Anda di halaman 1dari 7

Indikasi untuk dilakukannya repair hernia emergensi adalah ketika pasien

dicurigai mengalami strangulasi, temuan systemic inflammatory response


syndrome (SIRS), serta peningkatan kadar laktat, serum creatinine phosphokinase
(CPK), dan D-dimer yang semuanya merupakan prediktor strangulasi usus.
Sayangnya, angka morbiditas dan mortalitas tetap tinggi pada pasien yang
menjalani repair hernia emergensi. Diagnosis dini strangulasi yang sulit sehingga
memperlambat diagnosis dapat menyebabkan komplikasi septik. Namun, dalam
kasus kecurigaan strangulasi, manfaatnya lebih besar dibandingkan risiko operasi
dan pasien harus segera menjalani intervensi bedah.
Sebuah penelitian terbaru yang dilakukan oleh Martínez-Serrano
menyimpulkan bahwa deteksi dini hernia abdominal dengan komplikasi mungkin
merupakan cara terbaik untuk mengurangi tingkat kematian. Penelitian lain yang
dilakukan oleh Koizumi menunjukkan bahwa semakin lama onset waktu operasi
semakin buruk prognosis pasien.
Faktor-faktor yang mempengaruhi angka morbiditas dan mortalitas dalam
kasus hernia strangulasi meliputi gejala lebih dari 8 jam, penyakit komorbid lain,
skor American Society of Anesthesiologists (ASA) yang tinggi, penggunaan
anestesi umum, temuan strangulasi, dan nekrosis. Hal ini telah dikonfirmasi oleh
penelitia Derici yang menyimpulkan bahwa nekrosis merupakan satu-satunya
faktor yang secara signifikan mempengaruhi tingkat kematian berdasarkan
analisis multivariat.
Tanda-tanda SIRS seperti demam, takikardia, dan leukositosis, serta
kekakuan dinding perut (defans muscular) merupakan indikator obstruksi
stragnulasi namun gejala tersebut tidak dapat dibedakan dari obstruksi umum
lainnya. Sedangkan temuan klasik tersebut merupakan gejala lanjutan dari
strangulasi usus, sehingga nilai diagnosis dini temuan tersebut sangat terbatas.
Metode diagnostik awal dalam mendeteksi strangulasi usus telah
berkembang baik secara radiologis maupun laboratoris. Temuan computed
tomography (CT) berupa penurunan wall enhancment merupakan prediktor
independen strangulasi usus dengan sensitivitas 56% dan spesifisitas 94%.
Sedangkan dari pemeriksaan laboratorium menunjukkan bahwa kadar WBC dan
fibrinogen yang tinggi secara signifikan memprediksi morbiditas.
Di antara tes diagnostik, CPK merupakan indikator strangulasi usus awal.
Serum D-dimer merupakan indikator diagnostik potensial hernia strangulasi
sehingga pemeriksaan D-dimer harus dilakukan pada semua pasien dengan
keadaan darurat usus untuk mengevaluasi dan memprediksi kejadian iskemik.
Selain itu, serum laktat juga berkorelasi dengan strangulasi usus. Disimpulkan
bahwa kadar laktat darah arteri >2,0 mmol/L merupakan prediktor strangulasi
usus.

a. Pendekatan laparoskopi
Laparoskopi diagnostik berguna untuk menilai viabilitas usus setelah
reduksi spontan groin hernia. Perbaikan hernia inkarserata dapat dilakukan
melalui pendekatan laparoskopi pada pasien-pasien yang tidak membutuhkan
reseksi usus, di mana pada keadaan tersebut, pendekatan pra peritoneum terbuka
direkomendasikan. Beberapa penelitian berfokus pada pendekatan laparoskopi
untuk perbaikan hernia dalam keadaan darurat.
Penelitian Landau dan Kyzer pada tahun 2004 menyimpulkan bahwa
pendekatan laparoskopi dapat digunakan secara aman pada pasien dengan hernia
inkarserata insisional maupun ventral. Selain itu pendekatan laparoskopi juga
dapat dilakukan pada pasien dengan omentokel dimana pada pasien tersebut dapat
dilakukan reduksi isi hernia dengan hanya membutuhkan insisi kecil pada paha
untuk mereduksi kantung distal. