Anda di halaman 1dari 13

Lima (5) Bukti Yang Menunjukkan Bahwa Ada Kekeliruan Menafsirkan Brahmajala

Sutta sebagai Micchādiṭṭhi.

Oleh : Up. Vidyanandan SE, Ak.

Sumber Rujukan : DN 1, MN 117, MN9

Hal yang sudah sering terjadi bahwa banyak Buddhis menempatkan segala
pandangan-yang-salah–dimengerti di dunia ini dan disamakan sebagai micchādiṭṭhi.
Salah satunya adalah Brahmajala Sutta. Untuk sinkronisasi bidikan mengenai
pembahasan di bawah ini, saya menggunakan makna ‘belantarapandangan’ atau
‘pandangan-yang-salah-dimengerti’ bila merujuk ke 62 pandangan dalam Brahmajala
Sutta. Tidak seperti sebagian komunitas lain, saya menunjukkan bahwa tidak semua 62
pandangan dalam Brahmajala Sutta layak disebut micchādiṭṭhi.

Brahmajala Sutta adalah sutta di Digha Nikaya 1 yang membahas mengenai 62


pandangan (ditthi) yang salah-dimengerti secara lengkap, beberapa salah-dimengerti
pada zaman sebelum Buddha, beberapa salah-dimengerti pada zaman Buddha, dan
beberapa akan kelak salah-dimengerti setelah zaman Buddha berakhir. Salah satu
pandangan dari 62 pandangan ini akan dianut oleh pertapa dan bukan pandangan
yang akan mengakhiri dukkha. Hanya pandangan Jalan Mulia Berunsur 8 yang disebut
Buddha akan mengakhir dukkha.

Penulis menjadikan persoalan ini menjadi penting karena ada sebagian kecil komunitas
Buddhis menganggap 62 pandangan ini mesti diketahui oleh umat Buddha dan
menganggapnya bagian dari micchādiṭṭhi. Ini sungguh membuat merinding karena
mereka menempatkan Buddhisme sejajar dengan agama tetangga bahwa apa yang
tidak sesuai dengan pandangan tersebut, ancamannya adalah masuk neraka atau alam
rendah.
Padahal, micchādiṭṭhi yang disebut langsung oleh Buddha dalam MN117 berbeda
dengan ditthi yang ada di DN 1. Pandangan di Brahmajala Sutta bukanlah keseluruhan
micchādiṭṭhi dan Buddha tidak pernah menyebutnya micchādiṭṭhi, lalu mengapa salah
merepresentasikan Buddha dengan menyebut Brahmajala Sutta sebagai komplitnya
‘micchādiṭṭhi’.

Micchādiṭṭhi adalah pandangan yang sangat tercela yang memang memiliki kekuatan
untuk menyeret seorang terlahir di alam rendah karena secara pasti menjadi landasan
untuk perbuatan tercela dalam ucapan dan jasmani. Kita mesti jelas dahulu apa itu
micchādiṭṭhi yang langsung dinyatakan Buddha agar tidak menjadi bias dan terhindar
dari kebiasaan asal memberikan stempel ‘neraka’ atau stempel ‘alam rendah’ kepada
pandangan-pandangan yang dianut seseorang.

Apa itu Micchādiṭṭhi yang langsung dinyatakan Buddha?

**************************

Majjhima Nikaya 117

Tatra, bhikkhave, sammādiṭṭhi pubbaṅgamā hoti. Kathañca, bhikkhave, sammādiṭṭhi


pubbaṅgamā hoti? Micchādiṭṭhiṃ ‘micchādiṭṭhī’ti pajānāti, sammādiṭṭhiṃ ‘sammādiṭṭhī’ti
pajānāti—sāssa hoti sammādiṭṭhi.

