Modul Evaluasi Perencanaan Kuliah Lapang PDF
Modul Evaluasi Perencanaan Kuliah Lapang PDF
1. PERENCANAAN TEKNIS
PROSPEKSI
EKSPLORASI
STUDY KELAYAKAN
DEVELOPMENT
PENAMBANGAN
PENGOLAHAN
KONSENTRASI
EKSTRAKSI
PEMASARAN
Gambar 1.1
Skema Bagan Alir Pertambangan
1
MODUL EVALUASI PERENCANAAN KULIAH LAPANGAN TAMBANG II
Dimana : Ø = Slope
n = Jumlah Titik
2
MODUL EVALUASI PERENCANAAN KULIAH LAPANGAN TAMBANG II
3. PERHITUNGAN CADANGAN
Menurut Standar Nasional Indonesia amandemen 1-SNI 13-4726-1998, klasifikasi
sumberdaya dan cadangan mineral Badan Standardisasi Nasional – BSN adalah :
Sumberdaya Mineral (mineral resource)
Adalah endapan mineral yang diharapkan dapat dimanfaatkan secara nyata. Sumberdaya
mineral dengan keyakinan geologi tertentu dapat berubah menjadi cadangan setelah dilakukan
pengkajian kelayakan tambang dan memenuhi kriteria layak tambang.
Sumberdaya Mineral Hipotetik (Hypothetical Mineral resource)
Adalah sumberdaya mineral yang kuantitas dan kualitasnya diperoleh berdasarkan
perkiraan pada tahap survey tinjau.
Sumberdaya Mineral Tereka (Inferred Mineral Resource)
Adalah sumberdaya mineral yang kuantitas dan kualitasnya diperoleh berdasarkan hasil
tahap prospeksi.
Sumberdaya Mineral Terunjuk (Indicated Mineral Resource)
Adalah sumberdaya mineral yang kuantitas dan kualitasnya diperoleh dari tahap
eksplorasi umum.
Sumberdaya Mineral Terukur (Measured Mineral resource)
Adalah sumberdaya mineral yang kuantitas dan kualitasnya diperoleh berdasarkan hasil
tahap eksplorasi rinci.
Cadangan (reserve)
Adalah endapan mineral yang telah diketahui ukuran, bentuk, sebaran, kuantitas dan
kualitasnya dan secara ekonomis, teknis, hukum, lingkungan dan sosial dapat ditambang pada
saat perhitungan dilakukan.
Cadangan Terkira (Probable Reserve)
Adalah sumberdaya mineral terunjuk dan sebagian sumberdaya mineral terukur yang
tingkat keyakinan geologinya masih rendah, berdasarkan studi kelayakan tambang semua
faktor terkait telah terpenuhi, sehingga penambangan dapat dilakukan secara ekonomis.
Cadangan Terbukti (Proved Reserve)
Adalah sumberdaya mineral terukur yang berdasarkan studi kelayakan tambang semua
faktor yang terkait telah terpenuhi sehingga penambangan dapat dilakukan secara
ekonomis.
3
MODUL EVALUASI PERENCANAAN KULIAH LAPANGAN TAMBANG II
A. PERHITUNGAN CADANGAN
Perancangan tambang merupakan bagian dari kegiatan perencanaan tambang, yang
didalamnya termasuk penentuan batas penambangan, tahapan penambangan, urutan
penambangan dan penempatan material buangan.
Perancangan tambang berkaitan erat dengan perhitungan cadangan. Hasil dari
perhitungan cadangan akan digunakan sebagai database dalam perancangan tambang,
konsep dalam perhitungan dengan metode penampang (cross section).
Gambar 3.1
Ilustrasi Metode Cross Sectional
Gambar 3.2
Penampang Endapan Mean Area.
(S1 + S2)
V = x L
2
Dimana :
V = Volume (m3)
L = Jarak tegak lurus antar dua penampang
S1, S2 = Luas penampang
4
MODUL EVALUASI PERENCANAAN KULIAH LAPANGAN TAMBANG II
4. SISTEM PENYALIRAN/PENIRISAN
Penirisan : Suatu usaha yang dilakukan untuk mencegah, mengeringkan/ mengeluarkan air yang
masuk dan mengenangi suatu daerah tertentu.
