Anda di halaman 1dari 315

Pertemuan I Kontrak Kuliah dilanjut kepada materi hal 1 - 24

Pertemuan II hal 19 - 31
Pertemuan III hal 32 – 36
Pertemuan Ke IV hal 37 - 40
Pertemuan ke V hal 41 - 59
Pertemuan ke VI hal 60 - 75
Pertemuan ke VII 76 - 87
Pertemuan ke VIII UTS

Bahan Kultum Q.S. Ar-Eum ayat 21


   
   
 
  
    
   
21. Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari
jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya
diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.

Sebaik-baik wanita adalah yang paling murah maharnya


Laki-laki --- memberi mahar yang banyak
Istri ---- Taat pada suaminya dan menjaga harya suaminya
Suami --- lmbut pada istrinya dan memberi nafkah twerbaik tuk istri dan
keluarganya

PENGERIAN FIQH DAN RUANG LINGKUPNYA

A. Pengertian Fiqh

Pengertian fikih secara bahasa (etimologi) berasal dari lafal faqiha,


yafqahu, fiqhan, yang berarti mengerti, atau paham. Sedangkan pengertian
fiqh secara istilah (terminologi) fikih adalah ilmu tentang hukum- hukum
syara’ yang berkaitan dengan perbuatan dan perkataan mukallaf (mereka
yang sudah terbebani menjalankan syari’at agama) dan diambil dari dalil-
dalil yang terperinci,(yang menunjukkan suatu hukum tertentu), bisa juga

1
dikatakan bahwa fiqh adalah hukum syara’ yang bersifat praktis (amalan) yang
diperoleh dari dalil-dalil yang terperinci.
Kalau fiqh dihubungkan dengan perkataan ilmu sehingga menjadi ilmu fiqh
Ilmu fiqh adalah ibarat daftar perintah dan aturan Allah SWT yang sudah
rinci nilainya, apakah menjadi wajib, sunnah, mubah, makruh atau haram.
norma dasar dan ketentuan yang terdapat dalam al-qur’an dan sunnah nabi
Muhammada SAW. Yang direkam dalam kitab-kitab hadits. Dari pengertian
diatas menunjukan antara fiqh dan syari’ah memiliki mempunyai hubungan
yang sangat erat, yaitu dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan. Kedua
istilah dimaksud, yaitu (1) syariat islam dan (2) fikih islam. Didalam
kepustakaan hukum islam berbahasa ingris, syariat islam diterjemahkan
dengan Islamic Law, sedangkan fikih islam diterjemahkan dengan istilah
Islamic Jurisprudance. Antara syariah dan fiqh, terdpat perbedaan, yang
apabila tidak dipahami dapat menimbulkan kerancuan yang dapat
menimbulkan sikap salah kaprah terhadap fiqh.

Fiqih merupakan hasil intelektual fuqoha dan kebenaranya bersifat relative,


sedangkan syariah diturunkan oleh Allah, kebenaranya bersifat mutlak, seperti
dalam firman Allah:

(QS.An Nisa:78)
 
  
    
  
   
   
  
     
    
  
  
Artinya : Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu,
Kendatipun kamu di dalam benteng yang Tinggi lagi kokoh, dan jika mereka
memperoleh kebaikan[319], mereka mengatakan: "Ini adalah dari sisi Allah",
dan kalau mereka ditimpa sesuatu bencana mereka mengatakan: "Ini
(datangnya) dari sisi kamu (Muhammad)". Katakanlah: "Semuanya (datang)
dari sisi Allah". Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) Hampir-
hampir tidak memahami pembicaraan[320] sedikitpun?
[319] Kemenangan dalam peperangan atau rezki.
[320] Pelajaran dan nasehat-nasehat yang diberikan.

Kemudian Ushul fiqih adalah kaidah-kaidah yang digunakan sebagai alat


untuk merumuskan hukum-hukum syara’ dari dalil-dalilnya.

2
Kaidah adalah rumusan umum yang mencakup dalam juz’iyah ketika
menyelidiki hukum-hukumnya. Ucapan kita “perintah memiliki konskwensi
wajib “ adalah kaidah umum yang tercakup dalam firman-Nya;

 
 
 
 
Artinya : Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-
orang yang ruku'[44].

[44] Yang dimaksud Ialah: shalat berjama'ah dan dapat pula diartikan:
tunduklah kepada perintah-perintah Allah bersama-sama orang-orang yang
tunduk. (Qs. Al-baqoroh:43)

Dengan demikian di dalam hukum islam ada dua macam kaidah, yaitu;
pertama, kaidah kaidah ushul fiqih, yang kita temukan dalam kitab-kitab ushul
fiqih, yang digunakan untuk mengeluarkan hukum (takhrij al-ahkam) dari
sumbernya, Al-qur’an dan atau al-hadits. Kedua, kaidah-kaidah fiqih, yaitu
kaidah-kaidah yang disimpulkan secara general dari materi fiqih yang
kemudian digunakan juga untuk menentukan hukum dari kasus-kasus baru
yang timbul, yang tidak jelas hukumnya didalam nash.

Kaidah-kaidah ushl fiqih maupun kaidah-kaidah fiqih sering juga disebut


metodologi hukum islam, hanya saja kaidah-kaidah ushul sering digunakan
untuk (takhrij al-ahkam) yaitu mengeluarkan hukum-hkum dari dalil-dalil dari
dalam Al-qur’an dan sunnah. Sedangkan kaidah-kaidah fiqih sering digunakan
di dalam tatbiq al-ahkam, yaitu penerapan hukum atas ksus-kasus yang timbul
di dalam bidang kehidupan manusia. Seperti sabda Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam:

“Sesungguhnya panjangnya shalat dan pendeknya khutbah seseorang,


merupakan tanda akan kepahamannya.” (Muslim no. 1437, Ahmad no. 17598,
Daarimi no. 1511)

Fiqih Secara Istilah Mengandung Dua Arti:

Pengetahuan tentang hukum-hukum syari’at yang berkaitan dengan


perbuatan dan perkataan mukallaf (mereka yang sudah terbebani
menjalankan syari’at agama), yang diambil dari dalil-dalilnya yang bersifat
terperinci, berupa nash-nash al Qur’an dan As sunnah serta yang bercabang
darinya yang berupa ijma’ dan ijtihad.

Hukum-hukum syari’at itu sendiri. Jadi perbedaan antara kedua definisi


tersebut bahwa yang pertama di gunakan untuk mengetahui hukum-hukum

3
(Seperti seseorang ingin mengetahui apakah suatu perbuatan itu wajib atau
sunnah, haram atau makruh, ataukah mubah, ditinjau dari dalil-dalil yang ada),
sedangkan yang kedua adalah untuk hukum-hukum syari’at itu sendiri (yaitu
hukum apa saja yang terkandung dalam shalat, zakat, puasa, haji, dan lainnya
berupa syarat-syarat, rukun-rukun, kewajiban-kewajiban, atau sunnah-
sunnahnya).
Hubungan Antara Fiqh dan Aqidah Islam

Diantara keistimewaan fiqih Islam -yang kita katakan sebagai hukum-hukum


syari’at yang mengatur perbuatan dan perkataan mukallaf- memiliki
keterikatan yang kuat dengan keimanan terhadap Allah dan rukun-rukun
aqidah Islam yang lain. Terutama Aqidah yang berkaitan dengan iman
dengan hari akhir. Yang demikian Itu dikarenakan keimanan kepada Allah-lah
yang dapat menjadikan seorang muslim berpegang teguh dengan hukum-
hukum agama, dan terkendali untuk menerapkannya sebagai bentuk ketaatan
dan kerelaan. Sedangkan orang yang tidak beriman kepada Allah tidak merasa
terikat dengan shalat maupun puasa dan tidak memperhatikan apakah
perbuatannya termasuk yang halal atau haram. Maka berpegang teguh dengan
hukum-hukum syari’at tidak lain merupakan bagian dari keimanan terhadap
Dzat yang menurunkan dan mensyari’atkannya terhadap para hambaNya.

Contohnya:

Allah memerintahkan bersuci dan menjadikannya sebagai salah satu keharusan


dalam keiman kepada Allah sebagaimana firman-Nya:
 
  
 
 
 
 
 
   
   
   
    
   
  
  
  
 
    
   
 
 
  
 

4
6. Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat,
Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah
kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu
junub Maka mandilah, dan jika kamu sakit[403] atau dalam perjalanan atau
kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh[404] perempuan, lalu
kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik
(bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak
menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan
menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.

[403] Maksudnya: sakit yang tidak boleh kena air.


[404] Artinya: menyentuh. menurut jumhur Ialah: menyentuh sedang sebagian
mufassirin Ialah: menyetubuhi. (QS. Al Maidah: 6)

Juga seperti shalat dan zakat yang Allah kaitkan dengan keimanan terhadap
hari akhir, sebagaimana firman-Nya:

  


  
   

Artinya :“(yaitu) orang-orang yang mendirikan sembahyang dan menunaikan


zakat dan mereka yakin akan adanya negeri akhirat.” (QS. An naml: 3)

Demikian pula taqwa, pergaulan baik, menjauhi kemungkaran dan contoh


lainnya, yang tidak memungkinkan untuk disebutkan satu persatu. (lihat
Fiqhul Manhaj hal. 9-12)

Fiqh Islam Mencakup Seluruh Perbuatan Manusia

Tidak ragu lagi bahwa kehidupan manusia meliputi segala aspek. Dan
kebahagiaan yang ingin dicapai oleh manusia mengharuskannya untuk
memperhatikan semua aspek tersebut dengan cara yang terprogram dan
teratur. Manakala fiqih Islam adalah ungkapan tentang hukum-hukum yang
Allah syari’atkan kepada para hamba-Nya, demi mengayomi seluruh
kemaslahatan mereka dan mencegah timbulnya kerusakan ditengah-tengah
mereka, maka fiqih Islam datang memperhatikan aspek tersebut dan mengatur
seluruh kebutuhan manusia beserta hukum-hukumnya.

Penjelasannya sebagai berikut:

Kalau kita memperhatikan kitab-kitab fiqih yang mengandung hukum-hukum


syari’at yang bersumber dari Kitab Allah, Sunnah Rasulnya, serta Ijma’
(kesepakatan) dan Ijtihad para ulama kaum muslimin, niscaya kita dapati
kitab-kitab tersebut terbagi menjadi tujuh bagian, yang kesemuanya
membentuk satu undang-undang umum bagi kehidupan manusia baik bersifat
pribadi maupun bermasyarakat. Yang perinciannya sebagai berikut:

5
Hukum-hukum yang berkaitan dengan ibadah kepada Allah. Seperti wudhu,
shalat, puasa, haji dan yang lainnya. Dan ini disebut dengan Fiqih Ibadah.
Hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah kekeluargaan. Seperti
pernikahan, talaq, nasab, persusuan, nafkah, warisan dan yang lainya. Dan ini
disebut dengan Fikih Al Ahwal As sakhsiyah.
Hukum-hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia dan hubungan
diantara mereka, seperti jual beli, jaminan, sewa menyewa, pengadilan dan
yang lainnya. Dan ini disebut Fiqih Mu’amalah.
Hukum-hukum yang berkaitan dengan kewajiban-kewajiban pemimpin (kepala
negara). Seperti menegakan keadilan, memberantas kedzaliman dan
menerapkan hukum-hukum syari’at, serta yang berkaitan dengan kewajiban-
kewajiban rakyat yang dipimpin. Seperti kewajiban taat dalam hal yang bukan
ma’siat, dan yang lainnya. Dan ini disebut dengan Fiqih Siasah Syar’iah.
Hukum-hukum yang berkaitan dengan hukuman terhadap pelaku-pelaku
kejahatan, serta penjagaan keamanan dan ketertiban. Seperti hukuman
terhadap pembunuh, pencuri, pemabuk, dan yang lainnya. Dan ini disebut
sebagai Fiqih Al ‘Ukubat.
Hukum-hukum yang mengatur hubungan negeri Islam dengan negeri lainnya.
Yang berkaitan dengan pembahasan tentang perang atau damai dan yang
lainnya. Dan ini dinamakan dengan Fiqih As Siyar.
Hukum-hukum yang berkaitan dengan akhlak dan prilaku, yang baik maupun
yang buruk. Dan ini disebut dengan adab dan akhlak.
Demikianlah kita dapati bahwa fiqih Islam dengan hukum-hukumnya meliputi
semua kebutuhan manusia dan memperhatikan seluruh aspek kehidupan
pribadi dan masyarakat.

Sumber-Sumber Fiqh Islam

Semua hukum yang terdapat dalam fiqih Islam kembali kepada empat sumber:

1. Al-Qur’an

Al Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan kepada Nabi kita Muhammad


untuk menyelamatkan manusia dari kegelapan menuju cahaya yang terang
benderang. Ia adalah sumber pertama bagi hukum-hukum fiqih Islam. Jika kita
menjumpai suatu permasalahan, maka pertamakali kita harus kembali kepada
Kitab Allah guna mencari hukumnya.

Sebagai contoh:

Bila kita ditanya tentang hukum khamer (miras), judi, pengagungan


terhadap bebatuan dan mengundi nasib, maka jika kita merujuk kepada Al
Qur’an niscaya kita akan mendapatkannya dalam firman Allah subhanahu wa
Ta’ala: (QS. Al- Maidah [5] : 90)
 
  
 
  
 

6
 
 
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar,
berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah[434],
adalah Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu
agar kamu mendapat keberuntungan.

Bila kita ditanya tentang masalah jual beli dan riba, maka kita dapatkan
hukum hal tersebut dalam Kitab Allah (QS. Al baqarah [2] : 275).
 
   
  
  
   
  
  
  
   
  
   
   
   
   
  
Artinya : Orang-orang yang Makan (mengambil) riba[174] tidak dapat berdiri
melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan)
penyakit gila[175]. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan
mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba,
Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-
orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus
berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya
dahulu[176] (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada
Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah
penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.
[174] Riba itu ada dua macam: nasiah dan fadhl. Riba nasiah ialah pembayaran lebih yang
disyaratkan oleh orang yang meminjamkan. Riba fadhl ialah penukaran suatu barang dengan
barang yang sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya karena orang yang menukarkan
mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan emas, padi dengan padi, dan
sebagainya. Riba yang dimaksud dalam ayat ini Riba nasiah yang berlipat ganda yang umum
terjadi dalam masyarakat Arab zaman jahiliyah.
[175] Maksudnya: orang yang mengambil Riba tidak tenteram jiwanya seperti orang
kemasukan syaitan.
[176] Riba yang sudah diambil (dipungut) sebelum turun ayat ini, boleh tidak dikembalikan.

2. As-Sunnah

As-Sunnah yaitu semua yang bersumber dari Nabi berupa perkataan,


perbuatan atau persetujuan.

7
Contoh perkataan/sabda Nabi:

“Mencela sesama muslim adalah kefasikan dan membunuhnya adalah


kekufuran.” (Bukhari no. 46, 48, muslim no. 64, 97, Tirmidzi no. 1906,2558,
Nasa’i no. 4036, 4037, Ibnu Majah no. 68, Ahmad no. 3465, 3708)

Contoh perbuatan:

Apa yang diriwayatkan oleh Bukhari (Bukhari no. 635, juga diriwayatkan oleh
Tirmidzi no. 3413, dan Ahmad no. 23093, 23800, 34528) bahwa ‘Aisyah
pernah ditanya: “Apa yang biasa dilakukan Rasulullah di rumahnya?” Aisyah
menjawab: “Beliau membantu keluarganya; kemudian bila datang waktu
shalat, beliau keluar untuk menunaikannya.”

Contoh persetujuan:

Apa yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (Hadits no. 1267) bahwa Nabi
pernah melihat seseorang shalat dua rakaat setelah sholat subuh, maka Nabi
berkata kepadanya: “Shalat subuh itu dua rakaat”, orang tersebut menjawab,
“sesungguhnya saya belum shalat sunat dua rakaat sebelum subuh, maka saya
kerjakan sekarang.” Lalu Nabi shollallahu’alaihiwasallam terdiam. Maka
diamnya beliau berarti menyetujui disyari’atkannya shalat Sunat Qabliah
subuh tersebut setelah shalat subuh bagi yang belum menunaikannya.

As Sunnah berfungsi sebagai penjelas al Qur’an dari apa yang bersifat global
dan umum. Seperti perintah shalat; maka bagaimana tatacaranya didapati
dalam as Sunnah. Oleh karena itu Nabi bersabda:

“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (Bukhari no. 595)

Sebagaimana pula as-Sunnah menetapkan sebagian hukum-hukum yang tidak


dijelaskan dalam Al Qur’an. Seperti pengharaman memakai cincin emas dan
kain sutra bagi laki-laki.

3. Ijma’

Ijma’ bermakna: Kesepakatan seluruh ulama mujtahid dari umat Muhammad


saw dari suatu generasi atas suatu hukum syar’i, dan jika sudah bersepakat
ulama-ulama tersebut baik pada generasi sahabat atau sesudahnya akan suatu
hukum syari’at maka kesepakatan mereka adalah ijma’, dan beramal dengan
apa yang telah menjadi suatu ijma’ hukumnya wajib. Dari Abu Bashrah
rodiallahu’anhu,
bahwa Nabi shollallahu’alaihiwasallam bersabda:

“Sesungguhnya Allah tidaklah menjadikan ummatku atau ummat Muhammad


berkumpul (besepakat) di atas kesesatan.” (Tirmidzi no. 2093, Ahmad 6/396)

Contohnya:

8
Ijma para sahabat ra bahwa kakek mendapatkan bagian 1/6 dari harta warisan
bersama anak laki-laki apabila tidak terdapat bapak.

Ijma’ merupakan sumber rujukan ketiga. Jika kita tidak mendapatkan didalam
Al Qur’an dan demikian pula sunnah, maka untuk hal yang seperti ini kita
melihat, apakah hal tersebut telah disepakatai oleh para ulama muslimin,
apabila sudah, maka wajib bagi kita mengambilnya dan beramal dengannya.

4. Qiyas

A. Pengertian Qiyas
Qiyas berasal dari kata “qasa, yaqisu, qaisan” artinya mengukur dan ukuran,
kata qiyas diartikan ukuran, timbangan dan lain-lain yang searti dengan itu,
atau pengukuran sesuatu dengan lainnya atau penyamaan sesuatu dengan
sejenisnya, misalnya kalimat, Artinya :
“ia telah mengukur sesuatu dengan lainnya atas lainnya”
Qiyas menurut bahasa, artinya ialah "Mengukur sesuatu dengan sesuatu dan
mempersamakannya". Dan menurut istilah Qiyas itu artinya ialah :
Menetapkan sesuatu perbuatan yang belum ada ketentuan hukumnya.
Berdasarkan sesuatu hukum yang sudah ditentukan oleh Nash, disebabkan
adanya persamaan".
Qiyas diartikan pula dengan at-taqdir wa at-taswiyah, artinya menduga dan
mempersamakan, Artinya :
“Mengeluarkan semisal hukum yang disebutkan kepada yang tidak disebutkan
dengan menghimpun keduanya”

Arti qiyas menurut terminology (istilah hukum), terdapat beberapa definisi


berbeda yang saling berdekatan artinya yaitu :
1. Al-Ghazali : qiyas adalah pemberian arti suatu hal yang dimaklumi atas
suatu hal yang dimaklumi pula dalam menetapkan hukum bagi keduanya atau
menyangkal dari keduanya dengan suatu hal yang memang menyangkal
keduanya.
2. Al-Baidlawi: qiyas adalah penetapan kesamaan hukum yang diketahui
dalam satu hal lain yang dimaklumi, karena persekutuan keduanya dalam ‘illat
hukum pada mujtahid yang menetapkannya.
3. Abu Zahrah : qiyas adalah menghubungkan sesuatu perkara yang tidak ada
nash tentang hukumnya dengan perkara lain yang ada nash hukunya karena
antara keduanya terdapat kesaman dalam ‘illat hukumnya.
4. Wahbah Al-Zuhaili : qiyas adalah menghubungkan atau menyamakan
hukum sesuatu yang tidak ada ketentuan hukumnya dengan sesuatu yang ada
ketentuan hukumnya karena ada persamaan illlat antara keduanya.
Dari beberapa definisi tersebut, dapat dikemukakan secara tegas bahwa yang
dimaksud dengan qiyas adalah menetapkan hukum suatu perbuatan yang
belum ada ketentuannya, berdasarkan sesuatu yang sudah ada ketentuan
hukumnya.
Syarat utama dalam pendekatan analogi atau qiyas adalah adanya persmaan
‘illat hukum. Dengan demikian pendekatan pendekatan analogis akan lebih
mengutamkan logika induktif, karena dari kasus khusus ditarik ke kasus yang
sifatnya umum. Dalam qiyas terdapat proses generalisasi, sehingga

9
memerlukan penalaran yang serius dan proses analisis ke berbagai sudut
pandang, mulai pemaknaan bahasa, pemahaman peristiwa asal , dan sifat-sifat
hukum yang dikategorikan memiliki indikasi yang serupa.

B. Kedudukan Qiyas Sebagai Dalil


Qiyas menurut para Ulama, adalah Hujjah (pegangan) Syar'iyah yang ke-
empat. Sesudah Al-Qur-aan, Hadits, dan Ijma’ Ulama. Mereka berpendapat
demikian dengan berpegang kepada.
a) Firman Allah SWT :
 
 
Artinya : …"Hendaklah kamu mengambil I’tibar (contoh / ibarat / pelajaran).
Hai orang-orang yang berfikiran". (Q.S. Al-Hasyr [59] : 2)

Karena i’itibar artinya adalah "Qiyash-Syai’i-bisy-Syai’ (Membanding sesuatu


dengan sesuatu yang lain). Berpegang kepada Hadits Rasulullah Saw, artinya :

"Sabda Nabi.Saw. ketika beliau mengutus Mu’az ra. ke Yaman, maka Nabi
bertanya : Dengan apa kamu menetapkan perkara yang datang kepadamu ?
Mu’az berkata :"Saya akan memberi keputusan dengan Kitab Allah". Nabi.
Saw. bersabda :"Jika kamu tidak mendapatkannya dalam Kitab Allah ?"
Mu’az ber kata: "Dengan Sunnah Rasul". Nabi. Saw bertanya lagi :"Kalau
pada Kitab Allah dan Sunnah Rasul tidak kamu dapati ?" Mu’az berkata :
"Saya akan berijtihad dengan pendapat saya dan saya tidak kembali".
Kemudian Rasulullah Saw Menepuk-nepuk Dada (pundak) Mu’az, (bergirang
hati) sambil bersab da :"Alhamdulillah. Allah telah memberi Taufiq kepada
pesuruh Rasulullah. Sesuai dengan Keridho-an Rasulullah". (H.R. Muslim.
Ahmad. Abu Daud. At-Turmudzi. Mereka menyatakan bahwa Qiyas itu
termasuk Ijtihad Ro’yu juga)

Dalam menetapkan qiyas sebagai dalil untuk mengistinbathkan hukum, ulama


berbeda pendapat. Jumhur ulama menerima dan menggunakan qiyas sebagai
dalil dalam urutan keempat, yaitu sesudah al-qur’an, sunnah, dan ijma’.
Tegasnya qiyas digunakan ketika tidak ditemukan hukum tentang suatu
peristiwa di dalam al-qur’an, sunnah dan ijma’ sedangkan peristiwa itu
mempunyai ‘illat yang sama dengan kasus yang telah ditetapkan dalam al-
qur’an, sunnah atau melalui ijma’. Untuk memperkuat pendapat mereka,
jumhur mengemukakan sejumlah alasan baik bersumber dari naqli (nash)
maupun akli (logika)
a. Banyak ayat Al-Qur’an yang dapat dijadikan sebagai dasar perintah
melakukan qiyas. Misalnya, firman Allah surat An-Nisa, 4:59
 
  
 
   
   
  

10
  
 
  
  
 
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat
tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.(Q.Surat An-Nisa : 49)

Ayat ini memerintahkan kepada orang-orang yang beriman ketika mereka


berselisih pendapat tentang suatu persoalan untuk mengembalikannya kepada
Allah dan rasulnya atau kepada al-qur’an dan sunnah. Hal ini berarti perintah
untuk mengikuti qiyas ketika terjadi perbedaan pendapat tentang suatu
masalah.
b. Banyak hadits yang mengisyaratkan untuk melakukan qiyas dalam
menetapkan hukum yang tidak ditemukan dasarnya secara langsung dalam al-
qur’an dan sunnah.
c. Perbuatan para sahabat nabi saw yang banyak menggunakan qiyas untuk
menetapkan berbagai peristiwa hukum yang tidak ada nashnya.\secara logika
bahwa Allah mensyariatkan hukum untuk kemaslahaatan manusia dan hal ini
merupakan tujuan utama syariat Islam.

C. Qiyas Sebagai Sumber Hukum Islam

Qiyas merupakan penerapan hukum analogi terhadap hukum sesuatu yang


serupa karena prinsip persamaan illat akan melahirkan hukum yang sama pula.
Umpamanya hukum meminum khamar, nash hukumnya telah dijelaskan
dalam Al Qurâan yaitu hukumnya haram. Sebagaimana firman Allah Swt:Hai
orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi,
(berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk
perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu
mendapat keberuntungan. (Qs.5:90) Haramnya meminum khamr berdasar illat
hukumnya adalah memabukan. Maka setiap minuman yang terdapat di
dalamnya illat sama dengan khamar dalam hukumnya maka minuman tersebut
adalah haram. Berhubung qiyas merupakan aktivitas akal, maka beberapa
ulama berselisih faham dengan ulama jumhur.

D. Rukun Qiyas
Ulama ushul fiqh mengatakan bahwa rukun qiyas terdiri dari:
1. Dasar (al-ashlu: asal), ialah pemahaman hukum yang dijadikan persamaan
seperti minum khamr atau arak. Ada yang mengatakan asal adalah dalil hukum
tempat yang dijadikan persamaan.
2. Hukum ashl (al-ashlu hukmu) adalah hukum syara’ yang terdapat padaashl
yang ditetapkan nash atau ijma’ yang hendak diberlakukan pada furu’
(cabang) dengan cara qiyas
Contoh:

11
Allah mengharamkan khamer dengan dalil Al Qur’an, sebab atau alasan
pengharamannya adalah karena ia memabukkan, dan menghilangkan
kesadaran. Jika kita menemukan minuman memabukkan lain dengan nama
yang berbeda selain khamer, maka kita menghukuminya dengan haram,
sebagai hasil Qiyas dari khamer. Karena sebab atau alasan pengharaman
khamer yaitu “memabukkan” terdapat pada minuman tersebut, sehingga ia
menjadi haram sebagaimana pula khamer.

Menurut Hasan Ahmad Al-Khatib: Fiqhul Islami ialah sekumpulan hukum


syara’, yang sudah dibukukan dalam berbagai madzhab, baik dari madzhab
yang empat atau dari madzhab lainnya, dan yang dinukilkan dari fatwa-fatwa
sahabat thabi’in, dari fuqaha yang tujuh di Makkah, di Madinah, di Syam, di
Mesir, di Iraq, di Bashrah dan sebagainya. Fuqaha yang tujuh itu ialah Sa’id
Musayyab, Abu Bakar bin Abdurrahman, ’Urwah bin Zubair, Sulaiman Yasar,
Al-Qasim bin Muhammad, Charijah bin Zaid, dan Ubaidillah Abdillah.

Dilihat dari segi ilmu pengetahuan yangg berkembang dalam kalangan ulama
Islam, fiqh itu ialah ilmu pengetahuan yang membiacarakan / membahas /
memuat hukum-hukum Islam yang bersumber bersumber pada Al-Qur’an,
Sunnah dalil-dalil Syar’i yang lain; setelah diformulasikan oleh para ulama
dengan mempergunakan kaidah-kaidah Ushul Fiqh. Dengan demikian berarti
bahwa fiqh itu merupakan formulasi dari Al-Qur’an dan Sunnah yang
berbentuk hukum amaliyah yang akan diamalkan oleh ummatnya. Hukum itu
berberntuk amaliyah yang akan diamalkan oleh setiap mukallaf (Mukallaf
artinya orang yang sudah dibebani/diberi tanggungjawab melaksanakan ajaran
syari’at Islam dengan tanda-tanda seperti baligh, berakal, sadar, sudah masuk
Islam). Hubungan-hubungan ini dibicarakan dalam fiqh melalui topik-topik
bab permasalahan yang mencakup hampir seluruh kegiatan hidup
perseorangan, dan masyarakat, baik masyarakat kecil seperti sepasang suami-
isteri (keluarga), maupun masyarakat besar seperti negara dan hubungan
internasional, sesuai dengan macam-macam hubungan tadi. Meskipun ada
perbedaan pendapat para ulama dalam menyusun urutan pembahasaan dalam
membicarakan topik-topik tersebut, namun mereka tidak berbeda dalam
menjadikan Al-Qur’an, Sunnah dan Ijtihad sebagai sumber hukum.Walaupun
dalam pengelompokkan materi pembicaraan mereka berbeda, namun mereka
sama-sama mengambil dari sumber yang sama.

D. Macam-Macam Qiyas

Menurut Wahbah Al-Zuhaili, dilihat dari segi perbandingan antara ‘illat yang
terdapat pada cabang, maka qiyas terbagi menjadi tiga macam:
1.Qiyas awla, yaitu ‘illat yang terdapat pada furu’ lebih utamma dari ‘illat
yang terdapat pada ashl. Misalnya mengqiyaskan hukum haram memukul
kedua orang tua kepada haram hukum mengatakan “ah” yang terdapat pada
firman allah surat al-isra’, 17:23:

  


  

12
   
 
  
    
  
 
Artinya : Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan
menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu
dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau Kedua-
duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali
janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah" dan janganlah
kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang
mulia[850].

[850] Mengucapkan kata Ah kepada orang tua tidak dlbolehkan oleh agama apalagi
mengucapkan kata-kata atau memperlakukan mereka dengan lebih kasar daripada itu.

Memukul dan mengatakan ‘ah’ terhadap kedua orang tua sama-sama


menyakiti keduanya. Namun perbuatan memukul yang dalam qiyas ini sebagai
cabang lebih menyakiti orang tua sehingga hukumnya lebih berat
dibandingkan dengan haram mengatakan ‘ah’ yang terdapat pada ashl.
2. Qiyas musawi, yaitu ‘illat yang terdapat pada cabang sama bobotnya dengan
‘illat yang terdapat pada ashl. Misalnya firman Allah yang terdapat pada surat
an-nisa, 4:10;

  


 
   
  
  

Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara


zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan
masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).

Ayat ini melarang memakan harta anak yatim dengan ‘illat dapat
melenyapkan harta tersebut. Sementara itu, ‘illat hukum haram memakan harta
anak yatim yang merupakan cabang sama bobotnya dengan ‘illat memakan
harta tersebut karena sama-sama melenyapkan harta anak yatim.
3. Qiyas Al-Adna, yaitu ‘illat yang terdapat pada cabang lebih rendah
bobotnya dibandingkan dengan ‘illat yang terdapat pada ashl. Mislanya firman
Allah Surat Al-Maidah ayat 90 tentang larangan meminum khamar dengan
‘illat memabukkan. Dengan menggunakan Qiyas Al-Adna ditetapkan bahwa
‘illat memabukkan yang terdapat pada minuman keras bir lebih rendah dari
sifat memabukkan yang terdapat pada minuman keras khamar, meskipun pada
ashl dan cabang sama-sama terdapat sifat memabukkan.
Pembagian qiyas dari kejelasan ‘illat terbagi menjadi dua macam:

13
1. Qiyas jalli, yaitu qiyas yang dinyatakan ‘illatnya secara tegas dalam al-
qur’an dan sunnah atau tidak dinyatakan secara tegas dalam kedua sumber
tersebut, tetapi berdasarkan penelitian kuat dugaan bahwa tidak ada perbedaan
antara ashl dan cabang dari segi kesamaan ‘illatnya. Misallnya menqiyaskan
memukul kedua orang tua dengan larangan mengucapkan ‘ah’ sebagaimana
dalam contoh qiyas awla di atas. Menurut Wahbah Al-Zuhaili, qiyas jali ini
meliputi apa yang disebut dengan qiyas awla dan qiyas musawi.

2. Qiyas khafi, yaitu qiyas yang ‘illatnya di istinbathkan atau ditarik dari
hukum ashl. Misalnya mengqiyaskan pembunuhan dengan menggunakan
benda tumpul kepada pembunuhan dengan memakai benda tajam karena ada
kesamaan ‘illat antara keduanya, yaitu kesengajaan dan permusuhan pada
pembunuhan dengan benda tumpul sebagaimana terdapat pada pembunuhan
dengan menggunakan benda tajam.
Pembagian qiyas dari segi keserasian ‘illatnya dengan hukum terbagi menjadi
dua macam :
1. Qiyas mutasir, yang diibaratkan dengan dua definisi: pertama, qiyas yang
‘illat penghubung antara ashl dan furu’ ditetapkan dengan nash yang sharih
atau ijma’. Kedua, qiyas yang ‘ain sifat (sifat itu sendiri) yang
menghubungkan ashl dengan furu’ itu berpengaruh terhadap ‘ain hukum
2. Qiyas mulaim, yaitu qiyas yang ‘illat hukum ashl dalam hubungannya
dengan hukum adalah dalam bentuk munasil mulaim.
Pembagian qiyas dari segi dijelaskan atau tidaknya ‘illat pada qiyas terbagi
menjadi tiga macam:
a. Qiyas ma’na atau qiyas dalam makna ash yaitu qiyas yang meskipun
‘illatnya tidak dijelaskan dalam qiyas namun antara ashl dengan furu’ tidak
dapat dibedakan sehingga furu’ itu seolah-seolah ashl itu sendiri.
b. Qiyas ‘illat, yaitu qiyas yang ‘illatnya dijelaskan dan ‘illat tersebut
merupakan pendorong bagi berlakunya hukum dalam ashl.
c. Qiyas dilalah, yaitu qiyas yang ‘illatnya bukan pendorong bagi penetapan
hukum itu sendiri; namun ia merupakan keharusan bagi ‘illat yang member
petunjuk akan adanya ‘illat.
Pembagian qiyas dari segi metode (masalik) yang digunakan dalam ashl dan
dalam furu’ terbagi menjadi empat macam :
a. Qiyas ikhalah, yaitu qiyas yang ‘illat hukumnya ditetapkan melalui metode
munasabah dan ikhalah.
b. Qiyas syabah, yaitu qiyas yang ‘illat hukum ashlnya ditetapkan melalui
metode syabah.
c. Qiyas sabru , yaitu qiyas yang ‘illat hukum ashlnya ditetapkan mealalui
metode sabru wa taqsim.
d. Qiyas thard, yaitu qiyas yang ‘illat hukum ashnya ditetapkan melalui
metode third.
Pandangan ulama mengenai qiyas ini terbagi menjadi tiga kelompok yaitu
Kelompok jumhur, mereka menggunakan qiyas sebagai dasar hukum pada
hal-hal yang tidak jelas nashnya baik dalam Al Qurâan, hadits, pendapat
shahabat maupun ijma ulama. Mazhab Zhahiriyah dan Syiah Imamiyah,
mereka sama sekali tidak menggunakan qiyas. Kelompok yang lebih
memperluas pemakaian qiyas, yang berusaha berbagai hal karena persamaan
illat.

14
Masing-masing bisa dipahami maknanya dan bisa juga tidak dipahami, maka
jumlahnya ada empat: Yang dikecualikan dari kaidah umum dan dikhususkan
serta tidak dipahami maknanya, Yang dikecualikan dari kaidah umum yang
lalu dan bisa dipahami makna pengecualian ini dan ia cocok untuk menjadi
asal qiyas, Hukum permulaan yang tidak dimengerti maknanya, Hukum-
hukum permulaan yang tidak ada banding (pertimbangan/persamaannya)
padahal ia bisa dipahami maknanya sehingga ia tidak tidak menjadi asal qiyas
karena kenyataan tidak ada bandingan yang menyertainya dalam ‘illat itu.

Kedudukan Fiqh dalam Pemikiran Islam

Bagi ummat Islam, fiqh adalah perwujudan kehendak Allah terhadap manusia
yang berisi perintah dan larangan. Oleh sebab itu, pelaksanaan hukum-hukum
fiqhiyyah dianggap sebagai bentuk ketundukan kepada Allah; ia adalah
manifestasi eksoterik keimanan. Fiqh bukan hanya mengatur hal-hal yang
behubungan dengan ritual semata, tapi juga seluruh aspek kehidupan manusia
dari mulai hubungan pribadinya dengan dirinya sendiri, dengan Tuhannya,
keluarganya, lingkungan masyarakatnya serta dengan orang yang diluar agama
dan negaranya.

Para ‘ulama mendefiniskan fiqh sebagai “pengetahuan tentang hukum syara‘


praktis beserta dengan dalil-dalilnya yang terperinci berkenaan dengan
perbuatan manusia” Definisi ini menunjukkan bahwa yang menjadi objek
kajian fiqh adalah perbuatan manusia, mengenai haram atau halal, wajib atau
mubah, dan sebagainya. Kehadiran hukum seperti ini mutlak diperlukan oleh
manusia. Karena ia dapat menjamin dan melindungi masyarakat dari keonaran
dan kekacauan. Sebab manusia pada dasarnya, kata Ibn Khalden, adalah
“domenieering being” yang punya ambisi dan kecendrungan untuk menguasai
dan menaklukkan orang lain serta memaksa mereka tunduk dan patuh
kepadanya. Bila sifat ini tidak dikekang maka ia akan mencetuskan konflik
dan peperangan.

Dalam Islam fiqh mempunyai dwi fungsi, pertama sebagai hukum positif dan
kedua sebagai standar moral. Yang dimaksudkan sebagai hukum positif disini
adalah bahwa fiqh berfungsi seperti hukum-hukum positif lain dalam
mengatur kehidupan manusia. Ia mendapatkan legitimasi dari badan judikatif,
yaitu mahkamah. Tapi perlu ditekankan bahwa tidak semua hukum-hukum
fiqh mendapat justifikasi dan legitimasi mahkamah. Masalah hukum mubah,
makruh, bahkan mengenai hukum wajib dan harampun tidak bisa sepenuhnya
dibawah jurisdiksi mahkamah. Disini fiqh lebih merupakan etika atau moral.
Jadi, disini fiqh memainkan fungsi double, sebagai hukum positif dan moral.
Aspek inilah yang membedakan secara prinsip konsep hukum Islam dengan
konsep hukum di Barat. Dalam Islam “etika dan agama menyatu dengan
aturan-aturan hukum positif.” “the ideal code of behaviour which is the
Shar‘ah has in fact a much wider scope and purpose than a simple legal system
in the Western sense of them. Jurisprudence … is also a composite science of

15
law and morality”. Mungkin atas sebab inilah Robert Brunschvig menyebut
hukum Islam dengan “ethico juridical”. Berbeda dengan di Barat dimana
hukum positif tidak mungkin menyatu dengan hukum moralitas, meskipun
keduanya menyentuh lahan pembahasan yang sama. Bagi mereka “law that is
not humanly enacted and recognized, and whose observance is not
ascertainbale by human faculties, is not law.”

Kegunaan Mempelajari Ilmu Fiqh

Adapun tentang kegunaan Ilmu Fiqh,adalah untuk melaksanakan


perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, namun jika boleh menambahkan
penjelasan di sini, alangkah lebih tepatnya jika ditambahkan “untuk
menghindari kesalahan dalam melaksanakan perintah Allah swt dan menjauhi
larangan-Nya”, dengan kata lain Ilmu Fiqh mempunyai kegunaan, yaitu agar
kehidupan seorang mukmin berjalan dengan benar sesuai yang dituntut oleh
Allah swt. Dengan demikian fungsi akan selaras dengan tujuan.

Tidak ragu lagi bahwa kehidupan manusia meliputi segala aspek. Dan
kebahagiaan yang ingin dicapai oleh manusia mengharuskannya untuk
memperhatikan semua aspek tersebut dengan cara yang terprogram dan
teratur. Manakala fiqih Islam adalah ungkapan tentang hukum-hukum yang
Allah syari’atkan kepada para hamba-Nya, demi mengayomi seluruh
kemaslahatan mereka dan mencegah timbulnya kerusakan ditengah-tengah
mereka, maka fiqih Islam datang memperhatikan aspek tersebut dan mengatur
seluruh kebutuhan manusia beserta hukum-hukumnya.

Keutamaan Mempelajari Ilmu Fiqh

Mempelajari fiqih itu penting sekali bagi setiap muslim. Sehingga untuk hal-
hal yang wajib dilakukan, hukumnya pun wajib untuk mempelajarinya.
Misalnya kita tahu bahwa shalat 5 waktu itu hukumnya wajib. Maka belajar
fiqih shalat itu pun hukumnya wajib juga. Sebab tanpa ilmu fiqih, seseorang
tidak mungkin menjalankan shalat dengan benar sebagaimana perintah Allah
SWT dan Rasulullah SAW.

Memang ada sebagian orang yang memandang remeh ilmu fiqih. Seringkali
mereka mengatakan bahwa belajar fiqih itu hanya belajar malasah air dan
cebok saja. Padahal yang dipelajarinya barulah mukaddimah belaka. Bila ilmu
itu diteruskan, maka fiqih itu akan sampai kepada masalah yang aktual seperti
urusan politik, mengatur negara dan seterusnya. Bahkan bisa dikatakan bahwa
fiqih itu mencakup semua aspek kehidupan manusia. Tidak ada tempat berlari
dari fiqih.

Manpaat Mempelajari Fiqh

Beberapa hal yang penting untuk diingat agar kita mengerti betapa
pentingnya/mampa’at ilmu fiqih buat umat Islam adalah hal-hal berikut ini :

16
a. Tafaquh fid-dien (memperdalam pemahaman agama) Adalah Perintah Dan
Hukumnya Wajib.

b. Mempejari Islam adalah kewajiban pertama setiap muslim yang sudah aqil
baligh.

Ilmu-il mu ke-Islaman yang utama adalah bagaimana mengetahui MAU-nya


Allah SWT terhadap diri kita. Dan itu adalah ilmu syariah. Allah SWT
berfirman yang berbunyi :

   


  
  
  
    
 
  
 
  

Artinya : Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya
Al Kitab, Hikmah dan kenabian, lalu Dia berkata kepada manusia: "Hendaklah
kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah." akan
tetapi (dia berkata): "Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani[208],
karena kamu selalu mengajarkan Al kitab dan disebabkan kamu tetap
mempelajarinya.

[208] Rabbani ialah orang yang sempurna ilmu dan takwanya kepada Allah
s.w.t. (QS. Ali Imran : 79),kemudia pada ayat lain Allah berfirman yang
berbunyi :

   


   
   
 
 
 
  
 
 
Artinya “Tidak sepatutnya bagi mu'minin itu pergi semuanya . Mengapa tidak
pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk

17
memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi
peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya
mereka itu dapat menjaga dirinya.” (QS. At-Taubah : 122)

c. Syariah Adalah Pengawal Qur’an & Sunnah

Ilmu syariah telah berhasil menjelaskan dengan pasti dan tepat tiap
potong ayat dan hadits yang bertebaran. Dengan menguasai ilmu syariah,
maka Quran dan Sunnah bisa dipahami dengan benar sebagaimana Rasulullah
SAW mengajarkannya.

Sebaliknya, tanpa penguasaan ilmu syariah, Al-Quran dan Sunnah bisa


diselewengkan dan dimanfaatkan dengan cara yang tidak benar.

Munculnya beragam aliran yang aneh dan lucu itu lantaran tidak dipahaminya
nash-nash Al-Quran dan sunnah dengan benar. Padahal untuk menjalankan Al-
Quran dan Sunnah dibutuhkan metode pemahaman yang baik dan benar. Dan
metode untuk memahaminya adalah fiqih itu sendiri. Bila dikatakan bahwa
orang yang tidak menguasai ilmu fiqih akan cenderung menyelewengkan
makna keduanya. Paling tidak akan bertindak parsial, karena hanya
menggunakan satu dalil dengan meninggalkan dalil-dalil lainnya.

d. Syari’ah Adalah Porsi Terbesar Ajaran Islam

Dibandingkan dengan masalah aqidah, akhlaq atau pun bidang lainnya,


masalah syariah dan fiqih adalah porsi terbesar dalam khazanah ilmu-ilmu ke-
Islaman. Istilah ulama identik dengan ahli syariah ketimbang ahli di bidang
lainnya.

Sebab seorang ahli fiqih itu pastilah seorang yang ahli di bidang tafsir, ilmu
hadits, ilmu bahasa, ilmu ushul fiqih dan beragam disiplin ilmu lainnya. Di
masa lalu kita bisa mendapatkan seorang muhaddits tapi bukan faqih. Namun
tidak pernah didapat seorang faqih yang bukan muhaddits.

e. Kehancuran Umat Ditandai Dari Hilangnya Ilmu Syariah

Islam tidak akan hilang dari muka bumi, sebab janji Allah SWT
terhadap umat ini sudah pasti. Namun umatnya bisa lemah dan runtuh.
Kelemahan itu umumnya terjadi manakala ilmu syariah sudah mulai
ditinggalkan. Dan para ulama ulama diwafatkan dan tidak ada lagi ahli syariah
yang dilahirkan. Sehingga tidak ada lagi orang yang bisa mengarahkan
jalannya umat ini.

Syariah adalah benteng umat. Manakala Allah SWT ingin melemahkan umat
ini, maka syariah Islam akan dikurangi. Sebaliknya, bila Allah SWT ingin
menguatkan umat ini, maka akan dimulai dengan lahirnya para ulama yang
akan mengusung syariah di muka bumi.

18
f. Tipu Daya Orientalis dan Sekuleris Sangat Efektif Bila Lemah di Bidang
Syariah

Racun pemikiran Orientalis dan Sekuleris tidak akan mempan bila


tubuh umat diimunisasi dengan pemahaman syariah Setiap individu muslim
pada dasarnya bisa dengan mudah terserang tusukan tajam para orientalis ini.
Maka dengan menguasai ilmu-ilmu syariah, diharapkan bisa menjadi
penangkal semua racun yang merusak dan mematikan.

Rata-rata generasi muda cendekiawan Islam yang terpengaruh sihir


para orientalis itu disebabkan mereka tidak punya latar belakang keilmuwan
yang benar dari sisi syariah Islam. Sehingga begitu berkenalan dengan ragam
pemikiran barat yang palsu itu, dengan mudah bisa terpengaruh dan merasa
jatuh cinta.

Kalau saja mereka mengenal bagaimana kecanggihan para ulama syariah dari
masa ke masa, maka mereka pasti akan memandang bahwa apa yang
dituduhkan orientalis barat itu tidak lebih dari lawakan tidak lucu.

g. Kelemahan Pergerakan Umumnya Pada Syariah

Umumnya kelemahan gerakan dakwah adalah kurangnya pemahaman


dan aplikasi syariah, baik di jajaran pimpinan atau pun para kadernya.
Kelemahan di sisi syariah ini akan melahirkan amat banyak masalah lainnya.
Seperti saling tuding antar kelompok sebagai ahli bid`ah, atau saling
menjelek-jelekkan satu sama lain.

Paling tidak ada rasa di dalam hati masing-masing kelompok itu bahwa
dirinya sajalah yang paling benar. Sementara kelompok lain itu pasti salah,
sesat dan harus dijauhi.

Padahal semua itu tidak perlu terjadi manakala mereka punya


pemahaman ilmu-ilmu syariah yang lumayan. Sebab di dalam disiplin ilmu
syariah kita diajari bagaimana etika dan aturan dalam berbeda pendapat.
Sehingga kalau kita mengetahui saudara kita berbeda pendapat dengan kita,
sama sekali tidak pernah merusak persaudaraan dengannya. Apalagi sampai
merendahkan atau mnghinanya.

h. Amal Sedikit Dengan Ilmu Lebih Utama Dari Amal Banyak Tanpa Ilmu

Seorang ahli ibadah yang tekun tapi tanpa ilmu syariah jauh lebih
rendah derajatnya dari amalan seorang yang mengerti syariah meski tidak
terlalu banyak. Sebab ibadah yang banyak bila tidak diiringi dengan ilmu yang
benar, bisa jadi malah berdosa. Sebab tidak tertutup kemungkinan dia malah
melakukan bid`ah atau hal-hal yang justru terlarang.

19
Sebaliknya, meski ibadah seseorang itu tidak terlalu banyak, namun
bila dikerjakan sesuai dengan petunjuk Rasulullah SAW yang benar, tentu
nilainya sangat tinggi di sisi Rasulullah SAW.

Betapa rugi dan menyesal seseorang yang merasa sudah beramal


banyak tapi di akhirat tidak mendapat nilai apa-apa di sisi Allah SWT. Sebab
apa yang diamalkannya ternyata tidak diajarkan oleh Nabi SAW.

i. Fiqih Adalah Ilmu Yang Siap Pakai

Berbeda dengan belajar tafsir, hadits, sirah dan ilmu-ilmu lainnya, di


dalam fiqih kita dikenalkan dengan cara mengambil kesimpulan hukum dari
beragam dalil yang tersedia.

Ada sekian banyak dalil yang terserak di berbagai literatur. Sehingga


tidak mudah bagi seseorang untuk mengumpulkannya menjadi satu. Belum
bila dilihat sekilas, mungkin saja masing-masing dalil baik dari Al-Quran dan
sunnah berbeda bahkan bertentangan satu sama lain.

Disinilah fungsi ilmu fiqih, yaitu merangkum sekian banyak dalil,


menelusuri keshahihannya dan mengupas istidlalnya serta memadukan antara
satu dalil dengan lainnya menjadi sebuah kesimpulan hukum. Lalu hukum-
hukum itu disusun secara rapi dalam tiap bab yang memudahkan seseorang
untuk melacaknya. Dan biasanya yang baik adalah dengan mencantumkan
juga dalil serta bagaimana istinbat hukumnya.

Dan lebih penting dari semua itu, apa yang dipersembahkan ilmu fiqih
ibarat daftar perintah dan aturan Allah SWT yang sudah rinci nilainya, apakah
menjadi wajib, sunnah, mubah, makruh atau haram.

B. RUANG LINGKUP FIQH

Manusia sebagai mahluk individu, mahluk social. Tentunya manusia hidup


memerlukan hubungan, baik hubungan dengan dririnya sendiri ataupun
dengan sesuatu di luar dirinya. Ilmu fiqh membicarakan hubungan itu yang
meliputi kedudukannya, hukumnya, caranya, alatnya dan sebagainya.
Hubungan-hubungan itu ialah:

a. Hubungan manusia dengan Allah,


b. Hubungan manusia dengan dirinya,keluarganya,lingkungannya,
masyarakatnya,agamanya, bangsanya dan alam negaranya.
c. Hubungan manusia dengan alam gaib seperti syetan, iblis, surga, neraka,
alam barzakh, yaumil hisab dan sebagainya.

Hubungan antara Sang Pencipta dan yang diciptakan adalah suatu hubungan
yang tidak mungkin dipisahkan. Manusia sebagai mahluq yang diciptakan
Allah, mustahil bisa berlepas diri dari keterikatannya dengan Allah SWT.
Bagaimanapun tidak percayanya manusia dengan Allah, suka atau tidak suka,
20
sadar atau tidak sadar manusia akan mengikuti sunatullah yang berlaku di
alam semesta ini. Firman Allah dalam surat 2 (al-Baqarah) ayat 163 yang
berbunyi :

    `


   
 
Artinya : Dan Tuhanmu adalah Tuhan yang Maha Esa; tidak ada Tuhan
melainkan Dia yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.

Sesungguhnya hubungan antara Allah dan manusia sudah disadari oleh


sebagian besar manusia sejak dahulu. Mereka sudah mendudukkan Allah
sebagai Rabb (pencipta alam semesta) tapi mereka masih terhalangi, baik oleh
kejahilan atau kesombongan, untuk menempatkan Allah sebagai Ilah (yang
disembah/diabdi), QS 39 (Azzumar) :67.
   
  
 

 
  
  

Artinya : Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang
semestinya Padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat
dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya[1316]. Maha suci Tuhan dan
Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan.
[1316] Ayat ini menggambarkan kebesaran dan kekuasaan Allah dan hanya Dialah yang
berkuasa pada hari kiamat.

Manusia yang demikian belumlah sempurna kehidupannya karena ia telah


mengingkari sesuatu yang hak dan telah berlaku dhalim, dengan
menempatkan sesuatu pada tempat yang salah. Mereka telah mempatkan
mahluq (hidup ataupun mati) sebagai ilah mereka.

Oleh karena itu seorang mukmin harus memahami bagaimana hubungan


yang seharusnya dibina dengan Allah SWT, sebagai Rabb-nya dan Ilah-nya.
Hal yang penting didalam membina hubungan itu, manusia harus lebih
dahulu mengenal betul siapa Allah. Bukan untuk mengenali zat-NYA, tetapi
mengenali landasan dasar-NYA (masdarul ´ulmu)/ilmu-ilmu Allah. (QS
35(Fathir):28, 49:18).
 

 
  
   

21
  
    
Artinya : Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata
dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan
jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-
Nya, hanyalah ulama[1258]. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha
Pengampun.
[1258] Yang dimaksud dengan ulama dalam ayat ini ialah orang-orang yang mengetahui
kebesaran dan kekuasaan Allah.

Dan ayat ke 49 (al-Hujurat) ayat 18 yang berbunyi


   
  
  
 
Artinya : Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ghaib di langit dan bumi.
dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.

Dengan memahami bagaimana luasnya kekuasan dan Ilmu Allah, akan timbul
rasa kagum dan takut kepada Allah SWT sekaligus menyadari betapa kecil
dan hina dirinya. Pemahaman itu akan berlanjut dengan kembalinya ia pada
hakikat penciptaannya dan mengikuti landasan hidup yang telah digariskan
oleh Allah SWT (QS 96/al-Alaq :5). Yang berbunyi :
  
 
Artinya : Kemudian Kami kembalikan Dia ke tempat yang serendah-rendahnya
(neraka),

Ia menyadari ketergantungannya kepada Allah dan merasakan keindahan iman


kepada Allah.

Tiga hal hubungan antara manusia (mukmin) dan Allah setelah manusia
mengenali Allah dengan benar.

Pertama, pengenalan terhadap Allah akan mebuahkan hubungan yang indah,


ditandai dengan adanya rasa mahabah (cinta) yang sangat tinggi terhadap
Allah SWT. Bahkan mengalahkan rasa cinta nya kepada manusia lain
ataupun benda yang dimilikinya. Rasa cintanya tersebut akan membuatnya
selalu optimis dan dinamis didalam kehidupannya sebagai seorang mukmin,
yang membuat jiwanya selalu stabil didalam berbagai kondisi.Ia memiliki
tanda-tanda cinta seperti yang telah Allah gambarkan didalam surat Al Anfal
ayat 2. Yang berbunyi :
 
   
  
 

22
 
  
 
Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang beriman[594] ialah mereka
yang bila disebut nama Allah[595] gemetarlah hati mereka, dan apabila
dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya
kepada Tuhanlah mereka bertawakkal.
[594] Maksudnya: orang yang sempurna imannya.
[595] Dimaksud dengan disebut nama Allah Ialah: menyebut sifat-sifat yang
mengagungkan dan memuliakannya.

Kedua, Di dalam Al Qur`an, Allah mengibaratkan hubungan manusia


(mukmin) dan Allah itu adalah seperti hubungan tijarah (jual beli) yang akan
menyelamatkan orang-orang mukmin dari azab yang pedih. Jual beli itu
berupa keimanan kepada Allah swt dan berjihad di jalan Allah dengan harta
dan jiwa (QS 61: 10-11). Yang berbunyi :As-Shaf
 
  
  
   
 
 
  
 
    
   
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu aku tunjukkan suatu
perniagaan yang dapat menyelamatkanmu dari azab yang pedih?
(yaitu) kamu beriman kepada Allah dan RasulNya dan berjihad di jalan Allah
dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu, jika kamu
mengetahui.

Selain itu Allah juga mengibaratkan `amal sholih seorang mukmin sebagai
pinjaman yang diberikan kepada Allah. Dimana pinjaman itu akan Allah
beli dengan harga yang sesuai dengan penilaian Allah. Pinjaman itu dapat
berupa tenaga ataupun harta. Walaupun hakikatnya semua harta di langit dan
di Bumi adalah milik Allah dan diberikan sementara untuk manusia. Tetapi
jika manusia gunakan harta itu untuk menegakkan kalimat Allah, maka Allah
akan menganggapnya sebagai suatu pinjaman. Dan Allah akan
mengembalikan pinjaman itu dengan berlipat ganda dan tidak terbatas (QS
64/At-Taghabun :17, 2:261). Yang berbunyi :
   
  
   
  

23
Artinya : Jika kamu meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya Allah melipat
gandakan balasannya kepadamu dan mengampuni kamu. dan Allah Maha pembalas Jasa lagi
Maha Penyantun.

Dan surat al-Baqarah ayat 261 yang berbunyi :


  
  
  
  
  
   
   
   
Artinya :. Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang
menafkahkan hartanya di jalan Allah[166] adalah serupa dengan sebutir benih
yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat
gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. dan Allah Maha Luas
(karunia-Nya) lagi Maha mengetahui.
[166] Pengertian menafkahkan harta di jalan Allah meliputi belanja untuk kepentingan jihad,
pembangunan perguruan, rumah sakit, usaha penyelidikan ilmiah dan lain-lain.

Ketiga, hubungan manusia (mukmin) dan Allah itu ditandai dengan adanya
kontrak kerja yang menjadi kewajiban manusia, yaitu berupa `amal sholih.
Manusia terikat dan terlibat didalamnya. Baik `amal yang bersifat umum
(ibadah) maupun ´amal khusus (da`wah). Amal tersebut lebih dari sekedar
untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk mengajak orang lain beribadah.
Sehingga tidak dibenarkan seorang mukmin memisahkan diri, tetapi ia harus
selalu berhubungan dengan manusia (berjamaah).

Jika dipahami lebih jauh dari tiga pengertian di atas. Maka dapat diibaratkan
manusia itu sebagai penjual `Amal sholih dan Allah sebagai pembelinya.
Dua hal milik manusia yang dapat ditawarkan adalah hartanya (amwal) dan
dirinya (anfus). Harta sebagai sarana dan prasarananya dalam mengerjakan
`amal sholih, sedangkan dirinya/jiwanya sebagai komitmen selanjutnya.
Penjualan itu haruslah berkualitas ihsan (mejual yang terbaik) sehingga akan
menimbulkan keridhoan Allah SWT. Dimana `Amal sholih nya itu dilakukan
atas dasar karena Allah (lillah), dengan caraNya (billah) dan untukNya (fillah).
Allah akan membeli yang terbaik dari manusia dan Allah telah berjanji untuk
membayarnya dengan Jannah, dialam yang kekal nanti. (QS. 61/As-Shafat
:10, 9:105, 111).yang berbunyi :
  
   
   

Artinya Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu aku tunjukkan suatu perniagaan
yang dapat menyelamatkanmu dari azab yang pedih?

24
Dalam surat ke 9 (At-Taubah) ayat 105 berbunyi :

 
  

 
 
 

 
  
Artinya : Dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu, Maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-
orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah)
yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa
yang telah kamu kerjakan.

Kemudian pada ayat 111 surat At-Taubah Allah berfirman yang


berbunyi :

   


 
  
   
  
   
  
 
   
   
 
   
  

Artinya : Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin
diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. mereka
berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah
menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Quran. dan
siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka
bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan Itulah
kemenangan yang besar.

Adapun bentuk jual beli yang termahal dan dihargai begitu tinggi oleh
Allah adalah berjihad dijalanNya. Inilah sebaik-baiknya pinjaman. Berjihad
berarti ia berusaha sekuat tenaga dan rela mengorbankan apapun didalam
perjuangan menegakkan kalimat Allah. Sebagaimana yang telah dicontohkan
oleh Rasululloh dan para Shahabat. Jalan yang jauh dari kesenangan dunia.
Mukmin yang berjihad adalah mukmin yang sudah menghayati dan
meng‘amalkan makna syahadat. Makna syahadat yang tidak hanya menghiasi

25
lisannya tapi sudah tergambar didalam tingkah laku dan àmal perbuatannya.
Kehidupan seorang mukmin, merupakan bukti dari pengertian pengakuan akan
ke-Ilahan Allah dan ia akan mempertahankan terus hingga kematiannya.
Bagi mukmin tersebut, kematiannya bernilai Syahid yang tetap hidup disisi
Allah dan tidak ada tempat baginya selain di Syurga.

HUBUNGAN MANUSIA DENGAN DIRINYA

Rosulullah saw menyuruh kepada seluruh umat islam untuk melaksanakan


kewajiban dan sunnahnya, yaitu hubungan manusia dengan dirinya.
Kemudian Hadits Nabi mengatakan yang artinya :

Dari Aisyah r.a: “ Bahwa Nabi pernah mengutus seorang kepada usman bin
madz’un melalui utusan itu beliau bertanya: “Hai usman, apakah engkau tidak
menyukai sunnahku?” jawabnya: “tidak, Demi Allah hai Rosulullah, sunnah
engkaulah yang saya cari”. Sabda beliau: “sesungguhnya aku tidur, aku shalat,
aku berpuasa, aku berbuka dan aku menikahi wanita”.Bertakwalah kepada
Allah hai usman, karena kamu punya kewajiban terhadap keluargamu,
tamumu, dan punya kewajiban terhadap dirimu. Sebab itu berpuasalah dan
berbukalah, shalatlah dan tidurlah.

Aisyah nama lengkapnya adalah Aisyah Abu Bakar Abdillah bin Abu
Qunafah Ustman Akair bin Amr bin Ka’ab bin Said bin Tam bin murrah bin
Kaib lu’ay al-Quraisyiyah At-taimiyah Al-malikiyah. Aisyah adalah isteri
Nabi saw puteri Abu Bakar Ash Sidik, ibunya bernama Ummu Ruman Amr
Ibn Umaimir Al Kinayah. Nabi Muhammad saw menikahi Aisyah ketika usia
6 tahun. dan berkumpul dengannya di Madinah pada bulan Syawal sekembali
dari perang Badar tahun 2 Hijriyah, ketika dia berumur 9 tahun. Nabi
meninggal ketika Aisyah berumur 18 tahun. Aisyah adalah seorang wanita
yang paling luas ilmunya dan paling ahli di bidang fiqh. Diriwayatkan darinya
sebanyak 120 hadits.

Beliau meriwayatkan 2.210 hadits Al Bukhari dan Muslim menyepakati


sejumlah 140 hadits. Beliau menerima hadits dari nabi saw dan dari pada
sahabat. Diantaranya ialah ayahanda beliau sendiri, Umar bin Hamzah Ibn Al-
Aslam, Sa’ad Ibn Abi Waqqash, Fatimah Az-Zahrah. Hadits-haditsnya
diriwayatkan oleh banyak sahabat dan tabi’in. Sanadnya yang paling shahih
adalah yang diriwayatkan oleh Yahya bin Sa’id dan Ubaidullah bin Umar bin
Hafshir, dan Al-Qasim bin Muhammad. Menurut Az-Zuhry, Aisyah memiliki
ilmu yang lebih unggul dibanding dengan istri rosul yang lain.

Keterangan Hadits

Apabila engkau menginginkan melakukan sunnahnya maka lakukanlah


menurut kemampuanmu. Apabila engkau mampu untuk mengerjakannya maka
wajib bagimu di antaranya melakukan puasa apabila kita tidak mampu
melakukannya maka berbukalah dan makanlah. Karena itu semua akan
menambah kecintaan kita dan menunjukkan kesayangannya kepadanya dan
barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka akan dimulyakan

26
dari kekurangannya. Dan sunah rosullah yang kita cari agar mendapatkan
syafaatnya. Dan perintah – perintahnya itu yang harus kita jalankan.

Rosulullah SAW melarang kita untuk berlebih-lebihan dalam bekerja


sampai-sampai lupa kepada diri sendiri, keluarga, maupun orang lain seperti
tamu, kerabat, saudara dan lain-lain. Seharusnya kita memperhatikan mereka
semua karena sesungguhnya dari merekalah bantuan terdekat apabila
mendapat musibah. Akan tetapi yang terjadi saat ini justru malah sebaliknya.
Orang-orang sudah terlalu sibuk bekerja mencari nafkah sehingga lupa kalau
sebenarnya masih punya keluarga, kerabat, saudara, dan tetangga. Seperti yang
terjadi di kota-kota metropolitan, banyak sekali orang-orang yang brkerja dari
pagi hari sampai larut malam sehingga waktu untuk keluarga dan sekitar
hampir semua tersita untuk bekerja.

Rosulullah juga menganjurkan kita untuk bersikap adil dalam


memanfaatkan waktu. Bekerja sesuai dengan waktunya, berinteraksi dengan
keluarga sesuai kebutuhannya, dan menggunakan waktu untuk berinteraksi
dengan orang lain sesuai dengan kebutuhannya. Karena waktu yang sudah
terlewatkan tidak akan kembali lagi. Alangkah baiknya dimulai dari sekarang
kita manfaatkan waktu sebaik-baiknya agar lebih adil antara waktu untuk diri
sendiri, waktu untuk keluarga maupun waktu untuk kerabat atau orang lain di
sekitar. Dan untuk menambah keimanan kita supaya lebih bertakwa kepada
allah.

kesimpulan
Di dalam hadits ini mengajarkan manusia agar bisa membagi waktu dan
kegiatannya sebaik mungkin. Boleh saja memenuhi kebutuhan diri sendiri
asalkan tidak melupakan kebutuhan orang-orang disekitarkan, seperti
keluarga, tamu, anak, istri, suami, tetangga, dan orang lain yang ada
hubungannya dengan kehidupan manusia tersebut.

Rasulullah juga mengajarkan untuk tidak berlebihan dalam melakukan


sesuatu, begitu pula dalam hal ibadah. Walaupun ibadah itu sangat dianjurkan,
tapi bila tidak sesuai dengan kebutuhan dan menjadikan lupa terhadap orang-
orang disekitarnya itu juga kurang baik.

Pada intinya hubungan manusia dengan dirinya itu memang sangat penting
akan tetapi harus tetap melihat hal-hal disekitarnya, harus proporsional dalam
melakukan kegiatan tanpa mengabaikan orang-orang yang berhubungan
dengan kita.

HUBUNGAN MANUSIA DENGAN LINGKUNGANNYA

Manusia dan lingkungan memiliki hubungan ketergantungan yang sangat


erat. Manusia dalam hidupnya senantiasa berinteraksi dengan lingkungan di
mana manusia itu berada. Lingkungan hidup mencakup keadaan alam yang
luas. Dalam lingkungan alamnya manusia hidup dalam sebuah ekosistem
yakni suatu unit atau satuan fungsional dari makhluk-makhluk hidup dengan

27
lingkungannya. Dalam ekosistem terdapat komponen abiotik pada umumnya
merupakan faktor lingkungan yang mempengaruhi makhluk-makhluk hidup
diantaranya: tanah, udara atau gas-gas yang membentuk atmosfer, air, cahaya,
suhu atau temperatur, sedangkan komponen biotik diantaranya adalah:
produsen, konsumen, dan pengurai. Kehidupan manusia sangat tergantung
pada keadaan tumbuh-tumbuhan, binatang, dan lingkungan fisik yang ada
disekitarnya.

Lingkungan dapat mengalami suatu perubahan dalam proses interaksi dengan


hidup manusia. Perubahan lingkungan banyak terjadi di daerah kota bila
dibandingkan dengan daerah pelosok (pedesaan) dimana penduduknya lebih
sedikit dan terkesan primitif. Perubahan lingkungan mempengaruhi berbagai
aspek kehidupan manusia. Perubahan yang terjadi pada lingkungan hidup
manusia menyebabkan adanya gangguan terhadap keseimbangan karena
berkurangnya fungsi dari sebagian komponen lingkungan. Dengan campur
tangan manusia dan faktor alami yang terjadi dapat menyebabkan terjadinya
perubahan lingkungan. Dampak dari perubahannya belum tentu sama, tetapi
manusia yang memiliki kemampuan berfikir dan penalaran yang tinggi,
memiliki budaya, pranata sosial dan pengetahuan serta teknologi yang makin
berkembang, maka manusia dimampukan untuk dapat menghadapi serta
mengatasinya. Perubahan lingkungan terhadap kehidupan manusia akan
membawa dampak bagi kehidupan manusia baik secara positif ataupun
negatif.

Perubahan lingkungan berdampak positif berarti baik dan menguntungkan


bagi kehidupan manusia maupun lingkungan tersebut, serta berdampak negatif
berarti tidak baik dan tidak menguntungkan karena dapat mengurangi
kemampuan alam lingkungan hidupnya untuk menyokong kehidupannya
maupun merugikan manusia. Contoh dampak perubahan lingkungan yang
positif: penebangan pohon untuk dimanfaatkan kayunya dengan menanam
kembali pohon untuk mengganti yang telah ditebang; penerapan panca usaha
tani untuk meningkatkan produktivitas; serta penanaman kembali pohon
karena kebakaran untuk daerah resapan air dan mencegah erosi. Contoh
dampak negatif perubahan lingkungan: lahan menjadi gersang dan gundul
karena bencana gunung meletus atau penebangan hutan secara liar; terjadinya
erosi karena penggundulan hutan; terjadi banjir di daerah pemukiman karena
tidak ada saluran air dan daerah resapan air yang dipengaruhi oleh
pembangunan gedung baik perumahan, kantor, dan toko; berkurangnya
ekosistem yang hidup di air karena terjadi pencemaran di air; serta
penggunaan pupuk buatan dan pestisida secara terus-menerus yang
mengakibatkan pencemaran dan lama-kelamaan dapat mengurangi kesuburan
tanah.

Pembagian Kajian fiqh yaitu ada empat, yang sering disebut Rubu’:

- Rubu’ ibadat;
- Rubu’ muamalat;
- Rubu’ munakahat; dan
- Rubu’ jinayat.

28
Ada lagi yang berpendapat tiga saja; yaitu: bab ibadah, bab mu’amalat,
bab ’uqubat.

Pertemuan III
C. Tujuan mempelajari fiqih

Tujuan mempelajari fiqih ialah untuk menerapkan hukum syara’ pada setiap
perkataan dan perbuatan mukallaf, karena itu ketentuan- ketentuan itulah
yang dipergunakan untuk memutuskan segala perkara dan yang menjadi
dasar fatwa, dan bagi setiap mukallaf akan mengetahui hukum syara’ pada
setiap perkataan dan perbuatan yang mereka lakukan.

Selain itu, tujuan mempelajari fiqih lainnya yaitu untuk menerapkan


hukum- hukum syariat islam terhadap perbuatan dan ucapan manusia,seperti
rujukan seorang hakim dalam keputusannya, rujukan seorang seorang Mufti
dalam fatwanya, dan rujukan seorang mukallaf untuk mengetahui hukum
syariat dalam ucapan dan perbuatannya.
Tujuan mempelajari ushul fiqih ialah untuk menerapkan kaidah-
kaidah dan pembahasannya terhadap dalil- dalil terperinci untuk
mendatangkan hukum syariat islam yang diambil dai dalil- dalil tersebut.

Jadi,dengan kaidah dan pembahasan ilmu Ushul Fiqih dapat dipahami


nash- nash syar’iah dan hukum- hukum yang dikandungnya. Dalam buku yang
berjudul Fiqh Ushul Fiqh karya Drs. H.A. Syafi’I Karim menyebutkan bahwa
yang menjadi dasar dan pendorong bagi umat islam untuk mempelajari ilmu
Ushul Fiqh ialah untuk mengetahui hukum- hukum syariat Islam dengan jalan
yakin( pasti) atau dengan jakan zhan (dugaan atau perkiraan) dan untuk
menghindari Taklid (mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui alasan-
alasannya).

Hal ini dapat berlaku kalau memang benar- benar Ushul Fiqh itu
digunakan semestunya, yaitu mengambil hukum soal- soal yang pokok atai
dengan mengembalikan soal- soal cabang kepada soal- soal pokok.

D. Sejarah Perkembangan Fiqh

Terdapat perbedaan periodisasi fiqh di kalangan ulama fiqh kontemporer.


Muhammad Khudari Bek (ahli fiqh dari Mesir) membagi periodisasi fiqh
menjadi enam periode. Menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa, periode keenam
yang dikemukakan Muhammad Khudari Bek tersebut sebenarya bisa dibagi
dalam dua periode, karena dalam setiap periodenya terdapat ciri tersendiri.
Periodisasi menurut az-Zarqa adalah sebagai berikut:

a. Periode risalah.

Periode ini dimulai sejak kerasulan Muhammad SAW sampai wafatnya


Nabi SAW (11 H./632 M.). Pada periode ini kekuasaan penentuan hukum
sepenuhnya berada di tangan Rasulullah SAW. Sumber hukum ketika itu
adalah Al-Qur'an dan sunnah Nabi SAW. Pengertian fiqh pada masa itu

29
identik dengan syarat, karena penentuan hukum terhadap suatu masalah
seluruhnya terpulang kepada Rasulullah SAW.

Periode awal ini juga dapat dibagi menjadi periode Makkah dan periode
Madinah. Pada periode Makkah, risalah Nabi SAW lebih banyak tertuju pada
masalah aqidah. Ayat hukum yang turun pada periode ini tidak banyak
jumlahnya, dan itu pun masih dalam rangkaian mewujudkan revolusi aqidah
untuk mengubah sistem kepercayaan masyarakat jahiliyah menuju
penghambaan kepada Allah SWT semata. Pada periode Madinah, ayat-ayat
tentang hukum turun secara bertahap. Pada masa ini seluruh persoalan hukum
diturunkan Allah SWT, baik yang menyangkut masalah ibadah maupun
muamalah. Oleh karenanya, periode Madinah ini disebut juga oleh ulama fiqh
sebagai periode revolusi sosial dan politik.

b. Periode al-Khulafaur Rasyidin.

Periode ini dimulai sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW sampai


Mu'awiyah bin Abu Sufyan memegang tampuk pemerintahan Islam pada
tahun 41 H./661 M. Sumber fiqh pada periode ini, disamping Al-Qur'an dan
sunnah Nabi SAW, juga ditandai dengan munculnya berbagai ijtihad para
sahabat. Ijtihad ini dilakukan ketika persoalan yang akan ditentukan
hukumnya tidak dijumpai secara jelas dalam nash. Pada masa ini, khususnya
setelah Umar bin al-Khattab menjadi khalifah (13 H./634 M.), ijtihad sudah
merupakan upaya yang luas dalam memecahkan berbagai persoalan hukum
yang muncul di tengah masyarakat. Persoalan hukum pada periode ini sudah
semakin kompleks dengan semakin banyaknya pemeluk Islam dari berbagai
etnis dengan budaya masing-masing.

Pada periode ini, untuk pertama kali para fuqaha berbenturan dengan
budaya, moral, etika dan nilai-nilai kemanusiaan dalam suatu masyarakat
majemuk. Hal ini terjadi karena daerah-daerah yang ditaklukkan Islam sudah
sangat luas dan masing-masing memiliki budaya, tradisi, situasi dan komdisi
yang menantang para fuqaha dari kalangan sahabat untuk memberikan hukum
dalam persoalan-persoalan baru tersebut. Dalam menyelesaikan persoalan-
persoalan baru itu, para sahabat pertama kali merujuk pada Al-Qur'an. Jika
hukum yang dicari tidak dijumpai dalam Al-Qur'an, mereka mencari
jawabannya dalam sunnah Nabi SAW. Namun jika dalam sunnah Rasulullah
SAW tidak dijumpai pula jawabannya, mereka melakukan ijtihad.

c. Periode awal pertumbuahn fiqh.

Masa ini dimulai pada pertengahan abad ke-1 sampai awal abad ke-2 H.
Periode ketiga ini merupakan titik awal pertumbuhan fiqh sebagai salah satu
disiplin ilmu dalam Islam. Dengan bertebarannya para sahabat ke berbagai
daerah semenjak masa al-Khulafaur Rasyidin (terutama sejak Usman bin
Affan menduduki jabatan Khalifah, 33 H./644 M.), munculnya berbagai fatwa
dan ijtihad hukum yang berbeda antara satu daerah dengan daerah lain, sesuai
dengan situasi dan kondisi masyarakat daerah tersebut.

30
Di Irak, Ibnu Mas'ud muncul sebagai fuqaha yang menjawab berbagai
persoalan hukum yang dihadapinya di sana. Dalam hal ini sistem sosial
masyarakat Irak jauh berbeda dengan masyarakat Hedzjaz atau Hijaz (Makkah
dan Madinah). Saat itu, di Irak telah terjadi pembauran etnik Arab dengan
etnik Persia, sementara masyarakat di Hedzjaz lebih bersifat homogen.. Pada
masa ini Dalam menghadapi berbagai masalah hukum, Ibnu Mas'ud
mengikuti pola yang telah di tempuh Umar bin al-Khattab, yaitu lebih
berorientasi pada kepentingan dan kemaslahatan umat tanpa terlalu terikat
dengan makna harfiah teks-teks suci.

Sikap ini diambil Umar bin al-Khattab dan Ibnu Mas'ud karena situasi dan
kondisi masyarakat ketika itu tidak sama dengan saat teks suci diturunkan.
Atas dasar ini, penggunaan nalar (analisis) dalam berijtihad lebih dominan.
dari perkembangan ini muncul madrasah atau aliran ra'yu (akal) (Ahlulhadits
dan Ahlurra'yi). Sementara itu, di Madinah yang masyarakatnya lebih
homogen, Zaid bin Sabit (11 SH./611 M.-45 H./ 665 M.) dan Abdullah bin
Umar bin al-Khattab (Ibnu Umar) bertindak menjawab berbagai persoalan
hukum yang muncul di daerah itu. Sedangkan di Makkah, yang bertindak
menjawab berbagai persoalan hukum adalah Abdullah bin Abbas (Ibnu
Abbas) dan sahabat lainnya. Pola dalam menjawab persoalan hukum oleh para
fuqaha Madinah dan Makkah sama, yaitu berpegang kuat pada Al-Qur'an dan
hadits Nabi SAW. Hal ini dimungkinkan karena di kedua kota inilah wahyu
dan sunnah Rasulullah SAW diturunkan, sehingga para sahabat yang berada di
dua kota ini memiliki banyak hadits. Oleh karenanya, pola fuqaha Makkah
dan Madinah dalam menangani berbagai persoalan hukum jauh berbeda
dengan pola yang digunakan fuqaha di Irak. Cara-cara yang ditempuh para
sahabat di Makkah dan Madinah menjadi cikal bakal bagi munculnya alirah
ahlulhadits.

Ibnu Mas'ud mempunyai murid-murid di Irak sebagai pengembang pola


dan sistem penyelesaian masalah hukum yang dihadapi di daerah itu, antara
lain Ibrahim an-Nakha'i (w. 76 H.), Alqamah bin Qais an-Nakha'i (w. 62 H.),
dan Syuraih bin Haris al-Kindi (w. 78 H.) di Kufah; al-Hasan al-Basri dan
Amr bin Salamah di Basra; Yazid bin Abi Habib dan Bakir bin Abdillah di
Mesir; dan Makhul di Suriah. Murid-murid Zaid bin Tsabit dan Abdullah bin
Umar bin al-Khattab juga bermunculan di Madinah, diantaranya Sa'id bin
Musayyab (15-94 H.). Sedangkan murid-murid Abdullah bin Abbas
diantaranya Atha bin Abi Rabah (27-114 H.), Ikrimah bin Abi Jahal, dan Amr
bin Dinar (w. 126 H.) di Makkah serta Tawus, Hisyam bin Yusuf, dan Abdul
Razak bin Hammam di Yaman. Murid-murid para sahabat tersebut, yang
disebut sebagai generasi thabi'in, bertindak sebagai rujukan dalam menangani
berbagai persoalan hukum di zaman dan daerah masing-masing. Akibatnya
terbentuk mazhab-mazhab fiqh mengikuti nama para thabi'in tersebut,
diantaranya fiqh al-Auza'i, fiqh an-Nakha'i, fiqh Alqamah bin Qais, dan fiqh
Sufyan as-Sauri.

d. Periode keemasan.

31
Periode ini dimulai dari awal abad ke-2 sampai pada pertengahan abad ke-
4 H. Dalam periode sejarah peradaban Islam, periode ini termasuk dalam
periode Kemajuan Islam Pertama (700-1000). Seperti periode sebelumnya, ciri
khas yang menonjol pada periode ini adalah semangat ijtihad sangat tinggi di
kalangan ulama, sehingga berbagai pemikiran tentang ilmu pengetahuan
berkembang. Perkembangan pemikiran ini tidak saja dalam bidang ilmu
agama, tetapi juga dalam bidang-bidang ilmu pengetahuan umum lainnya.
Dinasti Abbasiyah (132 H./750 M.-656 H./1258 M.) yang naik ke panggung
pemerintahan menggantikan Dinasti Umayyah memiliki tradisi keilmuan yang
kuat, sehingga perhatian para penguasa Abbasiyah terhadap berbagai bidang
ilmu sangat besar. Para penguasa awal Dinasti Abbasiyah sangat mendorong
fuqaha untuk melakukan ijtihad dalam mencari formulasi fiqh guna
menghadapi persoalan sosial yang semakin kompleks.

Perhatian para penguasa Abbasiyah terhadap fiqh misalnya dapat


dilihat ketika Khalifah Harun ar-Rasyid (memerintah 786-809) meminta
Imam Malik untuk mengajar kedua anaknya, al-Amin dan al-Ma'mun.
Disamping itu, Khalifah Harun ar-Rasyid juga meminta kepada Imam Abu
Yusuf untuk menyusun buku yang mengatur masalah administrasi, keuangan,
ketatanegaraan dan pertanahan. Imam Abu Yusuf memenuhi permintaan
khalifah ini dengan menyusun buku yang berjudul al-Kharaj. Ketika Abu
Ja'far al-Mansur (memerintah 754-775) menjadi khalifah, ia juga meminta
Imam Malik untuk menulis sebuah kitab fiqh yang akan dijadikan pegangan
resmi pemerintah dan lembaga peradilan. Atas dasar inilah Imam Malik
menyusun bukunya yang berjudul al-Muwaththa' (Yang disepakati).

Pada awal periode keemasan ini, pertentangan antara ahlulhadits dan


ahlurra 'yi sangat tajam, sehingga menimbulkan semangat berijtihad bagi
masing-masing aliran. Semangat para fuqaha melakukan ijtihad dalam periode
ini juga mengawali munculnya mazhab-mazhab fiqh, yaitu Mazhab Hanafi,
Maliki, Syafi'i, dan Hambali. Upaya ijtihad tidak hanya dilakukan untuk
keperluan praktis masa itu, tetapi juga membahas persoalan-persoalan yang
mungkin akan terjadi yang dikenal dengan istilah fiqh taqdiri (fiqh hipotetis).

Pertentangan kedua aliran ini baru mereda setelah murid-murid


kelompok ahlurra'yi berupaya membatasi, mensistematisasi, dan menyusun
kaidah ra'yu yang dapat digunakan untuk meng-istinbat-kan hukum. Atas
dasar upaya ini, maka aliran ahlulhadits dapat menerima pengertian ra'yu yang
dimaksudkan ahlurra'yi, sekaligus menerima ra'yu sebagai salah satu cara
dalam meng-istinbat-kan hukum.

Upaya pendekatan lainnya untuk meredakan ketegangan tersebut juga


dilakukan oleh ulama masing-masing mazhab. Imam Muhammad bin Hasan
asy-Syaibani, murid Imam Abu Hanifah, mendatangi Imam Malik di Hedzjaz
untuk mempelajari kitab al-Muwaththa' yang merupakan salah satu kitab
ahlulhadits. Sementara itu, Imam asy-Syafi'i mendatangi Imam asy-Syaibani
di Irak. Di samping itu, Imam Abu Yusuf juga berupaya mencari hadits yang
dapat mendukung fiqh ahlurra'yi. Atas dasar ini, banyak ditemukan literatur
fiqh kedua aliran yang didasarkan atas hadits dan ra'yu.

32
Periode keemasan ini juga ditandai dengan dimulainya penyusunan kitab
fiqh dan ushul fiqh. Diantara kitab fiqh yang paling awal disusun pada periode
ini adalah al-Muwaththa' oleh Imam Malik, al-Umm oleh Imam asy-Syafi'i,
dan Zahir ar-Riwayah dan an-Nawadir oleh Imam asy-Syaibani. Kitab usul
fiqh pertama yang muncul pada periode ini adalah ar-Risalah oleh Imam asy-
Syafi'i. Teori usul fiqh dalam masing-masing mazhab pun bermunculan,
seperti teori kias, istihsan, dan al-maslahah al-mursalah.

e. Periode tahrir, takhrij dan tarjih dalam mazhab fiqh.

Periode ini dimulai dari pertengahan abad ke-4 sampai pertengahan abad
ke-7 H. Yang dimaksudkan dengan tahrir, takhrij, dan tarjih adalah upaya
yang dilakukan ulama masing-masing mazhab dalam mengomentari,
memperjelas dan mengulas pendapat para imam mereka. Periode ini
semangat ijtihad melemah dikalangan ulama fiqh. Ulama fiqh lebih banyak
berpegang pada hasil ijtihad yang telah dilakukan oleh imam mazhab mereka
masing-masing, sehingga mujtahid mustaqill (mujtahid mandiri) tidak ada
lagi. Sekalipun ada ulama fiqh yang berijtihad, maka ijtihadnya tidak terlepas
dari prinsip mazhab yang mereka anut. Artinya ulama fiqh tersebut hanya
berstatus sebagai mujtahid fi al-mazhab (mujtahid yang melakukan ijtihad
berdasarkan prinsip yang ada dalam mazhabnya). Akibat dari tidak adanya
ulama fiqh yang berani melakukan ijtihad secara mandiri, muncullah sikap at-
ta'assub al-mazhabi (sikap fanatik buta terhadap satu mazhab) sehingga setiap
ulama berusaha untuk mempertahankan mazhab imamnya.

Mustafa Ahmad az-Zarqa mengatakan bahwa dalam periode ini untuk


pertama kali muncul pernyataan bahwa pintu ijtihad telah tertutup.
Menurutnya, paling tidak ada tiga faktor yang mendorong munculnya
pernyataan tersebut :

1).Dorongan para penguasa kepada para hakim (qadi) untuk menyelesaikan


perkara di pengadilan dengan merujuk pada salah satu mazhab fiqh yang
disetujui khalifah saja.
2).Munculnya sikap at-taassub al-mazhabi yang berakibat pada sikap
kejumudan (kebekuan berpikir) dan taqlid (mengikuti pendapat imam tanpa
analisis) di kalangan murid imam mazhab.
3). Munculnya gerakan pembukuan pendapat masing-masing mazhab yang
memudahkan orang untuk memilih pendapat mazhabnya dan menjadikan buku
itu sebagai rujukan bagi masing-masing mazhab, sehinga aktivitas ijtihad
terhenti. Ulama mazhab tidak perlu lagi melakukan ijtihad, sebagaimana yang
dilakukan oleh para imam mereka, tetapi mencukupkan diri dalam menjawab
berbagai persoalan dengan merujuk pada kitab mazhab masing-masing. Dari
sini muncul sikap taqlid pada mazhab tertentu yang diyakini sebagai yang
benar, dan lebih jauh muncul pula pernyataan haram melakukan talfiq.

Persaingan antar pengikut mazhab semakin tajam, sehingga subjektivitas


mazhab lebih menonjol dibandingkan sikap ilmiah dalam menyelesaikan suatu
persoalan. Sikap ini amat jauh berbeda dengan sikap yang ditunjukkan oleh
masing-masing imam mazhab, karena sebagaimana yang tercatat dalam
sejarah para imam mazhab tidak menginginkan seorang pun mentaqlidkan

33
mereka. Sekalipun ada upaya ijtihad yang dilakukan ketika itu, namun lebih
banyak berbentuk tarjih (menguatkan) pendapat yang ada dalam mazhab
masing-masing. Akibat lain dari perkembangan ini adalah semakin banyak
buku yang bersifat sebagai komentar, penjelasan dan ulasan terhadap buku
yang ditulis sebelumnya dalam masing-masing mazhab.

f. Periode kemunduran fiqh.

Masa ini dimulai pada pertengahan abad ke-7 H. sampai munculnya


Majalah al-Ahkam al-'Adliyyah (Hukum Perdata Kerajaan Turki Usmani)
pada 26 Sya'ban l293. Perkembangan fiqh pada periode ini merupakan
lanjutan dari perkembangan fiqh yang semakin menurun pada periode
sebelumnya. Periode ini dalam sejarah perkembangan fiqh dikenal juga
dengan periode taqlid secara merata.Pada masa ini, ulama fiqh lebih banyak
memberikan penjelasan terhadap kandungan kitab fiqh yang telah disusun
dalam mazhab masing-masing.
Penjelasan yang dibuat bisa berbentuk mukhtasar (ringkasan) dari buku-
buku yang muktabar (terpandang) dalam mazhab atau hasyiah dan takrir
(memperluas dan mempertegas pengertian lafal yang di kandung buku
mazhab), tanpa menguraikan tujuan ilmiah dari kerja hasyiah dan takrir
tersebut.

Setiap ulama berusaha untuk menyebarluaskan tulisan yang ada dalam


mazhab mereka. Hal ini berakibat pada semakin lemahnya kreativitas ilmiah
secara mandiri untuk mengantisipasi perkembangan dan tuntutan zaman.
Tujuan satu-satunya yang bisa ditangkap dari gerakan hasyiah dan takrir
adalah untuk mempermudah pemahaman terhadap berbagai persoalan yang
dimuat kitab-kitab mazhab. Mustafa Ahmad az-Zarqa menyatakan bahwa ada
tiga ciri perkembangan fiqh yang menonjol pada periode ini :

1). Munculnya upaya pembukuan terhadap berbagai fatwa, sehingga banyak


bermunculan buku yang memuat fatwa ulama yang berstatus sebagai pemberi
fatwa resmi (mufti) dalam berbagai mazhab. Kitab-kitab fatwa yang disusun
ini disistematisasikan sesuai dengan pembagian dalam kitab-kitab fiqh. Kitab-
kitab fatwa ini mencerminkan perkembangan fiqh ketika itu, yaitu menjawab
persoalan yang diajukan kepada ulama fiqh tertentu yang sering kali merujuk
pada kitab-kitab mazhab ulama fiqh tersebut.

2).Muncul beberapa produk fiqh sesuai dengan keinginan penguasa Turki


Usmani, seperti diberlakukannya istilah at-Taqaddum (kedaluwarsa) di
pengadilan. Disamping itu, fungsi ulil amri (penguasa) dalam menetapkan
hukum (fiqh) mulai diakui, baik dalam menetapkan hukum Islam dan
penerapannya maupun menentukan pilihan terhadap pendapat tertentu.
Sekalipun ketetapan ini lemah, namun karena sesuai dengan tuntutan
kemaslahatan zaman, muncul ketentuan dikalangan ulama fiqh bahwa
ketetapan pihak penguasa dalam masalah ijtihad wajib dihormati dan
diterapkan. Contohnya, pihak penguasa melarang berlakunya suatu bentuk
transaksi. Meskipun pada dasarnya bentuk transaksi itu dibolehkan syara',
tetapi atas dasar pertimbangan kemaslahatan tertentu maka transaksi tersebut
dilarang, atau paling tidak untuk melaksanakan transaksi tersebut diperlukan

34
pendapat dari pihak pemerintah. Misalnya, seseorang yang berutang tidak
dibolehkan mewakafkan hartanya yang berjumlah sama dengan utangnya
tersebut, karena hal itu merupakan indikator atas sikapnya yang tidak mau
melunasi utang tersebut.

Fatwa ini dikemukakan oleh Maula Abi as-Su 'ud (qadi Istanbul pada
masa kepemimpinan Sultan Sulaiman al-Qanuni [1520-1566] dan Salim
[1566-1574] dan selanjutnya menjabat mufti Kerajaan Turki Usmani).
3).Di akhir periode ini muncul gerakan kodifikasi hukum (fiqh) Islam sebagai
mazhab resmi pemerintah. Hal ini ditandai dengan prakarsa pihak pemerintah
Turki Usmani, seperti Majalah al-Ahkam al-'Adliyyah yang merupakan
kodifikasi hukum perdata yang berlaku di seluruh Kerajaan Turki Usmani
berdasarkan fiqh Mazhab Hanaf

PERTEMUAN KE III Bidang Ibadah

1. Pengertian Ibadah

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Menurut pengertian syari’at


ibadah itu adalah suatu ungkapan yang memadukan antara kesempurnaan
rasa cinta, ketundukan, dan rasa takut.” Ibadah pada asalnya mengandung
makna perendahan diri, akan tetapi ibadah yang diperintahkan oleh Allah
kepada hamba-hamba-Nya adalah suatu bentuk perendahan diri yang paling
tinggi kepada Allah dengan disertai puncak rasa cinta kepada-Nya. Seorang
yang menundukkan dirinya kepada orang lain namun menyimpan rasa benci
kepadanya tidaklah dianggap beribadah kepadanya. Demikian juga orang yang
mencintai seseorang namun tidak menundukkan diri kepadanya pun tidak
dikatakan beribadah kepadanya.

Oleh sebab itu kedua pilar ibadah tersebut -yaitu perendahan diri dan
puncak kecintaan- itu harus selalu ada dalam menjalani ibadah kepada Allah.
Bahkan Allah harus lebih dicintainya daripada segala sesuatu dan menjadi
sosok yang paling agung daripada segala-galanya. Bahkan, tidaklah berhak
untuk mendapatkan rasa cinta dan ketundukan yang sempurna kecuali Allah
semata. Segala sesuatu yang dicintai bukan karena Allah maka kecintaannya
adalah kecintaan yang rusak/tidak sah. Begitu pula tidaklah sesuatu selain
Allah diagung-agungkan tanpa perintah dari-Nya melainkan pengagungan itu
adalah sebuah kebatilan

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata,


“Ibadah adalah kecintaan dan tundukan secara total, disertai kesempurnaan
rasa takut dan perendahan diri.” Beliau memberikan definisi ibadah yang
cukup bagus, bahwa ibadah merupakan perendahan diri kepada Allah yang
dilandasi rasa cinta dan pengagungan dengan cara melaksanakan perintah-
perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya sebagaimana yang
dituntunkan dalam syari’at-Nya

1.Ruang lingkup ibadah

35
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Ibadah
merupakan sebuah istilah yang mencakup segala sesuatu yang dicintai dan
diridhai Allah, berupa ucapan dan perbuatan, yang batin maupun lahir. Ini
artinya sholat, zakat, puasa, haji, jujur dalam berbicara, menunaikan amanat,
berbakti kepada kedua orang tua, menyambung tali kekerabatan, menepati
janji, memerintahkan yang ma’ruf, melarang yang mungkar, berjihad
memerangi orang kafir dan munafik, berbuat baik kepada tetangga, anak
yatim, orang miskin, ibnu sabil, maupun kepemilikan dari kalangan manusia
(budak) atau binatang piaraan, berdoa, berdzikir, membaca al-Qur’an, dan
lain sebagainya itu semua adalah ibadah. Demikian juga kecintaan kepada
Allah dan rasul-Nya, rasa takut kepada Allah, inabah kepada-Nya,
mengikhlaskan agama untuk-Nya, bersabar menghadapi ketetapan-Nya,
mensyukuri nikmat-Nya, ridha dengan takdir-Nya, bertawakal kepada-Nya,
mengharapkan rahmat-Nya, takut kepada azab-Nya, dan semisalnya [itu
semua juga] termasuk ibadah kepada Allah.”

Syaikh Abdul Aziz ar-Rajihi hafizhahullah menerangkan, “Dengan


ungkapan lain, dapat dikatakan bahwa ibadah adalah melaksanakan perintah-
perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Tercakup di dalamnya
menunaikan kewajiban-kewajiban dan menjauhkan diri dari berbagai hal yang
diharamkan. Melakukan hal-hal yang wajib dan meninggalkan hal-hal yang
diharamkan; yaitu dengan melakukan kewajiban-kewajiban yang Allah
wajibkan baik berupa ucapan maupun perbuatan, yang bersifat batin maupun
lahir. Meninggalkan hal-hal yang diharamkan, baik yang berupa ucapan
maupun perbuatan, yang batin maupun yang lahir.”

Syaikh al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Ibadah mencakup


melakukan segala hal yang diperintahkan Allah dan meninggalkan segala hal
yang dilarang Allah. Sebab jika seseorang tidak memiliki sifat seperti itu
berarti dia bukanlah seorang ‘abid/hamba. Seandainya seorang tidak
melakukan apa yang diperintahkan, orang itu bukan hamba yang sejati.
Seandainya seorang tidak meninggalkan apa yang dilarang, orang itu bukan
hamba yang sejati. Seorang hamba -yang sejati- adalah yang menyesuaikan
dirinya dengan apa yang dikehendaki Allah secara syar’i.” Dengan ungkapan
yang lebih sederhana, dapat disimpulkan bahwa ibadah adalah melakukan
segala sesuatu yang membuat Allah subhanahu wa ta’ala ridha

2. Pilar-Pilar Ibadah

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah mengatakan,


“Ibadah dibangun di atas dua perkara; cinta dan pengagungan. Dengan rasa
cinta maka seorang akan berjuang menggapai keridhaan Allah. Dengan
pengagungan maka seorang akan menjauhi dari terjerumus dalam kedurhakaan
kepada-Nya. Karena kamu mengagungkan-Nya maka kamu pun merasa takut
kepada-Nya. Dan karena kamu mencintai-Nya, maka kamu pun berharap dan
mencari keridhaan-Nya.”

Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan,


“Ibadah yang diperintahkan itu mengandung perendahan diri dan kecintaan.
Ibadah ini ditopang oleh tiga pilar; cinta, harap, dan takut. Ketiga pilar ini

36
harus berpadu. Barangsiapa yang hanya bergantung kepada salah satunya
maka dia belum beribadah kepada Allah dengan benar. Beribadah kepada
Allah dengan modal cinta saja adalah metode kaum Sufi. Beribadah kepada-
Nya dengan rasa harap semata adalah metode kaum Murji’ah. Adapun
beribadah kepada-Nya dengan modal rasa takut belaka, maka ini adalah
jalannya kaum Khawarij.”

3. Syarat Diterimanya Ibadah

   


  
  
   
  
  
  
  
Artinya : Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu,
yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah
Tuhan yang Esa". Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya,
Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia
mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya". (QS. Al-
Kahfi: 110).

Imam Ibnu Katsir rahimahullah menerangkan bahwa amal salih


ialah amalan yang sesuai dengan syari’at Allah, sedangkan tidak
mempersekutukan Allah maksudnya adalah amalan yang diniatkan untuk
mencari wajah Allah (ikhlas), inilah dua rukun amal yang akan diterima di
sisi-Nya

Fudhail bin Iyadh rahimahullah berkata, “Sesungguhnya amalan


jika ikhlas namun tidak benar maka tidak akan diterima. Demikian pula
apabila amalan itu benar tapi tidak ikhlas juga tidak diterima sampai ia ikhlas
dan benar. Ikhlas itu jika diperuntukkan bagi Allah, sedangkan benar jika
berada di atas Sunnah/tuntunan.”

Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi


wa sallam bersabda, “Allah tabaraka wa ta’ala berfirman, ‘Aku adalah Dzat
yang paling tidak membutuhkan sekutu. Barangsiapa yang melakukan suatu
amalan yang di dalamnya dia mempersekutukan selain-Ku bersama diri-Ku
maka Kutinggalkan dia bersama kesyirikannya.” (HR. Muslim)

Dari Umar bin al-Khaththab radhiyallahu’anhu, Rasulullah


shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya setiap amal dinilai
dengan niat. Dan setiap orang akan mendapat balasan sesuai dengan niatnya.
Barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya
kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya kepada dunia
yang ingin dia dapatkan atau karena wanita yang ingin dia nikahi, maka
hijrahnya kepada apa yang dia niatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

37
Hadits ini menunjukkan betapa pentingnya niat dalam kehidupan
seorang muslim. Ia laksana ruh bagi tubuhnya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullah berkata, “Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Innamal
a’maalu bin niyaat adalah kalimat yang komprehensif dan sempurna, sebab
niat bagi amalan laksana ruh bagi jasad.”

Dari Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu’anhu, beliau menceritakan


bahwa dahulu ada seorang lelaki yang datang menemui Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Lalu dia bertanya, “Ada orang yang berperang untuk
fanatisme kelompok, berperang untuk menunjukkan keberanian, dan
berperang untuk mendapat pujian. Manakah diantara itu semua yang berada di
jalan Allah?”. Maka beliau menjawab, “Barangsiapa yang berperang demi
meninggikan kalimat Allah, maka itulah yang berjihad di jalan Allah.” (HR.
Bukhari dan Muslim)

Dari Abdurrahman bin Yazid, dari Salman radhiyallahu’anhu. Dia


(Abdurrahman) berkata: Ada orang –dalam riwayat lain disebutkan bahwa
mereka adalah orang-orang musyrik- yang berkata kepada Salman, “Nabi
kalian -shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah mengajarkan segalanya, sampai
urusan tata cara buang air sekalipun.” Abdurrahman berkata: Maka dia
(Salman) pun menjawab, “Ya, benar. Beliau melarang kami menghadap kiblat
ketika buang air besar atau buang air kecil. Beliau juga melarang kami cebok
dengan tangan kanan atau istinja’ dengan batu yang jumlahnya kurang dari
tiga batu. Beliau pun melarang kami istinja’ dengan kotoran binatang atau
tulang.” (HR. Muslim)

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, hadits yang agung ini


merupakan salah satu dalil yang menunjukkan kesempurnaan ajaran Islam.
Bahkan, musuh-musuh Islam pun mengakui hal itu, walaupun mereka tidak
menyukainya. Mereka tidak sanggup menyembunyikan keheranan dan
kekaguman mereka terhadap ajaran yang diturunkan dari sisi Rabb alam
semesta ini. Ajaran yang demikian lengkap dan sempurna. Ajaran yang tidak
meninggalkan masalah kecil dan yang besar di dalam lembaran kehidupan
melainkan telah ada aturannya. Aturan yang diajarkan bagi setiap muslim
guna menjalani hidupnya, semenjak hari ia dilahirkan, hingga pada saat ia
diletakkan di liang kubur.

Dari Ummul Mukminin Ummu Abdillah ‘Aisyah radhiyallahu’anha


beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa yang mengada-adakan suatu perkara di dalam urusan [agama]
kami ini yang bukan berasal darinya, maka ia pasti tertolak.” (HR. Bukhari
dan Muslim). Di dalam riwayat Muslim, “Barangsiapa yang melakukan suatu
amalan yang tidak ada tuntunannya dari kami, maka ia pasti tertolak.”

Ibnul Majisyun berkata: Aku pernah mendengar Malik berkata,


“Barangsiapa yang mengada-adakan di dalam Islam suatu bid’ah yang dia
anggap baik (baca: bid’ah hasanah), maka sesungguhnya dia telah menuduh
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkhianati risalah. Sebab Allah
berfirman (yang artinya), “Pada hari ini telah Aku sempurnakan agama

38
kalian.” Apa-apa yang pada hari itu bukan termasuk ajaran agama, maka hari
ini hal itu bukan termasuk agama.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Simpul pokok


ajaran agama ada dua: kita tidak beribadah kecuali hanya kepada Allah, dan
kita beribadah kepada-Nya hanya dengan syari’at-Nya. Kita tidak beribadah
kepada-Nya dengan bid’ah-bid’ah. Hal itu sebagaimana firman Allah ta’ala

    


  
  
 

Artinya … “Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan
Rabbnya, hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan
sesuatupun dalam beribadah kepada Rabbnya.” (QS. al-Kahfi: 110).”

4. Intisari Ibadah

Intisari ibadah adalah doa/permintaan. Tidaklah seorang hamba


melakukan suatu bentuk ibadah melainkan dia mengharapkan pahala dan
keselamatan dari siksa. Ini artinya secara lisanul hal itu menunjukkan bahwa
apa yang dia lakukan sebenarnya juga mengandung doa/permintaan.
Adakalanya perbuatan (amal ibadah) itu juga disertai doa dengan lisannya, dan
adakalanya tidak disertai doa/permohonan

Dari an-Nu’man bin Basyir radhiyallahu’anhuma, Nabi shallallahu


‘alaihi wa sallam bersabda, “Doa adalah intisari ibadah.” Kemudian beliau
membaca ayat yang berbunyi :
  
   
  
 
  
Artinya : Dan Tuhanmu berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan
Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan
diri dari menyembah-Ku[1326] akan masuk neraka Jahannam dalam Keadaan
hina dina".( (QS. Ghafir/al-Mu’min [40]: 60) (HR. Tirmidzi dinyatakan sahih
oleh Syaikh al-Albani)
[1326] Yang dimaksud dengan menyembah-Ku di sini ialah berdoa kepada-Ku.

