Anda di halaman 1dari 32

KANDUNGAN MAKROALGA

MAKALAH
Untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Fikologi
Yang diampu oleh Dr. Murni Sapta Sari. M, Si.

Oleh :
Kelompok 2
Anna Iriansyah 170342615532
Balqis Hanun Hanifah 170342615566
Endah Retno Atdha Sari 170342615502
Mega Berliana 170342615550
Mita Berliana 170342615544
M. Herbert Hidayat 170342615576

UNIVERSITAS NEGERI
MALANG
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN
ALAM
BAB I

PENDAHULUA
N

Latar Belakang

Makroalga merupakan tumbuhan makrofitbentik (besar dan melekat pada


substrat di lautan). Makroalga tidak mempunyai akar, batang, dan daun. Seluruh tubuh
alga hanya terdiri dari thallus. Substansi dari makroalga sangat beranekaragam ada
yang lunak,keras mengandung kapur dan berserabut. Secara taksonomi, rumput
laut dikelompokkan ke dalam divisio Thallophyta. Berdasarkan kandungan
pigmennya, rumput laut dikelompokkan menjadi empat kelas : Rhodophyceae,
Phaeophyceae, Chlorophyceae, Cyanophyceae.
Menurut Trainor (1978), rumput laut merupakan kumpulan tumbuhan tidak
bervaskular serta mempunyai pigmen klorofil a untuk menjalankan proses
fotosintesis. Rumput laut mempunyai struktur vegetatif yang berbeda daripada
tumbuhan tingkat tinggi. Struktur vegetatif rumput laut tidak dapat dibedakan antara
daun, batang dan akar. Struktur yang tidak dapat dibedakan ini dikenali sebagai
thallus. Thallus dibedakan menjadi dua bentuk umum yaitu filamen dan sifon. Kedua
bentuk talus ini akan bervariasi yang akan menghasilkan bentuk talus yang lebih
kompleks. Ini termasuk juga filamen ringkas hingga kepada bentuk yang lebih besar
yang dapat dibedakan antara kepada pelekap, stip dan lamina.
Habitat rumput laut adalah di sekitar pantai, di perairan laut serta di dalam
laut, termasuk juga kawasan yang berpasir, berbatu karang, berlumpur dan juga
terdapat pada kulit kerang, pada kayu, pukat serta tumbuh atas rumputi laut lain
sebagai epifit (Trainor, 1978).
Potensi rumput laut di Indonesia ikut andil dalam peningkatan pendapatan
masyarakat pesisir antara lain Riau, Sumatera, Jawa, Bali, Nusa
Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi dan Maluku meskipun masih
dalam skala kecil. Kebutuhan rumput laut dari tahun ke tahun selalu meningkat.
Peningkatan ini terjadi karena adanya permintaan pasar dalam dan luar negeri.
Eucheuma sp dan Hypnea sp menghasilkan metabolit primer senyawa
hidrokoloid yang disebut karaginan (carrageenan). Gracilaria sp dan Gelidium sp
menghasilkan metabolit primer senyawa hidrokoloid yang disebut agar. Sementara
Sargassum sp yang menghasilkan metabolit primer senyawa hidrokoloid yang disebut
alginat. Rumput laut yang menghasilkan karaginan disebut pula Carraginophyte
(karaginofit), penghasil agar disebut Agarophyte (agarofit), dan penghasil alginat
disebut alginophyte (alginofit).
Rumusan Masalah
1. Bagaimana karakteristik dari masing-masing kelas makroalga?
2. Apa saja kandungan dalam makroalga?
3. Bagaimana potensi makroalga sebagai biodiesel?
Tujuan
1. Mengetahui karakteristik dari masing-masing kelas makroalga
2. Mengetahui kandungan yang terdapat di dalam makroalga
3. Mengetahui potensi makroalga sebagai biodiesel
BAB II
ISI
Makroalga (karakteristik, pigmen, zat penyusun dinding sel, habitat)
Salah satu potensi biota laut perairan Indonesia adalah makroalga. Makroalga
;aut tidak memiliki akar, batang dan daun sejati yang disebut talus, dan oleh karenanya
dikelompokkan dalah Divisi Thallophyta. Terdapat empat kelas besar dalam divisi ini
yaitu Chlorophyceae (alga hijau), Phaeophyceae (alga coklat), Rhodophyta (alga
merah), dan Cyanophyceae (alga biru-hijau) (Schaduw et al, 2013).
1. Alga hijau (Chlorophyta)
Alga ini merupakan kelompok terbesar dari vegetasi alga. Alga hijau
(Chlorophyceae) termasuk dalam divisi Chlorophyta. Perbedaan dengan divisi
lainnya karena memiliki warna hijau yang jelas seperti tumbuhan tingkat
tinggi karena mengandung pigmen klorofil a dan b, karoten, xantofil,
violasantin dan lutein. Pada kloroplas terdapat pirenoid, hasil asimilasi berupa
tepung dan lemak. Hasil asimilasi beberapa amilum, penyusunnya sama
seperti pada tumbuhan tingkat tinggi yaitu amilase dan amilopektin. Beberapa
xantofil jumlahnya melimpah ketika organisme tersebut masih muda dan
sehat, xantofil lain akan tampak dengan bertambahnya umur. Pigmen akan
selalu
berada dalam plastid yang disebut dengan kloroplas. Dinding sel lapisan luar
terbentuk dari bahan pektin sedangkan lapisan dalam dari selulosa. Alga hijau
tumbuh di laut di sepanjang perairan yang dangkal. Pada umumnya melekat
pada bagian dan seringkali muncul apabila air menjadi surut (Tjitrosoepomo,
1994).
Chlorophyceae terdiri atas sel-sel kecil yang merupakan koloni
berbentuk benang yang bercabang-cabang atau tidak, adapula yang
membentuk koloni yang menyerupai kormus tumbuhan tingkat tinggi. Sel
terdiri dari dinding sel yang tersusun dari komponen selulosa. Amilum dari
Chlorophyceae tersusun sebagai rantai glukosa tak bercabang yaitu amilase
dan rantai yang bercabang amilopektin. Amilum terbentuk dalam granula
bersama dengan protein dalam plastid yang disebut pirenoid (Sulistyowati,
2003).
 Boergesenia forbesii

Gambar 1. Boergesenia forbesii (Kurniawan, 2017)


Talus membentuk kantong silindris berisi cairan,
permukaan halus, licin, warna hijau tua atau hijau muda
kekuningan. Ukuran panjang talus mencapai 5 cm dengan diameter
sekitar 0,5 cm. Talus membentuk rumpun dengan percabangan soliter
berpusat ke bagian pangkal ekat holdfast. Menempel (epifit) pada
substrat lainnya di laut termasuk ke
tumbuhan laut lainnya (Kadi, 1998).
 Ulva reticulata

