LAPORAN PENDAHULUAN
oleh
Moh. Faisal Haris
NIM 182311101160
Laporan Pendahuluan pada Pasien dengan Fraktur Pelvis di Seruni RSD dr.
Soebandi Jember telah disetujui dan di sahkan pada :
Hari, Tanggal :
Tempat : Ruang Instalasi Bedah Sentral RSD dr. Soebandi Jember
Mahasiswa
ii
DAFTAR ISI
iii
1
LAPORAN PENDAHULUAN
A. Definisi
Crush injury didefinisikan sebagai kompresi dari ekstremitas atau bagian lain
dari tubuh yang menyebabkan pembengkakan otot dan/atau gangguan saraf di area
tubuhyang terkena. Biasanya area tubuh yang terkena adalah ekstremitas bawah (74%),
ekstremitas atas (10%), dan badan (9%). Crush syndrome merupakan lokalisasi crush
injury dengan manifestasi sistemik. Efek sistemik disebabkan oleh trauma
rhabdomyolysis (Pemecahan otot) dan pelepasan komponen sel otot yang berbahaya dan
elektrolit kesistem peredaran darah. Crush syndrome dapat menyebabkan cedera
jaringan lokal, disfungsi organ, dan kelainan metabolik, termasuk asidosis,
hiperkalemia, dan hypocalcemia.
Crush Injury didefinisikan sebagai luka yang hancur pada ekstremitas atau
anggota badan lain yang mengakibatkan terjadinya kerusakan yang serius meliputi kulit
dan jaringan lunak dibawa kulit kerusakan pembuluh darah persarafan tendon, ascia ,
bone joint (lokasi penghubung anatara tulang ) kerusakan tulang serta komponen
didalam tulang. Crush injury lebih sering mengenai anggota gerak dibanding anggota
tubuh yang lain.
Pada pengalaman sebelumnya, saat gempa bumi yang menimbulkan kerusakan
yang parah menunjukkan bahwa insiden crush syndrome adalah sebesar 2-15% dengan
sekitar 50% dari angka tersebut berkembang menjadi gagal ginjal akut dan lebih dari
50% yang perlu dilakukan tindakan fasiotomi. Dari mereka dengan gagal ginjal, 50%
harus dilaksanakan dialisis
2
C. Epidemiologi
Fraktur pada pelvis terjadi akibat trauma tumpul dan berhubungan dengan angka
mortalitas antara 6% sampai 50%. Walaupun hanya terjadi pada 5% trauma, penderita
biasanya mempunyai angka ISS (injury severity score) yang tinggi dan sering juga
terdapat trauma mayor di organ lain, karena kekuatan yang dibutuhkan untuk terjadinya
fraktur pelvis cukup signifikan. Sebagai contoh, insidensi robekan aorta thoracalis
meningkat secara signifikan pada pasien dengan fraktur pelvis terutama tipe AP
kompresi.
Pada pasien dengan trauma pelvis dapat terjadi hemodinamik yang tidak stabil,
dan dibutuhkan tim dari berbagai disiplin ilmu. Status hemodinamik awal pada pasien
dengan fraktur pelvis adalah faktor prediksi utama yang dihubungkan dengan kematian.
Fangio P,et al (2005) mempublikasikan pada penelitiannya bahwa angka kematian pada
pasien dengan hemodinamik stabil adalah 3,4% yang dibandingkan dengan yang
hemodinamik tidak stabil adalah sebesar 42%.
Karena trauma multipel biasanya terjadi pada pasien dengan fraktur pelvis,
hipotensi yang terjadi belum tentu berasal dari fraktur pelvis yang terjadi. Walaupun
demikian, pada pasien fraktur pelvis yang meninggal, perdarahan pelvis terjadi pada
50% pasien yang meninggal.
4
D. Etiologi
Penyebab utama dari crush injury adalah banyak faktor antara lain: tertindih oleh objek
berat, kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja pada industri, kecelakaan kerja lain yang
menyebabkan luka hancur yang serius.
F. Patofisiologi/ patologi
Mekanisme Cedera Sel Otot
Patofisiologi crush injury dimulai dengan cedera otot dan kematian sel otot. Pada
awalnya, ada tiga mekanisme yang bertanggung jawab atas kematian sel otot2:
1. Immediate Cell Disruption : Kekuatan lokal yang menghancurkan sel
menyebabkanImmediate Cell Disruption (lisis). Walaupun memiliki efek
immediate, mungkin inilah mekanisme yang paling tidak penting dibandingkan
dengan kedua mekanisme yang lain.
