Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

Pneumonia hingga saat ini masih tercatat sebagai masalah kesehatan utama
pada anak di negara berkembang. Pneumonia merupakan penyebab utama
morbiditas dan mortalitas anak berusia dibawah lima tahun. Diperkirakan hampir
seperlima kematian anak diseluruh dunia, lebih kurang 2 juta anak balita
meninggal setiap tahun akibat pneumonia, sebagian besar terjadi di Afrika dan
Asia Tenggara. Menurut survei kesehatan nasional (SKN) 2001, 27,6% kematian
bayi dan 22,8% kematian balita di Indonesia disebabkan oleh penyakit respiratori,
terutama pneumoia. Pneumonia adalah inflamasi yang mengenai parenkim paru.
sebagian besar disebabkan oleh mikroorganisme (virus/ bakteri) dan sebagian
kecil disebabkan oleh hal lain (aspirasi, radiasi, dll). Pada pneumonia yang
disebabkan oleh kuman, menjadi pertanyaan penting adalah penyebab dari
pneumonia (virus atau bakteri). Pneumonia seringkali dipercaya diawali oleh
infeksi virus yang kemudian mengalami komplikasi infeksi bakteri. Secara klinis
pada anak sulit membedakan pneumonia bakerial dengan pneumonia viral.
Namun sebagai pedoman dapat disebutkan bahwa pneumonia bakterial awitannya
cepat, batuk produktif, pasien tampak toksik, leukositosis, dan perubahan nyata
pada pemeriksaan radiologis.
Di negara berkembang, pneumonia pada anak terutama disebabkan oleh
bakteri. Bakteri yang sering menyebabkan pneumonia adalah Streptococcus
pneumonia, Haemophilus influenzae, dan Staphylococcus aureus. Pneumonia
yang disebabkan oleh bakteri-bakteri umumnya responsif terhadap pengobatan
dengan antibiotik beta-laktam. Di lain pihak, terdapat pneumonia yang tidak
responsif dengan antibiotik beta-laktam dan dikenal sebagai pneumonia atipik.
Pnemonia atipik terutama disebbakan oleh Mycoplasma pneumoniae dan
Chlamydia pneumoniae. Berdasarkan tempat terjadnya infeksi, dikenal dua
bentuk pneumonia, yaitu; 1. Pneumonia masyarakat, 2. Pneumonia RS. Oleh
kerana tingginya mortalitas dan morbiditas pneumonia pada anak, diharapkan
dengan pembuatan referat ini dapat membantu masyarakat untuk dapat mengenali

2
gejala pneumonia serta penangananya dengan harapan angka mortalitas dan
morbiditas pneumonia pada anak dapat menurun.
Efusi pleura secara definisi diartikan sebagai adanya cairan di ruang pleura
yang muncul lebih sedikit pada anak-anak dibandingkan orang dewasa, serta dapat
disebabkkan oleh beragam infeksi dan penyakit non-infeksi. Kebanyakan informasi
yang ada tentang efusi pleura berasal dari penelitian pada orang dewasa. Penyebab
dari efusi pleura pada anak-anak berbeda secara nyata dibandingkan orang dewasa
tersebut. Pada orang dewasa, kebanyakan penyebab efusi pleura transudat adalah
gagal jantung kongestif dan bakteri pneumonia serta keganasan merupakan
penyebab utamadari efusi pleura yang sifat cairannya eksudat.
Efusi pleura pada anak-anak umumnya kebanyakan adalah infeksi (50-70%
efusi parapneumonik), gagal jantung kongestif adalah penyebab yang lebih sedikit
(5-15%) dan keganasan adalah kasus yang jarang.
Efusi parapneumonik didefinisikan sebagai cairan di rongga pleura yang
berhubungan dengan adanya pneumonia, abses paru, atau bronkiektasis. Bakteri
non-TB pneumonia merupakan penyumbang terbesar sebagai penyebab utama
efusi pleura pada anak. Dibuktikan dengan agen spesifik penyebab tergantung
dengan usia pasien, penyakit yang mendasarinya, metode kultur laboratorium
yang standar, dan pemberian terapi antibiotic.
Terdapat hubungan yang cukup signifikan antara terjadinya efusi pleura
yang disebabkan oleh pneumonia. Berdasarkan uraian tersebut penulis tertarik
untuk melakukan pembuatan laporan kasus ini.

