Anda di halaman 1dari 56

LAPORAN AKHIR

PRAKTIKUM FORMULASI OBAT TRADISIONAL

OBAT HERBAL TERSTANDAR EMUSI EKSTRAK ETANOL BIJI JINTEN HITAM (Nigella
sativa Linn.) SEBAGAI IMUNOSTIMULAN

DISUSUN OLEH
KELOMPOK V

1. Luh Ade Dyah Tantri Lestari (1208505032)


2. I Komang Alan Ariadi (1208505045)
3. Putu Eka Masmitha Utami Dewi (1208505096)

JURUSAN FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS UDAYANA
TAHUN 2015
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tumbuhan merupakan salah satu sumber bahan alam yang memproduksi komponen kimia di
dalamnya. Tanaman yang berfungsi sebagai pengobatan tersebut dapat disebut juga dengan herbal
medicine (Dubick, 1986). Biji jinten hitam (Nigella sativa L.Seed) atau yang lebih dikenal dengan
habbatussauda merupakan salah satu herbal medicine yang sampai saat ini banyak dimanfaatkan oleh
masyarakat luas. Pada zaman dahulu, biji jinten hitam pun telah digunakan sebagai pengobatan tradisional
untuk sejumlah penyakit dan bumbu masakan terutama oleh masyarakat di Timur Tengah dan Asia Barat
(Paarakh, 2010).

Salah satu khasiat dari biji jinten hitam (BJH) adalah sebagai imunomodulator, BJH dengan zat
aktif utamanya timokuinon dapat meningkatkan kekebalan tubuh (Akrom, 2013; Salem, 2005). biji
Nigella sativa memiliki komposisi kimia terdiri dari 32-40% minyak, 0,4-0,45% minyak atsiri yang
berupa timokuinon (Akrom, 2013). Beberapa penelitian telah dilakukan mengenai efek imunomodulator
dari ekstrak etanol jinten hitam, salah satunya adalah penelitian Aldi dan Suhatri (2011) dimana
pemberian ekstrak etanol biji jinten hitam (Nigella sativa L.) tehadap mencit yang telah diberikan antigen
suspensi eritrosit kambing 5% dapat meningkatkan titer antibodi dengan dosis 50 mg/kg BB, 100 mg/kg
BB, dan 200 mg/kg BB dan dapat meningkatkan jumlah limfosit, dan monosit serta menurunkan jumlah
neutrofil segmen dengan sangat signifikan (P<0,01). Penelitian lain mengenai ekstrak etanol jinten hitam
adalah penelitian Michel et al. (2010) yang menunjukkan bahwa ekstrak etanol jinten hitam dapat
menurunkan kadar IL-1β pada mencit yang diinduksi kerusakan hati dengan CCl4. Interleukin-1β (IL-1β)
sangat poten sebagai sitokin pro inflamasi dan terlibat pada berbagai respons melawan antigen. Pada
proses inflamasi sistem imun akan melepaskan sitokin pro inflamasi yaitu : IL-1β, Il-6 dan TNF-α. (Omar,
2001). Menurut penelitian Zikriah (2014), ekstrak etanol jinten hitam yang diberikan pada mencit BALB/c
dengan dosis rendah (125 mg/kgBB), dosis sedang (250 mg/kgBB) dan dosis tinggi (500 mg/kgBB)
selama pemberian 21 hari memberikan hasil peningkatan jumlah total leukosit dan limfosit seiring dengan
meningkatnya dosis yang diberikan. Menurut Vieira (2011) jumlah total leukosit yang berada pada batas
tertinggi normal menunjukkan sistem imun memproduksi jumlah total leukosit yang cukup dalam
sirkulasi darah untuk melawan infeksi. Peningkatan jumlah total leukosit menunjukkan kemampuan
sistem imun untuk melawan infeksi atau benda asing. Leukosit yang merupakan sistem imun alamiah
(spesifik) berperan penting dalam melindungi tubuh dari serangan mikroorganisme. Peningkatan limfosit
dapat dindikasikan bahwa ekstrak etanol jinten hitam mempunyai aktivitas imunostimulator. Limfosit
1
merupakan sel yang terlibat pada aktivitas respon imun spesifik Limfosit merupakan kunci utama sistem
kekebalan yang mampu melawan agen asing (Ganong, 2003).

Rasa berminyak dari biji jinten hitam inilah yang merupakan salah satu hambatan masyarakat
dalam mengonsumsinya. Meskipun berkhasiat, banyak orang yang enggan mengonsumsi minyak biji
jinten hitam secara langsung. Salah satu cara untuk mengatasi hal ini, minyak biji jinten hitam dibuat
menjadi sediaan emulsi. Emulsi merupakan suatu sistem sediaan heterogen yang terdiri atas dua cairan
yang tidak menyatu, dimana salah satu fase terdispersinya (globul) sebagai tetesan seragam di dalam fase
lainnya. Terdapat dua tipe emulsi yaitu tipe minyak dalam air (M/A) dan air dalam minyak (A/M).
Penggunaan emulsi tipe M/A merupakan suatu cara pemberian sediaan oral yang dapat dengan mudah
diterima untuk zat dalam bentuk cairan-cairan yang tidak larut dalam air, seperti minyak biji jinten hitam
(Nabiela, 2013). Formulasi sediaan emulsi dapat digunakan untuk menutupi rasa dari bahan aktif yang
kurang enak dan susunan yang tidak menyenangkan (Lachman, et al, 1994). Oleh karena itu, pembuatan
sediaan emulsi ekstrak ekstrak biji jinten hitam (Nigella sativa L) dibuat berdasarkan sifat tymoquinon
yang memiliki kelarutan yang rendah dalam air sehingga dapat tercampur dalam fase minyaknya dan rasa
tidak enak dari tymoquinon dapat ditutupi.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana formula optimal dari sediaan OHT emulsi ekstrak jinten hitam (Nigella sativa L) yang
digunakan sebagai peningkat daya tahan tubuh (immunostimulan)?

2. Bagaimana hasil kontrol kualitas sediaan OHT emulsi esktrak ekstrak jinten hitam (Nigella sativa
L) yang digunakan sebagai peningkat daya tahan tubuh (immunostimulan)?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui formula optimal dari sediaan OHT emulsi ekstrak ekstrak jinten hitam (Nigella sativa
L) yang digunakan sebagai peningkat daya tahan tubuh (immunostimulan).

2. Mengetahui hasil kontrol kualitas sediaan OHT emulsi esktrak ekstrak jinten hitam (Nigella sativa
L) yang digunakan sebagai peningkat daya tahan tubuh (immunostimulan).

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanaman Biji Jinten Hitam
2.1.1 Klasifikasi Tanaman Jinten Hitam
Berdasarkan ilmu taksonomi, klasifikasi tanaman jinten hitam adalah:
Kingdom : Plantae
Divisio : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Class : Dicotyledoneae
Ordo : Ranunculales
Famili : Ranunculaceae
Genus : Nigella
Spesies : Nigella sativa Linn.
(Hutapea, 1994)
2.1.2 Deskripsi Tanaman Jinten Hitam
Nama lain dari Nigella sativa L. ini adalah jinten hitam pahit (Indonesia), black cumin (Inggris),
kalvanji (Urdu) atau habbatussauda (Arab Saudi). Tumbuhan ini dapat tumbuh mencapai tinggi 20-30 cm
dengan daun hijau lonjong, ujung dan pangkal runcing, tepi beringgit dan pertulangan menyirip.
Bunganya majemuk, bentuk karang, kepala sari berwarna biru sampai putih dengan 5-10 kelopak bunga
dalam satu batang pohon (Hutapea, 1994).

Gambar 2.1 Tanaman Jinten Hitam (Nigella sativa L.)

2.1.3 Deskripsi Biji Jinten Hitam (Nigella sativa L.)


Biji Jinten Hitam agak keras berbentuk limas ganda dengan kedua ujungnya meruncing, limas
yang satu lebih pendek dari yang lain, bersudut 3 sampai 4, panjang 1,5 mm sampai 2 mm. Lebar kurang
lebih 1 mm. Permukaan luar biji berwarna hitam kecokelatan, berbintik-bintik, kasar dan berkerut,

3
terkadang dengan beberapa rusuk membujur atau melintang. Pada penampang melintang biji akan terlihat
kulit biji berwarna cokelat kehitaman sampai hitam (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1979).

Gambar 2.2 Biji Jinten Hitam (Nigella sativa L.)

2.1.4 Komponen Kimia Biji Jinten Hitam


Komposisi senyawa biji jinten hitam akan bervariasi sesuai dengan distribusi geografi, waktu
pemanenan biji dan cara pemanenannya (Sultan, 2009).

Komposisi Rentang dalam % (w/w)


Minyak 31-35,5
Karbohidrat 16-19,9
Protein 33-34
Serat 4,5-6,5
Abu 3,7-7
Saponin 0,013
Air 5-7

2.1.5 Efek Farmakologi Biji Jinten Hitam


1. Imunomodulator
Imunomodulator adalah suatu senyawa yang dapat meningkatkan fungsi sistem imun pada manusia.
Berbagai penelitian telah membuktikan bahwa ekstrak tanaman Nigella sativa L. memiliki efek sebagai
imunomodulator. Serbuk biji N. sativa dapat meningkatkan rasio limfosit T-helper terhadap Tsuppresor
sebesar 72% dan meningkatkan jumlah dan fungsi sel T-killer (El Kadi et al., 1990), sedangkan minyak

4
N. sativa yang memberikan peningkatan rasio sel T CD4 terhadap CD8 sebesar 55% dan dapat
peningkatan aktivitas sel NK. Selain itu fraksi etil asetat dan fraksi air yang didapat melalui kromatografi
kolom, juga diketahui dapat meningkatkan respon proliferasi pada concovalin-A, tetapi tidak terhadap
mitogen lipopolisakarida pada sel B (Swamy SM & Tan BK. 2000). Hal ini mengindikasikan bahwa
kandungan senyawa dari minyak Nigella sativa L. memiliki efek potensiasi yang baik terhadap imunitas
seluler yang diperantarai sel T. Efek imunostimulasi Nigella sativa L. diperkirakan dengan cara
meningkatkan respon imunitas seluler.

Efek imunomodulator dari ekstrak biji N. Sativa dan komponen proteinnya telah diteliti secara in
vitro (Haq A. et al., 1995). Ekstrak biji N. Sativa mampu meningkatkan produksi sitokin IL-3 dan TNF-
α pada limfosit manusia ketika dikultur dengan pooled allogeneic cells atau tanpa penambahan stimulator.
Selain itu terlihat adanya peningkatan IL-1β, yang diduga karena Nigella sativa L. juga memiliki efek
terhadap makrofag (Haq A. et al., 1995). Pada kultur limfosit, campuran ekstrak biji Nigella sativa L. dan
protein yang dimurnikan menunjukkan efek stimulasi seperti juga efek supresinya bergantung donor dan
konsentrasi yang digunakan. Namun demikian efek terhadap produksi sitokin menunjukkan bahwa fraksi
senyawa Nigella sativa L. kurang efektif dibandingkan dengan ekstrak protein utuh dari Nigella sativa L.
(Haq A. et al., 1999).

2. Antidiabetik
Banyak penelitian yang membuktikan berbagai macam khasiat dari minyak jinten hitam, di antaranya
adalah kemampuannya memperpanjang waktu protombin dari tikus untuk aktivitas antikoagulan. Pada
pemberian minyak biji jinten hitam jangka panjang yang dicampurkan pada makanan sehari-hari tikus
diabetes yang terinduksi streptozotocin (STZ) memperlihatkan bahwa terjadi proses penyembuhan yang
cukup signifikan dari hari ke hari (El-Din, El-Tahir dan nBakeet, 2006). Begitupun dengan penelitian Al-
Logmani (2011) yang menyebutkan hal yang sama, bahwa dengan diberikannya minya biji jinten hitam
pada tikus yang terinduksi streptozotocin (STZ) dapat menurunkan glukosa darah, trigliserida, kolesterol,
LDL, asam urat, urea, kadar kreatinin, ALT, AST dan total protein secara signifikan jika dibandingkan
dengan tikus normal

3. Antioksidan
Untuk aktivitas sebagai antioksidan, minyak biji jinten hitam ini telah dibuktikan dapat mencegah
senyawa kimia carbon tetrachloride (CCl4) yang menyebabkan kerusakan hati. Pemberian treatment 10
ml/kg/hari minyak biji jinten hitam selama tujuh hari dapat menurunkan level serum enzim hati yang
tinggi secara signifikan dan memperbaiki oxidative stress (Aorahman, 2009).

5
4. Antiinflamasi
Secara tradisional pun menurut penelitian Houghton (1995), minyak biji jinten hitam dan
thymoquinone dapat menghambat generasi eicosanoid dan membran lipid peroksidasi, dengan melewati
jalur penghambatan cyclooxygenase dan 5-lipoxygenase dari metabolisme arakidonat yang bertanggung
jawab sebagai aktivitas antiinflamasinya

5. Antihipertensi
Minyak biji jinten hitam dalam beberapa penelitian dapat menurunkan tekanan darah secara spontan
pada tikus hipertensi yang hampir sama efeknya dengan nifedipin. Kemudian penelitian menyebutkan
bahwa secara tradisional penurunan tingkat kolesterol dengan mengontrol keseimbangan darah dan berat
badan yang merupakan efek dari pemberian minyak biji jinten hitam (Gillani et al., 2004)

2.2 Ekstraksi
2.2.1 Simplisia
Simplisia adalah bahan alami yang digunakan untuk obat dan belum mengalami perubahan proses
apapun, dan kecuali dinyatakan lain umumnya berupa bahan yang telah dikeringkan. Simplisia tumbuhan
obat merupakan bahan baku proses pembuatan ekstrak, baik sebagai bahan obat atau produk. Berdasarkan
hal tersebut maka simplisia dibagi menjadi tiga golongan yaitu simplisia nabati, simplisia hewani, dan
simplisia pelikan/mineral (Istiqomah, 2013).

2.2.2 Ekstrak
Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair dibuat dengan menyari simplisia nabati atau hewani
menurut cara yang cocok, di luar pengaruh cahaya matahari langsung. Ektrak kering harus mudah digerus
menjadi serbuk (DepKes RI, 1979).

2.2.3 Maserasi
Maserasi merupakan cara eksrtraksi yang sederhana. Istilah maseration berasal dari bahasa laitin
macere, yang artiya merendam jadi. Jadi masserasi dapat diartikan sebagai proses dimana obat yang sudah
halus dapat memungkinkan untuk direndam dalam mesntrum sampai meresap dan melunakan susunan
sel, sehingga zat-zat yang mudah larut akan melarut. Prinsip maserasi adalah ekstraksi zat aktif yang
dilakukan dengan cara merendam serbuk dalam pelarut yang sesuai selama beberapa hari pada
temperature kamar terlindung dari cahaya, pelaut akan masuk kedalam sel tanaman melewati dididing sel.
Isi sel akan larut karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan didala sel dengan diluar sel.

6
Larutan yang konentrasinya tinggi akan terdeak keluar dan diganti oleh pelarut dengan konsentrasi redah
(proses difusi). Peristiwa tersebut akan berulang sampai terjadi keseimbangan antara larutan didalam sel
dan larutan diluar sel (Ansel, 1989).

