Anda di halaman 1dari 20

TUGAS MAKALAH

EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR

KONSEP DASAR EPIDEMIOLOGI PENYAKIT

Disusun Oleh :

1. Luthsi Iddo P (25010116120002)


2. Diana Yulianti (25010116120003)
3. Rahma Desta K (25010116120004)
4. Aulia Firda R (25010116120005)
5. Gicelle T M (25010116120006)
6. Baskara Petar M (25010116120007)
7. Avicenna Ahmadi (25010116120008)
8. Annisa Fitriyani (25010116120009)
9. Krisni Dwi C (25010116120010)
10. Lelly Prakusya (25010116120011)
11. Fitriana Tungga (25010116120012)
12. Dini Kusumastuti (25010116120013)
13. Nur Shadrina N (25010116120014)
14. Mudrika (25010116120015)
15. Ramadhani P S (25010116120016)
16. Erliana Unzila (25010116120017)
17. Umi Shalihah (25010116120018)

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS DIPONEGORO

2017

1
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit merupakan salah satu gangguan kehidupan manusia yang telah dikenal orang
sejak dahulu. Pada mulainya, konsep terjadinya didasarkan pada adanya gangguan
makhluk halus atau karena kemurkaan dan yang maha pencipta, hingga saat ini masih
banyak kelompok masyarakat di negara berkembang yang menganut konsep tersebut.
Dalam prakteknya ada faktor yang dipelajari dari studi epidemiologi penyakit baik itu
untuk penyakit menular ataupun tidak menular. Ketiga faktor tersebut sering disebut
Segitiga Epidemiologi atau Epidemiological Triad, yaitu konsep dasar epidemiologi yang
memberi gambaran tentang hubungan antara tiga faktor yang berperan dalam terjadinya
sebuah penyakit. Epidemiologi merupakan suatu ilmu yang mempelajari frekuensi dan
penyebaran/ distribusi suatu penyakit serta faktor yang mempengaruhinya dalam
sekelompok populasi beserta cara mencegah dan mengendalikannya.

Penyakit dari sudut epidemiologi digambarkan sebagai mal-adjusment atau


ketidakmampuan manusia untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungannya dan
merupakan fenomena sosial dimana penyakit dapat timbul setiap saat pada seluruh bagian
masyarakat di atas permukaan bumi ini tanpa ada pengecualian. Pengertian penyebab
penyakit dalam epidemiologi berkembang dari rantai sebab akibat ke suatu proses
kejadian penyakit, yaitu proses interaksi manusia (host), penyebab (agent), serta dengan
lingkungan (environment).Konsep penyebab dan proses terjadinya penyakit dalam
epidemiologi berkembang dari rantai sebab akibat sesuatu proses kejadian penyakit yakni
proses interaksi antara manusia (pejamu) dengan bebagai sifattnya (biologis, fisiologism
psikologis, sosiologis dan antropologis) dengan penyebab (agents) dan lingkungan
(environment). Untuk memprediksi penyakit, model ini menekankan perlunya analisis
dan pemahaman masing-masing komponen tersebut.

2
1.2 Tujuan

Umum

Untuk mengetahui tujuan umum konsep dasar epidemiologi penyakit

Khusus

 Untuk mengetahui definisi dasar epidemiologi penyakit


 Untuk mengetahui riwayat alamiah penyakit
 Untuk mengetahui patofisiologi penyakit

1.3 Manfaat
1. Manfaat ilmiah
Merupakan manfaat bagi ilmu kesehatan sebagai data dasar konsep timbul penyakit
2. Manfaat praktis
Dapat digunaakan sebagai panduan di dalam konsep timbul awal mulanya penyakit.

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Defenisi Epidemiologi

Epidemiologi adalah metode investigasi yang digunakan untuk mendeteksi


penyebab penyebab atau sumber dari penyakit , sindrom , konidisi atau resiko yang
menyebabkan penyakit , cedera , cacat atau keamatian dalam populasi atau dalam
suatu kelompok manusia. Epidemiologi juga didefenisikan sebagai ilmu yang
mempelajari sifat, penyebab , pengendalian dan faktor-faktor yang mempengaruhi
frekuensi dan distribusi penyakit , kecacatan dan kematian dalam populasi manusia.
Ilmu ini meliputi pemberian ciri pada distribusi status kesehatan, penyakit atau
masalah kesehatan masyarakat lainnya berdasarkan usia , jenis kelamin, ras , gepgrafi
agama , pendidikan, pekerjaan, perilaku , waktu, tempat orang dan sebagainya
(Timmreck, 2004 : 2)
Epidemiologi beofokus pada tipe dan keluasan cedera, kondisi atau penyakit
yang menimpa suatu kelompok atau atau populasi epidemiologi juga menangani
faktor resiko yang dapat memberikan dampak pengaruh, pemicu dan efek pada
distribusi penyakit, cacat/defek, ketidakmampuan dan kematian. Sebagai metode
ilmiah, epidemiologi juga digunakan untuk mengkaji pola kejadian yang
mempengaruhi faktor-faktor di atas. Subjek-subjek yang dibahas dalam epidemiologi
adalah distribusi kondisi patologi dari populasi manusia atau faktor-faktor yang
mempengaruhi distribusi tersebut (Timmrek 2004 :2)

