Anda di halaman 1dari 33

UNIVERSITAS JEMBER

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN CRUSH INJURY


DI RUANG SERUNI RUMAH SAKIT DAERAH
dr. SOEBANDI JEMBER

oleh
Moh. Faisal Haris
NIM 182311101160

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
MARET, 2019
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Pendahuluan pada Pasien dengan Fraktur Pelvis di Seruni RSD dr.
Soebandi Jember telah disetujui dan di sahkan pada :
Hari, Tanggal :
Tempat : Ruang Instalasi Bedah Sentral RSD dr. Soebandi Jember

Jember, Maret 2019

Mahasiswa

Moh. Faisal Haris


NIM 182311101160

Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik


Stase Keperawatan Bedah Ruang Instalasi Bedah Sentral
Fkep Universitas Jember RSD dr. Soebandi Jember

Ns. Mulia Hakam,M.Kep.,Sp.Kep.MB Ns.


NIP 19810319 201404 1 001 NIP

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i


LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................... ii
DAFTAR ISI ................................................................................................... iii
LAPORAN PENDAHULUAN ...................................................................... 1
A. Definisi ................................................................................................. 1
B. Anatomi dan fisiologi ........................................................................... 2
C. Epidemiologi ........................................................................................ 3
D. Etiologi ................................................................................................. 4
E. Tanda dan Gejala.................................................................................. 4
F. Patofisiologi/patologi ........................................................................... 4
G. Manifestasi klinis ................................................................................. 7
H. Pemeriksaan penunjang........................................................................ 7
I. Komplikasi ........................................................................................... 8
J. Penatalaksanaan ................................................................................... 8
K. Clinical pathway................................................................................... 12
ASUHAN KEPERAWATAN KASUS KELOLAAN.................................. 14
A. Pengkajian ............................................................................................ 14
B. Rumusan Diagnosa Keperawatan ........................................................ 16
C. Perencanaan/ Nursing Care Plan ......................................................... 18
D. Evaluasi keperawatan ........................................................................... 28
E. Discharge planning............................................................................... 29
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 30

iii
1

LAPORAN PENDAHULUAN

A. Definisi
Crush injury didefinisikan sebagai kompresi dari ekstremitas atau bagian lain
dari tubuh yang menyebabkan pembengkakan otot dan/atau gangguan saraf di area
tubuhyang terkena. Biasanya area tubuh yang terkena adalah ekstremitas bawah (74%),
ekstremitas atas (10%), dan badan (9%). Crush syndrome merupakan lokalisasi crush
injury dengan manifestasi sistemik. Efek sistemik disebabkan oleh trauma
rhabdomyolysis (Pemecahan otot) dan pelepasan komponen sel otot yang berbahaya dan
elektrolit kesistem peredaran darah. Crush syndrome dapat menyebabkan cedera
jaringan lokal, disfungsi organ, dan kelainan metabolik, termasuk asidosis,
hiperkalemia, dan hypocalcemia.
Crush Injury didefinisikan sebagai luka yang hancur pada ekstremitas atau
anggota badan lain yang mengakibatkan terjadinya kerusakan yang serius meliputi kulit
dan jaringan lunak dibawa kulit kerusakan pembuluh darah persarafan tendon, ascia ,
bone joint (lokasi penghubung anatara tulang ) kerusakan tulang serta komponen
didalam tulang. Crush injury lebih sering mengenai anggota gerak dibanding anggota
tubuh yang lain.
Pada pengalaman sebelumnya, saat gempa bumi yang menimbulkan kerusakan
yang parah menunjukkan bahwa insiden crush syndrome adalah sebesar 2-15% dengan
sekitar 50% dari angka tersebut berkembang menjadi gagal ginjal akut dan lebih dari
50% yang perlu dilakukan tindakan fasiotomi. Dari mereka dengan gagal ginjal, 50%
harus dilaksanakan dialisis
2

B. Anatomi dan Fisiologi


Gerak pada manusia merupakan gerak aktif, artinya organ pada manusia dapat
bergeser atau berpindah tempat, gerak merupakan reaksi untuk menanggapi rangsang
baik mendekat atau menjauhi sumber rangsang atau bergerak untuk memenuhi
kebutuhan hidup. Gerak aktif dapat terjadi karena organ dilengkapi dengan otot dan
tulang. Tulang merupakan alat gerak pasif artinya tulang dapat bergerak jika dibantu
dengan otot, tulang pada manusia saling bersambungan terangkai membentuk system
rangka.
Sistem rangka manusia terdiri dari skleton aksia dan skeleton appendikular.
Tulang yang merupakan alat gerak pasif pada manusia sebenarnya tersusun beruas-ras,
ruas tulang ini saling terangkai dan berkaitan membentuk system rangka. Salah satunya
ekstremitas caudalis atau tulang anggota bawah.
Tulang ekstrimitas kaudalis (bawah) biasanya segala sesuatu yang berada dibawah
ligamen inguinal, termasuk paha, tempurung lutut, tulang kering, betis, tumit,
pergelangan kaki, dan telapak kaki. Bagian-bagian tulang ekstremitas kaudalis :
a. Tulang paha (Femur)
b. Tulang tempurung lutut (patella)
c. Tulang kering (tibia)
d. Tulang betis (Fibula)
e. Tulang tumit (calcaneus)
f. Tulang pergelangan kaki (tarsal)
g. Tulang telapak kaki (meta tarsal)
3

Sedangkan untuk ekstremitas atas terdiri dari beberapa bagian yaitu:


a. Gelang bahu (Cingulo)
1. Os. Scapula
2. Os. Clavikula
b. Bagian yang bebas (Ekstremitas)
3. Os. Humerus
4. Os. Radius
5. Os. Ulna
6. Os. Carpal
7. Os. Metacarpal
8. Os. Phalanges

