Anda di halaman 1dari 5

Artikel

MEMAHAMI PERKEMBANGAN NILAI MORAL


KEAGAMAAN PADA ANAK
Oleh: Drs. Mardiya

Masalah moral dan agama merupakan salah satu aspek penting yang perlu di tumbuh
kembangkan dalam diri anak. Berhasil tidaknya penanaman nilai moral dan keagamaan pada
masa kanak-kanak akan sangat menentukan baik buruknya perilaku moral seseorang pada
masa selanjutnya.
Aspek yang berkaitan dengan nilai moral dan keagamaan adalah berupa perilaku yang
menyandarkan pada nilai moral dan nilai agama. Contoh: berdoa sebelum makan/tidur,
beribadah, berbuat baik pada orang lain, menyayangi dan menghormati orangtua, minta ijin
bila akan pergi bermain, dan sebagainya. Nilai moral berkaitan dengan baik buruknya sikap
dan perilaku manusia dalam berhubungan dengan orang lain. Sementara nilai agama adalah
aturan, patokan, standar baku yang berkaitan dengan baik-buruknya sikap manusia dalam
hubungannya antar sesama manusia maupun sang Pencipta (Tuhan).
Dengan demikian, perilaku moral keagamaan seseorang diperoleh melalui proses
yang sangat panjang. Berhasil tidaknya proses pembentukan perilaku moral dan perilaku
tentang keagamaan pada anak sangat tergantung pada efektif tidaknya upaya penanaman nilai
moral dan keagamaan yang dilakukan. Waktu emas untuk menanamkan nilai moral dan nilai
keagamaan pada masa anak-anak, dan hal itu merupakan pondasi bagi perkembangan
selanjutnya.
Menurut Al-Halwani (1995), anak memiliki kebiasaan meniru yang kuat terhadap
seluruh gerak dan perbuatan dari figure yang menjadi idolanya. Oleh karena itu seorang anak
secara naluriah akan menirukan perbuatan yang dilakukan oleh kedua orang tuanya, saudara
dekat serta kerabat yang terdekat.
Realitas yang demikian itu perlu mendapat perhatian tersendiri, karena perkambangan
akhlak, watak, kepribadian dan moral anak akan sangat ditentukan oleh kondisi dan situasi
yang terdapat dalam keluarganya. Hal ini berkaitan dengan kedudukan keluarga sebagai
lingkungan yang pertama dan utama bagi anak.
Dengan asumsi bahwa keluarga merupakan unit sosial terkecil yang memberikan
fondasi primer bagi perkembangan anak, maka pola asuh orangtua yang diterapkan anak
akan sangat berpengaruh pada perkembangan jiwa anak, termasuk masalah moralitas dan
agamanya. Bila pola asuh yang diterapkan pada anak baik maka akan membentuk
kepribadian anak yang baik pula. Sedangkan bila orang tua salah dalam menerapkan pola
asuh akan berdampak buruk pada perkembangan moral anak, karena anak akan berlaku
menyimpang yang mengarah pada perilaku kenakalan anak.
Fokus pada masalah moral, istilah moral atau moralitas menurut Mc Devitt & Ormrod
mengacu pada suatu kumpulan aturan dasar yang berlaku secara umum mengenai benar atau
salah. Dengan demikian yang dimaksud perkembangan moral adalah bagian dari proses
pembelajaran anak atas aturan-aturan dasar. Selain itu, perkembangan moral juga termasuk
dalam pemahaman akan emosi dan kekuatannya, serta kemampuan untuk mengenali bahwa
emosi tersebut dapat memotivasi individu untuk melakukan sesuatu yang tidak selalu baik
atau adil bagi orang lain.
Pada usia dini anak telah memiliki pola moral yang harus dilihat dan dipelajari dalam
rangka pengembangan moralitasnya. Orientasi moral diidentifikasikan dengan moral position
atau ketetapan hati, yaitu sesuatu yang dimiliki seseorang terhadap suatu nilai moral yang
didasari oleh suatu perhitungan antisipasif dari seseorang terhadap resiko yang mungkin
muncul jika dirinya menentukan sesuatu hal dan didasari oleh suatu perhitungan emosi yang
akan diakibatkan dari sebuah keputusan yang diambil seseorang.
Adapun perkembangan moralitas pada anak-anak yang bisa diamati adalah dari sikap
dan cara berhubungan dengan orang lain (sosialisasi), cara berpakaian dan berpenampilan,
serta sikap dan kebiasaan makan.
Terkait dengan masalah moral, ada beberapa teori yang menyoroti tentang
perkembangan moral anak:
Pertama, perkembangan moral menurut Teori Psikoanalisa Sigmund Freud. Freud
menyoroti perkembangan moral dengan mengandalkan perkembangan kepribadian yang
terjadi pada anak. Freud secara khusus menekankan pada bagaimana anak merasakan dan
membedakan tentang benar dan salah. Untuk memperjelas teorinya, Freud membagi struktur
kepribadian manusia ke dalam tiga bagian. Masing-masing bagian disebut dengan istilah
“id”, “ego” dan “super ego”. “Id” adalah dorongan yang berada di bawah sadar manusia
sehingga hampir dalam bentuk perilaku tak terkendali. Id ini ada pada diri anak yang berusia
satu sampai dua tahun pertama kehidupannya. “Ego” ada pada diri anak setelah usia 2 tahun.
Indikator perilakunya adalah anak mulai belajar mengendalikan dorongan-dorongan dari
dalam dirinya, menyelesaikan kebutuhan-kebutuhannya secara lebih masuk akal dan
menyeleksi perilaku apa yang boleh dan tidak boleh ditampilkan. “Super ego” ada pada diri
anak setelah anak mencapai usia enam sampai tujuh tahun. Dalam super ego terkandung 2