Penirisan TA : Penirisan yang diterapkan pada suatu daerah penambangan yang dilakukan
untuk mencegah masuknya air atau untuk mengeluarkan air yg telah masuk atau menggenangi
daerah Tambang tersebut, sehingga dapat mempengaruhi dan mengganggu aktivitas
penambangan, mempercepat kerusakan peralatan dan akan menambah kandungan air pd
mineral/batuan yang akan ditambang.
A. Sistem Penyaliran Tambang
Penanganan masalah air dalam suatu tambang terbuka dapat dibedakan menjadi :
Mine drainage yang merupakan upaya untuk mencegah masuk mengalirnya air ke
tempat pengaliran. Hal ini umumnya dilakukan untuk penanganan air tanah dan air
yang berasal dari sumber air permukaan (sungai, danau, dan lain-lain). Atau biasa
disebut juga sistem Penirisan Tidak Langsung (Inkonvensional)
Mine dewatering yang merupakan upaya untuk mengeluarkan air yang telah masuk ke
tempat penggalian, terutama untuk penanganan air hujan. Sering disebut juga sistem
Penirisan Langsung (Konvensional)
a) Cara Konvensional
Merupakan cara yang paling sederhana dimana mengeluarkan (memompa air) yang
sudah masuk ke dalam tambang. Sistem penirisan ini ada 2 yaitu:
1) Penirisan dengan sistem Tunnel atau Adit
Cara penirisan ini hanya diterapkan untuk tambang yang terletak didaerah
pegunungan atau berbentuk bukit. Air yang masuk kedalam tambang dikeluarkan
dengan cara mengalirkan air dari dasar tambang keluar tambang melalui
terowongan (tunnel / adit).
Tunnel adalah lubang bukaan yang mendatar atau hampir mendatar yang
menembus ke dalam atau kedua kaki bukit.
a. Sistem ini diterapkan pada tambang bawah tanah dengan level yang banyak
b. Di setiap level di buat adit lalu air di alirkan ke adit terakhir di bagian bawah
5
MODUL EVALUASI PERENCANAAN KULIAH LAPANGAN TAMBANG II
Gambar 4.1
Bentuk Penampang Saluran Terbuka
b) Cara Inkonvensional
Merupakan upaya untuk mencegah masuknya air ke dalam lokasi penambangan yang
disebut juga pencegahan tidak langsung. Artinya dengan cara membuat beberapa
sumur lubang bor dibagian luar daerah penambangan atau di jenjang, kemudian dari
lubang-lubang bor tersebut air dipompa keluar tambang.
Ada beberapa macam cara penirisan tidak langsung:
Siemens Method
Small pipe with vacuum pump
Deep well pump method
Electro osmosis methods
6
MODUL EVALUASI PERENCANAAN KULIAH LAPANGAN TAMBANG II
Gambar 4.2
Sumur Penirisan
B. Curah Hujan
Curah hujan merupakan endapan dalam bentuk cair atau padat (es) yang jatuh ke
permukaan bumi termasuk juga kabut, embun dan embun beku (frost) ikut berperan dalam
alih kebasahan dari atmosfer ke permukaan bumi. Besarnya curah hujan tegantung pada
latitude (posisi garis lintang), posisi dan luas daerah, jarak dari pantai atau sumber lembab
lainnya, efek geografis dan ketinggian.
Satuan dari curah hujan adalah mm, yang berarti jumlah air hujan yang jatuh pada
satu satuan luas tertentu. Jadi 1 mm berarti pada luas 1 m2 jumlah air hujan yang jatuh
sebanyak 1 liter.
