Anda di halaman 1dari 4

DANA PUNIA DALAM

BHAGAWAD GITA

I WAYAN PUTU ARTHA WEDHA


NIM.2012101011

JURUSAN TEOLOGI HINDU


FAKULTAS BRAHMA WIDYA
UNIVERSITAS HINDU NEGERI I GUSTI BAGUS SUGRIWA
DENPASAR
2024
Masyarakat belum mengetahui bahwai Dana Punia adalah Suatu kewajiban.
Masyarakat mungkin belum tahu kepada lembaga mana harus menyalurkan Dana Punia
tersebut. Ketidak percayaan terhadap lembaga pengelola (untuk kepentingan sesama)
sehingga bila Dana Punia itu diserahkan ke pura, maka Pertang-gungjawabannya adalah
kepada Tuhan. Adanya anggapan bahwa Dana Punia ke Pura lebih tinggi nilainya timimbang
kepada sesama. Berbagai kemungkinan bisa saja terjadi, untuk mengetahui secara pasti tentu
diperlukan pengkajian secara lebih mendalam sehingga persoalan menjadi lebih jelas, dan
langkah-selanjutnya bisa dirumuskan berdasarkan data-data hasil penelitian tersebut.

Dalam ajaran agama Hindu dijelaskan ada 4 (empat) tujuan hidup manusia yang
disebut Catur Purusa Artha, yaitu: Dharma, Artha, Kama dan Moksa. Memang hidup di dunia
ini adalah untuk memenuhi kebutuhan Kama, yaitu keinginan, nafsu yang, mendorong orang
untuk berbuat sesuatu, yang membuat orang bergairah dalam hidup ini. Obyek dari Kama ini
adalah Artha, yaitu benda-benda duniawi yang dapat memuaskan Kama sehingga menjadikan
orang nikmat merasakan hidup ini. Namun dalam memenuhi tuntutan Kama dan Artha harus
didasari dengan Dharma, sehingga orang tidak terjerumus dalam kenistaan. Dharma adalah
kebajikan, kebenaran, peraturan-peraturan yang mendukung orang untuk mendapatkan
kebahagiaan. Oleh karena itu Dharma harus menjadi pengendali dalam memenuhi tuntutan
Kama atas Artha. lepas dan rasa lapar, haus, sedih, sakit kejemuan dan sebagainya. Berbagai
upayadnakukan untuk dapatbebas dari "belenggu" tersebut dan ia akan mencapai
kebahagiaan. Lepas dari ikatan duniawi sehingga dapat menikr mati kebahagiaan abadi
disebut Moksa (Sura, 1985:94). Manusia-manusia yang mampu melepaskan diri dari
belenggu duniawi ini adalah manusia-manusia yang menguasai indriyanya. Artha tidak hanya
sekadar tujuan tetapi merupakan kebutuhan hidup. Penggunaan Artha dibagi menjadi 3 (tiga)
yaitu: ada bagian untuk Dharma (berdasarkan keikhlasan), ada untuk Artha (investasi) dan
ada untuk Kama (gairah hidup). Jadi berapapun Artha yang dimiliki pola pengeluarannya
memang harus seperti itu. (Sarasamuccaya, sloka 261, 262) Artinya bahwa Artha yang kita
miliki tidak mutlak milik sendiri, masih melekat milik orang lain, karena pada waktu
mendapatkannya, selalu ada bantuan orang lain sekecil apapun. Oleh karena itu untuk
memurnikannya keluarkanlah sebagian untuk Dana Punia.

Salah satunya adalah dalam kitab Bhagavad Gita yang membahas tentang dana punia,
adapaun sloka-sloka dalam bhagavad gita yang membahas mengenai punia adalah sebagai
berikut:
1. Dātavyamiti yaddānaṁ dīyateʻnupakāriṇe, deśe kāle ca pātre ca taddānaṁ
sāttvikaṁ smṛtam. XVII-20.
Terjemahan:
Pemberian (dāna), yang dilakukan pada seorang tanpa harapan kembalinya,
dengan perasaan bahwa adalah kewajiban seorang untuk memberi, serta diberikan
pada tempat serta waktu yang tepat dan pada orang yang patut, derma itu disebut
Sattwika, baik.
2. Yattupratyupakārārthaṁ phalamuddiśya vā punaḥ, dīyate ca parikliṣṭaṁ
taddānaṁ rājasaṁ smṛtam. XVII-21
Terjemahan:
Akan tetapi dana yang dilakukan dengan harapan dikembalikan atau dengan
harapan keuntungan di kemudian hari, atau berdana dengan tidak ikhlas dikatakan
sebagai derma yang Rājasika bernafsu
3. Adeśakāle yaddānamapātrebhyaśca dīyate, asatkṛtamavajñātaṁ
tattāmasamudāhṛtam. XVII-22.
Terjemahan:
Dan dana yang dilakukan pada tempat atau waktu yang salah atau pada orang
yang patut, tanpa upacara yang sebenarnya atau dengan penghinaan, ini dikatakan
dāna yang Tāmasika, bodoh.
4. Yajñadānatapaḥkarma na tyājyaṁ kāryameva tat, yajño dānaṁ tapaścaiva
pāvanāni manīṣiṇām. XVIII-5.
Terjemahan:
Perbuatan Yajña, dana dan tapa jangan dihentikan akan tetapi harus dilakukan.
Karena Yajña, dana dan tapa adalah segala penyucian bagi orang-orang yang
bijaksana.
5. Tyājyaṁ doṣavadityeke karmaprāhurmanīṣiṇaḥ, yajñadānatapaḥkarma na
tyājyamiti cāpare. XVIII-3
Terjemahan:
Beberapa orang bijaksana mengatakan bahwa semua perbuatan harus dihentikan
sebagai sesuatu yang tidak baik, beberapa yang lainnya mengatakan bahwa
perbuatan Yajña, dāna dan tapa tidak boleh dihentikan.
6. Vedeṣu yajñeṣu tapassu caiva dāneṣu yatpuṇyaphalaṁ pradiṣṭam, atyeti
tatsarvamidaṁ viditvā yogī paraṁ sthānamupaiti cādyam. VIII-28.
Terjemahan:
Seorang yogin yang telah mengetahui semua ini mengatasi pahala dari perbuatan
baiknya yang mana ditentukan dalam Veda, berbagai yajña, pertapaan dan
berdanapunya. Ia mencapai tempat pertama dan tertinggi (paramātma).
7. Āhārastvapi sarvasya trividho bhavati priyaḥ, yajñastapastathā dānaṁ teṣāṁ
bhedamimaṁ śṛṇu. XVII-7.
Terjemahan:
Bahkan makanan yang disenangi oleh semua, adalah tiga macam juga, Demikian
juga yajña-yajña, tapa dan derma (danapunya). Dengarkanlah perbedaan dari
semua ini.
8. Vidhihīnamasṛṣṭānnaṁ mantrahīnamadakṣiṇam, śraddhāvirahitaṁ yajñaṁ
tāmasaṁ paricakṣate. XVII-13.
Terjemahan:
Yajña yang tidak sesuai dengan petunjuk, dengan tidak ada makanan yang dibagi-
bagikan, tidak ada mantra, syair dinyanyikan dan tidak ada dana puṇya dakṣiṇa
yang diberikan, tidak mengandung kepercayaan, mereka sebut yajña yang
Tāmasika, bodoh.

Anda mungkin juga menyukai