Gambar 2. Ulva reticulata (Kurniawan, 2017)


Talus berupa lembaran kecil (ukuran lebar ≤ 2mm) membentuk
rumpun menyerupai jaring atau net dengan berekspansi radial. Warna
hijau muda atau hijau tua dengan tumbuh menempel pada alga lain
(Kadi, 1988).
 Caulerpa lentillifera

Gambar 3. Caulerpa lentillifera (Wild, 2013)


Talus membentuk akar, stolon dan ramuli. Ramuli membentuk
bulatan-bulatan kecil merapat teratur menutupi setiap percabangan ±
3-5 cm. Stolon tidak begitu besar, diameter sekitar 1-2 mm, warna
hijau tua. Tumbuh dengan akar menancap pada substrat berpasir atau
menempel pada batu
(Kadi, 1988).
 Caulerpa racemosa

Gambar 4. Caulerpa racemosa (Agardh, 1873)


Talus membentuk stolon yang tidak begitu besar dengan
perakaran yang agak pendek. Ramuli agak gepeng yang mendukung
percabangan ramuli bentuk bulatan bertangkai. Warna hijau tua dan
panjang ramuli dapat mencapai 5 cm. Tumbuh di daerah bersubstrat
batu atau pasir (Kadi, 1988).
 Chaetomorpha crassa

Gambar 5. Chaetomorpha crassa (Kurniawan, 2017)


Talus silindris menyerupai rambut atau membentuk gumpalang
seperti benang kusut, warna hijau (Kurniawan, 2017). Sebaran habitat
banyak ditemukan di zona pasang surut. Membentuk koloni yang
tebal dans ering menutupi perairan.
Menempel atau mengaitkan diri pada benda-benda padat di perairan
dan biasanya tumbuh melilit pada makroalag lainnya. Memiliki
susunan tubuh bervariasi bentuknya dengan filamen tidak bercabang.
Hal ini menyesuaikan diri dengan tempat hidup dan gaya hidupnya
(Jha, 2009).
 Enteromorpha sp.

Gambar 6. Enteromorpha sp. (Wild, 2013)


Talus kecil dan berbentuk rumpun, dimana sel bagian tengah
dan ujung berisi satu pirenoid pada masing-masing sel. Kloroplas
sering memiliki bentuk mangkuk yang tampak di bagian permukaan
dengan ukuran yang berbeda pada masing- masing sel. Habitat
makroalga ini umumnya di terumbu karang yang tergenang air (Aslan,
1991).
 Halimeda mcroloba
Gambar 7. Halimeda macroloba (Kurniawan, 2017)
Makroalga ini tumbuh subur pada substrat pasir dan lumpur.
Holdfast berbentuk ubi yang merupakan alat pengikat pada partikel
pasir. Pertumbuhan di alam dapat berasosiasi bersama pertumbuhan
lamun, keberadaannya banyak dijumpai di paparan terumbu karang
dengan kedalaman kurang 2 m (kadi, 1988).
 Chlorodesmis sp.

Gambar 8. Chlorodesmis sp. (Kurniawan, 2017)


Tumbuhan berwarna hijau tua, tumbuh dalam rumpun yang
padat. Ketinggian antara 4-10 mm. Percabangan tidak menentu,
kebanyakan dikotomi, filamen berbentuk filiform pendek dengan
ujung berbentuk obtus, sel berbentuk elips dan berserak, talus tidak licin,
berlekuk/berombak (Kadi, 1988).
2. Alga coklat (Phaeophyta)
Phaeophyceae merupakan ganggang yang berwarna pirang. Dalam
kromatofornya terkandung klorofil a, karotin dan santofil, terutama
fikosantin yang menutupi warna lainnya dan yang menyebabkan ganggang
kelihatan pirang. Sebagai hasil hasil asimilasi dan sebagai zat mkanan
cadangan tidak ditemukan zat tepung dalam alga coklat, namun 50% dari
berat keringnya terdiri dari laminarin,
sejenis karbohidrat yang menyerupai dekstrin dan lebih dekat dengan selulosa
daripada dengan tepung. Selain laminarin juga ditemukan manit, minyak dan
zat lain. Dinding selnya bagian dalam terdiri atas selulosa, luar terdiri dari
pektin yang terdapat algin (suatu zat yang menyerupai gelatin, yaitu garam
Ca dari asam alginat pada Luminaria sampai 20-60% tubuhnya)
(Tjitrosoepomo, 1994).
Secara umum Phaeophyceae memiliki tingkat lebih tinggi secara
morfologi dan anatomi diferensiasinya dibandingkan semua makroalga. Tidak
ada bentuk berupa sel tunggal atau koloni filamen yang tidak bercabang.
Susunan tubuh yang paling sederhana adalah filamen heterotrikus. Struktur
talus yang paling kompleks dapat dijumpai pada Nereocystis sp., Macrocystis,
Sargassum sp. Talus dari alga coklat memiliki alat perekat menyerupai akar
yang membuat alga tegak dengan bentuk sederhana atau bercabang seperti
pohon dengan cabang menyerupai daun dengan gelembung udara
(Tjitrosoepomo, 1994).
Talus dari kelas Phaeophyceae tidak ada yang uniseluler, paling
sederhana berbentuk filamen yang bercabang. Panjang talus beberapa mm
sampai kurang lebih 50 m. Sebagian besar hidupnya melekat pada substrat
dengan perantara alat perekat. Phaeophyceae hidup subur di laut dengan iklim
dingin dan hidup di perairan dangkal. Warna alga coklat ini menandakan
melimpahnya xantofil, yaitu fikosantin dalam plastid. Cadangan makanan
berupa laminarin, manitol atau berbentuk tetes lemak (Sulistijo, 1996).
Warna kuning dihasilkan oleh pigmen fikosantin. Pigmen terkandung
di dalam plastid. Alga coklat memiliki dinding sel dengan lapisan luar dari
bahan pektin (terutama alginat) sedangkan lapisan dalam dari bahan selulosa
(Sulistijo, 1996).
 Padina asutralis

Gambar 9. Padina australis (Wild, 2013)


Bentuk talus seperti kipas, membentuk segmen-segmen
lembaran tipis (lobus) dengan garis-garis berambut radial dan
perkapuran di bagian permukaan talus daun. Warna coklat kekuningan
atau kadang memutih karena terdapat perkapuran. Holdfast berbentuk
cakram kecil berserabut. Bagian atas lobus agak melebar dengan
pinggir rata dan bagian puncak terdapat lekukan yang ujungnya terdiri
dari dua lapisan sel. Tumbuh menempel pada batu di daerah rataan
terumbu baik di tempat terkena hempasan ombak atau tidak (Kadi,
1988).
 Dictyota pinnatifida

