Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

KOMUNIKASI UNTUK PARA PEYANDANG TULI DAN


TUNA RUNGU DI INDONESIA

DI SUSUN OLEH :
RIZKY KURNIAWAN
NIM : 018 – 11

AKADEMI AUDIOLOGI INDONESIA


2018 – 2019
KATA PENGANTAR

“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh”

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami
tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga
terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-
natikan syafa’atnya di akhirat nanti.
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik
itu berupa sehar fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan
pembuatan tugas makalah psikologi gangguan pendengaran “KOMUNIKASI UNTUK
PENYANDANG TULI DAN TUNA RUNGU DI INDONESIA”.
Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan
kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi
makalah yang lebih baik lagi. Demikian, dan apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini
penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membimbing
dalam menulis makalah ini.
Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.
“Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh”

Jakarta, 15 April 2019

Penulis
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Komunikasi antara manusia adalah suatu hal yang sangat penting bagi aktivitas
kehidupan sehari – hari. Ada beberapa jenis komunikasi yaitu komunikasi secara lisan, tulisan,
gerak tubuh, dan bahasa isyarat. Komunikasi bahasa isyarat biasanya digunakan oleh
penyandang tunarungu dan tunawicara. Sistem isyarat bahasa Indonesia ( SIBI ) adalah salah
satu komunikasi bahasa isyarat yang dimiliki oleh negara Indonesia. SIBI dibangun dengan
mengadopsi dari bahasa dari bahasa isyarat American Sign Language ( ASL ) yang dimiliki oleh
negara Amerika. Proses komunikasi antara penyandang tunarungu dan tunawicara dapat
dipahami antar sesama dengan baik karena mereka sudah terbiasa sehari - harinya menggunakan
bahasa isyarat. Namun untuk orang normal akan kesulitan untuk memahami bahasa isyarat yang
disampaikan oleh penyandang tunarungu dan tunawicara karana ada perbedaan metode
komunikasi. Begitu juga sebaliknya, penyandang tuna rungu dan tuna wicara akan kesulitan
memahami bahasa yang disampaikan oleh orang normal. Untuk itu dibutuhkan sebuah sistem
yang dapat mennerjemahkan perbedaan metode komunikasi antara komunikasi bahasa isyarat
dengan komunikasi bahasa normal. Untuk menangani masalah tersebut maka dibangun sebuah
sistem pengenalan bahasa isyarat.

B. Rumusan Masalah
1. Apa saja akses serta fasilitas yang diproleh & digunakan para penyandang tuli dan
tuna rungu di Indonesia ?
2. Siapa saja yang bisa mengakses media dan fasilitas tersebut ? Ada persyaratan/tata
caranya kah ?
3. Dimana saja mereka dapat fasilitas tersebut ? bentuk nya seperti apa ?
4. Cari masalah apa saja yang terjadi yang dialami para penyandang tuna rungu dan tuli
di Indonesia. Kenapa terjadi ?
5. Kapan saja mereka dapat memperoleh informasi ? bentuk komunikasi nya seperti
apa ? ada medianya atau tidak ?
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Landasan Teori

Ketunarunguan bukan hanya mengakibatkan tidak berkembangnya kemampuan berbicara,


lebih dari itu dampak paling besar adalah terbatasnya kemampuan berbahasa (Van Uden, 1977;
Meadow, 1980). Leigh (1994; dalam bunawan, 2004) mengemukakan bahwa masalah utama
kaum tunarungu bukan terletak pada tidak dikuasainya suatu sarana komunikasi lisan, melainkan
akibat hal tersebut terhadap perkembangan kemampuan berbahasanya secara keseluruhan yaitu
mereka tidak atau kurang mampu dalam memahami lambang dan aturan bahasa. Secara lebih
spesifik, mereka tidak mengenal atau mengerti lambang/kode atau ‘nama’ yang digunakan
lingkungan guna mewakili benda-benda, peristiwa kegiatan, dan perasaan serta tidak memahami
aturan/sistem/tata bahasa. Keadaan ini terutama dialami anak tunarungu yang mengalami ketulian
sejak lahir atau usia dini (tuli prabahasa).

Terhambatnya kemampuan berbahasa yang dialami anak tunarungu, berimplikasi pada


kebutuhan khusus mereka untuk mengembangkan kemampuan berbahasa dengan metode khusus,
yang merupakan dasarnya setiap anak tunarungu dapat dikembangkan kemampuan berbahasa dan
berbicaranya melalui berbagai layanan khusus dan fasilitas khusus yang sesuai dengan
kebutuhannya.

