Search
Dhamma Sharing
Dhamma Sharing
Me my ig linkedin
MENUOpen Search
Dewasa ini, banyak ditemui beberapa pandangan yang keliru mengenai Agama Buddha. Pandangan
keliru tersebut dianggap sebagai mitos. Berdasarkan KBBI, mitos adalah cerita suatu bangsa tentang
dewa dan pahlawan zaman dahulu, mengandung penafsiran tentang asal-usul semesta alam, manusia,
dan bangsa tersebut mengandung arti mendalam yang diungkapkan dengan cara gaib;
Karena pengertian gaib berdasarkan KBBI adalah tidak kelihatan; tersembunyi; tidak nyata.
Agama Buddha selalu mengedepankan “Ehipassiko”. Ehipassiko berasal dari bahasa Pali yang berarti
datang, lihat dan buktikan sendiri. Membahas mengenai konsep Ehipassiko, penulis mengutip bagian
dari Anguttara Nikaya III,65 tentang suku Kalama. Berikut adalah kutipannya.
“Wahai, suku Kalama. Jangan begitu saja mengikuti tradisi lisan, ajaran turun-temurun, kata orang,
koleksi kitab suci, penalaran logis, penalaran lewat kesimpulan, perenungan tentang alasan, penerimaan
pandangan setelah mempertimbangkannya, pembicara yang kelihatannya meyakinkan, atau karena
kalian berpikir, ‘Petapa itu adalah guru kami.’ Tetapi setelah kalian mengetahui sendiri, ‘Hal-hal ini
adalah tidak bermanfaat, hal-hal ini dapat dicela; hal-hal ini dihindari oleh para bijaksana; hal-hal ini, jika
dilaksanakan dan dipraktekkan, menuju kerugian dan penderitaan’, maka kalian harus
meninggalkannya.”
“Wahai, suku Kalama. Jangan begitu saja mengikuti tradisi lisan, ajaran turun-temurun, kata orang,
koleksi kitab suci, penalaran logis, penalaran lewat kesimpulan, perenungan tentang alasan, penerimaan
pandangan setelah mempertimbangkannya, pembicara yang kelihatannya meyakinkan, atau karena
kalian berpikir, ‘Petapa itu adalah guru kami.’ Tetapi setelah kalian mengetahui sendiri, ‘Hal-hal ini
adalah bermanfaat, hal-hal ini tidak tercela; hal-hal ini dipuji oleh para bijaksana; hal-hal ini, jika
dilaksanakan dan dipraktekkan, menuju kesejahteraan dan kebahagiaan’, maka kalian harus
menjalankannya.”
Berdasarkan penggalan di atas, tentu saja ehipassiko yang dimaksudkan harus diiringi dengan
kebijaksanaan. Contohnya, ketika ingin membuktikan bahwa api itu panas, kita tidak harus menaruh
tangan kita di atas kompor yang sedang menyala. Kita cukup mengamati ketika api membakar suatu
benda hingga menjadi arang. Konsep ini bertolak belakang dengan konsep gaib (tersembunyi). Oleh
karena itu, penulis tertarik membahas beberapa mitos yang berkaitan dengan Agama Buddha.
Pernyataan di nomor satu sering penulis dengar dari beberapa orang yang belum mengenal ajaran
Buddha. Akan tetapi, mereka sudah mengeluarkan pendapat berdasarkan pengamatan yang telah
dilakukannya. Sebelumnya, akan dibahas terlebih dahulu mengenai definisi “berhala”.
Berhala menurut KBBI adalah patung dewa atau sesuatu yang didewakan yang disembah dan dipuja.
Kita harus menggarisbawahi kata disembah dan dipuja. Inilah yang menjadi titik perbedaanya. Umat
Buddha menggunakan rupang/patung Buddha bukan sebagai sarana pemujaan atau pun penyembahan,
melainkan sebagai simbol penghormatan dan perenungan akan sifat-sifat luhur serta ajaran Buddha.
Meskipun demikian, hal tersebut dicederai dengan banyaknya diantara umat Buddha yang berdoa
dengan meminta-meminta kepada patung Buddha. Ada sebuah lelucon yang penulis dengar dari sharing
Dhamma. Isinya adalah sebagai berikut.
