Anda di halaman 1dari 11

Infeksi Epstein-Barr Virus di Fes (Maroko).

Prevalensi dan Prediktor Positif


Nasopharyngeal Cancer

Abstrak

Tujuan: Untuk mengetahui prevalensi dan distribusi genotip Epstein-Barr virus


(EBV) dalam sampel pasien Hassan II University Hospital (Morocco) dengan
patologi nasofaring. Kami mengidentifikasi faktor-faktor terkait infeksi EBV.

Metode: Penelitian ini melibatkan 112 pasien (Januari 2012 – Oktober 2014).
Biopsi dilakukan sebagai alat diagnosis molekuler dari EBV. Data yang
dikumpulkan meliputi karakteristik sosiodemografi, merokok dan penyalahgunaan
obat, latar belakang medis dan diagnosis histologis. Diagnosis EBV dilakukan
melalui Polymerase Chain Reaction..

Hasil: Sebanyak 50% pasien terinfeksi EBV (98,2% EBV tipe A vs 1,8% EBV
tipe B). Sebagian besar pasien yang terinfeksi berusia ≥40 tahun (65,5%),
dominan laki-laki (59,6%) dengan sosio ekonomi yang rendah. Sebanyak 83,3%
pasien limfoma dan 69,8% pasien karsinoma nasofaring disertai dengan infeksi
EBV. Sebanyak 88,9% pasien yang terinfeksi EBV mengunakan obat-obatan
dibandingkan dengan 47,7% yang tidak. Dalam analisis multivariat, usia (OR
1,03; IC95% 1,02-1,06), merokok (OR 4,28; IC95% 1,24-14,78) dan pasien
dengan malignansi (OR 6,96; IC95% 2,26-21,44) secara signifikan berhubungan
dengan infeksi EBV.

Kesimpulan: Infeksi EBV berkaitan dengan beberapa faktor, seperti usia lanjut,
merokok, dan malignansi. Pada subjek dengan temuan patologi ganas, kepositifan
EBV lebih rendah dibandingkan di negara lain.
Pendahuluan
Epstein-Barr Virus (EBV), juga disebut Human Herpes Virus tipe 4,
family Herpesviridae, subfamily Gammaherpesvirinae. Virus ini terkenal karena
potensi onkogeniknya yang tinggi. Penularan virus pada dasarnya terjadi melalui
saliva.
EBV menginduksi transformasi limfoblastik dari limfosit B yang
mengkodekan lebih dari seratus protein yang terlibat dalam pengaturan ekspresi
gen virus, replikasi DNA virus dan pematangan respon imun inang. Setelah
infeksi primer, yang umumnya tanpa gejala dan terutama terjadi selama masa
kanak-kanak, EBV menetap pada subjek yang terinfeksi seumur hidup. Infeksi
primer jarang bergejala sehingga ia muncul dalam bentuk mononukleosis
infeksius.
EBV ditemukan pada sejumlah tumor ganas, seperti Burkitt lymphoma,
Hodgkin’s lymphoma dan non-Hodgkin’s lymphoma, nasopharyngeal cancer
bahkan pada kanker gaster. Meskipun proses karsinogenik EBV tidak sepenuhnya
dipahami, virus ini berkaitan dengan kemampuannya untuk berinteraksi dengan
limfosit B lainnya. Hal ini terutama disebabkan oleh kapasitas EBV untuk
menginfeksi dan mengubah limfosit B normal.
Terdapat dua jenis EBV: tipe A dan tipe B (EBV1 dan EBV2). Keduanya
bertanggung jawab pada keadaan patologi yang sama, namun dengan distribusi
geografis yang berbeda. Diagnosis infeksi EBV dapat dilakukan dengan teknik
indirect atau tes serologis dengan pemeriksaan genom antigen dan deteksi
antibodi spesifik, atau dengan teknik direct, seperti Polymerase Chain Reaction
(PCR) yang didasarkan pada amplifikasi DNA.
Sampai saat ini, beberapa penelitian telah dilakukan di Maroko untuk
mengetahui prevalensi EBV pada pasien nasopharyngeal carcinoma. Dalam studi
ini, ditemukan hubungan yang signifikan antara infeksi EBV dengan
nasopharyngeal carcinoma, serta prevalensi yang tinggi dari tumor jenis ini,
berbeda dengan temuan pada negara lain.
Dalam penelitian ini kami memasukkan sampel pasien yang menunjukkan
patologi otolaryngological (OL) dan membutuhkan biopsi nasofaring. Pada pasien
ini kami menilai prevalensi infeksi EBV dan genotipe EBV yang berbeda. Selain
itu, kami menganalisis hubungan infeksi EBV dengan patologi yang didiagnosis.
Akhirnya, kami mengidentifikasi faktor risiko terkait infeksi EBV.