2. Direct pressure on muscle cell : Tekanan langsung dari crush injury menyebabkan
sel otot menjadi iskemik. Sel-sel kemudian beralih ke metabolisme anaerobik,
menghasilkan sejumlah besar asam laktat. Iskemia berkepanjangan kemudian
menyebabkan selmembran bocor. Proses ini terjadi selama satu jam pertama setelah
crush injury.
3. Vascular compromise : Kekuatan crush injury menekan pembuluh darah
utama mengakibatkan hilangnya suplai darah ke jaringan otot. Biasanya, otot bisa
5
bertahan sekitar 4 jam tanpa aliran darah (warm ischemia time) sebelum kematian
sel terjadi. Setelah waktu ini, sel-sel mulai mati sebagai akibat dari kompromais
vaskular.
Pelepasan Substansi Dari Otot yang Cedera
Mekanisme yang tercantum di atas menyebabkan jaringan otot yang terluka
untuk menghasilkan dan melepaskan sejumlah substansi yang dapat menjadi racun
dalam sirkulasi. Mekanisme tekanan padacrush injury sebenarnya berfungsi sebagai
mekanisme perlindungan, mencegah racun mencapai sirkulasi pusat.
Setelah pasien terbebaskan dan tekanan dilepaskan, racun bebas masuk dalam sirkulasi
dan berefek sistemik. Mereka dapat mempengaruhi organ yang jauh dari lokasi crush
injury. Kebocoran racun dapat berlangsung selama 60 jam setelah crush injury
terbebaskan. Beberapa substansi dan efeknya adalah sebagai berikut.
a. Asam amino dan asam organik lainnya
berkontribusi terhadap asidosis, aciduria, dandysrhythmia.
b. Creatine phosphokinase (CPK) dan enzim intraseluler lain
berfungsi sebagai penanda dalam laboratorium untuk crush injury.
c. Free radicals, superoxides, peroxides
terbentuk ketika oksigen kembali pada jaringan iskemik, menyebabkan kerusakan
jaringan lebih lanjut.
d. Histamin
vasodilatasi, bronkokonstriksi.
e. Asam laktat
berperan besar terhadap terjadinya asidosis dan disritmia.
f. Leukotrienes
cedera paru (ARDS), dan hepatic injury.
g. Lysozymes
enzim pencernaan sel yang menyebabkan cedera selularlebih lanjut.
h. Mioglobin
presipitat dalam tubulus ginjal, khususnya dalam pengaturan asidosis denganpH
urin rendah, mengarah ke gagal ginjal.
i. Nitratoksida
menyebabkan vasodilatasi, yangmemperburukhemodinamik.
j. Fosfat
6
G. Manifestasi klinis
1. Nyeri
2. Kehilangan fungsi
3. Deformitas, nyeri tekan, dan bengkak
4. Perubahan warna dan memar
5. Krepitasi
6. Hematuria
7. Syok
8. Perdarahan
H. Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium
a. Pemeriksaan serial hemoglobin dan hematokrit, tujuannya untuk memonitor
kehilangan darah yang sedang berlangsung.
b. Pemeriksaan urin, untuk menilai adanya gross hematuria atau mikroskopik.
2. Pemeriksaan radiologis
a. Setiap penderita trauma panggul harus dilakukan pemeriksaan radiologis
dengan prioritas pemeriksaan rongent posisi AP.
b. Pemeriksaan rongent posisi lain yaitu oblik, rotasi interna dan eksterna bila
keadaan umum memungkinkan.
c. Pemeriksaan urologis
d. CT scan merupakan imaging terbaik untuk evaluasi anatomi panggul dan
derajat perdarahan pelvis, retroperitoneal, dan intraperitoneal. CT scan juga
dapat menegaskan adanya dislokasi hip yang terkait dengan fraktur
acetabular.
e. MRI dapat mengidentifikasi lebih jelas adanya fraktur pelvis bila
dibandingkan dengan radiografi polos (foto polos pelvis). Dalam satu
penelitian retrospektif, sejumlah besar positif palsu dan negatif palsu itu
dicatat ketika membandingkan antara foto polos pelvis dengan MRI.
