DI SUSUN OLEH :
RIZKY KURNIAWAN
NIM : 018 – 11
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami
tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga
terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-
natikan syafa’atnya di akhirat nanti.
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik
itu berupa sehar fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan
pembuatan tugas makalah psikologi gangguan pendengaran “KOMUNIKASI UNTUK
PENYANDANG TULI DAN TUNA RUNGU DI INDONESIA”.
Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan
kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi
makalah yang lebih baik lagi. Demikian, dan apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini
penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membimbing
dalam menulis makalah ini.
Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.
“Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh”
Penulis
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Komunikasi antara manusia adalah suatu hal yang sangat penting bagi aktivitas
kehidupan sehari – hari. Ada beberapa jenis komunikasi yaitu komunikasi secara lisan, tulisan,
gerak tubuh, dan bahasa isyarat. Komunikasi bahasa isyarat biasanya digunakan oleh
penyandang tunarungu dan tunawicara. Sistem isyarat bahasa Indonesia ( SIBI ) adalah salah
satu komunikasi bahasa isyarat yang dimiliki oleh negara Indonesia. SIBI dibangun dengan
mengadopsi dari bahasa dari bahasa isyarat American Sign Language ( ASL ) yang dimiliki oleh
negara Amerika. Proses komunikasi antara penyandang tunarungu dan tunawicara dapat
dipahami antar sesama dengan baik karena mereka sudah terbiasa sehari - harinya menggunakan
bahasa isyarat. Namun untuk orang normal akan kesulitan untuk memahami bahasa isyarat yang
disampaikan oleh penyandang tunarungu dan tunawicara karana ada perbedaan metode
komunikasi. Begitu juga sebaliknya, penyandang tuna rungu dan tuna wicara akan kesulitan
memahami bahasa yang disampaikan oleh orang normal. Untuk itu dibutuhkan sebuah sistem
yang dapat mennerjemahkan perbedaan metode komunikasi antara komunikasi bahasa isyarat
dengan komunikasi bahasa normal. Untuk menangani masalah tersebut maka dibangun sebuah
sistem pengenalan bahasa isyarat.
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja akses serta fasilitas yang diproleh & digunakan para penyandang tuli dan
tuna rungu di Indonesia ?
2. Siapa saja yang bisa mengakses media dan fasilitas tersebut ? Ada persyaratan/tata
caranya kah ?
3. Dimana saja mereka dapat fasilitas tersebut ? bentuk nya seperti apa ?
4. Cari masalah apa saja yang terjadi yang dialami para penyandang tuna rungu dan tuli
di Indonesia. Kenapa terjadi ?
5. Kapan saja mereka dapat memperoleh informasi ? bentuk komunikasi nya seperti
apa ? ada medianya atau tidak ?
BAB II
PEMBAHASAN
Apabila membaca ujaran menjadi dasar pengembangan bahasa batini anak tunarungu, kita
dapat melatih anak tunarungu untuk menghubungkan pengalaman yang diperolehnya dengan
gerak bibir dan mimik pembicara. Bagi anak kurang dengar yang menggunakan alat bantu dengar,
dapat menghubungkannya dengan lambang bunyi bahasa (lambang auditori). Setelah itu, anak
tunarungu mulai memahami hubungan antara lambang bahasa (visual & auditori) dengan benda
atau kejadian sehari-hari, sehingga terbentuklah bahasa reseptif visual/auditori. Sama halnya
seperti anak mendengar, kemampuan bahasa ekspresif (bicara) baru dapat dikembangkan setelah
memiliki kemampuan bahasa reseptif. Selanjutnya anak tunarungu dapat mengembangkan
kemampuan bahasa reseptif visual (membaca) dan bahasa ekspresif visual (menulis). Demikian
perilaku bahasa verbal yang dapat terjadi pada anak tunarungu.
Berkaitan dengan hal tersebut, Van Uden telah mengembangkan metode pengembangan
bahasa melalui percakapan, yang dikenal dengan Metode Maternal Reflektif (MMR).
Metode ini memiliki ciri bahwa percakapan itu terkait dengan kegiatan melakukan sesuatu
bersama antara ibu atau orang lain dengan anak (bersifat alamiah), serta menerapkap metode
tangkap dan peran ganda. Metode tangkap dan peran ganda maksudnya adalah bahwa ibu atau
orang lain menangkap ungkapan anak, kemudian membahasakannya serta menanggapi ungkapan
tersebut, sehingga tercipta suatu percakapan.
a. Senang menggunakan cara bicara dalam mengadakan komunikasi dengan orang lain.
Tujuan akhir bina-bicara bagi anak tunarungu, adalah agar ia memiliki pengetahuan, keterampilan,
dan sikap dasar untuk :
a. Berkomunikasi di masyarakat.
b. Metode analisis sintetis, metode ini merupakan kebalikan dari metode global diferensiasi.
Penyajian materi dilakukan mulai dari satuan bahasa terkecil (fonem) menuju kata dan
kalimat.