C. Epidemiologi
Fraktur pada pelvis terjadi akibat trauma tumpul dan berhubungan dengan angka
mortalitas antara 6% sampai 50%. Walaupun hanya terjadi pada 5% trauma, penderita
biasanya mempunyai angka ISS (injury severity score) yang tinggi dan sering juga
terdapat trauma mayor di organ lain, karena kekuatan yang dibutuhkan untuk terjadinya
fraktur pelvis cukup signifikan. Sebagai contoh, insidensi robekan aorta thoracalis
meningkat secara signifikan pada pasien dengan fraktur pelvis terutama tipe AP
kompresi.
Pada pasien dengan trauma pelvis dapat terjadi hemodinamik yang tidak stabil,
dan dibutuhkan tim dari berbagai disiplin ilmu. Status hemodinamik awal pada pasien
dengan fraktur pelvis adalah faktor prediksi utama yang dihubungkan dengan kematian.
Fangio P,et al (2005) mempublikasikan pada penelitiannya bahwa angka kematian pada
pasien dengan hemodinamik stabil adalah 3,4% yang dibandingkan dengan yang
hemodinamik tidak stabil adalah sebesar 42%.
Karena trauma multipel biasanya terjadi pada pasien dengan fraktur pelvis,
hipotensi yang terjadi belum tentu berasal dari fraktur pelvis yang terjadi. Walaupun
demikian, pada pasien fraktur pelvis yang meninggal, perdarahan pelvis terjadi pada
50% pasien yang meninggal.
4

D. Etiologi
Penyebab utama dari crush injury adalah banyak faktor antara lain: tertindih oleh objek
berat, kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja pada industri, kecelakaan kerja lain yang
menyebabkan luka hancur yang serius.

E. Tanda dan Gejala


Tanda dan gejala jelas berbeda tergantung dari keparahan crush injury . Pada trauma
yang ringan dapat ditandai dengan adanya luka robek, nyeri terlokasir dan ringan.
Namun pada trauma crush injury yang berat dapat terlihat kerusakan hebat dibawa
kulit lokasi lesi dan sering dijumpai kerusakan hebat terhadap kulit, jaringan lunak,
fascia, saraf, pembuluhh darah, tulang serta tendon dan organ lainnya. Beberapa tanda
yang mungkin dan sering timbul yaitu klinis pada kulit mungkin hampir sama dengan
trauma bukan crush injury , bengkak daerah trauma, paralisis ( jika mengenai vertebra),
parestesi, nyeri, pulsasi ujung distal dari lokasi trauma mungkin ada atau tidak ada
mioglobinuri yang mana warna urine menjadi merah gelap atau coklat.

F. Patofisiologi/ patologi
Mekanisme Cedera Sel Otot
Patofisiologi crush injury dimulai dengan cedera otot dan kematian sel otot. Pada
awalnya, ada tiga mekanisme yang bertanggung jawab atas kematian sel otot2:
1. Immediate Cell Disruption : Kekuatan lokal yang menghancurkan sel
menyebabkanImmediate Cell Disruption (lisis). Walaupun memiliki efek
immediate, mungkin inilah mekanisme yang paling tidak penting dibandingkan
dengan kedua mekanisme yang lain.
2. Direct pressure on muscle cell : Tekanan langsung dari crush injury menyebabkan
sel otot menjadi iskemik. Sel-sel kemudian beralih ke metabolisme anaerobik,
menghasilkan sejumlah besar asam laktat. Iskemia berkepanjangan kemudian
menyebabkan selmembran bocor. Proses ini terjadi selama satu jam pertama setelah
crush injury.
3. Vascular compromise : Kekuatan crush injury menekan pembuluh darah
utama mengakibatkan hilangnya suplai darah ke jaringan otot. Biasanya, otot bisa
5

bertahan sekitar 4 jam tanpa aliran darah (warm ischemia time) sebelum kematian
sel terjadi. Setelah waktu ini, sel-sel mulai mati sebagai akibat dari kompromais
vaskular.
Pelepasan Substansi Dari Otot yang Cedera
Mekanisme yang tercantum di atas menyebabkan jaringan otot yang terluka
untuk menghasilkan dan melepaskan sejumlah substansi yang dapat menjadi racun
dalam sirkulasi. Mekanisme tekanan padacrush injury sebenarnya berfungsi sebagai
mekanisme perlindungan, mencegah racun mencapai sirkulasi pusat.
Setelah pasien terbebaskan dan tekanan dilepaskan, racun bebas masuk dalam sirkulasi
dan berefek sistemik. Mereka dapat mempengaruhi organ yang jauh dari lokasi crush
injury. Kebocoran racun dapat berlangsung selama 60 jam setelah crush injury
terbebaskan. Beberapa substansi dan efeknya adalah sebagai berikut.
a. Asam amino dan asam organik lainnya
berkontribusi terhadap asidosis, aciduria, dandysrhythmia.
b. Creatine phosphokinase (CPK) dan enzim intraseluler lain
berfungsi sebagai penanda dalam laboratorium untuk crush injury.
c. Free radicals, superoxides, peroxides
terbentuk ketika oksigen kembali pada jaringan iskemik, menyebabkan kerusakan
jaringan lebih lanjut.
d. Histamin
vasodilatasi, bronkokonstriksi.
e. Asam laktat
berperan besar terhadap terjadinya asidosis dan disritmia.
f. Leukotrienes
cedera paru (ARDS), dan hepatic injury.
g. Lysozymes
enzim pencernaan sel yang menyebabkan cedera selularlebih lanjut.
h. Mioglobin
presipitat dalam tubulus ginjal, khususnya dalam pengaturan asidosis denganpH
urin rendah, mengarah ke gagal ginjal.
i. Nitratoksida
menyebabkan vasodilatasi, yangmemperburukhemodinamik.
j. Fosfat
6

