Anda di halaman 1dari 11

Cerita Rakyat Betawi: Si Jampang

Anak laki-laki itu dinamakan Jampang. la lahir di desa Jampang Sukabumi Selatan.
Bapaknya berasal dari Banten dan ibunya berasal dari desa ]ampang. Anak laki-laki itu
tinggal di rumah pamannya di Grogol Depok. Pamannya sangat sayang kepadanya,
selain keponakan, anak laki-laki itu juga yatim piatu yang memerlukan perlindungan.
Sang paman membawa Jampang dari desa Jampang ke Grogol Depok. Dirumah
pamannya, Jampang dibesarkan. Jampang diperlakukan sebagai anak sendiri. Agar
]ampang memiliki ilmu, bekal hidupnya, oleh pamannya ia disuruh mengaji pada
seorang guru ngaji di Grogol Depok. Jampang juga disuruh belajar ilmu bela diri oleh
pamannya. Pamannya berkata,
“Pang, Lu mesti punya kepandaian silat, karena menegakkan kebenaran tanpa
kekuatan adalah sia-sia.”

” Aye mang ! ” jawab Jampang penuh rasa hormat.

” Lu ikut mamang ke Cianjur, lu belajar silat disana ama kenalan mamang.”

” Aye sih pegimane mamang.”

Oleh pamannya, Jampang diantarkan ke Cianjur untuk belajar sekaligus menetap


dirumah guru silat.

Selain belajar silat, ]ampang membantu guru silatnya, Jampang membantu menanem
padi, merapikan rumah. Ditempat guru silatnya, Jampang memperlakukan diri sebagai
anak, tidak berpangku tangan. Guru silatnya menjadi sayang, dan dengan rela hati
mengajarkan semua kepandaian yang dimiliki termasuk ilmu kebatinan.
Setelah Jampang menyelesaikan menuntut ilmu silat, ia kembali ke Grogol Depok. Guru
silatnya berpesan kepadanya agar ilmu yang didapatnya jangan digunakan untuk
berbuat kejahatan. Jampang mengangguk setuju, kemudian mencium tangan guru
silatnya mohon izin meninggalkan Cianjur kembali ke Grogol Depok “Pang! Salam aye
buat mamang lu,” ujar Guru silatnya. ” Aye, Guru !”

Jampang kembali ke rumah Mamang di Grogol Depok. Dari Cianjur Jampang berjalan
kaki melewati jalan setapak naik turun perbukitan menuju Bogor. Dari Bogor Jarnpang
menumpang kereta api Buitenzorg-Batavia turun di Depok. Pamannya sangat gembira
menyambut kedatangan Jampang yang telah berbulan lamanya meninggalkan rumah
untuk menuntut ilmu silat. Oleh pamannya, Jampang diminta meneruskan menuntut
ilmu mengaji. Jampang dengan patuh memenuhi permintaan mamangnya. Berkat
ketekunan dan kepatuhan untuk menuntut ilmu mengaji, Jampang dengan mudah
menyerap ilmu mengaji yang diajarkan gurunya. Gurunya menjadi sayang kepadanya,
selama menuntut ilmu mengaji, Jampang juga membantu mamangnya dan guru
ngajinya mengerjakan sawah.
Setelah merasa cukup memiliki bekal ilmu dan usianya telah menanjak dewasa menjadi
seorang pemuda, Jampang merasa sudah saatnya tidak bergantung lagi dengan
mamangnya. Jampang menyampaikan keinginannya untuk merantau ke Betawi.
” Kalo emang lu pengen merantau, lu mesti bawa diri, biar orang laen seneng ame lu.”
mamangnya menasehati ” Aye mang.” jawab Jampang.