3
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama : Irwandi
No RM : 1-09-74-48
Umur : 7 tahun
Jenis Kelamin : laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Desa Paya Ateuk, Kec. Pasie Raja, Kab. Aceh selatan
Bangsa : Indonesia
Ruangan : Serune 1
Tanggal Masuk : 27/07/2016
Tanggal Pemeriksaan : 28/07/2016

2.2 Anamnesis
2.2.1 Keluhan Utama
Sesak Nafas
2.2.2 Keluhan Tambahan
Nyeri dada, Batuk, Demam
2.2.3 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien merupakan rujukan dari rumah sakit takengon dengan keluhan
sesak sejak sekitar 2 hari yang lalu. Pasien juga merasakan nyeri pada
bagian dada dan perut sejak 2 hari yang lalu. Nyeri tidak memberat dengan
aktivitas. Pasien mengeluhkan nyeri dan sesak agak lebih memberat ketika
pasien tidur telentang. Pasien juga mengeluhkan batuk sejak seminggu
yang lalu. Batuk kering, tidak berdahak, tidak disertai darah. Pasien juga
mengeluhkan adanya demam. Demam sejak 2 hari yang lalu. Demam tidak
terlalu tinggi. Turun dengan pemberian obat penurun panas. Riwayat mual
muntah sebelumnya tidak ada. Pasien juga tidak mengeluhkan adanya
diare.
2.2.4 Riwayat Penyakit Dahulu
Batuk sejak 1 minggu yang lalu.

2.2.5 Riwayat Penggunaan Obat

4
Pasien sebelumnya telah mendapatkan obat dari RS Takengon yaitu:
 Ceftriaxone 1gr/12 jam
 Ranitidin ½ ampul/12 jam
 Dexamethason ½ ampul/8 jam
 PCT Drip 300mg/8jam
 Ambroxol 3x1 cth

2.2.6 Riwayat Penyakit Keluarga


Keluhan yang sama pada keluarga disangkal. Riwayat penggunaan obat
selama 6 bulan pada keluarga disangkal
2.2.7 Riwayat Kebiasaan Sosial
Pasien merupakan siswa MIN kelas 2
2.2.7 Riwayat Kehamilan dan Persalinan
Ibu pasien ANC secara teratur ke bidan. Pasien merupakan anak kedua
yang lahir pervaginam cukup bulan.
2.2.8 Riwayat Imunisasi
Pasien belum pernah mendapatkan imunisasi dasar.
2.2.9 Riwayat Nutrisi
0-6 bulan : ASI
6-24 bulan : ASI + MP-ASI
2 tahun-sekarang : Makanan keluarga

2.3 Pemeriksaan Fisik


2.3.1 Status Internus
Keadaan Umum : sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
Tekanan darah : tidak dinilai
Nadi : 122x/i
Pernafasan : 26x/menit
Suhu : 37oC

2.3.2 Status Antropometri


Berat Badan : 22 kg

5
Tinggi Badan : 128 cm
BMI : 13,4 cm
BB/U : 95%
PB/U : 104%
BMI/U : p10- p3
Status gizi : Gizi Baik

Kebutuhan Cairan : 1520 ml/ hari


Kebutuhan Kalori : 1311-1610 Kal
Kebutuhan Protein : 33,53 g/hari

2.3.3 Status General


a. Kulit
Warna : sawo matang
Turgor : kembali cepat
Sianosis : tidak ada
Ikterus : tidak ada
Oedema : tidak ada
Anemia : tidak ada

b. Kepala
Bentuk : normocephali,
Wajah : simetris, edema dan deformitas tidak dijumpai
Mata : konjungtiva pucat (-/-), ikterik (-/-), pupil bulat isokor 3
mm/3 mm, refleks cahaya langsung (+/+), dan refleks
cahaya tidak langsung (+/+)
Telinga : bentuk normal, serumen minimal
Hidung : NCH (-/-) sekret (-/-)
Mulut : sianosis tidak ada, mukosa bibir kering (+)