Gambar 10. Dictyota pinnatifida (Kurniawan, 2017) Berwarna


coklat muda, tinggi hingga 10 cm, terikat oleh
cakram cunniate, talus datar, dikotom tidak beraturan, luas 2-3 cm (Jha,
2009).
 Turbinaria conoides

Gambar 11. Turbinaria conoides (Wild, 2013)


Bentuk batang silindris, tegak, kasar, terdapat bekas
percabangan. Holdfast berupa cakram kecil dnegan perakaran
berekspansi radial. Percabangan berputar sekeliling batang utama.
Talun daun merupakan kesatuan yang terdiri dari tangkai dan
lembaran talus yang berukuran kecil yaitu sekitar 1 cm, membentuk
setengah bulatan melengkung seperti ginjal, pinggir talus bergerigi.
Gelembung udara terdapat agak menonjol di pertengahan daun
reseptakel, membentuk rangkaian pada tangkai talus. Warna talus
coklat muda atau coklat tua dengan tinggi dapat mencapai 75 cm
(Kadi, 1988).
3. Alga merah (Rhodophyta)
Alga merah merupakan kelompok alga yang spesiesnya memiliki
berbagai bentuk daun dengan variasi warna. Ukuran thallus pada alga merah
umumnya berbentuk silindris, gepeng dan lembaran. Sistem percabangannya
ada yang sederhana (berupa filamen) dan ada yang berupa percabangan
kompleks. Alga merah mengandung klorofil a dan b, serta mengandung
pigmen fotosintetik berupa fikoeritrin,
karoten, xantofil, dan fikobilin yang menyebabkan warna merah pada alga ini
(Dawes, 1981).
Rhodophyta sebagian besar hidup di laut, terutama dalam lapisan-
lapisan air yang dalam, yang hanya dapat dicapai oleh cahaya gelombang
pendek. Dapat hidup sebagai bentos, melekat pada suatu substrat dengan
benang pelekat atau cakram pelekat. Terdapat beberapa jenis yang dapat
hidup di air tawar dan ada juga yang hidup di atas tanah atau dalam tanah
(dengan bentuk uniseluler). Jenis yang ada di laut sangat melimpah di laut
tropis. Dapat hidup seperti epifit pada alga lainnya, dan dapat juga hidup pada
hewan laut (Aslan, 1990). Rhodophyceae berwarna merah sampai ungu,
terkadang juga lembayung atau pirang kemerahan. Kromafora berbentuk
cakram atau suatu lembaran, mengandung klorofil a dan karotenoid, namun
warna itu tertutup oleh zat warna merah yang menimbulkan fluorosensi, yaitu
fikoeritrin (Aslan, 1990).
Alga merah memiliki komponen dinding sel yang terdiri dari fibriler
yang terdiri dari manan dan xylan dan juga komponen non fibriler. Komponen
non fibriler mengandung bahan tabilizer, untuk membentuk sel seperti
keraginan dan agar (galaktan yang mengandung sulfat). Tipe umum dari
komponen fibriler yaitu mengandung selulosa, sedangkan non fibriler
tersusun dari galaktan seperti agar, keraginan porpinan (Waryono, 2001).
Hampir semua alga merah tumbuh di laut yang paling mencolok
karena warnanya. Beberapa diantaranya dapat bercahaya. Banyak jenis alga
merah yang memiliki nilai ekonomis dan diperdagangkan yang
dikelompokkan sebagai komoditi rumpu laut (Anggadierja, 2009).
 Amphiroa fragillisma
Gambar 12. Amphiroa fragillisma (Wild, 2013)
Talus membentuk rumpun rimbun, percabangan dikotom
bersegmen. Substansi berkapur, mudah patah, warna pirang atau krem.
Tumbuh di batu daerah rataan pasir atau menempel pada substrat dasar
dan menyebar di daerah padang lamun maupun terumbu karang
(Palallo, 2013).
 Acanthophora muscoides

Gambar 13. Acanthophora muscoides (Kurniawan, 2017)