2.1.1 Pengembangan Berbahasa Anak Tunarungu

Dalam mengembangkan kemampuan berbahasa pada anak tunarungu, kita perlu


memahami perolehan bahasa yang terjadi pada anak mendengar dan juga yang terjadi pada anak
tunarungu. Myklebust (1963; dalam Bunawan & Yuwati, 2000) mengemukakan bahwa
pemerolehan bahasa anak yang mendengar berawal dari adanya pengalaman atau situasi bersama
antara bayi dan ibunya atau orang lain yang berarti dalam lingkungan terdekatnya. Melalui
pengalaman tersebut, anak ‘belajar’ menghubungkan pengalaman dan lambang bahasa yang
diperoleh melalui pendengarannya. Proses ini merupakan dasar berkembangnya bahasa batini
(inner language). Setelah itu, anak mulai memahami hubungan antara lambang bahasa dengan
benda atau kejadian yang dialaminya sehingga terbentuklah bahasa reseptif anak. Dengan kata
lain anak memahami bicara lingkungannya (bahasa reseptif auditori). Setelah bahasa reseptif
auditori ‘agak’ terbentuk, anak mulai mengungkapkan diri melalui kata-kata sebagai awal
kemampuan bahasa ekspretif auditoria tau berbicara, meskipun pada dasarnya perkembangan kea
rah bicara muncul lebih dini lagi, yaitu dengan adanya masa meraban. Kemampuan itu semua
berkembang melalui pendengarannya (auditori). Setelah anak memasuki usia sekolah,
penglihatannya berperan dalam perkembangan bahasa melalui kemampuan membaca (bahasa
reseptif visual) dan menulis (bahasa ekspresif visual).

Berdasarkan proses pemerolehan bahasa pada anak mendengar, Myklebust (1963)


mengembangkan pola tersebut pada anak tunarungu. Ia menerapkan pencapaian perilaku
berbahasa yang telah dijelaskan diatas pada anak tunarungu. Berhubung pada masa itu teknologi
pendengaran belum berkembang, maka anak tunarungu dipandang tidak/kurang memungkinkan
memperoleh bahasa melalui visual atau taktil kinestetik, atau kombinasi keduanya. Dengan
demikian tersedia tiga alternative, yaitu: isyarat, membaca, dan membaca ujaran. Myklebust
menganggap media membaca ujaran merupakan pilihan yang tepat disbanding isyarat dan
membaca. Dengan kemajuan teknologi pendengaran saat ini, maka sisa pendengarannya dapat
dioptimalkan untuk menstimulasi anak tunarungu dalam perolehan bahasa.

Apabila membaca ujaran menjadi dasar pengembangan bahasa batini anak tunarungu, kita
dapat melatih anak tunarungu untuk menghubungkan pengalaman yang diperolehnya dengan
gerak bibir dan mimik pembicara. Bagi anak kurang dengar yang menggunakan alat bantu dengar,
dapat menghubungkannya dengan lambang bunyi bahasa (lambang auditori). Setelah itu, anak
tunarungu mulai memahami hubungan antara lambang bahasa (visual & auditori) dengan benda
atau kejadian sehari-hari, sehingga terbentuklah bahasa reseptif visual/auditori. Sama halnya
seperti anak mendengar, kemampuan bahasa ekspresif (bicara) baru dapat dikembangkan setelah
memiliki kemampuan bahasa reseptif. Selanjutnya anak tunarungu dapat mengembangkan
kemampuan bahasa reseptif visual (membaca) dan bahasa ekspresif visual (menulis). Demikian
perilaku bahasa verbal yang dapat terjadi pada anak tunarungu.

Pada umumnya, anak tunarungu memasuki sekolah tanpa/kurang memiliki kemampuan


berbahasa verbal, berbeda dengan anak mendengar yang memasuki sekolah setelah memperoleh
bahasa. Oleh karena itu, dalam pendidikan anak tunarungu, proses pemerolehan bahasa anak
tunarungu diberikan di sekolah melalui layanan khusus. Layanan pemerolehan bahasa tersebut
menekankan pada percakapan, seperti halnya percakapan yang terjadi antara anak mendengar
dengan ibunya/orang terdekatnya dalam pemerolehan bahasa, dengan memperhatikan sensori
yang dapat diberikan stimulasi. Percakapan merupakan kunci perkembangan bahasa anak
tunarungu (Hollingshead, 1982). Oleh karena itu, tugas guru SLB/B adalah mengantarkan anak
tunarungu dari masa prabahasa menuju purnabahasa melalui percakapan dan bersifat alamiah.