c. Leher

6
Inspeksi : tidak ada pembesaran KGB
Palpasi : TVJ (N) R-2 cm H2O.

d. Thoraks
Inspeksi : simetris, fusiformis, retraksi interkostal, suprasternal, epigastium
(-/-) , grunting/merintih (-/-)
Palpasi : simetris, nyeri tekan (+), Sf kanan menurun.
Perkusi : paru kanan redup, paru kiri sonor
Auskultasi : RR 26 x/menit, vesikuler (melemah/normal), ronkhi (+/-),
wheezing (-/-)

e. Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : iktus kordis teraba di ICS V linea parasternalis sinistra
Perkusi : Batas jantung normal
Auskultasi : HR 122 x/menit, BJ I > BJ II normal, reguler, murmur tidak ada

f. Abdomen
Inspeksi : Bentuk tampak simetris dan tidak tampak pembesaran,
keadaan di dinding perut: sikatrik (-), striae alba (-), kaput medusa
(-), pelebaran vena (-), kulit kuning, gerakan peristaltik usus (-),
dinding perut tegang (-),
Auskultasi : Peristaltik usus normal, bising pembuluh darah tidak
dijumpai
Palpasi : soepel, tidak teraba pembesaran pada hati, limpa dan ginjal
Perkusi : Timpani (+) Normal

g. Tulang Belakang
Simetris, spina bifida (-)

7
h. Ekstremitas
Sianosis (-), ikterus (-)
Superior Inferior
Kanan Kiri Kanan Kiri
Sianosis Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada
Oedema Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada
Deformitas Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada

i. Genetalia dan anus


Tidak dilakukan pemeriksaan
2.4 Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
Nilai
Pemeriksaan Hasil rujukan
HB 17,4 12,0-14,5
Ht 55 45-55
Eri 7,7 4,7-6,1
Leu 13,7 4,5-10,5
Trombo 284 140-450
MCV 71 80-100
MCH 23 27-31
MCHC 32 32-36
RDW 14,6 11,5-14,5
MPV 11,0 7,2-11,1
Eosi 0 0-6
Baso
NB
NS 36 50-70
Limfo 54 20-40
Mono 10
CT 7
BT 2

b. Radiologi
Foto thoraks
Kesimpulan: Efusi pleura massif kanan disertai pendorongan trachea dan
jantungke kiri.

8
2.4 Diagnosis
 Efusi pleura
 Pneumonia

2.5 Terapi
 IVFD Asering 20gtt/i
 Inj. Ampicillin 500mg/8jam
 Inj. Cefotaxim1gr/12jam
 Paracetamol syr 3x1 cth
Pulvis:
 Rhinofed tab III
 Ambroxol 90
 Ascorbid acid III
 Ceterizin mg 30

2.7 Prognosis
Quo ad vitam : Dubia ad Bonam
Quo ad Functionam : Dubia ad Bonam
Quo ad Sanactionam : Dubia ad Bonam

2.8 Follow Up
Follow Up Harian
tanggal Subjek Terapi
27-7- Sesak nafas, nyeri IVFD Asering RL 20
2016 dada gtt/i
Ampicillin
500mg/6jam
Objek Cefitaxim 1gr/12 jam
HR = 100x/I T=
39,8 Paracetamol 3x1 cth
RR = 27x/i

