Anda di halaman 1dari 30

“EMAS DAN PERAK” DAN “UANG”

IBARAT MANUSIA KEMBAR YANG TIDAK IDENTIK

By : Up. Vidyananda SE, Ak.


BAB-1

EMPAT FITNAH YANG KONDUSIF TERJADI KEPADA BUDDHA

Buddhime adalah agama niat, bukan agama ‘jasmani’. Hal ini yang membedakan ajaran
Buddha dengan ajaran pertapa telanjang di zaman Buddha dimana mereka
menitikberatkan pentingnya ‘jasmani’ dibandingkan ‘pikiran’. Mereka lebih
mementingkan ‘pengekangan perbuatan jasmani’ (DN 2) dibandingkan dengan
mengutamakan ‘niat’ yang melandasi perbuatan jasmani tersebut. Sutta MN 56
menunjukkan bahwa ajaran Nighanta Nataputta menekankan pada ‘tongkat tubuh’
sebagai keutamaan sedangkan Buddha menjelaskan dengan rinci bahwa perbuatan
pikiranlah yang paling utama dan melandasi terjadinya perbuatan lain.

Dalam menjalankan kehidupan keduniawian, seseorang yang mencukur rambut


menjadi Bhikkhu belum cukup disebut melepaskan keduniawian. Bhikkhu akan diuji
apakah kehendak melepas keduniawaiannya itu sempurna. Jika sempurna, maka hal
itu akan melandasi terpenuhinya kesempurnaan sila vinayanya. Aspek kejujuran
merupakan keutamaan dalam berlatih. Kejujuran dalam berlatih merupakan salah satu
aspek utama untuk mencapai ketenangan sebagaimana yang disebutkan dalam
Karaniya Metta Sutta bait pertama.

Seorang Bhikkhu disebut sempurna dalam kehidupan melepas keduniawian, bila


memiliki niat dan semangat untuk terus menyadari dan mengamati timbul-
tenggelamnya asava atau leleran batin .

Sehubungan dengan topik penerimaan emas perak dalam Nissagiya Paccitiya, Sangha
dewasa ini terbelah menjadi dua pendapat dan pandangan :

1. Sangha yang menjalankan vinaya berdasarkan sudut pandang tatacara,


menekankan pentingnya tatacara, sehingga jika seorang Bhikkhu menyentuh dana
angpao uang, Bhikkhu ditafsir telah melanggar vinaya karena dana angpao uang
ditetapkan Sangha tersebut harus diterima dalam sebuah tatacara kapiya.

2. Sangha yang menjalankan vinaya berdasarkan sudut pandang niat yang


melandasi penerimaan dana angpao uang. Bhikkhu tidak ditafsir telah melanggar
vinaya hanya semata-mata jasmani menyentuh kertas amplop tersebut, namun niat
melandasi perbuatan jasmani dan terjadinya penyalahgunaan penggunaan uang yang
menentukan apakah Bhikkhu telah tidak murni vinayanya.

Permasalahan semakin menghangat karena telah beredar sebuah propaganda secara


massif di media sosial mengenai hal ini. Di salah satu media sosial facebook, sebuah
komunitas melakukan penggiringan opini public dengan memberikan informasi yang
salah dan bahkan mencantumkan sumber seakan-akan berasal dari kitab Ti-Pitaka
bahwa Bhikkhu yang menerima uang akan masuk neraka. Ini seakan-akan menjelaskan
Bhikkhu telah melakukan pelanggaran berat atau melakukan pelanggaran tak
terampuni atau tak bisa diperbaiki. Padahal di dalam Vinaya Pitaka, peraturan Bhikkhu
memiliki hirarki pelanggaran dari pelanggaran minor hingga pelanggaran tak
terampuni / tidak dapat diperbaiki.

Di bawah ini akan dipaparkan bahwa menyentuh uang atau menerima dana uang
secara langsung bukanlah pelanggaran. Telah terjadi kesalahan fatal menyamakan
‚emas dan perak‛ sebagai ‚uang‛, padahal mereka adalah si kembar yang tidak
identic.

Tujuan penulisan ini adalah untuk memberikan wawasan agar umat Buddha
menghindari ucapan yang salah dengan mencela Bhikkhu yang menerima dana angpao
langsung dari umat yang tulus. Salah satu pandangan benar yang disebut Buddha
adalah selalu ada manfaat dari apa yang dipersembahkan dan didanakan dalam
konteks mengurangi kekikiran (MN 117). Adalah merupakan ucapan memecah-belah
dengan menganjurkan umat lain untuk tidak berdana uang langsung kepada salah satu
komunitas Bhikkhu Sangha.
Mengingat :

AN. 8.40

‚(5) Ucapan memecah-belah, yang berulang-ulang dilakukan, dikembangkan, dan


dilatih, adalah kondusif untuk mencapai neraka, mencapai alam binatang, dan
mencapai alam hantu menderita; bagi seorang yang terlahir kembali sebagai manusia,
ucapan memecah-belah paling sedikit adalah kondusif untuk mengalami perpecahan
dengan teman..

Menimbang:

Sutta AN.2.23

"Para bhikkhu, kedua orang ini salah merepresentasikan (memfitnah) Sang Tathāgata.
Dua yang manakah? Seorang yang menjelaskan apa yang tidak dinyatakan dan tidak
diucapkan oleh Sang Tathāgata sebagai telah dinyatakan dan diucapkan oleh Beliau,
dan seorang yang menjelaskan apa yang telah dinyatakan dan diucapkan oleh Sang
Tathāgata sebagai tidak dinyatakan dan tidak diucapkan oleh Beliau. Kedua orang ini
salah merepresentasikan (memfitnah) Sang Tathāgata.‛

Menegaskan kembali:

Sutta AN 1.150

‚Para bhikkhu, para bhikkhu itu yang menjelaskan apa yang bukan pelanggaran sebagai
pelanggaran ….. (151) yang menjelaskan pelanggaran sebagai bukan pelanggaran …..
(152) yang menjelaskan pelanggaran ringan sebagai pelanggaran berat ….. (153) yang
menjelaskan pelanggaran berat sebagai pelanggaran ringan ….. (154) yang menjelaskan
pelanggaran kasar sebagai bukan pelanggaran kasar ….. (155) yang menjelaskan
pelanggaran yang tidak kasar sebagai pelanggaran kasar (156) yang menjelaskan
pelanggaran yang dapat diperbaiki sebagai pelanggaran yang tidak dapat diperbaiki
….. (157) yang menjelaskan pelanggaran yang tidak dapat diperbaiki sebagai
pelanggaran yang dapat diperbaiki ….. (158) yang menjelaskan pelanggaran dengan
penebusan sebagai pelanggaran tanpa penebusan ….. (159) yang menjelaskan
pelanggaran tanpa penebusan sebagai pelanggaran dengan penebusan, (para Bhikkhu
tersebut) sedang bertindak demi bahaya banyak orang, ketidak-bahagiaan banyak
orang, demi kehancuran, bahaya, dan penderitaan banyak orang, para deva dan
manusia. Para bhikkhu ini menghasilkan banyak keburukan dan menyebabkan
Dhamma sejati ini menjadi lenyap.‛

Di bawah ini, diuraikan kekeliruan-representasi/fitnah yang mungkin beredar dan


didengar oleh komunitas Buddhis mengenai emas dan perak.

1. FAKTA PERTAMA : Fitnah kepada Buddha kondusif sedang terjadi saat


seseorang menyebutkan ‚Emas dan Perak‛ adalah ‚Uang‛ di zaman Buddha.

Mereka yang membabarkan wacana dengan mengatakan: ‚Pada zaman Buddha, emas
dan perak digunakan sebagai satu-satunya alat pembayaran karena belum ada bentuk uang
lain. Pada zaman modern, untuk alasan praktis, manusia modern menggunakan uang kertas
dimana sebenarnya di belakang juga dibacking oleh emas.‛

Namun, terjadi sebuah fakta bahwa dari petunjuk yang diberikan oleh sutta ini, yaitu:
di AN.10.24 Mahacundasutta, bahwa ada 4 alat pembayaran yang sah di zaman
Buddha, yaitu :

1. Dhanaṃ (Uang)

2. Dhaññaṃ (Beras)

3. Rajataṃ (Perak)

4. Jātarūpaṃ (Emas).

(Mari hapal bahasa palinya di atas karena berguna dalam pembahasan di bawah)
Mari kita lihat bersama cuplikan asli sutta AN.10.24 dan simak yang huruf tebalnya :

"Seyyathāpi, āvuso, puriso daliddova samāno aḍḍhavādaṃ vadeyya, adhanova samāno


dhanavāvādaṃ vadeyya, abhogova samāno bhogavāvādaṃ vadeyya. So kismiñcideva
dhanakaraṇīye samuppanne na sakkuṇeyya upanīhātuṃdhanaṃ vā dhaññaṃ
vārajataṃ vā jātarūpaṃ vā. Tamenaṃ evaṃ jāneyyuṃ: ‘daliddova ayamāyasmā
samāno aḍḍhavādaṃ vadeti, adhanova ayamāyasmā samāno dhanavāvādaṃ vadeti,
abhogavāva ayamāyasmā samāno bhogavāvādaṃ vadeti.

Terjemahan dari Sutta aslinya:

" ...... seorang yang miskin, papa, dan kekurangan mengaku sebagai seorang yang kaya,
makmur, dan memiliki banyak harta. Jika, ketika ia ingin membeli sesuatu, ia tidak
mampu membayar dengan uang, beras, perak, atau emas, maka mereka akan
mengenalnya sebagai seorang yang miskin, papa, dan kekurangan yang mengaku
sebagai seorang yang kaya, makmur, dan memiliki banyak harta.

Jelas bahwa ada empat istilah Pali untuk empat alat pembayaran yang sah dan lazim di
zaman Buddha, yaitu: uang, beras, perak, atau emas. Lantas, mengapa seseorang tetap
mengatakan bahwa hanya emas dan perak satu-satunya alat pembayaran yang sah?
Bukankah kondusif memfitnah Buddha bila tetap mempertahankan wacana yang keliru
tersebut?

2. FAKTA KEDUA : "Seseorang menambah atau bahkan mengganti terjemahan


asli Sutta SN 42.10 Maniculakasutta" sehingga makna sutta ini sudah menyimpang dari
sebenarnya.‚

Mari kita lihat sutta aslinya dahulu, yang sebelum melihat kemungkinan menemukan
sutta editan.
Pesan yang disampaikan oleh Sang Buddha di sutta SN 42.10 Maniculakasutta adalah
bahwa seorang pertapa seharusnya tidak menyenangi emas dan perak dan tidak
mencari emas dan perak dan menghindari pemakaian emas dan perak, melepas
permata dan emas.

Lalu mengapa lantas seseorang menganggap yang disebut Buddha adalah uang ?
Padahal dengan jelas di sutta berbahasa Pali ini, Sang Buddha menggunakan istilah Pali
‛ jātarūpa- rajata (emas perak) “ , bukan Dhanaṃ (uang).

Emas dan perak sangat berharga di zaman Buddha, di zaman dahulu juga demikian
berharganya dan juga di zaman sekarang masih berharga. Emas dan perak belum
punah pada zaman sekarang dan tetap memiliki pesona. Orang kaya menikmati
statusnya adalah dengan memakai dan memiliki perhiasan emas dan perak, permata
dan emas. Banyak kisah manusia menjadi kaya dalam pencarian dan perburuan
menemukan tambang emas di zaman-zaman dahulu.

Sang Buddha bahkan sebenarnya tidak pernah melarang umat berdana emas dan
perak. Pertanyaannya, ada yang rela mengikis kekikiran dengan berdana emas dan
perak? Dana yang satu ini, berdana emas perak , adalah kegiatan paling sukar
dilakukan karena nilainya sangat tinggi. Buddha menganjurkan kebiasaan berdana
untuk mengikis noda kekikiran sebab itu Buddha tidak mungkin melarang dan
menempatkan dana emas dan perak seakan-akan berdana emas dan perak adalah
perbuatan rendah. Sebab itu, Buddha tetap memperbolehkan penerimaan emas dan
perak oleh pertapa melalui perantara Kappiya, yaitu orang yang membantu Bhikkhu
menyimpan emas dan perak. Penggunaan kappiya untuk menyimpan emas dan
perak akan membantu Bhikkhu sekaligus mencegah Bhikkhu memakai perhiasan
emas dan perak karena pertapa yang memakai perhiasan permata dan emas tidak
memiliki karakter seorang pertapa, sehingga Buddha mencegah pemakaian emas dan
perak, sehingga Bhikkhu bisa melepas permata dan emas, tidak memakainya demi
kenikmatan indria. Jika Bhikkhu menerima emas dan perak tanpa kappiya maka
terjadi pelanggaran namun pelanggaran tersebut tidak ada hubungan dengan status
gugurnya kebhikkhuan. Bhikkhu bisa melepas kepemilikan emas dan perak untuk
kemurnian vinaya atau penggunaannya untuk Dhamma.
Cuplikan asli SN 42.10 Maniculakasutta dan simak yang huruf tebalnya:

‚Taggha tvaṃ, gāmaṇi, evaṃ byākaramāno vuttavādī ceva me hosi, na ca maṃ


abhūtena abbhācikkhasi, dhammassa cānudhammaṃ byākarosi, na ca koci
sahadhammiko vādānuvādo gārayhaṃṭhānaṃ āgacchati. Na hi, gāmaṇi, kappati
samaṇānaṃ sakya¬put¬ti¬yā¬naṃjāta¬rūpa¬rajataṃ, na sādiyanti samaṇā sakyaputtiyā
jāta-rūpa¬rajataṃ, ¬nappa¬ṭig¬gaṇhanti samaṇā sakyaputtiyā jāta¬rūpa¬rajataṃ,
¬nikkhit¬ta¬maṇi-suvaṇṇā samaṇā sakyaputtiyā apeta¬jāta¬rūpa¬rajatā. Yassa kho,
gāmaṇi, jāta¬rūpa¬rajataṃ kappati, pañcapi tassa kāmaguṇā kappanti. Yassa pañca
kāmaguṇā kappanti (), ekaṃsenetaṃ, gāmaṇi, dhāreyyāsi assamaṇadhammo
asakya¬put¬ti¬ya¬dham¬moti. Api cāhaṃ, gāmaṇi, evaṃ vadāmi—tiṇaṃ tiṇatthikena
pariyesitabbaṃ, dāru dārutthikena pariyesitabbaṃ, sakaṭaṃ sakaṭatthikena
pariyesitabbaṃ, puriso purisatthikena pariyesitabbo. Na tvevāhaṃ, gāmaṇi, kenaci
pariyāyena ‘jāta¬rūpa-rajataṃ sāditabbaṃ pariyesitabban’ti vadāmī‛ti.

jāta¬rūpa-rajataṃ = emas dan perak.

Terjemahan asli suttanya:

‚Tentu saja, kepala desa, ketika engkau menjawab demikian, engkau menyatakan apa
yang telah Kukatakan dan tidak salah menafsirkanKu dengan apa yang berlawanan
dengan fakta; engkau menjelaskan sesuai dengan Dhamma, dan tidak ada konsekuensi
logis dari pernyataanmu yang dapat menjadi landasan bagi kritikan. Karena, kepala
desa, emas dan perak tidak diperbolehkan bagi para petapa pengikut putra Sakya; para
petapa pengikut putra Sakya tidak menyetujui emas dan perak; para petapa pengikut
putra Sakya tidak menerima emas dan perak. MEREKA TELAH MELEPASKAN
PERMATA DAN EMAS; MEREKA TELAH MENINGGALKAN PEMAKAIAN
EMAS DAN PERAK. Jika emas dan perak diperbolehkan bagi siapa saja, maka lima
utas kenikmatan indria juga diperbolehkan baginya. Jika lima utas kenikmatan indria
diperbolehkan bagi siapa saja, maka engkau dapat memastikannya sebagai seorang
yang tidak memiliki karakter seorang petapa atau pengikut putra Sakya.