Dalam hadits yang lain, dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma, beliau


berkata, “Seutama-utama ibadah adalah doa.” Lalu beliau membaca ayat (yang
artinya), “Rabbmu berfirman: Berdoalah kalian kepada-Ku niscaya Aku
kabulkan permintaan kalian. Sesungguhnya orang-orang yang
menyombongkan diri dari beribadah kepada-Ku pasti akan masuk ke dalam
Jahannam dalam keadaan hina.” (QS. Ghafir: 60) (HR. al-Hakim dalam al-
Mustadrak)

39
Hakikat dan hikmah Ibadah

Allah ta’ala berfirman


   
  
Artinya: “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat [51] : 56). Imam Ibnu Katsir
rahimahullah menyimpulkan bahwa makna ayat di atas adalah,
“Sesungguhnya Aku menciptakan mereka tidak lain untuk Aku perintahkan
mereka beribadah kepada-Ku, bukan karena kebutuhan-Ku kepada mereka.”

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Bahkan, ibadah kepada Allah,


ma’rifat, tauhid, dan syukur kepada-Nya itulah sumber kebahagiaan hati
setiap insan. Itulah kelezatan tertinggi bagi hati. Kenikmatan terindah yang
hanya akan diraih oleh orang-orang yang memang layak untuk
mendapatkannya…”

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Dia (Allah)


tidaklah membutuhkan ibadahmu. Seandainya kamu kafir maka kerajaan
Allah tidak akan berkurang. Bahkan, kamulah yang membutuhkan diri-Nya.
Kamulah yang memerlukan ibadah itu. Salah satu bentuk kasih sayang Allah
adalah dengan memerintahkanmu beribadah kepada-Nya demi kemaslahatan
dirimu sendiri. Jika kamu beribadah kepada-Nya, maka Allah subhanahu wa
ta’ala akan memuliakanmu dengan balasan dan pahala. Ibadah menjadi sebab
Allah memuliakan kedudukanmu di dunia dan di akherat. Jadi, siapakah yang
memetik manfaat dari ibadah? Yang memetik manfaat dari ibadah adalah
hamba. Adapun Allah jalla wa ‘ala, Dia tidak membutuhkan makhluk-Nya.”

Ibadah juga terkadang ditafsirkan oleh para ulama dengan tauhid;


sebab ia merupakan syarat utamanya. Sebagaimana dalam riwayat yang
dibawakan Imam Ibnu Katsir dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma mengenai
maksud firman Allah

 
 
  
  

Artinya, “Wahai umat manusia, beribadahlah kepada Rabb kalian.” (QS. al-
Baqarah [2] : 21). Imam al-Baghawi rahimahullah menukil ucapan Ibnu
‘Abbas radhiyallahu’anhuma, beliau berkata, “Setiap istilah ibadah yang
disebutkan di dalam al-Qur’an maka maknanya adalah tauhid.”

Syaikh Muhammad at-Tamimi rahimahullah berkata, “Ketahuilah,


bahwa ibadah tidaklah disebut dengan ibadah kecuali jika bersama dengan
tauhid. Sebagaimana sholat tidak disebut sholat kecuali jika bersama dengan

40
thaharah. Apabila syirik memasuki ibadah maka rusaklah ia, sebagaimana
hadats yang menimpa pada orang yang telah bersuci.”

Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah mengatakan,


“Makna ‘supaya mereka beribadah kepada-Ku- adalah agar mereka
mengesakan Aku (Allah, pent) dalam beribadah. Atau dengan ungkapan lain
‘supaya mereka beribadah kepada-Ku’ maksudnya adalah agar mereka
mentauhidkan Aku; karena tauhid dan ibadah itu adalah sama (tidak bisa
dipisahkan, pent).”

Syaikh Zaid bin Hadi al-Madkhali hafizhahullah berkata, “Patut


dimengerti, sesungguhnya tidak ada seorang pun yang meninggalkan ibadah
kepada Allah melainkan dia pasti memiliki kecondongan beribadah kepada
selain Allah. Mungkin orang itu tidak tampak memuja patung atau berhala.
Tidak tampak memuja matahari dan bulan. Akan tetapi, dia menyembah hawa
nafsu yang menjajah hatinya sehingga memalingkan dirinya dari beribadah
kepada Allah.”

B. Kajian Thaharah

1.Pengertian, Macam dan Bentuk Thaharah

Secara bahasa, thaharah artinya membersihkan kotoran, baik kotoran


yang berwujud maupun kotoran yang tidak berwujud. Secara istilah, thaharah
artinya menghilangkan hadats, najis, dan kotoran (dari tubuh, yang
menyebabkan tidak sahnya ibadah lainnya) yaitu dengan menggunakan air
atau tanah yang bersih.

2.Thaharah terbagi menjadi dua.

Thaharah terbagi menjadi dua secara batin dan lahir, keduanya


termasuk di antara cabang keimanan: Thaharah bathiniyah: ialah
menyucikan diri dari kotoran kesyirikan dan kemaksiatan dari diri dengan
cara menegakkan tauhid dan beramal saleh. Sedangkan Thaharah lahiriyah:
ialah menyucikan diri menghilangkan hadats dan najis, yaitu :
1. Wudhu 2. Mandi 3. Tayammum 4. Istinja. Thaharah dengan air seperti
Wudhu dan Mandi besar (Junub), dan ini adalah bentuk bersuci secara asal.
Thaharah dengan tanah (debu) yakni tayamum sebagai pengganti air ketika
tidak ada air ataupun sedang sakit.

3. Kriteria air adalah sebagai berikut :

a. Air yang suci dan menyucikan


b. Air suci, tetapi tidak menyucikan
c. Air yang bernajis
d. Air yang makruh
Di antara keempat macam air di atas, hanya air yang suci dan menyucikan
sajalah yang paling cocok dan boleh digunakan untuk berthaharah.
Pengertian Thaharah di atas, sebagaimana firman Allah Swt. yang berbunyi :

41
 
    
 
   
 
   
   
    
 
 
.

Artinya : . Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu


adalah suatu kotoran". oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri[137]
dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum
mereka suci[138]. apabila mereka telah Suci, Maka campurilah mereka itu di
tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.
(QS.Al-Baqarah [2] : 222)
[137] Maksudnya menyetubuhi wanita di waktu haidh.
[138] Ialah sesudah mandi. Adapula yang menafsirkan sesudah berhenti darah
keluar.

4.Pengertian Kotoran dan Najis

Kotoran berasal dari kata kotor, artinya tidak bersih, seperti pakaian
yang kena keringat. Adapun najis adalah sesuatu yang keluar dari dalam
tubuh manusia atau hewan seperti air kencing, kotoran manusia atau kotoran
hewan. Dengan demikian, kesimpulan sementara adalah kotor belum tentu
najis, sedangkan barang yang terkena najis pasti kotor
Dengan demikian, jelaslah bahwa pakaian yang kotor karena terkena keringat
dapat dipakai untuk shalat dan sah shalatnya. Akan tetapi, baju yang bersih
walaupun belum dipakai namun telah terkena najis, lalu dipakai shalat, maka
shalatnya tidak sah.
Perlu dibedakan antara najis dan hadats. Najis kadang kita
temukan pada badan, pakaian dan tempat. Sedangkan hadats terkhusus kita
temukan pada badan. Najis bentuknya konkrit, sedangkan hadats itu abstrak
dan menunjukkan keadaan seseorang. Ketika seseorang selesai berhubungan
badan dengan istri (baca: jima’), ia dalam keadaan hadats besar. Ketika ia
kentut, ia dalam keadaan hadats kecil. Sedangkan apabila pakaiannya terkena
air kencing, maka ia berarti terkena najis. Hadats kecil dihilangkan dengan
berwudhu dan hadats besar dengan mandi. Sedangkan najis, asalkan najis
tersebut hilang, maka sudah membuat benda tersebut suci.

a) Najis terbagi menjadi 3 macam, yaitu :

a.Najis Berat (Mughollazhoh) yaitu Najis anjing dan babi dan anak dari
keduanya.

42
b.Najis Ringan (Mukhaffafah) yaitu Najis air kencing anak laki-laki dibawah
umur 2 tahun yang belum makan apa-apa kecuali ASI dari ibunya.
c.Najis Sedang (Mutawassithoh) yaitu Najis berupa kotoran, air kencing, air
wadzi, air madzi, darah, nanah, air yang terkena luka, muntah dari perut,
dan lain-lain.

b) Hukum Asal Segala Sesuatu adalah Suci

Terdapat suatu kaedah penting yang harus diperhatikan yaitu segala


sesuatu hukum asalnya adalah mubah dan suci. Barangsiapa mengklaim
bahwa sesuatu itu najis maka dia harus mendatangkan dalil. Namun, apabila
dia tidak mampu mendatangkan dalil atau mendatangkan dalil namun kurang
tepat, maka wajib bagi kita berpegang dengan hukum asal yaitu segala sesuatu
itu pada asalnya suci. Menyatakan sesuatu itu najis berarti menjadi beban
taklif, sehingga hal ini membutuhkan butuh dalil.

5. Pengertian Hadas

Hadats secara etimologi (bahasa), artinya tidak suci atau keadaan


badan tidak suci – jadi tidak boleh shalat. Adapun menurut terminologi
(istilah) Islam, hadats adalah keadaan badan yang tidak suci atau kotor dan
dapat dihilangkan dengan cara berwudhu, mandi wajib, dan tayamum. Dengan
demikian, dalam kondisi seperti ini dilarang (tidak sah) untuk mengerjakan
ibadah yang menuntut keadaan badan bersih dari hadats dan najis, seperti
shalat, thawaf, ’itikaf.

a. Yang termasuk Hadas Kecil :

Buang Air Kecil (BAK).


Buang Air Besar (BAB).
Hilang akal karena sakit, mabuk, atau gila.
Tidur nyenyak, kecuali yang tidur dengan posisi duduk.
Bersentuhan dengan lawan jenis.
Memegang kemaluan sendiri.
Buang Angin (kentut).
Tidur dengan pantat terbuka.

b.Hal-hal yang diharamkan ketika dalam keadaan hadas kecil :

Mendirikan shalat.
Tawaf.
Menyentuh Al-Qur'an.

c.Yang termasuk Hadas Besar :

Keluarnya sperma disertai syahwat laki-laki atau perempuan, baik dalam tidur
ataupun terjaga.
Bertemunya dua kelamin.
Selesai menjalani masa haid dan nifas.
Meninggal dunia.

43
d.Hal-hal yang diharamkan ketika dalam keadaan hadas besar :

Mendirikan Shalat.
Tawaf.
Menyentuh Al-Qur'an dan membacanya.
I'tikaf.
Berpuasa.
Berjima'.

PERTEMUAN KE IV ; SHALAT

A. Pengertian Sholat Fardhu

Shalat merupakan salah satu kewajiban bagi kaum muslimin yang


sudah mukallaf dan harus dikerjakan baik ada dirumah maupun dalam
perjalanan. Shalat merupakan rukun Islam kedua setelah syahadat. Islam
didirikan atas lima sendi (tiang) salah satunya adalah shalat, sehingga barang
siapa mendirikan shalat ,maka ia mendirikan agama (Islam), dan barang siapa
meninggalkan shalat,maka ia meruntuhkan agama (Islam).

Shalat harus didirikan dalam satu hari satu malam sebanyak lima kali,
berjumlah 17 rakaat. Shalat tersebut merupakan wajib yang harus
dilaksanakan tanpa kecuali bagi muslim mukallaf baik sedang sehat maupun
sakit. Selain shalat wajib ada juga shalat sunah.

Secara bahasa shalat berarti do’a dan secara istilah, para ahli fiqih
mengartikan dua sisi. Secara lahiriah shalat berarti beberapa ucapan dan
perbuatan yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam, yang
dengannya kita beribadah kepada Allah menurut syarat – syarat yang telah
ditentukan (Sidi Gazalba,88)

Adapun secara hakikinya ialah “berhadapan hati (jiwa) kepada Allah,


secara yang mendatangkan takut kepada-Nya serta menumbuhkan di dalam
jiwa rasa kebesarannya dan kesempurnaan kekuasaan-Nya” atau
“mendahirkan hajat dan keperluan kita kepada Allah yang kita sembah dengan
perkataan dan pekerjaan atau dengan kedua – duanya” (Hasbi Asy-Syidiqi,
59)
Dalam pengertian lain shalat ialah salah satu sarana komunikasi antara
hamba dengan Tuhannya sebagai bentuk, ibadah yang di dalamnya merupakan
amalan yang tersusun dari beberapa perkataan dan perbuatan yang dimulai
dengan takbiratul ikhram dan diakhiri dengan salam, serta sesuai dengan
syarat dan rukun yang telah ditentukan syara’ (Imam Bashari Assayuthi, 30)

Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa shalat


adalah merupakan ibadah kepada Tuhan, berupa perkataan denga perbuatan
yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam menurut syarat dan
rukun yang telah ditentukan syara”. Juga shalat merupakan penyerahan diri

44
(lahir dan bathin) kepada Allah dalam rangka ibadah dan memohon ridho-
Nya.

Pengertian shalat menurut Ash Shiddieqy dari ta’rif shalat yang


menggambarkan ruhus shalat (jiwa shalat); yaitu berharap kepada Allah
dengan sepenuh jiwa, dengan segala khusyu’ dihadapan-Nya dan berikhlas
bagi-Nya serta hadir hati dalam berdzikir, berdo’a dan memuji.
Inilah ruh atau jiwa shalat yang benar dan sekali-kali tidak disyari’atkan shalat
karena rupanya, tetapi disyari’atkan karena mengingat jiwanya (ruhnya).

Dalam pengertian lain shalat ialah salah satu sarana komunikasi antara
hamba dengan Tuhannya sebagai bentuk, ibadah yang di dalamnya merupakan
amalan yang tersusun dari beberapa perkataan dan perbuatan yang dimulai
dengan takbiratul ikhram dan diakhiri dengan salam, serta sesuai dengan
syarat dan rukun yang telah ditentukan syara’ (Imam Bashari Assayuthi, 30)

Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa shalat


adalah merupakan ibadah kepada Tuhan, berupa perkataan denga perbuatan
yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam menurut syarat dan
rukun yang telah ditentukan syara”. Juga shalat merupakan penyerahan diri
(lahir dan bathin) kepada Allah dalam rangka ibadah dan memohon ridho-
Nya.

Khusyu’ secara bahasa berasal dari kata khasya’a-yakhsya’u-


khusyu’an, atau ikhta dan takhasysya’a yang artinya memusatkan penglihatan
pada bumi dan memejamkan mata, atau meringankan suara ketika shalat.
Khusyu’ secara bahasa juga bisa diartikan sungguh-sungguh penuh
penyerahan dan kebulatan hati; penuh kesadaran hati. Arti khusyu’ itu lebih
dekat dengan khudhu’ yaitu tunduk, dan takhasysyu’ yaitu membuat diri
menjadi khusyu’. Khusyu’ ini dapat terjadi baik pada suara, badan maupun
penglihatan. Tiga anggota itulah yang menjadi tanda (simbol) kekhusyu’an
seseorang dalam shalat.

Khusyu’ menurut istilah syara’ adalah keadaan jiwa yang tenang dan
tawadhu’ (rendah hati), yang kemudian pengaruh khusyu’ dihati tadi akan
menjadi tampak pada anggota tubuh yang lainnya. Sedang menurut A.
Syafi’i khusyu’ adalah menyengaja, ikhlas dan tunduk lahir dan batin; dengan
menyempurnakan keindahan bentuk/sikap lahirnya, serta memenuhinya
dengan kehadiran hati, kesadaran dan pengertian (penta’rifan) segala ucapan
bentuk/sikap lahir itu.

. Dengan kata lain shalat sebagai mediator untuk k,jxddesxxddmengatasi


segala permasalahan manusia sehari-hari yang berhubungan dengan psikis,
karena shalat merupakan kewajiban peribadatan (formal) yang paling penting
dalam sistem keagamaan Islam.

B. Hukum Shalat

45
Secara garis besar, ada dua hukum shalat di dalam syariat Islam, yakni
shalat yang hukumnya fardhu dan shalat yang hukumnya sunnah. Berikut
adalah rincian dari dua hukum tersebut:

a. Shalat yang Hukumnya Fardhu

Ibadah shalat ini dihukumi sebagai fardhu karena wajib dilakukan


kaum Muslim yang telah memenuhi syarat untuk shalat. Shalat fardhu ini
dibagi menjadi dua macam, yakni shalat yang hukumnya fardhu ‘ain dan
shalat yang hukumnya fardhu kifayah.

Shalat yang hukumnya fardhu ‘ain adalah shalat yang wajib dilakukan
oleh setiap orang Islam yang memenuhi syarat untuk shalat. Shalat fardhu
‘ain ini adalah shalat lima waktu, yakni shalat Zhuhur, shalat Ashar, shalat
Maghrib, shalat Isya, dan shalat Shubuh. Sedangkan shalat yang hukumnya
fardhu kifayah adalah shalat yang wajib dilakukan oleh semua umat Islam,
namun apabila sebagian dari kaum Muslim sudah ada yang melaksanakannya
maka gugurlah kewajiban Muslim yang lainnya. Shalat yang hukumnya
fardhu kifayah ini adalah shalat jenazah.

b. Shalat yang Hukumnya Sunnah

Selain shalat yang hukumnya fardhu, di dalam Islam juga ada shalat
yang hukumnya sunnah ini adalah shalat Rawatib, shalat Tahajjud, shalat
Dhuha, shalat Istikharah, shalat Hajat, shalat Taubat, dan beberapa shalat
sunnah lainnya yang pernah diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW.

C. Kedudukan Shalat

Shalat merupakan salah satu rukun Islam yang menjadi bagian penting
untuk tegak dan tidaknya bangunan agama Islam seseorang. Siapa yang
menegakan shalat berarti ia telah menegakkan agamanya dan siapa yang
meninggalkan shalat berarti ia telah meruntuhkan agamanya. Ingatlah bahwa
shalat itu merupakan al ‘imad ad-diin (tiangnya agama) dan amalan pertama
yang akan dihisab.

Di dalam Al-Qur’an, Allah SWT banyak sekali berfirman tentang


kewajiban untuk mengerjakan shalat lima waktu. Di antaranya adalah sebagai
berikut:
 
 
 
 
Artinya : Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-
orang yang ruku'[44].[44] Yang dimaksud ruku Ialah: shalat berjama'ah dan
dapat pula diartikan: tunduklah kepada perintah-perintah Allah bersama-sama
orang-orang yang tunduk. (QS Al-Baqarah [2]: 43
Kemudian Allah berfirman di ayat lain yang berbunyi :

46
  
  
  
  
   
  
 

Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di
Artinya :
waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. kemudian apabila
kamu telah merasa aman, Maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa).
Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-
orang yang beriman. (QS Al-Nisa’ [4]: 103)
Firman Allah yang lainnya :
    
  
 
 
Artinya : “Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak)
selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat
Aku.” (QS Thaha [20]: 14)
Firman Allah yang lainnya :

    …


 
    
   

Artinya :…Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji
dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar
(keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang
kamu kerjakan.” (QS Al-‘Ankabut [29]: 45)

Shalat mempunyai kedudukan yang sangat tinggi di dalam Islam.


Terutama shalat wajib lima waktu, kedudukannya dalam rukun Islam
didahulukan, setelah mengakui diri sebagai orang Islam atau membaca dua
kalimat shahadat, sebelum kewajiban yang lainnya.

Sebagaimana yang sudah kita ketahui, bahwa Islam itu ditegakkan oleh
lima perkara yang disebut sebagai rukun Islam. Yakni, membaca dua kalimat
syahadat, mengerjakan shalat lima waktu dalam sehari semalam, menunaikan
zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, dan melaksanakan ibadah haji bagi yang
mempunyai kemampuan.

Setelah mengakui diri sebagai seorang Muslim dengan mengucapkan


dua kalimat syahadat, kewajiban pertama dan utama yang harus dilaksanakan
47
adalah shalat lima waktu. Tanpa melakukan shalat lima waktu, berarti
seseorang telah meruntuhkan keagamaannya sendiri. Sebab, shalat adalah
tiang agama.

Mengenai hal ini, Rasulullah SAW telah bersabda sebagai berikut:


“Shalat adalah tiang agama. Barangsiapa yang mengerjakannya berarti ia
menegakkan agama, dan barangsiapa yang meninggalkannya berarti ia
meruntuhkan agamanya.” (HR Baihaqi)
Sebagai tiang agama maka mengerjakan shalat merupakan tanda yang paling
nyata apakah seseorang beragama dengan baik atau justru menjadi orang yang
kufur. Rasulullah SAW bersabda:

“(Batas) antara hamba dan kekufuran adalah meninggalkan shalat.”


(HR Tirmidzi dan Abu Daud)

Shalat juga menjadi tolok ukur apakah amal seorang Muslim itu baik
atau tidak pada saat perhitungan amal di hari kiamat nanti. Jika shalat
seseorang baik maka amal yang lain dihitung sebagai amal yang baik.
Sebaliknya, jika shalat seseorang buruk maka amal yang lain dihitung sebagai
amal yang buruk.

Rasulullah SAW bersabda:

Artinya : “Pertama-tama amalan yang dihisab (dihitung) untuk seorang hamba


pada hari kiamat (nanti) adalah shalat. Apabila shalatnya itu bagus maka
baguslah amalan yang lain, dan apabila buruk maka buruk pulalah amalan
yang lain.” (HR Thabrani)

Betapa utama dan penting sebuah ibadah yang bernama shalat itu.
Sehingga, satu-satunya perintah dari Allah SWT yang disampaikan kepada
Nabi Muhammad SAW untuk umatnya secara langsung, hanyalah perintah
untuk melaksanakan shalat lima waktu. Yakni, pada saat Nabi Muhammad
SAW isra’ dan mi’raj, serta menghadap Allah SWT secara langsung di
Sidratul Muntaha. Hal ini berbeda dengan perintah yang lainnya, Allah SWT
menyampaikan wahyu melalui Malaikat Jibril a.s.

Sungguh, betapa utama dan pentingnya ibadah shalat lima waktu itu.
Sampai-sampai apabila seseorang tidak bisa mengerjakannya dengan berdiri
(karena sakit atau sebab yang lain), maka shalat bisa dilakukan dengan duduk.
Apabila seseorang tidak bisa mengerjakan shalat dengan duduk, maka shalat
bisa dikerjakan dengan miring. Apabila tetap tidak mampu juga, maka shalat
dapat dikerjakan dengan telentang atau berbaring. Semua ini menunjukkan
bahwa shalat adalah ibadah yang sama sekali tidak boleh ditinggalkan, kecuali
oleh hal-hal yang telah dibenarkan oleh syara’, misalnya wanita yang sedang
haid atau nifas, maka ia justru tidak boleh mengerjakan shalat.

Oleh karena itu, jangan sampai kita termasuk golongan orang-orang


yang tidak mengerjakan shalat. Di dalam Al-Qur’an disampaikan bahwa
tempat bagi orang-orang yang tidak mengerjakan shalat adalah di neraka.
Allah SWT berfirman:

48
    
   
 
Artinya :42. "Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?"43.
Mereka menjawab: "Kami dahulu tidak Termasuk orang-orang yang
mengerjakan shalat, (QS Al-Mudatstsir [74]: 42-43)

Setiap orang yang bisa berpikir dengan akal sehat, sudah barang tentu,
tidak ingin dimasukkan ke dalam neraka yang penuh dengan siksaan. Apalagi,
kehidupan di akhirat adalah sebuah kehidupan abadi yang sama sekali tidak
mungkin bisa kembali ke dunia untuk memperbaiki amalan. Maka, marilah
kita mengerjakan shalat dengan sebaik-baiknya. Dengan demikian, semoga
kita bisa dimasukkan ke dalam surga-Nya yang penuh dengan kenikmatan.
Apalagi, masuk surga bersama Rasulullah SAW, manusia agung junjungan
kita. Betapa sebuah nikmat yang luar biasa. Mengenai hal ini, marilah kita
perhatikan sebuah hadits berikut, yakni dari Rabi’ah bin Ka’ab, ia berkata:

“Aku pernah bermalam bersama Rasulullah SAW, lalu aku bawakan


beliau air wudhu dan beliau berkata kepadaku, ‘Mintalah!’ Aku pun berkata,
‘Aku meminta agar bisa menemani engkau di surga.’ Beliau bertanya, ‘Tidak
ada permintaan lain selain itu?’ Aku menjawab, ‘Hanya itu saja.’ Beliau
bersabda, ‘Bantulah aku untuk menolong dirimu dengan banyak sujud
(shalat).” (HR Muslim).

A. Syarat Wajib Shalat

1. Islam, Shalat diwajibkan hanya bagi orang Islam, berdasarkan sabda Nabi
sholallohu ‘alaihi wasalam kepada mu’adz :”Serulah mereka agar bersaksi
tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan Muhamad adalah
utusan Allah, jika mereka taat padam tentang itu, beritahulah mereka bahwa
Allah mewajibkan atas mereka shalat lima waktu pada setiap hari dan
malam.” (HR Bukhori)

2. Berakal dan Balig, Tidak wajib shalat bagi orang gila dan belum balig,
berdasarkan sabda Nabi sholallohu ‘alaihi wasalam , “Diangkat catatan dari
tiga perkara, orang yang tidur hingga ia bangun, anak-anak hingga balig,
dan orang gila hingga ia berakal”. (HR Abu Daud, Hakim)

3. Masuk waktu, Shalat adalah ibadah yang telah ditentukan waktu


pelaksanaannya, sebagaimana firman Alloh Ta’ala, “Sesungguhnya shalat
itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang
beriman” (QS. An Nisa : 103)

4. Bersih dari darah haid dan nifas, Bagi wanita yang haid atau nifas tidak
diwajibkan atasnya shalat sehingga ia suci, berdasarkan sabda Nabi
sholallohu ‘alaihi wasalam , “Apabila datang waktu haid, tinggalkanlah
shalat.” (Mutafaq ‘alaih)

49
B. Syarat Sah

1. Suci dari hadas kecil yang disucikan dengan wudlu, suci dari hadas besar
yang hilang dengan mandi janabat, suci dari najis yang ada pada pakaian,
badan dan tempat shalat, berdasarkan sabda Nabi sholallohu ‘alaihi wasalam ,
“Alloh tidak akan menerim shalat yang tidak suci”. (HR Muslim).

2. Tertutup aurat, berdasarkan firman Allah Ta’ala dalam surat al A’rof ayat
31, yang berbunyi :
   
  
 
 
    
 
Artinya : Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di Setiap
(memasuki) mesjid[534], Makan dan minumlah, dan janganlah
berlebih-lebihan[535]. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-
orang yang berlebih-lebihan.
[534] Maksudnya: tiap-tiap akan mengerjakan sembahyang atau thawaf keliling
ka'bah atau ibadat-ibadat yang lain.
[535] Maksudnya: janganlah melampaui batas yang dibutuhkan oleh tubuh dan
jangan pula melampaui batas-batas makanan yang dihalalkan.

Batasan aurat laki-laki adalah antara pusar dan lutut, sedangkan aurat
wanita adalah seluruh tubuh selain wajah dan dua telapak tangannya. Sabda
Nabi sholallohu ‘alaihi wasalam , “Alloh tidak akan menerima shalat yang
haid kecuali memakai khimar (kain yang menutupi kepala)”, dan dan
sabdanya ketika ditanya tentang shalat wanita yang memakai gamis dan
khimar tanpa kain, beliau menjawab, “Apabila gamisnya lebar menutupi
kedua kakinya” (HR At Tirmidzi)

3. Menghadap kiblat.

RUKUN SHALAT

1. Berdiri adalah wajib bagi orang yang mampu berdiri, tidak sah shalat sambil
duduk bagi orang yang mampu berdiri, firman Alloh Ta’ala, “Berdirilah
untuk Allah dengan khusyu” (QS al Baqoroh:238), dan sabda Nabi
sholallohu ‘alaihi wasalam kepada Imron bin Hushain, “Shalatlah sambil
berdiri, bila tidak mampu, sambil duduk, dan bila masi tidak mampu,
kerjakan sambil berbaring”. (HR Bukhori)

2 Niyat, yaitu keinginan yang kuat pada hati untuk melaksanakan shalat
tertentu berdasarkan sabda Nabi sholallohu ‘alaihi wasalam ,
“Sesusngguhnya setiap amal tergantung niyatnya” (HR Bukhori). Adapun
tempat niyat adalah dalam hati. Oleh karenanya tidak benar apabila niyat
shalat harus dilapadkan (membaca niyat tertentu untuk shalat tertentu).

50
3. dengan lapad “Allohu Akbar”, berdasarkan sabda Nabi sholallohu ‘alaihi
wasalam , “Kunci shalat adalah suci, awal pengharamnya adalah takbir, dan
penghalalnya adalah salam”. (HR Abu Daud, At Tirmidzi)

4. Baca al Fatihah, Nabi sholallohu ‘alaihi wasalam bersabda : “Tidak ada


shalat bagi yang tidak membaca fatihatul kitab (surat al Fatihah)” (HR
Bukhori). Lain halnya bagi ma’mum yang imamnya membaca surat dengan
jahar (keras), maka ia harus diam dan mendengarkan bacaan imam,
berdasarkan firman Alloh Ta’ala, “Dan apabila dibacakan Al Qur'an, maka
dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu
mendapat rahmat” (QS al A’rof : 204), dan sabda Nabi sholallohu ‘alaihi
wasalam, “Apabila imam takbir, maka takbirlah. Dan apabila imam
membaca surat, diamlah !” (HR Muslim)

5. Ruku’ dan I’tidal, sebagaimana sabda Nabi sholallohu ‘alaihi wasalam


kepada orang yang salah shalatnya, “Kemudian rukulah hingga
tumaninah, lalu bangkit hingga tegak berdiri”. (HR Bukhori)

6. Sujud dan Duduk di antara dua sujud, sebagaimana sabda Nabi sholallohu
‘alaihi wasalam kepada orang yang salah shalatnya, “Kemudian sujudlah
hingga tumaninah, lalu bangkit hingga tumaninah duduk”. (HR Bukhori),
dan firman Alloh Ta’ala, “Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu,
sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya
kamu mendapat kemenangan” (QS al Hajj : 77)

7. Tumaninah pada ruku, sujud, berdiri, dan duduk.

8. Duduk tasyahud, yakni duduk setelah rakaat kedua dan atau rakaat terakhir
sambil membaca do’a tahiyat.

9. Mengucapkan salam ke kanan dan ke kiri.

10. Tertib, yakni melakukan gerakan shalat berdasarkan urutannya, tidak sah
shalat yang membaca al Fatihah sebelum takbirotul irom, dan seterusnya.

D. Sejarah Dan Dalil Tentang Kewajiban Shalat

a). Sejarah Tentang Diwajibkan Shalat

Perintah tentang diwajibkannya mendirikan shalat tidak seperti Allah


mewajibkan zakat dan lainnya. Perintah mendirikan shalat yaitu melalui suatu
proses yang luar biasa yang dilaksanakan oleh Rasulullah SAW yaitu melalui
Isra dan Mi’raj, dimana proses ini tidak dapat dipahami hanya secara akal
melainkan harus secara keimanan sehingga dalam sejarah digambarkan
setelahnya Nabi melaksanakan Isra dan Mi’raj, umat Islam ketika itu terbagi
tiga golongan yaitu, :
1. yang secara terang – terangan menolak kebenarannya itu,
2. yang setengah – tengahnya dan
3. yang yakin sekali kebenarannya.

51
Dilihat dari prosesnya yang luar biasa maka shalat merupakan
kewajiban yang utama, yaitu mengerjakan shalat dapat menentukan amal –
amal yang lainnya, dan mendirikan sholat berarti mendirikan agama dan
banyak lagi yang lainnya

b). Dalil – Dalil Tentang Kewajiban Shalat


 
 
 
 
Artinya : Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang
ruku'[44].( Al-Baqarah,[2]: 43)

[44] Yang dimaksud Ialah: shalat berjama'ah dan dapat pula diartikan: tunduklah kepada
perintah-perintah Allah bersama-sama orang-orang yang tunduk.
Al-Baqarah [2] : 110
 
   
  
    
   
 
Artinya : Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat dan apa – apa yang
kamu usahakan dari kebaikan bagi dirimu, tentu kamu akan dapat pahalanya
pada sisi Allah sesungguhnya Allah maha melihat apa – apa yang kamu
kerjakan. Al –Ankabut [29]: 45
   
  
   
  
  
    
  
Artinya : Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, Yaitu Al kitab (Al
Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari
(perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah
(shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan
Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.
An-Nuur[24] : 56
 
 
 
  
Artinya : Dan kerjakanlah shalat, berikanlah zakat, dan taat kepada Rasul, agar
supaya kalian semua diberi rahmat

52
Dari dalil – dalil Al-Qur'an di atas tidak ada kata – kata perintah shalat dengan
perkataan “laksanakanlah” tetapi semuanya dengan perkataan “dirikanlah”.
Dari unsur kata – kata melaksanakan itu tidak mengandung unsur batiniah
sehingga banyak mereka yang Islam dan melaksanakan shalat tetapi mereka
masih berbuat keji dan munkar. Sementara kata mendirikan selain
mengandung unsur lahir juga mengandung unsur batiniah sehingga apabila
shalat telah mereka dirikan, maka mereka tidak akan berbuat jahat

2. Batas Waktu Shalat Fardlu

1. Shalat Dzuhur
Waktunya: ketika matahari mulai condong ke arah Barat hingga bayangan
suatu benda menjadi sama panjangnya dengan benda tersebut kira – kira
pukul 12.00 – 15.00 siang
2. Shalat Ashar
Waktunya: sejak habisnya waktu dhuhur hingga terbenamnya matahari.
Kira – kira – kira pukul 15.00 –18.00 sore
3. Shalat Magrib
Waktunya: sejak terbenamnya matahari di ufuk barat hingga hilangnya
mega merah di langit. Kira – kira pukul 18.00 – 19.00 sore
4. Shalat Is’ya
Waktunya: sejak hilangnya mega merah di langit hingga terbit fajar. Kira
– kira pukul 19.00 – 04.30 malam
5. Shlat Shubuh
Waktunya : sejak terbitnya fajar (shodiq) hingga terbit matahari. Kira-
kira pukul 04.00 – 5.30 pagi

Shalat Sunnah

a. Pengertian dan pembagian Shalat Sunnah

Shalat sunnah, jenis sholat sunah, waktu melaksanakan shalat sunah


dan waktu yang haram untuk mengerjakan sholat.
Shalat sunnah atau yang disebut juga dengan shalat nawafil merupakan
sholat yang dianjurkan untuk dikerjakan, namun hukumnya tidak wajib. Jadi
apabila seseorang mengerjakan sholat sunah maka ia akan mendapatan
pahala, jika tidak dikerjakan pun ia juga tidak mendapatkan dosa, namun
sangat sayang jika tidak dikerjakan karena kita tidak mendapatkan pahala.
Berdasarkan hukumnya, sholat sunah ada dua macam yaitu sholat sunah
muakadah dan shalat sunah ghairu mu’akadah. penjelasannya sebagai
berikut

Shalat sunah muakadah merupakan sholat yang sangat dianjurkan


untuk dikerjakan (hampir mendekati sholat wajib), yang termasuk shalat sunah
muakad adalah shalat hari raya idhul fitri, sholat hari raya idhul adha, shala
sunnah witir, dan shalat sunah thawaf

Shalat sunah ghairu mu’akad merupakan shalat yang dianjurkan untuk


dilakukan tapi tidak mendekati wajib, seperti shalat sunnah rawatib dan lain-
lain.

53
b. Waktu shalat sunah

Untuk waktu sholat sunah ada tiga waktu, yaitu shalat sunah yang
dikerjakakan pada malam hari atau yang disebut dengan qiyamul lail
(misalnya shalat tahajud, sholat tarawih), Sholat sunah yang dikerjakan pada
pagi hari misalnya shalat dhuha, dan sholat sunah yang bisa dikerjakan pada
siang hari dan pagi hari, contohnya shalat sunah wudlu.
Waktu yang dilarang untuk shalat

Ada waktu-waktu tertentu dimana kita dilarang atau diharamkan


untuk melakukan sholat, yaitu sebagai berikut :
- Ketika matahari terbit hingga ia naik setinggi lembing
Dari Abu Hurairah: Rasulullah SAW telah melarang shalat sesudah shalat
Shubuh sehingga terbit matahari (H.R. Bukhari dan Muslim)
- Ketika matahari sedang berada tepat dipuncaknya hingga ia mulai condong
(kecuali di hari Jum’at)

Rasulullah saw besabda :


Dari Abu Hurairah : Rasulullah saw. telah melarang shalat waktu
tengah hari tepat, sampai tergelincir matahari terkecuali hari Jum’at
- Ketika waktu sesudah ashar hingga terbenamnya matahari
Dari Abu Hurairah: Rasulullah saw. telah melarang shalat sesudah
shalat Ashar (H.R. Bukhari)

Dari Ibnu Umar berkata: “Rasulullah saw. bersabda : Apabila sinar


matahari terbit maka akhirkanlah (jangan melakukan) shalat hingga matahari
tinggi. Dan apabila sinar matahari terbenam, maka akhirkanlah shalat hingga
matahari terbenam”. (HR. Bukhari)

c. Fungsi Shalat Sunat

Nah, selain shalat wajib yang kita ketahui ada juga yang dinamakan
shalat sunat. Shalat sunat merupakan ibadah yang terbilang penting sebagai
salah satu jalan untuk mendekatkan diri kepada sang Khaliq. Selain itu, shalat
ini juga dilakukan untuk meraih pahala dari Allah SWT dan sekaligus untuk
menyempurnakan kekurangan-kekurangan yang terdapat pada shalat wajib.
Sebagai hamba Allah, selayaknya setiap diri meyakini bahwa di dalam
ibadah shalat wajibnya memiliki kekurangan-kekurangan. Kurang dari
Kifiyyah, perhatian, kakhusyuan, atau bahkan implementasi. Oleh sebab itu,
perlu kiranya diketahui mengenai kedudukan sekaligus fungsi dari shalat sunat
itu sendiri. Hal ini agar menjadi dorongan agar setiap orang mukmin semakin
bersemangat dalam mengerjakannya.
Diantara fungsi dan kedudukan shalat sunat adalah Sebagai Penambal
Kekurangan Shalat Wajib, sebagaimana sabda Nabi Saw :

1. Artinya : Telah menceritakan kepada kami Ali bin Nashr bin Ali Al
Jahdlami berkata; telah menceritakan kepada kami Sahl bin Hammad
berkata; telah menceritakan kepada kami Hammam berkata; telah
menceritakan kepadaku Qatadah dari Al Hasan dari Huraits bin Qabishah
ia berkata; "Aku datang ke Madinah, lalu aku berdo`a, "Ya Allah,

54
mudahkanlah aku untuk mendapat teman shalih." Huraits bin Qabishah
berkata; "Lalu aku berteman dengan Abu Hurairah, aku kemudian berkata
kepadanya, "Sesungguhnya aku telah memintah kepada Allah agar
memberiku rizki seorang teman yang shalih, maka bacakanlah kepadaku
hadits yang pernah engkau dengar dari Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam, semoga dengannya Allah memberiku manfaat." Maka Abu
Hurairah pun berkata; "Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda:
"Pada hari kiamat pertama kali yang akan Allah hisab atas amalan
seorang hamba adalah shalatnya, jika shalatnya baik maka ia akan beruntung
dan selamat, jika shalatnya rusak maka ia akan rugi dan tidak beruntung. Jika
pada amalan fardlunya ada yang kurang maka Rabb 'azza wajalla berfirman:
"Periksalah, apakah hamba-Ku mempunyai ibadah sunnah yang bisa
menyempurnakan ibadah wajibnya yang kurang?" lalu setiap amal akan
diperlakukan seperti itu." (HR. At-Tirmidzi)
Di dalam sebuah hadits diterangkan seorang sahabat mengidamkan /
menginginkan bertetangga bersama Nabi SAW di Surga, sebagaimana tertera
dalam hadits :
1. Telah menceritakan kepada kami al-Hakam bin Musa Abu Shalih telah
menceritakan kepada kami Hiql bin Ziyad dia berkata, "Saya mendengar
al-Auza'i berkata, telah menceritakan kepadaku Yahya bin Abi Katsir telah
menceritakan kepadaku Abu Salamah telah menceritakan kepadaku
Rabi'ah bin Ka'ab al-Aslami dia berkata, "Saya bermalam bersama
Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam, lalu aku membawakan air
wudhunya dan air untuk hajatnya, maka beliau bersabda kepadaku,
'Mintalah kepadaku.' Maka aku berkata, 'Aku meminta kepadamu agar aku
menemanimu di surga -dia berkata, 'Atau dia selain itu'. Aku menjawab,
'Itulah yang dia katakan-maka beliau menjawab, 'Bantulah aku untuk
mewujudkan keinginanmu dengan banyak melakukan sujud'." (HR.
Muslim)
Dengan keterangan hadits di atas jelas sekali bahwa shalat sunat itu
untuk menyempurnakan kekurangan dari shalat-shalat wajib serta memiliki
kedudukan yang mulia yaitu untuk meningkatkan derajat seseorang kelak di
surga.
Perlu diketahui bahwa sebagaimana pada shalat wajib terdapat pekerjaan-
pekerjaan rukun, wajib, dan sunat. Demikian pula pada shalat sunat terdapat
pekerjaan-pekerjaan yang sama. Oleh karena itu, tidak dibenarkan siapapun
berperilaku menganggap enteng ketika melaksanakannya.
Oleh karena itu janganlah kita menganggap sepele terhadap shalat ini, tapi
justru marilah kita dawam-kan shalat sunat ini sebagai bentuk bukti nyata
komitmen kita sebagai seorang mukmin untuk melaksanakan keta’atan kepada
Allah SWT dan Rasul-Nya.

Sholat adalah salah satu kewajiban bagi kaum muslim yang sudah
mukallaf dan harus dikerjakan baik bagi mukimin maupun dalam perjalanan.
Shalat merupakan rukun Islam kedua setelah syahadat. Islam didirikan atas
lima sendi (tiang) salah satunya adalah shalat, sehingga barang siapa
mendirikan sholat ,maka ia mendirikan agama Iswlam, dan barang siapa
meninggalkan shalat,maka ia meruntuhkan agama Islam.

55
Sholat harus didirikan dalam satu hari satu malam sebanyak lima kali,
dan jumlahnya adalah 17 rakaat. Sholat merupakan kewajiban yang harus
dilaksanakan tanpa kecuali bagi muslim mukallaf baik yang sedang sehat
maupun yang sedang sakit.

Selain shalat wajib, juga ada shalat sunnah. Macamnya ada 15 shalat, yaitu :

1. Shalat Wudhu,
shalat sunnah 2 rakaat yang bisa dikerjakan tiap selesai wudhu,
niatnya :
Ushalli sunnatal wudlu-i rak'ataini lillahi Ta'aalaa
artinya :
"aku niat shalat sunnah wudhu 2 rakaat karena Allah"

2. Shalat Tahiyatul Masjid,


shalat sunnah 2 rakaat yang dikrjakan ketika masuk masjid, sebelum duduk
unuk menghormati masjid.
Rasulullah bersabda: "Apabila seseorang diantara kamu masuk masjid,
maka janganlah hendak duduk sebelum shalat 2 rakaat lebih dahulu"
(H.R.Bukhari&Muslim).

Niatnya :
Ushalli sunnatal Tahiyatul Masjidi rak'ataini lillahi Ta'aalaa
Artinya :
"aku niat shalat sunnah tahiyatul masjid 2rakaat krn Allah"

3. Shalat Dhuha,
shalat sunnah yang dikerjkan ketika matahari baru naik. Jumlah rakaatnya
minimal 2 maksimal 12.
Dari Anas berkata Rasulullah: "Barang siapa shalat Dhuha 12 rakaat, Allah
akan membuatkan utknya istana disurga" (H.R.Tarmiji&Abu Majah).
Niatnya :
Ushalli sunnatal Dhuha rak'ataini lillahi Ta'aalaa
Artinya :
"aku niat shalat sunnah dhuha 2 rakaat karena Allah"

4. Shalat Rawatib,
shalat sunnah yang dikerajakan mengiringi shalat fardhu.
Niatnya :
A). Qabliyah: adalah shalat sunnah rawatib yang dikerjakan sebelum shalat
wajib. Waktunya: 2 rakaat sebelum shalat subuh, 2 rakaat sebelum shalat
Dzuhur, 2 atau 4 rakaat sebelum shalat Ashar, & 2 rakaat sebelum shalat
Isya.
Niatnya :
Ushalli sunnatadh Dzuhri * rak'ataini Qibliyyatan lillahi
Ta'aalaa
Artinya :
"aku niat shalat sunnah sebelum dzuhur 2 rakaat karena Allah"
* bisa diganti dengan shalat wajib yang akan dikerjakan.

56
B). Ba'diyyah: adalah shalat sunnah rawatib yang dikerjakan setelah shalat
fardhu. Wktnya: 2 atau 4 rakaat sesudah shalat Dzuhur, 2 rakaat sesudah
shalat Magrib & 2 rakaat sesudah shalat Isya.
Niatnya :
Ushalli sunnatadh Dzuhri * rak'ataini Ba'diyyatan lillahi Ta'aalaa
Artinya :
"aku niat shalat sunnah sesudah dzuhur 2 rakaat karena Allah"
*bisa diganti dengan shalat wajib yang akan dikerjakan.

5. Shalat Tahajud,
shalat sunnah pada waktu malam. Sebaiknya lewat tengah malam&setelah
tidur. Minimal 2rakaat maksimal sebatas kemampuan kita. Keutamaan
shalat ini, diterangkan dalam Al-Qur'an :
"Dan pada sebagian malam hari bershalat tahajudlah kamu sebagai suatu
ibadah tambahan bagimu. Mudah-mudahan Tuhanmu mengangkatmu
ketempat yang terpuji" (Q.S.Al Isra:79).
Niatnya :
Ushalli sunnatal tahajjudi rak'ataini lillahi Ta'aalaa
Artinya :
"aku niat shalat sunnah tahajjud 2 rakaat karena Allah"

6. Shalat Istikharah,
shalat sunnah 2 rakaat untuk meminta petunjuk yang baik, bila kita
menghadapi 2 pilihan/ragu dalam mengambil keputusan. Sebaiknya
dikerjakan pada 2/3 malam terakhir.
Niatnya :
Ushalli sunnatal Istikharah rak'ataini lillahi Ta'aalaa
Artinya :
"aku niat shalat sunnah Istikharah 2 rakaat karena Allah"

7. Shalat Hajat,
shalat sunnah 2rakaat untuk memohon agar hajat kita
dikabulkan/diperkenankan oleh Allah SWT. Minimal 2 rakaat maksimal
12 rakaat dengan salam setiap 2 rakaat.
Niatnya :
Ushalli sunnatal Haajati rak'ataini lillahi Ta'aalaa
Artinya :
"aku niat shalat sunnah hajat 2 rakaat karena Allah"

8. Shalat Mutlaq,
shalat sunnah tanpa sebab&tidak ditentukan
wktnya, juga tidak dibatasi jumlah rakaatnya. Shalat itu suatu perkara
yang baik, banyak/sedikit (AlHadis).
Niatnya :
Ushalli sunnatal rak'ataini lillahi Ta'aalaa
Artinya :
"aku niat shalat sunnah 2 rakaat karena Allah"

9. Shalat Taubat,

57
shalat sunnah yg dilakukan setelah merasa berbuat dosa kepada Allah
SWT, agar mendapat ampunan-Nya.
Niatnya :
Ushalli sunnatal Taubati rak'ataini lillahi Ta'aalaa
Artinya :
"aku niat shalat sunnah taubat 2 rakaat karena Allah"

10. Shalat Tasbih,


shalat sunnah yang dianjurkan dikerjakan tiap malam, jika tidak bisa 1
minggu sekali/paling tidak seumur hidup sekali. Shalat ini sebanyak 4
rakaat, dengan ketentuan jika dikrjakan pada siang hari cukup dengan 1
salam, jika dikerjakan pada malam hari dengan 2 salam.
Cara mengerjakannya
A). Niat : Ushalli sunnatan tasbihi raka'ataini lilllahi ta'aalaa. artinya :"aku niat
shalat sunnah tasbih 2rakaat karena Allah"
B). Usai baca surat Al Fatehah, bc tasbih 15x.
C). Ruku', usai baca do'a ruku, baca tasbih 10x.
D). Itidal, usai membaca do'a 'itidal, baca tasbih 10x.
E). Sujud, usai baca doa sujud, baca tasbih 10x.
F). Usai baca do'a duduk diantara2sujud, baca tasbi 10x.
G). Usai baca doa sujud kedua, baca tasbih 10x.
Jumlah keseluruhan tasbih yang dibaca pada tiap rakaatnya sebanyak 75x.
Lafadz bacaan tasbih yang dimaksud adalah sebagai berikut :
Subhanallah wal hamdu lillahi walaa ilaaha illallahu wallahu akbar
artinya :
"Maha suci Allah yang Maha Esa. Segala
puji bagi Allah, Dzat yang Maha Agung"

11. Shalat Tarawih,


shalat sunnah sesudah shalat Isya, pada bulan Ramadhan. Menegenai
bilangan rakaatnya disebutkan dalam hadis :
"Yang dikerjakan oleh Rasulullah saw, baik pada bulan ramadhan/lainnya
Tidak lebih dari 11rakaat" (H.R.Bukhari).
Dari Jabir :" Sesungguhnya Nabi saw telah shalat bersama mereka 8
rakaat, lalu beliau shalat witir." (H.R.Ibnu Hiban)
Niat shalat tarawih :
Ushalli sunnatan Taraawiihi rak'ataini (Imamam/makmuman) lillahi
ta'aallaa
artinya :
"Aku niat shalat sunat tarawih 2 rakaat (imamam/makmum) karena Allah"

12. Shalat Witir,


shalat sunnat Mu’akad (dianjurkan) yang biasanya dirangkaikan dengan
shalat tarawih, Bilangan shalat witir 1,3,5,7 smpai 11 rakaat.
[i]Dari Abu Aiyub, berkata Rasulullah:
"Witir itu hak, maka siapa yang suka mengerjakan 5, kerjakanlah. Siapa
yang suka mengerjakan 3, kerjakanlah. Dan siapa yang suka 1, maka
kerjakanlah" (H.R.AbuDaud&Nasai).
Niat :
Ushalli sunnatal witri rak' atan lillahi ta'aalaa

58
artinya :
"Aku niat shalat sunnat witir rakaat karena Allah"

13. Shalat Hari Raya,


shalat Idul Fitri pada 1 Syawal & Idul Adha pada 10 Dzulhijah.
Hukumnya sunnah Mu’ akad (dianjurkan).
"Sesungguhnya kami telah memberi engkau (yaa Muhammad) akan
kebajikan yang banya, sebab itu shalatlah engkau&berqurbanlah karena
Tuhanmu pada Idul Adha (Q.S.AlKautsar.1-2)
Dari Ibnu Umar: "Rasulullah, Abu Bakar, Umar pernah melakukan shalat
pada 2 hari raya sebelum berkhutbah."(H.R. Jama'ah).
Niat Shalat Idul Fitri :
Ushalli sunnatal li, iidil fitri rak'ataini (imamam/makmumam) lillahi
Taa'laa
artinya :
"Aku niat shalat idul fitri dua rakaat (imam/makmum) karena Allah"

Niat Shalat Idul Adha :


Ushalli sunnatal li'iidil Adha rak'ataini (imamam.makmumam)
lillahita'aalaa
artinya :
"Aku niat shalat idul adha dua rakaat (imam/makmum) karena Allah"

Waktu shalat hari raya adalah setelah terbit matahari sampai


condongnya matahari. Syarat, rukun&sunnatnya sama seperti shalat yang
lainnya. Hanya ditambah bebeberapa sunnat sebagai berikut :
a. Berjamaah
b. Takbir 7kali pada rakaat pertama & 5kali pada rakat ke2
c. Mengangkat tangan setinggi bahu pada tiap takbir.
d. Setelah takbir yang ke2 sampai takbir yang terakhir baca tasbih.
e. Membaca surat Qaf di rakaat pertama&surat Al Ghasiyah pada rakaat
kedua.
f. Imam menyaringkan bacaannya
g. Khutbah 2kali setelah shalat sebagaimana khutbah jum'at
h. Pada khutbah Idul Fitri memaparkan tentang zakat fitrah & pada Idul Adha
tentang hukum-hukum Qurban.
i. Mandi, berhias, memakai pakaian sebaik-baiknya.
j. Makan terlebih dahulu pada shalat Idul Fitri, pada Shalat Idul Adha
sebaliknya.

14. Shalat Khusuf,


shalat sunat sewaktu terjadi gerhana bulan/matahari. Minimal 2rakaat.
Caranya mengerjakannya :
a). Shalat 2 rakaat dengan 4 x ruku' yaitu pada rakaat pertama, stetelah
ruku'&I'tidal baca fatihah lagi kemudian ruku'&I'tidal kembali stetelah itu
sujud sebagaimana biasanya. Begitu pula pada rakaat ke 2.
b). Disunatkan baca surat yang panjang, sedang membacanya pada waktu
gerhana bulan harus nyaring, sedangkan pada gerhana matahari
sebaliknya.
Niat shalat gerhana bulan :

59
Ushalli sunnatal khusuufi rak'ataini lillahita'aalaa
artinya :
"Aku niat shalat gerhana bulan 2 rakaat karena Allah"

15. Shalat Istiqa',


Shalat sunat yang dikerjakan untuk memohon hujan kepada Allah SWT.
Niatnya :
Ushalli sunnatal Istisqaa-i rak'ataini (imamam/makmumam) lillahita'aalaa
artinya :
"Aku niat shalat istisqaa 2 rakaat (imam/makmum) karena Allah"
Syarat-syarat mengerjakana Shalat Istisqa :
a). 3hari sebelumnya agar ulama memerintahkan umatnya bertaobat dengan
berpusa & meninggalkan segala kedzaliman serta menganjurkan beramal
shaleh. Sebab menumpuknya dosa itu mengakibatkan hilangnya rejeki &
datangnya murka Allah.
"Apabila kami hendak membinasakan suatu negeri, maka lebih dulu kami
perbanyak orang-orang yang fasik, sebab kefasikannyalah mereka disiksa, lalu
kami robohkan (hancurkan) negeri mereka sehancur-hancurnya" (Q.S.Al
Isra:16).
b). Pada hari ke4 semua penduduk termasuk yang lemah dianjurkan pergi
kelapangan dgn pakaian sederana&tanpa wangi-wangian utk shalat Istisqa'
c). Usai shalat diadakan khutbah 2kali. Pd khutbah pertama hendaknya baca
istigfar 9x dan pd khutbah kedua 7x. Pelaksanaan khutbah istisqa berbeda dgn
khutbah lainnya, yaitu :
a. Khatib disunatkan memakai selendang.
b. Isi khutbah menganjurkan byk beristigfar,berkeyakinan bhw Allah SWT
akan mengabulkan permintaan mereka.
c. Saat berdo'a hendaknya mengangkat tangan setinggi-tingginya.
d. Saat berdo'a pd khutbah kedua, khatib hendaknya menghadap kiblat
membelakangi makmumnya.

niat shalat sesuai dengan sholat mana yang akan kita krjkan.

Ibn Qoyyim berkata :”Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam jika


hendak mengerjakan shalat,maka dia mengucapkan Allahu Akbar.dan beliau
tidak mengucapkan lafaz apapun sebelum itu dan tidak pernah melafazkan niat
sama sekali. Beliau juga tidak mengucapkan:

“ushali lillah shalaata kadzaa mustaqbilal qiblah arba’a raka’at imaaman aw


ma’muuman (artinya :aku berniat mengerjakan shalat ini dan itu karena
Allah,menghadap kiblat sebanyak 4 raka’at sebagai imam atau makmum).

Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam tidak pernah mengatakan


adaa’aa atau qadhaa’an (artinya melakukannya secara tepat waktu atau
qadha’). Dan tidak pernah juga menyebutkan kefardhuan waktu shalat. Semua
itu adalah bid’ah yang tidak ada sumbernya dari seorangpun baik dengan
sanad yang sahih,dhaif,musnad (bersambung sanadnya), ataupun mursal (ada
perawi yang gugur dalam sanadnya). Bahkan tidak juga dinukil dari seorang
sahabat nabi,para tabi’in dan imam 4 (mazhab)

60
Khusus penjelasan pelaksanaan sholat tasbih menurut saya ada
kekurangan sedikit . disitu anda jelaskan setiap rokaat ada 75 x bacaan tasbih,
tetapi yg tertulis totalnya hanya 65 x .jadi ada kekurangan 10x.
Kekurangannya menurut saya dibaca pada saat bangun dari sujud sebelum
berdiri duduk dulu membaca bacaan tasbih 10 x, sehingga total keseluruhan
dalam satu rokaat 75 x

E. Hikmah Shalat

a.Shalat Merupakan Syarat Menjadi Takwa

Taqwa merupakan hal yang penting dalam Islam karena dapat


menentukan amal / tingkah laku manusia, orang – orang yang betul – betul
taqwa tidak mungkin melaksanakan perbuatan keji dan munkar, dan
sebaliknya
Salah satu persyaratan orang – orang yang betul betul taqwa ialah diantaranya
mendirikan shalat sebagimana firman Allah SWT dalam surat Al Baqarah

b.Shalat Merupakan Benteng Kemaksiatan

Shalat merupakan benteng kemaksiatan artinya bahwa shalat dapat


mencegah perbuatan keji dan munkar. Semakin baik mutu shalat seseorang
maka semakin efektiflah benteng kemampuan untuk memelihara dirinya dari
perbuatan makasiat
Shalat dapat mencegah perbuatan keji dan munkar apabila
dilaksanakan dengan khusu tidak akan ditemukan mereka yang melakukan
shalat dengan khusu berbuat zina. Maksiat, merampok dan sebagainya.
Merampok dan sebagainya tetapi sebaliknya kalau ada yang melakukan shalat
tetapi tetap berbuat maksiat, tentu kekhusuan shalatnya perlu dipertanyakan.
Hal ini diterangkan dalam Al-Qur'an surat Al-Ankabut [29] : 45

   


  
   
  
  
   
   
Artinya : Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, Yaitu Al kitab (Al
Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari
(perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat
Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang
lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Diwahyukan kepadamu, Yaitu Al kitab (Al Quran) dan dirikanlah


shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan
mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar
(keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang
kamu kerjakan.

61
c. Shalat Mendidik Perbuatan Baik Dan Jujur

Dengan mendirikan shalat, maka banyak hal yang didapat, shalat akan
mendidik perbuatan baik apabila dilaksanakan dengan khusus. Banyak yang
celaka bagi orang – orang yang shalat yaitu mereka yang lalai shalat
selain mendidik perbuatan baik juga dapat mendidik perbuatan jujur dan tertib.
Mereka yang mendirikan tidak mungkin meninggalkan syarat dan rukunnya,
karena apabila salah satu syarat dan rukunnya tidak dipenuhi maka shlatnya
tidak sah (batal)

d. Shalat Akan membangun etos kerja

Sebagaimana keterangan – keterangan di atas bahwa pada intinya


shalat merupakan penentu apakah orang – orang itu baik atau buruk, baik
dalam perbuatan sehari – hari maupun ditempat mereka bekerja
Apabila mendirikan shalat dengan khusu maka hal ini akan mempengaruhi
terhadap etos kerja mereka tidak akan melakukan korupsi atau tidak jujur
dalam melaksanakan tugas.

KESIMPULAN

1. Shalat merupakan penyerahan diri secara totalitas untuk menghadap Tuhan,


dengan perkataan dan perbuatan menurut syarat dan rukun yang telah
ditentukan syara
2. Shalat merupakan kewajiban bagi kaum muslimin yang mukallaf tanpa
kecuali
3. Hikmah mendidirkan shalat yaitu:
a. Shalat mencegah perbuatan keji dan munkar
b. Shalat mendidik perbuatan baik dan jujur
c. Shalat akan membangun etos kerja

PERTEMUAN KE V :PENGERTIAN ZAKAT DAN MACAMNYA

Zakat menurut Bahasa berarti “tumbuh dan bertambah”. juga bisa berarti
berkah, bersih, suci, subur dan berkembang maju. Menurut istilah adalah hak
yang harus dikeluarkan dari harta tertentu sesuai dengan ketentuan syreat
karena pengabdian kepada Allah pada waktu wajib mengeluarkannya terhadap
kelompok tertentu.Dapat kita ambil kesimpulan bahwa kita selaku umat muslim
telah diwajibkan oleh Allah SWT untuk mengeluarkan zakat, seperti firman
Allah Swt :

  


 
   

62
Artinya : “Dan dirikanlah sholat dan tunaikanlah zakat dan taatlah kepada
Rasul, supaya kamu diberi rahmat“. (Surat An Nur 24 : 56).

Dalam ayat yang lain Allah menjelaskan bahwa orang yang mentaati perintah
allah khususnya dalam menunaikan zakat niscaya Allah akan memberikan
rahmat kepada kita dan akan dikembalikannya kita kepada kesucian/kembali
fitrah seperti bayi yang baru dilahirkan ke alam muka bumi ini atau seperti kertas
puti9h yang belum ada coretan-coretan yang dapat mengotori kertas tersebut,
seperti firman-Nya :

   


 
    
    
  
Artinya : Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan[658] dan mensucikan[659] mereka dan mendoalah untuk mereka.
Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah
Maha mendengar lagi Maha mengetahui. (Surat At Taubah 9 : 103).

[658] Maksudnya: zakat itu membersihkan mereka dari kekikiran dan cinta yang berlebih-lebihan
kepada harta benda

[659] Maksudnya: zakat itu menyuburkan sifat-sifat kebaikan dalam hati mereka dan
memperkembangkan harta benda mereka.

SYARAT-SYARAT WAJIB UNTUK MENGELUARKAN ZAKAT

Islam; Zakat hanya diwajibkan bagi orang Islam saja.

Merdeka; Hamba sahaya tidak wajib mengeluarkan zakat kecuali zakat fitrah,
sedangkan tuannya wajib mengeluarkannya. Di masa sekarang persoalan hamba
sahaya tidak ada lagi. Bagaimanapun syarat merdeka tetap harus dicantumkan
sebagai salah satu syarat wajib mengeluarkan zakat karena persoalan hamba
sahaya ini merupakan salah satu syarat yang tetap ada.

Milik Sepenuhnya; Harta yang akan dizakati hendaknya milik sepenuhnya


seorang yang beragama Islam dan harus merdeka. Bagi harta yang bekerjasama
antara orang Islam dengan orang bukan Islam, maka hanya harta orang Islam saja
yang dikeluarkan zakatnya.

Cukup Haul; cukup haul maksudnya harta tersebut dimiliki genap setahun,
selama 354 hari menurut tanggalan hijrah atau 365 hari menurut tanggalan
mashehi.

cukup Nisab; Nisab adalah nilai minimal sesuatu harta yang wajib dikeluarkan
zakatnya. Kebanyakan standar zakat harta (mal) menggunakan nilai harga emas
saat ini, jumlahnya sebanyak 85 gram. Nilai emas dijadikan ukuran nisab untuk

63
menghitung zakat uang simpanan, emas, saham, perniagaan, pendapatan dan
uang dana pensiun.

MACAM-MACAM ZAKAT

1. ZAKAT MAAL (HARTA)

Bagi harta yang disandarkan zakatnya pada emas, zakat yang harus dikeluarkan
sebanyak 2,5 % dari harta yang wajib dizakati (tidak termasuk zakat binatang
ternak dan biji-bijian yang mempunyai nilai zakatnya tersendiri).

2. ZAKAT UANG SIMPANAN

Banyak urusan bisnis yang menggunakan mata uang sebagai alat pertukarannya,
Setiap negara mempunyai nilai mata uangnya sendiri yang disandarkan kepada
nilai tukar emas.

DALIL WAJIB ZAKAT UANG SIMPANAN “Saiidina Ali telah


meriwayatkan bahwa Nabi saw bersabda: Apabila kamu mempunyai (uang
simpanan) 200 dirham dan telah cukup haul (genap setahun) diwajbkan zakatnya
5 dirham, dan tidak diwajibkan mengeluarkan zakat (emas) kecuali kamu
mempunyai 20 dinar dan telah cukup haulnya diwajibkan zakatnya setengah
dinar. Demikian juga kadarnya jika nilainya bertambah dan tidak diwajibkan
zakat dalam sesuatu harta kecuali genap setahun”. (HR Abu Daud)

SYARAT WAJIB ZAKAT UANG SIMPANAN

1. Islam
2. Merdeka
3. Milik sendiri
4. Cukup haul
5. Cukup nisab

3. ZAKAT EMAS dan PERAK

Sejarah telah membuktikan bahwa emas dan perak merupakan logam berharga.
Sangat besar kegunaannya yang telah dijadikan uang dan nilai/alat tukar bagi
segala sesuatu sejak kurun-kurun waktu yang lalu.
Dari sisi ini, syari’at memandang emas dan perak dengan pandangan tersendiri,
dan mengibaratkannya sebagai suatu kekayaan alam yang hidup. Syari’at
mewajibkan zakat keduanya jika berbentuk uang atau leburan logam, dan juga
benbentuk bejana, souvenir, ukiran atau perhiasan bagi pria. Firman Allah :Dan
oarang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada
jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan
mendapat) siksa yang pedih. Pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka
Jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka
(lalu dikatakan) kepada mereka : “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk
dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan
itu”.
Sabda Rasulullah yang maksudnya sebagai berikut : Setiap pemilik emas dan

64
perak yang tidak menunaikan haknya, maka pada hari kiamat dijadikan kepingan
lalu dibakar dalam api neraka.

SYARAT WAJIB ZAKAT EMAS DAN PERAK.

1. Islam
2. Merdeka
3. Milik sendiri
4. Cukup nisabnya
5. Cukup haul (setahun).

(Nisab emas adalah 20 misqal atau 85 gram emas. Nisab perak adalah 200
dirham atau 595 gram perak ).

4. ZAKAT PENDAPATAN/PROFESI

Barang kali bentuk penghasilan yang paling menonjol pada zaman sekarang ini
adalah apa yang diperoleh dari pekerjaan dan profesinya. Zakat pendapatan atau
profesi telah dilaksanakan sebagai sesuatu yang paling penting pada zaman
MUAWIYAH DAN UMAR BIN ABDUL AZIZ. Zakat jenis ini dikenal dengan
nama Al-Ata’ dan dizaman modern ini dikenal dengan “Kasbul Amal”. Namun
akibat perkemabangan zaman yang kurang menguntungkan ummat Islam, maka
zakat jenis ini kurang mendapat perhatian. Sekarang sudah selayaknya jika mulai
digalakkan kembali, kerena potensinya yang memang cukup besar.

DALIL WAJIB ZAKAT PROFESI/PENDAPATAN


Firman Allah :

 
  
  
   
   
  
   
  
  
  
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian
dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan
dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu
menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya
melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa
Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji. (Surat Al-Baqarah 2 : 267). Dalam ayat
tersebut, Allah menjelaskan bahwa segala hasil usaha yang baik-baik wajib
dikeluarkan zakatnya. Termasuk pendapat para pekerja dari gaji atau pendapatan
dari profesi sebagai dokter, konsultan, seniman, akunting, notaris, dan
sebagainya. Imam Ar-Razi berpendapat bahwa konsep “hasil usaha” meliputi

65
semua harta dalam konsep menyeluruh yang dihasilkan oleh kegiatan atau
aktivitas manusia.

SYARAT WAJIB ZAKAT PENDAPATAN

1. Islam
2. Merdeka
3. Milik Sendiri
4. Hasil usaha yang baik sebagai sumber zakat. Hasil usaha tersebut termasuk
pendapatan, yang terdiri dari kumpulan Honor, Gaji, Bonus, Komisi,
Pemberian, pendapatan profesional, Hasil sewa dan sebagainya. Para Fuqoha
menerangkan bahwa semua pendapatan tersebut sebagai “Mal Mustafad” yaitu
perolehan baru yang termasuk dalam sumber harta yang dikenakan zakat.
5. Cukup Nisab. Nisab bagi zakat pendapatan/profesi ini merujuk kepada nilai 85
gram emas, dengan harga saat ini. Biasanya pendapatan/gaji selalu diterima
dalam bentuk mata uang, untuk itu zakatnya disandarkan kepada nilai emas.
6. Cukup Haul. Kontek haul dalam zakat pendapatan adalah jarak masa satu
tahun adalah merupakan jarak pengumpulan hasil-hasil yang diperoleh dari
berbagai sumber selama satu tahun. Sebab roh yang sangat penting dari zakat
pendapatan ini dilihat dari harta perolehan atau penghasilan dan bukannya
persoalan harta uang simpanan. Jadi makna haul disini adalah jarak
pengumpulan pendapatan selama satu tahun dan bukannya lamanya
menyimpan selam setahun sepIstilah zakat profesi adalah baru, sebelumnya
tidak pernah ada seorang ‘ulamapun yang mengungkapkan dari dahulu hingga
saat ini, kecuali Syaikh Yusuf Qaradhowy menuliskan masalah ini dalam kitab
Zakat-nya, kemudian di taklid (diikuti tanpa mengkaji kembali kepadanash
yang syar’I) oleh para pendukungnya, termasuk di Indonesia ini.
Menurut kaidah pencetus zakat profesi bahwa orang yang menerima gaji dan
lain-lain dikenakan zakat sebesar 2,5% tanpa menunggu haul (berputar selama
setahun) dan tanpa nishab (jumlah minimum yang dikenakan zakat).
Mereka mengkiyaskan dengan zakat biji-bijian (pertanian). Zakat biji-bijian
dikeluarkan pada saat setelah panen. Disamping mereka mengqiyaskan dengan
akal bahwa kenapa hanya petani-petani yang dikeluarkan zakatnya sedangkan
para dokter, eksekutif, karyawan yang gajinya hanya dalam beberapa bulan
sudah melebihi nisab, tidak diambil zakatnya.
Simulasi cara perhitungan menurut kaidah Zakat profesi seperti di bawah ini :
Cara I (tidak memperhitungkan pengeluaran bulanan)
Gaji sebulan = Rp 2.000.000
Gaji setahun = Rp 24.000.000
1 gram emas = Rp 100.000
Nishab = Rp 85 gram
Harga nishab = Rp 8.500.000
Zakat Anda = 2,5% x Rp 24.000.000 = Rp 600.000,-
Cara II (memperhitungkan pengeluaran bulanan)
Gaji sebulan = Rp 2.000.000
Gaji setahun = Rp 24.000.000
Pengeluaran bulanan = Rp 1.000.000
Pengeluaran setahun = Rp 12.000.000
Sisa pengeluaran setahun = Rp 24.000.000 – 12.000.000 = Rp 12.000.000
1 gram emas = Rp 100.000

66
Nishab = Rp 85 gram
Harga nishab = Rp 8.500.000
Zakat Anda = 2,5% x Rp 12.000.000 = Rp 300.000,-
Zakat Maal (Harta) yang Syar’i
Sedangkan kaidah umum syar’i sejak dahulu menurut para ‘ulama berdasarkan
hadits Rasululloh sholallohu ‘alaihi wassallam adalah wajibnya zakat uang
dan sejenisnya baik yang didapatkan dari warisan, hadiah, kontrakan atau gaji,
atau lainnya, harus memenuhi dua kriteria, yaitu :
1. batas minimal nishab dan
2. harus menjalani haul (putaran satu tahun).
Bila tidak mencapai batas minimal nishab dan tidak menjalani haul maka tidak
diwajibkan atasnya zakat berdasarkan dalil berikut :
[a] Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Kamu tidak mempunyai kewajiban zakat sehingga kamu memiliki
20 dinar dan harta itu telah menjalani satu putaran haul” [Shahih Hadits
Riwayat Abu Dawud].
20 dinar adalah 85 gram emas, karena satu dinar adalah 4 1/4 gram dan nishab
uang dihitung dengan nilai nishab emas.
[b] Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
“Artinya : Dan tidak ada kewajiban zakat di dalam harta sehingga mengalami
putaran haul” [Shahih Riwayat Abu Daud]
[c] Dari Ibnu Umar (ucapan Ibnu Umar atas sabda Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam).
“Artinya : Barangsiapa mendapatkan harta maka tidak wajib atasnya zakat
sehingga menjalani putaran haul” [Shahih dengan syawahidnya, Riwayat
Tirmidzi]
Kemudian penetapan zakat tanpa haul dan nishab hanya ada pada rikaz (harta
karun), sedangkan penetapan zakat tanpa haul hanya ada pada tumbuh-
tumbuhan (biji-bijian dan buah-buahan) namun ini tetap dengan nishab.
Jadi penetapan zakat profesi (penghasilan) tanpa nishab dan tanpa haul
merupakan tindakan yang tidak berlandaskan dalil, qiyas yang shahih dan
bertentangan dengan tujuan-tujuan syari’at, juga bertentangan dengan nama
zakat itu sendiri yang berarti berkembang.
[Lihat Taudhihul Al Ahkam 3/33-36, Subulusssalam 2/256-259, Bulughul
Maram Takhrij Abu Qutaibah Nadhr Muhammad Al-faryabi 1/276/279]
Singkatnya simulasi cara perhitungan menurut kaidah yang syar’i adalah
penghasilan kita digunakan untuk kebutuhan kita, kemudian sisa penghasilan
itu kita simpan/miliki yang jumlahnya telah mencapai nishab emas yakni 85
gram emas dan telah berlalu selama satu tahun (haul), berarti harta tersebut
terkena zakat dan wajib dikeluarkan zakat sebesar 2,5% dari harta tersebut.
Sedangkan jika penghasilan kita kadang tersisa atau kadang pula tidak, maka
untuk membersihkan harta Anda adalah dengan berinfaq, yang mana infaq ini
tidak mempunyai batasan atau ketentuannya.
Contoh perhitungan yang benar :
Gaji sebulan == Rp 2.000.000
Gaji setahun == Rp 24.000.000
Sisa pengeluaran setahun setelah dikurangi pengeluaran == Rp 5.000.000
Nishob 85 gram emas == Rp 8.500.000
Maka Anda tidak terkena kewajiban zakat, karena harta di akhir tahun belum
mencapai nishab emas 85 gram tersebut.

67
Atau
Gaji sebulan == Rp 5.000.000
Gaji setahun == Rp 60.000.000
Sisa pengeluaran setahun == Rp 10.000.000
Nishob 85 gram emas == Rp 85.000.000
Maka Anda terkena kewajiban zakat, karena harta di akhir tahun telah
mencapai nishab emas 85 gram tersebut. Kemudian tunggu harta kita yang
tersisa sebesar Rp 10.000.000,- tersebut hingga berlalu 1 tahun. Kemudian
baru dikeluarkan zakat tersebut sebesar 2.5 % x Rp10.000.000,- == Rp
250.000,- pada tahun berikutnya.
Zakat Profesi Bertentangan dengan Zakat Maal (Harta)
Oleh karena itu ditinjau dari dalil yang syar’I maka istilah zakat profesi
bertentangan dengan apa yang pernah dicontohkan oleh Rasululloh sholallohu
‘alaihi wassallam, dimana antara lain adalah :
1. Penolakan beliau akan adanya haul. Haul yaitu bahwa zakat itu dikeluarkan
apabila harta telah berlalu (kita miliki -pen) selama 1 tahun. Padahal telah
datang sejumlah hadits yang menerangkan tentang haul. Namun hadits-hadits
ini dilemahkan menurut pandangan SyaikhYusuf Qardhawi dengan alasan-
alasan yang lemah (tidak kuat alasan pendha’ifannya). Karena hadits itu
memiliki beberapa jalan dan syawahid.
Oleh karena penolakan ini, maka menurut Syaikh Yusuf Qardhawi, apabila
seseorang menerima gaji (rejeki) melebihi nisab (batasan) zakat, maka wajib
dikeluarkan zakatnya.
2. Dari penolakan haul ini (karena dianggap bahwa tidak ada haul), maka
Syaikh Yusuf Qardhawi mengkiyaskan dengan zakat biji-bijian. Zakat biji-
bijian dikeluarkan pada saat setelah panen.
Hal ini merupakan pengqiyasan yang salah. Karena qiyas dilakukan karena
beberapa sebab salah satunya apabila tidak ada dalil yang menerangkan
hukumnya. Padahal (sebagaimana yang telah disampaikan secara singkat),
terdapat sejumlah hadits dan atsar para sahabat(dalil-dalil) yang menjelaskan
mengenai haul.
Kemudian jikapun benar dapat diqiyaskan dengan biji-bijian (pertanian), maka
kita harus konsekuen dengan kebiasaan yang umum berlaku dalam masalah
panen biji-bijian :
a. Dimana hasil biji-bijian baru dipanen setelah berjalan 2-3 bulan, berarti
zakat profesi juga semestinya dipungut dengan jangka waktu antara 2-3 bulan,
tidak setiap bulan !
b. Dimana hasil biji-bijian akan dikenakan zakat 5 %, maka seharusnya zakat
profesi juga harus dikenakan sebesar 5 %, tidak dipungut 2.5 % !
3. Penolakan dengan akal (bukan dengan dalil). Bahwa kenapa hanya petani-
petani yang dikeluarkan zakatnya sedangkan para dokter, eksekutif, karyawan
yang gajinya hanya dalam beberapa bulan sudah melebihi nisab, tidak diambil
zakatnya.
Hujjah (alasan) ini tidak ilmiah sama sekali dan tidak ada artinya. Karena
dalam masalah ibadah, kita harus mengikuti dalil yang jelas dan shahih.
Dengan demikian tidak perlu dibantah (karena Allah memiliki hikmah
tersendiri dari hukum-hukum-Nya seperti berfikir dengan akal bahwa “kenapa
warisan untuk wanita lebih rendah?”, “mengapa air seni yang najis hanya
disucikan dengan air bersih, sedangkan air mani yang suci harus disucikan
dengan mandijanabah?”, “mengapa orang yang mencuri harus dipotong

68
tangannya sebatas lengan, sedangkan orang yang muhson (telah menikah)
harus dirajam bukannya dipotong alat kemaluannya?”, dan masih banyak lagi
hal yang tidak bisa hanya mengandalkan akal kita yang terbatas untuk
mengkaji hikmah ilmu dan kemulian Alloh Azza wa Jalla.
Hal ini, ketika sampai di Indonesia, ada sebagian orang yang berlebihan dalam
menghitungnya. Misalkan 1 bulan gaji == 1 Juta, maka 12 bulan gaji == 12
Juta. Maka ini telah sampai nisab, lalu dihitung berapa zakat yang harus
dikeluarkan.
Hal ini adalah salah karena tidak ada haul. Selain itu, kita tidak mengetahui
masa yang akan datang kalau dia dipecat, atau rezekinya berubah. Atau kita
balik bertanya, mengapa pertanyaannya hanya petani, apakah jika petani
membayar zakat, lantas pekerja profesitidak bayar zakat ? Padahal mereka
tetap diwajibkan membayar zakat, dengan ketentuan dan syarat yang berlaku.
4. Syaikh Yusuf Qardhawi mengemukakan dalam suatu zaman Umar bin
Abdul Aziz bahwa sebagian pegawai diambil gajinya 2,5% sebagai zakat.
Hal ini merupakan salah paham terhadap dalil atau atsar. Karena yang diambil
itu harta yang diperkirakan sudah mencapai 1 haul. Yakni pegawai yang sudah
bekerja (paling tidak) lebih dari 1 tahun. Lalu agar mempermudah urusan
zakatnya, maka dipotonglah gajinya 2,5%. Jadi tetap mengacu kepada harta
yang sudah melampaui mencapai nishob dan telah haul 1 tahun saja dari gaji
pegawai tersebut.
Kemudian jika dilontarkan suatu syubhat : “Bagaimana bisa mencapai batas
nishab jika gaji yang kita peroleh selalu habis kita belanjakan untuk kebutuhan
sehari-hari maupun kebutuhan yang sifatnya konsumtif seperti barang
elektronik dan lain-lain?”
Hukum syar’I tetaplah hukum yang berlaku sepanjang zaman, yakni zakat
harta harus tetap memenuhi syarat nishab. Bila gaji itu dibelanjakan, dan
sisanya tidak memenuhi nishab, maka harta itu belum wajib dikeluarkan
zakatnya. sebagaimana hadis: “Kamu tidak memiliki kewajiban zakat
sehingga kamu memiliki 20 dinar dan harta itu telah menjalani satu putaran
haul” (Shahih, HR. Abu Dawud)
Lantas kapan zakatnya bila sisa gaji itu tidak pernah mencapai nishab?
Jawabnya: Tidak wajib zakat pada harta yang tidak cukup nishab. Nasehatnya
adalah, bila kita merasa mampu berzakat dengan sisa uang gaji yang sedikit,
maka hendaknya disalurkan dengan bentuk shadaqoh (yang sunnah).
Alangkah beratnya agama ini bagi orang lain yang sama kondisi ekonominya
dengan kita namun dia memiliki banyak keperluan yang harus dia belanjakan
untuk keluarganya, bila zakat harta itu tidak memperhitungkan kewajiban
nishab.
Biarlah kita yang masih gemar berinfaq ini, menyalurkannya dengan bentuk
shadaqoh yang sunat terhadap harta yang belum mencapai nishab tersebut.
Tapi jangan sekali-kali mengubah hukum dari yang tidak wajib menjadi wajib,
karena ini akan memberatkan kaum musliminsecara umum. Mungkin bagi kita
tidak berat, tapi orang lain ?. Sungguh telah binasa umat terdahulu karena
mereka melampaui batas dalam agama.
Salah satu dari sekian banyak hikmah adanya syarat nishab adalah agar harta
kaum muslimin itu terus berputar dalam perbelanjaan mereka, dan tidak
mengendap dalam jumlah yang besar pada satu atau beberapa orang. Ini akan
akan berdampak jumlah uang beredar akan menjadi sedikit, kesenjangan
semakin meningkat, dan lain-lain.

69
Bila seseorang itu memiliki harta dia boleh :
1. membelanjakan dijalan yang halal untuk keluarganya,
2. atau Mengusahakan harta itu dengan permodalan (misalnya mudharabah
dll)
3. atau Mengeluarkan zakat bila telah terpenuhi syarat-syaratnya
4. atau Menabungnya bila belum terpenuhi syarat-syaratnya, agar kemudian
bisa dikeluarkan zakatnya
5 Atau dia shadaqohkan/berinfaq (sunnah hukumnya)
Oleh karena itu memperhitungkan gaji semata dalam satu tahun tanpa
memperhitungkan bentuk harta yang lainnya adalah cara yang keliru dalam
menghitung zakat maal. Zakat termasuk dalam ibadah, dan kaidah dalam
menjalankan ibadah adalah menjalankan segala perintah yang dituntunkan
Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam. Dalam hal ini Rasulullah Shalallahu
Alaihi wa Sallam tidak memberikan contoh ataupun tuntunan dalam
memperhitungkan zakat maal dalam penghasilan semata.
Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam mengajarkan bahwa zakatbarang
tambang yang wajib dizakatkan adalah emas dan perak,sedangkan tanaman
yang wajib zakat adalah gandum, sya’ir, kurma, danzabib, dan tidak ada
satupun Riwayat dari Rasulullah ShalallahuAlaihi wa Sallam bahwa harta
penghasilan adalah harta wajib zakat.Jadi tidak ada dalil yang
menerangkannya. Hitunglah berapapenghasilan kita dalam satu tahun lantas
dikurangi pengeluaranitulah harta yang tersisa dalam dalam satu tahun,
bandingkan dengannishab emas 85 gram, bila sama atau melebihinya maka
wajib zakat,jika tidak maka tidak perlu zakat, namun dengan bershadaqah
jugadapat membersihkan harta. Wallahu a’lam.
Fatwa-fatwa Seputar Permasalahn Zakat Profesi
Soal : Berkaitan dengan pertanyaan tentang zakat gaji pegawai. Apakah
zakatitu wajib ketika gaji diterima atau ketika sudah berlangsung haul(satu
tahun) ?
Jawab : Bukanlah hal yg meragukan, bahwa diantara jenis harta yang wajib
dizakati ialah dua mata uang (emas dan perak). Dan diantara syaratwajibnya
zakat pada jenis-jenis harta semacam itu, ialah bila sudahsempurna mencapai
haul. Atas dasar ini, uang yang diperoleh darigaji pegawai yang mencapai
nishab, baik dari jumlah gaji itu sendiriataupun dari hasil gabungan uangnya
yg lain, sementara sudahmemenuhi haul, maka wajib untuk dizakatkan.
Zakat gaji ini tidak bisa diqiyaskan dgn zakat hasil bumi. Sebab persyaratan
haul (satu tahun) ttg wajibnya zakat bagi dua mata uangmerupakan
persyaratan yg sudah jelas berdasarkan nash. Apabila sudahada nash, maka
tidak ada lagi qiyas. Berdasarkan itu, makatidaklah wajib zakat bagi uang dari
gaji pegawai sebelum memenuhi haul.
Soal : Apabila seorang muslim menjadi pegawai atau pekerja yg mendapat
gaji bulanan tertentu, tetapi ia tidak mempunyai sumber penghasilan
lain.Kemudian dalam keperluan nafkahnya untuk beberapa bulan,
kadangmenghabiskan gaji bulanannya. Sedangkan pada beberapa bulan
lainnyakadang masih tersisa sedikit yg tersimpan untuk keperluan
mendadak(tak terduga). Bagaimana cara orang ini membayarkan zakatnya ?
Jawab : Seorang muslim yg dapat terkumpul padannya sejmlah uang dari gaji
bulanannya ataupun dari sumber lain, bisa berzakat selama sudahmemenuhi
haul, bila uang yg terkumpul padanya mencapai nishab. Baik(jumlah nishab
tersebut berasal) dari gaji itu sendiri, ataupunketika digabungkan dgn uang

70
lain, atau dgn barang dagangan miliknyayg wajib dizakati.
Tetapi apabila ia mengeluarkan zakatnya sebelum uang yg terkumpulpadanya
memnuhi haul, dgn niat membayarkan zakatnya di muka, makahal itu
merupakan hal yg baik saja. Insya Alah. wallahu ‘alam,semoga bermanfaat.
Ketua : Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz
Wakil : Syaikh abdur Razaq afifi
Anggota : Syaikh Abdullah Bin Ghudayyan, Abdullah Bin Mani
Pertanyaan pertama : Seorang pegawai setiap bulan menyisakan gajinya
dengan jumlah yangberbeda, satu bulan dia menyisakan sedikit dan bulan
yang lainbanyak, maka uang yang pertama sudah sampai satu tahun dan yang
lainbelum cukup satu tahun, sedangkan dia tidak tahu berapa banyak
diamenyisakannya setiap bulan, bagaimana cara dia membayarkan zakatnya ?
Pertanyaan kedua egawai yang lain menerima gaji bulanan, dan dia selalu
menyimpan langsung di money box setiap kali dia menerima gaji. Dia
mengambildari box setiap hari dengan waktu yang berbeda untuk
nafkahkeluarganya serta kebutuhan sehari hari dengan jumlah yang
berbedasesuai dengan kebutuhan. Maka bagaimana cara menghitung
haul(hitungan satu tahun) dari uang yang tersimpan di money boxtersebut ?
Bagaimana cara mengeluarkan zakat dengan keadaan begini,sedangkan
seluruh uang yang tersimpan belum sampai satu tahun ?
Jawaban : Soal yang pertama dan yang kedua isinya sama, dua soal tersebut
juga mempunyai contoh-contoh yang sama, maka Lajnah (Lembaga Riset
Ilmiah dan Fatwa Saudi) berpandangan harus menjawabnya dengan jawaban
yang sempurna supaya mamfaatnya lebih besar, Yaitu :
Barang siapa yang memiliki nishob dari uang, setelah itu diamemiliki nishob
dari uang yang lain pada waktu yang berbeda, bukankeuntungan dari uang
yang pertama, dan tidak juga diambil dari uangyang pertama. Akan tetapi
uang itu tersendiri, seperti seorang pegawai menyisakan (menabungkan)
gajinya, atau seperti hartawarisan, hadiah atau sewaan rumah. Maka apabila
pemilik uang itutomak untuk mengumpulkan hak miliknya atau dia tomak
untuk tidakmengeluarkan sedekah dari hartanya untuk orang yang
berhakmenerimanya kecuali sekedar kewajibannya dari membayar zakat,
makadia harus membuat jadual hitungan penghasilannya. Setiap jumlah
uang(gaji), hitungan haulnya tersendiri, dimulai dari hari dia memilikiuang
tersebut. Setiap jumlah uang itu dikeluarkan zakatnya dengan tersendiri, setiap
kali sampai satu tahun dari tanggal dia memilikinya.
Apabila dia ingin senang dan menempuh jalan toleransi, serta jiwanya senang
untuk mempedulikan keadaan fakir miskin dan yang lainnya;dari orang-orang
yang berhak menerima zakat, maka dia mengeluarkanzakar seluruh yang dia
miliki dari uang tersebut, tatkala nishobyang pertama dari hartanya itu sudah
sampai satu tahun.
Cara yang demikian lebih besar pahalanya, dan lebih tinggi kedudukannya,
dan lebih menyenangkannya, serta lebih terjaga hak-hakfakir miskin dan
lainnya. Dan apa yang dia lebihkan dari yangdiwajibkan kepadanya dari
hitungan zakat, dia niatkan untuk sedekah,berbuat baik, sebagai tanda
syukurnya kepada Allah atas nikmat serta pemberian Allah yang banyak. Dan
dia juga mengharapkan agar Allah subhanah lebih melimpahkan karunia-Nya
kepada beliau, sebagaimana firman Allah :

71
   
  
   

Artinya : Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan;
"Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat)
kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya
azab-Ku sangat pedih".(Q.S.[14] Ibrahim ;7).

Hanya Allah-lah yang memberikan taufiq Sumber fatwa : “Fatawa


lilmuazhofin wal ‘ummal”, oleh Lajnah Daimah,hal; 75-77.
Tanya : Seseorang yang pendapatannya hanya bersandar pada gaji bulanan.
Dia membelanjakan sebagiannya dan menabungkan sebagiannya yang
lain,bagaimana dikeluarkan zakat harta ini ? Jawab : Baginya harus
memastikan dengan mencatat berapa yang dia simpan darigaji bulanannya
kemudian membayar zakatnya jika telah mencapai haul.Semua simpanan
bulanan dibayar zakatnya jika telah berlalu satuhaul. Apabila dia menzakati
seluruhnya karena mengikuti bulanpertama maka tidak mengapa baginya
(untuk membayar zakatnya, pent)dan baginya pahala atasnya, dan zakat itu
teranggap disegerakan daritabungan yang belum mencapai haul. Dan tidak ada
larangan untuk menyegerakan zakat, jika muzakki memandang adanya
maslahat pada yangdemikian, adapun mengakhirkannya (menunda) setelah
sempurna satuhaul, tidak boleh kecuali karena udzur syar’i seperti
(khwatir)terfitnah harta atau kefaqiran.

[Fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah]


Sumber : Pertanyaan : Gaji saya sebesar 8000 real, kebanyakan uang tersebut
setiap bulannya tidak tersisa kecuali hanya sedikti saja. Apakah uang tersebut
masih wajib zakat. Kami mengharapkan jawaban tentang tata cara membayar
zakat dari gaji bulanan, karena hal ini menjadi masalah yang hampir mengena
setiap orang ?

Jawab : Tidak ada zakat pada harta tersbut sampai berlalu atasnya satu haul.
Maka apabila gaji tersebut digunakan untuk nafkah (keluraga) tidakada zakat
atasnya. Apabila engkau menyimpan harta tesebut sampainisab, maka wajib
atasmu untuk membayar zakat harta simpanantersebut apabila telah melewati
masa haul. Maka apabila telah mencapai satu haul pada setiap bagian harta,
wajib dikeluarkanzakatnya.

Sebagai contoh jika engaku menabung uang 2000 real di bulan


Muharramtahun 1415 H maka engkau harus menzakatinya pada Muharam
1416 H(tahun berikutnya), selanjutnya di bulan Shafar tahun depan
engkaumembayar zakat terhadap harta yang disimpan di bulan Shafar
tahunsebelumnya, kemudian bulan Rabi’ul Awal tahun berikutnya
begituseterusnya, artinya engkau menzakati harta yang ditabung
setiapbulannya pada tahun berikutnya. Akan tetapi apabila engkau
melewatisuatu bulan (bulan yang wajib zakat padanya) dalam keadaan

72
tidakmenabung sedikitpun, atau engkau menginfaqkan uang tabungantersebut,
maka tidak ada zakat atasmu di bulan tersebut.

Dan jika ada kesulitan atau merasa berat (dengan berbagai sebab)dalam
menetapkan besarnya zakat, maka boleh baginya untukmenyegerakan
penghitungan zakat dengan menjadikan satu bulantertentu untuk menghitung
zakat yang engkau simpan di setiaptahunya, yaitu dengan menghitung pada
bulan sebelumnya dandikelurkan zakatnya pada bulan itu untuk tiap tahunnya.
(Karenabiasanya penutupan buku di akhir bulan, sehingga penghitungan
dibulan yang harusnya dia mengelurkan zakat adalah hasil data bulan
sebelumnya).
Seandainya engkau jadikan bulan Ramadhan sebagai bulandikeluarkannya
zakat, maka engkau keluarkan zakat harta yang telahkau simpan sejak bulan
Sya’ban, Rajab, Jumadil Akhir dan seterusnyasebelum masuk satu haul.
Karena menyegerakan zakat boleh jika ada suatu hajat

Diambil dan diterjemahkan dari : Pertanyaan : Saya telah sering mendengar


dan membaca artikel tentang zakat profesi, yang mana pada umumnya
menyatakan bahwa “Tidak ada zakat atas harta (uang dari gaji yang diterima
tiap bulan) kecuali harta tersebut disimpan dan telah memasuki masa haul
serta memenuhi nishabnya”. Kalau uang gaji tiap bulan habis (baca: tidak ada
yang bisa ditabung) dipakai untuk pemenuhan nafkah keluarga maka tidakada
zakat atas gaji tersebut.

Masalahnya adalah berapapun besarnya gaji yang diterima, jika seseorang


berkehendak untuk menghabiskannya, maka akan habislah uangtersebut,
sehingga setiap dilakukan perhitungan zakat akan tidakpernah mencapai
nishab. Kalau memang demikian maka berarti bahwa zakat profesi tidak
tergantung dari berapa besarnya gaji yangditerima tiap bulan, melainkan
tergantung dari bagaimana gaya hidup seseorang.

Jika orang tersebut hemat dan rajin menabung, walaupun gajinya mungkin
kecil, tetapi setelah dilakukan perhitungan zakat, mungkin harus membayar
zakat karena memang sudah mencapai masa haul dan memenuhi nishabnya.
Sebaliknya jika orang tersebut bergaya hidup konsumtif (konsumtif tidak
berarti mewah), walaupun gajinya besar, tetapi setiap tahunnya mungkin tidak
mempunyai harta yang memenuhinishab zakat sehingga dia tidak perlu
mengeluarkan zakat.

Pertanyaannya adalah :* Apakah memang begitu (tidak kena zakat kalau tidak
mempunyaiharta simpanan yang memenuhi nishab) ?* Apakah ada batasan
minimum nafkah keluarga, sehingga walaupun tidak mempunyai harta yang
memenuhi nishab, tetapi tetap kena kewajiban membayar zakat sebab gaya
hidupnya konsumtif ?* Jika dikeluarkan zakat 2.5% dari gaji kotor bulanan
(tanpa memandang pehitungan haul dan nishab) apakah hal ini termasuk zakat
atau infaq/shodaqah ?* Jika mempunyai harta yang memenuhi nishab tetapi
kemudian habis (karena suatu kebutuhan keluarga) sebelum masa haulnya
datang, apakah keadaan ini menyebabkan seseorang tersebut tidak diwajibkan
membayar zakat ? Sekian dulu, mohon penjelasan.

73
Jawab : Bismillah : Ya, jika sesorang tidak memiliki harta zakat atau
memilikinya tapi tidak mencapai nishob maka tidak wajib mengeluarkannya,
kewajiban itu dikaitkan dengan harta, manakala ada harta maka wajib zakat
dan tatkala tiada maka tidak wajiab zakat, dan zakat tidak dikaitkan dengan
cara hidup seseorang karena cara hidup itu sesuatu yang nisbi kebutuhan hidup
orang kaya tentu tidak sama dengan orang sederhana, orang kaya
membutuhkan lebih banyak kebutuhannya, dan itu kita rasakan secara fitrah.
Begitu pula orang yang kehidupannya sederhana, tentu dia membutuhkan
lebih sedikit dari orang kaya, jadi tidak bisa kewajiban zakat itu dikaitkan
dengan cara hidup seseorang. Yang benar adalah dikaitkan dengan kekayaan
yang tersisa dari kebutuhannya, baik kekayaan tersebut dimiliki oleh orang
kaya atau yang hidupnya sederhana.

Mengenai kewajiban memberi nafkah, -wallahua’lam- ia memberikan nafkah


minimal pada kebutuhan-kebutuhan daruratnya. Tapi ingat sekali lagi bahwa
zakat itu tidak Allah ta’ala wajibkan kecuali jika telah mencapai nishob
sebagai mana terdapat dalam hadits-hadits Nabi shollallahu alahi wasallam. Ini
adalah ketetapan syari’at ini dan ini adalah rahmat Allah kepada manusia
dimana Allah tidak mewajibkan mengeluarkan zakat kecuali jika memang
sudah lebih dari kebutuhanya.

Mengenai pertanyaan ketiga, ini adalah shodaqoh bukan zakat dan hendaknya
ia menyadari bahwa ini adalah aturan untuk dirinya saja tidak bisa ia
mewajibkan ini untuk orang lain . Dan ini tidak menggugurkan dia dari
kewajiban zakat jika nanti mencapai syarat-syaratnya.
Mengenai pertanyaan keempat , jawabnya ; Ya, jika harta itu habis, tapi jika
masih tersisa walaupun sedikit kemudian di akhir haul mencapai nishob lagi
maka masih berkewajiban menunaikan zakat.

Pertanyaan Pertama : Dari keterangan tentang Zakat profesi/pendapatan yang


ana simak dariIndex Konsultasi masalah Zakat, bahwasananya wajib
zakatprofesi/pendapatan itu apabila kita memliki harta lebih darikebutuhan
pokok kita kemudian telah mencapai nishob dan haul.
Yang ana tanyakan apakah ada zakat profesi yang dikeluarkan daripendapatan
per bulannya (tidak sampai haul), karena ditempat kerjaana lagi berkembang
tentang Zakat profesi, kalau ada bisakahdisertakan dalilnya..?

Jawaban : Dengan ini kami menerangkan bahwa ada perbedaan pendapat


diantara ulama dalam hal kewajiban zakat profesi atau penghasilan,
namunpendapat yang lebih kuat adalah pendapat yang menyatakan tidak
adazakat profesi tersebut, karena tidak memenuhi syarat-syarat wajib zakat,
yang dimaksud dengan syarat-syarat wajib zakat adalah :

1. Harta yang wajib dizakati adalah harta yang sudah sampai nishab yaitu
harta yang dimiliki itu telah mencapai sekuarang-kurangnya 85 gram murni
atau seharganya, maka jika harta itu kurang dari seharga 85 gram emas
murni maka tidak wajib dizakati.
2. Harta itu harus sudah dimiliki selama 1 tahun dan selama satu tahun
tersebut tidak pernah berkurang dari nishabnya, jika berkurang maka
penghitungannya dimulai ketika harta itu mencapai nishabnya. Contoh :

74
saudara pada tanggal 1 Januari 2001 mempunyai uang seharga 85 gram
emas, namun pada dua bulan kemudian uang itu berkurang sehingga
menjadi seharga 60 gram emas, maka penghitungan nishabnya dimulai
kembali jika uang yang saudara miliki telah mencapai 85gram, dan harta
yang sebelum perhitungan baru ini tidak wajib zakat.
3. Harta yang dimiliki adalah milik penuh (tidak ada hutang, dll).
4. Harta tersebut kelebihan dari kebutuhan pokok.
Maka berdasarkan syarat-syarat diatas, harta yang dihasilkan dari profesi
tidak wajib zakat, karena tidak memenuhi syarat pertama, terlebih kalau
penghasilannya tidak mencapai seharga 85 gram emasmurni. Jadi,
sebagaimana pengakuan anda bahwa hal itu belum sampaihaul sedangkan
sampainya haul merupakan salah satu syarat wajib tersebut maka tidak
wajib dizakati.
5. Pertanyaan Kedua : Mohon penjelasan tentang. zakat pendapatan/profesi.
Kalau zakat pendapatan itu dilaksanakan, bagaimana mekanismenya ?.
Apakah harus setiap bulan atau setahun ? Dan apakah dihitung masih kotor
atau sudah bersih? Dan apakah dalam prosentasi
pemotongan/pembayaranzakat ada istilah 2.5%: 2% ; 1.5% : 1% atau 0.5%.
Jawaban : Zakat profesi adalah harta yang dikeluarkan dari harta yang
dihasilkan oleh pekerjaan kita seperti, dokter, dosen, pegawai negeri dll.
Perlu saudara ketahui bahwa kewajiban mengeluarkan zakat mempunyai
syarat-syarat sebagai berikut :
Harta yang wajib dizakati adalah :
Pertama : harta yang sudah mencapai nishabnya (baca: nisobyaitu batas
minimal harta yang harus dizakati, jika harta itu berupauang maka
nishabnya adalah seharga 85 gram emas murni),
Kedua : harta itu merupakan milik sempurna si wajib zakat (bebas dari
hutang )
Ketiga : harta tersebut kelebihan dari kebutuhan pokok.
keempat : harta tersebut sudah haul (setahun dimiliki).
Maka berdasarkan syarat-syarat di atas maka kami berpendapat bahwa tidak
ada kewajiban zakat terhadap harta yang dihasilkan dari profesi, dan
apabila harta yang saudara dapatkan dari pekerjaan tersebut sudah satu
tahun saudara miliki dan memenuhi syarat-syarat di atas maka saudara
wajib mengeluarkan zakatnya sebesar 2,5 % dan diberikan kepada faqir
miskin yang paling dekat dengan saudara, ataugolongan lain yang berhak
yang tersebut dalam surat at-Taubah : 60.
 



 
 

 
  
   
   
 
75
Artinya : Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir,
orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk
hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk
jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai
suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi
Maha Bijaksana[647].

[647] Yang berhak menerima zakat Ialah: 1. orang fakir: orang yang Amat
sengsara hidupnya, tidak mempunyai harta dan tenaga untuk memenuhi
penghidupannya. 2. orang miskin: orang yang tidak cukup penghidupannya
dan dalam Keadaan kekurangan. 3. Pengurus zakat: orang yang diberi tugas
untuk mengumpulkan dan membagikan zakat. 4. Muallaf: orang kafir yang
ada harapan masuk Islam dan orang yang baru masuk Islam yang imannya
masih lemah. 5. memerdekakan budak: mencakup juga untuk melepaskan
Muslim yang ditawan oleh orang-orang kafir. 6. orang berhutang: orang
yang berhutang karena untuk kepentingan yang bukan maksiat dan tidak
sanggup membayarnya. Adapun orang yang berhutang untuk memelihara
persatuan umat Islam dibayar hutangnya itu dengan zakat, walaupun ia
mampu membayarnya. 7. pada jalan Allah (sabilillah): Yaitu untuk
keperluan pertahanan Islam dan kaum muslimin. di antara mufasirin ada
yang berpendapat bahwa fisabilillah itu mencakup juga kepentingan-
kepentingan umum seperti mendirikan sekolah, rumah sakit dan lain-lain. 8.
orang yang sedang dalam perjalanan yang bukan maksiat mengalami
kesengsaraan dalam perjalanannya.

Sebagai contoh : pada tanggal 1 januari 2000 anda mempunyai uang lebih
dari harga emas 85 gram, maka pada tanggal 1 januai 2001, anda harus
mengeluarkan zakatnya 2,5 %, dengan catatan selama setahun tersebut
simpanan anda tidak pernah kurang dari nilai 85 gram emas. Namun
apabila misalnya anda pada bulan pebruari 2000 mempunyai kebutuhan
yang mengharuskan untuk mengambil simpanan anda sehingga simpanan
anda menjadi kurang dari nishab, maka hitungan haulnya gugur. Artinya
pada bulan januari 2001 anda tidak wajib zakat. Pendek kata, seseorang
baru wajib membayar zakat apabila uang yang mencapai nishab tersebut
sudah berumur setahun penuh dan tidak pernah kurang dari nishab. Wallahu
‘alam

Demikian permasalahan seputar Zakat Profesi serta pertentangannyadengan


perhitungan Zakat Maal (harta) yang syar’i. Kita berharap,mudahan-
mudahan ‘CATATAN ATAS ZAKAT PROFESI’, permasalahannya
menjadi jelas dan gamblang, bahwa segala sesuatu walau niatnya baik tapi
caranya tidak didukung dengan dalil yang shahih juga contoh dari Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dipraktekan oleh para sahabatnya,
adalah salah/tertolak dan bisa bertentangan dengan syariat-Nya.