f. Ultrasonografi sebagai bagian dari the Focused Assessment with
Sonography for Trauma (FAST), pemeriksaan pelvis seharusnya
8
I. Kemungkinan komplikasi
1. Hypotensi
2. Crush Syndrome
3. Renal Failure
4. Compartmen Syndrome
5. Cardiac Arres
J. Penatalaksanaan
Pada crush injury perlu adanya penanganan yang segera karena lebih dari 6-8 jam
setelah kejadian, jika tidak dapat ditangani dengan baik akan menyebabkan kondisi
pasien semakin memburuk dan terjadi banyak komplikasi lain yang dapat
memperberat kondisi pasien dan penanganan selanjutnya menjadi semakain sulit.
Penanganan pada crush injury dapat dimulai dari tempat kejadian yaitu dengan prinsip
primary surface ( ABC) terutama mempertahankan atau mengurangi perdarahan
dengan cara bebat tekan sementara dilarikan ke rumah sakit.
Penanganan di Rumah Sakit harus diawali dengan prinsip ATLS. Pemberian O2
guna mencegah terjadinya hipoksia jaringan serta terutama organ-organ vital.
kemudian dilanjutkan dengan terapi cairan, terapi cairan awal harus diarahkan untuk
mengoreksi takikardia atau hipotension dengan memperluas volume cairan tubuh
dengan cepat dengan menggunakan cairan NaCl (isotonic) atau ringer laktat diguyur
dan kemudian dilanjutkan perlahan kurang lebih 1-1,5 l/jam.
9
Untuk mencegah gagal ginjal dengan hidrasi yang sesuai, anjuran terapi akhir-
akhir ini berupa pemberian cairan intravena dan manitol untuk mempertahankan
diuresis minimal 300-400 ml/jam, dalam hal ini penting dipasang volley cateter guna
menghitung balance cairan masuk dan cairan keluar. Volume agresif ini dapat
mencegah kematian yang cepat dan dikenal sebagai penolong kematian, dimana dapat
memperbaiki perfusi jaringan yang iskemik sebagai akibat crush injury.
Natrium bikarbonat berguna pada pasien dengan Crush Syndrome. Ini akan
mengembalikan asidosis yang sudah ada sebelumnya yang sering timbul dan juga
sebagai salah satu langkah pertama dalam mengobati hiperkalemia.Hal ini juga akan
meningkatkan pH urin, sehingga menurunkan jumlah mioglobin yang mengendap di
ginjal. Masukkan natrium bikarbonat intravena sampai pH urine mencapai 6,5 untuk
mencegah mioglobin dan endapan sama urat di ginjal. Disarankan bahwa 500-1000
mEq bikarbonat, tergantung pada tingkat keparahan.
Selain natrium bikarbonat, perawatan lain mungkin diperlukan untuk
memperbaiki hiperkalemia, tergantung pada cedera yang mengancam biasanya
diberikan:
1. Insulin dan glukosa
2. Kalsium - intravena untuk disritmia
3. Beta 2- agonists – albuterol, metaproterenol sulfat (Alupent), dll
4. Kalium-pengikat resin seperti natrium sulfonat polystyrene (Kayekalate).
5. Dialisis, terutama pada pasien gagal ginjal akut
Pemberian &anitol intravena memiliki tindakan yang menguntungkan beberapa
korban crush syndrome guna melindungi ginjal dari efek rhabdomyolisis, peningkatan
volume cairan ekstraselular dan meningkatkan kontraktilitas jantung. Selain itu,
intravena manitol selama menit berhasil mengobati sindrom kompartemen, dengan
menghilangkan gejala dan mengurangi bengkak (edema).
Manitol dapat diberikan dalam dosis 1 gram 7 /kg atau ditambahkan ke cairan
intravena pada pasien sebagai infuse lanjutan. Dosis maksimum adalah 200 gr/kg,
dosis yang lebih tinggi dari ini dapat merusak fungsi ginjal. Manitol boleh diberikan
hanya setelah aliran urin baik yang dikoreksi dengan cairan IV lain sebelumnya.
