F1 DBD
F1 DBD
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
PENYULUHAN
Oleh :
Pendamping :
dr. H. Sartono, MM
PUSKESMAS PEMARON
2019
LEMBAR PENGESAHAN
PENYULUHAN
DI PUSKESMAS PEMARON
Indonesia
PENDAHULUAN
1.3 Manfaat
1.3.1 Bagi Masyarakat
2.5.4 Patofisiologi
Walaupun demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue(DBD) disebabkan oleh
virus yang sama, tapi mekanisme patofisiologisnya yang berbeda yang menyebabkan
perbedaan klinis. Perbedaan yang utama adalah hemokonsentrasi yang khas pada DBD
yang bisa mengarah pada kondisi renjatan. Renjatan itu disebabkan karena kebocoran
plasma yang diduga karena proses imunologi. Pada demam dengue hal ini tidak terjadi.
Manifestasi klinis demam dengue timbul akibat reaksi tubuh terhadap masuknya virus.
Virus akan berkembang di dalam peredaran darah dan akan ditangkap oleh makrofag.
Segera terjadi viremia selama 2 hari sebelum timbul gejala dan berakhir setelah lima hari
gejala panas mulai. Makrofag akan segera bereaksi dengan menangkap virus dan
memprosesnya sehingga makrofag menjadi APC (Antigen Presenting Cell). Antigen yang
menempel di makrofag ini akan mengaktifasi sel T-Helper dan menarik makrofag lain
untuk memfagosit lebih banyak virus. T-helper akan mengaktifasi sel T-sitotoksik yang
akan melisis makrofag yang sudah memfagosit virus. Juga mengaktifkan sel B yang akan
melepas antibodi. Ada 3 jenis antibodi yang telah dikenali yaitu antibodi netralisasi,
antibodi hemagglutinasi, antibodi fiksasi komplemen (WHO, 2009).
Proses diatas menyebabkan terlepasnya mediator-mediator yang merangsang
terjadinya gejala sistemik seperti demam, nyeri sendi, otot, malaise dan gejala lainnya.
Dapat terjadi manifetasi perdarahan karena terjadi agregasi trombosit yang menyebabkan
trombositopenia, tetapi trombositopenia ini bersifat ringan.5 Imunopatogenesis DBD dan
DSS masih merupakan masalah yang kontroversial. Dua teori yang digunakan untuk
menjelaskan perubahan patogenesis pada DBD dan DSS yaitu teori virulensi dan hipotesis
infeksi sekunder (secondary heterologous infection theory).
Teori virulensi dapat dihipotesiskan sebagai berikut : Virus dengue seperti juga virus
binatang yang lain, dapat mengalami perubahan genetik akibat tekanan sewaktu virus
mengadakan replikasi baik pada tubuh manusia maupun pada tubuh nyamuk. Ekspresi
fenotipik dari perubahan genetik dalam genom virus dapat menyebabkan peningkatan
replikasi virus dan viremia, peningkatan virulensi, dan mempunyai potensi untuk
menimbulkan wabah. Renjatan yang dapat menyebabkan kematian terjadi sebagai akibat
serotipe virus yang paling virulen (Hadinegoro, 2016).
Secara umum hipotesis secondary heterologous infection menjelaskan bahwa jika
terdapat antibodi yang spesifik terhadap jenis virus tertentu maka antibodi tersebut dapat
mencegah penyakit, tetapi sebaliknya apabila antibodi terdapat dalam tubuh merupakan
antibodi yang tidak dapat menetralisasi virus, justru dapat menimbulkan penyakit yang
berat.6 Antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenai virus lain yang akan
menginfeksi dan kemudian membentuk kompleks antigen-antibodi yang akan berikatan
dengan Fc reseptor dari membran sel leukosit terutama makrofag. Dihipotesiskan juga
mengenai antibody dependent enhancement (ADE), suatu proses yang akan meningkatkan
infeksi dan replikasi virus dengue di dalam sel mononuklear. Sebagai respon terhadap
infeksi tersebut, terjadi sekresi mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan
peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemia
dan syok (Hadinegoro, 2016).