Katamā ca, bhikkhave, micchādiṭṭhi? ‘Natthi dinnaṃ, natthi yiṭṭhaṃ, natthi hutaṃ, natthi
sukatadukkaṭānaṃ kammānaṃ phalaṃ vipāko, natthi ayaṃ loko, natthi paro loko, natthi mātā,
natthi pitā, natthi sattā opapātikā, natthi loke samaṇabrāhmaṇā sammaggatā sammāpaṭipannā ye
imañca lokaṃ parañca lokaṃ sayaṃ abhiññā sacchikatvā pavedentī’ti—ayaṃ, bhikkhave,
micchādiṭṭhi.

Katamā ca, bhikkhave, sammādiṭṭhi? Sammādiṭṭhimpahaṃ, bhikkhave, dvāyaṃ vadāmi—atthi,


bhikkhave, sammādiṭṭhi sāsavā puññabhāgiyā upadhivepakkā; atthi, bhikkhave, sammādiṭṭhi
ariyā anāsavā lokuttarā maggaṅgā. Katamā ca, bhikkhave, sammādiṭṭhi sāsavā puññabhāgiyā
upadhivepakkā? ‘Atthi dinnaṃ, atthi yiṭṭhaṃ, atthi hutaṃ, atthi sukatadukkaṭānaṃ kammānaṃ
phalaṃ vipāko, atthi ayaṃ loko, atthi paro loko, atthi mātā, atthi pitā, atthi sattā opapātikā, atthi
loke samaṇabrāhmaṇā sammaggatā sammāpaṭipannā ye imañca lokaṃ parañca lokaṃ sayaṃ
abhiññā sacchikatvā pavedentī’ti—ayaṃ, bhikkhave, sammādiṭṭhi sāsavā puññabhāgiyā
upadhivepakkā.

‚Di sana, para bhikkhu, sammādiṭṭhi muncul dalam urutan pertama. Dan
bagaimanakah sammādiṭṭhi muncul dalam urutan pertama? Seseorang memahami
micchādiṭṭhi sebagai pandangan salah dan sammādiṭṭhi sebagai pandangan benar: ini
adalah pandangan benar seseorang.

‚Dan apakah, para bhikkhu, pandangan salah?


(Katamā ca, bhikkhave, micchādiṭṭhi ?)

‘Tidak ada yang diberikan, tidak ada yang dipersembahkan, tidak ada yang
dikorbankan; tidak ada buah atau akibat dari perbuatan baik dan buruk; tidak ada
dunia ini, tidak ada dunia lain; tidak ada ibu, tidak ada ayah; tidak ada makhluk-
makhluk yang terlahir kembali secara spontan; tidak ada para petapa dan brahmana
yang baik dan mulia di dunia ini yang telah menembus oleh diri mereka sendiri dengan
pengetahuan langsung dan menyatakan dunia ini dan dunia lain.’ Ini adalah
micchādiṭṭhi.

‚Dan apakah, para bhikkhu, pandangan benar?


(Katamā ca, bhikkhave, sammādiṭṭhi?)

Sammādiṭṭhi, Aku katakan, ada dua jenis: ada sammādiṭṭhi yang terpengaruh oleh
noda-noda, berhubungan dengan kebajikan, dan matang dalam perolehan; dan ada
pandangan benar yang mulia, tanpa noda, melampaui keduniawian, sebuah faktor dari
sang jalan.

‚Dan apakah, para bhikkhu, sammādiṭṭhi yang terpengaruh oleh noda-noda,


berhubungan dengan kebajikan, dan matang dalam perolehan?

‘Ada yang diberikan dan ada yang dipersembahkan dan ada yang dikorbankan; ada
buah atau akibat dari perbuatan baik dan buruk; ada dunia ini dan dunia lain; ada ibu
dan ayah; ada makhluk-makhluk yang terlahir kembali secara spontan; ada para petapa
dan brahmana yang baik dan mulia di dunia ini yang telah menembus oleh diri mereka
sendiri dengan pengetahuan langsung dan menyatakan dunia ini dan dunia lain.’ Ini
adalah pandangan benar yang terpengaruh oleh noda-noda, berhubungan dengan
kebajikan, dan matang dalam perolehan.
**************************

Apa akibat bagi penganut micchādiṭṭhi yang disebut dalam MN 117 diatas?