2.3 Emulsi
2.3.1 Pengertian Emulsi
Emulsi adalah sistem dua fase, yang salah satu cairannya terdispers dalam cairan yang lain dalam
bentuk tetesan kecil (droplet/globul) dengan diameter biasanya lebih dari 0,1 µm atau 0,1-50 µm. Jika
minyak yang merupakan fase terdispersi dan larutan air merupakan fase pendispersi, maka sistem ini
disebut emulsi minyak dalam air. Sebaliknya, jika air merupakan fase terdispersi dan minyak merupakan
fase pendispersi, maka sistem ini disebut emulsi air dalam minyak. Suatu sistem emulsi pada dasarnya
tidak stabil, karena masing-masing partikel mempunyai kecenderungan untuk bergabung dengan partikel
sesama lainnya. Molekul fase A (air) ditarik ke dalam fase A dan ditolak oleh fase B (minyak), membentuk
suatu agregat yang akhirnya dapat mengakibatkan emulsi tersebut pecah. Kekuatan dan kekompakan
lapisan antarmuka adalah sifat yang penting yang dapat membentuk stabilitas emulsi (Lachman et al.,
1994).

Di dalam proses pembuatan emulsi biasanya ditambahkan bahan ketiga untuk menstabilkan emulsi.
Bahan pengemulsi tersebut berguna untuk menurunkan tegangan antarmuka antara fase air dan fase
minyak serta mencegah koalesensi, yaitu penyatuan tetesan kecil menjadi tetesan besar dan akhirnya
menjadi satu fasetunggal yang memisah, dengan membentuk lapisan yang protektif di sekeliling globul.
Bahan pengemulsi umumnya dibedakan menjadi tiga golongan besar, yaitu surfaktan, hidrokoloid dan zat
padat terbagi halus. Golongan pengemulsi tertentu dipilih terutama berdasarkan stabilitas shelf – life yang
dikehendaki, tipe emulsi yang diinginkan dan biaya zat pengemulsi (Lachman et al., 1994). Suatu zat
pengemulsi harus dapat dicampurkan dengan bahan formulatif lainnya dan tidak boleh mengganggu
stabilitas atau efikasi dari zat terapeutik, serta tidak toksik pada penggunaan.

Kondisi Lingkungan seperti adanya cahaya, udara dan mikroorganisme, dapat memberikan efek
yang mengubah stabilitas emulsi. Oleh karena itu dilakukan formulasi yang sesuai guna mengurangi
kerusakan stabilitas tersebut dengan cara penambahan bahan-bahan tambahan lain. Bahan tambahan yang
diperlukan dalam formulasi emulsi, di antaranya: bahan pengawet, antioksidan dan penutup rasa.
Penambahan bahan pengawet bertujuan untuk mencegah kontaminasi mikroba. Suatu pengawet harus
efektif terhadap kontaminasi dari mikroorganisme patogen dan cukup dapat melindungi emulsi selama
digunakan pasien. Pengawet harus mempunyai toksisitas rendah, stabil terhadap pemanasan dan selama
7
penyimpanan, tercampurkan secara kimia, memiliki rasa, bau dan warna yang lemah. Contoh pengawet
yang biasa digunakan di antaranya: asam benzoat dan turunannya, nipagin, nipasol, benzalkonium klorida,
klorbutanol, glutaraldehih, asam sorbat, fenol kresol, fenil merkuri asetat, klorotimol fenil merkuri nitrat
(Lachman et al.,1994).

Pada autooksidasi minyak-minyak tak jenuh seperti minyak nabati menimbulkan ketengikan dengan
bau, penampilan, dan rasa yang tidak menyenangkan. Di pihak lain, minyak mineral dan hidrokarbon-
hidrokarbon jenuh yang berhubungan mudah mengalami degradasi oksidatif pada lingkungan tidak
sesuai. Penambahan antioksidan dapat mencegah oksidasi dari fase minyak yang terdapat dalam suatu
sediaan emulsi. Contoh antioksidan yang biasa digunakan di antaranya: BHA (butylated hydroxyanisole),
BHT (butylated hydroxytoluene), asam galat, propil galat, asam askorbat, askorbil palmitat, sulfit dan
tokoferol (Lachman et al., 1994).

Sedangkan penutup rasa ditujukan untuk mengurangi rasa tidak enak dan secara ideal dilakukan
dengan cara mengurangi rasa pahit, menggunakan penghambat rasa khasiat, stabilitas, penampilan
sediaan, serta memberi rasa tertentu untuk mencirikan suatu produk. Cara penutupan rasa pahit sediaan
oral secara umum dapat dilakukan dengan menggunakan pemanis dan flavor. Pemanis dapat memainkan
peranan penting dalam formulasi sediaan yang digunakan melalui mulut seperti dengan cara menambah
rasa, menutupi rasa yang tidak dapat diterima oleh masyarakat umum. Contoh pemanis yang biasa
digunakan di antaranya: sukrosa, dekstrosa, fruktosa, gliserin, maltitol, manitol, sorbitol dan xylitol
(Nabiela, 2013).

2.3.2 Tujuan Emulsi dan Emulsifikasi


Secara farmasetik, proses emulsifikasi memungkinkan seorang farmasis dapat membuat suatu
sediaan yang stabil dan rata dari dua cairan yang tidak dapat bercampur, memecah fase dalam menjadi
tetesan-tetesan dan menstabilkan tetesan-tetesan tersebut dalam fase pendispersi dan ditujukan untuk
pemberian obat yang mempunyai rasa lebih enak walaupun yang diberikan sebenarnya minyak yang tidak
enak rasanya dengan penambahan pemanis dan pemberi rasa pada pembawa airnya sehingga mudah
dikonsumsi dan ditelan sampai ke lambung. Ukuran partikel yang diperkecil dari bola-bola minyak dapat
mempertahankan minyak tersebut agar lebih dapat dicernakan dan memudahkan absorpsi obat (Lachman
et al., 1994).

Ada beberapa teori yang dapat dipakai pada proses emulsifikasi yaitu:

8
1. Teori Tegangan Permukaan (Surface Tension): Didalam teori ini dikatakan bahwa penambahan
emulgator akan menurunkan dan menghilangkan tegangan permukaan yang terjadi pada bidang
batas sehingga antara kedua zat cair tersebut akan mudah bercampur.

2. Teori Orientasi Bentuk Baji (Oriented Wedge): Setiap molekul emulgator dibagi menjadi dua
kelompok yakni : kelompok hidrofilik yaitu bagian dari emulgator yang suka pada air, dan
kelompok lipofilik yaitu bagian yang suka pada minyak.

3. Teori Interparsial Film: Teori ini mengatakan bahwa emulgator akan diserap pada batas antara air
dan minyak, sehingga terbentuk lapisan film yang akan membungkus partikel fase dispers.
Dengan terbungkusnya partikel tersebut maka usaha antara partikel yang sejenis untuk bergabung
menjadi terhalang. Dengan kata lain fase dispers menjadi stabil.

4. Teori Electric Double Layer (lapisan listrik ganda): Jika minyak terdispersi kedalam air, satu lapis
air yang langsung berhubungan dengan permukaan minyak akan bermuatan sejenis, sedangkan
lapisan berikutnya akan bermuatan yang berlawanan dengan lapisan didepannya. Dengan
demikian seolah-olah tiap partikel minyak dilindungi oleh dua benteng lapisan listrik yang saling
berlawanan. Benteng tersebut akan menolak setiap usaha dari partikel minyak yang akan
menggandakan penggabungan menjadi satu molekul besar. Karena susunan listrik yang
menyelubungi sesama partikel akan tolak menolak dan stabilitas emulsi akan bertambah.

(Syamsuni, 2006)
2.3.3 Komponen Pembentuk Emulsi
1. Biopolimer (Tragakan)
Tragakan tergolong dalam gum polisakarida dengan berat molekul yang besar (840.000), terdiri dari
2 bagian yaitu tragacanthin yang merupakan polisakarida larut air dan bassorin yang merupakan
polisakarida yang tidak larut air atau mengembang. Tragakan berwarna putih hingga kekuningan,
translusen, tidak berbau, berbentuk serbuk yang halus, serta rasa mucilago hambar (Rowey, Sheskey dan
Owen, 2006). Sifat aliran tragakan menunjukkan sifat pseudoplastis pada konsentrasi 1%. Tragakan tidak
toksik karenanya sudah bertahun-tahun digunakan dalam formulasi farmasetik oral dan produk makanan
sebagai stabilizer, emulgator dan pengental. Peningkatan viskositas dari tragakan terjadi dengan
peningkatan temperatur dan konsentrasi, lalu penurunan viskositas terjadi dengan peningkatan pH.
Penambahan mineral kuat dan asam organik dapat mengurangi viskositas dipersi tragakan sehingga
menurunkan stabilitasnya (Rowey, Sheskey dan Owen, 2006).

2. Pemanis (Sukrosa)

9
Sukrosa merupakan pemanis alami yang paling umum digunakan dalam formulasi sediaan secara
oral yang dapat menutupi rasa sediaan yang kurang enak. Sukrosa diproduksi dari tebu (Sachharum
oficinarum) dan gula bit (Beta vulgaris) serta dikenal nontoksik dan biodegradable. Sukrosa berwarna
putih, berbentuk serbuk kristal, tidak berbau dan memiliki rasa manis (Rowey, Sheskey dan Owen, 2006).
Kelarutan sukrosa Sangat mudah larut dalam air; lebih mudah larut dalam air mendidih; sukar larut dalam
etanol; tidak larut dalam kloroform dan dalam eter (Depkes RI, 1979).

3. Pengawet (Na Benzoat)


Na Benzoat merupakan pengawet yang kompatibel dengan tragakan dalam formulasi dengan
konsentrasi 0,1%. Na Benzoat berwarna putih, berbentuk serbuk hingga kristal, tidak berbau dan tidak
berasa. Aktivitas Na benzoat sebagai pengawet dapat berkurang dengan adanya interaksi dengan kaolin
dan surfaktan nonionik (Rowey, Sheskey dan Owen, 2006). Kelarutannya mudah larut dalam air, agak
sukar larut dalam etanol dan lebih mudah larut dalam etanol 90% (Depkes RI, 1995)

4. Pelarut (Aquademineralisata)
Aquademineralisata adalah air murni yang diperoleh dengan cara penyulingan. Air murni dapat
diperoleh dengan cara penyulingan, pertukaran ion, osmosis terbalik, atau dengan cara yang sesuai.
Karena akan digunakan untuk sediaan oral, maka digunakan air yang bebas mineral, partikel dan mikroba
(Rowey, Sheskey dan Owen, 2006)

5. Metilparaben
Metilparaben mengandung tidak kurang dari 99,0% dan tidak lebih dari 100,5% C 8H8O3, dihitung
terhadap zat yang telah dikeringkan. Pemerian: Hablur kecil, tidak berwarna atau serbuk hablur, putih;
tidak berbau atau berbau khas lemah; mempunyai sedikit rasa terbakar. Kelarutan: Sukar larut dalam air,
dalam benzen dan dalam karbon tetraklorida; mudah larut dalam etanol dan dalam eter (Depkes RI, 1995).
Penggunaan dalam sediaan yaitu 0,02-0,3% dan berfungsi sebagai pengawet (Rowe et al., 2009).

6. Propylparaben
Pemerian: merupakan serbuk putih, kristal, tidak berbau, dan tidak berasa. Kelarutan: mudah larut
dalam aseton dan eter; etanol (95%) 1:1,1; gliserin 1:250; air 1:2500. Berfungsi sebagai antimikroba atau
pengawet dalam sediaan, dengan presentase penggunaan yaitu 0,01–0,6 % (Rowe et al., 2009).

7. Span 80
Pemerian Span 80 yaitu Larutan berminyak, tidak berwarna, bau karakteristik dari asam lemak.
Kelarutan : Praktis tidak larut tetapi terdispersi dalam air dan dapat bercampur dengan alkohol sedikit

10
larut dalam minyak biji kapas. Kegunaan Sebagai emulgator dalam fase minyak. Memiliki nilai HLB
Butuh: 4,3 (Rowe et al., 2009).

8. Tween 80
Pemerian: Cairan kental, transparan, tidak berwarna,hampir tidak mempunyai rasa. Kelarutan:
Mudah larut dalam air, dalam etanol (95%)P, dalam etil asetat P dan dalam methanol P, sukar larut dalam
parafin cair P dan dalam biji kapas P. Kegunaan tween 80 Sebagai emulgator fase air, memiliki nilai HLB
Butuh: 15.

2.4 Obat Herbal Terstandar (OHT)


Obat Herbal Terstandar harus memenuhi kriteria :
a. Aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan;
b. Klaim kasiat dibuktikan secara ilmiah/pra klinik;
c. Telah dilakukan standardisasi terhadap bahan baku yang digunakan dalam produk jadi;
d. Memenuhi persyaratan mutu yang berlaku.
Jenis klaim penggunaan Obat Herbal Terstandar sesuai dengan tingkat pembuktian yaitu tingkat
pembuktian umum dan medium. Obat Herbal Terstandar harus mencantumkan logo dan tulisan “OBAT
HERBAL TERSTANDAR”. Logo berupa “Jari – Jari Daun (3 Pasang) Terletak Dalam Lingkaran”, dan
ditempatkan pada bagian atas sebelah kiri dari wadah /pembungkus /brosur. Logo (jari-jari daun dalam
lingkaran) dicetak dengan warna hijau di atas dasar warna putih atau warna lain yang menyolok kontras
dengan warna logo. Tulisan “OBAT HERBAL TERSTANDAR” harus jelas dan mudah dibaca, dicetak
dengan warna hitam diatas dasar warna putih atau warna lain yang menyolok kontras dengan tulisan
“OBAT HERBAL TERSTANDAR” (BPOM RI, 2004).

Gambar 2.3. Logo Obat Herbal Terstandar (BPOM RI, 2004).

11
2.5 Uji Praklinik
Uji praklinik merupakan penelitian eksperimental yang dapat dikerjakan secara in vivo maupun in
vitro dengan menggunakan berbagai spesies hewan coba. Setiap jenis uji praklinis hanya dapat dibenarkan
untuk dikerjakan jika ada petunjuk bahwa uji praklinik dimaksud dapat terselesaikan secara tuntas oleh
pelaku dan fasilitas yang kompeten (Setyorini, 2010). Di Indonesia, pelaksanaan uji praklinik obat
tradisional berdasarakan pada Keputusan Menteri Kesehatan RI No.

56/Menkes/SK/I/2000. Uji praklinik terdiri atas uji toksikologi dan farmakodinamik. Uji toksikologi
dilakukan untuk menilai keamanan suatu obat tradisional yang diuji dan menetapkan spektrum efek
toksik. Uji farmakodinamik dilakukan untuk membuktikan khasiat dan menelusuri mekanisme efek dari
obat tradisional (Suwandi, 2012). Data hasil pengamatan uji praklinik merupakan persyaratan untuk dasar
pertimbangan dapat tidaknya dipertanggungjawabkan suatu obat tradisional dalam pengujian masuk
dalam tahap uji klinik obat tradisional. Dengan hasil uji praklinik, penelitiannya dimungkinkan untuk
mengantisipasi masalah yang dapat timbul, dan merancang eksperimen yang rasional (Setyorini, 2010).

12
BAB III

METODE/PROSEDUR KERJA

3.1 Tempat dan Waktu Pelaksanaan


3.1.1 Tempat
Pengolahan sampel Biji Jinten Hitam, ekstraksi Biji Jinten Hitam, karakteristik ekstrak serta
pengujian aktivitas immunostrimulator dari ekstrak dilakukan di Laboratorium Fitokimia dan
Farmakognosi Jurusan Farmasi Fakultas MIPA Universitas Udayana. Formulasi Emulsi ekstrak Biji
Jinten Hitam dan evaluasi sediaan emulsi dilakukan di Laboratorium Formulasi dan Teknologi Jurusan
Farmasi Fakultas MIPA Universitas Udayana.

3.1.2 Waktu Pelaksanaan


Waktu pelaksanaan praktikum dilakukan pada tanggal 21 Oktober 2015 sampai 25 November 2015
Tabel 1. Waktu Pelaksanaan Praktikum
No Tanggal Uraian Kegiatan
1. 21 – 10- 2015 Ekstraksi dan Penyiapan Ekstrak

2. 28 – 10- 2015 Pengukuran Kadar Air dan Skrining Fitokimia Ekstrak

3. 04 – 11- 2015 Optimasi Formula Sedian OHT Emulsi penambah daya tahan tubuh
4. 11 – 11- 2015 Optimasi Formula Sediaan OHT Emulsi penambah daya tahan tubuh
5. 18 – 11- 2015 Optimasi Formula Sediaan OHT Emulsi penambah daya tahan tubuh
6. 25 – 11- 2015 Evaluasi OHT Emulsi penambah daya tahan tubuh

3.2 Alat dan Bahan


3.2.1 Alat
Alat yang digunakan dalam praktikum ini meliputi alat-alat gelas, homogenizer, batang pengaduk,
timbangan analitik, pipet tetes, viscometer, seperangkat Alat Destilasi, pH-meter digital, beker glass, Hot
plate dengan magnetic stirrer, timbangan digital, botol kaca gelap, kertas perkamen, sendok tanduk,
cawan porselen.

3.2.2 Bahan
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini meliputi Biji Jinten Hitam, sukrosa, tragakan, natrium
benzoate, tween 80, span 80, metylparaben, propylparaben, Gom Xantan perisa, aquadest

13
3.3 Formula yang digunakan
a. Optimasi I
Tabel 2. Formula Sediaan dan Fungsinya.
Bahan Konsentrasi Fungsi

Ekstrak biji Jinten Hitam 831,2mg/15ml Zat Aktif Immunostimulator Minyak)

Tragakan 2% Biopolymer hidrofilik


Sukrosa 25% Corigen saporis
Na benzoate 0,1% Pengawet
Aquadest sampai 300% Fase Air

Konversi dosis maksimal pada mencit 20g ke manusia 60 kg sebagai imunomodulator berdasarkan jurnal
penelitain Zikriah (2014):

Dosis Absolut = Dosis pada mencit x 0,02 kg


= 125mg/kgBB x 0,02 kg
= 2,5 mg
BB dewasa = 60 kg
Dosis Dewasa (60kg) = 2,5 mg x 60/70 x 387,9
= 831,2 mg
Untuk dewasa 60 kg -
Diketahui:

1. Dosis sekali minum adalah 831,2 mg/15ml


2. Diajukan formula sebanyak 150 ml
3. Hasil penyarian dengan metode maserasi dengan pelarut etanol diperoleh rendemen sebesar
2,9%.

- Ditanya :
Jumlah Serbuk Biji jinten Hitam yang digunakan adalah?
- Jawab :
Diperlukan Ekstrak Biji Jinten Hitam sebanyak 831 mg x 10 x 3 = 24,93g untuk 3 sediaan.
Berdasarkan perhitungan rendemen, maka diperlukan serbuk Biji Jinten Hitam sebanyak 24,93
gram x 100/2,9 = 859,65 gram.

14
Jadi Pehitungan Penimbangan Bahan (jika dibuat sediaan emulsi 150ml)
1. Tragakan = 1,0/300ml x 150ml = 0,5 gram
= 1,5/300ml x 150ml = 0,75 gram
= 2,0/300ml x 150ml = 1 gram
2. Sukrosa = 25/300 x 150ml = 12,5 gram
3. Natrium benzoate = 0,1/300 x 150ml = 0,049 gram
4. Aquades ad = 300/300 x 150ml = 150 gram

b. Optimasi 2
Tabel 3 Formulasi Sediaan (100 mL emulsi) dan Fungsinya.
Bahan Konsentrasi Bahan Fungsi
Penyusun
Sediaan
Ekstrak biji Jinten 20 gram Zat Aktif Immunostimulator (Fase
Hitam Minyak)
Tween 80 8,9 gram Emulgator
Span 80 1,2 gram Emulgator
Sukrosa 7,2 gram Coringen saporis
Perisa jeruk 4 tetes Coringen odoris dan saporis

Xanthan gum 0,20 gram Penambah viskositas

Metil paraben 0,1 gram Pengawet

Propil paraben 0,1 gram Pengawet

Akuades 70,9 gram Fase Air

Konversi dosis maksimal pada mencit ke manusia sebagai imunomodulator berdasarkan jurnal penelitain
Zikriah (2014):

Diketahui: Dosis untuk mencit 20 gram= 125 -500 mg/Kg BB


BB dewasa = 60 kg
Faktor konversi =387,9 (untuk BB 70 kg)
Ditanya : Dosis untuk manusia 60 kg
Jawab : Dosis Absolute = 300 mg/kg BB X 0,02 kg
= 6 mg (untuk mencit 20 g
15
Dengan mengambil faktor konversi = 0.0026 dari tabel,maka:
Dosis manusia (60 kg) = 60//70 x 6 mg x 387,9
= 1994,9 mg (untuk manusia 60 kg)
Untuk dewasa 60 kg - Diketahui:

1. Dosis sekali minum adalah 1994,9 mg/10 ml


2. Diajukan formula sebanyak 100 ml
3. Hasil penyarian dengan metode maserasi dengan pelarut etanol diperoleh rendemen sebesar
2,985%.

- Ditanya :
Jumlah Ekstrak Biji jinten Hitam yang digunakan adalah?
- Jawab :
Diperlukan Ekstrak Biji Jinten Hitam sebanyak 1994,9 mg x 10 = 19,9 gram

c. Optimasi 3
Tabel 4. Formulasi Sediaan (100 mL emulsi) dan Fungsinya.
Bahan Konsentrasi Bahan Fungsi
Penyusun
Sediaan
Ekstrak biji Jinten 20 gram Zat Aktif Immunostimulator (Fase
Hitam Minyak)
Tween 80 8,9 gram Emulgator
Span 80 1,2 gram Emulgator
Sukrosa 7,2 gram Coringen saporis
Perisa jeruk 4 tetes Coringen odoris dan saporis

Xanthan gum 0,20 gram Penambah viskositas

Metil paraben 0,1 gram Pengawet

Propil paraben 0,1 gram Pengawet

Akuades 70,9 gram Fase Air

Konversi dosis maksimal pada mencit ke manusia sebagai imunomodulator berdasarkan jurnal penelitain
Zikriah (2014):

Diketahui: Dosis untuk mencit 20 gram= 125 -500 mg/Kg BB


16
BB dewasa = 60 kg
Faktor konversi =387,9 (untuk BB 70 kg)
Ditanya : Dosis untuk manusia 60 kg
Jawab : Dosis Absolute = 300 mg/kg BB X 0,02 kg
= 6 mg (untuk mencit 20 g)
Dengan mengambil faktor konversi = 0.0026 dari tabel,maka:
Dosis manusia (60 kg) = 60//70 x 6 mg x 387,9
= 1994,9 mg (untuk manusia 60 kg)
Untuk dewasa 60 kg -
Diketahui:

1. Dosis sekali minum adalah 1994,9 mg/10 ml


2. Diajukan formula sebanyak 100 ml
3. Hasil penyarian dengan metode maserasi dengan pelarut etanol diperoleh rendemen sebesar
2,985%.

- Ditanya :
Jumlah Ekstrak Biji jinten Hitam yang digunakan adalah?
- Jawab :
Diperlukan Ekstrak Biji Jinten Hitam sebanyak 1994,9 mg x 10 = 19,9 gram

3.3.1 Cara Kerja


3.3.2 Penyiapan Ekstrak dan Ekstraksi Biji Jinten Hitam.
Tahap ekstraksi dilakukan berdasarkan penelitian (Aldi dan Suhatri, 2011) dengan modifikasi. Serbuk
Biji Jinten Hitam seberat 859,65 gram.dimaserasi dengan pelarut etanol 96% sebanyak 300 mL selama
24 jam. Maserasi dilakukan bertingkat dengan masing-masing pelarut yang lebih sedikit dari pelarut
pertama yaitu 225 mL. Setelah didiamkan selama 1 malam kemudian diaduk dengan alat pengaduk
elektrik selama setengah jam kemudian didiamkan lagi selama 1 malam, kemudian disaring dengan
corong bucner dan filtratnya dipisah (maserat 1). Ampas dari hasil penyaringan maserat 1 kemudian
ditambahkan lagi dengan etanol 96% sampai serbuknya terendam semua, kemudian diaduk dengan alat
pengaduk dan kemudian disaring ampasnya (maserat 2). Kedua maserat hasil penyarian kemudian
dicampur, campuran maserat kemudian diuapkan pada rotary evaporator sampai etanol tidak ada lagi
yang menguap dan mendapatkan ekstrak kental.

17
3.3.3 Penujian Susut pengeringan Ekstrak
Uji kadar air dilakukan dengan metode gravimetri. Dimasukkan 10 g zat dan timbang dalam wadah
yang telah ditara, dikeringkan pada suhu 105°C selama 5 jam dan timbang. Lanjutkan pengeringan dan
timbang pada jarak 1 jam sampai perbedaan antara dua penimbangan berturut-turut tidak lebih dari 0,25%.
Persentase kadar air dihitung dengan rumus:

Keterangan :
A : botol timbang kosong (gram)
B : botol timbang dengan sampel (gram)
C :botol timbang dengan sampel setelah dipanaskan (gram)

3.3.4 Skrining Fitokimia


1. Tanin dan fenol
Sebanyak 5 ml ekstrak Biji Jinten Hitam dimasukkan kedalam tabung reaksi, lalu ditambahkan 5 tetes
NaCl 10%, kemudian larutan dibagi menjadi 2 bagian kedalam tabung reaksi yang berbeda. Tabung reaksi
pertama ditambahkan 3 tetes FeCl3, kemudian didiamkan selama beberapa saat. Terjadinya perubahan
warna menjadi warna hijau kehitaman, menandakan adanya senyawa fenol dan tanin yang terkandung
dalam sampel tersebut. Kemudian, tabung reaksi kedua dijadikan sebagai kontrol.

2. Saponin
Sebanyak 5 ml Biji Jinten Hitam, dimasukkan kedalam tabung reaksi, dikocok kuat-kuat selama 10
detik. Jika terbentuk buih yang mantap setinggi 1 sampai 10 cm, menunjukkan adanya saponin. Pada
penambahan 1 tetes HCl 2 N, busa tidak hilang (Depkes RI, 1995).

3. Triterpenoid dan Steroid


Pemeriksaan triterpenoid dan steroid dilakukan dengan reaksi Liebermann-Burchard. Larutan uji
sebanyak 2 mL diuapkan dalam cawan porselin. Residu dilarutkan dengan 0,5 mL kloroform, kemudian
ditambahkan 0,5 mL asam asetat anhidrat. Asam sulfat pekat sebanyak 2 mL selanjutnya ditambahkan
melalui dinding tabung. Terbentuk cincin kecoklatan atau violet pada perbatasan larutan menunjukkan
adanya triterpenoid, sedangkan bila muncul cincin biru kehijauan menunjukkan adanya steroid (Ciulei,
1984).

18
4. Flavonoid
Larutan uji ± 1 mL diuapkan hingga kering, dibasahkan sisanya dengan aseton P, ditambahkan sedikit
serbuk halus asam borat P dan serbuk halus asam oksalat P, dipanaskan di atas tangas air dan hindari
pemanasan berlebihan. Eter P ditambahkan 10 mL. Larutan diamati di bawah sinar UV 366 nm;
berfluoresensi kuning intensif, menunjukkan adanya flavonoid (Depkes RI, 1995).

5. Alkaloid
Larutan uji sebanyak 2 mL diuapkan di atas cawan porselin. Residu yang dihasilkan kemudian
dilarutkan dengan 5 mL HCL 2 N. Larutan yang diperoleh dibagi ke dalam 3 tabung reaksi. Tabung
pertama ditambahkan dengan 3 tetes HCl 2 N yang berfungsi sebagai blanko. Tabung kedua ditambahkan
3 tetes pereaksi Dragendorff dan tabung ketiga ditambahkan 3 tetes pereaksi Mayer. Terbentuk endapan
jingga pada tabung kedua dan endapan kuning pada tabung ketiga menunjukkan adanya alkaloid
(Farsnworth, 1966).

6. Minyak Atsiri
Larutan uji sebanyak 1 mL dipipet lalu diuapkan di atas cawan porselin hingga diperoleh residu.
Hasil positif minyak atsiri ditandai dengan bau khas yang dihasilkan oleh residu tersebut (Ciulei, 1984).

3.4.4 Prosedur Kerja Pembuatan Emulsi


a. Optimasi I
Semua alat dan bahan disiapkan, dan ditimbang bahan-bahan yang diperlukan. Gum arab
dimasukkan ke dalam mortir yang berisi minyak jinten hitam sebanyak 8,31 gram kemudian digerus
hingga homogen. Kemudian ditambahkan akuades sedikit demi sedikit sambil tetap dihomogenkan
hingga terbentuk korpus emulsi. Lalu ditambahkan sukrosa dan Na benzoat yang sebelumnya telah
dilarutkan dalam sejumlah air serta sisa aquadest sambil tetap dihomogenkan. Emulsi yang dihasilkan
dipindahkan ke dalam wadah yang digunakan untuk menyimpan sediaan, serta dilakukan evaluasi dan uji
stabilitas sediaan (Nabiela, 2013).

b. Optimasi II
Semua alat dan bahan disiapkan, ditimbang bahan-bahan sesuai dengan formula. Akuades dibagi
menjadi 3 bagian (1:1:1). Tween 80 dan akuades dipanaskan di penangas air sampai suhu 75oC. Akuades
bagian pertama digunakan untuk melarutkan tween 80 dengan bantuan stirrer pada kecepatan 100 rpm
selama 1 menit (suhu tetap dijaga 75oC). Bagian kedua digunakan untuk melarutkan sukrosa, metil
paraben dan perisa jeruk. Bagian ketiga digunakan untuk mengembangkan xanthan gum. Akuades bgian

19
pertama, kedua, dan ketiga dicampurkan dan dihomogenkan dengan stirrer kecepatan 100 rpm selama 1
menit (fase air). Span 80 dan minyak jinten hitam dicampurkan lalu dihomogenkan dengan stirrer
homogenizer pada hot plate dengan suhu 75oC kecepatan 100 rpm selama 1 menit (fase minyak). Fase
minyak dimasukan kedalam fase air sedikit demi sedikit sambil dihomogenkandengan kecepatan 1400
rpm selama 30 menit hingga terbentuk emulsi minyak jenten hitam.

c. Optimasi 3
Semua alat dan bahan disiapkan, ditimbang bahan-bahan sesuai dengan formula. Akuades dibagi
menjadi 3 bagian (1:1:1). Tween 80 dan akuades dipanaskan di penangas air sampai suhu 75oC. Akuades
bagian pertama digunakan untuk melarutkan tween 80 dengan bantuan stirrer pada kecepatan 100 rpm
selama 1 menit (suhu tetap dijaga 75oC). Bagian kedua digunakan untuk melarutkan sukrosa, metil
paraben dan perisa jeruk. Bagian ketiga digunakan untuk mengembangkan xanthan gum. Akuades bgian
pertama, kedua, dan ketiga dicampurkan dan dihomogenkan dengan stirrer kecepatan 100 rpm selama 1
menit (fase air). Span 80 dan minyak jinten hitam dicampurkan lalu dihomogenkan dengan stirrer
homogenizer pada hot plate dengan suhu 75oC kecepatan 100 rpm selama 1 menit (fase minyak). Fase
minyak dimasukan kedalam fase air sedikit demi sedikit sambil dihomogenkandengan kecepatan 1400
rpm selama 30 menit hingga terbentuk emulsi minyak jenten hitam.