Jampang berangkat ke Betawi, memulai kehidupan mandiri. Di Betawi Jarnpang


menuju salah seorang ternan mamangnya di Kebayoran Lama. la diterima menetap
dirumah tersebut. Sebagai penumpang, Jampang membantu si empunya rumah
berkebun serta berdagang buah di pasar Tanah Abang.
Suasana Kebayoran Lama tempat Jampang menetap di bawah kekuasaan tuan tanah
dengan centeng centengnya yang setiap bulan datang menagih pajakkepada
penduduk. Bila penduduk tidak punya uang untuk membayar pajak, para centeng tak
segan-segan mengambil harta milik yang ada di rumah penduduk. Ada kambing yang
terlihat di kandang akan diambil. Keadaan bisa lebih buruk lagi, para centeng akan
memukuli orang yang tidak bisa membayar pajak.
Jampang menyaksikan perilaku para centeng yang tidak punya perikemanusiaan
kepada penduduk. Timbul keinginan untuk menantang para centeng, tapi Jarnpang
masih berpikir akan nasib orang yang ditumpanginya. Jampang mengamati dengan
cermat wajah para centeng dan bertekad akan membalas perbuatan mereka
dikemudian hari.
Selama menumpang dirumah itu, Jampang berkenalan dengan gadis kampung
tersebut. Jampang menjalin tali kasih dengan wanita di kampung itu, kemudian berniat
membina rumah tangga. Jampang menyampaikan isi hatinya wanita tersebut setuju,
kemudian si empunya rumah diminta untuk melamar orangtua wanita tersebut.

Jampang menikah dengan gadis Kebayoran Lama dan pindah menetap dirumah
mertuanya. Oleh mertuanya, Jampang diberi sebidang tanah untuk digarap. Bersama
isterinya, Jampang menggarap tanah, menanami lahan dengan bibit padi, kacang dan
kelapa. Selain menggarap tanah, Jampang juga menjual hasil kebun mertuanya ke
pasar Tanah Abang. Isterinya hamil kemudian melahirkan seorang anak laki-laki diberi
nama Jampang muda. Wajah anaknya sangat mirip dengan dirinya, ibarat pinang
dibelah dua. Jampang sangat gembira, kegembiraan yang tidak terkatakan. Setiap
selesai bekerja di kebun atau menjual hasil kebun di pasar, Jampang selalu bercanda
dengan anaknya.

Sekalipun Jampang memiliki ilmu silat yang tinggi, tetapi ia pun terkena tagihan dari
centeng tuan tanah Kebayoran. Sebenarnya Jampang ingin melawan, tetapi
memikirkan anaknya yang masih disusui isterinya
Jampang mengalah, membiarkan para centeng beraksi didepan matanya.

” Mane pajak lu, cepat ! ” hardik centeng padanya.

” Ini bang! Jampang menyerahkan uang beberapa sen pada centeng tersebut.

“Lu memang penduduk yang taat.

” Aye bang” Jampang berpura-pura seperti orang bodoh

Ketika anaknya berusia 4 tahun, isterinya meninggal dunia. Jampang sangat sedih
dengan kepergian isterinya. Ditatapnya mata anaknya yang kini tidak beribu lagi.
mertuanya datang menggendong anaknya sarnbil berkata.

” Biarlah dia ame kami disini Pang.”

“Aye nyak.”

” Lu mau kemane Pang ?”

” Mau ke Tanah Abang nyak.”

Jampang menitipkan anaknya kepada mertuanya, ia pergi ke Tanah Abang. Jampang


memutuskan untuk mengambil kembali hak miliknya dan hak milik mertuanya serta
penduduk yang diambil oleh para tuan tanah dan centeng secara sewenang-wenang.
Jampang pergi ke Tanah Abang sambil melewati rumah para tuan tanah dan orang-
orang kaya serta rumah para centeng. Sungguh sangat berbeda, rumah mereka penuh
dengan perabotan mahal. Dari mana lagi kalau bukan dari hasil memeras penduduk.
Jampang di pasar Tanah Abang sampai menjelang Ashar. Kemudian pergi ke rumah
seorang tuan tanah, mengamati dengan cermat keadaan rumah, berapa centeng yang
menjaga, bagaimana jalan masuk yang tepat. Setelah itu Jampang pergi ke
langgar, menunggu sambil sholat Maghrib dan Isya.
“Anak siape ? ” tanya imam sekaligus ustadz langgar menyapanya
“Aye Jampang pak imam” jawab Jampang

” Anak dari mane? ”

” Aye dari Kebayoran Lama”

” Ada keperluan apa singgah di kampung ini ?”

” Aye pengen ngambil milik aye yang dirampok tuan tanah”, “Hati-hati nak, banyak
jagoannya.” .

” Pan aye punya penolong ” ” Siape ?”

” Nyang diatas, Allah ”

Imam langgar geleng kepala. Jampang segera mengambil wudhu dan azan Maghrib.
Kemudian shalat Maghrib berjamaah.

Selesai sholat, imam langgar mengajak Jampang makan di rumahnya. Jampang tidak
menolak, mengikuti imam langgar menuju rumah imam langgar. Sambil jalan imam
langgar berkata, “Malam ini ada pertunjukan di kampung sebelah, biasanye lewat Isya
para centeng dan tuan tanah pergi”.