Berkaitan dengan hal tersebut, Van Uden telah mengembangkan metode pengembangan
bahasa melalui percakapan, yang dikenal dengan Metode Maternal Reflektif (MMR).

Metode ini memiliki ciri bahwa percakapan itu terkait dengan kegiatan melakukan sesuatu
bersama antara ibu atau orang lain dengan anak (bersifat alamiah), serta menerapkap metode
tangkap dan peran ganda. Metode tangkap dan peran ganda maksudnya adalah bahwa ibu atau
orang lain menangkap ungkapan anak, kemudian membahasakannya serta menanggapi ungkapan
tersebut, sehingga tercipta suatu percakapan.

Pengembangan kemampuan berbicara merupakan serangkaian upaya agar anak memiliki


pengetahuan, keterampilan, dan sikap untuk mengekspresikan pikiran, gagasan, dan perasaanya
dengan cara berbicara. Nugroho (2004) mengemukakan bahwa layanan bina-bicara memiliki tiga
macam tujuan, yaitu:

Di bidang pengetahuan, agar anak memiliki pengetahuan tentang :

 Cara mengucapkan seluruh bunyi bahasa Indonesia.


 Cara mengucapkan kata, kelompok kata dan kalimat Bahasa Indonesia.
 Mengevaluasi bicaranya sendiri, berdasarkan pengamatan visual, auditif, dan
kinestetik.
 Mengendalikan alat ucapnya untuk peningkatan kualitas bicara.
 Pemilihan kata dan kelompok kata yang tepat.

Di bidang keterampilan, agar anak terampil :

1. Mengucapkan bunyi-bunyi bahasa Indonesia.


2. Mengucapkan kata, kelompok kata, dan kalimat bahasa Indonesia.
3. Mengevaluasi bicaranya sendiri berdasarkan pengamatan visual, auditif, dan
kinestetik.
4. Mengendalikan alat ucapnya demi perbaikan dan peningkatan mutu bicaranya.
5. Menggunakan kata-kata, kelompok kata, dan kalimat sesuai dengan gagasan dan tata
bahasa yang baik dan benar.

Di bidang sikap, agar anak memiliki :

a. Senang menggunakan cara bicara dalam mengadakan komunikasi dengan orang lain.

b. Senang mengadakan evaluasi dan memperbaiki kesalahan-kesalahan serta berusaha


meningkatkan kemampuannya.

Tujuan akhir bina-bicara bagi anak tunarungu, adalah agar ia memiliki pengetahuan, keterampilan,
dan sikap dasar untuk :

a. Berkomunikasi di masyarakat.

b. Bekerja dan beritegrasi dalam kehidupan masyarakat.

c. Berkembang sesuai dengan asas pendidikan seumur hidup.

Dalam pelaksanaanya, layanan bina bicara, meliputi:

 Pertama, latihan prabicara: latihan keterarahwajahan, keterarahsuaraan, dan


pelemasan organ bicara.
 Kedua, latihan pernafasan, misalnya meniup dengan hembusan, meniup dengan
letupan, menghirup serta menghembuskan nafas melalui hidung.
 Ketiga, latihan pembentukan suara: menyadarkan anak untuk bersuara, merasakan
getaran, menirukan ucapan guru sambil merasakan getaran, melafalkan vokal bersuara,
serta meraban sambil mersakan getaran.
 Keempat, pembentukan fonem.
 Kelima, penggemblengan, pembetulan, serta penyadaran irama/aksen.
 Keenam, pengembangan.
Dalam pengembangan bicara anak tunarungu, ada beberapa metode yang didasarkan pada
beberapa hal, yaitu:
Pertama, berdasarkan cara menyajikan materi, metode yang dapat digunakan adalah :
a. Metode global berdiferensisasi. Metode ini, disamping didasarkan pada cara menyajikan
materi, juga didasarkan pada perimbangan kebahasaan. Bahasa pertama-tama nampak
dalam ujaran secara totalitas. Oleh karena itu dalam mengajar atau melatih anak berbicara,
dimulai dengan ujaran secara utuh (global), baru kemudian menuju ke pembentukan fonem-
fonem sebagai satuan bahasa yang terkecil.

b. Metode analisis sintetis, metode ini merupakan kebalikan dari metode global diferensiasi.
Penyajian materi dilakukan mulai dari satuan bahasa terkecil (fonem) menuju kata dan
kalimat.