Bentuk talus silindris, berduri tumpul seperti bulatan
lonjong. Tumbuh melekat pada batu di daerah rataan terumbu karang
(Kurniawan, 2017).
 Gracilaria coronopifolia
Gambar 14. Gracilaria coronopifolia (Kurniawan, 2017)
Bentuk talus berbentuk tegak membentuk rumpun dengan
warna merah keunguan, percabangan tidak teratur dan hidup menempel
pada substrat berbatu pada ekosistem terumbu karang (Palallo, 2013).
Kandungan Agar pada Makroalga
Agar merupakan polisakarida yang telah digunakan secara luas di masyarakat
karena kemampuannya dalam membentuk gel bahkan pada konsentrasi yang rendah.
Agar adalah polisakarida yang terakumulasi pada dinding sel alga agarofit. Agar
terbentuk dari campuran dua polisakarida agarosa dan agaropektin (Phillips &
William, 2004). Rantai agarosa tidak mengandung gugus sulfat, sedangkan rantai
agaropektin mengandung gugus sulfat (Glicksman, 1983). Unit gula sederhana
pada agarosa terdiri dari D- galaktosa, L-galaktosa, 3,6-anhidro-L-galaktosa dan
D-xylosa. Menurut Glicksman (1983), agaropektin juga memiliki unit yang sama
dengan agarosa, hanya pada unit 3,6-anhidro-L-galaktosa diganti dengan Lgalaktosa
bersulfat. Jenis dan kualitas komponen pada rantai polisakarida agar tergantung pada
faktor spesies, kondisi lingkungan, faktor fisiologi dan metode pengekstrakan
(Marinho-Soriano & Bouret, 2004).
Agar merupakan produk utama yang dihasilkan dari rumput laut
terutama dari kelas Rhodopycea, seperti Gracilaria, Sargassum dan Gellidium.
Agar memiliki kemampuan membentuk lapisan gel atau film, sehingga banyak
dimanfaatkan sebagai bahan pengemulsi (emulsifier), penstabil (stabilizer),
pembentuk gel, pensuspensi, pelapis, dan inhibitor. Pemanfaatan agar dalam bidang
industri antra lain: industri makanan dan minuman, farmasi, kosmetik, pakan ternak,
keramik, cat, tekstil, kertas, fotografi. Dalam industri makanan, agar banyak
dimanfaatkan pada industri es krim, keju, permen, jelly, dan susu coklat, serta
pengalengan ikan dan daging, Agar juga banyak digunakan dalam bidang
bioteknologi sebagai media pertumbuhan mikroba, jamur, yeast, dan mikroalga,
serta rekombinasi DNA dan elektroforesis. Kandungan agar di dalam rumput laut
dapat dihidrolisis menggunakan alkali yang dapat meningkatkan kekuatan gel dan
menghasilkan agar yang lebih kuat. Secara umum agar dapat diperoleh dengan
ekstraksi menggunakan akuades, setelah dilakukan praperlakuan menggunakan
H2SO4 (Phillips & William, 2004).
Kandungan Alginat pada Makroalga
Alginat merupakan salah satu komponen yang melimpah di alam, yang bisa
didapatkan dari alga coklat. Alginat termasuk dalam keluarga kopolimer biner tidak
bercabang dengan jumlah variasi yang besar dalam hal komposisi dan urutan
penyusunnya (Phillips & William, 2004). Alginat sering disebut sebagai produk
pemurnian karbohidrat yang diekstrak dari alga coklat menggunakan larutan alkali
(Glicksman, 1983). Alginat adalah garam dari asam alginat yang banyak dijumpai
dalam bentuk natrium alginat. Kadar alginat mencapai 40% dari bobot kering rumput
laut dan memegang peranan penting dalam mempertahankan struktur rumput laut
(Rasyid, 2003).
Jenis rumput laut coklat penghasil alginat (alginofit), misalnya
Sargassum sp dan Turbinaria merupakan jenis makroalga dari kelas Phaeophyceae
yang banyak terdapat di perairan dangkal di seluruh wilayah Indonesia dan
menempel pada karang yang mati dan belum dimanfaatkan
secara maksimal. Sargassum sp belum dimanfaatkan secara maksimal padahal
mempunyai nilai ekonomis tinggi dan banyak diekspor untuk memenuhi kebutuhan
sebagai bahan protected coloid yang banyak digunakan oleh industri. Daya
kelarutan alginat dipengaruhi oleh pH, konsentrasi, ion pada larutan, dan
keberadaan ion divalent. Pemanfaatan alginat pada industri tekstil, percetakan,
industri briket dan sebagai bahan pengemulsi, insektisida, kosmetik dan farmasi
(Rasyid, 2003).
Kandungan Vitanin pada Makroalga
Rumput laut dapat dijadikan salah satu sumber Vitamin B, yaitu vitamin
B12 yang secara khusus bermanfaat untuk pengobatan atau penundaan efek penuaan
(antiaging), Chronic Fatique Syndrome (CFS), dan anemia (Almatsier, 2005).
Selain vitamin B, rumput laut juga menyediakan sumber vitamin C yang sangat
bermanfaat untuk memperkuat sistem kekebalan tubuh, meningkatkan aktivitas
penyerapan usus terhadap zat besi, pengendalian pembentukan jaringan dan matriks
tulang, dan juga berperan sebagai antioksidan dalam penangkapan radikal bebas dan
regenerasi vitamin E (Soo-Jin Heo et al, 2005). Ketersediaan vitamin E di dalam
rumput laut coklat lebih tinggi dibanding rumput laut hijau dan merah. Hal ini
dikarenakan rumput laut coklat mengandung α, β, dan γ-tokoferol, sedangkan rumput
laut hijau dan merah hanya mengandung α- tokoferol (Fitton, 2005). Di antara rumput
laut coklat, kadar paling tinggi yang telah diteliti adalah pada Fucuceae, Ascophyllum
dan Fucus sp yang mengandung sekitar 200-600 mg tokoferol/kg berat kering
(Ramazanov, 2006). Kadar vitamin C dapat mencapai 500-3000 mg/kg berat kering
dari rumput laut hijau dan coklat, 100- 800 mg/kg pada rumput laut merah. Vitamin E
yang berperan sebagai antioksidan juga terkandung dalam rumput laut. Vitamin E
mampu menghambat oksidasi Low Density Lipoprotein (LDL) atau kolesterol buruk
yang dapat memicu penyakit jantung koroner (Ramazanov, 2005).
Kandungan Klorofil pada Makroalga
Klorofil merupakan pigmen utama yang berperan dalam proses fotosintesis
dengan menyerap dan menggunakan energi cahaya matahari untuk mensintesis
oksigen dan karbohidrat yang dibutuhkan sebagai nutrisi alga. Klorofil merupakan
pigmen warna hijau. Struktur dasar klorofil adalah porpirin, dimana atom nitrogen
pada keempat cincin pirol dalam makrosiklik membentuk ikatan kovalen dengan ion
Mg2+ yang merupakan pusat dari molekul klorofil (Scheer, 2006). Klorofil a
merupakan pigmen utama yang terdapat pada hampir semua organisme fotosintetik
oksigenik, terletak pada pusat reaksi dan bagian tengah antena. Klorofil a merupakan
pigmen utama yang bertanggung jawab terhadap proses fotosintesis. Oleh karena itu,
pigmen ini menjadi penting bagi pertahanan hidup rumput laut atau untuk
berkompetisi dengan organisme lain dalam sebuah habitat tertentu (Pepe et al., 2001).
Keberadaan klorofil a pada rumput laut dilengkapi dengan pigmen pendukung
(aksesori) yaitu klorofil b, c, atau d dan karotenoid yang berfungsi melindungi klorofil
a dari foto-oksidasi (Atmadja et al., 1996).
Kandungan Lipid Dan Asam Lemak
Asam lemak merupakan penyusun utama sebagian besar lipid (Nyssen dkk,
2005). Salah satu jenis asam lemak yang penting adalah polyunsaturated fatty acid
(PUFA). Asam lemak alga merupakan hasil biosintesis di kloroplas berisikan
membran thylakoid, dan terutama merupakan hasil esterifikasi menjadi glikolipid
yang kaya akan PUFA. Secara umum kandungann lipid alga yang dominan adalah
phospholipid, glikolipid (glikosilgliserida), gliserollipid non polar (lipid netral), betaine,
dan beberapa jenis lipid lain yang khas untuk spesies atau genus tertentu. (Berge,
2005). Kadar lemak pada Sargassum sp. yaitu 0,79% dan S. polycystum
memiliki kandungan lemak 0,23% (Chirapart, 2006).
Kandungan fosfolipid yang dominan pada alga adalah fosfatidilgliserol,
fosfatidilkolin, fosfatidiletanolamina, fosfatidilserina, fosfatidilinositol, dan asam
fosfatidoat. Glikolipid yang dominan pada alga adalah mono galaktosil- diasilgliserol,
digalaktosil-diasilgliserol, dan sulfoquinovosyl-diasilgliserol (Kumari dkk, 2013).
Asam lemak pada alga memiliki karakteristik masing- masing berdasarkan filumnya
dan tidak tergantung pada lokasi geografis tertentu. Alga merah (Rhodophyta)
mengandung PUFA dalam jumlah tinggi (lebih dari 37,5%), Alga cokelat
(Phaeophyta) memiliki kandungan PUFA (lebih dari 20,1%) dan Alga hijau
(Chlorophyta) mengandung PUFA (lebih dari 15%).
Lipid dan asam lemak merupakan nutrisi rumput laut dalam jumlah yang
kecil. Kandungan lipid hanya berkisar 1-5% dari berat kering dan komposisi asam
lemak omega 3 dan omega 6 (Burtin, 2003). Asam alfa linoleat (omega 3)
banyak terkandung dalam rumput laut hijau, sedangkan rumput laut merah dan coklat
banyak mengandung asam lemak dengan 20 atom karbon seperti asam
eikosapentanoat dan asam arakidonat (Burtin, 2005). Hasil penelitian membuktikan
bahwa ekstrak lipid beberapa rumput laut memiliki aktivitas antioksidan dan efek
sinergisme terhadap tokoferol (senyawa antioksidan yang sudah banyak digunakan)
(Anggadiredja, 2006).
Kandungan Mineral Pada Makroalga
Kandungan mineral rumput laut tidak tertandingi oleh sayuran yang berasal
dari darat. Fraksi mineral dari beberapa rumput laut mencapai lebih dari 36% berat
kering. Dua mineral utama yang terkandung pada sebagian besar rumput laut adalah
iodin dan kalsium (Fitton, 2005). Laminaria sp yang termasuk dalam alga coklat
merupakan sumber utama iodin karena kandungannya mampu mencapai 1500 sampai
8000 ppm berat kering. Rumput laut juga merupakan sumber kalsium yang sangat
penting. Kandungan kalsium dalam rumput laut dapat mencapai 7% dari berat kering
dan 25-34% dari rumput laut yang mengandung kapur (Ramazanov, 2006).
Kandungan mineral seperti yang telah disebutkan di atas memberikan efek
yang sangat baik bagi kesehatan. Iodin misalnya, secara tradisional telah
digunakan untuk mengobati penyakit gondok. Iodin mampu mengendalikan hormon
tiroid, yaitu hormon yang berperan dalam pembentukan gondok. Mereka yang telah
membiasakan diri mengkonsumsi rumput laut terbukti terhindar dari penyakit gondok
karena kandungan iodin yang tinggi di dalam rumput laut. Kandungan mineral lain
yang juga tak kalah penting adalah kalsium. Konsumsi rumput laut sangat berguna
bagi ibu yang sedang hamil, para remaja, dan orang lanjut usia yang kemungkinan
dapat terkena risiko kekurangan (defisiensi) kalsium (Fitton, 2005).
Kandungan Biliprotein
Fikobiliprotein merupakan bagian dari fikobilisom yang berperan sebagai
antenna untuk menangkap cahaya dalam proses fotosintesis, yang khusus terdapat
pada rumput laut merah (Rhodophyceae). Fikobiliprotein ini mengandung 3
komponen yaitu fikosianin, allofikosianin, dan fikoeritrin. Fikoeritrin berperan
dalam absorbsi cahaya biru/hijau dan berperan menampakkan warna merah pada
Gracilaria sp. Fikosianin merupakan produk intraselluler berupa pigmen yang
memiliki kromofor tetrapirol terbuka (fikobilin), serta berperan penting dalam
fotosintesis sebagai pigmen penerima cahaya, terutama pada fotosistem II (PSII)
dalam fikobilisom sel rumput laut. Pigmen ini menampilkan warna hijau atau biru
muda pada Gracilaria sp. (Sasaki et al., 1995). Keberadaan pigmen fikroetrin dan
fikosianin dalam rumput laut menyebabkan rumput laut mampu bertahan hidup pada
kondisi dengan cahaya rendah, seperti di laut dalam (intensitas cahaya 0,1% lebih
rendah dibandingkan dipermukaan). Henrikson (2000) melaporkan bahwa
fikoeritrin merupakan prekursor dalam biosintesis klorofil pada rumput laut merah.
Selain itu, bioaktifitas kedua pigmen tersebut telah dimanfaatkan oleh manusia baik
dalam bidang kesehatan maupun industri, bahkan harga kedua pigmen tersebut
mencapai 8 ribu - 40 ribu dolar AS per
gramnya.