Metode
Secara keseluruhan, 112 pasien diambil dari bagian OL (THT) Hassan II
University Hospital di Fes (Maroko) selama periode Januari 2012 hingga Oktober
2014. Kriteria inklusi adalah semua pasien yang memerlukan biopsi dengan
kemungkinan nasopharyngeal tumor. Kami meng-eksklusikan pasien yang tidak
menandatangani informed consent atau tidak mengerti atau tidak dapat berbicara
bahasa Arab atau Prancis.
Biopsi dilakukan di rumah sakit sebagai diagnosis molekuler EBV,
berdasarkan teknik PCR: pertama, dengan pencernaan enzimatik, kemudian
ekstraksi DNA menggunakan fenol-kloroform, setelah itu, PCR digunakan untuk
mendeteksi EBV melalui gen berikut: BamW, EBNA-3C dan LMP1. Untuk
genotipe EBV/VEB (virus Epstein-Barr), gen EBNA-3C bergantung pada bait
yang digunakan [EBNA-3S dan EBNA-3F) untuk amplifikasi, genotipe EBV
diketahui berdasarkan EBNA-3S untuk VEB1 dan EBNA-3F untuk VEB2.
Hasil patologi-anatomi dari biopsi sesuai dengan riwayat klinis pasien.
Variabel penelitian juga menilai karakteristik sosiodemografi (usia, jenis kelamin,
status perkawinan, asal geografi, tingkat pendidikan dan tingkat sosial ekonomi)
dan kebiasaan penyalahgunaan zat atau paparan toksin (merokok, alkohol, obat-
obatan, pestisida). Wawancara dilakukan untuk melengkapi data yang kurang dari
riwayat klinis.

Analisa statistik
Variabel kualitatif dinyatakan sebagai proporsi, sedangkan variabel
kuantitatif digambarkan dalam mean dan standar deviasi. Perbandingan proporsi
dilakukan dengan Chi squared test dan perbandingan mean dilakukan dengan
menggunakan Student’s t-test atau ANOVA. Ketika variabel kuantitatif tidak
memenuhi kriteria normalitas, dilakukan tes non-parametrik yang sesuai. Semua
statistik dihitung berdasarkan informasi yang terkumpul, bukan dari total sampel.
Analisis multivariat dilakukan menggunakan regresi logistik untuk
mengidentifikasi faktor-faktor yang secara independen terkait dengan EBV yang
positif. Untuk melakukan model regresi logistik multivariat kami melakukan
langkah-langkah berikut. (i) Melakukan analisa univariat pada setiap variabel. (ii)
Variabel yang akan dilakukan analisa multivariat dipilih dari semua variabel yang
signifikan dalam analisis univariat (p <0,1) serta variabel yang kami anggap
relevan secara ilmiah sesuai dengan referensi. (iii) Melakukan pengecekan model
multivariat, setiap variabel dalam model diverifikasi. Melalukan pemeriksaan
Wald statistic pada setiap variabel dan membandingkan masing-masing koefisien
dengan koefisien dari model univariat yang hanya berisi variabel itu sendiri.
Variabel yang tidak berkontribusi pada model berdasarkan kriteria ini
dihilangkan, dan model baru dipasangkan. Model baru dibandingkan dengan
model lama menggunakan uji likelihood ratio (LR). Selanjutnya, perkiraan
koefisien pada variabel yang tersisa dibandingkan dengan keseluruhan model.
Proses penghapusan, perbaikan, dan verifikasi ini berlanjut hingga semua variabel
dimasukkan dalam model. (iv) Setelah model diperoleh, kami mengevaluasi
variabel yang dimasukkan (collinearity). Akhirnya, kami memeriksa interaksi
model. Kami menggunakan bootstrapping (# 100) untuk memeriksa validitas
internal dan mengurangi ketidakpastian model.
Hasil dinyatakan sebagai Odds Ratios (OR) dengan confidence interval
95%.
Data yang diperoleh selama penelitian ini dikumpulkan dalam spreadsheet
Microsoft Excel dan kemudian dianalisa dengan software "SPSS 20.0" dan
STATA (bootstrapping). Nilai p dianggap signifikan secara statistik pada ≤0,05
(two tailed).