AN 1.312 ‚Para bhikkhu, Aku tidak melihat bahkan satu hal pun yang karenanya,
dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, makhluk-makhluk terlahir kembali di
alam sengsara, di alam tujuan kelahiran yang buruk, di alam rendah, di neraka, selain
daripada micchādiṭṭhi. Dengan memiliki micchādiṭṭhi, maka dengan hancurnya
jasmani, setelah kematian, makhluk-makhluk terlahir kembali di alam sengsara, di alam
tujuan kelahiran yang buruk, di alam rendah, di neraka.‛

Apa itu micchādiṭṭhi? Kalau otak-atik bahasa Indonesia dan Pali secara langsung,
maka ‘micchā’ sepadan dengan kata ‘salah’ dan ‘diṭṭhi’ sepadan dengan kata
‘pandangan’. Jadi, micchādiṭṭhi sering diterjemahkan sebagai pandangan salah. Saat
sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia atau English, maka bahasa Indonesia
maupun Inggris kehilangan kemampuan untuk membedakan mana micchādiṭṭhi dan
mana bukan. Sebab itu, saya dalam artikel pembahasan ini selalu menggunakan kata
pali micchādiṭṭhi, jarang menggunakan terjemahan, agar lebih tepat bidikannya.

Kalau ditinjau dari apa yang disebut Buddha langsung sebagai micchādiṭṭhi, yaitu di
MN117, maka jelas bahwa terjadi kesalahan-representasi yang dilakukan sebagian
pemuka agama dengan menggolongkan 62 pandangan (ditthi) dalam Brahmajala Sutta
di DN 1 sebagai micchādiṭṭhi, padahal Buddha tidak pernah menyanding Brahmajala
Sutta dengan kosa-kata micchaditthi.

Beberapa Bhikkhu seperti A.K. dan Bhikkhu R, menyebutkan 62 ditthi dalam


Brahmajala Sutta sebagai pandangan salah. Diperlukan suatu pertanyaan langsung ke
Bhikkhu yang bersangkutan, "Yang Bhante maksudkan 62 pandangan salah itu adalah
micchaditthi, bukan (?), yaitu yang disebut Buddha dalam AN 1.312 sebagai yang
tercela dan akan menyeret seseorang terlahir di alam rendah? Apakah demikian?"
Tanya dulu, dan ditunggu jawabannya, ‘ya’ atau ‘bukan’. Kalau mereka menjawab
bahwa 62 pandangan (ditthi) dalam Brahmajala Sutta adalah micchādiṭṭhi, saya akan
beberkan buktinya bahwa Buddha tidak mengatakan demikian. Yang disebut Buddha
secara langsung mengenai ditthi tersebut adalah ‘pandangan-yang-salah-dimengerti’
bukan ‘micchādiṭṭhi’.

Lima (5) Bukti Yang Membuktikan Bahwa Ada Sebagian Pemuka Agama Keliru
Menafsirkan Brahmajala Sutta sebagai pandangan ‘micchādiṭṭhi’:

