Anda di halaman 1dari 4

RESUME JURNAL

Recurrent furunculosis: efficacy dari rejimen CMC – skin disinfection


(klorheksidin), local nasal antibiotic (mupirocin), dan
antibiotik sistemik (klindamisin)

Benjamin Davido, Aurelien Dinh, Jerome Salomon, Laure Roux, Marine Gosset-
Woimant, Isabelle Pierre Christian Perronne, Louis Bernard

Resume
Pengobatan recurrent furunculosis saat ini kurang didokumentasikan dan
merupakan tantangan dalam kesehatan masyarakat. Perawatan medis pada pasien
dengan reccurent furunculosis sulit dan kadang-kadang mengecewakan, terutama
karena tidak adanya rekomendasi dari konsensus.
Penelitian ini merupakan suatu penelitian kohort pada kelompok pasien yang
datang dengan penyakit menular yang diduga berasal dari infeksi community-
acquired S. aureus dan menyebabkan recurrent furunculosis. Kami menganalisis
presentasi klinis, faktor risiko furunkulosis, dukungan yang diberikan oleh dokter,
dan perkembangan lesi. Kami menilai efek dari pengobatan spesifik kami yang
disebut 'CMC': skin disinfection (klorheksidin), local nasal antibiotic (mupirocin),
dan systemic antibiotic (klindamisin).
Penelitian ini dilakukan secara retrospektif pada pasien yang datang dengan
furunculosis reccurent selama periode Januari 2006 sampai Mei 2012. Pasien dengan
furunculosis minimal 4 episode per tahun, didefinisikan sebagai furunculosis
reccurent.
Data klinis dikumpulkan dari catatan medis menggunakan kuesioner standar.
Data yang kurang dikumpulkan pada kunjungan yang sudah diatur sebelumnya, atau
melalui telepon jika pasien tidak dapat datang ke rumah sakit. Persetujuan lisan
didapatkan dari setiap pasien sebelum diinklusikan.
Informasi yang dikumpulkan berupa usia, jenis kelamin, faktor risiko dari
infeksi S. aureus, karakteristik lesi kulit (jumlah episode, frekuensi, dll), skrining

1
swab, dan penyebab utama terjadinya infeksi. Kami juga melakukan follow up
selama 3 bulan hingga 2 tahun setelah dilakukan intervensi di Raymond Poincaré
Teaching Hospital.
Berikut ini merupakan definisi yang kami digunakan: (1) Faktor risiko: hewan
peliharaan, melakukan perjalanan dalam waktu sebulan sebelum munculnya lesi,
tingkat sosio-ekonomi yang rendah, obesitas (indeks massa tubuh > 30 kg/m 2),
malnutrisi (albumin 30 g/l), diabetes (pada riwayat keluarga, tidak dilakukan skrining
hiperglikemia pada pasien), penyakit kulit yang mendasari, dan olahraga dengan
kontak kulit langsung (combat sport, sepak bola, fencing, dll) atau kontak tidak
langsung (handuk, baju renang, dll). (2) Kontak tertutup: orang yang hidup atau
bekerja di bawah atap yang sama. (3) Sembuh: tidak adanya kekambuhan klinis
dalam 6 bulan.
Semua pasien diterapi menggunakan rejimen CMC. Terapi ini terdiri berupa
dekolonisasi ketat selama 21 hari dengan mandi setiap hari menggunakan sabun
chlorhexidine, diikuti dengan menggunakan 4-5% chlorhexidine sebelum pasien
menggeringkan badan. Kemudian pasien mengoleskan salep mupirocin ke hid ung
2 kali per hari selama 5 hari sebagai upaya untuk menghilangkan carriage. Pada
saat yang sama, pasien juga mendapatkan antibiotik oral: klindamisin 1800 mg
sampai 2400 mg / hari dibagi menjadi 3 atau 4 dosis per hari selama proses
dekolonisasi (21 hari).
Follow-up difokuskan pada 16 pasien; 3 pasien tidak kembali untuk konsultasi
lnajutan dan / atau kontak melalui telepon tidak mungkin dilakukan. Di antara 16 pasien
ini, terdapat 14 kasus yang dianggap sembuh setelah 9 bulan, pada 87% (termasuk 7
kasus setelah 9 bulan, 5 kasus setelah 1 tahun dan 2 kasus setelah 2 tahun). Terdapat 2
kasus kambuh: 1 pada pasien dengan MRSA dan pasien lain dengan insufisiensi terapi
akibat penyakit kulit yang mendasari. Tidak adap pasien yang diperlukan drainase
bedah pada lesi.
Tidak ditemukannya efek samping yang serius sehingga membutuhkan
penghentian awal dari rejimen CMC. Terdapat 1 kasus urtikaria ringan dan 2 kasus
diare karena klindamisin.