hal yaitu “ego ideal” dan “conscience” (hati nurani). Ego ideal yaitu norma-norma yang
dipelajari dari orangtuanya. Sedangkan conscience merupakan hal yang ada pada anak
sendiri.
Kedua, perkembangan moral menurut Teori Piaget. Piaget adalah tokoh psikologi
perkembangan yang pernah menuangkan teorinya dalam buku “The Moral Judgement of The
Child” (1923). Piaget dikenal sebagai penemu teori perkembangan kognitif. Fokus perhatian
Piaget adalah kaitan antara perkembangan moral yang terjadi pada seseorang dengan
perkembangan kognitif orang tersebut. Prinsipnya Piaget membagi tahap perkembangan
moral menjadi tiga, yakni: (1) Tahap formal operasional (mampu menilai dan memahami
cara berpikir orang lain, (2) Tahap realisme moral (patuh pada peraturan untuk menghindari
hukuman, (3) Tahap moral relativisme (memandang aturan sebagai suatu kesepakatan sosial,
menilai alasan benar atau salah atas dasar tujuan).
Ketiga, Perkembangan Moral Menurut Teori Kohlberg. Teori perkembangan moral
Kohlberg sangat dipengaruhi oleh teori perkembangan kognitif dari Piaget. Yang menjadi
fokus perhatian Kohlberg yaitu perkembangan penalaran (moral reasioning). Menurut
Kohlberg ada 6 tahap dalam moral reasoning: (1) Punishment and obedience orientation.
Indikatornya: menghindari hukuman dan taan secara buta. (2) Instrumental relativist
orientation. Indikatornya: bertindak untuk memuaskan kebutuhan, hubungan antar manusia
dianggap seperti hubungan jual beli. (3) Interpersonal concoedance atau good boy-nice girl
orientation. Indikatornya : tingkah laku yang baik adalah tingkah laku yang membuat senang
orang lain. (4) Low and order orientation. Indikatornya: menjunjung tinggi otoritas, tingkah
laku disebut benar bila orang melakukan kewajiban memlihara otoritas dan memelihara
ketertiban sosial. (5) Social contract legalistic orientation. Indikatornya: muncul kesadaran
bahwa ketaatan pada norma merupakan hasil kesepakatan bersama (konsensus). (6) The
universal ethical principle orientation. Indikatornya : benar salahnya tindakan ditentukan oleh
keputusan suara hati (budi nurani).
Keempat, perkembangan moral menurut Pandangan yang Berorientasi Perilaku
(Pandangan Behavioristik). Para tokoh behavioristik menekankan pada peran orangtua
sebagai pelatih perilaku moral pada anak-anaknya. Menurut pandangan behavioristik semua
perilaku termasuk moral adalah produk dari penilaian reinforcement, hukuman dan model
dari orangtua.
Selanjutnya fokus pada masalah keagamaan, nilai-nilai keagamaan pada anak akan
tumbuh dan berkembang pada jiwa anak melalui proses pendidikan dan pengalaman yang
dilaluinya sejak kecil. Seorang anak yang tidak memperoleh pendidikan tentang nilai-nilai
keagamaan, akan menimbulkan ketidakpedulian terhadap hal-hal yang berhubungan dengan
masalah keagamaan.
Pengembangan nilai agama pada anak akan berkisar pada kehidupan sehari-hari,
secara khusus penanaman nilai keagamaannya adalah meletakkan dasar-dasar keimanan,
kepribadian/budi pekerti yang terpuji dan kebiasaan ibadah sesuai kemampuan anak.
Rasa keagamaan dan nilai-nilai agama akan tumbuh dan berkembang seiring dengan
pertumbuhan dan perkembangan psikis maupun fisik anak. Perhatian anak terhadap nilai-
nilai dan pemahaman agama akan muncul manakala mereka sering melihat dan tertib dalam
upacara-upacara keagamaan, dekorasi dan keindahan rumah ibadah, rutinitas, ritual orangtua
dan lingkungan sekitarketika menjalankan peribadahan.
Perkembangan nilai keagamaan pada anak akan dipengaruhi oleh faktor pembawaan
dan lingkungan. Faktor pembawaan karena setiap manusia yang lahir kedunia, menurut fitrah
kejadiannya telah memiliki potensi beragama atau keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa
atau memiliki kepercayaan terhadap adanya kekuatan di luar dirinya yang mengatur hidup
dan kehidupan alam semesta ini. Hanya saja kadarnya berbeda-beda, sehingga tingkat
kecepatan perkembangannya juga berbeda-beda untuk masing-masing individu. Sedangkan
faktor lingkungan berpengaruh karena faktor pembawaan masih merupakan potensi, sehingga
lingkunganlah yang akan menentukan apakah potensi keagamaan dan keimanan seseorang
akan berkembang secara optimal atau tidak.
Ketika rasa keagamaan itu sudah tumbuh pada diri anak, maka kita perlu memberikan
latihan-latihan keagamaan. Apabila latihan itu dilalaikan sejak kecil atau dengan cara yang
kurang tetap, bukan mustahil ketika mereka menginjak dewasa nanti tidak akan memiliki
kepedulian yang tinggi pada kehidupan beragama dalam kesehariannya. Begitu pula
sebaliknya, bila kita rajin melatih anak dalam hal keagamaan melalui kegiatan berdoa,
beribadah menurut agamanya masing-masing serta berperilaku sesuai ajaran agama, diyakini
sang anak akan menjadi orang yang agamis, taat beribadah dan berkepedulian tinggi terhadap
aktivitas keagamaan.

Drs. Mardiya
Ka Sub Bid Advokasi Konseling dan
Pembinaan Kelembagaan KB dan KR pada
BPMPDPKB Kab. Kulonprogo

Anda mungkin juga menyukai