ZAKAT SAHAM dan OBLIGASI

1. Saham adalah hak pemilikan tertentu atas kekayaan suatu perseroan


terbatas (PT) atau atas penunjukan atas saham tertentu. Tiap saham
merupakan bagian yang sama atas kekayaan itu.

76
2. Obligasi adalah kertas berharga (semacam cek) yang berisi pengakuan
bahwa bank, perusahaan, atau pemerintah berhutang kepada pembawanya
sejumlah tertentu dengan bungan tertentu pula
3. Saham dan Obligasi adalah kertas berharga yang berlaku dalam transaksi-
transaksi perdagangan khusus yang disebut BURSA EFEK.
4. Cara menghitung zakat Saham dan Obligasi adalah 2.5 % atas jumlah
terendah dari semua saham/obligasi yang dimiliki selama setahun, setelah
dikurangi atau dikeluarkan pinjaman untuk membeli saham (jika ada).

DALIL DAN SYARAT WAJIB ZAKAT SAHAM.


Dalil dan syarat wajib mengeluarkan zakat saham atau obligasi sama seperti
dalil dan syarat wajib atas zakat uang simpanan diatas.

 ZAKAT AN’AM (BINATANG TERNAK)

Binatang Ternak yang wajib dizakati meliputi Unta, sapi, kerbau dan kambing.
Syarat wajib zakat atas pemilik binatang tersebut adalah :

a. Islam,
b. Merdeka,
c. 100 % milik sendiri, sampai hisab (batas)nya dan telah dimiliki selama
satu tahun. Dijelaskan dalam Hadist, “Tidaklah wajib zakat pada harta
seseorang sebelum satu tahun dimilikinya.” (H.R. Daruquthni)
d. Digembalakan dirumput tanpa beli.

Binatang yang dipakai membajak sawah atau menarik gerobak tidak wajib
dikenakan zakat. ditegaskan oleh Nabi Muhammad SAW. “Tidaklah ada zakat
bagi sapi yang dipakai bekerja.” (H.R. Abu Daud dan Daruquthni).

ZAKAT FITRAH

Setiap menjelang Idul Fitri orang Islam diwajibkan membayar zakat fitrah
sebanyak 3 liter dari jenis makanan yang dikonsumsi sehari-hari. Hal ini
ditegaskan dalam hadist dari Ibnu Umar, katanya “Rasulullah saw mewajibkan
zakat fthri, berbuka bulan Ramadhan, sebanyak satu sha’ (3,1 liter) tamar
atau gandum atas setiap muslim merdeka atau hamba, lelaki atau
perempuan.“(H.R. Bukhari).

Syarat-syarat wajib zakat fitrah, yaitu :

1. Islam
2. Memiliki kelebihan harta untuk makan sehari-hari. tatkala Rasulullah saw
mengutus Mu’az ke Yaman, ia memerintahkan, “Beritahukanlah kepada
penduduk Yaman, Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepada mereka
sedekah (zakat) yang diambil dari orang-orang kaya dan diberikan kepada
orang – orang fakir dikalangan mereka.” (H.R. Jamaah ahli Hadis).
Rasulullah juga bersabda.”Barang siapa meminta – minta sedang ia
mencukupi sesungguhnya ia memperbanyak api neraka (siksaan).“Para
sahabat ketika itu bertanya “Apa yang dimaksud dengan mencukupi itu ?”
Jawab Rasulullah saw , “Artinya mencukupi baginya adalah sekedar cukup

77
buat dia makan tengah hari dan malam hari.” (H.R. Abu Daud dan Ibnu
Majah). Kelebihan harta yang dimaksud tentu saja bukan barang yang dipakai
sehari – hari seperti rumah, perabotan dan lain-lain. Jadi tidak perlu menjual
sesuatu untuk membayar zakat fitrah.

Manfaat pemberian zakat antara lain :

1. Mempererat hubungan si kaya dan si miskin.


2. Agar tidak terjadi kejahatan dari orang – orang miskin dan susah yang
dapat merusak ketertiban masyarakat. Firman Allah SWT,
   .3
  
    
      
   
   
 
   
  

Artinya : Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang


Allah berikan kepada mereka dari karuniaNya menyangka, bahwa kebakhilan
itu baik bagi mereka. sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka.
harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari
kiamat. dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di
bumi. dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S. Ali Imran : 180)

4. Guna membersihkan diri. Firman Allah SWT,

   


 
    
   
   
Artinya : Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan[658] dan mensucikan[659] mereka dan mendoalah untuk
mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi
mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui. (Q.S. At Taubah:
103).

[658] Maksudnya: zakat itu membersihkan mereka dari kekikiran dan cinta yang berlebih-
lebihan kepada harta benda

[659] Maksudnya: zakat itu menyuburkan sifat-sifat kebaikan dalam hati mereka dan
memperkembangkan harta benda mereka

78
DAFTAR ZAKAT HEWAN UNTA, SAPI, DAN KAMBING

Berikut daftar jumlah nishob hewan ternak dan jumlah zakat yang
harus dikeluarkan:

1. Daftar Zakat Unta


Jumlah Zakat yang dikeluarkan
5 1 kambing
10 2 kambing
15 3 kambing
20 4 kambing
25 1 Unta betina umur 1 tahun
36 1 unta betina umur 2 tahun
46 1 unta betina umur 3 tahun
61 1 unta betina umur 4 tahun
76 2 unta betina umur 2 tahun
91 2 unta betina umur 3 tahun
121 3 unta betina umur 2 tahun
Kemudian setiap bertambah 40 unta zakatnya adalah
1 unta betina umur 2 tahun atau setiap bertambah 50
unta zakatnya adalah 1 unta betina umur tahun

2. Zakat Sapi
Awal nishob sapi adalah setiap bertambah 30 maka
zakatnya adalah Anak sapi umur satu tahun lebih,
dan setiap bertambah 40 maka zakatnya adalah
anak sapi umur 2 tahun lebih

3. Zakat kambing
Jumlah Zakat yang dikeluarkan
40 1 kambing yang sudah
“powel” atau 1 domba umur 1
tahun atau 1 kambing gibas
umur 2 tahun
121 2 kambing
201 3 kambing
Kemudian setiap bertambah 100 kambing zakatnya
adalah 1 kambing

HIBAH
HARTA HIBAH :
Yaitu harta yg diberikan oleh seseorang ketika dia masih hidup. Dan aqad
serah terima terjadi diwaktu itu juga, maka perpindahan kepemilikannya

79
harus waktu itu juga.. Hukum harta hibah ini boleh diberikan kesiapapun
baik keluarga atau bukan dg nominal harta hibah itu bebas dan boleh
dalam bentuk apapun dan tidak ada batasan jumlahnya.
Namun jika hibah ini kpd anak anak. Maka harta hibah tersebut harus adil
dan rata kpd setiap anak. Tidak membeda bedakan dalam jumlah
pemberian

Hibah ini jika telah diberikan kpd seseoarang maka hukumnya haram
diminta kembali pemberiannya, kecuali hibahnya ortu kpd anaknya maka
si ortu halal memintanya kembali disaat ortu butuh.
Hibah mungkin suatu yang asing dan jarang di dengar masyarakat Islam
di negara ini berbanding zakat, sedekah, hadiah, wakaf atau wasiat.
Namun, hibah bukanlah instrumen kewangan yang baru kerana sudah
wujud sejak awal Islam lagi.

Hibah ialah suatu akad mengandung pemberian milik seseorang secara


sukarela terhadap hartanya kepada seseorang yang lain pada masa
hidupnya tanpa balasan (iwad). Hibah diberi atas dasar kasih sayang
sesama manusia.

Hibah dibolehkan sama ada kepada ahli keluarga (waris) atau bukan ahli
keluarga, hatta kepada bukan Islam. Islam juga tidak menetapkan kadar
atau had tertentu bagi harta yang hendak dihibahkan kerana harta yang
hendak dihibahkan daripada milik pemberi hibah.

Terpulanglah kepada pemberi hibah membuat pertimbangan terhadap


kadar harta yang ingin dihibahkan. Walaupun begitu, jika harta hendak
dihibahkan kepada anak-anak, Islam menggalakkan ia dibuat secara adil.

Jumhur ulama Hanafi, Maliki dan Syafie berpendapat, sunat


menyamakan pemberian antara anak. Melebihkan pemberian kepada
seorang daripada mereka adalah makruh hukumnya, walaupun pemberian
itu sah. Menurut mazhab Hanbali, keadilan dalam pemberian hibah
kepada anak adalah perkara yang wajib.

Sesuatu akad hibah tidak akan terbentuk melainkan selepas memenuhi


empat rukun hibah iaitu pemberi hibah (al-Wahib); penerima hibah (al-
Mawhub lahu); barang atau harta yang dihibahkan (al-Mawhub) dan
sighah iaitu ijab dan kabul. Setiap rukun itu pula mempunyai syarat
tertentu.

Disyaratkan pemberi hibah hendaklah seorang yang berkeahlian,


sempurna akal, baligh, mestilah tuan punya barang yang dihibahkan dan
mempunyai kuasa penuh ke atas hartanya. Penerima hibah pula boleh
terdiri daripada sesiapa saja asalkan dia mempunyai keupayaan memiliki
harta.

Penerima hibah yang belum akil baligh, kanak-kanak atau kurang upaya,
hibah boleh dibuat melalui walinya atau pemegang amanah bagi pihaknya.

80
Penerima hibah juga disyaratkan boleh memegang, menguasai atau
mengawal harta dihibahkan.

Barang atau harta yang hendak dihibah hendaklah barang atau harta yang
halal, mempunyai nilai di sisi syarak, milik pemberi hibah, boleh diserah
milik dan benar-benar wujud semasa dihibahkan.

Barang atau harta yang masih bercagar (seperti rumah) boleh dihibahkan
jika mendapat keizinan daripada penggadai atau peminjam. Manakala,
sighah hibah disyaratkan ada persamaan antara ijab dan qabul serta tidak
bersyarat.

Menurut mazhab Syafie dan Abu Hanifah, penerimaan barang (al-qabd)


adalah syarat sah hibah. Al-qabd bermaksud mendapat sesuatu,
menguasainya dan boleh melakukan tasarruf terhadap barang atau harta
itu.

Artinya, akad hibah tidak sempurna dan tidak berkuat kuasa jika sekadar
ada ijab dan kabul semata-mata, melainkan selepas berlaku penerimaan
barang oleh penerima hibah. Oleh itu, pemberi hibah berhak menarik balik
hibah selama mana harta berkenaan berada dalam pemilikannya.

Jika berlaku kematian antara salah satu pihak sebelum penerimaan barang,
maka hibah terbatal.

Bagi harta tak alih seperti rumah dan tanah, al-qabd boleh berlaku dengan
cara mengosongkan harta itu, menguasainya dan melakukan tasarruf
terhadap harta seperti menyerah kunci dan seumpamanya. Bagi harta alih
pula, al-qabd boleh berlaku dengan cara mengambil harta itu, memindah
atau mengasingkan harta dengan harta lain.

Satu kelebihan hibah berbanding wasiat, seorang boleh menghibahkan


hartanya kepada waris atau seseorang lain semasa dia masih hidup dan
jumlahnya tidak terhad. Berbanding wasiat, kadar yang boleh diwasiatkan
terhad satu pertiga daripada keseluruhan harta dan tidak boleh
mewasiatkan harta kepada waris yang tidak berhak menerima pusaka
kecuali dengan persetujuan waris lain.

Deklarasi hibah perlu dibuat secara bertulis, dengan khidmat peguam


syarie bertauliah, supaya dokumen itu tidak berlawanan dengan hukum
syarak dan undang-undang. Hibah secara bertulis atau sempat
dilaksanakan semasa pemberi hibah masih hidup mungkin tidak
mendatangkan masalah.

Jika isu mengenai hibah timbul selepas pemberi hibah mati dan hibah
tidak dibuat secara bertulis, pengesahan status hibah perlu di buat di
Mahkamah Syariah. Masalah mungkin timbul ialah saksi tidak cukup,
saksi sudah meninggal dunia atau kesaksian yang tidak konsisten.

81
Hibah dapat membantu ekonomi umat Islam, merapatkan ikatan
persaudaraan dan pertalian kasih sayang sesama insan. Konsep hibah
wajar disuburkan kembali dalam kehidupan masyarakat masa kini.

Kata orang, harta tidak boleh dibawa mati. Namun, disebabkan harta yang
tidak diurus dengan baik berdasarkan peraturan dan hukum Allah semasa
hidup, maka roh si mati tidak aman di alam kubur, lantaran waris yang
masih hidup berebut sesama sendiri.

KESIMPULAN HIBAH

* Hibah boleh diberikan kepada siapa saja baik ahli keluarga (waris) atau
bukan ahli keluarga, hatta kepada bukan Islam.

* Jika harta hendak dihibahkan kepada anak - anak, Islam menyuruh ia


dibuat secara adil.

* Rukun hibah yaitu pemberi hibah (al-Wahib); penerima hibah (al-


Mawhub lahu); barang atau harta yang akan dihibahkan (al-Mawhub) dan
sighah yaitu ijab dan kabul. Setiap rukun itu pula mempunyai syarat
tertentu.

* Penerima hibah yang belum akil baligh, kanak-kanak atau kurang upaya,
hibah boleh dibuat melalui walinya atau pemegang amanah bagi pihaknya.

* Barang atau harta yang hendak dihibah hendaklah barang atau harta
yang halal.

SHADAQAH

Pengertian Shadaqah
Secara umum shadaqah memiliki pengertian menginfakkan harta di jalan
Allah swt.. Baik ditujukan kepada fakir miskin, kerabat keluarga, maupun
untuk kepentingan jihad fi sabilillah. Makna shadaqah memang sering
menunjukkan makna memberikan harta untuk hal tertentu di jalan Allah
swt., sebagaimana yang terdapat dalam banyak ayat-ayat dalam Al-
Qur’an. Di antaranya adalah Al-Baqarah (2): 264
 
  
 
 
  
  
 
  
  
  
   
  
82
    
 
 
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan
(pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan
si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya
kepada manusia dan Dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian.
Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah,
kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah Dia bersih (tidak
bertanah). mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka
usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang
kafir[168].
[168] Mereka ini tidak mendapat manfaat di dunia dari usaha-usaha mereka dan tidak
pula mendapat pahala di akhirat.

dan Al-Taubah (9): 60.


  


 

 

 
  
   
    

Artinya : Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang
fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang
dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang
berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam
perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah
Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana[647].
[647] Yang berhak menerima zakat Ialah: 1. orang fakir: orang yang Amat sengsara
hidupnya, tidak mempunyai harta dan tenaga untuk memenuhi penghidupannya. 2. orang
miskin: orang yang tidak cukup penghidupannya dan dalam Keadaan kekurangan. 3.
Pengurus zakat: orang yang diberi tugas untuk mengumpulkan dan membagikan zakat. 4.
Muallaf: orang kafir yang ada harapan masuk Islam dan orang yang baru masuk Islam
yang imannya masih lemah. 5. memerdekakan budak: mencakup juga untuk melepaskan
Muslim yang ditawan oleh orang-orang kafir. 6. orang berhutang: orang yang berhutang
karena untuk kepentingan yang bukan maksiat dan tidak sanggup membayarnya. Adapun
orang yang berhutang untuk memelihara persatuan umat Islam dibayar hutangnya itu
dengan zakat, walaupun ia mampu membayarnya. 7. pada jalan Allah (sabilillah): Yaitu
untuk keperluan pertahanan Islam dan kaum muslimin. di antara mufasirin ada yang
berpendapat bahwa fisabilillah itu mencakup juga kepentingan-kepentingan umum
seperti mendirikan sekolah, rumah sakit dan lain-lain. 8. orang yang sedang dalam
perjalanan yang bukan maksiat mengalami kesengsaraan dalam perjalanannya.

83
Kedua ayat di atas menggambarkan bahwa shadaqah memiliki makna
mendermakan uang di jalan Allah swt. Bahkan pada ayat yang kedua,
shadaqah secara khusus adalah bermakna zakat. Bahkan banyak sekali
ayat maupun hadits yang berbicara tentang zakat, namun diungkapkan
dengan istilah shadaqah.

Secara bahasa, shadaqah berasal dari kata shidq yang berarti benar. Dan
menurut Al-Qadhi Abu Bakar bin Arabi, benar di sini adalah benar dalam
hubungan dengan sejalannya perbuatan dan ucapan serta keyakinan.
Dalam makna seperti inilah, shadaqah diibaratkan dalam hadits: “Dan
shadaqah itu merupakan burhan (bukti).” (HR. Muslim)
Antara zakat, infak, dan shadaqah memiliki pengertian tersendiri dalam
bahasan kitab-kitab fiqh. Zakat yaitu kewajiban atas sejumlah harta
tertentu dalam waktu tertentu dan untuk kelompok tertentu.
Infak memiliki arti lebih luas dari zakat, yaitu mengeluarkan atau
menafkahkan uang.

Infak ada yang wajib, di antaranya adalah zakat, kafarat, infak untuk
keluarga dan sebagainya. Infak sunnah adalah infak yang sangat
dianjurkan untuk melaksanakannya namun tidak menjadi kewajiban,
seperti infak untuk dakwah, pembangunan masjid dan sebagainya.
Sedangkan infak mubah adalah infak yang tidak masuk dalam kategori
wajib dan sunnah, serta tidak ada anjuran secara tekstual ayat maupun
hadits, diantaranya seperti infak untuk mengajak makan-makan dan
sebagainya.

Shadaqah lebih luas dari sekedar zakat maupun infak. Karena shadaqah
tidak hanya berarti mengeluarkan atau mendermakan harta. Namun
shadaqah mencakup segala amal atau perbuatan baik. Dalam sebuah
hadits digambarkan, “Memberikan senyuman kepada saudaramu adalah
shadaqah.”
Makna shadaqah yang terdapat dalam hadits di atas adalah mengacu pada
makna shadaqah di atas. Bahkan secara tersirat shadaqah yang
dimaksudkan dalam hadits adalah segala macam bentuk kebaikan yang
dilakukan oleh setiap muslim dalam rangka mencari keridhaan Allah swt.
Baik dalam bentuk ibadah atau perbuatan yang secara lahiriyah terlihat
sebagai bentuk taqarrub kepada Allah swt., maupun dalam bentuk
aktivitas yang secara lahiriyah tidak tampak seperti bertaqarrub kepada
Allah, seperti hubungan intim suami istri, bekerja, dsb. Semua aktivitas
ini bernilai ibadah di sisi Allah swt.

Macam-Macam Shadaqah
Rasulullah saw. dalam hadits di atas menjelaskan tentang cakupan
shadaqah yang begitu luas, sebagai jawaban atas kegundahan hati para
sahabatnya yang tidak mampu secara maksimal bershadaqah dengan
hartanya, karena mereka bukanlah orang yang termasuk banyak hartanya.
Lalu Rasulullah saw. menjelaskan bahwa shadaqah mencakup:

1. Tasbih, Tahlil dan Tahmid

84
Rasulullah saw. menggambarkan pada awal penjelasannya tentang
shadaqah bahwa setiap tasbih, tahlil dan tahmid adalah shadaqah. Oleh
karenanya mereka ‘diminta’ untuk memperbanyak tasbih, tahlil dan
tahmid, atau bahkan dzikir-dzikir lainnya. Karena semua dzikir tersebut
akan bernilai ibadah di sisi Allah swt. Dalam riwayat lain digambarkan:
Dari Aisyah ra, bahwasanya Rasulullah saw. berkata, “Bahwasanya
diciptakan dari setiap anak cucu Adam tiga ratus enam puluh persendian.
Maka barang siapa yang bertakbir, bertahmid, bertasbih, beristighfar,
menyingkirkan batu, duri atau tulang dari jalan, amar ma’ruf nahi
mungkar, maka akan dihitung sejumlah tiga ratus enam puluh persendian.
Dan ia sedang berjalan pada hari itu, sedangkan ia dibebaskan dirinya dari
api neraka.” (HR. Muslim)

2. Amar Ma’ruf Nahi Mungkar


Setelah disebutkan bahwa dzikir merupakan shadaqah, Rasulullah saw.
menjelaskan bahwa amar ma’ruf nahi mungkar juga merupakan shadaqah.
Karena untuk merealisasikan amar ma’ruf nahi mungkar, seseorang perlu
mengeluarkan tenaga, pikiran, waktu, dan perasaannya. Dan semua hal
tersebut terhitung sebagai shadaqah. Bahkan jika dicermati secara
mendalam, umat ini mendapat julukan ‘khairu ummah’, karena memiliki
misi amar ma’ruf nahi mungkar. Dalam sebuah ayat-Nya Allah swt.
berfirman:
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia,
menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan
beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih
baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan
mereka adalah orang-orang yang fasik.” [QS. Ali Imran (3): 110]
  
 
 
  
   
  
   
 

 
110. Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada
yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli
kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman,
dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.

3. Hubungan Intim Suami Istri


Hadits di atas bahkan menggambarkan bahwa hubungan suami istri
merupakan shadaqah. Satu pandangan yang cukup asing di telinga para
sahabatnya, hingga mereka bertanya, “Apakah salah seorang diantara
kami melampiaskan syahwatnya dan dia mendapatkan shadaqah?”
Kemudian dengan bijak Rasulullah saw. menjawab, “Apa pendapatmu
jika ia melampiaskannya pada tempat yang haram, apakah dia

85
mendapatkan dosa? Maka demikian pula jika ia melampiaskannya pada
yang halal, ia akan mendapat pahala.” Di sinilah para sahabat baru
menyadari bahwa makna shadaqah sangatlah luas. Bahwa segala bentuk
aktivitas yang dilakukan seorang insan, dan diniatkan ikhlas karena Allah,
serta tidak melanggar syariah-Nya, maka itu akan terhitung sebagai
shadaqah.
Selain bentuk-bentuk di atas yang digambarkan Rasulullah saw. yang
dikategorikan sebagai shadaqah, masih terdapat nash-nash hadits lainnya
yang menggambarkan bahwa hal tersebut merupakan shadaqah,
diantaranya adalah:

4. Bekerja dan memberi nafkah pada sanak keluarganya


Hal ini sebagaimana diungkapkan dalam sebuah hadits: Dari Al-Miqdan
bin Ma’dikarib Al-Zubaidi ra, dari Rasulullah saw. berkata, “Tidaklah ada
satu pekerjaan yang paling mulia yang dilakukan oleh seseorang daripada
pekerjaan yang dilakukan dari tangannya sendiri. Dan tidaklah seseorang
menafkahkan hartanya terhadap diri, keluarga, anak dan pembantunya
melainkan akan menjadi shadaqah.” (HR. Ibnu Majah)

5. Membantu urusan orang lain


Dari Abdillah bin Qais bin Salim Al-Madani, dari Nabi Muhammad saw.
bahwa beliau bersabda, “Setiap muslim harus bershadaqah.” Salah
seorang sahabat bertanya, “Bagaimana pendapatmu, wahai Rasulullah,
jika ia tidak mendapatkan (harta yang dapat disedekahkan)?” Rasulullah
saw. bersabda, “Bekerja dengan tangannya sendiri kemudian ia
memanfaatkannya untuk dirinya dan bersedekah.” Salah seorang sahabat
bertanya, “Bagaimana jika ia tidak mampu, wahai Rasulullah saw.?”
Beliau bersabda, “Menolong orang yang membutuhkan lagi teranaiaya.”
Salah seorang sahabat bertanya, “Bagaimana jika ia tidak mampu, wahai
Rasulullah saw.?” Beliau menjawab, “Mengajak pada yang ma’ruf atau
kebaikan.” Salah seorang sahabat bertanya, “Bagaimana jika ia tidak
mampu, wahai Rasulullah saw.?” Beliau menjawab, “Menahan diri dari
perbuatan buruk, itu merupakan shadaqah.” (HR. Muslim)

6. Mengishlah dua orang yang berselisih


Dalam sebuah hadits digambarkan oleh Rasulullah saw.: Dari Abu
Hurairah r.a. berkata, bahwasanya Rasulullah saw. bersabda, “Setiap ruas-
ruas persendian setiap insan adalah shadaqah. Setiap hari di mana
matahari terbit adalah shadaqah, mengishlah di antara manusia (yang
berselisih adalah shadaqah).” (HR. Bukhari)

WASHIYAT
`
a) Ta’rif Washiyat
1. Fuqaha’ yang bermadzhab Hanafiyah menta’rifkan washiyat ialah
memberikan hak memiliki sesuatu secara sukarela (tabarru’) yang
pelaksanaannya ditangguhkan setelah adanya peristiwa kematiandari yang
memberikan, baik sesuatu itu berupa barang maupun manfaat.1
2. Fuqaha’ Malikiyah menta’rifkannya ialah suatu perikatan yang
mengharuskan kepada si penerima washiyat meng-hak-i 1/3 harta

86
peninggalan si pewashiyat, sepeninggalnya atau yang mengharuskan
penggantian hak 1/3 harta si pewashiyat kepada si penerima washiyat,
sepeninggalnya.2
3. Harta Washiyat:
Yaitu pesan seseorang untuk memberikan hartanya kpd seseorang jika
pemberi washiyat telah wafat, maka perpindahan kepemilikan harta
washiyat akan terjadi setelah pemwashiyat meninggal dunia. Dan syarat
harta wasyiyat tidak boleh lebih dari 1/3 harta mayit, dan juga tidak boleh
washiyat untuk ahli waris Karena bisa dobel mendapat dari wasiyat dan
warisan. Jika si pemwasiat membatalkan washiyatnya sebelum ia
meninggal maka hukumnya Boleh.

b) Sumber - Sumber Hukum Washiyat


1. Al-Kitab
2. As-Sunnah
3. Al-Ijma’
4. Al-Ma’qul (logika)

c) Hukum Washiyat
Washiyat itu adalah suatu tuntutan syari'at untuk dilaksanakan. Namun
demikian jika washiyat tersebut dihubungkan dengan keadaan-keadaan
yang mempengaruhinya, ia tidak terlepas dari ketentuan hukum wajib,
sunnat, haram, makruh dan mubah.

Harta waris

Adalah harta yg ditinggal oleh mayit yg ia miliki semasa ia hidup untuk


dibagikan oleh Allah kpd pewarisnya yg disebut dalam Alqura'an dan
hadits. Tentunya setelah dikurangi jasa pengurusan jenazah dan hutang
dan juga washiyat.
Maka harta yg didapat setelah mayit meninggal spt sumbangan kematian
dan santunan, bukan termasuk harta waris.
Maka harta sumbangan tsb tergantung kpd apa dan siapa yg diniatkan oleh
si penyumbang atau si penyantun tsb..

Pengertian dan Hukum Risywah (Penyuapan)

Secara etimologis kata risywah berasal dari bahasa Arab ” ‫ رشا‬- ‫“ يرشو‬
yang masdarnya bisa dibaca “ ‫ ’‘رشوة‬,’’ ‫ ’‘ رشوة‬atau “ "‫ رشوة‬yang berati “
‫ “ الجعلو‬yaitu upah, hadiah, komisi, suap.
Adapun secara terminology, risywah adalah sesuatu yang diberikan
dalam rangka mewujudkan kemaslahatan atau sesuatu yang diberikan
dalam rangka membenarkan yang bathil/salah atau menyalahkan yang
benar.
Risywah melibatkan tiga unsur, yaitu :
a. pihak pemberi (al-rasyi)
b. pihak penerima bantuan tersebut ( al-murtasyi)
c.dan barang bentuk dan jenis pemberian yang diserahterimakan.
Dalam hal ini al-Syaukani lebih tegas mengemukkakan pendapat bahwa
“diharamkan menyuap seoang hakim secara ijma’ atas dasar hadits Nabi “

87
Allah melaknat orang yang menyuap dan orang yang disuap”. Al-Mansur
Billah, Abu Ja’far dan sebagian ulama mazhab as-Syafi’I berpendapt
bahwa kalau suap dibolehkan untuk menuntut hak yang disepakati maka
itu diperbolehkan. Akan tetepi dahulu mazhab as-Syafi’I tidak
membolehakannya atas dasar keumuman hadits tentang haramnya
risywah. Hadits Nabi tentang Risywah:

‫يمشي الذي يعني الرائش والمرتشيو الراشي وسلم عليه هللا صلي هللا رسول لعن قال ثوبان عن‬
‫احمد رواه( بينهما‬
Artinya: Dari Tsauban berkata: Rasulullah melaknat oaring yagng
menyuap dan yang disuap, dan orang yang menghubungkan yaitu orang
yang berjalan dia antara keduanya.(HR. Ahmad)

‫المرتشي و الراشي وسلم عليه هللا صلس هللا رسول لعن قال عمر بن هللا عبد عن‬
Artunya: Dari ‘Abdillah bin Umar berkata: Rasulullah Saw melaknat
orang yang menyuap dan orang yang disuap

‫احمد رواه( الحكم في المرتشي و الراشي وسلم عليه هللا صلي هللا رسول لعن قال هريرة ابي عن‬
‫والتىميذى دود وابو‬
Dari Abu Hurairah ra. Berkata Rasulillah Saw melaknat orang yang
menyuap dan orang yang disuap di suatu hukum (HR. Ahmad, Abu Daud
dan Tirmidzi)

‫الخمسة رواه( تشي المر و الراشي سلم و عليه هللا صلي هللا رسول لعن قال عمرو بن هللا عبد عن‬
‫الترميذى صحيحه و ئ النسا اال‬
Dari ‘abdillah bin ‘umar ra. Berkata “Rasulullah Saw melaknat orang
yang menyuap dan orang yang disuap (HR, Sunan khomsah kecuali Imam
Nasai dan di shohihkan oleh Tirmidzi)
Setelah menjelaskan hadits-hadits tentang risywah di atas, dalam
paparannya syukani secara jelas mengatakan bahwa bila ada seseorang
yang menganggap ada bentuk- bentuk risywah tertentu dan dengan tujuan
tertentu diperbolehkan, maka hal itu harus disertai dengan alas an dan
dalil yang diterima. Sebab, dalam hadits tentang terlaknatnya para pelaku
risywah tidak disebutkan tentang jenis dan criteria-kriteria risywah.

Suap merupakan salah satu dosa besar, sebagimana yang dikemukakan


oleh al-Dzahabi dalam kitab al-kabair. Menurutnya, suap termasuk dosa
besar yang ke 22, hanya saja al-Dzahabi mengatakan sebuah pernyataan
yang dikritik secara keras oleh as-Syaukani di atas. Akan tetapi Ahmad al-
Siharanfuri dam Mubarakfuri membolehkan suap dengan tujuan
memperjuangkan hak dan kezaliman yang dirasakan oleh pihak pemberi
suap. Dengan mencermati pendapat para ulama ‫ئ‬diatas, bisa diketahui
bahwa pada umumnya suap yang bertujuan untuk memperjuangkan hak
dan menolak kezaliman yang mengancam diri seseorang. Akan tetapi, jika
hal ini dipraktikan di Indonesia yang sedang keras memberantas korupsi,
kolusi dan nepotisme, justru akan sangat rentan sebab seseorang pasti
akan berupaya mencari celah dan alas an agar bisa mendapat hak atau agar
selamat dari ketidakadilan dan kezaliman sehingga akhirnya ia melakukan
penyuapan kepada pejabat atau kepada pihak yang berwenang. Pendapat

88
ulma tentang pembolehan risywah yang bertujuan memperjuangkan hak
dan menolak ketidakadilan, tidaklah berdasarkan teks hadits

‫والمرتشي الراشي هللا لعن‬


"Allah mengutuk penyuap dan orang yang disuap"
Akan tetapi berdasrkan pada atsar atau riwayat para sahabat dan tabi’in
yaitu riwayat yang dikemukakan oleh al-Baghawi yang diriwayatkan dari
al-Hasan, al-Sya’bi, Jabir bin Zaid dan ‘Atha , sesengguhnya mereka
berpendapat bahwa seseorang tidak dianggap berdosa ketika dia
mnggunakan/mengatur diri dan hartanya (untuk elkukan penyuapan)pada
saat dia terancam dengan ketidakadilan.
Dijelaskan oleh Muhammad bin Ismail al-Kahlani al-San’ani bahwa
suap secara ijma’ dinyatakan haram, baik diberikan kepada hakim atau
petugas atas nama sedekah maupun diberikan buakn kepada keduanya.
Pendapat yang biasa diperoleh seorang hakim terdiri atas empat macam ;
suap, hadiah, gaji, dan rejeki. Suap agar hakim memutuskan perjara secara
tidak benar maka status hukumnya adalah haram, baik bagi pemberi
maupun penerima suap. Akan tetapi, jika tujuannya agar hakim
memutuskan perkara secra benar untuk (menyelesaikan) piutang pihak
pemberi suap maka motif suap sperti ini haram bagi hakim, tetapi halal
bagi penyuap sebab tujuannya untuk memperjuangkan hak yang mesti
diterima oleh penyuap. Suap motif ini sama denag upah bagi pemenang
sayembara yang bisa menemukan budak yang kabur dan sama dengan
upah oaring yang dipercaya dalam memenangkan persengketaan.
Suap yang dianggap halal sebagaimana paa ulama hadis pada
umumnya, yaitu suap yang dilakukan oleh seorang dalam rangka
memperjuangkan hak yang harus diterimanya, dalam contoh
penjelasannya disebutkan memperoleh harta milik yang masih piutang
pihak lain. Menurut al-san’ani, hakim dianggap sebagai pemenang
sayembara atau wakil delegasi yang berhasil dalam usaha membela klien
sehingga wajar jika mendapatkan upah atau jasa.
Hukum perbuatan risywah disepakati oleh para ulama adalah haram,
Khususnya risywah yang terdapat unsur membenarkan yang salah dan
atau menyalahkan yang mestinya benar. Akan tetapi ,para ulama
menganggap halal sebuah bentuk suap yang dilakukan dalam rangka
menuntut atau memperjuangkan hak yang mesti diterima oleh pihak
pemberi suap atau dalam rangka menolak kezaliman ,kemudaratan , dan
ketidakadilan yang di rasakan oleh pemberi suap.

Klasifikasi dan sanksi hukum pelaku risywah

Klasifikasi risywah

Pada uraian sebelumnya telah di kemukakan bahwa


risywah,suap,sogok, atau oleh UU No. 31 tahun 1999 tentang
pemberantasan tindak pidana korupsi pasal 12 b disebut dengan
gratisifikasi ,ada yang disepakati haram dan ada yang disepakti halal
hukumnya oleh para ulama
.

89
Risywah yang disepakati haram oleh para ulama adalah risywah yang
dilakukan dengan tujuan unutuk membenarkan yang salah dan
menyalahkan yang benar. Dengan kata lain, suap yang haram adalah suap
yang akibatnya mengalahkan pihak yang mestinya menang dan
memenangkan pihak yang mestinya kalah. Sedangkan suap yang
dinyatakan oleh mayoritas ulama halal adalah suap yang dilakukan
dengan tujuan untuk menuntut atau memperjuangkan hak yang mestinya
di terima oleh pemberi suap (al-rasyi) atau untuk menolak kemudaratan,
kezaliman, dan ketidakadilan yang di rasakan oleh pihak pemberi suap
tersebut.

Ibnu taimiyyah menjelaskan tentang alasan mengapa ada satu jenis


suap yang dianggap halal bagi pihak pemberi dan haram bagi penerima
suap.
Ibnu taimiyyah dalam majmu fatawa nya mengutip sebuah hadis yang di
riwayatkan oleh imam ahmad bin hanbal bahwa rasullah pernah
memberikan sejumlah uang kepada orang yang slalu meminta –minta
kepada beliau.
Atas dasar hadis ini ,muncul pendapat tentang adanya salah satu bentuk
suap yang biasa di benarkan, yaitu suap yang di lakukan oleh seseorang
dengan tujuan agar bisa memperoleh hak yang mestinya ia terima, atau
dalam rangka menolak kemudaratan,ketidakadilan, dan kezaliman yang
mengancam atau mengganggu diri pelaku.

Sanksi hukum bagi pelaku risywah

Abdullah muhsin al-thariqi mengemukakan bahwa sanksi hukum


pelaku tindak pidana suap tidak disebutkan secara jelas oleh syariat
(alquran dan hadis) , mengingat sanksi tindak pidana risywah masuk
dalam katagori sanksi –sanksi takzir yang kompetensinya ada di tangan
hakim. Untuk menentukan jenis sanksi yang sesuai dengan kaidah-kaidah
hukum islam dan sejalan dengan prinsip untuk memelihara stabilitas
hidup bermasyarakat sehingga berat dan ringannya sanksi hukum di
sesuaikan dengan jenis tindak pidana yang di lakukan ,disesuakan dengan
lingkungan di mana pelanggaran itu terjadi di kaitkan dengan motivasi-
motivasi yang mendorong sebuah tindak pidana dilakukan. abdul azis
amir mengatakan bahwa karena dalam teks-teks dalil tentang tindak
pidana risywah ini tidak disebutkan.

Jenis sanksi yang telah di tentukan maka sanksi yang di berlakukan


adalah hukuman takzir. Al-thariqi menjelaskan bahwa sanksi takzir bagi
pelaku jarimah/tindak pidana rasywah merupakn konssekuensi dari sikap
melawan hukum isalm dan sebagai konsekuensi dari sikap
menantang/bermaksiat kepada Allah.

Unsur riswah

Dalam beberapa hadist hanya dinyatakan bahwa Allah mengutuk


pemberi, penerima, dan perantara jarimah riswah.Namun demikian, unsur

90
riswah dalam rumusan pasal undang-undang korupsi menduduki posisi
kedua setelah khianat.
Dalam rumusan pasal tentang riswah disebutkan dengan kalimat “
menerima hadiah atau janji” berarti semangat melakukan jarimah riswah
bisa dipastikan berasal dari pihak yang akan menerima pemberian hadiah
ataupun janji. Walaupun ada kemungkinan antara pihak yang menerima
dan yang akan member telah terjadi kesepakatan lebih awal

PENGERTIAN WAKAF

Wakaf merupakan salah satu cara ibadah atau cara menghampiri diri
kepada Allah?(taqarrub ilallah) menerusi harta kekayaan. Wakaf juga
merupakan salah satu ibadah yang awal di dalam Islam yang diizinkan
oleh syarak. Dengan itu amalan wakaf telah menjadi satu tradisi kepada
para pemerintah dan hartawan-hartawan muslimin di abad-abad dan
pertengahan Islam yang dilakukan secara meluas khususnya di negara-
negara Arab dan Asia Tengah. Sehingga dikebanyakan negara Arab
ditubuhkan satu kementerian khas untuk mengendalikan urusan harta
wakaf – disebabkan harta wakaf yang terlalu banyak dan tidak terurus.

Wakaf Bahasa: Berhenti (‫)وقف‬, Menahan (‫)حبس‬, Menghalang (‫)منع‬

Wakaf Istilah/Syara’: “Wakaf ialah apa-apa harta yang ditahan hak


pewakaf ke atas harta tersebut daripada sebarang urusan jual beli,
pewarisan, hibah dan wasiat di samping mengekalkan sumber fizikalnya,
untuk kebajikan dengan niat untuk mendekatkan diri pewakaf kepada
Allah S .W.T”

Beberapa pengertian/definisi lain:

1) Definisi wakaf di sisi Abi Hanifah:


- iaitu menahan sesuatu asset atau harta yang sah pemiliknya pewakaf dan
bersedekah manfaatnya ke jalan kabajikan.

2) Definisi wakaf di sisi Jumhur Ulama’:


- iaitu menahan barangan harta yang boleh dimanfaatkan serta kekal
asetnya – dengan memutuskan guna pakai ke atas asset itu dari pihak
pewakaf atau lainya -ke arah kegunaan yang harus – atau diguna pakai
penghasilannya ke arah kebaikan dan kebajikan – kerana mendamping diri
kepada Allah.

3) Definisi wakaf di sisi Mazhab Maliki:

- iaitu pemilik menjadikan manfaat yang dimilikinya – sekalipun


dimilikinya dengan menyewa – ataupun dijadikan penghasilan seumpama
wang – kepada yang memerlukan – dengan jalan berlafaz- untuk jangka
masa yang ditetapkan oleh pewakaf. Dengan itu – wakaf di sisi Mazhab
Maliki ialah tidak memutuskan hak pemiliknya pada asset yang
diwakafkan -hanya memutuskan hak mengguna pakai sahaja.

91
RUKUN-RUKUN WAKAF

1. Pewakaf (Al-Wakif)
2. Harta yang diwakafkan (Al-Mawquf)
3. Penerima manfaat wakaf (Al-Mawquf’alaih)
4. Lafaz Akad ( Al-Sighah)

SYARAT –SYARAT PADA RUKUN WAKAF :

1. Pewakaf

a. Merdeka
b. Baligh
c .Berakal
d. Berkelayakan untuk berwakaf
e. Sukarela ( tidak dipaksa untuk berwakaf )

2. Harta yang diwakafkan

a. Harta yang mempunyai nilai.


b. Harta yang boleh dipindah milik.
c. Harta yang boleh diambil manfaat berkekalan.
d. Harta adalah milik sempurna pewakaf

3. Penerima manfaat wakaf


a. Penerima khusus samada seorang atau lebih
b. Penerima tidak khusus (tidak ditentukan penerima wakaf)

4. Lafaz akad

Akad adalah kata-kata yang boleh difahami atau tulisan untuk sesuatu
tujuan wakaf. Akad adalah wajib bagi mengesahkan wakaf.

PRTEMUAN KE VI ; P U A S A

Puasa secara bahasa adalah menahan diri dari sesuatu.


Sedangkan secara terminologi, adalah menahan diri pada siang hari dari
berbuka dengan disertai niat berpuasa bagi orang yang telah diwajibkan sejak
terbit fajar hingga terbenam matahari.

Detailnya, puasa adalah menjaga dari pekerjaan-pekerjaan yang dapat


membatalkan puasa seperti makan, minum, dan bersenggama pada sepanjang
hari tersebut (sejak terbit fajar hingga terbenamnya matahari.

Puasa diwajibkan atas seorang muslim yang baligh, berakal, bersih


dari haidl dan nifas, disertai niat ikhlas semata-mata karena Allah ta'aala.

92
Puasa di bulan Ramadhan mulai diwajibkan kepada orang-orang Islam pada
tahun kedua Hijriah, yakni tahun kedua setelah Nabi Muhammad Saw. hijrah
dari Makkah ke Madinah. Dalil diwajibkannya berpuasa adalah firman Allah
Swt., (QS. Al-Baqarah [2] : 183) sebagai berikut:.

 
  
  
   
  
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu
bertakwa” (QS. Al-Baqarah [2] : 183).

(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang
di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia
dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang
hak dan yang bathil). karena itu, Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri
tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu,
dan Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah
baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari
yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan
hendaklah kamu mengagungkan Allah.

Puasa (bahasa Arab: ‫ )صوم‬secara bahasanya boleh diertikan sebagai


"menahan diri". Dari segi istilah syarak puasa bermaksud "menahan diri
daripada makan, minum dan perkara-perkara yang membatalkan puasa
bermula daripada terbit fajar shadiq sehingga terbenam matahari berserta
niat".
Isi kandungan
1 Puasa Ramadhan
2 Dalil Wajib Puasa Ramadhan
3 Niat Puasa Ramadhan
3.1 Lafaz niat
3.2 Waktu berniat
4 Kelebihan Bulan Ramadan
5 Kerugian meninggalkan puasa Ramadan
6 Hukum puasa
6.1 Puasa Wajib
6.2 Puasa Sunat
6.3 Puasa Haram
7 Syarat wajib puasa
8 Syarat sah puasa
9 Rukun puasa
10 Sunat puasa
11 Perkara yang membatalkan puasa
12 Mereka yang diizinkan berbuka puasa sebelum waktunya

93
13 Doa buka puasa
14 Tingkatan Puasa
15 Pautan Luar
16 Rujukan

Puasa Ramadhan

Puasa Ramadhan artinya menahan diri daripada makan dan minum


serta segala perbuatan yang boleh membatalkan puasa, mulai dari terbit fajar
sehinggalah terbenam matahari pada bulan Ramadhan. Hukum puasa
Ramadhan adalah wajib bagi umat Islam. Umat Islam juga dikehendaki
menahan diri daripada menipu, mengeluarkan kata-kata buruk atau sia-sia,
serta bertengkar atau bergaduh. Ini kerana puasa merupakan medan latihan
memupuk kesabaran, kejujuran serta bertolak ansur dalam diri. Secara tidak
langsung amalan puasa akan menyuburkan sikap murni di dalam diri
pelakunya. Adalah menjadi harapan kita agar kesemua nilai yang baik ini akan
terus dipraktikkan ke bulan-bulan berikutnya.
Dalil Wajib Puasa Ramadhan (Surah Al-Baqarah: 183)

 
  
  
   
  

Artinya :: “ Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan ke atas kamu


berpuasa sebagaimana telah diwajibkan ke atas umat-umat yang sebelum
kamu, semoga kamu menjadi orang-orang yang bertaqwa. “
Hadis Rasulullah s.a.w: Ditegaskan oleh Rasulullah s.a.w melalui sabdanya
yang diriwayatkan oleh Ahmad, An- Nasa'i dan Al Baihaqi dari Abu Hurairah,
yang bermaksud:
|" Sesungguhnya telah datang kepada kamu bulan Ramadhan bulan yang
penuh berkat. Allah telah fardhukan ke atas kamu berpuasa padanya.
Sepanjang bulan Ramadhan itu dibuka segala pintu Syurga dan ditutup segala
pintu neraka serta dibelenggu segala syaitan......."

Niat Puasa Ramadhan

Tidak wajib dan tidak juga sunat berniat dalam bahasa Arab, memadai dalam
bahasa Melayu atau apa-apa bahasa yang kita fahami. Tetapi baik dan
berpahala jika diamalkan dalam bahasa Arab dengan niat kita cinta kepada
bahasa Arab sebagai bahasa Nabi Muhammad s.a.w. dan bahasa Al-Quran.

Lafaz Niat Yang Lengkap:

ِ َّ ِ ‫سنَ ِة‬
‫َلِل‬ َّ ‫ضانَ َه ِذ ِه ال‬
َ ‫ض َر َم‬ ِ َ‫ع ْن أَد‬
ِ ‫اء فَ ْر‬ َ ‫غ ٍد‬ َ ُ‫ن ََويْت‬
َ ‫ص ْو َم‬
‫ت َ َعالَى‬

94
Niatnya: Sahaja aku puasa esok hari bagi menunaikan puasa Ramadhan tahun
ini kerana Allah Taala.
Sebenarnya bangun untuk bersahur itu sudah dikira berniat untuk berpuasa,
malah ada niat atau cita-cita di dalam hati untuk bangun sahur itu juga dikira
sudah berniat untuk berpuasa kerana seseorang itu tidak bangun sahur atau
bercita-cita bangun sahur melainkan bertujuan untuk berpuasa esok harinya,
melainkan jika dia memang berniat tidak mahu berpuasa jika tidak terjaga
semasa waktu sahur.
Menurut mazhab Syafiie, Hanafi dan Hambali bagi puasa
Ramadhan itu wajib diniatkan pada setiap malam sepanjang bulan tersebut,
waktunya mulai terbenam mata hari hinggalah sebelum terbir fajar pada
malam-malam tersebut. Manakala mazhab Maliki pula menyatakan bagi
puasa Ramadhan itu memadai diniatkan sekali saja yaitu pada malam pertama
dengan meniatkan sebulan penuh.
Lafaz niat puasa Ramadhan sepenuhnya untuk sebulan:
Lafaznya
َ ُ‫ن ََويْت‬
‫ص ْو‬
‫ضانَ ِك ِلِّ ِه ِ ََّلِلِ تَعَالَى‬
َ ‫ش ْه ِر َر َم‬
َ ‫َم‬
Niatnya: aku berpuasa sebulan Ramadhan tahun ini kerana Allah Taala.
Digalakkan berniat puasa untuk sebulan dengan sekali niat pada malam
pertama Ramadhan bagi mengelakkan daripada tidak sah puasa kerana terlupa
berniat pada malamnya, kita mengikut Imam Malik yang membolehkan
berniat untuk sebulan sekali gus.
Namun begitu, jika puasa Ramadhan kita terputus oleh sesuatu sebab,
seperti haidh, sakit atau lain-lain, maka niat puasa sebulan itu tidak lagi
memadai untuk hari-hari puasa yang seterusnya, tetapi, hendaklah
diperbaharui niat apabila tidak ada lagi perkara yang menghalang daripada
puasa berturut-turut tersebut. Maksudnya, dengan memperbaharui niat sekali
lagi bagi semua hari-hari puasa Ramadhan yang berbaki, iaitu lafaz niatnya:

ِ‫ضانَ ِ ََّلِل‬ ِ ‫غ ٍد َو إِلَى َء‬


َ ‫اخ ِر َر َم‬ َ ُ‫نَ َويْت‬
َ ‫ص ْو َم‬
‫ت َ َعالَى‬
Niatnya: Sahaja aku berpuasa esok dan sehingga akhir Ramadhan ini kerana
Allah Ta’ala.
Waktu berniat

Waktu berniat bermula daripada terbenam matahari, yakni masuk waktu


sembahyang fardhu Maghrib hinggalah sebelum terbit fajar shadiq (waktu
Subuh). Oleh itu, bolehlah dilakukan niat puasa pada mana-mana bahagian
daripada waktu tersebut, walaupun semasa berbuka.

Kelebihan Bulan Ramadan

Bulan Ramadan adalah bulan yang penuh dengan keberkatan. Di dalam


bulan Ramadhan ada satu malam yang lebih baik dariapada seribu bulan iaitu
Lailatul Qadar atau Malam al-Qadar. Lailatul Qadar atau Malam Qadar ialah
satu malam dalam bulan Ramadhan yang lebih baik daripada 1,000 bulan.

95
Sesiapa yang beramal pada malam tersebut sama seperti beramal selama 1,000
bulan, yaitu bersamaan 83 tahun 4 bulan, jika mendapatnya selama 10 tahun
bersamaan beribadat lebih 833 tahun, jika mendapatnya selama 20 tahun
bersamaan lebih 1,666 tahun, jika mendapatnya selama 30 tahun mendapatnya
bersamaan 2,500 tahun.
Maka berbahagialah orang yang tidak pernah meninggalkan Solat
Isyak berjamaah dan Solat Sunat Tarawih kerana orang yang solat Isyak
berjamaah dan solat Tarawih termasuk dari kalangan orang mendapat
Lailatul Qadar.

Rasullah S.A.W mengatakan sesiapa yang tidak mendapatnya dia


adalah tergolong daripada orang yang amat rugi. Lailatul Qadar satu malam
dalam bulan Ramadan yang tidak diketahui dengan tepat tarikhnya. Ia lebih
diharapkan untuk mendapatkannya pada 10 malam yang terakhir Ramadan,
terutama malam-malam yang ganjil daripada 10 hari terakhir Ramadan
tersebut. Waktunya dikira apabila masuk waktu Maghrib sehingga terbit fajar.
Pada malam itu al-Quran diturunkan, malam Qadar berlaku pada 17 Ramadan,
sementara menurut al-Mubarakfury al-Quran turun pada malam 21 Ramadan.
Orang yang pasti mendapat sebahagian Lailatul Qadar ialah orang yang solat
Fardhu Maghrib dan Isyak secara berjamaah sepanjang bulan Ramadan, dan
dia tidur dengan azam yang kuat untuk solat Subuh berjemaah. Sabda
Rasulullah S.A.W “Sesiapa yang solat Isyak berjemaah, maka seolah-olah dia
telah berqiyamulail separuh malam; Dan sesiapa yang solat Subuh berjemaah,
maka seolah-olah dia telah bersolat sepanjang malam.” (Hadis Sahih Riwayat
Imam Tarmizi, Ibnu Majah dan Nasai)

Sabda Rasulullah S.A.W: "Allah berfirman; "Sesungguhnya dia


(hamba) meninggalkan makan dan minum serta syahwatnya kerana-Ku. Puasa
(yang dikerjakan) kerana-Ku. Puasa adalah untuk-Ku. Sedangkan, Aku
memberi balasan setiap kebaikan itu dengan sepuluh kali ganda sehingga 700
kali ganda kecuali ibadah puasa. Ini kerana, ia (puasa) adalah untuk-Ku, dan
(sudah tentu) Aku sendiri yang akan memberi balasannya."
(Hadis diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Al-Muwattha, Kitab al-Syiyam.
No:603)

Kerugian meninggalkan puasa Ramadan

Pahala puasa Ramadhan amat besar. Orang yang meninggalkan puasa


dengan sengaja, bukan saja telah melakukan satu dosa besar, bahkan dia
mengalami satu kerugian yang amat besar, satu hari puasa yang ditinggalkan
tersebut tidak boleh ditebus dengan cara apapun , tidak boleh ditukar ganti,
sekalipun orang yang meninggalkannya berpuasa seumur hidupnya. Ini jelas
sebagaimana sabda Nabi Muhammad S.A.W bermaksud:
“Siapa saja berbuka satu hari pada bulan Ramadan tanpa ada rukhshah (uzur
syarak) dan tidak juga kerana sakit, dia tidak akan dapat menggantikan puasa
yang ditinggalkannya itu, sekalipun dia berpuasa seumur hidup.” (Hadis
riwayat Tirmidzi, Abu Daud, Nasa’i, Ibnu Majah dan Ibnu Khuzaimah).

Abu Umamah ra berkata; "Aku bertanya kepada Rasulullah S.A.W:


"Ya Rasulullah, tunjukkan padaku suatu amalan yang membolehkan aku

96
memasuki syurga. Lalu Rasulullah S.A.W bersabda: "Kamu hendaklah
berpuasa kerana sesungguhnya tidak ada satu cara pun yang mampu
menandinginya."

HUKUM PUASA

Puasa Wajib
Puasa di bulan Ramadhan merupakan salah satu daripada Rukun Islam.
Syariat puasa Ramadhan difardhukan kepada umat Muhammad s.a.w. pada
tahun ke-2 Hijrah. Makanya, wajiblah ia dilakukan oleh semua orang Islam.
Puasa Kifarah.
Puasa qadha
Puasa Nazar.
Puasa Sunat
Hari-hari berikut disunatkan berpuasa bagi umat Islam:
Puasa enam hari pada bulan Syawal
Puasa pada Hari Arafah pada 9 Zulhijjah, namun menurut Ahli Sunah
Waljamaah (Sunni), berpuasa pada 9 Zulhijjah adalah haram bagi orang yang
menunaikan ibadah Haji. Berpuasa pada 9 Zulhijjah juga adalah dilarang
dalam Mazhab Syiah.
Puasa pada hari tasu'a 9 muharam danHari Asyura pada 10 Muharam
Puasa pada Hari Isnin dan Khamis
Puasa pada 13, 14, 15 haribulan pada setiap bulan Islam Hijrah. Pada tarikh-
tarikh tersebut bulan akan berada dalam keadaan amat jelas kelihatan serta
purnama penuh. Juga dikenali sebagai Puasa Hari Putih.

Puasa Haram
Rencana utama: Tempoh haram puasa
Puasa pada Hari Syak pada hari 30 Syaaban
Puasa pada Hari Raya Aidil Fitri pada 1 Syawal
Puasa pada Hari Raya Aidil Adha pada 10 Zulhijjah
Puasa pada Hari Tashriq pada 11, 12, 13 Zulhijjah
Puasa perempuan haid & Nifas

Puasa pada Hari Arafah yakni pada 9 Zulhijjah, larangan berpuasa


menurut Mazhab Syiah, tetapi berpuasa pada hari tersebut adalah sunat bagi
Muslim yang mengikuti Mazhab Ahli Sunah Waljamaah, namun menurut
pandangan Ahli Sunah Waljamaah juga, haram berpuasa pada hari tersebut
bagi orang yang menunaikan Haji di Arafah.
Puasa sunat seorang perempuan tanpa izin suaminya sedangkan suaminya
berada di rumah
Puasa bagi orang yang bimbang berlakunya mudharat ke atas dirinya kerana
berpuasa

Syarat wajib puasa

Orang-orang Islam yang memenuhi syarat-syarat di bawah ini diwajibkan


berpuasa pada bulan Ramadhan:
Berakal/waras
Baligh (cukup umur)

97
Mampu/tidak uzur.

Syarat sah puasa

Manakala syarat puasa itu diterima di dalam Islam (sah) ialah:


Orang Islam
Berakal - tidak sah jika gila atau kanak-kanak belum mumayyiz
Suci daripada haid dan nifas

Rukun puasa ada dua, iaitu:


Berniat pada malam harinya
Menahan diri dari perkara-perkara yang membatalkan puasa mulai terbit fajar
hingga terbenam matahari.
Sunat puasa[sunting | sunting sumber]

Perkara-perkara berikut disunatkan ketika berpuasa:


Makan sahur serta melambatkannya
Menyegerakan berbuka dan sunat berbuka dengan buah kurma atau benda-
benda yang manis atau air
Menjamu orang-orang berbuka puasa
Solat Tarawih pada malam harinya
Memperbanyakkan ibadah dan berbuat kebaikan
Berungguh-sungguh dan tekun berjaga malam pada 10 malam terakhir
Ramadhan untuk mendapatkan malam al-Qadar atau Lailatul Qadar.
Perkara yang membatalkan puasa[sunting | sunting sumber]

Manakala perkara-perkara berikut akan membatalkan puasa jika


terjadi:
Makan dan minum dengan sengaja walaupun pada nilaian dan kadaran yang
sedikit pun,seperti memakan saki baki makanan kecil yang terlekat pada celah
gigi dan lain-lain lagi.
Muntah dengan sengaja
Bersetubuh
Mengeluarkan air mani dengan sengaja
Keluar darah haid atau nifas
Hilang akal (seperti gila)
Pitam(termasuk pengsan) atau mabuk sepanjang hari.
Merokok disiang hari.(Termasuk menghisap ganja atau dadah)
Murtad (keluar dari Islam)
Memasukkan sesuatu ke dalam rongga terbuka seperti menyembur pewangi
atau menyegar mulut dan sebagainya.Larangan ini tidak termasuk
memasukkan air atau udara kedalam rongga terbuka kerana ingin berwuduk
atau melegakan kesakitan dan ketidakselesaan pada rongga(dengan syarat air
tersebut tidak diminum atau ditelan dengan sengaja).
Mereka yang diizinkan berbuka puasa sebelum waktunya[sunting | sunting
sumber]

Terdapat kelonggaran kepada manusia untuk berbuka:


Orang yang sakit .
Orang yang berkerja buruh.

98
Orang yang dalam perjalanan lebih dari 2 marhalah (musafir).
Orang tua yang sudah lemah.
Orang yang hamil dan ibu yang menyusui anaknya.

Doa buka puasa

‫اللهم لك صمت وبك امنت وعلى رزقك أفطرت‬


Ya Allah, Aku telah berpuasa untuk Kau dan pada Kaulah aku mempercayai
dan aku membuka puasa dengan apa yang Kau berikan
Tingkatan Puasa.

Imam Abu Hamid al-Ghazali dalam bukunya Ihya al-'Ulumuddin telah


membahagikan puasa itu kepada 3 tingkatan:
Puasanya orang awam (shaum al-'umum): menahan diri dari perkara-perkara
yang membatalkan puasa seperti makan dan minum.
Puasanya orang khusus (shaum al-khusus): turut berpuasa dari panca indera
dan seluruh badan dari segala bentuk dosa.
Puasanya orang istimewa, super khusus (shaum al-khawasi al-khawas): turut
berpuasa 'hati nurani', iaitu tidak memikirkan sangat soal keduniaan
Pembahagian di atas memberikan umat Islam ruang untuk berfikir dan
menelaah tingkat manakah mereka berada.

Hikmah Puasa

1. Bulan Ramadhan bulan melatih diri untuk disiplin waktu. Dalam tiga puluh
hari kita dilatih disiplin bagai tentara, waktu bangun kita bangun, waktu
makan kita makan, waktu menahan kita sholat, waktu berbuka kita berbuka,
waktu sholat tarawih, iktikaf, baca qur'an kita lakukan sesuai waktunya.
Bukankah itu disiplin waktu namanya? Ya kita dilatih dengan sangat disiplin,
kecuali orang tidak mau ikut latihan ini.

2. Bulan Ramadhan bulan yang menunjukkan pada manusia untuk seimbang


dalam hidup. Di bulan Ramadhan kita bersemangat untuk menambah amal-
amal ibadah,
dan amal-amal sunat. Artinya kita menahan diri atas satu pekerjaan yang
monoton dan lalai beribadah kepadaNya. Orang yang lalai atas mengingat
Allah, selalu asyik dengan pekerjaannya, sehingga waktu istirahat siang,
sholat, dan makan sering terabaikan. Atau waktu yang seharusnya dipakai
untuk beribadah kepada Allah dipakai untuk makan siang bersama kekasih.
Sholat? tinggal. Di bulan Ramadhan kita diajarka hidup seimbang, antara
pekerjaan, dan Ibadah. Pekerjaan untuk kepentingan dunia dan Ibadah untuk
kepentingan Akhirat.
3. Bulan Ramadhan mengajarkan agar peduli pada orang lain yang lemah. Di
bulan Ramadhan kita puasa, merasaka lapar dan dahaga, mengingatkan kita
betapa sedihnya nasib orang yang tidak berpunya, orang terlantar, anak yatim
yang tiada orang tuanya, fakir miskin yang hidup di tempat yang tidak layak.
Apakah kita tidak merasa prihatin? Sehingga kita peduli untuk membantu
saudara-saudara kita yang kelaparan. Baik karena kondisi ekonomi, atau
disebabkan bencana Alam. Allah menyindir orang yang tidak peduli pada
nasib orang lain yang miskin sebagai pendusta Agama. Juga Allah mengataka

99
orang yang tidak peduli dengan nasib fakir miskin dan anak yatim sebagai
orang yang tidak mempergunakan potensi pancaindranya untuk melihat
keadaan sekelilingnya. Orang yang tidak peduli dengan orang lain juga disebut
sebagai orang yang salah menilai atau memandang kehidupan.

4. Bulan Ramadhan mengajarkan akan adanya tujuan setiap perbuatan


dalam kehidupan. Di bulan puasa kita diharuskan sungguh-sungguh dalam
beribadah, menetapkan niat yang juga berisi tujuan kenapa dilakukannya
puasa. Tuajuan puasa adalah untuk melatih diri kita agar dapat menghindari
dosa-dosa di hari yang lain di luar bulan Ramadhan. Kalau tujuan tercapai
maka puasa berhasil. Tapi jika tujuannya gagal maka puasa tidak ada arti apa-
apa. Jadi kita terbiasa berorientasi kepada tujuan dalam melakukan segala
macam amal ibadah.
`
5. Bulan Ramadhan mengajarkan pada kita hidup ini harus selalu
mempunyai nilai ibadah. Setiap langkah kaki menuju masjid ibadah,
menolong orang ibadah, berbuat adil pada manusia ibadah, tersenyum pada
saudara ibadah, membuang duri di jalan ibadah, sampai tidurnya orang puasa
ibadah, sehingga segala sesuatu dapat dijadikan ibadah. Sehingga kita terbiasa
hidup dalam ibadah. Artinya semua dapat bernilai ibadah.

Macam-macam hukum puasa

a. Puasa Fardu :
a) Puasa bulan ramadhan

b. Puasa Wajib
a) Puasa qadha
b) Puasa karafat
c) Puasa seseorang yang tidak mampu membeli hewan kurban pada haji
tamatu
d) Puasa hari ketiga I’tikaf
e) Puasa nazar

b. Puasa (sunah) :
a) Puasa 3 hari setiap bulan hijriyah
b) Puasa pada hari-hari putih (setiap tanggal 13, 14, dan 15 hijriyah)
c) Puasa pada hari al-ghadir (18 dzulhijjah)
d) Puasa pada hari lahir rasulullah saw (27 rajab)
e) Puasa pada hari Arafah (9 dzulhijjah)
f) Puasa pada hari Mubahalah (24 dzulhijjah)
g) Puasa pada hari kamis dan jumat
h) Puasa pada tanggal 1-9 dzulhijjah
i) Puasa pada hari pertama dan ketiga pada bulan Muharram
j) Puasa pada seluruh hari dalam setahun, kecuali hari-hari yang di
haramkan dan di makruhkan berpuasa di dalamnya

c. Puasa makruh :
a) Puasa sunah yang dilakukan seorang tamu tanpa seizin tuan rumah, atau
tuan rumah melarangnya berpuasa

100
b) Puasa seorang anak (yang belum akil baligh) tanpa seizin ayahnya dan
puasa itu akan membahayakan dirinya
c) Puasa seorang anak yang di larang ayahnya berpuasa, walaupun puasa itu
tidak akan membahayakan dirinya
d) Puasa seorang anak yang di larang ibunya berpuasa, walaupun jika puasa
itu di lakukan, tidak akan membahayakan dirinya
e) Puasa hari arafah bagi orang yang bila ia berpuasa akan menyebabkan
badannya lemah, sehingga tidak mapu membaca doa

d. Puasa Haram
a. Puasa hari raya
b. Puasa orang sakit.dengannya menjadi sakit tambah parah
c. Puasa wanita yang sedang haid, dan nifas.

AMALAN-AMALAN DI BULAN SUCI RAMADHAN

Segala puji bagi Allah yang menjadikan bulan Ramadhan lebih


baik dari pada bulan-bulan lainnya dengan menurunkan al-Qur`an dan
mewajibkan puasa bagi kaum muslimin sebagai salah satu pondasi Islam.
shalawat dan salam tercurah kepada Nabi Muhammad yang telah
menyampaikan kepada kita tentang ibadah-ibadah dibulan Ramadhan dan
memberikan contoh kepada kita bagaimana sebaiknya menghidupkan
bulan bulan yang penuh berkah ini.
Dari Abu Hurairah , ia berkata, Rasulullah memberi kabar gembira
kepada para sahabatnya dengan bersabda:
"Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi. Allah
mewajibkan kepadamu puasa di dalamnya; pada bulan ini pintu-pintu
surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup dan para setan diikat; juga
terdapat dalam bulan ini malam yang lebih baik dari seribu bulan,
barangsiapa yang tidak memperoleh kebaikannya, maka ia tidak
memperoleh apa-apa." HR. Ahmad dan an-Nasa`i.

Berikut ini adalah amalan-amalan yang dianjurkan di bulan


Ramadhan:
Puasa: Allah memerintahkan berpuasa di bulan Ramadhan sebagai salah
satu rukun Islam.

Firman Allah :

‫علَى الَّذِينَ ِمن قَ ْب ِل ُك ْم‬ ِّ ِ ‫علَ ْي ُك ُم‬


َ ‫الصيَا ُم َك َما ُك ِت‬
َ ‫ب‬ َ ‫يَاأَيُّ َها الَّذِينَ َءا َمنُوا ُك ِت‬
َ ‫ب‬
‫لَ َعلَّ ُك ْم‬
َ‫تَتَّقُون‬

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa


sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu
bertaqwa. (QS. Al-Baqarah:183)

Rasulullah bersabda:

101
ُ ‫ش َهادَةِ أ َ ْن الَ ِإلهَ ِإالَّ هللاُ َوأ َ َّن ُم َح َّمدًا َر‬
ِ‫س ْو ُل هللا‬ َ :‫علَى خ َْم ٍس‬ َ ‫ي اْ ِإل ْسالَ ُم‬
َ ‫بُ ِن‬
ِ ‫ضانَ َو َح ِّجِ ْالبَ ْي‬
‫ت‬ َ ‫ص ْو ِم َر َم‬َ ‫الز َكاة ُ َو‬ َّ ‫اء‬
ِ َ ‫صالَةِ َوإِ ْيت‬
َّ ‫َوإِقَ ِام ال‬
ْ
‫ال َح َر ِام‬.
Artinya : "Islam didirikan di atas lima perkara, yaitu bersaksi bahwa tidak
Ilah yang berhak disembah selain Allah I dan Muhammad adalah rasul
Allah , mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan, dan pergi
ke Baitul Haram." Muttafaqun alaih.

Puasa di bulan merupakan penghapus dosa-dosa yang terdahulu apabila


dilaksanakan dengan ikhlas berdasarkan iman dan hanya mengharapkan
pahala dari Allah I, sebagaimana Rasulullah bersabda:

‫غ ِف َر لَهُ َما تَقَد ََّم ِم ْن ذَ ْن ِب ِه‬


ُ ‫سابًا‬ ْ ‫ضانَ ِإ ْي َمانًا َو‬
َ ‫اح ِت‬ َ ‫ام َر َم‬
َ ‫ص‬َ ‫َم ْن‬
"Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan karena iman dan mengharap
pahala dari Allah , niscaya diampuni dosa-dosanya telah lalu." Muttafaqun
alaih.

Membaca al-Qur`an: Membaca al-Qur`an sangat dianjurkan bagi setiap


muslim di setiap waktu dan kesempatan. Rasulullah r bersabda:

َ ‫اِ ْق َرؤ ُْوا ْالقُ ْرآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِي يَ ْو َم ْال ِقيَا َم ِة‬.
ْ َ ‫ش ِف ْيعًا ِأل‬
‫ص َحابِ ِه‬
"Bacalah al-Qur`an, sesungguhnya ia datang pada hari kiamat sebagai
pemberi syafaat bagi ahlinya (yaitu, orang yang membaca, mempelajari
dan mengamalkannya). HR. Muslim.
Dan membaca al-Qur`an lebih dianjurkan lagi pada bulan Ramadhan,
karena pada bulan itulah diturunkan al-Qur`an. Firman Allah :

  


  
  
 
  
  
   
   
    
  
   
 
 
   
 
Artinya : Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan
(permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-
102
penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan
yang bathil). karena itu, Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri
tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan
itu, dan Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka
(wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu,
pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan
tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan
bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya
yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur. (QS: al-Baqarah:185)

Rasulullah selalu memperbanyak membaca al-Qur`an di hari-hari


Ramadhan, seperti diceritakan dalam hadits Aisyah radhiyallahu anha, ia
berkata:

َ َ‫ َوالَ ق‬,ٍ‫ي هللا ِقَ َرأ َ ْالقُ ْرآنَ ُكلَّهُ فِى لَ ْيلَة‬
ْ ُ‫ام لَ ْيلَةً َحتَّى ي‬
َ‫ص ِب َح َوال‬ َّ ‫َوالَ أ َ ْعلَ ُم نَ ِب‬
َ‫ضان‬َ ‫امالً َغي َْر َر َم‬
ِ ‫ش ْه ًرا َك‬
َ ‫ام‬
َ ‫ص‬َ .
"Saya tidak pernah mengetahui Rasulullah membaca al-Qur`an semuanya,
sembahyang sepanjang malam, dan puasa sebulan penuh selain di bulan
Ramadhan." HR. Ahmad.

Dalam hadits Ibnu Abbas yang diriwayatkan al-Bukhari, disebutkan


bahwa Rasulullah melakukan tadarus al-Qur`an bersama Jibril di setiap
bulan Ramadhan.

Menghidupkan malam-malam bulan Ramadhan dengan shalat


Tarawih berjamaah: Shalat Tarawih disyariatkan berdasarkan hadits
Aisyar radhiyallahu anha, ia berkata:"Sesungguhnya Rasulullah keluar
pada waktu tengah malam, lalu beliau shalat di masjid, dan shalatlah
beberapa orang bersama beliau. Di pagi hari, orang-orang
memperbincangkannya. Ketika Nabi mengerjakan shalat (di malam
kedua), banyaklah orang yang shalat di belakang beliau. Di pagi hari
berikutnya, orang-orang kembali memperbincangkannya. Di malam yang
ketiga, jumlah jamaah yang di dalam masjid bertambah banyak, lalu
Rasulullah keluar dan melaksanakan shalatnya.

Pada malam keempat, masjid tidak mampu lagi menampung


jamaah, sehingga Rasulullah hanya keluar untuk melaksanakan shalat
Subuh. Tatkala selesai shalat Subuh, beliau menghadap kepada jamaah
kaum muslimin, kemudian membaca syahadat dan bersabda,
Sesungguhnya kedudukan kalian tidaklah samar bagiku, aku merasa
khawatir ibadah ini diwajibkan kepada kalian, lalu kalian tidak sanggup
melaksanakannya." Rasulullah wafat dan kondisinya tetap seperti ini.
(HR. al-Bukhari dan Muslim).
Setelah Rasulullah wafat, syariat telah mantap, hilanglah segala
kekhawatiran. Disyariatkan shalat Tarawih berjamaah tetap ada karena
telah hilang illat (sebabnya), kerena illat itu berputar bersama malul, ada
dan tiadanya. Di samping itu, Khalifah Umar telah menghidupkan
kembali syariat shalat Tarawih secara berjamaah dan hal itu disepakati
oleh semua sahabat Rasulullah r pada masa itu. Wallahu Alam.

103
Menghidupkan malam-malam Lailatul Qadar: lailatul qadar adalah malam
yang lebih baik dari pada seribu bulan yang tidak ada lailatul qadar dan
pendapat paling kuat bahwa ia terjadi di sepuluh hari terakhir bulan
Ramadhan, terlebih lagi pada malam-malam ganjil, yaitu malam 21,
23,25,27, dan 29. Firman Allah :
   
  
Artinya : Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. (QS.al-Qadar
:3)
Malam itu adalah pelebur dosa-dosa di masa lalu, Rasulullah r bersabda:

‫غ ِف َر لَهُ َما تَقَد ََّم ِم ْن ذَ ْن ِب ِه‬


ُ ‫سابًا‬ ْ ‫ام لَ ْيلَةَ ْالقَدَ ِر ِإ ْي َمانًا َو‬
َ ‫اح ِت‬ َ َ‫و َم ْن ق‬.
َ
"Dan barangsiapa yang beribadah pada malam Lailatul qadar semata-mata
karena iman dan mengharapkan pahala dari Allah , niscaya diampuni dosa-
dosanya yang terdahulu." HR. al-Bukhari.
Menghidupkan Lailatul qadar adalah dengan memperbanyak shalat
malam, membaca al-Qur`an, zikir, berdoa, membaca shalawat. Aisyah
radhiyallahu anha pernah berkata, Aku bertanya, Wahai Rasulullah, jika
aku mendapatkan lailatul qadar, maka apa yang aku ucapkan? Beliau
menjawab, berdoalah :

Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pengampun, Yang suka


mengampuni, ampunilah aku."

Itikaf di malam-malam Lailatul Qadar: Itikaf dalam bahasa adalah berdiam


diri atau menahan diri pada suatu tempat, tanpa memisahkan diri. Sedang
dalam istilah syari, itikaf berarti berdiam di masjid untuk beribadah kepada
Allah dengan cara tertentu sebagaimana telah diatur oleh syariat.
Itikaf merupakan salah satu sunnah yang tidak pernah ditinggal oleh
Rasulullah , seperti yang diceritakan oleh Aisyah radhiyallahu anha:
َ‫ضان‬ َ ‫اخ َر ِم ْن َر َم‬ ِ ‫ف ْالعَ ْش َر اْأل َ َو‬ َّ ِ‫أ َ َّن النَّب‬
ُ ‫ي صلى هللا عليه وسلم َكانَ يَ ْعتَ ِك‬
‫ف أ َ ْز َوا ُجهُ ِم ْن َب ْع ِد ِه‬َ ‫ى ت َ َوفَّاهُ هللاُ ث ُ َّم ا ْعت َ َك‬
َّ ‫ َحت‬.
"Sesungguhnya Nabi selalu itikaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan
Ramadhan sampai meninggal dunia, kemudian istri-istri beliau beritikaf
sesudah beliau." Muttafaqun alaih.
Memperbanyak sedekah: Rasulullah adalah orang yang paling pemurah,
dan beliau lebih pemurah lagi di bulan Ramadhan. Hal ini berdasarkan
riwayat Ibnu Abbas , ia berkata:

"Rasulullah adalah manusia yang paling pemurah, dan beliau lebih


pemurah lagi di bulan saat Jibril menemui beliau, …HR. al-Bukhari.
Melaksanakan ibadah umrah: salah satu ibadah yang sangat dianjurkan di
bulan Ramadhan adalah melaksanakan ibadah umrah dan Rasulullah
menjelaskan bahwa nilai pahalanya sama dengan melaksanakan ibadah
haji, seperti dalam hadits yang berbunyi:

104
"Umrah di bulan Ramadhan sama dengan ibadah haji."
Demikianlah beberapa ibadah penting yang sangat dianjurkan untuk
dilaksanakan di bulan Ramadhan dan telah dicontohkan oleh Rasulullah .
Semoga kita termasuk di antara orang-orang yang mendapat taufik dari
Allah untuk mengamalkannya agar kita mendapatkan kebaikan dan
keberkahan bulan Ramadhan.

PERTEMUAN KE VII : HAJI DAN UROH

Pengertian Haji dan Umrah

Haji secara etimologi adalah berkunjung. Adapun secara terminologi


adalah mengunjungi Baitul Haram dengan amalan tertentu, pada waktu
tertentu.

Adapun umrah secara etimologi adalah berkunjung. Sedangkan secara


terminologi adalah mengunjungi Baitul Haram dengan amalan tertentu.
  
   
   
   
  
   
   
 
Artinya : . Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya)
maqam Ibrahim[215]; Barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi
amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap
Allah, Yaitu (bagi) orang yang sanggup Mengadakan perjalanan ke
Baitullah[216]. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), Maka
Sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari
semesta alam. . (Q.S. Ali-Imran [3] : 97)
[215] Ialah: tempat Nabi Ibrahim a.s. berdiri membangun Ka'bah.
[216] Yaitu: orang yang sanggup mendapatkan perbekalan dan alat-alat pengangkutan
serta sehat jasmani dan perjalananpun aman.

HAL-HAL YANG TIDAK BOLEH DILALUKAN DALAM


IBADAH HAJI
Qur’ah Surat 2 (Al-Baqarah : 197) yang berbunyi :
 
   
    
   
  
  
  
  
  
105
 
 
Artinya : (Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi[122],
Barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan
mengerjakan haji, Maka tidak boleh rafats[123], berbuat Fasik dan
berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. dan apa yang
kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya.
Berbekallah, dan Sesungguhnya Sebaik-baik bekal adalah takwa[124]
dan bertakwalah kepada-Ku Hai orang-orang yang berakal.
[122] Ialah bulan Syawal, Zulkaidah dan Zulhijjah.
[123] Rafats artinya mengeluarkan Perkataan yang menimbulkan berahi yang tidak
senonoh atau bersetubuh.
[124] Maksud bekal takwa di sini ialah bekal yang cukup agar dapat memelihara diri
dari perbuatan hina atau minta-minta selama perjalanan haji.

Keutamaan Haji dan Umrah

Haji merupakan syiar yang agung dan ibadah yang mulia, dengannya
seorang hamba akan mendapatkan rahmat dan berkah yang menjadikan
setiap orang muslim sangat rindu untuk segera melaksanakannya.

Sesungguhnya haji merupakan jalan menuju syurga dan membebaskan


diri dari api neraka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda :

Artinya : “ Haji yang mabrur tidak ada balasan baginya kecuali syurga. “
(HR. Bukhari dan Muslim)

Haji dapat melebur dosa dan menghilangkan dampak maksiat dan


perbutan jelek, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam :
Artinya : “Barang siapa yang hendak berhaji, dan tidak melakukan
senggama (diwaktu terlarang) dan tidak berbuat fasiq (maksiat), maka ia
akan kembali dari dosa-dosanya seperti saat ia dilahirkan oleh ibunya”.
(HR Bukhari dan Muslim )

Ibadah haji sebagaimana bisa membawa kepada kejayaan di akhirat,


begitu juga bisa menyelamatkan dari kefakiran, sebagaimana hadist Ibnu
Mas’ud bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda :
Artinya : “Laksanakanlah haji dan umrah, karena keduanya menghapus
kefakiran dan dosa sebagaimana api menghilangkan karat dari besi.”
(HR. Tirmidzi )

Seorang muslim jika melaksanakan ibadah haji, maka dia telah masuk
dalam katagori jihad. Yaitu ; meninggalkan keluarga dan negaranya,
menjadi tamu Allah Yang Maha Pengasih, seraya memakai ihram,
mengucapkan talbiyah, berdiri, berdo’a, berdzikir dan beribadah.
Sebagaimana yang diriwayatkan Imam Ahmad dan Ibnu Majah dari
Aisyah ra bahwa beliau bertanya Nabi saw :

106
Artinya : “Apakah wanita itu wajib berjihad ? Maka beliau bersabda “
Kalian wajib berjihad yang tidak pakai perang, yaitu haji.”

Macam-macam haji dan cara melaksanakannya

Latar Belakang
Agama Islam bertugas mendidik dzahir manusia, mensucikan jiwa
manusia, dan membebaskan diri manusia dari hawa nafsu. Dengan ibadah
yang tulus ikhlas dan aqidah yang murni sesuai kehendak Allah, insya
Allah kita akan menjadi orang yang beruntung.Ibadah dalam agama Islam
banyak macamnya. Haji adalah salah satunya, yang merupakan rukun
iman yang kelima. Ibadah haji adalah ibadah yang baik karena tidak
hanya menahan hawa nafsu dan menggunakan tenaga dalam
mengerjakannya, namun juga semangat dan harta.

A.MACAM – MACAM IBADAH HAJI

Setiap jamaah bebas untuk memilih jenis ibadah haji yang ingin
dilaksanakannya. Rasulullah SAW memberi kebebasan dalam hal itu,
sebagaimana terlihat dalam hadis berikut.
Aisyah RA berkata: Kami berangkat beribadah bersama Rasulullah SAW
dalam tahun hajjatul wada. Diantara kami ada yang berihram, untuk haji
dan umrah dan ada pula yang berihram untuk haji . Orang yang berihram
untuk umrah ber- tahallul ketika telah berada di Baitullah. Sedang orang
yang berihram untuk haji jika ia mengumpulkan haji dan umrah. Maka ia
tidak melakukan tahallul sampai dengan selesai dari nahar.
1. Haji Tamattu
Haji Tamattu’ ialah melakukan umrah terlebih dahulu pada musim haji,
kemudian melaksanakan ibadaha haji. Yaitu dengan cara berniat untuk
mengambil umrah haji ketika sampai di miqat sebelum memasuki kota
makkah dengan ucapan, “Allahumma labbaika ‘umratan mutamatti’an biha
ilal hajj”. Setelah sampai di Mekkah, lalu melaksanakan umrah dengan
cara yang sama seperti tata cara umrah. Setelah melakukan umrah sampai
selesai melakukan tahalul, halal baginya segala sesuatu yang tadinya
diharamkan ketika ihram, sampai tanggal 8 Dzulhijjah baru kemudian
berihram kembali untuk menyempurnakan amalan-amalan haji yang
tersisa..
Bila menggunakan cara ini, maka yang bersangkutan diwajibkan
membayar dam nusuk (berupa menyembelih seekor kambing, kalau tidak
mampu berpuasa 10 hari yaitu 3 hari di Makkah atau di Mina dan 7 hari di
tanah air), apabila puasa 3 hari di Makkah tidak dapat dilaksanakan karena
suatu hal maka harus diqadha sesampainya di kampung halaman dengan
ketentuan puasa yang tiga hari dengan ketentuan puasa yang tiga hari
dengan tujuh hari dipisahkan 4 hari.
2. Haji Ifrad
Haji ifrad ialah melakukan haji saja. yaitu seorang berniat melakukan haji
saja tanpa umrah pada bulan-bulan haji, dengan mengucapkan di miqat,
“Labbaika hajjan”. Sama dengan haji qiran;setelah.sampai.di
Mekkah,.lalu melakukan thawaf qudum dan sa’i (untuk sa’i boleh
ditunda sampai setelah melakukan thawaf ifadhah pada tanggal 10

107
Dzulhijjah). Setelah sa’i tidak halal baginya melakukan hal-hal yang
diharamkan ketika ihram, jadi dia tetap dalam keadaan ihram sampai
tanggal 10 Dzulhijjah. Bagi yang akan umrah wajib atau sunnah maka
setelah menyelesaikan hajinya, dapat melaksanakan umrah dengan miqat
dari Tan’im, Ji’ranah, Hudaibiyah atau dareah tanah halal lainnya. Cara ini
tidak dikenakan dam.
3. Haji Qiran
Haji qiran ialah mengerjakan haji dan umrah di dalam satu niat dan satu
pekerjaan sekaligus. Yaitu seorang berniat melakukan haji saja tanpa
umrah pada bulan-bulan haji, dengan mengucapkan di miqat,“Labbaika
hajjan wa ‘umrotan”. Setelah sampai di Mekkah, lalu melakukan thawaf
qudum dan sa’i (untuk sa’i boleh ditunda sampai setelah melakukan
thawaf ifadhah pada tanggal 10 Dzulhijjah). Setelah sa’i tidak halal
baginya melakukan hal-hal yang diharamkan ketika ihram, jadi dia tetap
dalam keadaan ihram sampai tanggal 10 Dzulhijjah.Cara ini juga wajib
membayar dam nusuk. Pelaksanaan dam sama dengan pada haji Tamattu’.

B. Perbedaan Mendasar Antara Haji Ifrad, Tamattu’ dan Qiran


Dari pembahasan di atas kita dapat mengambil kesimpulan bahwa haji itu
terbagi atas 3 macam yaitu :
1. Haji ifrad yaitu Ibadah Haji dengan cara melaksanakan Ibadah Haji
dahulu kemudian Ibadah Umroh, dan diselingi Tahallul.
2. Haji tamattu yaitu Ibadah Haji dengan cara melaksanakan Ibadah
Umroh dahulu kemudian Ibadah Haji, dan diselingi Tahallul.
3. Haji Qiran yaitu Ibadah Haji dengan cara melaksanakan Ibadah Haji
dan Ibadah Umroh pada waktu bersamaan, tanpa diselingi Tahallul.
Pelaksanaannya : Perbedaan pada niat dan Dam

Haji Ifrad Haji Tamattu Haji Qiran


a. Ihram dari miqat a. Ihram dari miqat untuk a. Ihram dari miqat
untuk Haji Umroh untuk Haji dan Umroh
b. Ihram lagi dari b. Ihram lagi dari miqat b. Melakukan semua
miqat untuk Umroh untuk Haji pekerjaan haji
c. Tidak membayar c. Membayar Dam c. Membayar Dam
Dam
d. Disunatkan Tawaf
Qudum

1. Perbedaan pada niat


2. Tidak ada kewajiban menyembelih hewan hadyu (hewan sembelihan
untuk membayar Dam) bagi yang melaksanakan haji ifrad. Adapun bagi
yang melakukan haji tamattu’ dan qiran selain penduduk Mekkah, wajib
bagi mereka hadyu.
3. Pada haji tamattu’, boleh melakukan tahallul setelah melakukan umrah,
sehingga halal bagi yang melakukan haji tamattu’ semua yang diharamkan
ketika ihram sampai masuk tanggal 8 Dzulhijjah.
4. Pada haji tamattu’ terdapat dua kali sa’i, yang pertama ketika umrah dan
yang kedua setelah melakukan thawaf ifadhah pada tanggal 10 Dzulhijjah.
Sedangkan dalam haji qiran dan ifrad hanya terdapat satu sa’i, boleh

108
dilakukan setelah thawaf qudum atau setelah thawaf ifadhah pada tanggal
10 Dzulhijjah.
Adapun persamaannya ketiga bentuk haji ini diantaranya, terdapat 3
macam thawaf, yaitu thawaf qudum (dilakukan ketika pertama kali sampai
ke Mekkah), thawaf ifadhah (dilakukan pada tanggal 10 Dzulhijjah) dan
thawaf wada’(dilakukan sebelum meninggalkan Mekkah).

KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas kita dapat mengambil kesimpulan bahwa
haji itu terbagi atas 3 macam yaitu :
1.Haji tamattu yaitu Ibadah Haji dengan cara melaksanakan Ibadah Umroh
dahulu kemudian Ibadah Haji, dan diselingi Tahallul.

Pelaksanaan :
a. Ihram dari miqat untuk Umroh
b. Ihram lagi dari miqat untuk Haji
c. Membayar Dam
d. Disunatkan Tawaf Qudum

2. Haji ifrad yaitu Ibadah Haji dengan cara melaksanakan Ibadah Haji
dahulu kemudian Ibadah Umroh, dan diselingi Tahallul.
Pelaksanaan :
a. Ihram dari miqat untuk Haji
b. Ihram lagi dari miqat untuk Umroh
c. Tidak membayar Dam

3. Haji Qiran yaitu Ibadah Haji dengan cara melaksanakan Ibadah Haji dan
Ibadah Umroh pada waktu bersamaan, tanpa diselingi Tahallul.
Pelaksanaan :
a. Ihram dari miqat untuk Haji dan Umroh
b. Melakukan semua pekerjaan haji
c. Membayar Dam

Kewajiban Haji Dan Umrah Hanya Sekali Seumur Hidup

Haji merupakan salah satu dari ibadah-ibadah faridhah yang agung dan
salah satu rukunnya yang lima. Hal itu berdasarkan sabda Nabi saw :

Artinya : “Islam dibangun di atas lima perkara yaitu syahadat laa ilaaha
illallah dan Muhammad Rasulullah, menegakkan shalat, menunaikan
zakat, puasa Ramadhan dan haji” ( HR Bukhari dan Muslim )

Seorang muslim wajib melaksanakan ibadah haji dan umrah sekali


seumur hidup sebagaimana yang diriwayatkan Imam Muslim dari hadist
Abu Hurairah berkata :
Artinya : “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkhutbah di
hadapan kami, beliau berkata: “Wahai sekalian manusia, sungguh Allah
telah mewajibkan bagi kalian haji maka berhajilah kalian!” Seseorang
berkata: “Apakah setiap tahun, ya Rasulullah?” Beliau terdiam sehingga
orang tersebut mengulangi ucapannya tiga kali. Lalu Rasulullah

109
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Kalau aku katakan ya, niscaya
akan wajib bagi kalian dan kalian tidak akan sanggup.” Kemudian beliau
berkata: “Biarkanlah apa yang aku tinggalkan kepada kalian.
Sesungguhnya orang sebelum kalian telah binasa karena mereka banyak
bertanya yang tidak diperlukan dan menyelisihi nabi-nabi mereka. Jika
aku memerintahkan sesuatu kepada kalian maka lakukanlah sesuai dengan
kesanggupan kalian. Dan bila aku melarang kalian dari s esuatu maka
tinggalkanlah.”

Begitu juga seorang muslim wajib melaksanakan ibadah umrah sekali


dalam hidupnya, Allah swt berfirman :
 
  
Artinya :“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan 'umrah karena Allah”
…(QS. Al Baqarah[2] : 196)

Ibnu Abbas Berkata : Sesungguhnya umrah disebutkan bersama haji di


dalam kitab Allah, oleh karena itu, sebagaimana haji hukumnya wajib,
maka umrahpun hukumnya wajib.

Syarat-syarat Kewajiban Haji dan Umrah

Haji diwajibkan kepada : Seorang muslim yang Aqil Balig, berakal,


merdeka dan mampu, maka tidak diwajibkan kepada orang kafir, karena
haji merupakan bentuk ibadah, sedang ibadah tidak boleh dilakukan oleh
orang kafir, karena tidak sah niatnya

Baligh, haji tidak diwajibkan kepada orang gila dan orang yang
kurang waras pikirannya, begitu juga tidak diwajibkan kepada anak kecil,
sebagaimana hadist Ali bin Abi Thalib bahwa Nabi saw bersabda :

Artinya : “Pena itu diangkat dari tiga golongan: orang tidur hingga
terbangun, anak kecil hingga ia baligh, dan orang gila (kurang sehat
akalnya) hingga ia berakal” (HR. Ahmad, Abu Daud dan Nasai)

Merdeka, haji tidak diwajibkan kepada hamba sahaya sebagai


kemudahan baginya, karena dia sibuk melayani tuannya, dan karena haji
membutuhkan harta sedangkan hamba sahaya tidak mempunyai harta.
Mampu, haji tidak wajib bagi orang yang tidak mampu, Allah swt
berfirman :
  
   
   
   
  
    
   
 

110
Artinya : Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya)
maqam Ibrahim[215]; Barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi
amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap
Allah, Yaitu (bagi) orang yang sanggup Mengadakan perjalanan ke
Baitullah[216]. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), Maka
Sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta
alam. (QS. Ali Imran : 97)
[215] Ialah: tempat Nabi Ibrahim a.s. berdiri membangun Ka'bah.
[216] Yaitu: orang yang sanggup mendapatkan perbekalan dan alat-alat pengangkutan
serta sehat jasmani dan perjalananpun aman.

akan mendapatkan pahala, sebagaimana di dalam hadist : Jika anak


kecil melaksanakan ibadah haji, maka hajinya sah, dia dan walinya

‫َّللا أ َ ِل َهذَا َح ٌّج َقا َل نَ َع ْم‬ َ ْ‫ام َرأَةً َر َف َعت‬


ُ ‫ص ِب ًّيا فَقَا َلتْ َيا َر‬
ِ َّ ‫سو َل‬ ْ ‫ب أ َ َّن‬
ٍ ‫ع َْن ك َُر ْي‬
‫َولَ ِك أَجْ ر‬
Artinya : "Dari Kuraib bahwasanya; Ada seorang wanita yang sedang
menggendong anaknya dan berkata, "Apakah bagi anak ini juga memiliki
keharusan haji?" beliau menjawab: "Ya, dan kamu juga menjadapkan
ganjaran pahala." (HR. Muslim)

Adapun caranya adalah wali dari anak kecil tersebut berniat haji untuknya.
Ini dilakukan ketika membayar ongkos haji. Maksud seorang wali
mewakili niat haji untuknya adalah wali tersebut ketika membayar ongkos
haji diniatkan untuk ibadah haji anak kecil tersebut. Kecuali kalau anak
kecil itu sudah mumayiz, maka dia boleh berniat sendiri untuk melakukan
ihram dengan izin walinya. Walaupun begitu, kewajiban ibadah haji tidak
gugur darinya, maka ketika dia sudah dewasa, dia wajib melaksanakan
ibadah haji lagi.

Kriteria Mampu

Kemampuan dalam melaksanakan ibadah haji bisa diukur dengan hal-


hal sebagai berikut :

1. Dikatakan mampu melaksanakan ibadah haji, karena badannya sehat,


sebagaimana hadist Ibnu Abbas :
ُ َ ‫هللا ِإ َّن أ َ ِبي أَد َْر َكتْهُ فَ ِر ْي‬ َ ‫ َي‬: ْ‫ام َرأَةً ِم ْن َخثْ َع َم قَا َلت‬ ْ ‫أ َ َّن‬
ِ‫ضة ا ْل َحج‬ ِ ‫س ْو َل‬ ُ ‫ار‬
َ ‫احلَ ِة أَفَأ َ ُح ُّج‬
:‫ع ْنهُ؟ قَا َل‬ َّ ‫علَى‬
ِ ‫الر‬ َ ‫ى‬ ْ َ‫ست َ ِط ْي ُع أ َ ْن ي‬
َ ‫ست َ ِو‬ ْ َ‫ش ْي ًخا َك ِب ْي ًرا الَ ي‬
َ
ُ‫ع ْنه‬
َ ‫ُح ِجى‬
“Bahwasanya seorang wanita dari Khats’am berkata: ‘Wahai Rasulullah,
sesungguhnya ayahku telah diwajibkan untuk melaksanakan ibadah haji
disaat dia telah tua renta, dia tidak mampu untuk tetap bertahan diatas
kendaraan, apakah aku melaksanakan haji untuk mewakilinya?’ Beliau

111
menjawab: 'Lakukankah haji untuk (mewakilinya)” ( HR Bukhari dan
Muslim )

2. Mempunyai harta yang melebihi dari kebutuhan pokoknya, seperti


kebutuhan untuk menafkahi istri dan anak-anaknya, uang sewa rumah,
modal dagangannya yang menjadi sumber penghasilannya, seperti toko
yang dari labanya dia bisa hidup dan bisa memenuhi kebutuhannya.

3. Tidak mempunyai hutang, karena barang siapa yang mempunyai hutang,


tidaklah ada kewajiban haji baginya, karena membayar hutang merupakan
kebutuhan dasar dan merupakan hak manusia yang pada dasarnya harus
dipenuhi dan tidak bisa ditolerir.

Hutang yang berjangka hukumnya seperti hutang yang jatuh tempo,


karena yang berhutang sama-sama dikatakan tidak mampu. Tetapi jika dia
percaya bisa mencari harta untuk membayarnya, seperi kredit yang dibayar
secara teratur dan dipotong dari gaji bulanannya atau dipotong dari upah
kerja ketrampilan atau sejenisnya, maka hal ini tidak menghalanginya
untuk melaksanakan ibadah haji sesudah dapat izin dari orang yang
dihutanginya.

4. Dia harus mempunyai sesuatu yang bisa mengantarkannya ke kota


Mekkah, tentunya disesuaikan dengan keadaannya. Misalnya dari
kendaraan seperti mobil, kapal, dan pesawat, atau dari makanan,m,
minuman serta tempat tinggal yang sesuai dengan keadaannya,
sebagaimana hadist Anas ra, beliau berkata :

Artinya : “Ada seseorang yang bertanya: Wahai Rasulullah, apakah sabil


(jalan) itu? beliau bersabda: “Bekal dan kendaraan” (HR. Daruquthni dan
dishahihkan Hakim)

Jika tidak mampu, seseorang tidak diharuskan membebani diri sendiri


dengan menjual rumah, atau sawahnya yang merupakan sumber mata
pencahariannya, atau dari sawah itu dia memberikan nafkah kepada
keluarganya.

Barang siapa yang tidak bisa haji karena antrian di dalam mendapatkan
visa, maka dia dihukumi sebagai orang yang tidak mampu, seperti orang
yang dipenjara dan sejenisnya.

Orang tua tidak boleh melarang anaknya untuk pergi melaksanakan


ibadah haji yang wajib, berdasarkan hadist yang diriwayatkan Ibnu Mas’ud
radhiyallahu ‘anhu dan dimarfu’kan kepada Nabi saw :

‫َّللا ع ََّز َو َج َّل‬ ٍ ُ‫طاعَةَ ِل َم ْخل‬


ِ َّ ‫وق فِي َم ْع ِصيَ ِة‬ َ ‫َال‬
Artinya : "Tidak ada ketaatan kepada makhluq dalam bermaksiat kepada
Allah 'azza wajalla." (HR. Ahmad)

112
Seorang anak hendaknya meminta keridhaan orang tuanya ketika
hendak melaksanakan ibadah haji. Begitu juga seorang suami tidak boleh
melarang istrinya untuk pergi haji, karena haji hukumnya wajib, sedang
kedua orang tua dan suami tidak mempunyai hak untuk melarang sesuatu
yang wajib, walaupun begitu mereka berdua berhak untuk melarang anak
dan istrinya untuk melaksanakan ibadah haji yang sunnah.

Bersegera Melaksanakan Ibadah Haji

Barang siapa yang mendapatkan dirinya mampu melaksanakan ibadah


haji, dan telah terpenuhi syarat-syaratnya, maka wajib baginya untuk
segera melaksanakan ibadah haji, tidak boleh diundur-undur lagi. Allah
swt berfirman :

 
Artinya : …”Berlomba-lombalah kalian dalam mengerjakan kebaikan”…
(QS. Al Baqarah[2] : 148)

Hal itu, karena kewajiban itu sudah ada dipundaknya, dan


sesungguhnya dia tidak mengetahui barangkali di masa mendatang
keberangkatan hajinya bisa saja terhalangi dengan sakit, atau jatuh miskin
atau bahkan datangnya kematian. Sebagaimana dalam hadist Ibnu Abbas :

ُ ‫تَعَ َّجلُوا إِلَى ا ْل َحجِ فَ ِإ َّن أَ َح َد ُك ْم َال يَد ِْري َما يَ ْع ِر‬
‫ض‬
ُ‫لَه‬
Artinya : “Bersegeralah melaksanakan ibadah haji ( yaitu haji yang wajib)
karena kalian tidak tahu apa yang akan di hadapinya (HR. Ahmad dan
Baihaqi)

Telah diriwayatkan dari Sa’id bin Manshur dan Hasan bahwa Umar ra
berkata:

ُ‫َان َله‬ َ ‫ظ ُر ْوا ُك َّل َم ْن ك‬ َ ‫أن أ ْبعَ َث ِر َجاالً إلَى ه ِذ ِه األ َ ْم‬
ُ ‫ص ِار فَيَ ْن‬ ْ ُ‫لَقَ ْد َه َم ْمت‬
ْ ‫ع َل ْي ِه ُم ا ْل ِج ْز َيةَ َما ُه ْم ِب ُم‬
‫س ِل ِم ْي َن َما ُه ْم‬ َ ‫ض ِربُ ْوا‬ ْ ‫َجدَّة َولَ ْم َي ُح َّج ِل َي‬
‫س ِل ِم ْي َن‬
ْ ‫ِب ُم‬
Artinya : “Aku bertekad mengutus beberapa orang menuju wilayah-
wilayah untuk meneliti siapa yang memiliki kecukupan harta namun tidak
menunaikan ibadah haji agar diwajibkan atas mereka membayar jizyah.
Mereka bukanlah umat Islam ! mereka bukanlah umat Islam !”

Tidaklah pantas seseorang yang mempunyai kemampuan, untuk


mengundur-undur pelaksanakan ibadah haji, karena jika dia masih muda
dan terus-menerus dalam maksiat, maka hal ini merupakan bisikan syetan
yang menghalanginya untuk berbuat kebaikan. Dan telah diterangkan di
atas tentang kewajiban seseorang untuk segera melaksanakan ibadah haji.
Dan selayaknya orang yang sudah melaksankan ibadah haji, baik ketika

113
masih kecil, atau sudah tua, untuk selalu berbuat baik dan menjauhi
perbuatan buruk.

Adapun syarat haji bagi perempuan adalah adanya muhrim jika


memang jaraknya di atas 80 km dari Mekkah. Adapun yang dimaksud
muhrim adalah suami atau laki-laki yang haram untuk menikahinya
selama-lamanya, karena hubungan nasab (darah) atau karena sebab lain
yang mubah, jika memang laki-laki tersebut baligh dan berakal. Hal itu
berdasarkan hadist Abu Hurairah bahwasanya nabi shallallahu ‘alaihi
wassalam bersabda :

‫ِيرةَ يَ ْو ٍم َو َل ْي َل ٍة‬ َ ُ ‫َال يَ ِح ُّل ِال ْم َرأ َ ٍة ت ُ ْؤ ِمنُ ِباهللِ َوا ْليَ ْو ِم ْاْل ِخ ِر أ َ ْن ت‬
َ ‫سافِ َر َمس‬
‫س َمعَ َها ذُو َمحْ َر ٍم‬ َ ‫لَ ْي‬
Artinya : “Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan
hari akhir untuk safar sejauh perjalanan sehari semalam kecuali bersama
mahramnya.” (HR Bukhari dan Muslim )

Jika perempuan melakukan ibadah haji tanpa muhrim, maka hajinya


tetap sah, tetapi dia berdosa karena melanggar larangan. Jika dia pergi haji
bersama rombongan perempuan dan aman dari fitnah, maka mereka itu
diangap muhrimnya.

Adapun perempuan yang tinggal di Mekkah dan sekitarnya yang


jaraknya dengan Mekkah tidak lebih dari jarak dibolehkannya sholat
qashar, maka muhrim bukanlah syarat didalam melaksanakan ibadah haji.