Assessment
Efusi pleura

tanggal Subjek Terapi


28-7- IVFD Asering RL 20
2016 Sesak nafas gtt/i

9
Ampicillin
500mg/6jam
Objek Cefitaxim 1gr/12 jam
HR = 120x/I T=
36,8 Paracetamol 3x1 cth
RR = 24x/i

Assessment
Efusi pleura
Pneumonia

BAB III
PEMBAHASAN

10
Seorang pasien laki-laki berusia 7 tahun datang dengan keluhan sesak
nafas disertai adanya nyeri dada, batuk dan demam. Dari anamnesis diketahui
bahwa pasien merasakan nyeri pada bagian dada dan perut sejak 2 hari yang lalu.
Nyeri tidak memberat dengan aktivitas. Pasien mengeluhkan nyeri dan sesak agak
lebih memberat ketika pasien tidur telentang. Pasien juga mengeluhkan batuk
sejak seminggu yang lalu. Batuk kering, tidak berdahak, tidak disertai darah.
Pasien juga mengeluhkan adanya demam. Demam sejak 2 hari yang lalu.
Sebagian besar gambaran klinis pneumonia pada anak berkisar antara
ringan hingga sedang, sehingga dapat berobat jalan saja. Hanya sebagian kecil yan
gberat, mengancam kehidupan, dan mungkin terdapat komplikasi sehingga
memerlukan perawatan di RS. Beberapa faktor yang mempengaruhi gambaran
klinis pneumonia pada anak adalah imaturitas anatomik dan imunologik,
mikroorganisme penyebab yag luas, gejala klinis yang kadang-kadang tidak khas
terutama pada bayi, terbatasnya penggunaan prosedur diagnostik invasif, etiologi
non infeksi yang relatif lebih sering dan faktor patogenesis. Disamping itu,
kelompok usia pada anak merupakan faktor penting yang menyebabkan
karakteristik penyakit berbeda-beda, sehingga perlu dipertimbangkan dalam
tatalaksana pneumonia.3,4
Gambaran klinis pneumonia pada bayi dan anak bergantung pada berat ringannya
infeksi, tetapi secara umum adalah sebagai berikut:
 Gejala infeksi umum, yaitu demam, sakit kepala, gelisah, malaise, penurunan
napsu makan, keluhan gastrointestinal seperti mual, muntah atau diare;
kadang-kadang ditemukan gejala infeksi ekstrapulmuner
 Gejala gangguan respiratori untuk batuk, sesak napas, retraksi dada, takipnea,
napas cuping hidung, air hunger, merintih, dan sianosis.

Pasien juga mengeluhkan adanya sesak nafas yang disertai rasa nyeri pada
dada. Pasien dengan gejala tersebut dapat dicurigai adanya efusi pleura. Adanya
timbunan cairan mengakibatkan perasaan sakit karena pergesekan, setelah cairan
cukup banyak rasa sakit hilang. Bila cairan banyak, penderita akan sesak napas.
Pada anak masalah pernapasan adalah hal yang paling sering dikeluhkan. Apabila
dihubungkan dengan penyebabnya berupa pneumonia maka gejala yang muncul
adalah batuk, demam, sesak nafas, menggigil. Apabila penyebabnya bukan

11
pneumonia, maka gejala pada anak mungkin tidak ditemukan sampai efusi yang
timbul telah mencukupi untuk menimbulkan gejala sesak nafas atau kesulitan
bernafas.8,9
Adanya gejala-gejala penyakit penyebab seperti demam, menggigil, dan
nyeri dada pleuritis (pneumonia), panas tinggi (kokus), subfebril (tuberkulosis),
banyak keringat, batuk, banyak riak. Deviasi trachea menjauhi tempat yang sakit
dapat terjadi jika terjadi penumpukan cairan pleural yang signifikan.
Dari anamnesis didapatkan bahwa pasien belum pernah mendapatkan
imunisasi sebelumnya. Terdapat berbagai faktor resiko yang menyebabkan
tingginya angka mortalitas pneumonia pada anak balita di negara berkembang.
Faktor resiko tersebut adalah: pneumonia yang terjadi pada masa bayi, berat
badan lahir rendah, tidak mendapat imunisasi, tidak mendapat ASI yang adekuat,
malnutrisi, defisiensi vitamin A, tingginya prevalens kolonisasi bakteri patogen di
nasofaring, dan tingginya pajanan terhadap polusi udara (polusi industri atau asap
rokok).1
Pada pasien ini yang tidak mendapatkan imunisasi dasar secara lengkap
menjadi salah satu faktor resiko terjadinya pneumonia. Imunisasi yang tidak
lengkap dan higinitas yang kurang dapat menurunkan sistem imun dari anak
tersebutsehingga meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi terutama
pneumonia.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan laju nafas pasien yang tinggi yaitu sebesar
28 kali permenit. Pada pemeriksaan juga ditemukan paru kanan dengan perkusi
redup, fremitus taktil yang melemah dengan suara nafas vesikuler melemah.
Pasien juga mengeluhkan adanya rasa sesak yang akan memberat ketika pasien
berbaring. Keadaan ini sesuai dengan manifestasi klinis dari efusi pleura.
Pemeriksaan fisik dalam keadaan berbaring dan duduk akan berlainan,
karena cairan akan berpindah tempat. Bagian yang sakit akan kurang bergerak
dalam pernapasan, fremitus melemah (raba dan vocal), pada perkusi didapati
daerah pekak, dalam keadaan duduk permukaan cairan membentuk garis
melengkung (garis Ellis Damoiseu).9
Didapati segitiga Garland, yaitu daerah yang pada perkusi redup timpani
dibagian atas garis Ellis Domiseu. Segitiga Grocco-Rochfusz, yaitu daerah pekak