hyperphosphatemia menyebabkan pengendapan kalsium serum, yang mengarah


kehypocalcemia dan disritmia.
k. Kalium
hiperkalemia menyebabkan disritmia, terutama bila dikaitkan dengan asidosis dan
hypocalcemia.
l. Prostaglandin
vasodilatasi, cedera paru.
m. Purin(asam urat)
dapat menyebabkan kerusakan ginjal lebih lanjut (nefrotoksik).
n. Thromboplastin
koagulasi intravaskuler diseminata (DIC). Tidak ada hubungan antar atingkat zat
beracun seperti potasium atau myoglobin dengan tingkat keparahan dari crush
injury atau lamanya waktuyang pasien terjebak.
Konsekuensi Reperfusi
Kebocoran membran sel dan kapiler menyebabkan cairan intravaskuler
terakumulasi ke jaringan yang cedera. Hal ini menyebabkan hipovolemia yang
signifikan dan akhirnya hipovolemik shock. Kehilangan kalsium ke dalam jaringan
yang cedera juga berkontribusi untuk hypocalcemia.
Sindrom Komparteme
Kelompok otot yang dikelilingi oleh lapisan keras dari fasia jaringan membentuk
kompartemen jaringan. Ketika jaringan otot dalam kompartemen membengkak,
tekanan dalam kompartemen juga meningkat. Hal ini menyebabkan iskemia yang
memburuknya dan selanjutnya terjadi kerusakanotot. Selain itu, pembuluh darah atau
saraf yang berjalan melalui kompartemen juga akan cedera.
Penilaian
Pasien dengan crush injury memiliki sedikit tanda dan gejala. Kita harus waspada
mungkin terlalu terlambat untuk hasil optimal pengobatan jika intervensi kita tertunda
karena menunggu tanda-tanda dan gejala crush injury muncul. Crush syndrome harus
diantisipasi. Crush syndrome harus dicurigai pada pasien dengan pola cedera tertentu.
Kebanyakan pasien dengancrush syndrome memiliki area cedera tubuh yang luas
sepertiekstremitas bawah dan/atau panggul.Crush syndrome dapat berkembang setelah
1 jam dalam situasi yang parah, tetapi biasanya membutuhkan 4 sampai 6 jam untuk
proses-prosesnya.
7

G. Manifestasi klinis
1. Nyeri
2. Kehilangan fungsi
3. Deformitas, nyeri tekan, dan bengkak
4. Perubahan warna dan memar
5. Krepitasi
6. Hematuria
7. Syok
8. Perdarahan

H. Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium
a. Pemeriksaan serial hemoglobin dan hematokrit, tujuannya untuk memonitor
kehilangan darah yang sedang berlangsung.
b. Pemeriksaan urin, untuk menilai adanya gross hematuria atau mikroskopik.
2. Pemeriksaan radiologis
a. Setiap penderita trauma panggul harus dilakukan pemeriksaan radiologis
dengan prioritas pemeriksaan rongent posisi AP.
b. Pemeriksaan rongent posisi lain yaitu oblik, rotasi interna dan eksterna bila
keadaan umum memungkinkan.
c. Pemeriksaan urologis
d. CT scan merupakan imaging terbaik untuk evaluasi anatomi panggul dan
derajat perdarahan pelvis, retroperitoneal, dan intraperitoneal. CT scan juga
dapat menegaskan adanya dislokasi hip yang terkait dengan fraktur
acetabular.
e. MRI dapat mengidentifikasi lebih jelas adanya fraktur pelvis bila
dibandingkan dengan radiografi polos (foto polos pelvis). Dalam satu
penelitian retrospektif, sejumlah besar positif palsu dan negatif palsu itu
dicatat ketika membandingkan antara foto polos pelvis dengan MRI.
f. Ultrasonografi sebagai bagian dari the Focused Assessment with
Sonography for Trauma (FAST), pemeriksaan pelvis seharusnya
8

divisualisasikan untuk menilai adanya pendarahan/cairan intrapelvic. Namun,


studi terbaru menyatakan ultrasonografi memiliki sensitivitas yang lebih
rendah untuk mengidentifikasi hemoperitoneum pada pasien dengan fraktur
pelvis. Oleh karena itu, perlu diingat bahwa, meskipun nilai prediksi positif
mencatat hemoperitoneum sebagai bagian dari pemeriksaan FAST yang baik,
keputusan terapeutik menggunakan FAST sebagai pemeriksaan skrining
mungkin terbatas.
g. Cystography Pemeriksaan ini dilakukkan pada pasien dengan hematuria dan
urethra utuh

I. Kemungkinan komplikasi
1. Hypotensi
2. Crush Syndrome
3. Renal Failure
4. Compartmen Syndrome
5. Cardiac Arres

J. Penatalaksanaan
Pada crush injury perlu adanya penanganan yang segera karena lebih dari 6-8 jam
setelah kejadian, jika tidak dapat ditangani dengan baik akan menyebabkan kondisi
pasien semakin memburuk dan terjadi banyak komplikasi lain yang dapat
memperberat kondisi pasien dan penanganan selanjutnya menjadi semakain sulit.
Penanganan pada crush injury dapat dimulai dari tempat kejadian yaitu dengan prinsip
primary surface ( ABC) terutama mempertahankan atau mengurangi perdarahan
dengan cara bebat tekan sementara dilarikan ke rumah sakit.
Penanganan di Rumah Sakit harus diawali dengan prinsip ATLS. Pemberian O2
guna mencegah terjadinya hipoksia jaringan serta terutama organ-organ vital.
kemudian dilanjutkan dengan terapi cairan, terapi cairan awal harus diarahkan untuk
mengoreksi takikardia atau hipotension dengan memperluas volume cairan tubuh
dengan cepat dengan menggunakan cairan NaCl (isotonic) atau ringer laktat diguyur
dan kemudian dilanjutkan perlahan kurang lebih 1-1,5 l/jam.
9

Untuk mencegah gagal ginjal dengan hidrasi yang sesuai, anjuran terapi akhir-
akhir ini berupa pemberian cairan intravena dan manitol untuk mempertahankan
diuresis minimal 300-400 ml/jam, dalam hal ini penting dipasang volley cateter guna
menghitung balance cairan masuk dan cairan keluar. Volume agresif ini dapat
mencegah kematian yang cepat dan dikenal sebagai penolong kematian, dimana dapat
memperbaiki perfusi jaringan yang iskemik sebagai akibat crush injury.