Aspek etik
Mengenai aspek etik, setiap peserta diminta untuk menandatangani
informed consent. Protokol penelitian ini telah disetujui oleh komite etika Fes
Hassan II University Hospital dan memenuhi semua persyaratan perundang-
undangan lokal mengenai kerahasiaan data dan deklarasi Helsinki.
Hasil
Secara keseluruhan, dari 120 pasien yang diambil untuk penelitian ini, 8 di
antaranya di-eksklusikan karena tidak menandatangani informed consent atau
tidak dapat berkomunikasi. Oleh karena itu, kami menganalisis data dari total 112
pasien. Karakteristik sosiodemografi dan gaya hidup sampel penelitian
ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Karakteristik sosiodemografi dan gaya hidup sampel penelitian

Dari 112 pasien, 57 pasien berjenis kelamin laki-laki (50,9%) dan 55


perempuan (49,1%). Usia rata-rata pasien adalah 40 tahun (range: 3-78 tahun).
Populasi sampel sebesar 84,8% adalah orang dewasa. Sebagian besar menikah
(77,3%) sedangkan 16% lajang, dan 6,7% adalah janda/duda. Pasien dengan
tingkat pendidikan rendah (atau buta huruf) sebanyak 48,6%, sedangkan 29,7%
memiliki tingkat pendidikan menengah dan 21,6% memiliki tingkat pendidikan
tinggi. Sebagian besar pasien tinggal di daerah perkotaan (61,5%). Tingkat sosial
ekonomi rendah pada 64% sampel dan menengah-atas pada 36% sampel. Untuk
kebiasaan merokok, 22,4% sampel merupakan perokok. Penggunaan alkohol dan
obat-obatan masing-masing sebesar 16,7% dan 11,4%. Paparan pestisida
ditemukan pada 10,1% pasien.
Sebanyak 50% pasien terinfeksi EBV, dimana EBV tipe A lebih banyak
dibandingkan tipe B (98,2% vs 1,8%).
Berdasarkan hasil histologis biopsi, populasi dibagi menjadi tiga
kelompok: pasien dengan nasopharyngeal carcinoma [41,7% (43/103)]; pasien
dengan limfoma [5,8% (6/103)] dan pasien tanpa gambaran malignansi [52,4%
(54/103)].

Tabel 2. Gambaran infeksi EBV pada sampel biopsi dalam kaitannya dengan
variabel penelitian.

Infeksi EBV menunjukkan hubungan yang signifikan terhadap usia (p =


0,001) dengan 65,5% pasien berusia lebih dari 39 tahun ketika terinfeksi.
Selanjutnya kami menemukan adanya hubungan jenis kelamin pasien (p = 0,03)
karena laki-laki menunjukkan tingkat infeksi yang lebih tinggi (59,6%
dibandingkan dengan 40,4% pada wanita). Mengenai data sosiodemografi, hanya
tingkat ekonomi yang menunjukkan hubungan yang signifikan secara statistik,
karena pasien dengan tingkat sosiodemografi yang rendah menunjukkan tingkat
infeksi yang lebih besar (62,5% dibandingkan dengan 29,6% pada pasien dengan
tingkat sosiodemografi menengah-atas) (p = 0,006).
Mengenai konsumsi obat, kami mengamati hubungan antara variabel ini
dengan infeksi: 88,9% dari mereka yang mengkonsumsi obat terinfeksi oleh EBV
dibandingkan dengan 47,1% dari mereka yang tidak menggunakan obat (p =
0,01).
Suatu hubungan yang signifikan ditemukan antara malignansi (karsinoma
nasofaring dan limfoma) dan infeksi EBV. Sebanyak 71,4% pasien dengan
melignansi memiliki infeksi EBV yang positif, dibandingkan 33,3% pada pasien
dengan diagnosis non-malignansi (p <0,001).
Temuan ini menunjukkan bahwa terdapat prevalensi infeksi yang tinggi
pada pasien dengan limfoma dan karsinoma nasofaring, dimana tingkat infeksi
masing-masing sebesar 83,3% dan 69,8%.
Tabel 3. Gambaran distribusi variabel penelitian pada pasien dengan atau
tanpa temuan patologi malignansi sesuai dengan patologi anatomi.