12
karena cairan mendorong mediastinum kesisi lain, pada auskultasi daerah ini
didapati vesikuler melemah dengan ronki.
Dari hasil pemeriksaan laboratorium darah didapatkan hasil leukosit pasien
yang meningkat sebesar 13,7. Keadaan peningkatan dari nilai leukosit
menunjukkan adanya suatu proses inflamasi di dalam tubuh.
Pada pneumonia virus dan juga pada pneumonia mikoplasma umumnya
ditemukan leukosit dalam batas normal ataus sedikit meningkat. Akan tetapi, pada
pneumonia bakteri didapatkan leukositosis yang berkisar antara 15.000-
40.000/mm3 dengan predominan PMN. Leukopenia ( >5.000/mm3) menunjukan
prognosis yang buruk. Leukositosis hebat (< 3.000/ mm 3) hampir selalu
menunjukkan adanya infeksi bakteri, sering ditemukan pada keadaan bakteriemi,
dan risiko terjadinya komplikasi lebih tinggi. Pada infeksi Chalmydia pneumoniae
kadang-kadang ditemukan eosinofiilia. Efusi pleura merupakan cairan eksudat
dengan sel PMN berkisar antara 300-100.000/mm3, protein >2,5 g/dl, dan glukosa
relatif lebih rendah daripada glukosa darah. Kadang-kadang terdapat anemia
ringan dan laju endap darah (LED) yang meningkat. Secara umum, hasil
pemeriksaan darah perifer lengkap dan LED tidak dapat membedakan antara
infeksi virus dan infeksi bakteri secara pasti.
Pemeriksaan penunjang lainnya dalam menegakkan diagnosis pneumonia
adalah pemeriksaan CRP, Uji serologi, pemeriksaan mikrobiologi dan rontgen
dada. Akan tetapi pada pasien ini tidak dilakukan pemeriksaan penunjang lainnya
selain dari pemeriksaan rontgen dada.
Dari pemeriksaan foto thoraks pasien tidak dijumpai adanya gambaran
pneumonia, seperti gambaran berkabut maupun perselubungan. Akan tetapi pada
foto thoraks pasien ini ditemukan adanya efusi pleura.
Umumnya pemeriksaan yang diperlukan untuk menunjang diagnosis
pneumonia di Instalasi gawat darurat hanyalah pemeriksaan rontgen toraks posisi
AP. Posisi lateral tidak meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas penegakan
diagnosis pneumonia pada anak. Foto AP lateral hanya dilakuakan pada pasien
dengan tanda dan gejala klinik distress pernapasan.
Gambaran foto rongen toraks pneumonia pada anak meliputi infiltrat ringan
pada satu paru hingga konsolidasi luas pada kedua paru. pada suatu penelitian
ditemukan bahwa lesi pneumonia pada anak terbanyak berada di paru kanan,
terutama lobus atas. Bila ditemukan di paru kiri, dan terbanyak di lobus bawah,