2.2 Riwayat Alamiah Penyakit

Riwayat alamiah penyakit (natural history of disease) adalah deskripsi tentang


perjalanan waktu dan perkembangan penyakit pada individu, dimulai sejak terjadinya
paparan dengan agen kausal hingga terjadinya akibat penyakit, seperti kesembuhan
atau kematian, tanpa terinterupsi oleh suatu intervensi preventif maupun terapetik
(CDC, 2010c). Riwayat alamiah penyakit merupakan salah satu elemen utama
epidemiologi deskriptif (Bhopal, 2002, dikutip Wikipedia, 2010).

4
Riwayat alamiah penyakit perlu dipelajari. Pengetahuan tentang riwayat
alamiah penyakit sama pentingnya dengan kausa penyakit untuk upaya pencegahan
dan pengendalian penyakit. Dengan mengetahui perilaku dan karakteristik masing-
masing penyakit maka bisa dikembangkan intervensi yang tepat untuk
mengidentifikasi maupun mengatasi problem penyakit tersebut (Gordis, 2000;
Wikipedia, 2010). Gambar dibawah ini menyajikan kerangka umum riwayat alamiah
penyakit.

Fase
Fase suseptibel Fase subklinis Fase penyembuhan,
(rentan
) (asimtomatis
) klinis kecacatan atau
kematian
Masa inkubasi Durasi
(laten)
Proses Proses Proses
induksi promosi ekspresi

Awal proses Awal proses Awalpenyakit Awal akibat


etiologis patologis klinis (mulai penyakit
(paparan (penyakit tanda dan (perubahan
dengan agen menjadi gejala klinis) status kesehatan
kausal) ireversibel) atau kematian)

Pencegahan Pencegahan Pencegahan


primer sekunder tersier

Gambar: Riwayat alamiah penyakit

Perjalanan penyakit dimulai dengan terpaparnya individu sebagai penjamu


yang rentan (suseptibel) oleh agen kausal. Paparan (exposure) adalah kontak atau
kedekatan (proximity) dengan sumber agen penyakit. Konsep paparan berlaku untuk
penyakit infeksi maupun non-infeksi. Contoh, paparan virus hepatitis B (HBV) dapat
menginduksi terjadinya hepatitis B, paparan stres terus-menerus dapat menginduksi
terjadinya neurosis, paparan radiasi menginduksi terjadinya mutasi DNA dan
menyebabkan kanker, dan sebagainya. Arti “induksi” itu sendiri merupakan aksi yang
mempengaruhi terjadinya tahap awal suatu hasil, dalam hal ini mempengaruhi awal
terjadinya proses patologis. Jika terdapat tempat penempelan (attachment) dan jalan
masuk sel (cell entry) yang tepat maka paparan agen infeksi dapat menyebabkan
invasi agen infeksi dan terjadi infeksi. Agen infeksi melakukan multiplikasi yang
mendorong terjadinya proses perubahan patologis, tanpa penjamu menyadarinya.

Periode waktu sejak infeksi hingga terdeteksinya infeksi melalui tes


laboratorium/ skrining disebut “window period”. Dalam “window period” individu

5
telah terinfeksi, sehingga dapat menularkan penyakit, meskipun infeksi tersebut
belum terdeteksi oleh tes laboratorium. Implikasinya, tes laboratorium hendaknya
tidak dilakukan selama “window period”, sebab infeksi tidak akan terdeteksi. Contoh,
antibodi HIV (human immuno-deficiency virus) hanya akan muncul 3 minggu hingga
6 bulan setelah infeksi. Jika tes HIV dilakukan dalam “window period”, maka
sebagian besar orang tidak akan menunjukkan hasil positif, sebab dalam tubuhnya
belum diproduksi antibodi. Karena itu tes HIV hendaknya ditunda hingga paling
sedikit 12 minggu (3 bulan) sejak waktu perkiraan paparan. Jika seorang telah
terpapar oleh virus tetapi hasil tes negatif, maka perlu dipertimbangkan tes ulang 6
bulan kemudian.

Selanjutnya berlangsung proses promosi pada tahap preklinis, yaitu keadaan


patologis yang ireversibel dan asimtomatis ditingkatkan derajatnya menjadi keadaan
dengan manifestasi klinis (Kleinbaum et al., 1982; Rothman, 2002). Melalui proses
promosi agen kausal akan meningkatkan aktivitasnya, masuk dalam formasi tubuh,
menyebabkan transformasi sel atau disfungsi sel, sehingga penyakit menunjukkan
tanda dan gejala klinis. Dewasa ini telah dikembangkan sejumlah tes skrining atau tes
laboratorium untuk mendeteksi keberadaan tahap preklinis penyakit (US Preventive
Services Task Force, 2002; Barratt et al., 2002; Champion dan Rawl, 2005). Waktu
sejak penyakit terdeteksi oleh skrining hingga timbul manifestasi klinik, disebut
“sojourn time”, atau detectable preclinical period (Brookmeyer, 1990; Last, 2001;
Barratt et al., 2002). Makin panjang sojourn time, makin berguna melakukan skrining,
sebab makin panjang tenggang waktu untuk melakukan pengobatan dini (prompt
treatment) agar proses patologis tidak termanifestasi klinis. Kofaktor yang
mempercepat progresi menuju penyakit secara klinis pada sojourn time (detectable
preclinical period) disebut akselerator atau progresor (Achenbach et al., 2005).