3.4 Gambar Kemasan 3.4.1


Kemasan Primer

Gambar 3.1. Botol Kaca Emulsi “IMMUNO SATIVA”

20
3.4.2 Kemasan Sekunder

Gambar 3.2. Kemasan Sekunder Emulsi “IMMUNO SATIVA

3.4.3 Etiket

Gambar 3.3. Etiket Emulsi “IMMUNO SATIVA”

21
3.4.4 Brosur

Gambar 3.4. Brosur Emulsi “IMMUNO SATIVA”

3.6 Cara Evaluasi Mutu Sediaan


3.6.1 Uji Fisika-Kimia
1. Uji Organoleptis
Pengamatan organleptis dilakukan dengan mengamati bentuk, rasa, bau, warna, serta konsistensi
sediaan uji (Depkes RI, 1995).

2. Uji Viskositas
Pengukuran dilakukan dengan menggunakan viskometer brokfield pada pada suhu ruang (27°C)
dengan kecepatan 2, 4, 10, 20, 50, 100 rpm. Data yang di peroleh di plot terhadap tekanan geser
(dyne/cm2) dan kecepatan geser (detik-1) sehingga akan di dapat sifat aliran (rheology). (Febrina dkk.,
2007).

3. Uji Jenis Emulsi


Uji tipe emulsi dilakukan dengan menggunakan salah satu metode yaitu metode pengenceran.
Dilakukan dengan penambahan sejumlah air dalam emulsi. Bila emulsi tersebut bercampur sempurna
dengan air, maka emulsi termasuk tipe M/A sedangkan bila emulsi tidak bercampur dengan sempurna
22
maka tipe emulsiA/M. Uji tipe emulsi ini dilakukan pada hari ke-0 dan 21, untuk melihat ada atau tidaknya
fenomena inversi fasa (pengubahan fasa) dari minyak dalam air menjadi air dalam minyak (Martin et al.,
1993).

4. Uji pH
Pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan pH meter. Elekroda sebelumnya telah dikalibrasi
pada larutan buffer pH 4, pH 7 dan pH 9. Kemudian elektroda dicelupkan ke dalam sediaan, pH yang
muncul dilayar dan stabil lalu dicatat. Pengukuran dilakukan terhadap masing-masing sediaan pada hari
ke-0 dan 21 pada suhu ruang (Depkes RI, 1995)

5. Uji Stabilitas
a. Uji Sentrifugasi
Sediaan emulsi dimasukkan ke dalam tabung sentrifugasi, kemudian dilakukan sentrifugasi pada
kecepatan 3800 rpm selama 1 jam. Hasil sentrifugasi dapat diamati dengan adanya pemisahan atau tidak
(Lachman, et al., 1994).

3.6.2 Uji Pre Klinik


1. Uji Aktivitas Imunomodulator Jinten Hitam
a. Alat
Alat – alat yang digunakan yaitu timbangan hewan, kandang tikus beserta tempat makan dan minum,
sonde, sentrifugator (Hettich Zentrifugen), timbangan, alat gelas, mikropipet, tabung EDTA 1ml, tabung
Eppendorf, hemositometer yang terdiri dari pipet pengencer dan kamar hitung Neubauer, gelas objek,
cover glass, kotak preparat, dan mikroskop cahaya b. Hewan Uji

Objek uji yang digunakan berupa tikus putih jantan galur Sprague Dawley berumur 2-3 bulan dengan
berat 250-300 gram diberikan makanan pelet dan air ad libitum. Sebelum digunakan dalam percobaan,
tikus diaklimatisasi selama 2 minggu pada kandang plastik yang berisi sekam yang bagian atasnya diberi
kawat sebagai penutup. Setelah diaklimatisasi selama 1 minggu, hewan yang sehat digunakan untuk
penelitian. Sebelum penelitian ini dikerjakan, dilakukan evaluasi kelayakan etik (ethical clearance).

c. Aklitimasi Hewan Uji


Hewan uji terlebih dahulu diadaptasikan (aklitimasi) terhadap lingkungan selama 2 minggu. Hewan
uji terdiri dari tikus galur Sprague Dawley setiap kelompok terdiri dari 5 hewan uji. Menurut WHO
minimal hewan uji untuk satu kelompok uji adalah 5 ekor.

23
b. Uji Peningkatan Total Leukosit, Persentase Limfosit dan Monosit
Tikus BALB/c sebanyak 24 ekor dibagi dalam 4 kelompok perlakuan berdasarkan dosis ektrak etanol
jinten hitam yang diberikan. Pemberian ekstrak diberikan selama 14 hari berturut secara oral.

Setiap hari ke – 7, hari ke 14 dan hari ke 21. Darah diambil melalui pleksus retro orbital mata tikus. Tabel
3.3 . Kelompok untuk uji total leukosit, limfosit dan monosit

No Kelompok Perlakuan Pengambilan


Darah
1. Kontrol diberikan Na-CMC 0.5% 0.5ml/kgBB selama Hari ke - 7, ke - 14, dan ke 21
14 hari berturut- turut
2. Dosis diberikan ekstrak etanol jinten hitam 125 Hari ke - 7, ke -14, dan ke-21
Rendah mg/kgBB selama 14 hari berturut – turut

3. Dosis diberikan ekstrak etanol jinten hitam 250 Hari ke - 7, ke -14, dan Ke 21
Sedang mg/kgBB selama 14 hari berturut – turut
4. Dosis diberikan ekstrak etanol jinten hitam 500 Hari ke - 7, ke -14, dan Ke 21
Tinggi mg/kgBB selama 14 hari berturut – turut

c. Uji Kadar Interleukin 1β (IL-1β)


Pada uji kadar IL-1β dilakukan pemberian ekstrak etanol jinten hitam secara oral dengan dosis 125
mg/kgBB, 250 mg/kgBB dan 500 mg/kgBB. Selanjutnya pada hari ke – 5, dua jam setelah pemberian
ekstrak etanol jinten hitam diberikan LPS 20 μg/tikus. Darah tikus diambil 6 jam kemudian, melalui
pleksus retro orbital mata tikus (Manu dan Kuttan, 2008).

Tabel 1.2 Data Perlakuan untuk uji kadar IL - 1β

No Kelompok Perlakuan Pengambilan


darah

1. Kontrol diberikan Na-CMC 0.5% 0.5 ml/kgBB selama 5 hari berturut Hari ke – 5
–turut

2. LPS Diberikan LPS 20 μg/tikus pada hari ke 5 Hari ke – 5

24
3. Ekstrak diberikan ekstrak etanol jinten hitam 125 mg/kgBB selama 5 Hari ke – 5
Etanol Dosis hari berturut - turut. Hari ke – 5 dua jam setelah pemberian
ekstrak, diberikan LPS 20 μg/tikus
Rendah

4. Ekstrak diberikan ekstrak etanol jinten hitam 250 mg/kgBB selama 5 Hari ke – 5
Etanol Dosis hari berturut - turut. Hari ke – 5 dua
Sedang
jam setelah pemberian ekstrak, diberikan LPS 20 μg/tikus
5. Ekstrak diberikan ekstrak etanol jinten hitam 500 mg/kgBB selama 5 Hari ke – 5
Etanol Dosis hari berturut - turut. Hari ke – 5 dua jam setelah pemberian
ekstrak, diberikan LPS 20 μg/tikus
Tinggi

d. Pengambilan Darah
Darah diambil dari setiap hewan uji melalui pleksus retro orbital mata tikus. Sampel darah untuk uji
total leukosit dimasukkan ke dalam tabung vacutainer EDTA dan sampel darah untuk uji IL-1β
dimasukkan ke tabung vacutainer EDTA yang berbeda. Darah untuk uji IL-1β disentrifus pada 3000 rpm
selama 20 menit, plasma yang muncul dimasukkan ke dalam tabung Eppendorf disimpan pada suhu –
20oC sampai waktu pemeriksaan IL-1β dengan ELISA. e. Perhitungan Total Leukosit

Penghitungan jumlah leukosit total dilakukan menggunakan hemositometer dengan pengenceran 1:20.
Untuk memperoleh pengenceran 1:20 sampel darah dihomogenkan, kemudian dihisap dengan
menggunakan pipet leukosit dan aspirator sampai tera 0,5. Selanjutnya, larutan Turk dihisap hingga tera
11, aspirator dicabut kemudian dihomogenkan secara manual, yaitu dengan cara memutar membentuk
angka 8. Selanjutnya sampel dibuang sekitar 2-3 tetes, setelah itu dimasukkan ke dalam kamar hitung
Neubauer dan ditutup dengan gelas penutup kemudian diperiksa dengan mikroskop perbesaran 40 x 10.
Leukosit dihitung pada empat kotak besar di tiap sudut tiap sisi kamar hitung. Sel yang menempel di garis
pemisah sebelah kiri dan di garis atas kotak persegi ikut dihitung, sel yang menempel di kedua sisi kotak
lain tidak ikut dihitung (Anandika, 2011). Karena kedalaman kamar kamar hitung Neubauer adalah 0,1
mm dan luas adalah 4 mm2 (terdiri dari 4 kamar masing-masing dengan luas 1 mm2 jadi total 4 mm2).
Maka volume kotak adalah 0,4 mm3(Kulisic, 2006)

25
N : Jumlah total leukosit dari 4 kamar hitung f.
Analisa Monosit dan Limfosit

Sampel darah segar diteteskan pada gelas objek dan dibuat preparat apus. Setelah dibiarkan mengering
di udara, preparat apus kemudian difiksasi dengan methanol selam 5 menit. Preparat kemudian diwarnai
dengan pewarna Giemsa dengan pengenceran 1 : 9 selama 30 menit.. Selanjutnya preparat dicuci
menggunakan aquades dan dibiarkan mengering. Setelah kering preparat diperiksa dibawah mikroskop
dengan pembesaran 100 x dengan dibubuhi minyak emersi pada permukaan sediaan apus tersebut.
Pertama – tama dihitung sampai 100 sel leukosit, kemudian dari 100 sel leukosit dihitung jumlah monosit
dan limfosit. Lalu ditentukan persentase monosit dan limfosit dari total 100 leukosit tersebut dengan
rumus sebagai berikut. g. Pengukuran kadar IL-1β dengan ELISA

Sebanyak 0.1 mL sampel, kontrol dan standar dimasukkan ke dalam microplate yang telah dilapisi
anti - mouse IL - 1β antibodi kemudian diinkubasi selama 90 menit pada suhu 370C lalu dibuang isi plate
dan dikeringkan menggunakan handuk, Tambahkan 0.1 mL biotinylated anti mouse IL - 1β antibody
inkubasi pada suhu 370C selama 60 menit lalu microplate dicuci dengan 0.01M PBS sebanyak 3 kali.
Tambahkan 0,1mL larutan ABC diinkubasi pada suhu 370C selama 30 menit lalu mencuci microplate
dengan 0.01M PBS sebanyak 5 kali. Ditambahkan 90 ul dengan TMB Color developing agen dan
didiamkan selama 30 menit pada suhu ruangan di tempat yang gelap. Ditambahkan 0.1 ml TMB stop
solution. Dibaca optical density absorbasi dengan ELISA reader yang diatur pada 450 nm.

h. Analisis Data
Analisa jumlah total leukosit, presentase monosit, presentase limfosit dan kadar IL-1β menggunakan
ANOVA (Analysis Of Variance) dengan menggunakan program SPSS 17,0 for windows taraf
kepercayaan sebesar 95% dengan (α= 0,05).

26
2. Uji Toksisitas Akut
Sejumlah 48 tikus mencit jantan galur Swiss (20 g) dibagi menjadi 6 kelompok (T1, T2, T3, T4, T5,
T6) secara acak, 1 kelompok terdiri dari 8 tikus. T1 diinduksi dengan akuades sebagai kelompok kontrol
normal. Lima kelompok lainnya diinduksi dengan emulsi ekstrak heksan Biji Jinten Hitam. Emulsi dengan
ekstrak heksan Biji Jinten Hitam kemudian dilarutkan dalam akuades, diinduksi dengan cara injeksi
sebanyak 0,3 ml. Mencit dibebaskan untuk makan dan minum. Angka kematian dilihat selama 24 jam, 48
jam, dan 72 jam setelah pemberian emulsi ekstrak Biji Jinten Hitam. Persentase kematian pada masing-
masing kelompok dihitung dan diplot terhadap log 10 dari dosis dan dihitung LD 50. Nilai LD 50 dapat
dihitung dengan rumus:

m = a – b (Σpi – 0,5 )

Keterangan: m = log LD50 a : logaritma dosis terendah yang masih menyebabkan kematian 100% tiap
kelompok. b : beda logaritma dosis yang berurutan. Pi : jumlah hewan yang mati yang menerima
dosis i dibagi dengan jumlah hewan seluruhnya yang menerima dosis I.

(Depkes RI, 1979)

3. Uji Toksisitas Sub-Kronik


Dua puluh tikus mencit jantan galur Swiss (20 g) dibagi menjadi 4 kelompok yang terdiri dari 5 tikus.
Kelompok I sebagai kontrol normal diinduksi dengan air steril 1 mL/100g BB. Kelompok II, III dan IV
diinduksi dengan ekstrak heksan Biji Jinten Hitam selama 14 hari. Sebelum percobaan hewan dipuasakan
selama 12 jam dan dibebaskan untuk makan dan minum. Mencit dipantau tiap hari. Angka kematian
dilihat selama 14 hari. Persentase kematian pada masing-masing kelompok dihitung dan diplot terhadap
log 10 dari dosis dan dihitung LD50. Nilai LD 50 dapat dihitung dengan rumus:
m = a – b (Σpi – 0,5 )

Keterangan: m = log LD50 a : logaritma dosis terendah yang masih menyebabkan kematian 100%
tiap kelompok. b : beda logaritma dosis yang berurutan. Pi : jumlah hewan yang mati yang
menerima dosis I dibagi dengan jumlah hewan seluruhnya yang menerima dosis I.