13
maka hal itu merupakan prediktor perjalanan penyakit yang lebih berat dengan
resiko terjadinya pleuritis lebih meningkat.
Rontgen dada biasanya merupakan langkah pertama yang dilakukan untuk
mendiagnosis efusi pleura, yang hasilnya menunjukkan adanya cairan. Pada
pasien dengan efusi pleura. Rontgen dada pasien akan tampak adanya penumpulan
dari sudut kostrofrenikus yang mengambarkan adanya cairan yang mengisi dari
bagian basal paru.
Pada pasien ini ditegakkan diagnosis efusi pleura dan pneumonia. Efusi
pleura merupakan istilah yang digunakan untuk menyatakan adanya penimbunan
cairan dalam rongga pleura. Efusi pleural, sebagai proses penyakit primer jarang
terjadi namun biasanya terjadi sekunder akibat penyakit lain. Efusi dapat berupa
cairan jernih, yang mungkin merupakan transudat, keruh yang mungkin
merupakan eksudat, atau dapat berupa darah atau pus.
Adanya keluhan seperti sesak nafas, nyeri dada, demam, menggigil, dan
nyeri dada pleuritis (pneumonia), panas tinggi (kokus), subfebril (tuberkulosis),
banyak keringat, batuk, banyak riak. Deviasi trachea menjauhi tempat yang sakit
dapat terjadi jika terjadi penumpukan cairan pleural yang signifikan.
Pemeriksaan fisik dalam keadaan berbaring dan duduk akan berlainan,
karena cairan akan berpindah tempat. Bagian yang sakit akan kurang bergerak
dalam pernapasan, fremitus melemah (raba dan vocal), pada perkusi didapati
daerah pekak, dalam keadaan duduk permukaan cairan membentuk garis
melengkung (garis Ellis Damoiseu).9
Didapati segitiga Garland, yaitu daerah yang pada perkusi redup timpani
dibagian atas garis Ellis Domiseu. Segitiga Grocco-Rochfusz, yaitu daerah pekak
karena cairan mendorong mediastinum kesisi lain, pada auskultasi daerah ini
didapati vesikuler melemah dengan ronki.8
Pada pasien ini, dengan hasil foto thoraks yang menunjukkan danya efusi
pleura massif diserta pendorongan trakea. Dari gambaran klinis ini dapat
menegakkan diagnosis yang tepat dari efusi pleura tersebut.
Pneumonia adalah inflamasi yang mengenai parenkim paru. sebagian besar
oleh mikroorganisme (virus/bakteri) dan sebagian kecil disebabkan oleh hal lain
(aspirasi, radiasi, dll). 1

14
Pasien seorang laki-laki berusia 7 tahun dengan keluhan sesak nafas, batuk
dan demam. Usia pasien merupakan faktor yang memegang peranan penting pada
perbedaan dan kekhasan pneumonia anak, terutama dalam spektrum etiologi,
gambaran klinis dan strategi pengoatan. Spektrum mikroorganisme penyabab pada
neonatus dan bayi kecil berbeda dengan anak yang lebih besar. Etiologi
pneumonia pada neonatus dan bayi kecil meliputi Streptococcus gurp B dan
bakteri Gram negatif seperti E.colli, Pseudomonas sp, atau Klebsiella sp. Pada
bayi yang lebih besar dan anak balita, pneumonia sering disebabkan oleh infeksi
Streptococcus pneumoniae, Haemophillus influenzae tipe B, dan Staphylococcus
aureus, sedangkan pada anak yang lebih besar dan remaja, selain bakteri tersebut,
sering juga ditemukan infeksi Mycoplasma pneumoniae. Dinegara maju,
pneumonia pada anak terutama disebabkan oleh virus, disamping bakteri, atau
campuran bakteri virus.
Pasien biasanya mengalami demam tinggi, batuk, gelisah, rewel, dan sesak
nafas. Pada bayi, gejalanya tidak khas, seringkali tanpa demam dan batuk. Anak
besar kadang mengeluh sakit kepala, nyeri abdomen disertai muntah. Manifestasi
klinis yang terjadi akan berbeda-beda berdasarkan kelompok umur tertentu. Pada
neonatus sering dijumpai takipneu, retraksi dinding dada, grunting, dan sianosis.
Pada bayi-bayi yang lebih tua jarang ditemukan grunting. Gejala yang sering
terlihat adalah takipneu, retraksi, sianosis, batuk, panas, dan iritabel.3,4
Pada anak pra sekolah, gejala yang sering terjadi adalah demam, batuk (non
produktif/produktif), takipneu, dan dispneu yang ditandai dengan retraksi dinding
dada. Pada kelompok anak sekolah dan remaja, dapat dijumpai panas, batuk (non
produktif/produktif), nyeri dada, nyeri kepala, dehidrasi dan letargi. Pada semua
kelompok umur, akan dijumpai adanya nafas cuping hidung.4
Pada pasien ini mendapatkan terapi IVFD Asering 20gtt/I, Inj. Ampicillin
500mg/8jam, Inj. Cefotaxim1gr/12jam, Paracetamol syr 3x1 cth serta obat pulvis
yang terdiri dari Rhinofed, Ambroxol, Ascorbid acid dan Ceterizin.
Sebagian besar pneumonia pada anak tidak perlu dirawat inap.indikasi
perawatan terutama berdasarkan terat ringannya penyakit, misalnya toksis, distres
pernapasan, tidak mu makan/minum, atau ada penyakit dasar yang lina,
komplikasi dan terutama mempertimbangkan usia pasien. Neonatus dan bayi kecil