Natrium bikarbonat berguna pada pasien dengan Crush Syndrome. Ini akan
mengembalikan asidosis yang sudah ada sebelumnya yang sering timbul dan juga
sebagai salah satu langkah pertama dalam mengobati hiperkalemia.Hal ini juga akan
meningkatkan pH urin, sehingga menurunkan jumlah mioglobin yang mengendap di
ginjal. Masukkan natrium bikarbonat intravena sampai pH urine mencapai 6,5 untuk
mencegah mioglobin dan endapan sama urat di ginjal. Disarankan bahwa 500-1000
mEq bikarbonat, tergantung pada tingkat keparahan.
Selain natrium bikarbonat, perawatan lain mungkin diperlukan untuk
memperbaiki hiperkalemia, tergantung pada cedera yang mengancam biasanya
diberikan:
1. Insulin dan glukosa
2. Kalsium - intravena untuk disritmia
3. Beta 2- agonists – albuterol, metaproterenol sulfat (Alupent), dll
4. Kalium-pengikat resin seperti natrium sulfonat polystyrene (Kayekalate).
5. Dialisis, terutama pada pasien gagal ginjal akut
Pemberian &anitol intravena memiliki tindakan yang menguntungkan beberapa
korban crush syndrome guna melindungi ginjal dari efek rhabdomyolisis, peningkatan
volume cairan ekstraselular dan meningkatkan kontraktilitas jantung. Selain itu,
intravena manitol selama menit berhasil mengobati sindrom kompartemen, dengan
menghilangkan gejala dan mengurangi bengkak (edema).
Manitol dapat diberikan dalam dosis 1 gram 7 /kg atau ditambahkan ke cairan
intravena pada pasien sebagai infuse lanjutan. Dosis maksimum adalah 200 gr/kg,
dosis yang lebih tinggi dari ini dapat merusak fungsi ginjal. Manitol boleh diberikan
hanya setelah aliran urin baik yang dikoreksi dengan cairan IV lain sebelumnya.
10

Luka harus dibersihkan, debridemen, dan ditutup dengan dressing sterile dengan
kain kasa. Lokasi cedera diangkat lebih tinggi dari posisi jantung akan membantu
untuk membatasi edema dan mempertahankan perfusi. Antibiotik intravena sering
digunakan guna mencegahinfeksi, obat-obatan untuk mengontrol rasa sakit (analgetik)
dapat diberikan yang sesuai. Torniket yang kontroversial perlu jika perdarahan aktif.

Amputasi di lapangan atau tempat kejadian digunakan hanya sebagai upaya


terakhir. Ini mungkin sesuai strategi penyelamatan untuk pasien yang hidupnya berada
dalam bahaya langsung dan yang tidak dapat melepaskan diri dengan cara lain. <ni
merupakan bidang yang sulit dengan prosedur yang sangat meningkatkan risiko
infeksi dan perdarahan pada pasien. Amputasi dirumah sakit harus dilakukan oleh
dokter ahli yang berkompeten berdasarkan keahlian.
Pada amputasi bawah lutut dapat dilakukan jika ada kerusakan yang sulit untuk
dipertahan lagi dan kerusakan fungsi komponen yang terdapat pada daerah bawah
lutut (under of knee) yang melibatkan kerusakan kulit, soft tissue, otot, vaskularisasi,
persarafan, tendon, fascia serta tulang. Sehingga amputasi pada daerah bawah lutut
dapat dilakukan dengan cara mempertahankan otot dan komponen lainnya serta
kondilus tulang paha, namun pada kasus crush injury (regio cruris) yang
kerusakannya mencapai tulang patella, dapat dilakukan tindakan amputasi daerah
diatas lutut (amputation above the knee). Pastikan tindakan ini membantu pasien
untuk berlatih seketika setelah amputasi, supaya dapat memperkuat otot:
adductor sisa, mencegah prosthesis gerakkan keluar ketika ia berjalan, dan otot
extensors, sebab kedua fungsi otot ini akan melebarkan pinggul pasien dan prosthesi,
yang mana untuk membentuk lututnya dan juga harus belajar untuk menyeimbangkan
pinggulnya sebagai ganti otot yang diamputasi. Tujuan operasi amputasi bawah lutut
adalah untuk menghasilkan sebuah alat gerak yang padat, berbentuk silindris, bebas
dari jaringan parut yang sensitif dengan tulang yang cukup baik ditutupi oleh otot dan
jaringan subkutan yang sesuai dengan panjangnya.
Ujung puntung sebaiknya dilapisi oleh jaringan kulit, subkutan, fasia dan otot
yang sehat dan tidak melekat. Dalam hal ini sangat penting pengetahuan yang lebih
mengenai anatomi dan fisiologi pada lokasi amputasi dan dilakukan petugas medik.
11

Adapun indikasi yang sangat penting diketahui yaitu:


1. Live saving (menyelamatkan jiwa), contoh trauma disertai keadaan yang
mengancam jiwa (perdarahan dan infeksi). 0angat mengancam nyawa bila
dibiarkan, misalnya pada crush injury, sepsis yang berat, dan adanya tumor ganas.
2. Limb saving (memanfaatkan kembali kegagalan fungsi ekstremitas secara
maksimal), seperti pada kelainan kongenital dan keganasan. Anggota gerak
tidak berfungsi sama sekali, sensibilitas anggota gerak hilang sama sekali, adanya
nyeri yang hebat, malformasi hebat atau ostemielitis yang disertai dengan
kerusakan tulang hebat. Serta kematian jaringan baik akibat diabetes melitus (DM),
penyakit vaskuler, setelah suatu trauma, dapat di indikasikan amputasi
12