Kedua, berdasarkan modalitas yang dimiliki anak tunarungu, kita dapat menggunakan metode:

a. Metode multisensori, yaitu menggunakan seluruh sensori untuk memperoleh kesan bicara,
seperti: penglihatan, pendengaran, perabaan (taktil), serta kinestetik.

b. Metode suara, yang saat ini lebih dikenal dengan metode auditori verbal, yaitu metode
pengajaran bicara yang lebih mengutamakan pada pemanfaatan sisa pendengaran dengan
menggunakan sistem amplifikasi pendengaran.

Ketiga, berdasarkan fonetika, metode yang dapat digunakan dalam pengajaran bicara, adalah:

a. Metode yang bertitik tolak pada fonetik, yaitu didasarkan pada mudah sukarnya bunyi-bunyi
menurut ilmu fonetik, dan dianggap sama bagi semua anak. Bunyi bahasa yang diajarkan
dimulai dari deretan bunyi paling depan/muka di mulut, karena bunyi-bunyi tersebut paling
mudah dilihat dan ditiru, yaitu kelompok konsonan bilabial (p, b, m dan w). Setelah
konsonan bilabial dikuasai, dilanjutkan pada konsonan dental (l, r, t, d dan n), kemudian
konsonan velar (k,g dan ng), dan selanjutnya konsonan palatal (c, j, ny, y dan s).

b. Metode tangkap dan peran ganda, yaitu metode yang menuntut kepekaan guru menangkap
fonem yang diucapkan anak secara spontan, yang merupakan titik tolak untuk
dikembangkan kedalam kata, kelompok kata, dan kalimat. Metode ini didasarkan pada
fonem yang paling mudah bagi tiap-tiap anak (prinsip individualitas).
Untuk keefektifan pelaksaan pelatihan bicara anak tunarungu, dibutuhkan berbagai sarana
dan prasarana, antara lain:
1. Alat-alat stimulasi visual : cermin, gambar-gambar, kartu identifikasi, pias kata dan
sebagainya. Alat-alat stimulasi auditoris : speech trainer, alat bantu dengar baik klasikal
maupun individual dan sebagainya.
2. Alat-alat untuk stimulasi vibrasi: vibrator dan sikat getar.
3. Alat-alat latihan pernafasan: lilin, kapas, minyak kayu putih, gelembung air sabun, peluit,
terompet, harmonika, saluran kayu dengan bola pingpong dan sebagainya.
4. Alat-alat untuk pelemasan organ bicara : permen bertangkai, madu dan sebagainya.

2.2 Kehidupan Penyandang Tunarungu

2.2.1 Pola Kehidupan Penyandang Tunarungu

Pola kehidupan penyandang tuna rungu diawali dari penerimaan orang tua terhadap kondisi
anak. Beberapa bentuk perilaku anak tuna rungu yang mencolok dibanding dengan anak normal
pada umumnya yakni (1) anak tuna rungu lebih egois, (2) anak tuna rungu tergantung pada orang
lain dan lebih dekat dengan apa yang sudah dikenal, (3) perhatian anak tuna rungu lebih sulit untuk
dialihkan, (4) Anak tuna rungu lebih memperhatikan yang kongkrit, (5) bersifat polos, sederhana,
tanpa banyak masalah, (6) mudah marah dan mudah tersinggung, dan (7) memiliki perasaan takut
akan hidup yang lebih besar. Pada umumnya inteligensi anak tuna rungu secara potensial sama
dengan anak normal, tetapi secara fungsional perkembangannya dipengaruhi oleh tingkat
kemampuan berbahasanya, keterbatasan informasi menghambat proses pencapaian pengetahuan
yang lebih luas. Tahapan mendiagnosis anak tuna rungu bukanlah hal mudah bagi sebagian orang
yang tidak memiliki pengetahuan lebih tentang tuna rungu. Berbagai diagnosis awal yang dialami
tunga rungu adalah dalam berinteraksi sosial yaitu ekspresi wajah, sikap tubuh dan gerak tubuh
terhadap rutinitas dalam berinteraksi, serta cenderung memiliki emosi yang bersifat labil.