Waktu yang diperlukan mulai dari paparan agen kausal hingga timbulnya
manifestasi klinis disebut masa inkubasi (penyakit infeksi) atau masa laten (penyakit
kronis). Pada fase ini penyakit belum menampakkan tanda dan gejala klinis, disebut
penyakit subklinis (asimtomatis). Masa inkubasi bisa berlangsung dalam hitungan
detik pada reaksi toksik atau hipersentivitas. Contoh, gejala kolera timbul beberapa
jam hingga 2-3 hari sejak paparan dengan Vibrio cholera yang toksigenik. Pada
penyakit kronis masa inkubasi (masa laten) bisa berlangsung sampai beberapa dekade.
Kovariat yang berperan dalam masa laten (masa inkubasi), yakni faktor yang

6
meningkatkan risiko terjadinya penyakit secara klinis, disebut faktor risiko.
Sebaliknya, faktor yang menurunkan risiko terjadinya penyakit secara klinis disebut
faktor protektif.

Selanjutnya terjadi inisiasi penyakit klinis. Pada saat ini mulai timbul tanda
(sign) dan gejala (symptom) penyakit secara klinis, dan penjamu yang mengalami
manifestasi klinis disebut kasus klinis. Gejala klinis paling awal disebut gejala
prodromal. Selama tahap klinis, manifestasi klinis akan diekspresikan hingga terjadi
hasil akhir/ resolusi penyakit, baik sembuh, remisi, perubahan beratnya penyakit,
komplikasi, rekurens, relaps, sekuelae, disfungsi sisa, cacat, atau kematian. Periode
waktu untuk mengekspresikan penyakit klinis hingga terjadi hasil akhir penyakit
disebut durasi penyakit. Kovariat yang mempengaruhi progresi ke arah hasil akhir
penyakit, disebut faktor prognostik (Kleinbaum et al., 1982; Rothman, 2002).
Penyakit penyerta yang mempengaruhi fungsi individu, akibat penyakit, kelangsungan
hidup, alias prognosis penyakit, disebut ko-morbiditas (Mulholland, 2005). Contoh,
TB dapat menjadi ko-morbiditas HIV/AIDS yang meningkatkan risiko kematian
karena AIDS pada wanita dengan HIV/AIDS (Lopez-Gatell et al., 2007).

Karakteristik Agen

Dalam epidemiologi penyakit infeksi, individu yang terpapar belum tentu


terinfeksi. Hanya jika agen kausal penyakit infeksi terpapar pada individu lalu
memasuki tubuh dan sel (cell entry), lalu melakukan multiplikasi dan maturasi, dan
menimbulkan perubahan patologis yang dapat dideteksi secara laboratoris atau
terwujud secara klinis, maka individu tersebut dikatakan mengalami infeksi. Dalam
riwayat alamiah penyakit infeksi, proses terjadinya infeksi, penyakit klinis, maupun
kematian dari suatu penyakit tergantung dari berbagai determinan, baik intrinsik
maupun ekstrinsik, yang mempengaruhi penjamu maupun agen kausal. Tergantung
tingkat kerentanan (atau imunitas), individu sebagai penjamu yang terpapar oleh agen
kausal dapat tetap sehat, atau mengalami infeksi (jika penyakit infeksi) dan
mengalami perubahan patologi yang ireversibel. Ukuran yang menunjukkan
kemampuan agen penyakit untuk mempengaruhi riwayat alamiah penyakit sebagai
berikut: (1) infektivitas, (2) patogenesitas, dan (3) virulensi.

7
1. Infektivitas - kemampuan agen penyakit untuk menyebabkan terjadinya infeksi.
Dihitung dari jumlah individu yang terinfeksi dibagi dengan jumlah individu yang
terpapar.
2. Patogenesitas – kemampuan agen penyakit untuk menyebabkan penyakit klinis.
Dihitung dari jumlah kasus klinis dibagi dengan jumlah individu yang terinfeksi.
3. Virulensi – kemampuan penyakit untuk menyebabkan kematian. Indikator ini
menunjukkan kemampuan agen infeksi menyebabkan keparahan (severety)
penyakit. Dihitung dari jumlah kasus yang mati dibagi dengan jumlah kasus klinis

Contoh, Ca serviks merupakan kanker bagian bawah (leher) uterus yang berhubungan
dengan vagina. Kanker tersebut merupakan kanker kedua terbanyak pada wanita dan
penyebab kematian karena kanker paling utama di negara-negara berkembang.
Sekitar 466,000 kasus baru Ca serviks terjadi pada wanita di seluruh dunia setiap
tahun, sebagian besar di negara berkembang. Dari 231,000 wanita yang meninggal
karena Ca serviks setiap tahun, sekitar 80 persen berasal dari negara berkembang
(Alliance for Cervical Cancer Prevention, 2007). Riwayat alamiah penyakit Ca
serviks sebagai berikut.