“Banyak orang berdoa meminta jodoh kepada patung Buddha. Kalo diteliti di masa hidup Buddha,
pernyataan ini masuk akal lohhhh “Putri Yasodhara (Istrinya ketika masih menjadi Pangeran yang konon
kecantikannya sebanding dengan miss universe 😀 ) aja ditinggalin, masa lu minta jodoh. Terus ada yang
berdoa meminta kekayaan, “Kehidupan pangeran yang mewah juga ditinggalin, masa lu masih minta
kekayaan 😀 “ Eh ada lagi yang berdoa dengan meminta anak. “Anak beliau aja dinamain Rahula
(belenggu) terus ditahbiskan menjadi bagian dari Sangha, masa lu malah minta anak 😀 “
Ingat loh ya, itu lelucon, hanya bertujuan untuk menyentil diantara kita yang berdoanya masih meminta-
minta. Doa dalam Agama Buddha bukanlah dengan memohon atau meminta-meminta. Jika kesempatan
menulis datang kembali, penulis akan membahas singkat mengenai “Bagaimana cara berdoa dalam
Agama Buddha?”.
Oke kembali lagi ke topik. Jadi, jika dianalogikan dengan kehidupan sekarang seperti ketika melakukan
upacara bendera di masa sekolah. Ada satu momen ketika semua peserta menghormat kepada bendera
merah putih. Pertanyaannya, apakah semua orang hormat kepada sehelai kain berwarna merah putih
itu kah? Tentu tidak. Ada makna lebih dibalik momen tersebut. Mereka melakukan penghormatan dan
penghargaan atas daya juang para pahlawan yang telah berjuang untuk kemerdekaaan Indonesia. Begitu
pula dengan umat Buddha menggunakan sarana patung Buddha hanya sebagai penghormatan,
perenungan akan sifat-sifat luhur dan ajaran Beliau.
Agama Buddha sudah ada sejak ribuan tahun yang lalu sehingga banyak yang mengatakan bahwa sudah
tergolong kuno dan ketinggalan zaman. Oke kita lihat berdasarkan 5 latihan moral (Pancasila Buddhist)
yang meliputi tekad untuk tidak membunuh, mencuri, berbuat asusila, mengeluarkan ucapan yang tidak
benar (berbohong, memfitnah, dan sebagainya), mabuk-mabukkan. Latihan tersebut sudah ada sejak
zaman Buddha. Pertanyaannya, apakah sekarang sudah tidak berlaku? Apakah agama-agama di masa
sekarang menghalalkan pembunuhan, pencurian hingga mabuk-mabukkan? Tentu tidak bukan? Itu salah
satu contoh bahwa ajaran Buddha mengikuti perkembangan zaman. Ada satu contoh lagi yang lainnya,
yaitu berasal dari intisari ajaran Buddha “Jangan berbuat jahat, tambahlah perbuatan baik, sucikan batin
dan pikiran”
Apakah pernyataan di atas hanya cocok di zaman Buddha? Tentu tidak juga. Penulis rasa juga tidak ada
agama di masa sekarang yang menganjurkan umatnya untuk melakukan perbuatan jahat, mengurangi
kebaikan dan kacaukan pikiran. Dengan demikian, telah terjawab bahwa agama Buddha mengikuti
perkembangan zaman. Bahkan seorang ilmuwan terkemuka, Albert Einstein pun berkata “If there is any
religion that could cope with modern scientific needs it would be Buddhism” (Jika ada agama yang dapat
mengatasi kebutuhan sains modern, maka itu adalah Buddhisme)
Agama Buddha dianggap mistis karena mereka yang telah melihat altar Buddha di wihara-wihara
menemukan banyak buah, bunga, air, dupa (hio) dan lilin. Mereka beranggapan bahwa itu sesajen untuk
Buddha. Inilah hal yang akan diklarifikasi.
