Anda di halaman 1dari 7

LIPUTAN 6.

COM

RESENSI FIKSI DAN FILM

Apa sih resensi buku itu? Bagi seorang pengamat buku, resensi menjadi hal yang sudah biasa
dilakukan dalam mempertimbangkan dan membicarakan setiap kali ada penerbitan buku terbaru.

Pada dasarnya meresensi buku ini adalah suatu kegiatan penilaian terhadap sebuah karya milik
orang lain. Kata resensi sendiri berasal dari bahasa Belanda, yaitu resentie, yang memiliki arti
mengulas kembali. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), resensi memiliki arti
pertimbangan atau pembicaraan mengenai ulasan buku, film, atau drama.

Dijelaskan bahwa karya seni yang dapat diresensi berupa buku, seni film, dan drama. Dari ranah
buku sendiri terbagi menjadi 3 kategori, yaitu resensi buku novel fiksi, resensi buku novel non
fiksi, dan resensi buku pengetahuan. Namun, di artikel ini kami akan membahas cara membuat
resensi buku novel fiksi beserta contohnya.

Tujuan Resensi

Untuk kamu yang ingin meresensi buku, perlu diketahui terlebih dahulu! apa tujuan meresensi
buku itu? Tujuan dari meresensi buku adalah kamu memberikan penilaian terhadap karya sebuah
buku, lalu diulas menjadi bahasan singkat dan jelas.

Kemudian target utama dari tujuan tersebut adalah kamu memberikan informasi buku kepada
pembaca dan masyarakat luas mengenai kelebihan dan kekurangannya. Lalu memberikan
rekomendasi apakah buku tersebut memiliki nilai manfaat lebih atau tidakkah untuk dibaca.

Manfaat Resensi

1. Ladang penghasil uang

Kamu bisa mengirimkan hasil resensi ke penerbit media jurnal untuk dimuat dalam koran atau
majalah. Jika hasil resensi mu di-accept oleh penerbit media jurnal dan akan dimuat dalam koran
atau majalah, maka kamu bisa mendapatkan uang dari penerbit buku yang kamu resensi.

2. Menggali dan Meningkatkan Kreativitas

Buat kamu yang memiliki bakat terpendam dalam menulis, sebaiknya gali bakat kemampuan
kamu dan terus diasah. Karena itu merupakan sebuah potensi yang bisa meningkatkan kreativitas
mu.

3. Sebagai promosi sebuah buku

Setiap buku yang diresensi adalah buku terbitan baru yang belum pernah diresensi. Nah, resensi
ini salah satu media untuk mempromosikan buku yang baru terbit tersebut.
4. Bahan Rekomendasi

Memberikan bayangan dan rekomendasi kepada para pembaca mengenai sebuah karya
seseorang.

Unsur-unsur Resensi

Hal yang perlu diperhatikan dalam meresensi buku adalah memahami segala unsur yang ada di
dalamnya, karena untuk memudahkan kamu dalam teknis meresensi buku. Unsur sendiri terbagi
menjadi dua, yaitu intrinsik dan ekstrinsik.

Intrinsik

Unsur intrinsik merupakan unsur yang ada dalam buku, di antaranya:

1. Tokoh – Karakter yang ada dalam sebuah cerita, serta penggambaran watak masing-
masing tokoh.
2. Tema – Ideologi dasar dalam sebuah cerita.
3. Alur – Tatanan pola karangan sebuah cerita.
4. Latar – Meliputi keadaan, tempat, suasana, waktu, dan budaya dalam cerita.
5. Gaya bahasa – Penggunaan bahasa dalam cerita, biasa disebut majas.
6. Sudut pandang – Persepsi penulis atau pengarang dalam alur ceritanya.
7. Amanat – Sebuah pesan moral yang disampaikan oleh penulis atau pengarang kepada
para pembaca.

Ekstrinsik
Unsur yang ada di luar bahasan isi buku, di antaranya :

1. Latar belakang penulis atau pengarang


2. Kondisi sosial
3. Nilai yang terkandung – Meliputi nilai moral, sosial, budaya, dan estetika.

Hal Penting yang Harus Diperhatikan

1. Mengetahui unsur-unsur dalam sebuah buku


2. Memahami kelebihan dan kekurangan buku
3. Menyajikan pembahasan dengan bahasa yang mudah dipahami

Langkah-langkah Meresensi Buku

1. Membaca buku yang akan diresensi.


2. Mengamati fisik serta isi buku.
3. Menunjukkan kekurangan dan kelebihan buku.
4. Merangkum isi buku.
5. Menulis persepsi pribadi mengenai isi buku.
6. Meresensi.
7. Menyunting.