Derajat curah hujan dinyatakan dalam curah hujan persatuan waktu, dan disebut
intensitas hujan, yang menyatakan ukuran hujan. Penentuan curah hujan dapat diketahui
dengan rumus Hasper dan Waduwen (1995) yaitu :
Rt
I =
t
Keterangan :
I = intensitas curah hujan (mm/jam)
R = curah hujan (mm)
T = waktu hujan (jam)
7
MODUL EVALUASI PERENCANAAN KULIAH LAPANGAN TAMBANG II
Tabel 4.1
Derajat dan Intensitas Hujan
Intensitas
Derajat Hujan Kondisi
Curah Hujan
Hujan sangat lemah 0,02 Tanah agak basah atau dibasahi sedikit
Hujan lemah 0,02 – 0,05 Tanah menjadi basah semua
Hujan normal 0,05 – 0,25 Bunyi curah hujan terdengar
Air tergenang di seluruh permukaan tanah dan
Hujan deras 0,25 – 1,00
terdengar bunyi dari genangan.
Hujan seperti ditumpahkan, seluruh drainase
Hujan sangat deras > 1,00
meluap
KETERANGAN
BW : Lebar jenjang
BW BH : Tinggi jenjang
T : Toe
C : Crest
a : Face angle
BH
a
T
Gambar 5.1
Bagian-bagian jenjang
8
MODUL EVALUASI PERENCANAAN KULIAH LAPANGAN TAMBANG II
SB
KETERANGAN
Gambar 5.2
Working bench and Safety bench
IZ
BH
BT
KETERANGAN
Catch
bench BW : Berm width ( lebar penangkap)
BH : Berm height ( tinggi penangkap)
IZ : Impact zone ( zona benturan)
Gambar 5.3
Geometri jenjang penangkap (Call,1986)
9
MODUL EVALUASI PERENCANAAN KULIAH LAPANGAN TAMBANG II
Tabel 5.1
Dimensi jenjang penangkap (Call,1986)
Bench Height Impact Zone Berm Height Berm Width Maximum Berm Width
(m) (m) (m) (m) (m)
15 3.5 1.5 4 7.5
30 4.5 2 5.5 10
45 5 3 8 13
C
α
Keterangan : T
α :sudut kemiringan jenjang
tunggal
B : crest
T : toe
Gambar 5.4
Face angle
10
MODUL EVALUASI PERENCANAAN KULIAH LAPANGAN TAMBANG II
overall slope
angle
Gambar 5.5.
Overall slope angle (α)
Keterangan :
Θ : overall slope angle
R : ramp
Gambar 5.6
Overall slope angle with ramp
C
Keterangan :
θ1R1 : interamp slope 1
θ1R2 : interamp slope 2
R : ramp
RT : ramp toe
R RC : ramp crest
θ1R1 RC C : crest
RT T : toe
θ1R2
T
Gambar 5.7
Interramp slope angle
11
MODUL EVALUASI PERENCANAAN KULIAH LAPANGAN TAMBANG II
WB
θω
Keterangan :
WB : Working bench
θω : Overal slope angle dengan working bench
Gambar 5.8
Overall slope angle with working bench
C
WB
θωR1
WT WC
Keterangan:
θωR1 : Interramp slope working bench 1
θωR2 : Interramp slope working bench 2
WB : Working bench
θωR2
WT : Working bench toe
WC : Working bench crest
C : Crest
T : Toe
Gambar 5.9
Interramp slope angle dengan satu working bench
12
MODUL EVALUASI PERENCANAAN KULIAH LAPANGAN TAMBANG II
(Gambar 5.10).
g. Interramp slope angle dengan working bench dan ramp
Kemiringan jenjang diukur dari masing-masing crest dan toe pada working bench dan
ramp. (Gambar 5.11).