(Depkes RI, 1979)

27
28
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
4.1.1 Perhitungan Rendemen
Tabel 1. Hasil Penimbangan Ekstrak
No Penimbangan Jumlah
1 Bobot serbuk 817,359 gram
2 Bobot Cawan I (kosong) 66,0161 gram
3 Bobot Cawab II (kosong) 60,0113 gram
4 Bobot Cawan III (kosong) 58,0133 gram
5 Bobot Cawan I + Ekstrak 100,020 gram
6 Bobot Cawan II + Ekstrak 98,5193 gram
7 Bobot Cawan III + Ekstrak 110,2645 gram
8 Total bobot ekstrak 130,7592 gram

4.1.2 Pengukuran Kadar Air dan Skrining Fitokimia


Tabel 2. Skrining Fitokimia
No Pemeriksaan Pereaksi Hasil Pengamatan
1. Alkaloid Mayer - Tidak terbentuk Endapan
Putih
Dragendroft - Tidak terbentuk Endapan
Jingga
2. Tanin FeCl3 + Warna Hijau Tua
Kehitaman
Fenol FeCl3 + Warna Hijau Tua
Kehitaman
3. Saponin Akuades - Tidak Terbentuk Busa

29
4. Triterpenoid Lieberman + Terbentuk cincin
Burchat berwarna Violet

5. Steroid Lieberman + Terbentuk cincin


Burchat berwarna Violet

6. Flavonoid Aseton, Asam + Diamati dibawah UV


Borat, Asam berfluoresensi kuning
intensif
Oksalat
7. Minyak diuapkan + Terdapat aroma minyak
Atsiri atsiri dari jinten hitam

4.1.3 Hasil Uji Susust Pengeringan


Tabel 3. Penimbangan Susut Pengeringan
Penimbangan Botol Botol Botol
Timbang I Timbang II Timbang III

Bobot Botol Timbang Kosong 22,0201 gram 13,4901 gram 20,402 gram

Setelah Penambahan ekstrak 1 23,0201 gram 14,4901 gram 21,402 gram


gram (sebelum dikeringkan)

Setelah Penambahan ekstrak 1 22,7321 gram 14,232 gram 21,1897 gram


gram (setelah dikeringkan)

Persentase susut pengeringan:

30
Keterangan
Berat Awal= (berat botol timbang + ekstrak basah) – botol kosong
Berat akhir = (berat botol timbang + ekstrak yg dikeringkan) -botol kosong

Tabel 4. Hasil Pengukuran viskositas dengan Viskometer brookfield


No. Kecepatan CP (η) % F/A (dv/dx. η)
(dv/dx)
1. 10 rpm 1010 10,1 20200
2. 20 rpm 755 15,1 15100
3. 30 rpm 657 19,7 19710
4. 50 rpm 540 27,0 27000
5. 60 rpm 502 30,1 30120
6. 100 rpm 419 41,9 41900
7. 60 rpm 505 30,3 30300
8. 50 rpm 542 27,1 27100
9. 30 rpm 660 19,8 19800
10. 20 rpm 760 15,2 15200
11. 10 rpm 1030 10,3 10300

Tabel 5. Hasil Perhitungan Shearing Stress


Viskositas Kecepatan Shearing Stress
CP (η) (dv/dx) F/A (dv/dx. η)
1010 10 rpm 20200
755 20 rpm 15100
657 30 rpm 19710
540 50 rpm 27000
502 60 rpm 30120
419 100 rpm 41900
505 60 rpm 30300
542 50 rpm 27100

31
660 30 rpm 19800
760 20 rpm 15200
1030 10 rpm 10300

Kurva 1. Hubungan Kecepatan Geser dengan Shearing Stress (F/A)

4.2 PEMBAHASAN
4.2.1 Ekstraksi dan Penyiapan Ekstrak
Dalam pengembangan suatu obat tradisional yaitu Obat Herbal Terstandar (OHT) digunakan suatu
ekstrak bahan alam yang memiliki aktivitas farmakologis tertentu. Berdasarkan berbagai penelitian,
diketahui bahwa Nigella sativa memiliki aktivitas sebagai Imunomodulator. Imunomodulator adalah
suatu senyawa yang dapat meningkatkan fungsi sistem imun pada manusia. Kandungan kimia yang
terdapat pada biji jinten hitam yang diduga mempunyai efek imunostimulan adalah minyak atsiri,
timuquinone dan asam-asam lemak. Asam lemak ini membantu tubuh mencegah infeksi, meningkatkan
kekebalan dan mengendalikan reaksi alergi (Yanti, 2010). Serbuk biji Nigella sativa dapat meningkatkan
rasio limfosit T-helper terhadap T-suppresor sebesar 72% dan meningkatkan jumlah dan fungsi sel T-
killer (El Kadi et al., 1990), sedangkan minyak Nigella sativa yang memberikan peningkatan rasio sel T
CD4 terhadap CD8 sebesar 55% dan dapat peningkatan aktivitas sel NK. Timoquinon adalah
monoterpenoid keton yang terdapat dalam ekstrak biji jinten hitam (Nigella sativa ). Monoterpen adalah
kelas terpene yang terdiri dari dua unit isoprena dan memiliki rumus molekul C 10H16. Monoterpen
mungkin linear (asiklik) atau mengandung cincin. Modifikasi biokimia seperti oksidasi atau penataan
ulang menghasilkan monoterpenoid terkait. Pada Timokuinon terjadi penataan ulang dengan gugus keton
32
sehingga membentuk 2-Isopropil-5-metillbenzo-1,4-kuinon (Akhondian et al, 2011). Berikut ini adalah
struktur kimia dari timoquinone.

Gambar 1. Struktur Kimia Timoquinon (2-Isopropil-5-metillbenzo-1,4-kuinon)

Pengolahan minyak biji jinten hitam dikembangkan menjadi bentuk emulsi, dengan tujuan untuk
mengurangi atau menutupi rasa berminyak dari minyak biji jinten hitam sehingga dapat dihasilkan produk
yang baik dan stabil secara fisika kimia. Emulsi merupakan suatu dispersi atau suspensi cairan dalam
cairan lain yang tidak bercampur dalam keadaan biasa (Winarno, 1992). Emulsi merupakan sistem dua
fase, yang salah satu cairannya terdispers dalam cairan yang lain dalam bentuk tetesan kecil
(droplet/globul) dengan diameter biasanya lebih dari 0,1 µm atau 0,1-50 µm. Prinsip pembuatan emulsi
adalah pencampuran atau homogenasi tanpa melibatkan suhu tinggi dalam waktu yang relatif singkat.
Tahap pertama yang dilakukan yaitu dengan mengekstraksi simplisia Biji Jinten Hitam. Biji Jinten
Hitam dihaluskan hingga menjadi serbuk halus sehingga dapat meningkatkan kontak anatara serbuk
simplisia dengan pelarut yang digunakan saat tahap ekstraksi (Harbone, J.B, 1967). Metode yang
digunakan dalam tahap ekstraksi ini yaitu Maserasi. Maserasi merupakan suatu proses ektraksi cair padat
menggunakan suatu pelarut selama waktu tertentu dengan sesekali diaduk dan dikocok pada suhu kamar
(Kusmardiyani dan Nawawi, 1992). Pelarut yang digunakan yaitu etanol 96%. Metode maserasi ini
dilakukan karena prosesnya yang mudah dan sederhana. Bejana maserasi ditutup dengan plastik ikan dan
dibungkus dengan kain hitam gelap sehingga terhindar dari sinar matahari langsung (mencegah rekasi
yang dikalisis cahaya atau perubahan warna). Pada tahap maserasi ini, sesekali dilakukan pengandukan.
Fungsi dilakukannya pengadukan adalah untuk meratakan konsentrasi larutan diluar serbuk simplisia,
sehingga dengan pengadukan dapat menjaga derajat perbedaan konsentrasi yang sekecil-kecilnya antara
larutan di dalam sel dengan larutan di luar sel. Keadaan diam selama maserasi menyebabkan turunnya
perpindahan zat aktif. Jumlah serbuk biji jinten hitam yang digunakan sebanyak 817,359 gram dan
Volume pelarut yang digunakan dalam maserasi pertama adalah 2 liter dan untuk remaserasi sebanyak 1
33
liter. Semakin besar perbandingan simplisia terhadap cairan pengekstraksi, akan semakin banyak yang
diperoleh (Voigt, 1995).
Maserasi pertama dilakukan selama 48 jam sambil sesekali dilakukan pengandukan. Kemudian
setelah 48 jam dilakukan penyaringan dengan menggunakan kertas saring yang telah dijenuhkan dengan
menggunakan etanol. Fungsi penjenuhan kertas saring dengan etanol terlebih dahulu adalah untuk
mencegah filtrat yang akan diambil terserap oleh kertas saring sehingga filtrat yang didapat akan lebih
banyak. Penyaringan berfungsi untuk memisahkan antara filtrat dengan ampasnya. Filtrat I ini disimpan
dan ampasnya digunakan lebih lanjut untuk tahap remaserasi. Filtrat I yang diperoleh sebanyak 1150 ml
dengan warna kuning muda, kemudian sebagian filtrate diuapkan pelarutnya dengan menggunakan rotary
evaporator hingga diperoleh minyak biji jinten hitam, selanjutnya minyak tersebut diletakkan dalam
cawan dan diletakkan dalam oven pada suhu 40oC dan sisanya dimasukkan kedalam botol coklat agar
terhindar dari sinar matahari.
Ampas filtrasi pertama diremaserasi dengan pelarut baru (etanol 96%) sebanyak 1 liter. Tujuan
dilakukannya remaserasi yaitu untuk melarutkan kembali zat aktif yang ada dalam simplisia dimana zat
aktif tersebut mungkin tidak tersari selama proses maserasi, yang dikarenakan pelarut yang sudah jenuh.
Untuk itu pada tahap remaserasi digunakan pelarut pengekstraksi yang baru. Sama seperti tahap maserasi,
pada tahap remaserasi ini dilakukan selama 48 jam dengan sesekali pengadukan. Kemudian dilakukan
penyaringan untuk memisalhkan filtrat II dan ampasnya. Sisa Filtrat I dan Filtrat II kemudian digabungkan
dan filtrate dipekatkan dengan menggunakan rotary evaporator selama 4 jam pada suhu 78oC, kemudian
dimasukkan dalam oven pada suhu 40oC hingga dipeoleh ekstrak cair berupa minyak biji jinten hitam.
Minyak diperoleh dari biji jinten hitam karena kandungan minyak pada biji jinten sangat tinggi, yang
mencapai 30%. Sehingga ketika sudah diuapkan pada suhu titik didih pelarut etanol, akan tetap diperoleh
hasil ekstraksi dalam bentuk minyak. Untuk membuktikan hasil ini berupa minyak, dilakukan dengan
mengoleskan cairan ekstrak pada kertas saring, dan diperoleh hasil kertas saring yang bening, yang
membuktikan cairan tersebut adalah Minyak. Minyak biji jinten hitam yang diperoleh berwarna coklat,
dengan aroma yang tajam dan memiliki rasa yang pahit. Minyak biji jinten hitam yang diperoleh
ditimbang dan dibandingkan bobotnya dengan simplisia awal yang digunakan. Perbadingan dalam persen
menyatakan nilai rendemen dari ekstrak tersebut. Berdasarkan perhitungan ekstrak minyak Biji Jinten
Hitam yang dihasilkan, diperoleh nilai Rendemen sebesar 15,99%. Besar kecilnyaa rendemen
menunjukkan keefektifan proses ekstraksi. Efektivitas proses ekstraksi dipengaruhi oleh jenis pelarut
yang digunakan sebagai penyari, ukuran partikel simplisia, metode dan lamanya ekstraksi.
Agar diperoleh hasil minyak yang optimal diperlukan perlakuan pendahuluan seperti pengeringan,
pelayuan dan pengecilan ukuran (Ketaren dalam Nurdjanah dan Marwati, 1998) Hal ini perlu dilakukan
34
karena kandungan minyaknya dikelilingi oleh kelenjar minyak, pembuluh-pembuluh dan kantong minyak
atau rambut grandular. Tanpa perlakuan pendahuluan atau dalam bentuk utuh pengeluaran minyak hanya
tergantung dari proses difusi dan proses tersebut berlangsung sangat lambat (Irfan, 1989; Nurdjanah dan
Makmun, 1994). Diperlukan penanganan yang baik terhadap bahan melalui perlakuan pendahuluan
berupa a) pengecilan bahan, b) pengeringan bahan dan c) penjemuran kurang lebih satu minggu. Upaya
penanganan bahan sehabis panen untuk mempertinggi kadar dan mutu minyak dilakukan melalui
penjemuran, pelayuan dan pengecilan bahan melalui perajangan menjadi bagian yang lebih kecil.
Tymoquinone sebagai komponen aktif dalam biji jinten hitam merupakan komponen minyak atsiri.
Minyak atsiri adalah minyak yang mudah menguap karena terdiri atas campuran komponen yang mudah
menguap dengan komposisi dan titik didih yang berbeda. Sebagian besar minyak atsiri diperoleh dengan
cara penyulingan atau hidrodistilasi (Stahl- Biskup & Sa’ez, 2002). Hidrodistilasi merupakan metode
yang umum dipakai untuk mengekstrak minyak atsiri dari suatu tanaman (Guenther, 1998). Metode
hidrodistilasi masih sangat potensial untuk diaplikasi di negara-negara berkembang seperti halnya
Indonesia karena metode ini cukup praktis, peralatannya sederhana, murah, aman dalam
pengoperasiannya serta ramah lingkungan. Metode ini sudah banyak diaplikasikan pada skala industri
kecil maupun besar (Manzan dkk., 2003). Metode hidrodistilasi mempunyai keuntungan karena dapat
mengekstrak minyak dari bahan yang berbentuk bubuk (akar, kulit, kayu dan sebagainya) dan beberapa
bahan yang mudah menggumpal jika disuling dengan uap seperti jenis bunga-bungaan (bunga mawar dan
orange blossom). Pengolahan minyak atsiri dengan metode hidrodistilasi dikenal sebagai metode
konvensional yang didasarkan pada prinsip bahwa campuran (uap minyak dan uap air) mempunyai titik
didih sedikit lebih rendah dari titik didih uap air murni, sehingga campuran uap mengandung minyak
memiliki jumlah yang lebih besar. Dengan pengurangan kecepatan kohobasi, maka kandungan minyak
dalam destilat akan lebih besar disebabkan oleh uap yang keluar akan lebih jenuh oleh uap minyak.
Rendemen yang diperoleh dari metode hidrodistilasi sangat ditentukan oleh beberapa faktor antara lain
ukuran bahan, jumlah (rasio) bahan dan air yang digunakan, perlakuan pengadukan serta waktu proses
(Djafar, dkk., 2010) Kelemahan hidrodistilasi antara lain adalah kemungkinan hilangnya komponen-
komponen minyak atsiri karena bersifat larut dalam air (Damjanovic, 2003). Selain itu, penggunaan energi
yang cukup besar selama proses penyulingan. Namun, mengingat proses dan peralatan yang digunakan
cukup sederhana, hidrodistilasi masih menjadi pilihan untuk mendapatkan minyak atsiri dari berbagai
tumbuhan penghasil minyak atsiri.
4.2 2 Pengukuran Susut Pengeringan dan Skrining Fitokimia
Minyak Biji Jinten Hitam yang diperoleh kemudian dilakukan pengujian karakterisasi non spesifik
berupa pengukuran susut pengeringan. Penetapan kadar susut pengeringan dilakukan pada ekstrak Biji
35
Jinten Hitam untuk menentukan kadar air dan zat-zat volatile yang terkandung dalam ekstrak. Hasil rata-
rata susut pengeringan ekstrak Biji Jinten Hitam adalah 24,94%. Nilai ini menyatakan jumlah maksimal
senyawa yang mudah menguap atau hilang pada proses pengeringan. Nilai susut pengeringan dalam
khusus identik dengan kadar air jika bahan tidak mengandung minyak atsiri dan sisa pelarut organic yang
menguap. Hasil rata-rata susut pengeringan eksrak Biji Jinten Hitam tidak memenuhi syarat. Dimana susut
pengeringan yang memenuhi syarat yaitu dibawah 10% (Depkes RI, 2011).
Skrining fitokimia merupakan analisis kualitatif terhadap senyawa-senyawa metabolit sekunder.
Suatu ekstrak dari bahan alam terdiri atas berbagai macam metabolit sekunder yang berperan dalam
aktivitas biologinya. Senyawa-senyawa tersebut dapat diidentifikasi dengan pereaksi-pereaksi yang
mampu memberikan ciri khas dari setiap golongan dari metabolit sekunder (Harborne,1987). Fitokimia
adalah senyawa aktif kimia pada tanaman atau merupakan unsur pokok dalam tanaman. Fitokimia terdiri
dari senyawa metabolit primer dan sekunder. Unsur pokok pada tanaman adalah senyawa alkaloid, tannin,
saponin, flavonoid dan fenolik (Edeoga, et al., 2005). Unsur pokok metabolit primer adalah komponen
kimia pada fungsi normal, seperti protein, karbohidrat dan lemak pada tanaman, sedangkan metabolit
sekunder adalah turunan dari metabolit primer. Metabolit sekunder antara lain fenol, flavonoid, saponin,
terpenoid, steroid, tannin, plobatamin,kumarin, alkaloid dan merupakan bioaktif pada tanaman (Lenny S.,
2006). Berbagai metode yang dapat digunakan untuk identifikasi metabolit sekunder yang terdapat pada
suatu ekstrak antara lain:
a. Identifikasi Alkaloid
Identifikasi alkaloid dapat dilakukan dengan beberapa cara, salah satunya adalah reaksi pengendapan,
untuk uji pengendapan ini terdapat 4 golongan pereaksi atau reagen yang dapat digunakan yang masing-
masing membentuk endapan yang berbeda. Pereaksi yang digunakan dalam praktikum ini yaitu Pereaksi
Golongan III, yang terdiri dari Mayer LP dan Dragendorff LP dengan hasil positif berupa terbentuknya
senyawa adisi yang tidak larut (Depkes RI, 1995).
Dengan menggunakan pereaksi Dragendroff hasil positif yaitu terbentuk endapan coklat muda sampai
kuning. Endapan tersebut merupakan endapan dari kalium-alkaloid (Svehla, 1990). Berdasarkan tahapan
uji Alkaloid yang dilakukan, terbentuk larutan berwarna kuning dan tidak terbentuk endapan pada tabung
I yang diberikan pereaksi Dragendroff. Sehinggai hasil tersebut menunjukan hasil negatif.