K. Clinical Pathway
Trauma langsung:
Jatuh, hantaman, kecelakaan, dll

Tekanan pada tulang

Terbatas dalam menghadapi


energi atau tekanan

Fraktur

Prosedur
Pergeseran fragmen tulang
pembedahan

Merusak jaringan
Pre op
sekitar
HB menurun Resiko infeksi Nyeri akut

Menembus kulit
Kurangnya
Resiko
pengetahuan Hambatan mobilitas
pendarahan
fisik Gangguan
luka
Defisiensi integritas kulit
pengetahuan Syok
hipovolemik Resiko infeksi

ansietas
13

Syok
hipovolemik

Penurunan curah Resiko Post op Mual


jantung ketidakefektifan
perfusi ginjal Efek samping anastesi
Resiko infeksi

Konfusi
akut

Penurunan
kesadaran

apneu

Pemasangan
endotrakeal

Gangguan ventilasi
spontan
14

PROSES KEPERAWATAN

A. Pengkajian
I. Identitas Pasien
Pada tahap ini perawat perlu mengetahui tentang nama, umur, jenis kelamin,
alamat rumah, agama atau kepercayaan, suku bangsa, bahasa yang dipakai, status
pendidikan dan pekerjaan pasien.
II. Riwayat Kesehatan
1. Keluhan Utama
Keluhan penderita yang utama adalah nyeri area panggul.
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Bagaimana serangan itu timbul, lokasi, kualitas dan factor yang mempengaruhi
atau memperberat keluhan sehingga dibawa ke rumah sakit.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Adalah riwayat atau pengalaman masa lalu tentang kesehatan atau penyakit yang
pernah di alami..
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat keperawatan keluarga adalah riwayat kesehatan atau keperawatan
yang dimiliki oleh salah satu anggota keluarga, apakah ada yang menderita
penyakit yang seperti dialami pasien.

III. Pengkajian Keperawatan


Pola fungsional Gordon:
1) Pola persepsi kesehatan menggambarkan akan pentingnya pengetahuan
tentang kesehatan.
2) Pola nutrisi dan metabolik menggambarkan akan konsepsi relatif kebutuhan
meltabolik dan asupan gizi. Pola konsumsi makanan dan cairan, keadaan
pertumbuhan, rambut, kuku, kulit dan membran mukosa.
3) Pola eliminasi : menggambarkan pola ekresi
4) Pola aktivitas dan mobilisasi : menggambarkan aktivitas pengisian waktu
sehari hari.
5) Pola tidur dan istirahat : menggambarkan pola istirahat dan tidur.
15

6) Pola persepsi dan konsep diri : kemampuan menggambarkan diri sendiri,


kemampuan dan peran.
7) Pola mekanisme koping : pada pasien hemangioma mengalami ketakutan
akan penyakit yang di derita dan tindakan yang akan dilakukan.
8) Pola keyakinan dan kepercayaan : menggambarkan dalam diri melakukan
ibadah, agama yang dianut.
Pemeriksaan fisik
Keadaan umum pasien hemangioma tingkat kesadaran composmentis, tidak
menunjukkan tandatanda yang berbahaya.
1) Kepala : rambut hitam, tidak ada nyeri tekan, tidak ada lesi dikepala.
2) Mata : Mata simetris, pupil isokor, reaksi pupil terhadap cahaya baik,
konjungtiva merah muda, sklera putih, pengelihatan baik.
3) Hidung : Simetris, tidak ada secret dalam hidung, tidak ada lesi, fungsi
penciuman baik
4) Mulut : mukosa pucat, tidak ada stomatitis,gigi lengkap, tidak ada karies gigi.
5) Telinga : Daun telinga kanan dan kiri simetris, tidak ada serumen dalam
telinga, tidak ada nyeri tekan, tidak ada luka, fungsi pendengaran baik.
6) Leher : tidak ada pembesaran kelenjar tyroid, tidak ada gangguan menelan.
7) Dada
Paru-paru:
Inspeksi : tidak menggunakan otot bantu nafas
Palpasi : pengembangan paru sama, tidak ada nyeri tekan
Perkusi : sonor
Auskultasi: tidak ada suara tambahan, vesikuler
Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis tidak teraba
Perkusi : pekak
Auskultasi: s1 s2 teratur, tunggal
8) Abdomen Inspeksi : datar tidak terlihat masa
Auskultasi : peristaltik usus normal 20x/menit
16

Palpasi : tidak terdapat nyeri tekan


Perkusi :tympani
9) Ekstremitas Ekstremitas atas : terpasang infus, tidak terjadi gangguan fungsi
gerak pada ekstremitas atas.
Ekstremitas bawah : daerah panggul ada bengkak/lika, kaki tidak dapat
digerakkan,
10) Genetalia: penyebaran dan pertumbuhan rambut pubis, inspeksi bentuk,
ukuran, kelainan pada penis/labia, kebersihan, keadaan uretra, nyeri tekan,
elastisitas, termasuk area inguinal.
Anus: area perianal, lesi, benjolan, pelebaran vena, kebersihan, colok dubur
(dinding rectum, kelenjar prostat pada laki-laki).
11) Kulit dan kuku:
Kulit: Warna kulit, tektur kulit, elastisitas/turgor, akral, kebersihan,
kelembaban, tekstur, kelainan kulit, lesi, derajat edema, nyeri tekan, termasuk
inspeksi distribusi pertumbuhan rambut. Inspeksi adanya hemangioma, ukur
berapa panjang/lebar hemangioma.
Kuku: Warna kuku, bentuk, elastisitas, lesi, tanda radang, kebersihan,
panjang/pendeknya, CRT.
12) Keadaan lokal
Pengkajian terfokus pada kondisi local. Ukur berapa panjang dan lebar
hemangioma.

B. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera
2. Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi tentang
pembedahaan.
3. Syok berhubungan dengan perdarahan pada proses pembedahan
4. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan faktor mekanik.
5. Resiko infeksi berhubungan dengan resiko prosedur bedah, luka pada area
cidera.
6. Ansietas berhubungan dengan stressor(tindakan pembedahan).
17

7. Mobilitas fisik berhubungan dengan keterbatasan/deformitas.


8. Konfusi akut berhubungan dengan penurunan kesadaran.
18
C. Intervensi Keperawatan

Masalah Keperawatan NOC NIC


Nyeri Akut (00132) Nyeri akut pada pasien dapat teratasi selama Manajemen nyeri (1400):
dilakukan tindakan keperawatan dengan kriteria 1. Lakukan pengkajian nyeri komprehensif
hasil: meliputi lokasi, karakteristik, durasi frekuensi,
kualitas dan faktor pencetus.
1. Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab
2. Observasi adanya reaksi nonverbal dan
nyeri, mampu menggunakan tehnik
ketidaknyamanan.
nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri,
3. Evaluasi pengalaman nyeri masa lampau.
mencari bantuan)
4. Berikan informasi mengenai nyeri, seperti
2. Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan
penyebab nyeri, berapa lama nyeri akan
menggunakan manajemen nyeri
dirasakan, dan antisipasi dari ketidaknyamanan
3. Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas,
akibat prosedur.
frekuensi dan tanda nyeri)
5. Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi
4. Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri
nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan dan
berkurang
kebisingan
6. Pilih dan lakukan penanganan nyeri
(farmakologi, non farmakologi dan inter
personal).
7. Berikan individu penurun nyeri yang optimal
dengan peresepan analgesik.
8. Ajarkan tentang teknik non farmakologi
(seperti relaksasi, hypnosis, akrupessure dll)
9. Kolaborasikan dengan dokter jika ada keluhan
dan tindakan nyeri tidak berhasil
10. Monitor penerimaan pasien tentang manajemen
nyeri.
19
Defisiensi Pengetahuan Difisiensi pengetahuan dapat diatasi selama Pengajaran: perioperatif (5610)
(00126) dilakukan tindakan keperawatan, dengan 1. Informasikan pada pasien dan keluarga untuk
kriteria hasil: menjadwalkan tanggal, waktu, dan lokasi
1. Pasien dan keluarga menyatakan pemahaman operasi
tentang penyakit, kondisi, prognosis dan 2. Infromasikan pasein dan keluarga perkiraan
program pengobatan lama operasi.
2. Pasien dan keluarga mampu melaksanakan 3. Kaji riwayat operasi sebelumnya, latar
prosedur yang dijelaskan secara benar. belakang, budaya, dan tingkat penegtahuan
Pasien dan keluarga mampu menjelaskan terkait operasi.
kembali apa yang dijelaskan perawat/tim 4. Fasilitasi kecemasan pasien dan keluarga
kesehatan lainnya. terkait kecemasannya
5. Berikan kesempatan pasien untuk bertanya.
6. Jelaskan prosedur persiapan pre-operasi (jenis
anestesi, diit yang sesuai, pengosongan saluran
cerna, pemeriksaan lab yang dibutuhkan,
persiapan area operasi, terai IV, kapaian
operasi, ruang tunggu keluarga, transportasi
menuju ruang operasi)
7. Jelaskan obat-obat perioperatif yang diberikan
serta efek yang ditimbulkan
8. Berikan infromasi lengkap pada pasien
mengenai apa saja yang akan dicium, dilihat,
dirasakan selama proses operasi berlangsung.
9. Diskusikan kemunngkinan nyeri yang akan
dialami
10. Jelaskan pelatan dan perawatan pasca operasi
(obat-obatan, terapi oksigen, selang dan alat-
alat yang terpasang, balutan operasi, ambulasi,
diit, kunjungan keluarga dan jelaskan masing-
masing tujuannya
20
11. Instruksikan pada pasien bagaimana teknik
mobilisaasi pasca operasi
12. Evaluasi kemampuan pasien dalam mobilisasi
bertahap
13. Instrksikan pasien mengenai teknik mobilisasi,
batuk, dan nafsa dalam

Pengajaran: prosedur/perawatan (5618)