WB
Keterangan :
WB : Working bench
R : Ramp
Θ : Overall slope angle dengan satu
Working bench dan ramp θ
Gambar 5.10
Overall slope angle dengan working bench dan ramp
Keterangan :
θωR1 WB θωR1 : Interamp slope angle
working bench 1
θωR2 : Interamp slope angle
working bench 2
θωR2 R
θωR3 : Interamp slope ramp 3
WB : Working bench
R : Ramp
θωR3
R : Ramp
Θ : Overall slope angle
dengan satu Working
bench dan ramp
Gambar 5.11
Interramp slope angle dengan working bench dan ramp
13
MODUL EVALUASI PERENCANAAN KULIAH LAPANGAN TAMBANG II
Keterangan :
θ : Overall slope angle
WB1 dengan dua working bench
WB1 : Working bench 1
WB2 : Working bench 2
Sh1 Sh1 : Shovel group 1
Sh2 : Shovel group 2
WB2
Sh2 R : Ramp
θΘ : Overall slope angle dengan
satu Working bench dan ramp
Gambar 5.12
Overall slope angle dengan dua working bench
14
MODUL EVALUASI PERENCANAAN KULIAH LAPANGAN TAMBANG II
D. Dimensi Jenjang
Cara-cara pembongkaran akan mempengaruhi ukuran jenjang. Ada beberapa pendapat
tentang ukuran jenjang itu, antara lain:
1) Menurut Head Quarter Of US Army (Pits and Quarry technical bulletin no: 5-352)
Dimana :
W minimum = lebar jenjang minimum (m)
Y = lebar jenjang yang disediakan untuk pengeboran (m)
Wt = lebar yang disediakan untuk alat-alat (m)
Ls = panjang power shovel tanpa panjang boom (m)
G = floor cutting radius dari power shovel (m)
Wb = lebar broken material (m)
2) Menurut Popov (The working of mineral deposit)
a) Tinggi jenjang dan kemiringannya
i) Kemiringan jenjang tergantung dari kandungan air pada material. Material yang
relatif kering biasanya memungkinkan kemiringan jenjang lebih besar
ii) Umumnya tinggi jenjang berkisar antara 12 – 15 m, dengan kemiringan :
Batuan beku : 700 - 800
Batuan sedimen : 500 - 600
Pasir kering : 400 - 500
Batuan yang argillaceous : 350 - 450
b) Lebar jenjang
Lebar jenjang antara 40 – 60 m, biasanya juga dibuat antara 80 – 100 m. Jika memakai
multi row bore hole. Lebar minimum untuk batuan yang keras :
Keterangan :
Vr = Lebar jenjang minimum (m)
A = Lebar jenjang material (m)
C = Jarak sisi timbunan ke sisi tengah rel (m0
Cl = Setengah lebar lori = 2-3 m
B = Lebar endapan yang diledakkan = 6-12 m
L = Lebar yang disediakan untuk menjamin extraction dari endapan pada
jenjang di bawahnya
15
MODUL EVALUASI PERENCANAAN KULIAH LAPANGAN TAMBANG II
6. KEMANTAPAN LERENG
A. DIMENSI JENJANG
Analisa kemantapan lereng secara grafik dengan metode Hoek & Bray adalah analisa
kemantapan lereng secara grafik yang dikemukakan oleh Prof. Hoek & Bray dengan membuat
suatu perbandingan secara grafis dengan membuat parameter yang diperlukan. Cara ini banyak
digunakan untuk menganalisa kemantapan lereng yang tersusun oleh material.
Adapun rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:
Dimana :
C = Kohesi (Ton/m3)
Φ = Sudut geser dalam (0)
H = Tinggi Lereng (m)
γ = Berat isi (Kg/m3)
Fk = Faktor Keamanan
16
MODUL EVALUASI PERENCANAAN KULIAH LAPANGAN TAMBANG II
Langkah 5 : Hitung faktor keamanan (Fk) dari kedua angka yang diperoleh dari langkah 4
dan pilih yang paling tepat.
Gambar 6.1
Metode Hoek & Bray
Gambar 3.9.
Keadaan Atau Pola Aliran Air Tanah Untuk Diagram 1-5
17
MODUL EVALUASI PERENCANAAN KULIAH LAPANGAN TAMBANG II
Metode ini merupakan cara yang sangat mudah, cepat dan hasilnya masih dapat
dipertanggungjawabkan. Metode ini juga dapat dipakai untuk desain awal dari suatu lereng
dimana safety factor yang dihasilkan masih global. Metode ini sangat tergantung pada :
Jenis material, dalam metoda ini material (tanah/batuan) dianggap homogen dan kontinyu.