1. Bukti pertama: ‘Tidak ada satu kata pun micchādiṭṭhi muncul di pembabaran
62 pandangan tersebut. Saya melakukan pemindahan seluruh bahasa Pali yang
ada di DN 1 ke Microsoftword dan melakukan pencarian kata (search) dengan
kata kunci (keywords) : ‚micchādiṭṭhi”. Pencarian tidak menemukan satu kata
pun yang disebut Buddha sebagai micchādiṭṭhi.’
2. Bukti kedua : ‘Jika untuk hal-hal yang tercela seperti dimana micchādiṭṭhi
muncul dalam diri seseorang dan membahayakan, maka Buddha biasanya akan
memberikan petunjuk pasti bahwa Beliau menjelaskan bahwa itu adalah
pandangan tercela. Namun, disetiap pembabaran dari pandangan ke-1 sampai
pandangan ke-62 pada Brahmajala Sutta DN 1, Buddha selalu menggunakan
kalimat awal yang lembut yaitu : "... Dan karena apa, dengan mengacu pada apa,
pertapa dan brahmana terhormat tersebut menyatakan pandangan mereka?"’
3. Bukti ketiga : ‘Di setiap akhir pembabaran setiap masing-masing 62 pandangan
tersebut, Buddha menyebut mereka salah mengerti dan Buddha memahami
melebihi mereka. Buddha tidak menunjuk mereka sebagai penganut
micchādiṭṭhi yang tercela. Kalimat berikut ini selalu digunakan Buddha untuk
mengakhiri pembabaran 62 pandangan Brahmajala Sutta, yang menunjukkan
bahwa pandangan-pandangan itu hanya salah dimengerti oleh mereka yaitu :
"Ini, para bhikkhu, Tathagata memahami. Dan Tathagata memahami: ' Sudut pandang
tersebut, demikianlah diasumsikan dan dengan demikian salah dimengerti, menyebabkan
suatu tujuan masa depan, suatu kondisi di dunia luar', Tathagata memahami beserta apa
yang melampaui ini, namun meski memahami, Tathagata tidak salah mengerti. Dan
karena Tathagata bebas dari kesalahpahaman, Tathagata telah menyadari dalam dirinya
sendiri keadaan damai yang sempurna. Setelah mengerti seperti apa asal-mula dan
lenyapnya perasaan , kepuasan, ketidakpuasan, dan terbebas darinya, Tathagata, para
bhikkhu, terbebaskan melalui ketidakmelekatan."

4. Bukti Keempat: Di akhir pembabaran Brahmajala sutta, ketika YM Ananda


bertanya bahwa apa judul dari Sutta itu, maka Buddha menjawab sebagai Jaring
Manfaat , Jaring Dhamma, Jaring Tertinggi, Jaring Pandangan-pandangan.
Lalu mengapa sebagian Bhikkhu kita menyebutnya micchaditthi padahal
Buddha tidak menyebutkannya? Bukankah itu telah salah merepresentasi
Buddha?

Mari mengingat kembali baris pertama Sutta AN.2.23

"Para bhikkhu, kedua orang ini salah merepresentasikan Sang Tathāgata. Dua
yang manakah? Seorang yang menjelaskan apa yang tidak dinyatakan dan
tidak diucapkan oleh Sang Tathāgata sebagai telah dinyatakan dan diucapkan
oleh Beliau.‛

Ini cuplikan akhir Brahmajala sutta DN1 :

"Setelah kata-kata tersebut, Yang Mulia Ānanda berkata kepada Yang


Terberkahi: ‘Menakjubkan, Bhagavā, sungguh indah. Apakah nama dari penjelasan
Dhamma ini?’

‘Ānanda, engkau boleh mengingat penjelasan Dhamma ini (Brahmajala Sutta) sebagai Jaring
Manfaat, Jaring Dhamma, Jaring Tertinggi, Jaring Pandangan-pandangan. Kamu
boleh mengingatnya juga sebagai sebagai Kemenangan yang tiada tandingannya
dalam Pertempuran.’

Demikianlah Yang Terberkahi berkata, dan para bhikkhu bergembira dan


bersukacita mendengar kata-kata Beliau. Dan ketika pembabaran ini sedang
disampaikan, sepuluh ribu alam-semesta berguncang."

5. Bukti kelima, tentu langsung buktikan sendiri dengan membaca apakah pantas
seluruh 62 pandangan (ditthi) tersebut tanpa pengecualian disebut micchādiṭṭhi
padahal Buddha tidak menyebutnya. Kalau kita baca, akan merinding kalau
seluruh 62 pandangan (ditthi) tersebut tanpa pengecualian digolongkan sebagai
micchādiṭṭhi, merinding karena terasa kita berada di dunia agama lain, yaitu
suatu pandangan yang mesti dianut secara dogmatis, kalau tidak maka akan
masuk neraka atau alam rendah. Merinding bukan? Tidak perlu merinding,
karena Buddha sama sekali tidak menyebutkan itu semua sebagai micchādiṭṭhi.
Itulah kemuliaan seorang Buddha, sempurna pengetahuanNya.