‚Lebih jauh lagi, kepala desa, Aku katakan ini: ‘Jerami boleh dicari oleh seseorang yang
memerlukan jerami; kayu boleh dicari oleh seseorang yang memerlukan kayu; sebuah
kereta boleh dicari oleh seseorang yang memerlukan kereta; seorang pekerja boleh
dicari oleh seseorang yang memerlukan pekerja.’ Tetapi Aku tidak mengatakan bahwa
ada alasan yang dengannya, emas dan perak dibenarkan atau dicari.‛

…………….

Lihat yang digaris bawah dan huruf besar di atas. Itu angat membantu menjelaskan
inti sutta yang mau disampaikan Buddha, yaitu pemakaian perhiasan emas dan
permata, perhiasan emas perak, perhiasan logam mulia.

Sungguh disayangkan, yang terjadi adalah pemaksaan dan penggantian istilah, atau
fitnah, atau kekeliruan penafsiran dimana seseorang merubah semua kata ‚emas dan
perak‛ dan menggantikannya dengan kata ‚uang‛. Padahal, bahasa pali " Dhanaṃ "
yang artinya "uang" tidak ditemukan di sutta ini. Terjemahan sutta versi lain yang
telah beredar dengan memaksa menambah tanda kurung ‚(uang)‛ dibelakang ‚emas
dan perak (uang)‛, padahal sutta asli palinya adalah jāta-rūpa¬rajataṃ yaitu emas dan
perak yang tidak ada hubungannya dengan bahasa pali Dhanaṃ untuk uang.

Coba cek sutta ini dalam bahasa Palinya, dalam huruf tebal, yang disebut adalah jāta-
rūpa¬rajataṃ, yang artinya adalah yaitu ‚emas dan perak‛, lalu apa yang terjadi bila
kemudian ada seseorang mengganti semua terjemahan asli dari "emas dan perak "
menjadi "uang" ? .

‚Tentu saja, kepala desa, ketika engkau menjawab demikian, engkau menyatakan apa
yang telah Kukatakan dan tidak salah menafsirkanKu dengan apa yang berlawanan
dengan fakta; engkau menjelaskan sesuai dengan Dhamma, dan tidak ada konsekuensi
logis dari pernyataanmu yang dapat menjadi landasan bagi kritikan. Karena, kepala
desa, emas dan perak (uang) tidak diperbolehkan bagi para petapa pengikut putra
Sakya; para petapa pengikut putra Sakya tidak menyetujui emas dan perak (uang) ;
para petapa pengikut putra Sakya tidak menerima emas dan perak (uang). Mereka
telah melepaskan permata dan emas (uang); mereka telah meninggalkan pemakaian
emas dan perak (uang). Jika emas dan perak (uang) diperbolehkan bagi siapa saja,
maka lima utas kenikmatan indria juga diperbolehkan baginya. Jika lima utas
kenikmatan indria diperbolehkan bagi siapa saja, maka engkau dapat memastikannya
sebagai seorang yang tidak memiliki karakter seorang petapa atau pengikut putra
Sakya.

Pembaca digiring untuk memahami emas dan perak adalah uang. Padahal jika dibaca
kosa kata sutta aslinya, sudah lari dari makna yang telah disampaikan yaitu melepas
pemakaian perhiasan emas dan perak, sbb:

‚putra Sakya tidak menerima emas dan perak. Mereka telah melepaskan permata dan
emas; mereka telah meninggalkan pemakaian emas dan perak.‛

3. FAKTA KETIGA: "Mengganti terjemahan asli Sutta AN. 42.10"

Mari kita lihat sutta aslinya dahulu, yang sebelum melihat kemungkinan menemukan
sutta editan.

Mengingat kembali sutta AN.10.24 Mahacundasutta bahwa alat pembayaran di zaman


Buddha ada empat yaitu :

1. Dhanaṃ (Uang)

2. Dhaññaṃ (Beras)

3. Rajataṃ (Perak)
4. Jātarūpaṃ (Emas).

Maka seseorang yang memiliki mata-pencaharian akan menerima salah-satu dari alat
bayar tersebut, bisa berupa dhanaṃ (uang), dhaññaṃ (beras) ,rajataṃ (perak),
Jātarūpaṃ (emas).

Suatu kisah di paccitiya 8 menjelaskan mengenai diskusi sekelompok Bhikkhu yang


kesulitan mengumpulkan derma makanan di daerah Vajji yang sedang mengalami
paceklik berkepanjangan. Beberapa Bhikkhu mengusulkan untuk mencari pekerjaan
sementara atau bekerja sebagai pembawa pesan sehingga perumah-tangga bisa
memberikan imbalan kepada mereka atas pekerjaan sehingga para Bhikkhu di Vajji bisa
melewati masa paceklik dengan nyaman.

Di zaman Buddha , adalah lumrah bila ditemukan seorang Brahmana yang bekerja
dengan mata-pencaharian tertentu dan tentunya bisa menerima pembayaran sesuai
alat bayar yaitu bisa berupa dhanaṃ (uang), dhaññaṃ (beras) , rajataṃ (perak),
Jātarūpaṃ (emas) untuk mempertahankan hidup.

Mari kembali simak cuplikan asli Suttanya AN. 42.10 yang menjadi topic ini:

Evamevaṃ kho, bhikkhave, cattārome samaṇab¬rāhma¬ṇā¬naṃ upakkilesā, yehi


upakkilesehi upakkiliṭṭhā eke samaṇabrāhmaṇā na tapanti na bhāsanti na virocanti.
Katame cattāro?

(1) Santi, bhikkhave, eke samaṇabrāhmaṇā suraṃ pivanti merayaṃ,


surāmerayapānā appaṭiviratā. Ayaṃ, bhikkhave, paṭhamo samaṇab¬rāhma¬ṇā¬naṃ
upakkileso, yena upakkilesena upakkiliṭṭhā eke samaṇabrāhmaṇā na tapanti na
bhāsanti na virocanti.

(2) Santi, bhikkhave, eke samaṇabrāhmaṇā methunaṃ dhammaṃ paṭisevanti,


methunasmā dhammā appaṭiviratā. Ayaṃ, bhikkhave, dutiyo samaṇab¬rāhma¬ṇā-naṃ
upakkileso, yena upakkilesena upakkiliṭṭhā eke samaṇabrāhmaṇā na tapanti na
bhāsanti na virocanti.

(3) Santi, bhikkhave, eke samaṇabrāhmaṇā jāta¬rūpa¬rajataṃ sādiyanti,


jāta¬rūpa¬rajata-paṭig¬gahaṇā appaṭiviratā. Ayaṃ, bhikkhave, tatiyo
samaṇab¬rāhma¬ṇā¬naṃ upakkileso, yena upakkilesena upakkiliṭṭhā eke
samaṇabrāhmaṇā na tapanti na bhāsanti na virocanti.

(4) Santi, bhikkhave, eke samaṇabrāhmaṇā micchājīvena jīvanti, micchājīvā


appaṭiviratā. Ayaṃ, bhikkhave, catuttho samaṇab¬rāhma¬ṇā¬naṃ upakkileso, yena
upakkilesena upakkiliṭṭhā eke samaṇabrāhmaṇā na tapanti na bhāsanti na virocanti.
Ime kho, bhikkhave, cattāro samaṇab¬rāhma¬ṇā¬naṃ upakkilesā, yehi upakkilesehi
upakkiliṭṭhā eke samaṇabrāhmaṇā na tapanti na bhāsanti na virocantīti.