Tabel 1. Potensi fikoeritrin dan fikosianin dalam berbagai bidang industri dan
Kesehatan
Kandungan Fikokoloid
Fikokoloid atau yang dikena dengan hidrokoloid merupakan kompone
primer rumput laut. Ada tiga jenis fikokoloid yang utama yaitu, alginate
dari rumput laut coklat, karaginan dari rumput laut merah, dan agar dari
rumput laut merah (Ohno dan Critchley, 1998).
Senyawa polisakarida yang bersifat hidrokoloi yang terdapat dalam rumput
laut antara lai adalah agar, karaginan (iota, kappa, dan lamda), dan alginate.
Menurut Dawes (1981), senyawa tersebut diperoleh dari ekstraksi beberaa
jenis rumput laut seperto: agarofit (Gracillaria spp dan Gelidium sp),
karaginofit (Eucheuma sp, Gigartina sp, Chondrus sp, Iridia sp, dan
Hypnea sp), alginofit (Laminaria sp, Macrocytis sp, Sargassum sp, dan
Turbinaria sp). Ketiga jenis fikokoloid di atas cukup tua pemakaiannya
dalam industry makanan, kosmeik, farmasi, dan lain-lain.
1. Alginat
Alginat merupakan bentuk garam dari asam alginate dan dapat diekstraksi
dengan beberapa metode. Standar mutu asam alginate maupun natrium
alginate telah ditetapkan oleh Food Chemical Codex.
Alginat terdapat pada semua rumpu laut coklat (Phaehyceae), dengan
keranka komponan utamanya adalah polisakarida. Sumber produksi algina
untuk industry yang utama adalah Macrocyria pyriera, beberapa spesies
Laminaria, Ascophyllum, dan Sargassum.
Kandungan algnat dari masing-asing ruput laut sangat beragam. Hal ini
sangat dipengaruhi beberapa factor antara lain spesies, daerah, dan iklim
tempat hidupnya (Segiarto et. al., 1978). Komponen peyusun alginate yaitu
asam manuroat dan asam gluronat dimana alginate merupakan naa umum
untuk garam sari asam algiat (McNelly dan Peit, 1973).
2. Karaginan
Karaginan merupakan nama yang diberikan untuk keluarga polisakarida
linear bersulfat yang diperoleh dari alga merah dan penting untuk
pangan. Dalam bidang industry, karaginan berfungsi sebaga stabilistor
(pengatur keseimangan), thickener (bahan pengentar), pembentuk gel,
dan lain-lain. Karaginan hasil ekstrasi dapat diperoleh melalui engendaan
dengan alcohol, pengeringan dengan alat drum drying, dan dengan proses
pembekuan. Jenis alcohol yang dapat digunakan untuk pemurnian hanya
terbatas pada methanol, etanol, dan isopropanol (Winarno, 1990).
Berdasarkan kandungan sulfatnya, Doty (1987), membedakan karaginan
menjadi
dua fraksi yaitu kappa karaginan yag mengandung sulfat kurang dari
28% dan iota karaginan jika mengandung sulfat lebih dari 30%.
Sedanka Winarno (1990), membagi karaginan menadi 3 fraksi
berdasarkan unit penyusunannya yaitu kappa, iota, dan lambda
karaginan. Lebih lanjut Renn (1986), menyatakan bahwa kappa
karaginan dihasilkan dari Eucheuma spinossum.