Agen kausal utama (70%) Ca serviks adalah human papillomavirus (HPV) tipe 16/18,
ditularkan melalui kontak genital (Brookmeyer, 1990; Bosch et al., 1997; The
FUTURE II Study Group,
2007). Gambar menyajikan riwayat alamiah infeksi HPV dan potensi menjadi kanker.
Skrining abnormalitas

0-1tahun 0-5tahun 1-20tahun

Normal, Infeksi CIN 2/3 Kanker


tidak Infeksi berlanjut serviks
terinfeksi awal HPV invasif

CIN 1

Infeksi HPV menghilang spontan

Gambar Riwayat alamiah infeksi HPV dan potensi menjadi


kanker . CIN= cervical epithelial displasia (Sumber: Pinto, 2000)

Sebagian besar Ca serviks dimulai dengan infeksi awal oleh HPV, tetapi
sebagian besar infeksi HPV tidak berkembang menjadi Ca serviks. Infeksi awal HPV

8
dapat berlanjut dan menjadi displasia atau hilang dengan spontan. Sebagian besar
wanita yang terinfeksi HPV akan mengalami displasia tingkat rendah, disebut CIN 1
(cervical intraepithelial neoplasia 1), dalam beberapa bulan atau tahun terinfeksi.
Sebagian besar (60%) dari CIN 1 mengalami regresi dan menghilang dengan spontan
dalam tempo 2-3 tahun terutama pada wanita usia di bawah 35 tahun. Displasia
tingkat rendah (CIN 1) perlu dimonitor tetapi tidak perlu diobati Sebagian kecil kasus
CIN 1 akan mengalami progresi menjadi displasia tingkat tinggi, disebut CIN 2/3.

Sekitar 15% infeksi HPV yang persisten akan berkembang menjadi CIN 2/3
dalam tempo 3-4 tahun, baik dengan atau tanpa melalui CIN 1. CIN 2/3 merupakan
prekursor Ca serviks, karena itu harus diobati. Perjalanan Ca serviks memiliki masa
laten sangat panjang, hingga 20 tahun. Risiko perkembangan dari lesi prekanker (CIN
2/3) menjadi kanker invasif adalah sekitar 30-70% (rata-rata 32 persen) dalam tempo
10 tahun. Ca serviks paling sering terjadi pada wanita setelah usia 40 tahun, lebih-
lebih wanita di usia 50 dan 60 tahunan (Parkin et al., 1997).

Manfaat Riwayat Alamiah Penyakit


Berdasarkan riwayat alamiah penyakit diperoleh beberapa informasi penting
seperti:
a. Masa inkubasi atau masa latent, masa atau waktu yang diperlukan
selama perjalanan suatu penyakit untuk menyebabkan seseorang jatuh
sakit.
b. Kelengkapan keluhan (symptom) yang menjadi bahan informasi dalam
menegakkan diagnosis.
c. Lamanya dan beratnya keluhan dialami oleh penderita.
d. Kejadian penyakit menurut musim (season) kapan penyakit itu lebih
frekuen kejadiannya.
e. Kecenderungan lokasi geografis serangan penyakit sehingga dapat
dengan mudah dideteksi lokasi kejadian penyakit.
f. Sifat-sifat biologis kuman patogen sehingga, menjadi bahan informasi
untuk pencegahan penyakit, khususnya untuk pembunuhan kuman
penyebab.

9
Selain itu, dengan mengetahui riwayat alamiah dapat ditarik beberapa manfaat
seperti:
a. Untuk diagnostik: masa inkubasi dapat dipakai sebagai pedoman
penentuan jenis penyakit, misalnya jika terjadi KLB (kejadian luar
biasa).
b. Untuk pencegahan: dengan mengetahui kuman patogen penyabab dan
rantai perjalanan penyakit dapat dengan mudah dicari titik potong yang
penting dalam upaya pencegahan penyakit.
c. Untuk terapi: intervensi atau terapi hendaknya biasanya diarahkan ke
fase paling awal. Pada tahap perjalanan awal penyakit itu terapi tepat
sudah perlu diberikan.(Bustan, 2006 : 45)

Tingkat PencegahanPenyakit
Upaya pencegahan yang dapat dilakukan akan sesuai dengan
perkembangan patologis penyakit itu dari waktu ke waktu, sehingga upaya
pencegahan itu dibagi atas berbagai tingkat sesuai dengan perjalanan penyakit.
Tingkat pencegahanterbagimenjadi :