Terjemahan asli Suttanya:

‚Demikian pula, para bhikkhu, ada empat kekotoran dari para petapa dan brahmana
yang karenanya beberapa petapa dan brahmana tidak bercahaya, menyala, dan
bersinar. Apakah empat ini?

(1) ‚Ada beberapa petapa dan brahmana yang meminum minuman keras dan anggur
dan tidak menghindari meminum minuman keras dan anggur. Ini adalah kekotoran
pertama dari para petapa dan brahmana yang karenanya beberapa petapa dan
brahmana tidak bercahaya, menyala, dan bersinar.

(2) ‚Ada beberapa petapa dan brahmana yang menikmati hubungan seksual dan tidak
menghindari hubungan seksual. Ini adalah kekotoran ke dua dari para petapa dan
brahmana yang karenanya beberapa petapa dan brahmana tidak bercahaya, menyala,
dan bersinar.

(3) ‚Ada beberapa petapa dan brahmana yang menerima emas dan perak dan tidak
menghindari menerima emas dan perak. Ini adalah kekotoran ke tiga dari para petapa
dan brahmana yang karenanya beberapa petapa dan brahmana tidak bercahaya,
menyala, dan bersinar.

(4) ‚Ada beberapa petapa dan brahmana yang mempertahankan penghidupan mereka
melalui penghidupan salah dan tidak menghindari penghidupan salah. Ini adalah
kekotoran ke empat dari para petapa dan brahmana yang karenanya beberapa petapa
dan brahmana tidak bercahaya, menyala, dan bersinar. ‚

‚Ini adalah keempat kekotoran dari para petapa dan brahmana itu yang karenanya
beberapa petapa dan brahmana tidak bercahaya, menyala, dan bersinar.‛

Jadi, sutta ini menjelaskan ada 4 hal yang membuat brahmana tetap bercahaya, dan
bersinar seperti matahari dan bulan yaitu :

1. Tidak minum minuman-keras.

2. Tidak menikmati hubungan seksual.

3. Tidak menerima emas dan perak.

4. Tidak mempertahankan hidup dengan mata-pencaharian yang salah dan


menghindari mata-pencaharian yang salah.

Coba cek sutta ini dalam bahasa Palinya, dalam huruf tebal, dan yang disebutkan
adalah jāta-rūpa¬rajataṃ , yang artinya adalah ‚emas dan perak‛, lalu apa yang
terjadi bila kemudian bila seseorang kembali lagi menambah kata "uang" dibelakang
‚emas dan perak‛ ?

Maknanya berubah drastis menjadi demikian:

Ada 4 hal yang akan membuat pertapa tetap cahaya, dan bersinar seperti matahari dan
bulan yaitu :

1. Tidak minum minuman-keras.

2. Tidak menikmati hubungan seksual.

3. Tidak menerima emas dan perak (uang).


4. Tidak mempertahankan hidup dengan Mata-Pencaharian yang salah dan tidak
menghindari mata-Pencaharian yang salah.

Apakah terlihat kejanggalan olehmu setelah emas dan perak disematkan menjadi
uang? Tentu ada kejanggalan. Begini, mari lihat butir-4, lalu renungkan demikian
bahwa : ‚Semua mata pencaharian apapun, salah atau benar, mestinya menerima uang
sebagai bayaran. Benar khan?” Jika demikian, mestinya butir-4 seharusnya sudah tidak
usah disebutkan, cukup disebutkan sampai butir 3. Jadi, butir-4 boleh dihapus karena
kalau sudah tidak menerima uang, buat apa Sang Buddha menyinggung adanya mata-
pencaharian lagi? Sudah paham, bukan?

Jika sebuah perbuatan yang dilarang, katakanlah meramal, maka Buddha akan
menyebutkan di butir-4 : ‚Tidak melakukan perbuatan meramal.‛ . Namun di sutta
tersebut, yang dijelaskan oleh Buddha adalah ‚ tidak mempertahankan hidup dengan
mata-pencaharian yang salah‛, bukan mengarah kepada perbuatan yang salah, namun
menekankan mata-pencaharian.

Karena faktanya bahwa yang dimaksudkan Buddha adalah benar-benar emas dan
perak (jāta¬rūpa¬rajataṃ) bukanlah uang (dhanaṃ), maka butir-4 tetap perlu
disebutkan sehingga butir ke-3 adalah murni maknanya adalah emas dan perak tanpa
embel-embel uang di belakangnya untuk menunjukkan seorang brahmana yang
memiliki penghidupan yang benar masih bisa bercahaya dan cemerlang dengan
menghindari emas dan perak, dengan menghindari menerima emas dan perak,
Brahmana akan menghindari pemakaian (perhiasan) emas dan perak.

Sebab itu, originalitas sutta tetap terjaga dalam konteks ‚jāta¬rūpa¬rajataṃ‛ yaitu
emas dan perak, dan masih masuk akal bahwa seorang Brahmana yang menerima
uang (dhanaṃ) dalam mata pencaharian yang benar , harus menolak emas dan perak
(jāta¬rūpa¬rajataṃ) dalam arti agar menghindari pemakaian perhiasan emas dan
perak.
Sekedar mengingatkan kembali cuplikan SN 42.10 di atas bahwa ‚putra Sakya tidak
menerima emas dan perak. Mereka telah melepaskan permata dan emas; mereka
telah meninggalkan pemakaian emas dan perak.‛

Jadi saling mendukung satu sama lain sutta-sutta yang ada.

4. FAKTA KEEMPAT : Fitnah terjadi dengan "Menggantikan Judul dan Terjemahan


Vinaya."

Sebuah situs dalam suatu komunitas Buddhis Theravada telah melakukan hal tersebut.

Mari kita lihat aslinya dahulu, yang sebelum diganti.

PATTIMOKKHA NISSAGIYA PACCITTIYA 18 .

Cuplikan asli Judul Patimokkha Vinaya:

Rūpiya¬-sikkhā¬pada

Apa itu Rupiya? Mari lihat Kamus Pali-Inggris:

Rūpiya (nt.) *cp. Sk. rūpiya, lit. of splendid appearance (penampilan cemerlang), cp.
name for gold jātarūpa+ silver (Nama untuk emas dan perak) Vin iii.239.

Jadi Rupiya adalah nama untuk emas dan perak.

Sikkhapada adalah artinya peraturan latihan.

Terjemahan asli Judul Vinaya seharusnya:

"Peraturan Latihan Tentang Emas dan Perak."


Namun, yang beredar disebuah situs komunitas Theravada adalah ‚Peraturan Latihan
Tentang Uang‛.

Latar belakang dirumuskannya peraturan "Peraturan Latihan Tentang Emas dan


Perak" nissagiya paccitiya 18 oleh Sang Buddha adalah intinya untuk mencegah
Bhikkhu berprilaku seperti Bhikkhu Upananda, yaitu meminta dana, bukan melarang
menyentuh/menerima uang.

Mari kita sibak latar belakangnya. Berawal dari seorang Bhikkhu bernama Upananda.
Ia sudah punya seorang pendana makan siang secara teratur. Pendana itu sering
menyisihkan makanan untuknya dari apa yang mereka makan. Suatu pagi hari,
anaknya menangis dan meminta jatah daging yg disisihkan untuk Bhikkhu Upananda
dan ayahnya terpaksa memberikan daging tersebut. Lalu, siangnya, Bhikkhu
Upananda datang berkunjung untuk menerima makanannya.

Si pendana menceritakan kejadiannya bahwa jatahnya sudah diberikan kepada


anaknya yg menangis lalu bertanya apa yg bisa dibelikan kepada Bhikkhu Upananda
dengan menggunakan satu kahapana emas. Bhikkhu Upananda bertanya apakah
kahapana emas itu diberikan untuknya. Pendana makanan mengiyakan dan
memberikan kahapana emas tersebut untuk Bhikkhu Upananda.