Patogenesis terjadinya syok berdasarkan hipotesis infeksi sekunder (teori secondary
heterologous infection) dapat dilihat pada Gambar 1. Sebagai akibat infeksi sekunder oleh
tipe virus dengue yang berlainan pada seorang pasien, respon antibodi anamnestik yang
akan terjadi dalam waktu beberapa hari mengakibatkan proliferasi dan transformasi
limfosit dengan menghasilkan titer tinggi antibodi IgG antidengue. Disamping itu, replikasi
virus dengue terjadi juga di dalam limfosit yang bertransformasi dengan akibat terdapatnya
virus dalam jumlah banyak. Hal ini akan mengakibatkan terbentuknya kompleks antigen-
antibodi (virus antibody complex) yang selanjutnya akan mengakibatkan aktivasi sistem
komplemen.
Pelepasan C3a dan C5a akibat aktivasi C3 dan C5 menyebabkan peningkatan
permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya plasma dari ruang intravaskuler
ke ruang ekstravaskuler. Pada pasien dengan syok berat, volume plasma dapat berkurang
sampai lebih dari 30% dan berlangsung selama 24 – 48 jam. Perembesan plasma yang erat
hubungannya dengan kenaikan permeabilitas dinding pembuluh darah ini terbukti dengan
adanya peningkatan kadar hematokrit, penurunan kadar natrium dan terdapatnya cairan di
dalam rongga serosa (efusi pleura dan asites). Syok yang tidak tertanggulangi secara
adekuat akan menyebabkan asidosis dan anoksia, yang dapat berakibat fatal, oleh karena
itu pengobatan syok sangat penting guna mencegah kematian (Hadinegoro, 2016).
Gambar 1. Patogenesis Terjadinya Syok Pada DBD
Sebagai respon terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen antibodi selain
mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi trombosit dan mengaktivasi
sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel pembuluh darah. Kedua faktor tersebut
akan mengakibatkan perdarahan pada DBD. Agrerasi trombosit terjadi sebagai akibat dari
perlekatan kompleks antigen-antibodi pada membran trombosit mengakibatkan
pengeluaran ADP (adenosin diphosphat ), sehingga trombosit dihancurkan oleh RES
(reticulo endothelial system) sehingga terjadi trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan
menyebabkan pengeluaran platelet faktor III mengakibatkan terjadinya koagulapati
konsumtif (KID; koagulasi intravaskular deseminata), ditandai dengan peningkatan FDP
(fibrinogen degradation product ) sehingga terjadi penurunan faktor pembekuan.
Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit, sehingga
walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak berfungsi dengan baik. Di sisi lain,
aktivasi koagulasi akan menyebabkan aktivasi faktor Hagemen sehingga terjadi aktivasi
sistem kinin kalikrein sehingga memacu peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat
mempercepat terjadinya syok. Jadi, perdarahan masif pada DBD diakibatkan oleh
trombositopenia, penurunan faktor pembekuan (akibat KID), kelainan fungsi trombosit,
dan kerusakan dinding endotel kapiler. Akhirnya perdarahan akan memperberat syok yang
terjadi (Hadinegoro, 2016).
Gambar 2. Patogenesis Terjadinya Perdarahan pada DBD
2.5.5 Diagnosis
Perjalanan infeksi virus di dalam tubuh manusia sangat tergantung dari interaksi
antara kondisi imunologik dan umur seseorang. Oleh karena itu infeksi virus dengue dapat
tidak menunjukan gejala (asimptomatik) ataupun bermanifestasi klinis ringan yaitu demam
tanpa penyebab yang jelas, demam dengue (DD) dan bermanifestasi berat dengan demam
berdarah dengue (DBD) tanpa syok atau sindrom syok dengue (SSD).1 Namun, untuk
alasan praktis, infeksi dengue yang tidak berat (non-severe dengue) dapat dikelompokkan
ke dalam 2 kelompok yaitu pasien dengan warning sign dan tanpa warning sign.