“Terima kasih pak ustadz.”

Setelah sholat Isya, Jampang bergerak perlahan mendekati rumah tuan tanah. Dari
kejauhan terlihat kerumunan orang. Para centeng dengan golok di pinggang sambil
menyulut rokok sebagian duduk, sebagian berdiri. Kemudian keluar seorang yang
barangkali tuan tanah. Kemudian kerumunan itu pergi dari rumah itu menuju ke
kampung sebelah menonton pertunjukan Gambang Kromong.
Jampang dengan cermat mengawasi kepergian tuan tanah dan para centengnya.
Setelah mereka berlalu beberapa saat, Jampang masih tetap di tempatnya untuk
mengawasi keadaan rumah. kemudian keluar seorang lelaki, menutup pintu pagar lalu
masuk kembali ke dalam rumah. Jampang bergerak perlahan-lahan sambil mengawasi
keadaan sekitarnya. Suasana sepi, gemerisik angin dan suara jangkrik memecah
kesunyian malam. Jampang melompati pagar rumah tuan tanah, kemudian merangsek
maju mendekati jendela, menempelkan telinga pada kayu dan jendela. Terdengar suara
perempuan sedang berbincangbincang didalam rumah.
” Nyak, kalung aye belon juge dibeliin kapan nyak ? “terdengar suara perempuan muda,
mungkin anak tuan tanah.

” Entar kalo si Rochim ame babe lu, pasti lu punya kalung juga” ujar perempuan tua,
mungkin isteri tuan tanah.

” Babe sih seneng ingkar janji, bukannya beliin untuk aye, tapi buat gendak-gendaknya.

” Kagak bener lu omongin babe lu, durhaka nak.”

” Biarin, abisnye aye kagak dibeliin gelang ” ” Sono tidur, pan udah malem ”
Jampang bergeser ke jendela lainnya, memasangkan telinga untuk mendengar, tak ada
suara apa-apa, mungkin sudah tidur. Dengan perlahan-lahan menggunakan tenaga
dalam, Jarnpang membuka jendela lalu melompat masuk. Seorang lelaki yang sedang
tidur ayarn tersentak bangun, Jampang dengan sigap membekuk laki-laki itu untuk tidur
kembali, sebuah pukulannya membuat lelaki itu terkulai layu tak
berdaya. Jampang kemudian bergerak kekamar tidur tuan tanah. Tangannya mengetuk
pintu perlahan-lahan, terdengar suara panggilan dari dalarn karnar.

” Siape, elu Min ?” tanya isteri tuan tanah.

“Aye nyah” ujar Jarnpang memalsukan suara” Ada ape sih? Lu mau nonton ?” ” lye
nyah ”

Terdengar langkah menuju pintu, pintu terbuka, dalam waktu tak lebih dari dua detik,
Jampang berhasil membekuk isteri tuan tanah. Goloknya ditodong ke Ieher isteri tuan
tanah.

“Tunjukan mane lemari lu “Jampang mengarah isteri tuan tanah ke lemari di dalam
kamar.

“Jangan !” ujar isteri tuan tanah.

” Lu teriak gue sabet leher lu.”


Jampang membuka pintu lemari, ternyata terkunci. Jampang menekan ujung goloknya
ke leher isteri tuan tanah.

” Ampun, ” ujar isteri tuan tanah minta belas kasihan ” Ambilin kuncinya, cepat!”

” Lepasin aye”

” Tidak, mana kuncinya ?”

lsteri tuan tanah menunjuk kearah kasur. Jarnpang mengarah isteri tuan tanah ke sisi
kasur, kemudian mengangkat kasurnya, mengambil kunci. Kemudian Jampang
mengikat isteri tuan tanah dan menyumpal mulutnya dengan kain.
Jampang membuka lemari, mengarnbil uang dan emas yang ada dalam lemari,
kemudian uang emas dan beberapa potong kain sarung dikumpulkan dalam sebuah
kain sarung. Lalu Jampang mendekati isteri tuan tanah, melucuti kalung, gelang serta
cincin yang dipakai isteri tuan tanah.
“Hei perempuan, lu pikir semua bande ini milik lu?” ujar Jampang seraya
menengadahkan kepala isteri tuan tanah dengan tangannya.

“Bande ini laki lu rarnpas dari rakyat, ini semua keringat penduduk, yang kerjanya
setengah mati, lu enak-enak main rampas,” ujar Jampang menatap tajam ke muka isteri
tuan tanah.