Setelah Bhikkhu Upananda berlalu, Pendana mengeluh bahwa Bhikkhu Upananda


bersikap layaknya perumah-tangga dengan menyenangi emas, begitulah sikap pertapa
suku Sakya bernama Upananda dengan menerima emas. Omelan itu sampai di telinga
Sang Buddha dan Sang Buddha menegur Bhikkhu Upananda dan menetapkan
peraturan latihan sbb :

"Apabila seorang bhikkhu menerima, atau menyebabkan diterimanya, atau merasa


senang dengan emas dan perak yang disimpan untuknya, maka ia melanggar
peraturan nissagiya pacittiya
Cuplikan asli peraturan vinaya yang dirumuskan:

‚Yo pana bhikkhujātarūparajataṃ uggaṇheyya vā uggaṇhāpeyya vā upanikkhittaṃ vā


sādiyeyya, nissaggiyaṃ pācittiyan‛ti."

jātarūparajataṃ = emas dan perak

Coba lihat pada latar belakang kisah, muncul istilah Kahapana. Disini, banyak yang
menerjemahkan sebagai koin atau uang. Sehingga judul asli : "Peraturan Latihan
Tentang emas dan perak" diganti menjadi "Peraturan Latihan Tentang Uang "

Kahapana menurut The Pali Text Society dan Concise Pali-English Dictionary ada yang
terbuat dari tembaga yg berbentuk persegi dan ada yang terbuat dari perak dan emas
berbentuk bulat seperti koin besar.

Jikalau Sang Buddha melarang uang, diasumsikan dahulu demikian, maka Sang
Buddha seharusnya menetapkan peraturan dengan menggunakan kata pali ‚dhanaṃ”
(uang) sebagai dasar perumusannya, bukan jātarūparajataṃ (emas dan perak). Jika
yang dimaksud Buddha adalah melarang semua peneriman uang (dhanaṃ), baik
kahapana tembaga, emas (jatarupa) dan perak (rajāta) , maka bunyi peraturannya
seharuslah menjadi:

‚Yo pana bhikkhu dhanaṃuggaṇheyya vā uggaṇhāpeyya vā upanikkhittaṃ vā


sādiyeyya, nissaggiyaṃ pācittiyan‛ti."

Bukankah demikian lebih pas menggambarkan maksudNya? Namun tidak demikian,


bukan? Buddha menyebutnya jātarūparajataṃ. Silakan lihat patimokkha tersebut, cek
bahasa Palinya.
‚Yo pana bhikkhu jātarūparajataṃ uggaṇheyya vā uggaṇhāpeyya vā upanikkhittaṃ vā
sādiyeyya, nissaggiyaṃ pācittiyan‛ti."

Menurut penulis, Buddha memiliki penglihatan yang lebih jauh kedepan. Uang sangat
dibutuhkan untuk pengembangan Buddha Sasana dan aliran uang juga sangat
dibutuhkan untuk para Bhikkhu baik yang tidak bergabung dengan suatu Sangha,
aliran uang juga sangat dibutuhkan untuk Bhikkhu pengembara yang menuntut ilmu
di Perguruan Tinggi Buddhis, atau sedang diutus belajar di Perguruan Tinggi Buddhis
di luar negeri.

Selan itu, emas dan perak bisa ditempa menjadi perhiasan, gelang dan cincin sehingga
berperan dalam keputusan Buddha untuk merumuskan peraturan. Bhikkhu mulia
maupun bhikkhu jahat, keduanya terlihat menggelikan bila memakai perhiasan “emas
dan perak” (jātarūparajataṃ) sehingga penyimpanannya ditentukan melalui kappiya
dan itu pun kalau bila ada yang rela berdana emas dan perak. Sedangkan uang
(dhanaṃ) tidak mungkin dijadikan perhiasan. Uang (dhanaṃ) diizinkan disimpan atas
nama Bhikkhu. Bhikkhu yang baik tetaplah Bhikkhu yang baik dengan atau tanpa
menyimpan uang. Dengan menyimpan sementara uang (dhanaṃ) dan
melepaskannya suatu hari untuk kepentingan kemanusiaan atau Dhamma atau
kegiatan berguna seperti pendidikan.

Latar belakang kisah tidaklah elok bila dijadikan pedoman untuk merubah ujaran asli
Buddha. Kata-kata asli Buddha jātarūparajataṃ (emas perak) tidak boleh sama sekali
dirubah menjadi dhanaṃ , tidak boleh juga menambahnya dibelakang. Contoh, untuk
memaksakan penafsiran berdasarkan latar belakang kisah, ada yang selalu menulis
demikian: emas perak (uang). Jika demikian, yang melakukan tidaklah etis karena baik
emas perak dan uang, keduanya memiliki istilah masing-masing yaitu jātarūparajataṃ
dan dhanaṃ.
BAB – 2

TINJAUAN UANG DARI SISI NIAT DAN ASPEK PELAKU PEMEGANG UANG

Di atas, sudah dijelaskan bahwa uang (dhanaṃ ) bukanlah emas dan perak
(jātarūparajataṃ). Lalu bila masih ada yang mengatakan bahwa walaupun yang
dirumuskan di vinaya bukanlah uang, namun uang dianggapnya adalah sumber utama
‚kemerosotan moral Bhikkhu‛. Pernyataannya adalah pernyataan yang keliru karena
tidak meninjau aspek niat pelaku dan menempatkan uang sama rata dengan minuman
keras.

Uang bukan hal yang memabukan seperti minuman keras yang memabukan. Minuman
keras menyebabkan lengahnya kesadaran. Jika uang adalah hal yang memabukan
seperti arak, maka siapapun yang tersentuh uang tentu sudah pasti lengah dan menjadi
mabuk dan pasti 100% menyalahgunakan penggunaannya. Buktinya, hal itu tidak
terjadi pada para perumah-tangga, bahwa semua perumah-tangga menjadi perumah-
tangga jahat karena menyimpan uang. Bahkan perumah-tangga dipastikan bisa
mencapai tingkat-tingkat kesucian tanpa meninggalkan hidup sebagai perumah-tangga
dalam ajaran Buddhisme.

Seorang umat-perumah tangga yang memegang uang, ada dua kemungkinan yang
terjadi yaitu pertama, ada yang memanfaatkannya untuk hal-hal yang melanggar sila
seperti ke tempat pelacuran dan mabuk-mabukan, dan kedua, ada yang tidak
memanfaatkannya untuk hal-hal tersebut. Ada yang menggunakan uang untuk
menyokong kehidupannya perumah-tangga dengan baik, dengan menjalankan 5 sila,
mengikuti retreat meditasi vipassana, dan akhirnya bisa merealiasikan kesucian. Jadi,
uang bukan alat yang memabukkan sehingga umat-perumah tangga yang menjalankan
5 sila pun bisa menjadi salah satu dari 8 pasang makhluk suci (Ariya Puggala).
Begitu pula Bhikkhu. Bila Bhikkhu menyimpan dana uang sendiri dan
menyalahgunakan dengan berhubungan seksual, maka ia melanggar parajika dan telah
kalah dan lepas jubah. Jika ia menggunakan uang (dhanaṃ ) dengan membeli emas-
perak (jātarūparajataṃ ) atau memakai perhiasan emas-perak (jātarūparajataṃ ) atau
menyimpan emas perak (jātarūparajataṃ ) tersebut, maka ia baru disebut melanggar
peraturan Nissagiya Paccitiya tentang emas dan perak , namun tidak gugur
kebhikkhuannya karena termasuk peraturan kecil, dan mestinya ia sudah
merencanakan untuk melepas kepemilikan atas emas perak (jātarūparajataṃ ). Jika
Bhikkhu terlihat selalu memakai perhiasan emas dan perak dan walaupun telah pernah
ditegur, ia masih terus memakai emas dan perak, maka ia disebut melakukan peraturan
Sanghadisesa, yaitu peraturan yang memerlukan sidang Sangha karena bersikap
menjijikan layaknya perumahtangga bila berprilaku terus-menerus memakai perhiasan
emas perak.