36
Gambar 4. Reaksi Antara Reagen Dragendroff dengan Alkaloid (Miroslav, 1971)

Pada tabung 2 digunakan pereaksi Mayer, maka terbentuk larutan berwarna berwarna kuning dan
tidak adanya endapan. Hasil positif adanya alkaloid pada uji Mayer terlihat dengan terbentuknya endapan
putih. Endapan putih ini merupakan kompleks kalium-alkaloid (Svehla, 1990). Reaksi yang terjadi pada
uji Mayer adalah:

Gambar 5. Reaksi Antara Reagen Mayer dengan Alkaloid (Marliana, 2005)

Adanya kandungan alkaloid ditunjukkan jika sekurang kurangnya menggunakan dua golongan larutan
percobaan (Depkes RI, 1977). Data yang diperoleh diatas belum memenuhi ketentuan yang ditetapkan,
dan dilihat dari hasil yang diperoleh di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa ekstrak biji jinten hitam
tidak mengandung alkaloid.

b. Uji Steroid dan Terpenoid


Hasil positif adanya triterpenoid adalah dengan terbentuknya cincin kecoklatan/ violet diantara dua
pelarut sedangkan hasil postif adanya senyawa Steroid ditunjukkan dengan terbentuknnya cincin
berwarna biru kehijauan. Dalam pengujian ini, sampel ekstrak Biji Jinten Hitam positif mengandung
triterpenoid karena terbentuk cincin berwarna kecoklatan dan negative mengandung Steroid. Triterpenoid
adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam satuan isoprena dan secara biosintesis
diturunkan dari hidrokarbon C-30 asiklik, yaitu skualena, senyawa ini tidak berwarna, berbentuk kristal,
bertitik leleh tinggi dan bersifat optis aktif (Harborne,1987).

37
c. Uji Flavonoid
Flavonoid merupakan senyawa yang umumnya terdapat pada tumbuhan berpembuluh terikat pada gula
sebagai glikosida dan aglikon flavonoid. Dalam menganalisis flavonoid yang diperiksa adalah aglikon
dalam ekstrak tumbuhan yang sudah dihidrolisis. Proses ektraksi senyawa ini dilakukan dengan etanol
mendidih untuk menghindari oksidasi enzim (Harborne, 1987). Berdasarkan hasil pengujian uji
Flavonoid, sampel ekstrak Biji Jinten Hitam positif mengandung Flavonoid karena menunjukkan hasil
fluoresensi berwarna kuning intensif. Menurut Irlya. (2012), Nigella sativa mengandung senyawa
flavonoid yaitu triglikosida flavonoid yang merupakan golongan kuersetin. d. Uji Saponin
Saponin adalah glikosida triterpen yang merupakan senyawa aktif permukaan yang bersifat seperti
sabun yang jika dikocok kuat akan menimbulkan busa. Saponin adalah glikosida triterpena dan sterol
yang telah terdeteksi dalam lebih dari 90 genus pada tumbuhan (Harborne, 1987). Dari percobaan yang
dilakukan setelah penggojokan pada tabung reaksi, tidak terlihat adanya busa sehingga uji saponin
terhadap larutan uji adalah negative dan tidak dilanjutkan dengan penambahan larutan HCl 2N. Busa yang
terbentuk hanya sedikit dan hanya bertahan selama beberapa detik, hal ini dapat disebabkan karena adanya
senyawa asam, atau rendahnya konsentrasi saponin dalam larutan uji tersebut (Farnsworth, 1966).
e. Uji Fenolik
Hasil postif adanya senyawa fenol yang terkandung dalam sampel tersebut adalah terjadinya
perubahan warna menjadi warna hijau kehitaman. Berdasarkan uji yang dilakukan, pada sampel uji
terbentuk larutan yang berwarna hitam yang menunjukkan adanya fenol. Menurut Irlya. (2012), Nigella
sativa mengandung senyawa fenolik yaitu asam vanilat.

f. Uji Minyak Atsiri


Hasil Positif adanya minyak atsiri yaitu adanya bau khas minyak atsiri. Berdasarkan hasil uji,
diperoleh adanya aroma khas biji jinten hitam yang cukup kuat, sesuai dengan karakteristik minyak atsiri
yaitu mudah menguap. Sehingga dapat disimpulkan ekstrak Biji Jinten Hitam mengandung minyak Atsiri.

4.2.3 Optimasi Formula I


Pengolahan minyak biji jinten hitam menjadi bentuk emulsi dilakukan dengan tujuan bagaimana
menghilangkan rasa berminyak dari minyak biji jinten hitam sendiri agar menjadi produk yang lebih baik
dengan mengurangi atau menutupi rasa berminyak dari biji jinten hitam tersebut. Emulsi adalah suatu
sistem heterogen yang tidak stabil secara termodinamika, yang terdiri dari paling sedikit dua fase cairan
yang tidak bercampur, dimana salah satunya terdispersi dalam cairan lainnya dalam bentuk tetesan–
tetesan kecil, yang berukuran 0,1-100 mm, yang distabilkan dengan emulgator/surfaktan yang cocok

38
(Martin dkk.,1990). Pada praktikum ini dilakukan 3 kali optimasi pada formula untuk memperoleh sediaan
emulsi yang memenuhi kriteria dan stabil.

Pada Optimasi pertama digunakan formula sebagai berikut:


Bahan Konsentrasi Fungsi

Ekstrak biji Jinten Hitam 831,2 mg/15ml Zat Aktif Immunomodulator (fase Minyak)

Tragakan 2% Biopolymer hidrofilik


Sukrosa 25% Corigen saporis
Na benzoate 0,1% Pengawet
Aquadest sampai 300% Fase Air

Berdasarkan uji pendahuluan basis emulsi dengan emulgator tragakan merupakan basis yang lebih
baik di antara basis emulsi dengan emulgator lain dalam formula emulsi tipe M/A minyak biji jinten hitam,
dilihat dari konsistensinya yaitu berwarna krem kekuningan dan tidak adanya lapisan terpisah yang
menandakan terjadinya ketidakstabilan. Dibandingkan dengan basis emulsi yang menggunakan emulgator
gom arab. Akan tetapi pada saat proses formulasi ditemukan kendala yaitu tragakan yang seharusnya
digunakan sebagai emulgator tidak tersedia sehingga pada optimasi pertama digunakan gom arab sebagai
emulgator. Ektrak jinten hitam yang digunakan berbentuk minyak lemak, sehingga digunakan sebagai
fase minyak. Berdasarkan data uji farmakologi penelitian Zikriah (2014), ekstrak etanol jinten hitam yang
diberikan pada mencit BALB/c dengan dosis rendah (125 mg/kgBB), dosis sedang (250 mg/kgBB) dan
dosis tinggi (500 mg/kgBB) selama pemberian 21 hari memberikan hasil peningkatan jumlah total
leukosit dan limfosit seiring dengan meningkatnya dosis yang diberikan. Kemudian dilakukan konversi
dosis dari mencit ke manusia dengan BB 60kg. Pada optimasi pertama dosis yang digunakan adalah dosis
terendah pada mencit yaitu 125 mg/kg BB. Setelah dikonversi diperoleh dosis 831,2 mg untuk manusia
dengan BB 60 kg. Sediaan emulsi yang akan dibuat mempertimbangkan dosis 831,2 mg dalam 15 mL
untuk satu kali pemakaian. Untuk 10 kali pemakaian dibbuat jumlah sediaan sebanyak 150 mL dengan
aturan pakai satu kali pemakaian sebbanyak 15 mL.
Pembuatan emulsi diawali dengan mencampurkan 1 bagian gom arab dengan 4 bagian minyak jinten
hitam dalam mortir ditambahkan akuades sedikit demi sedikit, kemudian digerus cepat dengan
mengunakan stamper hingga terbentuk korpus emulsi. Kemudian, sukrosa, serta Na benzoat yang telah
dilarutkan dalam sejumlah air sambil tetap. Selanjutnya ditambahkan sisa air hingga menapai volume 150

39
mL. Proses homogenisasi merupakan proses emulsifikasi yang bertujuan memperkecil ukuran fase
terdispersi (globul) agar erdispersi dengan baik dalam medium pendispersinya. Oleh karena itu,
homogenisasi secara mekanis dapat menghasilkan pengurangan ukuran globul dan penyebaran gom arab
sebagai emulgator secara merata. Prinsip kerja dari homogenisasi secara mekanis yaitu mengurangi
ukuran globul dengan cara menggerus partikel besar dengan komponen yang bergerak sehingga
menghasilkan partikel berukuran lebih kecil dari sebelumnya. Energi besar dari komponen bergerak tadi
terbukti mampu memperkecil ukuran globul dari emulsi (Intan, K, et al., 2012). Penggunaan na benzoate
dengan konsentrasi 0,1% bertujuan untuk mencegah pertumbuhan mikroorganisme pada fase luar emulsi.
Emulsi yang akan dibuat adalah emulsi dengan tipe minyak dalam air. Fase terluar adalah air yang pada
umumnya merupakan media yang cepat ditumbuhi mikroorganisme sehingga dipilih na benzoate sebagai
pengawet yang larut dalam air.
Pada optimasi pertama dilakukan evaluasi organoleptis dan konsistensi sediaan emulsi secara visual.
Sediaan yang diformulasi berwarna kuning jingga, dengan aroma khas aromatik minyak jinten dan
kositensi cairan yang kurang serta sudah terjadi pemisahan dari fase minya dan fase air. Warna kuning
jingga pada sediian dinilai bukan merupakan warna dari minyak jinten melainkan ada kemungkinan
kontaminasi ekstrak padaa saat proses penguapan sisa pelarut dengan oven. Permasalahan berupa aroma
khas sediaan yang tidak enak (aroma minyak jinten hitam) bias diatasi dengan penambahan perisa
(coringen saporis) pada saat optimasi selanjutnya. Konsistensi sediaan yang terlalu cair menandakan
bahwa fase minyak pada formulasi kurang sehingga diperlukan penambahan fase minyak dan zat yang
dapat meningkatkan viskositas. Terjadinya pemisahan fase pada sediaan diakibatkan oleh
ketidakmampuan dari emulgator yang digunakan yaitu gom arab dalam menstabilkan kedua fase. Secara
kimia molekul surfaktan terdiri atas gugus polar dan nonpolar. Apabila surfaktan dimasukkan ke dalam
suatu sistem yang terdiri dari air dan minyak, maka gugus polar akan terarah ke fasa air sedangkan gugus
non polar terarah ke gugus ke fasa minyak. Gum arab dengan HLB 13 tidak mampu menjaga stabilitas
emulsi, sehingga pada optimasi selanjutnya digunakan emulgator lain.

4.2.4 Optimasi Formula II


Pada Optimasi kedua digunakan formula sebagai berikut:

Bahan Konsentrasi Bahan Fungsi


Penyusun
Sediaan
Ekstrak biji Jinten 20 gram Zat Aktif Immunostimulator (Fase
Hitam Minyak)

40
Tween 80 8,9 gram Emulgator
Span 80 1,2 gram Emulgator
Sukrosa 7,2 gram Coringen saporis
Perisa jeruk 4 tetes Coringen odoris dan saporis

Xanthan gum 0,20 gram Penambah viskositas

Metil paraben 0,1 gram Pengawet

Propil paraben 0,1 gram Pengawet


Akuades 70,9 gram Fase Air

Untuk mengatasi permasalah pada optimasi pertama yaitu ketidakstabilan fase emulsi dan
konsistensi yang tidak memenuhi kriteria emulsi dilakukan penggantian emulgator dan penambahan
bahan penambah viskositas. Pada optimasi pertama digunakan emulgator yang berupa gum arab. Gum
arab merupakan emulgator pada satu fase saja sehingga dinilai kurang mampu menstabilkan fase minyak
dan fase air. Emulsi yang akan dibuat pada praktikum ini adalah emulsi minyak dalam air. Dalam
pembuatan emulsi, pemilihan emulgator merupakan faktor yang penting karena kestabilan suatu emulsi
banyak dipengaruhi oleh emulgator yang digunakan. Salah satu emulgator yang sering digunakan adalah
surfaktan. Pada optimasi kedua digunakan emulgator golongan surfaktan yaitu tween dan span 80.
Dimana Tween 80 memiliki nilai HLB ( Hydrophylic Lyphophylic Balance ) sebesar 15 sedangkan Span
80 memiliki nilai HLB (Hydrophylic Lyphophylic Balance) sebesar 4,3. Dengan penggunaan emulgator
pada kedua fase diharapkan mampu menstabilkan emulsi dengan minyak jinten hitam sebagai fase
minyak. Sediaan ditambahkan perisa jeruk untuk mengatasi bau minyak jinten yang menyengat.
Pada optimasi kedua dilakukan peningkatan jumlah minyak jinten yang digunakan. Hal ini
dilakukan mempertimbangkan jumlah penggunaan untuk dewasa dan anak-anak dan mencegah sediaan
yang voluminous. Menurut Zikriah (2014), ekstrak etanol jinten hitam yang diberikan pada mencit
BALB/c dengan dosis rendah (125 mg/kgBB), dosis sedang (250 mg/kgBB) dan dosis tinggi (500
mg/kgBB) selama pemberian 21 hari memberikan hasil peningkatan jumlah total leukosit dan limfosit
seiring dengan meningkatnya dosis yang diberikan. Pada optimasi kedua digunakan dosis 300 mg/kgBB.
Setelah dikonversi diperoleh dosis 2 gram/10 mL untuk manusia dengan BB 60 kg. Untuk dewasa aturan
pakai sediaan menjadi 2 kali sehari sebanyak 10 mL, sedangkan untuk anak anak 2 kali sehari sebanyak
5 mL.