1. Informasikan pada pasien dan keluarga mengai
kapan, dimana dan lama tindakan akan
dilakukan
2. Jelaskan tujuan tindakan yang akan dilakukan
3. Gambarkan dan jelaskan aktivitas sebelum
prosedur/penanganan
4. Sediakan saksi saat pasien menandatangani
informed consent sesuai dengan aturan yang
berlaku
5. Ajarkan pasien jika pasien harus berpartisipasi
dalam kegiatan tersebut
6. Berikan informasi mengenai apa yang akan
didengar, dicium, dilihat, dirasakan selama
perawatan
7. Sediakan informasi menganai kapan dan
dimana jasil dapat diambil, beserta petugas
yang akan menjelaskan hasil tersebut
Berikan kesempatan bagi pasien untuk bertanya
ataupun mendiskusikan perasaannya dan libatkan
keluarga jika perlu.
21
Resiko Infeksi (00004) Pasien terbebas dari resiko infeksi selama
dilakukan tindakan keperawatan, dengan Kontrol infeksi: intraoperatif (5645)
kriteria hasil: 1. Bersihkan debu dan permukaan mendatar
dengan pencahayan di ruang operasi
1. Klien bebas dari tanda dan gejala infeksi
2. Monitor dan jaga suhu ruangan antara 200 dan
2. Mendeskripsikan proses penularan penyakit,
240C
faktor yang mempengaruhi penularan serta
3. Monitor dan jaga kelembaban relatif antara
penatalaksanaannya
20% dan 60%
3. Menunjukkan kemampuan untuk mencegah
4. Batasi dan kontrol lalu lalang pengunjung
timbulnya infeksi
5. Verifikasi bahwa antibiotik profilaksis telah
4. Jumlah leukosit dalam batas normal (N: 5,0-
diberikan dengan tepat
14,5 mm3)
6. Pastikan personil yang akan melakukan
5. Suhu: 36,5-37,50 C
tindakan operasi menggunakan pakaian yang
Leukosit
tepat
7. Lakukan rancangan isolasi yang sesuai
8. Verifikasi kebutuhan kemasan sterilisasi
9. Buka peralatan steril dengan menggunakan
teknik aseptik
10. Sediakan sikat, jubah, sarung tangan sesuai
kebijakan institusi
11. Bantu pemakaian jubah dan sarung tangan
anggota tim
12. Bantu mengenakan pakaian pasien,
memastikan perlindungan mata, dan
meminimalkan tekanan terhadap bagian-bagian
tubuh tertentu
13. Pisahkan alat steril dan non steril
14. Monitor area yang steril untuk menghilangkan
kesterilan dan penentuan waktu istirahat yang
benar sesuai indikasi
22
15. Jaga keutuhan kateter dan intravaskular
16. Periksa kulit dan jaringan di sekitar lokasi
pembedahan
17. Letakkan handuk basah untuk mencegah
penayuan caran antimikroba
18. Oleskan salep antimikroba pada lokasi
pembedahan sesuai kebijakan
19. Angkat handuk basah
20. Berikan antibiotik yang sesuai
21. Jaga ruangan tetap rapi dan teratur untuk
mebetasi kontaminasi
22. Pakai dan amankan pakaian bedah
23. Bersihkan dan sterilkan instrumen dengan baik
Koordinasikan pembersihan dan persiapan ruang
operasi untuk pasien berikutnya
23
Resiko Infeksi Pasien terbebas dari resiko infeksi selama Kontrol infeksi (6540):
(Post Op) dilakukan tindakan keperawatan, dengan 1. Bersihkan lingkungan dengan baik setelah
kriteria hasil: digunakan untuk setiap pasien.
2. Isolasi orang yang terkena penyakit menular.
1. Klien bebas dari tanda dan gejala infeksi
3. Batasi jumlah pengunjung.
2. Mendeskripsikan proses penularan
4. Ajarkan cara cuci tangan.
penyakit, faktor yang mempengaruhi
5. Anjurkan pasien mengenai teknik cuci tangan
penularan serta penatalaksanaannya
dengan benar.
3. Menunjukkan kemampuan untuk mencegah
6. Gunakan sabun antimikroba untuk mencuci
timbulnya infeksi
tangan yang sesuai.
4. Jumlah leukosit dalam batas normal (N: 5,0-
7. Cusi tangan sebelum dan sesudah kegiatan
14,5 mm3)
perawatan pasien.
5. Suhu: 36,5-37,50 C
8. Pakai sarung tangan sebagaimana dianjurkan
oleh kebijakan pencegahan universal.
9. Pakai sarung tangan steril dengan tepat.
10. Pastikan penangan aseptik dari semua saluran
IV.
11. Pastikan perawatan luka yang tepat
12. Verikan terapi antibiotik yang sesuai
13. Anjurkan pasien untuk meminum antibiotik
yang sesuai.
14. Ajarkan pasien dan keluarga mengenai tanda
dan gejala infeksi dan kapan harus
melaporkannya kepada petugas kesehatan.
15. Ajarkan pasien dan keluarga mengenai
bagaimana cara menghindari infeksi

Resiko Syok Syok dapat teratasi selama dilakukan tindakan Pencegahan perdarahan
Hipovolemik (00205) keperawatan , dengan kriteria hasil : 1. Monitor dengan ketat resiko perdarahan pada
6. Ttv kembali normal pasien
24
7. Peningkatan O2 2. Monitor nilai Hb pasien sebelum dan sesudah
8. CO2 menurun pasien mengalami perdarahan
9. Kebutuhan suplai darah terpenuhi 3. Monitor komponen koagulasi darah
4. Lindungi pasien dari trauma yang
10. Perdarahan berhenti
menyebabkan perdarahan
5. Lakukan prosedur invasif bersamaan dengan
pemberian transfusi darah
6. Jangan memasukkan benda apapun pada
lubang sumber perdarahan
7. Berkolaborasi dengan dokter untuk pemberian
obat-obatan

Pencegahan Syok
1. Monitor adanya respon kompensasi awal syok
2. Monitor status sirkulasi
3. Monitor tandanya ketidakadekuatan perfusi
oksigen ke jaringan
4. Monitor tekanan oksimetri
5. Monitor EKG
6. Monitor hasil laboratorium
7. Posisikan pasien supine, dengan kaki
ditinggikan
8. Berikan dan pertahankan kepatenan jalan
nafassesuai kebutuhan
9. Berikan cairan melalui IV
10. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian
anti aritmia
11. Berikan O2 atau ventilasi mekanik sesuai
kebutuhan
25
Penurunan Curah Penurunan curah jantung dapat terasi selaa 1. Catat adanya tanda dan gejala penurunan
Jantung (00029) dilakukannya tindakan keperawatan, dengan cardiac putput
kriteria hasil : 2. Monitor status pernafasan yang menandakan
1. TTV kembali kebatas normal gagal jantung
2. Tidak ada edema paru, perifer 3. Monitor balance cairan
3. AGD dalam batas normal 4. Monitor respon pasien terhadap efek
4. Tidak ada distensi vena dileher pengobatan antiaritmia
5. Monitor jumlah bunyi dan irama jantung
6. Monitor frekuensi dan irama pernafasan
7. Monitor sianosis perifer
8. Monitor adanya chusing triad
9. Kolaborasi pemberian antikoagulanuntuk
mencegah trombus perifer

Resiko ketidakefektifan Resiko ketidakefektifan perfusi ginjal dapat 1. Masukkan kateter urine
perfusi ginjal (00203) terasi selaa dilakukannya tindakan keperawatan, 1. Monitor status hidrasi
dengan kriteria hasil : 2. Monitor status hemodinamik
1. Keseimbangan cairan baik 3. Berikan terapi IV sesuai kebutuhan
2. Status hidrasi normal 4. Konsultasikan dengan dokter tanda-tanda
3. Fungsi ginjal baik kelebihn vol cairan
5. Persiapkan pemberian transfusi/produk –
produk darah