Karena tinjauan dan ulasan terdahulu di atas bahwa emas perak (jātarūparajataṃ )
adalah yang diatur dalam patimokkha vinaya maka uang (dhanaṃ) boleh disimpan
oleh Bhikkhu tanpa menggunakan kappiy dan bisa langsung menggunakan uang bila
ada keperluan. Sama sekali tidak ada pelanggaran atas tindakan menyimpan uang.
Hanya bila terjadi penyalahgunaan penggunaan uangnya, salah satu contoh misalnya
membeli arak, maka Bhikkhu akan diselidiki Sangha yang bersangkutan bagaimana
dan dimana letak pelanggaran bermabuk-mabukan itu terletak di Vinaya. Jadi, vinaya
tidak mengatur mengenai harusnya seorang Bhikkhi diputus aliran dana uang, namun
vinaya secara lengkap mengatur segala jenis pelanggaran. Contoh: Apakah Bhikkhu
berhubungan seks? Apakah Bhikkhu menyetir mobil sendiri sehingga rentan
membunuh manusia saat tabrakan? Apakah Bhikkhu bermabukan, berpacaran, doyan
menonton Bioskop seperti umat lain ? Apakah ia menggunakan uang untuk hal-hal
yang melanggar patimokkha vinaya. Lengkap semua jenis 227 pelanggaran dari minor,
kecil, utama, dan berat di Vinaya Pitaka. Di sana letak seni seorang Bhikkhu melatih
diri, menjadikan vinaya sebagai gurunya.

Di zaman manapun, bahkan di zaman Sang Buddha terdapat Bhikkhu baik dan
Bhikkhu jahat. Demikian juga zaman sekarang, ada Bhikkhu baik dan ada Bhikkhu
jahat. Adalah keliru bila mengatakan bahwa sumber kemerosotan moral Bhikkhu
adalah karena menyimpan uang sendiri sehingga menganggap aliran seharusnya
dihentikan untuknya. Di berbagai perguruan tinggi di Negara-negara Buddhis, banyak
samanera atau Bhikkhu pengembara yang sedang menuntut ilmu agama Buddha dan
akan terkena dampak yang sama sekali seharusnya tidak terjadi untuk hal-hal yang
sama sekali tidak melanggar vinaya.

Bhikkhu baik tetaplah Bhikkhu yang baik, dengan atau tanpa menyimpan uang.
Seorang Bhikkhu tetaplah Bhikkhu bila menyimpan sendiri dana uang umat
kepadanya. Sebagian komunitas menghasut umat untuk tidak berdana uang langsung
kepada Bhikkhu, padahal patimokkha vinaya tidak melarang sama sekali. Menghasut
demikian adalah pelanggaran kemurnian sila pelaku, baik yang menghasut itu Bhikkhu
maupun umat, karena memang tidak ada patimokkha vinaya yang dilanggar. Mereka
yang menghasut memaksa persepsi sendiri dan memfitnah Buddha. Sudah dibahas di
atas bahwa perumusan patimokkha vinaya menyebut ‚emas perak‛ , bukan ‚uang‚

Vinaya pitaka memuat peraturan latihan, bukan memuat peraturan ‚haram‛ ‚halal‛.
Jangan menjadikan vinaya pitaka menjadi peraturan ‚haram‛‛halal‛ karena vinaya
pitaka khususnya patimokkha sila mengelompokkan pelanggaran dengan berbagai
kualitasnya, dari pelanggaran tak terampunkan, besar, kecil sampai peraturan minor.

Karena Dhamma dan Vinaya adalah salah satu guru Bhikkhu maka Bhikkhu perlu jujur
dalam menjalankan kebhikkhuan. Aspek kejujuran menunjukkan keseriusan Bhikkhu
untuk meneruskan latihan.

Dalam Patimokkha, ada empat peraturan latihan dimana pelanggaran terhadapnya


akan mengakibatkan Bhikkhu mesti kembali menjadi umat biasa, bukan Bhikkhu lagi,
atau istilah popular adalah Bhikkhu ‚Lepas Jubah‛

Pelanggaran yang tidak bisa diperbaiki lagi oleh Bhikkhu disebut Peraturan Parajika
yaitu merupakan 4 peraturan berat tak terampuni:

1. Berhubungan seksual
2. Mencuri atau mengambil yang tidak diberikan.

3. Membunuh manusia.

4. Tidak memiliki kemampuan Uttarimanussadhamma namun berbohong


mengatakan memiliki.

Butir 1, 2, 3, 4 memerlukan kejujuran Bhikkhu untuk membuat pengakuan apakah ia


melanggar atau tidak. Jika ia melanggar dan jujur mengakui, maka ia lepas jubah baik-
baik melalui suatu upacara pelepasan kembali Bhikkhu menjadi umat awam. Jika
ketangkap basah, ia dipecat. Jika ia tidak mengakui, maka yang bersangkutan adalah
Bhikkhu jahat dan munafik, yaitu manusia biasa berjubah Bhikkhu.

Terlihat jelas bahwa Vinaya adalah hal yang statis sehingga memerlukan kejujuran
Bhikkhu dalam berlatih. Satu lagi contoh adalah Sanghadisesa 1 : ‚Apabila seorang
bhikkhu mengeluarkan air mani dengan sengaja kecuali dalam mimpi, maka ia melanggar
peraturan sanghadisesa.‛

Ini mengatur larangan sangat keras agar Bhikkhu tidak melakukan kegiatan seks
masturbasi, yaitu kegiatan seks mengeluarkan sperma sendiri tanpa bantuan
perempuan dalam keadaan sadar di suatu tempat yang tidak diketahui orang lain.Jika
melakukan sendiri, maka yang bersangkutan jelas melakukan pelanggaran berat.

Jika yang bersangkutan adalah Bhikkhu yang baik dan ia melakukannya karena kalah
terhadap nafsu birahi, maka ia akan mengaku ke gurunya dan ia bakal disidang
dihadapan 20 Bhikkhu menurut sifat peraturan Sanghadisesa.

Jika yang bersangkutan adalah Bhikkhu yang buruk, ia tidak akan mengakui dan tidak
ada yang tahu perbuatannya. Bhikkhu demikian adalah Bhikkhu buruk yang tidak
murni pertapaannya. Jadi, semua unsur Vinaya memerlukan kejujuran Bhikkhu untuk
mengakui kesalahan.

Peraturan Nissagiya Paccitiya 18 yang mengatur ‚Latihan atas Emas dan Perak‛
bukanlah pelanggaran berat sehingga ia tetap Bhikkhu jikalaupun ia khilaf
menyalahgunakan uangnya untuk membeli emas-perak, atau arak, atau menonton di
bioskop, atau dsb. Kejujuran dalam berlatih diperlukan untuk pengakuan bila terjadi
pelanggaran penyalahgunaan penggunaan uang, begitu pula dengan hal-hal lain selain
uang.

Jika Bhikkhu melepaskan kepemilikan uang untuk kemajuan Buddha Sasana, maka ia
adalah Bhikkhu yang baik dan uang menyokong niat luhurnya dalam memajukan
Dhamma, atau membantu ayah ibu yang sakit, membantu umat yang keluarganya
mengalami kemalangan, dsb. Tidak mesti seorang Bhikkhu kalau pegang uang pasti
jahat dan tidak mesti kalau tidak pegang uang maka adalah Bhikkhu yang baik.

Ada kisah nyata mengenai seorang Bhikkhu yang bergabung dalam Sangha yang
menetapkan ‚Bhikkhu tidak boleh sentuh uang‛ lalu yang terjadi adalah Bhikkhu
mencuri kotak dana vihara karena tidak tahan lagi dengan kehidupan sebagai
Bhikkhu? Ia mungkin ingin lepas jubah namun tidak ada uang untuk menyokong
kehidupan sebagai perumah-tangga dan ia pun mencuri kotak dana vihara. Setelah
ketahuan ia dipecat.