10
Luka harus dibersihkan, debridemen, dan ditutup dengan dressing sterile dengan
kain kasa. Lokasi cedera diangkat lebih tinggi dari posisi jantung akan membantu
untuk membatasi edema dan mempertahankan perfusi. Antibiotik intravena sering
digunakan guna mencegahinfeksi, obat-obatan untuk mengontrol rasa sakit (analgetik)
dapat diberikan yang sesuai. Torniket yang kontroversial perlu jika perdarahan aktif.
K. Clinical Pathway
Trauma langsung:
Jatuh, hantaman, kecelakaan, dll
Fraktur
Prosedur
Pergeseran fragmen tulang
pembedahan
Merusak jaringan
Pre op
sekitar
HB menurun Resiko infeksi Nyeri akut
Menembus kulit
Kurangnya
Resiko
pengetahuan Hambatan mobilitas
pendarahan
fisik Gangguan
luka
Defisiensi integritas kulit
pengetahuan Syok
hipovolemik Resiko infeksi
ansietas
13
Syok
hipovolemik
Konfusi
akut
Penurunan
kesadaran
apneu
Pemasangan
endotrakeal
Gangguan ventilasi
spontan
14
PROSES KEPERAWATAN
A. Pengkajian
I. Identitas Pasien
Pada tahap ini perawat perlu mengetahui tentang nama, umur, jenis kelamin,
alamat rumah, agama atau kepercayaan, suku bangsa, bahasa yang dipakai, status
pendidikan dan pekerjaan pasien.
II. Riwayat Kesehatan
1. Keluhan Utama
Keluhan penderita yang utama adalah nyeri area panggul.
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Bagaimana serangan itu timbul, lokasi, kualitas dan factor yang mempengaruhi
atau memperberat keluhan sehingga dibawa ke rumah sakit.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Adalah riwayat atau pengalaman masa lalu tentang kesehatan atau penyakit yang
pernah di alami..
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat keperawatan keluarga adalah riwayat kesehatan atau keperawatan
yang dimiliki oleh salah satu anggota keluarga, apakah ada yang menderita
penyakit yang seperti dialami pasien.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera
2. Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi tentang
pembedahaan.
3. Syok berhubungan dengan perdarahan pada proses pembedahan
4. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan faktor mekanik.
5. Resiko infeksi berhubungan dengan resiko prosedur bedah, luka pada area
cidera.
6. Ansietas berhubungan dengan stressor(tindakan pembedahan).
17
Resiko Syok Syok dapat teratasi selama dilakukan tindakan Pencegahan perdarahan
Hipovolemik (00205) keperawatan , dengan kriteria hasil : 1. Monitor dengan ketat resiko perdarahan pada
6. Ttv kembali normal pasien
24
7. Peningkatan O2 2. Monitor nilai Hb pasien sebelum dan sesudah
8. CO2 menurun pasien mengalami perdarahan
9. Kebutuhan suplai darah terpenuhi 3. Monitor komponen koagulasi darah
4. Lindungi pasien dari trauma yang
10. Perdarahan berhenti
menyebabkan perdarahan
5. Lakukan prosedur invasif bersamaan dengan
pemberian transfusi darah
6. Jangan memasukkan benda apapun pada
lubang sumber perdarahan
7. Berkolaborasi dengan dokter untuk pemberian
obat-obatan
Pencegahan Syok
1. Monitor adanya respon kompensasi awal syok
2. Monitor status sirkulasi
3. Monitor tandanya ketidakadekuatan perfusi
oksigen ke jaringan
4. Monitor tekanan oksimetri
5. Monitor EKG
6. Monitor hasil laboratorium
7. Posisikan pasien supine, dengan kaki
ditinggikan
8. Berikan dan pertahankan kepatenan jalan
nafassesuai kebutuhan
9. Berikan cairan melalui IV
10. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian
anti aritmia
11. Berikan O2 atau ventilasi mekanik sesuai
kebutuhan
25
Penurunan Curah Penurunan curah jantung dapat terasi selaa 1. Catat adanya tanda dan gejala penurunan
Jantung (00029) dilakukannya tindakan keperawatan, dengan cardiac putput
kriteria hasil : 2. Monitor status pernafasan yang menandakan
1. TTV kembali kebatas normal gagal jantung
2. Tidak ada edema paru, perifer 3. Monitor balance cairan