Beberapa hal yang sering diperhatikan keluarga dalam melakukan pendekatan sosialisasi
dengan anak yakni (1) menanggapi anak secara tepat dan yakin bahwa kita sedang memberi respon
kepada anak bukan sedang bereaksi, (2) melibatkan diri secara aktif dalam kehidupan anak,
sehingga kita dapat mengetahui bagaimana biasanya anak kita bertindak dan berpikir, (3)
melibatkan diri dalam kehidupan anak, menentukan batasan-batasan yang realistis dan
memperkuat batasan tersebut secara konsisten, (4) mengajari anak cara yang sehat dalam
mengekspresikan emosi, (5) sesering mungkin menanyakan apa yang dirasakan anak dan (6)
mengutarakan anggapan-anggapan kita kepada anak, mencari tahu apa saja yang sedang anak kita
mainkan, mengenali temanteman sepermainannya dan memberi arahan tanpa harus menjadi kaku.
Selain itu keluarga juga memperhatikan tanggapan masyarakat tentang anaknya.

Kehidupaan tuna rungu tentu tidak terlepas dari stigma yang terlontar dari masyarakat.
Stigma sosial menganggap jika keberadaan kaum tunarungu ini sebagai sesuatu hal yang
merepotkan. Ada yang menganggap keberadaan mereka sebagai aib keluarga, hingga kutukan akan
sebuah dosa yang pada akhirnya semakin memojokkan tunarungu dari pergaulan masyarakat.
Masyarakat beranggapan tunarungu sesuatu yang harus mereka kasihani dan mereka tolong. Hal
ini dikarenakan mereka adalah sosok yang dianggap kurang mampu dan membutuhkan bantuan.
Ada pula yang berangapan bahwa tunarungu itu adalah orang-orang yang mudah marah dan
tempramen.

2.2.2 Pola Interaksi Penyandang Tuna Rungu dan Kehidupan Masyarakat

Anak tuna rungu memiliki proses sosialisasi dalam kehidupan masyarakat antara lain.
Interaksi antara keluarga dengan tuna rungu dan sebaliknya juga tuna rungu dengan masyarakat
sekitar. Tuna rungu menggunakan sentuhan dan berlangsung secara tatap muka saat berintraksi
dengan lawan bicaranya (Pawito, 2007: 2). Interaksi penyandang tuna rungu dibuat beberapa
peyesuaian cara interaksi, dengan menggabungkan bentuk visual yang dapat diakses dari
komunikasi seperti bermain jari dan kontak perabaan bersamaan dengan vokalisasi. Bahkan
mereka membuat kesepakatan simbol yang akan dipergunakan untuk menunjuk pada suatu kata,
orang, atau benda dengan masyarakat sekitar. Saat berbicara dengan orang lain mereka lebih sering
menggunakan tatapan muka, mengamati setiap gerakan tangan, mengamati mimik wajah dan
tatapan mata.

Salah satu tanggapan aktif dari penyandang tuna rungu adalah situasi lingkungan saat
mereka bekerja. Situasi lainnya yang ditanggapi oleh penyandang tuna rungu adalah ikut aktif
dalam organisasi pemuda. Meskipun dalam rapat pemuda WS dan MD tidak pernah ikut lagi
dikarenakan pendengaranya terganggu. Selain itu juga karena terpaut usia yang jauh dengan
pemuda/pemudi yang sekarang, namun dalam kegiatan seperti bazar, gotong royong dan
metulungan (membantu) jika ada pemuda yang metatah (potong gigi) atau nganten (menikah). WS
dan MD juga ikut berperan aktif dalam kegiatan adat di banjar ataupun pura. Seperti halnya umat
Hindu, mereka juga aktif dalam setiap kegiatan upacara di pura.

Kadang kala dalam berinteraksi dengan lingkungan tuna rungu merasa dirinya terasing dari
yang lain. Tanggapan masyarakat bahwa anak tuna rungu sulit berinteraksi dengan sekitarnya.
Anak tuna rungu adalah orang-orang yang berkepribadian tertutup dan tidak banyak bicara.
Asumsi negatif terhadap mereka telah berkembang di tengah masyarakat, sehingga masyarakat
enggan dan cenderung menghindari komuniksi dengan tuna rungu. Terkadang orang terlalu
gampang memberi stigma kepada seseorang dan bahayanya stigma tersebut terlontar dengan
spontan. Permasalahan kinerja mereka juga merupakan wujud dari stigma masyarakat yang
memandang bahwa penyandang tuna rungu akan menghambat proses dalam bekerja. Karena
asumsi inilah tuna rungu mencoba menerima permasalahan yang dihadapinya dengan menutup diri
dan mengurangi intensitas interaksi sosialnya dengan masyarakat.