Kedua, berdasarkan modalitas yang dimiliki anak tunarungu, kita dapat menggunakan metode:
a. Metode multisensori, yaitu menggunakan seluruh sensori untuk memperoleh kesan bicara,
seperti: penglihatan, pendengaran, perabaan (taktil), serta kinestetik.
b. Metode suara, yang saat ini lebih dikenal dengan metode auditori verbal, yaitu metode
pengajaran bicara yang lebih mengutamakan pada pemanfaatan sisa pendengaran dengan
menggunakan sistem amplifikasi pendengaran.
Ketiga, berdasarkan fonetika, metode yang dapat digunakan dalam pengajaran bicara, adalah:
a. Metode yang bertitik tolak pada fonetik, yaitu didasarkan pada mudah sukarnya bunyi-bunyi
menurut ilmu fonetik, dan dianggap sama bagi semua anak. Bunyi bahasa yang diajarkan
dimulai dari deretan bunyi paling depan/muka di mulut, karena bunyi-bunyi tersebut paling
mudah dilihat dan ditiru, yaitu kelompok konsonan bilabial (p, b, m dan w). Setelah
konsonan bilabial dikuasai, dilanjutkan pada konsonan dental (l, r, t, d dan n), kemudian
konsonan velar (k,g dan ng), dan selanjutnya konsonan palatal (c, j, ny, y dan s).
b. Metode tangkap dan peran ganda, yaitu metode yang menuntut kepekaan guru menangkap
fonem yang diucapkan anak secara spontan, yang merupakan titik tolak untuk
dikembangkan kedalam kata, kelompok kata, dan kalimat. Metode ini didasarkan pada
fonem yang paling mudah bagi tiap-tiap anak (prinsip individualitas).
Untuk keefektifan pelaksaan pelatihan bicara anak tunarungu, dibutuhkan berbagai sarana
dan prasarana, antara lain:
1. Alat-alat stimulasi visual : cermin, gambar-gambar, kartu identifikasi, pias kata dan
sebagainya. Alat-alat stimulasi auditoris : speech trainer, alat bantu dengar baik klasikal
maupun individual dan sebagainya.
2. Alat-alat untuk stimulasi vibrasi: vibrator dan sikat getar.
3. Alat-alat latihan pernafasan: lilin, kapas, minyak kayu putih, gelembung air sabun, peluit,
terompet, harmonika, saluran kayu dengan bola pingpong dan sebagainya.
4. Alat-alat untuk pelemasan organ bicara : permen bertangkai, madu dan sebagainya.
Pola kehidupan penyandang tuna rungu diawali dari penerimaan orang tua terhadap kondisi
anak. Beberapa bentuk perilaku anak tuna rungu yang mencolok dibanding dengan anak normal
pada umumnya yakni (1) anak tuna rungu lebih egois, (2) anak tuna rungu tergantung pada orang
lain dan lebih dekat dengan apa yang sudah dikenal, (3) perhatian anak tuna rungu lebih sulit untuk
dialihkan, (4) Anak tuna rungu lebih memperhatikan yang kongkrit, (5) bersifat polos, sederhana,
tanpa banyak masalah, (6) mudah marah dan mudah tersinggung, dan (7) memiliki perasaan takut
akan hidup yang lebih besar. Pada umumnya inteligensi anak tuna rungu secara potensial sama
dengan anak normal, tetapi secara fungsional perkembangannya dipengaruhi oleh tingkat
kemampuan berbahasanya, keterbatasan informasi menghambat proses pencapaian pengetahuan
yang lebih luas. Tahapan mendiagnosis anak tuna rungu bukanlah hal mudah bagi sebagian orang
yang tidak memiliki pengetahuan lebih tentang tuna rungu. Berbagai diagnosis awal yang dialami
tunga rungu adalah dalam berinteraksi sosial yaitu ekspresi wajah, sikap tubuh dan gerak tubuh
terhadap rutinitas dalam berinteraksi, serta cenderung memiliki emosi yang bersifat labil.
Beberapa hal yang sering diperhatikan keluarga dalam melakukan pendekatan sosialisasi
dengan anak yakni (1) menanggapi anak secara tepat dan yakin bahwa kita sedang memberi respon
kepada anak bukan sedang bereaksi, (2) melibatkan diri secara aktif dalam kehidupan anak,
sehingga kita dapat mengetahui bagaimana biasanya anak kita bertindak dan berpikir, (3)
melibatkan diri dalam kehidupan anak, menentukan batasan-batasan yang realistis dan
memperkuat batasan tersebut secara konsisten, (4) mengajari anak cara yang sehat dalam
mengekspresikan emosi, (5) sesering mungkin menanyakan apa yang dirasakan anak dan (6)
mengutarakan anggapan-anggapan kita kepada anak, mencari tahu apa saja yang sedang anak kita
mainkan, mengenali temanteman sepermainannya dan memberi arahan tanpa harus menjadi kaku.