Lalu ada kisah nyata lain mengenai Bhikkhu dari Sangha yang menetapkan ‚Bhikkhu
boleh memiliki uang yang didanakan kepadanya‛ dimana ia lepas jubah baik-baik
karena tidak betah dengan kehidupan sebagai Bhikkhu dan menggunakan sisa uang
yang didanakan kepadanya untuk melanjutkan kehidupan. Ia lepas jubah baik-baik
dan menjadi seorang Romo dan tetap mengabdi pada Buddha Dhamma.

Lalu ada kejadian lagi di Sumatera dimana suatu komunitas Sangha menggunakan
Kappiya atau umat yang membantu memegang uang dan menjaga uang para Bhikkhu.
Disini, kappiya tersebut membawa kabur uang milyaran rupiah. Jika anda tidak
mempercayai seorang Bhikkhu, bagaiamana anda bisa lebih mempercayai seorang
umat kappiya. Jika di zaman Buddha ada Bhikkhu baik dan juga ada Bhikkhu buruk,
maka di zaman sekarang juga demikian. Tetap ada Bhikkhu baik, Bhikkhu buruk,
Kappiya baik dan Kappiya jahat. Masalahnya adalah, apakah anda tahu sejak awal?
Tidak akan ada yang mengetahui sampai muncul kasus. Umat yang berdana tidak
dilarang Buddha untuk berhenti memberikan sokongan dana kepada Bhikkhu yang
dicurigai menyalahgunakan penggunaan uang yang dimilikinya. Jadi semua
berimbang dalam praktek.

Jika masih saja terjadi propaganda dengan menyebarkannya melalui media social
mengenai ‚Ancaman neraka atau alam rendah‛ bagi pendana dan Bhikkhu penerima
uang, mari ingat kembali sutta ini :

Aṅguttara Nikāya

1.150–1.159.

(150) ‚Para bhikkhu, para bhikkhu itu yang menjelaskan bukan pelanggaran sebagai
pelanggaran ….. yang menjelaskan (151) ‚pelanggaran sebagai bukan pelanggaran …
yang menjelaskan (152) pelanggaran ringan sebagai pelanggaran berat … yang
menjelaskan (153) pelanggaran berat sebagai pelanggaran ringan … yang menjelaskan
(154) pelanggaran kasar sebagai bukan pelanggaran kasar … yang menjelaskan (155)
pelanggaran yang tidak kasar sebagai pelanggaran kasar … yang menjelaskan (156)
pelanggaran yang dapat diperbaiki sebagai pelanggaran yang tidak dapat diperbaiki …
yang menjelaskan (157) pelanggaran yang tidak dapat diperbaiki sebagai pelanggaran
yang dapat diperbaiki … yang menjelaskan (158) pelanggaran dengan penebusan
sebagai pelanggaran tanpa penebusan … yang menjelaskan (159) pelanggaran tanpa
penebusan sebagai pelanggaran dengan penebusan, (para Bhikkhu tersebut) sedang
bertindak demi bahaya banyak orang, ketidak-bahagiaan banyak orang, demi
kehancuran, bahaya, dan penderitaan banyak orang, para deva dan manusia. Para
bhikkhu ini menghasilkan banyak keburukan dan menyebabkan Dhamma sejati ini
menjadi lenyap.‛
Saat seseorang menghasut umat lain untuk meluruskan praktek seorang Bhikkhu, dan
memaksa mesti menurut tafsiran vinaya sendiri yaitu contoh klasik menyematkan
istilah "uang"" sebagai "emas dan perak" dengan menggantikan semua istilah "emas
dan perak" menjadi "uang", mereka sudah memaksa tafsiran mengenai peraturan ini
padahal ada beberapa kenyataan yang mestinya mereka tidak melakukan propaganda
perpecahan umat dan bahkan Bhikkhu. Ini bisa menjurus kepada ‚Akusala Garuka
Kamma‛, yaitu perbuatan kamma terburuk dimana salah satunya adalah berniat buruk
memecahbelah Sangha. Telah diuraikan di bab-bab di atas bahwa emas dan perak
bukan uang, dan uang bukan emas dan perak.

Dari sisi manapun penghasut berada pada posisi yang salah. Mari kita tinjau dari sisi
mereka berpijak. Mari kita coba berdiri di pihak mereka. Bila mereka tetap bersikeras
mengatakan emas perak adalah uang meski sudah dibabarkan istilah Pali untuk
keduanya berbeda dan meski sudah dipaparkan bahwa istilah Pali yang digunakan
Buddha adalah emas dan perak, namun mereka tetap bersikeras mengatakan emas
perak adalah uang, maka ada beberapa kenyataan yang perlu mereka ketahui:

1. Sang Buddha pada saat Maha Parinibbana berpesan bahwa jika Sangha
menghendaki maka peraturan kecil dan minor boleh dihapus. (DN 16).

Hindari penjelasan dengan mengatakan ‚Yang Mulia Ananda lupa bertanya kepada
Buddha yang mana peraturan kecil dan minor.‛, tapi renungkan pertanyaan ini bahwa :
"Mengapa Buddha berpesan dan apa kebijaksanaan penglihatan Buddha saat itu pada
momen-momen penting menjelang wafat agung?"

Buddha mengizinkan suatu peraturan kecil atau minor di hapus karena peraturan
tersebut dicetuskan hanya semata-mata untuk keharmonisan anggota Sangha, tidak ada
hubungan dengan kesucian. Artinya bila peraturan kecil dan minor dihapus ataupun
tidak, jika terjadi pelanggaran setelah peraturan tersebut dihapus, maka pelanggaran
tersebut tetap tidak menyebabkan timbulnya penghalang bagi seseorang untuk
mencapai kesucian.
Bila mereka tetap bersikeras mengatakan emas perak adalah uang padahal bukan,
maka renungkan bahwa:

Apakah pelanggaran memegang uang adalah peraturan kecil? Apakah memegang


uang menghalangi seseorang mencapai kesucian? Jika berhubungan seks maka
perbuatan berhubungan seksual nyata-nyata adalah pelanggaran yang menyebabkan
timbulnya penghalang Bhikkhu dalam mencapai kesucian.

Mari ulangi, bagaimana dengan menyentuh uang, memegang uang dan


menyimpannya atas nama Bhikkhu? Apakah perbuatan jahat? Apakah perbuatan
rendah? Apakah setelah dilakukan pengamatan jernih layaknya seorang meditator
ulung atas serangkaian perbuatan tersebut seperti saat meditasi vipassana, serangkaian
perbuatan dari menyentuh kertas, memegang kertas dan menyimpan kertas, apakah
sudah terjadi perbuatan kamma buruk, perbuatan rendah? Belum bukan. Saya
menggunakan kata kertas karena uang sebenarnya hanyalah selembar kertas biasa yang
bertinta. Saat terjadi penyalahgunaan penggunaan uang, disana baru terjadi kamma
buruk sesuai perbuatan buruk yang dilakukan.

2. Mereka yang masih bersikeras mestinya belum menyadari fakta bahwa 500
sesepuh Bhikkhu yang berkumpul di Rekonsiliasi Sangha I, yang semuanya Arahat
dan memiliki perbedaan mengenai peraturan mana yang disebut peraturan kecil
dan minor.

Para Yang Mulia Arahat memiliki pandangan masing-masing kecuali untuk empat
peraturan Parajika, sedangkan sisa peraturan lainnya, para sepuh berbeda pandangan.

Jika semua peraturan vinaya adalah sejenis layaknya peraturan ‚halal‛ dan ‚haram‛,
tentu 500 Yang Mulia Arahat akan memiliki pandangan yang sama. Karena Vinaya
adalah peraturan latihan, bukan ‚halal‛ ‚haram‛ maka para sesepuh memiliki
perbedaan pandangan mengenai cara melatihnya sebagai peraturan. Sebab itu, berbeda
pandang juga mengenai mana peraturan kecil dan minor yang boleh dihapus.

[Vinaya Pitaka Cullavagga XI].