Semua yang ada di altar Buddha bukanlah sesajen, karena itu bukan dipersembahkan, melainkan hanya
tradisi sebagai lambang perenungan untuk umat Buddha. Agama Buddha berkembang dengan
menyesuaikan tradisi masing-masing daerah. Oleh karena itu, tidak usah heran jika ditemui patung
Buddha yang berbeda antara di Indonesia dengan negara yang lainnya. Arti masing-masing dari sarana
yang ada di altar adalah sebagai berikut.
Bunga melambangkan ketidakekalan. Setelah beberapa hari, bunga akan menjadi layu. Sehingga
bermanfaat menjadi perenungan untuk kita bahwa akan mengalami proses tua, sakit dan meninggal.
Harumnya dupa (hio) melambangkan harumnya kebaikan orang akan tersebar ke segala penjuru.
Selanjutnya ada juga yang mengatakan bahwa meditasi dalam Buddhisme itu mistis dan sering dikaitkan
dengan perolehan kesaktian. Padahal, meditasi Buddhis yang benar tidak akan mendapatkan apapun,
malahan kehilangan sesuatu. Loh, kok bisa malah kehilangan bukan mendapatkan? Hal itu karena
meditasi dalam Buddhisme menghilangkan keserakahan, kebencian dan kebodohan batin. Tentu saja,
meditasi Buddhis bukan untuk menjadi sakti, tetapi untuk menjadi suci.
Agama Buddha jika diumpamakan adalah seperti emas yang dibungkus oleh kantong plastik kresek.
Hanya mereka yang berada didalamnya yang mengetahui permata dari ajaran Buddha yang
sesungguhnya. Poin ini adalah masalah yang harus diselesaikan oleh umat Buddha dewasa ini jika ingin
ajaran Buddha tetap terjaga. Mengapa? Karena orang lebih banyak melihat segala sesuatu dari
penampilan bukan dibandingkan yang lainnya? Jawaban sementara menanggapi pertanyaan dinomor 4
adalah silahkan ehipassiko 🙂
Itulah beberapa mitos dalam Agama Buddha yang dibahas dalam tulisan kali ini.Semoga bermanfaat
untuk semua pihak. Sampai jumpa ditulisan selanjutnya 😀
Sadhu..Sadhu..Sadhu
SHARE THIS:
Click to share on Twitter (Opens in new window)Click to share on LinkedIn (Opens in new window)Click
to share on Facebook (Opens in new window)Click to share on WhatsApp (Opens in new window)
RELATED
In "Agama Buddha"
Mengapa Saya Beragama Buddha?
Sotthi Hotu, Namo Buddhaya Bagaimana kabar Anda hari ini? Semoga kita senantiasa berbahagia :)
Sadhu.. Penulis akan menceritakan bagaimana awalnya bisa memilih Agama Buddha sebagai pedoman
dalam menjalani kehidupan. Singkatnya, tulisan ini akan menceritakan perjalanan penulis dari masa
Sekolah Dasar hingga saat ini, yaitu masa perkuliahan. Sebelum menjawab pertanyaan yang…
In "Myself"
image001
In "Agama Buddha"
Published by Wilsen
Seseorang yang berusaha menumbuhkan kembali apa yang telah hilang, memperbaiki apa yang telah
rusak, makan dan minum tidak berlebihan, dan selalu berbuat kebajikan.
August 5, 2017
Agama Buddha
Post navigation
ruben
Like
Reply
Pingback: Apa dan Bagaimana Berdoa menurut Agama Buddha? « Sharing Dhamma
Leave a Reply
Your email address will not be published. Required fields are marked
CATEGORIES
Myself (17)
ARCHIVES
Archives
DHAMMAPADA XVII
Orang bijaksana mengendalikan perbuatan melalui badan jasmani, mereka juga mengendalikan
perbuatan melalui ucapan, mereka juga mengendalikan pikiran dengan baik, mereka yang menjaga
dengan baik ketiga pintu, badan jasmani, ucapan dan pikiran, benar-benar telah mengendalikan diri
dengan sepenuhnya
RECENT POSTS
Personal Development
Road to S.Si
Enter your email address to subscribe to this blog and receive notifications of new posts by email.
Email Address:
Subscribe Now
AUTHOR
Wilsen
CONTACT
UP ↑