Penulis akan mengambil beberapa contoh pandangan yang ada dalam 62


pandangan Brahmajala Sutta agar yang meyakini bisa bertambah yakin dan
menghemat waktu untuk membaca keseluruhan 62 pandangan.

***************************
Digha Nikaya 1 Brahmajala Sutta

Pandangan 13-16 mengenai Ditthi atau pandangan atas Doktrin Menghindari


Pertanyaan (Amarāvikkhepavāda).

‚Ada, para Bhikkhu, beberapa pertapa dan brahmana yang adalah penghindar yang tak
habis-habisnya. Ketika dimintai pertanyaan mengenai permasalahan ini dan itu,
berdasarkan empat landasan, mereka terpaksa menghindar pertanyaan tersebut dan
mengelak yang tak habis-habisnya. Berdasarkan apa, dengan rujukan apa, pertapa dan
brahmana terhormat tersebut melakukannya?

[Pandangan ke-13]

"Disini, para bhikkhu, pertapa dan brahmana tertentu tidak memahami sebagaimana
adanya apa secara moral disebut baik dan buruk. Dia berpikir: 'Aku tidak mengerti
sebagaimana adanya apa yang baik dan apa yang buruk. Jika, tanpa memahami, Aku
harus menyatakan sesuatu sebagai baik atau sebagai buruk, pernyataanku mungkin saja
salah. Dan jika pernyataanku memang salah, itu akan menyulitkanku, dan kesulitan
tersebut akan menjadi rintangan untukku. Sebab itu, karena khawatir dan membenci
kemungkinan membuat pernyataan salah, dia tidak menyatakan apapun sebagai baik
atau sebagai buruk. Namun, ketika dimintai pertanyaan mengenai permasalahan ini dan
itu,dia terpaksa menghindar pertanyaan tersebut dan mengelak yang tak habis-habisnya :
"Aku tidak menyatakan demikian, juga tidak aku nyatakan dengan cara itu, juga tidak
aku nyatakan demikian dengan beberapa cara lainnya. Aku tidak mengatakan bahwa itu
tidak, juga tidak aku katakan bahwa itu bukanlah ini atau itu."

*********************************

Investigasi bukti kelima di atas: ‘Pertapa yang menganut doktrin pandangan ini
tidak tahu mana yang benar dan mana yang salah, sebab itu kalau ditanya suka
menghindar tak habis-habisnya. Layakkah orang yang takut/khawatir berbuat
salah dan menganut sikap selalu menghindar jawaban disebut penganut
micchādiṭṭhi dan akan masuk neraka atau alam rendah. Jelas, tidak pantas
bukan? Ia justru berusaha tidak berbohong karena tidak tahu, sehingga
mengambil sikap menghindari jawaban. Memang tidak pantas kok karena
Buddha sendiri tidak menyebutkan seluruh pandangan dalam Brahmajala Sutta
eksplisit tanpapengecualian sebagai micchādiṭṭhi.
Kita ambil lagi satu bukti lain di bawah ini.

***************************

Digha Nikaya 1 Brahmajala Sutta

Pandangan 59-62 mengenai Ditthi atau pandangan atas Kekinian Nibbana


(Ditthadhammanibbanavada). Saat seseorang mencapai Jhana dan merasakan
ketenangan sentosa, seseorang bisa salah mengerti dan menganggap Jhana
adalah Nibbana. Sebab itu, Buddha selalu menjelaskan di akhir pandangan
bahwa Beliau tidak salah mengerti : ‚Tathagata tidak salah mengerti. Dan karena
Tathagata bebas dari kesalahpahaman, Tathagata telah menyadari dalam dirinya
sendiri keadaan damai yang sempurna. Setelah mengerti seperti apa asal-mula
dan lenyapnya perasaan , kepuasan, ketidakpuasan, dan terbebas darinya,
Tathagata, para bhikkhu, terbebaskan melalui ketidakmelekatan.