1. Pecegahan Primer
Upayapencegahan yang dilakukansaat proses penyakitbelummulai
(padaperiode pre patogenesis) dengantujuan agar tidakterjadi proses
penyakit. Fasepenyakitnyadiujukanpadafaktor-faktorpenyebabkhususdan
target/sasarannyabisa total populasi,
kelompokterseleksiatauindividusehat.Pencegahan primer meliputi :
a. Promosikesehatan, contohnya :
1) Pendidikankesehatan
2) Gizi yang cukupsesuaiperkembangan
3) Perumahan, rekreasi, tempatkerja
4) Konselingperkawinan
5) Genetika
6) Pemeriksaankesehatanberkala
b. Perlindungankhusus, contohnya :
1) Imunisasi
2) Kebersihanperorangan

10
3) Sanitasilingkungan
4) Perlindungankecelakaanakibatkerja
5) Penggunaangizitertentu
6) Perlindunganterhadapzat yang dapatmenimbulkankanker

2. PencegahanSekunder
Upayapencegahan yang dilakukansaat proses
penyakitsudahberlangsungnamunbelumtimbultanda/gejalasakit (periode
pathogenesis awal) dengantujuan proses peyakittidakberlanjut.
Fasepenyakitnyamerupakantahapdinipenyakit.dalampencegahaninitahapny
aadalahpasien.Pencegahansekundermeliputi :
a. Diagnosis dinidanpengobatansegera, yang terdiriatas :
1) Penemuankasus, individu, danmasal
2) Skrining
3) Pemeriksaankhususdengantujuan
a) Menyembuhkandanmencegahpenyakitberlanjut
b) Mencegahpenyebaranpenyakitmenular
c) Mencegahkomplikasidanakibatlanjutan
d) Memperpendekmasaketidakmampuan
b. Pembatasanketidakmampuan (disability limitation), meliputi :
1) Pengobatanynagcukupuntukmenghentikan proses
penyakitdanmncegahkomplikasi
2) Penyediaanfasilitasuntukmembatasiketidakmampuandanmencegah
kematian
3. PencegahanTersier
Pencegahan yang dilakukansaat proses penyakitsudahlanjut
(akhirperiodepatogenesis)
dengantujuanuntukmencegahcacatdanmengembalikanpenderitake status
sehat. Fasepenyakitadalahpenyakittahaplanjut (pengobatandanrehabilitasi)
dantargetnyaadalahpasien.Pencegahantersierberuparehabilitasi,
demganmelakukanupayaberikut :
a. Penyediaanfasilitasuntukpelatihanhinggafungsitubuhdapatdimanfaatka
nsebaik-baiknya

11
b. Pendidikanpadamasyarakatdanindustriawan agar menggunakanmereka
yang telahdirehabilitasi
c. Penempatansecaraselektif
d. Mempekerjakansepenuhmungkin
e. Terapikerja di rumahsakit
f. Penggunaankoloni yang terlindungi

2.3 Patofisiologi Penyakit

Patofisiologi adalah ilmu yang mempelajari gangguan fungsi pada organisme yang
sakit meliputi asal penyakit , permulaan perjalanan dan akibat. Penyakit adalah suatu
kondisi abnormal yang menyebabkan hilangnya kondisi normal yang sehat. Ditandai
(sebab, tanda dan gejala, perubahan secara spesifik oleh gambaran yang jelas morfologi dan fungsi
dsb). Abnormalitas dapat berupa bentuknya atau fungsinya atau keduanya. Batasan
Kondisinormal, bila dapat diukur dinyatakan dalam ukuran numeric, biasanya dibatasi
oleh dua simpangan baku (untuk bentuk distribusi ³normal´) pada tiap sisi harga tengah
(mean). Respon terhadap lingkungan setiap individu atau spesies harus mengadaptasi atau
bila tidak mampu akan menyebabkan kematian. Adaptasi Merupakan proses penyesuaian
setiap individu terhadap lingkungan yang buruk. Kegagalan melakukan adaptasi
akan menyebabkan kematian. Mampu membentuk pertahanan tubuh yang spesifik untuk
mikroorganisme akan kebal terhadap infeksi, bagi yang tidak mampu akan menderita
sakit yang dapat berakhir dengan kematian. Penyakit merupakan suatu mekanisme yang
menghasilkan tanda dan gejala klinis maupun patologis. Termasuk dalam patogenesis penyakit
:
a. Proses radang yaitu suatu respon terhadap berbagai mikroorganisme dan berbagai
jenis bahan yang merugikan menyebabkan kerusakan jaringan.
b. Degenerasi yaitu kemunduran sel atau jaringan yang merupakan respon atau
kegagalan dari penyesuaian terhadap berbagai agen.
c. Karsinogenesis yaitu mekanisme dimana bahan karsinogen menyebabkan terjadinya
kanker.
d. Reaksi imun yaitu suatu efek/reaksi sistem imun tubuh yang tidak diinginkan.
e. Periode laten dan inkubasi, waktu terjadinya penyakit dikenal sebagai periode laten
yang biasanya dinyatakan dalam dua atau tiga dekade. Dalam lingkup penyakit infeksi