2.5.6 Penatalaksanaan
Berdasarkan panduan WHO 2009, pasien dengan infeksi dengue dikelompokkan ke
dalam 3 kelompok yaitu Grup A, B, dan C.5 Pasien yang termasuk Grup A dapat menjalani
rawat jalan. Sedangkan pasien yang termasuk Grup B atau C harus menjalani perawatan di
rumah sakit. Sampai saat ini belum tersedia terapi antiviral untuk infeksi dengue. Prinsip
terapi bersifat simptomatis dan suportif.
a. Grup A
Yang termasuk Grup A adalah pasien yang tanpa disertai warning signs dan
mampu mempertahankan asupan oral cairan yang adekuat dan memproduksi urine
minimal sekali dalam 6 jam. Sebelum diputuskan rawat jalan, pemeriksaan darah
lengkap harus dilakukan. Pasien dengan hematokrit yang stabil dapat dipulangkan.
Terapi di rumah untuk pasien Grup A meliputi edukasi mengenai istirahat atau tirah
baring dan asupan cairan oral yang cukup, serta pemberian parasetamol. Pasien beserta
keluarganya harus diberikan KIE tentang warning signs secara jelas dan diberikan
instruksi agar secepatnya kembali ke rumah sakit jika timbul warning signs selama
perawatan di rumah (WHO, 2009).
b. Grup B
Yang termasuk Grup B meliputi pasien dengan warning signs dan pasien
dengan kondisi penyerta khusus (co-existing conditions). Pasien dengan kondisi
penyerta khusus seperti kehamilan, bayi, usia tua, diabetes mellitus, gagal ginjal atau
dengan indikasi sosial seperti tempat tinggal yang jauh dari RS atau tinggal sendiri
harus dirawat di rumah sakit. Jika pasien tidak mampu mentoleransi asupan cairan
secara oral dalam jumlah yang cukup, terapi cairan intravena dapat dimulai dengan
memberikan larutan NaCl 0,9% atau Ringer’s Lactate dengan kecepatan tetes
maintenance. Monitoring meliputi pola suhu, balans cairan (cairan masuk dan cairan
keluar), produksi urine, dan warning signs (WHO, 2009).
Tatalaksana pasien infeksi dengue dengan warning signs adalah sebagai berikut:
1. Mulai dengan pemberian larutan isotonic (NS atau RL) 5-7 ml/kg/jam selama 1-2
jam, kemudian kurangi kecepatan tetes menjadi 3-5 ml/kg/jam selama 2-4 jam, dan
kemudian kurangi lagi menjadi 2-3 ml/kg/jam sesuai respons klinis.
2. Nilai kembali status klinis dan evaluasi nilai hematokrit. Jika hematokrit stabil atau
hanya meningkat sedikit, lanjutkan terapi cairan dengan kecepatan 2-3 ml/kg/jam
selama 2-4 jam.
3. Jika terjadi perburukan tanda vital dan peningkatan cepat nilai HCT, tingkatkan
kecepatan tetes menjdai 5-10 ml/kg/jam selama 1-2 jam
4. Nilai kembali status klinis, evaluasi nilai hematokrit dan evaluasi kecepatan tetes
infuse. Kurangi kecepatan tetes secara gradual ketika mendekati akhir fase kritis
yang diindikasikan oleh adanya produksi urine dan asupan cairan yang adekuat dan
nilai hematokrit di bawah nilai baseline.