Hukum Orang Yang Tidak Mampu Haji dan Menjadi Wakil


Untuknya

Barangsiapa yang tidak mampu melaksanakan haji sendiri, karena sakit


atau sudah lanjut usia, sehingga kesulitan untuk menaiki kendaran atau
kesulitan berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain dalam
ibadah haji, maka dia boleh mencari orang yang mampu mewakilinya,
jika hal itu bisa dilakukannya. Sebagaimana hadist Ibnu Abbas :

‫علَى ِعبَا ِد ِه‬ ِ َّ َ َ‫ضة‬


َ ‫َّللا‬ َ ‫ ِإ َّن فَ ِري‬,‫َّللا‬
ِ َّ َ ‫سو َل‬ُ ‫ يَا َر‬: ْ‫أن ا ِْم َرأَة َم ْن َخثْعَ َم قَا َلت‬
‫ أَفَأ َ ُح ُّج‬,‫احلَ ِة‬
ِ ‫لر‬ َ ُ‫ َال يَثْبُت‬,‫يرا‬
َّ َ‫علَى ا‬ َ ‫فِي ا َ ْل َحجِ أَد َْركَتْ أَبِي‬
ً ِ‫ش ْي ًخا َكب‬
‫ نَ َع ْم‬:‫ع ْنهُ? قَا َل‬َ
Artinya : “Sesungguhnya seorang perempuan dari Kats’am berkata: Wahai
Rasulullah, sesungguhnya haji yang diwajibkan Allah atas hamba-Nya itu
turun ketika ayahku sudah tua bangka, tidak mampu duduk di atas
kendaraan. Bolehkah aku berhaji untuknya? Beliau menjawab: “Ya
Boleh.” ( HR Bukhari dan Muslim )

114
Dan disyaratkan bagi yang mewakili haji, bahwa dia sudah pernah
melaksanakan ibadah haji. Hal ini sesuai dengan hadist :

َ‫س ِم َع َر ُج ًًل يَقُو ُل لَبَّ ْيك‬َ ‫سلَّ َم‬َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ‫اس أ َ َّن النَّ ِب َّي‬ َ ‫ع َْن ا ْب ِن‬
ٍ َّ‫عب‬
‫ش ْب ُر َمةُ قَا َل أَخ ِلي أ َ ْو قَ ِريب ِلي قَا َل َحجَجْ تَ ع َْن‬ ُ ‫ش ْب ُر َم َة قَا َل َم ْن‬
ُ ‫ع َْن‬
َ‫ش ْب ُر َمة‬ُ ‫ع ْن‬ َ ‫سكَ ث ُ َّم ُح َّج‬ِ ‫سكَ قَا َل َال قَا َل ُح َّج ع َْن نَ ْف‬
ِ ‫نَ ْف‬
Artinya : “Dari Ibnu Abbas bahwa Nabi shalla Allahu 'alaihi wa sallam
mendengar seseorang mengucapkan; Labbaika 'An Syubrumah (ya Allah,
aku memenuhi seruan-Mu untuk Syubrumah), beliau bertanya: "Siapakah
Syubrumah tersebut?" Dia menjawab; saudaraku! Atau kerabatku! Beliau
bertanya: "Apakah engkau telah melaksanakan haji untuk dirimu sendiri?"
Dia menjawab; belum! Beliau berkata: "Laksanakan haji untuk dirimu,
kemudian berhajilah untuk Syubrumah." (HR. Abu Daud, Ibnu Majah dan
hadist ini dishahihkan Ibnu Hibban)

Yang mewakili hendaknya berangkat dari kota tempat tinggal orang


yang diwakilinya, seorang laki-laki boleh mewakili perempuan dan
sebaliknya perempuan boleh mewakili laki-laki.

Jika yang berhalangan tadi kemudian menjadi mampu, maka tidak


wajib baginya melaksanakan ibadah haji lagi, karena dia telah
mengerjakan apa–apa yang diperintahkan kepadanya, sehingga tidak
diwajibkan mengulanginya. Yang mewakilinya berhak mengambil biaya
haji darinya, dan jika dia mengambil lebih dari biaya yang dibutuhkan
maka hal itu dibolehkan.

Adapun jika dia sudah mati, maka tidak apa-apa seorang wakil
menghajikannya secara cuma-cuma tanpa seijinnya.

Adab-adab Haji

Selayaknya bagi yang melakukan ibadah haji, untuk memperhatikan adab-


adab di bawah ini :

1. Mengikhlaskan niat di dalam ibadah haji.


Seyogyanya bagi yang ingin melaksankan ibadah haji, sebelum
meninggalkan rumahnya, untuk menghadirkan niat bahwa dia keluar
melaksanakan ibadah haji hanya karena Allah semata, dengan mengharap
pahala dari-Nya, bukan mengharap untuk diberi gelar pak haji, atau agar
orang sekitarnya melihat bahwa dirinya pergi haji dan pergi ke Mekkah,
sebagaimana hadist Umat bahwasanya nabi shallallahu ‘alahi wassalam
bersabda :

‫ام ِر ٍئ َما َن َوى َف َم ْن كَا َنتْ هِجْ َرتُهُ ِإلَى‬ ْ ‫ت َو ِإنَّ َما ِلك ُِل‬ ِ ‫ِإنَّ َما ْاأل َ ْع َما ُل ِب‬
ِ ‫النيَّا‬
‫ام َرأَ ٍة يَ ْن ِك ُح َها فَ ِهجْ َرتُهُ ِإلَى َما َها َج َر ِإلَ ْي ِه‬
ْ ‫ُد ْنيَا يُ ِصيبُ َها أ َ ْو ِإلَى‬

115
Artinya : "Semua perbuatan tergantung niatnya, dan (balasan) bagi tiap-
tiap orang (tergantung) apa yang diniatkan; Barangsiapa niat hijrahnya
karena dunia yang ingin digapainya atau karena seorang perempuan yang
ingin dinikahinya, maka hijrahnya adalah kepada apa dia diniatkan" (HR
Bukhari dan Muslim )

Hadits tersebut di atas menjelaskan bahwa barang siapa yang hajinya


diniatkan karena Allah dan benar-benar dilaksanakan karena-Nya, maka
akan mendapatkan pahala di sisi Allah.

2. Mempelajari hukum-hukum tentang haji


Seyogyanya bagi yang ingin pergi haji untuk mempelajari hukum-
hukum terkait dengan haji dan serta mengikuti nabi dalam melaksanakan
ibadah haji secara keseluruhan, baik perkataan dan perbuatannya. Hal itu
sesuai dengan hadist Jabir bahwasanya nabi shallallahu ‘alaihi wassalam
bersabda :

‫عَنِي‬ ‫ِلتَأ ْ ُخذُ ْوا‬


ِ ‫َمنَا‬
‫س َك ُك ْم‬
Artinya : “Hendaknya kalian mengambil manasik haji kalian dariku” (HR.
Muslim)

Ini bisa terlaksana dengan mempelajari hukum-hukum terkait dengan


haji serta membaca buku yang lebih terperinci. Kemudian memperbanyak
di dalam menela’ahnya sehingga dia bisa melaksanakan ibadah haji ini
dengan lebih sempurna dan lebih sesuai dengan sunnah. Begitu juga
hendaknya dia menghadiri kajian-kajian yang membahas tentang haji,
sehingga dari kajian-kajian tersebut akan diketahui hukum-hukum haji dan
tata cara pelaksanaannya.

Hendaknya dalam perjalanan hajinya dia mencari orang-orang yang


mulia, mempunyai sopan-santun dan berakhlaq baik, yaitu dengan cara
memilih travel yang sudah terkenal profesional, melaksanakan
kewajibannya, membantu orang-orang yang ikut dengannya untuk bisa
melaksanakan ibadah haji dengan sebaik-baiknya.

Hendaknya mencari seorang penuntut ilmu untuk menyertai


rombongan haji, karena amalan-amalan haji tidak cukup hanya berbekal
pengetahuan saja, tetapi perlu ada seorang ulama yang berusaha
mengamalkan sunnah dan mengetahui tentang hukum-hukum haji. Jika
tidak didapatkan seorang ulama atau penuntut ilmu, maka paling tidak ada
orang yang pernah melaksankan haji yang berusaha untuk
menyempurnakan ibadah haji ini.

Menghindari dari para penganggur dan orang-orang yang suka


bermain-main. Yaitu orang-orang yang jika bergaul dengan mereka akan
menyebabkan terjatuh di dalam maksiat, membuang-buang waktu dan
banyak ngobrol.

116
Menghindari dari ahli bid’ah dan khurafat yang sering memalingkan
dari beribadah dan berdo’a kepada Allah kepada berdo’a kepada selain-
Nya serta lebih memilih untuk mencari bangunan–bangunan dari
peninggalan bersejarah untuk mengusap-usapnya dan mengusap-usap
Ka’bah serta Maqam Ibrahim yang sering menyebabkan pertengkaran,
padahal mestinya mereka menunaikan ibadah haji ini dengan baik.

Hendaknya berusaha untuk ekonomis di dalam berbelanja dan jangan


berlebih-lebihan serta membebani diri di dalam hidupmu dan dalam
perjalanan hajimu. Serta jangan berbangga-bangga dengan kehidupan yang
serba hedonis di dalam melaksanakan ibadah haji.
Jauhilah hal-hal yang melengahkan, seperti menonton chanel-chanel
Televisi yang berisi hiburan-hiburan, atau mendengarkan musik dan hal-
hal lain yang termasuk katagori maksiat.

Berusaha untuk menerapkan akhlaq yang baik selama perjalanan, dan


selama pelaksanaan ibadah haji, serta berusaha untuk melawan hawa nafsu
untuk mewujudkan hal itu, sehingga temanmu menjadi rela untuk
bersamamu. Dan hendaknya anda bisa bersabar untuk menjauhi dari
permusuhan dan perkelahian yang sering timbul pada saat melakukan
perjalanan dan pada saat terjadinya desak-desakan.
Selalu berdzikir dengan dzikir pagi dan petang, dan berdo’a ketika keluar
rumah dan ketika hendak melakukan perjalanan. Hendaknya dia berdo’a
ketika keluar rumah, sebagaimana di dalam hadist Ummu Salamah
radhiyallahu ‘anha bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam jika keluar
rumah beliau berdo’a :

ُ‫ َاللَّ ُه َّم ِإنِ ْي أَع ُْوذ‬.ِ‫ َوالَ َح ْو َل َوالَ قُ َّوةَ إِالَّ بِاهلل‬،ِ‫علَى هللا‬ َ ُ‫ ت َ َو َّك ْلت‬،ِ‫س ِم هللا‬ ْ ِ‫ب‬
،‫ أ َ ْو أَجْ َه َل‬،‫ أ َ ْو أ ُ ْظلَ َم‬،‫ أ َ ْو أَ ْظ ِل َم‬،‫ أ َ ْو أ ُ َز َّل‬،‫ أ َ ْو أ َ ِز َّل‬،‫ض َّل‬
َ ُ ‫ أ َ ْو أ‬،‫ِبكَ أ َ ْن أ َ ِض َّل‬
َ ‫أ َ ْو يُجْ َه َل‬.
‫علَ َّي‬
Artinya : “Dengan nama Allah. Aku bertawakkal kepadaNya dan tiada
daya dan upaya kecuali karena pertolongan Allah. Ya Allah sesungguhnya
aku berlindung kepadaMu jangan sampai aku sesat atau disesatkan,
berbuat kesalahan atau disalahi, menganiaya atau dianiaya, berbuat bodoh
atau dibodohi”. (HR. Abu Daud dan Tirmidzi dengan sanad shahih)

Kemudian dilanjutkan dengan do’a safar :

‫ َوإِنَّا‬.‫س َّخ َر لَنَا َهذَا َو َما ُكنَّا لَهُ ُم ْق ِرنِ ْي َن‬ َ ‫ِي‬ ْ ‫ان الَّذ‬ َ ‫س ْب َح‬ ُ ‫بسم هللا الحمد هلل‬
‫ َو ِم َن‬،‫سفَ ِرنَا َهذَا ا ْل ِب َّر َوالت َّ ْق َوى‬ َ ‫سأَلُكَ فِ ْي‬ ْ َ‫ِإلَى َر ِبنَا لَ ُم ْنقَ ِلبُ ْو َن اللَّ ُه َّم ِإنَّا ن‬
َ ‫سفَ َرنَا َهذَا َوا ْط ِو‬
‫ اللَّ ُه َّم‬،ُ‫عنَّا بُ ْع َده‬ َ ‫ع َل ْينَا‬
َ ‫ اللَّ ُه َّم َه ِو ْن‬،‫ضى‬ َ ‫ا ْلعَ َم ِل َما ت َ ْر‬
‫ اللَّ ُه َّم ِإ ِن ْي أَع ُْوذُ ِبكَ ِم ْن‬،‫س َف ِر َوا ْل َخ ِل ْيفَةُ ِفي اْأل َ ْه ِل‬ َّ ‫ب ِفي ال‬ ُ ‫اح‬ َّ ‫أ َ ْنتَ ال‬
ِ ‫ص‬
‫ َو ِإذَا‬.‫ب فِي ا ْل َما ِل َواْأل َ ْه ِل‬ ِ َ‫س ْو ِء ا ْل ُم ْن َقل‬
ُ ‫ظ ِر َو‬ َ ‫سفَ ِر َوكَآ َب ِة ا ْل َم ْن‬ َّ ‫اء ال‬ ِ َ ‫َو ْعث‬
‫امد ُْو َن‬ ِ ‫ آيِبُ ْو َن تَا ِئبُ ْو َن عَابِد ُْو َن ِل َربِنَا َح‬:‫ر َج َع قَالَ ُه َّن َو َزا َد فِ ْي ِه َّن‬.َ

117
Artinya : “Dengan menyebut nama Allah, segala puji bagi Allah, Maha
Suci Tuhan yang menundukkan kendaraan ini untuk kami, sedang
sebelumnya kami tidak mampu. Dan sesungguhnya kami akan kembali
kepada Tuhan kami (di hari Kiamat). Ya Allah! Sesungguhnya kami
memohon kebaikan dan taqwa dalam bepergian ini, kami mohon perbuatan
yang meridhakanMu. Ya Allah! Permudahlah perjalanan kami ini, dan
dekatkan jaraknya bagi kami. Ya Allah! Engkaulah teman dalam bepergian
dan yang mengurusi keluarga(ku). Ya Allah! Sesungguhnya aku
berlindung kepada-Mu dari kelelahan dalam bepergian, pemandangan
yang menyedihkan dan perubahan yang jelek dalam harta dan keluarga.”
Apabila kembali, doa di atas dibaca, dan ditambah: “Kami kembali dengan
bertaubat, tetap beribadah dan selalu memuji kepada Tuhan kami.” (HR.
Muslim dari hadist Ibnu Umar)

Jika jalan sedang menanjak hendaknya dia mengucapkan : “ Allahu


Akbar ” , jika dia menuruni lembah atau tempat yang rendah, hendaknya
mengucapkan : “ Subhanallah “ , ini berdasarkan hadist Jabir :

‫ص ِع ْدنَا َكبَّ ْرنَا َو ِإذَا‬


َ ‫ع ْن ُه َما قَا َل ُكنَّا ِإذَا‬
َ ُ‫َّللا‬
َّ ‫َّللاِ َر ِض َي‬ َ ‫ع َْن َجا ِب ِر ْب ِن‬
َّ ‫ع ْب ِد‬
َ ‫نَ َز ْلنَا‬
‫سبَّحْ َنا‬
Artinya : “Dari Jabir bin 'Abdullah radhiyallahu 'anhuma berkata: "Apabila
kami berjalan mendaki (naik), kami bertakbir dan apabila menuruni jalan
kami bertasbih” (HR. Bukhari)

Hendaknya dia jangan lupa untuk selalu berdzikir ketika berpindah-


pindah tempat, dan untuk selalu mengulangi hafalan al Qur’annya dan
untuk selalu melaksanakan sholat witir walaupun sedang berada di atas
kendaran atau di atas pesawat terbang, karena sholat nafilah boleh
dilakukan oleh muafir di atas kendaraannya.

Hendaknya dia membawa bekal lebih jika dia termasuk orang yang
mampu, sehingga bisa membantu temannya dan berbuat baik kepadanya,
sebagaimana di dalam hadist :

‫َان ا ْل َع ْب ُد فِي ع َْو ِن‬


َ ‫وهللا فِ ْي ع َْو ِن ال َع ْب ِد َما ك‬
‫أخ ْي ِه‬
ِ
Artinya : "Sesungguhnya Allah senantiasa menolong hambaNya, selama
hamba tersebut menolong saudaranya" (HR. Muslim dari hadist Abu
Hurairah )

Hendaknya dia bersedekah kepada orang-orang yang membutuhkan


dan orang-orang yang kehabisan bekal perjalanan, dia menjadikan bekal
haji dari hartanya yang terbaik , karena sesungguhnya Allah adalah baik
dan tidaklah menerima kecuali yang baik juga. Kemudian dia selalu
menjaga kewajiban-kewajiban syari’ah. Seorang musafir harus tetap
menjaga sholat dan bersuci serta kewajiban-kewajiban yang lain, dan
jangan bermalas-malas untuk mengerjakan itu semua tepat pada waktunya.

118
Dia hendaknya meng-qashar sholat dan menjama’nya jika hal itu
dibutuhkan, karena dia sedang melakukan perjalanan atau sedang istirahat,
maka membutuhkan untuk menjama’ sholatnya karena kecapaian atau
mengantuk.

Hal ini berdasarkan hadist bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wassalam


bersabda :

‫ضى‬ َ َ‫طعَا َمهُ َوش ََرابَهُ َونَ ْو َمهُ فَ ِاذَاق‬ ِ ‫سفَ ُر قِ ْطعًةُ ِم َن العَذَا‬
َ ‫ب َي ْمنَ ُع ا َ َح َد ُك ْم‬ َّ ‫ال‬
‫سفَ ِر ِه فَ ْليُ َع ِج ْل اِلَى اَ ْه ِل ِه‬
َ ‫ا َ َح ُد ُك ْم نهمته ِم ْن‬
Artinya : “Bepergian itu adalah sepotong dari adzab, (karena) ia
menghalangi seseorang daripada kamu tentang makanannya, minumannya
dan tidurnya. (Oleh karena itu) apabila salah seorang dari kamu telah
menyelesaikan keperluannya dari kepergiannya, hendaklah ia segera
kembali kepada keluarganya” (HR. Muslim dari hadist Abu Hurairah)

Jika dalam perjalanan pulang dia melewati jalan yang menanjak


hendaknya mengucapkan :

ُ‫ لَهُ ا ْل ُم ْلك‬,ُ‫ش ِر ْيكَ لَه‬ ِ َ‫ الَاِلهَ اِالَّهللاُ َوحْ َدهُ ال‬,‫ اَهلل ُ ا َ ْكبَ ُر‬,‫ اَهللُ ا َ ْكبَ ُر‬,‫اَهللُ ا َ ْكبَ ُر‬
‫ ا ِيبُ ْو َن تَائِبُ ْو َن عَا ِبد ُْو َن ِل َر ِبنَا‬,‫ش ْي ٍئ قَ ِد ْير‬َ ‫علَى ك ُِل‬ َ ‫َولَهُ ا ْل َح ْم ُد َو ُه َو‬
ُ‫اب َوحْ َده‬ َ ‫ َو َه َز َم اْالَ حْ َز‬,ُ‫ع ْب َده‬ َ َ‫صدَقَ هللاُ َو ْع َدهُ َون‬
َ ‫ص َر‬ َ ,‫امد ُْو َن‬ ِ ‫َح‬
Artinya : “Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar. Tiada
Tuhan kecuali Allah, dzat yang Maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya.
Kepunyaan-Nyalah segala kekuasaan dan segala pujian, dan Dia Maha
Kuasa atas segala sesuatu. Kami kembali bertaubat serta kami menyembah
kepada Tuhan kami , seraya kami memuji-Mu. Allah menetapi pada janji-
Nya, menolong hamba-Nya, serta mampu (memporak porandakan)
pasukan Ahzab dengan sendiri”.

Sesungguhnya Nabi saw mengucapkan do’a tersebut dalam


perjalanan pulang dari haji atau jihad, sebagaimana dalam hadist Ibnu
Umar yang disebutkan Imam Malik dalam kitab al Muwattha’ dalam
riwayat Muhammad bin Hasan.

Hendaknya dia jangan mengagetkan keluarganya pada waktu malam,


tetapi memberitahu terlebih dahulu tentang waktu kedatangannya, atau
hendaknya dia datang pada waktu pagi atau sore saja. Bersabda Nabi
shallallahu ‘alahi wassalam :

‫ست َ ِح َّد‬
ْ َ ‫َوت‬ ُ‫ش ِعثَة‬
َّ ‫ال‬ َ ‫ش‬
‫ط‬ ِ َ ‫ت َ ْمت‬ ‫ك َْي‬
ُ‫ا ْل ُم ِغي َبة‬
Artinya : “Berilah kesempatan kepada keluarga kalian untuk bersiap-siap
dan berhias (untuk menyambut kedatangan kalian)." (Hr Bukhari dan
Muslim dari hadist Jabir)

119
Dan hendaknya dia menuju masjid terlebih dahulu jika sudah sampai,
untuk melakukan sholat dua reka’at. Karena sesungguhnya perbuatan ini
merupakan sunnah nabi yang pertama kali beliau laksanakan ketika
sampai di kotanya.

a. Jenis-jenis haji :
a) Haji ifrad, artinya menyendiri
b) Haji tamattu’, artinya bersenang-senang
b. Rukun haji :
a) Ihram
b) Tawaf ziyarah / tawaf ifadhah
c) Sa’i
d) Wukuf di Padang Arafah
c. Wajib haji
a) Ihram dimulai dari miqat yang telah di tentukan
b) Wukuf di Arafah sampai matahari tenggelam
c) Mabit di Mina
d) Mabit di Muzdalifah hingga lewat setengah malam
e) Melempar jumrah
f) Mencukur rambut
g) Tawaf wada’
d). Syarat-syarat wajib haji :
a) Islam
b) Berakal
c) Baligh
d) Mampu

e. Lokasi ibadah haji dan umroh :


a) Makkah Al Mukaromah
b) Padang Arafah
c) Kota Muzdalifah
d) Kota Mina
f).Hukum menjalankan ibadah umroh yaitu sunnah muakad, dilaksanakan
bagi orang yang mampu. Meliputi :
a. Ihram
Ihram adalah niat memasuki manasik (upacara ibadah haji) haji dan
umroh atau mengerjakan keduanya dengan menggunakan pakaian
ihram, serta meninggalkan beberapa larangan yang biasanya di
halalkan. Pakaian ihram :
(a). Untuk pria.
Bagi laki-laki terdiri atas 2 lembar kain yang tidak di jahit, yang 1
lembar di sarungkan untuk menutupi aurat antara pusar hingga lutut.
Yang 1 lembar lagi di selendangkan untuk menutupi tubuh bagian atas.
Kedua lembar kain di sunahkan berwarna putih dan tidak boleh
berwarna merah atau kuning.

(b). Untuk wanita


Mengenakan pakaian yang biasa, yakni pakaian yang menutupi
aurat.

120
Tempat-tempat ihram :
(a) Zul Hulaifah (Bir Ali tempat miqat Jemaah Indonesia ke Madinah
dulu)
(b) Juhfah
(c) Yalamlam (Penduduk Yaman jalur Pesisir)
(d) Qarnul Manjil (as-Sayl al-Kabir ; penduduk Nejed)
(e) Zatu Irqin (penduduk Irak yang disebut al-Kharibat)
(f) Makkah

b. Tawaf
Tawaf berasal dari kata tafa, artinya mengelilingi atau mengitari.Tawaf
menurut istilah yaitu mengelilingi Ka’bah sebanyak 7 keliling.Sebelum
melaksanakan tawaf, jama’ah harus mandi dan berwudhu dahulu.
Macam-macam tawaf :
(a) Tawaf qudum, yaitu tawaf yang di lakukan ketika sampai di
Makkah
(b) Tawaf ifadah, tawaf yang di lakukan pada hari penyembelihan
kurban
(c) Tawaf wada, yaitu tawaf yang menjadi rukun haji
(d) Tawaf sunnah, yaitu tawaf yang dilakukan setiap saat

c. Sa’i
Sa’i artinya berlari-lari kecil antara bukit Safa dan Marwah di
dekat kota Makkah. Cara melalukan sa’i :
(a) Dilakukan sesudah tawaf
(b) Berlari-lari kecil atau berjalan cepat dari bukit Safa menuju bukit
Marwah
(c) Di kerjakan sebanyak 7 kali putaran, dari Safa ke Marwah satu
putaran,dan dari Marwah ke Safa satu putaran, lalu berakhir di puncak
bukti Marwah
(d) Sa’i hanya boleh di lakukan oleh orang-orang yang mengerjakan
haji atau umroh saja.

d. Tahallul
Setelah melontar Jumrah ‘Aqabah, jamaah kemudian
bertahallul (keluar dari keadaan ihram), yakni dengan cara mencukur
atau memotong rambut kepala paling sedikit tiga helai rambut. Laki-
laki di sunahkan mencukur habis rambutnya, dan wanita mencukur
rambut sepanjang jari, dan untuk orang-orang yang berkepala botak
dapat bertahallul secara simbolis saja.
Setelah melaksanakan tahallul, perkara yang sebelumnya di larang
sekarang di halalkan kembali, kecuali menggauli istri sebelum
melakukan tawaf ifadah.

Alur Haji

Berikut adalah kegiatan utama dalam ibadah haji


berdasarkan urutan waktu:
Sebelum 8 Zulhijah, umat Islam dari seluruh dunia mulai berbondong
untuk melaksanakan Tawaf Haji di Masjid Al Haram, Makkah.

121
8 Zulhijah, jamaah haji bermalam di Mina. Pada pagi 8 Zulhijah, semua
umat Islam memakai pakaian Ihram (dua lembar kain tanpa jahitan
sebagai pakaian haji), kemudian berniat haji, dan membaca bacaan
Talbiyah. Jamaah kemudian berangkat menuju Mina, sehingga malam
harinya semua jamaah haji harus bermalam di Mina.

9 Zulhijah, pagi harinya semua jamaah haji pergi ke Arafah. Kemudian


jamaah melaksanakan ibadah Wukuf, yaitu berdiam diri dan berdoa di
padang luas ini hingga Maghrib datang. Ketika malam datang, jamaah
segera menuju dan bermalam Muzdalifah.

10 Zulhijah, setelah pagi di Muzdalifah, jamaah segera menuju Mina


untuk melaksanakan ibadah Jumrah Aqabah, yaitu melempar batu
sebanyak tujuh kali ke tugu pertama sebagai simbolisasi mengusir
setan. Setelah mencukur rambut atau sebagian rambut, jamaah bisa
Tawaf Haji (menyelesaikan Haji), atau bermalam di Mina dan
melaksanakan jumrah sambungan (Ula dan Wustha).

11 Zulhijah, melempar jumrah sambungan (Ula) di tugu pertama, tugu


kedua, dan tugu ketiga.

12 Zulhijah, melempar jumrah sambungan (Ula) di tugu pertama, tugu


kedua, dan tugu ketiga.

Sebelum pulang ke negara masing-masing, jamaah melaksanakan


Thawaf Wada' (thawaf perpisahan).Lokasi utama dalam ibadah haji.

Alur proses perjalanan haji gelombang I maupun gelombang II serta


alur proses ibadah haji atau umrah. kegiatan mulai berangkat dari Tanah
Air, di Tanah Suci dan kepulangan kembali ke Tanah Air.

PERTEMUAN KE IX : FIQIH MUAMALAH DAN RUANG


LINGKUPNYA

A. Pengertian Fiqih Muamalah.

Fiqih Muamalah terdiri atas dua kata, yaitu fiqih dan


muamalah. Berikut penjelasan dari Fiqih, Muamalah, dan Fiqih
Muamalah. Menurut etimologi, fiqih adalah ‫[ ))الفهم‬paham], seperti
pernyataan : ‫( الدرس فقهت‬saya paham pelajaran itu). Arti ini sesuai
dengan arti fiqih dalam salah satu hadis riwayat Imam Bukhari berikut:

Artinya: “Barang siapa yang dikehendaki Allah menjadi orang yang baik di
sisiNya, niscaya diberikan kepadaNya pemahaman (yang mendalam) dalam
pengetahuan agama.”

122
Menurut terminologi, fiqih pada mulanya berarti pengetahuan
keagamaan yang mencakup seluruh ajaran agama, baik berupa aqidah, akhlak,
maupun ibadah sama dengan arti syari’ah islamiyah. Namun, pada
perkembangan selanjutnya, fiqih diartikan sebagai bagian dari syariah
Islamiyah, yaitu pengetahuan tentang hukum syari’ah Islamiyah yang
berkaitan dengan perbuatan manusia yang telah dewasa dan berakal sehat
yang diambil dari dalil-dalil yang terinci.

Menurut Imam Haramain, fiqih merupakan pengetahuan hukum


syara’ dengan jalan ijtihad. Demikian pula menurut Al-Amidi, pengetahuan
hukum dalam fiqih adalah melalui kajian dari penalaran (nadzar dan istidhah).
Pengetahuan yang tidak melalui jalur ijtihad(kajian), tetapi bersifat dharuri,
seperti shalat lima waktu wajib, zina haram, dan masalah-masalah qath’i
lainnya tidak bermasuk fiqih.

Hal tersebut menunjukkan bahwa fiqih bersifat ijtihadi dan zhanni.


Pada perkembangan selanjutnya, istilah fiqih sering dirangkaikan dengan kata
al-Islami sehingga terangkai al-Fiqih Al-Islami, yang sering diterjemahkan
dengan hukum Islam yang memiliki cakupan sangat luas. Pada perkembanagn
selanjutnya, ulama fiqih membagi menjadi beberapa bidang, diantaranya Fiqih
Muamalah.

PENGERTIAN MUAMALAH

Menurut etimologi, kata muamalah adalah bentuk masdar dari


kata’amala yang artinya saling bertindak, saling berbuat, dan saling
mengenal.saling mengamalkan.
Pengertian Fiqih Muamalah Dalam Arti Sempit
Prof.Dr.H. Hendi Suhendi, fiqih muamalah adalah semua akad yang
membolehkan manusia saling menukar manfaat.
Menurut Hudhari Beik, muamalah adalah semua akad yang membolehkan
manusia saling menukar manfaat.
Menurut Idris Ahmad adalah aturan Allah yang mengatur hubungan
manusia dengan manusia dalam usahanya mendapatkan alat-alat keperluan
jasmaninya dengan cara yang paling baik.
Ahmad Syafei, fiqih muamalah adalah aturan Allah yang mengatur hubungan
manusia dengan manusia lain dalam usahanya untuk mendapatkan alat-alat
keperluan jasmaninya dengan cara yang paling baik.
Kesimpulan diatas bahwa fiqih muamalah dalam arti sempit terkonsentrasi
pada sikap patuh pada aturan-aturan Allah yang telah ditetapkan berkaitan
dengan interaksi dan perilaku manusia lainnya dalam upaya memperoleh,
mengatur, mengelola, dan mengembangkan harta benda.

Pengertian Fiqih Muamalah Dalam Arti Luas

Di antara definisi fiqih muamalah yang dikemukakan oleh para ulama (pakar)
adalah seperti keterangan berikut ini:

123
1) Menurut Wahbah Zuhaily : Pembahasan fiqih muamalah sangat luas, mulai
dari hukum pernikahan, transaksi jual beli, hukum pidana, hukum perdata,
hukum perundang-undangan, hukum kenegaraan, keuangan, ekonomi, hingga
akhlak dan etika.

2) Ad Dimyati : Mendifinisikan fiqih muamalah sebagai aktivitas untuk


menghasilkan duniawi yang menyebabkan keberhasilan masalah ukhrawi.

3) Musa : Mengartikan fiqih muamalah sebagai peraturan-peraturan Allah


yang diikuti dan ditaati dalam hidup bermasyarakat untuk menjaga
kepentingan manusia.

4) Mahmud Syaltout yaitu ketentuan-ketentuan hukum mengenai hubungan


perekonomian yang dilakukan anggota masyarakat, dan bertendensikan
kepentingan material yang saling menguntungkan satu sama lain.

Berdasarkan pemikiran diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa fiqh muamalah


adalah mengetahui ketentuan-ketentuan hukum tentang usaha-usaha manusia
untuk memperoleh harta, jual beli, hutang piutang dan jasa diantara anggota
masyarakat sesuai keperluannya, yang dapat dipahami dan dalil-dalil yang
terinci.

Dari uraian diatas telah kita ketahui bahwa muamalah mempunyai


ruang lingkup yang luas, yang meliputi segala aspek, baik dari bidang agama,
politik, ekonomi, pendidikan serta sosial-budaya. Firman Allah dalam surat
an Nahl [16] ayat 89:

   


   
   
   
 
 
  
 
 
Artinya : (dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami bangkitkan pada tiap-tiap
umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri dan Kami datangkan
kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. dan Kami
turunkan kepadamu Al kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan
petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah
diri. (QS.An-Nahl [16] : 89)

Aturan-aturan Allah ini ditujukan untuk mengatur kehidupan manusia


dalam urusan yang berkaitan dengan urusan duniawi dan sosial
kemayarakatan. Manusia kapanpun dan dimanapun harus senantiasa mengikuti
aturan yang telah ditetapkan Allah sekalipun dalam perkara yang bersifat
duniawi sebab segala aktifitas manusia akan dimintai pertanggungjawabannya
kelak di akhirat. Dalam Islam tidak ada pemishan antara amal perbuatan dan

124
amal akhirat, sebab sekecil apapun aktifitas manusia di dunia harus didasarkan
pada ketetapan Allah SWT agar kelak selamat di akhirat.

Ciri utama fiqih muamalah

Ciri utama fiqih muamalah adalah adanya kepentingan keuntungan


material dalam proses akad dan kesepakatannya. Berbeda dengan fiqh ibadah
yang dilakukan semata-mata dalam rangka mewujudkan ketaatan kepada
Allah tanpa ada tendensi kepentingan material.

Tujuan fiqih muamalah adalah dalam rangka menjaga kepentingan


orang-orang mukallaf terhadap harta mereka, sehingga tidak dirugikan oleh
tindakan orang lain dan dapat memanfaatkan harta miliknya itu untuk
memenuhi kepentingan hidup mereka.

A. Pembagian dan Lingkup Kajian Fiqih Muamalah

Pembagian fiqih muamalah, Menurut Ibn Abidin, fiqih muamalah dalam arti
luas dibagi menjadi lima bagian:

Muawadhah Maliyah (Hukum Perbendaan)


Munakahat (Hukum Perkawinan)
Muhasanat (Hukum Acara)
Amanat dan ‘Aryah (Hukum Pinjaman)
Tirkah (Hukum Peninggalan)

Menurut Al Fikri, membagi fiqih muamalah menjadi dua bagian yaitu sebagai
berikut:

a. Al Muamalah Al Maddiyyah

Adalah muamalah yang mengkaji segi objeknya, yaitu benda. Sebagian ulama
berpendapat bahwa al muamalah al maddiyyah bersifat kebendaan, yakni
benda yang halal, haram, dan syubhat untuk dimiliki, diperjual belikan atau
diusahakan, benda yang menimbulkan kemudharatan dan mendatangkan
kemashlahatan bagi manusia dan lainnya.

b. Al Muamalah Al Adabiyyah

Adalah muamalah yang ditinjau dari cara tukar-menukar benda, yang


sumbernya dari pancera indera manusia, sedangkan unsur-unsur penegaknya
adalah hak dan kewajiban, seperti jujur, hasud, iri, dendam, dan lain-lain.

B. Ruang Lingkup Fiqih Muamalah

Menurut Al Fikri terbagi menjadi dua:

1. Al-Muamalah Al-Adabiyah. Yaitu ijab kabul, saling meridhai, tidak


ada keterpaksaan dari salah satu pihak, hak dan kewajiban, kejujuran

125
pedagang, penipuan, pemalsuan, dan segala sesuatu yang bersumber dari
indera manusia yang ada kaitannya dengan peredaran harta.
2. Al-Muamalah Al-Madiyah/Jual beli (Al-bai’ at-Tijarah), seperti :

Gadai (rahn)
Jaminan/ tanggungan (kafalah)
Pemindahan utang (hiwalah)
Jatuh bangkit (tafjis)
Batas bertindak (al-hajru)
Perseroan atau perkongsian (asy-syirkah)
Perseroan harta dan tenaga (al-mudharabah)
Sewa menyewa tanah (al-musaqah al-mukhabarah)
Upah (ujral al-amah)
Gugatan (asy-syuf’ah)
Sayembara (al-ji’alah)
Pembagian kekayaan bersama (al-qisamah)
Pemberian (al-hibbah)
Pembebasan (al-ibra’), damai (ash-shulhu)
beberapa masalah mu’ashirah (mukhadisah), seperti masalah bunga bank,
asuransi, kredit, dan masalah lainnnya.
Pembagian hasil pertanian (musaqah)
Kerjasama dalam perdagangan (muzara’ah)
pembelian barang lewat pemesanan (salam/salaf)
Pihak penyandang dana meminjamkan uang kepada nasabah/ Pembari modal
(qiradh)
Pinjaman barang (‘ariyah)
Sewa menyewa (al-ijarah)
Penitipan barang (wadi’ah)
Peluang ijtihad dalam aspek tersebut diatas harus tetap terbuka, agar hukum
Islam senantiasa dapat memberi kejelasan normatif kepada masyarakat sebagai
pelaku-pelaku ekonomi.[13]

Urgensi Mengenal Fikih Muamalah Maliyah

Muamalah maliyah adalah medan hidup yang sudah tersentuh oleh


tangan-tangan manusia sejak zaman klasik, bahkan zaman purbakala. Setiap
orang membutuhkan harta yang ada di tangan orang lain. Hal ini membuat
manusia berusaha membuat beragam cara pertukaran, bermula dengan
kebiasaan melakukan tukar menukar barang yang disebut barter, berkembang
menjadi sebuah sistem jual-beli yang kompleks dan multidimensional.
Perkembangan itu terjadi karena semua pihak yang terlibat berasal dari latar
belakang yang berbeda, dengan karakter dan pola pemikiran yang bermacam-
macam, dengan tingkat pendidikan dan pemahaman yang tidak sama. Baik itu
pihak pembeli atau penyewa, penjual atau pemberi sewa, yang berutang dan
berpiutang, pemberi hadiah atau yang diberi, saksi, sekretaris atau juru tulis,
hingga calo atau broker. Semuanya menjadi majemuk dari berbagai kalangan
dengan berbagai latar belakang sosial dan pendidikan yang variatif. Selain itu,
transaksi muamalah maliyah juga semakin berkembang sesuai dengan tuntutan
zaman. Sarana atau media dan fasilitator dalam melakukan transaksi juga kian
hari kian canggih. Sementara komoditi yang diikat dalam satu transaksi juga

126
semakin bercorak-ragam, mengikuti kebutuhan umat manusia yang semakin
konsumtif dan semakin terikat tuntutan zaman yang juga kian berkembang.

Oleh sebab itu, urgensi muamalah maliyah yang sangat erat dengan
perekonomian Islam ini akan tampak bila kita melihat salah satu bagiannya,
yaitu dunia bisnis perniagaan dan khususnya level menengah ke atas. Seorang
yang memasuki dunia perbisnisan ini membutuhkan kepekaan yang tinggi,
feeling yang kuat dan keterampilan yang matang serta pengetahuan yang
komplit terhadap berbagai epistimologi terkait, seperti ilmu manajemen,
akuntansi, perdagangan, bahkan perbankan dan sejenisnya. Atau berbagai ilmu
yang secara tidak langsung juga dibutuhkan dalam dunia perniagaan modern,
seperti komunikasi, informatika, operasi komputer, dan lain-lain. Itu dalam
standar kebutuhan businessman (orang yang berwirausaha) secara umum.

Bagi seorang muslim, dibutuhkan syarat dan prasyarat yang lebih


banyak untuk menjadi wirausahawan dan pengelola modal yang berhasil,
karena seorang muslim selalu terikat-–selain dengan kode etik ilmu
perdagangan secara umum–dengan aturan dan syariat Islam dengan hukum-
hukumnya yang komprehensif. Oleh sebab itu, tidak selayaknya seorang
muslim memasuki dunia bisnis dengan pengetahuan kosong terhadap ajaran
syariat, dalam soal jual-beli misalnya. Yang demikian itu merupakan sasaran
empuk ambisi setan pada diri manusia untuk menjerumuskan seorang muslim
dalam kehinaan.

Pengertian Harta (Maal)

Setelah jelas bahwa pembahasan kita hanya membahas muamalah


maliyah (harta), maka perlu kita perlu mengetahui pengertian al-maal dalam
syariat Islam.

Yang dimaksud dengan harta (al-maal) dalam pengertian syariat


adalah:“Semua benda yang diperbolehkan kemanfaatannya bukan karena
hajat.”

Termasuk dalam definisi ini: emas, perak, gandum, kurma, garam, mobil,
bejana, rumah, dan lain-lainnya.

Yang dimaksud dengan kata (‫ )النفع مباحة‬adalah benda tersebut


memiliki manfaat, sehingga benda yang tidak memiliki manfaat tidak
termasuk dalam definisi ini. Benda yang diharamkan pemanfaatannya, seperti
alat-alat musik, juga tidak termasuk dalam definisi ini.

Adapun maksud pernyataan (‫ )حاجة بًل‬adalah kebolehannya bukan


disebabkan kebutuhan dan darurat, sehingga mengeluarkan semua yang
dibolehkan karena kebutuhan dan darurat, seperti bangkai yang diperbolehkan
karena darurat atau kulit bangkai yang diperbolehkan pemanfaatannya karena
kebutuhan. Demikian juga, anjing pemburu diperbolehkan karena hajat
(kebutuhan) .

127
Para ulama pun memakai kata harta benda (‫ )المال‬untuk tiga hal, yaitu:
• Barang dagangan (‫)العروض األعيان‬, seperti mobil, rumah, bahan makanan,
pakaian, dan selainnya.
• Jasa pemanfaatan (‫)المنافع‬, seperti pemanfaatan menempati rumah,
pemanfaatan jual-beli di satu toko, dan lain-lainnya.
• Benda (‫ )العين‬yang dimaksudkan adalah emas dan perak dan yang
menggantikan keduanya dari uang kertas.

Walaupun sebagiannya memandang ini termasuk dalam barang dagangan.


Sebagian ulama memasukkan mata uang termasuk dalam al-arudh.

Ruang Lingkup Pembahasan

Muamalah maliyah yang mencakup dua hal, yaitu:

1. Ahkam al-mu’awadhah, yaitu muamalah yang digunakan untuk maksud


adanya imbalan berupa keuntungan, usaha dan perdagangan, serta lainnya.
Di dalamnya tercakup: jual-beli (‫)البيع‬, sewa menyewa (‫)اإلجارة‬, hak pilih
(‫)الخيارات‬, syarikat (‫)الشركات‬, dan transaksi yang berhubungan dengannya.

2. Ahkam at-tabaru’at (‫)التبرعات أحكام‬, yaitu muamalah yang bertujuan untuk


berbuat baik dan memudahkan orang lain, seperti hadiah (‫)الهبة‬, pemberian
(‫)العطية‬, Wakaf (‫)الوقف‬, pembebasan budak (‫ )العتق‬dan Wasiyat (‫ )الوصايا‬serta
yang lainnya.

Dengan demikian, ruang lingkup pembahasan ini meliputi


permasalahan:
jual-beli (‫)البيع‬, sewa menyewa (‫)اإلجارة‬, hak pilih (‫)الخيارات‬, syarikat (‫)الشركات‬,
utang piutang (‫)القرض‬, gadai (‫)الرهن‬, jaminan (‫)الضمان‬, al-hawalah (‫)الحوالة‬,
perjanjian damai (‫)الصلح‬, masalah kebangkrutan (‫)التفليس‬, perlombaan (‫)السبق‬,
‘ariyah (‫)العارية‬, al-ghashb (‫)الغصب‬, asy-syuf’ah (‫)الشفعة‬, al-ju’alah (‫)الجعالة‬,
laqathah (‫)اللقطة‬, al-luqaith (‫)اللقيط‬, wakaf (‫)الوقف‬, pemberian/hadiah (‫)الهبة‬,
pemberian ketika sakit menjelang kematian (‫)العطية‬, wakaf (‫)الوقف‬, dan wasiat
(‫)الوصايا‬. Namun, sebelum membahas permasalahan muamalah maliyah ini,
pengenalan kaidah-kaidah dasar muamalah maliyah sangat perlu dilakukan
agar permasalahannya lebih jelas dan mudah.

: 1. Asal dalam Muamalah Adalah Halal

‫ت ْال ِح ُّل‬
ِ َ‫ص ُل فِي ْال ُمعَا َمال‬
ْ َ ‫األ‬
Inilah pendapat jumhur (mayoritas) ulama, bahkan Ibnu Rajab rahimahullah
mengatakan bahwa sebagian ulama menyampaikan ijma’ (kesepakatan) dalam
hal ini. Namun, hikayat ijma’ ini tidak benar karena mazhab azh-Zhahiriyah
menyelisihinya (tidak menyetujui kaidah ini).

Kaidah ini berlaku pada muamalah dan selainnya, bahkan juga dalam
masalah i’tikad. Pada asalnya, dalam seluruh akad transaksi harus adil, dan

128
demikianlah yang diajarkan syariat Islam. sebagaimana firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala,
  

 
 
 
  
  
  
  
 
   
  
Artinya: Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan
membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al
kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.
dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan
berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan
supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)Nya dan rasul-rasul-
Nya Padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha kuat lagi
Maha Perkasa. (Qs. al-Hadid [57] : 25)

Untuk menegaskan perintah adil dan pengharaman kezaliman Allah,


pertama adalah Allah mengharamkannya atas diri-Nya, kemudian Allah
menjadikannya terlarang di antara para makhluk-Nya, sebagaimana tertuang
dalam hadits qudsi yang berbunyi,

َّ‫َّللا أَن‬
َّ َ‫ارك‬ َ َ‫ظ ْل َم َح َّر ْمتُ ِإنِي ِعبَادِي يَا قَا َل َوتَعَالَى تَب‬
ُّ ‫علَى ال‬
َ ‫ُم َح َّر ًما بَ ْينَ ُك ْم َو َجعَ ْلتُهُ نَ ْفسِي‬
‫ت َ َظالَ ُموا فَ ًَل‬

Artinya : “Sungguh, Allah telah berfirman, ‘Wahai hamba-Ku, sungguh aku


telah mengharamkan kezaliman atas diri-Ku dan menjadikannya terlarang di
antara kalian, maka janganlah saling menzalimi!’ “ (Hr. Muslim)

Jelaslah, kezaliman terlarang dalam semua keadaan, dan keadilan


adalah wajib dalam semua keadaan, sehingga dilarang berbuat zalim kepada
orang lain, baik muslim atau kafir.

Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu menyatakan, “Semua


kebaikan masuk dalam keadilan dan semua kejelekan masuk dalam kezaliman.
Oleh karena itu, keadilan adalah perkara wajib dalam setiap sesuatu dan atas
setiap orang, dan kezaliman dilarang pada setiap sesuatu dan atas setiap orang,
sehingga dilarang menzalimi seorang baik muslim, kafir, atau zalim–, bahkan
boleh atau wajib berbuat adil terhadap kezaliman juga.”

Beliau pun menyatakan, “Semua yang Allah larang kembali kepada


kezaliman dan semua yang diperintahkan kembali kepada keadilan.”
129
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

 
  
   
  
    
  
  
     
 

Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu Jadi orang-


orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi
dengan adil. Janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum,
mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu
lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui segala sesuatu yang kamu kerjakan.” (Qs. al-Maidah [5]: 8)

Hal ini karena kezaliman adalah sumber kerusakan dan keadilan adalah
sumber kesuksesan yang menjadi tonggak kemaslahatan hamba di dunia dan
akhirat, sehingga manusia sangat membutuhkannya dalam segala kondisi.
Ketika perniagaan dan muamalah adalah pintu yang besar bagi kezaliman
manusia dan pintu untuk memakan harta orang lain dengan batil, maka
larangan zalim dan pengharamannya termasuk maqashid syariah terpenting
dalam muamalah. Kewajiban berbuat adil dan larangan berbuat zalim menjadi
kaidah terpenting dalam muamalah.

Pengertian kaidah ini adalah “kaidah dalam semua akad yang terjadi
antara dua pihak adalah halal dan mubah secara umum”. Sehingga semua
bentuk muamalah yang belum ada atau telah ada terdahulu, pada asalnya
boleh, kecuali ada dalil yang shahih dan jelas melarangnya, sehingga keluar
dari asalnya dengan dalil dan diberi hukum lain di luar hukum asal. Adapun
bila tidak ada dalil yang melarangnya, maka ia berlaku sesuai asal, yaitu boleh
dan mubah.

Dasar Kaidah adalah:

1. Ayat-ayat yang menunjukkan perintah menunaikan akad transaksi dan


perjanjian, seperti Firman Allah ‘Azza wa Jalla,

 
 
   
   
  
  
130
     
 
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu[388].
Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu.
(yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang
mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut
yang dikehendaki-Nya. (Qs. al-Maidah [5] : 1)

[388] Aqad (perjanjian) mencakup: janji prasetia hamba kepada Allah dan Perjanjian yang
dibuat oleh manusia dalam pergaulan sesamanya.

Dan 2 firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

  


  
   
  
  
  

Artinya: Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan
cara yang lebih baik (bermanfaat) sampai ia dewasa dan penuhilah janji;
Sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya. (Qs. al-Isra
[17]`: 34)

Ayat ini berisi perintah menunaikan transaksi dan muamalah secara mutlak,
baik bentuk dan lafalnya ada pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
atau belum ada. Oleh karen itu, hal ini menunjukkan bahwa asal dalam
muamalah adalah halal.

3. Ayat-ayat yang menunjukkan pambatasan hal-hal terlarang pada perbuatan


dan sifat tertentu, seperti firman Allah ‘Azza wa Jalla,

  


   
   
 
  
   
   
   
   
  
     

131
 
 
Artinya : Dan sepasang dari unta dan sepasang dari lembu. Katakanlah:
"Apakah dua yang jantan yang diharamkan ataukah dua yang betina, ataukah
yang ada dalam kandungan dua betinanya? Apakah kamu menyaksikan di
waktu Allah menetapkan ini bagimu? Maka siapakah yang lebih zalim
daripada orang-orang yang membuat-buat Dusta terhadap Allah untuk
menyesatkan manusia tanpa pengetahuan ?" Sesungguhnya Allah tidak
memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. (Qs. al-An’am [6]: 145)

Dan 4 firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

    


    
   

   
   
  
  
  
    
  
    
  
  
Arinya : Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu
oleh Tuhanmu Yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia,
berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu
membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi
rezki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati
perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang
tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar[518]".
demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya).
(Qs. al-An’am [6]: 151)
[518] Maksudnya yang dibenarkan oleh syara' seperti qishash membunuh orang murtad, rajam
dan sebagainya.

5 firman-Nya ‘Azza wa Jalla,

   


  
  
 
  
   
132
   
    
 
Artinya : Katakanlah: "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji,
baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar
hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan
Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan
(mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu
ketahui." (Qs. al-A’raf [7] : 33)

Dalam ayat-ayat di atas, Allah membatasi hal-hal terlarang pada jenis


dan sifat tertentu saja, sedangkan yang tidak diketahui ada pengharamannya,
maka diberlakukan hukum halal, karena tidak boleh ada hukum untuk para
mukallaf tanpa dasar dalil.

6. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

 
  
 
   
    
   
    

29. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu
membunuh dirimu[287]; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu. (Qs. an-Nisa [4]`: 29)
[287] Larangan membunuh diri sendiri mencakup juga larangan membunuh orang lain, sebab
membunuh orang lain berarti membunuh diri sendiri, karena umat merupakan suatu kesatuan.

Dalam ayat ini, Allah tidak memberikan syarat dalam perdagangan kecuali
saling suka (taradhi). Ayat ini menunjukkan bahwa asal dalam muamalah
adalah halal.

7. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,


   
   
    
   
  
  
 
    

133
 

Artinya : Mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-binatang yang halal)
yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, Padahal Sesungguhnya
Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu,
kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya. dan Sesungguhnya kebanyakan
(dari manusia) benar benar hendak menyesatkan (orang lain) dengan hawa
nafsu mereka tanpa pengetahuan. Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang
lebih mengetahui orang-orang yang melampaui batas. (Qs. al-An’am [6] :
119)

8. Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

Artinya : “Semua yang Allah halalkan dalam al-Quran maka ia halal, yang
diharamkan maka ia haram, dan yang didiamkan maka itu tidak ada
hukumnya (boleh). Terimalah dari Allah kemudahan-Nya. (Allah berfirman),
‘Rabbmu tidak pernah lupa.’ ”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut hukum sesuatu yang tidak


diharamkan dan dihalalkan dengan kata “afwun” (dimaafkan atau boleh). Ini
menunjukkan bahwa asal sesuatu dalam muamalah adalah halal.

6. Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

Artinya : “Sungguh, orang yang paling besar kejahatannya adalah orang yang
bertanya tentang sesuatu yang tidak diharamkan, lalu diharamkan dengan
sebab pertanyaannya.’ (Muttafaqun ‘alaihi)

7. Ditinjau secara dalil aqli (akal) dengan tiga hal:

a. Akad transaksi termasuk perbuatan dan aktivitas yang sudah menjadi adat
kebiasaan. Manusia sudah biasa melakukannya dalam mendapatkan kebutuhan
dunia mereka, maka asal hukumnya adalah boleh dan tidak dilarang. Sehingga
dijadikan dasar sampai ada dalil yang mengharamkannya.

b. Syariat tidak mengharamkan jenis akad kecuali hanya beberapa saja, maka
tidak adanya dalil pengharaman menunjukkan ketidak-haramannya.

c. Dalam keabsahan akad transaksi, tidak disyaratkan adanya izin khusus dari
syariat. Ibnu Taimiyah rahimahullahu menyatakan, “Kaum muslimin apabila
melakukan transaksi tertentu dan belum mengetahui keharaman dan
kehalalannya, maka seluruh ahli fikih–yang aku ketahui–menghukumi
keabsahannya, apabila mereka tidak meyakini keharamannya. Walaupun
transaktor (orang yang bertransaksi –ed) tersebut belum mengetahui
penghalalannya–baik dengan ijtihad atau taklid–, dan juga tidak ada seorang
pun yang menyatakan bahwa akad transaksi tidaklah sah kecuali untuk orang
yang meyakini bahwa syariat menghalalkannya. Seandainya izin khusus
syariat menjadi syarat keabsahan transaksi, maka transaksinya tidak sah,
kecuali setelah adanya izin kebolehannya.”

134
2. Asal Dalam Syarat-Syarat yang Ditetapkan dalam Muamalah Adalah Halal

ْ َ ‫ت فِي الش ُُّر ْو ِط فِي األ‬


(‫ص ُل‬ ِ َ‫)ا ْل ِح ُّل ا ْل ُمعَا َمًل‬
Inilah pendapat yang diambil oleh jumhur ulama.

Syarat-syarat ini tidak lepas dari tiga keadaan, yaitu:


1. Syarat-syarat yang ditetapkan syariat kebolehannya. Ini diperbolehkan.
2. Syarat-syarat yang ditetapkan syariat larangannya. Ini jelas dilarang.
3. Syarat-syarat yang didiamkan oleh syariat. Ini kembali ke hukum asalnya.

Kapan Syarat Tersebut Ditetapkan?

Syarat itu ditetapkan sebelum akad, ketika dua transaktor tersebut


menyepakati syarat tersebut. Contohnya, penjual mensyaratkan pemanfaatan
barang dagangannya beberapa waktu tertentu atau pembeli mensyaratkan
pembayaran ditunda (utang). Dapat pula dilakukan ketika transaksi dan di
masa waktu khiyaar.

Contohnya, seorang menyatakan dalam ijabnya, “Aku jual mobil ini dengan
syarat aku gunakan dahulu selama sehari atau dua hari.”

Contoh syarat dalam zaman (masa berlakunya) khiyar (khiyar majelis dan
khiyar syarat) adalah seseorang menjual mobilnya, kemudian sebelum
berpisah–di majelis tersebut–sang penjual mensyaratkan untuk
memanfaatkannya selama sehari atau dua hari. Demikian juga di zaman khiyar
syarat, diperbolehkan mengajukan syarat. Contohnya, seorang menjual mobil
dan mengatakan, “Saya memiliki hak khiyar selama tiga hari.” Kemudian, di
masa tersebut ia mengajukan syarat lagi untuk menggunakan kendaraan
tersebut selama sepekan.

Ini semua sah apabila terjadi kesepakatan antara dua transaktor tersebut.

Tentang permasalahan khiyaar akan dibahas dalam pembahasan khusus


mendatang, insya Allah.
Dengan demikian, asal dalam syarat-syarat ini adalah halal dan mubah.
Dengan demikian, diperbolehkan bagi para transaktor untuk memberikan
syarat sesukanya, kecuali bila ada dalil yang melarang syarat tersebut. Apabila
dalil larangan tersebut ada, maka ia keluar dari hukum asalnya. Ini semua
dalam rangka mempermudah orang bermuamalah dan mewujudkan
kemaslahatan bagi mereka.

Syarat yang Shahih dalam muamalah menjadi tiga, yaitu:

Sebagian ulama membagi syarat yang shahih (syarat yang tidak


menyelisihi tuntutan akad dan tidak pula maksudnya, serta memiliki maslahat
untuk akad tersebut) yaitu:

135
1. Syarat termasuk tuntutan akad transaksi (‫)العقد مقتضى من شروط‬, seperti
pembayaran kontan dengan penyerahan barang.
2. Syarat termasuk kemaslahatan akad (‫)العقد مصلحة من شروط‬, seperti syarat
tempo, gadai, atau syarat bentuk barang.
3. Syarat memanfaatkan barang yang diperdagangkan (‫في المبيع انفاع شروط‬
‫)المعلوم‬, seperti syarat mengantarkan pulang dengan kendaraan yang dijual
atau syarat menggunakan rumah yang dijual dalam waktu tertentu oleh
penjual.

Dengan demikian, jelaslah bahwa pada asalnya, syarat dalam muamalah


adalah halal dan boleh, kecuali ada dalil yang melarangnya.

Di Antara Aplikasi Larangan Zalim dalam Muamalah:

1. Al-ghisy (penipuan).

2. An-najasy.
An-najasy didefinisikan sebagai tambahan pada harga satu barang
dagangan dari orang yang tidak ingin membelinya agar orang lain terjebak
padanya. Seseorang yang tidak ingin membeli barang, datang dan
meninggikan harga barang agar pembeli mengikutinya, lalu menyangka
bahwa ia tidak meninggikan harta barang tersebut kecuali memang pantas,
sehingga ia terpedaya dengannya. Jual-beli ini diharamkan karena berisi
kezaliman. Dalilnya adalah hadits Ibnu Umar yang berbunyi,

‫لى النَّبي أ َ َّن‬ َ ُ‫علَ ْي ِه هللا‬


َّ ‫ص‬ َ ‫سلَّ َم َو‬
َ ₎₎ ‫النَّ َجش ع َْن نَ َهى‬
Artinya : “Sungguh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang an-najasy.”
(Hr. al-Bukhari dan Muslim)

Bahkan para ulama sepakat mengharamkannya.

3 Jual-beli atas jual-beli saudaranya


(‫ )بيع الرجل على بيع أخيه وشراؤه على شرائه‬yang dilarang dalam sabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

4. Tas’ir (price-fixing/Pematokan harga), yaitu Intervensi otoritas dalam


pengendalian dan pematokan harga (price-fixing). Hal ini dengan memaksa
transaksi jual-beli dengan harga tertentu dan tidak boleh dilanggar.

Pada asalnya, muamalah ini dilarang dengan kesepakatan ahli fikih


yang berdasarkan pada dalil-dalil dibawah ini:

5. Firman Allah ‘Azza wa Jalla,


 
  
 
136
   
    
   
   
 
Artinya : . Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan
harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu
membunuh dirimu[287]; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu. (Qs. An-Nisa [4]’: 29

[287] Larangan membunuh diri sendiri mencakup juga larangan membunuh orang lain, sebab
membunuh orang lain berarti membunuh diri sendiri, karena umat merupakan suatu kesatuan.

Tas’ir ini tidak dapat mewujudkan taradhi (saling ridha).

Dari sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terdapat hadits dari Anas
bin Malik yang berbunyi,

‫غ ًَل‬ َ ‫الس ْع ُر‬


ِ ‫علَى‬ َ ‫ع ْه ِد‬ َ ‫سو ِل‬ُ ‫َّللاِ َر‬َّ ‫صلَّى‬ َّ ‫علَ ْي ِه‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ‫سو َل يَا فَقَالُوا َو‬
َ ‫سلَّ َم‬ ُ ‫َّللاِ َر‬ َ ‫فَقَا َل لَنَا‬
َّ ‫س ِع ْر‬
َّ ‫س ِع ُر ُه َو‬
َّ‫َّللاَ إِن‬ َ ‫ض ا ْل ُم‬ ُ ‫ط ا ْلقَا ِب‬ ِ ‫ق ا ْلبَا‬
ُ ‫س‬ َّ ‫ْس َر ِبي أ َ ْلقَى أ َ ْن َأل َ ْر ُجو َوإِنِي‬
ُ ‫الر َّزا‬ َ ‫أ َ َحد َولَي‬
‫َما ٍل َو َال د ٍَم فِي بِ َم ْظ ِل َم ٍة يَ ْطلُبُنِي ِم ْن ُك ْم‬

Artinya : “Harga-harga barang mahal di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa


sallam, lalu mereka berkata, ‘Wahai Rasulullah, patoklah harga untuk kami!
Lalu beliau menjawab, ‘Sesungguhnya Allahlah pematok harga yang
menyempitkan dan melapangkan serta Maha Pemberi Rezeki, dan sungguh
aku berharap menjumpai Rabbku dalam keadaan tidak ada seorang pun dari
kalian yang menuntutkan dengan sebab kezaliman dalam darah dan harta.’ “
(Hr. Abu Daud)

Dalam hadits ini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukan


price-fixing karena berisi kezaliman.

Demikianlah, hukum asal price-fixing adalah haram, namun para ulama


mengecualikannya dalam beberapa keadaan, di antaranya:
a. Kebutuhan manusia terhadap barang tersebut.
b. Adanya ihtikaar (penimbunan) oleh produsen atau pedagang.
c. Penjualan terbatas milik sekelompok orang saja.

Bahkan, ada juga tas’ir yang diwajibkan karena ketiga hal di atas.

Syekhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan, “Sesungguhnya, apabila


waliyul umur (pemerintah/pihak otoritas) memaksa para pengusaha industri
(ahli ash-shina’at) untuk memenuhi kebutuhan manusia (rakyat) berupa hasil
produksi, seperti alat pertanian, alat jahit, dan alat bangunan, maka pihak
otoritas harus menentukan gaji umum/harga umum, sehingga tidak
memberikan kesempatan bagi pengguna (konsumen) untuk mengurangi biaya

137
produksi, dan tidak memberikan kesempatan kepada pihak pabrik dari tuntutan
lebih banyak dari hal itu, pada keadaan ia harus menjadi pembuatnya. Ini
termasuk tas’ir yang wajib. Demikian juga, apabila manusia (orang-orang)
membutuhkan orang yang membuatkan (memproduksi) alat-alat jihad (berupa
senjata, jembatan untuk perang, dan selainnya) untuk mereka, maka para
pekerja tersebut diberikan upah pekerja pada umumnya. Tidak memberikan
kesempatan para konsumen untuk menzalimi mereka dan para pekerja dari
tuntutan melebihi hak mereka dengan sebab kebutuhan orang atas mereka. Ini
termasuk tas’ir dalam pekerjaan.

Beliau juga menyatakan, “Al-muhtakir (penimbun barang) yang


menjadi sandaran dalam penjualan kebutuhan orang banyak berupa bahan
makanan, lalu menimbun barang tersebut dan ingin menaikkan harganya telah
menzalimi para pembeli/konsumen (dengan melakukan hal tersebut). Oleh
karena itu, pihak otoritas memaksa mereka untuk menjual barang yang
dimilikinya dengan harga umum ketika orang banyak memiliki kebutuhan
yang sangat mendesak terhadap barang tersebut.

Lebih lanjut, Syekhul Islam menyatakan, “Terlebih lagi bila orang-


orang berkomitmen untuk tidak menjual bahan makanan atau selainnya
kecuali kepada individu tertentu saja, tidak menjual barang kecuali kepada
mereka saja, kemudian mereka ini menjualnya secara monopoli, sehingga bila
ada selain mereka menjualnya maka dilarang, secara zalim karena kedudukan
yang diambil dari penjual atau lainnya. Oleh sebab itu, dalam kondisi ini tas’ir
(price-fixing) wajib dilakukan pada mereka, yaitu mereka tidak boleh menjual
barang-barang tersebut kecuali dengan harga umum yang ditentukan dan
(mereka pun) tidak membeli harta manusia kecuali dengan harga umum. Hal
ini wajib tanpa ada kebimbangan sama sekali pada para ulama apabila orang
lain dilarang menjual jenis tersebut atau membelinya. Seandainya mereka
diperbolehkan menjual sesuka hati mereka, maka dalam hal tersebut terdapat
kezaliman dari dua sisi:

a. Kezaliman kepada para penjual (yang diinginkan oleh individu yang hendak
memonopoli tadi agar menjual barangnya).
b. Kezaliman terhadap pembeli (yang akan membeli barang dari individu yang
hendak memonopoli).

Demikian contoh aplikasi kaidah larangan zalim dalam muamalah.

4. Larangan al-Gharar/Terselubung

Definisi al-Gharar

Kata ”al-gharar“ dalam bahasa Arab adalah isim mashdar dari kata
(‫ )غرر‬yang berkisar pengertiannya pada kekurangan, pertaruhan (al-khathr) ,
serta menjerumuskan diri dalam kehancuran dan ketidakjelasan.

Adapun dalam terminologi syariat, pendapat para ulama dalam hal ini
hampir sama. Di antaranya adalah:

138
1. Imam as-Sahkhasi rahimahullahu menyatakan, “Al-Gharar adalah yang
terselubung (tidak jelas) hasilnya”.
2. Imam asy-Syairazi rahimahullahu menyatakan, ” Al-Gharar adalah yang
terselubung dan tidak jelas hasilnya”
3. Abu Ya’la rahimahullahu mendefinisikannya dengan sesuatu yang berada
antara dua perkara yang tidak jelas hasilnya.
4. Ibnu Taimiyah rahimahullahu menyatakan, “Al-Gharar adalah yang tidak
jelas hasilnya (Majhul al-‘Aqibah)”.
5. Sedangkan menurut Syekh as-Sa’di rahimahullahu, Al-Gharar adalah al-
mukhatharah (pertaruhan) dan al-jahalah (ketidakjelasan). Hal ini masuk
dalam perjudian.

Dari sini dapat diambil pengertian bahwa “jual-beli al-gharar adalah


semua jual-beli yang mengandung ketidakjelasan atau pertaruhan atau
perjudian; atau semua yang tidak diketahui hasilnya atau tidak diketahui
hakikat dan ukurannya.”

Ketentuan Dasar Al-Gharar yang Dilarang dalam Muamalah

Kaidah ini merupakan kaidah yang telah disepakati para ulama dalam
muamalah.

Mengenal kaidah Al-Gharar sangat penting dalam muamalah, karena


banyak permasalahan muamalah yang bersumber dari ketidakjelasan dan ada
unsur taruhan di dalamnya. Oleh karena itu Imam an-Nawawi rahimahullah
menyatakan, “Adapun larangan jual-beli al-Gharar, maka ia merupakan pokok
penting dari kitab jual-beli. Oleh karena itu, Imam Muslim rahimahullahu
mengedepankannya. Dalam hal ini tercakup permasalahan yang sangat
banyak, tidak terhitung.”

Demikianlah, al-Gharar menjadi salah satu pokok syariat dalam


masalah muamalah baik jual-beli ataupun seluruh hukum-hukum mu’awadhah
(barter).

Kaidah ini didasari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

‫سو ُل نَ َهى‬ َّ ‫صلَّى‬


ُ ‫َّللاِ َر‬ َّ ‫علَ ْي ِه‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ‫سلَّ َم‬ َ ‫بَيْعِ َوع َْن ا ْل َح‬
َ ‫صا ِة بَي ِْع ع َْن َو‬
‫ا ْلغَ َر ِر‬

Artinya :“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual-beli al-hashah


dan jual-beli al-gharar.” (Hr. Muslim)

Banyak permasalahan yang masuk dalam kaidah ini, di antaranya larangan


jual-beli habalatul habalah (‫) الحبلة حبلة بيع‬, al-malaaqih (‫)المالقيح بيع‬, al-
mudhamin (‫)المضامين بيع‬, jual-beli buah-buahan sebelum tampak kepastian
buahnya (‫)صالحها بدو قبل الثمار بيع‬, jual-beli mulamasah (‫)المالمسة بيع‬, jual-beli
munabadzah (‫)المنابذة بيع‬, dan sejenisnya dari jual-beli yang terdapat gharar di
dalamnya, yang tidak jelas hasilnya berkisar antara untung dan ‘buntung’, baik
gharar-nya terdapat pada akad transaksi, pembayaran, atau tempo pembayaran.

139
Di antara hal yang harus diperhatikan dalam mengenal al-gharar yang
terlarang adalah tidak boleh memahami larangan syariat Islam terhadap al-
gharar secara mutlak yang telah ditunjukkan oleh lafal larangan tersebut.
Namun, harus melihat dan meneliti maksud syariat dalam larangan tersebut,
karena hal tersebut dapat menutup pintu keleluasaan jual-beli dan itu tentunya
bukan tujuan syariat, sebab hampir semua bentuk muamalah tidak lepas dari
al-gharar.

Oleh karena itu, para ulama memberikan syarat bagi al-gharar yang
terlarang sebagai berikut:

1. Gharar-nya besar dan dominan pada akad transaksi (‫َكثِيْرا َ ًً ا ْلغَ َر ُر يَك ُْونَ أ َ ْن‬
َ ‫)ا ْلعَ ْق ِد‬
َ ‫علَى‬
ًً َ ‫غا ِلبا‬
Dengan demikian, gharar yang sepele (sedikit) diperbolehkan dan tidak
merusak keabsahan akad. Ini perkara yang telah disepakati para ulama,
sebagaimana disampaikan Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid (2/155) dan
Imam Nawawi dalam al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab (9/258). Para ulama
memberikan contoh dengan masuk ke kamar mandi umum untuk mandi
dengan membayar. Ini mengandung gharar, karena orang berbeda dalam
penggunaan air dan lamanya tinggal di dalam. Demikian juga, persewaan
(rental) mobil untuk sehari atau dua hari, karena orang berbeda-beda dalam
penggunaannya dan cara pemakaiannya. Ini semua mengandung gharar,
namun dimaafkan syariat, karena gharar-nya tidak besar.

2. Kebutuhan umum tidak membutuhkannya (َ‫جةُ ت َ ْدعُو أَال‬


َ ‫ا ْلغَ َر ِر َهذَا ِإلَى ا ْل َحا‬
ً‫)عَا َمةً َحا َجة‬

Kebutuhan umum (ُ‫جة‬


َ ‫ )ا ْلعَا َمةُ ا ْل َحا‬dapat disejajarkan dengan darurat.
Al-Juwaini rahimahullahu menyatakan,

ُ‫ق ِف ْي ال َحا َجة‬ ِ َّ‫الض َُّر ْو َرةَ َم ْن ِزلَةَ ت َ ْن ِز ُل كَافَةً الن‬


ِ ‫اس َح‬

Artinya : “Kebutuhan pada hak manusia secara umum disejajarkan dengan


darurat). Batasannya adalah semua hal yang seandainya tidak dilakukan orang,
maka mereka akan merugi pada saat itu atau di kemudian hari.”

Ibnu Taimiyah rahimahullahu menyatakan,

ُ ‫ج َما يُ َح ِر ُم الَ َوالش َِّار‬


‫ع‬ ُ َّ‫َما يُ ِب ْي ُح َب ْل ا ْلغَ َر ِر ِمنَ نَ ْوعٍ ألَجْ ِل ا ْل َبيْعِ ِمنَ ِإلَ ْي ِه الن‬
ُ ‫اس يَحْ تَا‬
‫ج‬ ُ َّ‫ذَ ِلكَ ِم ْن الن‬.
ُ ‫اس ِإلَ ْي ِه يَحْ تَا‬

Artinya : “Syariat tidak mengharamkan jual-beli yang dibutuhkan manusia


hanya karena ada sejenis gharar. Bahkan. Syariat memperbolehkan semua hal
yang dibutuhkan manusia dari hal itu.”

140
Kaidah yang disampaikan para ulama ini, harus terwujudkan kebutuhan
tersebut secara pasti dan tidak ada solusi syar’i lainnya. Apabila kebutuhan ini
telah menjadi kebutuhan umum, maka disejajarkan dengan darurat.

Dasarnya adalah hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma yang berbunyi,

َّ‫صلَّى النَّ ِب َّي أَن‬


َ ُ‫علَ ْي ِه هللا‬
َ ‫سلَّ َم َو‬
َ ‫الث َم ِار بَي ِْع ع َْن نَ َهى‬
ِ ‫َي ْبد َُو َحتَّى‬
‫صًلَ ُح َها‬
َ

Artinya : “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual-beli buah-buahan


hingga tampak kepastiannya menjadi buah.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Dalam hadits ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan


kemudahan menjual buah dari pohon kurma setelah tampak menjadi buah, lalu
dibiarkan hingga sempurna kematangannya, walaupun sebagiannya belum
ada. Hal ini menunjukkan kebolehan gharar karena hajat umum . Dengan
demikian diambil kesimpulan dari hadits ini, bahwa apabila telah tampak
menjadi buah seperti berwarna merah pada al-busr (kurma muda) atau
menguning, maka jual-belinya sah, padahal sebagian dari buah-buah tersebut
belum ada. Ini jelas gharar. Meskipun demikian, syariat memperbolehkannya
karena kebutuhan umum.

3. Mungkin menghindarinya tanpa susah payah (‫بًل الغرر من التحرز يمكن أن‬
‫)مشقة وال حرج‬
Imam Nawawi dalam al-Majmu’ (9/258) dan Ibnul Qayyim dalam
Zaad al-Ma’ad (5/820) menukilkan adanya ijma’ bahwa gharar yang tidak
mungkin dihindari, kecuali dengan susah payah, maka diperbolehkan.

Para ulama mencontohkannya dengan pondasi rumah serta bangunan,


dan isi kandungan hewan yang hamil. Seseorang membeli rumah dalam
keadaan tidak mengetahui keadaan pondasi dan tiang-tiangnya, serta
bagaimana proses finishing pembangunannya. Juga isi kandungan hewan yang
hamil, apakah kandungannya jantan atau betina, berbilang atau hanya seekor,
dan apakah hidup atau mati. Ini jelas gharar, namun diperbolehkan karena hal
seperti ini tidak dapat diketahui jelas. Seandainya dipaksa mengetahuinya
tentulah harus dengan sangat susah payah.

Imam an-Nawawi rahimahullahu menyatakan, “Pada asalnya, jual-beli


gharar dilarang dengan dasar hadits ini, dan maksudnya adalah yang
mengandung unsur gharar yang jelas dan mungkin dilepas darinya. Adapun
hal-hal yang dibutuhkan dan tidak mungkin dipisahkan darinya seperti pondasi
rumah, membeli hewan yang mengandung dengan adanya kemungkinan yang
dikandung hanya seekor atau lebih dan jantan atau betina. Juga apakah lahir
sempurna atau cacat. Demikian juga membeli kambing yang memiliki air susu
dan sejenisnya. Semua ini diperbolehkan menurut ijma’. Demikian juga, para
ulama menukilkan ijma’ tentang kebolehan barang-barang yang mengandung
gharar yang sepele, di antaranya umat ini sepakat mengesahkan jual-beli baju
jubah mahsyuwah….”

141
Ibnul Qayyim rahimahullahu pun menyatakan, “Tidak semua gharar
menjadi sebab pengharaman. Apabila sepele (sedikit) atau tidak mungkin
dipisah darinya, maka keberadaan gharar tidak menjadi penghalang keabsahan
akad jual-beli, karena gharar (ketidakjelasan) yang ada pada pondasi rumah,
isi perut hewan yang mengandung, atau buah terakhir yang tampak menjadi
bagus sebagiannya saja, tidak mungkin dapat lepas darinya. Demikian juga,
gharar yang ada dalam hammam (pemandian umum) dan minuman dari bejana
dan sejenisnya adalah gharar yang sepele. Karenanya, keduanya tidak
mencegah jual-beli. Hal ini tentunya tidak sama dengan gharar yang banyak,
yang mungkin dapat dilepas darinya.”

4. Gharar yang dilarang hanya pada akad mu’awadhah (‫المنهي الغرر يكون أن‬
‫)المعاوضات عقود في عنه‬
Inilah pendapat imam Malik rahimahullahu dan dirajihkan oleh
Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu.

Adapun kewajiban larangan ghoror pada akad tabarru’at (‫)التبرعات‬


seperti shadaqah, hibah, dan sejenisnya masih diperdebatkan dalam dua
pendapat, setelah mereka (para ulama –ed) sepakat tentang tidak adanya
larangan gharar pada al-washiyat.

a. Diperbolehkan adanya gharar dalam akad tabarru’at,

Inilah pendapat mazhab Malikiyah, serta dirajihkan oleh Ibnu


Taimiyah dan Ibnul Qayyim . Mereka berdalil dengan hadits Amru bin
Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya yang berbunyi,

‫ش ْع ٍر ِم ْن ُكبَّة يَ ِد ِه فِي َر ُجل فَقَا َم‬ ْ ُ ‫سو ُل فَقَا َل ِلي بَ ْرذَعَةً ِب َها ِأل‬
َ ‫ص ِل َح َه ِذ ِه أ َ َخ ْذتُ فَقَا َل‬ ُ ‫َّللاِ َر‬
َّ
‫صلَّى‬ َّ ‫علَ ْي ِه‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ‫سلَّ َم‬ َ
َ ‫ع ْب ِد َو ِلبَنِي ِلي كَانَ َما أ َّما َو‬
َ ‫ب‬ َّ ْ َ
ِ ‫لَكَ ف ُه َو ال ُمط ِل‬

Artinya : “Maka ada seseorang yang membawa sekumpulan bulu rambut


(seperti wig) berdiri di tangannya, lalu berkata, ‘Aku mengambil ini untuk
memperbaiki pelana kudaku’. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Adapun yang menjadi hakku dan bani Abdil Muthalib,
maka itu untukmu.” (Hr. Abu Dawud dan dinilai hasan oleh al-Albani dalam
Irwa’ al-Ghalil 5/36–37)

Dalam hadits ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam


menghadiahkan bagiannya dan bagian Bani Abdil Muthallib dari benda
tersebut, dan tentunya ukurannya tidak jelas. Dengan demikian gharar tersebut
tidak berlaku pada akad tabarru’at.

Pendapat ini dikuatkan dengan “kaidah asal dalam muamalah adalah


sah”, baik dalam akad mu’awadhah ataupun tabaru’at. Asal hukum ini tidak
berubah dengan larangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari gharar
dalam hadits Abu Hurairah terdahulu, karena itu menyangkut akad
muawadhah saja. Apalagi perbedaan antara akad mu’awadhah dengan

142
tabarru’at telah jelas. Akad mu’awadhah dilakukan oleh seseorang yang ingin
melakukan usaha dan perniagaan, sehingga disyaratkan pengetahuan dan
kejelasan yang tidak disyaratkan dalam akad tabarru’at. Hal ini terjadi, karena
akad tabarru’at yang dilakukan oleh seseorang, tidaklah untuk usaha, namun
untuk berbuat baik dan menolong orang lain.

b. Gharar berlaku juga pada akad tabarru’at; inilah pendapat mayoritas ulama.

Namun yang rajih adalah pendapat yang pertama.

Berdasarkan hal ini, maka muncullah banyak masalah yang


disampaikan ulama, di antaranya:

Pemberian majhul. Bentuk gambarannya adalah, seorang


menghadiahkan sebuah mobil yang belum diketahui jenis, merek dan
bentuknya, atau memberi sesuatu yang ada di kantongnya. Ia berkata, “Saya
hadiahkan uang yang ada di kantong saya kepadamu.” Pertanyaannya, apakah
ini akad transaksi yang shahih atau tidak? Yang rajih adalah akad pemberian
ini sah, sebab tidak disyaratkan hadiahnya harus jelas.

Demikian juga, seandainya ia menghadiahkan sesuatu miliknya yang


telah dicuri atau dirampok, maka hukumnya sah. Juga, menghadiahkan
barang-barang yang hilang atau budak yang kabur.

Dengan demikian jelas, bahwa permasalahan akad tabarru’at lebih luas


dari permasalahan akad mu’awadhah.

5. Gharar terdapat pada asal, bukan sampingan (taabi’)

Gharar yang ikut kepada asal adalah gharar yang dimaafkan, karena terdapat
kaidah bahwa sesuatu itu diperbolehkan apabila terikutkan dengan sesuatu
yang lain, sedangkan dia menjadi tidak boleh bila ia terpisahkan darinya
(hanya berdiri sendiri).

َ ‫)أَصًلًًَ كَانَ إِذَا يُ ْغتَفَ ُر َماالَ تَا ِبعًا كَانَ إِذَا‬


(‫ش ْي ٍئ فِ ْي يُ ْغتَفَ ُر‬
Dalilnya adalah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi,

َ ‫شت َ ِر َط أ َ ْن ِإ َّال ِل ْل َبا ِئ ِع َفث َ َم َرت ُ َها ت ُ َؤبَّ َر أ َ ْن َب ْع َد َن ْخًلً اِ ْبتَا‬


‫ع َم ْن‬ ُ ‫ع َو َم ْن ا ْل ُم ْبتَا‬
ْ ‫ع َي‬ َ ُ‫َولَه‬
َ ‫ع ْبدًا ا ْبتَا‬
‫عهُ ِللَّذِي فَ َمالُهُ َمال‬ َ ‫شت َ ِر َط أ َ ْن ِإ َّال َبا‬
ْ ‫ع َي‬ ُ ‫ا ْل ُم ْبتَا‬

Artinya : “Barangsiapa yang membeli pohon kurma setelah dikawinkan, maka


buahnya milik penjual, kecuali pembeli mensyaratkannya, dan barangsiapa
yang membeli hamba (budak -ed) dan hamba (budak –ed) itu memiliki harta,
maka hartanya milik pihak yang menjualnya, kecuali pembeli budak tersebut
mensyaratkannya (mensyaratkan untuk juga memiliki harta si budaj setelah
dia membeli budak tersebut -ed).“ (Hr. al-Bukhari)

143
Dalam hadits ini pembeli diperbolehkan mengambil hasil talqih
tersebut, apabila talqih tersebut ada setelah pembeli mensyaratkannya.

Padahal, hasilnya (buahnya) belum ada atau belum dapat dipastikan


keberadaannya.

ِ ًََ‫صًلَ ِح َها بُ ُد ِو قَ ْبل‬


(‫الث َم ِار َب ْي ُع‬ َ )
Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu dalam menjelaskan dasar kaidah
ini menyatakan, “Nabi memperbolehkan bila seorang menjual pohon kurma
yang telah dikawinkan (talqih) untuk pembeli yang mensyaratkan (untuk juga
mengambil) buahnya. Sehingga, ia telah membeli buah sebelum waktu
baiknya. Namun, itu diperbolehkan karena (buahnya) terikut, bukan asal.
Sehingga jelaslah, gharar yang kecil diperbolehkan apabila terikutkan (dengan
sesuatu yang lain), yang (ini tentu) tidak boleh bila selain dari keadaan ini.”

Demikianlah beberapa kaidah dalam gharar yang dilarang syariat.

Aplikasi Kaidah al-Gharar

Di antara contoh muamalah yang memiliki gharar yang terlarang adalah:

1. Jual-beli al-hashah (‫)الحصاة بيع‬

Larangannya berdasar pada hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhua dalam


Shahih Muslim yang berbunyi,

‫ع ْنهُ هللاُ َر ِض َي ُه َري َْرةَ أَبِ ْي ع َْن‬


َ َّ‫لى النَّبِ َّي أَن‬ َ ُ‫علَ ْي ِه هللا‬
َّ ‫ص‬ َ ‫سلَّ َم َو‬ َ ‫ا ْل َح‬
َ ‫صا ِة بَي ِْع ع َْن نَ َهى‬
‫ا ْلغَ َر ِر بَي ِْع َوع َْن‬
Artinya : Dari Abu Hurairah-–semoga Allah meridhainya–, “Bahwasanya
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual-beli al-hashah dan jual-beli
gharar.”

Para ulama rahimahumullah memberikan contoh jual-beli ini:

Seseorang memberi batu kepada temannya dan menyatakan,


“Lemparlah batu ini pada tanahku! Sejauh mana lemparan batu tersebut dari
tanah, maka tanah tersebut menjadi milikmu, dengan pembayaran sekian
dirham darimu.” Apabila lemparannya kuat, maka pembeli beruntung dan
penjual merugi. Bila lemparannya lemah, maka sebaliknya (si pembeli rugi
dan si penjual yang untung).

2. Jual-beli mulamasah dan munabadzah (‫)والمنابذة المًلمسة‬

Jual-beli mulamasah dan munabadzah adalah jual-beli yang dilarang pada


hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dalam Shahihain (kitab Shahih
Bukhari dan Shahih Muslim) yang berbunyi,

144
‫لى النبي أن‬ َ ُ‫علَ ْي ِه هللا‬
َّ ‫ص‬ َ ‫سلَّ َم َو‬ َ ‫َوا ْل ُمنَابَذَة ا ْل ُم ًَل َم‬
َ ‫س ِة ع َْن نَ َهى‬

“Sesungguhnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual-beli


mulamasah dan munabadzah.”

Jual-beli mulamasah adalah jual-beli dengan bentuk seorang


menyatakan kepada temannya, “Pakaian apa pun yang sudah kamu pegang,
maka ia milikmu dengan pembayaran sekian rupiah darimu.” Oleh karena itu,
bila ia memegang pakaian yang mahal, maka ia beruntung dan bila ia
memegang pakaian yang murahan, maka ia merugi.

Adapun jual-beli munabadzah terjadi dengan menyatakan, “Ambil batu ini,


lalu lemparkan kepada pakaian-pakaian tersebut! Pakaian yang terkena
lemparan tersebut akan menjadi milikmu dengan pembayaran sekian rupiah
darimu.”

3. Jual-beli calon anak dari janin yang dikandung (‫)الحبلة حبل بيع‬

Larangannya terdapat dalam hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu yang


berbunyi,

‫صلَّى النبي أن‬


َ ُ‫علَ ْي ِه هللا‬
َ ‫سلَّ َم َو‬
َ ‫ال َحبَلة َحبَل بَي ِْع ع َْن نَ َهى‬

Artinya : “Sesungguhnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual-


beli calon anak dari janin yang dikandung.”

Jual-beli habalul habalah yang merupakan menjual hasil produksi


yang masih belum jelas termasuk jual-beli yang populer di masa jahiliyah.
Mereka terbiasa menjual anak hewan yang masih dalam kandungan
binatang yang bunting, dan menyerahkannya secara tertunda. Maka Islam
melarangnya. Letak unsur gharar dalam jual-beli habalul habalah ini jelas
sekali. Kalau tujuannya adalah menjual janin yang masih dalam perut induk
unta, maka janin itu jelas belum jelas keberadaannya. Pembelinya berada
dalam posisi yang mengkhawatirkan, karena ia bisa memperoleh barang yang
dia beli, dan bisa juga tidak.

Kalau yang menjadi tujuannya adalah menjual dengan pembayaran di


muka hingga lahirnya anak unta tersebut, unsur penjualan “kucing dalam
karung”-nya pun amat jelas, karena sama saja menjual sesuatu dengan masa
pembayaran yang tidak diketahui. Di dalam jual-beli ini tidak diketahui secara
pasti, kapan unta tersebut akan lahir.

Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Umar


radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
melarang jual-beli habalul habalah, yakni sejenis jual-beli yang biasa
dilakukan masyarakat jahiliyah. Pada jual beli tersebut, seseorang membeli
seekor unta hingga melahirkan anak unta, kemudian anak dalam kandungan
unta tersebut juga lahir pula (secara berantai).

145
4. Jual-beli buah sebelum tampak kepantasannya untuk layak
ِ ‫صًلَ ِح َها بُ ُد ِو قَ ْبلًََ الثِ َم‬
dikonsumsi ( ‫ار بَ ْي ُع‬ َ )
Jual-beli ini terlarang dalam hadits yang berbunyi,

َّ‫لى النَّبِ َّي أَن‬ َ ُ‫علَ ْي ِه هللا‬


َّ ‫ص‬ َ ‫سلَّ َم َو‬
َ ‫صًلَ ُح َها يَ ْبد َُو َحتَّى الثِ َم ِار بَي ِْع ع َْن نَ َهى‬
َ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual-beli buah-buahan hingga


tampak kepastiannya menjadi buah (layak dikonsumsi).” (Muttafaqun
‘alaihi)

Hal tersebut disebabkan adanya kemungkinan rusak dan gagalnya hasil panen
buah tersebut sebelum pembeli dapat memanfaatkannya.

5. Asuransi

Asuransi (ta’min) adalah satu transaksi yang tidak pernah ada di zaman
dahulu. Asuransi didefinisikan sebagai sebuah sistem untuk merendahkan
kehilangan finansial dengan menyalurkan risiko kehilangan dari seseorang
atau badan ke lainnya.

Dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 tentang usaha,


perasuransian adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana
pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima
premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena
kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan atau
tanggung jawab hukum pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung,
yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau memberikan suatu
pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang
dipertanggungkan.

Ahli fikih kontemporer bersilang pendapat dalam permasalahan ini.


Ada yang memperbolehkan, dan ini sedikit jumlahnya. Mereka menyatakan
bahwa yang dikeluarkan seseorang itu kecil sekali dibandingkan dengan yang
akan didapatkannya, dan itu berarti al-gharar yang kecil. Namun bila dilihat
pada jumlah orang yang ikut serta, dan keuntungan yang didapat perusahaan
perasuransian, gharar yang terdapat dalam transaksi ini jelas besar sekali.
Demikianlah, para ahli fikih melihat sesuatu itu bukan kepada seorang
individu manusia saja, namun kepada perlindungan seluruh manusia, karena
keberadaan syariat adalah untuk menjaga harta manusia. Oleh karena itu,
Lajnah Daimah lil uhuts al-‘Ilmiyah wal-Ifta (Komite Tetap dalam Riset
Ilmiyah dan Fatwa Negara Saudi Arabia) dalam ketetapan no. 55 tanggal
4/4/1397 H menetapkan ketidakbolehan asuransi seperti ini, karena termasuk
akad pertukaran harta yang mengandung gharar besar dan termasuk jenis al-
qimar (perjudian).

Hikmah Larangan Gharar

146
Hikmah dilarangnya jual-beli kamuflatif atau yang mengandung unsur
“menjual kucing dalam karung” adalah karena jual-beli tersebut
mengakibatkan seseorang memakan harta orang lain dengan cara haram. Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan hal itu dalam sabda beliau
tentang larangan menjual buah-buahan yang belum layak dikonsumsi atau
belum tumbuh,

“Tidakkah kalian berpikir, kalau Allah tidak mengijinkan buah itu untuk
tumbuh, dengan alasan apa si penjual memakan harta pembelinya?”

Jenis-jenis Gharar

Bila ditinjau pada terjadinya jual-beli, gharar terbagi menjadi tiga jenis, yaitu:

1. Jual-beli barang yang belum ada (ma’dum), seperti jual-beli habal al-
habalah (jual-beli tahunan), yakni menjual buah-buahan dalam transaksi
selama sekian tahun. Buah-buahan tersebut belum ada, atau menjual buah
yang belum tumbuh sempurna (belum layak dikonsumsi).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang jual-beli dengan sistem


kontrak tahunan, yakni membeli (hasil) pohon selama beberapa tahun,
sebagaimana dalam hadits yang berbunyi,

‫سو ُل نَ َهى‬ ُ ‫َّللاِ َر‬ َّ ‫صلَّى‬ َّ ‫علَ ْي ِه‬


َ ُ‫َّللا‬ َ ‫سلَّ َم‬ َ ‫او َم ِة َوا ْل ُم َزابَنَ ِة ا ْل ُم َحاقَلَ ِة ع َْن َو‬
َ َ‫َوا ْل ُم َخابَ َر ِة َوا ْل ُمع‬
ِ ‫او َمةُ ِه َي‬
‫السنِينَ بَ ْي ُع أ َ َح ُد ُه َما قَا َل‬ َ َ‫ا ْل ُمع‬

Artinya : “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual-beli


muhaqalah, muzabanah, mu’awamah, dan mukhabarah. Salah seorang dari
keduanya menyatakan, ‘Jual-beli dengan sistem kontrak tahunan adalah
mu’awamah.’ ” (Hr. Muslim)

Dikeluarkan oleh Al-Bukhari dari Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu, bahwa
ia menceritakan,

َ‫اس كَان‬ ُ َّ‫ع ْه ِد فِي الن‬ َ ‫سو ِل‬ ُ ‫َّللاِ َر‬ َّ ‫صلَّى‬ َ ُ‫َّللا‬ َّ ‫علَ ْي ِه‬
َ ‫سلَّ َم‬َ ‫ار يَتَبَايَعُونَ َو‬ َ ‫اس َج َّد فَ ِإذَا الثِ َم‬ ُ َّ‫الن‬
‫يه ْم َو َحض ََر‬ ِ ‫اض‬ ِ َ‫ع قَا َل تَق‬ ُ ‫اب إِنَّهُ ا ْل ُم ْبتَا‬ َ ‫ص‬ َ َ ‫صابَهُ ال ُّد َمانُ الث َّ َم َر أ‬ َ َ ‫صابَهُ ُم َراض أ‬ َ َ ‫قُشَام أ‬
‫سو ُل فَقَا َل بِ َها يَحْ ت َ ُّجونَ عَا َهات‬ َّ ‫صلَّى‬
ُ ‫َّللاِ َر‬ َ ُ‫َّللا‬ َّ ‫علَ ْي ِه‬ َ ‫صو َمةُ ِع ْن َدهُ َكث ُ َرتْ لَ َّما َو‬
َ ‫سلَّ َم‬ ُ ‫فِي ا ْل ُخ‬
َ‫ح يَ ْبد َُو َحتَّى تَتَبَايَعُوا فَ ًَل َال فَ ِإ َّما ذَ ِلك‬ ُ ‫ص ًَل‬َ ‫الث َّ َم ِر‬

Artinya : “Masyarakat di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa


melakukan jual-beli buah-buahan. Kalau datang masa panen dan datang para
pembeli yang telah membayar buah-buahan itu, para petani berkata, ‘Tanaman
kami terkena diman , terkena penyakit, terkena qusyam , dan berbagai hama
lain.’ Maka, ketika mendengar berbagai polemik yang terjadi dalam hal itu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Bila tidak, jangan kalian
menjualnya sebelum buah-buahan itu layak dikonsumsi (tampak
kepantasannya).

147
Demikianlah, dengan melarang jual-beli ini, Islam memutus
kemungkinan terjadinya kerusakan dan pertikaian. Dengan cara itu pula, Islam
memutuskan berbagai faktor yang dapat menjerumuskan umat ini ke dalam
kebencian dan permusuhan dalam kasus jual-beli tersebut.

2. Jual-beli barang yang tidak jelas (majhul)


- Mutlak, seperti pernyataan seseorang, “Saya jual barang ini dengan harga
seribu rupiah”, padahal barangnya tidak diketahui secara jelas; atau
- Jenisnya, seperti ucapan seseorang, “Aku jual mobilku kepadamu dengan
harga sepuluh juta,” namun jenis dan sifat-sifatnya tidak jelas; atau
- Tidak jelas ukurannya, seperti ucapan seseorang, “Aku jual kepadamu tanah
seharga lima puluh juta,” namun ukuran tanahnya tidak diketahui.

Kesimpulannya:

Bisa jadi, objek penjualan itu tidak diketahui secara mutlak, seperti bila
seorang penjual mengatakan, “Saya jual sebuah mobil kepada Anda.” Bisa
juga, sesuatu yang tidak diketahui namun tertentu jenis atau ukurannya, seperti
yang dikatakan seorang penjual, “Saya jual seluruh isi rumah saya kepada
Anda,” atau, “Saya jual kepada Anda seluruh buku-buku perpustakaan saya,”
dan sejenisnya.

Atau bisa juga sesuatu yang tidak diketahui macam dan kriterianya,
namun jenis dan ukurannya diketahui, seperti yang dikatakan seorang penjual,
“Saya jual kepada Anda pakaian yang ada dalam buntelan kainku,” atau,
“Saya jual kepada Anda budak milik saya.”

3. Jual-beli barang yang tidak mampu diserahterimakan

Seperti jual-beli budak yang kabur atau jual-beli mobil yang dicuri.
Ketidakjelasan ini juga terjadi pada harga, barang, dan pada akad jual-belinya.
Ketidakjelasan pada harga dapat terjadi pada jumlahnya, seperti segenggam
dinar. Sedangkan, ketidakjelasan pada barang– seperti dijelaskan di atas–dan
ketidakjelasan pada akad, seperti menjual dengan harga sepuluh rupiah bila
kontan dan dua puluh rupiah bila diangsur, tanpa menentukan salah satu dari
keduanya sebagai pembayarannya.

Seperti juga jual-beli unta yang sudah hilang, ikan yang ada dalam air,
dan burung yang terbang di langit. Bentuk penjualan ini ada yang dipastikan
haram dan ada juga yang masih diperdebatkan. Di antara yang masih
diperdebatkan adalah menjual barang jualan sebelum berada di tangan.

Syekh as-Sa’di rahimahullahu menyatakan, “Kesimpulan jual-beli


gharar kembali kepada jual-beli ma’dum, seperti habal al-habalah dan as-sinin,
atau kepada jual-beli yang tidak dapat diserahterimakan, seperti budak yang
kabur dan sejenisnya, atau kepada ketidakjelasan–baik mutlak pada barangnya
atau jenisnya atau sifatnya–.”

Gharar yang Diperbolehkan

148
Menurut hukumnya, jual-beli yang mengandung unsur gharar ada tiga macam,
yaitu:

1. Yang disepakati larangannya dalam jual-beli, seperti jual-beli yang belum


ada wujudnya (ma’dum).

2. Disepakati kebolehannya, seperti jual-beli rumah dengan pondasinya,


padahal jenis dan ukuran serta hakikat sebenarnya (dari pondasi rumah
tersebut) tidak diketahui.

Hal ini diperbolehkan karena kebutuhan dan tidak mungkin lepas


darinya. Imam an-Nawawi rahimahullahu menyatakan, “Pada asalnya, jual-
beli gharar dilarang dengan dasar hadits ini, dan maksudnya adalah yang
mengandung unsur gharar yang jelas dan mungkin dilepas darinya.

Adapun hal-hal yang dibutuhkan dan tidak mungkin dipisahkan


darinya, seperti pondasi rumah, membeli hewan yang mengandung–dengan
adanya kemungkinan yang dikandung hanya seekor atau lebih dan jantan atau
betina, apakah lahir sempurna atau cacat–, termasuk juga membeli kambing
yang memiliki air susu dan sejenisnya. Seluruh hal tersebut diperbolehkan
menurut ijma’.

Demikian juga, para ulama menukilkan ijma’ tentang kebolehan


barang-barang yang mengandung gharar yang sepele, di antaranya: umat ini
sepakat mengesahkan jual-beli baju jubah mahsyuwah….

Ibnul Qayyim rahimahullahu pun menyatakan, “Tidak semua gharar


menjadi sebab pengharaman. Apabila sepele (sedikit) atau tidak mungkin
dipisahkan darinya, maka gharar tidak menjadi penghalang keabsahan akad
jual-beli, karena gharar (ketidakjelasan) yang ada pada pondasi rumah, dalam
perut hewan yang mengandung, atau buah terakhir yang tampak menjadi
bagus sebagiannya saja, tidak mungkin dapat lepas darinya. Demikian juga,
gharar yang ada dalam hammam (pemandian) dan minuman dari bejana dan
sejenisnya adalah gharar yang sepele. Dengan demikian, keduanya tidak
mencegah jual-beli. Hal ini tentunya tidak sama dengan gharar yang banyak
yang mungkin dapat dilepas darinya.”

Dalam kitab lainnya, beliau menyatakan, “Terkadang sebagian gharar


dapat disahkan, apabila hajat menuntutnya, seperti ketidaktahuan akan mutu
pondasi rumah, serta membeli kambing hamil dan masih memiliki air susu.
Hal ini disebabkan karena pondasi rumah ikut dengan rumah, dan karena hajat
menuntutnya, lalu tidak mungkin melihatnya.”

Dari sini dapat disimpulkan bahwa gharar yang diperbolehkan adalah


gharar yang sepele atau gharar-nya tidak sepele, namun jika gharar tersebut
dilepaskan maka akan terjadi kesulitan. Oleh karena itu, Imam Nawawi
rahimahullahu menjelaskan kebolehan jual-beli yang mengandung gharar,
apabila ada hajat untuk melanggar gharar dan jika gharar tersebut tidak
dilakukan maka akan timbul kesulitan, atau gharar-nya sepele.

149
3. Yang masih diperselisihkan, apakah diikutkan pada bagian yang
pertama atau kedua.

Misalnya: menjual sesuatu yang diinginkan tetapi masih terpendam di


dalam tanah (seperti: wortel, kacang tanah, bawang, dan lain-lainnya). Para
ulama sepakat tentang keberadaan gharar dalam jual-beli tersebut, namun para
ulama masih berbeda pendapat dalam menghukuminya. Perbedaan mereka ini
terjadi karena sebagian dari mereka, di antaranya Imam Malik rahimahullahu,
memandang bahwa gharar-nya sepele atau tidak mungkin dilepas darinya
dengan adanya kebutuhan menjual, sehingga ulama-ulama tersebut
memperbolehkan gharar semacam ini. Adapun sebagian ulama yang lainnya,
di antaranya Imam Syafi’i dan Abu Hanifah rahimahumallah, memandang
bahwa gharar-nya besar dan memungkinkan untuk dilepas darinya, sehingga
para ulama ini mengharamkan gharar tersebut.

Syekhul Islam Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim rahimahullahu merajihkan


pendapat yang memperbolehkan gharar dalam hal ini.

Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahuh menyatakan, “Adapun


Imam Malik, maka mazhabnya adalah mazhab terbaik dalam permasalahan
ini. Menurut mazhab Imam Malik, hal-hal ini, semua hal yang dibutuhkan,
atau hal-hal yang mengandung sedikit gharar, boleh diperjual-belikan…
hingga (mazhab Imam Malik pun) memperbolehkan jual-beli benda-benda
yang tidak tampak di permukaan tanah seperti wortel, lobak dan sebagainya.’

Sedangkan Ibnul Qayyim rahimahullahu menyatakan, “Jual-beli yang


tidak tampak di permukaan tanah, tidak memiliki dua perkara tersebut, karena
gharar-nya sepele (kecil) dan tidak mungkin dilepas darinya.”

Dengan demikian, jelaslah, tidak semua jual-beli yang mengandung


unsur gharar dilarang. Hal ini membuat kita harus lebih mengenal kembali
pandangan para ulama seputar permasalahan ini, dengan memahami kaidah-
kaidah dasar yang telah dijelaskan.

PERTEMUAN KE X : RIBA DAN PROBLEMATIKANYA

A. Riba dalam sejarah


Muamalah ribawiyah sesungguhnya telah dikenal di kalangan bangsa-
bangsa kuno, seperti bangsa Mesir kuno, bangsa Yahudi, bangsa Romawi dan
bangsa Yunani. Di kalangan bangsa Mesir kuno, terdapat dalam Undang-
Undang Raja Bukhares, keluarga ke-24 dari raja-raja zaman Fir’aun, yang
menentukan bahwa besarnya riba tidak boleh melebihi besarnya pokok
harta yang dipinjamkan, bagaimanapun panjangnya jangka waktu
pinjaman.
Di kalangan bangsa-bangsa Yunani dan Romawi, riba merupakan kebiasaan
yang merata, dan besarnya tidak terbatas, tergantung kepada keinginan orang
yang meminjamkan uang, Bahkan, di kalngan bangsa Romawi orang yang
meminjamkan uang berhak memperbudak orang yang berutang, bila ia tidak
dapat memenuhi utangnya. Tetapi, kebiasaan tersebut kemudian dibatalkan

150
oleh Undang-Undang Solon yang membatasi besarnya riba maksimum 12
% dari pokok utang. Pembatasan ini disebutkan juga dalam Undang-Undang
Loh Dua Belas. Raja Justinian memberikan batas maksimum besarnya riba
sekitar 12% untuk para pedagang dan sesamanya, sedang bagi para
bangsawan hanya 4%. Filsuf-filsuf Yunani yang menentang riba ialah
Plato dan Aristoteles.
Di kalangan bangsa Yahudi, terdapat syari’at Nabi Musa yang melarang
mereka memungut riba atas piutang yang mereka berikan kepada orang-
orang miskin. Larangan tersebut berlaku juga bila mereka memberikan
pinjaman kepada orang-orang yang tidak sebangsa. Tetapi, ketentuan ini
kemudian mereka ubah, larangan memungut riba hanya mereka laksanakan di
kalangan sesama bangsa Yahudi, bila terdapat orang-orang miskin yang
memerlukan pertolongan pinjaman uang harus mereka berikan, guna
melonggarkan kesempitan-kesempitan hidup yang dialami oleh saudaranya
sesama bangsa Yahudi. Dalam sejarah berikutnya, setelah perdagangan
makin meluas, pasaran mereka pun ramai, maka berlakulah kebiasaan
utang-piutang dengan memakai riba dan jaminan barang (gadai).