Jarnpang kemudian keluar dari kamar tersebut, menutup pintunya perlahan-lahan,


berjingkat ke arah kamar yang tempat ia masuk, melompat lewat jendeia kemudian
mendekati pagar, lalu melompat keluar. Jampang melangkah waspada, tidak melalui
jalan yang biasa dilalui orang. Ia mengambil jalan lewat tegalan sawah menuju ke
Kebayoran. Jampang tiba di rumahnya saat hampir subuh. Selama perjalanan,
Jampang membagi-bagikan sebagian rampasannya ke rumah-rumah penduduk miskin.
Sampai di rumah, Jampang segera menyimpan sisa rampasan, lalu mengambil air
wudhu, melaksanakan sholat subuh. Memohon ampun kepada Allah tindakan yang
terpaksa dilakukan, kemudian tidur lelap. Setelah peristiwa tersebut, Jampang mencari
tahu tentang tuan tanah tersebut semakin bengis dalam menagih pajak, tidak perduli
keluhan penduduk mengapa tagihan pajak begitu
cepat dari waktunya.
“Pan pajeknye udah aye bed kemarin” ujar penduduk pada centeng.

“Diam lu, ngebacot gua golok ” hardik centeng.


Jampang yang menyaksikan keadaan tersebut, tidak bisa menahan diri. Jampang
menghadang beberapa orang centeng yang baru saja merampas dari sebuah rumah
penduduk.

“Minggir lu bangsat ! ” hardik centeng pada Jampang.

” Serahin semua bawaan lu ” pinta Jampang.

” Lu mau ngerampok ?”

” Emang kenape, lu juga ngerampok,” ujar Jampang tenang.

Centeng-centeng segera mengayunkan goloknya ke arah Jampang. Dengan sigap


Jampang melayani perkelahian dengan para centeng. Seorang centeng yang mencoba
melarikan barang, segera dijegal Jampang. Perkelahian menjadi seru. Satu persatu
centeng berhasil dilumpuhkan, kemudian Jampang melemparkan golok mereka ke
rumput ilalang, lalu menghardik mereka.

” Bangun ! pergi atau gue cabut nyawa elu-elu”

Para centeng dengan susah payah bangun, kemudian terbirit-birit menjauh dari
Jampang, kemudian hilang dari pandangan.

Penduduk segera berdatangan, Jampang melemparkan barang-barang rampasan dari


centeng kepada penduduk. ” Ambil yang kalian punya” ujar Jampang.

Para penduduk memilih barang mereka kemudian mendekati Jampang, sebagian


berlutut ingin mencium kakinya.

” Jangan ! gue bukan Belande, bangun ! pulang kerumah masing-masing ” seru


Jampang.

” Terima kasih, Bang ” penduduk memberi hormat. Kemudian Jampang berlalu dari
tempat itu.

Jampang terus melakukan aksinya setiap malam ke rumah tuan tanah, rumah para
centeng dan rumah orang kaya. Jampang terus berpindah tempat diantaranya Grogol,
Pasar Ikan, Tanjung Priok dan Tambun Bekasi. Selain melakukan aksi perampasan
malam hari, Jampang juga selalu menghadang para centeng yang menagih pajak atas
penduduk. Karena aksinya, namanya dikenalluas oleh penduduk si Jampang dihormati
dan dielu-elukan kehadirannya, sedangkan bagi para centeng, tuan tanah, demang dan
Belanda, si Jampang sangat dibenci dan diburu.
Penguasa penjajah mengerahkan polisi untuk mengintai si Jampang, tetapi karena ia
selalu berpindah-pindah tempat operasinya, sulit bagi polisi Belanda menangkapnya,
sementara jagoan centeng para tuan tanah tidak mampu membunuh Jampang dalam
setiap perkelahian. Akibat keberhasilan yang selalu memihaknya Jampang digelari
penduduk sebagai Si Jampang Jago Betawi.
Sehari harinya Jampang sangat memperhatikan anaknya. Anaknya dititipkan di rumah
mertuanya. Setiap ada kesempatan Jampang mendatangi rumah mertuanya menemui
anaknya. Baru setelah anaknya berusia diatas sepuluh tahun. Jampang mengajak tidur
dirumah mereka, jika kebetulan menginap di rumah, jika Jampang beroperasi, anaknya
dititipkan dirumah mertua. Jampang tak ingin mertuanya dan anaknya susah,
karenanya Jampang tidak beroperasi dikampungnya.
Jampang juga mengajarkan anaknya ilmu serta ilmu agama seadanya jika kebetulan di
rumah. Anaknya tumbuh menjadi dewasa dan kekar. Mencapai usia 15 tahun, Jampang
berkata pada anaknya.
“Eh lu tong, gua mau nanya ame lu. lu mau sekolah apa lu mau ngaji?” Tanya
Jampang.