************************* Mari simak ***********************************

"Ada, para bhikkhu, beberapa pertapa dan brahmana yang mempertahankan


paham kekinian-nibbana, <. . Dan karena apa, dengan mengacu pada apa,
pertapa terhormat dan brahmana tersebut menyatakan pandangan mereka ?

[Pandangan 59]

"Kepadanya orang lain berkata: 'Tuan yang baik, ada Diri yang anda katakan.
Aku tidak menyangkalnya. Tapi bukan pada pada saat itu kita mencapai
kekinian-nibbāna . Mengapa demikian? Karena, Tuan yang baik, kenikmatan
sensual indera tidak kekal, merupakan penderitaan, tunduk pada perubahan,
dan saat kenikmatan sensual berubah dan mengalami transformasi, timbullah
kesedihan, ratapan, kesakitan, kedukaan, dan keputusasaan. Namun, saat Diri
ini dijauhkan dari kenikmatan indera, terlepas dari keadaan yang tidak bajik,
memasuki dan terserap di Jhana pertama, yang disertai pikiran awal dan
berkelanjutan dan mengandung kegiuran dan kebahagiaan yang muncul dari
pengasingan diri - pada saat ini, Tuan yang baik, Diri mencapai kekinian-
nibbāna tertinggi'. Dengan cara ini beberapa orang lainnya menyatakan
kekinian-nibbana tertinggi untuk para makhluk.
*********************************************

{Pandangan 60 = untuk yang salah mengerti Jhana kedua adalah Nibbana,


Pandangan 61 = untuk yang salah mengerti Jhana ketiga adalah Nibbana dan
Pandangan 62 = untuk yang salah mengerti Jhana empat adalah Nibbana].

Ini jelas bukan micchādiṭṭhi. Orang yang mencapai Jhana lalu salah mengerti
dan menganggap Jhana adalah Nibbana, maka berada dalam posisi belum
merealisasikan tujuan akhir kehidupan suci. Orang tersebut akan terlahir di
alam Brahma setelah meninggal sesuai dengan tingkatan Jhana yang dicapai.
Jadi, kontras sekali dengan micchādiṭṭhi. Micchādiṭṭhi justru menyeret pelaku
ke alam rendah tujuannya karena micchādiṭṭhi yang disebutkan dalam MN117
adalah landasan atas perbuatan-perbuatan yang buruk.

PENUTUP

Silakan menarik kesimpulan sendiri bila ada sebagian Bhikkhu mengatakan


bahwa Brahmajala Sutta adalah pandangan salah. Kita bila membaca dan
mendengarkannya, boleh mengatakan ‚tentu‛ dahulu dalam hati, tapi langsung
bertanya kepada Bhantenya, yaitu apakah yang dimaksud Bhante adalah
pandangan salah micchādiṭṭhi atau sekedar pandangan salah yang ‘salah-
dimengerti’ namun bukan micchādiṭṭhi.

Jika Bhante mengatakan semua 62 pandangan salah dalam Brahmajala Sutta


adalah micchādiṭṭhi, tak ada sisa ruang untuk itu, semua komplit 62 pandangan
adalah micchādiṭṭhi, kita boleh menyodor tulisan ini kepadanya dan meminta
sharing pendapat mengenai tulisan ini, dimana letak kesalahan rujukannya.

Bagi yang ingin membaca lebih lanjut tentang 62 pandangan dalam Brahmajala
Sutta yang versi lengkap tanpa terpotong dan terjemahan langsung tanpa
penyingkatan, telah tersedia link ke facebook page penulis yang saya buat
khusus untuk keperluan ini. Silakan menikmati link demi link tersebut.
Lampiran Link Khusus :

******************************************

DIGHA NIKAYA 1 Brahmajala Sutta)

101. "Berdasarkan enampuluh dua (62) landasan ini, para Bhikkhu, beberapa
pertapa dan brahmin tersebut yang adalah spekulator berlandaskan masa lalu,
spekulator berlandaskan masa mendatang, dan spekulator berlandaskan masa
lalu dan masa mendatang sekaligus, yang memegang pandangan menetap
berlandaskan masa lalu dan masa mendatang, menyatakan berbagai teorema
konseptual yang merujuk masa lalu dan masa mendatang."