B. Pengertian Riba

Secara Lughowi (bahasa), riba memiliki beberapa pengertian, yaitu sebagai


berikut :
a Tambahan (Ziyadah), karena salah satu perbuatan riba adalah meminta
tambahan dari sesuatu yang diutangkan. Ziyadah disini ialah tambahan atas
modal, baik pertambahan ini sedikit maupun banyak.[2]
b Berkembang, berbunga, karena salah satu perbuatan riba adalah
membungakan harta uang atau yang lainnya yang dipinjamkan kepada orang
lain.
Sedangkan menurut istilah, yang dimaksud dengan riba menurut Syaikh
Muhammad Abduh ialah penambahan-penambahan yang disyaratkan oleh
orang yang memiliki harta kepada orang yang meminjam hartanya
(uangnya), karena pengunduran janji pembayaran oleh peminjaman dari
waktu yang telah ditentukan.

C. Macam-macam Riba

Menurut Ibnu al-Jauziyah dalam kitab “I’lam al-Muwaqi’in Rab al-‘Alamin”


yang dikutip oleh Hendi Suhendi mengemukakan, bahwa riba dibagi menjadi
dua bagian, riba jali dan riba khafi. Riba jali sama dengan riba nasi’ah,
sedangkan riba khafi merupakan jalan yang menyampaikan kepada riba jali.[3]
Sedangkan menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyah Riba jali adalah riba yang
nyata bahaya dan mudaratnya, sedangkan riba khafi adalah riba yang
tersembunyi bahaya dan mudaratnya.
Menurut sebagian ulama, riba dibagi menjadi empat macam, yaitu fadhli,
qardhi, yad, dan nasa’. Sedangkan menurut sebagian ulama lainnya, riba
dibagi menjadi tiga bagian, yaitu fadli, nasa’ dan yad. Adapun riba qardhi
dikategorikan pada riba nasa’.
Menurut para ulama, seperti dikemukakan oleh Supiana dan M. Karman,
riba terbagi menjadi empat macam, yaitu sebagai berikut :
1. Riba Fadhli

151
Yaitu tukar menukar barang sejenis yang barangnya sama, tetapi jumlahnya
berbeda, misalnya menukar 10 kg beras dengan 11 kg beras. Barang yang
sejenis, misalnya beras dengan beras, uang dengan uang, emas dengan emas.
2. Riba Qardi
Yaitu utang piutang dengan menarik keuntungan bagi piutangnya, misalnya,
seseorang berutang Rp. 25.000,- dengan perjanjian akan dibayar Rp. 26.000,-
atau seperti rentenir yang meminjamkan uangnya dengan pengembalian 30%
perbulan.
3. Riba Yadh
Yaitu jual beli yang dilakukan seseorang sebelum menerima barang yang
dibelinya dari si penjual dan tidak boleh menjualnya lagi kepada siapapun,
sebab barang yang dibeli belum diterima dan masih dalam ikatan jual beli
yang pertama.
4. Riba Nasa’i
Yaitu melebihkan pembayaran barang yang diperjualbelikan atau diutangkan
karena dilambatkan waktu pembayaran. Misalnya, menjual emas seharga Rp.
200.000,- jika dijual tunai, dan menjual seharga Rp. 300.000,- jika diangsur
(kredit).[4]

D. Dalil Riba
Dalil-dalil yang Mengharamkan Riba dari Al qur’an, dan As-sunnah.
1. Dalam Al-Qur’an Allah ta’ala berfirman[QS. Al-Baqarah: 275]. :
   
  

Artinya : “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.


2. Kemudian Allah menjelaskan lagi dalam [QS.Al-Imran:130] yang
berbunyi :
 
   
 
  
  


Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba


dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu
mendapat keberuntungan”.
3. Kemudian Allah menjelaskan lagi dalam [QS. Al-Rum: 39]. yang berbunyi
:

   


  
   
  

152
Artinya : “Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia
bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi
Allah.”
4. Dalam Hadits Rasulullah saw. Bersabda :

‫الر ُج ُل يَأ ْ ُكلُهُ ِربَا د ِْر َه ُم‬ َ َ ‫ت ِم ْن أ‬


َّ ‫ش ُّد يَ ْعلَ ُم َو ُه َو‬ ِ َ‫َوث َ ًَلثِ ْين‬
ٍ ‫س‬
ً‫ِز ْنيَة‬

Artinya : “Satu dirham uang riba yang dimakan seseorang, dan orang tersebut
mengetahuinya dosa perbuatan tersebut lebih berat dari pada dosa tiga puluh
enam kali zina.”[ riwayat Ahmad].

E. Sebab-sebab Diharamkannya Riba

1. Riba menghendaki pengambilan harta orang lain dengan tidak ada


imbangannya seperti seseorang menukarkan uang kertas Rp.10.000,00 dengan
uang recehan senilai Rp.9.950,00 maka uang senilai Rp.50,00 tidak ada
imbangannya, maka uang senilai Rp.50,00 adalah riba.
2. Dengan melakukan riba, orang menjadi malas berusaha yang sah menurut
syara’. Jika riba sudah mendarah daging pada seseorang, orang tersebut lebih
suka beternak uang karena ternak uang akan mendapatkan keuntungan yang
lebih besar dari pada kita harus bekerja dengan susah payah. Seperti orang
yang memiliki uang Rp.1.000.000.000,00 cukup disimpan di bank dan ia
memperoleh bunga sebesar 2% tiap bulan, maka orang tersebut memperoleh
uang tanpa kerja keras setiap bulan dari bank tempat uang disimpan, sebesar
Rp.20.000.000,00.
3. Riba menyebabkan putusnya perbuatan baik terhadap sesama manusia
dengan cara piutang atau menghilangkan manfaat utang piutang sehingga riba
lebih cenderung memeras orang miskin daripada menolong orang miskin.

F. Hal-Hal yang Menimbulkan Riba

Dalam pelaksanaannya, masalah riba diawali dengan adanya rangsangan


seseorang untuk mendapatkan keuntungan yang dianggap besar dan
menggiurkan. Dalam kaitan ini Hendi Suhendi mengemukakan, bahwa jika
seseorang menjual benda yang mungkin mendatangkan riba menurut jenisnya
seperti seseorang menjual salah satu dari dua macam mata uang, yaitu emas
dan perak dengan sejenis atau bahan makanan seperti beras dengan beras,
gabah dengan gabah, dan yang lainnya, maka disyaratkansebagai berikut.
1. Sama nilainya
2. Sama ukurannya menurut syara’, baik timbangannya, takarannya, maupun
ukurannya.
3. Sama-sama tunai (taqabut) di majelis akad.

contoh-contoh riba pertukaran.

1. Seseorang menukar langsung uang kertas Rp.10.000,00 dengan uang


recehan Rp.9.950,00 uang Rp.50,00 tidak ada imbangannya atau tidak
tamasul, maka uang Rp.50,00 adalah riba.

153
2. Seseorang meminjamkan uang sebanyak Rp.100.000,00 dengan syarat
dikembalikan ditambah 10 persen dari pokok pinjaman, maka 10 persen
dari pokok pinjaman adalah riba sebab tidak ada imbangannya.
3. Seseorang menukarkan seliter beras ketan dengan dua liter beras dolog,
maka pertukaran tersebut adalah riba sebab beras harus ditukar dengan
beras sejenis dan tidak boleh dilebihkan salah satunya. Jalan keluarnya
ialah beras ketan dijual terlebih dahulu dan uangnya digunakan untuk
membeli beras dolog.
4. Seseorang yang akan membangun rumah membeli batu bata, uangnya
diserahkan tanggal 5 Desember 1996, sedangkan batu batanya diambil
nanti ketika pembangunan rumah dimulai, maka perbuatan tersebut adalah
perbuatan riba sebab terlambat salah satunya dan berpisah sebelum serah
terima barang.
5. Seseorang yang menukarkan 5 gram emas 22 karat dengan 5 gram emas 12
karat termasuk riba walaupun sama ukurannya tetapi berbeda nilai
(harganya) atau menukarkan 5 gram emas 22 karat dengan 10 gram emas
12 karat yang harganya sama, juga termasuk riba sebab walaupun
harganya sama ukurannya tidak sama.

G. Hukum Riba

Riba diharamkan oleh seluruh agama Samawi, dianggap membahayakan


oleh agama Yahudi, Nasrani, dan Islam. Di dalam Perjanjian Lama
disebutkan bahwa jika kamu mengqiradhkan harta kepada salah seorang
putera bangsaku, janganlah kamu bersikap seperti orang yang
mengutangkan, jangan kau meminta keuntungan untuk hartamau (ayat 25
pasal 22 kitab Keluaran). Jika saudaramu membutuhkan sesuatu, maka
tanggunglah. Jangan kau meminta darinya keuntungan dan manfaat (ayat
35 pasal 25 Kitab Imamat).
Al Qur’an menyinggung masalah riba dalam berbagai tempat dan tersusun
secara kronologis berdasarkan urutan waktu. Pada periode Makkah, turun
firman Allah [QS. Al-Rum: 39].yang berbunyi :

   


 
  
   

Artinya : “Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia
bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi
Allah.”
Pada periode Madina, turun ayat yang mengharamkan riba secara
jelas-jelas yaitu seperti tercantum dalam Qur’an surat Al-Imran ayat 130
yang berbunyi :
 
  
 
  

154
  

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan Riba
dengan berlipat ganda[228]] dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya
kamu mendapat keberuntungan. ”.

[228] Yang dimaksud Riba di sini ialah Riba nasi'ah. menurut sebagian
besar ulama bahwa Riba nasi'ah itu selamanya haram, walaupun tidak
berlipat ganda. Riba itu ada dua macam: nasiah dan fadhl. Riba nasiah
ialah pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan.
Riba fadhl ialah penukaran suatu barang dengan barang yang sejenis,
tetapi lebih banyak jumlahnya karena orang yang menukarkan
mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan emas, padi
dengan padi, dan sebagainya. Riba yang dimaksud dalam ayat ini Riba
nasiah yang berlipat ganda yang umum terjadi dalam masyarakat Arab
zaman jahiliyah.

Riba yang dimaksud dalam ayat diatas ialah riba nasi’ah yang
berlipat ganda yang umumnya terjadi pada masyarakat Arab zaman
Jahiliyah. Menurut sebagian besar ulama, bahwa riba nasi’ah itu
selamanya haram, walaupun tidak berlipat ganda.

Fatwa-fatwa Kontemporer

HUKUM BEKERJA DI BANK


Sistem ekonomi dalam Islam ditegakkan pada asas memerangi riba dan
menganggapnya sebagai dosa besar yang dapat menghapuskan berkah
dari individu dan masyarakat, bahkan dapat mendatangkan bencana di
dunia dan di akhirat.

Hal ini telah disinyalir di dalam Al Qur'an dan As Sunnah serta telah
disepakati oleh umat. Cukuplah kiranya jika Anda membaca firman Allah
Ta'ala (Al Baqarah: 276) berikut ini:

  


  
   
  
Artinya : Allah memusnahkan Riba dan menyuburkan sedekah[177]. dan
Allah tidak menyukai Setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu
berbuat dosa[178].
[177] Yang dimaksud dengan memusnahkan Riba ialah memusnahkan harta itu atau
meniadakan berkahnya. dan yang dimaksud dengan menyuburkan sedekah ialah
memperkembangkan harta yang telah dikeluarkan sedekahnya atau melipat gandakan
berkahnya.
[178] Maksudnya ialah orang-orang yang menghalalkan Riba dan tetap melakukannya.

Diayat lain Allah berfirman (Al Baqarah: 278-279)

155
 
  
   
  
   
 
  
  
  
  
  
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan
tinggalkan sisa Riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang
beriman.
279. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka
ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. dan jika
kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu;
kamu tidak Menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.

Mengenai hal ini Rasulullah saw. bersabda

Artinya : "Apabila zina dan riba telah merajalela di suatu negeri,


berarti mereka telah menyediakan diri mereka untuk disiksa oleh Allah."
(HR Hakim)1

Dalam peraturan dan tuntunannya Islam menyuruh umatnya


agarmemerangi kemaksiatan. Apabila tidak sanggup, minimal iaharus
menahan diri agar perkataan maupun perbuatannya tidakterlibat dalam
kemaksiatan itu. Karena itu Islammengharamkan semua bentuk
kerja sama atas dosa danpermusuhan, dan menganggap setiap
orang yang membantukemaksiatan bersekutu dalam dosanya bersama
pelakunya, baikpertolongan itu dalam bentuk moril ataupun materiil,
perbuatan ataupun perkataan.
Dalam sebuah hadits hasan,Rasulullah saw. bersabda mengenai
kejahatan pembunuhan:

Artinya : "Kalau penduduk langit dan penduduk bumi bersekutu dalam


membunuh seorang mukmin, niscaya Allah akan membenamkan mereka
dalam neraka." (HR Tirmidzi) Sedangkan tentang khamar beliau saw.
bersabda:

Artinya : "Allah melaknat khamar, peminumnya, penuangnya,


pemerahnya, yang meminta diperahkan, pembawanya, dan yang
dibawakannya." (HR Abu Daud dan Ibnu Majah)
Demikian juga terhadap praktek suap-menyuap:

Artinya : "Rasulullah saw. melaknat orang yang menyuap, yang menerima


suap, dan yang menjadi perantaranya." (HR Ibnu Hibban dan Hakim)

156
Kemudian mengenai riba, Jabir bin Abdillah r.a. meriwayatkan:

Artinya : "Rasulullah melaknat pemakan riba, yang memberi makan


dengan hasil riba, dan dua orangyang menjadi saksinya." Dan beliau
bersabda: "Mereka itu sama. (HR Muslim)
Ibnu Mas'ud meriwayatkan:

Artinya : "Rasulullah saw. melaknat orang yang makan riba dan yang
memberi makan dari hasil riba, dua orang saksinya, dan penulisnya." (HR
Ahmad, Abu Daud' Ibnu Majah, dan Tirmidzi)
Sementara itu, dalam riwayat lain disebutkan:

Artinya : "Orang yang makan riba, orang yang memben makan dengan
riba, dan dua orang saksinya --jika mereka mengetahui hal itu-- maka
mereka itu dilaknat lewat lisan Nabi Muhammad saw. hingga hari kiamat."
(HR Nasa'i)

Hadits-hadits sahih yang sharih itulah yang menyiksa hati orang-orang


Islam yang bekerja di bank-bank atau syirkah (persekutuan) yang
aktivitasnya tidak lepas dari tulis-menulis dan bunga riba. Namun
perlu diperhatikan bahwa masalah riba ini tidak hanya berkaitan dengan
pegawai bank atau penulisnya pada berbagai syirkah, tetapi hal ini sudah
menyusup ke dalam sistem ekonomi kita dan semua kegiatan yang
berhubungan dengan keuangan, sehingga merupakan bencana umum
sebagaimana yang diperingatkan Rasulullah saw.:

Artinya : "Sungguh akan datang pada manusia suatu masa yang pada
waktu itu tidak tersisa seorangpun melainkan akan makan riba;
barangsiapa yang tidak memakannya maka ia akan terkena debunya." (HR
Abu Daud dan Ibnu Majah)

Kondisi seperti ini tidak dapat diubah dan diperbaiki hanya dengan
melarang seseorang bekerja di bank atau perusahaan yang
mempraktekkan riba. Tetapi kerusakan sistem ekonomi yang
disebabkan ulah golongan kapitalis ini hanya dapat diubah oleh sikap
seluruh bangsa dan masyarakat Islam. Perubahan itu tentu saja harus
diusahakan secara bertahap dan perlahan-lahan sehingga tidak
menimbulkan guncangan
perekonomian yang dapat menimbulkan bencana pada negara dan bangsa.
Islam sendiri tidak melarang umatnya untuk melakukan perubahan
secara bertahap dalam memecahkan setiap permasalahan yang pelik.
Cara ini pernah ditempuh Islam ketika mulai mengharamkan riba,
khamar, dan lainnya. Dalam hal ini yang terpenting adalah tekad dan
kemauan bersama, apabila tekad itu telah bulat maka jalan pun akan
terbuka lebar.

Setiap muslim yang mempunyai kepedulian akan hal ini hendaklah


bekerja dengan hatinya, lisannya, dan segenap kemampuannya melalui
berbagai wasilah (sarana) yang tepat untuk mengembangkan sistem
perekonomian kita sendiri, sehingga sesuai dengan ajaran Islam.

157
Sebagai contoh perbandingan, di dunia ini terdapat beberapa negara
yang tidak memberlakukan sistem riba, yaitu mereka yang berpaham
sosialis.

Di sisi lain, apabila kita melarang semua muslim bekerja di bank, maka
dunia perbankan dan sejenisnya akan dikuasai oleh orang-orang
nonmuslim seperti Yahudi dan sebagainya. Pada akhirnya, negara-negara
Islam akan dikuasai mereka.

Terlepas dari semua itu, perlu juga diingat bahwa tidak semua
pekerjaan yang berhubungan dengan dunia perbankan tergolong riba.
Ada diantaranya yang halal dan baik, seperti kegiatan perpialangan,
penitipan, dan sebagainya; bahkan sedikit pekerjaan di sana yang
termasuk haram. Oleh karena itu, tidak mengapalah seorang muslim
menerima pekerjaan tersebut --meskipun hatinya tidak rela-- dengan
harapan tata perekonomian akan mengalami perubahan menuju kondisi
yang diridhai agama dan hatinya. Hanya saja, dalam hal ini hendaklah
ia rnelaksanakan tugasnya dengan baik, hendaklah menunaikan kewajiban
terhadap dirinya dan Rabb-nya beserta umatnya sambil menantikan
pahala atas kebaikan niatnya:

Artinya : "Sesungguhnya setiap orang memperoleh apa yang ia niatkan."


(HR Bukhari)

Janganlah kita melupakan kebutuhan hidup yang oleh para fuqaha


diistilahkan telah mencapai tingkatan darurat. Kondisi inilah yang harus
dilakukan untuk sarana mencari penghidupan dan rezeki, sebagaimana
firman Allah SWT:

"... Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang


ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas maka tidak
ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang." (Al Baqarah: 173}

.
RIBA PADA BUNGA BANK

Dalam bahasa Arab bunga bank itu disebut dengan fawaid. Fawaid
merupakan bentuk plural dari kata ‘faedah’ artinya suatu manfaat.
Seolah-olah bunga ini diistilahkan dengan nama yang indah sehingga
membuat kita tertipu jika melihat dari sekedar nama. Bunga ini adalah
bonus yang diberikan oleh pihak perbankan pada simpanan dari nasabah,
yang aslinya diambil dari keuntungan dari utang-piutang yang dilakukan
oleh pihak bank.
Apapun namanya, bunga ataukah fawaid, tetap perlu dilihat hakekatnya.
Keuntungan apa saja yang diambil dari utang piutang, senyatanya itu
adalah riba walau dirubah namanya dengan nama yang indah. Inilah riba
yang haram berdasarkan Al Qur’an, hadits dan ijma’ (kesepakatan) ulama.
Para ulama telah menukil adanya ijma’ akan haramnnya keuntungan
bersyarat yang diambil dari utang piutang. Apa yang dilakukan pihak bank

158
walaupun mereka namakan itu pinjaman, namun senyatanya itu bukan
pinjaman. Mufti Saudi Arabia di masa silam, Syaikh Muhammad bin
Ibrahim rahimahullah berkata,
“Secara hakekat, walaupun (pihak bank) menamakan hal itu qord (utang
piutang), namun senyatanya bukan qord. Karena utang piutang
dimaksudkan untuk tolong menolong dan berbuat baik. Transaksinya
murni non komersial. Bentuknya adalah meminjamkan uang dan akan
diganti beberapa waktu kemudian. Bunga bank itu sendiri adalah
keuntungan dari transaksi pinjam meminjam. Oleh karena itu yang
namanya bunga bank yang diambil dari pinjam-meminjam atau
simpanan, itu adalah riba karena didapat dari penambahan (dalam
utang piutang). Maka keuntungan dalam pinjaman dan simpanan boleh
sama-sama disebut riba.”
Dari penjelasan di atas, jangan tertipu pula dengan akal-akalan yang
dilakukan oleh perbankan Syari’ah di negeri kita. Kita mesti tinjau dengan
benar hakekat bagi hasil yang dilakukan oleh pihak bank syari’ah, jangan
hanya dilihat dari sekedar nama. Benarkah itu bagi hasil ataukah memang
untung dari utang piutang (alias riba)? Bagaimana mungkin pihak bank
syariah bisa “bagi hasil” sedangkan secara hukum perbankan di negeri
kita, setiap bank tidak diperkenankan melakukan usaha? Lalu bagaimana
bisa dikatakan ada bagi hasil yang halal? Bagi hasil yang halal mustahil
didapat dari utang piutang.
Hanya Allah yang memberi taufik.

Hikmah Diharamkannya Riba Fadhl Hikmah diharamkannya riba fadhl


tidak diketahui oleh banyak orang, karena secara zhahir jual beli ini tidak
mengandung manipulasi.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam banyak menyebutkan kenikmatan dan


keutamaan akhirat yang sangat besar dibandingkan kesenangan di dunia
ini.

Fatwa Muhammadiyah tentang haramnya bunga bank sejak Sabtu 3 April


2010, diharamkannya bunga perbankan karena termasuk riba itu di
antaranya mengacu pada ciri-ciri yang sama dengan riba, yakni tambahan
sebagai imbalan mendapatkan modal pinjam dalam jangka waktu tertentu.
Ciri lainnya adalah adanya perjanjian yang mengikat, lebih banyak
menguntungkan pemilik saham atau ada tirani antara pemilik modal dan
pengguna modal serta imbalan jasa hanya dimiliki pemegang saham
(pemilik modal). "Oleh karena itu warga Muhammadiyah diimbau untuk
bertransaksi sesuai dengan prinsip-prinsip syariah yang tidak
menggunakan ketentuan bunga, tapi bagi hasil," namun dalam
pelaksanaannya dilakukan secara bertahap, apalagi perbankan syariah juga
belum masuk sampai di daerah pelosok.

"MUI sudah lebih dulu soal hukum itu, tahun 2003. Itu berlaku untuk
semua bunga bank," Menurut Kiai Ma'ruf, agar masyarakat terhindar dari
hukum haram bunga bank, sementara tetap bisa menyimpan uangnya
dengan aman, bank syariah bisa menjadi solusinya. Sebab, hukum
keharaman bunga bank itu tidak sekedar adanya timbal-balik dari

159
simpanan kita, tetapi juga dana yang kita simpan di bank yang juga
digunakan untuk upaya riba.

"Dulu, sebelum ada bank syariah, kita menyimpan dana di bank karena
alasan darurat. Kalau hukumnya ya tetap saja sama, bunga bank itu ya
haram. Kalau sekarang, setelah ada bank syariah, harus dipindahkan ke
bank syariah, bank tanpa bunga," terangnya.

Di Mata NU, Hukum Bunga Bank Masih Khilafiyah

Berbeda dengan MUI dan Muhammadiyah, NU justru menilai bunga bank


belum sepenuhnya diharamkan, karena masih ada yang khilaf (beda
pendapat) soal penetapan hukum haram itu.

Dalam musyawarah nasional alim ulama NU pada 1992 tidak memutus


hukum bunga bank haram mutlak. Memang ada beberapa ulama yang
mengharamkan, tetapi ada juga yang membolehkan karena alasan darurat
dan alasan-alasan lain, bunga bank hukumnya khilafiyah. Ada yang
membolehkan, ada juga yang mengharamkan.Makanya hukum bunga bank
masih khilafiyah (ada perbedaan),"

Namun demikian, dalam Munas saat itu, ulama NU sudah


merekomendasikan kepada negara agar segera memfasilitasi terbentuknya
perbankan syariah atau perbankan yang menggunakan asas-asas dan dasar
hukum Islami dalam bertransaksi. "Tapi saat itu keputusannya agar segera
dibentuk bank Islami yang sesuai syariah. Mungkin dalam bahasa sekarang
itu, ya bank syariah,"

Hukum Jual Beli Saham

Bagaimanakah hukum jual beli saham seperti yang ada di BEJ ? halal atau
haramkah?

Jawab:

1. Perusahaan yang mengeluarkan saham tersebut adalah perusahaan yang


telah beroperasi, baik perusahaan yang bergerak dalam bidang produksi,
atau jasa atau penambangan atau lainnya. Saham perusahaan semacam ini
boleh diperjualbelikan dengan harga yang disepakati antara kedua belah
pihak, baik dengan harga yang sama dengan nilai saham yang tertera pada
surat saham atau lebih sedikit atau lebih banyak.
Adapun perusahaan yang sedang dirintis, sehingga perusahaan tersebut
belum beroprasi, dan kekayaannya masih dalam wujud dana (uang) yang
tersimpan, maka sahamnya tidak boleh diperjualbelikan, kecuali dengan
harga yang sama dengan nilai yang tertera pada surat saham tersebut dan
dengan pembayaran dilakukan dengan cara kontan. Hal ini dikarenakan,
setiap surat saham perusahaan jenis ini mewakili sejumlah uang modal
yang masih tersimpan, dan bukan aset. Sehingga bila diperjualbelikan
lebih mahal dari nilai yang tertera pada surat saham, berati telah terjadi
praktek riba.

160
2. Perusahaan yang mengeluarkan saham tersebut bergerak dalam usaha
yang dihalalkan oleh syariat, dan tidak menjalankan usaha haram walau
hanya sebagian kecil dari kegiatan perusahaan. Sebab, pemilik saham -
seberapapun besarnya- adalah pemilik perusahaan tersebut, sehingga ia
ikut bertanggung jawab atas setiap usaha yang dijalankan oleh perusahan
tersebut. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,

    


 
.
Artinya : “Dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran.” (Qs. al-Maidah: 2)

3. Perusahaan tersebut tidak melakukan praktik riba, baik dalam cara


pembiayaan atau penyimpanan kekayaannya atau lainnya. Bila suatu
perusahaan dalam pembiayaan, atau penyimpanan kekayaannya dengan
riba, maka tidak dibenarkan bagi seorang muslim untuk membeli saham
perusahaan tersebut. Walaupun kekayaan dan keuntungan perusahaan
tersebut diperoleh dari usaha yang halal, akan tetapi telah dicampuri oleh
riba yang ia peroleh dari metode pembiayaan atau penyimpanan tersebut.
Sebagai contoh, misalnya suatu perusahaan yang bergerak dalam bidang
produksi perabotan rumah tangga, akan tetapi kekayaan perusahaan
tersebut ditabungkan di bank atau modalnya diperoleh dari berhutang
kepada bank dengan bunga tertentu, menjual sebagian saham
perusahaannya, maka tidak dibenarkan bagi seorang muslim untuk
membeli saham perusahaan tersebut. Hal ini selaras dengan kaidah dalam
ilmu fiqih,
“Bila tercampur antara hal yang halal dengan hal yang haram, maka lebih
dikuatkan yang haram.”

Pertanyaan:
Apa hukum syariat yang lurus ini tentang jual beli saham perusahaan,
misalnya perusahaan angkutan umum, perusahaan semen Qasim,
perusahaan ikan As-Saudiah dan perusahaan-perusahaan lainnya yang
telah dibuka oleh negara guna kemanfaatan bangsa dan rakyat? Dan apa
hukumnya memperjualbelikan saham-saham tersebut secara kontan? Dan
bila dibolehkan, maka apa hukumnya memperjualbelikannya dengan cara
kredit, misalnya seseorang ingin membeli seribu (1.000) lembar saham
dengan harga SR 160.000,- (seratus enam puluh ribu reyal), dan ia
membayar SR 100.000,- secara kontan, sedangkan sisanya, yaitu SR
60.000,- (enam puluh ribu reyal) akan dibayar dengan cicilan setiap bulan,
selama satu tahun, apakah transaksi ini dibolehkan?
Jawaban:
Bila saham-saham tersebut tidak mewakili uang tunai, baik secara
keseluruhan atau kebanyakannya, akan tetapi mewakili aset berupa tanah,
atau kendaraan atau properti dan yang serupa, dan aset tersebut telah
diketahui oleh masing-masing penjual dan pembeli, maka boleh untuk
memperjualbelikannya, baik dengan pembayaran kontan atau dihutang

161
dengan sekali pembayaran atau dicicil dalam beberapa pembayaran, hal ini
berdasarkan keumuman dalil-dalil yang membolehkan jual beli.

Pertanyaan:
Tidak asing lagi bagi Anda, bahwa umat Islam pada masa sekarang ini
telah banyak tergoda oleh harta kekayaan, terutama di negeri ini -semoga
Allah senantiasa menjaganya dari segala petaka- dimana perusahaan-
perusahaan umum/publik yang menjual sahamnya telah banyak. Demikian
juga, orang yang ikut andil menanamkan modal padanya banyak pula. Dan
kebanyakan mereka tidak mengetahui, apakah menanamkan modal
padanya haram atau halal. Oleh karenanya, kami mohon fatwa dari Anda,
semoga Allah membalas kebaikan Anda. Sedikit memberikan info, bahwa
perusahaan-perusahaan ini ada yang bergerak dalam bidang produksi,
layanan umum, perniagaan, misalnya: perusahaan transportasi, atau
perusahaan semen dan lainnya. Akan tetapi, perusahaan-perusahaan
tersebut menyimpan hasil keuntungannya di bank-bank, dan mereka
mendapatkan bunga darinya, dan bunga tersebut dianggap sebagai bagian
dari keuntungan, yang kemudian pada gilirannya mereka membaginya
kepada para nasabah (pemilik saham). Kami mengalami kebingungan
dalam hal ini, karenanya kami mengharapkan fatwa dari Anda. Semoga
Allah membalas jasa Anda dengan kebaikan.
Jawaban:
Pertama: Menabungkan uang di bank dengan bunga adalah haram
hukumnya.
Kedua: Perusahaan-perusahaan yang menabungkan uangnya di bank
dengan bunga, tidak dibolehkan bagi orang yang mengetahuinya untuk
ikut andil menanam saham padanya.

Pertanyaan:
Apakah boleh ikut serta menanam modal pada perusahaan-perusahaan dan
badan usaha yang menjual sahamnya secara terbuka ke masyarakat,
sedangkan kami merasa curiga bahwa perusahaan-perusahaan atau badan
usaha-badan usaha tersebut melakukan praktik riba dalam berbagai
transaksinya, sedangkan kami belum mampu untuk membuktikannya?
Perlu diketahui, bahwa kami juga tidak mampu untuk membuktikannya,
kami hanya mendengar hal itu dari pembicaraan orang lain.
Jawaban:
Perusahaan atau badan usaha yang tidak menjalankan praktik riba, tidak
juga hal haram lainnya, boleh untuk ikut serta menanamkan saham
padanya. Adapun perusahaan yang menjalankan praktik riba atau suatu
transaksi haram lainnya, maka haram untuk ikut andil menanam saham
padanya. Dan bila seorang muslim meragukan perihal suatu perusahaan,
maka yang lebih selamat ialah dengan tidak ikut menanam saham padanya,
sebagai penerapan terhadap hadits berikut,

Artinya :“Tinggalkanlah suatu yang meragukanmu menuju kepada hal


yang tidak meragukanmu.” (Hadits shahih riwayat Imam Ahmad, An-
Nasa’i, At-Tirmidzy, dan lain-lain). Dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam pada hadits lainnya,

162
Artinya : “Barang siapa menghindari syubhat, berarti ia telah menjaga
agama dan kehormatannya.” (HR. Al-Bukhary dan Muslim).

Pertanyaan:
Apa hukumnya menanam saham di perusahaan dan bank? Dan apakah
boleh bagi seorang penanam modal pada suatu perusahaan atau bank untuk
menjual saham miliknya seusai ia menanamkannya di kantor-kantor
penjualan dan pembelian saham, yang amat dimungkinkan harga jualnya
melebihi harga saham pada saat ia menanamkannya? Dan apa hukum
keuntungan yang didapat oleh pemegang saham pada setiap tahun dari
keseluruhan saham yang ia miliki?
Jawaban:
Menanamkan modal di bank atau perusahaan yang bertransaksi dengan
cara riba tidak boleh, dan bila penanam modal hendak melepaskan dirinya
dari keikutsertaannya dalam perusahaan riba tersebut, maka hendaknya ia
melelang sahamnya dengan harga yang berlaku di pasar modal, kemudian
dari hasil penjualannya ia hanya mengambil modal asalnya, sedangkan
sisanya ia infakkan di berbagai jalan kebaikan. Tidak halal baginya untuk
mengambil sedikitpun dari bunga atau keuntungan sahamnya.
Adapun menanamkan modal di perusahaan yang tidak menjalankan
transaksi riba, maka keuntungan yang ia peroleh adalah halal.
Wabillahit taufiq, dan semoga shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan
kepada Nabi Muhammad, keluarga dan sahabatnya
Fatwa al-Majma’ al-Fiqhy al-Islamy (Badan Fiqih Islam) di bawah
Organisasi Rabithah Alam Islami.
Segala puji hanya milik Allah, shalawat dan salam semoga terlimpahkan
kepada Nabi yang tiada nabi setelahnya, yaitu pemimpin kita sekaligus
nabi kita Muhammad, dan kepada keluarga, dan sahabatnya.
Amma ba’du:
Sesungguhnya anggota rapat Al-Majma’ al-Fiqhy di bawah Rabithah Alam
Islami pada rapatnya ke-14, yang diadakan di kota Makah al-Mukarramah,
dan dimulai dari hari Sabtu tanggal 20 Sya’ban 1415 H yang bertepatan
dengan tanggal 21 Januari 1995 M, telah membahas permasalahan ini (jual
beli saham perusahaan-pen) dan kemudian menghasilkan keputusan
berikut:
1. Karena hukum dasar dalam perniagaan adalam halal dan mubah, maka
mendirikan suatu perusahaan publik yang bertujuan dan bergerak dalam
hal yang mubah adalah dibolehkan menurut syariat.
2. Tidak diperselisihkan akan keharaman ikut serta menanam saham pada
perusahaan-perusahaan yang tujuan utamanya diharamkan, misalnya
bergerak dalam transaksi riba, atau memproduksi barang-barang haram,
atau memperdagangkannya.
3. Tidak dibolehkan bagi seorang muslim untuk membeli saham
perusahaan atau badan usaha yang pada sebagian usahanya menjalankan
praktik riba, sedangkan ia (pembeli) mengetahui akan hal itu.
4. Bila ada seseorang yang terlanjur membeli saham suatu perusahaan,
sedangkan ia tidak mengetahui bahwa perusahaan tersebut menjalankan
transaksi riba, lalu dikemudian hari ia mengetahui hal tersebut, maka ia
wajib untuk keluar dari perusahaan tersebut.

163
Keharaman membeli saham perusahaan tersebut telah jelas, berdasarkan
keumuman dalil-dalil al-Quran dan as-Sunnah yang mengharamkan riba.
Hal ini dikarenakan, membeli saham perusahaan yang menjalankan
transaksi riba sedangkan pembelinya telah mengetahui akan hal itu, berarti
pembeli telah ikut andil dalam transaksi riba. Yang demikian itu karena
saham merupakan bagian dari modal perusahaan, sehingga pemiliknya ikut
memiliki sebagian dari aset perusahaan. Sehingga seluruh harta yang
dipiutangkan oleh perusahaan dengan mewajibkan bunga atau yang harta
dihutang oleh perusahaan dengan ketentuan membayar bunga, maka
pemilik saham telah memiliki bagian dan andil darinya. Hal ini disebabkan
orang-orang (pelaksana perusahaan-pen) yang menghutangkan atau
menerima piutang dengan ketentuan membayar bunga, sebenarnya adalah
perwakilan dari pemilik saham, dan mewakilkan seseorang untuk
melakukan pekerjaan yang diharamkan hukumnya tidak boleh.

H. Dampak Riba pada Ekonomi

Sekarang ini masalah riba sudah mengalami perubahan, orang yang


dipinjami merupakan asas pengembangan harta pada perusahaan-
perusahaan. Ini berarti memutuskan harta pada penguasaan para hartawan,
padahal mereka hanya merupakan sebagian kecil dari seluruh anggota
masyarakat, daya beli mereka pada hasil-hasil produksi juga kecil. Pada
waktu bersamaan, pendapatan kaum buruh yang berupa upah atau yang
lainnya juga kecil. Sehingga mengakibatkan, daya beli kebanyakan
anggota masyarakat kecil pula.
Hal ini merupakan masalah penting dalam ekonomi, yaitu proses yang
terjadi dalam siklus-siklus ekonomi. Hal ini berulang kali terjadi,
karenanya siklus ekonomi yang terjadi berulang-ulang disebut krisis
ekonomi. Para ahli ekonomi berpendapat, bahwa penyebab utama krisis
ekonomi adalah bunga yang dibayar sebagai peminjaman modal atau
dengan singkat biasa disebut riba. Riba dapat menimbulkan over
produksi. Riba membuat daya beli sebagian besar masyarakat lemah,
sehingga persediaan jasa dan barang semakin tertimbun, akibatnya
perusahaan macet karena produksinya tidak laku, perusahaan
mengurangi tenaga kerja untuk menghindari kerugian yang lebih besar,
dan mengakibatkan pula jumlah pengangguran.
Lord Keynes pernah mengeluh di hadapan Majelis Tinggi (House of Lord)
Inggris tentang bunga yang diambil oleh pemerintah Amerika Serikat. Hal
ini menunjukkan, bahwa negara besar pun seperti Inggris terkena musibah
dari bunga pinjaman Amerika, bunga tersebut menurut fuqaha disebut riba.
Dengan demikian, riba dapat meretakkan hubungan, baik hubungan antara
orang perorang maupun hubungan antar negara, aeperti Inggris dan
Amerika Serikat.[5]

PENGERTIAN OBLIGASI DAN RUANG LINGKUPNYA

A. LATAR BELAKANG

164
Seluruh anggota manusia bergantung kepada yang lain untuk memenuhi
kebutuhannya. Ketergantungan mutualistik dalam kehidupan individu dan
sosial di antara manusia telah melahirkan sebuah proses evolusi gradual dalam
pembentukan sistem pertukaran barang dan pelayanan. Dengan semakin
berkembangnya peradaban manusia dari zaman ke zaman, sistem
pertukaran ini berevolusi dari aktivitas yang tradisional kepada aktivitas
ekonomi yang modern.

Pesatnya kemajuan dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi, termasuk


kemajuan di bidang ekonomi, mendorong para mujtahid untuk lebih gigih lagi
mengkaji persoalan-persoalan fikih yang terakomodasi dalam al-Qur’an dan
sunnah sebagai sumber pokok hukum Islam, serta mengkaji kembali khazanah
intelektual yang ditinggalkan oleh para ulama yang tertuang dalam kitab-kitab
fikih dalam menjawab berbagai persoalan.

Salah satu permasalahan yang berkembang dewasa ini dan belum banyak
dibahas ulama fikih zaman klasik adalah persoalan ekonomi. Walaupun secara
umum persoalan ekonomi ini dapat dimasukan ke dalam persolaan fikih
muamalah, namun secara rinci kadang-kadang perkembangan sistem,
mekanisme dan objek transaksi dalam bidang ini sangat berbeda dengan yang
ditemui dalam fikih muamalah klasik.

Dewasa ini keadaan ekonomi sedang mengalami kemelut, termasuk Indonesia,


dengan ditandai dengan menurunnya nilai tukar rupiah, naiknya angka inflasi,
hutang luar negeri membengkak; kondisi neraca pembayaran luar negeri terus
mengalami deficit, angka penganguran semakin meningkat, dan berbagai
peristiwa lainnya yang dapat memperburuk keadaan. Sementara jurang
ketidkapercayaan terhadap instansi-instansi keuangan dunia seperti IMF,
World Bank, dan lembaga keuangan dunia lainnya dijadikan sandaran, lambat
laun akan meningkat volumenya. Hal itulah yang menyebabkan Negara-
negara berkembang berupaya keras agar sembuh dari penyakit-penyakit yang
tengah berlangsung.

Pada tahun 20-an terjadi great depression yang melanda perekonomian dunia.
Hal tersebut mendorong munculnya sebuah pemikiran baru dalam dunia
perekonomian. Sistem prekonomian yang ada tidak mampu menjawab
persoalan depresi dan pengangguran. Keynes menegaskan pemerintah perlu
meningkatkan govermant spending untuk menggairahkan kehidupan ekonomi
yang ada. Dengan adanya peningkatan tersebut, diharapakan konsumsi yang
dilakukan oleh masyarakat mengalami peningkatan levvel income jika hal itu
terjadi, perekonomian diindikasikan mengalami pertumbuhan.

Pertumbuhan ekonomi diindikasikan dengan adanya kenaikan tingkat income


masyarakat atau individu, sehingga tidak terdapat perbedaan atas target
ekonomi yang ingin diraih oleh negara-negara maju dan berkembang. Namun,
realitanya tidaklah demikian. Negara-negara maju berkonsentarasi
meningkatkan tingkat pendapatan masyarakat, sedangkan kegiatan ekonomi di
negara negara berkembang hanya terfokus pada upaya pengentasan
kemiskinan atau usaha untuk mengejar keterbelakangan atau pertumbuhan.

165
Menurut pengamat ekonomi, pertumbuhan ekonomi diindikasikan dengan
sebuah upaya untuk meningkatkan level of income masyarakat dan individu
dalam jangka panjang. Yang diiringi dengan meminimalisir tingkat
kemiskinan dan menghindari kerusakan distribusi kekayaan masyarakat.

Diantara upaya yang dilakukan –khususnya Indonesia- adalah dengan


menguatkan instrument keuangan dalam negeri dengan mengaktifkan sistem
keuangan dan melakukan rekapitulasi perbankan. Saat ini pemerintah
Indonesia berusaha keras untuk menarik perhatian para investor agar
mengalokasikan dananya untuk membiayai perekonomian yang tengah lesu.
Salah satu usaha pemerintah baru-baru ini adalah dengan menerbitkan
obligasi, untuk memperoleh dana segar yang bersifat permanent atau semi
permanent.

B. PENGERTIAN OBLIGASI

Secara etimologi, kata obligasi berasal dari bahasa belanda obligatie yang
berarti hutang atau kewajiban,atau diartikan dengan surat hutang
(sehuldrief). Secara terminology disebut obligaatie lenning yang berarti surat
tanda bukti pinjaman uang yang dikeluarkan oleh suatu perseroan atau
badan hukum lain yang dapat di perdagangkan dengan cara
menyerahkan surat tersebut.

Dalam bahasa inggris, istilah obligasi juga disebut dengan bond yang berarti
surat hutang atau jaminan hutang.

1. Menurut Pandji Anarogo dan Ninik Widiayanti. bahwa obligasi adalah


surat tanda pinjaman uang yang mempunyai jangka waktu tertentu,
biasanya lebih dari satu tahun.
2. Menurut GST. Eko Bawantoro, bahwa obligasi itu adalah jenis efek
berupa pengakuan hutang atau peminjaman uang dari masyarakat dalam
bentuk tertentu, untuk jangka waktu sekurang-kurangnya tiga tahun
dengan menjanjikan imbalan bunga yang jumlah serta saat pembayarannya
telah ditentukan terlebih dahulu oleh emiten/sipenerbit.

3. Menurut Nopirin, obligasi adalah perjanjian hutang antara peminjam


(yang mengeluarkan obligasi) dengan pemberi pinjaman (pemegang
obligasi) dalam mana peminjam berjanji akan membayar kepada pemberi
pinjaman sejumlah uang tertentu pada suatu saat dimasa yang akan datang.

4. Menurut keputusan Mentri Keuangan, bahwa obligasi itu adalah bukti


hutang emiten/sipeminjam yang mengandung janji pembayaran bunga atau
janji lain serta pelunasan pokok pinjaman dilakukan pada tanggal jatuh
tempo, sekurang-kurangnya tiga tahun sejak tanggal emisi.

Dari beberapa definisi di atas terlihat adanya beberapa unsure dalam obligasi
yang dapat dilihat dari aspek emiten/sipenerbit, atas dasar bunga, pemegang
dan aspek jangka waktu yang ditetapkan , apakah dihitung berdasarkan waktu
minimal dan maksimal, atau ditetapkan secara kualitatif. Jadi obligasi adalah
bukti hutang dari emiten yang ditanggung dengan membayar bunga yang

166
telah ditentukan dan pelunasannya dilakukan dalam jangka waktu yang
telah ditetapkan.

C. JENIS-JENIS OBLIGASI

Obligasi tersebut dapat diklarifikasikan atas beberapa segi, yaitu :


Ditinjau dari segi peralihan, dapat dibedakan menjadi dua.
Pertama obligasi atas unjuk (bearer bonds), obligasi jenis ini memiliki nama
dalam obligasi tersebut dan mudah dialiahkan kepada pihak lain. Kedua,
obligasi atas nama (registreted bonds) merupakan obligasi yang memiliki
nama pemilik obligasi dalam obligasi dan untuk penaglihan memerlukan
berabgai persayaratan dan prosedur.

Ditinjau dari segi jaminan atau hak klaim, dapat juga dibedakan menjadi
dua,
Pertama obligasi jaminan (secured bonds) adalah obligasi yang dijamin
dengan jaminan tertentu. Jenis obligasi ini antara lain obligasi dengan garansi
(guranted bonds), obligasi dengan jaminan harta (mortgage bonds), obligasi
dengan jaminan efek (collateral trust bonds) dan obligasi jaminan peralatan
(equipment bonds). Kedua, obligasi tanpa jaminan (unsecured bonds) adalah
obligasi yang diberikan hanya berbentuk kepercayaan semata, misalnya
debiture bonds yang merupakan obligasi yang diterbitkan oleh pemerintah.

Ditinjau dari dasar bunganya, dibedakan menjadi dua yaitu :


Pertama. obligasi memberikan bunga yang tetap jumlahnya kepada
pemiliknya (fixed interesrate), seperti obligasi dengan bunga yang
ditangguhkan, obligasi dengan premi, dan obligasi biasa atau umum. Kedua
obligasi yang memberikan bunga yang jumlahnya tidak tetap kepada
pemiliknya (floating interesrate), seperti obligasi bunga variable (dapat
berubah) , obligasi indeks (pembayaran bunga dan cicilan dikaitkan dengan
indeks biaya hidup).

Ditinjau dari jangka waktu, dikalsifikasikan menjadi dua yaitu:


Pertama obligasi yang dibatasi oleh jangka waktu tertentu (limited), kedua
obligasi yang mana pemiliknya akan menerima bunga terus menerus (contoh
obligasi abadi).

Ditinjau Atas dasar emiten/penerbit ada dua yaitu :


Pertama, obligasi yang diterbitkan oleh pemerintah, seperti obligasi RI tahun
1950 yang diterbitkan oleh pemerintah pusat, obligasi DT I dan kota madya
yang diterbitkan oleh pemerintah daerah, serta obligasi tahun 1954,1955 yang
diterbitkan oleh BUMN, Obligasi Jasa Marga dan obligasi Bank Pembangunan
Indonesia. Kedua, obligasi yang diterbitkan oleh pihak swasta, seperti
participing bonds (pemilik obligasi selain memperoleh bunga tetap juga
memperoleh bagian dari keuntungan yan dicapai perusahaan), clien bonds
(obligasi yang diberikan kepada langganan perusahaan dalam rangka

mengembangkan pemilikan effek kepada masyarakat), depenture bonds


(obligasi yang tidak dijamin atau tanpa suatu jaminan).

167
D. TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP TRANSAKSI OBLIGASI

Tinjauan Hukum Islam terhadap Transaksi Obligasi yaitu menyesuaikan


dengan prinsip muamalah Islam. Yaitu adanya perbedaan kontras antara
prinsip ekonomi Islam dengan prinsip ekonomi konvensional.ada beberapa hal
yang harus diperhatikan, pertama, prinsip-prinsip jual beli menurut hukum
Islam, kedua, perbandingan transaksi obligasi dengan bentuk-bentuk
muamalah dalam Islam, ketiga, bagaimana keberadaan unsur bunga (riba) di
dalam transaksi obligasi .

a. Prinsip-prinsip jual beli menurut hukum Islam

a. Suka sama suka, berdasarkan firman Allah sebagai berikut.

 
  
 
   
    
   
    

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling
memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan
perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan
janganlah kamu membunuh dirimu[287]; Sesungguhnya Allah adalah Maha
Penyayang kepadamu.
[287] Larangan membunuh diri sendiri mencakup juga larangan membunuh orang lain, sebab
membunuh orang lain berarti membunuh diri sendiri, karena umat merupakan suatu kesatuan.
(An-Nisa: 29)

b. Pelaku akad adalah orang yang berakal dan dapat membedakan dan
memilih yang baik untuk dilakukan berdasarkan firman Allah :

 
  
  
  
   
 
   
  
   
 
  
 
 

168
   
 
Artinya : Dan ujilah[269] anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk
kawin. kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai
memelihara harta), Maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya.
dan janganlah kamu Makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan
(janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa.
barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, Maka hendaklah ia menahan
diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan Barangsiapa yang miskin, Maka
bolehlah ia Makan harta itu menurut yang patut. kemudian apabila kamu
menyerahkan harta kepada mereka, Maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi
(tentang penyerahan itu) bagi mereka. dan cukuplah Allah sebagai Pengawas
(atas persaksian itu).
[269] Yakni: Mengadakan penyelidikan terhadap mereka tentang keagamaan, usaha-usaha
mereka, kelakuan dan lain-lain sampai diketahui bahwa anak itu dapat dipercayai.
(An-Nisa’: 6)

c. Cara pelaksanaan transaksi jual-beli berkenaan dengan perlunya


pencatatan saksi dan neraca atau takaran berdasarkan firman Allah (Al-
Baqarah: 283) yang berbunyi :

   


  
   
  
  
  
   
  
  
   
  
Artinya : Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai)
sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang
tanggungan yang dipegang[180] (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika
sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang
dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa
kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) Menyembunyikan
persaksian. dan Barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya
ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang
kamu kerjakan.
[180] Barang tanggungan (borg) itu diadakan bila satu sama lain tidak percaya mempercayai.

Kecuali perdagangan tunai yang kalian jalankan di antara kalian, maka tidak
mengapa kalau kalian tidak menjalankannya

169
d. Objek transaksi tidak boleh yang haram baik menurut zat maupun sifatnya
berdasarkan hadist berikut

1. Artinya : Dari Jabir bin Abdullah ra. Bahwa ia mendengar Rasulullah


SAW bersabda: “sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya mengharamkan jual
beli khamar, babi, dan patung-patung”.

2. Artinya : Dari Abu Hurairah Ra berkata: “Rasulullah Saw mencegah jual-


beli dengan lontaran batu kecil dan yang berunsur penipuan”

3. 3.Artinya :Abu Hurairah telah berkata: engkau telah menghalalkan jual


beli dokumen hutang, padahal rasulullah telah melarang jual beli makanan
sehingga telah diterima penuh yang dihutangkan, lalu marwan berkata dan
berkhutbah melarang orang-orang memperjual belikannya.

Dari seluruh prinsip hukum Islam mengenai jual beli sebagai mana tersebut
diatas, maka yang sangat relevan untuk dijadikan pertimbangan dalam
menetapkan hukum transaksi jual-beli obligasi adalah hadist yang disebut
terakhir.

b. Perbandingan transaksi obligasi dengan bentuk-bentuk muamalah


lainnya

Menuurut Mahmud syaltut, berpendapat bahwa jenis effek obligasi tidak


bisa disamakan dengan saham -untuk term. Kemudian dalam fikih klasik bisa
dikategorikan dengan syirkah al-‘inan dan tidak bisa disamakan dengan akan
mudharobah yang dibolehkan Islam.
Demikian juga halnya transaksi obligasi ini juga tidak dapat disamakan denga
qirodh atau al-dain (hutang piutang) meskipun tidak bisa disamakan, bukan
berarti transaksi obligasi ini tidak memiliki sisi-sisi persamaan dengan
mudharobah dan qirodh.

Dalam akad syirkah dan mudarobah, para pelaku bisa ikut serta dalam
kepemilikan perusahaan, begitu pula memungkinkan untk mendapatkan
untung dan rugi. Sedangkan dalam obligasi pihak penyandang dan (investor)
hanya memberi pinjaman kepada emiten yang menerbitkan obligasi dengan
imbalan bungan tertentu dan dalam limit waktu tertentu pula. Oleh sebab itu.
Titik focus ulama dalam masalah ini berkaitan dengan adanya imbalan
bungan pada obligasi tersebut. Adapun istilah obligasi dalam term fikih
kontemporer, pendapat Abd al-Aziz Fahmi Haikal, disebut al-asnad, yaitu.

“surat atau kertas berharga yang diterbitakan oleh pemerintah yang memiliki
jangka waktu lama atau pemerintah diharskan membayar nominal pinjaman
setelah melalui jangka waktu tertentu, dan tidak dibenarkan bagi peminjam
menukar jumlah bunga tetap sampai beralihnya bunga pokok pinjaman kepada
pemilik modal”

Disamping kata al-sanad, penyebutan untuk effek obligasi disamakan dengan


syahadah al-istismar, yaitu surat berharga (chek) yang dapat diinventarikan.

170
Pakar ekonomi Islam mesir. Ali Jaml al-din, mendefinisikan syahadah al-
istismar sebagai surat berharga yang menetapkan hak bagi pemilik modal
untuk meminjam dana bagi depeson dimana pihak peminjam tunduk aturan
pengembalian dana tersebut keapda pemilik modal.

c. Unsur bunga (riba) dalam transaksi obligasi

Para ulama fikih memberikan komentar yang beragam namun, perlu


diperhatikan, bahwa pada dasarnya ulama sepakat setiap pernyataan modal
yang didalamnya terdapat unsure riba (bunga) diharamkan termasuk efek
obligasi.

Sebagaimana diketahui, garis tengah pemisah sistem Islam denga


konvensional adalah adanya larangan riba (bunga) dalam konsep Islam. Riba
dilarang, sedangkan jual beli dihalalkan. Dengan demikian, maka membayar
dan menerima bunga pada uang yang dipinjam dan dipinjamkan dilarang.
Untuk itulah Silam secara tegas mengedepankan prinsip-prinsip berikut dalam
melakukan akad (transaksi):

a. larangan riba (bunga) dalam berabgai transaksi.

b.Menjalankan bisnis dan aktifitas perdagangan yang berbasis pada


memperoleh keuntungan yang sah menurut Islam.

c. Memberikan zakat

Agar lebih terarah dan dipahami, pengertian riba. Secara bahasa riba berarti al-
ziyadah atau tambahan dan al-fadl atau kelebihan, sebagai mana firman
Allah(QS. 41/Fushilat : 39);

   


  
 
 
   
 
   
   
Artinya : Dan di antara tanda-tanda-Nya (ialah) bahwa kau Lihat bumi kering
dan gersang, Maka apabila Kami turunkan air di atasnya, niscaya ia
bergerak dan subur. Sesungguhnya Tuhan yang menghidupkannya, pastilah
dapat menghidupkan yang mati. Sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas segala
sesuatu.

Wahab al-zuhaili menampilkan definisi riba al-nasi’ah berangkat dari


pendekatan pemahaman ulama klasik sebagai berikut;

Aertinya : Riba An-nasi’ah adalah mengakhirkan pembayaran hutang dengan


tambahan dari jumlah hutang pokok

171
Dalam beberapa decade, tidak ada masalah yang muncul menyangkut
pemahaman tentang riba nasi’ah dikalangan ulama. Karena itu perhatian
meraka tertuju kepada benda-benda yang boleh atau tidak bolah diakadkan
secara riba. Sebuah hadist yang menjadi sandaran ulama untuk menerangkan
riba adalah :

Artinya : Hadits dari Ubadah, Ia berkata: “Rasulullah Saw bersabda,


“memperjual belikan emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan
gandum, anggur dengan anggur, kurma dengan kurma, garam dengan garam,
haruslah sama, seimbang dan tunai. Apabila jenis yang diperjual belikan
berbeda, maka juallah sesuai dengan kehendakmu, boleh berlebih asal dengan
tunai.

Setelah memperhatikan hadist diatas, jelaslah bahwa objek yang dilarang itu
adalah adanya kelebihan dari jual-beli benda yang sejenis. Para ulama berbeda
dalam melihat jenis apa saja yang dilarang. Ulama Hanafi dan Hambali
berpendapat bahwa emas dan perak merupakan symbol barang tambang dan
keempat jenis lainnya merupakan jenis barang tambang yang ditakar. Ulama
Maliki dan syafi’i berpendapat bahwa emas dan perak symbol dari uang
sedang keempat jenis lainnya merupakan symbol makanan. Artinya, bagi
golongan pertama, hutang benda sejenis yang dapat ditimbang dan ditakar
tidak boleh ada kelebihan ketika melunasinya atau pengangsuran. Bagi
golongan kedua, kelebihan tidak boleh terjadi pada hutang benda sejenis
berupa uang atau makanan.

Dunia modern dewasa ini, telah membawa dampak bagi perkembangan


ekonomi global, sehingga peranan uang sebagai standar harga dan sarana
pertukaran barang semakin kuat. Karena itu, objek yang terdapat pada riba
dahulu berkembang sesuai dengan jenisnya masing-masing. Semua yang
menyangkut taransaksi baik yang melibatkan masalah modal dan pinjaman,
hutang, valuta asing dari tangan ketangan dimana terdapat kemungkinan
kelebihan atas pinjamana komoditas pokok, dinyatakan mengandung unsure
riba yang diharamkan. Begitu pula halnya transaksi obligasi. Oleh karena itu
selama transaksi mengarah pada bentuk riba yang berlipat ganda dan
merugikan pihak lainnya maka transaksi obligasi diharamkan (firman Allah
surat Ali Imran ayat 130) yang berbunyi :
 
  
 
  
  

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan Riba
dengan berlipat ganda[228]] dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya
kamu mendapat keberuntungan.

[228] Yang dimaksud Riba di sini ialah Riba nasi'ah. menurut sebagian besar
ulama bahwa Riba nasi'ah itu selamanya haram, walaupun tidak berlipat

172
ganda. Riba itu ada dua macam: nasiah dan fadhl. Riba nasiah ialah
pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan. Riba fadhl
ialah penukaran suatu barang dengan barang yang sejenis, tetapi lebih banyak
jumlahnya karena orang yang menukarkan mensyaratkan demikian, seperti
penukaran emas dengan emas, padi dengan padi, dan sebagainya. Riba yang
dimaksud dalam ayat ini Riba nasiah yang berlipat ganda yang umum terjadi
dalam masyarakat Arab zaman jahiliyah.

Negara Indonesia menjelang akhir abad ke-20 dilanda oleh krisis yang
berkepanjangan. Krisis moneter yang melanda Indonesia sejak juli 1997
semakin memperbruk struktur perekonomian Indonesia, bahkan kini tengah
mengalami krisis yang bersifat multidimensional. Mencermati kondisi ini,
pemerintah Indonesia mencoba melirik sumber dana lainnya untuk
merekostruksi bangunan ekonomi nasional yang semakin sembrawut. Hal ini
ditandai dengan munculnya obligasi pemerintah yang digunakan untuk
merekapitulasi Bank-bank sakit.

Bila ditelusuri ‘illat pengharaman riba, dan dikaitkan dengan kondisi


krisis yang dialami indonesia, maka akan muncul suatu perubahan
ketentuan hukum. Bahwa disadari munculnya bentuk-bentuk kegiatan
ekonomi yang beragam mengakibatkan terjadinya pergeseran nilai. Apa
yang dahulu dianggap telah baku, kini dipertanyakan lagi keabsahannya.
Kalau dahulu setiap tambahan atas pinjaman dipastikan mendatangkan
kesengsaraan dan pelakunya danggap berbuat zalim, kini dipertanyakan
bunga yang terdapat dalam obligasi disatu sisi terperangkap dalam
formula riba, tetapi disisi lain mendatangkan keuntungan, apalagi bagi
Negara Idonesia
Obligasi dalam sistem ekonomi konvensional memberikan gambaran sebagai
sebuah alternative yang ada untuk investasi. Investasi merupakan sumber
permodalan bagi suat Negara atau perusahaan yang menerbitkan obligasi,
yang tentu bertujuan mendapatkan keuntungan. Artinya, investasi melalui
transaksi obligasi dengan keuntungan yang diperoleh dimaksudkan untuk
memperbaiki struktur perekonomian Negara. Dalam hal ini investor bisa
memiliki dua fungsi, bisa sebagai distributor (pengedar effek) dan jgua
sebagai pencari keuntungan. Para investor dalam melaksanakan kegiatannya
menjalankan fungsinya masing-masing.

Dalam hukum Islam dijelaskan bahwa bila suatu kondisi darurat dan hajat
yang mendesak, maka hukum asal menempati hukum dalam kondisi darurat
atau hajat tersebut, karena sesuatu dalam keadaan darurat itu berada pada
posisi terpaksa, sesuai dengan firman allah Al-An’am : 119 yang berbunyi :

   


   
    
   
  
  
 

173
    
 

Artinya : Mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-binatang yang halal)
yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, Padahal Sesungguhnya
Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu,
kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya. dan Sesungguhnya kebanyakan
(dari manusia) benar benar hendak menyesatkan (orang lain) dengan hawa
nafsu mereka tanpa pengetahuan. Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang lebih
mengetahui orang-orang yang melampaui batas.

Dan sesuai dengan kaidah fikih:

‫ المحظورات تبيح الضرورة‬/Addarurotu tubikhul mahdlurah

Berdasarkan ketentuan diatas bahwa adanya kondisi darurat mengakibatkan


taransaksi obligasi dibenarkan sepanjang keuntungan yang diperoleh
digunakan untuk mengatasi kesulitan yang dialami. Dan apabila kesulitan
tersebut telah lenyap, maka hukumnya kembali pada ketentuan semula hal ini
penulis dasarkan ada kaidah fikih :

‫بقدرها يقدر للضرورة ابيح وما‬


Dengan demikian, keuntungan baik melalui laba bersih atau keutungan
transaksi obligasi semata-mata dipergunakan untuk mengatasi suatu bentuk
kesulitan yang berada di posisi darurat. Dengan kembali normalnya kondisi
sulit itu. Maka sumber pembiayaan prekonomian menggunakan instrument
lainnya yang benar-benar bebas dari bunga.

Hukum obligasi berada pada posisi syubat. Bahwa dalam keadaan tertentu
dapat saja terjadi kerugian dari pihak debitur. Walau kemungkinan kecil. Ini
merupakan indikasi terhadap larangan obligasi menurut pendapat tersebut.
Sedangkan kebolehannya, bila debitur beruntung. Atas dasar ini pendapat
yang mengemukakan bahwa obligasi syubat. Penulis berpendapat bahwa
adanya indicator untung rugi bukanlah termasuk kepada bagian struktur modal
melalui obligasi, tetapi pada effek saham, melalui suplly and demand.

E. KESIMPULAN

1. Prinsip-prinsip jual beli menurut hukum Islam adalah Suka sama suka;
Pelaku akad adalah orang yang berakal dan dapat membedakan dan
memilih yang baik untuk dilakukan; Cara pelaksanaan transaksi jual-beli
berkenaan dengan perlunya pencatatan saksi dan neraca atau takaran;
Objek transaksi tidak boleh yang haram baik menurut zat maupun sifatnya.
2. Perbandingan transaksi obligasi dengan bentuk-bentuk muamalah lainnya
adalah akad syirkah dan mudarobah, para pelaku bisa ikut serta dalam
kepemilikan perusahaan, begitu pula memungkinkan untk mendapatkan
untung dan rugi. Sedangkan dalam obligasi pihak penyandang dan
(investor) hanya memberi pinjaman kepada emiten yang menerbitkan

174
obligasi dengan imbalan bungan tertentu dan dalam limit waktu tertentu
pula.
3. Unsur bunga (riba) dalam transaksi obligasi adalah keuntungan baik
melalui laba bersih atau keutungan transaksi obligasi semata-mata
dipergunakan untuk mengatasi suatu bentuk kesulitan yang berada di
posisi darurat. Dengan kembali normalnya kondisi sulit itu. Maka sumber
pembiayaan prekonomian menggunakan instrument lainnya yang benar-
benar bebas dari bunga.

Semua Muamalah yang Berisi al-Maisir (Perjudian) Adalah Terlarang

Definisi Perjudian

Kata ( ‫ )الميسر‬dalam etimologi bahasa Arab adalah kata mashdar mimi dari
kata (‫ )يسر‬seperti kata (‫ )الموعد‬dari (‫)وعد‬.

Kata ini digunakan untuk pengertian:


a. Kemudahan, karena mendapatkan harta dengan mudah.
b. Merasa cukup (kecukupan), apabila diambil dari kata (‫)اليسار‬, karena ia
mencukupkan dengan hal itu.
c. Kewajiban. Orang Arab menyatakan: (‫ )الشيء لي يسر‬apabila wajib.
d. Menyembelih.

Kesimpulannya, kata al-maisir (perjudian) dari sisi bahasa mencakup dua hal:
1. Ia adalah usaha mendapatkan harta tanpa susah payah.
2. Ia adalah cara mendapatkan harta dan sebab menjadi kaya (berkecukupan).

Sedangkan dalam terminologi ulama, ada beberapa ungkapan:

Yaitu, semua muamalah yang dilakukan manusia dalam keadaan tidak jelas
akan beruntung atau merugi sekali (spekulatif). Kalau begitu, al-maisir
(perjudian) mencakup semua muamalah yang terjadi dengan ketidakjelasan
apakah untung atau buntung. Sehingga, ketentuan dasar al-maisir (perjudian)
adalah semua muamalah yang membuat orang yang melakukannya berada
dalam ketidakjelasan antara untung dan rugi, yang bersumber dari al-gharar
serta spekulasinya, dan hal itu menjadi sebab terjadinya permusuhan dan
kebencian di antara manusia.

Perbedaannya dengan perniagaan adalah, dalam perniagaan, pihak transaktor


akan mendapatkan barang, sedangkan al-maisir (perjudian) terdapat
ketidakjelasan, apakah hartanya hilang dengan pengganti, hilang begitu saja,
atau hilang hartanya dan muncul kebencian.

Kalau begitu, setiap muamalah yang berkisar pada ketidakjelasan, apakah


untung atau buntung (rugi) dinamakan al-maisir (perjudian). Apabila
berbentuk harta, maka dinamakan al-qimar.

Untuk memperjelas permasalahan, mungkin dapat diberikan contoh gambaran


sebagai berikut:

175
“Seorang ingin membeli barang untuk dijual”. Barang tersebut dibeli untuk
mendapatkan keuntungan, lalu ia membelinya dan mendapatkan barang
tersebut. Di sini ada spekulasi, apakah ia akan untung atau tidak? Namun,
spekulasi ini tidak dilarang dalam syariat, sebab semua orang yang membeli
barang untuk mendapatkan keuntungan pasti menjumpai spekulasi
(mendapatkan untung ataukah tidak).

Oleh karena itu, para ahli fikih menyatakan, “Syariat Islam tidak meniadakan
dan mengharamkan semua jenis spekulasi. Bahkan, tidak ada muamalah
maliyah tanpa ada unsur spekulasinya, sebab spekulasi bermacam-macam
jenisnya. Spekulasi dalam perniagaan tidak diharamkan karena pembeli
mendapatkan barang.“

Sedangkan dalam bentuk perjudian ada ketidakjelasan, apakah ia untung atau


bunting, atau mendapatkan barang tersebut atau tidak mendapatkannya sama
sekali.

Ibnu Taimiyah rahimahullahu menyatakan, “Tidak ada dalam dalil-dalil


syariat yang mengharuskan pengharaman semua spekulasi. Bahkan, sudah
dimaklumi, bahwa Allah dan Rasul-Nya tidak mengharamkan semua spekulasi
dan semua yang berada dalam ketidakjelasan antara untung, rugi, atau balik
modal.”

Beliau juga berkata, “Demikian juga, setiap orang yang membeli barang
dengan berharap mendapatkan keuntungan dan takut rugi, tergolong pada
spekulasi yang diperbolehkan di dalam al-Quran, as-Sunnah, dan ijma’.”

Al-maisir (perjudian) merupakan satu amalan yang ada pada zaman jahiliyah
dalam beberapa bentuk aplikasi:
a. Melakukan al-maisir (perjudian) dan al-qimar dalam perlombaan dan rihan
(taruhan).
b. Melakukan al-maisir (perjudian) dalam muamalah.

Oleh karena itu, Sa’id bin Al Musayyib rahimahullahu menyatakan,

َ‫ان بَ ْي ُع ْال َجا ِه ِليَّ ِة أ َ ْه ِل َم ْيس ِِر ِم ْن َكان‬


ِ ‫شاةِ اللَّ ْح ِم فِي ْال َحيَ َو‬
َّ ‫شاتَي ِْن َو ِبال‬
َّ ‫َوال‬

“Di antara perjudian ahli jahiliyah adalah menjual hewan hidup dengan daging
serta dengan satu dan dua kambing.” (Diriwayatkan oleh Imam Malik dalam
al-Muwaththa’)

Perbedaan antara al-Maisir (Perjudian) dan al-Qimaar

Para ulama berselisih dalam masalah ini dalam dua pendapat:

1. Al-maisir (perjudian) dan al-qimar adalah sinonim.

2. Keduanya tidak sinonim. Perbedaannya adalah:

176
- Al-qimar adalah saling mengalahkan dan spekulatif pada harta.
- Al-maisir (perjudian) mencakup semua jenis mukhatharah (spekulasi), baik
dalam pertukaran (mu’awadhah) atau bukan. Terkadang, ada pertukaran harta
dan terkadang tidak ada. Oleh karena itu, Ibnul Qayyim rahimahullahu-–
mengikuti pendapat
Syekhul Islam Ibnu Taimiyah–, menyatakan,

ُ َ‫سل‬
‫ف‬ َّ ‫ط َرةٍ ِف ْي ِه َما ُك ِِّل َع ْن ِبالَ َم ْيس ِِر يُ َع ِبِّ ُر ْونَ كَانُ ْوا اَل‬ ُ ‫ْال َم ْيس ِِر ِفي ْال َما َل َي ْشت َِر‬
َ ‫ ُم َح َّر َم ٍة ُمخَا‬، ‫طوا َولَ ْم‬

Para salaf dahulu, mengungkapkan semua yang ada mukhatharah (spekulasi)


yang diharamkan dengan ungkapan al-maisir (perjudian), dan mereka tidak
mensyaratkan adanya harta dalam al-maisir (perjudian).

Perbedaan antara al-Maisir (Perjudian) dengan al-Gharar

Definisi al-gharar dan al-maisir (perjudian) tampak sekali hampir sama. Oleh
karena itu, para ulama menyebut keduanya adalah sinonim atau salah satunya
bagian dari yang lain. Namun kesamaan ini tidak berarti sama dalam
pengertian keduanya. Hal itu karena sebagian jenis al-gharar tidak dapat
dinamakan al-maisir (judi). Karenanya, kata al-maisir (‫ )الميسر‬lebih khusus dari
kata al-gharar (‫)الغرر‬. Dengan demikian, setiap al-maisir adalah al-gharar, dan
tidak semua al-gharar adalah al-maisir. Sebuah muamalah yang mengandung
gharar terkadang tidak mengandung unsur judi.

Dr. adh-Dharir menyatakan, “Contohnya adalah: muamalah yang berhubungan


dengan ketidakjelasan pondasi tembok atau buah yang belum jadi. Ini semua
termasuk al-gharar, namun bukan al-maisir.”

Jenis al-Maisir

Al-Maisir terbagi menjadi dua bagian, yaitu:


1. Maisir al-Lahwu, yaitu yang tidak dilakukan dengan harta. Contohnya,
bermain dadu, catur, dan sebagainya. Oleh karena itu, sebagian salaf
menjadikan semua hal yang melalaikan dari shalat dan zikir sebagai al-maisir.
2. Al-qimar.

Pengharaman al-Maisir (Perjudian)

Al-maisir (perjudian) terlarang dalam syariat Islam, dengan dasar al-Quran,


as-Sunnah, dan ijma’.

Dalam al-Quran, terdapat firman Allah subhanahu wa Ta’ala,

 
  
 
  
 

177
 
 

Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum)


khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah,
adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka, jauhilah perbuatan-perbuatan itu
agar kamu mendapat keberuntungan.” (Qs. al-Ma’idah[5] : 90)

Dari as-Sunnah, terdapat sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam


Shahih al-Bukhari,

‫اح ِب ِه قَا َل َم ْن‬


ِ ‫ص‬ ِ َ‫صد َّْق أُق‬
َ ‫ ِل‬: ‫ام ُركَ تَعَال‬ َ َ ‫فَ ْليَت‬

“Barangsiapa yang menyatakan kepada saudaranya, ‘Mari, aku bertaruh


denganmu.’ maka hendaklah dia bersedekah.” (Hr. Bukhari dan Muslim)

Dalam hadits ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan ajakan


bertaruh–baik dalam pertaruhan atau muamalah–sebagai sebab membayar
kafarat dengan sedekah, Ini menunjukkan keharaman pertaruhan. Demikian
juga, sudah ada ijma’ tentang keharamannya.

Orang yang menelaah kaidah-kaidah syariat, pasti akan mengetahui secara


pasti tentang pengharaman perjudian ini dalam segala keadaannya.

Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata, “Apabila anda menelaah keadaan al-


mughalabat (perlombaan dengan taruhan harta), dalam hal ini anda pasti
melihatnya seperti khamr (miras): sedikitnya menyeret kepada banyaknya, dan
banyaknya menghalanginya dari semua hal dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya,
serta menjerumuskan ke dalam perbuatan yang dbenci oleh Allah dan Rasul-
Nya. Seandainya tidak ada satu pun nash syariat yang mengharamkannya,
tentulah ushul syariat, kaidahnya, kandungan hikmah dan maslahat, serta
kaidah, (akan) menyamakan dua hal yang serupa menuntut pengharaman dan
pelarangannya.“

Ketika syariat Islam tegak di atas keadilan dalam semua hukum-hukum dan
ajarannya, maka ia melarang semua muamalah yang berisi perjudian.
Ketentuan tersebut terbatas pada semua muamalah yang membuat orang yang
melakukannya berada dalam ketidakjelasan, antara untung dan rugi yang
bersumber dari gharar dan spekulasinya, dan hal itu menjadi sebab terjadinya
permusuhan dan kebencian di antara manusia.

Ibnul Qayyim rahimahullahu menyatakan, “Semua muamalah yang dilarang


Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu ada kalanya masuk dalam riba dan
adakalanya masuk dalam al-maisir (perjudian).”

Sedangkan Ibnu Taimiyah rahimahullahu menyatakan, “Sesungguhnya,


mayoritas muamalah yang dilarang dalam al-Quran dan Sunnah kembali pada
realisasi keadilan dan larangan berbuat zalim–baik yang kecil atau pun besar–,

178
seperti: memakan harta orang lain dengan batil, dan sejenisnya dari riba dan
al-maisir (perjudian).”

Oleh sebab itu, syariat melarang jual-beli gharar dan jual-beli yang berisi
perjudian, karena di dalamnya terdapat unsur memakan harta dengan batil.
Selain itu, kedua jenis jual-beli tersebut menjadi faktor penyebab terjadinya
permusuhan dan kebencian di antara manusia.

7. Muamalah Dibangun di Atas Kejujuran dan Amanah

( ُ‫ق َعلَى َم ْبنِيَّة ال ُمعَا َمالَت‬ َّ ‫)األ َ َمانَ ِة َو ال‬


ِ ْ‫صد‬

Definisi ash-Shidq (Kejujuran) dan Amanah

Kata (‫ق‬ ِ ْ‫صد‬


َّ ‫ )ال‬dalam etimologi bahasa Arab menunjukkan pada pengertian
kekuatan pada sesuatu, baik berupa perkataan atau selainnya, yaitu kesamaan
hukum atas realitasnya. Kata ini adalah anonim kata (‫)ال َكذِب‬. Sedangkan kata
(‫ )األ َ َمانَ ِة‬merupakan anonim dari kata (‫)الخيَانَة‬,
ِ yang memiliki pengertian:
ketenangan hati, tasdiq, dan wafa’ (penunaian secara total).

Kata “jujur”, dalam istilah (terminologi) muamalah, adalah pernyataan


transaktor yang sesuai dan tidak menyelisihi realitasnya. Sedangkan amanah
adalah penyempurnaan akad transaksi dan penunaiannya, serta tidak
menyelisihinya

Dalil Kaidah Ini

Kaidah ini telah ditetapkan oleh al-Quran, Sunnah, dan ijma’. Allah telah
mewajibkan pada hamba-Nya untuk berbuat jujur dan amanah dalam seluruh
perkara, sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

  


  
  

Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan


hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.” (Qa. at-Taubah [9] : 119)

Juga, firman-Nya ‘Azza wa Jalla,

    


  
… 

Artinya : “Sesungguhnya, Allah memerintahkan kamu untuk menyampaikan


amanah kepada orang yang berhak menerimanya…” (Qs. an-Nisa [4] : 58)

179
Ketika maksud dari muamalah adalah mendapatkan usaha dan keuntungan,
sehingga terkadang membawa manusia untuk berdusta dan berkhianat, maka
Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan hamba-Nya untuk berbuat jujur,
amanah, dan menjelaskan perkaranya dengan benar.

Allah Ta’ala berfirman,

 
 
 
 
  
   
   
 

Artinya : “… Maka, sempurnakanlah takaran dan timbangan dan janganlah


kamu kurangkan bagi manusia barang-barang takaran dan timbangannya.
Jangan pula kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan
memperbaikinya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, jika kamu benar-
benar orang-orang yang beriman.” (Qs. al-A’raf [7] : 85)

Juga, firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala,

   


  
… 
Artinya : “… Akan tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang
lain, maka hendaklah orang yang dipercayai itu menunaikan amanahnya
(utangnya)….” (Qs. al-Baqarah [2] : 283)

Demikian juga, perintah menunaikan akad-akad transaksi, seperti dalam


firman-Nya ‘Azza wa Jalla ,

 
 
…. 

Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu…” (Qs.


al-Maidah [5] : 1)

Kesemua ayat-ayat ini menunjukkan bahwa dasar muamalah adalah kejujuran


dan amanah.

180
Sedangkan, Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
memerintahkan hal ini banyak sekali, di antaranya adalah hadits Hakim bin
Hizam radhiyallahu ‘anhu yang berbunyi,

‫ي ِ َع ْن‬ ِّ ِ‫صلَّى النَّب‬


َ ُ‫ّللا‬ َّ ‫سلَّ َم َعلَ ْي ِه‬ ِ َ‫ار ْالبَيِِّع‬
َ ‫ان قَا َل َو‬ ِ َ‫صدَقَا فَإ ِ ْن يَتَفَ َّرقَا َحتَّى قَا َل أ َ ْو يَتَفَ َّرقَا لَ ْم َما بِ ْال ِخي‬
َ ‫ُوركَ َوبَ َّينَا‬
ِ ‫ب‬
ْ َ‫َب ْي ِع ِه َما َب َر َكةُ ُم ِحق‬
‫ت َو َكذَ َبا َكتَ َما َو ِإ ْن َب ْي ِع ِه َما ِفي لَ ُه َما‬

Dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Jual-beli itu dengan
khiyar (hak pilih) selama belum berpisah–atau (beliau) menyatakan, ‘hingga
keduanya berpisah.’ Apabila keduanya jujur dan menjelaskan (keadaan
barangnya), maka berkah akan diberikan dalam jual-belinya, dan jika
keduanya menyembunyikan (aib) dan berdusta maka berkah dihapus dalam
jual-belinya.“ (Hr. al-Bukhari dan Muslim)

Demikian juga, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengancam dengan


ancaman berat bagi orang yang berdusta dalam muamalahnya, dalam
sabdanya,

‫ّللاُ يُك َِلِّ ُم ُه ْم َال ثَ َالثَة‬َّ ‫ظ ُر َو َال ْال ِق َيا َم ِة َي ْو َم‬


ُ ‫سو ُل فَقَ َرأَهَا قَا َل أ َ ِليم َعذَاب َولَ ُه ْم يُزَ ِ ِّكي ِه ْم َو َال ِإلَ ْي ِه ْم َي ْن‬ َّ ‫صلَّى‬
ُ ‫ّللاِ َر‬ َ
َ
َّ ‫سل َم َعل ْي ِه‬
ُ‫ّللا‬ َّ َ ‫ث َو‬ َ
َ ‫ارا ث َال‬ َ َ
ً ‫سو َل يَا ُه ْم َم ْن َو َخس ُِروا خَابُوا ذ ٍ ِّر أبُو قَا َل ِم َر‬ ُ ‫ّللاِ َر‬ َّ ‫ْال ُم ْسبِ ُل قَا َل‬
ُ‫ف ِس ْل َعتَهُ َو ْال ُمنَ ِفِّ ُق َوا ْل َمنَّان‬ ِ ‫ب ِب ْال َح ِل‬
ِ ‫ْالكَا ِذ‬

“Ada tiga orang yang tidak diajak bicara dan tidak dilihat oleh Allah di hari
kiamat, serta yang tidak disucikan dan yang mendapat adzab yang pedih. Lalu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkannya tiga kali. Abu Dzar
bertanya, ‘Mereka telah rugi dan menyesal. Siapakah mereka wahai
Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Orang yang berpakaian melebihi mata kaki
(al-musbil), orang yang mengungkit pemberiannya (al-mannan), dan orang
yang menutupi barang dagangannya dengan sumpah dan dusta.’ ” (Hr.
Muslim)

Tidak cukup dengan itu saja, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun melarang
kebohongan dalam muamalah, sebagaimana beliau menegur pedagang yang
menutupi aib barang dagangannya dengan menyatakan,

‫ب يَا َهذَا َما‬ َ ‫اح‬


ِ ‫ص‬ َ ‫طعَ ِام‬ َّ ‫صابَتْهُ قَا َل ال‬
َ َ‫س َما ُء أ‬
َّ ‫سو َل يَا ال‬ َّ ‫طعَ ِام فَ ْوقَ َجعَ ْلتَهُ أَفَ َال قَا َل‬
ُ ‫ّللاِ َر‬ َّ ‫ي ال‬
ْ ‫يَ َراهُ َك‬
ُ َّ‫َش َم ْن الن‬
‫اس‬ َّ ‫ْس غ‬َ ‫ي‬َ ‫ل‬ َ ‫ف‬ ‫ي‬ ِّ ‫ن‬
ِ ‫م‬
ِ

“Apa ini wahai pedagang makanan?” Pedagang itu menjawab, “Terkena hujan,
wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Mengapa tidak kamu taruh makanan
tersebut di atas agar orang melihatnya? Barangsiapa yang berbuat bohong
maka (dia) bukan (bagian) dariku.” (Hr. Muslim)

Hadits ini, mencakup semua jenis muamalah, baik berupa jual-beli, sewa-
menyewa, syarikat, dan yang lainnya.

Kaidah dasar dalam kewajiban jujur dan amanah dalam muamalah


disampaikan oleh Imam al-Ghazali rahimahullahu dalam pernyataan beliau,

181
َّ ‫ام ُل فَالَ قَ ْل ِب ِه َعلَى وثقل َعلَ ْي ِه‬
‫شق ِب ِه عومل َما فَ ُك ُّل ِل َن ْف ِس ِه ي ُِحبُّ َما ِإالَّ ِأل َ ِخ ْي ِه ي ُِحبُّ أال‬ ِ ‫أَخَاهُ ِب ِه يُ َع‬

“Menginginkan untuk saudaranya seperti yang ia inginkan untuk dirinya,


sehingga semua muamalah yang membuatnya susah dan menyusahkan
hatinya, janganlah dilakukan untuk saudaranya.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

َ‫ِلنَ ْف ِس ِه ي ُِحبُّ َما ِأل َ ِخ ْي ِه ي ُِحبَّ َحتَّى أَ َحدُ ُك ْم يُؤْ ِمنُ ال‬

“Tidaklah sempurna keimanan seorang mukmin hingga ia mencintai untuk


saudaranya segala sesuatu yang ia cintai untuk dirinya sendiri.” (Hr. Bukhari
dan Muslim)

Perinciannya disampaikan al-Ghazali dalam pernyataan beliau,

“Adapun jujur dan amanah dalam muamalah perinciannya, ada empat


hal, yaitu:
1. Tidak memuji barang dagangannya dengan berlebihan (tidak memuji
dengan mengungkapkan keunggulan yang tidak terdapat pada barang
dagangannya).
2. Jangan menyembunyikan aibnya dan sifat-sifat jeleknya, sedikit pun.
3. Jangan menyembunyikan berat dan ukurannya, sedikit pun.
4. Jangan menyembunyikan harganya, yang seandainya orang yang ia
muamalahi mengetahuinya tentulah ia tidak akan mau (membelinya).”

Demikianlah, kewajiban jujur dan amanah dalam muamalah, sehingga imam


Ahmad rahimahullahu melarang berdiplomasi dalam jual-beli, karena berisi
tadlis (penyembunyian aib) dan tidak menjelaskan keadaan barangnya dengan
seharusnya. Hal ini tidaklah khusus hanya dalam jual-beli saja, bahkan bersifat
umum dalam semua muamalah.

Ibnu Taimiyah rahimahullahu menyatakan, “Semua yang wajib dijelaskan,


maka diharamkan untuk dilakukan diplomasi atasnya, karena itu adalah
penyembunyian (hakikat) dan tadlis (penyembunyian aib).”

8. Kaidah Saddu Adz Dzari’ah dan Pembatalan Al Hielah

َ ِ‫طا ُل َو الذَّ َرائِع‬


(ُّ‫سد‬ ْ
َ ‫)ال ِحيَ ِل إِ ْب‬

Definisi “Saddu adz-Dzari’ah” (‫)الذرائع سد‬

Kata (‫ )السد‬dalam etimologi bahasa Arab, bermakna: menutupi kekurangan,


menyumbat lubang, dan menahan sesuatu. Sedangkan, kata (‫ )الذرائع‬adalah
bentuk plural dari kata (‫)ذريعة‬, yang berarti wasilah (sarana).

Dalam terminologi, para ulama mengungkapkannya dengan beberapa


ungkapan yang hampir serupa:

182
Ibnul ‘Arabi rahimahullahu menyatakan, “Semua amalan yang tampaknya
diperbolehkan, namun dapat mengantar kepada perkara yang dilarang.”

Ibnu an-Najjar rahimahullahu menyatakan, “Semua yang tampak (zahir-nya)


mubah, namun mengantarkan kepada perkara yang diharamkan.”

Asy-Syaukani rahimahullahu menyatakan, “Ia adalah masalah yang tampak


(zahir-nya) mubah dan menjadi sarana kepada perbuatan terlarang.”

Kalau demikian, maka pengertian “saddu adz-dzari’ah” adalah:

(‫)لها دفعًا و الفساد لمادة حس ًما محرم إلى بها يتوصل والتي مباح ظاهرها التي الوسائل منع‬

“Melarang sarana-sarana, yang zahir-nya mubah dan dapat menjadi sarana


kepada keharaman, untuk mencegah kerusakan dan menolaknya.”

Pembagian Kaidah Saddu adz-Dzara`i

Adz-dzara`i dalam tinjauan pernyataan para ulama, terbagi menjadi tiga, yaitu:

1. Ijma’ menyatakan wajib untuk mencegahnya dan itu terjadi pada perbuatan
yang menjadi sarana kerusakan dalam perkara agama dan dunia, karena
perbuatan tersebut memang menjadi sarana kerusakan secara pasti.
Contohnya, larangan minum minuman memabukkan, karena dia adalah sarana
yang mengantar kepada keadaan mabuk yang merusak akal. Demikian juga,
zina terlarang karena dia menjadi sarana ketidakjelasan dan kerusakan nasab.

2. Ijma’ menyatakan itu sebagai dzari’ah namun tidak wajib dicegah. Seperti,
menanam anggur adalah perbuatan yang tidak wajib dicegah, walaupun
mungkin ada orang yang membeli dan memiliki serta memerasnya untuk
dijadikan khamr. Demikian juga, berdempetan dalam membuat rumah yang
dapat menjadi sarana berbuat zina.

3. Yang masih diperselisihkan para ulama, yaitu sarana mubah yang


mengantar kepada keharaman secara mayoritas atau dominan.

Dalam masalah ini, pendapat para ulama dapat dikategorikan menjadi dua,
yaitu:
a. Harus dicegah (diberlakukan kaidah saddu adz-dzari’ah). Inilah pendapat
Mazhab Malikiyah dan Hanabilah.
b. Tidak memberlakukan kaidah ini. Inilah pendapat Mazhab Syafi’iyah dan
Hanafiyah. Namun, mereka pun tetap memberlakukan kaidah ini dalam
realitas dan aplikasinya pada ijtihad-ijtihad mereka, tetapi dimasukkan dalam
kaidah lainnya.

Yang rajih adalah pendapat pertama. Inilah yang dirajihkan oleh Syekhul
Islam Ibnu Taimiyah dalam pernyataan beliau, “Apabila dzari’ah-dzari’ah ini
mengantar kepada kerusakan (mafsadat) secara pasti (yakin) atau dominant,
maka syariat mengharamkannya secara mutlak.

183
Juga, Ibnul Qayyim rahimahullahu merajihkannya, hingga beliau menjelaskan
sembilan puluh sembilan dalil kewajiban saddu adz-dzari’ah, apabila
mengantar kepada keharaman. Kemudian, beliau menyatakan, “Bab Saddu
adz-Dzara`i adalah salah satu pokok penting taklif, karena taklif adalah
perintah dan larangan. Perintah itu ada dua jenis: pertama, yang dimaksudkan
(menjadi tujuan); kedua, yang menjadi wasilah kepada kerusakan (mafsadah).
Oleh karena itu, saddu adz-dzari’ah menjadi salah satu pokok penting agama.”

ُ ‫ض َوا ِب‬
Ketentuan Dasar Mengamalkan Kaidah Ini (‫ط‬ َ ‫)الذَّ َرائِع‬
َ ‫س ِدِّ قَا ِعدَة إِ ْع َما ِل فِ ْي‬

Saddu adz-dzara’i merupakan salah satu kaidah penting dalam agama,


sehingga para ulama memberikan ketentuan dasar dalam mengamalkan kaidah
ini. Ketentuannya adalah sebagai berikut:

1. Perbuatan yang diperbolehkan tersebut menjadi sarana kerusakan atau


kerusakan secara dominan.

(‫سا ِد إِلَى ُم َؤدِِّيا ً فِ ْي ِه ْال َمأْذ ُ ْونُ ْال ِف ْع ُل يَ ُك ْونَ أ َ ْن‬


َ َ‫لى أ َ ْو ْالف‬ َ ‫)غَا ِلبَةً َم ْف‬
َ ِ‫سدَةٍ إ‬

“Apabila perbuatan tersebut menjadi sarana kerusakan dalam keadaan kadang-


kadang dan tidak dominan, maka perbuatan tersebut tidak dilarang dan dia
tetap pada hukum asalnya, tidak dibutuhkan untuk mencari dalil
kebolehannya.”

2. Mafsadah yang ditimbulkan dari perbuatan tersebut harus sama atau lebih
besar dari maslahatnya.

َ ‫سا ِويَةً ْال َمأْذُ ْو ِن ال ِف ْع ِل َع ْن النَّاتِ َجةُ ْال َم ْف‬


(‫سدَة ُ تَ ُك ْونَ أ َ ْن‬ ْ ‫)أ َ ْكث َ َر أ َ ْو ِل َم‬
َ ‫صلَ َحتِ ِه ُم‬

“Apabila maslahat melakukan perbuatan tersebut lebih besar dari mafsadat


yang timbul, maka tidak dilarang, sebab keberadaan syariat adalah untuk
mendapatkan maslahat dan memperbanyaknya, serta menghilangkan atau
mengurangi mafsadat.

Dari sinilah terdapat larangan mencaci-maki sesembahan orang kafir musyrik


di hadapan mereka, dalam firman Allah,

  


   
  
   
  
   
 
  


184
Artinya : “Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka
sembah selain Allah, karena nantinya mereka akan memaki Allah dengan
melampaui batas, tanpa pengetahuan. Demikianlah, Kami jadikan setiap umat
menganggap baik pekerjaan mereka. kemudian kepada Tuhan merekalah
kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka segala sesuatu yang
dahulu mereka kerjakan.” (Qs. al-An’am [ 6 ] : 108)

Padahal, ada kemaslahatannya. Itu karena mencaci , yaitu mencaci maki Allah
Subhanahu wa Ta’ala.

Dengan dasar ini, terdapat tiga kategori, antara lain:


a. Mafsadat yang timbul dari perbuatan tersebut sejajar dan sama dengan
maslahatnya, maka kaidah saddu adz-dzara`I berlaku.
b. Mafsadat yang timbul dari perbuatan tersebut lebih besar dari maslahat yang
timbul dari mencegahnya, maka kaidah ini berlaku.
c. Mafsadat yang timbul dari perbuatan tersebut lebih sedikit dari maslahatnya,
maka kaidah ini tidak berlaku.

3. Dalam mengamalkan kaidah ini, tidak disyaratkan adanya tujuan mukallaf


berbuat kerusakan, bahkan cukup dengan banyaknya tujuan itu secara adat,
sebab niat, atau tujuan tersebut pada umumnya tidak dapat dibuat baku, karena
masalah batin yang sulit dijadikan pedoman.

4. Semua yang dilarang dalam rangka saddu adz-dzara`I menjadi


diperbolehkan apabila terdapat kebutuhan. Contohnya, melihat wanita yang
bukan mahram (an-nazhar) bagi orang yang akan melamar wanita tersebut.
Juga, dokter yang melihat lawan jenisnya. Dikarenakan oleh adanya hajat
(kebutuhan), maka kedua hal ini diperbolehkan apabila aman dari mafsadat.

Berbicara tentang saddu adz-dzara`i tidak lepas dari pembicaraan tentang


pembatalan semua bentuk al-hilah (tipu muslihat dalam pembenaran yang
dilarang). Pembatalan al-hilah adalah bagian dari saddu adz-dzari’ah, karena
pengertian al-hilah adalah mengamalkan satu amalan yang tampaknya
diperbolehkan, untuk membatalkan satu hukum syar’I dan mengubahnya
secara zahir kepada hukum lainnya, atau tujuan menggugurkan kewajiban dan
menghalalkan keharaman dengan perbuatan yang tidak dimaksudkan kepada
keharaman dan tidak disyariatkan untuknya.

Ibnu Taimiyah menjelaskan hubungan antara kaidah saddu adz-dzari’ah


dengan ibthalul hiyal (pembatalan al-hilah), dengan menyatakan, “Kemudian,
dzari’ah ini ada yang mengantarkan kepada hal-hal yang terlarang, tanpa niat
dari pelakunya, dan ada juga yang kebolehannya mengantarkan kepada sarana
menuju keharaman. Bagian yang kedua ini menyerupai al-hilah. Terkadang
(dia) disertai al-hilah dan terkadang tidak, sebagaimana terkadang al-hilah
menggunakan dzari’ah (sarana) dan terkadang menggunakan sebab-sebab
yang hukum asalnya mubah dan bukan dzari’ah.

Dengan demikian, ada tiga klasifikasi:

185
1. Ia adalah dzari’ah yang digunakan untuk al-hilah, seperti menyatukan antara
jual-beli dengan utang.
2. Ia adalah dzari’ah, namun tidak digunakan untuk al-hilah, seperti: mencela
berhala, karena dia menjadi sarana (dzari’ah) mencela Allah; mencela
orangtua orang lain yang menjadi sarana orang tersebut untuk mencela orang
tuanya, walaupun tidak menjadi tujuan seorang mukmin.
3. Yang digunakan al-hilah dari hal-hal yang asalnya mubah, seperti menjual
nishab di pertengahan tahun agar lepas dari zakat; meninggikan harga untuk
menggugurkan asy-syuf’ah.

Ibnul Qayyim menyatakan, “Apabila anda menelaah syariat, tentulah anda


mendapati bahwa syariat membawa kaidah saddu adz-dzari’ah yang
mengantar pada keharaman. Itu kebalikan pembahasan pembatalan semua
bentuk al-hilah yang mengantar kepadanya. Al-hilah adalah sarana dan pintu
menuju keharaman, dan saddu adz-dzari’ah adalah lawannya. Kerananya,
antara keduanya ada kontradiksi yang besar. Syariat mengharamkan dzara’i
(sarana) walaupun sarana tersebut bukanlah tujuan yang dimaksudkan
keharamannya karena dzara’I tersebut mengantar kepada keharaman. Lalu,
bagaimana bila keharaman tersebut sebagai tujuan?

Jenis-jenis al-Hilah

Ada dua cara dalam pembagian al-hilah, menurut para ulama: pembagian versi
Ibnu Taimiyah dan muridnya (Ibnul Qayyim), serta pembagian versi asy-
Syathibi.

Pembagian al-Hilah versi Ibnu Taimiyah

Ibnu Taimiyah membagi al-hilah menjadi beberapa bagian, di antaranya:

Cara tersembunyi yang dipakai untuk memperoleh perkara terlarang. Hal ini
tidak diperbolehkan, dengan kesepakatan kaum muslimin, seperti: tipu
muslihat untuk bunuh diri, mengambil harta orang lain, merusak hubungan
antara dua orang, tipu muslihat setan dalam menyesatkan manusia, dan lain-
lain.

Demikianlah, delapan kaidah dasar yang penting dalam memahami fikih


muamalah maliyah, yang diringkas dari keterangan para ulama dan didasarkan
kepada al-Quran dan as-Sunnah. Mudah-mudahan, Allah Subhanahu wa
Ta’ala memberikan kepada kita kepahaman dalam masalah agama ini dan
menjadikan tulisan ini sebagai amalan shalih penulisnya. Tidak lupa penulis
memohon kepada pembaca makalah ini untuk mendoakannya dan keluarganya
dengan kebaikan dan ampunan Allah ‘Azza wa Jalla.

D. Hubungan Hukum Islam dengan Hukum Romawi


Ada 3 perbedaan pendapat tentang hukum Islam dengan hukum Romawi :

Golongan orientalis, Von Kremaer, Ignaz Golziher dan Amon, berpendapat


bahwa hukum Islam benar-benar dipengaruhi oleh hukum Romawi. Amon
menyatakan bahwa syari’at Islam adalah hukum Romawi Timur yang sudah

186
mengalami perubahan-perubahan dalam penyesuaiannya dengan masalah-
masalah politik negara-negara Arab yang menjadi jajahannya.
Golongan sarjana Muslim, Faiz al-Kuhri, Arif al-Naqdi, dan Syaikh
Muhammad Sulaiman, berpendapat bahwa hukum Islam sama sekali tidak
dipengaruhi oleh hukum Romawi, sebab hukum Islam
dipraktikkan/diundangkan lebih dahulu daripada hukum Romawi, yakni
hukum Romawi timbul setelah sarjana Barat mempelajari hukum Islam.
Golongan moderat, Sayyid Muhammad Hafidz Shabri, Ahmad Amin, dan
Syafiq Syahanah, berpendapat bahwa kedua pendapat diatas memiliki nilai
kebenaran dan juga memiliki nilai kesalahan.
Menurut Abdul Madjid hukum Islam dan hukum Romawi terdapat perbedaan-
perbedaan yang menonjol, antara lain :

Kedudukan wanita Romawi di bawah perintah kekuasaan kaum laki-laki


selama hidupnya, wanita sama sekali tidak mempunyai hak untuk melakukan
transaksi-transaksi harta kekayaan tanpa izin suami, sedangkan dalam hukum
Islam tidak seketat itu walaupun harus diakui ada batasan-batasannya.

Pemindahan hutang (hiwalah) dalam hukum Romawi dilarang, sedangkan


dalam hukum Islam dibolehkan menurut semua madzhab.

PERTEMUAN KE XI ; PERNIKAHAN DAN PROBLEMATIKANYA

A. `PENGERTIAN PERKAWINAN/NIKAH SIRRI

Dalam bahasa Indonesia istilah pernikahan sering disebut juga perkawinan.


Perkawinan berasal dari kata “kawin” yang menurut bahasa artinya
membentuk keluarga dengan lawan jenis; melakukan hubungan kelamin atau
bersetubuh. Sedangkan Nikah menurut bahasa artinya mengumpulkan,
saling memasukkan, dan digunakan untuk arti bersetubuh (wathi). Kata
“nikah” sering dipergunakan untuk arti persetubuhan, juga untuk arti akad
nikah.

Sedangkan kata Sirri berasal dari bahasa Arab “Sirr” yang berarti rahasia.
Dengan demikian beranjak dari arti etimologis, nikah sirri dapat diartikan
sebagai pernikahan yang rahasia atau dirahasiakan. Dikatakan sebagai
pernikahan yang dirahasiakan karena prosesi pernikahan semacam ini sengaja
disembunyikan dari public dengan berbagai alasan, dan biasanya dihadiri
hanya oleh kalangan terbatas keluarga dekat, tidak dipestakan dalam bentuk
resepsi walimatul ursy secara terbuka untuk umum.

Nikah sirri sebagaimana tersebut di atas, maka setidaknya ada 3 (tiga) bentuk
atau model nikah sirri yang dilakukan dalam masyakat, yaitu:
Pertama: pernikahan antara seorang pria dengan seorang wanita yang sudah
cukup umur yang dilangsungkan di hadapan dan dicatat oleh Pegawai
Pencatat Nikah namun hanya dihadiri oleh kalangan terbatas keluarga dekat,
tidak diumumkan dalam suatu resepsi walimatul ursy. Pernikahan model ini
sengaja dilakukan secara diam-diam (sirri) dengan alasan misalnya calon

187
suami isteri tersebut dua-duanya mendapat tugas belajar S2 ke luar negeri
secara mendadak, sehingga untuk menjaga kehalalan hubungan mereka
selama menjalani studi mereka segera dinikahkan secara sederhana di
hadapan PPN.
Kedua, pernikahan antara seroang pria dan seorang wanita yang masih di
bawah umur menurut undang-undang, kedua-duanya masih bersekolah.
Pernikahan ini atas inisiatif dari orang tua kedua belah pihak yang sepakat
menjodohkan anak-anak mereka dengan tujuan untuk lebih memastikan
perjodohan dan menjalin persaudaraan yang lebih akrab. Biasanya setelah
akad nikah mereka belum kumpul serumah dulu. Setelah mereka tamat
sekolah dan telah mencapai umur perkawinan, lalu mereka dinikahkan lagi
secara resmi di hadapan PPN yang menurut istilah jawa disebut “munggah”.
Pernikahan semacam ini pernah terjadi di sebagian daerah di Jawa Tengah
pada tahun 1970an ke bawah.
Ketiga, model pernikahan antara seroang pria dan seroang wanita yang sudah
cukup umur menurut undang-undang akan tetapi mereka sengaja
melaksanakan perkawinan ini di bawah tangan, tidak dicatatkan di KUA
dengan berbagai alasan. Pernikahan ini mungkin terjadi dengan alasan
menghemat biaya, yang penting sudah dilakukan menurut tatacara agama
sehingga tidak perlu dicatatkan di KUA. Atau mungkin, walaupun orang kaya
akan tetapi tidak mau repot dengan berbagai macam urusan aministrasi dan
birokrasi sehingga lebih memilih nikah sirri saja. Pernikahan semacam ini
juga mungkin terjadi, misalnya dalam beberapa kasus kawin poligami liar,
pernikahan dilaksanakan tidak di hadapan dan dicatat oleh PPN karena tanpa
sepengetahuan isteri pertama.
Dari tiga model pernikahan sirri tersebut di atas, pernikahan sirri model
terakhir adalah yang paling relevan dengan topic bahasan dalam tulisan ini.
Dengan demikian, yang dimaksud dengan Nikah Sirri dalam tulisan ini ialah
suatu pernikahan yang tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama atau
dengan kata lain disebut dengan Nikah di bawah tangan.

B. HUKUM MELAKUKAN PERKAWINAN

Surat An-Nisa ayat 3 yang berbunyi :


   
  
   
 
   
  
   
   
  
3. Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian
jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil[265], Maka (kawinilah)
seorang saja[266], atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu
adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.