5. Monitor tanda vital dan perfusi perifer (setiap 1-4 jam sampai pasien melewati fase
kritis), produksi urine, hematokrit (sebelum dan sesudah terapi pengganti cairan,
kemudian setiap 6-12 jam), gula darah, dan fungsi organ lainnya (profil ginjal,
hati, dan fungsi koagulasi sesuai indikasi).
c. Grup C
Yang termasuk Grup C adalah pasien dengan kebocoran plasma (plasma
leakage) berat yang menimbulkan syok dan/atau akumulasi cairan abnormal dengan
distres nafas, perdarahan berat, atau gangguan fungsi organ berat. Terapi terbagi
menjadi terapi syok terkompensasi (compensated shock) dan terapi syok hipotensif
(hypotensive shock) (WHO, 2009)
2.5.7 Pencegahan
Demam berdarah dapat dicegah dengan memberantas jentik-jentik nyamuk Demam
Berdarah (Aedes aegypti) dengan cara melakukan PSN (Pembersihan Sarang Nyamuk)
Upaya ini merupakan cara yang terbaik, ampuh, murah, mudah dan dapat dilakukan oleh
masyarakat, dengan cara sebagai berikut (WHO, 2009) :
1. Bersihkan (kuras) tempat penyimpanan air (seperti : bak mandi / WC, drum, dan lain-
lain) sekurang-kurangnya seminggu sekali. Gantilah air di vas kembang, tempat minum
burung, perangkap semut dan lain-lain sekurang-kurangnya seminggu sekali
2. Tutuplah rapat-rapat tempat penampungan air, seperti tampayan, drum, dan lain-lain
agar nyamuk tidak dapat masuk dan berkembang biak di tempat itu
3. Kubur atau buanglah pada tempatnya barang-barang bekas, seperti kaleng bekas, ban
bekas, botol-botol pecah, dan lain-lain yang dapat menampung air hujan, agar tidak
menjadi tempat berkembang biak nyamuk. Potongan bamboo, tempurung kelapa, dan
lain-lain agar dibakar bersama sampah lainnya
4. Tutuplah lubang-lubang pagar pada pagar bambu dengan tanah atau adukan semen
5. Lipatlah pakaian/kain yang bergantungan dalam kamar agar nyamuk tidak hinggap
disitu
6. Untuk tempat-tempat air yang tidak mungkin atau sulit dikuras, taburkan bubuk
ABATE ke dalam genangan air tersebut untuk membunuh jentik-jentik nyamuk. Ulangi
hal ini setiap 2-3 bulan sekali
Takaran penggunaan bubuk ABATE adalah sebagai berikut: Untuk 10 liter air cukup
dengan 1 gram bubuk ABATE. Untuk menakar ABATE digunakan sendok makan. Satu
sendok makan peres berisi 10 gram ABATE. Setelah dibubuhkan ABATE maka8:
1. Selama 3 bulan bubuk ABATE dalam air tersebut mampu membunuh jentik Aedes
aegypti
2. Selama 3 bulan bila tempat penampungan air tersebut akan dibersihkan/diganti airnya,
hendaknya jangan menyikat bagian dalam dinding tempat penampungan air tersebut
3. Air yang telah dibubuhi ABATE dengan takaran yang benar, tidak membahayakan dan
tetap aman bila air tersebut diminum
Dalam penanganan DBD, peran serta masyarakat untuk menekan kasus ini sangat
menentukan. Oleh karenanya program Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) yang
dicanangkan oleh KEMNKES dengan cara 3M Plus perlu dilakukan secara berkelanjutan
sepanjang tahun khususnya pada musim penghujan. Program PSN , yaitu: 1) Menguras,
adalah membersihkan tempat yang sering dijadikan tempat penampungan air seperti bak
mandi, ember air, tempat penampungan air minum, penampung air lemari es dan lain-lain
2) Menutup, yaitu menutup rapat-rapat tempat-tempat penampungan air seperti drum,
kendi, toren air, dan lain sebagainya; dan 3) Memanfaatkan kembali atau mendaur ulang
barang bekas yang memiliki potensi untuk jadi tempat perkembangbiakan nyamuk penular
Demam Berdarah.