15
dengan kemungkinan klinis pneumonia harus dirawat inap. Dasar tatalaksana
pneumonia rawat inap adalah pengobatan kausal dengan antibiotik yang sesuai,
serta tindakan suportif. Pengobatan suportif meliputi pemberian cairan intravena,
terapi oksigen, koreksi terhadap gangguan keseimbangan asam-basa, elektrolit
dan gula darah. Untuk nyeri dan demam dapat diberikan analgetik/antipiretik.
Suplementasi vitamin A tidak terbukti efektif. Penyakit penyerta harus
ditanggulangi dengan adekuat, kompilasi yang mungkin terjadi harus dipantau dan
diatasi.
Penggunaan antibiotik yang tepat merupakan kunci utama keberhasilan pengobatan. Terapi antibiotik harus segera diberikan pada

anak dengan pneumonia yang diduga disebabkan oleh bakteri. Identifikasi dini mikroorganisme penyebab tidak dapat dilakukan karena tidak

tersedianya uji mikroniologis cepat. Oleh karena itu, antibiotik dipilih berdasarkan pengalaman empiris. Umumnya pemilihan antibiotik

empiris didarkan pada kemungkinan etiologi penyebab dengan mempertimbangkan usia dan keadaan klinis pasien serta faktor epidemiologis

(tabel 2).1

Pathogen Rekomendasi terapi Terapi alternative


Streptococcus Seftriakson, Sefuroksimaxetil,
pneumonia
sefoktaksim, penisilin G eritromisin, klindamisin, atau
atau penisilin V vaksomisin.
Streptococcus grup A Penisilin G Sefuroksimaxetil,
eritromisin, sefuroksim
Streptococcus grup B Penisilin G
Haemophilus influenza Seftriekson, sefotaksim, Sefuroksimaxetil,,sefuroksim
tipe B
ampisilin-sulbaktam,
atau ampisilin
Bakteri aerob gram Sefotaksim dengan Piperacilin-tazobactam
negatif ataupun tanpa ditambah sediaan
aminoglikosida aminoglikosid
p. aeroginosa Seftazidim dengan Piperacillin-tazobactam
ataupun tanpa ditambah sediaan
aminoglikosida aminoglikosida
Staphylococcus aureus Nafsilin, sefazolin, Vankomisin (untuk MRSA)
klindamisin (untuk
MRSA)
Chel,ydophilis Eritromisin, azitromisin Doksisiklin (<9 tahun),
pneumonia atau klaritomisin florokuinolon (>18 tahun)
Chalmydia trachomatis Eritromisin, azitromisin,

16
atau klaritomisin
Herpes simplex virus asiklovir

Pemberian terapi sesuai dengan kausal merupakan cara pemberian terapi yang
tepat. Penentuan kausal dapat ditentukan berdasarkan hasil kultur dari swap
tenggorokan pasien. Akan tetapi, kita haru memberikan terapi antibiotic secepat
mungkin untuk menghindari komplikasi dari pneumonia yaitu gagal nafas.
Pemeberian terapi double antibiotic merupakan pemilihan terapi yang tepat
sembari menuggu hasil kultur.
Dalam menangani efusi pleura pasien, jika perlu dapat dilakukan drainage.
Drainage atau pengurasan dari empyema mencegah dari perkembangan lokulasi dan
pengelupasan jaringan fibrotic. Lebih lanjut dari tahap kedua penyakit, pengurasan
akan menjadi kurang efektif. Apakah seluruh empyema membutuhkan pengurasan
masih menjadi hal yang controversial, tidak ada data yang dengan jelas
menggambarkan penggunaannya pada anak-anak. Keseluruhannya, torakostomi
dengan pipa tertutup yang segera sebaiknya menjadi pertimbangan yang kuat
dengan indikasi :7
 pH cairan pleura kurang dari 7,2 atau lebih dari 0,05 unit dibawah pH
arterial
 glukosa cairan pleura kurang dari 40 mg/dL (2,2 mmol/L)
 LDH cairan pleura lebih besar dari 1,000 U/L
 Adanya pus yang terus-menerus
 Terkontaminasi gram positif
 Sepsis oleh karena S.aereus atau H.influenzae