41
Pada optimasi formula kedua ini, digunakan dua jenis pengawet, yaitu Methylparaben dan
Propylparaben. Methylparaben dan Propylparaben banyak digunakan sebagai pengawet antimikroba di
kosmetik, produk makanan, dan formulasi farmasi serta menunjukkan aktivitas antimikroba antara pH 4-
8. Khasiat pengawet menurun dengan meningkatnya pH karena pembentukan anion fenolat. Paraben lebih
aktif terhadap ragi dan jamur dan terhadap bakteri juga lebih aktif terhadap bakteri Gram-positif
dibandingkan terhadap Bakteri gram negatif. Aktivitas paraben meningkat dengan meningkatnya panjang
rantai dari bagian alkil; Namun, kelarutan menurun. Aktivitasnya dapat ditingkatkan dengan
menggunakan kombinasi dari paraben, seperti adanya efek aditif dimana dapat ditingkatkan dengan
menggunakan kombinasi dari paraben untu menghasilkan efek sinergis. Oleh karena itu, kombinasi dari
metil, etil-, propil-, dan butylparaben sering digunakan bersama-sama untuk meningkatkan efek
sinergisnya (Rowe, et al., 2009).
Pembuatan emulsi diawali dengan penyiapan alat dan bahan sesuai dengan formula. Akuades dibagi
menjadi 3 bagian (1:1:1). Tween 80 dan akuades dipanaskan di penangas air sampai suhu 75oC. Akuades
bagian pertama digunakan untuk melarutkan tween 80 dengan bantuan stirrer homogenizer pada
kecepatan 100 rpm selama 1 menit (suhu tetap dijaga 75oC). Bagian kedua digunakan untuk melarutkan
sukrosa, metil paraben dan perisa jeruk. Bagian ketiga digunakan untuk mengembangkan xanthan gum.
Akuades bgian pertama, kedua, dan ketiga dicampurkan dan dihomogenkan dengan stirrer homogenizer
kecepatan 100 rpm selama 1 menit (fase air). Span 80 dan minyak jinten hitam dicampurkan lalu
dihomogenkan dengan stirrer homogenizer pada hot plate dengan suhu 75oC kecepatan 100 rpm selama
1 menit (fase minyak). Fase minyak dimasukan kedalam fase air sedikit demi sedikit sambil
dihomogenkan dengan kecepatan 1400 rpm selama 30 menit hingga terbentuk emulsi minyak jenten
hitam.
Pada optimasi kedua dilakukan evaluasi organoleptis konsistensi sediaan emulsi secara visual.
Sediaan yang diperoleh berwarna cokelat muda sesuai dengan warna ekstrak jinten, aroma perisa jeruk
dan sudah memenuhi konsistensi sebagai emulsi yang baik dengan viskositas 1054 cps. Akan tetapi
terdapat beberapa bagian emulsi yang tidak sempurna. Hal ini mungkin dikarenakan pada saat proses
formulasi suhu dari hot plate tidak terjaga dengan baik karena terdapat praktikan lain yang menggunakan
hot plate tersebut. Pada pembuatan emulsi suhu harus tetap dijaga agar proses emulsifikasi sempurna.
Emulsifikasi dipengaruhi oleh temperature, pada suhu yang sesuai akan terjadi penurunan tegangan antar
muka dan viskositas. Perubahan pada temperatur mengubah koifisien distribusi pengemulsi antar a dua
fase dan menyebabkan migrasi pengemulsi sehingga proses emulsifikasi menjadi lebih cepat. Penurunan
suhu yang tiba-tiba akan mengakibatkan disperse partikel yang tidak sempurna sehingga mengakibatkan
terdapat bagian yang tidak bercampur (Herinaldi, 2004)
42
4.2.5 Optimasi Formula III
Pada formulasi ke tiga kami mengulagi formula pada formulasi kedua yaitu masih menggunakan
bahan minyak biji jinten hitam sebagai bahan aktif utama sekaligus sebagai fase minyak didalam emulsi
biji jinten hitam, kemudian digunakan juga tween 80 dan span 80 sebagai emulgator, sukrosa sebagai
corigen saporis yaitu sebagai penambah rasa manis pada emulsi, perasa jeruk, Gum Xantan sebagai
pengental, serta aqua dest sebagai pembawa atau pelarut emulsi. Emulsi yang ingin kami buat yaitu emulsi
minyak dalam air dimana minyak dari biji jinten hitam sebagai fase minyak dan air sebagai fae cairnya.
Emulsi bisa digunakan untuk melindungi bahan aktif dari kondisi lingkungan yang ekstrim, untuk
meningkatkan stabilitas, efektivitas, dan menutupi dari bau dan rasa yang tidak enak dimana rasa
berminyak dari biji jinten jinten hitam yang membuat masyarakan enggan untuk mengkonsumsinya, maka
dari itu diformulasikanlah emulsi jinten hitam untuk meningkatkan kenyamanan pasien untuk
mengkonsumsinya (Lachman, et al, 1994).

Dimana pada pembuatan emulsi biji jinten hitam pada formulasi ketiga mula mula air yang akan
digunakan sebagai pelarut dipanaskan terlebih dahulu pada suhu 75oC. Air bagian satu digunakan untu
melarutkan tween 80 sambil dihomogenkan dengan homogeneizer dengan kecepatan 100 rpm selama 1
menit. Kemudian air bagian kedua digunakan untuk melarutkan sukrosa tetap dalam kondisi panas. Serta
air bagian ketiga digunakan untuk melarutkan Gum Xantan. Setelah itu ketiga bagian air yang berisi
campuran bahan disatukan untuk membentuk fase air emulsinya.

Kemudian dibuatlah fase minyak dengan mencampur minyak biji jinten hitam dengan span 80
sambil dipanaskan pada suhu 75oC dan dihomogenkan dengan kecepatan 100 rpm selama 1 menit. Fungsi
pengadukan cepat dengan homogenaizer yaitu untuk mempercepat pelarutan bahan di dalam pelarutnya.
Pada penambahan emulgator tween 80 dan span 80 pada fae minyak dan fase air bertujuan untuk
menurunkan tegangan antarmuka antara fase air dan fase minyak serta mencegah koalesensi, yaitu
penyatuan tetesan kecil menjadi tetesan besar dan akhirnya menjadi satu fase tunggal yang memisah,
dengan membentuk lapisan yang protektif di sekeliling globul (Lachman, et al., 1994).
Pada sediaan emulsi perlu ditambahkan suatu pengawet guna mencegah tumbuhnya mikroba yang
dapat merusak stabilitas sediaan emulsi yang dibuat. Pengawet yang ditambahkan pada emulsi metil dan
propil paraben. Penambahan bahan pengawet bertujuan untuk mencegah kontaminasi mikroba. Suatu
pengawet harus efektif terhadap kontaminasi dari mikroorganisme patogen dan cukup dapat melindungi
emulsi selama digunakan pasien (Lachman et al.,1994). Pada praktikum formulasi emulsi biji jinten hitam
kami menggunakan pengawet metil dan propil paraben dimana merupakan suatu pengawet pada fase
minyak dan fase air. Setelah fase minyak dan air slesai dibuat maka dicampurkan kedua fase tersebut

43
sedikit demi sedikit hingga terbentuk korpus emulsi pada beker gelas dan tidak lupa ditambahkan perasa
jeruk beberapa tetes dengan bantuan pengadukan dengan kecepatan 2500 rpm selama 30 menit agar
diperoleh emulsi yang homogen. Sediaan emulsi yang diperoleh pada formulasi ketiga ini memiliki warna
coklat muda serta memiliki aroma buah jeruk.
4.2.6 Evaluasi Sediaan dan Kelengkapan Kemasannya
Pada evaluasi sediaan obat herbal terstandar emulsi minyak jinten hitam yang telah dibuat dilakukan
uji organoleptis yang mengamati bentuk, rasa, bau, rasa, warna serta konsistensi dimana diperoleh emulsi
dengan rasa yang manis, warna coklat muda dengan aroma jeruk serta bentuk berupa emulsi cair.
Viskositas dan rheologi bertujuan untuk mengukur viskositas cairan Newton dan menentukan jenis
aliran non Newton pada sebuah sampel. Viskositas adalah ukuran resistensi suatu zat cair untuk mengalir
sedangkan, rheologi adalah suatu ilmu yang mempelajari sifat aliran zat cair atau deformasi zat padat
(Prasetya, 2012). Pada pengujian viskositas sediaan emulsi obat herbal terstandar ekstrak biji jinten hitam
ini menggunakan viskometer brookfield dengan spindle nomor tiga dengan berbagai kecepatan (rpm).
Pada uji viskositas menunjukkan viskositas tertinggi ditunjukkan dengan kecepatan 100 rpm
dengan viskositas 419 cps. Pada hasil rheogram yang diperoleh dimana membandingkan kecepetan geser
(rpm) dengan Shearing Stress menunjukkan bahwa sediaan emulsi ini mengikuti rheogram dari aliran
Pseudoplastis. Viskositas zat pseudoplastis berkurang dengan meningkatnya rate of share (Martin,1993).
Uji fisiko kimia sediaan berupa Uji jenis emulsi dapat dinilai jika minyak yang merupakan fase
terdispersi dan larutan air merupakan fase pendispersi, maka sistem ini disebut emulsi minyak dalam air.
Sebaliknya, jika air merupakan fase terdispersi dan minyak merupakan fase pendispersi, maka sistem ini
disebut emulsi air dalam minyak (Lachman, et al., 1994). Dalam sediaan emulsi kali ini uji jenis emulsi
dilakukan dalam dua cara yaitu cara pengenceran dengan air dan dengan penambahan metilen blue.
Dengan pengenceran dapat dilihat emulsi larut dalam pengencer air maka emulsi yang terbentuk
merupakan emulsi minyak di dalam air. Didalam menetukan jenis emulsi juga digunakan pereaksi metilen
blue yang dilarutkan didalam sediaan emulsi. Dimana diperoleh sediaan emulsi berwarna biru sehingga
dapat disimpulkan memang benar emulsi yang dibuat merupakan emulsi minyak dalam air. Pengujian
selanjutnya yaitu pengujian pH sediaan dan diperoleh pH emulsi yaitu 5,66. Selanjutnya dilakukan uji
sentrivugasi untuk melihat sediaan meimisah atau tidak dimana dilakukan sentrifugasi dengan kecepatan
3800 rpm selama 1 jam serta diperoleh hasil sediaan memisah yaitu fase minyak berada di bagian atas
sediaan.
Sediaan emulsi imunomodulator ini merupakan suatu sediaan Obat Herbal Terstandar yang harus
memenuhi syarat uji praklinik meliputi uji toksisitas akut dan uji farmakologi naman dalam praktikum
kali ini tidak dikerjakan.
44
Pada pemeriksaan kelengkapan komponen kemasan sediaan emulsi OHT biji jinten hitam dilihat
bahwa kemasan sediaan telah memenuhi kelengkapan kemasan yang ditentukan. Dimana dalam kemasan
diberi label nama sediaan yaitu Imuno Sativa, dan telah tercantumkan komposisi sediaan, indikasi, aturan
pakai, penyimpanan, nomor registrasi, tanggal pembuatan, tanggal kadaluarsa, serta alamat produksi.
Namun di dalam kemasan terdapat kekeliruan pada pemberian logo fitofarmaka dimana yang seharusnya
dicantumkan logo Obat Herbal Terstandar. Begitu pula kelengkapan yang sama sudah ditunjukkan pada
brosur produk imuno sativa ini.

45
BAB V
KESIMPULAN

1. Berdasarkan dilakukannya tiga kali formulasi, maka diperoleh formula optimal dari sediaan OHT
emulsi ekstrak jinten hitam (Nigella sativa L) yang digunakan sebagai peningkat daya tahan tubuh
(immunostimulan) ialah sebagai berikut :

Bahan Konsentrasi Bahan Fungsi


Penyusun
Sediaan
Ekstrak biji Jinten 20 gram Zat Aktif Immunostimulator (Fase
Hitam Minyak)
Tween 80 8,9 gram Emulgator
Span 80 1,2 gram Emulgator
Sukrosa 7,2 gram Coringen saporis
Perisa jeruk 4 tetes Coringen odoris dan saporis

Xanthan gum 0,20 gram Penambah viskositas


Metil paraben 0,1 gram Pengawet

Propil paraben 0,1 gram Pengawet

Akuades 70,9 gram Fase Air

2. Hasil dari kontrol kualitas sediaan OHT emulsi esktrak ekstrak jinten hitam (Nigella sativa L)
yang digunakan sebagai peningkat daya tahan tubuh (immunostimulan) dimana uji organoleptis
yang mengamati bentuk, rasa, bau, rasa, warna serta konsistensi dimana diperoleh emulsi dengan
rasa yang manis, warna coklat muda dengan aroma jeruk serta bentuk berupa emulsi cair. Dengan
pH sediaan dan diperoleh yaitu 5,66. Pada uji viskositas menunjukkan viskositas tertinggi
ditunjukkan dengan kecepatan 100 rpm dengan viskositas 419 cps. Pada hasil rheogram yang
diperoleh dimana membandingkan kecepetan geser (rpm) dengan Shearing Stress menunjukkan
bahwa sediaan emulsi ini mengikuti rheogram dari aliran Pseudoplastis. Dalam uji jenis emulsi
dilakukan dalam dua cara yaitu cara pengenceran dengan air dan dengan penambahan metilen
blue. Dimana diperoleh memang benar tipe emulsi yang dihasilkan adalah emulsi minyak dalam
46
air. Pada hasil uji kemasan sediaan emulsi OHT biji jinten hitam telah memenuhi evaluasi
kemasan dimana dalam kemasan diberi label nama sediaan yaitu Imuno Sativa, dan telah
tercantumkan komposisi sediaan, indikasi, aturan pakai, penyimpanan, nomor registrasi, tanggal
pembuatan, tanggal kadaluarsa, serta alamat produksi. Namun di dalam kemasan terdapat
kekeliruan pada pemberian logo fitofarmaka dimana yang seharusnya dicantumkan logo Obat
Herbal Terstandar. Begitu pula kelengkapan yang sama sudah ditunjukkan pada brosur produk
imuno sativa ini.