102. "Apapun yang pertapa dan brahmin, yang adalah spekulator berlandaskan
masa lalu, spekulator berlandaskan masa mendatang, dan spekulator
berlandaskan masa lalu dan masa mendatang sekaligus, yang memegang
pandangan menetap berlandaskan masa lalu dan masa mendatang, semua dari
mereka menyatakannya dengan merujuk kepada enampuluh dua [62] landasan
atau salah satu darinya. Diluar itu, tidak ada."

[ .... Link menuju bagian sutta tentang 62 landasan spekulasi :

III.1 Empat Spekulasi mengenai Keabadian (Sassatavāda) :

Pandangan 1-4 : http://tinyurl.com/DN1-Part-III-1

III.2 Empat Spekulasi mengenai Partial-Eternalis

(Ekaccasassatavada)
Pandangan 5-8 : http://tinyurl.com/DN1-Part-III-2

III.3 Empat (4) Doktrin mengenai Dunia Terbatas dan Tidak Terbatas
(Antanantavada)

Pandangan 9–12 : http://tinyurl.com/DN1-Part-III-3

III.4 Empat (4) Doktrin Menghindari Pertanyaan (Amarāvikkhepavāda)

Pandangan 13–16 : http://tinyurl.com/DN1-Part-III-4

III.5 Dua (2) Dokrin Spekulasi Asal-Mula Kebetulan (Adhiccasamuppannavada)

Pandangan 17–18 : http://tinyurl.com/DN1-Part-III-5

IV.1. Doktrin Mengenai Keabadian-Diri Yang Berpersepsi (Saññīvāda): Spekulasi


19–34

IV.2. Doktrin Mengenai Keabadian-Diri Yang Tidak Berpersepsi (Asaññīvāda):


Pandangan 35–42

IV 3. Doktrin Mengenai keabadian-Diri Bukan Persepsi Juga Bukan Tanpa-


Persepsi (N'evasaññī-nāsaññīvāda): Spekulasi 43–50

IV.4. Doktrin Mengenai Pemusnahan (Ucchedavāda): Spekulasi 51–57

Pandangan 19-57 : http://tinyurl.com/DN1-Part-IV-1-4

IV.5. Doktrin Spekulasi Mengenai Kekinian Nibbana


(Ditthadhammanibbanavada).

Pandangan 58-62 : http://tinyurl.com/DN1-Part-IV-5R


PENUTUP BRAHMAJALA SUTTA

https://tinyurl.com/AkhirSuttaDN1

......... Akhir dari Link]

103. "Ini, para bhikkhu, Tathagata memahami. Dan Tathagata memahami: '
Sudut pandang tersebut, demikianlah diasumsikan dan dengan demikian salah
dimengerti, menyebabkan suatu tujuan masa depan, suatu kondisi di dunia luar',
Tathagata memahami beserta apa yang melampaui ini, namun meski
memahami, Tathagata tidak salah mengerti. Dan karena Tathagata bebas dari
kesalahpahaman, Tathagata telah menyadari dalam dirinya sendiri keadaan
damai yang sempurna. Setelah mengerti seperti apa asal-mula dan lenyapnya
perasaan , kepuasan, ketidakpuasan, dan terbebas darinya, Tathagata, para
bhikkhu, terbebaskan melalui ketidakmelekatan."

104. "Inilah dhamma-dhamma tersebut, para bhikkhu, yang dalam, sulit untuk
dilihat, sulit untuk dipahami, damai dan luhur, di luar lingkup penalaran, halus,
dipahami hanya oleh para bijaksana, yang mana Tathagata, setelah
merealisasikannya atas usaha sendiri melalui pengetahuan langsung,
menyatakannya kepada orang lain, dan itu menyangkut ini bahwa mereka akan
memuji Sang Tathagata dengan tepat sesuai dengan kenyataan tersebut "

Anda mungkin juga menyukai