2.3 Sistem Bahasa Isyarat Indonesia dan Bahasa Isyarat Indonesia

Bahasa isyarat adalah bahasa yang umum digunakan oleh orang tuli ketika berkomunikasi
satu sama lain. Orang tuli cenderung digunakan untuk menandatangani bahasa. Manusia memiliki
kesadaran untuk dapat berkomunikasi atau menyampaikan ide atau ide dengan cara apa pun. Ada
banyak cara untuk berkomunikasi, misalnya dengan membaca bibir, menulis, memberi isyarat, dan
memberi isyarat. Bahasa isyarat adalah salah satunya, bahasa ini datang secara alami. Dengan kata
lain bahasa isyarat merupakan adaptasi dari bahasa lisan yang tidak bisa mereka lakukan.

Kelompok masyarakat Tuli di Indonesia menggunakan dua jenis bahasa untuk


berkomunikasi. Yaitu, Sistem Bahasa Isyarat Indonesia (SIBI) dan Bahasa Isyarat Indonesia
(Bisindo). Berikut ini perbedaan antara SIBI dan Bisindo. Bisindo merupakan bahasa yang
berkembang secara alami di kelompok masyarakat Tuli Indonesia, sedangkan SIBI adalah tata
cara mempresentasikan bahasa lisan Indonesia ke dalam gerakan tertentu. Sementara itu, SIBI
bukanlah bahasa alami yang berkembang di kelompok masyarakat Tuli, melainkan sebuah
sistem atau cara untuk merepresentasikan tata bahasa lisan Indonesia ke dalam isyarat buatan.
SIBI memiliki struktur yang sama dengan tata bahasa lisan Indonesia.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Anak tunarungu merupakan anak yang mengalami gangguan pendengaran yang


diklasifikasikan kedalam tuli (deaf) dan kurang pendengaran (hard of hearing). Ketunarunguan
memberikan dampak terhadap perkembangan bahasa dan bicaranya terutama bagi anak tunarungu
sejak lahir (prabahasa). Perkembangan berbahasa dan berbicara mereka menjadi terhambat,
sehingga berakibat juga pada keterhambatan dalam pengembangan potensinya.

Kemampuan berbahasa dan berbicara anak tunarungu dapat dikembangkan melalui


layanan khusus serta didukung dengan berbagai fasilitas, baik yang berkaitan dengan materi
latihan, maupun dengan fasilitas yang digunakan untuk mengoptimalkan sisa pendengarannya.
Pengembangan kemampuan berbahasa dan berbicara anak tunarungu harus dilakukan sedini
mungkin agar diperoleh hasil yang efektif.

Kemampuan berbahasa anak tunarungu dapat dikembangkan berdasarkan pemerolehan


bahasa pada anak mendengar melalui percakapan antara anak dengan ibunya atau orang yang
dekat dengannya. Anak mendengar memperoleh bahasa berawal dari adanya pengalaman atau
situasi bersama anatara bayi dan ibunya atau orang ’terdekatnya’. Melalui pengalaman tersebut,
anak ’belajar’ menghubungkan pengalaman dengan lambang bahasa yang diperoleh malalui
pendengarannya. Sedangkan anak tunarungu dapat memperoleh bahasa melalui belajar
menghubungkan pengalaman dalam situasi bersama antara anak dan orang tua atau guru dengan
lambang visual berupa gerakan organ artikulasi yang membentuk kata-kata. Bagi anak yang
kurang dengar, dengan bantuan alat bantu dengar, pendengarannya dapat mendukung proses
pemerolehan bahasa tersebut.

Kemampuan bicara anak tunarungu dikembangkan setelah bahasa reseptif anak mulai
terbentuk. Pembinaanya dapat dilakukan secara individual maupun klasikal. Adapun tujuan akhir
dari pengembangan kemampuan bicara pada anak tunarungu adalah agar ia memiliki pengetahuan,
keterampilan, dan sikap dasar untuk: berkomunikasi di masyarakat; bekerja dan berintegrasi
dalam kehidupan masyarakat; serta berkembang sesuai dengan asas pendidikan seumur hidup.

Anda mungkin juga menyukai