12
(karenamikroorganisme), waktu antara masuknya kuman dan terjadinya sakit disebut
periode/waktu inkubasi, yang biasanya dinyatakan dalam hari atau minggu. Mikroorganisme
mempunyai periode inkubasi yang khusus untuk setiap agen penyebab. Prognosis penyakit
merupakan perkiraan terhadap apa yang diketahui atau terhadap perjalanan suatu
penyakit, sebagai kemungkinan yang akan dihadapi oleh penderita, sedangkan remisi dan
kambuh remisi merupakan proses perkembangan dari kondisi aktif menuju kondisi yang tenang.
Bila tanda dan gejala timbul kembali dikenal dengan kambuh (relapse). Manfaat
patofisiologi bagi keperawatan adalah sebagai dasar perawat dalam menganalisa
masalah yang terjadi pada klien, sehingga dapat mengidentifikasi pemenuhan
kebutuhan dasar klien yang terganggu secara rasional dan ilmiah.
Contoh Patofisiologi

1. Patofisiologi Malaria

Patofisiologi pada malaria belum diketahui dengan pasti. Berbagai macam


teori dan hipotesis telah dikemukakan. Perubahan patofisiologi pada malaria terutama
berhubungan dengan gangguan aliran darah setempat sebagai akibat melekatnya
eritrosit yang mengandung parasit pada endotelium kapiler. Perubahan ini cepat
reversibel pada mereka yang dapat tetap hidup (survive). Peran beberapa mediator
humoral masih belum pasti, tetapi mungkin terlibat dalam patogenesis terjadinya
demam dan peradangan. Skizogoni eksoeritrositik mungkin dapat menyebabkan
reaski leukosit dan fagosit, sedangkan sporozoit
danzgametositztidakzmenimbulkanzperubahanzpatofisiologik.

Patofisiologi malaria adalah multifaktorial dan mungkin berhubungan dengan


hal-hal sebagai berikut:

a. Penghancuran eritrosit.
Penghancuran eritrosit ini tidak saja dengan pecahnya eritrosit yang
mengandung parasit, tetapi juga oleh fagositosis eritrosit yang mengandung
parasit dan yang tidak mengandung parasit, sehingga menyebabkan anemia
dan anoksia jaringan. Dengan hemolisis intra vaskular yang berat, dapat terjadi
hemoglobinuria (blackwater fever) dan dapat mengakibatkan gagal ginjal.
b. Mediator endotoksin-makrofag.
Pada saat skizogoni, eritrosit yang mengandung parasit memicu makrofag
yang sensitif endotoksin untuk melepaskan berbagai mediator yang berperan

13
dalam perubahan patofisiologi malaria. Endotoksin tidak terdapat pada parasit
malaria, mungkin berasal dari rongga saluran cerna. Parasit malaria itu sendiri
dapat melepaskan faktor neksoris tumor (TNF). TNF adalah suatu monokin ,
ditemukan dalam darah hewan dan manusia yang terjangkit parasit malaria.
TNF dan sitokin lain yang berhubungan, menimbulkan demam, hipoglimeia
dan sindrom penyakit pernafasan pada orang dewasa (ARDS = adult
respiratory distress syndrome) dengan sekuestrasi sel neutrofil dalam
pembuluh darah paru. TNF dapat juga menghancurkan plasmodium
falciparum in vitro dan dapat meningkatkan perlekatan eritrosit yang
dihinggapi parasit pada endotelium kapiler. Konsentrasi TNF dalam serum
pada anak dengan malaria falciparum akut berhubungan langsung dengan
mortalitas, hipoglikemia, hiperparasitemia dan beratnya penyakit.
c. Sekuestrasi eritrosit yang terinfeksi.
Eritrosit yang terinfeksi plasmodium falciparum stadium lanjut dapat
membentuk tonjolan-tonjolan (knobs) pada permukaannya. Tonjolan tersebut
mengandung antigen malaria dan bereaksi dengan antibodi malaria dan
berhubungan dengan afinitas eritrosit yang mengandung plasmodium
falciparum terhadap endotelium kapiler darah dalam alat dalam, sehingga
skizogoni berlangsung di sirkulasi alat dalam, bukan di sirkulasi perifer.
Eritrosit yang terinfeksi, menempel pada endotelium kapiler darah dan
membentuk gumpalan (sludge) yang membendung kapiler dalam alam-alat
dalam.
Protein dan cairan merembes melalui membran kapiler yang bocor
(menjadi permeabel) dan menimbulkan anoksia dan edema jaringan. Anoksia
jaringan yang cukup meluas dapat menyebabkan kematian. Protein kaya
histidin P. falciparum ditemukan pada tonjolan-tonjolan tersebut, sekurang-
kurangnya ada empat macam protein untuk sitoaherens eritrosit yang
terinfeksi plasmodium P. falciparum.