3. Agar-agar

Agar-agar adalah produk ekstraksi rumput laut mrah (agarophye).


(Winarno, 1990), Agarophyte yang paling penting adalah jenis Gelidium
s. Gracillria sp, Pterocladia sp. Acanthropeltis japonica dan Ahnfelin
plicata (Chapman dan Chapman, 1980). Agar-agar merupakan kompleks
polisakarida linear yang mempunyai berat molekul 120.000 dalton,
tersusun dar beberapa jenis polisakarida, antara lain: 3,6-anhidro-I-
galaktosa, D-galaktopinanosa, dan sejumlah kecil metil D-galatosa
(Glicksman, 1983).

Kandungan Karotenoid pada Makroalga

Karotenoid merupakan pigmen yang paling umum terdapat di alam dan disintesis
oleh semua organisme fotosintetik dan fungi. Komposisi karotenoid penting yang
dikandung oleh mikroalgae dan makroalgae terdiri dari β-karoten, astaxantin, lutein,
zeaxantin, kriptoxantin, serta fukoxantin.Seluruhnya memiliki peranan bagi kesehatan
manusia. Karotenoid-karotenoid tersebut diproduksi oleh beberapa spesies mikroalga
yaitu Dunaliella sallina, Haemotococcus pluvialis, Chlorella pyrenoidosa, Anthrospira
platensis, serta Nannnochloropsis oculata, dan juga beberapa spesies makroalga seperti
Kappaphycus alvarezii, Sargassum sp, dan Caulerpa sp. Karotenoid dari algae telah
terbukti sebagai antioksidan yang kuat serta dapat mencegah beberapa penyakit
degeneratif, kardiovaskular, dan kanker. Karotenoid juga telah diaplikasikan sebagai
pewarna dan suplemen makanan. Bioteknologi telah dikembangkan dalam rangkai
peningkatan produksi karotenoid dari mikroalgae dan makroalgae. Selama kultivasi,
beberapa kondisi stres dapat dimanipulasi secara khusus untuk mengoptimalkan
produksi karotenoid dari mikroalgae.

Kandungan Polisakarida pada makroalga


Pada makroalga mengandung berbagai jenis polisakarida. Polisakarida ialah suatu
polimer yang tersusun dari ratusan hingga ribuan satuan monosakarida yang
dihubungkan dengan ikatan glikosidik. Pada makroalga terdapat 2 golongan
polisakarida, yaitu tergolong menjadi 2 golongan yaitu fitokoloid dan juga polisakarida
sulfat (Santi, dkk., 2012; Handayani, 2014). Polisakarida golongan fitokoloid
merupakan polisakarida yang dimana akan membentuk larutan koloid dalam air panas
dan gudir setelah dingin yang akan mengental dan membentuk padatan kenyal,
contohnya : agar, alginat, dan karaginan (Handayani, 2014). Sedangkan, pada
polisakarida sulfat merupakan polisakarida yang juga mengikat gugus sulfat, seperti
laminarin, fucoidan, fucan mannitol, dan ulvan (Wang, dkk., 2008).
Senyawa polisakarida pada makroalga sering dimanfaatkan dalam bidang makanan dan
bidang pengobatan. Pada bidang makanan polisakarida yang dimanfaatkan ialah
golongan fitokoloid yang digunakan dalam pembentukan agar-agar, pengental dan
emulsifikator (Suparmi, dan Sahri, 2009). Lalu, pada bidang pengobatan senyawa
polisakarida golongan polisakarida sulfat yang dimanfaatkan dalam berbagai obat,
seperti anti-koagulan, anti-inflamantori, dan anti oksidan yang baik bagi tubuh
(Samudra, dkk., 2018).

Kandungan polifenol pada makroalga


Seperti pada tumbuhan tingkat tinggi pada daratan, alga juga menghasilkan metabolit
sekunder berupa polifenol yang ditemukan pada famili Alariceae, Fucaceae dan
Sargassaceae (Husni, dkk., 2014). Polifenol pada rumput laut dikenal sebagai florotanin
yang memiliki sifat yangkhas dibandingkan dengan polifenol yang ada dalam tumbuhan
darat.Polifenol dari tumbuhan darat berasal dari asam galat, sedangkan polifenol rumput
laut berasal dari floroglusinol (1,3,5-trihydroxybenzine) (Suparmi, dan Sahri, 2009;
Samudra, dkk., 2018).

Struktur kimia dari florotanin. Phloroglucinol (1), Tetrafucol A (2), Tetraphlorethol B (3),
Fucodiphlorethol A (4), Tetrafuhalol A (5), Tetraisofuhalol (6), dan Phlorofucofuroeckol (7)
(Lopes dkk., 2012).