47
DAFTAR PUSTAKA

2011, Nigella sativa Extract as a Potent Antioxidant for Petrochemical-InducedOxidative Stress,


Journal of Chromatographic Science, Vol. 49

Akhondian, Javad; Kianifar, Hamidreza; Raoofziaee, Mohammad; Moayedpour, Amir; Toosi, Mehran
Beiraghi; Khajedaluee, Mohammad. 2011. The effect of thymoquinone on intractable pediatric
seizures (pilot study). Epilepsy Research 93 (1): 39–43.

Akrom, 2013. Ekanisme kemopreventive MBJH pada tikus Sprague dawley (SD) yang diinduksi 7,12
dimethylbenza(a) antracene (DMBA), Disertasi, Pasca Sarjana, UGM, Yogyakarta

Aldi Y., Suhatri. 2011. Aktifitas Ekstrak Etanol Biji Jintan Hitam (Nigella sativa Linn.) Terhadap Titer
Al-Logmani, Ayed., Zari, Talal. 2011. Long-term effects of Nigella sativa L.oil on some physiological
parameters in normal and streptozotocin-induced diabetic rats. Journal of Diabetes Melitus,
Vol.1. Hal: 1-2

Anandika, D.W. 2011. Ekstrak Bawang Putih (Allium sativum) Menurunkan Jumlah Leukosit pada
Mencit Model Sepsis akibat Paparan Staphylococcus aureus. CDK 183.Vol.38:2 Ansel,H.C.,
1989. Pengatar Bentuk sediaan Farmasi. Edisi 4. UI Press. Jakarta.

Antibodi Dan Jumlah Sel Leukosit Pada Mencit Putih Jantan. Fakultas Farmasi Universitas
Andalas

Aorahman, Zheen Ahmed. 2009. Protective Effect of Nigella sativa Oil against CCl4-induced
Hepatotoxicity in Rats. AJPS, Vol 8. Hal: 1-2

Ashraf, S.S., Rao, M.V., Kaneez, F.S., Qadri, S., Al-Marzouqi, A.H., Chandranath, I.S., Adem, A..,
Biofarmasi 3 (1): 26-31, Pebruari 2005, ISSN: 1693-2242. 2005.
BPOM RI. 2004. Keputusan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor:
HK.00.05.4.2411 Tentang Ketentuan Pokok Pengelompokan dan Penandaan Obat Bahan Alam
Indonesia. Jakarta: BPOM RI.

Ciulei, J. 1984. Metodology for Analysis of Vegetables and Drugs. Bucharest Rumania: Faculty of
Pharmacy. Pp. 11-26.

Depkes RI. 1977. Materia Medika Indonesia, Jilid I. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Depkes RI. 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
48
Depkes RI. 1995. Farmakope Indonesia Edisi III. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
DepKes RI. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta: Departeman Kesehatan Republik Indonesia.
Depkes RI. 1995. Materia Medika Indonesia. Jilid VI. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. Hal. 334, 336, 337.

Depkes RI. 2011. Farmakope Herbal Indonesia, Edisi Ketiga. Jakarta: Mentri Kesehatan Indonesia.
Djafar, F., D. Supardan, A. Gani. 2010. Pengaruh Ukuran Partikel, Sfrasio Dan Waktu Proses Terhadap
Rendemen Pada Hidrodistilasi Minyak Jahe. Jurnal Hasil Penelitian Industri HPI. Volume 23,
No. 2, Halaman 47-54)

Dubick MA. 1986. Historical perspectives on the use of herbal preparations to promote health. JN The
Journal of Nutrition. University of California, Davis, School of Medicine. Hal:1348-1349

Edeoga HO, Okwu DE. & Mbaebre BO. 2005. Phytochemical Constituent of Some Nigerian Medicinal
Plants. Afr Journal of Biotechnology 4: 685-688.

El Kadi, M., Kandil, O., Tabuni, A.M. 11.(1990). Nigella sativaand Cell Mediated Immunity. Arch Aids
Res, 1, 232-235

El-Din Hussein, Kamal, El-Tahir Ph D., Dana M Bakeet. 2006. The Black Seed Nigella sativa Linnaeus-
A Mine for Multi Cures: A Plea for Urget Clinical Evaluation of its Volatile Oil. Department of
Pharmacology, College of Pharmacy, King Saud University Riyadh Saudi Arabia. Hal: 4-14.

Extract of Nigella sativa Seeds. Journal Ethnopharmacology, 70, 1-7 Syamsuni,


H. A. 2006. Ilmu Resep. Jakarta: EGC.

Fararh K. Y. Atoji, Y. Shimizu, T. Takewaki. Isulinotropic properties ofNigella sativaoil in


Farmsworth, N.R. 1966. Biological and Phytochemical Screening of Plants. Journal of Pharmaceutical
Sciences. 55 (3): 225-276

Farnworth, N. R. 1966. Biological and Phytochemical Screening of Plant. J. Pharm. Sci., 55: 59.
Febrina, E., D. Gozali dan T. Rusdiana. 2007. Formulasi Sediaan emulsi Buah Merah (Pandanus
conoideus Lam.) Sebagai Produk Antioksidan Alami. Laporan Penelitian. Fakultas Farmasi,
Universitas Padjajaran.

Gali, M. N, Najjar. R. Schneider. 2006. The medicinal potential of black seed (Nigella sativa) and its
components. Article. Hal : 133-152

Ganong WF. 2003. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed ke-20. Widjajakusumah HMD et al. penerjemah;
Widjajakusumah HMD, editor. Jakarta: EGC. Terjemahan dari: Review of Medical Physiology.

49
Gilani, Anwar-ul Hasan, dkk. 2004. A review of medicinal uses and pharmacological activities of Nigella
sativa. Department of Biological and Biochemical Sciences The Aga Khan University

Guenther, E. 1998. Minyak Atsiri. Jilid I. Edisi Ke 4. Jakarta. Universitas Indonesia Press

Haq, A. et al. (1995). Nigella sativa: Effect on Human Lymphoctes and Polymorphonuclear Leukocyte
Haq, A., Lobo, P.I., Al-Tufail, M., 19.Rama N.R., Al-Sedairy, S.T. (1999). Imunomodulatory Effect of
Nigella sativa protein Fractionated by Ion Exchange Chromatography. International Journal of
Immunopharmacology, 21(4), 283-295

Harbore, J.B. 1987. Metode Fitokimia. Terjemahan dari Phytochemical Methods oleh Kosasih
Harborne JB. 1973. Phytochemical Method, London, Chapman and Hall, Ltd. pp 49-188.
Harmita. 2004. Petunjuk Pelaksanaan Validasi Motode dan Cara Perhitungannya. Majalah Ilmu
Kefarmasian, Vol I, No.3, Hal 117-135.

Herinaldi.2004.Mekanika Fluida, terjemahan dari “Fundamental of Fluids Mechanic” oleh Donald F.


Young. Erlangga.Jakarta.

Houghton, P.J.,R.Zarka,B.De-las-Heras and J.R.Hoult. 1995. Fixed Oil of Nigella sativa and Derived
Hutapea, Johnny Ria,DR, dkk. 1994. Inventaris Tanaman Obat Indoensia (III). Departemen Kesehatan
Intan, K., Hidayat, T., dan Setiabudy, D. 2012. Pengaruh kondisi homogenisasi terhadap karakteristik
fisik dan mutu santan selama penyimpanan. Jurnal Litri 18(1). Bogor: Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Pascapanen Pertanian. Hal: 34-35

Irfan, 1989. Pengaruh lama keringanginan dan perbandingan daun dengan batang terhadap rendemen dan
mutu minyak nilam (Pogostemon cablin Benth). Skripsi Feteta IPB. 86 hal (tidak
dipublikasikan).

Irlya,N. 2012. Perbandingan Profil Kromatogram Ekstrak Air Jinten Hitam (Nigella sativa) dari Daerah
Habasyah, India, dan Indonesia Dengan KCKT. Naskah Publikasi. Fakultas Farmasi Univeristas
Muhammadiyah Surakarta.

Istiqomah. 2013. Perbandingan Metode Ekstrak Maserasi dan Sokletasi Terhadap Kadar Piperin Buah
Cabe Jawa. Skripsi. Jurusan Farmasi, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas
Islam Negri Syarif Hidayatullah, Jakarta. Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Ketaren S., 1985. Minyak Atsiri. Pengantar Teknologi Minyak Atsiri .Balai Pustaka Jakarta. hal. 191 –
202.

Kulisic Z, Tambur Z, Maličević Z, Bakrač NA, Misic Z. 2006. White Blood Cell Differential Count In
Rabbits Artificially Infected With Intestinal Coccidia. J. Protozool. Res. 16, 42-50.
50
Kusmardiyani, S. dan A. Nawawi. 1992. Kimia Bahan Alam. Jakarta : Pusat Antar Universitas Bidang
Ilmu Hayati.

Lachman, L., Lieberman, H. A., Kanig, J. L. 1994. Teori dan Praktek Farmasi Industri, Edisi Ketiga.
Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Lenny S. 2006. Senyawa Terpenoid dan Steroid. Department Kimia, Fakultas Mathematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam. Universitas Sumatera Utara, Medan. Hal. 10-17.
Manu KA and Kuttan G. 2008. Immunomodulatory activities of Punarnavine, an alkaloid from
Boerhaavia diffusa. Immunopharmacology and Immunotoxicology: 377–387

Manzan, A.C.C.M, F.S. Toniolo, E. Bredow, N.P. Pouh. 2003. Extraction of Essential Oil and Pigments
from Curcuma longa by Steam Distillation and Extraction with Volatile Solvent. Journal of
Agricultural and Food Chemistry. 51. 6802-6807

Marliana, SD., Suryanti, V., dan Suyono. Skrining Fitokimia dan Analisis Kromatografi Lapis Tipis
Komponen Kimia Buah Labu Siam (Sechium edule Jacq. Swartz.) dalam Ekstrak Etanol.

Martin, A., Swarbrick, J., Commarata, A. 1993. Farmasi Fisik 2, Edisi Ketiga.
Martin, Alred. 2008. Farmasi Fisik Dasar-Dasar Kimia Fisik dalam Ilmu Farmasetik. Jakarta:
Universitas Indonesia

Medical College, Karachi, Pakistan. Pakistan Journal of Biological sciences 7 (4). Hal: 441451

Mencit BABL/c. Skripsi. Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.

Mencit BABL/c. Skripsi. Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Michel CG, dkk. 2010. Phytochemical And Biological Investigation Of The Extracts Of Nigella sativa L.
Seed Waste. Pharmacognosy Department, Faculty of Pharmacy, Cairo University, Egypt

Miroslav, V. 1971. Detection and Identification of Organic Compound. New York: Planum Publishing
Corporation and SNTC Publishers of Technical Literatur.

Nabiela, W. 2013. Formulasi Emulsi Tipe M/A Minyak Biji Jinten Hitam (Nigella sativa L.) Skripsi. UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta

Nurdjanah, N. dan T. Marwati, 1998. Penanganan Bahan dan Penyulingan Minyak Nilam. Monograf
Nilam 5 : 100 – 107.

51
Omar EM. 2001. Analysis of Single Nucleotide in the Interleukin-1β Gene Using 5' Nuclease Assays. In:
Interleukin Protocols. New Jersey : Humana Press

Paarakh, Padma M. 2010. Nigella sativa Linn-a comprehensive review. Indian Journal of Natural Product
and Resources. Vol 1(4). Hal: 400

Padmawinata dan Iwang Soediro. Bandung: Penerbit ITB


Penerjemah: Setiono, L. dan A.H. Pudjaatmaka. Jakarta: PT Kalman Media Pusaka
Phagocytic Activity. Immunopharmacology, 30(2), 147-155
Prasetya, Jemmy A., Arisanti, Agung Dewantara, Eka Indra S. dan Dewi Wijayanti. 2012. Petunjuk
Praktikum Farmasi Fisika. Jimbaran: Udayana University Press

RI. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Hal: 163


Rowe, R. C., Paul, J.S., and Marian, E.Q. 2009. Handbook of Pharmaceutical Excipients. London:
Royal Pharmaceutical Society of Great Britain. p: 1198.

Rowe, R.C., P. J. Sheskey, M. E. Quinn. 2009. Handbook of Pharmaceutical Excipients. Sixth Edition.
Pharmaceutical Press: USA.

Rowey, R.C., Sheskey, P.J., dan Owen, S.C. 2006. Handbook of Pharmaceutical Excipients Fifth Edition.
London: Pharmaceutical Press.

Saeed., Nasir, Muhammad.2009. Nutritional Profile of Indigenous Cultivar of Black Cumin


Salem, M. L., 2005, Immunomodulatory and Therapeutic Properties of The Nigella sativa L.seed,
International Immunopharmacology, 5:1749-1770.

Seeds and Antioxidant Potential of its Fixed and Essential Oil. Palestina: National Institute of
Food Science and Technology, University of Agriculture, Faisalabad, Palestina.

Setyorini, R. 2010. Analisis Implementasi Kebijakan Pengembangan Jamu Menjadi Obat Herbal
Terstandar dan Fitofarmaka di Provinsi DKI Jakarta. Thesis. Jurusan Ilmu Kesehatan
frMasyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, Jakarta.

Streptozotocin plus Nicotinamide diabetic hamster. Research in Veterinary Science, 73, 279–
282

Sultan, Muhammad Tauseef., Sadiq Butt, Masood., Muhammad Anjum, Faqir.,Jamil, Amer., Akhtar,
Suwandi, T. 2012. Pengembangan Potensi Antibakteri Kelopak Bunga Hibiscus sabdariffa (Rosella)
Terhadap Streptococcus sanguinis Penginduksi Gingivitis Menuju Obat Herbal Terstandar.

52
Disertasi. Jurusan Ilmu Kedokteran Gigi, Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Indonesia,
Jakarta.

Svehla, G. 1990. Buku Teks Analisis Anorganik Kualitatif Makro dan Semimikro. Edisi kelima.
Swamy, S.M.K., and Tan, B.K.H.(2000). 45.Cytotoxic and Immunopotentiating Effects of Ethanolic
Thymoquinone Inhibit Eicosanoid Generation in Leukocytes and Membrane Lipid Peroxidation.
Planta Medica. Hal: 61

Vieira K. 2011. Improving Abnormal Results. University Of Florida College Of Medicine


Yanti, A. 2010. Uji Efek Imunostimulasi Ekstrak Air Biji Jinten Hitam (Nigella satuva L.) pada Mencit
Putih (Mus musculus L) secara Bersihan Karbon. FarmaSains Vol.1 No.2 Hal 76-79.

Zikriah. 2014. Uji Imunomodulator Ekstrak Etanol Jinten Hitam (Nigella sativa L.) terhadap Jumlah Total
Leukosit, Persentase Limfosit, Persentase Monosit dan Kadar Interleukin-1β pada

Zikriah. 2014. Uji Imunomodulator Ekstrak Etanol Jinten Hitam (Nigella sativa L.) terhadap Jumlah Total
Leukosit, Persentase Limfosit, Persentase Monosit dan Kadar Interleukin-1β pada

LAMPIRAN GAMBAR

Gambar 1. Proses maserasi dan penyaringan Gambar 2. Uji saponin

53
Gambar 3. Uji tannin
Gambar 4. Uji tannin dan fenol

Gambar 5. Uji Flavonoid Gambar 6. Uji dibawah mikroskop

Gambar 7. Uji sentrifugasi Gambar 8. Hasil uji sentrifugasi

54
Gambar 9. Pembuatan Emulsi

55

Anda mungkin juga menyukai