188
[265] Berlaku adil ialah perlakuan yang adil dalam meladeni isteri seperti pakaian, tempat,
giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriyah.
[266] Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. sebelum turun ayat ini
poligami sudah ada, dan pernah pula dijalankan oleh Para Nabi sebelum Nabi Muhammad
s.a.w. ayat ini membatasi poligami sampai empat orang saja.

Ibnu Rusyd menjelaskan bahwa segolongan fuqaha’, yakni jumhur


(mayoritas ulama) berpendapat bahwa nikah itu hukukmnya sunnah.
Golongan zhahiriyah berpendapat bahwa nikah itu wajib. Para ulama
Malikiyah mutaakhirrin berpendapat bahwa nikah itu wajib untuk sebagian
orang, sunnah untuk sebagian lainnya dan mubah untuk segolongan yang
lain. Al-Jaziry mengatakan bahwa sesuai dengan keadaan orang yang
melakukan perkawinan, hukum nikah berlaku untuk hukum-hukum syara’
yang lima, adakalanya wajib, haram, makruh, sunnah (mandub) dan
adakalanya mubah. Ulama Syafiiyah mengatakan bahwa hukum asal nikah
adalah mubah, di sampaikan ada yang sunnat, wajib, haram dan makruh. Di
Indonesia umumnya memandang hukum asal melakukan perkawinan ialah
mubah. Hal ini banyak dipengaruhi oleh pendapat ulama Syafi’iyah. Untuk
mengetahui lebih jelas status masing-masing hukum nikah sesuai dengan
kondisi al ahkam al khamsah, berikut ini akan ditelaah secara sekilas:

1. Melakukan Perkawinan Yang Hukumnya Wajib


Bagi orang yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk kawin
dan dikhawatirkan akan tergelincir pada perbuatan zina seandainya tidak
kawin maka hukum melakukan perkawinan bagi orang tersebut adalah
wajib. Hal ini didasarkan pada rasionalitas hukum bahwa setiap muslim
wajib menjaga diri untuk tidak berbuat yang terlarang. Jikan penjagaan diri
itu harus dengan melakukan pernikahan, sedangkan menjaga diri itu wajib,
maka hukum melakukan pernikahan itu wajib sesuai dengan kaidah: Sesuatu
yang wajib tidak sempurna kecuali dengannya, maka sesuatu itu hukum
wajib juga.

2. Melakukan Perkawinan Yang Hukumnya Sunnah


Bagi orang yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk
melangsungkan perkawinan tetapi kalau tidak kawin tidak dikhawatirkan
berbuat zina, maka hukum melakukan perkawinan bagi orang tersebut
adalah sunnah.
3. Melakukan Perkawinan yang Hukumnya Haram
Bagi orang yang tidak mempunyai keinginan dan tidak mempunyai
kemampuan serta tanggungjawab untuk melaksanakan kewajiban-
kewajiban dalam rumah tangga sehigga bila melangsungkan perkawinan
akan terlantarlah dirinya dan isterinya, maka hukum melakukan perkawinan
bagi orang tersebut adalah haram.

4. Melakukan Perkawinan yang Hukumnya Makruh


Bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukan perkawinan
juga cukup mempunyai kemampuan untuk menahan diri sehingga tidak
memungkinkan dirinya terfgelincir berbuat zina sekiranya tidak kawin.
Hanya saja orang ini tidak mempunyai keinginan yang kuat untuk dapat
memenuhi kewajiban suami isteri dengan baik.

189
5. Melakukan Perkawinan Yang Hukumnya Mubah
Bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukannya, tetapi
apabila tidak melakukannya tidak dikhawatirkan akan berbuat zina dan bila
melakukannya juga tidak akan menterlantarkan isteri. Perkawinan orang
tersebut hanya didasarkan untuk memenuhi kesenangan bukan dengan
tujuan menjaga kehormatan agamanya dan membina keluarga sejahtera.

C. HIKMAH PERNIKAHAN

(Ar-ruum,[30] :21)

  


   
 
  
    
  
 
Allah SWT berfirman :
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
bagi kaum yang berfikir.”

Pernikahan menjadikan proses keberlangsungan hidup manusia didunia ini


berlanjut, dari generasi ke generasi berikutnya. Selain juga menjadi
penyalur nafsu birahi, melalui hubungan suami istri serta menghindari
godaan syetan yang menjerumuskan. Pernikahan juga berfungsi untuk
mengatur hubungan laki-laki dan perempuan berdasarkan pada asas saling
menolong dalam wilayah kasih sayang dan penghormatan muslimah
berkewajiban untuk mengerjakan tugas didalam rumah tangganya seperti
mengatur rumah, mendidik anak, dan menciptakan suasana yang
menyenangkan. Supaya suami dapat mengerjakan kewajibannya dengan
baik untuk kepentingan dunia dan akhirat.

Adapun hikmah yang lain dalam pernikahannya itu yaitu :


a). Mampu menjaga kelangsungan hidup manusia dengan jalan
berkembangbiak dan berketurunan.
b). Mampu menjaga suami istri terjerumus dalam perbuatan nista dan
mampu mengekang syahwat seta menahan pandangan dari sesuatu yang
diharamkan.
c), Mampu menenangkan dan menentramkan jiwa denagn cara duduk-
duduk dan bencrengkramah dengan pacarannya
.d). Mampu membuat wanita melaksanakan tugasnya sesuai dengan tabiat
kewanitaan yang diciptakan.[4]

190
D. TUJUAN PERNIKAHAN

1. Untuk Memenuhi Tuntutan Naluri Manusia Yang Asasi


`
Perkawinan adalah fitrah manusia, maka jalan yang sah untuk memenuhi
kebutuhan ini yaitu dengan aqad nikah (melalui jenjang perkawinan), bukan
dengan cara yang amat kotor menjijikan seperti cara-cara orang sekarang
ini dengan berpacaran, kumpul kebo, melacur, berzina, lesbi, homo, dan
lain sebagainya yang telah menyimpang dan diharamkan oleh Islam.

2. Untuk Membentengi Ahlak Yang Luhur

Sasaran utama dari disyari’atkannya perkawinan dalam Islam di antaranya


ialah untuk membentengi martabat manusia dari perbuatan kotor dan keji,
yang telah menurunkan dan meninabobokan martabat manusia yang luhur.
Islam memandang perkawinan dan pembentukan keluarga sebagai sarana
efefktif untuk memelihara pemuda dan pemudi dari kerusakan, dan
melindungi masyarakat dari kekacauan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda :
“Artinya : Wahai para pemuda ! Barangsiapa diantara kalian
berkemampuan untuk nikah, maka nikahlah, karena nikah itu lebih
menundukan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan
barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia puasa (shaum), karena
shaum itu dapat membentengi dirinya”.

3. Untuk Menegakkan Rumah Tangga Yang Islami

Dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa Islam membenarkan adanya


Thalaq (perceraian), jika suami istri sudah tidak sanggup lagi menegakkan
batas-batas Allah, sebagaimana firman Allah dalam ayat berikut :
“Artinya : Thalaq (yang dapat dirujuki) dua kali, setelah itu boleh rujuk
lagi dengan cara ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak
halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu yang telah kamu berikan
kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat
menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya
tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah
hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa
yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang
dhalim.”

Yakni keduanya sudah tidak sanggup melaksanakan syari’at Allah. Dan


dibenarkan rujuk (kembali nikah lagi) bila keduanya sanggup menegakkan
batas-batas Allah. Sebagaimana yang disebutkan dalam surat Al-Baqarah
lanjutan ayat di atas :

“Artinya : “Kemudian jika si suami menthalaqnya (sesudah thalaq yang


kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dikawin
dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu
menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami yang

191
pertama dan istri) untuk kawin kembali, jika keduanya berpendapat akan
dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah,
diterangkannya kepada kaum yang (mau) mengetahui “ .

Jadi tujuan yang luhur dari pernikahan adalah agar suami istri
melaksanakan syari’at Islam dalam rumah tangganya. Hukum
ditegakkannya rumah tangga berdasarkan syari’at Islam adalah wajib.

4. Untuk Meningkatkan Ibadah Kepada Allah

Menurut konsep Islam, hidup sepenuhnya untuk beribadah kepada Allah


dan berbuat baik kepada sesama manusia. Dari sudut pandang ini, rumah
tangga adalah salah satu lahan subur bagi peribadatan dan amal shalih di
samping ibadat dan amal-amal shalih yang lain, sampai-sampai
menyetubuhi istri-pun termasuk ibadah (sedekah).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Artinya : Jika kalian bersetubuh dengan istri-istri kalian termasuk sedekah


!. Mendengar sabda Rasulullah para shahabat keheranan dan bertanya :
“Wahai Rasulullah, seorang suami yang memuaskan nafsu birahinya
terhadap istrinya akan mendapat pahala ?” Nabi shallallahu alaihi wa
sallam menjawab : “Bagaimana menurut kalian jika mereka (para suami)
bersetubuh dengan selain istrinya, bukankah mereka berdosa .? Jawab para
shahabat :”Ya, benar”. Beliau bersabda lagi : “Begitu pula kalau mereka
bersetubuh dengan istrinya (di tempat yang halal), mereka akan
memperoleh pahala !” .

5. Untuk Mencari Keturunan Yang Shalih

Tujuan perkawinan di antaranya ialah untuk melestarikan dan


mengembangkan bani Adam, Allah berfirman :
“Artinya : Allah telah menjadikan dari diri-diri kamu itu pasangan suami
istri dan menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu, anak-anak dan cucu-
cucu, dan memberimu rezeki yang baik-baik. Maka mengapakah mereka
beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah ?”.
Dan yang terpenting lagi dalam perkawinan bukan hanya sekedar
memperoleh anak, tetapi berusaha mencari dan membentuk generasi yang
berkualitas, yaitu mencari anak yang shalih dan bertaqwa kepada
Allah.Tentunya keturunan yang shalih tidak akan diperoleh melainkan
dengan pendidikan Islam yang benar.

E. Memilih Jodoh Menurut Islam

Setiap orang yang berumah tanggah tentu mengharapkan keluarganya akan


menjdi keluarga yang sakinah mawadah warakhmah. Kehidupan rumah
tangganya dapat menjadi surga didunia dapat menjadi diri dan keluarganya.
Apalagi pada saat ini banyak sekali kasus peceraian keluarga dijumpai
ditengah-tengah masyakat yang semakin berkembang ini. Alasan dalam

192
peceraian itu bermacam-macam, dari alas an pendapatan istri lebih besar
dari pada suami, selingkuh dengan adanya orang ke tiga, kekerasan dalam
rumah tanggah, dan lain-lain.
Maka dari itu dalam membanggun mahligai surge rumah tangga persiapan
awal harus dilakukan pada saat memilih jodoh. Islam mengangjurkan
kepada umatnya ketika mencari jodoh itu harus berhati-hati baik laki-laki
maupun perempuan, hal ini dikarenakan masa depan kehidupan rumah
tangga itu berhubungan sangat erat dengan cara memilih suami maupun
istri. Untuk itu kita sebagai umat muslim harus memperhatikan kriteria
dalam memilih pasangan hidup yang baik.
Dasar firman Allah SWT yang berbunyi :

“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-


orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan
hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan
memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas
(pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.”(An-Nisa’, 31)
Dan dari sabda Rasullah yang artinya :
“Dari Abu Hurairah RA, dari Nabi Muhammad SAW beliau bersabdah :
sesunguhnya seorang wanita itu dinikahi atas empat perkara, yaitu : harta,
nasab, kecantikan, dan agamanya, maka perolehlah yang mempunyai
agama maka akan berdeburlah tanganmu.”[6]
Dalam memilih istri hendaknya menjaga sifat-sifat wajib. Syeh jalaluddin
Al-qosimi Addimasya’i dalam kitab Al-mauidotul Mukminin
menyebutkan ada kriteria bagi laki-laki dalam memilih jodoh :
a) Baik agamanya : hendaknya ketika memilih istri itu harus
memperhatikan agama dari sisi istri tersebut.
b) Luhur budi pekertinya : seorang istri yang luhur budi pekertinya selalu
sabar dan tabah menghadapi ujian apapun yang akan dihadapi dalam
perjalanan hidupnya.
c) Cantik wajahnya : setiap orang laki-laki cenderung menyukai kecantikan
begitu pula sebaliknya. Kecantikan wajah yang disertai kesolehahhan
prilaku membuat pasangan tentram dan cenderung melipahkan kasih
sayangnya kepadanya, untuk sebelum menikah kita disunahkan untuk
melihat pasangan kita masing-masing.
d) Ringan maharnya : Rasullullah bersabda : “salah satu tanda keberkahan
perempuan adalah cepat kawinnya, cepat melahirkannya, dan murah
maharnya.
e) Subur : artinya cepat memperoleh keturunan dan wanita itu tidak
berpenyakitan.
f) Masih perawan : jodoh yang terbaik bagi seorang laki-laki perjaka
adalah seorang gadis. Rasullullah pernah mengikatkan Jabbir RA yang akan
menikahi seorang janda : “alangkah baiknya kalau istrimu itu seorang
gadis, engkau dapat bermain-main dengannya dan ia dapat bermain-main
denganmu.”
g) Keturunan keluarga baik-baik : dengan sebuah hadist Rasullallah
besabda : “jauhilah dan hindarkan olehmu rumput mudah tumbuh ditahi
kerbau”. Maksudnya : seorang yang cantik dari keturunan orang-orang
jahat.

193
h) Bukan termasuk muhrim : kedekatan hubungan darah membuat sebuah
pernikahan menjadi hambar, disamping itu menurut ahli kesehatan
hubungan darah yang sangat dekat dapat menimbulkan problem genetika
bagi keturunannya.

Dalam memilih calon suami bagi anak perempuan hendaknya memilih


orang yang memiliki akhlak, kehormatan dan nama baik. Dengan demikian
jika ia menggauli istrinya maka istrinya maka ia menggaulinya dengan
baik, jika menceraikan maka ia menceraikan dengan baik.

Rasullah bersabda :”barang siapa mengawinkan anak perempuannya denga


orang yang fasik makasungguh dia telah memutuskan hubungan
persaudaraan.”
Seorang laki-laki berkata kepada hasan bin ali, “sesungguhnya saya
memiliki seorang anak perempuan maka siapakah menurutmu orang cocok
agar saya dapat menikahkan untuknya ?” hasan menjawab :”nikahkanlah
dia dengan seorang yang beriman kepada Allah SWT, jika ia mencintainya
maka dia akan memuliahkannya dan jika dia membencinya maka dia tidak
mendoliminya.

Rukun & Syarat Sah Nikah


Rukun nikah
Pengantin lelaki (Suami)
Pengantin perempuan (Isteri)
Wali
Dua orang saksi lelaki
Ijab dan kabul (akad nikah) * singkatan S.I.S.W.A.

Syarat Sah Nikah

Syarat bakal suami


Islam
Lelaki yang tertentu
Bukan lelaki mahram dengan bakal isteri
Mengetahui wali yang sebenar bagi akad nikah tersebut
Bukan dalam ihram haji atau umrah
Dengan kerelaan sendiri dan bukan paksaan
Tidak mempunyai empat orang isteri yang sah dalam satu masa
Mengetahui bahawa perempuan yang hendak dikahwini adalah sah
dijadikan isteri

Syarat bakal isteri


Islam
Perempuan yang tertentu
Bukan perempuan mahram dengan bakal suami
Bukan seorang khunsa
Bukan dalam ihram haji atau umrah
Tidak dalam idah
Bukan isteri orang

194
Syarat wali
Islam, bukan kafir dan murtad
Lelaki dan bukannya perempuan
Baligh
Dengan kerelaan sendiri dan bukan paksaan
Bukan dalam ihram haji atau umrah
Tidak fasik
Tidak cacat akal fikiran,gila, terlalu tua dan sebagainya
Merdeka
Tidak ditahan kuasanya daripada membelanjakan hartanya

Syarat-syarat saksi
Sekurang-kurangya dua orang
Islam.Berakal.Baligh.Lelaki.
Memahami kandungan lafaz ijab dan qabul
Dapat mendengar, melihat dan bercakap
Adil dan Merdeka

Syarat ijab
Pernikahan nikah ini hendaklah tepat
Tidak boleh menggunakan perkataan sindiran
Diucapkan oleh wali atau wakilnya
Tidak diikatkan dengan tempo waktu seperti mutaah (nikah kontrak
e.g.perkahwinan(ikatan suami isteri) yang sah dalam tempo tertentu seperti
yang dijanjikan dalam persetujuan nikah muataah)
Tidak secara taklik(tiada sebutan prasyarat sewaktu ijab dilafazkan)
* Contoh bacaan Ijab:Wali/wakil Wali berkata kepada bakal suami:"Aku
nikahkan/kahwinkan engkau dengan Diana Binti Daniel dengan mas
kahwinnya/bayaran perkahwinannya sebanyak RM 3000 tunai".

Syarat qabul
Ucapan mestilah sesuai dengan ucapan ijab
Tiada perkataan sindiran
Dilafazkan oleh bakal suami atau wakilnya (atas sebab-sebab tertentu)
Tidak diikatkan dengan tempoh waktu seperti mutaah(seperti nikah
kontrak)
Tidak secara taklik(tiada sebutan prasyarat sewaktu qabul dilafazkan)
Menyebut nama bakal isteri
Tidak diselangi dengan perkataan lain
* Contoh sebutan qabul(akan dilafazkan oleh bakal suami):"Aku terima
nikah/perkahwinanku dengan Diana Binti Daniel dengan mas
kahwinnya/bayaran perkahwinannya sebanyak RM 3000 tunai" ATAU
"Aku terima Diana Binti Daniel sebagai isteriku".

F. Wakil Wali/ Qadi

Wakil wali/Qadi adalah orang yang dipertanggungjawabkan oleh institusi


Masjid atau jabatan/pusat Islam untuk menerima tuntutan para Wali untuk
menikahkan/mengahwinkan bakal istri dengan bakal suami.Segala urusan
pernikahan,penyediaan aset pernikahan seperti mas kawin,barangan

195
hantaran(hadiah),penyedian tempat pernikahan,jamuan makan kepada para
hadirin dan lainnya adalah tanggungjawab pihak suami istri itu. Qadi hanya
perlu memastikan aset-aset itu telah disediakan supaya urusan pernikahan
berjalan lancar.Disamping tanggungjawabnya menikahi suami istri berjalan
dengan sempurna,Qadi perlu menyempurnakan dokumen-dokumen
berkaitan pernikahan seperti sertifikat pernikahan dan pengesahan suami
istri di pihak tertinggi seperti mentri agama dan administratif
negara.Untuk memastikan status resmi suami isteri itu sentiasa sulit dan
terpelihara.Qadi selalunya dilantik dari kalangan orang-orang alim(yang
mempunyai pengetahuan dalam agama Islam dengan luas) seperti
Ustaz,Muallim,Mufti,Sheikh ulIslam dan sebagainya.Qadi juga mesti
merupakan seorang laki-laki Islam yang sudah merdeka dan telah pubertas.

Perkawinan merupakan suatu ikatan yang sangat dalam dan kuat sebagai
penghubung antara seorang pria dengan seorang wanita dalam membentuk
suatu keluarga atau rumah tangga. Dalam membentuk keluarga tentunya
memerlukan suatu komitmen yang kuat diantara pasangan tersebut.
Sehingga dalam hal ini Undang-undang perkawinan No.1 tahun 1974 pada
pasal 2 ayat menyatakan bahwa suatu perkawinan dapat dinyatakan sah,
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan
pasangan yang melakukan pernikahan.

Pada dasarnya setelah membentuk keluarga, setiap pasangan


berkeinginan untuk hidup bahagia dan sejahtera. Tetapi seiring perjalanan
waktu terkadang timbul ketidakcocokan antara suami dan istri yang bisa
mengakibatkan perceraian. Hal ini bisa terjadi karena kesalah pahaman dan
perbedaan pandangan, terkadang salah satu pasangan mengambil langkah
aman demi keutuhan keluarga dengan cara menduakan pasangan atau
mempunyai dua keluarga. Bila memang tidak bisa dipertahankan lagi
keutuhan keluarga tersebut, bisa mengakibatkan perceraian yang dalam
pandangan agama dan keyakinan tidak disukai.

G. Hikmah Allah dibalik Penciptaan Laki dan Perempuan:

Allah al Hakim telah menciptakan Hawa bagi Adam, memiliki


kecenderungan dan perasaan tenteram kepadanya dan memberinya
beberapa spesifikasi yang dapat membantunya untuk menunaikan tugas
sebagai “rumah ketentraman”, sejak dari biologisnya: untuk melestarikan
keturunan umat manusia dan mengembangkan keturunan dengan
konsekunesinya : mengandung, melahirkan dan menyusui; sampai aspek
kejiwaannya menyangkut emosional dan kasih sayangnya; namun mudah
berubah-ubah. Itulah kenyataan kaum wanita.
Manusia, bukanlah malaikat, yang tak pernah maksiat, melanggar
perintah, berdebat dan berselisih. Ia adalah manusia, disertai akal,
emosi, perasaan, kecenderungan, dan naluri. Oleh karena bisa akur, bisa
berselisih dan macam-macam. Begitu pula dalam hidup berumah tangga,
pasti mengalami berbagai ujian dan cobaan, dan inilah seni dari
kehidupan umumnya dan kehidupan keluarga khususnya.

196
Karakter wanita dengan kekhasannya tanpa batas yang jelas, sensitif, perasa
dan mudah berubah. Itulah karakter tulang rusuk, jika diluruskan (dengan
cara yang salah) akan patah, namun jika dibiarkan akan tetap bengkok, oleh
karena itu kata Nabi saw “berpesanlah kepada wanita dengan kebaikan”
(intisari kandungan HR Bukhari-Muslim, tentang diciptakannya Hawa dari
tulang rusuk Adam).
Terkadang perasaan wanita menundukkan sikap bijaknya dalam mengambil
keputusan, atau terkadang memunculkan perkataan atau perbuatan yang
tidak baik. Sikap inkar wanita yang menyebabkan banyaknya mereka
masuk neraka, justru bukan kekufuran terhadap Allah, akan tetapi inkar
(kufur nikmat) mereka terhadap suami dan terhadap kebaikan, begitu kata
Nabi saw, seperti terdapat dalam nash yang aartinya :

“Saya pernah ditampakkan neraka, segera yang tampak olehku adalah


penghuninya yang didominasi oleh kaum wanita yang kufur. Para sahabat
bertanya, “Apakah mereka itu kufur kepada Allah ? Jawab Nabi saw: (oh
bukan), mereka itu kufur (inkar) kepada suami dan kepada kebaikan (yang
diberikan olehnya). Jika engkau berbuat baik sepanjang waktu kepada salah
seorang dari mereka (isteri-isteri), kemudian ia mengalami satu (kejelekan
dari suami), dia mengatakan, “Rasanya aku tak pernah menyaksikan
kebaikan darimu sama sekali” (HR Bukhari Muslim).

Inilah karakter wanita, yang sering mempersulit dan mempersempit ruang


gerak dari suami, yang tidak sedikit berujung pada perselisihan dan
pertengkaran, dari yang sederhana sampai ke tingkat yang fatal. Pesana
Nabi kepada setiap suami singkat saja, yaitu “sabarlah dalam menghadapi
kondisi seperti ini, meneguhkan jiwa demi mencapai maslahat yang lebih
besar yaitu sakinah, mawaddah dan rahmah”.

Karakter labil wanita ini sangat ragam bagi setiap wanita, ada yang cukup
selesai dengan nasihat, ada yang mengharuskan pisah tidur, dan ada pula
yang memerlukan pemukulan (mendidik) yang tidak melukainya.

Oleh karena ada hal yang penting, mengingat besarnya mafsadat dari
sebuah perselisihan dan pertengkaran, yaitu dapat mencukur (mengikis
habis) keber-agamaan (din) seseorang, maka upaya ISHLAH
(mendamaikan keduanya) – Shalah dzatil bain- merupakan amal yang
berpahala besar, bahkan lebih besar dari pahala shaum, shalat dan
shadaqah. Begitu sabda Nabi saw. (HR. Tirmidzi), yang artinua :

“Maukah aku tunjukkan padamu sesuatu yang derajat (pahala) nya lebih
besar daripada shaum, shalat, dan shadaqah ? Mereka menjawab: Tentu saja
mau, lalu beliau bersbda: “Yaitu mendamaikan dua orang yang berselisih,
karena kerusakan akibat perselisihan dapat membabat habis (keber-
agamaan seseorang). HR Tirmidzi.

Jika antara dua muslim (orang lain) saja begitu besarnya kerusakan yang
ditimbulkan dari perselisihan, maka apatah lagi jika terjadi antara suami
dan isteri. Dan perlu anda ketahui, Iblis laknatullah selalu berusaha

197
mengganggu suami isteri untuk berselisih dan berpisah satu sama lainnya.
(HR Muslim, dari hadits Jabir). Ini menunjukkan target puncak iblis adalah
membuat kerusakan dari perselisihan antara suami dan isterinya, jauh lebih
dahsyat retaknya hubungan sesama muslim yang bukan suami-isteri.
Merupakan perbuatan keji dan hina serta merusak ukhuwwah, apabila
seseorang baik dengan perkataan maupun perbuatan mengarah kepada
rusaknya hubungan suami-isteri. Dalam hal ini Nabi saw bersabda :

Artinya : “Tidak termasuk golonganku orang yang merusak hubungan


seorang wanita dengan suaminya” (HR Abu Dawud)

Penyebab perselisihan yang terjadi antara suami dan isteri, bisa berasal dari
pihak isteri, bisa dari pihak suami, dan bahkan bisa dari keduanya. Yang
dalam bab nikah sering disebut dengan perselisihan tingkat pertama, tingkat
kedua, dan tingkat ketiga.
Imam Syafi'i pernah berpesan: "Aku mengadu pada Waqi (guruku),
tentang kesulitanku untuk mengahafal, maka ia menasehatiku untuk
tinggalkan kemaksiatan, ia juga memberitahuku bahwa ilmu itu cahaya, dan
cahaya Allah itu tidak diberikan pada ahli maksiat."

H. Perselisihan Suami-Isteri dan Solusinya:

Perselisihan Pada Tingkat Pertama:

Baik Isteri atau suami sebagai penyebabnya


Isteri yang kamu khawatirkan nuzyuznya, maka nasihatilah mereka dan
pisahkanlah mereka dari tempat tidur mereka dan pukullah. Jika mereka
menaatimu, janganlah kamu mempersulit jalan penyelesaiannya…
Begitulah pesan al Qur’an dalam surat an Nisa’: 34. Yang berbunyi :
  
  
   
  
 
 
  
   
 
 
 
  
  
    
   
Artinya : Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh
karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas
sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah
menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang

198
saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri[289] ketika
suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)[290].
wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya[291], Maka nasehatilah
mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah
mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu
mencari-cari jalan untuk menyusahkannya[292]. Sesungguhnya Allah Maha
Tinggi lagi Maha besar.
[289] Maksudnya: tidak Berlaku curang serta memelihara rahasia dan harta suaminya.
[290] Maksudnya: Allah telah mewajibkan kepada suami untuk mempergauli isterinya
dengan baik.
[291] Nusyuz: Yaitu meninggalkan kewajiban bersuami isteri. nusyuz dari pihak isteri
seperti meninggalkan rumah tanpa izin suaminya.
[292] Maksudnya: untuk memberi peljaran kepada isteri yang dikhawatirkan
pembangkangannya haruslah mula-mula diberi nasehat, bila nasehat tidak bermanfaat
barulah dipisahkan dari tempat tidur mereka, bila tidak bermanfaat juga barulah
dibolehkan memukul mereka dengan pukulan yang tidak meninggalkan bekas. bila cara
pertama telah ada manfaatnya janganlah dijalankan cara yang lain dan seterusnya.

Terapi selalu diberikan kepada mereka yang sakit, dan yang menjadi ukuran
bukanlah penderitanya, tetapi terletak pada cara penyembuhannya.
Untuk melihat apakah isteri telah melakukan nusyuz atau belum, maka
kiranya kita harus mengetahui kaidah umum kewajiban isteri atas
suaminya, dan ini menjadi pegangan bagi setiap isteri.

Kata Nabi bahwa kreteria isteri shalihah antara lain:


apabila engkau pandang, ia menyenangkanmu
apabila engkau perintah, ia akan menaatimu (dalam hal yang ma`ruf saja).
Apabila engkau sedang tak ada disampingnya, ia selalu pandai menjaga
dirinya dan hartamu. (HR Thabrani).
Penyimpangan isteri terhadap perihal di atas bisa dikategorikan nusyuz.
Walau setiap perselisihan ada jalan keluarnya dan dapat diselesaikan,
namun kita patut menjaga kaidah umum seperti : al wiqayah khairun minal
`ilaj (mencegah itu lebih baik daripada mengobati), dan mencegah mafsadat
itu lebih utama daripada mengharap maslahat (Daf`ul mafasid awla min
jalbil mashalih). Oleh karenanya kita perlu melakukan pencegahan dini
dengan langkah- langkah sbb:
memelihara hak-hak pergaulan (mu`asyarah bil ma`ruf)
berlapang dada, tak memperpanjang masalah kecil dan kesalahan-kesalahan
ringan, mengingat bahwa setiap kita tak pernah lepas dari kesalahan dan
kekurangan.
Suami hendaknya tidak membeberkan kesalahan isterinya dan menghitung-
hitungnya, serta tidak banyak mencelanya dalam hal yang dapat merusak
kasih sayang sesamanya.
Suami selayaknya tidak melupakan kebaikan-kebaikan isterinya ketika ia
melihat suatu perlakuan buruk darinya.
Memprediksi dan mewaspadai munculnya gejala perselisihan sejak dini.
Hendaklah suami memelihara diri dari sumpah yang dapat mengakibatkan
perselisihan dengan isterinya.
1. Artinya : (Janganlah suami mukmin membenci isterinya mukminah.
Jika ia tidak menyukai salah satu prilakunya, hendaknya ia masih menyukai
segi-segi lainnya), HR. Muslim.

199
2. `Artinya : (Apabila kamu bersumnpah dengan suatu sumpah, lalu
kamu melihat selainnya yang lebih baik darinya, maka hendaklah kamu
membayar kifarat untuk sumpahmu (yang kamu batalkan), dan lakukanlah
sesuatu yang lebih baik itu). HR Bukahri-Muslim.
Pemecahan dari al Qur’an untuk kasus pertama ini dapat disimpulkan sbb:
mau`izhah hasanah (nasihat yang baik): melunakkan hatinya dengan
mengingatkannya kepada Allah dan mengingatkannya kepada perjanjian
yang agung (akad nikah).
apabila isteri tetap berkeras kepala, sang suami memisahkan tempat
tidurnya namun masih tetap dalam satu rumah, bukan pulang ke
orangtuanya atau sejenisnya.
Jika tak juga berhasil, maka boleh menggunakan pemukulan. Pukulan yang
tidak menimbulkan luka (ghairul mubarrih), yang tidak mencederai badan
dan meretakkan tulang. Dalam hal ini Ali bin Thalhah dari Ibnu Abbas RA
berkata: Sang suami boleh membelakangi isterinya di tempat tidur, agar
jera. Jika tidak jera, Allah mengizinkan suami untuk memukulnya dengan
pukulan yang tidak mencederai dan mematahkan tulang. Jika tidak jera
juga, Allah telah menghalalkan fidyah (talak tebus) bagimu”. Dan juga
ingat, tidak bolehm memukul muka dan tidak banyak mencela.
Ada beberapa tipe wanita berkaitan dengan pendekatan nash diatas yang
sesuai dengan tipenya. Ada wanita bertipe sedikit sombong, yang tak suka
dengan nasihat kasar. Namun biasanya lebih senang dengan nasihat baik,
lembut dan santun. Ada pula wanita yang berperasaan halus, yang biasanya
tak cukup luluh dengan nasihat lembut. Untuk tipe wanita ini harus dengan
cara pisah tempat tidur, yang membuatnya rendah dan terhinakan. Langkah
kedua (pisah tidur) adalah tepat untuknya. Namun ada pula wanita yang
keras kepala, sehingga tak mempan dengan nasihat lembut maupun kasar,
dan juga dengan pisah tidur sekalipun tak merubah sikapnya. Peringatan
fisik dan pemukulan merupakan akhir penyelsaian dari tahap awal bagi
wanita tipe ini, tentu sesuai dengan kaidah pemukulan yang dibenarkan
oleh syariat..

Perselisihan Tingkat Kedua;

Yaitu menyangkut perselisihan seputar masalah yang substansial yang sulit


ditolerir.
Untuk perselisihan suami isteri tingkat kedua ini perlu pemecahan
komprehensif, seperti:
Memerlukan bantuan kerabat atau teman. Seyogyanya diusahakan
perselisihan ini diselesaikan dulu ditingkat suami isteri, dirahasiakan
dengan tanpa diketahui orang lain apalagi meminta bantuannya. Kecuali
apabila benar-benar mereka berdua mengalami jalan buntu. Seperti kasus
yang menimpa suami Barirah bernama Mughits, mereka berdua merasakan
betapa sulitnya menyelesaikan kasusnya, sehingga Nabi saw turun tangan
ikut memberi solusi, namun Barirah tetap menolak tawaran beliau.
Mengalah terhadap sebagian haknya, padahal tabiat manusia itu kikir,
seperti dituturkan surat An Nisa’ayat 128 (tentang wanita yang khawatir
nusyuz dari suaminya).
Bantuan Hakim, sebagaimana dituturkan dari surat an Nisa’ayat 35

200
Bolehnya memukul isteri yang membangkang, sebagaimana keterangan di
atas. Perhatikan ayat 34 surat an Nisa’ dengan sejumlahketerangannya dari
beberapa Kitab Tafsir.
Ada sejumlah keterangan hadits Nbai saw menyangkut peristiwa yang
menimpa di antara sahabat dalam problem perselisihan suami-isteri, kapan
dibolehkan memukul dan bagaimana ketentuan-ketentuan tentangnya.
Jabir berkata bahwa Rasulullah saw pernah berkhotbah (pada hari Arafah),
dimana beliau bersabda:
Artinya : Maka hendaklah kamu takut kepada Allah tentang wanita (isteri),
karena kamu telah mengabil mereka dengan amanat Allah, dan kamu telah
mendapatkan penghalalan terhadap kemaluan mereka dengan kalimat
Allah. Dan, hak kamu atas mereka ialah terlarang untuk memasukkan
seseorang pun untuk menginjak ranjangmu. Jika mereka berbuat
demnikian, maka pukullah dengan pemukulan yang tidak mencederai ..HR
Muslim
Sulaiman bin Amr al Ahwash berkata bahwa ayah bercerita kepadaku
bahwa dia menghadiri haji wada` bersama Rasulullah saw. Lalu Rasulullah
saw memuji Allah dan menyanjung Nya, kemudian memberikan peringatan
dan nasihat, sabdanya:

Artinya : Ingatlah, hendaklah kamu berpesan dengan kebaikan kepada


isteri-isterimu karena mereka adalah (sejenis) tawanan di sisimu. Kamu tak
menguasai sedikitpun dari mereka selain yang demikian, kecuali apabila
mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Jika mereka berbuat
demikian, maka tinggalkanlah mereka di tenpat tidur (pisah tidur) dan
pukullah mereka dengan pukulan yang tidak mencederai. Tetapi, apabila
mereka menaatimu, maka janganlah kamu berlaku berlebihan (cari-cari
alasan) untuk menyulitkan mereka. Ingatlah, sesungguhnya bagi kamu ada
hak atas isteri-isterimu dan isteri-isterimu juga ada hak atasmu. Hak kamu
atas iasteri-isterimu adalah mereka tidak boleh mengizinkan orang yang tak
kamu sukai untuk menginjak ranjangmu dan tidak boleh mengizinkan orang
yang tak kamu sukai masuk ke rumahmu. Ingatlah, hak mereka atas kamu
adalah kamu wajib memberikan kecukupan pakaian dan makanan. (HR
Tirmidzi)

Terkadang selisih usia antara suami dan isteri cukup jauh, sehingga seakan
isteri bagi suami bagaikan murid dan guru atau anak dan ayah. Apabila
kebolehan pemukulan ini harus terjadi, tentu carabnya harus seperti
lazimnya seorang ayah atau guru dalam mendidik dan mendisiplinkan
anaknya.
Jika nash-nash di atas menunjukkan kepada kita tentang kebolehan
memukul isteri, namun juga ada nash yang menganjurkan untuk
menjauhkan penggunaan tangan dalam menyelesaikan perselisihan dengan
isteri. Aisyah RA berkata:

Artinya : Rasulullah saw sama sekali tidak pernah memukul dengan


tangannya, baik terhadap isterinya maupun pembantunya, kecuali dalam
rangka berjihad di jalan Allah. Dan, tidak pernah dilakukan sesuatu
terhadap beliau lalu beliau membalas pelakunya, kecuali jika larangan-

201
larangan Allah dilanggar, lalu beliau membalas karena Allah `azza wa Jalla.
(HR Muslim)

Ada beberapa ketentuan syari` dalam memukul :

Pukulan dilakukan dengan lemah lembut


Pukulan harus menjauhi wajah
Tidak dengan pelampiasan emosi syaithaniyah
Menghentikannya jika menyebut Asma Allah, sebagai tanda penyesalan
dan taubat.
Tidak disertai caci makian.
Diantara nash yang menguatkan kaidah ini adalah sbb:

Artinya : Abdullah bin Zam`ah mendengarkan khotbah Nabi saw yang


menngingatkan kaum wanita dan menasihatinya: “Ada salah seorang di
antara kamu (suami) sengaja memukul isterinya seperti memukul budak,
padahal boleh jadi pada malam harinya dia menyetubuhinya… dan dalam
riwayat lain, “mengapa salah seorang di antara kamu (suami) memukul
isterinya seperti memukul binatang, sementara boleh jadi kemudian dia
memeluknya. (HR Bukhari-Muslim)
Penyamaan dengan budak dalam hadits ini adalah mengikuti adat jahiliyah,
sedangkan dalam Islam, maka budak itu tetap memiliki kemuliaan dan hak
yang banyak.

Abu Dzar al Ghiffari RA menceritakan bahwa Rasulullah saw bersabda:

Artinya : Sesungguhnya saudara-saudaramu ini adalah pembantu-


pembantumu yang telah Allah jadikan berada di bawah kekuasaanmu.
Maka, barangsiapa yang saudaranya berada di bawah kekuasaannya,
hendaklah ia memberinya makan dari apa yang ia makan dan memberinya
pakaian dari apa yang ia pakai. Dan janganlah kamu memberi pekerjaan
yang memberatkan mereka. Jika kamu memberikan pekerjaan yang
memberatkan mereka maka bantulah mereka (ringankan dengan tenaga,
pikiran dan fasilitas, pent) .. HR Bukhari-Muslim

Tentang perintah menjauhi wajah dalam memukul, Mu`awiyah bin Haidah


berkata, Ya Rasulullah, apakah hak isteri salah seorang dari kami atas
suaminya ? Beliau menjawab, “Yaitu engkau beri makan dia jika kamu
makan, engkau beri pakaian dia jika kamu berpakaian atau (engkau
mendapat penghasilan), jangan engkau pukul wajahnya, jangan engkau
jelek-jelekan (jangan kamu mencelanya), dan jangan engkau menjauhinya
kecuali masih tetap dalam satu rumah. (HR Abu Dawud)

Artinya : Nabi saw melarang seorang muslim mencaci maki muslim


lainnya, apalagi kepada isterinya atau sebaliknya,

Artinya : Mencaci maku seorang muslim itu perbuatan durhaka (fasiq)

Perselisihan Tingkat Ketiga

202
Yang dimaksud dengan perselisihan tingkat ketiga adalah perselisihan
suami isteri menyangkut perkara yang paling berat, rumit dan sangat kecil
kemungkinan untuk damai. Misalnya:
Adanya kebencian sangat pada salah satu pihak, kemarahan dan emosinal
yang tinggi, kecil kemungkinan untuk akur-bergaul dan damai. Salah
satunya atau kedua-keduanya mengaku tidak tahan lagi, tidak kuat lagi, dan
misal juga takut akan kekufurannya, dan perbuatan jahatnya ..
Salah satu pihak mengetahui kelemahan pihak lainnya yang begitu berat,
suatu kelemahan yang dapat merusak sumua perbuatannya (bisa pahamnya,
pikirannya, sikapnya, adat buruknya, tutur katanya, dll), namun ia tidak
mengakui kelemahannya yang parah ini. Misal saja, isteri yang begitu
mudah menerima kehadiran laki-laki lain, baik sebagai teman, ipar, se
profesi, menganggap biasa ikhtilath, pegang memegang, bergaul bebas, dan
mendekati ke arah yang lebih dari itu ….. Ibnu Abbas RA menceritakan
bahwa ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah saw, “Ya
Rasulullah, saya mempunyai isteri yang tidak menolak tangan lali-laki lain
yang menyentuhnya, “ Beliau bersabda, “ceraikanlah dia” (HR an Nasa’i..)

Artinya : Pengkhianatan salah satu pihak dengan melakukan perbuatan


zina.
Maka apabila perselisihan telah mencapai tingkat kondisi seperti ini, maka
tidak ada jalan lain kecuali perpisahan, perceraian atau khulu` (talak tebus).
Tentang Nusyuz yang timbul dari kedua belah pihak: Penjelasan QS 4: 35
Diatas telah disinggung masalah nusyuz, baik penyebabnya isteri ataupun
suami. Al Qur’an juga berbicara tentang nusyuz yang disebabkan oleh
kedua belah pihak.

I. ISTERI NUSYUZ (DURHAKA)

1) PENGERTIAN NUSYUZ
Suatu tindakan yang dilakukan oleh isteri yang dianggap menentang
kehendak suami dengan tidak ada alasan yang munasabah menurut hukum
syarak. Tindakan itulah dikira derhaka.

2) TANDA-TANDA ISTERI NUSYUZ


Di bawah ini dinyatakan beberapa gambaran yang menandakan seorang
isteri itu nusyuz :
1. Suami telah menyediakan rumah kediaman yang sesuai dengan keadaan
suami, tiba-tiba isteri tidak mau berpindah ke rumah itu, atau isteri
meninggalkan rumah tanpa izin si suami.
2. Apabila kedua suami tinggal di rumah kepunyaan isteri dengan izin
isteri kemudian suatu masa isteri mengusir atau melarang suami
memasuki rumah tersebut.
3. Apabila isteri musafir tidak bersama suami ataupun bukan bersama
muhramnya (orang yang haram berkahwin dengannya) walaupun
perjalanan yang wajib seperti pergi menunaikan ibadat haji, kerana
perempuan yang musafir tanpa diiringi suami atau muhrimnya dianggap
sudah melakukan satu perkara yang salah (maksiat).

203
4. Apabila isteri bermuka masam atau pun ia memalingkan muka,
bercakap kasar dan sebagainya sedangkan suami berkeadaan lemah
lembut, bermanis muka dan sebagainya.

3) PERKARA-PERKARA YANG PERLU DILAKUKAN APABILA


ISTERI NUSYUZ

Apabila suami melihat tanda-tanda yang menunjukkan isterinya itu


nusyuz, hendaklah suami itu :
Menasihati dengan cara yang baik dan menerangkan kepadanya
bahawa nusyuz itu adalah salah dan dikutuk oleh Allah serta
memberitahunya bahawa isteri yang nusyuz boleh dipotong atau tidak
diberi sara hidupnya, firman Allah(Surah An-Nisa: ayat 34) yang berbunyi
:
  
  
   
  
 
 
  
   
 
 
 
  
  
    
   
Artinya : Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh
karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas
sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah
menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang
saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri[289] ketika
suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)[290].
wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya[291], Maka nasehatilah
mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah
mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu
mencari-cari jalan untuk menyusahkannya[292]. Sesungguhnya Allah
Maha Tinggi lagi Maha besar.
[289] Maksudnya: tidak Berlaku curang serta memelihara rahasia dan harta suaminya.
[290] Maksudnya: Allah telah mewajibkan kepada suami untuk mempergauli isterinya
dengan baik.
[291] Nusyuz: Yaitu meninggalkan kewajiban bersuami isteri. nusyuz dari pihak isteri
seperti meninggalkan rumah tanpa izin suaminya.
[292] Maksudnya: untuk memberi peljaran kepada isteri yang dikhawatirkan
pembangkangannya haruslah mula-mula diberi nasehat, bila nasehat tidak bermanfaat
barulah dipisahkan dari tempat tidur mereka, bila tidak bermanfaat juga barulah

204
dibolehkan memukul mereka dengan pukulan yang tidak meninggalkan bekas. bila cara
pertama telah ada manfaatnya janganlah dijalankan cara yang lain dan seterusnya.

Dari ayat ini dapat difahamkan bahawa Allah menyuruh suami-suami


meninggalkan dari seketiduran sahaja, bukan meninggalkan percakapan,
kerana meninggalkan percakapan lebih dari tiga hari adalah haram, bukan
sahaja terhadap isteri-isteri malah terhadap orang lain juga berdasarkan
sabda Rasulullah SAW:
Artinya : Tidak halal bagi seseorang muslim tidak bercakap dengan
saudaranya lebih dari tiga hari. Maksudnya, ialah bila berjumpa di antara
satu sama lain, tetapi kalau tidak bertemuan, tidaklah diharamkan
walaupun tidak bercakap bertahun-tahun lamanya.
Jika tidak seketiduran pun tidak memberi apa-apa kesan, malah isteri
tersebut terus nusyuz, maka diharuskan bagi pihak suami memukul isteri
tersebut dengan syarat pukulan itu tidak sampai mencederakan atau
melukakan sebagaimana firman Allah :

  


  
   
  
 
 
  
   
 
 
 
  
  
    
   
Artinya : Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh
karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas
sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah
menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang
saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri[289] ketika
suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)[290].
wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya[291], Maka nasehatilah
mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah
mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu
mencari-cari jalan untuk menyusahkannya[292]. Sesungguhnya Allah
Maha Tinggi lagi Maha besar. (Q.S.An-Nisa [4] : 34)
[289] Maksudnya: tidak Berlaku curang serta memelihara rahasia dan harta suaminya.
[290] Maksudnya: Allah telah mewajibkan kepada suami untuk mempergauli isterinya
dengan baik.
[291] Nusyuz: Yaitu meninggalkan kewajiban bersuami isteri. nusyuz dari pihak isteri
seperti meninggalkan rumah tanpa izin suaminya.

205
[292] Maksudnya: untuk memberi peljaran kepada isteri yang dikhawatirkan
pembangkangannya haruslah mula-mula diberi nasehat, bila nasehat tidak bermanfaat
barulah dipisahkan dari tempat tidur mereka, bila tidak bermanfaat juga barulah
dibolehkan memukul mereka dengan pukulan yang tidak meninggalkan bekas. bila cara
pertama telah ada manfaatnya janganlah dijalankan cara yang lain dan seterusnya.

Dalam peringkat yang akhir ini, harus dilakukan oleh suami sekiranya
difikirkan dengan cara ini akan memberi kesan. Sebaliknya kalau
difikirkan tidak akan memberi kesan, maka tidaklah harus dilakukan.
Dalam hal ini, suami mestilah berhati-hati , supaya tidak terpukul di
tempat-tempat yang mendatangkan bahaya seperti muka, perut dan
sebagainya.
Wallahua’lam
Kemudian dalam surat an Nisa’ayat 35 berbunyi :
  
 
  
  
  
   
   
 
Artinya : Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya,
Maka kirimlah seorang hakam[293] dari keluarga laki-laki dan seorang
hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud
Mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri
itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
[293] Hakam ialah juru pendamai.

Berbicara tentang perselisihan suami isteri ini, yaitu nusyuz. Ibnu Katsir
mengatakan, “Al Qur’an telah menyebutkan suatu kondisi ketika nusyuz
timbul dari pihak isteri. Lalu al Qur’an menyebutkan kondisi lain, yaitu
apabila nusyuz berasal dari pihak suami dan isteri (I/564).
Pada kondisi ini (nusyuz timbul dari kedua belah pihak), Islam
menghendaki tidak ada campur tangan dari pihak luar (ketiga), sebab,
pertama di dalam hidup suami-isteri terdapat rahasia, dan Islam sangat
memelihara rahasia. Oleh karenya Allah menetapkan, perlunya dikirim
seorang hakim dari pihak isteri dan seorang hakim dari pihak suami.
Kedua hakim ini harus punya itikad untuk mendamaikan semampunya,
bukan berniat justru ingin menceraikannya. Kedua hakim harus
menjunjung prinsip cinta dan benci karena Allah, mendukung dan
menolak karena Allah. Oleh karenanya, masing-masing tidak boleh
membela kesalahan klien-nya dan menutupi kesalahanya, atau keras
kepala terhadap pendapat lawannya.

Ibnu Abbas Ra, Ali bin Abi Thalhah Ra mengatakan, :


“Allah SWT memerintahkan mereka untuk mengirimkan seorang laki-
laki yang shalih dari pihak suami dan dari pihak isteri untuk menyelidiki,

206
siapakah diantara keduanya yang salah, apakah suami apakah isteri ? Jika
pihak isteri yang salah, dia terhalang dari isterinya, dan nafakah
dikembalikan kepadanya. Dan jika yang salah pihak isteri, dia terhalang
dari suaminya, dan suaminya tidak boleh memberikan nafkah kepadanya.
Dan kedua belah pihak menghendaki untuk bercerai atau damai kembali,
kedua jalan itu boleh saja ditempuh. Jika kedua hakim sepakat agar
pasangan susmi iateri tersebut bersatu kembali, namun satu diantaranya
rela, sementara lainnya tidak menghendakinya, lalu salah satunya
meninggal dunia, maka pihak yang mau nersatu kembali mendapat hak
waris dari pihak yang tidak rela, sedang pihak lain yang tidak
menghendakinya tidak memperoleh hak waris dari pihak yang rela”
(Riwayat Ibnu Abi Hatim dan Ibnu Jarir, Lihat Tafsir Ibnu Katsir, I/493).
Ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan ketika melakukan
upaya Ishlah, antara lain:
pemeliharaan terhadap rahasia keluarga
usaha untuk tetap hidup di dalam keluarga
tidak tergesa-gesa untuk mengambil keputusan cerai
tidak ada pihak (keamanan sekalipun) menyeret sang isteri ke rumah yang
tak ia sukainya

Ketika perselisihan bersumber dari suami, Islam telah memberikan konsep


penyelesaian, yang sejalan dengan perasaan wanita, dimana isteri tidak
dituntut melakukan tahapan penyelesaian sebagaimana yang dituntut
kepada sang suami. Perhatikan firman Allah berikut: QS an Nisa’ : 128.
Yang berbunyi :
   
  
  
  
  
  
 
   
   
  

Artinya : Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz[357] atau sikap
tidak acuh dari suaminya, Maka tidak mengapa bagi keduanya
Mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya[358], dan perdamaian
itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya
kikir[359]. dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan
memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), Maka Sesungguhnya
Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
[357] Nusyuz: Yaitu meninggalkan kewajiban bersuami isteri. nusyuz dari pihak isteri
seperti meninggalkan rumah tanpa izin suaminya. nusyuz dari pihak suami ialah bersikap
keras terhadap isterinya; tidak mau menggaulinya dan tidak mau memberikan haknya.
[358] Seperti isteri bersedia beberapa haknya dikurangi Asal suaminya mau baik
kembali.

207
[359] Maksudnya: tabi'at manusia itu tidak mau melepaskan sebahagian haknya kepada
orang lain dengan seikhlas hatinya, Kendatipun demikian jika isteri melepaskan
sebahagian hak-haknya, Maka boleh suami menerimanya.

Caranya adalah: sang isteri diajak untuk mengadakan ishlah dengan


suaminya, dan dalam perjanjian tsb keduanya bersepakat untuk
meneruskan kehidupan sebagai suami isteri. Ini lebih baik daripada cerai,
karena aib baginya bila terjadi cerai. Manusia tabiatnya kikir, maka dari
itu ishlah disaat kikir itu lebih baik daripada cerai.

Semoga curahan rahmat dan hidayah senantiasa Allah curahkan untuk


keluarga kita, dan Dia memberikan ketabahan kepada kita dalam setiap
ujian rumah tangga dan selalu mendapat solusi terbaik pada setiap ada
perselisihan di antara suami-isteri.
Nasihat Nabi Muhammad Shallallahu `alaihi wasallam:
Pantas sebuah rumah tangga mendapat bala’ & ujian berat, manakala
suami kelewat cintanya kepada isterinya, sehingga menomorduakan ibu
kandungnya sendiri, dan rela membela temannya dari pada ayah
kandungnya sendiri:

1, Artinya : Apabila umatku telah mengerjakan 15 perkara (kedurhakaan)


maka pantas bagi mereka itu bala’ (ujian dan fitnah), yaitu …. Apabila
suami telah menaati isterinya (dalam benar dan salah) dan rela
mendurhakai ibunya sendiri, dan ia berbuat baik pada teman-temannya
namun berlaku kasar terhadap ayahnya sndiri. HR Tirmidzi dari Ali bin
Abi Thalib Ra.
Wajib Suami Mendahulukan Orangtua daripada Isterinya;

2, Artinya : Ibnu Umar Ra berkata, bahwa disisiku ada seorang isteri


yang aku menyayanginya, sementara Umar bin Khaththab Ra (ayahku)
tidak menyukainya (prilaku isteriku), lalu dia berkata: Ceraikanlah dia.
Kemudian aku mengadu kepada Rasulullah Saw dan menceritakan perihal
ini. Namun Rasulullah Saw dengan tegas mengatakan: Ceraikanlah dia.
(Shahih at Targhib wat Tarhiib, dan dalam Kitab Ath Thariq ilal Jannah).

Ingat bahwa orang yang harus dimuliakan dan ditinggikan derajatnya bagi
setiap laki-laki adalah Ibunya. Dan orfang yang paling harus dimuliakan
dan ditinggikan derajatnya bagi setiap wanita adalah suaminya. Bisa jadi
isteri yang selalu melawan suaminya (padahal di jalan yang benar), maka
kelak ia akan didurhakai oleh anaknya sendiri. Na`udzubillahi
miansyasyaithanirrajim.

3, Artinya : Siapakah manusia yang paling besar haknya bagi seorang


wanita (muslimah) ? Nabi menjawab: Suaminya. Lalu, siapakah orang
yang paling besar haknya bagi laki-laki ? Nabi menjawab: Ibunya. HR
Ahmad, An Nasai dan Shahih menurut Al Hakim)..

4, Artinya : Apabila seorang isteri (muslimah)0 telah menegakkan shalat


wajib yang lima waktu, telah memelihara kemaluannya, dan mentaati
suaminya, maka ia akan masuk surga dari pintu mana oleh Imam Ahmad

208
PROBLEMATIKA NIKAH SIRRI

A. PENDAHULUAN

Pada suatu sore hari Jumat tanggal 30 Oktober 2009, pimpinan memberi
tugas kepada penulis untuk membuat sebuah tulisan tentang problematika
nikah sirri. Tulisan tersebut harus sudah selesai hari Senin pagi tanggal 2
Nopember 2009 karena akan dibawa oleh pimpinan ke dalam forum rapat
kerja Pengadilan Agama se Sumut tahun 2009. Atas perintah tersebut
penulis merasa mendapat kehormatan sekaligus tantangan, sehingga
dengan segala keterbatasan dan minimnya waktu, penulis berusaha
sedemikian rupa sehingga tersusunlah makalah yang sangat sederhana ini.
Namun demikian penulis berharap bahwa sumbangan pemikiran yang
sedikit dan sederhana ini dapat memberi kontribusi sebagai makalah
pembanding dari sekian banyak aneka ragam makalah atau pemikiran
yang telah ada tentang problematika nikah sirri, yang dalam hal ini penulis
beri judul: Problematika Nikah Sirri Dalam Perspektif Hukum Positif Di
Indonesia”.
Pernikahan bagi umat Islam merupakan ikatan lahir batin antara seorang
laki-laki dan seorang perempuan sebagai suami isteri berdasar akad nikah
yang diatur dalam undang-undang dengan tujuan membentuk keluarga
sakinah atau rumah tangga yang bahagia sesuai hukum Islam. Pernikahan
adalah ikatan yang sangat kuat atau mitsaqon ghalidhan untuk mentaati
perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Oleh karena itu,
untuk menjaga kesucian lembaga perkawinan itu, maka perkawinan atau
pernikahan bagi umat Islam hanya sah apabila dilakukan menurut hukum
Islam dan keberadaannya perlu dilindungi oleh hukum negara.
Dalam perspektif hukum positif di Indonesia, perkawinan atau pernikahan
bagi umat Islam, di samping harus dilakukan menurut hukum Islam, juga
setiap perkawinan wajib dilangsungkan di hadapan dan dicatat oleh
Pejabat Pencatat Nikah menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Perkawinan yang tidak dilakukan sesuai dengan ketentuan
tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum (vide Ps. 2 UU No.1/1974 jo.
Ps.2 (1) PP. No.9/1975).
Pada kenyataannya tidak semua umat Islam Indonesia mematuhi
ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut, sehingga masih ada di
antara masyarakat muslim dengan berbagai alasan melakukan pernikahan
di bawah tangan, dalam arti pernikahan tersebut tidak dicatat oleh pejabat
yang berwenang untuk itu. Fenomena semacam ini dalam masyarakat kita
lebih dikenal dengan istilah nikah sirri.

B. PERMASALAHAN PERKAWINAN SIRRI

Kalau kita perhatikan uraian tentang hukum keadaan orang menikah yang
terdiri dari lima kategori hukum tersebut di atas, tidak ditemukan bahasan
larangan hukum nikah sirri atau nikah di bawah tangan. Dengan demikian,
hukum pernikahan sirri pada dasarnya juga tidak terlepas dari kategori
hukum perkawinan tersebut, yaitu adakalanya wajib, sunnah, makruh dan
sunnah. Sedangkan keadaan “sirri” dalam arti tidak dilangsungkan dan

209
dicatatkan di hadapan PPN bukan menjadi factor penyebab sah atau
tidaknya suatu perkawinan tersrebut.
Apabila kondisi seperti ini dihubungkan dengan ketentuan hukum
perkawinan di Indonesia, tentu tidak sejalan dengan semangat ketentuan
hukum positif Indonesia yang menentukan bahwa perkawinan di samping
harus dilakukan secara sah menurut tatacara agamanya juga harus dicatat
oleh pejabat yang berwenang (vide Ps. 2 ayat (1) dan (2) UU No.1
Th.1974, jo. Ps. 4 dan Ps.5 ayat (1) dan (2) KHI. Permasalahannya adalah,
bagaimanakah penerapan hukum perkawinan terhadap masayarakat
muslim Indonesia, dan bagaimana kedudukan nikah sirri dalam perspektif
hukum positif Indonesia?

1. Faktor Penyebab Nikah Sirri

Fenomena pernikahan di bawah tangan atau nikah sirri bagi umat Islam di
Indonesia masih terbilang banyak. Bukan saja dilakukan oleh kalangan
masyarakat bawah, tapi juga oleh lapisan masyarakat menengah keatas.
Kondisi demikian terjadi karena beberapa factor yang
melatarbelakanginya. Tentu saja untuk mengetahui berapa besar
persentase pelaku nikah sirri dan factor apa saja yang menjadi pemicu
terjadinya pernikahan sirri tersebut masih memerlukan penelitian yang
seksama. Akan tetapi secara umum nikah sirri dapat disebabkan oleh
beberapa factor, yaitu:

a. Kurangnya Kesadaran Hukum Masyarakat

Masih banyak di antara masyarakat kita yang belum memahami


sepenuhnya betapa pentingnya pencatatan perkawinan. Kalaupun dalam
kenyataannya perkawinan itu dicatatkan di KUA sebagian dari mereka
boleh jadi hanya sekedar ikut-ikutan belaka; menganggapnya sebagai
tradisi yang lazim dilakukan oleh masyarakat setempat; atau pencatatan
perkawinan itu hanya dipandang sekedar soal administrasi; belum
dibarengi dengan kesadaran sepenuhnya akan segi-segi manfaat dari
pencatatan perkawinan tersebut.
Permasalahannya ialah, mengapa begitu rendah kesadaran hukum
sebagian masyarakat kita, dan bagaimana upaya kita untuk meningkatkan
kesadaran hukum bagi mereka, semua itu tentu merupakan tanggung
jawab kita bersama. Kalau suatu kelompok masyarakat dalam suatu
wilayah hukum di Indonesia belum mempunyai kesadaran hukum yang
tinggi, hal ini tentu bukan semata-mata kesalahan masyarakat itu sendiri
melainkan juga disebabkan kurang maksimalnya peran dan upaya
lembaga pemerintahan yang ada, dalam hal ini Departeman Agama dan
Pemerintah Daerah setempat kurang intensif memberikan edukasi
terhadap masyarakat tentang betapa pentingnya mencatatkan perkawinan
mereka.
Di wilayah Kabupaten Tapanuli Utara, rendahnya kesadaran hukum
masyarakat akan pentingnya mencatatkan perkawinan dapat kita lihat di
beberapa desa yang mayoritas penduduknya muslim di Kecamatan Pahae
Jae, ternyata ada banyak masyarakat yang perkawinannya tidak dicatat
oleh KUA setempat. Hal ini dapat diketahui dengan jelas, dengan

210
banyaknya masyarakat yang mengajukan permohonan itsbat nikah ke
Pengadilan Agama setempat untuk mendapatkan pengesahan perkawinan
mereka secara hukum Negara.
Banyaknya perkara permohonan isbat nikah tersebut tidak terlepas dari
usaha pimpinan Pengadilan Agama Tarutung yang telah berupaya
mengadakan penyuluhan hukum terutama di daerah kecamatan tertentu
yang mayoritas masyarakatnya beragama Islam yaitu di Kecamatan Pahae
Jae. Melihat antusiasme masyarakat untuk mendapatkan pegnesahan nikah
mereka di Pengadilan Agama setelah memperoleh pemahaman hukum
tersebut, menunjukkan bahwa kesadaran hukum masyarakat justeru mulai
bangkit. Diharapkan dimulai dari meningkatnya kesadaran tersebut
merupakan awal yang baik bagi terciptanya kesadaran masyarakat secara
keseluruhan di kawasan daerah tersebut. Karena dengan kesadaran ini
setidaknya kalau mereka menikahkan anak-anaknya nanti tidak akan
mengulangi lagi kesalahan yang sama yang pernah mereka lakukan.
Dengan demikian, rendahnya tingkat kesadaran hukum masyarakat seperti
itu perlu ditingkatkan melalui kegiatan penyuluhan hukum baik secara
formal yang dilakukan oleh lembaga instansi terkait maupun secara
informal melalui para penceramah di forum pengajian majelis ta’lim dan
lain sebagainya.

b. Sikap Apatis Sebagian Masyarakat Terhadap Hukum

Sebagian masyarakat ada yang bersikap masa bodoh terhadap ketentuan


peraturan yang menyangkut perkawinan. Kasus pernikahan Syekh Puji
dengan perempuan di bawah umur bernama Ulfah sebagaimana terkuak di
media massa merupakan contoh nyata sikap apatis terhadap keberlakuan
hukum Negara. Dari pemberitaan yang ada, dapat kita pahami terdapat
dua hal yang diabaikan oleh Syekh Puji yaitu, pertama, pernikahan
tersebut merupakan poligami yang tidak melalui izin di pengadilan, dan
kedua, beliau tidak mau mengajukan permohonan dispensasi kawin
meskipun sudah jelas calon isteri tersebut masih di bawah umur.

Sikap apatisme semacam itu, terutama yang dilakukan oleh seorang public
figure, sungguh merupakan hambatan besar bagi terlaksananya
keberlakuan hukum. Karena apa yang dilakukan oleh seorang tokoh
biasanya akan dicontoh oleh mereka yang mengidolakannya. Oleh karena
itu penanganan secara hukum atas kasus yang menimpa Syekh Puji adalah
tepat agar tidak menjadi preseden yang buruk bagi bangsa Indonesia yang
saat ini sedang berusaha memposisikan supremasi hukum.

a. Ketentuan Pencatatan Perkawinan Yang Tidak Tegas

Sebagaimana kita ketahui, ketentuan pasal 2 UU No.1 / 1974 merupakan


azas pokok dari sahnya perkawinan. Ketentuan ayat (1) dan (2) dalam
pasal tersebut harus dipahami sebagai syarat kumulatif, bukan syarat
alternative sahnya suatu perkawinan. Dari fakta hukum dan/atau norma
hukum tersebut sebenarnya sudah cukup menjadi dasar bagi umat Islam
terhadap wajibnya mencatatkan perkawinan mereka. Akan tetapi
ketentuan tersebut mengandung kelemahan karena pasal tersebut multi

211
tafsir dan juga tidak disertai sanksi bagi mereka yang melanggarnya.
Dengan kata lain ketentuan pencatatan perkawinan dalam undang-undang
tersebut bersifat tidak tegas.
Itulah sebabnya beberapa tahun terakhir pemerintah telah membuat RUU
Hukum Terapan Pengadilan Agama Bidang Perkawinan yang sampai saat
ini belum disahkan di parlemen. Dalam RUU tersebut kewajiban
pencatatan perkawinan dirumuskan secara tegas dan disertai sanksi yang
jelas bagi yang melanggarnya.
Pasal 4 RUU menegaskan: setiap perkawinan wajib di catat oleh PPN
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kemudian
pasal 5 ayat (1) menyatakan: untuk memenuhi ketentuan pasal 4, setiap
perkawinan wajib dilangsungkan di hadapan PPN. Kewajiban pencatatan
sebagaimana ketentuan pasal 4 dan pasal 5 ayat (1) tersebut disertai
ancaman pidana bagi yang melanggarnya.
Ketentuan pidana yang menyangkut pelanggaran pencatatn perkawinan
tersebut dinyatakan dalam Pasal 141 RUU tersebut menyebutkan: setiap
orang yang dengan sengaja melangsungkan perkawinan tidak di hadapan
PPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 (1) dipidana dengan pidana
denda paling banyak 6.000.000,- (enam juta rupiah) atau hukumuan
kurungan paling lama 6 (enam) bulan.
Pasal 145 RUU menyatakan: PPN yang melanggar kewajibannya
sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 dikenai hukuman kurungan paling
lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp 12.000.000,- (dua belas
juta rupiah).
Pasal 146 RUU menyatakan: setiap orang yang melakukan kegiatan
perkawinan dan bertindak seolah-olah sebagai PPN dan/atau wali hakim
sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 dan pasal 21 dipidana penjara
paling lama 3 (tiga) tahun.
Dengan demikian, ketidak-tegasan ketentuan pencatatan dalam undang-
undang yang berlaku selama ini masih memberi ruang gerak yang cukup
luas bagi pelaksanaan nikah sirri bagi sebagian masyarakat yang
melakukannya dan menjadi salah satu factor penyebab terjadinya
pernikahan sirri.

c. Ketatnya Izin Poligami

UU No.1/1974 menganut azas monogami, akan tetapi masih memberikan


kelonggaran bagi mereka yang agamanya mengizinkan untuk melakukan
poligami (salah satunya agama Islam) dengan persyaratan yang sangat
ketat. Seseorang yang hendak melakukan poligami hanrus memenuhi
sekurang-kurangnya salah satu syarat alternative yang ditentukan secara
limitative dalam undang-undang., yaitu:
isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
isteri tidak dapat melahirkan keturunan (ps.4 ayat (2) UU 1/1974)
Sebaliknya pengadilan akan mempertimbangkan dan akan memberi izin
poligami bagi seseorang yang memohonnya apabila terpenuhi syarat
kumulatif sebagai berikut:
adanya persetujuan dari isteri/isteri-siterinya;

212
adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan
hidup isteri-siteri dan anak-anak mereka;
adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri dan anak-
anak mereka;
Yang dimaksud mampu menjamin keperluan hidup bagi isteri-isteri dan
anak-anaknya adalah sangat relative sifatnya. Demikian pula suami akan
berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya adalah sangat
subjektif sifatnya, sehingga penilaian terhadap dua persyaratan tersebut
terakhir akan bergantung pada rasa keadilan hakim sendiri.
Bila kita telaah sulitnya untuk dipenuhinya syarat-syarat tersebut di atas
oleh seorang suami, maka hal tersebut dapat menimbulkan: perkawinan
“clandestine” dan hidup bersama (samenleven). Perkawinan “clandestine”
adalah perkawinan yang pelangsungannya secara sah memenuhi syarat,
akan tetapi terdapat cacat yuridis di dalamnya. Misalnya seorang calon
suami dalam pemberitahuan kehendak kawin mengaku jejaka atau
menggunakan izin palsu.
Ketatnya izin poligami juga menyebabkan yang bersangkutan lebih
memilih nikah di bawah tangan atau nikah sirri karena pelangsungan (tata
cara) pernikahan di bawah tangan lebih sederhana dan lebih cepat
mencapai tujuan yaitu kawin itu sendiri.
Khusus bagi pegawai negeri baik sipil maupun militer, untuk dapat
poligami kecuali harus memenuhi syarat tersebut di atas juga harus
memperoleh izin atasan yang berwenang, sesuai dengan PP No.10/1983
tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi PNS jo. PP 45/1990..
Demikian pula bagi TNI harus memperoleh izin dari atasannya sesuai
dengan peraturan yang berlaku, sehingga bagi yang bersangkutan wajib
menempuh proses panjang.
Sulit dan lamanya proses serta hambatan berupa birokrasi dalam
pemberian izin memang bertujuan untuk memperkuat secara selektif akan
perkenan poligami bagi PNS serta menghindari kesewenang-wenangan
dalam hal kawin lebih dari satu, sehingga PNS diharapkan jadi contoh dan
teladan yang baik sesuai dengan fungsinya sebagai abdi Negara dan abdi
masyarrakat. Akibat larangan berpoligami atau sulitnya memperoleh izin
poligami justru membuka pintu pelacuran, pergundikan, hidup bersama
dan poligami illegal.
Menurut Soetojo, dengan berlakunya UU 1/1974 angka kawin lebih dari
satu (poligami: Pen) menunjukkan menurun drastis namun poligami
illegal dengan segala bentuknya semakin banyak, yang disebabkan oleh:
1. tidak adanya kesadaran hukum yang tinggi dari masyarakat;
2. bagi mereka yang terikat oleh pengetatan tertentu karena kedinasannya
dibayangi oleh rasa takut kepada atasan di samnping prosedurnya yang
terlalu lama dan sulit;
3. tidak adanya tindakan yang tegas terhadap poligami illegal;
Bentuk poligami illegal yang banyak dijumpai dalam masyarakat ialah:
1. hidup bersama tanpa ikatan perkawinan yang sah dan sering dikenal
dengan sebutan: hidup bersama, pergundikan, wanita simpanan;
2. bagi mereka yang beragama Islam, melakukan poligami tanpa
pencatatan nikah.

213
Hasil penelitian Soetojo tersebut terakhir menunjukkan bahwa ketatnya
izin poligami merupakan salah satu factor timbulnya pernikahan di bawah
tangan, atau pernikahan yang tidak dicatat, alias nikah sirri.

2. Kedudukan Hukum Nikah Sirri Dalam Pespektif Hukum Positif

Dari sudut pandang hukum yang berlaku di Indonesia, nikah sirri


merupakan perkawinan yang dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sebagaimana kita pahami
bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU No.1/1974 Jo.
Pasal 4 dan Pasal 5 ayat (1) dan (2) KHI, suatu perkawinan di samping
harus dilakukan secara sah menurut hukum agama, juga harus dicatat oleh
pejabat yang berwenang. Dengan demikian, dalam perspektif peraturan
perundang-undangan, nikah sirri adalah pernikahan illegal dan tidak sah.
Bagi kalangan umat Islam Indonesia, ada dua persyaratan pokok yang
harus dikondisikan sebagai syarat kumulatif yang menjadikan perkawinan
mereka sah menurut hukum positif, yaitu: pertama, perkawinan harus
dilakukan menurut hukum Islam, dan kedua, setiap perkawinan harus
dicatat. Pencatatan perkawinan tersebut dilakukan oleh PPN sesuai UU
No.22/1946 jo. UU No.32/1954. Dengan demikian, tidak terpenuhinya
salah satu dari ketentuan dalam pasal 2 tersebut menyebabkan perkawinan
batal atau setidaknya cacat hukum dan dapat dibatalkan.
Akan tetapi kalau ketentuan pasal tersebut masih dipahami sebagai syarat
alternative, maka perkawinan dianggap sah meskipun hanya dilakukan
menurut hukum agama dan tidak dicatatkan di KUA. Permasalahan
hukum mengenai sah atau tidaknya suatu perkawinan yang tidak
dicatatkan akan selalu menjadi polemic berkepanjangan bila ketentuan
undang-undangnya sendiri tidak mengaturnya secara tegas. Dalam arti
kewajiban pencatatan tersebut harus dinyatakan secara tegas dan disertai
sanksi bagi yang melanggarnya.
Bagi umat Islam, kepentingan pencatatan itu sendiri sebenarnya
mempunyai dasar hukum Islam yang kuat mengingat perkawinan adalah
suatu ikatan perjanjian luhur dan merupakan perbuatan hukum tingkat
tinggi. Artinya, Islam memandang perkawinan itu lebih dari sekedar
ikatan perjanjian biasa. Dalam Islam, perkawinan itu merupakan
perjanjian yang sangat kuat (mitsaqan ghalidhan). Bagaimana mungkin
sebuah ikatan yang sangat kuat dipandang enteng? Mengapa logika
sebagian umat Islam terhadap wajibnya pencatatan perkawinan seperti
mengalami distorsi? Perlu kita yakinkan kepada umat Islam bahwa
pencatatan perkawinan hukumnya wajib syar’i. Sungguh sangat keliru
apabila perkawinan bagi umat Islam tidak dicatatkan sesuai dengan
ketentuan hukum yang berlaku. Sedangkan ikatan perjanjian biasa,
misalnya semacam utang piutang di lembaga perbankan atau jual beli
tanah misalnya saja perlu dicatat, mengapa ikatan perkawinan yang
merupakan perjanjian luhur dibiarkan berlangsung begitu saja tanpa
adanya pencatatan oleh pejabat yang berwenang. Adalah ironi bagi umat
Islam yang ajaran agamanya mengedepankan ketertiban dan keteraturan
tapi mereka mengebaikannya.
Allah SWT berfirman dalam QS. An Nisa’ Ayat: 59 yang berbunyi
sebagai berikut:

214
 
 
 
 
...   
Artinya : Wahai orang yang beriman taatlah kepada Allah dan taatlah
kepada Rasul dan Ulil Amri diantara kalian.

Berdasarkan dalil Firman Allah SWT tersebut di atas, dapat ditarik garis
tegas tentang adanya beban hukum “wajib” bagi orang-orang yang
beriman untuk taat kepada Allah dan taat kepada Rasul SAW dan juga taat
kepada Ulil Amri. Sampai pada tahapan ini kita semua sepakat bahwa
sebagai umat yang beriman memikul tanggung jawab secara imperative
(wajib) sesuai perintah Allah SWT tersebut. Akan tetapi ketika perintah
taat kepada Ulil Amri diposisikan sebagai wajib taat kepada pemerintah,
otomatis termasuk di dalamnya perintah untuk mentaati peraturan
perundang-undangan yang berlaku mengenai pencatatan pernikahan,
maka oleh sebagian umat Islam sendiri terjadi penolakan terhadap
pemahaman tersebut sehingga kasus pernikahan di bawah tangan masih
banyak terjadi dan dianggap sebagai hal yang tidak melanggar ketentuan
hukum syara’. Permasalahan masih banyaknya nikah sirri di kalangan
umat Islam adalah terletak pada pemahaman makna siapakah yang
dimaksud Ulil Amri dalam ayat tersebut di atas. Ada banyak pendapat
mengenai siapakah ulil amri itu, antara lain ada yang mengatakan bahwa
ulil amri adalah kelompok Ahlul Halli Wa Aqdi dan ada pula pendapat
yang mengatakan bahwa ulil amri adalah pemerintah. Dalam tulisan ini,
penulis tidak ingin memperdebatkan tentang siapakah Ulil Amri itu. Yang
perlu dikedepankan adalah bahwa pemahaman terhadap hukum Islam itu
harus komprehensif sesuai dengan katakteristik hukum Islam itu sendiri.
Komprehensifitas (dari hukum Islam) itu dapat dilihat dari keberlakuan
hukum dalam Islam di mayarakat, sebagaimana yang dikemukakan oleh
Yusuf Qardhawi, yaitu bahwa: Hukum tidak ditetapkan hanya untuk
seseorang individu tanpa keluarga, dan bukan ditetapkan hanya untuk satu
keluarga tanpa masyarakat, bukan pula untuk satu masyarakat secara
terpisah dari masyarakat lainnya dalam lingkup umat Islam, dan ia tidak
pula ditetapkan hanya untuk satu bangsa secara terpisah dari bangsa-
bangsa di dunia yang lainnya, baik bangsa penganut agama ahlulkitab
maupun kaum penyembah berhala (paganis).
Dalam konteks ini perlu kiranya memahami penalaran hukum pada ayat
tersebut di atas secara komprehensif. Oleh sebab itu, pendekatan terhadap
penalaran makna Ulil Amri dalam hubungannya dengan kewajiban
pencatatan perkawinan bagi umat Islam, dapat kita pahami bahwa
Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan dan peraturan perundangan lainnya yang berkaitan
dengan itu adalah merupakan produk legislasi nasional yang proses
pembuatannya melibatkan berbagai unsur mulai dari Pemerintah, DPR,
Ulama dan kaum cerdik pandai serta para ahli lainnya yang
keseluruhannya merupakan Ahlul Halli wal Aqdi. Dengan demikian,
apabila Undang-undang memerintahkan perkawinan harus dicatat, maka
215
wajib syar’i hukumnya bagi umat Islam di Indonesia untuk mengikuti
ketentuan undang-undang tersebut.
Pernikahan bagi umat Islam adalah sebuah keniscayaan dan ia merupakan
sesuatu yang haq. Oleh karena pernikahan adalah suatu kebenaran (haq)
dalam Islam, maka perlu ada nizham atau system hukum yang
mengaturnya. Sungguh sangat relevan penulis nukilkan Atsar dari
Sayyidina Ali bin Abi Thalib, r.a.:
Artinya : Sesuatu yang hak tanpa nizham (system aturah hukum yang
baik) akan dikalahkan oleh kebatilan dengan nizham.

E. PENUTUP
Dari uraian di atas dapat diturunkan beberapa kesimpulan bahwa
pernikahan sirri atau pernikahan tanpa pencatatan baik nikah tunggal
maupun karena poligami, adalah pernikahan yang illegal, Ini terjadi
disebabkan kurangnya pemahaman hukum dan minimnya kesadaran
hukum dari sebagian masyarakat akan pentingnya pencatatan perkawinan
mereka. Pernikahan di bawah tangan tidak mempunyai kekuatan hukum.
Jadi, pernikahan sirri merupakan perbuatan hukum yang tidak mempunyai
kekuatan hukum dalam sebuah Negara hukum bernama Indonesia. Oleh
sebab itu masyarakat Islam Indonesia harus menghindari praktek
perkawinan di bawah tangan atau nikah sirri.
Masyarakat Islam Indonesia perlu diyakinkan bahwa pencatatan
perkawinan adalah wajib hukumnya, bukan saja dipandang dari perspektif
hukum positif melainkan juga dalam perspektif hukum Islam itu sendiri.
Perkawinan adalah awal terbentuknya rumah tangga yang merupakan unit
masyarakat terkecil dari sebuah bangsa besar Indonesia. Oleh karena itu
penguatan aturan hukum perkawinan merupakan keniscayaan bagi bangsa
Indonesia. Pandangan masyarakat terhadap “nikah sirri adalah perbuatan
yang sah-sah saja” perlu diluruskan agar tidak menjadi preseden bagi
generasi masa depan. Wallahu a’lam bis shawab.

PERCERAIAN

Perceraian adalah berakhirnya suatu pernikahan. Saat kedua pasangan tak


ingin melanjutkan kehidupan pernikahannya, mereka bisa meminta
pemerintah untuk dipisahkan. Selama perceraian, pasangan tersebut harus
memutuskan bagaimana membagi harta mereka yang diperoleh selama
pernikahan seperti rumah, mobil, perabotan atau kontrak), dan bagaimana
mereka menerima biaya dan kewajiban merawat anak-anak mereka.
Banyak negara yang memiliki hukum dan aturan tentang perceraian, dan
pasangan itu dapat menyelesaikannya ke pengadilan.

Cerai hidup - karena tidak cocok satu sama lain.


Cerai mati - karena salah satu pasangan meninggal.

Penyebab perceraian

Ketidakharmonisan dalam rumah tangga


Alasan tersebut di atas adalah alasan yang paling kerap dikemukakan oleh
pasangan suami – istri yang akan bercerai. Ketidakharmonisan bisa

216
disebabkan oleh berbagai hal antara lain, krisis keuangan, krisis akhlak,
dan adanya orang ketiga. Dengan kata lain, istilah keharmonisan adalah
terlalu umum sehingga memerlukan perincian yang lebih mendetail.

Krisis moral dan akhlak


Selain ketidakharmonisan dalam rumah tangga, perceraian juga sering
memperoleh landasan berupa krisis moral dan akhlak, yang dapat
dilalaikannya tanggung jawab baik oleh suami ataupun istri, poligami
yang tidak sehat, penganiayaan, pelecehan dan keburukan perilaku lainnya
yang dilakukan baik oleh suami ataupun istri, misal mabuk, berzinah,
terlibat tindak kriminal, bahkan utang piutang.

Perzinaan
Di samping itu, masalah lain yang dapat mengakibatkan terjadinya
perceraian adalah perzinaan, yaitu hubungan seksual di luar nikah yang
dilakukan baik oleh suami maupun istri.

Pernikahan tanpa cinta


Alasan lainnya yang kerap dikemukakan oleh suami dan istri, untuk
mengakhiri sebuah perkawinan adalah bahwa perkawinan mereka telah
berlangsung tanpa dilandasi adanya cinta. Untuk mengatasi kesulitan
akibat sebuah pernikahan tanpa cinta, pasangan harus merefleksi diri
untuk memahami masalah sebenarnya, juga harus berupaya untuk
mencoba menciptakan kerjasama dalam menghasilkan keputusan yang
terbaik

Adanya masalah-masalah dalam perkawinan


Dalam sebuah perkawinan pasti tidak akan lepas dari yang namanya
masalah. Masalah dalam perkawinan itu merupakan suatu hal yang biasa,
tapi percekcokan yang berlarut-larut dan tidak dapat didamaikan lagi
secara otomatis akan disusul dengan pisah ranjang seperti adanya
perselingkuhan antara suami istri.

Langkah pertama dalam menanggulangi sebuah masalah perkawinan


adalah :
Adanya keterbukaan antara suami–istri
Berusaha untuk menghargai pasangan
Jika dalam keluarga ada masalah, sebaiknya diselesaikan secara baik-baik
Saling menyayangi antara pasangan

Dampak Perceraian

Perceraian sering menimbulkan tekanan batin bagi tiap pasangan tersebut.


Anak-anak yang terlahir dari pernikahan mereka juga bisa merasakan
sedih bila orangtua mereka bercerai. Namun, banyak sumber daya yang
bisa membantu orang yang bercerai, seperti keluarga besar, teman-teman,
terapi, konsultan, buku, dan DVD.
Perceraian menurut agama

Islam

217
Islam membimbing umatnya agar tidak memecah-belah persaudaraan di
antara sesama muslim. Pernikahan adalah salah satu sunnah Rosulullah
S.A.W. yang akanlah kita mendapat pahala jika melakukannya.
Perceraian sendiri adalah suatu hal yang halal untuk dilakukan. Namun
halnya, jikalau sepasang suami-istri melakukan perceraian, alkisah
mengatakan bahwa 'Arsy terguncang sebegitu dahsyatnya. Oleh karena
hal tersebut, Allah membenci perceraian, meski telah dikatakan bahwa hal
ini adalah halal
Kristen/Katolik
Salah satu agama yang tidak memperbolehkan adanya perceraian oleh
pasangan-pasangan di dalam umatnya adalah Kristen Katolik Roma.
Gereja Kristen Katolik Roma menanggapi masalah perceraian sebagai
berikut: Perceraian atau perpisahan tetap/selamanya dalam suatu ikatan
pernikahan, memang tidak diperbolehkan dalam ajaran Kristen, karena itu
ada tertulis dalam Alkitab (Matius 19:9; Markus 10:9). Karena Injil
merupakan dasar kehidupan umat Kristen, maka tidak ada alasan apapun
untuk mengadakan perceraian. Selain itu juga terdapat pengajaran lain di
Alkitab mengenai hal ini, misalnya pada 1 Korintus 7.

Perceraian dalam Islam

Di dalam Islam, penceraian merupakan sesuatu yang tidak disukai oleh


Islam tetapi dibolehkan dengan alasan dan sebab-sebab tertentu.
Penceraian boleh dilakukan dengan cara talak, fasakh dan khuluk atau
tebus talak.

Talak menurut bahasa bermaksud melepaskan ikatan dan menurut


syarak pula, talak membawa maksud melepaskan ikatan perkahwinan
dengan lafaz talak dan seumpamanya. Talak merupakan suatu jalan
penyelesaian yang terakhir sekiranya suami dan isteri tidak dapat hidup
bersama dan mencari kata sepakat untuk mecari kebahagian
berumahtangga. Talak merupakan perkara yang dibenci Allah s.w.t tetapi
dibenarkan.

Hukum talak

Wajib
a) Jika permasalahan suami isteri tidak dapat didamaikan lagi
b) Dua orang wakil suami/isteri gagal membuat kata sepakat untuk
perdamaian rumahtangga mereka
c) Apabila pihak hakim berpendapat bahawa talak adalah lebih baik
d) Jika tidak diceraikan keadaan semakin berdosa suami

Haram
a) Menceraikan isteri ketika sedang haid atau nifas
b) Ketika keadaan suci yang telah disetubuhi
c) Ketika suami sedang sakit yang bertujuan menghalang isterinya
daripada menuntut harta pusakanya

218
d) Menceraikan isterinya dengan talak tiga sekali gus atau talak satu tetapi
disebut berulang kali sehingga cukup tiga kali atau lebih

Sunat
a) Suami tidak mampu menanggung nafkah isterinya
b) Isterinya tidak menjaga maruah dirinya

Makruh
Suami menjatuhkan talak kepada isterinya yang baik, berakhlak mulia dan
mempunyai pengetahuan agama
Harus Suami yang lemah keinginan nafsunya atau isterinya belum
datang haid atau telah putus haidnya

Rukun talak
Perkara Syarat
Suami Berakal
Baligh
Dengan kerelaan sendiri
Isteri Akad nikah sah
Belum diceraikan dengan talak tiga oleh suaminya
Lafaz Ucapan yang jelas menyatakan penceraiannya
Dengan sengaja dan bukan paksaaan
Contoh lafaz talak

Talak sarih
Lafaz yang jelas dengan bahasa yang berterus-terang seperti “Saya talak
kau” atau “Saya ceraikan kau” atau “Saya lepaskan kau daripada menjadi
isteri saya” dan sebagainya.

Talak kinayah/Sindiran
Lafaz yang digunakan secara sindiran oleh suami seperti “Pergilah kau ke
rumah orang tuamu” atau “Pergilah kau dari sini” atau “Saya benci
melihat muka kau” dan sebagainya. Namun, lafaz kinayah memerlukan
niat suaminya iaitu jika berniat talak, maka jatuhlah talak tetapi jika tidak
berniat talak, maka tidak berlaku talak.

Jenis talak

Talak raj’i
Suami melafazkan talak satu atau talak dua kepada isterinya. Suami boleh
merujuk kembali isterinya ketika masih dalam idah. Jika tempoh idah
telah tamat, maka suami tidak dibenarkan merujuk melainkan dengan
akad nikah baru.

Talak bain
Suami melafazkan talak tiga atau melafazkan talak yang ketiga kepada
isterinya. Isterinya tidak boleh dirujuk kembali. Si suami hanya boleh
merujuk setelah isterinya berkahwin lelaki lain, suami barunya
menyetubuhinya, setelah diceraikan suami barunya dan telah habis idah
dengan suami barunya.

219
Talak sunni
Suami melafazkan talak kepada isterinya yang masih suci dan tidak
disetubuhinya ketika dalam tempoh suci
Talak bid’i
Suami melafazkan talak kepada isterinya ketika dalam haid atau ketika
suci yang disetubuhinya.

Talak taklik
Talak taklik ialah suami menceraikan isterinya bersyarat dengan sesuatu
sebab atau syarat. Apabila syarat atau sebab itu dilakukan atau berlaku,
maka terjadilah penceraian atau talak.

Contohnya suami berkata kepada isteri, “Jika kamu keluar rumah tanpa
izin saya, maka jatuhlah talak satu.” Apabila isterinya keluar dari rumah
tanpa izin suaminya, maka jatuhlah talak satu secara otomatis.
Ia juga boleh berlaku selepas akad nikah berkata, “Jika saya menyiksa
isteri saya dengan sengaja, atau saya meninggalkan isteri saya selama
empat bulan berturut-turut dengan sengaja tanpa kerelaannya, dan jika ia
mengadu kepada pengadilan agama, dan pengadilan agama
memutuskan,maka jatuhlah talak satu ke atas isteri saya.”

Menurut Akta Undang-Undang Keluarga Islam


Taklik adalah perjanjian yang ditandatangani semasa pernikahan.
Contoh taklik berlaku dengan cara, “Jika saya menyiksa isteri saya dengan
sengaja, atau saya meninggalkannya selama empat bulan berterusan tanpa
kerelaannya, dan jika ia mengadu kepada kadi atau naib kadi serta
membayar RM 1.00 sebagai tebus talak, apabila disabitkan oleh kadi atau
naib kadi maka jatuhlah talak satu ke atas isteri saya dengan nilai tebus
talak tersebut.”

FASAKH

Pengertian fasakh menurut bahasa ialah rusak atau putus. menurut syara
adalah, pembatalan nikah disebabkan oleh sesuatu sifat yang dibenarkan
syara, misalnya, perkahwinan suami isteri yang difasakhkan oleh kadi
disebabkan oleh suaminya tidak mempu memberi nafkah kepada isterinya.
Fasakh tidak boleh mengurangkan bilangan talaknya.
Fasakh hanya boleh dituntut oleh isteri sekiranya terdapat beberapa sebab
atau kecacatan yang terdapat pada pihak suaminya. Mengikut mazhab
Shafie, seorang isteri boleh menuntut fasakh melalui kadi atau mahkamah
disebabkan oleh kekurangan suaminya seperti gila (berkekalan atau
sekejab); penyakit kusta; penyakit sopak; penyakit yang menghalang
mereka daripada melakukan persetubuhan; suami tidak mampu memberi
nafkah belanja kepada isterinya seperti makan dan minum serta tempat
tinggal, pakaian, memberi mahar dengan cara tunai sebelum bersetubuh
kerana kepapaan atau muflis atau sebagainya; suami tidak
bertanggungjawab dengan meninggalkan isterinya terlalu lama dan tidak
memberi khabar berita; suami yang menzalimi dan memudaratkan
isterinya; suami yang fasik serta melakukan maksiat terhadap Allah dan

220
tidak menunaikan kewajipan kepada Allah; dan murtad salah seorang
(suami atau isteri).

Cara melakukan fasakh


Jika suami atau isteri mempunyai sebab yang megharuskan fasakh
Membuat aduan kepada pihak pengadilan supaya membatalkan
perkahwinan mereka. Jika dapat dibuktikan pengaduan yang diberikan
adalah betul, pihak pengadilan boleh mengambil tindakan
membatalkannya. Pembatalan perkahwinan dengan cara fasakh tidak
boleh dirujuk kembali melainkan dengan akad nikah yang baru.
Antara sebabnya ialah :-
tempat suami berada tidak diketahui selama lebih daripada satu tahun;
suami tidak mengadakan peruntukan bagi nafkah selama tiga bulan;
suami dihukum penjara selama tiga tahun atau lebih;
suami tidak menunaikan kewajiban perkahwinannya (nafkah batin) tanpa
sebab yang jelas selama tempoh satu tahun.
suami mati pucuk masa berkahwin hingga sekarang dan ini tidak
diketahui.;
suami telah gila selama dua tahun atau sedang mengidap penyakit kusta,
vitiligo atau penyakit kelamin yang boleh berjangkit;
jika perempuan dikawinkan oleh wali mujbir perempuan sebelum baligh,
perempuan masih belum disetubuhi suami dan masih belum mencapai
umur 18 tahun, kini menolak perkahwinan itu.
Bagaimanapun permohonan cerai fasakh tertakluk oleh mahkamah dan
mahkamah berhak menolak sekiranya mendapati bahawa kesahihan alasan
tersebut tidak terbukti.

Khuluk atau tebus talak

Perpisahan antara suami dan isteri melalui tebus talak sama ada dengan
menggunakan lafaz talak atau khuluk. Pihak isteri boleh melepaskan
dirinya daripada ikatan perkahwinan mereka jika ia tidak berpuas hati atau
lain-lain sebab. Pihak isteri hendaklah membayar sejumlah wang atau
harta yang dipersetujui bersama dengan suaminya, maka suaminya
hendaklah menceraikan isterinya dngan jumlah atau harta yang
ditentukan.

Hukum khuluk adalah berdasarkan surah al-Baqarah ayat 229 : “Tidak


halal bagi kamu mengambil apa-apa yang telah kamu berikan kepada
mereka suatu jua pun, kecuali jika takut kedua-duanya tidak akan
mengikut peraturan Allah s.w.t.. Jika kamu takut bahawa tidak akan
mengikut peraturan Allah maka tiadalah berdosa kedua-duanya tentang
barang yang jadi tebus oleh perempuan.”
Ia biasanya dilakukan di depan hakim mahkamah syariah. Talak boleh
jatuh dengan menyebut “Saya menceraikan kamu dengan bayaran RM
10,000,” dan isterinya menjawab, “Saya menerimanya.” Apabila suami
melafazkan demikian, dan isterinya menyahut tawaran itu, dengan serta-
merta jatuhlah talak dengan khuluk dan isterinya wajiblah beridah. Suami
isteri hanya boleh merujuk dengan akad nikah baru sahaja.[1]

221
Tujuan khuluk
Memelihara hak wanita
Menolak bahaya kemudaratan yang menimpanya
Memberi keadilan kepada wanita yang cukup umurnya melalui keputusan
mahkamah.

Rujuk

Menurut bahasa rujuk boleh didefinisikan sebagai kembali. Manakala


menurut syara, ia membawa maksud suami kembali semula kepada
isterinya yang diceraikan dengan ikatan pernikahan asal (dalam masa
idah) dengan lafaz rujuk
.
Hukum rujuk
Wajib Bagi suami yang menceraikan isterinya yang belum
menyempurnakan gilirannya dari isteri-isterinya yang lain
Haram Suami merujuk isterinya dengan tujuan untuk menyakiti atau
memudaratkan isterinya itu
Makruh Apabila penceraian lebih baik antara suami dan isteri
Harus Sekirannya rujuk boleh membawa kebaikan bersama

Rukun rujuk
Perkara Syarat
Suami Berakal
Baligh
Dengan kerelaan sendiri
Isteri Telah disetubuhi
Berkeadaan talak raj’i
Bukan dengan talak tiga
Bukan cerai secara khuluk
Masih dalam idah
Lafaz Ucapan yang jelas menyatakan rujuk
Tiada disyaratkan dengan khiar atau pilihan
Disegerakan tanpa dikaitkan dengan taklik atau bersyarat
Dengan sengaja dan bukan paksaan
Contoh lafaz rujuk

HIBAH
HARTA HIBAH :
Yaitu harta yg diberikan oleh seseorang ketika dia masih hidup. Dan aqad
serah terima terjadi diwaktu itu juga, maka perpindahan kepemilikannya
harus waktu itu juga.. Hukum harta hibah ini boleh diberikan kesiapapun
baik keluarga atau bukan dg nominal harta hibah itu bebas dan boleh
dalam bentuk apapun dan tidak ada batasan jumlahnya.
Namun jika hibah ini kpd anak anak. Maka harta hibah tersebut harus adil
dan rata kpd setiap anak. Tidak membeda bedakan dalam jumlah
pemberian

222
Hibah ini jika telah diberikan kpd seseoarang maka hukumnya haram
diminta kembali pemberiannya, kecuali hibahnya ortu kpd anaknya maka
si ortu halal memintanya kembali disaat ortu butuh.
Hibah mungkin suatu yang asing dan jarang di dengar masyarakat Islam
di negara ini berbanding zakat, sedekah, hadiah, wakaf atau wasiat.
Namun, hibah bukanlah instrumen kewangan yang baru kerana sudah
wujud sejak awal Islam lagi.

Hibah ialah suatu akad mengandung pemberian milik seseorang secara


sukarela terhadap hartanya kepada seseorang yang lain pada masa
hidupnya tanpa balasan (iwad). Hibah diberi atas dasar kasih sayang
sesama manusia.

Hibah dibolehkan sama ada kepada ahli keluarga (waris) atau bukan ahli
keluarga, hatta kepada bukan Islam. Islam juga tidak menetapkan kadar
atau had tertentu bagi harta yang hendak dihibahkan kerana harta yang
hendak dihibahkan daripada milik pemberi hibah.

Terpulanglah kepada pemberi hibah membuat pertimbangan terhadap


kadar harta yang ingin dihibahkan. Walaupun begitu, jika harta hendak
dihibahkan kepada anak-anak, Islam menggalakkan ia dibuat secara adil.

Jumhur ulama Hanafi, Maliki dan Syafie berpendapat, sunat


menyamakan pemberian antara anak. Melebihkan pemberian kepada
seorang daripada mereka adalah makruh hukumnya, walaupun pemberian
itu sah. Menurut mazhab Hanbali, keadilan dalam pemberian hibah
kepada anak adalah perkara yang wajib.

Sesuatu akad hibah tidak akan terbentuk melainkan selepas memenuhi


empat rukun hibah iaitu pemberi hibah (al-Wahib); penerima hibah (al-
Mawhub lahu); barang atau harta yang dihibahkan (al-Mawhub) dan
sighah iaitu ijab dan kabul. Setiap rukun itu pula mempunyai syarat
tertentu.

Disyaratkan pemberi hibah hendaklah seorang yang berkeahlian,


sempurna akal, baligh, mestilah tuan punya barang yang dihibahkan dan
mempunyai kuasa penuh ke atas hartanya. Penerima hibah pula boleh
terdiri daripada sesiapa saja asalkan dia mempunyai keupayaan memiliki
harta.

Penerima hibah yang belum akil baligh, kanak-kanak atau kurang upaya,
hibah boleh dibuat melalui walinya atau pemegang amanah bagi pihaknya.
Penerima hibah juga disyaratkan boleh memegang, menguasai atau
mengawal harta dihibahkan.

Barang atau harta yang hendak dihibah hendaklah barang atau harta yang
halal, mempunyai nilai di sisi syarak, milik pemberi hibah, boleh diserah
milik dan benar-benar wujud semasa dihibahkan.

223
Barang atau harta yang masih bercagar (seperti rumah) boleh dihibahkan
jika mendapat keizinan daripada penggadai atau peminjam. Manakala,
sighah hibah disyaratkan ada persamaan antara ijab dan qabul serta tidak
bersyarat.

Menurut mazhab Syafie dan Abu Hanifah, penerimaan barang (al-qabd)


adalah syarat sah hibah. Al-qabd bermaksud mendapat sesuatu,
menguasainya dan boleh melakukan tasarruf terhadap barang atau harta
itu.

Artinya, akad hibah tidak sempurna dan tidak berkuat kuasa jika sekadar
ada ijab dan kabul semata-mata, melainkan selepas berlaku penerimaan
barang oleh penerima hibah. Oleh itu, pemberi hibah berhak menarik balik
hibah selama mana harta berkenaan berada dalam pemilikannya.

Jika berlaku kematian antara salah satu pihak sebelum penerimaan barang,
maka hibah terbatal.

Bagi harta tak alih seperti rumah dan tanah, al-qabd boleh berlaku dengan
cara mengosongkan harta itu, menguasainya dan melakukan tasarruf
terhadap harta seperti menyerah kunci dan seumpamanya. Bagi harta alih
pula, al-qabd boleh berlaku dengan cara mengambil harta itu, memindah
atau mengasingkan harta dengan harta lain.

Satu kelebihan hibah berbanding wasiat, seorang boleh menghibahkan


hartanya kepada waris atau seseorang lain semasa dia masih hidup dan
jumlahnya tidak terhad. Berbanding wasiat, kadar yang boleh diwasiatkan
terhad satu pertiga daripada keseluruhan harta dan tidak boleh
mewasiatkan harta kepada waris yang tidak berhak menerima pusaka
kecuali dengan persetujuan waris lain.

Deklarasi hibah perlu dibuat secara bertulis, dengan khidmat peguam


syarie bertauliah, supaya dokumen itu tidak berlawanan dengan hukum
syarak dan undang-undang. Hibah secara bertulis atau sempat
dilaksanakan semasa pemberi hibah masih hidup mungkin tidak
mendatangkan masalah.

Jika isu mengenai hibah timbul selepas pemberi hibah mati dan hibah
tidak dibuat secara bertulis, pengesahan status hibah perlu di buat di
Mahkamah Syariah. Masalah mungkin timbul ialah saksi tidak cukup,
saksi sudah meninggal dunia atau kesaksian yang tidak konsisten.

Hibah dapat membantu ekonomi umat Islam, merapatkan ikatan


persaudaraan dan pertalian kasih sayang sesama insan. Konsep hibah
wajar disuburkan kembali dalam kehidupan masyarakat masa kini.

Kata orang, harta tidak boleh dibawa mati. Namun, disebabkan harta yang
tidak diurus dengan baik berdasarkan peraturan dan hukum Allah semasa
hidup, maka roh si mati tidak aman di alam kubur, lantaran waris yang
masih hidup berebut sesama sendiri.

224
KESIMPULAN HIBAH

* Hibah boleh diberikan kepada siapa saja baik ahli keluarga (waris) atau
bukan ahli keluarga, hatta kepada bukan Islam.

* Jika harta hendak dihibahkan kepada anak - anak, Islam menyuruh ia


dibuat secara adil.

* Rukun hibah yaitu pemberi hibah (al-Wahib); penerima hibah (al-


Mawhub lahu); barang atau harta yang akan dihibahkan (al-Mawhub) dan
sighah yaitu ijab dan kabul. Setiap rukun itu pula mempunyai syarat
tertentu.

* Penerima hibah yang belum akil baligh, kanak-kanak atau kurang upaya,
hibah boleh dibuat melalui walinya atau pemegang amanah bagi pihaknya.

* Barang atau harta yang hendak dihibah hendaklah barang atau harta
yang halal.

SHADAQAH

Pengertian Shadaqah
Secara umum shadaqah memiliki pengertian menginfakkan harta di jalan
Allah swt.. Baik ditujukan kepada fakir miskin, kerabat keluarga, maupun
untuk kepentingan jihad fi sabilillah. Makna shadaqah memang sering
menunjukkan makna memberikan harta untuk hal tertentu di jalan Allah
swt., sebagaimana yang terdapat dalam banyak ayat-ayat dalam Al-
Qur’an. Di antaranya adalah Al-Baqarah (2): 264
 
  
 
 
  
  
 
  
  
  
   
  
    
 
 
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan
(pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan
si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya
kepada manusia dan Dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian.

225
Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah,
kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah Dia bersih (tidak
bertanah). mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka
usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang
kafir[168].
[168] Mereka ini tidak mendapat manfaat di dunia dari usaha-usaha mereka dan tidak
pula mendapat pahala di akhirat.

dan Al-Taubah (9): 60.


  


 

 

 
  
   
    

Artinya : Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang
fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang
dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang
berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam
perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah
Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana[647].
[647] Yang berhak menerima zakat Ialah: 1. orang fakir: orang yang Amat sengsara
hidupnya, tidak mempunyai harta dan tenaga untuk memenuhi penghidupannya. 2. orang
miskin: orang yang tidak cukup penghidupannya dan dalam Keadaan kekurangan. 3.
Pengurus zakat: orang yang diberi tugas untuk mengumpulkan dan membagikan zakat. 4.
Muallaf: orang kafir yang ada harapan masuk Islam dan orang yang baru masuk Islam
yang imannya masih lemah. 5. memerdekakan budak: mencakup juga untuk melepaskan
Muslim yang ditawan oleh orang-orang kafir. 6. orang berhutang: orang yang berhutang
karena untuk kepentingan yang bukan maksiat dan tidak sanggup membayarnya. Adapun
orang yang berhutang untuk memelihara persatuan umat Islam dibayar hutangnya itu
dengan zakat, walaupun ia mampu membayarnya. 7. pada jalan Allah (sabilillah): Yaitu
untuk keperluan pertahanan Islam dan kaum muslimin. di antara mufasirin ada yang
berpendapat bahwa fisabilillah itu mencakup juga kepentingan-kepentingan umum
seperti mendirikan sekolah, rumah sakit dan lain-lain. 8. orang yang sedang dalam
perjalanan yang bukan maksiat mengalami kesengsaraan dalam perjalanannya.