3. AGD dalam batas normal 4. Monitor respon pasien terhadap efek
4. Tidak ada distensi vena dileher pengobatan antiaritmia
5. Monitor jumlah bunyi dan irama jantung
6. Monitor frekuensi dan irama pernafasan
7. Monitor sianosis perifer
8. Monitor adanya chusing triad
9. Kolaborasi pemberian antikoagulanuntuk
mencegah trombus perifer
Resiko ketidakefektifan Resiko ketidakefektifan perfusi ginjal dapat 1. Masukkan kateter urine
perfusi ginjal (00203) terasi selaa dilakukannya tindakan keperawatan, 1. Monitor status hidrasi
dengan kriteria hasil : 2. Monitor status hemodinamik
1. Keseimbangan cairan baik 3. Berikan terapi IV sesuai kebutuhan
2. Status hidrasi normal 4. Konsultasikan dengan dokter tanda-tanda
3. Fungsi ginjal baik kelebihn vol cairan
5. Persiapkan pemberian transfusi/produk –
produk darah
Mual (00134) Mual dapat terasi selaa dilakukannya tindakan Fluid Management
keperawatan, dengan kriteria hasil : 1. Pencatatan intake output secara akurat
1. Keinginan muntah berkurang 2. Monitor status nutrisi
2. Pasien mengerti faktor penyebab mual 3. Monitor status hidrasi (Kelembaban membran
3. Hidrasi membaik mukosa, vital sign adekuat)
4. Jelaskan untuk menggunakan napas dalam
untuk menekan reflek mual
5. Berikan terapi IV kalau perlu
6. Kolaborasi pemberian anti emetik
Konfusi Akut (00128) Konfusi Akut dapat terasi selama dilakukannya Stimulasi Kognitif
tindakan keperawatan, dengan kriteria hasil : 1. Meminta klien menyebutkan identitasnya
1. Konsentrasi meningkat 2. Memantau kesadaran klien
27
2. Kognitif membaik 3. Berbicara terus-menerus kepada klien
3. Daat mengenali identitas 4. Berikan respon pada ucapan klien
4. Memori membaik 5. Berikan jeda untuk istirahat
6. Berikan sentuhan rangsang untuk menilai
kognisi klien
7. Kolaborasi dengan anastesi terkait efek
samping
Gangguan ventilasi Gangguan ventilasi spontan dapat terasi Airway Management
spontan (00032) selama dilakukannya tindakan keperawatan, 1. Posisikan pasien untuk memaksimalkan
dengan kriteria hasil : ventilasi
2. Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat
1. Menunjukkan jalan nafas yang paten
jalan nafas buatan
2. TTV normal 3. Pasang mayo bila perlu
4. Lakukan suction pada mayo
5. Berikan bronkodilator bila perlu
6. Atur intake untuk cairan mengoptimalkan
keseimbangan.
7. Monitor respirasi dan status O2
Oxygen Therapy
1. Pertahankan jalan nafas yang paten
2. Atur peralatan oksigenasi
3. Monitor aliran oksigen
4. Pertahankan posisi pasien
5. Observasi adanya tanda tanda hipoventilasi
6. Monitor adanya kecemasan pasien terhadap
oksigenasi
28
D. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi adalah tahap akhir dari proses keperawatan yang merupakan perbandingan yang sistematis dan terencana antara hasil akhir
yang teramati dan tujuan atau kriteria hasil yang dibuat pada tahap perencanaan (Carpenito, 2009). Ada 3 jenis evaluasi keperawatan
mengenai berhasil/tidaknya suatu tindakan, antara lain:
1. Teratasi: apabila perilaku pasien sesuai dengan pernyataan tujuan dan waktu yang sebelumnya sudah ditetapkan.
2. Teratasi sebagian: pasien menunjukkan perilaku tetapi tidak memenuhi semua kriteria dan tujuan serta waktu yang telah ditetapkan.
3. Belum taratasi: pasien belum menunjukkan perilaku yang dituliskan dalam tujuan, kriteria hasil dan waktu yang telah ditentukan.
29
E. Discharge Planning
Discharge planning merupakan bagian dari proses keperawatan dan fungsi
utama dari perawatan. Discharge planning harus dilaksanakan oleh perawat secara
terstruktur dimulai dari pengkajian saat pasien masuk ke rumah sakit sampai pasien
pulang (Potter & Perry, 2010).
30
DAFTAR PUSTAKA
Potter & Perry. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses, dan
Praktik. Jakarta: EGC