ada yang berpendapat kalau wudhu baru disyariatkan
pada tahun ke-16 kenabian. Namun, menarik karena al-Qalyubi juga menghadirkan pendapat
yang menyatakan kalau syariat wudhu adalah syariat umat-umat sebelumnya.

Penjelasan yang ber-genre sejarah seputar ibadah salat dapat ditemukan dalam sebuah buku
setebal 94 halaman berjudul Tarikh al-Shalat karya Dr. Jawwad Ali. Sebagai seorang
sejarawan, ia mengelaborasi sejarah syariat wudhu, dengan memulai penjelasan lewat tradisi
Islam. Hadis pun dipilih sebagai penyokong penjelasannya yang pertama. Riwayat al-Baihaqi
dalam al-Dalail al-Nubuwwah menyebutkan bahwa berwudhu disyariatkan bersamaan
dengan pengajaran shalat oleh malaikat Jibril kepada Nabi Saw.

‫أتى السالم عليه جبريل أن ثم قال به جاء بما وصدق ورسوله باهلل آمن من أول خديجة وكانت قال إسحاق بن محمد عن‬
‫ومحمد جبريل فتوضأ مزن ماء من عين له فانفجرت الوادي ناحية في بعقبه له فهمز الصالة عليه افترضت حين هللا رسول‬
‫فأخذ هللا من يحب ما وجاءه نفسه وطابت عينه هللا أقر قد النبي رجع ثم سجدات أربع وسجدا ركعتين صليا ثم السالم عليهما‬
‫وخديجة هو كان ثم وخديجة هو سجدات وأربع ركعتين ركع ثم جبريل توضأ كما فتوضأ العين بها أتى حتى خديجة بيد‬
‫سرا يصليان‬

“Dari Muhammad ibn Ishaq berkata: bahwa Khadijah adalah orang pertama yang
beriman kepada Allah Swt. dan rasulnya dan meyakini kebenaran ajarannya. Kemudian, Jibril
alaihi-s-salam mendatangi Rasulullah Saw. ketika sudah (diturunkan perintah) diwajibkan
shalat. Lalu, Malaikat Jibril menekan tumitnya disalah satu sisi lembah, lalu memanucurlah
mata air dingin dan digunakan oleh malaikat Jibril dan Nabi Muhammad Saw. berwudhu,
kemudian mereka berdua shalat dua rakaat dan empat sujud. Setelahnya, Rasulullah Saw.
pulang dan mata airnya itu dijadikan oleh Allah tetap memancur, senanglah perasaan
Rasulullah dan kembali kemata air itu bersama Khadijah untuk melakukan shalat. Keduanya
berwudhu seperti yang dilakukan Jibril, kemudia shalat dua rakaat dan empat sujud secara
sembunyi-sembunyi.” (HR. Al-Baihaqi dalam Dalail al-Nubuwwah)

Dari hadis ini pula, dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan pendapat dikalangan pakar
sejarah mengenai tahun terjadinya Isra’ Mi’raj dan wafatnya Khadijah. Ibn Ishaq, seperti
yang kemudian dikutip Ibn Hisyam menyatakan bahwa Khadijah baru wafat setelah peristiwa
Isra’ Mi’raj. Sehingga, wudhu pun sudah diketahui oleh Khadijah dan beberapa umat muslim
lain sebelum hijrah ke Madinah.

Bagaimana Soal Ayat “Idza qumtum ila-s-shalaati fa-ghsiluu wujuuhakum…” ?

Sementara, yang berpendapat kalau baru disyariatkan di Madinah, berpegang kepada asbab
al-nuzul ayat 5 dari surah al-Maidah ini. Tahir ibn ‘Ashur, mufasir asal Tunisia memaparkan
bahwa melihat surah al-Maidah adalah diantara surat yang turun paling akhir, maka ayat ini
tidak menunjukkan kalau wudhu baru disyariatkan, justru wudhu sudah diajarkan bersamaan
dengan shalat, berdasarkan hadis riwayat al-Baihaqi tadi. Sementara kedudukan ayat ini,
adalah paparan tentang diantara nikmat-nikmat Allah Swt. yang diberikan kepada umat
manusia yang bertakwa.

Demikan pendapat Ibn ‘Ashur dalam tafsirnya. Atau, seperti yang disampaikan Ibn Hazm
dalam karyanya dibidang sejarah, al-Sirah al-Halbiyah seperti dikutip Jawwad Ali, bahwa
perintah wudhu sifatnya adalah makiyyun fi al-fardh, wa madaniyyun fi al-tilaawah
(diwajibkan di Mekkah, namun diturunkan nash Qurannya di Madinah), Wallahu A’lam.
Kesimpulan :

Di beberapa kitab fikih, seperti Fath al-Mu’in, tidak disebutkan kapan wudhu disebutkan,
disana hanya disebutkan kalau shalat disyariatkan sebelum hijrah ke Madinah, pada tahun ke-
10 kenabian Muhammad Saw.

Dalam pendapat yang sama di kitab fikih Syafi’iyyah lain, seperti Hasyiyah Qalyubi ‘ala al-
Mahalli. Imam Qalyubi, penulis kitab juga memberikan sejumlah pendapat lain. Menurutnya,
ada yang berpendapat kalau wudhu baru disyariatkan pada tahun ke-16 kenabian.

Namun, menarik karena al-Qalyubi juga menghadirkan pendapat yang menyatakan kalau
syariat wudhu adalah syariat umat-umat sebelumnya.

Dari hadis HR. Al-Baihaqi dalam Dalail al-Nubuwwah, dapat disimpulkan bahwa ada
perbedaan pendapat dikalangan pakar sejarah mengenai tahun terjadinya Isra’ Mi’raj dan
wafatnya Khadijah. Ibn Ishaq, seperti yang kemudian dikutip Ibn Hisyam menyatakan bahwa
Khadijah baru wafat setelah peristiwa Isra’ Mi’raj. Sehingga, wudhu pun sudah diketahui
oleh Khadijah dan beberapa umat muslim lain sebelum hijrah ke Madinah.

Anda mungkin juga menyukai