Florotaninini memiliki aktivitas antioksidan, sehingga mampu mencegah berbagai


penyakit degeneratif maupun penyakit karena tekanan oksidatif, di antaranya kanker,
penuaan, dan penyempitan pembuluh darah. Oleh, karena itu banyak makroalga yang
dimanfaatkan sebagai sumber anti-oksidan (Lopes dkk., 2012; Gazali, dkk., 2018).
Kandungan Serat pada Makroalga

Serat ialah bagian yang dapat dimakan dari bahan nabati serta karbohidrat yang tidak
dapat dicerna maupun diserap di dalam usus halus manusia meliputi selulosa,
hemiselulosa, pektin, gum, dan lignin (Handayani, 2014). Serat sangat bervariasi
dalamkomposisi dan struktur kimianya. Serat dapat dibagi menjadi 2 jenis menurut
kelarutannya, yaitu serat yang larut dalam dan serat yang tak dapat larut. Serat yang
dikonsumsi dapar difermentasi oleh flora colon(mikroflora usus) yang akan
menghasilkan senyawa yang lebih sederhana dan mudah diserap. Pada makroalga yang
dapat dimakan mengandung33-62% serat total (berdasarkan berat kering),hal tersebut
lebih tinggi dibandingkandengan serat dari tumbuban tingkat tinggi, yang lebih banyak
didominasi oleb bagian terlarut. Manfaat dari serat pangan ialah mengurangi kolesterol
dalam darah, memperbaiki penyerapan glukosa bagi penderita diabetes, mencegah
penyakit kanker usus, dan juga memiliki fungsi pada fisiologis feses. Tidakhanya itu,
serat juga dapat menjadi potensi pengganti plastik pada industri (Munifah, 2008;
Dwiyitno, 2011).
Potensi Makroalga Sebagai Biodiesel
Menurut Kuncahyo dkk (2013) saat ini indonesia sedang mengalami krisis
energi, terutama energi bahan bakar minyak. Dari tren data produksi dan konsumsi
bahan bakar yang telah dianalisis, diperkirakan indonesia akan mengalami penurunan
dalam produksi bahan bakar dan habis pada tahun 2053. Salah satu solusi untuk hal
tersebut ialah dengan alternatif bahan bakar minyak dengan menggunakan biodiesel
yang berasal dari tumbuh – tumbuhan.
Pemilihan bahan baku biodiesel perlu diupayakan untuk mengetahui jenis
bahan baku biodiesel yang dapat dikembangkan secara luas. Kriteria yang dibutuhkan
sebagai bahan baku biodiesel ialah mudah tumbuh, mudah dikembangkan secara
luas, dan mengandung minyak nabati yang cukup besar [Zuhdi, 2005].
Indonesia merupakan negara tropis yang memiliki keanekaragaman hayati tinggi
sehingga kini terdapat lebih dari 50 jenis bahan
baku untuk biodiesel yang ada di indonesia. Dari 50 lebih jenis tersebut didapatkan 6
jenis dengan potensi karakteristik dan ketersediaan yang baik yaitu minyak jelantah,
kelapa sawit, jarak pagar, karet, dan alga (Kuncahyo et al, 2013).
Makroalga memiliki kandungan minyak yang komposisinya mirip seperti
tanaman darat lain, bahkan untuk jenis tertentu mempunyai kandungan minyak cukup
tinggi melebihi kandungan minyak tanaman darat seperti kelapa, kelapa sawit,
kedelai, dan jarak. Produksi biodiesel dari makroalga telah diakui sebagai pilihan
yang paling cocok dan memiliki keunggulan sebagai bahan baku biodiesel, jika
dibandingkan dengan tanaman nabati lainnya seperti terlihat pada tabel berikut ini.
Tabel 1.1 Perbandingan Potensi Beberapa Bahan Baku Biodiesel
Bahan Baku Produktivitas (Liter/Hektar/Tahun)
Kedelai 450
Camelina 581
Bunga Matahari 956
Jarak 1.893
Kelapa Sawit 5.950
Makroalga 50.000-120.000
Sumber : Christi, 2007
Menurut tabel di atas, terlihat bahwa makroalga dapat memproduksi bahan
bakar hingga 100 kali lebih banyak dibandingkan dengan kedelai ataupun bahan baku
lain dalam luas lahan yang sama. Semua jenis makroalga memiliki komposisi kimia
sel yang terdiri dari protein, karbohidrat, asam lemak (fatty acids), dan nucleic acids.
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
1. Makroalga laut tidak memiliki akar, batang dan daun sejati yang disebut
talus, dan oleh karenanya dikelompokkan dalam Divisi Thallophyta.
2. Makroalga mengandung agar, alginat, vitamin, klorofil, lipid dan asam lemak,
mineral, biliprotein, pikokoloid, karotenoid, protein, karagenan, polisakarida dan
serat, serta polifenol.
3. Makroalga memiliki kandungan minyak yang cukup tinggi sehingga dapat
dimanfaatkan sebagai bahan bakar.
DAFTAR PUSTAKA
Almatsier, Sunita. 2005. Prinsip Dasar Ilmu Gizi.. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.
Anggadiredja, T.J., Zatnika, A., Heri, P., dan Istini, S. 2009. Rumput Laut. Jakarta : Penebar
Swadaya.
Anggadiredja, J. T., A. Zatnika, H. Purwoto dan S. Istini. 2006. Rumput Laut. Cetakan
I. Jakarta : Penerbit Swadaya
Aslan, L.M. 1990. Budidaya Alga Laut. Yogyakarta : Kanisus
Atmadja, W.S., Kadi, A., Sulistijo & Rachmaniar. 1996. Pengenalan jenisjenis rumput laut
Indonesia. PUSLITBANG Oseanologi. LIPI, Jakarta. Hlm.56-152.
Berge J.-P. and Barnathan G. (2005) Fatty Acids from Lipids of Marine Organisms:
Molekuler Biodiversity, Role as Biomarkers, Biologically Active Compounds, and
Economical Aspects. Mar. Biotechnol. 96, 49–125.
Burtin, Patricia. 2003. Nutritional Value of Seaweeds. Electron. J. Environ. Agric.
Food Chem. 2(4): 498-503.
Dawes, C.J. 1981. Marine Botany. Second Edition. University of South Florida : John Wiley
and Sons, Inc.
Fitton, Helen. 2005. Marine Algae and Health: A Review of The Scientific and Historical
Literature.
Glicksman, M. 1983. Food Hydrocolloids Vol.II. Florida : CRC Press.
Henrikson, R. 2000.Earth Food Spirulina.Essential Fatty Acids and
Phytonutrients.Ronore Enterprises, Inc. California.

Lopes, G., Sousa, C., Silva, L. R., Pinto, E., Andrade, P. B., Bernardo, J., Mouga, T.,
&Valentão, P. (2012). Can phlorotannins purified extracts constitute a novel
pharmacological alternative for microbial infections with associated inflammatory
conditions? PLoS ONE, 7(2).

Suparmi, danSahri, Achmad. 2009.MengenalPotensiRumputLaut:


KajianPemanfaatanSumberDayaRumputLaut Dari AspekIndustridanKesehatan. Sultan
Agung Vol 46(118) 95-116

Samudra, Agung G., Sani, F., danChintama. M. 2018.