Kedua ayat di atas menggambarkan bahwa shadaqah memiliki makna


mendermakan uang di jalan Allah swt. Bahkan pada ayat yang kedua,
shadaqah secara khusus adalah bermakna zakat. Bahkan banyak sekali
ayat maupun hadits yang berbicara tentang zakat, namun diungkapkan
dengan istilah shadaqah.

Secara bahasa, shadaqah berasal dari kata shidq yang berarti benar. Dan
menurut Al-Qadhi Abu Bakar bin Arabi, benar di sini adalah benar dalam

226
hubungan dengan sejalannya perbuatan dan ucapan serta keyakinan.
Dalam makna seperti inilah, shadaqah diibaratkan dalam hadits: “Dan
shadaqah itu merupakan burhan (bukti).” (HR. Muslim)
Antara zakat, infak, dan shadaqah memiliki pengertian tersendiri dalam
bahasan kitab-kitab fiqh. Zakat yaitu kewajiban atas sejumlah harta
tertentu dalam waktu tertentu dan untuk kelompok tertentu.
Infak memiliki arti lebih luas dari zakat, yaitu mengeluarkan atau
menafkahkan uang.

Infak ada yang wajib, di antaranya adalah zakat, kafarat, infak untuk
keluarga dan sebagainya. Infak sunnah adalah infak yang sangat
dianjurkan untuk melaksanakannya namun tidak menjadi kewajiban,
seperti infak untuk dakwah, pembangunan masjid dan sebagainya.
Sedangkan infak mubah adalah infak yang tidak masuk dalam kategori
wajib dan sunnah, serta tidak ada anjuran secara tekstual ayat maupun
hadits, diantaranya seperti infak untuk mengajak makan-makan dan
sebagainya.

Shadaqah lebih luas dari sekedar zakat maupun infak. Karena shadaqah
tidak hanya berarti mengeluarkan atau mendermakan harta. Namun
shadaqah mencakup segala amal atau perbuatan baik. Dalam sebuah
hadits digambarkan, “Memberikan senyuman kepada saudaramu adalah
shadaqah.”
Makna shadaqah yang terdapat dalam hadits di atas adalah mengacu pada
makna shadaqah di atas. Bahkan secara tersirat shadaqah yang
dimaksudkan dalam hadits adalah segala macam bentuk kebaikan yang
dilakukan oleh setiap muslim dalam rangka mencari keridhaan Allah swt.
Baik dalam bentuk ibadah atau perbuatan yang secara lahiriyah terlihat
sebagai bentuk taqarrub kepada Allah swt., maupun dalam bentuk
aktivitas yang secara lahiriyah tidak tampak seperti bertaqarrub kepada
Allah, seperti hubungan intim suami istri, bekerja, dsb. Semua aktivitas
ini bernilai ibadah di sisi Allah swt.

Macam-Macam Shadaqah
Rasulullah saw. dalam hadits di atas menjelaskan tentang cakupan
shadaqah yang begitu luas, sebagai jawaban atas kegundahan hati para
sahabatnya yang tidak mampu secara maksimal bershadaqah dengan
hartanya, karena mereka bukanlah orang yang termasuk banyak hartanya.
Lalu Rasulullah saw. menjelaskan bahwa shadaqah mencakup:

1. Tasbih, Tahlil dan Tahmid


Rasulullah saw. menggambarkan pada awal penjelasannya tentang
shadaqah bahwa setiap tasbih, tahlil dan tahmid adalah shadaqah. Oleh
karenanya mereka ‘diminta’ untuk memperbanyak tasbih, tahlil dan
tahmid, atau bahkan dzikir-dzikir lainnya. Karena semua dzikir tersebut
akan bernilai ibadah di sisi Allah swt. Dalam riwayat lain digambarkan:
Dari Aisyah ra, bahwasanya Rasulullah saw. berkata, “Bahwasanya
diciptakan dari setiap anak cucu Adam tiga ratus enam puluh persendian.
Maka barang siapa yang bertakbir, bertahmid, bertasbih, beristighfar,
menyingkirkan batu, duri atau tulang dari jalan, amar ma’ruf nahi

227
mungkar, maka akan dihitung sejumlah tiga ratus enam puluh persendian.
Dan ia sedang berjalan pada hari itu, sedangkan ia dibebaskan dirinya dari
api neraka.” (HR. Muslim)

2. Amar Ma’ruf Nahi Mungkar


Setelah disebutkan bahwa dzikir merupakan shadaqah, Rasulullah saw.
menjelaskan bahwa amar ma’ruf nahi mungkar juga merupakan shadaqah.
Karena untuk merealisasikan amar ma’ruf nahi mungkar, seseorang perlu
mengeluarkan tenaga, pikiran, waktu, dan perasaannya. Dan semua hal
tersebut terhitung sebagai shadaqah. Bahkan jika dicermati secara
mendalam, umat ini mendapat julukan ‘khairu ummah’, karena memiliki
misi amar ma’ruf nahi mungkar. Dalam sebuah ayat-Nya Allah swt.
berfirman:
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia,
menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan
beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih
baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan
mereka adalah orang-orang yang fasik.” [QS. Ali Imran (3): 110]
  
 
 
  
   
  
   
 

 
110. Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada
yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli
kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman,
dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.

3. Hubungan Intim Suami Istri


Hadits di atas bahkan menggambarkan bahwa hubungan suami istri
merupakan shadaqah. Satu pandangan yang cukup asing di telinga para
sahabatnya, hingga mereka bertanya, “Apakah salah seorang diantara
kami melampiaskan syahwatnya dan dia mendapatkan shadaqah?”
Kemudian dengan bijak Rasulullah saw. menjawab, “Apa pendapatmu
jika ia melampiaskannya pada tempat yang haram, apakah dia
mendapatkan dosa? Maka demikian pula jika ia melampiaskannya pada
yang halal, ia akan mendapat pahala.” Di sinilah para sahabat baru
menyadari bahwa makna shadaqah sangatlah luas. Bahwa segala bentuk
aktivitas yang dilakukan seorang insan, dan diniatkan ikhlas karena Allah,
serta tidak melanggar syariah-Nya, maka itu akan terhitung sebagai
shadaqah.
Selain bentuk-bentuk di atas yang digambarkan Rasulullah saw. yang
dikategorikan sebagai shadaqah, masih terdapat nash-nash hadits lainnya

228
yang menggambarkan bahwa hal tersebut merupakan shadaqah,
diantaranya adalah:

4. Bekerja dan memberi nafkah pada sanak keluarganya


Hal ini sebagaimana diungkapkan dalam sebuah hadits: Dari Al-Miqdan
bin Ma’dikarib Al-Zubaidi ra, dari Rasulullah saw. berkata, “Tidaklah ada
satu pekerjaan yang paling mulia yang dilakukan oleh seseorang daripada
pekerjaan yang dilakukan dari tangannya sendiri. Dan tidaklah seseorang
menafkahkan hartanya terhadap diri, keluarga, anak dan pembantunya
melainkan akan menjadi shadaqah.” (HR. Ibnu Majah)

5. Membantu urusan orang lain


Dari Abdillah bin Qais bin Salim Al-Madani, dari Nabi Muhammad saw.
bahwa beliau bersabda, “Setiap muslim harus bershadaqah.” Salah
seorang sahabat bertanya, “Bagaimana pendapatmu, wahai Rasulullah,
jika ia tidak mendapatkan (harta yang dapat disedekahkan)?” Rasulullah
saw. bersabda, “Bekerja dengan tangannya sendiri kemudian ia
memanfaatkannya untuk dirinya dan bersedekah.” Salah seorang sahabat
bertanya, “Bagaimana jika ia tidak mampu, wahai Rasulullah saw.?”
Beliau bersabda, “Menolong orang yang membutuhkan lagi teranaiaya.”
Salah seorang sahabat bertanya, “Bagaimana jika ia tidak mampu, wahai
Rasulullah saw.?” Beliau menjawab, “Mengajak pada yang ma’ruf atau
kebaikan.” Salah seorang sahabat bertanya, “Bagaimana jika ia tidak
mampu, wahai Rasulullah saw.?” Beliau menjawab, “Menahan diri dari
perbuatan buruk, itu merupakan shadaqah.” (HR. Muslim)

6. Mengishlah dua orang yang berselisih


Dalam sebuah hadits digambarkan oleh Rasulullah saw.: Dari Abu
Hurairah r.a. berkata, bahwasanya Rasulullah saw. bersabda, “Setiap ruas-
ruas persendian setiap insan adalah shadaqah. Setiap hari di mana
matahari terbit adalah shadaqah, mengishlah di antara manusia (yang
berselisih adalah shadaqah).” (HR. Bukhari)

WASHIYAT
`
a) Ta’rif Washiyat
1. Fuqaha’ yang bermadzhab Hanafiyah menta’rifkan washiyat ialah
memberikan hak memiliki sesuatu secara sukarela (tabarru’) yang
pelaksanaannya ditangguhkan setelah adanya peristiwa kematiandari yang
memberikan, baik sesuatu itu berupa barang maupun manfaat.1
2. Fuqaha’ Malikiyah menta’rifkannya ialah suatu perikatan yang
mengharuskan kepada si penerima washiyat meng-hak-i 1/3 harta
peninggalan si pewashiyat, sepeninggalnya atau yang mengharuskan
penggantian hak 1/3 harta si pewashiyat kepada si penerima washiyat,
sepeninggalnya.2
3. Harta Washiyat:
Yaitu pesan seseorang untuk memberikan hartanya kpd seseorang jika
pemberi washiyat telah wafat, maka perpindahan kepemilikan harta
washiyat akan terjadi setelah pemwashiyat meninggal dunia. Dan syarat
harta wasyiyat tidak boleh lebih dari 1/3 harta mayit, dan juga tidak boleh

229
washiyat untuk ahli waris Karena bisa dobel mendapat dari wasiyat dan
warisan. Jika si pemwasiat membatalkan washiyatnya sebelum ia
meninggal maka hukumnya Boleh.

b) Sumber - Sumber Hukum Washiyat


1. Al-Kitab
2. As-Sunnah
3. Al-Ijma’
4. Al-Ma’qul (logika)

c) Hukum Washiyat
Washiyat itu adalah suatu tuntutan syari'at untuk dilaksanakan. Namun
demikian jika washiyat tersebut dihubungkan dengan keadaan-keadaan
yang mempengaruhinya, ia tidak terlepas dari ketentuan hukum wajib,
sunnat, haram, makruh dan mubah.

Harta waris

Adalah harta yg ditinggal oleh mayit yg ia miliki semasa ia hidup untuk


dibagikan oleh Allah kpd pewarisnya yg disebut dalam Alqura'an dan
hadits. Tentunya setelah dikurangi jasa pengurusan jenazah dan hutang
dan juga washiyat.
Maka harta yg didapat setelah mayit meninggal spt sumbangan kematian
dan santunan, bukan termasuk harta waris.
Maka harta sumbangan tsb tergantung kpd apa dan siapa yg diniatkan oleh
si penyumbang atau si penyantun tsb..

Pengertian dan Hukum Risywah (Penyuapan)

Secara etimologis kata risywah berasal dari bahasa Arab ” ‫ رشا‬- ‫“ يرشو‬
yang masdarnya bisa dibaca “ ‫ ’‘رشوة‬,’’ ‫ ’‘ رشوة‬atau “ "‫ رشوة‬yang berati “
‫ “ الجعلو‬yaitu upah, hadiah, komisi, suap.
Adapun secara terminology, risywah adalah sesuatu yang diberikan
dalam rangka mewujudkan kemaslahatan atau sesuatu yang diberikan
dalam rangka membenarkan yang bathil/salah atau menyalahkan yang
benar.
Risywah melibatkan tiga unsur, yaitu :
a. pihak pemberi (al-rasyi)
b. pihak penerima bantuan tersebut ( al-murtasyi)
c.dan barang bentuk dan jenis pemberian yang diserahterimakan.
Dalam hal ini al-Syaukani lebih tegas mengemukkakan pendapat bahwa
“diharamkan menyuap seoang hakim secara ijma’ atas dasar hadits Nabi “
Allah melaknat orang yang menyuap dan orang yang disuap”. Al-Mansur
Billah, Abu Ja’far dan sebagian ulama mazhab as-Syafi’I berpendapt
bahwa kalau suap dibolehkan untuk menuntut hak yang disepakati maka
itu diperbolehkan. Akan tetepi dahulu mazhab as-Syafi’I tidak
membolehakannya atas dasar keumuman hadits tentang haramnya
risywah. Hadits Nabi tentang Risywah:

230
‫يمشي الذي يعني الرائش والمرتشيو الراشي وسلم عليه هللا صلي هللا رسول لعن قال ثوبان عن‬
‫احمد رواه( بينهما‬
Artinya: Dari Tsauban berkata: Rasulullah melaknat oaring yagng
menyuap dan yang disuap, dan orang yang menghubungkan yaitu orang
yang berjalan dia antara keduanya.(HR. Ahmad)

‫المرتشي و الراشي وسلم عليه هللا صلس هللا رسول لعن قال عمر بن هللا عبد عن‬
Artunya: Dari ‘Abdillah bin Umar berkata: Rasulullah Saw melaknat
orang yang menyuap dan orang yang disuap

‫احمد رواه( الحكم في المرتشي و الراشي وسلم عليه هللا صلي هللا رسول لعن قال هريرة ابي عن‬
‫والتىميذى دود وابو‬
Dari Abu Hurairah ra. Berkata Rasulillah Saw melaknat orang yang
menyuap dan orang yang disuap di suatu hukum (HR. Ahmad, Abu Daud
dan Tirmidzi)

‫الخمسة رواه( تشي المر و الراشي سلم و عليه هللا صلي هللا رسول لعن قال عمرو بن هللا عبد عن‬
‫الترميذى صحيحه و ئ النسا اال‬
Dari ‘abdillah bin ‘umar ra. Berkata “Rasulullah Saw melaknat orang
yang menyuap dan orang yang disuap (HR, Sunan khomsah kecuali Imam
Nasai dan di shohihkan oleh Tirmidzi)
Setelah menjelaskan hadits-hadits tentang risywah di atas, dalam
paparannya syukani secara jelas mengatakan bahwa bila ada seseorang
yang menganggap ada bentuk- bentuk risywah tertentu dan dengan tujuan
tertentu diperbolehkan, maka hal itu harus disertai dengan alas an dan
dalil yang diterima. Sebab, dalam hadits tentang terlaknatnya para pelaku
risywah tidak disebutkan tentang jenis dan criteria-kriteria risywah.

Suap merupakan salah satu dosa besar, sebagimana yang dikemukakan


oleh al-Dzahabi dalam kitab al-kabair. Menurutnya, suap termasuk dosa
besar yang ke 22, hanya saja al-Dzahabi mengatakan sebuah pernyataan
yang dikritik secara keras oleh as-Syaukani di atas. Akan tetapi Ahmad al-
Siharanfuri dam Mubarakfuri membolehkan suap dengan tujuan
memperjuangkan hak dan kezaliman yang dirasakan oleh pihak pemberi
suap. Dengan mencermati pendapat para ulama ‫ئ‬diatas, bisa diketahui
bahwa pada umumnya suap yang bertujuan untuk memperjuangkan hak
dan menolak kezaliman yang mengancam diri seseorang. Akan tetapi, jika
hal ini dipraktikan di Indonesia yang sedang keras memberantas korupsi,
kolusi dan nepotisme, justru akan sangat rentan sebab seseorang pasti
akan berupaya mencari celah dan alas an agar bisa mendapat hak atau agar
selamat dari ketidakadilan dan kezaliman sehingga akhirnya ia melakukan
penyuapan kepada pejabat atau kepada pihak yang berwenang. Pendapat
ulma tentang pembolehan risywah yang bertujuan memperjuangkan hak
dan menolak ketidakadilan, tidaklah berdasarkan teks hadits

‫والمرتشي الراشي هللا لعن‬


"Allah mengutuk penyuap dan orang yang disuap"
Akan tetapi berdasrkan pada atsar atau riwayat para sahabat dan tabi’in
yaitu riwayat yang dikemukakan oleh al-Baghawi yang diriwayatkan dari
al-Hasan, al-Sya’bi, Jabir bin Zaid dan ‘Atha , sesengguhnya mereka

231
berpendapat bahwa seseorang tidak dianggap berdosa ketika dia
mnggunakan/mengatur diri dan hartanya (untuk elkukan penyuapan)pada
saat dia terancam dengan ketidakadilan.
Dijelaskan oleh Muhammad bin Ismail al-Kahlani al-San’ani bahwa
suap secara ijma’ dinyatakan haram, baik diberikan kepada hakim atau
petugas atas nama sedekah maupun diberikan buakn kepada keduanya.
Pendapat yang biasa diperoleh seorang hakim terdiri atas empat macam ;
suap, hadiah, gaji, dan rejeki. Suap agar hakim memutuskan perjara secara
tidak benar maka status hukumnya adalah haram, baik bagi pemberi
maupun penerima suap. Akan tetapi, jika tujuannya agar hakim
memutuskan perkara secra benar untuk (menyelesaikan) piutang pihak
pemberi suap maka motif suap sperti ini haram bagi hakim, tetapi halal
bagi penyuap sebab tujuannya untuk memperjuangkan hak yang mesti
diterima oleh penyuap. Suap motif ini sama denag upah bagi pemenang
sayembara yang bisa menemukan budak yang kabur dan sama dengan
upah oaring yang dipercaya dalam memenangkan persengketaan.
Suap yang dianggap halal sebagaimana paa ulama hadis pada
umumnya, yaitu suap yang dilakukan oleh seorang dalam rangka
memperjuangkan hak yang harus diterimanya, dalam contoh
penjelasannya disebutkan memperoleh harta milik yang masih piutang
pihak lain. Menurut al-san’ani, hakim dianggap sebagai pemenang
sayembara atau wakil delegasi yang berhasil dalam usaha membela klien
sehingga wajar jika mendapatkan upah atau jasa.
Hukum perbuatan risywah disepakati oleh para ulama adalah haram,
Khususnya risywah yang terdapat unsur membenarkan yang salah dan
atau menyalahkan yang mestinya benar. Akan tetapi ,para ulama
menganggap halal sebuah bentuk suap yang dilakukan dalam rangka
menuntut atau memperjuangkan hak yang mesti diterima oleh pihak
pemberi suap atau dalam rangka menolak kezaliman ,kemudaratan , dan
ketidakadilan yang di rasakan oleh pemberi suap.

Klasifikasi dan sanksi hukum pelaku risywah

Klasifikasi risywah

Pada uraian sebelumnya telah di kemukakan bahwa


risywah,suap,sogok, atau oleh UU No. 31 tahun 1999 tentang
pemberantasan tindak pidana korupsi pasal 12 b disebut dengan
gratisifikasi ,ada yang disepakati haram dan ada yang disepakti halal
hukumnya oleh para ulama
.
Risywah yang disepakati haram oleh para ulama adalah risywah yang
dilakukan dengan tujuan unutuk membenarkan yang salah dan
menyalahkan yang benar. Dengan kata lain, suap yang haram adalah suap
yang akibatnya mengalahkan pihak yang mestinya menang dan
memenangkan pihak yang mestinya kalah. Sedangkan suap yang
dinyatakan oleh mayoritas ulama halal adalah suap yang dilakukan
dengan tujuan untuk menuntut atau memperjuangkan hak yang mestinya
di terima oleh pemberi suap (al-rasyi) atau untuk menolak kemudaratan,

232
kezaliman, dan ketidakadilan yang di rasakan oleh pihak pemberi suap
tersebut.

Ibnu taimiyyah menjelaskan tentang alasan mengapa ada satu jenis


suap yang dianggap halal bagi pihak pemberi dan haram bagi penerima
suap.
Ibnu taimiyyah dalam majmu fatawa nya mengutip sebuah hadis yang di
riwayatkan oleh imam ahmad bin hanbal bahwa rasullah pernah
memberikan sejumlah uang kepada orang yang slalu meminta –minta
kepada beliau.
Atas dasar hadis ini ,muncul pendapat tentang adanya salah satu bentuk
suap yang biasa di benarkan, yaitu suap yang di lakukan oleh seseorang
dengan tujuan agar bisa memperoleh hak yang mestinya ia terima, atau
dalam rangka menolak kemudaratan,ketidakadilan, dan kezaliman yang
mengancam atau mengganggu diri pelaku.

Sanksi hukum bagi pelaku risywah

Abdullah muhsin al-thariqi mengemukakan bahwa sanksi hukum


pelaku tindak pidana suap tidak disebutkan secara jelas oleh syariat
(alquran dan hadis) , mengingat sanksi tindak pidana risywah masuk
dalam katagori sanksi –sanksi takzir yang kompetensinya ada di tangan
hakim. Untuk menentukan jenis sanksi yang sesuai dengan kaidah-kaidah
hukum islam dan sejalan dengan prinsip untuk memelihara stabilitas
hidup bermasyarakat sehingga berat dan ringannya sanksi hukum di
sesuaikan dengan jenis tindak pidana yang di lakukan ,disesuakan dengan
lingkungan di mana pelanggaran itu terjadi di kaitkan dengan motivasi-
motivasi yang mendorong sebuah tindak pidana dilakukan. abdul azis
amir mengatakan bahwa karena dalam teks-teks dalil tentang tindak
pidana risywah ini tidak disebutkan.

Jenis sanksi yang telah di tentukan maka sanksi yang di berlakukan


adalah hukuman takzir. Al-thariqi menjelaskan bahwa sanksi takzir bagi
pelaku jarimah/tindak pidana rasywah merupakn konssekuensi dari sikap
melawan hukum isalm dan sebagai konsekuensi dari sikap
menantang/bermaksiat kepada Allah.

Unsur riswah

Dalam beberapa hadist hanya dinyatakan bahwa Allah mengutuk


pemberi, penerima, dan perantara jarimah riswah.Namun demikian, unsur
riswah dalam rumusan pasal undang-undang korupsi menduduki posisi
kedua setelah khianat.
Dalam rumusan pasal tentang riswah disebutkan dengan kalimat “
menerima hadiah atau janji” berarti semangat melakukan jarimah riswah
bisa dipastikan berasal dari pihak yang akan menerima pemberian hadiah
ataupun janji. Walaupun ada kemungkinan antara pihak yang menerima
dan yang akan member telah terjadi kesepakatan lebih awal

233
PENGERTIAN WAKAF

Wakaf merupakan salah satu cara ibadah atau cara menghampiri diri
kepada Allah?(taqarrub ilallah) menerusi harta kekayaan. Wakaf juga
merupakan salah satu ibadah yang awal di dalam Islam yang diizinkan
oleh syarak. Dengan itu amalan wakaf telah menjadi satu tradisi kepada
para pemerintah dan hartawan-hartawan muslimin di abad-abad dan
pertengahan Islam yang dilakukan secara meluas khususnya di negara-
negara Arab dan Asia Tengah. Sehingga dikebanyakan negara Arab
ditubuhkan satu kementerian khas untuk mengendalikan urusan harta
wakaf – disebabkan harta wakaf yang terlalu banyak dan tidak terurus.

Wakaf Bahasa: Berhenti (‫)وقف‬, Menahan (‫)حبس‬, Menghalang (‫)منع‬

Wakaf Istilah/Syara’: “Wakaf ialah apa-apa harta yang ditahan hak


pewakaf ke atas harta tersebut daripada sebarang urusan jual beli,
pewarisan, hibah dan wasiat di samping mengekalkan sumber fizikalnya,
untuk kebajikan dengan niat untuk mendekatkan diri pewakaf kepada
Allah S .W.T”

Beberapa pengertian/definisi lain:

1) Definisi wakaf di sisi Abi Hanifah:


- iaitu menahan sesuatu asset atau harta yang sah pemiliknya pewakaf dan
bersedekah manfaatnya ke jalan kabajikan.

2) Definisi wakaf di sisi Jumhur Ulama’:


- iaitu menahan barangan harta yang boleh dimanfaatkan serta kekal
asetnya – dengan memutuskan guna pakai ke atas asset itu dari pihak
pewakaf atau lainya -ke arah kegunaan yang harus – atau diguna pakai
penghasilannya ke arah kebaikan dan kebajikan – kerana mendamping diri
kepada Allah.

3) Definisi wakaf di sisi Mazhab Maliki:

- iaitu pemilik menjadikan manfaat yang dimilikinya – sekalipun


dimilikinya dengan menyewa – ataupun dijadikan penghasilan seumpama
wang – kepada yang memerlukan – dengan jalan berlafaz- untuk jangka
masa yang ditetapkan oleh pewakaf. Dengan itu – wakaf di sisi Mazhab
Maliki ialah tidak memutuskan hak pemiliknya pada asset yang
diwakafkan -hanya memutuskan hak mengguna pakai sahaja.

RUKUN-RUKUN WAKAF

5. Pewakaf (Al-Wakif)
6. Harta yang diwakafkan (Al-Mawquf)
7. Penerima manfaat wakaf (Al-Mawquf’alaih)
8. Lafaz Akad ( Al-Sighah)

SYARAT –SYARAT PADA RUKUN WAKAF :

234
1. Pewakaf

a. Merdeka
b. Baligh
c .Berakal
d. Berkelayakan untuk berwakaf
e. Sukarela ( tidak dipaksa untuk berwakaf )

2. Harta yang diwakafkan

a. Harta yang mempunyai nilai.


b. Harta yang boleh dipindah milik.
c. Harta yang boleh diambil manfaat berkekalan.
d. Harta adalah milik sempurna pewakaf

3. Penerima manfaat wakaf


a. Penerima khusus samada seorang atau lebih
b. Penerima tidak khusus (tidak ditentukan penerima wakaf)

4. Lafaz akad

Akad adalah kata-kata yang boleh difahami atau tulisan untuk sesuatu
tujuan wakaf. Akad adalah wajib bagi mengesahkan wakaf.

KONSEP SUMPAH DALAM AL-QUR’AN

Latar Belakang

Sumpah merupakan kebiasaan bangsa Arab dalam berkomunikasi untuk


menyakinkan lawan bicaranya. Kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh
bangsa Arab merupakan suatu hal yang oleh al-Qur’an direkonstruksi
bahkan ada yang didekonstruksi nilai dan maknanya. Oleh karena itu, al-
Qur’an diturunkan di lingkungan bangsa Arab dan juga dalam bahasa
Arab, maka Allah juga menggunakan sumpah dalam mengkomunikasikan
Kalam-Nya.

Bahkan kebiasaan dalam hal bersumpah tersebut sudah ada sejak nilai
doktrin Islam belum eksis tatanan bangsa Arab. Meskipun bangsa Arab
dikenal dengan menyembah berhala (paganism) mereka tetap
rnenggunakan kata Allah dalam sumpahnya, seperti disinyalir oleh al-
Qur’an dalam surat Al-Fathiir yang berbunyi:

 
  
 
  
   

235
  
   
Artinya:”Dan mereka bersumpah dengan nama Allah dengan sekuat-kuat
sumpah; Sesungguhnya jika datang kepada mereka seorang pemberi
peringatan, niscaya mereka akan lebih mendapat petunjuk dari salah satu
umat-umat (yang lain). tatkala datang kepada mereka pemberi peringatan,
Maka kedatangannya itu tidak menambah kepada mereka, kecuali jauhnya
mereka dari (kebenaran)”. (QS. Al-Fathiir [35] : 42)

Atau dalam surat An-Nahl [16] : 38 yang berbunyi:

 
   
    
   
   
 
Artinya:”Mereka bersumpah dengan nama Allah dengan sumpahnya yang
sungguh-sungguh: “Allah tidak akan akan membangkitkan orang yang
mati”. (tidak demikian), bahkan (pasti Allah akan membangkitnya),
sebagai suatu janji yang benar dari Allah, akan tetapi kebanyakan manusia
tiada mengetahui”. (QS. An-Nahl [16] : 38).

Namun, konsep sumpah tersebut berbeda dengan kebiasan bangsa


Indonesia, sumpah lebih mengacu kepada sebuah kesaksian atau
menguatkan kebenaran sesuatu dalam forum resmi, seperti kesaksian saksi
dalam pengadilan dan sumpah jabatan, dengan tekad menjalankan tugas
dengan baik.

Dan bagaimana konsep, redaksi dan lafal sumpah dalam al-Qur’an yang
banyak mewarnai ayat-ayat ?.

Pengertian, Redaksi Dan Lafal Sumpah

Kata sumpah berasal dari bahasa Arab َ َ‫اْلق‬


‫س ُم‬ (al-qasamu) yang
bermakna ‫ين‬ ُ ‫( اْليَ ِم‬al-yamiin) yaitu menguatkan sesuatu dengan
menyebutkan sesuatu yang diagungkan dengan menggunakan huruf-huruf
(sebagai perangkat sumpah) seperti ‫ و‬, ‫ ب‬dan huruf lainnya.

Berhubung sumpah itu banyak digunakan orang untuk menguatkan


sesuatu, maka kata kerja sumpah dihilangkan sehingga yang dipakai
hanya huruf ‫ب‬-nya saja. Kemudian huruf ‫ ب‬diganti dengan huruf ‫و‬, seperti
firman Allah dalam surat Al-Lail [92] ayat 1 yang berbunyi:
   
Artinya:”Demi malam apabila menutupi (cahaya siang)”. (QS. Al-Lail
[92] : 1)

236
Kadang-kadang sumpah juga menggunakan huruf-huruf ‫ت‬, seperti firman
Allah dalam surat Al-Anbiya’
  
  
 
Artinya:”Demi Allah, Sesungguhnya Aku akan melakukan tipu daya
terhadap berhala-berhalamu sesudah kamu pergi meninggalkannya”. (QS.
Al-Anbiya [27] : 57)

Tapi, yang paling lazim digunakan atau dipakai dalam sumpah adalah
huruf ‫و‬.
Menurut “Kamus Besar Bahasa Indonesia”, sumpah diartikan sebagai:

a. Pernyataan yang diucapkan secara resmi dengan saksi kepada Tuhan


atau kepada sesuatu yang dianggap suci (untuk menguatkan
kebenaran).
b. Pernyataan yang disertai tekad melakukan sesuatu untuk menguatkan
kebenaran atau berani menderita sesuatu kalau pernyataan itu tidak
benar.
c. Janji atau ikrar yang teguh ( akan menunaikan sesuatu).
Sedangkan menurut Louis Ma’luf, dalam konteks bangsa arab, sumpah
yang diucapkan oleh orang Arab itu biasanya menggunakan nama Allah
atau selain-Nya. Pada intinya sumpah itu menggunakan sesuatu yang
diagungkan seperti nama Tuhan atau sesuatu yang disucikan.

Akan tetapi, bangsa Arab pra-Islam yang dikenal sebagai masyarakat yang
menyembah berhala (paganism). Mereka menyebutkan atau mengatakan
sumpah dengan atas nama tuhannya dengan sebutan Allah, seperti dalam
yang tersurat dalam al-Qur’an surat Al-Ankabuut ayat 61 yang berbunyi:
   
 
 
 
    
Artinya:”Dan Sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka:
“Siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari
dan bulan?” tentu mereka akan menjawab: “Allah”, Maka betapakah
mereka (dapat) dipalingkan (dari jalan yang benar)”. (QS. Al-Ankabuut
[29] : 61)

Dan selanjutnya, juga dalam surat Al-Ankabut ayat 63 dijelaskan bahwa:


   
  
   
  
     

237
  
  
Artinya:”Dan Sesungguhnya jika kamu menanyakan kepada mereka: “Siapakah yang
menurunkan air dari langit lalu menghidupkan dengan air itu bumi sesudah matinya?”
tentu mereka akan menjawab: “Allah”, Katakanlah: “Segala puji bagi Allah”, tetapi
kebanyakan mereka tidak memahami(nya)”. (QS. Al-Ankabut [29] : 63)

Dhamir (kata ganti) ‫ هم‬dalam surat Al-Ankabut ayat 63 tersebut, seperti


dikutip Toshihiko Izutsu berarti “the pagan Arabs”. Izutsu berpendapat
ada lima konsep Allah menurut bangsa Arab pra-Islam seperti yang
disebut oleh al-Qur’an yaitu:

Allah adalah pencipta dunia;


Allah adalah pencipta hujan, lebih umum lagi Dia-lah yang menciptakan
kehidupan di permukaan bumi;
Allah satu-satunya yang berhak disebut dalam sumpah;
Allah adalah obyek monoteisme “sementara”;
Allah adalah Tuhannya Kabah (Lord of Ka’bah).
Sedangkan huruf-huruf yang berfungsi sebagai perangkat sumpah atau
untuk membentuk lafal sumpah ada 3 macam yaitu:

1. Wawu (‫) و‬

Seperti firman Allah dalam surat Adz-Dzariyaat ayat 23 yang berbunyi:


 
  
  
 
Artinya:”Maka demi Tuhan langit dan bumi, Sesungguhnya yang
dijanjikan itu adalah benar-benar (akan terjadi) seperti perkataan yang
kamu ucapkan”. (QS. Adz-Dzariyaat [51] : 23).

Dengan masuknya huruf wawu – sebagai huruf qasam – maka ’amil


(pelaku)nya wajib dihapuskan. Dan setelah wawu harus diikuti dengan
isim dlahir.

2. Ba’ ( ‫) ب‬

Seperti dalam firman Allah dalam surat A-Qiyaamah ayat 1 yang


berbunyi:
  
 
1. Aku bersumpah demi hari kiamat,

Artinya:”Aku bersumpah demi hari kiamat”. (QS. Al-Qiyaamah [75] : 1)

Maka dengan masuknya huruf Ba’ ini boleh disebutkan ’amil-nya


sebagaimana contoh di atas, dan boleh juga menghapusnya, sebagaimana

238
firman Allah dalam surat Shaad ayat 82 tentang Iblis yang bersumpah
untuk menyesatkan manusia:
  
 

Artinya:”Iblis menjawab: “Demi kekuasaan Engkau Aku akan
menyesatkan mereka semuanya. (QS. Shaad [ 38 ] : 82).

Setelah huruf Ba’ boleh diikuti isim dlahir sebagaimana telah dicontohkan
di atas, dan boleh juga diikuti oleh isim dlamir.

3. Ta’ ( ‫)ت‬

Seperti dalam firman Allah dalam surat An-Nahl ayat 56:


  
 
  
 
  

Artinya:”Dan mereka sediakan untuk berhala-berhala yang mereka tiada
mengetahui (kekuasaannya), satu bahagian dari rezki yang Telah kami
berikan kepada mereka. demi Allah, Sesungguhnya kamu akan ditanyai
tentang apa yang Telah kamu ada-adakan”. (QS. An-Nahl [16 ] : 56).

Dengan masuknya huruf Ta’ ini, ’amil (pelaku)-nya harus dihapuskan dan
tidak bisa diikuti sesudahnya kecuali isim jalalah (nama Allah), yaitu ‫هللا‬
atau ِّ‫رب‬.

Pada dasarnya, kebanyakan al-muqsam bih (sesuatu yang dijadikan dasar


atau landasan sumpah) itu disebutkan, sebagaimana pada contoh-contoh
terdahulu. Dan kadang-kadang dihapus dengan ‘amil (pelaku)-nya.
Bentuk yang seperti ini banyak sekali, misalnya firman Allah dalam Al-
Qur’an surat At-Takaatsur ayat 8 yang berbunyi:
  
  
Artinya:”Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang
kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu)”. (QS. At-
Takaastur [102 ] : 8)

Pada dasarnya, kebanyakan al-muqsam ‘alaih (sesuatu yang disumpahkan)


disebutkan. Seperti dalam firman Allah :
  
    
  

239
  
   
  
7. Orang-orang yang kafir mengatakan bahwa mereka sekali-kali tidak akan
dibangkitkan. Katakanlah: "Memang, demi Tuhanku, benar-benar kamu akan
dibangkitkan, kemudian akan diberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan."
yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.

Artinya:”Orang-orang yang kafir mengatakan bahwa mereka sekali-kali


tidak akan dibangkitkan. Katakanlah: “Memang, demi Tuhanku, benar-
benar kamu akan dibangkitkan, Kemudian akan diberitakan kepadamu apa
yang Telah kamu kerjakan.” yang demikian itu adalah mudah bagi Allah”.
(QS. At-Taghaabun [64] : 7)

Dan kadang-kadang boleh dihapus, seperti dalam firman Allah ta’ala :


   

Artinya:”Qaaf, demi Al Quran yang sangat mulia”. (QS. Qaaf [50] : 1).

[1411] Ialah huruf-huruf abjad yang terletak pada permulaan sebagian dari surat-surat Al
Quran seperti: Alif laam miim, Alif laam raa, Alif laam miim shaad dan sebagainya.
diantara Ahli-ahli tafsir ada yang menyerahkan pengertiannya kepada Allah karena
dipandang Termasuk ayat-ayat mutasyaabihaat, dan ada pula yang menafsirkannya.
golongan yang menafsirkannya ada yang memandangnya sebagai nama surat, dan ada
pula yang berpendapat bahwa huruf-huruf abjad itu gunanya untuk menarik perhatian
Para Pendengar supaya memperhatikan Al Quran itu, dan untuk mengisyaratkan bahwa
Al Quran itu diturunkan dari Allah dalam bahasa Arab yang tersusun dari huruf-huruf
abjad. kalau mereka tidak percaya bahwa Al Quran diturunkan dari Allah dan hanya
buatan Muhammad s.a.w. semata-mata, Maka cobalah mereka buat semacam Al Quran
itu.

Selain dari unsur-unsur dan redaksi sumpah tersebut di atas, yang paling
fundamental adalah rukun sumpah yang merupakan unsur-unsur sumpah
muncul. Nashruddin Baidan mengungkapkan bahwa rukun sumpah ada 4,
yaitu:

Muqsim (pelaku sumpah).


Muqsam Bih (sesuatu yang dipakai sumpah).
Adat Qasam (alat untuk bersumpah).
Muqsam “Alaih (berita yang dijadikan isi sumpah atau disebut juga
dengan jawab sumpah).
Manfaat Sumpah Dalam Al-Qur’an

Manna al-Quththan berargumentasi manfaat sumpah merujuk disiplin


ilmu balaghah, al-ma ‘ani. Dalam ilmu ini ada tiga tingkatan psikologis
mukhatab atau lawan bicara yaitu ibtidai yaitu;

Lawan bicara tidak ada asumsi apa-apa terhadap mutaknllim (pengujar


dalam ‘tradisi lisan atau penulis’ dalam ‘tradisi tulisan’).
Kondisi mukhatab itu ragu-ragu terhadap ucapan mutakkallim, maka
dinamakan thalaby.

240
Mukhatab tidak percaya terhadap ucapan pengujar dinamakandengan
inkary.
Pada kondisi yang psikologis thalaby dan inkary dibutuhkan suatu
penegasan. Keadaan psikologis manusia inilah al-Qur’ an merangkumnya
dengan konsep qasam yang mengadaptasi terhadap kebiasaan (bahasa)
Arab.

Sedangkan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin mengatakan


bahwa faedah dalam bersumpah adalah:

Menjelaskan tentang agungnya al-muqsam bihi (yang dijadikan landasan


atau dasar sumpah).
Menjelaskan tentang pentingnya al-muqsam ‘alaih (sesuatu yang
disumpahkan) dan sebagai bentuk penguat atasnya.
Oleh karena itu, tidaklah tepat bersumpah kecuali dalam keadaan berikut :

Hendaknya sesuatu yang disumpahkan (al-muqsam ‘alaih) itu adalah


sesuatu yang penting.
Adanya keraguan dari mukhaththab (orang yang diajak bicara).
Adanya pengingkaran dari mukhaththab (orang yang diajak bicara)
Terlepas dari apakah argumen yang dipaparkan Mana’ul Al-Quththan dan
Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin tersebut apologis, secara
hermeneutis sebenamya setiap pengarang, teks dan pembaca tidak terlepas
dari konteks sosial, politis, psikologis, teologis, dan konteks lainnya
dalam ruang dan waktu tertentu, maka dalam memahami ‘sejarah’ yang
diperlukan bukan hanya transfer makna, melainkan juga transformasi
makna.

Dengan begitu, tidak semua doktrin dan pemahaman agama (tafsir)


berlaku sepanjang zaman dan tempat, mengigat antara lain gagasan
universal Islam tidak semuanya tertampung dalam bahasa Arab yang
bersifat lokal-kultural, serta terungkap dalam tradisi kenabian. Itulah
sebabnya setiap zaman muncul berbagai ulama yang menafsirkan ajaran
agama dari al-Qur’ an yang tidak ada batas akhimya. Jika logika ini
diteruskan maka akan timbul pertanyaan yang menggelisahkan, bisakah
manusia memahami dan menggali gagasan-gagasan Tuhan yang universal
namun terwadahi dalam bahasa lokal (bahasa Arab, ini pun sudah
tereduksi Arab versi Quraisy, bukan sebagai bahasa Arab lingua franca).
Hanya saja, dalam psikologi linguistis dikatakan, sebuah ungkapan dalam
bentuk omongan atau tulisan kadang kala kebenarannya serta maksudnya
berada jauh ke depan. bukan berhenti apa yang diucapkan ketika itu.
Artinya kebenaran itu bersifat intensional dan teleologis.

Ada pertanyaan yang menarik yang dilontarkan oleh az-Zarkasyi dan


as-Sayuthi. Apa gunanya sumpah dalam al-Qur’an bagi orang beriman,
yang pasti percaya firman Tuhan. Atau sebaliknya, percuma saja kalimat
sumpah dalam al­Qur’an yang ditujukan kepada orang kafir.
Bagaimanapun juga mereka tidak percaya kebenaran al-Qur’an. As-
Sayuthi berargumentasi bahwa al­Qur’ an diturunkan dalam bahasa Arab,
sedangkan kebiasaan bangsa Arab (ketika itu) menggunakan al-qasam

241
ketika menguatkan atau menyakinkan suatu persoalan. Sedangkan Abu al-
Qasim al-Qusyairi berpendapat al-qasam dalam al--Qur’an untuk
menyempumakan dan menguatkan argumentasi (hujjah). Dia beralasan
untuk memperkuat argumentasi itu bisa dengan kesaksian (syahadah) dan
sumpah (al-qasam). Sehingga tidak ada lagi yang bisa membantah
argumentasi tersebut, seperti :
1. QS.3:18 yang berbunyi :

   


  

 
   
   
 
Artinya : Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia
(yang berhak disembah), yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan
orang-orang yang berilmu[188] (juga menyatakan yang demikian itu). tak
ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), yang Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana.
[188] Ayat ini untuk menjelaskan martabat orang-orang berilmu.

2. dan QS.1O:53.yang berbunyi ;

   


   
   
 
Artinya : Dan mereka menanyakan kepadamu: "Benarkah (azab yang
dijanjikan) itu? Katakanlah: "Ya, demi Tuhanku, Sesungguhnya azab itu
adalah benar dan kamu sekali-kali tidak bisa luput (daripadanya)".

Alasan yang dipakai as-Sayuthi terjadi persoalan serius kalau memakai


teori sastra kontemporer aliran strukturalisme dengan konsep penulis, teks
dan pembaca. Dalam teori resepsi strukturalis pembaca penulis
dianggap”’mati’, yang menentukan makna (meaning) adalah pembaca.
Secara tidak disadari as-Sayuthi menganggap Tuhan yang menciptakan
penanda (signifier) dalam menghasilkan tanda (sign) mengikuti alur dan
kebiasaan dari pembaca petanda (reader/signified) signified Padahal
dalam konsep teologi Sunni, kalam Tuhan sebagai penanda dan
‘menentukan’ petanda. Berbeda dengan alasan al-Qusyairi fungsi sumpah
dalam al-qur’ an hanya penegasan argumentasi untuk pembaca (reader)
ayat suci sebagai pembawa ‘tawaran’ wacana (discourse), yang
mempengaruhi kepada pembaca.

Namun sebagai kitab suci seperti yang digagas Mohammed Arkoun, al-
Qur’an adalah sebuah teks yang terbuka dan teks yang menelaah berbagai
situasi batas kondisi manusia: keberadaan, cinta kasih, hidup dan mati.
242
Pemyataan Arkoun ini mengisyaratkan adanya dialektika aan psikologis
manusia yang ‘diajak bicara’.

Kesimpulan

Al-qasam (sumpah) merupakan kebiasaan bangsa Arab untuk.


menyakinkan lawan bicaranya (mukhatab). Semenjak dari pra Islam,
masyarakat Arab sudah akrab memakai qasam untuk menegaskan bahwa
yang dikatakannya itu benar. Setelah Islam datang, sumpah boleh
dilakukan hanya dengan nama Allah. Kalau melanggar bisa terkena sanksi
teologis dengan ‘vonis’ syirk, menyekutukan Tuhan. Berbeda dengan al-
Qur’an, Allah secara absolut menggunakan sumpah tersebut. Dia biasanya
bersumpah dengan dua cara yaitu dengan menyebut diri--Nya yang Maha
Agung atau dengan menyebut ciptaan-Nya. Sisanya bersumpah dengan
nama makhluk-Nya. Maksud menyebutkan ciptaan-Nya itu untuk
menyebutkan keutamaan . (fadlilah) dan manfaat bagi kesejahteraan
manusia.
     
10. Dan janganlah kamu ikuti Setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina,

SAKSI

Hakikat Persaksian

Islam dibangun di atas lima rukun. Yang pertama adalah kesatuan dari dua
syahadah (persaksian) ‫ هللاُ إالَّ إِلهَ ِّل أ َ ْن‬dan syahadah ‫س ْو ُل ُم َح َّمدًا أ َ َّن‬
ُ ‫ هللاِ َر‬. Dua
syahadah ini merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, sebab
yang satu melazimkan yang lainnya. Kesatuan kedua syahadah tersebut
tampak jelas tatkala keduanya dijadikan satu perkara yang harus diserukan
kepada manusia untuk kali yang pertama sebelum sholat, zakat, dan
kewajiban yang lain.

Sebagaimana yang diriwayatkan oleh sahabat Abdulloh ibnu Abbas


bahwa Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam mengutus Muadz ke Yaman,
lalu beliau bersabda Artinya :
“Serulah mereka untuk bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak
diibadahi dengan benar selain Alloh dan bahwa aku adalah utusan Alloh,
bila mereka telah taat maka beritahukan kepada mereka bahwa Alloh telah
mem-fardhu-kan atas mereka sholat lima waktu dalam setiap sehari
semalam, bila mereka telah taat maka beritahukan kepada mereka bahwa
Alloh telah mem-fardhu-kan kepada mereka zakat pada harta-harta
mereka yang dipungut dari orang-orang kaya di antara mereka dan
diterimakan kepada orang-orang fakir di antara mereka pula.” (HR.
Bukhori: 1331 dan Muslim: 19, 29)

Di antara hal yang sangat prinsip sehingga dua syahadah tersebut


dijadikan satu kesatuan adalah sebab sahnya peribadahan seorang hamba
hanya apabila dibangun di atas keduanya sekaligus. Di mana syahadah
menuntut adanya keikhlasan hanya untuk Alloh semata, dan syahadah

243
menuntut kesesuaian dengan sunnah Rosululloh. Sedangkan setiap amalan
ibadah tidak akan diterima oleh Alloh kecuali bila terpenuhi dua syarat
tersebut; ikhlas dan sesuai dengan sunnah Rosululloh.

Oleh karena itu sebagai seorang muslim tidak cukup memahami hakikat
ْ َ ‫ هللا إالَّ ِإلهَ ْل أ‬semata kecuali ia juga harus memahami hakikat
syahadah ‫ن‬
َّ َ ‫أ‬
syahadah ‫ن‬ ‫س ْو ُل ُم َح َّمدًا‬
ُ ‫ هللاِ َر‬.
Makna Syahadah/Kesaksian

Syahadah َّ‫ح َّمدًا أَن‬


َ ‫س ْو ُل ُم‬
ُ ‫ هللاِ َر‬maknanya mengikrarkan dengan lisan dan
mengimani dengan hati atau pengakuan secara lahir maupun batin bahwa
Muhammad bin Abdulloh –dari suku Qurosy anak keturunan Hasyim–
adalah seorang Nabi yang Alloh utus dengan membawa wahyu kepada
seluruh makhluk dari kalangan jin dan manusia, sehingga tidak ada
peribadahan kepada Alloh Azza wa Jalla selain dari jalan wahyu yang
beliau bawa.

Makna syahadah ini melahirkan sebuah kewajian atas setiap muslim, yaitu
mewujudkan syahadahnya dalam bentuk keyakinan dalam hati atas
maknanya, dan mengakui dengan ikrar lisannya, kemudian dia terapkan
dalam bentuk mengikuti sunnah beliau Shollallohu ‘alaihi wa sallam
dengan amalan anggota badannya. Sehingga ia pun beramal ibadah
menurut petunjuk beliau dan tidak beramal ibadah yang ditujukan kepada
beliau Shollallohu ‘alaihi wa sallam.

Aplikasi Syahadah

Secara singkat hakikat bersyahadah ‫س ْو ُل ُم َح َّمدًا أ َ َّن‬


ُ ‫ هللاِ َر‬adalah terwujud
dalam bentuk pembenaran seorang muslim akan seluruh kabar yang beliau
sampaikan, ketaatan akan perintah, sikap menghindar dan menjauh dari
segala larangan dan celaan. Juga teraplikasi pada sikap menahan diri dari
peribadahan kepada Alloh kecuali yang dibangun di atas petunjuk beliau
Shollallohu ‘alaihi wa sallam.

Mengapa harus membenarkan kabar yang beliau sampaikan? Sebab


seluruh kabar yang beliau sampaikan bersumber dari wahyu yang Alloh
turunkan dari langit, dari sisi-Nya. Alloh berfirman:
   
   
    
    
   
  
Artinya : 1. Demi bintang ketika terbenam.2. Kawanmu (Muhammad)
tidak sesat dan tidak pula keliru.3. Dan Tiadalah yang diucapkannya itu
(Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya.4. Ucapannya itu tiada lain

244
hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).5. Yang diajarkan
kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat. (QS. An-Najm [53] : 1-5)

Mengapa harus taat atas perintahnya dan menghindari larangan serta


celaannya? Sebab beliau pembawa kabar gembira bagi orang yang taat
dan telah menyampaikan ancaman atas orang yang durhaka.

Mengapa pula hanya beribadah keada Alloh sesuai dengan petunjuk


sunnahnya? Sebab ibadah kepada Alloh itu tidak diketahui hakikatnya
selain dari wahyu yang beliau bawa yang terperinci dalam bentuk sunnah-
sunnah beliau Shollallohu ‘alaihi wa sallam.

Maka seorang muslim akan mengimani dan meyakini serta melakuan hal-
hal berikut:

1. Beriman dan meyakini bahwa beliau adalah benar-benar utusan Alloh


dan bahwa risalah ajarannya menyeluruh bagi seluruh manusia, dari
bangsa Arab maupun selain mereka, dan juga bagi seluruh jin

Alloh Azza wa Jalla berfirman:

   


  
… 
Artinya : Katakanlah: "Hai manusia Sesungguhnya aku adalah utusan
Allah kepadamu semua, (QS. Al-A’rof [7] : 158)

Dalam ayat lainnya Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

  


  
  
   
Artinya : Dan kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat
manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi
peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada Mengetahui. (QS. Saba’ [34]
: 28)

Dalam sebuah hadits beliau Shollallohu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda


Artinya :“Dan seorang nabi sebelumku itu diutus hanya untuk kaumnya
sedangkan aku diutus kepada seluruh manusia.” (HR. Bukhori: 323 dan
Muslim: 810)

2. Beriman dan meyakini bahwa beliau adalah seorang manusia biasa


sebagaimana hamba Alloh yang lainnya yang tidak berhak diibadahi
sedikit pun, sekaligus seorang Rosul yang tidak halal didustakan sedikit
pun. Maka tidak boleh mendudukkan beliau pada derajat tertentu melebihi
derajat yang diberikan oleh Alloh kepada beliau tersebut.

245
Dari Ibnu Abbas bahwa beliau mendengar Umar bin Khothob khotbah di
atas mimbar dengan mengatakan, “Aku mendengar Nabi Shollallohu
‘alaihi wa sallam bersabda artinya :

‘Janganlah kalian berlebih-lebihan menyanjungku sebagaimana orang-


orang nashrani melakukannya kepada Isa bin maryam. Aku hanyalah
hamba Alloh, maka katakanlah (untuk menyebutku) hamba Alloh dan
Rosul-Nya.’” (HR. Bukhori: 3189)

3. Beriman dan meyakini bahwa beliau adalah penutup para nabi dan
rosul, dan bahwa Alqur’an yang beliau bawa kepada umat ini adalah kitab
samawy terakhir yang diturunkan dari sisi Alloh sebagai penyempurna
kitab samawy yang terdahulu, dan bahwa syari’at beliau menghapus
seluruh syari’at sebelumnya.
Alloh Azza wa Jalla berfirman:

   


  
  
  
   
 
Artinya : Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki
di antara kamu, tetapi dia adalah Rosulullah dan penutup nabi-nabi. dan
adalah Alloh Maha mengetahui segala sesuatu. (QS. Al-Ahzab [33] : 40)

4. Menaati perintah beliau, membenarkan kabar-kabar yang beliau


sampaikan, dan menyambut dakwah beliau. Alloh Azza wa Jalla
berfirman:

  


…  
Katakanlah: “Taatlah kepada Alloh dan taatlah kepada Rosul…” (QS. An-
Nur [24] : 54)

Dan sungguh Alloh telah menjadikan ketataatan kepada beliau sama saja
artinya dengan taat kepada-Nya. Bahkan di banyak ayat Alloh
menyandingkan ketaatan kepada-Nya dengan ketaatan kepada beliau
seperti pada ayat di atas.

Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:


   
   
 

246
 

Artinya : Barangsiapa yang mentaati Rosul, sesungguhnya ia telah
mentaati Alloh. dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka
kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka. (QS. An-
Nisa [4]’: 80)

5. Membenarkan kabar yang beliau bawa dan sampaikan. Alloh Azza wa


Jalla berfirman:
  
   
  
Artinya : Dan orang yang membawa kebenaran dan membenarkannya,
mereka Itulah orang-orang yang bertakwa. (QS. Az-Zumar [39] : 33)

Mujahid, Qotadah, Robi’ bin Anas, dan Ibnu Zaid berkata bahwa yang
membawa kebenaran (dalam ayat di atas) adalah Rosululloh Shollallohu
‘alaihi wa sallam. Dan Abdur Rohan bin Zaid bin Aslam berkata bahwa
yang membenarkan (dalam ayat di atas) adalah kaum muslimin.

Dan dalam banyak ayat Alloh mencela orang-orang yang mendustakan


kabar yang beliau bawa, dan bahwa sunatulloh atas mereka adalah
ditimpakan adzab dan kehinaan.
6. Memenuhi seruan dakwah beliau. Alloh Azza wa Jalla memerintah
orang-orang yang beriman agar memenuhi seruan dahwah beliau dalam
firman-Nya (artinya):
 

 
 
 
…  
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Alloh dan
seruan Rosul apabila Rosul menyeru kamu kepada suatu yang memberi
kehidupan kepada kamu… (QS. Al-Anfal [8] : 24)

Dan Alloh memperingatkan dari mengikuti hawa nafsu untuk tidak


memenuhi seruan beliau, dengan firman-Nya:

  


  
  
  
  

247
      
 
 

Artinya : Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu) Ketahuilah


bahwa Sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka
(belaka). dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti
hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Alloh sedikitpun.
Sesungguhnya Alloh tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang
zalim. (QS. al-Qoshosh [28] : 50)

7. Mencintai Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam di atas kecintaan


kepada seluruh manusia, harta, maupun tahta. Dalam sebuah hadits dari
sahabat Anas bin malik beliau Shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda
artinya :

“Tidak beriman seseorang di antara kalian sehingga aku lebih ia cintai


dari orang tuanya, anaknya, juga seluruh manusia.” (Muttafaqun ‘alaih)

Bahkan Alloh mengancam siapa saja yang mendahulukan kecintaan


kepada selain-Nya dan selain Rosululloh, siapa saja dia, dengan ancaman
adzab yang pedih.

Suatu ketika Rosululloh berada di antara para sahabatnya. Beliau


menggenggam tangan Umar rodhiallohuanhu, lalu Umar rodhiallohuanhu
berkata kepada Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam, “Demi Alloh ya,
Rosululloh. Sungguh engkau lebih aku cintai dari segala sesuatu selain
diriku.” Maka Rosululloh pun bersabda: “Demi Alloh yang jiwaku ada di
tangan-Nya. Tidaklah beriman seorang di antara kalian sehingga aku lebih
ia cintai dari dirinya sendiri.” Maka Umar berkata, “Demi Alloh, sekarang
engkau lebih aku cintai dari diriku sendiri.” Maka Rosululloh pun
bersabda: “Sekarang, wahai Umar.” (HR. Bukhori: 6632)

Maksud sabda beliau Shollallohu ‘alaihi wa sallam kepada Umar adalah:


“Sekarang engkau telah mengerti dan engkau telah mengucapkan apa
yang wajib kamu ucapkan.”

8. Menolong beliau, mengagungkannya semasa hidupnya, dan menolong


sunnahnya sepeninggal beliau.

Hikmah diutusnya beliau Shollallohu ‘alaihi wa sallam menjadi rosul


adalah agar orang-orang yang telah beriman kepada beliau menolong dan
mengagungkannya. Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

 
 

248
 
 



 
 
Artinya : Sesungguhnya kami mengutus kamu sebagai saksi, pembawa
berita gembira dan pemberi peringatan, supaya kamu sekalian beriman
kepada Alloh dan Rosul-Nya, menguatkan (agama)Nya, membesarkan-
Nya. dan bertasbih kepada-Nya di waktu pagi dan petang. (QS. Al-Fath
[48] : 8-9)

9. Berwala’ (loyal) kepada beliau. Artinya, persaksian ‫س ْو ُل ُم َح َّمدًا أ َ َّن‬


ُ ‫هللاِ َر‬
teraplikasikan dengan menjadikan Alloh, Rosul-Nya, dan orang-orang
yang beriman sebagai penolongnya, sebagaimana Alloh Azza wa Jalla
berfirman:

  


 
 
 
 
   
  
 
   
 
Artinya : Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Alloh, Rosul-Nya, dan
orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat,
seraya mereka tunduk (kepada Alloh). Dan barangsiapa mengambil Alloh,
Rosul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, Maka
Sesungguhnya pengikut (agama) Alloh Itulah yang pasti menang. (QS.
Al-Maidah [5] : 55-56)

10. Berhukum dengan syari’at beliau, menjadikan beliau hakim, berserah


diri pada hukum beliau dan ridho dengannya. Alloh Azza wa Jalla
berfirman:

  


 
  
 
  
  
249
 
 
.

Sesungguhnya jawaban oran-orang mukmin, bila mereka dipanggil


kepada Alloh dan Rosul-Nya agar Rosul menghukum (mengadili) di
antara mereka ialah ucapan. “Kami mendengar, dan kami patuh”. dan
mereka Itulah orang-orang yang beruntung. (QS. An-Nur [24] : 51)

Alloh Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:

   


   
  
  
    
   
  
Artinya : Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula)
bagi perempuan yang mukmin, apabila Alloh dan Rosul-Nya Telah
menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain)
tentang urusan mereka. dan barangsiapa mendurhakai Alloh dan Rosul-
Nya Maka sungguhlah dia Telah sesat, sesat yang nyata. (QS. Al-Ahzab
[33] : 36)

   


  
   
  
  
 

Artinya : Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman
hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka
perselisihkan, Kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu
keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima
dengan sepenuhnya. (QS. An-Nisa’[4] : 65)

11. Meneladani beliau Shollallohu ‘alaihi wa sallam dan mengikuti


sunnahnya. Dalam ayat imtihan (ujian) Alloh Subhanahu wa Ta’ala
berfirman:
   
 
  
   
  

250
Artinya : Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Alloh, ikutilah
aku, niscaya Alloh mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Alloh
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Ali Imron [3] : 31)

12. Mengembalikan perkara kepada beliau ketika masih hidup, dan


kepada sunnahnya sepeninggal beliau. Alloh Subhanahu wa Ta’ala
berfirman (artinya):

 
  
 
   
   
  
  
 
  
  
 
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, taatilah Alloh dan taatilah Rosul
(nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Alloh (Al
Quran) dan Rosul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada
Alloh dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya. (QS. An-Nisa’[4] : 59)

13. Mendahulukan sunnah beliau di atas seluruh pendapat siapa pun dari
manusia. Alloh Azza wa Jalla berfirman:
 
  
  
  
    
 
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului
Alloh dan Rosul-Nya dan bertakwalah kepada Alloh. Sesungguhnya Alloh
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. Al-Hujurot [49] : 1)

14. Senantiasa berhati-hati untuk tidak menyelisihi sunnah beliau dan


menentangnya. Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
  
  
   
  


251
Artinya : …Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya
takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih. (QS. An-Nur
[24] : 63)

  


    
  
 
  
  
  
Artinya : Dan barangsiapa yang menentang Rosul sesudah jelas kebenaran
baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin,
kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang Telah dikuasainya itu dan
kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk
tempat kembali. (QS. An-Nisa’[4] : 115)

Muhasabah

Sudah sekian kali banyaknya kita sebagai seorang muslim mengikrarkan


syahadah َّ‫ح َّمدًا أَن‬
َ ‫س ْو ُل ُم‬
ُ ‫ هللاِ َر‬maka seyogiaya seiring itu pula kita
senantiasa muhasabah (introspeksi diri) atas syahadah kita.

Sudahkah ia teraplikasikan dalam hati sebagai sebuah keyakinan yang


kokoh menghujam, juga dalam ucapan serta amalan kita?

Atau sebaliknya, masihkah saja peribadahan kepada Alloh itu tercampuri


dengan bid’ah dan jauh dari sunnah Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa
sallam?

Tinjau kembali syahadah diri kita, lalu luruskan dan benarkan, kemudian
segera aplikasikan. Wabillahit taufiq.

BIDANG SIYASAH KEPEMIMPINAN DAN


PROBLEMATIKANYA

Pemimpin dan Kepemimpinan Baru Indonesia

Bertambah lagi usia bangsa ini. Indonesia Raya genap 63 tahun. Namun
masa yang telah lewat itu belum mendekatkan nasib bangsa ini kepada
negara yang dicita-cita seperti yang termaktub dalam alinea terakhir
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945: Negara yang pemerintahannya
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, dan
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban

252
dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial.

Masalah-masalah Bangsa

Sampai detik ini sejumlah masalah masih mengidap di tubuh bangsa


ini. Di bidang Politik, hukum dan keamanan, bangsa kita adalah raksasa
rapuh. Rumah bangsa ini tidak punya pagar. Kapal-kapal asing bebas
keluar masuk menjarah ikan di perut laut pedalaman. Bahkan negara
tetangga tanpa rasa takut memindahkan patok-patok batas negara.
Maklum, peralatan perang tentara kita lawas. Sementara, budaya koruptif
begitu akut dan sistemik ada di seluruh struktur urusan publik.

Di sektor Kesra, sejumlah borok bangsa masih belum hilang: Angka


kemiskinan tinggi. Pendidikan dan kesehatan mahal. Anak-anak busung
lapar belum hilang dari angka statistik. Untuk urusan bencana, begitu
lambat penanganannya. Ini adalah wujud minimnya rasa empati negara
terhadap kesengsaraan rakyatnya. Belum lagi konflik horizontal, baik
yang bermotif sara ataupun bermotif ekonomi. Ini pertanda negara tidak
hadir di saat rakyat membutuhkan sebagai lembaga yang memiliki otoritas
mengatur ketertiban.

Di bidang ekuin. Kita tidak berdaulat atas nasib ekonomi kita sendiri.
Bahkan, kalah nyali dengan pemodal asing dalam setiap negosiasi
membagi kue hasil usaha. Akibatnya, kita krisis energi. Antre minyak
menjadi pemandangan sehari-hari. Antre bensin. Pemadaman listrik.

Kenapa itu semua terjadi? Banyak faktor yang menjadi sebabnya. Tapi,
ada satu faktor mendasar yang menjadikan itu semua terjadi, yaitu
kegagalan para elite kita memimpin bangsa ini. Sejatinya seorang
pemimpin adalah orang yang secara berani mengambil alih masalah orang
lain menjadi tanggung jawab dirinya. Ia problem solver masalah
lingkungannya. Celakanya, beberapa dekade kepemimpinan bangsa ini
justru diemban bukan oleh seorang problem solver. Jika pun ada, masih
malas berpikir. Tidak kreatif dalam mencari solusi. Setidaknya masih
tambal sulam. Akibatnya, tidak ada satu masalah bangsa pun yang
terselesaikan secara tuntas.

Kenyataan itu bisa kita dapati dalam potret keseharian masyarakat,


tercetak di surat kabar, dan terekspose di kotak kaca televisi di ruang
keluarga rumah kita. Siapapun presidennya, rakyat selalu harus antre
minyak tanah untuk kompor mereka. Siapapun gubernur di ibukota, macet
dan banjir adalah penyakit akut yang entah kapan akan enyah dari
kehidupan keseharian warga kota.

Repotnya lagi jika pemimpin yang terpilih justru menjadi problem bagi
bangsa ini. Setiap hari rakyat digempur dengan masalah-masalah yang
tidak perlu tapi dibuat pemimpin jenis ini. Sehingga tak heran jika hampir
semua pemimpin di negeri ini masa akhir jabatannya adalah tragedi.
Soekarno sebelumnya dielu-elukan rakyat, akhir masa jabatannya tercatat

253
begitu suram. Ia digoyang dan dijatuhkan oleh rakyat. Mati dalam
kesendirian.

Begitu juga Soeharto. Bapak Pembangunan ini pun tersungkur di masa


akhir jabatannya. Bahkan, Presiden Abdurrahman Wahid lebih
menyedihkan lagi. Hanya seumur jagung memerintah. Kursinya dicopot
beramai-ramai lewat sebuah mekanisme yang hampir tidak masuk akal.

Tak heran jika akhirnya masalah-masalah yang membelit bangsa ini jadi
bertumpuk dan tidak pernah diselesaikan. Sebab, kepemimpinan yang ada
hanya sibuk membangun benteng kekuasaan dengan permainan citra.
Semua masalah bangsa diselesaikan dengan retorika, iklan di media
massa, atau setidaknya dengan kata “akan” lewat statemen di forum
kenegaraan. Dengan kata “akan” itu seolah-olah masalah telah
terselesaikan. Padahal tidak. Persis seperti seorang ABG yang mendempul
wajahnya dengan bedak tebal guna menutupi bopeng bekas jerawat.
Wajahnya terlihat mulus memang. Tapi, bopeng di wajahnya masih tetap
ada.

Karena itu, bangsa ini memerlukan pemimpin baru. Pemimpin yang


menjadi problem solver. Pemimpin seperti ini tentu lahir dari
generasi baru. Bukan dari generasi lawas pewaris kepemimpinan
pola lama. Bukan juga berasal dari individu yang terlibat dan
menyangga kepemimpinan masa lalu.

Itulah hukum besi suatu perubahan. Sesuatu berubah dan menjadi baru
karena memang diganti dengan yang baru. Banyak cara melakukan
perubahan. Ada yang mengambil jalan radikal revolusioner. Perubahan
radikal. Terbuka juga model persuasif gradual. Hanya saja cara terakhir
ini ternuansa kompromi. Di tahun 1998 bangsa ini memilih cara
kompromi. Reformasi adalah buah kompromi rejim Orde Baru yang
membuka ruang bagi kaum reformis untuk tampil di tingkat nasional.
Yang terjadi kemudian –dan itu kenyataan hari ini—kompromi itu
menghasilkan simbiosis yang aneh yang kemudian menjadi paradoks
gerakan reformasi. Tak jelas lagi siapa yang reformis dan siapa yang
antireformasi.

Perubahan baru yang signifikan baru akan terjadi jika terjadi perubahan
kepemimpinan yang cukup radikal. Bangsa ini membutuhkan pemimpin
baru. Pemimpin yang menjadi antitesis karakteristik kepemimpinan gaya
lama. Tapi, tentu saja kepemimpinan baru itu tidak berpola pikir nihilis.
Pasti ada sisi-sisi positif yang dihasilkan dari kerja kepemimpinan masa
lalu. Hal-hal positif itu tentu saja batu pijakan yang bagus untuk memulai
step baru bagi perjalan bangsa ini ke depan.

Proses kelahiran kepemimpinan baru saat ini sangat memungkinkan.


Syarat-syarat yang ada, baik berupa kondisi sosial, ekonomi, dan politik
sudah lengkap. Tinggal satu faktor penting yang belum ada: munculnya
aktor yang berinisiatif menjadi penggerak perubahan. Perlu orang yang
berani, jujur dengan cita-cita perjuangan, memiliki komitmen dan

254
keteguhan terhadap ideologi dan cita-cita perjuangan, serta sabar dalam
berjuang. Aktor perubah berkarakter seperti itulah yang dibutuhkan
sebagai pemimpin di hari ini. Jangan sampai bangsa ini seperti keledai.
Selalu mengulang kesalahan yang sama: memilih pemimpin bertipe
makelar yang hanya mencari untung bagi kepentingan pribadinya sendiri.

Masalah Lahirnya kepemimpinan nasional

Namun kelahiran kepemimpinan baru seperti itu di pentas nasional bukan


tanpa kendala. Setidaknya masih ada katup budaya yang perlu dijebol.
Masyarakat kita masih berpola pikir tradisional, masih menganggap
pemimpin itu seperti manusia setengah dewa. Bahkan, di masa raja-raja
Hindu dahulu, pemimpin adalah titisan dewa. Mitos Ratu Adil pun masih
menjadi pengalaman yang mengendap di alam bawah sadar kebanyakan
masyarakat kita.

Karenanya, memunculkan kepemimpinan baru harus dilakukan dengan


merasionalisasikan pikiran masyarakat. Masyarakat harus diyakinkan
bahwa pemimpin itu adalah manusia biasa yang punya titik lemah
disamping keintimewaan-keistimewaan individual yang dimilikinya.
Sehingga dengan begitu, tidak akan ada pengagungan terlalu berlebihan
kepada seorang pemimpin dan ketika ada “cacat” dalam
kepemimpinannya tidak terjadi tragedi yang mencoreng sejarah
kepemimpinan bangsa ini.

Jika rasionalitas masyarakat telah tercipta, maka kepemimpinan nasional


akan terbentuk dari sebuah sistem demokrasi yang kuat. Ada rule of the
game yang jelas. Di era tansisi seperti sekarang ini, kita membutuhkan
elite-elite kepemimpinan nasional yang waras. Pemimpin-pemimpin yang
visioner dan transformatif. Setidaknya untuk mendidik dan menyiapkan
masyarakat menjadi rasional. Tentu saja cara yang paling efektif adalah
dengan keteladanan. Pemimpin-pemimpin di masa transisi ini harus bisa
menjadi suri teladan masyarakat. Jika para elitenya rasional, maka
pengikutnya juga rasional. Bukan waktunya lagi elite hidup dan eksis dari
memanipulasi massa pengikutnya. Itu jika kita ingin Indonesia menjadi
negara modern.

Tipe Kepemimpinan Baru

Masyarakat berkali-kali kecewa. Mereka membutuhkan tipe


kepemimpinan baru, yaitu kepemimpinan dari lapisan generasi muda.
Ada tiga karakter pemimpin yang diharapkan masyarakat:
Pertama, perencana. Masyarakat membutuhkan sosok pemimpin yang
memiliki kapasitas intelektual memadai dan menguasai kondisi makro
nasional dari berbagai aspek, sehingga dapat menjaga visi perubahan yang
dicitakan bersama.

Kedua, Pelayanan. Masyarakat rindu figur pemimpin yang seorang


pekerja tekun dan taat pada proses perencanaan yang sudah disepakati

255
sebagai konsensus nasional, menguasai detil masalah kunci kebangsaan
dan mampu melibatkan semua elemen yang kompeten dalam tim kerja
yang solid.

Ketiga, Pembina. Masyarakat berharap pemimpin menjadi tonggak


pemikiran yang kokoh dan menjadi rujukan semua pihak dalam
pemecahan masalah bangsa, yang setia dengan nilai-nilai dasar bangsa
dan menjadi teladan bagi kehidupan masyarakat secara konprehensif.

Untuk menumbuhkan tipe kepemimpinan baru, dibutuhkan proses


belajar yang berkelanjutan dalam berbagai dimensi.
Pertama, dimensi belajar untuk menginternalisasi dan mempraktikan nilai-
nilai baru yang sangat dibutuhkan bagi perubahan kondisi bangsa
sehingga membentuk karakter dan pola perilaku yang positif sebagai
penggerak perubahan.

Kedua, belajar untuk menyaring dan menolak nilai-nilai buruk yang


diwarisi dari sejarah lama maupun yang datang dari dunia kontemporer
agar tetap terjaga karakter yang otentik dan perilaku yang genuine.
Ketiga, belajar untuk menggali dan menemukan serta merevitalisasi nilai-
nilai lama yang masih tetap relevan dengan tantangan masa kini, bahkan
menjadi nilai dasar bagi pengembangan masa depan.

Namun kepemimpinan baru bukanlah proyek trial and error.


Melainkan upaya pengembangan potensi dengan dihadapkan pada
kenyataan aktual. Pertama, Krisis ekonomi-politik yang masih terus
berlanjut menuntut tokoh yang kompeten di bidangnya dan memiliki visi
yang jauh untuk menyelamatkan bangsa dari keterpurukan.
Kedua, Bencana alam dan sosial yang terjadi silih berganti menegaskan
perlu hadir tokoh yang peka dan cepat tanggap terhadap penderitaan
rakyat serta berempati dengan nasib mayoritas korban.
Ketiga, tantangan lintas negara di era informasi membutuhkan urgen
kesadaran akan masalah-masalah dunia yang mempengaruhi kondisi
nasional dan jaringan yang luas dalam memanfaatkan sumber daya.
Keempat, goncangan dalam kehidupan pribadi dan sosial mensyaratkan
adanya kemantapan emosional dan spiritual dari setiap pemimpin dalam
mengatasi problema diri, keluarga, dan bangsanya.

Tipe pemimpin baru seperti ini bukan hanya dibutuhkan segera di pentas
nasional. Tapi, juga di tingkat lokal. Karena itu, bangsa ini membutuhkan
secara masif proses pengkaderan (baca: sekolah kepemimpinan) yang
outputnya bisa diuji di tingkat regional bahkan global. Indonesia tidak
mungkin memainkan peranan di arena antar bangsa tanpa anak-anak
bangsa yang memiliki kualitas kepemimpinan yang mumpuni.

Tantangan Indonesia Masa Depan

Tantangan lingkungan Indonesia masa depan sangat beragam. Namun,


kata kuncinya adalah dinamika perubahan yang begitu cepat. Dinamika

256
perubahan itu tercipta dari isu-isu seperti globalisasi, regionalisasi,
knowledge economy, dan borderless world.

Dalam menghadapi situasi dunia yang dinamis seperti itu, bangsa ini
harus punya perspektif yang berbeda tentang tipe kepemimpinannya.

Pemimpin di masa mendatang bukan hanya pemimpin yang


berkarateristik seperti diinginkan oleh para pengikutnya. Tapi, terdapat
harapan-harapan bahwa Pemimpin di masa depan mampu memenuhi dan
memiliki kondisi-kondisi seperti berikut ini:

1. The meaning of direction (memberikan visi, arah, dan tujuan)


Seorang pemimpin yang efektif membawa kedalaman (passion),
perspektif, dan arti dalam proses menentukan maksud dan tujuan dari
kepemimpinannya. Setiap pemimpin yang efektif adalah menghayati apa
yang dilakukannya. Waktu dan upaya yang dicurahkan untuk bekerja
menuntut komitmen dan penghayatan.
2. Trust in and from the Leader (menimbulkan kepercayaan)
Keterbukaan (candor) merupakan komponen penting dari kepercayaan.
Saat kita jujur mengenai keterbatasan pengetahuan yang tidak ada seluruh
jawabannya, kita memperoleh pemahaman dan penghargaan dari orang
lain. Seorang pemimpin yang menciptakan iklim keterbukaan dalam
kepemimpinannya adalah pemimpin yang mampu menghilangkan
penghalang berupa kecemasan yang menyebabkan masyarakat yang
dipimpinnya menyimpan sesuatu yang buruk atas kepemimpinnya. Bila
pemimpin membagi informasi mengenai apa yang menjadi kebijakannya,
pemimpin tersebut memberlakukan keterbukaan sebagai salah satu tolok
ukur dari “performance” kepemimpinannya.

3. A sense of hope (memberikan harapan dan optimisme)


Harapan merupakan kombinasi dari penentuan pencapaian tujuan dan
kemampuan mengartikan apa yang harus dilakukan. Seorang pemimpin
yang penuh harapan menggambarkan dirinya dengan pernyataan-
pernyataan seperti ini: saya dapat memikirkan cara untuk keluar dari
kemacetan, saya dapat mencapai tujuan saya secara energik, pengalaman
saya telah menyiapkan saya di masa depan, selalu ada jalan dalam setiap
masalah. Pemimpin yang mengharapkan kesuksesan, selalu
mengantisipasi hasil yang positif.
4. Result (memberikan hasil melalui tindakan, risiko, keingintahuan,
dan keberanian)
Pemimpin masa depan adalah pemimpin yang berorientasi pada hasil,
melihat dirinya sebagai katalis –yang berharap mendapatkan hasil besar,
tapi menyadari dapat melakukan sedikit saja jika tanpa usaha dari orang
lain. Pemimpin yang seperti ini membawa antusiasme, sumber daya,
tolerasi terhadap risiko, disiplin dari seorang “entrepreneur”.
Selain empat kondisi di atas, terdapat pula beberapa falsafah pemimpin
yang harus dipegang teguh pemimpin masa depan Indonesia. Pertama,
pemimpin harus punya integritas. Bukanya kita selalu selalu mengatakan,
paling enak berhubungan dengan orang yang memiliki integritas. Kedua,
pemimpin harus mengakui akan adanya perbedaan dan keanekaragaman

257
bangsa kita. Dengan demikian, pemimpin masa depan negeri ini mampu
mengelola segala perbedaan budaya, latar belakang suku dan agama, serta
kepentingan seluruh elemen bangsa ini lalu mengubahnya menjadi
peluang dan kelebihan. Jadi pemimpin masa depan adalah pemimpin yang
berpikiran terbuka (open minded).

Selain itu, pemimpin masa depan adalah ketiga pemimpin yang sadar
betul bahwa segala tindakan dan keputusannya akan berpengaruh terhadap
orang lain atau sekelompok masyarakat. Dan ini juga yang melandasi
kepemimpinannya menjadi begitu empati dengan nasib dan derita
rakyatnya. Dalam sejarah mungkin kepedulian Umar bin Khaththab
seperti dongeng yang mustahil bagi pemimpin masa sekarang. Umar
memanggul sendiri sekarung gandum saat ia mendapati seorang ibu
memasak batu untuk mendiamkan anaknya yang lapar. Jika ada perasaan
empati seperti ini sedikit saja saat ini, tentu rakyat korban Lumpur
Lapindo tidak akan mengalami penderitaan yang menahun.

Suksesi dan Rotasi Kepemimpinan Nasional

Sudah saatnya panggung suksesi kepemimpinan nasional di tahun 2009


diisi dengan isu memunculkan kepemimpinan yang kuat, yang
mempunyai kemampuan membangun solidaritas masyarakat untuk
berpartisipasi dalam seluruh dinamika kehidupan berbangsa dan
bernegara; pemimpin yang memiliki keunggulan moral, kepribadian, dan
intelektual. Sudah waktunya kepemimpinan nasional dipegang oleh
pribadi yang bersih, peduli, dan profesional. Jangan serahkan tongkat
kepemimpinan bangsa ini kepada pemimpin dengan kepribadian yang
tidak konsisten dan dikelilingi lingkungan yang tidak kondusif.

Namun isu suksesi kepemimpinan bukan hanya di tingkat nasional saja.


Karena negeri yang luas ini tidak boleh kita gantungkan kepada satu
pribadi saja. Seharusnya bangsa ini perlu menata ulang sistem
kepemimpinannya. Perlu meritokrasi kepemimpinan. Bangsa ini harus
membuka kesempatan untuk munculnya pemimpin-pemimpin baru bukan
hanya berdasarkan level struktural lembaga pemerintahan, tapi juga per
segmen sektor kehidupan masyarakat. Bukan masanya lagi kepemimpinan
menjadi monopoli segelintir elite. Urusan olahraga harus didorong untuk
dipimpin oleh orang-orang yang bergelut di bidang olahraga. Jangan lagi
dikooptasi oleh pejabat negara dan dipakai sebagai portofolio di urusan
politik. Dengan begitu, dunia olahraga akan profesional dan meraih
prestasi menjadi ideologi perjuangannya.

Sudah bukan masanya lagi suksesi kepemimpinan diseleksi oleh para elite
sendiri. Apalagi jika berdasarkan keturunan. Seorang ibu dan ayah
menyerahkan tongkat kepemimpinan partainya kepada anak kandungnya,
atau seorang paman kepada keponakkannya. Seharusnya pemimpin adalah
seorang petani yang membuka ladang seluas-luasnya agar bibit-bibit
pemimpin baru tumbuh di sekelilingnya. Adalah fakta bahwa bangsa
Indonesia punya potensi yang luar biasa. Bukan sekali dua kali pemuda-
pemudi kita menjadi juara olimpiade ilmiah di pentas internasional. Kita

258
juga saksikan di layar kaca talenta bocah-bocah negeri ini di arena Pildacil
dan acara sejenisnya. Tentu potensi mereka akan tidak tumbuh-kembang
jika kepemimpinan bangsa ini dihegemoni berdasarkan satu atau dua trah
keturunan saja.

Pemimpin Indonesia masa depan adalah orang yang membuka


kesempatan untuk bagi siapa pun untuk muncul ke pentas nasional. Ia
menghapus kendala budaya yang ada seperti paternalistik, feodalisme, dan
mental abdi dalam dari setiap individu anak bangsa. Sebagai pemimpin,
pemimpin baru Indonesia masa depan harus menjadi sosok yang berani
memberi tantangan dan resiko kepada kader-kadernya. Sebab, pemimpin
yang berhasil adalah pemimpin yang menjadi sekolah bagi pemimpin
generasi selanjutnya.

Sebagai sekolah bagi pemimpin masa depan, pemimpin haruslah


membuka pintu-pintu seleksi bibit unggul bangsa ini hingga ke pelosok
dan pojok-pojok lapis masyarakat. Tak ada salahnya belajar dari Brazil
yang selalu berhasil dalam memilih 11 orang pemain sepak bola dunia.
Mekanisme kaderisasinya mampu menghasilkan pemain sepakbola kelas
dunia dan dengan jumlah suplai yang luar biasa. Salah satu upayanya yang
menonjol adalah melakukan talent scouting dari seluruh lapisan masyarat
termasuk yang paling miskin pun. Namun dalam hal menjaring pemimpin
masyarakat mereka juga belum berhasil betul walaupun hal ini sudah
dipraktekkan. Jika kita tiru pendekatan yang memberikan kesempatan
yang seluas-luasnya bagi penjaringan dari seluruh tingkat masyarakat dan
membangun budaya meritokrasi yang berimbang, maka bukan mustahil,
stok kepemimpinan bangsa ini over suplai. Kondisi itu akan membawa
dinamisasi kepemimpinan. Daur kepemimpinan menjadi cepat.
Kepemimpinan akan selalu dipegang oleh orang-orang muda yang masih
fresh dan penuh vitalitas. Seleksi kepemimpinan akan terjadi berdasarkan
prestasi. Apa yang sudah dibuat. Bukan karena anak siapa. Dengan begitu
kepemimpinan akan bergaya egaliter.

Itulah tipe pemimpin muda Indonesia yang diidam-idamkan. Leadership


action kata kuncinya. Potensi, prestasi, dan kesempatan menjadi jalan
persemaiannya. Tunjukanlah langkah-langkah nyata dalam menjalankan
aksi sebagai perwujudan aksi kepemimpinan dan ini menjadi contoh bagi
para pengikutnya. Jangan malu membuat koreksi atas kekurangan ataupun
kesalahan karena penegasan aksi yang genuin menjadi penuntun mereka
yang dipimpin. Mari kita semai kesempatan bagi munculnya pemimpin-
pemimpin yang kokoh bagi bangsa ini.

Lalu seperti apakah sosok pemimpin yang sebenarnya ada di Indonesia


yang dapat membawa bangsa Indonesia ke masa kejayaan dan
kemerdekaan dalam arti yang sesungguhnya? Untuk menjawab
pertanyaan tersebut dibutuhkan adanya suatu proses. Bangsa Indonesia ini
memerlukan pemimpin baru. Pemimpin yang menjadi problem solver.
Pemimpin seperti ini tentu lahir dari generasi baru. Bukan dari generasi
lawas pewaris kepemimpinan pola lama. Bukan juga berasal dari individu

259
yang terlibat dan menyangga kepemimpinan masa lalu. Dibutuhkan
seorang pemimpin yang amanah, visioner, berani, jujur dengan cita-cita
perjuangan, memiliki komitmen dan keteguhan terhadap ideologi dan
cita-cita perjuangan, serta sabar dalam berjuang. Sosok pemimpin itu
seharusnya bertindak tidak harus menunggu protes dari masyarakatnya,
tetapi dia mempunyai inisiatif tersendiri dalam bertindak dan mengambil
suatu keputusan yang terbaik. Dia memiliki sikap empati yang dalam
terhadap masyarakat yang dipimpinnya.

Ada beberapa rekomendasi menurut anggota DPR RI ini, yaitu:


Sistem pemilu: no money politics, adil gender, berdasarkan kemampuan,
bukan suara terbanyak tapi nomor urut berdasarkan kemampuan.
Parpol Reform: Kaderisasi parpol yang sistematis dan terukur.
(Pendidikan politik yang baik dan adil gender untuk masyarakat luas).
Mengupayakan sistem merit yang solid dalam parlemen dan parpol
(penghargaan berdasarkan kompetensi) yaitu performance indikator yang
jelas.
Budiarto Shambazy, ia membahas tentang “Situasi dan Prospek Politik
Dewasa Ini”. Menurutnya politik nasional memasuki masa krisis yang
belum pernah terjadi dalam sejarah republik ini. Sejak Oktober 2010
pemerintah, seperti diungkapkan dengan tepat oleh WikiLeaks, praktis
sudah tidak berjalan lagi alias lumpuh. Penyebab utama kelumpuhan
pemerintah adalah sosok Presiden SBY yang tidak efektif lagi karena
watak kepemimpinan yang lemah. Kevakuman kepemimpinan nasional
tersebut juga gagal diisi oleh Wakil Presiden Boediono. Keraguan
terhadap keabsahan hasil Pemilu-Pilpres 2009 juga tampak jelas pada
proses penyidikan Skandal Century oleh DPR. Keputusan Rapat Paripurna
DPR amat jelas: aparat hukum (dalam hal ini Polri, KPK, dan Kejaksaan
Agung) harus menyidik dan menyelidiki hubungan antara bail out Rp 6,9
trilyun Bank Century dengan dugaan politik uang yang dilakukan oleh
partai dan capres-cawapres tertentu.

Wartawan senior Kompas ini menilai kemungkinan yang terjadi pada


saat pilpres 2014, barangkali sangat bisa terjadi adalah proses
konstitusional dan political bargains di kalangan elit yang memerintah,
yang berpusat di masalah keabsahan Pemilu-Pilpres 2009, akhirnya akan
berujung pada penyelenggaraan pemilu-pilpres ulang sebelum 2014.
Pemilu-pilpres ulang bisa diselenggarakan secara murah, cepat, dan jurdil
jika melibatkan bantuan/keterlibatan pihak-pihak asing seperti PBB, Uni
Eropa, ASEAN, dan negara-negara sahabat. Kita menengarai terdapat
puluhan juta pemilih yang dirampas haknya, padahal rakyatlah yang
berhak menentukan pilihan masing-masing—bukan lewat cara-cara
persekongkolan elit politik di dalam kompleks MPR-DPR, kudeta, atau
Pemilu-Pilpres 2014 yang tak mustahil amburadul lagi pelaksanaannya
seperti tahun 2009.

Sofjan Wanandi yaitu salah satu Pengusaha yang mengutarakan


pendapat serta pemikirannya pemimpin dan kepemimpinan dalam
berbagai sektor kehidupan masyarakat. Selain itu, Bpk. Sofjan Wanandi

260
memberikan pandangannya terhadap kondisi bangsa Indonesia dari sudut
pandang seorang pelaku ekonomi. Para pengusaha perlu mendapat
dukungan dari Pemerintah Pusat maupun Daerah dalam mengembangkan
sektor usahanya agar dapat menarik investor dari luar maupun dalam
negeri. Selama ini, Pemerintah kurang memberikan perhatian terhadap
pengusaha dalam menjalankan perekonomian maupun sektor bisnis dalam
pemerintahan. Menurut Sofjan, bila pemerintah bisa bekerjasama dengan
pengusaha, maka baik sektor perekonomian dan bisnis dapat berjalan
dengan baik dan lebih efisien.

Prof. Dr. Syamsuddin Haris dengan tema “Krisis Kepemimpinan Politik


dan Tantangan 2014”. Menurutnya bangsa kita saat ini tengah mengalami
krisis kepemimpinan politik, baik tingkat nasional maupun lokal. Pada
tingkat nasional, krisis kepemimpinan politik itu tidak hanya tampak pada
kepemimpinan lembek Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, melainkan
juga terlihat dari kinerja kepemimpinan partai-partai politik hasil Pemilu
2009. Sedangkan di tingkat lokal, krisis kepemimpinan politik tampak
dalam kinerja kepala-kepala daerah yang minim kreatifitas dan terobosan,
dan sebaliknya justru tersandera berbagai kasus hukum akibat korupsi dan
penyalahgunaan dana APBD. Ia membahas tentang enam dimensi krisis
kepemimpinan politik yang bisa diidentifikasi dan tengah melanda bangsa
kita dewasa ini, yaitu Krisis komitmen etis, Krisis keteladanan, Krisis
kecerdasan dan kreatifitas, Krisis kapasitas manajerial, Krisis tanggung
jawab, dan Krisis kewibawaan.

Selanjutnya, peneliti yang akrab disapa pak Haris ini, membahas


bagaimana partai-partai politik adalah institusi paling bertanggung jawab
dalam menghasilkan para pemimpin politik bangsa kita saat ini.
Menurutnya, para politisi dan pemimpin parpol yang “bermasalah” tidak
memiliki hak moral untuk menjadi calon pemimpin bangsa kita di masa
depan. Realitas politik sejauh ini memperlihatkan, para politisi dan
pemimpin parpol yang “bermasalah” lebih merupakan beban ketimbang
solusi bagi bangsa kita. Terakhir ia membahas bagaimana adanya
kerjasama dan konsolidasi sipil dari berbagai elemen kekuatan masyarakat
sipil. Kerjasama dan konsolidasi itu tidak hanya diperlukan untuk mencari
sumber kepemimpinan politik baru, melainkan juga guna mendorong dan
mendesak parpol-parpol kita yang masih peduli agar benar-benar berpihak
pada nasib rakyat kita dan masa depan bangsa ini.

BIDANG FIQIH JINAYAH

A. PENGERTIAN JINAYAH/KEJAHATAN
Fikih jinayah terdiri dari dua kata, yaitu fikih dan jinayah. Pengertian fikih
secara bahasa (etimologi) berasal dari lafal faqiha, yafqahu, fiqhan, yang
berarti mengerti, atau paham. Sedangkan pengertian fiqh secara istilah
(terminologi) fikih adalah ilmu tentang hukum- hukum syara’ praktis yang
diambil dari dalil- dalil yang terperinci.
Adapun jinayah menurut bahasa (etimologi) adalah nama bagi hasil
perbuatan seseorang yang buruk dan apa yang diusahakan. Sedangkan
jinayah menurut istilah (terminologi) adalah suatu perbuatan yang

261
dilarang oleh syara’ baik perbuatan tersebut mengenai jiwa, harta atau
lainnya.

B. DASAR HUKUM JINAYAH/JARIMAH DALAM ISLAM

Dalam islam dijelaskan berbagai norma/atura/rambu-rambu yang mesti


ditaati oleh setiap mukalaf, hal itu telah termaktup dalam sumber
fundamental Islam, termasuk juga mengenai perkara jarima atau tindak
pidana dalam Islam, berikut kami akan memaparkan beberapa dalil
tentang HPI dan kewajiban menaati hukum Allah SWT.
Firman Allah dalam al-qur’an surat al-baqarah ayat 179 yang berbunyi :

   


 
  
Artinya : “Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup
bagimu, Hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.” (Al-
Baqarah [2] : 179)

“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa


yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu
mereka. dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak
memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah
kepadamu. jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan
Allah), Maka ketahuilah bahwa Sesungguhnya Allah menghendaki akan
menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa
mereka. dan Sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang
fasik”. Firman Allah yang berbunyi :
  
   
 
 
   
    
  
   
   
  
 
Artinya : Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka
menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa
nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka
tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah
kepadamu. jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan
Allah), Maka ketahuilah bahwa Sesungguhnya Allah menghendaki akan
menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa

262
mereka. dan Sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang
fasik. (QS. Al-Maidah [5] : 49)
Firman Allah dalam ayat lain berbunyi :
   
  
   
  
  
 

Artinya : “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman
hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka
perselisihkan, Kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu
keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima
dengan sepenuhnya”. (QS. An-Nisa’[4] : 65).

C. UNSUR JINAYAH/KEJAHATAN
1. Unsur Formal, seperti ancaman
Adanya nash, yang melarang perbuatan-perbuatan tertentu yang disertai
ancaman hukuman atas perbuatan-perbuatan diatas.unsur ini dikenal
dengan (al ruknu al-syar’i).
2. Unsur Moriel
Adanya perbuatan yang membentuk jinayah, baik melakukan perbuatan
yang dilarang atau meniggalkan perbuatan yang diharuskan. Unsur ini
dikenal dengan (al-ruknu al-madi).
3. Unsur Material
Pelaku kejahatan adalah orang yang dapat menerima khithab atau dapat
memahami taklif..unsur ini dikenal dengan (al-ruknu al-adabi).

D. MACAM-MACAM JARIMAH MENURUT CARA


MELAKUKAN DAN KONSEKUENSINYA

1. JARIMAH PEMBUNUHAN
Pembunuhan ada tiga macam
a. Pembunuhan disengaja
Pembunuhan yang dilakukan oleh seorang mukallaf dengan menggunakan
alat yang biasa untuk membunuh/mematikan disertai dengan niat untuk
membunuh.
= Sanksi pembunuhan disengaja.
Pembunuhan yang disengaja jika telah memenuhi syarat wajib di qisash,
jika mendapat maaf dari keluarganya maka dengan membayar diyat, atau
jika mendapat pengampunan penuh oleh keluarga terbunuh maka dapat
dibebaskan.
Allah SWT. Berfirman yang artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu untuk
melaksanakan qisas berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh….”
(Qs. al-Baqarah: 178)

b. Pembunuhan menyerupai sengaja(pembunuhan semi sengaja)

263
Yaitu menyengaja suatu perbuatan aniaya terhadap orang lain, dengan alat
yang pada umumnya tidak mematikan, sehingga membuat korban
meninggal.
= Sanksi pembunuhan semi sengaja
Untuk pembunuhan ini tidak wajib qisas, tapi hanya diwajibkan
membayar denda (diyat) berat kepa keluarga korban (ahli yang dibunuh)
diangsur selama tiga tahun.
c. Pembunuhan tidak sengaja (pembunuhan tersalah)
Yaitu pembunuhan yang terjadi dengan tanpa adanya maksud
(niat)membunuh, baik dilihat dari perbuatan maupun orangnya.
= Sanksi pembunuhan tersalah
Hukum pembunuhan tersalah ini yaitu tidak wajib qisas, tetapi hanya
wajib membayar denda (diyat) ringan yang dibebankan kepada keluarga
pembunuh, bukan kepada si pembunuh.seperti Fiman Allah dalam surah
An-Nisa (4) : 92.
   
    
   
  
  
  
    
   
  
    
  
  
  
    
  
 
    
  
92. Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin
(yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja)[334], dan Barangsiapa
membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia
memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar
diat[335] yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali
jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah[336]. jika ia (si terbunuh)
dari kaum (kafir) yang ada Perjanjian (damai) antara mereka dengan
kamu, Maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan
kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya
yang beriman. Barangsiapa yang tidak memperolehnya[337], Maka
hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk
penerimaan taubat dari pada Allah. dan adalah Allah Maha mengetahui
lagi Maha Bijaksana.

[334] Seperti: menembak burung terkena seorang mukmin.

264
[335] Diat ialah pembayaran sejumlah harta karena sesuatu tindak pidana terhadap
sesuatu jiwa atau anggota badan.
[336] Bersedekah di sini Maksudnya: membebaskan si pembunuh dari pembayaran diat.
[337] Maksudnya: tidak mempunyai hamba; tidak memperoleh hamba sahaya yang
beriman atau tidak mampu membelinya untuk dimerdekakan. menurut sebagian ahli
tafsir, puasa dua bulan berturut-turut itu adalah sebagai ganti dari pembayaran diat dan
memerdekakan hamba sahaya.

2. JARIMAH PENCURIAN
Pencurian adalah mengambil barang milik orang lain yang bukan haknya
yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi dari tempat penyimpanannya.
= Sanksi jarimah pencurian.
1. Seorang pencuri yang telah memuhi syarat yakni: mukallaf, berakal
sehat, barang sampai nisab maka harus dipotong tangannya dan Ia harus
mengembalikan barangnya kalau masih ada, dan mengganti kalau sudah
tidak ada.
Allah berfirman




 
   
    

Artinya : “laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri,
potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka
kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana.” (al-Maidah [5] : 38)

3. JARIMAH PERAMPOKAN
Perampokan atau Hirabah adalah keluarnya gerombolan bersenjata
didaerah islam untuk mengadakan kekacauan, penumpahan darah,
perampasan harta, mengoyak kehormatan, merusak tanaman, peternakan,
citra agama, akhlak, ketertiban dan undang-undang baik gerombolan
tersebut dari orang islam sendiri maupun kafir Dzimmi atau kafir Harbi.
= Sanksi jarimah perampokan
1. Dibunuh,
2. Disalib,
3. Dipotong tangan dan kakinya secara silang,
4. Dibuang dari negeri tempat kediamannya.
Allah berfirman yang berbunyi :
  
 
  
  
 
  
 

265
   
    
   
  
  
Artinya : “Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang
memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi,
hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki
mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat
kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk
mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar.”(QS.
Al-Maidah [5] : 33) [] Maksudnya Ialah: memotong tangan kanan dan
kaki kiri; dan kalau melakukan lagi Maka dipotong tangan kiri dan kaki
kanan.

5. JARIMAH ZINA
Zina dapat diartikan sebagai suatu perbuatan yang menyangkut hubungan
seksual dan semacamnya tanpa adanya ikatan suami-istri yang dilakukan
oleh mukallaf baik yang sudah menikah atau masih bujang..
= Sanksi jarimah zina`
Zina dibagi dua:
a. Zina muhson
Adalah perbuatan zina yang dilakukan oleh seorang yang telah menikah
secara sah.
maka hukumnya dengan rajam, yaitu dilempari batu hingga mati
b. Zina ghairu muhson
Adalah perbuatan zina yang dilakukan oleh orang yang belum menikan.
Makah hukumannya dengan jilid/dipukul 100 kali dan diasingkan selama
setahun.
Allah SWT. Berfirman :
 
  
  
   
    
  
  
 
 
 
Artinya : Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka
deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah
belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan)
agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan
hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan
orang-orang yang beriman.QS, An-Nur [24] : 2)

6. JARIMAH MINUM MINUMAN TERLARANG

266
Secara bahasa, khamr artinya sesuatu yang menutupi, sedangkan menurut
dalam itilah fiqh yaitu segala macam yang memabukan. Sebagaimana
sabda Rsulullah SAW yang artinya kurang lebih; " Tiap-tiap yang
memabukan adalah khamr dan setiap khamr adalah haram." (HR. Muslim)
Menurut Mazhab Syafi’i, had khamr adalah didera 80 kali, namun
menurut Mazhab Hanafi, had khamr adalah dera 40 kali. Dan pelaksanaan
hukumannya dilakukan setelah semuanya benar-benar terbukti dan
dilaksanakan di khalayak ramai seperti halnya pezina.
Rasulullah SAW. Bersabda:
"Dari Anas Bin Malik ra, dihadapkan kepada nabi SAW seseorang yang
telah meminum khamr, kemudian menjilidnya dengan dua tangkai kurma
kira-kira 40 kali." (HR Mutafaqun 'alaihi).

F. PERCOBAAN DAN KERJASAMA MELAKUKAN JARIMAH


1. Percobaan.
Percobaan melakukan jarimah maksudnya yaitu melakukan perbuatan
jarimah blm dikerjakan dengan sempurna, dalam hukum pidana islam
Percobaan Melakukan Jarimah tdk dikenal scr khusus, namun dpt
digolongkan pd jarimah ghairu tammah.
Dalam hukum Pidana Islam : jarimah hudud, qisas diyat, harus dilakukan
dg sempurna, jika tdk maka ta’zir. Hadis nabi :
“Barang siapa yg mmberikan hkman han bukan terhadap jarimah had,
maka dia digolongkan orang2 yg melewati batas”.
Sehingga demikian percobaan pencurian tdk boleh disamakan pencurian
dan sebagainya.
2. Kerjasama
Kerjasama melakukan jarimah maksudnya pelaku bersama-sama
melakukan jarimah. Dalam bentuk ini tiap-tiap pelaku masing-masing
memberikan andilnya dlm melakukan jarimah.
Para juris islam mengklasifikasi kerjasama melakukan jarimah menjdi
dua yaitu
a. Sekutu berbuat jarimah secara langsung (‫)مباشر شريك‬: yaitu pelaku
bersama2 dg orang lain aktif melakukan jarimah atau kawan nyata dlm
melakukan jarimah. Ini ada 2 (dua)
1) secara kebetulan (‫)توافق‬, tdk ada kesepakatan seblmnya. Seperti yg
terjadi dlm kerusuhan, perkelahian, atau demonstasi masal.
2) secara berencana (‫)تمالؤ‬.Para fuqaha mmbedakan tanggung jawab
pelaku jarimah dari kedua kerjasama tersebut. Pertanggungjwban pelaku
kebetulan dan berencana :
a) menurut abu hanifah : sanksinya sama / dibebankan pada setiap
masing-masing sesuai dg perbuatannya. Contoh : dipersalahkan karena
menyekap, menganiaya, mmbunuh, dll. Sesuai perbuatannya.
b) jumhur ulama’ : kebetulan : masing-masing bertanggung jawab
terhadap perbuatan pidana yg dilakukan.
berencana : semua pelaku pidana sama, jika korban meninggal, maka
semuanya dikenakan hukuman mati (qishas).
c)Sekutu berbuat jarimah secara tidak langsung (‫)متسبب شريك‬: kawan
berbuat secara tidak nyata. Tapi menjadi factor penyebab adanya
jarimah,. Misalanya menghasut, memberi bantuan atau juga member
janji tertentu.