“Ngaji aye nggak mau, sekolah juga aye ogah. Aye kepengen belajar main pukul kaye
babe”.

“Lu jangan main pukul kaya bapak lu, kalau lu ogah semua, baekan lu kawin aje dah”.

“Aye kagak mau kawin be, kalau gitu aye mendingan sekolah aje, kalau babe mau
kawin, babe aja dah yang kawin”. Jampang tertawa mendengarkan jawaban dan usulan
anaknya.

“Kalo lu punya nyak lagi, gua punya kawan yang bernama Sarba di tanah
perkembangan Tambun” kata Jampang. Jampang kemudian menyerahkan anaknya
pada seorang guru ngaji. Setelah itu Jampang pergi ke tanah perkembangan menemui
Sarba temannya.

Di tanah perkembangan Jampang di sambut oleh Si Ciput pembantu rumah tangga


Sarba. Jampang gembira sekali karena akan bertemu temannya yang sudah lama
berpisah.

“Eh Put kemana Sarba?” tanya Jampang antusias.

“Sarba pan udah meninggaI” ujar Ciput tenang menjawab pertanyaan Jampang.
Jampang kaget bukan kepalang, Jampang bagaikan tak percaya pada pertanyaan
Ciput.
“Hah! Masa iye Put, Sarba udah meninggal ??? kalo gitu istri Sarba si Mayangsari
menjande ye Put?” Jampang berkelakar.
“Betul” jawab Ciput tersenyum.

“Wah, kebetulan sekali Put, gua sedang kagak punya bini, bini gua udah meninggal Put.
Coba lu omongin ame Si Mayangsari. Put, ape mau die kawin arne gua?” Jampang
minta Ciput untuk memberitahukan keinginannya pada Mayangsari.

Ciput masuk ke dalam rumah, sementara Jampang duduk di serambi rumah. Beberapa
waktu kemudian Ciput dan Mayangsari menemui Jampang, Jampang tersentak bangun
dan menyalami Mayangsari.

“Mayangsari … Abang Sarba pergi kemane?” Jampang berpura-pura tidak tahu.

“Abang lu jangan ditanya, Sarba telah lama meninggal dunia” Mayangsari menjawab
dalam nada sedih.

“Sakit apa abang Sarba kok aye nggak dikabarin” Mayangsari kemudian menjelaskan.
“Begini Jampang, ketika gua ama abang lu belum punya anak, dulunye kite bedua pegi
ke gunung Kepuk Batu. Maksudnya kita mau ziarah di makam keramat sembari mohon
supaya dikasih anak. Disana kita diterima juru kunci yang bernama Pak Samat.
Kemudian pak Samat membakar kemenyan sambil membuka mantera-mantera, dan
tak lama keluarlah setan dari tempat keramat itu. Abang lu Sarba bertanye kepada to
setan, “Apakah gua bakal punya anak?” Tuh setan manggut-manggut. Anak perempuan
atau anak laki-laki? Setannye diem aja. Anakku perempuan? Setannye geleng kepala.
Anak laki-laki. Setannye manggut-manggut. Abang lu bilang kalau saye dapat anak laki-
laki, saya berjanji akan membawa sepasang Bekakak Kebo yang ditusuk dari pantat
sampai kepala katanye. Setelah itu gue ame abang lu pulang lagi kerumah dan
beberapa bulan kemudian gue ngandung sesudah genap usia kandungan gue, lahirlah
seorang bayi laki-laki, anak itu gue kasih nama Abdih. Lima belas taon udehnye
tentunya si Abdih udeh gede, gue arne abang lu tuh jadi bingung abis gimane, keadaan
sulit mane si Abdih pengen disekolahin, maka untuk menentramkan hati gue, Bang
Sarba lu tuh ngajakin gue jalan-jalan dan plesiran sambil ngajakin si Abdih ke Betawi.
Tapi malang nasib Abang lu si Sarba dadakan aja tuh jatuh sakit dan lantas kontan
meninggal di tempat plesiran itu juga. Hal ini menurut dukun, Bang Sarba tidak
menepati janjinya waktu memuja-muja di gunung Kepuk Batu. Kalo dapet anak laki-laki
akan
bawain sepasang Bekakak Kebo.” Demikian Mayangsari menjelaskan panjang lebar
tentang kematian Sarba. Jampang dengan serius mendengar penjelasan Mayangsari.
“Kemane anak Mpok si Abdih itu?” tanya Jampang.