Adapun yang dimaksud dengan 3M Plus adalah segala bentuk kegiatan pencegahan
seperti 1) Menaburkan bubuk larvasida pada tempat penampungan air yang sulit
dibersihkan; 2) Menggunakan obat nyamuk atau anti nyamuk; 3) Menggunakan kelambu
saat tidur; 4) Memelihara ikan pemangsa jentik nyamuk; 5)Menanam tanaman pengusir
nyamuk, 6) Mengatur cahaya dan ventilasi dalam rumah; 7) Menghindari kebiasaan
menggantung pakaian di dalam rumah yang bisa menjadi tempat istirahat nyamuk, dan
lain-lain. PSN perlu ditingkatkan terutama pada musim penghujan dan pancaroba, karena
meningkatnya curah hujan dapat meningkatkan tempat-tempat perkembangbiakan nyamuk
penular DBD, sehingga seringkali menimbulkan kejadian luar biasa (KLB) terutama pada
saat musim penghujan.
Selain PSN 3M Plus, sejak Juni 2015 Kemenkes sudah mengenalkan program 1
rumah 1 Jumantik (juru pemantau jentik) untuk menurunkan angka kematian dan kesakitan
akibat Demam Berdarah Dengue. Gerakan ini merupakan salah satu upaya preventif
mencegah Demam Berdarah Dengue (DBD) dari mulai pintu masuk negara sampai ke
pintu rumah.
BAB III
KEGIATAN
3.1 Intervensi
3) Materi :
- Definisi DBD
- Penanganan DBD
4) Pelaksanaan :
Hari/
- Tanggal : Kamis, 7 Februari 2019
Pertanyaan kedua : apa gejala pada penderita DBD serta apa yang harus dilakukan
2.7 Evaluasi
konstribusi program terhadap perubahan. Dalam hal ini dapat digali lebih lanjut masalah-
masalah yang belum teratasi melalui pertanyaan acak maupun diskusi kelompok serta
sempurna.
Secara umum kegiatan berlangsung lancar, sasaran dapat menerima dengan baik materi
yang disampaikan. Penyuluhan dengan menggunakan pamphlet dan PPT dengan bahasa
yang sederhana serta gambar-gambar dapat memudahkan sasaran memahami materi yang
disampaikan. Adapun Tanya jawab sangat membantu dalam memberikan pemahaman yang
lebih baik bagi sasaran. Dalam hal ini antusiasme sasaran sangat baik, sasaran aktif
mendengarkan materi yang disampaikan. Adanya pemberian reward bagi sasaran yang bisa
menjawab pertanyaan dari pembicara membuat antusiasme sasaran menjadi sangat baik.
BAB IV
4.1 Kesimpulan
DBD (Demam Berdarah Dengue) adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh virus
dengue tipe 1-4, dengan manifestasi klinis demam mendadak 2-7 hari disertai gejala
perdarahan dengan atau tanpa syok. Vektor utama dengue di Indonesia adalah Aedes
aegypti betina, disamping pula Aedes albopictus betina.
4.2 Saran
Buchy P, Yoksan S, Peeling RW, Hunsperger E. 2018. Laboratory Tests for The Diagnosis of
Dengue Virus Infection. J Clin Microbiol ;40:376-81.
Hadinegoro, S.Sri Rezeki, Pitfalls and Pearls. 2016. Diagnosis dan Tata Laksana Demam
Berdarah Dengue, dalam : Current Management of Pediatric Problem. Balai
penerbit FKUI Jakarta.
Hadinegoro, S.Sri Rezeki. 2011. Tata Laksana Demam Berdarah Dengue di Indonesia.
Terbitan Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2016. Waspada DBD dengan PSN 3M Plus.
<https/www.depkes.go.id> diakses pada tanggal 20 Februari 2019.
WHO, Regional Office for South East Asia. 2011. Comprehensive Guidelines for
Prevention and Control of Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever: Revised and
expanded edition. SEARO Technical Publication Series No. 60. India.
World Health Organization. DENGUE Guidelines for diagnosis, treatment, prevention and
control. New Edition 2009.
LAMPIRAN