2
Pemilihan antibiotik klindamisin oral didasari oleh spektrum yang luas
pada aktivitas terhadap MSSA dan MRSA dan karena bioavailabilitas yang
sangat baik (hampir 90%), berbeda dengan penisilin. Keuntungan lainnya
adalah kegiatan antitoksin nya, sehingga berguna terhadap strain yang
memproduksi PVL. Kami tidak menggunakan rifampisin karena dengan cepat
dapat menyebabkan resistensi jika diberikan secara monoterapi. Rejimen lain
yang telah diusulkan, termasuk methicillin. Namun sejak 2011 , ANSM telah
membatasi resep cloxacillin oral sebagai terapi infeksi kulit ringan yang
disebabkan oleh stafilokokus dan streptokokus. Kami meyakini bahwa
reccurent furunculosis memiliki evolusi patologi yang tidak dapat diprediksi,
sehingga harus dianggap sebagai infeksi berat. Kita juga dapat mengusulkan
pristinamycin, tetapi dengan biaya yang jauh lebih tinggi. Suatu macrolide
generasi terbaru seperti azitromisin mungkin dapat diberikan karena waktu
paruhnya yang panjang, dapat meningkatkan kepatuhan terapi dengan
mengurangi durasi pengobatan dan juga menghasilkan efek samping yang
lebih sedikit.
Lamanya pengobatan ditetapkan selama 3 minggu karena karakteristik
kekambuhan, namun hal ini masih harus dinilai dalam penelitian yang a kan
datang.

Kesimpulan
Kesimpulannya, tampaknya terdapat 2 rute utama dari reccurent furunculosis:
faktor dan kolonisasi stafilokokus. Oleh karena itu, perlu untuk menekankan dampak
dari kolonisasi pada kontak dekat serta pada pasien yang menderita reccurent
furunculosis untuk mengurangi risiko infeksi dan kambuh.
Prosedur yang diusulkan, melibatkan antibiotik sistemik selama 21 hari
ditambah desinfeksi kulit dan pemberantasan carriage staphylococci, yang dilakukan
sebagai one-time treatment dari reccurent furunculosis. Terapi ini tampaknya efektif
dan aman, dengan perbaikan gejala lebih dari 9 bulan pada 87% kasus. Dekolonisasi

3
nidus S. aureus pada pasien dan kontak dekat dapat memainkan peran utama dalam
efektivitas terapi.
Faktor risiko lain seperti tinggal di daerah endemik S. aureus, menjadi
seorang tenaga kesehatan, dan adanya hewan peliharaan dalam lingkungan rumah
tangga merupakan faktor yang dapat membatasi efektifitas rejimen ini.
Klindamisin tampaknya merupakan antibiotik staphylococcal yang unggul
karena aktivitas antitoksin nya. Selain itu, penggunaan antibiotik ini menghindari
penggunaan fluoroquinolones dan rifampisin, yang dapat dengan cepat menyebabkan
resistensi jika digunakan monoterapi.

Anda mungkin juga menyukai