Tahap Perkembangan Penyakit Malaria,


a. Tahap exoeriyhrocitic adalah tahap dimana terjadinya infeksi pada sistem hati
(liver) manusia yang disebabkan oleh parasit plasmodium,
b. Tahap erithrocitic adalah tahap terjadinya infeksi pada sel darah merah
(eritrosit).

14
Setelah masuk melalui darah dan sampai di sistem hati manusia, parasit ini
akan berkembang biak dengan cepat yang kemudian keluar dan menginfeksi sel darah
merah, yang mana proses inilah yang menimbulkan timbulnya demam pada penderita
malaria.
Parasit plasmodium akan terus berkembang biak dalam sel darah merah yang
kemudian keluar untuk menginfeksi sel darah merah lain yang masih sehat, hal inilah
yang menyebabkan terjadinya gejala panas atau demam naik turun pada
penderitazmalaria.
Walaupun sebenarnya sistem limpa manusia bisa menghancurkan sel darah merah
yang terinfeksi oleh parasit, tetapi parasit plasmodium jenis falciparum dapat
membuat sel darah merah menempel pada pembuluh darah kecil dengan cara
melepaskan protein adhesif, sehingga dengan begini sel darah merah yang terinfeksi
tidak dapat masuk kedalam sistem limpa untuk dihancurkan. Dengan kemampuan
inilah plasmodium falciparum sering menjadi penyakit malaria akut, karena dengan
kemampuan menempelkan sel darah merah yang telah terinfeksi di dinding pembuluh
darah kecil secara simultan sehingga dapat menyumbat peredaran darah ke otak yang
sering mengakibatkan kondisi koma pada penderita penyakit malaria.

Lain halnya dengan sebagian parasit plasmodium jenis vivax atau ovale
tidak mempunyai kecenderungan yang mematikan seperti plasmdium falciparum
tetapi dengan kemampuan menghasilkan hipnosoites yang tetap aktif selama beberapa
bulan bahkan tahun, sehingga penderita penyakit malaria yang disebabkan
plasmodium ini sering mengalami malaria yang baru kambuh dan kambuh lagi selama
beberapa bulan bahkan tahun setelah terinfeksi pertama kali, dan sangat sulit dibasmi
secara tuntas dari dalam tubuh manusia terinfeksi.

2. Patofisiologi Diabetes

Tubuh manusia memerlukan bahan bakar berupa energi untuk menjalankan


berbagai fungsi sel dengan baik. Bahan bakar tersebut bersumber dari sumber zat gizi
karbohidrat, protein, lemak yang di dalam tubuh mengalami pemecahan menjadi zat yang
sederhana dan proses pengolahan lebih lanjut untuk menghasilkan energi. Proses

15
pembentukan energi terutama yang bersumber dari glukosa memerlukan proses
metabolisme yang rumit. Dalam proses metabolisme tersebut, insulin memegang peranan
yang sangat penting yang bertugas memasukkan glukosa ke dalam sel untuk selanjutnya
diubah menjadi energi (Syahbudin, 2004).
Pada keadaan normal, glukosa diatur sedemikian rupa oleh insulin yang diproduksi
oleh sel beta pankreas, sehingga kadarnya di dalam darah selalu dalam batas aman baik
pada keadaan puasa maupun sesudah makan. Kadar glukosa darah normal berkisar antara
70-140 mg/dl.
Insulin adalah suatu zat atau hormon yang dihasilkan oleh beta pankreas pada pulau
Langerhans. Tiap pankreas mengandung 100.000 pulau langerhans dan tiap pulau berisikan
100 sel beta (Syanbudin, 2004).
Insulin memegang peranan yang sangat penting dalam pengaturan kadar glukosa
darah dan koordinasi penggunaan energi oleh jaringan. Insulin yang dihasilkan sel beta
pankreas dapat diibaratkan anak kunci yang dapat membuka pintu masuknya glukosa ke
dalam sel agar dapat dimetabolisrne menjadi energi. Bila insulin tidak ada atau insulin tidak
dikenali oleh reseptor pada permukaan sel, maka glukosa tak dapat masuk ke dalam sel
dengan akibat glukosa akan tetap berada dalam darah sehingga kadarnya akan meningkat.
Tidak adanya glukosa yang dimetabolisme menyebabkan tidak ada energi yang dihasilkan
sehingga badan menjadi lemah.
Pada keadaan DM, tubuh relatif kekurangan insulin sehingga pengaturan glukosa
darah menjadi kacau (Waspadji, 1999). Walaupun kadar glukosa darah sudah tinggi,
pemecahan lemak dan protein menjadi glukosa melalui glukoneogenesis dihati tidak dapat
dihambat karena insulin yang kurang! resisten sehingga kadar glukosa darah terus
meningkat. Akibatnya terjadi gejala-gejaia khas DM seperti poliuri, polidipsi, polipagi,
lemas, berat badan menurun. Jika keadaan ini dibiarkan berlarut-larut, berakibat terjadi
kegawatan Diabetes Mellitus yaitu ketoasidois yang sering menimbulkan kematian
Pada diabetes melitus tipe 1 sel beta dalam yang terdapat dalam pankreas tidak dapat
memproduksi insulin, sehingga glukosa yang berada di dalam darah tidak dapat diserap oleh
sel. Hal tersebut mengakibatkan naiknya kadar gula dalam darah. Sedangkan pada diabetes
tipe 2 sel beta dalam pankreas berfungsi baik dengan menghasilkan insulin yang normal
atau bahkan berlebih. Hanya saja jumlah reseptor dalam sel berkurang, sehingga glukosa
yang berhasil masuk ke dalam sel hanya sedikit. Akibatnya kadar glukosa dalam darah
menjadi naik. Diabetes Melitus tipe 2 juga dapat dikarenakan kurang berkualitasnya insulin
sehingga tidak mampu memasukan glukosa ke dalam darah.