Contoh Resensi Novel

Resensi Novel Laskar Pelangi

Judul Buku : Laskar Pelangi


Penulis : Andrea Hirata
Tebal Buku : 529 halaman
Penerbit : Bentang Pustaka, Yogyakarta
Tahun Terbit : 2005

Sinopsis
Laskar Pelangi, novel karangan penulis terkenal Andrea Hirata. Novel yang menceritakan
sebuah kisah kehidupan 10 anak dengan latar belakang berasal dari keluarga miskin di Pulau
Belitung, Provinsi Bangka Belitung. Nama dari 10 anak tersebut antara lain Lintang, Ikal, Mahar
Ahlan, Jumadi Ahlan, A Kiong, Syahdan Noor Aziz, Borek, Mukharam Kucai Khairani, Harun,
Trapani, dan Sahara satu-satunya anak perempuan di antara mereka. 10 orang bersahabat ini
memiliki orang tua yang berprofesi sebagai penambang timah. Namun, walaupun kehidupan
dilanda kemiskinan, mereka tetap menjalankan aktivitas pendidikan seperti halnya anak-anak
yang lain. Dengan gedung sekolah tua ala kadarnya, mereka tetap semangat dan senang menimba
ilmu di tempat itu.
Mereka memiliki teman baru di sekolahnya, yaitu seorang gadis cantik bernama Flo yang
merupakan anak dari seorang pegawai penambangan timah. Dalam kondisi sekolah yang
memprihatinkan, gedung yang sudah tua serta tidak layak pakai dan murid sekolah yang hanya
ada 10 anak di sekolah itu. Keadaan seperti itu mendapatkan respon dari Pemerintah Daerah
Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Sumatra Selatan, yaitu berupa peringatan bahwa sekolah
tersebut (SD Muhammadiyah) harus ditutup karena memiliki murid yang terlalu sedikit.
Harun seorang anak yang memiliki keterbelakangan mental, ia memiliki komitmen ingin
sekolah dan datang pada saat penutupan. Pada saat penerimaan siswa baru, baru terkumpul 9
siswa. Ketika Pak Harvan berpidato bahwasanya sekolah tetap berdiri harus dengan 10 orang, di
saat itulah Harun datang sebagai pelengkap dan akhirnya sekolah tidak jadi ditutup.
Ibu Muslimah adalah seorang guru yang sabar dalam mendidik mereka. Beliau adalah
sosok wanita yang memiliki tekad kuat. Beliau hanya seorang lulusan pendidikan tingkat SMP,
namun dengan tekadnya yang kuat beliau menjadikan dirinya wanita yang kuat, tegar, dan
memiliki dedikasi tinggi akan pendidikan.
Kelebihan novel ini adalah memiliki gaya bahasa yang cukup menarik untuk dibaca,
memberikan kenyamanan para pembaca saat menyimak setiap alur ceritanya. Kisahnya
memberikan pelajaran yang patut diteladani, terutama dalam aspek moral dan sosial. Dan juga
alur ceritanya menanamkan sikap selalu bersyukur atas apa yang ada dan diberikan oleh-Nya.
Kekurangan novel ini adalah karena kisahnya berlatar belakang di sebuah daerah terpencil,
beberapa kata menggunakan bahasa daerah yang tidak semua orang mengerti.
….
KOLABORASI DUA RAKSASA YANG SIA-SIA

Maestro Zhang Yimou seperti pelanduk di antara dua raksasa: hasilnya sebuah film dengan
pretense sejarah tembok raksasa Cina bercitarasa Hollywood.

Judul Film : THE GREAT WALL


Sutradara : Zhang Yimou
Skenario : Tony Gilroy, Carlo Bernard, Doug Miro, Max Brooks, Edward Zwick dan
Marshall Herskovitz
Pemain : Matt Damon, Andy Lau, Willem Dafoe, Pedro Pascal, Jiang Tian

***

Zhang Yimou, Hollywood dan mitos tembok raksasa.