Akan tetapi jika memang terdapat suatu struktur besar seperti sesar yang membagi lereng
tersebut, maka parameter dapat ditentukan dengan melihat tebal dari bidang tersebut.
Longsoran yang terjadi menghasilkan bidang luncur berupa busur lingkaran
Tinggi permukaan air tanah pada lereng
18
MODUL EVALUASI PERENCANAAN KULIAH LAPANGAN TAMBANG II
beban lereng sehingga meningkatkan gaya dorong material untuk longsor. Adanya tekanan air
pori menimbulkan gaya angkat air yang akan mengurangi tegangan normal material, pada
jenjang terutama bidang gesernya menjadi tegangan efektif sehingga mengurangi nilai kuat
geser material serta mengurangi kemampuan untuk menahan longsoran. Artinya peningkatan
tingkat kejenuhan air mengakibatkan berkurangnya nilai faktor keamanan.
c) Perbedaan nilai kohesi dan sudut geser dalam
Material penyusun lereng pada daerah penelitian terdiri dari pasir fragmen halus dan kasar,
yang mempunyai nilai kohesi dan sudut geser dalam berbeda. Kekuatan material lereng untuk
menahan longsoran sangat tergantung pada gaya ikat antar butir (kohesi) dan sudut geser
dalamnya, hal itu berpengaruh terhadap besar kecilnya kekuatan geser sehingga akan
mempengaruhi besar kecilnya nilai faktor keamanan. Semakin besar nilai kohesi dan sudut
geser, maka semakin besar pula kekuatan geser material tersebut untuk menahan longsoran dan
berlaku sebaliknya.
7. JALAN TAMBANG
Fungsi utama jalan angkut dalam usaha pertambangan adalah untuk menunjang
kelancaran operasional tambang terutama dalam kegiatan pengangkutan dalam rangka
penggunaan jalan angkut. Ada beberapa geometri yang perlu diperhatikan dan dipenuhi supaya
tidak menimbulkan gangguan atau hambatan yang dapat mengetahui keberhasilan
pengangkutan, yaitu:
a) Keadaan Jalan Angkut
Dalam kenyataannya, semakin lebar jalan angkut maka semakin aman dan lalu lintas
pengangkutannya lebih lancar. Jalan angkut pada tambang biasanya dibuat untuk jalur
tunggal dengan lalu lintas satu arah atau dua arah. Untuk menghitung lebar jalan yang lurus
berbeda dengan jalan belokan (tikungan) rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:
Lebar Jalan Angkut yang lurus
Lebar jalan angkut minimum yang dipakai sebagai jalur ganda atau lebih menurut
“AASHO Manual Rural High-Way Design” pada jalan lurus adalah :
Dimana :
L = Lebar jalan angkut minimum (m)
n = Jumlah jalur
Wt = Lebar alat angkut total
19
MODUL EVALUASI PERENCANAAN KULIAH LAPANGAN TAMBANG II
CATERPILLAR
778 778
Tanggul
Parit
L min
Gambar 7.1
Lebar jalan angkut pada jalan lurus
Dimana :
W = Lebar jalan angkut pada tikungan, m
U = Jarak jejak roda (center to center tires), m
Fa = Lebar juntai (overhang) depan, m
Fb = Lebar juntai belakang, m
Z = Lebar bagian tepi jalan, m
C = Jarak antar kendaraan (Total Lateral Clearance), m
20
MODUL EVALUASI PERENCANAAN KULIAH LAPANGAN TAMBANG II
= 21,75 m ~ 20 m
Gambar 7.2
Lebar jalan angkut untuk dua jalur pada tikungan
Gambar 7.3
Sudut maksimum penyimpangan kendaraan
Rumus yang digunakan :
W
R =
Sin α
Dimana :
R = Jari-jari tikungan jalan angkut, m
W = Jarak antara poros roda depan dan belakang, m
α = Sudut penyimpang roda depan, 0
21
MODUL EVALUASI PERENCANAAN KULIAH LAPANGAN TAMBANG II
Pada tikungan biasanya permukaan jalan mempunyai kemiringan (super elevation) tertentu.