Prognosis pada pasien ini cukup baik. Terihat dari respon terapi yang baik
dari pasien. Keluhan dari pasien seperti sesak nafas dan demam dari pasien telah
berkurang setelah pemberian terapi selama 2 hari follow up.
Anak-anak yang memiliki efusi parapneumonik tanpa komplikasi
memberikan respon yang baik dengan penanganan yang konservatif tanpa tampak
sisa kerusakan paru. Virus dan mikoplasma penyebab penyakit pleura secara umum
sembuh spontan. Pasien dengan empyema memerlukan perawatan yang lebih lama
di Rumah Sakit. Secara nyata tidak ada kematian yang muncul dengan terapi yang

17
benar. Kasus kematian rata-rata 3-6% telah dilaporkan pada beberapa seri saat ini,
dengan angka tertinggi muncul diantara bayi usia kurang dari 1 tahun.7

BAB IV
KESIMPULAN

Pneumonia merupakan infeksi pada parenkim paru. kalsifikasi pneumonia


berdasarkan umur, yaitu pada usia kurang dari 2 bulan diklasifikasikan sebagai
pneumonia berat dan bukan pneumonia, pada usia 2 bulan sampai 5 tahun
pneumonia diklasifikasikan sebagai pneumonia berat, pneumonia dan bukan
pneumonia. Penanganan pneumonia yaitu pemberian oksigen, antibiotik serta
pengobatan simptomatis. Pneumonia pada umumnya dapat sembuh sempurna jika
cepat terdiagnosa serta mendapatkan terapi yang adekuat
Komplikasi dari pneumonia dapat menyebabkan terjadinya efusi pleura.
Perlu peran serta keluarga dan masyarakat dalam penanganan pneumonia ini.
Menjaga kebersihan diri dan lingkungan, memberikan makanan yang bergizi serta
pemberian imunisasi dapat menurunkan angka kejadian penyakit ini.

18
Daftar Pustaka

1. Rahajoe N, Supriyanto B, setyanto D. Respirologi anak. Edisi ke-1.


Jakarta: IDAI; 2013
2. Yayasan penyantun anak asma Indonesia. Manajemen kasus respirologi
anak dalam praktek sehari-hari. Jakarta: YAPNAS SUDDHAPRANA;
2007
3. Meadow R, Newell S. Lecture notes pediatrika. Edisi ke-7. Jakarta:
Erlangga; 2005
4. Marcdante KJ, Kliegman RM, Jenson HB, Behrman RE. Nelson ilmu
kesehatan anak esensial. Edisi ke-6. Singapura: Elsevier; 2014

5. Efrati O, Barak A. Pleural effusions in the pediatric population. Pediatr


Rev 2002;23:417-425.

6. Demirhan R, Kosar A, Sancakli I, Kiral H, Orki A, Arman B. Management


of postpneumonic empyemas in children. Acta Chir Belg 2008;108:208-
211.

19
7. Chih-Ta Y et al. Treatment of complicated parapneumonic pleural effusion
with intrapleural streptokinase in children. Chest 2004;125:566-571.

8. Robert LG, Mark H, Samuel W, Marjorie JA. Drainage, fibrinolytic or


surgery: a comparison of treatment options in pediatric empyema. Journal
of Pediatric Surgery 2004;39:1638-1642.

9. Sylvia A, Lorraine M, Patofisiologi konsep Klinis Proses-proses


Penyakit.ECG 2005: 739

20

Anda mungkin juga menyukai