267
G. PEMBUKTIAN PELAKSANAAN JARIMAH (QISASH DAN
DIYAT)

Alat-alat bukti dalam menetapkan sebuah kejahatan yang mengakibatkan


qishas atau diyat adalah sebagai berikut:
1 Pengakuan (‫)اإلقرار‬: syarat dalam pengakuan bagi kasus pidana yang
akan berakibatkan kisas atau diyat adalah harus jelas dan terperinci. Tidak
sah pengakuan yang umum dan masih terdapat syubhat.
2. Persaksian (‫)الشهادة‬: Dalam kasus pidana selain zina (4 orang saksi lelaki
adil) , syarat minimal adalah 2 orang saksi lelaki yang adil.
3. Qarinah: Segala tanda-tanda yang zahir yang bersamaan dengan sesuatu
yang masih samar, maka tanda itu menunjukkan kepada itu.
4. Menarik diri dari Bersumpah (‫)اليمين عن النكول‬: Ketika terdakwa menarik
diri (mengelak) dari bersumpah yang diajukan kepada terdakwa melalui
hakim (menurut mazhab Hanafiyah)
5. Al-Qasamah: Sebuah sumpah yang diulang-ulang bagi kasus pidana
pembunuhan. Ia dilakukan 50 kali sumpah dari 50 lelaki

H. SEBAB HAPUSNYA HUKUMAN

Secara umum ada empat sebab yang menyebabkan hapusnya hukuman


jarimah
1. Paksaan
Yakni pelaku dipaksa melakukan perbuatan jarimah yang tidak
dikehendaki.
2. Mabuk
Orang mabuk adalah orang yg mengigau dlm
percakapannya.menghilangkan cakapnya bertindak, oleh karena itu tdk
sah akad, ucapan dan perbuatannya.Jika ia dipaksa untuk mabuk,
kemudian dia melakukan jarimah, maka ia tdk dikenakan pidana,Namun
jika ia mabuk atas kemauannya sendiri, kemudian ia melakukann jarimah,
maka ia tetap dikenakan pidana. Karena ia sengaja menghilangkan
kesadarannya sendiri..
3. Gila
Gila dapat diartikan sebagai hilangnya atau telepasnya akal.
4. Belum baligh.
Yakni anak yang belum tamyis belum mmiliki kemampuan berpikir dan
belum mengerti akibat dari perbuatan yang dilakukan.
Namun ada beberapa sebab lain dalam kasus tertentu yang menyebabkan
gugurnya sanksi jarimah, yaitu:
1. Pelaku jarimah meninggal.
2. Pelaku jarimah bertobat.
3. Tidak terdapat bukti dan saksi serta tidak ada pengakuan.
4. Terbukti bahwa dua orang saksinya itu dusta dalam persaksiannya,
5. Pelaku menarik kembali pengakuannya,
6. Mengembalikan harta yang dicuri sebelum diajukan ke sidang hal ini
terjadi pada pelaku pencurian dan hirabah, (Menurut Imam Abu Hanifah).
7. Dimilikinya harta yang dicuri itu dengan sah oleh pencuri sebelum
diajukan ke pengadilan. (Menurut Imam Abu Hanifah).

268
A. PEMBUNUHAN
Macam-macam pembunuhan dan hukumnya :
Pembunuhan ada 3 macam (1) Pembunuhan yang disengaja (Qatlul
‘amad); (2) Pembunuhan yang tidak disengaja (Qatlul syibhul ‘amad); dan
(3) Pembunuhan yang tidak ada unsur membunuh (Qatlul Khatha’)

1. Pembunuhan yang disengaja (Qatlul ‘Amad)


Ialah pembunuhan yang direncanakan, dengan cara dan alat yang bisa
(biasa) mematikan. Seperti :
· Membunuh dengan ; menembak, melukai dengan alat yang tajam,
memukul dengan alat-alat yang berat, dan alat-alat yang lain.
· Membunuh dengan ; memasukkan dalam sel yang tidak ada udaranya,
disekap dalam es dll.
· Membunuh dengan ; diberi racun, diberi obat yang tidak sesuai, disuntik
dengan obat yang bisa mematikan.
· Membunuh dengan ; dibiarkan tidak diberi makan, minum dll.
Pembunuhan yang disengaja tersebut wajib diqishash, sebagaimana
firman Allah QS. An Nisaa: 93 dan dipertegas dengan hadits rasulullah,
‘’Tidak halal (haram) membunuh orang muslim, kecualiada (salah satu) 3
sebab : kafir sesudah iman, berzina sesudah kawin dan membunuh oran g
tanpa hak, baik karena dhalim dan permusuhan. (HR. Tirmidzy dan
Nasaâ’i)

Orang yangmembunuh tanpa ada hak, harus diqishash, harus dibunuh


juga. Kalau ahli waris (yang terbunuh) memaafkan pembunuhan tersebut,
pembunuhan tidak diqishash (dihukum bunuh) tetapi harus membayar
diyah yang besar, yaitu harus membayar dengan seharga 100 ekor unta
tunai, pada waktu itu juga. Hal ini selaras dengan hadits rasulullah,
‘Barang siapa yang membunuh dengan sengaja, maka ia diserahkan pada
keluarga terbunuh. Apabila mereka mengkehendaki maka membunuhnya
atau minta diyah dengan 30 ekor unta hiqqah, 30ekor unta jadzaâ’ah dan
40 ekor unta khalafah (jumlahnya 100 ekor unta). Hasil perdamaian itu
untuk mereka (ahli waris si terbunuh). Demikian itu untuk memperkeras
terhadap pembunuhan. (HR. Tirmidzi)

2. Pembunuhan tidak sengaja (Qatlul syibhul ’amad)


Pembunuhan tidak sengaja ialah perbuatan terhadap diri seseorang dengan
alat atau sesuatu yang biasanya tidak mematikan. Tetapi seseorang itu
mati karena perbuatan atau tindakannya. Contoh orang memukul oran g
lain dengan sapu lidi kemudian yang dipukul mati.

Pembunuhan tidak sengaja tidak kena hukuman qishash tetapi


pembunuhnya harus membayar diyat besar, sebagaimana diyat bagi
pembunuh sengaja yang dimaafkan ahli waris terbunuh. Diyat itu boleh
dibayar selama 3 tahun dengan angsuran setiap tahun 1/3-nya.

3. Pembunuhan tidak ada unsur membunuh (Qatlul Khathaâ’)


Pembunuhan yang tidak ada unsur membunuh ialah perbuatan yang tidak
ditujukan kepada seseorang tetapi seseorang mati karena perbuatannya.

269
Misalnya orang melempar batu ke hutan tiba-tiba oran g mati terkena batu
tersebut.

Orang membunuh orang lain tidak sengaja wajib memerdekakan seorang


budak mu’min adil

C. QISHASH/BALASAN

1. Pengertian Qishash
Menurut syaraâ’ qishash ialah pembalasan yang serupa dengan perbuatan
pembunuhan melukai merusakkan anggota badan/menghilangkan
manfaatnya, sesuai pelangarannya.

2. Qishash ada 2 macam :


a. Qishash jiwa, yaitu hukum bunuh bagi tindak pidana pembunuhan.
b. Qishash anggota badan, yakni hukum qishash atau tindak pidana
melukai, merusakkan anggota badan, atau menghilangkan manfaat
anggota badan. Firmayang berbuynin Allah yang berbunyi :
 
  
  
  

 
   
   


 
  
  
   
  
  
178. Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash
berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan
orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita.
Maka Barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya,
hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan
hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi
ma'af dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu
keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang
melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat
pedih[111]. Q.S.Al-Baqarah : 178
[111] Qishaash ialah mengambil pembalasan yang sama. qishaash itu tidak dilakukan,
bila yang membunuh mendapat kema'afan dari ahli waris yang terbunuh Yaitu
dengan membayar diat (ganti rugi) yang wajar. pembayaran diat diminta dengan baik,
umpamanya dengan tidak mendesak yang membunuh, dan yang membunuh

270
hendaklah membayarnya dengan baik, umpamanya tidak menangguh-
nangguhkannya. bila ahli waris si korban sesudah Tuhan menjelaskan hukum-hukum
ini, membunuh yang bukan si pembunuh, atau membunuh si pembunuh setelah
menerima diat, Maka terhadapnya di dunia diambil qishaash dan di akhirat Dia
mendapat siksa yang pedih.

3. Syarat-syarat Qishash
a. Pembunuh sudah baligh dan berakal (mukallaf). Tidak wajib qishash
bagi anak kecil atau orang gila, sebab mereka belum dan tidak
berdosa.
b. Pembunuh bukan bapak dari yang terbunuh. Tidak wajib qishash
bapak yang membunuh anaknya. Tetapi wajib qishash bila anak
membunuh bapaknya.
c. Orang yang dibunuh sama derajatnya, Islam sama Islam, merdeka
dengan merdeka, perempuan dengan perempuan, dan budak dengan
budak.
d. Qishash dilakukan dalam hal yang sama, jiwa dengan jiwa, anggota
dengan anggota, seperti mata dengan mata, telinga dengan telinga.
e. Qishash itu dilakukan dengn jenis barang yang telah digunakan oleh
yang membunuh atau yang melukai itu.
f. Orang yang terbunuh itu berhak dilindungi jiwanya, kecuali jiwa
oran g kafir, pezina mukhshan, dan pembunuh tanpa hak. Hal ini
selaras hadits rasulullah, ‘Tidakklah boleh membunuh seseorang
kecuali karena salah satu dari tiga sebab: kafir setelah beriman,
berzina dan membunuh tidak dijalan yang benar/aniaya’ (HR.
Turmudzi dan Nasaâ’)

4. Pembunuhan oleh massa / sekelompok orang


Sekelompok oran g yang membunuh seorang harus diqishash, dibunuh
semua..
5. Qishash anggota badan

Semua anggota tubuh ada qishashnya. Hal ini selaras dengan firman-Nya,
 
  
 
 
 
 
 
    
    
   
  

Artinya : ‘Dan kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At
Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata,
hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka
luka (pun) ada kisasnya. barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya,

271
Maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. barangsiapa
tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka
mereka itu adalah orang-orang yang zalim.’ (QS. Al-Maidah [5] : 45)

C. HIKMAH QISHASH
Hikmah qishash ialah supaya terpelihara jiwa dari gangguan pembunuh.
Apabila sesorang mengetahui bahwa dirinya akan dibunuh juga. Karena
akibat perbuatan membunuh orang, tentu ia takut membunuh orang lain.
Dengan demikian terpeliharalah jiwa dari terbunuh. Terpeliharalah
manusia dari bunuh-membunuh.

Ringkasnya, menjatuhkan hukum yang sebanding dan setimpal itu,


memeliharakan hidup masyarakat: dan Al-Quran tiada menamai hukum
yang dijatuhkan atas pembunuh itu, dengan nama hukum mati atau hukum
gantung, atau hukum bunuh, hanya menamai hukum setimpal dan
sebanding dengan kesalahan. Operasi pemberantasan kejahatan yang
dilakukan pemerintah menjadi bukti betapa tinggi dan benarnya ajaran
islam terutama yang berkenaan hukum qishash atau hukum pidana Islam.

D. DIYAT/DENDA
1. Pengertian Diat
Diyat ialah denda pengganti jiwa yang tidak berlaku atau tidak dilakukan
padanya hukuman bunuh.
a. Bila wali atau ahli waris terbunuh memaafkan yang membunuh dari
pembalasan jiwa.
b. Pembunuh yang tidak sengaja
c. Pembunuh yang tidak ada unsur membunuh.

2. Macam-macam diyat
Diyat ada dua macam :
a. Diyat Mughalazhah, yakni denda berat
Diyat Mughalazhah ialah denda yang diwajibkan atas pembunuhan
sengaja jika ahli waris memaafkan dari pembalasan jiwa serta denda
aas pembunuhan tidak sengaja dan denda atas pembunuhan yang tidak
ada unsur-unsur membunuh yang dilakukan dibulan haram, ditempat
haram serta pembunuhan atas diri seseorang yang masih ada hubungan
kekeluargaan. Ada pun jumlah diat mughallazhah ialah : 100 ekor unta
terdiri 30 ekor unta berumur 3 tahun, 30 ekor unta berumur 4 tahun
serta 40 ekor unta berumur 5 tahun (yang sedang hamil).

Diat Mughallazah ialah :


· Pembunuhan sengaja yaitu ahli waris memaafkan dari pembalasan jiwa.
· Pembunuhan tidak sengaja / serupa
· Pembunuhan di bulan haram yaitu bulan Zulqaidah, Zulhijjah,
Muharram dan Rajab.
· Pembunuhan di kota haram atau Mekkah.
· Pembunuhan orang yang masih mempunyai hubungan
kekeluargaanseperti Muhrim, Radhâ’ah atau Mushaharah.
· Pembunuhan tersalahdengan tongkat, cambuk dsb.
· Pemotongan atau membuat cacat angota badan tertentu.

272
b. Diyat Mukhaffafah, yakni denda ringan.
Diyat Mukhoffafah diwajibkan atas pembunuhan tersalah. Jumlah
dendanya 100 ekor unta terdiri dari 20 ekor unta beurumur 3 tahun, 20
ekor unta berumur 4 tahun, 20 ekor unta betina berumur 2 tahun, 20
ekor unta jantan berumur 2 tahun dan 20 ekor unta betina umur 1
tahun.

Diyat Mukhoffafah dapat pula diganti uang atau lainya seharga unta
tersebut. Diat Mukhoffafah adalah sebagai berikut :
· Pembunuhan yang tersalah.
· Pembunuhan karena kesalahan obat bagi dokter.
· Pemotongan atau membuat cacat serta melukai anggota badan.

3. Ketentuan-ketentuan lain mengenai diat :


a. Masa pembayaran diyat, bagi pembunuhan sengaja dibayar tunai waktu
itu juga. Sedangkan pembunuhan tidak sengaja atau karena tersalah
dibayar selama 3 tahun dan tiap tahun sepertiga.
b. Diyat wanita separo laki-laki.
c. Diyat kafir dhimmi dan muâ’hid separo diat muslimin.
d. Diyat Yahudi dan Nasrani sepertiga diat orang Islam.
e. Diyat hamba separo diat orang merdeka.
f. Diyat janin, sepersepuluh diat ibunya, 5 ekor unta.

4. Diyat anggota badan :


Pemotongan, menghilangkan fungsi, membuat cacad atau melukai
anggota badan dikenakan diyat berikut :
Pertama : Diyat 100 (seratus) ekor unta. Diat ini untuk anggota badan
berikut :
a. Bagi anggota badan yang berpasangan (kiri dan kanan) jika keduan-
duanya potong atau rusak, yaitu kedua mata, kedua telinga, kedua
tangan, kedua kaki, kedua bibir (atas bawah) dan kedua belah buah
zakar.
b. Bagi anggota badan yang tunggal, seperti : hidung, lidah, dll..
c. Bagi tulang sulbi ( tulang tempat keluar air mani laki-laki)
Kedua : Diyat 50 ekor unta. Diyat ini untuk anggota badan yang
berpasangan, jika salah satu dari keduanya ( kanan dan kiri) terpotong.
Ketiga : Diat 33 ekor unta ( sepertiga dari diatyang sempurna). Diyat
ini terhadap :
a. Luka kepala sampai otak
b. Luka badan sampai perut
c. Sebelah tangan yang sakit kusta
d. Gigi-gigi yang hitam

Gigi satu bernilai 5 ekor unta. Kalau seseorang meruntuhkan satu gigi
orang lain harus membayar dengan 5 ekor unta. Kalau meruntuhkan 2,
harus membayar 10 ekor. Bagaimana kalau seseorang meruntuhkan semua
gigiorang lain, apakah harus membayar 5 ekor unta kali jumlah gigi
tersebut ? Ulama berbeda pendapat. Sebagian berpendapat : cukup

273
membayar diyat 60 ekor unta (dewasa). Ulama lain berpendapat harus
membayar 5 ekor unta kali jumlah gigi.

Hal Sumpah
Orang yang menuduh membunuh harus mengemukakan bukti dan oran g
yang menolak tuduhan harus bersumpah. Apabila ada pembunuhan yang
tidak diketahui pembunuhnya, wali dari yang terbunuh bisa menuduh
kepada sesorang atatu suatu kelompok yang mempunyai kaitan dengan
pembunuhan, yaitu menyebutkan data-data.

Data-data yang dikemukakan seperti :


ü Orang yang dituduh pernah bertengkar pada hari-hari sebelumnya
ü Orang yang dituduh pernah disakitkan hatinya.
ü Adanya alat yang hanya dimiliki oleh tertuduh
ü Adanya berita dari seseorang tertuduh kalau tidak menerima tuduhan
bisa membela diri dengan bersumpah, bahwa ia betul-betul tidak
membunuh.

E. KIFARAT PEMBUNUHAN
Pembunuh disamping dia wajib menyerahkan diri unutk dibunuh atau diat
(denda) maka ia diwajibkan juga membayar kifarat. Diyat adalah jenis
denda sebagai tanda penyesalan atau belasungkawa kepada keluarga
korban. Sedang kifarat adalah jenis denda sebagai tanda taubat kepada
Allah SWT.

Ada pun kifarat akibat pembunuhan adalah memerdekakan hamba yang


Islam atau dia wajib puasa dua bulan secara berturut-turut. Hal ini selaras
dengan QS. An Nisaa: 92

HUDUD/MENCEGAH DAN PROBLEMATIKANYA

Pengertian Hudud

Kata jamak daripada perkataan Had. bermaksud mencegah atau menyekat


atau halangan. Hukuman tertentu terhadap perbuatan jahat yaitu suatu
bentuk hukuman yang telah ditentukan oleh Allah dan ia mestilah
dilaksanakan untuk menjaga hak Allah untuk kepentingan masyarakat.
Menurut pengertian lain ialah hukuman yang telah ditetapkan oleh Allah
s.w.t dalam Al-Quran serta ditetapkan oleh Nabi s.a.w melalui hadithnya.

Jenis Jenayah Hudud

Berzina. Qazaf/Tuduhan Zina.Minum arak.Mencuri.Merompak. dam.


Menyamun.Memberontak. dan Murtad

ZINA
Memasukkan hasyafah ke faraj wanita
Melakukan persetubuhan terhadap perempuan yang bukan milik secara
sah, sedang penzina itu adalah seorang yang waras,baligh dengan

274
kemauan sendiri serta ia mengetahui perbuatan yang dilakukan itu adalah
haram.
Syarat Had Zina.
Cukup umur
Waras
Kemauan sendiri
Jelas kelelakian dan kewanitaannya
Masuk kesemua hasyafah kedalam faraj
Persetubuhan yang bukan syubhat

Cara Sabit Zina

Disaksikan oleh 4 orang lelaki yang cukup syaratnya


Pengakuan penzina yang cukup syaratnya
Qarinah

Keterangan saksi

Jumhur ulama’ sepakat menyatakan sabit kesalahan dan had zina terhadap
seseorang mestilah dengan penyaksian 4 orang saksi lelaki yang adil.

DALIL

…. dan orang yang melemparkan tuduhan (zina) kepada perempuan yang


terpelihara kehornatannya,kemudian mereka tidak membawakan 4 orang
saksi,maka sebatlah mereka 80 kali sebat dan janganlah karnu menerima
persaksian mereka itu selama-lamanya kerana mereka adalah orang yang
fasiq …..
Syarat Saksi

4 orang laki-laki
Baligh.
Sempuna akal.
Orang yang adil yaitu orang menjauhi dosa-dosa besar dan tidak
berterusan melakukan dosa kecil. Dengan kata-kata lain, ia tidak fasiq,
diketahui keadilannya dan bukan orang yang hasad atau khianat.
Beragama Islam.
Benar-benar melihat kejadian zina sehingga dapat memberi keterangan
dengan jelas, tempat dan tiada keraguan tentang pelakunya, cara pelakuan,
tempat dan masa berlaku perbuatan zina.
Penyaksian itu benar-benar membuktikan berlaku zina.

Sekiranya tidak cukup saksi atau didapati saksi itu tidak apat
membuktikan tuduhan tersebut atau mereka berlaku anat, maka mereka
wajib menerima hukuman qadzaf iaitu 80 kali sebat.
(Surah al-Nur 24: 4) yang bebunyi :
 
  
 
 
275
  
  
   
 
4. Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik[1029] (berbuat zina)
dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang
menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat
selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik.

[1029] Yang dimaksud wanita-wanita yang baik disini adalah wanita-wanita yang Suci,
akil balig dan muslimah.

.
Cara membawa keterangan di kalangan saksi-saksi

Imam Syafi’l
Saksi-saksi boleh datang secara serentak atau berasingan. Semuanya
dikira sah.
Saksi yang datang secara berasingan lebih baik,kerana boleh mengelakkan
daripada berlaku dusta atau mungkin mereka sama-sama berpakat
memberi keterangan palsu.

Imam Abu Hanifah,


Saksi mesti datang beramai--ramai serentak tidak boleh secara berasingan.
Sekiranya mereka datang berasingan penyaksian mereka tidak sah dan
dikenakan had qazaf.

Pengakuan zina

Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hanbal,


Pengakuan oleh penzina mestilah 4 kali untuk menyamai 4 orang saksi
Keterangan yang diberikan itu mestilah di majlis bersingan.
Berdasarkan hujah di mana Rasulullah s.a.w merejam Ma’iz selepas
beliau membuat pengakuan sebanyak 4 kali.

Uama’ Syafi’l dan sebahagian besar Ulama’ maliki


Pengakuan yang dibuat oleh penzina tidak semestinya 4 kali
Tidak perlu pada majlis yang berasingan.
Pengakuan menjadi sah selagi tidak ada keraguan terhadap pengakuan
penzina yang menyebabkan ia boleh ditolak.

Syarat Pengakuan Pelaku Zina

Pengakuan ini dibuat di hadapan pemerintah, hakim, qadhi atau wakilnya.


Sempurna akal.
Baligh.
Dengan mulut dan perkataan kecuali orang bisu. Pengakuannya boleh
dibuat dengan bersurat atau isyarat.
Pengakuan itu diberikan dengan cukup jelas dan tepat tentang perbuatan
zina sehingga tiada ke-raguan.

276
Qarinah atau Bukti Pertalian

Kesalahan zina boleh seperti “me­ngandung” bagi perempuan yang tiada


suarni atau tiada diketahui suaminya.
Sekiranya tertuduh membuat kenyataan bahawa ia me-ngandung
disebabkan paksaan tidak dapat diterima melainkan ada bukti-bukti yang
sah akan kebenaran kandungannya.
Bukti bagi menyokong dakwaan tersebut perlu bagi mengelakkan
perempuan yang terlibat membuat helah daripada dijatuhi hukuman had
zina.

Qarinah

Malik : Jelas bukti dan qarinah yang menunjukkan ia berzina mesti


dikenakan had.
Contoh seorang perempuan yang tidak bersuami didapati mengandung
dan ia bukan perempuan yang suci dan terhormat.
lni kerena qarinah mengandung dan ia pula perempuan yang tidak suci
adalah kukuh.

Abu Hanifah,Imam Syafi’l dan Ahmad


Qarinah tidak semestinya diterima dan bukan sebab yang membolehkan
sescorang dikenakan had.
Seseorang perempuan yang didapati mengandung tanpa suami tidak
semestinya berzina walaupun bukan perempuan baik.
Kemungkinan besar ia diperkosa atau berlaku persetubuhan syubhat atau
dipaksa.

Had zina

a. Penzina muhsan dan pernah bersetubuh secara sah

-. Hukuman rajam/lempari dengan batu sampai mati

b. Penzina yang bukan muhsan

-. Sebatan/cambuk 100 kali dan buang ke daerah lain


-. Hamba sahaya pula dikenakan sebatan.lemparan separuh dari
pada sebatan orang yang merdeka yaitu 50 kali
-. Hukuman buang kedaerah lain adalah wajib dan hendaklah
dilaksanakan serentak dengan hukuman sebatan.

Cara menjalankan hukuman

Dalil Artinya: Dan hendaklah disaksikan hukuman ke atas kedua-duanya


oleh sekumpulan orang yang beriman.
Dalam hukuman rejam orang ramai yang akan merejam selain saksi dan
imam (pemerintah) supaya nyawa yang bersalah dapat dihabiskan dengan
segera.

277
Batu yang digunakan untuk merejam, batu yang sederhana besamya. Jika
terlalu kecil akan lama pesalah itu menderita dan jika terlalu besar akan
terlalu cepat nyawa pesalah dihabiskan dan luput maksud keseksaan dan
had zina.
Pesalah akan disebat dengan cemeti sebanyak 100 kali sebatan sederhana.
Cemeti hendaklah kering dan tidak bercabang dengan tidak perlu
ditanggalkan palkaian kecuali jika ia memakai pakaian tebal seperti
pakaian musim sejuk.
Sebatan itu tidak bolch ditumpukan kepada satu-satu bahagian anggota
supaya tidak luka kerana tujuan sebatan bukan untuk membunuh atau
membinasakan, tetapi untuk mencegah masalah daripada melakukan
kejahatan.
Hukuman ini juga tidak boleh dijalankan pada masa pesalah sakit,
ke-datangan nifas dan sedang hamil, pada hari terlalu panas atau terlalu
sejuk.

QADZAF

Pengertian Qadzaf yaitu Melontarkan tuduhan berbuat zina.


Menuduh seseorang yang baik dan suci dengan tuduhan zina atau
menafikan keturunannya.
Tuduhan zina mempunyai kuat kuasa hukum qadzaf,
Tuduhan-tuduhan yang lain seperti tuduhan mencuri, kafir, minum arak,
mengata, mencuri, mencerca dikenakan hukuman ta’zir

Tuduhan zina boleh berlaku:


1. Antara lelaki dengan lelaki
2. Antara perempuan dengan perempuan
3. Antara lelaki dengan perempuan
4. Antara perempuan dengan lelaki

Kadar Had
Kadar had qadzaf ialah 80 kali sebat
Tidak diterima persaksiannya dalam perkara-perkara lain
Dicela sebagai orang yang fasiq.

Sebab Wajib Qadzaf


Kerana tuduhan zina merupa-kan tuduhan yang berat yang memberi kesan
buruk dan keji kepada yang dituduh melakukan zina. Oleh itu, dikenakan
had qadzaf sebagai melindungi maruah dan kehormatan diri orang yang
dituduh.

Rukun Qadzaf
Orang yang menuduh
Orang yang dituduh.
Lafaz tuduhan zina atau menafikan kandungan atau anak yang dilahirkan.

Tuduhan
Tuduhan yang dilemparkan kepada yang tertuduh hanya me-liputi dua
perkara:

278
Tuduhan zina.
i. “wahai orang yang berzina”

Menafikan anak yang dikandung atau dilahirkan.


i. “wahai anak zina”

Lafaz Qadzaf
Soreh (nyata)
“wahai penzina”,
“bapa kamu berzina”

Kinayah (kias)
“wahai pelaku perbuatan terkutuk”
“wahai perempuan kotor”.

Ta’ridh (sindiran)
“keturunanku tidak pemah me­lakukan zina”,
i. “isterimu sudah rosak’
ii. “masakan engkau rela hidup dengan perempuan yang kotor”.

Syarat yang Menuduh

Berakal sempuma.
Baligh.
Gagal membuktikan tuduhan zina dengan empat orang saksi yang adil.
Bukan bapa, datuk sehingga turutan keturunan ke atas, begitujuga bukan
ibu, nenek sehingga turutan keturunan ke atas
Bukan paksaan.
Berpegang dengan ahkam.
Tidak mendapat keizinan daripada orang yang kena tuduh.

Syarat yang Tertuduh

Muhsan sama ada lelaki atau perempuan


Berakal sempurna, Baligh, Merdeka, Islam, Baik dan tidak pernah berzina
Tertentu.
Jika tuduhan ke atasnya sebagai tuduhan rambang seperti dikatakan salah
seorang daripada kamu adalah penzina” atau “dalam kumpulan ini
seorang penzina” maka tidak wajib had ke atas orang yang menuduh.

Cara Sabit/lempar Kesalahan qadzaf

Keterangan saksi:

Kesalahan qadzaf dapat disabitkan melalui keterangan saksi yang


menuduh (al-qadzif) tidak dapat mengemukakan saksi yang dapat
memberi keterangan atas kebenaran tuduhan zina terhadap tertuduh
Saksi penuhi syarat iaitu Islam, baligh, berakal sempuma, dapat bertutur,
dapat mengingatkan dan tidak ada hubungan keluarga.

279
Bilangan saksi itu memadai dua orang sahaja. Maka sabitlah kesalahan
qadzaf terhadapnya (al-qadzif) dan dia dikenakan had qadzaf.

Pengakuan (ikrar):

pengakuan tertuduh dapat mensabitkan kesalahan qadzaf


Orang yang tertuduh (al-maqdzul) membuat pengakuan dengan sekali
pengakuan di hadapan hakim.

Sumpah orang yang tertuduh


pihak tertuduh bersumpah atas permintaan orang yang menuduh bahawa
tidak me-lakukan zina. Sekiranya ia bersumpah, maka sabitlah kesalahan
qadzaf. Tetapi, jika ia tidak mahu bersumpah maka tidak sabit kesalahan
Qazaf

MINUM ARAK

Arak ialah segala bahan yang memabukkan sebab meminumnya baik yang
diproses melalui buah tamar,anggur, gandum,nira,tapai,beras atau
sebagainya. Apa yang penting nunuman itu memabukkan.
Dalil pengharaman Minuman Keras :
  
  
   
 
  
 
 
   
  
  
 
Artinya : Mereka bertanya kepadamu tentang khamar[136] dan judi.
Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa
manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya".
dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah:
" yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-
Nya kepadamu supaya kamu berfikir,
[136] Segala minuman yang memabukkan.

Maksudnya;Mereka bertanya kepada mu (wahai Muhammad)mengenai


arak dan judi.Katakanlah: Pada keduanya ada dosa besar dan ada pula
manfaat bagi manusia tetapi dosa keduanya lebih besar daripada
manfaatnya……
(Surah AI-Baqarah2-.219)

Hikmah pengharaman
Boleh melemahkan akal fikiran

280
Menghilangkan kewarasan akal
Membahayakan kesihatan seperti barah
Membazirkan wang
Sanggup melakukan apa saja tanpa segan silu
Dosa besar
Membahayakan diri sendiri dan orang lain

Cara sabit/lempar had peminum arak

pengakuan peminumnya sendiri dengan syarat yang cukup


Disaksikan oleh dua orang saksi lelaki atau seorang lelaki dan dua orang
perempuan yang adil dan cukup syaratnya.

Syarat Peminum Arak yang Dikenakan Hukuman Had


Berakal, terkecuali orang gila.
Baliqh, terkecuali kanak-kanak.
Muslim, terkecuali orang kafir
Kehendak sendiri bukan dipaksa.
Bukan terpaksa meminumnya seperti ter-cekik
Tahu bahawa yang diminumnya arak.
Tahu bahawa arak itu haram.

Hukuman Kesalahan Minum Arak

Disabitkan minum arak ialah 40 kali sebat


Hukuman sebatan tidak boleh dikurangkan atau ditambah kerana
hukuman had adalah mengikut ketentuan nas al-Qur’an dan Hadith
Rasulullah s.a.w..
Sekiranya hukuman itu digandakan 80 kali disebabkan oleh tipu muslihat
tertentu sesuai dengan tujuan mengajar dan memberi amaran maka
hukuman tetap 40 kali dan 40 kali lagi sebagai ta’zir

MENCURI

Ambil barang orang lain secara sembunyi atau tanpa kebenaran daripada
tempat simpanan yang sepatutnya.

Dalil
Qur’an surat Al-Maidah : 38 yang berbunyi :



 
   
    

Artinya : Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah
tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan

281
dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.

Syarat Pencuri

Dengan sukarela atau tidak dipaksa


Harta yang ada nilai.
Tempat simpanan yang khas.
Diletakkan di bawah kawalan.
Tidak termasuk buah yang masih di atas pokok atau barang yang
diletakkan di tempat awam.
Cukup kadar harta (nisab):

Hukuman atas Kesalahan Mencuri

Dipotong tangan. Hukuman ini tidak boleh dimaafkan oleh sesiapa dan
tidak boleh ditukar
Memulangkan semula barang yang dicuri kerana barang yang dicuri itu
hak manusia .Oleh itu barang itu wajib dipulangkan kepada tuannya dan
tidak memadai hanya dipotong tangan.

Hukuman mencuri dan Anggota yang boleh dipotong

Mencuri kali pertama dikenakan had potong tangan kanan hingga


pergelangan tangan
Mencuri kali kedua dipotong kaki kiri hingga buku Iali
Mencuri kali ke tiga dipotong tangan kiri hingga pergelangan tangan
Mencuri kali keeinpat dipotong kaki kanan hingga buku Iali
Mencuri kali kelima dan seterusnya dikenakan ta’zir atau dipenjarakan
hingga bertaubat

Cara sabit Kes Kecurian

Keterangan saksi:

Keterangan dua orang saksi yang memenuhi syarat-syarat saksi,


Setelah orang yang mengalami kecurian atau wakilnya membuat
pendakwaan.

Pengakuan orang yang mencuri

Memadai dengan se-kali pengakuan.


Pengakuan itu hanya akan diterima setelah orang yang mengalami
kecurian atau wakilnya membuat pendakwaan.

Gugur Hukuman Potong Tangan:

Tuan barang menafikan orang yang dituduh mencuri hartanya atau


menafi-kan keterangan saksi-saksi.

282
Pencuri menarik balik pengakuan, sedangkan per-tuduhan ke atasnya
dibuat tanpa bukti, hanya bersandar-kan semata-mata kepada
pengakuannya.
Pencuri mengakui bahawa barang yang dicuri adalah miliknya dengan
bukti yang sah yang dapat diterima kesahihannya.

RAMPOK DAN SAMUN

Tindakan mengganggu/melakukan seseorang dengan tujuan untuk


menakut-nakuti manusia, merampas, mengambil harta secara paksaan dan
kekerasan

Hukuman Merompak dan Menyamun

Hukuman bunuh.
Hukuman bunuh dan salib.
Hukuman potong kaki dan tangan secara berselang seli secara sekali gus.
Hukuman dibuang kedaerah lain.

Mengugut dan Mengganggu

lmam Syafi’i,
hukuman tazir, buang kedaerah lain saja.

Hanafi dan Ahmad. Buang saja kedaerah lain

Imam Malik, Ikut Ijtihad hakim.

Membunuh

Imam Malik: Hukum Bunuh tanpa salib.Hukum Bunuh serta salib

Merampas dan membunuh

Syafei dan Ahmad: Bunuh dan salib

Abu Hanifah: - Bunuh dan Salib,


- Bunuh tanpa potong tangan dan kaki
- Salib dahulu baru bunuh tanpa potong tangan dan kaki

Perompak Bertaubat

Jumhur berpendapat
Orang bertaubat sebelum ditangkap terserah kepada Allah Tidak
dikenakan had
Orang yang menjadi mangsa.
Barang yang disamun.
Tempat kejadian dan alat yang digunakan.

Orang yang dituduh melakukan samun:

283
1. Hendaklah ia baligh dan sempurna akal.
2. Tidak ada perbezaan antara lelaki dan perempuan.
Orang yang menjadi mangsa:

Hendaklah ia seorang muslim atau kafir zimmi yang patuh kepada


undang-
la hendaklah menjadi pelik harta yang disamun atau wakilnya.
Tiada pertalian kekeluargaan antara yang menyamun dan yang disamun,
atau ada pakatan antara kedua-dua pihak.

Barang yang disamun:

Harta itu dirampas daripada tempat barang itu disimpan.


Harta itu mempunyai nilai menurut kaca mata Islam, oleh itu arak dan
barang yang diharamkan oleh Islam tidak dianggap bemilai.
Barang yang disamun itu bukan milik penyamun.
Barang yang disamun sampai pada nisabnya.

Kesalahan menyamun boleh disabitkan dengan:

Keterangan saksi yang mencukupi syarat.


Pengakuan tertuduh.
Semua pengakuan ini hendaklah memenuhi syarat--syarat kes curi.

Hukuman terhadap penyamun berbeza-beza mengikut kategori jenayah


samun.
Menakut-nakutkan dan mengganggu ketenteraman awam dengan tidak
melakukan rampasan atau pembunuhan.
Merompak harta benda sahaja.
Membunuh atau mencederakan sahaja.
Merampas harta benda dan membunuh atau men-cederakan.

Bila Kesalahan Hukuman

1. Menakut-nakutkan dan menggangguketenteraman awam sahaja.


Ta’zir atauDibuang daerah selama setahun atau sehingga ia bertaubat.
2 Merampas harta sahaja Potong tangan dan kaki dengan
berselang, danMengembalikan barang yang dirampas kepada tuannya.
3 Melakukan pembunuhan sahaja Dibunuh tanpa dipalang.
4 Melakukan perampasan atau rompakan dan pembunuhan.1
.Dibunuh,dan2. Dipalang dalam tempo yang munasabah untuk diketahui
oleh orang ramai atau selama tiga hari seperti pendapat setengah-setengah
ahli fuqaha’.

MEMBERONTAK
Al-Bughah dari segi bahasa bererti pelampau atau melampaui batas
Dari istilah bererti satu kumpulan orang Islam yang menentang pemimpin
muslimiin, melakukan pemberontakan terhadap pemerintahannya dan
enggan mematuhi peraturan dan undang-undang yang dikuatkuasakan

284
oleh pemerintah sama ada orang yang berkaitan dengan hak Allah atau
hak manusia.
Dalam istilah biasa mereka dikenali sebagai pemberontak. Mereka
mempunyai dasar dan undang-undang mereka sendiri, mempunyai
organisasi dan pentadbiran sendiri serta mempunyai kekuatan pertahanan,
tentera dan senjata untuk melaksanakan pemberontakan. Contohnya ialah
al-Khawarij dan al-Haruriyah yang menentang khalifah ‘Ali ra.

Dalil Kesalahan Memberontak

Artinya: Dan jika dua orang yang beriman berselisih/berperang, maka


damaikanlah di antara keduanya; Jika salah satunya berlaku dzalim
terhadap orang lain, maka lawanlah orang yang zalim itu sehingga ia
kembali mematuhi perintah Allah; jika ia kembali patuh maka
damaikanlah di antara keduanya dengan adil (menurut hukum Allah),
serta berlaku adillah kamu (dalam segala perkara); sesungguhnya Allah
mengasihi orang yang berlaku adil.

Unsur-unsur dalam Kesalahan Memberontak

1. Perbuatan menderhaka.
2. Penggunaan kekuatan dan kekerasan.
3. Niat memberontak.

Unsur Perbuatan Menderhaka

Perbuatan menderhaka bermaksud menentang pemerintah atau berusaha


menggulingkannya, tidak mematuhi perintahnya atau undang-undang
yang dikuatkuasakannya dan tidak melaksana-kan kewajipan-kewajipan
yang tidak dianggap maksiat.

Pemberontakan itu ditujukan kepada pemerintah Islarn yang adil yang


tidak sepatutnya ditentang atau digulingkan, malahan pemberontakan
terhadap pemerintah yang fasiq pun diharam-kan oleh Islain walaupun
dengan tujuan untuk melaksanakan amar nw’ruf dan nahi munkar. Ini
disebabkan pemberontakan itu akan memberi kesan yang lebih buruk dan
tidak memung­kinkan maksud amar ma’ruf dan nahi munkar tercapai.

Unsur Penggunaan Kekuatan dan Kekerasan

Penggunaan kekuatan dan kekerasan bermaksud bahawa pemberontak


mempunyai kekuatan pertahanan mereka sendiri serta mempunyai senjata
dan tentera yang dapat melakukan tindakan yang boleh mengganggu
ketenteraman negara dan melakukan kekacauan dan huru hara.
Unsur Niat

Niat yang dimaksudkan di sini ialah untuk melakukan pemberontakan dan


penentangan terhadap pemerintah dan bertujuan untuk menggulingkan
atau tidak mahu tunduk kepada perintahnya dan enggan melaksanakan

285
kewajipan dan tanggungjawab mengikut undang-undang dan peraturan
yang ditentukan olch pemerintah.

Langkah Menghadapi Pemberontak

Pemerintah yang menghadapi pemberontakan tidak boleh terus bertindak


memerangi atau menentang pemberontak dengan kekerasan sebelum
langkah-langkah awal dilakukan bagi mengelakkan pertumpahan darah
sesama umat Islam.

Langkah paling utama ialah mengajak mereka ke meja perundingan untuk


mengetahui sebab mereka memberontak dan tuntutan mereka:

Sekiranya sebab-sebab itu munasabah dan tuntutan mereka wajar, maka


pemerintah tidak boleh menafl-kannya, tetapi hendaklah menerimanya
dan memenuhi tuntutan mereka.
Sekiranya pemberontak enggan memberi sebab-sebab pemberontakan
dengan jelas, maka mereka perlu diberi peringatan akan bahaya
peperangan iaitu men-datangkan korban nyawa dan kerugian harta benda.
Sekiranya mereka masih enggan, suruhlah mereka supaya kembali bersatu
di bawah naungan pemerintah dan taat kepada pemerintah atau mereka
akan menghadapi tindakan yang keras dan tegas daripada ,pemerintah.
Sekiranya mereka tetap enggan dan terus berpegang pada dasar
pemberontakan mereka, maka wajiblah mercka diperangi.

Syarat-syarat Memerangi Pemberontak

Pemberontak mempunyai kekuatan tentera, senjata dan pengkalan bagi


pergerakan dan pertahanan mereka. Usaha untuk menjadikan mereka taat
kepada pemerintah memerlukan belanja yang besar dan tenaga yang
banyak.

Pemberontak menentang pemerintah secara terbuka dan mereka tidak


berada di dalam kawalan pemerintah sebab mereka mempunyai pengkalan
yang di luar daripada kekuasaan pemerintah. Ini tidak memungkin-kan
pemerintah dapat mengambil tindakan terhadap mereka secara mudah
seperti menangkap dan memenjarakan mereka.

Pemberontak mempunyai asas yang menjadi prinsip perjuangan mereka


sendiri sekalipun asas itu salah seperti asas yang dipegang oleh al-
Khawarij dan al-Haruriyah yang melakukan pemberontakan ter-hadap
Sayidina’Ali ra.. Tidak mudah bagi pemerintah untuk berhadapan dengan
golongan yang berpegang pada prinsip tentera yang menjadi dasar
perjuangan pemberontak lebih-lebih lagi prinsip yang salah. Ini bererti
bertambah sukar untuk menyeru mereka supaya berdamai dan kembali
kepada prinsip yang menjadi dasar pemerintah dan menghentikan
penentangan terhadap pemerintah.

Pemberontak mempunyai pemimpin yang berpenga-ruh dan ditaati,


pemimpin yang dapat mengatur dan mentadbir, merancang dan menyusun

286
strategi bagi melaksanakan penentangan dan pemberontakan. Andainya
mereka tidak mempunyai pemimpin, mereka mudah disedarkan dan
dipujuk supaya menghentikan perjuangan yang sia-sia itu.

Walaupun pemerintah diharuskan memerangi pemberontak, mereka tidak


boleh dianggap sebagai golongan fasiq dan kafir kerana mereka dapat
dianggap sebagai golongan bermasalah berdasarkan asas atau prinsip yang
mempengaruhi tindakan mereka.

Tindakan

Tindakan hendaklah didahului dengan memberi pe-nerangan dan nasihat


serta berunding dengan mereka supaya mereka kembali kepangkuan
jema’ah Islam.
Sesudah berlaku peperangan tentera pemerintah tidak boleh mengejar
musuh yang meninggalkan medan peperangan, tidak boleh mereka
menghukum yang telah lemah disebabkan luka. Hanya yang dibolehkan
ialah menentang pemberontak seimbang dengan serangan yang mereka
lakukan. Jelasnya mengangkat senjata hanya untuk mempertahankan diri
dan jema’ah serta memadamkan pemberontakan.

Tidak boleh membunuh pemberontak yang ditawan.


Tidak boleh merampas harta mereka sebagai harta rampasan perang.
Hukuman yang Berbangkit Selepas Pemberontak Dipadamkan
Pemberontak yang terkorban dalam pertempuran mati-nya mati percuma
kerana tidak boleh diambil tindakan qisas atau that terhadap pihak yang
membunuhnya.

Setelah tamat peperangan atau pertempuran antara tentera pemerintah


dengan tentera pemberontak, kemudian ada pula tentera pemerintah yang
membunuh tentera pemberontak, pada hal pemberontak telah meletakkan
senjata dan kembali taat kepada pemerintah, maka tentera yang
membunuh itu dikenakan qisas, melainkan ia bersumpah bahawa ia
berpendapat bahawa suatu kegiatan menentang atau cubaan rampasan
kuasa terhadap pemerintah yang sah di sisi svara’, sama ada dengan
mengguna- senjata atau merancang serta melancarkan peperangan dengan
cara zalim

Hukuman Jinayah Memberontak

Dijatuhkan hukuman mati


atau diperangi

Pemeritah juga mestilah meneliti dan mengkaji sebab pemberontakan


tersebut dan sekiranya tuntutan itu benar maka pemerintah hendaklah
menerima dan melaksanakannya. Sekiranya permintaan mereka tidak
benar, dan mereka masih berdegil tidak mahu mentaati pemerintah, di saat
itu mereka bolehlah diperangi.

MURTAD

287
Tindakan seseorang yang keluar daripada agama Islam.
Murtad dan kufur melalui salah satu berikut

Meialui itikad/kepercayaan
i. Contohnya seseorang yang berhasrat kafir atau ragu-ragu dengan
kebenaran al-Qur’an.
Melalui kata-kata dan ucapan.
i. Contohnyatindakan seseorang yang mencaci dan menghina Nabi
s.a.w.
Meialui perbuatan.
i. Contohnya seseorang memijak al-Qur’an dengan tujuan menghina.

Hukuman Jinayah Murtad

Hakim tahan selama tiga hari supaya bertaubat


Enggan bertaubat baru dihukum bunuh.

Tanda-tanda Zahir Murtad

Mencaci Nabi Muhammad s.a.w. atau mempersenda-kannya seperti yang


dilakukan oleh musuh Islam yang menuduh Nabi Muhammad s.a.w. kuat
nafsu seks.
Mengingkari larangan Islam yang telah ditetapkan oleh Islam seperti
mengingkari haram arak dan riba.
Mengingkari perkara-perkara yang telah ditetapkan oleh Islam seperti
solat lima waktu.
Mengingkari perkara yang telah disabitkan dengan dalil seperti
mengingkari al-Qur’an sebagai kalam Allah.
Mengingkari perkara-perkara yang telah diwajibkan oleh Islam seperti
ingkar wajib puasa dan zakat.
Mengingkari perkara-perkara yang telah diharamkan oleh Islam secara
qot’i seperti mengingkari haram zina dan riba.

Hukum terhadap Kesalahan Murtad

Menyedarkan akan kesalahan yang dilakukannya dan meminta ia


bertaubat serta kembali kepada Islam dengan segera.
Memberi peringatan dan amaran kepadanya akan bahaya atau akibat
buruk jika ia tidak mahu bertaubat malahan terus murtad iaitu ia akan
menerima hukuman bunuh.
Wajib dihukum bunuh sekiranya ia tidak mahu kem-bali kepada Islam.

Hadith Rasulullah s.a.w.:


Artinya: Tidak halal darah (nyawa) seseorang muslim yang mengucap
bahawa tiada tuhan selain Allah dan bahawa aku Rasulullah melainkan
salah satu daripada tiga iaitu mem-bunuhjiwa, janda atau duda vang
melakukan zina dan orang yang meninggalkan agama, keluar darijema’ah
Islam.
Tertib Hukuman Kesalahan Murtad

288
Hukumaasalnya ialah bunuh berdasarkan Hadith berarti, “Sesiapa yang
me­nukar agamanya maka bunuhlah ia.”
Hukuman ini wajib dikenakan ke atas setiap orang yang murtad
Sekiranya hukuman bunuh itu tidak dapat dilaksanakan oleh sebab-sebab
tertentu, maka hukuman gantung boleh
dikenakan kepada orang yang murtad mengikut keadaan:
Jika pesalah telah bertaubat, maka hakim atau qadhi boleh mengenakan
hukuman yang sesuai dengan keadaan pesalah seperti sebat, penjara,
denda dan memberi amaran, malahan ada ‘ulama’ yang menyarankan
supaya diberi hukuman yang berat dan ada pula yang menyarankan
diampunkan. Semuanya itu terserah ke-pada kebijaksanaan hakim atau
qadhi dengan melihat kes dan muslihat di sebalik hukuman-hukuman
yang diputuskan.

Jika hukuman asal (bunuh) digugurkan disebabkan ada kesamaran seperti


yang murtad itu perempuan atau kanak-kanak, maka hakim atau qadhi
boleh menj atuhkan hukuman penjara atau ditahan di pusat pemulihan
aqidah sehingga ia bertaubat.

Hukuman sampingan:

Murtad dan enggan bertaubat. Dirampas semua harta diletak-kan di bawah


pentadbiran pemerintah.
Penyaraan dirinya diambil daripada harta tersebut mengikut keperluan.
Harta itu tetap menjadi miliknya sehingga ia bertaubat baru diserahkan
semula kepadanya.
Sekiranya ia mati, maka hilanglah hak tersebut dari sejak tarikh dia
murtad.
Terbatal segala bentuk urusan dan perjanjian seperti jualbeli, pemberian,
gadaian dan seumpamanya kerana murtad membatalkan kelahiran untuk
urusan-urusan yang tersebut.

Hilang hak perwarisan antara dia dan waris-warisnya,

Hadith Artinya: Tidak boleh seorang muslim mewariskannya (pusaka)


kepada orang kafir dan tidak boleh seorang kafir mewariskannya (pusaka)
kepada orang Islam
Dipisahkan antara dia dengan isterinya. ‘Aqad perkah­winan digantung
sementara sehingga ia bertaubat dan kembali kepada Islam dalam tempoh
‘iddah. Sekiranya ia bertaubat dan kembali kepada Islam selepas ‘Iddah
dia hendaklah melakukan aqad nikah dengan mahar yang baru.

Syarat Perlaksanaan Hukum Murtad

Orang yang murtad itu hendaklah orang yang mukalaf iaitu mempunyai
akal yang sempurna dan baligh.
Telah diberi nasihat dan diminta bertaubat dan diberi tempoh masa untuk
bertaubat.

289
Dapat dipastikan telah murtad sama ada dengan pengakuan sendiri atau
dengan keterangan saksi yang adil yang me-menuhi syarat-syarat saksi.

Hukum selepas Hukuman Bunuh

Setelah orang yang murtad menjalani hukuman bunuh, maka perkara-


perkara hendaklah dipatuhi:
Haram dimandikan, dikafankan dan solat ke atasnya kerana ia telah
dihukumkan kafir.
Tidak boleh ditanam di perkuburan Islam, malahan hendak-lah ditanam
jauh dari tanah perkuburan Islam.
Tiada seorang warisnya pun yang boleh mempusakai harta-nya kerana
telah terputus hubungan keislaman dan haknya terhadap harta-harta
tersebut telah gugur.

TA’ZIR

Ta’zir adalah salah satu hukum daripada hukum-hukum Allah. Ta’zir


adalah undang-undang / peraturan Allah SWT yang diberikan kepada
pemimpin atau pemerintah Islam yang sah untuk berhukum dengannya,
bergantung kepada keperluan dan kemaslahatan.

Saya bawakan contoh judi. Judi Allah hina di dalam Al-Quran, Nabi SAW
hina di dalam hadis. Bahkan di dalam mana-mana agama lain, semua
mengkritik dan mengutuk kaki-kaki judi. Tetapi di dalam Al-Quran dan
hadis sendiri tidak dinyatakan perlaksanaan hukuman tertentu kepada judi.
Maka ia bergantung kepada pemerintah. Kalau pemerintah melihat dalam
negaranya mungkin hanya 1% yang bermain judi, mungkin hukuman yang
diberi tidak terlalu berat. Tetapi kalau dalam satu negara, 80% adalah
berjudi, dia mungkin akan meletakkan hukuman yang berat.

Contoh lain adalah rasuah. Nabi SAW menyebut di dalam hadis,artinya :

Artinya: “Allah melaknat orang yang merasuah dan penerima rasuah


dalam hukum.” (riwayat Ahmad dan lainnya)

Tetapi wujudkah hukuman tertentu yang Allah tetapkan bagi orang yang
terlibat dalam rasuah? Tidak, Nabi pun tidak pernah menyebutnya. Jadi
hukuman yang tidak dinyatakan oleh Allah dan Rasul seperti ini tidak
boleh dikatakan hukum hudud, ia kembali kepada ta’zir, kembali kepada
kecerdikan pemimpin untuk menentukan kadar hukuman sesuai dengan
keperluan.

Sebab itu kalau kita lihat dalam sebuah negara luar, ada yang
mencadangkan sampai rasuah dikenakan hukuman bunuh. Kalau kadar
rasuah sangat membimbangkan, pelaksanaan hukuman rasuah yang berat
perlu dilaksanakan. Sebab itu keluarlah satu kaedah yang ulama sebut,

290
“Tindakan pemerintah ke atas rakyat bergantung kepada kemaslahatan.”

Contoh lain adalah money laundering. Duit yang didapatkan dari aktiviti
haram di luar sana yang hendak dibawa masuk ke negara kita tidak
dibolehkan. Kemudian ia masuk secara haram dan ditangkap. Adakah
apabila hukuman ini tidak dinyatakan di dalam Al-Quran, maka pesalah
dilepaskan?

Judi dalam bola sepak, tidak ada di dalam Al-Quran dan hadis. Perniagaan
menjual manusia, pendatang asing tanpa izin dan sebagainya, perkara
seperti ini apabila tiada hukumannya di dalam Al-Quran maka ianya
dipindahkan kepada kebijaksanaan pemimpin untuk menentukan
hukuman, inilah yang dinamakan ta’zir.

Apakah Hukum Ta’zir Itu?

Maksud ta’zir di dalam syariat adalah memberi pelajaran bagi orang yang
berdosa yang tidak ada hukuman dan tidak ada kafarah (tentang dosa
yang dilakukan)-nya.

Berkaitan dengan itu sesungguhnya maksiat ada tiga macam:

1. Jenis maksiat yang memiliki hukuman seperti zina dan mencuri.


Hukuman adalah kafarah bagi pelakunya.

2. Jenis maksiat yang memiliki kafarah dan tidak ada hukumannya seperti
bersetubuh di siang hari pada bulan Ramadhan.

3. Jenis maksiat yang hukumannya tidak ditentukan oleh syariat atau


syariat menentukan batasan hukuman bagi pelakunya tetapi syarat-syarat
pelaksanaannya tidak diterangkan dengan sempurna, misalnya
menyetubuhi wanita selain farjinya, mencuri sesuatu yang tidak
mewajibkan penegakan hukuman potong tangan di dalamnya, wanita
menyetubuhi wanita (lesbian) dan tuduhan selain zina, maka wajib
ditegakkan ta’zir pada kasus-kasus itu, tersebut dalam hadits, artinya :

“Janganlah kamu mencambuk melebihi sepuluh kali cambukan kecuali


dalam hukuman dari hukuman-hukuman Allah Azza wa Jalla.”
(Diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dan Abu Dawud)

Tersebut di dalam suatu riwayat bahwa Umar bin Khathab radhiyallahu


‘anhu menta’zir dan memberi pelajaran terhadap seseorang dengan
mencukur rambut, mengasingkan dan memukul pelakunya, pernah pula
beliau radhiyallahu ‘anhu membakar kedai-kedai penjual khamar dan
membakar suatu desa yang menjadi tenpat penjualan khamar. Ta’zir
dalam perkara yang disyariatkan adalah ta’zir yang wajib menurut
pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Ahmad
rahimahumullah.

291
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dan yang lainnya
berpendapat bolehnya melakukan ta’zir dengan membunuh, beliau
rahimahullah menyatakan, “Merupakan bagian dari prinsip-prinsip
madzhab Hanafy, sesungguhnya pelanggaran yang tidak memberikan
konsekuensi hukuman bunuh seperti membunuh dengan batu timbangan
dan seorang laki-laki yang melakukan perbuatan keji secara berulang-
ulang, maka menurut mereka, seorang pemimpin (imam) berhak
membunuh pelakunya, seperti itu pula dia berhak menambah hukuman
melebihi batas yang telah ditentukan jika melihat adanya kebaikan
(maslahat) di dalamnya.

Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan bolehnya menta’zir dengan


harta, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah
menta’zir dengan menahan harta rampasan perang dari orang yang berhak
menerimanya, dikabarkan pula bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wasallam
menta’zir orang yang tidak menunaikan zakat dengan mengambil separuh
hartanya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda dalam hadits yang
diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud dan Nasa’i,

“Apa yang diberikan oleh seseorang karena mencari pahala maka dia
mendapatkan pahalanya, dan barangsipa yang menahannya maka kami
yang akan mengambilnya beserta separuh hartanya, hal itu sebagai salah
satu kewajiban dari Rabb kami.”

Ta’zir dilakukan oleh seorang pemimpin (hakim), demikian pula bapak


boleh melakukan terhadap anaknya, tuan terhadap budaknya dan suami
terhadap istrinya -dengan syarat mereka tidak melakukannya dengan
berlebih-lebihan. Dibolehkan menambah ta’zir untuk mencapai makrud
(dalam memberi pelajaran) atas suatu kesalahan. Tetapi jika menambah
ta’zir bukan untuk tujuan ini, berarti dia telah melampaui batas dan
menimpakan hukuman yang menyebabkan binasanya seseorang.

Ibnu Rajab rahimahullah menyampaikan pernyataan penting sehubungan


dengan apa yang sedang kita bahas. Beliau rahimahullah berkata,
“Disebutkan dalam riwayat Muslim,

“Barangsiapa yang melakukan sesuatu yang mewajibkan ditegakkannya


hukuman, kemudian hukuman itu ditegakkan atasnya, maka itu menjadi
kafarah baginya.”

Ini menunjukkan bahwa hukuman-hukuman itu merupakan kafarah.


Sya’by rahimahullah berkata, ‘Tidaklah saya mendengar tentang
permasalahan ini -bahwa hukuman itu menjadi kafarah bagi pelakunya-
yang lebih baik dari hadits Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu.’ Juga
perkataannya: Maka mereka dihukum dengan hukuman-hukuman yang
syar’i yaitu hukuman-hukuman yang telah ditetapkan ketentuannya atau
tidak ditetapkan -seperti ta’zir- serta mencakup hukuman-hukuman taqdir
seperti berbagai musibah dan penyakit. Telah ada riwayat yang shahih

292
dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa beliau shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda,

“Tidaklah seorang muslim tertimpa penyakit, musibah, kecemasan dan


kesedihan sampaipun sebuah duri yang menusuknya kecuali dengan sebab
itu Allah Azza wa Jalla menghapuskan kesalahan-kesalahannya.”

Telah diriwayatkan dari Ali radhiyallahu ‘anhu bahwa hukuman itu


menjadi kafarat bagi orang yang telah diberi hukuman. Ibnu Jarir
rahimahullah menyebutkan perselisihan di antara kaum muslimin dalam
masalah ini, namun beliau rahimahullah menguatkan bahwa semata-mata
dengan ditegakkan hukuman (atas pelaku dosa) maka hal itu merupakan
kafarah baginya, beliau rahimahullah sangat melemahkan pendapat yang
menyelisihi hal itu.

JENIS-JENIS HUKUMAN TA’ZIR.

Antara jenis-jenis hukuman ta’zir ialah hukuman mengenai tubuh badan


seperti sebatan, hukuman berkaitan sekatan kebebasan seperti penjara,
buang daerah dan lain-lain, hukuman berkaitan harta seperti denda serta
pelbagai hukuman lain berdasarkan budi bicara pemerintah. Jenis-jenis
hukuman ta’zir adalah seperti berikut:

SEBAT/LEMPAR

Hukuman sebat selain dikenakan terhadap jinayah hudud seperti zina yang
dilakukan oleh seseorang yang belum berkahwin dan jenayah qazaf (tuduh
zina), ianya juga boleh digunakan terhadap jenayah ta’zir. Terdapat
pelbagai pendapat dalam menentukan bilangan sebatan maksimum yang
diizinkan dalam kes ta’zir. Sesetengahnya mengatakan 75 sebatan, ada
yang berpendapat 99 sebatan, dan yang lainnya menetapkan 39 sebatan
dan ada pula yang mengatakan tidak dibenarkan lebih daripada 20
sebatan.

PENJARA

Terdapat dua jenis hukuman penjara dalam undang-undang Islam, sama


ada tempoh yang tetap atau tidak tetap. Adapun hukuman penjara bagi
tempoh yang tetap boleh dikenakan bagi kesalahan-kesalahan kecil. Bagi
hukuman penjara tidak terhad pula,ianya dikenakan ke atas penjenayah
yang sering melakukan kesalahan yang mana mengikut pandangan pihak
hakim, tidak boleh dipulihkan akhlak mereka dengan mengenakan
hkuman biasa. Semua mazhab undang-undang Islam mengesahkan
hukuman ini boleh dilanjutkan sama ada sehingga penjenayah itu
bertaubat atau sehingga dia mati bagi penjenayah yang merbahaya.

DENDA DAN MERAMPAS HARTA BENDA

293
Nabi Muhammad pernah juga mengenakan hukuman dalam bentuk
kewangan sebagai hukuman ta’zir. Namun begitu, di kalangan fuqaha’
terbahagi kepada tiga kumpulan berhubung dengan pendapat tentag
kesahihan hukuman ini di sisi undang- undang. Kumpulan pertama
mengatakan menghukum dengan cara mendenda atau merampas harta
benda tidak sah di sisi undang-undang, kumpulan kedua pula
menganggapnya sah, manakala kumpulan ketiga menganggapnya sah jika
pesalah tidak bertaubat.

ANCAMAN

Ancaman merupakan satu bentuk hukuman ta’zir yang dapat mendorong


pesalah mengubah tingkah lakunya keraa takut dihukum. Pesalah boleh
diancam dengan hukuman sekiranya dia mengulangi kesalahan itu lagi
ataupun dia boleh dijatuhkan hukuman tetapi perlaksanaan hukuman itu
ditangguhkan sehinggalah dia melakukan satu lagi kesalahan (dalam
tempoh tertentu).

DIYAT (DENDA)

Diyah adalah satu topik khusus yang dipanggil ganti rugi. Contohnya,
kemalangan jalan raya, seorang melanggar secara tidak sengaja, maka dia
perlu membayar ganti rugi. Bunuh secara tidak sengaja, kalau menurut
perundangan Islam, dia perlu membayar ganti rugi.

Diyah ini ada keterikatan dengan hukum balas balik. Dalam kes
kecederaan mata seperti yang disebut awal tadi, sekiranya orang yang
dicederakan memaafkan pelakunya, orang yang melakukan kecederaan
tersebut harus membayar ganti rugi.

Semua perkara ini ada disebut oleh Nabi SAW; mata kena bayar berapa,
tangan kalau putus kena bayar berapa, kepala kalau pecah kena bayar
berapa, kalau kena tulang kena bayar berapa, kalau terkopak kena bayar
berapa, semuanya telah diceritakan secara detil di dalam hadis-hadis Nabi
SAW.

HUDUD/BATASAN

Berbalik kepada topik utama kita iaitu hudud. Hudud berasal daripada
perkataan arab al-had (batasan). Bawa kereta pun ada had laju, pergaulan
lelaki dan wanita juga ada had dan batasan. Dalam berbicara dan berkata-
kata juga ada had dan batasan. Filem hina Nabi, itu sudah melampaui had
dan batasan yang dibenarkan. Maka dalam setiap urusan kehidupan
seorang muslim, ada had yang perlu dipatuhi.

Dalam Al-Quran, apabila Allah SWT menceritakan tentang pembahagian


harta pusaka, setelah Allah menceritakan semuanya secara detil, Allah
berfirman,
    
   
294
   
  
 
   
   
  
 
 
Artinya : Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang
kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin
dengan suami yang lain. kemudian jika suami yang lain itu
menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami
pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan
dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah,
diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui..” (surah Al-
Baqarah, [2] : 230)

Maka itu maksud asal perkataan had. Apabila kita katakan hudud, ia
bermaksud batasan-batasan yang telah Allah SWT tetapkan dalam jenayah
syariah. Contohnya mencuri, menuduh orang berzina, memberontak,
minum arak, berzina, dan lain-lain. Ini adalah senarai beberapa kesalahan
yang termasuk dalam hudud. Kenapa dinamakan hudud adalah kerana
Allah SWT telah menentukan kaedah hukumannya, bagaimana
pelaksanaan, dan kadar hukumannya.

Contoh-contoh hukuman hudud

Mencuri
Apabila Allah menyebut di dalam Al-Quran,




 
   
    


Artinya : “Lelaki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah


tangan keduanya (sebagai) balasan bagi apa yang mereka kerjakan dan
sebagai siksaan dari Allah, dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.” (surah al-Maidah, [5] :38)

Ini bukan cerita seorang mencuri lalu kita tangkap dan potong tangannya.
Ini bukan seperti beli ayam di pasar, tetapi perlu kepada pembuktian dan
saksi yang adil. Perlu melihat kepada benda apa yang dia curi. Sabda Nabi
SAW, artinya :

295
“Tidak dipotong tangan pencuri kecuali barang yang dicuri bernilai satu
per empat dinar atau lebih.” (Muttafaqun ‘alahi) SATU DIRHAM =
1.341.400,-

Jadi adakah boleh jika orang mencuri buah mempelam satu raga, kita
potong tangannya? Sabda Nabi SAW di dalam hadis yang lain,artinya :

“Tidak ada potong tangan dalam (pencurian) buah dan tandan kurma.”
(riwayat Abu Dawud dan At-Tirmidzi)

Jadi hal ini perlu difahami dengan betul. Bukan semua jenis mencuri
dikenakan hukuman hudud. Mencuri motorsikal, adakah boleh dikenakan
hukuman hudud ke atasnya?

Perlu diperhatikan, adakah motorsikal itu berada dalam jagaan dan


kawalan tuannya, atau tuannya meninggalkan sahaja motorsikalnya di tepi
jalan? Kereta Ferrari yang dicuri, sekiranya ia diparkir di dalam kawasan
rumah, dan ada pengawal yang menjaga kawasan rumah tersebut,
kemungkinan ya, barulah hukum hudud itu dilaksanakan kepada si
pencuri.

Ini semua dibincang secara detil oleh para ulama, termasuklah kadar mana
tangan si pencuri yang dibuktikan bersalah itu dipotong.

Perlu dilihat juga sekiranya kecurian berlaku pada musim kemarau dan
pencuri adalah dari kalangan orang miskin, tidak ada potong tangan ketika
mana musim lapar dan orang yang mencuri berada di dalam
kemudharatan.

Apabila ada masalah dalam pembuktian, disebut di dalam hadis,artinya :

“Ketepikah hukum hudud kerana ada syubhat (dalam pembuktian).”

Zina
Apabila seseorang ditangkap berzina, untuk disabit kesalahan perlu
kepada saksi yang adil. Bukan semudah tangkap dan terus menjatuhkan
hukuman.

Saya tertarik apabila ada orang mengulas tentang isu rogol, katanya
hukum hudud tidak sesuai kerana jika non-muslim merogol muslim,
disebabkan tiada saksi si mangsa tidak boleh mengadu, jika dia mengadu,
dia akan disabitkan kesalahan menuduh orang yang tidak bersalah
(qadzaf) iaitu sebat 80 kali sebatan.

Sebenarnya dia tidak faham tentang kaedah pembuktian hukum Islam.


Kalau seseorang itu diborogol dan tidak ada bukti, Islam mempunyai
kaedah pembuktian yang lain contohnya melalui teknologi seperti DNA,
CCTV dan lain-lain. Cuma kesalahan yang dibuktikan melalui kaedah

296
DNA dan CCTV tidak boleh dikenakan hukuman hudud, tetapi kembali
kepada hukuman ta’zir.

Bukanlah tidak dikenakan sebarang hukuman kepada pesalah tetapi


dipindahkan daripada hukuman hudud kepada hukum ta’dzir. Orang yang
mengulas tersebut tidak faham, kitalah yang bertanggungjawab
memahamkan

Syarat-syarat hukum ashl:


a. Tidak menyimpang dari tata cara qiyas, artinya ia mempunyai ‘illat
yang bisa dipahami akal dan ‘illat itu juga ditemukan ditempat lain.
Apabila ia kehilangan salah satu dari kedua syarat ini, maka hukum itu
khusus pada tempatnya dan tidak melampauinya yang ketika itu ia disebut
menyimpang dari tata cara qiyas. Penyimpangan itu ada dua bagian,
pertama: yang dikecualikan dari kaidah umum dan kedua: hukum yang
ditetapkan pada permulaaan yang tidak diputuskan dari asal yang lalu.
b. Ia tidak ditetapkan dengan qiyas, akan tetapi dengan nash atau ijma’
c. Ia merupakan hukum syara’
d. Ia tidak mansukh (dibatalkan),
e. Ini adalah merupakan syarat jadaliyyah (bersifat diperdebatkan)
3. Cabang (furu’), adalah sesuatu masalah yang tidak ada ketegasan
hukumnya dalam al-qur’an, sunnah dan ijma’ yang hendak ditemukan
hukumnya melalui qiyas. Adapun syarat-syarat furu’ itu sebagai berikut :
a. ‘Illat asalnya terdapat dalam cabang,
b. Al-far’u (cabang) tidak boleh mendahului asal dalam ketetapannya,
c. Hukum cabangnya tidak boleh berbeda dari hukun asal dalm segi jenis
maupun dalam kekurangan,
d. Hendaknya tidak terdapat penentang yang kuat atau menyamai ‘illat
asalnya dan hal itu terjadi dengan ketetapan sifat di dalamnya yang bisa
menyebabkan hukum yang lain dari itu baginya dengan mengikuti asal
lain,
e. Syarat yang ditambahkan oleh Abu Hasyim yaitu bahwa hukum dalam
cabangnya berasal dari asal yang ditetapkan nashnya secara ringkas
walaupun tidak ditetapkan perinciannya.
4. ‘Illat, secara bahasa berarti sesuatu yang bisa merubah keadaan. Kata
‘illat bisa diartikan dengan dua pengertian :
Pertama: hikmah yang timbul di atas pembentukan hukum itu, yaitu
maslahat yang dikehendaki dengan hukum itu untuk mendatangkannya
atau menyempurnakannya.
Kedua : kerusakan yang dikehendaki penolakannya atau pengurangannya.
Ketiga: bahwa yang dimaksud dengan ‘illat itu adalah pendefinisian
hukum sedang yang ditunjukkan harus jelas dan tertentu, maka banyak
dari hikmah-hikmah ini adakalanya tersamar dan adakalanya tidak tertentu
sehingga tidak sesuai untuk didefinisikan kebutuhan menghendaki
pertimbangn sesuatu yang lain untuk ditunjukkan yang wujudnya
merupakan tempat dugaan bagi adanya hikmah itu. Berikut ini contoh-
contoh yang menjelaskannya :
a. Melakukan qashar (shalat) disyariatkan bagi musafir karena suatu
hikmahyaitu menolak bahaya kepayahan, akan tetapi kepayahan adalah
masalah persepsi yang berbeda menurut keadaannya, maka tidak mungkin

297
menjadikannya tempat bergantuing bagi hukum, yaitu pemberian rukhsah
dan ketika perjalanan itu merupakan tempat dugaan wujudnya, maka
dianggap bahwa ia adalah ‘illat yang ditetapkan untuk rukhshah.
b. Qishash ditetapkan untuk suatu maslahat yang ingin dicapai yaitu
menjaga kehidupan dengan melarang orang-orang yang cenderung
melakukan kejahatan untuk tidak melakukan permusuhan. Sedang qishash
merupakan tempat dugaan terjadinya maslahat itu, maka dijadikanlah
pembunuhan dengan sengaja dan permusuhan sebagai tempat bergantung
bagi hukum.

E. Pembagian Illat
‘Illat mampunyai tiga pembagian dengan pertimbangan-pertimbangannya
yang berbeda-beda yaitu :
1. Pembagian ‘illat berdasarkan maksud-maksud
Sesungguhnya penetapan syari’at ilahiyah hanyalah auntuk maslahat
manusia di dunia dan akhirat. Allah SWT berfirman dalam pengutusan
para rasul :
  
   
  
  
Artinya: (Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira
dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia
membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. …(QS. An-Nisa :
165)

   


 
Artinya: Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi)
rahmat bagi semesta alam. (QS. An-Anbiyaa : 107)

Adapun penyebutan ‘illat untukperincian hukum, maka terlalu banyak


untuk dibahas secara mendalam, seperti firman-nya dalm ayat wudhu:

    
   
 
 
 
 
Artinya: Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak
membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya
kamu bersyukur (QS. An-Almaidah : 6)

Allah berfirman mengenai shalat :

298
   
  

 
…..
Artinya: … Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-
perbuatan) keji dan mungkar…. (QS. An-Ankabut :45)

Kadar ini cukup dalam mengingatkan bahwa Allah SWT tidak


membentuk syariat kecuali untuk menimbulkan berbagai kemaslahatan
bagi manusia di dunia dan akhirat-Nya.
2. Pembagian ‘illat berdasarkan penyampaiannya kepada maksud
Tujuan dari persyaratan sebab-sebab atas terbentuknya hukum ialah
menyampaikan hal itu kepada maslahat yang ingin didatangkan, ataau
kepada penolakan kerusakan yang diharapkan.
3. Pembagian ‘illat menurut pertimbangannya
Adakalanya mujtahid mendapati hhukum yang menyangkut perbuatan itu
kemudian berijtihad dalam menjelaskan ‘illatnya untuk diikutkan dengan
sesuatu yang didugnaya sebagai tempat bergantung bagi hukum itu,
tidaklah cukup baginya dalam hal itu hanya kesesuaia penyifatannya
terhadap kesyariatannya hukum itu. Akan tetapi haruslah terdapat bukti
dari nash yang lain bahwa syar’i mempertimbangkan penyifatannya ini
dengan suatu pertimbangan. Macam-macam perimbangan ini ada tiga :
Pertama: bahwa as-syari’telah mempertimbangkan penyifatan ini lebih
dari sekali dalam jenis itu.
Kedua: bahwa syari’ telah menganggap jenis pensifatan dalam hukum itu
sendiri denggan menjadikan sebuah sifat pertama masuk dalam jenis yang
berdekatan sebagai ‘illat bagi hukum pertama itu.
Ketiga: bahwa syari’ telah mempertimbangkan sifat inni dalam jenis
hukumnya dan hal itu berarti timbulnya nash dari syari’ yang mengizinkan
sifatr pertama dalam jenis yang berdekatan dalam kesyariatan hukum.

F. Bentuk-Bentuk ‘Illat
‘Illat adalah sifatyang menjadi kaitan bagi adanya suatu hukum. Ada
beberapa bentuk sifat yang mungkin menjadi ‘illat bagi hukum bila telah
memenuhi syarat-syarat tertentu. Diantara bentuk sifat itu adalah :
1. Sifat hakiki, yaitu yang dapat dicapai oleh akal dengan sendirinya,
tanpa tergantung kepada ‘urf (kebiasaan) atau lainnya. Contohnya sifat
memabukkan pada minuman keras.
2. Sifat hissi, yaitu sifat atau sesuatu yang dapat diamati dengan alat
indera. Contohnya pembunuhan yang menjadi penyebab terhindarnya
seseorang dari hak warisan.
3. Sifat ‘urfi, yaitu sifat yang tidak dapat diukur, namun dapat dirasakan
bersama. Contohnya buruk dan baik, mulia dan hina.
4. Sifat lughawi, yaitu sifat yang dapat diketahui dari penamaannya dalam
artian bahasa. Contohnya diharamkannya nabiz karena ia bernama khamr.
5. Sifat syar’i, yaitu sifat yang keadaaannya sebagai hukum syar’i
dijadikan alasan untuk menetapkan sesuatu hukum. Contohnya

299
menetapkan bolehnya mengagunkan barang milik bersama dengan alasan
bolehnya barang dijual.
6. Sifat murakkab, yaitu bergabungnya beberapa sifat yang menjadi alasan
adanya suatu hukum. Contohnya sifat pembunuhan, secara sengaja dan
dalam bentuk permusuhan, semuanya dijadikan alasan berlakunya hukum
qishash.

G. Fungsi ‘Illat
Pada dasarnya setiap ‘illat menimbulkan hukum. Antara ‘illat dan hukum
mempunyai kaitan yang erat. Dalam kaitan itulah terlihat fungsi tertentu
dari ‘illat. Yaitu sebagai berikut :
a. Penyebab/penetap, yaitu ‘illat yang dalam hubungannya dengan hukum
merupakan penyebab atau penetap (yang menetapkan) adanya hukum.
Misalnya ‘illat memabukkan menyebabkan berlakunya hukum haram
pada makanan dan minuman yang memabukkan.
b. Penolak, yaitu ‘illat yang keberadaannya menghalangi hukum yang
akan terjadi, tetapi tidak mencabut hukum itu seandainnya ‘illat tersebut
terdapat pada saat hukum tengah berlaku. Misalnya dalam masalah ‘iddah.
Adanya ‘iddah menolak dan menghalangi terjadinya perkawinan dengan
laki-laki yang lain; tetapi ‘iddah itu tidak mencbut kelangsungan
perkawinan bila ‘iddah itu terjadi dalam perkawinan.
c. Pencabut, yaitu ‘illat yang mencabut kelangsungan suatu hukum bila
‘illat itu terjadi dalam masa tersebut, tetapi ‘illat itu tidak menolak
terjadinya hukum. Misalnya sifat thalaq dalam hubungannya dengan
kebolehan bergaul. Adanya thalaq itu mencabut hak bergaul antara suami
istri. Namun thalaq itu tidak mencabut terjadinya hak bergaul suami istri
(jika mereka telah menikah atau rujuk), karena memang mereka boleh
menikah lagi sesudah adanya thalaq itu.
d. Penolak dan pencegah, yaitu ‘illat yang dalam hubungannya dengan
hukum dapat mencegah terjadinya suatu hukum dan sekaligus dapat
mencabutnya bila hukum itu telah berlangsung. Misalnya sifat radha’
(hubungan persesusuan) berkaitan dengan hubungan perkawinan. Adanya
hubungan susuan mencegah terjadinya hubungan perkawinan antara orang
yang sepersusuan dan sekaligus mencabut atau membatalkan hubungan
perkawinan yang sedang berlangsung, bila hubungan susuan itu terjadi
(diketahui) waktu berlangsungnya perkawinan.

H. Syarat-syarat ‘illat
Diantara syarat ‘illat ada yang disepakati oleh ulama, adapula yang
diperselisihkan, dalam arti tidak diakui sebagai syarat ‘illat yang
disepakati ulama adalah sebagai berikut :
1. ‘Illat itu harus mengandung hikmah yang mendorong pelaksanaan suatu
hukum, dan dapat dijadikan sebagai kaitan hukum,
2. ‘Illat itu adalah suatu sifat yang jelas dan dapat disaksikan,
3. ‘Illat itu harus dalam bentuk sifat yang terukur, keadaannya jelas dan
terbatas, sehingga tidak bercampur dengan lainnya,
4. ‘Illat harus ada hubungan kesesuaian dan kelayakan antara hukum
dengan sifat yang akan menjdi ‘illat,

300
5. ‘Illat itu harus mempunyai daya rentang, maksudnya ‘illat itu
disamping ditemukan pada wadah yang menjadi tempat bertemunya
hukum (ashal), juga dapat ditemukan ditempat lainnya,
6. ‘Illat Tidak ada dalil yang menyatakan bahwa sifat itu tidak dipandang
untuk menjadi ‘illat.

I. Hubungan ‘Illat Dengan Hukum


Telah dijelaskan bahwa salah satu syarat ‘illat adalah “munasabah” antara
‘illat dengan hukum (ada hubungan kesesuaian dan keserasian antara ‘illat
dengan hukumnya). Dalam mengartikan munasabah ada beberapa
rumusan yaitu :
1. Ibnu Subki mengatakan munasib adalah sesuatu yang pantas atau sesuai
menurut adat kebiasaan dengan perbuatan orang-orang yang beraka,
2. Abu Zaid Al-Dabbusi: munasib itu ibarat sesatu yang bila diserahkan
kepada akal akan mudah diterimanya
3. Al-Amidi : munasib adalah ibarat dari suatu sifat yang zhahir (jelas)
dan terukur, yang dari penetapan hukum atas dasar sifat itu niscaya akan
tercapai apa yang patut menjadi tujuan ditetapkannya hukum tersebut
Dari definisi yang dikemukakan Al-Amidi terlihat bahwa munasib itu
dikaitkan kepada pencapaian tujuan dari suatu hukum yaitu mendatangkan
maslahat kepada umat dan menghindarkan mafsadat dari umat. Inilah
yang disebut maqashid al-syari’ah (tujuan penetapan hukum syara).

J. Pembagian Munasib
Para ahli ushul fiqh membagi munasib dengan melihatnya dari tiga segi,
yaitu
1. Munasib dari segi tingkat pencapaian tujuan hukum,
2. Munasib ditinjau dari segi penetapan hukum atasnya terbagi kepada
tiga tingkat, secara berurutan:
a. Dharuri, yaitu sesuatu yang sngat dibutuhkan atau kebutuhan akan
adanya mencapai batas dharuri, karena kehidupan manusia tidak akan
tegak tanpa keberadaannya. Dharuri yang perlu ditegakkan dan dijauhkan
factor-faktor yang akan melenyapkannnya ada lima, dikenal dengan ad-
dharuriyat al khamsah atau dharuriyah lima yaitu:
a. Memelihara agama; untuk itu ditetapkan hukuman mati terhadap orang
murtad dan diperangi orang kafir,
b. Memelihara jiwa; untuk ditetapkan hukum qishash terhadap yang
melakukan pembunuhan tanpa hak,
c. Memelihara akal; untuk itu ditetapkan hukum had terhadap peminum
minuman keras,
d. Memelihara keturunan; untuk itu ditetapkan had dera atau rajam atas
pelaku zina laki-laki dan perempuan,
e. Memelihara harta; untuk itu ditetapkan hukuman potong tangan
terhadap pencuri dan had terhadap perampok jalanan.
f. Haji , yaitu sesuatu yang diperlukan adanya tetapi tidak sampai ke
tingkat dharuri,
g. Tahsini, yaitu sesuatu yang sebaiknya dilakukan.

3. Munasib ditinjau dari segi diperhitungkan atau dipandangnya ‘illat itu


oleh pembuat hukum , terbagi kepada:

301
a. Munasib muassir, yaitu berlakunya ‘ain ‘illat dalam ‘ain hukum yang
dipandang ata diperhitungkan oleh nash atau ijma’.
b. Munasib mulaim, yaitu kesesuaian atau munasib yang berlakunya ‘ain
‘illat untuk ‘ain hukum secara langsung bukan ditetapkan oleh nash atau
ijma’
c. Munasib mulghah, yaitu munasib yang akal dapat diterima sebagai
sesuatu yang baik dan maslahat.
d. Munasib mursal, yaitu munasib yang tidak ada dalil yang menolaknya
tetapi juga tidak ada dalil memandangnya.

K. Masalik/Metode Al-‘Illat

Masalik al-‘illat adalah cara atau metode untuk mengetahui ‘illat dalam
suatu hukum atau hal-hal yang memberi petunjuk kepada kita adanya ‘illat
dalam suatu hukum. Ada beberapa cara untuk mengetahui ‘illat itu; ada
beberapa petunjuk yang jelas dan ada yang kurang jelas ada yang
langsung dan ada yang tidak langsung. Masalik al-‘illat itu adalah
sebagai berikut:
1. Nash
Penetapan Nash sebagai salah satu cara dalam menetapkan ‘illat tidaklah
berarti bahwa ‘illat itu langsung disebut dalam nash, tetapi dalam lafadz-
lafadz yang digunakan dalam nash dapat dipahami adanya ‘illat. Lafadz-
lafadz yang memberi petunjuk terhadap ‘illat itu ada dua macam:
Nash sharih, yaitu lafadz-lafadz dalam nash yang secara jelas memberi
petunjuk mengenali ‘illat dan tidak ada kemungkinan selain itu.
Nash zhahir, yaitu lafadz-lafadz yang secara lahir memang digunakan
untuk menunjukkan ‘illat tetapi dapat pula berarti bukan untuk ‘illat.

2. Ijma’ sebagai salah satu masalik berarti ijma’ itu menjelskan ‘illat
dalam hukum yang disebutkan pada suatu Nash.
3. Al-ima’ wa al-tanbih, adalah penyertaan sifat dalam hukum. Bentuk Al-
ima’ wa al-tanbih ini adalah sebagai berikut:
a. Penetapan hukum oleh syari’sesudah mendengar sesuatu sifat. Ini
berarti bahwa sifat yang menimbulkan hukum itu adalh ‘illat untuk hukum
tersebut.
b. Penyebutan sifat syar’i dalam hukum memberi petunjuk bahwa sifat
yang disebutkan bersama hukum itu adalah ‘illat untuk hukum tersebut.
c. Perbedaan antara dua hukum disebabkan adanya sifat atau syarat atau
ma’ani atau pengecualian.
d. Mangiringkan hukum dengan sifat memberi petunjuk bahwa sifat yang
mengiringi hukum itu adalah ‘illat untuk hukum yang diiringinya itu.
4. Sabru wa taqsim, secara harfiyah berarti memperhitungkan dan
menyingkirkan. Yang dimaksud di sini adalah meneliti kemungkinan sifat
yang terdapat dalam ashl, kemudian meneliti dan menyingkirkan sifat-
sifat yang tidak pantas menjadi ‘illat, maka sifat yang teringgal itulah
yang menjadi ‘illat untuk hukum ashl tersebut.
5.Takhrijul manath, adalah usaha menyatakan ‘illat dengan cara
mengemukakan adanya keserasian sifat dan hukum yang beriringan serta
terhindar dari sesuatu yang mencatatkan.

302
6. Tanqihul manath, yaitu menetapkan satu sifat di antar beberapa sifat
terdapat di dalam ashl untuk menjadi ‘illat hukum setelah meneliti
kepantasannnya dan menyingkirkan yang lainnya.
7. Thard, ialah penyertaan hukum dengan sifat tanpa adanya titik
keserasian yang berarti.
8. Syabah, yaitu sifat yang memiliki kesamaan. Syabah ini terdiri dari dua
bentuk, yaitu:
a. Qiyas yang kesamaan antara hukum dan sifat sangat dominan,
b. Qiyas shuri, yaitu mengqiyaskan sesuatu hanya karena kesamaan
bentuknya.
9. Dawran atau sirkular, yaitu adanya hukum sewaktu bertemu sifat dan
tidak terdapat hukum sewaktu tidak ditemukan sifat.
10.Ilghou al-fariq, yaitu adanya titik perbedaan yang dapat dihilangkan
sehingga terlihat kesamaannya.

L. Cara Mengetahui Keberadaan ‘Illat


Berdasarkan penelitian para ahli ushul fiqh, ada beberapa cara mengetahui
keberadaan ‘illat hukum dalam al-Qur’an dan Sunnah:
1. Melalui dalil-dalil Al-Qur’an dan Sunnah, baik yang tegas maupun
tidak tegas, seperti firman Allah surah Al-Hasyr ayat 7
   
  
  
 

 
   
  
   
  
  
    
  


Artinya : Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada
RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka
adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-
orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu
jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang
diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya
bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah amat keras hukuman-Nya.

Ayat ini menjelaskan dengan tegas ‘illat atau alasan pembagian harta
rampasan peperangan (fa’i) kepada kelompok-kelompok yang telah
disebutkan, yaitu supaya harta kekayaan tidak hanya beredar dikalangan
orang-orang kaya. Hukum yang terdapat dalam ayat ini diqiyaskan agar

303
setiap pembagian harta harus merata dan harta tidak boleh menumpuk di
tangan orang-orang kaya.
2. Mengetahui ‘illat melalui ijma’
3 Mengatahui ‘illat melalui jalan ijtihad dan hasil yang diperoleh darinya
disebut ‘illat mustanbathah.

Penjelasan maksud as-syar’i dalam penetapan syariat. Maksud-maksud ini


lebih dari tiga bagian: a). Keharusan (dharuriyat), ialah sesuatu yang
harus ada dengannya dalam menegakkan kemaslahatan agama dan
duniawi sehingga apabila ia tidak ada, maka kemaslahatan dunia tidak
bisa ditegakkan bahkan lenyaplah kehidupan dengan ketiadaannya dan
luput pula keberuntungan dengan ridha allah di akhirat yaitu kenikmatn
abadi yang tidak akan sirna. b). Keperluan (hajiyat), merupakan
kebutuhan-kebutuhan, maka ia diperlukan dari segi pelonggaran dan
penyingkiran kesempatan yang kebanyakan bisa menyebabkan
kesempitan dan kepayahan yang disusul dengan luputnya tuntutan, c).
Kelengkapan atau kesempurnaan (kamaliyat), ialah tingkah laku yang
baik dan hal itu mmencakup bagian akhlak yang mulia dan ia berlaku
pada hal yang menyangkut dua bagian pertama. Dalam ibadah seperti
thaharah (bersuci), memakai pakaian yang baik dan pendekatan kepada
Allah dengan amalan-amalan sunnah. Dalam tingkah laku (adat) seperti
tata cara makan dan minum dan seperti menjauhi pemborosan dan
kekurangan.
Berdasarkan hal ini para ulama membaggi ‘illat menurut penyampaian
kepada tujuannya menjadi lima bagian: 1. ‘Illat yang menyampaikan
kepada tujuan secara pasti seperti jual beli yang benar dan berlaku, 2.‘Illat
yang menyampaikan kepada tujuannya secara dugaan seperti qishash,
3.‘Illat yang menyampaikan kepada tujuannya secara meragukan, yakni
bahwa perintah dalam penyampaian dan tidaknya adalah sama seperti
hukuman minum khamr arak, 4.‘Illat yang menyampaikan kepada
tujuannya secara khayalan, 4.Illat yang tidak menyampaikan tujuannya
seccara pasti.
Menurut Al-Amidi dan Ibn Subki dibagi kepada 4 tingkat:
a.Tercapainya tujuan penetapan hukum secara menyakinkan,
b. Tercapainya tujuan penetapan hukum secara zhanni,
c.Tercapainya tujuan penetapan hukum kemungkinannya sama dengan
tidak tercapainya,
d. Tercapainya tujuan penetapan hukum dalam kemungkinan yang lebih
kecil

304
DAFTAR PUSTAKA

Al-Khudari Biek, Syaikh Muhammad, Penerjemah Faiz El Muttaqien,


2007.Ushul Fiqh, Pustaka Amani, Jakarta.
Firdaus, 2004.Ushul Fiqh (Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam
Secara Komprehensif), Zikrul Hakim, Jakarta.
Saebani,Drs Beni Ahmad, M.Si dan Drs. H. januri,M.Ag,2009. Fiqih Ushul
Fiqh,CV. Pustaka Setia, Bandung.
Syarifuddin, Prof. Dr. H. Amir, 2008.Ushul Fiqh Jilid 1,Kencana Prenada
Media Group, Jakarta.

Beni ahmad & Januri, fiqih ushul fiqh, Pustaka Setia, Bandung, 2009, hlm174.

305
Faiz el Muttaqien, Terjemah ushul fiqh, Pustaka Amani, Jakarta, 2007,
hlm.641

Firdaus, Ushul Fiqh(Metode dan Memahami Hukum Islam Secara


Komprehensif), Zikrul Hakim, Jakarta, 2004, hlm 56-59

Rafi Baihaqi, Ahmad, Membangun Surga Rumah Tangga, (surabayah:gita


mediah press, 2006)
At-tihami, Muhammad, Merawat Cintah Kasih Menurut Syriat Islam,
(surabayh : Ampel Mulia, 2004)
Muhammad ‘uwaidah, Syaikh Kamil, Fiqih Wanita, (Jakarta:pustaka al-
kautsar, 1998)
Syaikh Kamil Muhammad ‘uwaidah, Fiqih Wanita, (Jakarta:pustaka al-
kautsar, 1998) hal. 375
Ahmad Rafi Baihaqi, Membangun Syurga Rumah Tangga, (surabayah:gita
mediah press, 2006) hal. 8
Syaikh Kamil Muhammad ‘uwaidah, Fiqih Wanita, (Jakarta:pustaka al-
kautsar, 1998) hal. 378
Ahmad Rafi Baihaqi, Membangun Syurga Rumah Tangga, (surabayah:gita
mediah press, 2006) hal. 10-12
Muhammad At-tihami, Merawat Cintah Kasih Menurut Syriat Islam,
(surabayh : Ampel Mulia, 2004) hal. 18
Ahmad Rafi Baihaqi, Membangun Syurga Rumah Tangga, (surabayah:gita
mediah press, 2006) hal. 44
Muchotob Hamzah. Studi Al-Qur’an Komprehensif. Yogyakarta: Gama
Media. 2003. Hal: 207
Nashruddin Baidan. Metodologi Penafsiran Al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar. 1998. Hal: 213
Tim Penyususun. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pustaka Hidayah.
2002. Hal: 973
Louis Ma’luf. al-Munjid. Beirut: al-Mathba’ah al-Kathaliqiyyah. 1956. Hal:
664
Toshihiko Izutsu. God and Man In The Koran. Illinois: Ayer Company. 1987.
Hal: 101
Manna Qaththan. Mabakhisfi Ulum Al-Qur’an. Terj: Moh. Abdul A’la.
Jakarta: Cendawan. Hal: 207
Nashruddin Baidan. Wawasan Baru Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
2005. Hal: 203
Muhammad bin Shaleh Al-‘Utsaimin. Ulumul Qur’an. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada. 2000. Hal: 205
Anonim. Tradisi, Kemodernan dan Metamodernisme. Yogyakarta: LidS. 1996.
Hal: 26
Jalaluddin ‘Abdrurrahman ibn Abu Bakar as-Suyuthi. Al-Itqan Fi ‘Ulum Al-
Qur ‘an. Terj: Abdul Wahab. Yogyakarta: Wacana Persada. 2000. Hal: 259
Mohammed Arkoun. Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan
Jalan Baru. Jakarta: INIS. 1994. Hal: 195
Lihat at-Tauhid, Syeikh Doktor Sholih Fauzan al-Fauzan hal: 46, Syarah
arbain an-nawawiyah hal: 32 dan Syarah tsalatsatil ushul hal: 75, keduanya
oleh Syeikh Muhammad al-Utsaimin.

306
Sa’id Abdul ‘Adhim (penerjemah: Abu Najiyah Muhaimin bin Subaidi),
penerbit: Cahaya Tauhid Press, Malang. Hal. 73-76.

Mata Kuliah : Fiqh

Komponen : MKU

Fakultas : FISIP

Semester : II

Bobot : 2 SKS

Dosen : Drs. H. Ade Hidayat, M.Ag

307
I. Deskripsi Mata Kuliah:

Secara umum, fiqh dapat dipahami sebagai sebuah aturan main dalam
kehidupan yang berporos pada Al-Qur’an dan al-Hadis, meskipun -sebagai
sebuah formulasi hokum ia merupakan produk ijtihad seorang mujtahid. Ia
berisi kewajiban-kewajiban yang diyakini dari Tuhan untuk umat manusia
agar manusia dapat berprilaku positif. Ketundukan manusia terhadap fiqh
ini akan menjadi indikasi “kesalehan manusia” baik di hadapan Tuhannya
maupun di tengah-tengah kehidupan manusia.

Sebagai sebuah aturan, fiqh mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya


dan juga mengatur hubungan manusia dengan sesama bahkan dengan alam
sekitarnya. Dua fungsi ini meniscayakan fiqh secara global terpetakan
menjadi dua yaitu pertama fiqh Ibadah yang lebih menekankan pada spek
kesalehan individual, kedua fiqh muamalah yang lebih menekankan pada
aspek kesalehan sosial. Pada macam pertama, fiqh mengantarkan manusia
untuk dapat berhubungan baik dengan Sang Maha Pencipta. Sedangkan
pada macam yang kedua mengantarkan manusia untuk menjalin hubungan
baik kepada sesamanya.

Berbeda dengan ”fiqh Mumalah” dalam pengertian luas (yang di dalamnya


mencakup fiqh mawaris, fiqh jinayah, fiqh siyasah dll), pada pengertian yang
lebih sempit, fiqh mu’amalah diterjemahkan sebagai peraturan yang
menyangkut hubungan kebendaan. Dalam pengertian ini, ia hanya berisi
pembicaraan tentang hak manusia dalam hubungannya satu sama lain,
seperti hak penjual menerima uang dari pembeli atau hak pembeli
menerima barang dari penjual.

II. Standar Kompetensi:

Mhs mampu memahami, menjelaskan dan menerapkan obyek kajian


peraturan yang menyangkut hubungan manusia khalik, dan manusia

308
dengan lainnya berkaitan dengan social kemasyarakatan. Untuk
mendiskusikan hal tersebut, perkuliahan di rencanakan sebagai berikut:

III. Topik Inti

PERTEMUAN I Fiqih dan Ruang Lingkup

Ta'rif fiqh, maudhu wa fawaiduhu

Ayat al-Qur'an dan Hadits tentang thaharah

Hukum thaharah: Miyah, najasah,wudhu, guslu, tayamum, junub

Contoh-contoh

PERTEMUAN II

Ta'rif shalat

Ayat al-Qur'an dan Hadits tentang shalat fardhi wa tathawu, mawakituhu,


adzan, masji

Hukum shalat fardhi wa tathawu, mawakituhu, adzan.

Contoh-contoh

PERTEMUAN III

Ta'rif janaiz

Ayat al-Qur'an dan Hadits tentang Janaiz : Dzikr al-maut, guslu mayyit, al-
kafanu, shalat ala' mayyit, al-dafnu, al-ta'ziyah

Hukum guslu mayyit, al-kafanu, shalat ala' mayyit, al-dafnu, al-ta'ziyah

Contoh-contoh

309
PERTEMUAN IV

Ta'rif Zakat

Ayat al-Qur'an dan Hadits tentang zakat, mani' zakat, amwal li zakat,
shadaqah tathawu, masharif zakat

Hukum zakat, mani al-zakat, zakat fithri, shadaqah tathawu

Contoh-contoh

PERTEMUAN V

Ta'rif shiyam

Ayat al-Qur'an dan Hadits tentang shiyam wa fadhluhu, shaum wujub wa


tathawu wa adabahu, al-Ayyam al-munhi 'ani shiyam

Hukum, shaum wujub wa tathawu wa adabahu, al-Ayyam al-munhi 'ani


shiyam

Contoh-contoh

PERTEMUAN VI

UTS

PERTEMUAN VII

Ta'rif haji

Ayat al-Qur'an dan Hadits tentang haji, fardhu, wujub, anwa, mahdhurat
ihram

310
Hukum haji, wa mahdhurat ihram.

Contoh-contoh

PERTEMUAN VIII

Ta’rif buyu

Ayat al-Qur'an dan Hadits tentang buyu, buyu munhiyat wa khiyar

Hukum buyu, buyu munhiyat wa khiyar.

Contoh-contoh

PERTEMUAN IX

Ta'rif ilmu faraidh

Ayat al-Qur'an dan Hadits tentang al-faraidh: asbab wa mawani' irtsi, furudh
wa ashabah

Hukum ta'lim faraidh, furudh wa ashabah

Contoh-contoh

PERTEMUAN X

Ta'rif al-zawaj

Ayat al-Qur'an dan Hadits tentang al-zawaj; targhib, khutbah, aqdu


nikah,muharamat min al-nisa, huquq zaujiyah, thalaq, raj'ah

Hukum zawaj, khutbah, aqdu nikah, thalaq raj'ah

Contoh-contoh

PERTEMUAN XI

Ta'rif Jinayat

311
Ayat al-Qur'an dan Hadits tentang Jinayat; muhafadhah al-nafsi, al-qital,
diyat, qasamah

Hukum Jinayat; muhafadhah al-nafsi, al-qital, diyat, qasamah

Contoh-contoh

PERTEMUAN XII

Ta'rif al-zawaj

Ayat al-Qur'an dan Hadits tentang al-zawaj; targhib, khutbah, aqdu nikah,
Muharamat min al-nisa, huquq zaujiyah, thalaq, raj'ah

Hukum zawaj, khutbah, aqdu nikah, thalaq raj'ah

Contoh-contoh

PERTEMUAN XIII

Ta'rif al-ath'imah

Ayat al-Qur'an dan Hadits tentang, dzabaih, adhahi, al-aqiqah

Hukum, adhahi, al-aqiqah

Contoh-contoh

PERTEMUAN XIV

DAFTAR PUSTAKA

Boedi Abdullah ; Fiqh Ibadah

A.Djazuli ; Fiqh Siyasah

A.Djazuli ; Ushul Fiqh

A.Djazuli ; Fiqh Dusturi

Imam Al-Gazali ; Ihya’Ulumuddin

312
O. Taufiqullah ; Zakat Pemberdayaan Ekonomi Umat

Oyo Sunaryo Mukhlas ; Pranata Ijma Sebagai Sumber Hukum Islam.

Rachmad Syafei, Fiqih Muamalah, Bandung: Pustaka Setia, 2001

Rosyada, Dede, Hukum Islam dan Pranata Sosial, Jakarta: Raja


GrafindoPersada,1993

Suhendi, Hendi, Fiqih muamalah, Jakarta: Rajawali Pers, 2010

Zuhdi, Masjfuk, Studi Islam jilid III: Muamalah, Jakarta: Rajawali, 1988

Rachmad Syafei, Fiqih Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2001).

[Masjfuk Zuhdi, Studi Islam jilid III: Muamalah, (Jakarta : Rajawali, 1988).

Edilius dan Sudarsono, kamus Ekonomi, Uang dan Bank, (Jakarta :PT.Rineka
Cipta, 1994).

A. Setiadi, Obligasi Dalam Persepektif Hukum Indonesia,(Bandung : PT. Citra


Aditya Bhakti, 1996).

Pandji Anaroga dan Ninik Widiyanti,Pasar Modal, keberadaan dan


Manfaatnya, (Jakarta : PT.Rineka Cipta, 1992).

GST.Eko Bawantoro,Belajar Memahami Pasar Modal Sesuai Peratuaran


BAPEPAM (Solo :CV Aneka, 1996).

Nopirin,Ekonomi Moneter, (Yogyakarta : BPFE Yogyakarta,1998), Jilid II.

Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya,(Jakarta : Raja Grafindo


Persada, 2000).

Junaedi, Pasar Modal Dalam Pandangan Hukum Islam, (Jakarta : Kalam


Mulia, 1990).

Mahmud syaltut, al-Fatwa, ({t.t} :Dar al-Qalam, {t.th}).

Zainul Arifin,Memahami Bank Syari’ah, (Jakarta: Alvabet, 1999),h. 29

Wahbah al-Zuhaili,al-fiqh al-islami wa adiillatuhu, (Syiria: Dar al-fikr,1989).

Jazuli,Ahmad .fiqh jinayah,PT RajaGrafindo persada. Jakarta. Cetakan I.1999.

Audah, Abdul Qadir. At Tasyri’ Al Jina’iy Al Islamiy. Dar Al Kitab Al Araby,


Beirut. Juz 1.

313
Kallaf, Abdul wahab. Ilmu Ushul Al-Fiqh. Ad Dar Al Kuwaitiyah. Cetakan VIII.
1968.

Muslich, Ahmad Wardi. Pengantar dan Asas Hukum Islam. Jakarta: Sinar
Grafika. 2004

Abdullah, Musthafa. dkk. Intisari Hukum Pidana. Jakarta: Ghalia Indonesia.


1983.

Al Faridy, Hasan Rifa’i, Drs.,Panduan Zakat Praktis, Dompet Dhuafa Republia,


1996.

Abd.Rahman Gazaly, Fiqh Munakahat, Jakarta, Kencana, 2006.

Lihat Muhammad bin Ismail Al-Kahlany, Subul Al Salam, Bandung; Dahlan,


tt.

Abddullah bin Nuh dan Umar Bakri, Kamus Arab Indonesia Inggris, Jakarta,
Penerbit Mutiara, MCMLXXIV,

Prof.DR.R.Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme Dalam Perundang-


undangan Perkawinan di Indonesia, Airlangga University Press, Surabaya,
1994.

Yusuf Qardhawi, Pengantar Kajian Islam: Studi Analistik Komprehensif


Tentang Pilar-pilar Substansial, Karakteristik, Tujuan dan Sumber Acuan
Islam, diterjemahkan oleh Setiawan Budi Utomo, Cet.4, Jakarta, Pustaka
Alkautsar, 2000,

Al-Khudari Biek, Syaikh Muhammad, Penerjemah Faiz El Muttaqien,


2007.Ushul Fiqh, Pustaka Amani, Jakarta.

Firdaus, 2004.Ushul Fiqh (Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam


Secara Komprehensif), Zikrul Hakim, Jakarta.

Saebani,Drs Beni Ahmad, M.Si dan Drs. H. januri,M.Ag,2009. Fiqih Ushul


Fiqh,CV. Pustaka Setia, Bandung.

Syarifuddin, Prof. Dr. H. Amir, 2008.Ushul Fiqh Jilid 1,Kencana Prenada


Media Group, Jakarta.

Beni ahmad & Januri, fiqih ushul fiqh, Pustaka Setia, Bandung, 2009,
hlm174.

Faiz el Muttaqien, Terjemah ushul fiqh, Pustaka Amani, Jakarta, 2007,


hlm.641

314
Firdaus, Ushul Fiqh (Metode dan Memahami Hukum Islam Secara
Komprehensif), Zikrul Hakim, Jakarta, 2004, hlm 56-59

315

Anda mungkin juga menyukai