Adapun rumus yang digunakan :
e = 67 x S/R mm/m
Dimana :
e = Super Elevation, mm/m
S = Kecepatan kendaraan, km/jam
R = Radius tikungan bagian dalam, m
Tabel 7.1
Super Elevation Rules (mm/m)
Kecepatan Truck Radius Tikungan (R)
Km/Jam 15 25 35 40 50 60
15 40 40 – – – –
30 40 40 40 – – –
50 40 40 40 50 – –
75 40 40 40 40 60 –
100 40 40 40 40 50 60
200 40 40 40 40 40 50
300 40 40 40 40 40 40
Dimana :
H = Beda tinggi yang diukur (antara dua titik)
X = Jarak antara dua titik yang diukur
22
MODUL EVALUASI PERENCANAAN KULIAH LAPANGAN TAMBANG II
d) Cross Slope
Merupakan sudut yang dibentukoleh dua sisi permukaan jalan terhadap bidang horizontal.
Pada umumnya jalan angkut mempunyai bentuk penampang melintang cembung, dibuat
demikian dengan tujuan untuk memperlancar penyaliran. Apabila turun hujan atau sebab
lain, maka air yang ada dipermukaan jalan akan segera mengalir ke tepi jalan angkut (tidak
berhenti atau mengumpul pada permukaan jalan)
Gambar 7.4
Penampang melintang jalan angkut
Angka cross slope dinyatakan dalam perbandingan jalan verikal (b) dan horizontal (a)
dengan satuan mm/m atau m/m’. Jalan angkut yang baik memiliki cross slope antara 1/50
sampai 1/25 atau 20 mm/m sampai 40 mm/m.
23
MODUL EVALUASI PERENCANAAN KULIAH LAPANGAN TAMBANG II
Vr2
D = 0,278 Vr x T +
254 fm
Dimana :
D = Jarak pandang henti, m
Vr = Kecepatan rencana kendaraan, km/jam
T = Waktu reaksi = 2,50 detik
fm = Koefisien gesekan antara ban dan muka jalan dalam arah memanjang jalan
Gambar 7.5
Jarak pandang vertikal
Gambar 7.6
Jarak pandang horozontal
2) Rambu-rambu jalan
Untuk lebih menjamin keamanan sehubungan dengan dioperasikan suatu jalan angkut,
maka perlu kiranya dipasang rambu-rambu sepanjang jalan angkut terutama pada
tempat-tempat yang berbahaya. Rambu-rambu tersebut dipasang untuk keselamatan:
Pengemudi dan kendaraan itu sendiri
Masyarakat setempat yang biasanya menggunakan jalan tambang
Kendaraan lain yang mungkin lewat jalan tersebut
Tanda adanya perempatan, pertigaan, persilangan dengan jalan umum.
Binatang yang ada disekitar jalan angkut
3) Lampu Penerangan
Lampu penerangan perlu dipasang apabila jalan angkut akan digunakan pada malam
24
MODUL EVALUASI PERENCANAAN KULIAH LAPANGAN TAMBANG II
hari. Pemasangan bisa dilakukan berdasarkan jarak maupun tingkat bahayanya. Lampu-
lampu tersebut dipasang antara lain:
Tikungan (belokan)
Perempatan atau pertigaan jalan
Jembatan
Tanjakan maupun turunan yang cukup tajam
25
MODUL EVALUASI PERENCANAAN KULIAH LAPANGAN TAMBANG II
berkurang pula.
Kemiringan, jarak dan keadaan alat
Keadaan jalan yang akan dilalui sangat mempengaruhi daya angkut alat-alat yang
dipakai. Kemiringan dengan jalan harus diukur dengan teliti karena akan menentukan
waktu yang diperlukan untuk pengangkutan material tersebut.
Gambar 8.1
Pola Pemuatan Berdasarkan Posisi Alat Gali-Muat Terhadap Alat Angkut
b) Pola pemuatan berdasarkan jumlah penempatan posisi alat angkut untuk dimuati terhadap
posisi alat gali-muat (Gambar 8.2).