Berikut kutipan Cullavagga XI:

Kemudian, di hadapan para bhikkhu Arahat sepuh di rekonsiliasi Sangha ke-1, YM


Arahat Ānanda menyampaikan pesan Sang Buddha yaitu setelah beliau wafat, jika
Saṅgha menghendaki, peraturan-peraturan latihan yang kecil dan minor boleh
dihapuskan. Para bhikkhu sepuh bertanya apakah YM Arahat Ananda juga
menanyakan pada Sang Buddha mengenai peraturan-peraturan latihan yang kecil dan
minor mana yang dimaksudkan? YM Arahat Ananda menjawab tidak, dan bertanya
kembali kepada Sangha, mengenai yang mana yang dimaksudkan sebagai peraturan-
peraturan latihan yang kecil dan minor itu? Menanggapi ini, munculah ragam
pendapat di antara para Arahat sepuh:

Beberapa Yang Mulia Arahat berkata: Kecuali 4 pārājikā (telah kalah karena melanggar
kehidupan kesucian), maka selebihnya adalah peraturan-peraturan latihan yang kecil
dan minor

Beberapa Yang Mulia Arahat berkata: Kecuali 4 pārājikā + 13 saṃghādisesa


(pelanggaran yang keputusannya memerlukan sidang resmi Saṅgha), maka selebihnya
adalah peraturan-peraturan latihan yang kecil dan minor

Beberapa Yang Mulia Arahat berkata: Kecuali 4 pārājikā + 13 saṃghādisesa + 2 aniyata


(memerlukan pengakuan bhikkhu/ni apakah Ia melanggar/tidak berduaan dengan
lawan jenis ditempat sunyi/tertutup), maka selebihnya adalah peraturan-peraturan
latihan yang kecil dan minor

Beberapa Yang Mulia Arahat berkata: Beberapa Arahat sesepuh berkata: Kecuali 4
pārājikā + 13 saṃghādisesa + 2 aniyata + 30 nissaggiya pācittiya (pelanggaran perolehan
yang memerlukan pengakuan dan pelepasan benda yang diterimanya), maka
selebihnya adalah peraturan-peraturan latihan yang kecil dan minor
Beberapa Yang Mulia Arahat berkata: Kecuali 4 pārājikā + 13 saṃghādisesa + 2 aniyata +
30 nissaggiya pācittiya + 92 pācittiya (pelanggaran moralitas yang memerlukan
pengakuan), maka selebihnya adalah peraturan-peraturan latihan yang kecil dan minor

Beberapa Yang Mulia Arahat berkata: Beberapa sesepuh berkata: Kecuali 4 pārājikā + 13
saṃghādisesa + 2 aniyata + 30 nissaggiya pācittiya + 92 pācittiya + 4 pāṭidesanīya
(pelanggaran tentang sikap yang harus diketahui dan diakui kesalahannya maka
selebihnya adalah peraturan-peraturan latihan yang kecil dan minor

Kemudian Yang Mulia Arahat Kassapa memberitahukan Saṅgha bahwa terdapat


peraturan-peraturan latihan yang berpengaruh pada para perumah tangga dan juga
pada petapa yang diketahui oleh perumah tangga: ‘Ini pasti tidak diperbolehkan bagi
para petapa, ini pasti diperbolehkan.’ Jika hendak menghapuskan maka akan ada di
antara mereka yang berkata: ‘Sewaktu Sang Guru masih berada bersama mereka,
mereka berlatih dalam peraturan-peraturan itu, namun ketika Sang Guru telah wafat,
mereka tidak lagi berlatih dalam peraturan-peraturan itu"

Untuk itu Saṅgha tidak menetapkan apa yang belum ditetapkan, juga tidak
menghapuskan apa yang telah ditetapkan. Sangha berdiam diri sebagai bentuk
menyetujui.

Sebagai penutup, mari renungkan sabda Buddha paling pemuncak mengenai


perumpamaan Dhamma sebagai Rakit, yaitu rakit Dhamma hanya digunakan untuk
mencapai pantai seberang, bukan untuk dilekati saat tiba di pantai seberang, bukan
pula ditinggalkan sebelum pantai seberang tercapai. Apa yang perlu disampaikan telah
saya sampaikan. Semoga tulisan ini bermanfaat untuk senantiasa menjunjung
persatuan dalam perbedaan komunitas Buddhis.
MN 22 - Bagian :Perumpamaan Rakit

‚Para bhikkhu, Aku akan menunjukkan kepada kalian bagaimana Dhamma itu serupa
dengan rakit, karena berguna untuk menyeberang, bukan untuk dilekati. Dengarkan
dan perhatikanlah pada apa yang akan Aku katakan.‛—‚Baik, Yang Mulia,‛ para
bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

‚Para bhikkhu, misalkan seseorang dalam suatu perjalanannya menjumpai hamparan


air yang luas, yang mana di pantai sebelah sini berbahaya dan menakutkan dan di
pantai seberang aman dan bebas dari ketakutan, tetapi tidak ada perahu
penyeberangan atau jembatan menuju pantai seberang. Kemudian ia berpikir:
‘Hamparan air ini sungguh luas, yang mana di pantai sebelah sini berbahaya dan
menakutkan dan di pantai seberang aman dan bebas dari ketakutan, tetapi tidak ada
perahu penyeberangan atau jembatan menuju pantai seberang. Bagaimana jika aku
mengumpulkan rerumputan, ranting, dahan, dan dedaunan, dan mengikatnya menjadi
satu sehingga menjadi rakit, dan dengan didukung oleh rakit itu dan berusaha dengan
tangan dan kaki, aku dapat dengan selamat menyeberang ke pantai seberang.’ Dan
kemudian orang itu mengumpulkan rerumputan, ranting, dahan, dan dedaunan, dan
mengikatnya menjadi satu sehingga menjadi rakit, dan dengan didukung oleh rakit itu
dan berusaha dengan tangan dan kaki, ia dengan selamat menyeberang ke pantai
seberang. Kemudian, ketika ia telah menyeberang dan telah sampai di pantai seberang,
ia mungkin berpikir sebagai berikut: ‘Rakit ini telah sangat berguna bagiku, karena
dengan didukung oleh rakit ini dan berusaha dengan tangan dan kakiku, aku dapat
dengan selamat menyeberang ke pantai seberang. Bagaimana jika aku mengangkatnya
di atas kepalaku atau memikulnya di bahuku, dan kemudian aku pergi ke manapun
yang kuinginkan.’ Sekarang, para bhikkhu, bagaimana menurut kalian? Dengan
melakukan hal itu, apakah orang itu melakukan apa yang seharusnya dilakukan
dengan rakit itu?‛

‚Tidak, Yang Mulia.‛

‚Dengan melakukan apakah maka orang itu melakukan apa yang seharusnya dilakukan
dengan rakit itu? Di sini, para bhikkhu, ketika orang itu telah menyeberang dan telah
sampai di pantai seberang, ia mungkin berpikir sebagai berikut: ‘Rakit ini telah sangat
berguna bagiku, karena dengan didukung oleh rakit ini dan berupaya dengan tangan
dan kakiku, aku dapat dengan selamat menyeberang ke pantai seberang. Bagaimana
jika aku menariknya ke daratan atau menghanyutkannya di air, dan kemudian aku
pergi kemanapun yang kuinginkan.’ Sekarang, para bhikkhu, adalah dengan
melakukan hal itu maka orang itu melakukan apa yang seharusnya dilakukan dengan
rakit itu. Demikianlah Aku telah menunjukkan kepada kalian bagaimana Dhamma itu
serupa dengan rakit, karena berguna untuk menyeberang, bukan untuk dilekati.

‚Para bhikkhu, ketika kalian mengetahui bahwa Dhamma serupa dengan rakit, maka
kalian bahkan harus meninggalkan ajaran-ajaran, apalagi hal-hal yang berlawanan
dengan ajaran.

Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatha Avera Hontu,


Semoga para makhluk hidup berbahagia terbebas dari kebencian.

Anda mungkin juga menyukai