UjiPerbandinganEfektivitasAntidiabetesEkstrakPolisakaridadanSenyawaPolifenol Alga
Coklat (Sargassum sp.) PadaMencit Yang DiinduksiAloksan. JurnalIlmiahManuntung,
4(1) 48-52
Santi, R. A., Sunarti., T.C., Santoso, D., dan Triwisari, D.A. 2012. Komposisi Kimia dan Profil
Polisakarida Rumput Laut Hijau. Jurnal Akuatika Vol. 3(2) 105-114

Handayani, Tri. 2014. RumputLautSebagaiSumberPolisakaridaBioaktif. Oseana, Vol 39(2) 1-


11

Gazali, M., Nurjanah, N., &Zamani, N. P. (2018). EksplorasiSenyawaBioaktif Alga


CokelatSargassum sp. AgardhsebagaiAntioksidandariPesisir Barat Aceh.
JurnalPengolahanHasilPerikanan Indonesia, 21(1), 167–178.

Husni, A., Putra, D. R., &BambangLelana, I. Y. (2014). AktivitasAntioksidanPadina sp.


padaBerbagaiSuhudan Lama Pengeringan. JurnalPascapanen Dan BioteknologiKelautan
Dan Perikanan, 9(2), 165–173.

Rocha De Souza, M. C., Marques, C. T., Guerra Dore, C. M., Ferreira Da Silva, F. R., Oliveira
Rocha, H. A., &Leite, E. L. (2007). Antioxidant activities of sulfated polysaccharides from
brown and red seaweeds. Journal of Applied Phycology, 19(2), 153–160.

Wang, J., Zhang, Q., Zhang, Z., & Li, Z. (2008). Antioxidant activity of sulfated polysaccharide
fractions extracted from Laminaria japonica. International Journal of Biological
Macromolecules, 42(2), 127–132.

Husni, A., Putra, D. R., &BambangLelana, I. Y. (2014). AktivitasAntioksidanPadina sp.


padaBerbagaiSuhudan Lama Pengeringan. JurnalPascapanen Dan BioteknologiKelautan
Dan Perikanan, 9(2), 165–173.

Dul, M., Paluch, K. J., Kelly, H., Healy, A. M., Sasse, A., &Tajber, L. (2015). Self-assembled
carrageenan/protamine polyelectrolyte nanoplexes-investigation of critical parameters
governing their formation and characteristics. Carbohydrate Polymers, 123(778051), 339–
349.
Jha, B., Reddy, C.R.K., Thakur, M.C., dan rao, M.U. 2009. Seaweeds of India : The Diversity
and Distribution of Seaweed of Gujarat Coast. New York.
Kadi, A., dan Atmadja, W.S. 1988. Rumput Laut (Algae) Jenis, Reproduksi, Produksi,
Budidaya dan Pasca Panen. Jakarta : Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi
LIPI.
Kumari P., Kumar M., Reddy C. R. K. and Jha B. (2013) Algal lipids, fatty acids and
sterols. In Functional Ingredients from Algae for Foods and Nutraceuticals Elsevier.
pp. 87–134.
Kurniawan, R. 2017. Keanekaragaman Jenis Makroalga di Perairan Laut Desa Teluk Bakau
Kabupaten Bintan Kepulauan Riau. Tanjungpinang : Universitas Maritim Raja Ali
Haji.
Marinho-Soriano E, Bourret E. 2004. Polisaccharides from the red seaweed Gracilaria dura
(Gracilariales, Rhodophyta). J. Bioresource Technology 04: 04.012.
Nyssen F., Brey T., Dauby P. and Graeve M. (2005) Trophic position of Antartic amphipods
- enhanced analysis by a 2-dimensional biomarker assay. Mar. Ecol. Prog. Ser. 300,
135–143.
Palallo, A. 2013. Distribusi Makroalga pada Ekosistem Lamun dan Terumbu Karang di
Pulau Bonebatang Kecamatan Ujung Tanah Kelurahan Barrang Lompo Makassar.
Makassar : Universitas Hasanuddin.
Pepe, M., Giordino, C., Borsani, G., Cardoso, A.C., Chiauda, G., G. Premazzi, E., Rodari dan
Zilioli, E. 2001. Relationship Between Apparent Optical Properties And
Photosynthetic Pigments In The Sub-Alpine Lake Iseo. The science of total
environment 268 : 31-45.
Ramazanov, Z., 2006. New wave of health from the sea. Nutraceuticals World 2(6): 38-39.
Ratana-arporn P, Chirapart A. 2006. Nutritional evaluation of tropical greenseaweeds Caulerpa
lentillifera and Ulva reticulata. Kasetsart Journal of Natural Science. 40: 75-83.
Rasyid, Abdullah. 2003. ALGAE COKLAT (PHAEOPHYTA) SEBAGAI
SUMBER ALGINAT). ISSN 0216-1577.
Sasaki et al., 1995. Promotive Effect of 5 –aminolevulinic acid on The growth and
photosynthesis of spirulina plantesis. J Ferment Bioeng. 5,453-457.
Scheer, H. 2006. An Overview of Chlorophyll and Bacteriochlorophyll : Biochemistry,
Biophysics, Function and Applications. Chapter 1. In: Grimm, B., Porra, R.J.,
Rudiger, W., and Scherr, H (ed). Chlorophyll and Bacteriochlorophylls,
Biochemistry, Biophysics, Functions and Applications. Volume 25. Springer.
Nederlands. p. 1- 26.
Schaduw, J.N.W., Ngangi, E.L.A., dan Mudeng, J.D. 2013. Kesesuaian Lahan
Budidaya Rumput Laut di Kabupaten Minahasa, Propinsi Sulawesi Utara. Jurnal
Ilmu dan Manajemen Perairan 1(1) : 72-81.
Soo-Jin Heo, Pyo-Jam Park, Eun-Ju Park, Se-Kwon Kim, dan You-Jin Jeon. 2005.
Antioxidant Activity Of Enzymatic Extracts From A Brown Seaweed Ecklonia Cava
By Electron Spin Resonance Spectrometry And Comet Assay. Eur Food Res Technol
221:41–47.
Sulistijo. 2009. Pelayaran Kebangsaan Ilmuwan Muda. Jakarta : Pusat Penelitian
Oseanografi LIPI
Sulistyowati, R. 2003. Taksonomi Tumbuhan. Yogyakarta : Gadjah Mada University
Tjitrosoepomo. 1994. Jenis Algae dalam Pengenalan Jenis-Jenis Rumput Laut
Indonesia. Jakarta : Puslitbang Oseanologi LIPI
Waryono, T. 2001. Biogeografi Alga Makro (Rumput Laut) dalam Kawasan Pesisir Indonesia.
Malang : Seminar Ikatan Geografi Indonesia.
Williams, P. A. dan Phillips, G. O. 2004. Handbook of Hydrocolloids. North East
Wales Institute : Wrexham.

Anda mungkin juga menyukai