16
17
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dari penjelasan dia atas, maka kami dapat menyimpulkan sesuai dengan makalah
mengenai konsep dasar epidemiologi. Bahwa Penyakit adalah kegagalan dari mekanisme
adaptasi suatu organisme untuk bereaksi secara tepat terhadap rangsangan atau tekanan
sehingga timbul gangguan pada fungsi atau struktur dari bagian organ atau sistem dari
tubuh (Gold Medica Dictionarry).

Penyakit dari sudut epidemiologi digambarkan sebagai mal-adjusment atau


ketidakmampuan manusia untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungannya dan
merupakan fenomena sosial dimana penyakit dapat timbul setiap saat pada seluruh
bagian masyarakat di atas permukaan bumi ini tanpa ada pengecualian.

Riwayat alamiah penyakit (natural history of disease) adalah deskripsi tentang


perjalanan waktu dan perkembangan penyakit pada individu, dimulai sejak terjadinya
paparan dengan agen kausal hingga terjadinya akibat penyakit, seperti kesembuhan atau
kematian, tanpa terinterupsi oleh suatu intervensi preventif maupun terapetik.

Riwayat alamiah penyakit memiliki beberapa manfaat penting diantaranya, Untuk


diagnostik: masa inkubasi dapat dipakai sebagai pedoman penentuan jenis penyakit,
misalnya jika terjadi KLB (kejadian luar biasa), selain itu digunakan Untuk pencegahan:
dengan mengetahui kuman patogen penyabab dan rantai perjalanan penyakit dapat
dengan mudah dicari titik potong yang penting dalam upaya pencegahan penyakit.

Suatu terjadinya penyakit dapat dicegah agar tidak menimbulkan penyakit, baik
penyakit ringan maupun penyakit yang serius, tingkat pencegahan penyakit dimulai
dengan pencegahan primer, pencegahan sekunder,

Patofisiologi adalah ilmu yang mempelajari gangguan fungsi pada organisme yang
sakit meliputi asal penyakit , permulaan perjalanan dan akibat. Penyakit adalah suatu
kondisi abnormal yang menyebabkan hilangnya kondisi normal yang sehat.

18
3.2 Saran
Dengan mengetahui semua mengenai konsep dasar epidemiologi penyakit, maka
kita harap dapat lebih memperhatikan lingkungan dan kondisi tubuh terhadap
terjadinya penyakit, dan kita dapat mencegah terjadinya suatu penyakit dengan
melakukan tindakan pencegahan primer terlebih dahulu kemudian dapat dilakukan
pencegahan sekunder sampai tersier, karena akan lebih baik jika mencegah suatu
penyakit dari pada mengobati,

19
DAFTAR PUSTAKA

Budiarto, Eko dan Anggraeni.2002. Pengantar Epidemiologi Edisi 2. Jakarta : EGC.

Bustan, M. 2006. Pengantar Epidemiologi. Jakarta : Asdi Mahasatya.

Bustan, M. Najib. 2012. Pengantar Epidemiologi. Jakarta : Rineka Cipta.

Candra, A. 2010. Demam Berdarah Dengue: Epidemiologi, Patogenesis, dan

Faktor Risiko Penularan. Aspirator. Vol. 2(2): 110-119.

Murti, Bhisma.2003.Prinsip dan Metode Riset Epidemiologi (Edisi Kedua) Jilid


Pertama.Yogyakarta : UGM Press.

Murti, Bhisma. “Riwayat Alamiah Penyakit”. 20 Agustus 2017.


http://fk.uns.ac.id/static/materi/Riwayat_Alamiah_Penyakit_-_Prof_Bhisma_Murti.pdf

Najwati, Hafidzoh dkk. 2016. Patogenesis, Patofisiologi Penyakit Tidak Menular dan
Penyakit Menular. [Online] : https://karyatulisilmiah.com/atogenesis-patofisiologi-penyakit-
tidak-menular-dan-penyakit-menular . Diakses pada : 19 Agustus 2017

Soemirat, Juli. 2002. Epidemiologi Lingkungan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Suarjana, I. M, A.A. Gde A. 2013. Kejadian Luar Biasa Keracunan Makanan. Jurnal Skala
Husada.Vol. 10(2): 144-148.

20

Anda mungkin juga menyukai