“Die sedang sekolah di Bandung” jawab Mayangsari. Jampang memanfaatkan


kesempatan, dialog tersebut untuk menyampaikan maksudnya. Dalam kesempatan
yang tepat Jampang melontarkan niatnya.

“Mpok jande, aye dude, nah baeknya kita kawin aje kan klop” ujar Jampang serius dan
mengharapkan jawaban.

“He Jampang, kalo lu pengen kawin, lu urusin sendiri diri lu, ape lu mau cari jande kek,
perawan kek itu urusan lu asal jangan lu mau kawin ame gue, itukan nggak pantes”
Mayangsari sangat berang, kemudian bangkit meninggalkan Jampang duduk sendiri.

Jampang belum menyerah. Ia meminta Ciput memberitahu kepada Mayangsari bahwa


niatnya bukanlah main-main. Jampang juga menjanjikan hadiah bila Ciput bisa
meluluhkan hati Mayangsari. Ciput masuk ke rumah untuk melunakan hati Mayangsari.
Ternyata Mayangsari marah besar, Ciput mendapat sumpah serapah. Mayangsari
kemudian keluar menemui Jampang sambil berujar.
“Lu jangan ngerecokin gue Jampang, gue lagi bingung nih” seraya meludahi muka
Jampang kemudian masuk ke rumah.

Jampang merasa malu dengan perlakuan Mayangsari. Jampang beranjak


meninggalkan rumah temannya almarhum Sarba. Jampang bertekad untuk menutupi
malunya dengan menikahi Mayangsaridengan jalan apapun. Jampang pergi kerumah
keponakannya. Sarpin keponakan Jampang juga seorang jagoan. Sarpin kaget melihat
kedatangan Jampang, pamannya yang sudah lama tak bertemu. Kepada Sarpin
Jampang menceritakan pengalamannya dengan Mayangsari, dan meminta Sarpin
membantu. Sarpin dengan senang hati bersediamembantu pamannya. Mereka
menemui seorang dukun manjur untuk mendapatkan ilmu pelet agar Mayangsari
tergila-gila padanya. Pak Dul dukun manjur dari kampung Gabus memberikan ilmu
pelet kepada Jampang.

Berbekal ilmu pelet tersebut, Jampang menemui Mayangsari kontan saja Mayangsari
menjadi gila. Jampang menjadi kuatir dan pergi. Beberapa hari kemudian Abdih anak
Mayangsari pulang dari Bandung, menemukan ibunya gila, lalu Abdih berupaya
menyembuhkan. Abdih mengetahui sebab ibunya menjadi gila. Setelah ibunya.
sembuh. Abdih menemui Jampang dan menceritakan bahwa ibunya bisa menikah
dengan Jampang asalkan dipenuhi syarat.

“Apa syaratnye?” tanya Jampang.


“Syaratnya Bapak Jampang harus memberi mas kawinnya kebo sepasang.”

Mengetahui syarat yang diajukan, Jampang kemudian mengajak Sarpin untuk


merampas kerbau milik Haji Saud di Tambun. Dalam aksi perampasan mereka dengan
mudah membawa kerbau tersebut. Dalam perjalanan pulang, Jampang dan Sarpin
temyata telah dikepung berpuluh serdadu Belanda bersenjata lengkap. Jampang dan
Sarpin tertangkap dan dipenjarakan.

Jampang kemudian diadili, segala aksinya sejak dulu diungkapkan di persidangan dan
menjatuhkan hukuman mati kepadanya. Jampang dengan tabah menuju tiang
gantungan sambil berdoa memohon ampunan kepada Allah bahwa apa yang dilakukan
olehnya tak lebih dari reaksi orang-orang tertindas oleh kejaliman penjajah beserta kaki
tangannya. Regu tembak menarik pelatuk dan ajalnya memang tiba, tamatlah riwayat Si
Jampang. Jago betawi yang dibenci penjajah beserta kaki tangannya tetapi dicintai oleh
penduduk.

Referensi : Dinas Kebudayaan dan Permuseuman, Cerita Rakyat Betawi, 2004


Sumber : Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta

Anda mungkin juga menyukai