Single Back Up, yaitu alat angkut memposisikan diri untuk dimuati pada satu tempat
sedangkan alat angkut berikutnya menunggu alat angkut pertama dimuati sampai
penuh, setelah alat angkut pertama berangkat alat angkut kedua memposisikan diri
untuk dimuati sedangkan truk ketiga menunggu, dan begitu seterusnya.
26
MODUL EVALUASI PERENCANAAN KULIAH LAPANGAN TAMBANG II
Double Back Up, yaitu alat angkut memposisikan diri untuk dimuati pada dua tempat,
kemudian alat gali-muat mengisi salah satu alat angkut sampai penuh setelah itu
mengisi alat angkut kedua yang sudah memposisikan diri di sisi lain sementara alat
angkut kedua diisi, alat angkut ketiga memposisikan diri di tempat yang sama dengan
alat angkut pertama dan seterusnya.
Gambar 8.2
Pola Pemuatan Berdasarkan Jumlah Penempatan Alat Angkut
c) Metode pemuatan berdasarkan cara manuver dan penempatan alat angkut terhadap posisi
alat gali-muat (Gambar 8.3).
Gambar 8.3
Metode Pemuatan Berdasarkan Cara Manuver alat gali-muat dan Penempatan alat angkut
27
MODUL EVALUASI PERENCANAAN KULIAH LAPANGAN TAMBANG II
Frontal Cut, yaitu alat muat di depan jenjang dan menggali kepermukaan kerja (lurus)
lalu kesamping. Pada pola pemuatan ini alat muat melayani lebih dahulu alat angkut
sebelah kiri atau tergantung operator. Kemudian dilanjutkan oleh alat muat yang lain.
Swing angle bervariasi antara 10º-110º.
Drive by Cut, yaitu alat muat bergerak memotong dan sejajar muka penggalian. Cara
ini lebih efisien untuk alat muat dan alat angkut, walaupun Swing angle-nya lebih
besar dari frontal cut, karena alat angkut dimuati oleh alat muat dan tidak memerlukan
ruang gerak terlalu besar dari alat muat.
Parallel Cut, yaitu metode pemuatan dilakukan dengan posisi alat angkut berada
disamping alat muat. Alat angkut mendekati alat muat dari belakang dan mengatur
posisi agar tepat membelakangi alat muat, kemudian alat muat akan memuat.
3. EFISIENSI KERJA
Pekerja atau mesin tidak mungkin selamanya bekerja 60 menit/jam, karena hambatan-
hambatan yang akan terjadi seperti menunggu alat, pemeliharaan dan pelumasan mesin-
mesin. Menurut pengalaman yang terjadi di lapangan, efisiensi jarang melebihi 83%.
Efisiensi kerja alat berat adalah perbandingan antara waktu kerja efektif dengan waktu
kerja yang tersedia.
Berikut disajikan tabel efisiensi kerja alat mekanis (lihat tabel 8.1)
Kondisi kerja Kondisi pengelolahan
Bagus sekali Bagus Sedang buruk
Bagus sekali 0.84 0.81 0.76 0.70
Bagus 0.78 0.75 0.71 0.65
Sedang 0.72 0.69 0.65 0.60
Buruk 0.63 0.61 0.57 0.52
4. FAKTOR PENGEMBANGAN
Swell yaitu pengembangan volume suatu material apabila material tersebut lepas atau
tergali dari tempat aslinya. Di alam, material diperoleh dalam keadaan padat dan
terkonsolidasi dengan baik, sehingga kandungan rongga yang berisi udara atau air antar
butiran di dalam material di alam tersebut sangat sedikit. Sehingga apabila material yang
berada di alam tersebut terbongkar, maka akan terjadi pengembangan volume (swell).