Mengapa tidak? Itu yang muncul dari kepala Thomas Tull, bos Legendary Entertainment,
perusahaan film kerjasama Hollywood dan Beijing. Maka hasilnya adalah mengirim Matt
Damon sebagai pahlawan yang menyelamatkan sebuah kerajaan fiktif di masa lalu. Tembok
Raksasa Cina yang sudah dibangun sejak berabad-abad silam itu memang melahirkan puluhan
cerita legenda. Dan inilah salah satu legenda versi para pemilik mesin hitung uang Hollywood
itu:
Syahdan, setiap 60 tahun, Kekaisaran akan selalu diserbu oleh ribuan monster pimpinan
Sang Ratu. Monster itu disebut Taotie, spesies berbentuk seperti dinosaurus pemakan manusia.
Mereka bukan cuma berlari-lari dan menganga seperti dalam film-film lain yang berfantasi
tentang dinosaurus, tetapi Taotie luar biasa agresif berjumlah jutaan; memiliki kemampuan
strategis untuk menyerang. Lihat saja, mereka tahu bagaimana dan kapan menyerbu tembok
raksasa kerajaan; mereka tahu bagaimana melindungi dan melayani sang Ratu yang tak kunjung
kenyang mengganyang manusia. Tentu saja Sang Kaisar yang masih kecil, yang mungkin
diinspirasikan oleh tokoh nyata Kaisar Pu Yi, memiliki pimpinan militer dan ahli stategi
peperangan seperti Wang (Andy Lau) dan Komandan Lin Mae (Jiang Tian) yang luar biasa
cekatan dan prima, namun tetap saja serangan monster itu mengancam kepunahan seluruh
kekaisaran dan rakyatnya.
Muncul William Garin (Matt Damon) dan kawan-kawannya, antara lain Pero Tovar (Pedro
Pascal). Mereka prajurit bayaran yang datang ke Timur untuk mencari “bubuk hitam” ajaib yang
kelak kita kenal sebagai bahan peledak. Meski diawali dengan saling curiga antara kelompok
asing dan tentara kekaisaran, toh akhirnya ketika terjadi serangan ribuan monster , Garin dan
Tovar ikut membantu mereka menghalau binatang keji itu. Bayangkan saja serangan Taotie itu
seperti jutaan rayap yang menggerogoti rak kayu Anda, tetapi ini dalam ukuran gigantik dan
yang digerogoti adalah tubuh Anda. Jijik dan mengerikan.

Dari sisi cerita tentu saja kita tak bisa mengharapkan apa-apa. Ini ide cerita Hollywood:
manusia versus monster, yang kemudian dicangkokkan ke masa kekaisaran Cina. Apakah
mereka memang butuh seorang maestro seperti Zhang Yimou untuk film seperti ini? Tidak. Jika
mereka ingin sekedar blockbuster dengan latar belakang kisah legenda Tembok Raksasa, tak
perlu menyeret-nyeret sineas sekelas Zhang Yimou, karena toh plot cerita sama saja seperti
kisah monster versus manusia buatan Hollywood. Bedanya ini ditambah “rasa Timur” dan
komandan perempuan cantik serta keahlian pasukan perempuan yang mampu bertempur sambil
melayang-layang; meski toh jagoannya tetap si pemanah kulit putih, William Garin.
Plot cerita tidak ruwet. Sinematografi penuh citarasa Zhang Yimou yang selalu
mementingkan warna , gerak dan format yang cantik bahkan dalam bentuk kolosal seperti film
Curse of the Golden Flower (2006). Bahkan sebelum adegan perang yang keji dan menjijikkan
itu– jutaan binatang buatan CGI mempersembahkan manusia untuk dilahap oleh sang Ratu—
Zhang Yimou masih memerlukan genderang perang yang ditabuh dan ratusan bendera yang
dilambaikan.
Persoalan berikut yang diramaikan adalah: apakah film ini sebuah upaya whitewashing, ini
sebuah istilah dalam industri film di mana film yang seharusnya menampilkan tokoh kulit
berwarna diperankan oleh aktor kulit putih (seperti film The King and I, raja Thailand Mongkut
diperankan Yul Bryner; atau film Lawrence of Arabia , Pangeran Faisal diperankan oleh aktor
kulit putih Alec Guiness). Dalam hal ini, tokoh William Garin sejak awal digambarkan sebagai
orang asing yang meluncur masuk ke Cina, karena cerita ini adalah produk dari perkawinan
industri film Hollywood dan Tiongkok. Ini sama seperti film The Last Samurai (Edward Zwick,
2003) ketika tokoh Tom Cruise masuk ke sebuah kampung di Jepang menjadi pahlawan
sekaligus mengalami pencerahan. Jadi tak ada whitewashing dalam film ini, yang ada hanyalah
cerita klise dari produksi raksasa dan kesia-siaan menggunakan Zhang Yimou dan Andy Lau
dalam film ini.

Leila S.Chudori

Anda mungkin juga menyukai