Hasilnya menunjukkan hubungan yang signifikan secara statistik antara


infeksi EBV dan usia, jenis kelamin serta merokok. Berdasarkan usia, 74,5%
pasien dengan temuan malignansi berusia di atas 39 tahun dibandingkan dengan
37,7% pada mereka tanpa temuan malignansi (p <0,001).
Hubungan dengan jenis kelamin pasien menunjukkan pra-dominasi
patologi ganas pada laki-laki sebesar 61,2% dibandingkan dengan 38,8% pada
wanita (p <0,05).
Pada merokok, kami menemukan bahwa 39,5% pasien dengan patologi
malignansi merupakan perokok, dibandingkan 13% subyek tanpa patologi
malignansi (p = 0,005).
Hasil analisis univariat dan multivariat (termasuk bootstrapping [# 100]
dalam menilai validitas internal) untuk mengidentifikasi faktor-faktor terkait
infeksi EBV ditunjukkan pada Tabel 4.
Tabel 4. Analisa Univariat dan Multivariat terhadap faktor-faktor terkait
infeksi EBV.

Setelah disesuaikan dengan confounder, prediktor hasil positif terhadap


virus EBV adalah usia (OR 1,03; IC95% 1,02-1,06), merokok (OR 4,28; IC95%
1,24-14,78) dan malignansi (OR 6,96; IC95% 2.26–21.44). Namun, setelah
dilakukan analisis multivariat menggunakan Boostrapping, usia menjadi variabel
yang tidak signifikan.