Untuk menyatakan berapa besarnya pengembangan volume tersebut, dikenal dengan dua
istilah yaitu :
- swell factor
28
MODUL EVALUASI PERENCANAAN KULIAH LAPANGAN TAMBANG II
- percent swell
Rumus untuk menghitung swell factor (SF) dan percent swell yaitu :
29
MODUL EVALUASI PERENCANAAN KULIAH LAPANGAN TAMBANG II
Dimana :
P = Produksi bulldozer, m3/jam
KB = Kapasitas bilah (blade capacity), m3
FK = Faktor koreksi
J = Jarak kerja, m
F = Kecepatan maju (forward velocity), m/menit
R = Kecepatan mundur (reverse velocity), m/menit
Z = Waktu tetap (fixed time)
30
MODUL EVALUASI PERENCANAAN KULIAH LAPANGAN TAMBANG II
Dimana :
P = Produksi wheel loader, m3/jam
E = Efisiensi kerja, menit
I = Swell factor, %
H = Kapasitas bucket, m3
C = Waktu edar (cycle time), menit
Dimana :
P = Produksi dump truck, m3/jam
E = Efisiensi kerja, menit
I = Swell factor, %
H = Kapasitas bucket, m3
C = Waktu edar (cycle time), menit
Dimana :
P = Produksi back hoe, m3/jam
E = Efisiensi kerja, menit
I = Swell factor, %
H = Kapasitas bucket, m3
C = Waktu edar (cycle time), menit
5) KEBUTUHAN PERALATAN
Untuk mencari jumlat alat mekanis yang diperlukan dalam operasi penambangan
digunakan persamaan sebagai berikut:
31
MODUL EVALUASI PERENCANAAN KULIAH LAPANGAN TAMBANG II
Dimana :
MF = Keserasian alat
Na = Jumlah alat angkut, buah
Nm = Jumlah alat muat, buah
Ctm = Waktu siklus alat muat, menit
Cta = Waktu siklus alat angkut, menit
32
MODUL EVALUASI PERENCANAAN KULIAH LAPANGAN TAMBANG II
Bunga, pajak dan asuransi diambil 10% (bunga 6%, pajak 2%, serta asuransi 2%), dari
penanaman modal tahunan yang dapat dihitung dengan rumus berikut:
Dimana:
n : Umur Alat ( Tahun)
Ongkos Produksi
Ongkos penggantian ban, yaitu harga ban baru dibagi dengan umurnya.
Ongkos reparasi ban, misalnya untuk vulkanisir dan penambalan.
Ongkos reparasi umum, termasuk harga suku cadang (spare parts) dan ongkos pasang serta
ongkos perawatan.
Ongkos bahan bakar, cara pemakaian bahan bakar adalah sebagai berikut: untuk mesin
diesel rata-rata dibutuhkan 0.04 gallon/HP/Jam.
Ongkos minyak pelumas dan gemuk (grease), termasuk ongkos buruhnya. Banyak
pemakaian pelumas oleh alat muat dapat dihitung dengan menggunakan rumus :
Dimana :
Q : Jumlah minyak pelumas yang dipakai (gqh)
HP : Kekuatan mesin, (HP)
C : Kapasitas crackcase, (liter)
T : Jumlah jam pergantian minyak pelumas, (jam)
33
MODUL EVALUASI PERENCANAAN KULIAH LAPANGAN TAMBANG II
T1
Dimana:
TT1 : tinggi kerucut
AB : diameter lingkaran luas
AT dan BT : adalah garis pelukis (a)
Dengan menampung stock yard penambangan selama 1 bulan dengan sebagai target produksi
volume sebesar V = 3400 m3,maka perhitungannya adalah :
Stock yard berbentuk kerucut
34
MODUL EVALUASI PERENCANAAN KULIAH LAPANGAN TAMBANG II
V = 3200 m3
T = 9 m (berdasarkan reach boom excavator)
Maka
V = 1/3 x π x R2 x t
3200 m3 = 1/3 x 3.14 x R2 x 9
3200 m3 = 28.26m x r2
r = √113.23
r = 10.64 m2
L = 3.14 x 113.23 m2
= 355.55 m2
Jadi, luas daerah untuk satu stock yard 400 m2
35