Selain itu keluarga juga memperhatikan tanggapan masyarakat tentang anaknya.
Kehidupaan tuna rungu tentu tidak terlepas dari stigma yang terlontar dari masyarakat.
Stigma sosial menganggap jika keberadaan kaum tunarungu ini sebagai sesuatu hal yang
merepotkan. Ada yang menganggap keberadaan mereka sebagai aib keluarga, hingga kutukan akan
sebuah dosa yang pada akhirnya semakin memojokkan tunarungu dari pergaulan masyarakat.
Masyarakat beranggapan tunarungu sesuatu yang harus mereka kasihani dan mereka tolong. Hal
ini dikarenakan mereka adalah sosok yang dianggap kurang mampu dan membutuhkan bantuan.
Ada pula yang berangapan bahwa tunarungu itu adalah orang-orang yang mudah marah dan
tempramen.
Anak tuna rungu memiliki proses sosialisasi dalam kehidupan masyarakat antara lain.
Interaksi antara keluarga dengan tuna rungu dan sebaliknya juga tuna rungu dengan masyarakat
sekitar. Tuna rungu menggunakan sentuhan dan berlangsung secara tatap muka saat berintraksi
dengan lawan bicaranya (Pawito, 2007: 2). Interaksi penyandang tuna rungu dibuat beberapa
peyesuaian cara interaksi, dengan menggabungkan bentuk visual yang dapat diakses dari
komunikasi seperti bermain jari dan kontak perabaan bersamaan dengan vokalisasi. Bahkan
mereka membuat kesepakatan simbol yang akan dipergunakan untuk menunjuk pada suatu kata,
orang, atau benda dengan masyarakat sekitar. Saat berbicara dengan orang lain mereka lebih sering
menggunakan tatapan muka, mengamati setiap gerakan tangan, mengamati mimik wajah dan
tatapan mata.
Salah satu tanggapan aktif dari penyandang tuna rungu adalah situasi lingkungan saat
mereka bekerja. Situasi lainnya yang ditanggapi oleh penyandang tuna rungu adalah ikut aktif
dalam organisasi pemuda. Meskipun dalam rapat pemuda WS dan MD tidak pernah ikut lagi
dikarenakan pendengaranya terganggu. Selain itu juga karena terpaut usia yang jauh dengan
pemuda/pemudi yang sekarang, namun dalam kegiatan seperti bazar, gotong royong dan
metulungan (membantu) jika ada pemuda yang metatah (potong gigi) atau nganten (menikah). WS
dan MD juga ikut berperan aktif dalam kegiatan adat di banjar ataupun pura. Seperti halnya umat
Hindu, mereka juga aktif dalam setiap kegiatan upacara di pura.
Kadang kala dalam berinteraksi dengan lingkungan tuna rungu merasa dirinya terasing dari
yang lain. Tanggapan masyarakat bahwa anak tuna rungu sulit berinteraksi dengan sekitarnya.
Anak tuna rungu adalah orang-orang yang berkepribadian tertutup dan tidak banyak bicara.
Asumsi negatif terhadap mereka telah berkembang di tengah masyarakat, sehingga masyarakat
enggan dan cenderung menghindari komuniksi dengan tuna rungu. Terkadang orang terlalu
gampang memberi stigma kepada seseorang dan bahayanya stigma tersebut terlontar dengan
spontan. Permasalahan kinerja mereka juga merupakan wujud dari stigma masyarakat yang
memandang bahwa penyandang tuna rungu akan menghambat proses dalam bekerja. Karena
asumsi inilah tuna rungu mencoba menerima permasalahan yang dihadapinya dengan menutup diri
dan mengurangi intensitas interaksi sosialnya dengan masyarakat.
Bahasa isyarat adalah bahasa yang umum digunakan oleh orang tuli ketika berkomunikasi
satu sama lain. Orang tuli cenderung digunakan untuk menandatangani bahasa. Manusia memiliki
kesadaran untuk dapat berkomunikasi atau menyampaikan ide atau ide dengan cara apa pun. Ada
banyak cara untuk berkomunikasi, misalnya dengan membaca bibir, menulis, memberi isyarat, dan
memberi isyarat. Bahasa isyarat adalah salah satunya, bahasa ini datang secara alami. Dengan kata
lain bahasa isyarat merupakan adaptasi dari bahasa lisan yang tidak bisa mereka lakukan.
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kemampuan bicara anak tunarungu dikembangkan setelah bahasa reseptif anak mulai
terbentuk. Pembinaanya dapat dilakukan secara individual maupun klasikal. Adapun tujuan akhir
dari pengembangan kemampuan bicara pada anak tunarungu adalah agar ia memiliki pengetahuan,
keterampilan, dan sikap dasar untuk: berkomunikasi di masyarakat; bekerja dan berintegrasi
dalam kehidupan masyarakat; serta berkembang sesuai dengan asas pendidikan seumur hidup.