Pembahasan
Infeksi EBV merupakan keadaan yang sering ditemukan. Prevalensi ini
lebih tinggi dari 90% pada negara-negara berkembang, seperti New Guinea.
Dalam sampel kami, kami menemukan tingkat infeksi EBV yang tinggi dengan
prevalensi 50%. Angka ini tidak mencerminkan prevalensi infeksi pada populasi
umum, tetapi pada populasi yang diteliti dan dengan kecurigaan patologi berikut:
nasopharyngeal carcinoma, Hodgkin’s lymphoma,non-Hodgkin’s lymphoma, dan
patologi OL lainnya. Usia menunjukkan hubungan yang signifikan dengan tingkat
infeksi EBV (p = 0,01), karena prevalensi infeksi meningkat dengan
bertambahnya usia. Pasien yang berusia di atas 39 tahun memiliki risiko infeksi
yang lebih besar dibandingkan dengan anak-anak dan remaja. Hasil ini sesuai
dengan hasil di Denmark dan Pennsylvania, akan tetapi berbeda dengan yang
didapatkan di Greenland dan Uganda.
Berdasarkan hubungan jenis kelamin, temuan kami menunjukkan bahwa
infeksi lebih banyak terjadi pada laki-laki (59,6%) dibandingkan perempuan
(40,4%) (p = 0,03).
Hubungan yang signifikan telah ditemukan antara infeksi EBV dan
kebiasaan toxic seperti mengonsumsi obat-obatan pada analisis bivariat dan
merokok pada analisis multivariat.
Tingkat sosial ekonomi yang rendah meningkatkan risiko infeksi pada
populasi penelitian sebesar 62,5% pasien (p = 0,006). Hal ini sesuai dengan hasil
yang didapatkan pada seri lain. Ditemukan hubungan terbalik antara tingkat sosial
ekonomi dan tumor terkait EBV menjelaskan adanya faktor terkait kemiskinan
dalam karsinogenesis virus. Hubungan ini menjelaskan peran infeksi pada usia
dini, bersama-sama dengan EBV, yang mana akan bertindak sebagai deregulator
imunitas, sehingga meningkatkan risiko karsinoma nasofaring. Namun, dalam
kasus ini kami tidak merujuk pada infeksi ringan, seperti flu yang mengenai
saluran pernapasan atas, atau infeksi jinak lainnya, karena menurut laporan
sebelumnya, kondisi ini tidak mempengaruhi kejadian karsinoma nasofaring.
Distribusi geografis karsinoma nasofaring bervariasi dari satu daerah
dengan daerah lain. Tumor ini jarang terjadi di Eropa (kejadian tahunan lebih
rendah dari 1/100.000). Namun, lebih sering terjadi di daerah lain, seperti Far East
(asia timur) dengan insiden tahunan sebesar 25/100.000 atau Afrika Utara dengan
insiden tahunan sebesar 3-8/100.000). Dalam sampel penelitian kami, jenis
karsinoma ini didiagnosis pada 41,7% pasien yang diteliti. Hal ini sesuai dengan
penelitian lain yang dilakukan di Marrakech antara tahun 1997 hingga 1999 di
mana mereka mendapatkan 40,8% diagnosis positif nasopharyngeal carcinomas.
Beberapa studi melibatkan EBV dalam banyak patologi onkologis.
Namun, hal tersebut hanya merupakan satu faktor di antara banyak faktor lainnya.
Transformasi maligant dari sel epitel nasofaring membutuhkan perubahan seluler
genetik yang efeknya meningkat pada infeksi laten oleh EBV.
Diduga bahwa persentase karsinoma yang tinggi berhubungan dengan
pasien dengan EBV positif, namun, dalam penelitian ini mendapatkan persentase
yang lebih rendah dibandingkan seri lainnya: 69,8% vs 100% pada penilitian
Laantri et al. Hal ini dapat disebabkan oleh faktor lain yang mempengaruhi tumor
ini, seperti diet atau koinfeksi dengan virus lain, seperti human papillomavirus
(HPV).
Studi kami memiliki beberapa keterbatasan. Yang paling relevan adalah
data yang tidak lengkap, karena beberapa pasien menghindari menjawab beberapa
pertanyaan, yang berarti bahwa beberapa kuesioner tidak terisi secara lengkap.
Hal ini merupakan batasan umum dari penelitian yang dilakukan di Maroko,
dikarenakan alasan budaya, agama, dan geografis. Keterbatasan lain adalah
kesulitan dalam memperoleh data di tingkat rumah sakit karena tidak semua data
terdapat dalam riwayat medis. Selain itu, penelitian ini dilakukan di rumah sakit
tunggal di mana partisipasi dan respon terhadap pertanyaan bisa dipengaruhi oleh
bias seleksi dan informasi; oleh karena itu hasilnya tidak dapat digeneralisasikan.
Keterbatasan lain adalah kemungkinan adanya bias data. Hal ini terjadi
ketika data tidak memiliki jumlah kasus yang memadai pada beberapa faktor
risiko, tingkat hasil dan estimasi yang didapatkan dari koefisien regresi dapat
memiliki bias menjauh dari angka nol.
Akhirnya, kami melakukan studi cross sectional sehingga hubungan
sebab-akibat tidak dapat dinilai.
Untuk alasan di atas, kami menganggap perlu untuk meningkatkan sistem
pendaftaran klinis yang digunakan pada pasien kanker untuk memberikan analisis
data yang lebih mendalam tentang situasi saat ini di Maroko dan oleh karena itu
dapat memperluas temuan di masa depan. Dianjurkan untuk menerapkan langkah-
langkah promotif untuk mengurangi kebiasaan merokok dan penggunaan zat
toksik lainnya di Maroko, karena berdampak terhadap infeksi EBV dan kanker.
Kesimpulannya, prevalensi infeksi EBV dalam populasi yang diteliti
adalah sebesar 50%, dengan dominasi EBV tipe A (98,2%). Infeksi EBV
berkaitan dengan beberapa faktor, seperti usia lanjut, merokok dan malignansi.
Pada subjek dengan patologi ganas, kepositifan lebih rendah dibandingkan
laporan dari negara lain.

Anda mungkin juga menyukai