Konstipasi (00011) konstipasi dapat terasi selaa dilakukannya Manajemen konstipasi


tindakan keperawatan, dengan kriteria hasil : 1. Identifikasi faktor-faktor yang menyebabkan
1. Pola BAB dalam batas normal konstipasi
26
2. Feses lunak 2. Monitor tanda-tanda ruptur bowel/peritonitis
3. Cairan dan serat adekuat 3. Jelaskan penyebab dan rasionalisasi tindakan
pada pasien
4. Konsultasikan dengan dokter tentang
peningkatan dan penurunan bising usus
5. Kolaburasi jika ada tanda dan gejala konstipasi
yang menetap
6. Kolaburasi dengan ahli gizi diet tinggi serat
dan cairan
7. Dorong peningkatan aktivitas yang optimal
- Sediakan privacy dan keamanan selama BAB

Mual (00134) Mual dapat terasi selaa dilakukannya tindakan Fluid Management
keperawatan, dengan kriteria hasil : 1. Pencatatan intake output secara akurat
1. Keinginan muntah berkurang 2. Monitor status nutrisi
2. Pasien mengerti faktor penyebab mual 3. Monitor status hidrasi (Kelembaban membran
3. Hidrasi membaik mukosa, vital sign adekuat)
4. Jelaskan untuk menggunakan napas dalam
untuk menekan reflek mual
5. Berikan terapi IV kalau perlu
6. Kolaborasi pemberian anti emetik

Konfusi Akut (00128) Konfusi Akut dapat terasi selama dilakukannya Stimulasi Kognitif
tindakan keperawatan, dengan kriteria hasil : 1. Meminta klien menyebutkan identitasnya
1. Konsentrasi meningkat 2. Memantau kesadaran klien
27
2. Kognitif membaik 3. Berbicara terus-menerus kepada klien
3. Daat mengenali identitas 4. Berikan respon pada ucapan klien
4. Memori membaik 5. Berikan jeda untuk istirahat
6. Berikan sentuhan rangsang untuk menilai
kognisi klien
7. Kolaborasi dengan anastesi terkait efek
samping
Gangguan ventilasi Gangguan ventilasi spontan dapat terasi Airway Management
spontan (00032) selama dilakukannya tindakan keperawatan, 1. Posisikan pasien untuk memaksimalkan
dengan kriteria hasil : ventilasi
2. Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat
1. Menunjukkan jalan nafas yang paten
jalan nafas buatan
2. TTV normal 3. Pasang mayo bila perlu
4. Lakukan suction pada mayo
5. Berikan bronkodilator bila perlu
6. Atur intake untuk cairan mengoptimalkan
keseimbangan.
7. Monitor respirasi dan status O2

Oxygen Therapy
1. Pertahankan jalan nafas yang paten
2. Atur peralatan oksigenasi
3. Monitor aliran oksigen
4. Pertahankan posisi pasien
5. Observasi adanya tanda tanda hipoventilasi
6. Monitor adanya kecemasan pasien terhadap
oksigenasi
28

D. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi adalah tahap akhir dari proses keperawatan yang merupakan perbandingan yang sistematis dan terencana antara hasil akhir
yang teramati dan tujuan atau kriteria hasil yang dibuat pada tahap perencanaan (Carpenito, 2009). Ada 3 jenis evaluasi keperawatan
mengenai berhasil/tidaknya suatu tindakan, antara lain:
1. Teratasi: apabila perilaku pasien sesuai dengan pernyataan tujuan dan waktu yang sebelumnya sudah ditetapkan.
2. Teratasi sebagian: pasien menunjukkan perilaku tetapi tidak memenuhi semua kriteria dan tujuan serta waktu yang telah ditetapkan.
3. Belum taratasi: pasien belum menunjukkan perilaku yang dituliskan dalam tujuan, kriteria hasil dan waktu yang telah ditentukan.
29
E. Discharge Planning
Discharge planning merupakan bagian dari proses keperawatan dan fungsi
utama dari perawatan. Discharge planning harus dilaksanakan oleh perawat secara
terstruktur dimulai dari pengkajian saat pasien masuk ke rumah sakit sampai pasien
pulang (Potter & Perry, 2010).
30

DAFTAR PUSTAKA

Baughman. D. C. dan J. C. Hackley. Keperawatan Medikal-Bedah Buku Saku dari


Brunner & Suddarth. Jakarta: EGC. https://books.google.co.id/books
[Diakses pada 28 April 2018]
Brunner & Suddarth. 2002. Keperawatan Medikal Bedah Vol 3. Jakarta: EGC

Bulechek, G. M., H. K. Butcher., J. M. Dochterman., dan C. M. Wagner. 2016.


Nursing Interventions Classification (NIC). Philadelphia: Elsevier.

Carpenito,L.J.2007.Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Dialihbahasakan oleh


Asih,Y. Edisi ke-10.Jakarta:EGC.

Herdman, T. H. & Kamitsuru S. 2015. Nanda International: Diagnosis


Keperawatan. Jakarta: EGC

Moohead, S. M. J., M. L. Maas., dan E. Swanson. 2016. Nursing Outcomes


Classification (NOC). Philadelphia: Elsevier

Mubarak, W. I. 2015. Standar Asuhan Keperawatan dan Prosedur Tetap dalam


Praktik Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika

Potter & Perry. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses, dan
Praktik. Jakarta: EGC

Purnomo, B.B. 2011. Dasar-Dasar Urologi. Edisi 3. Jakarta: Sagung Seto

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). 2013. Badan Penelitian dan Pengembangan


Kesehatan Kementerian RI tahun 2013.
http://www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20Riskesdas%
20.2013.pdf [Diakses pada 4 Mei 2018]
Syafuddin. 1997. Anatomi fisiologi untuk siswa perawat edisi 2 – Jakarta : EGC
Syafuddin. 2006. Anatomi fisiologi untuk mahasiswa perawat edisi 3 – Jakarta :
EGC
Widia, Lidia. 2015. Anatomi, Fisiologi, dan Siklus Kehidupan Manusia.
Yogyakarta :Nuha Medika

Anda mungkin juga menyukai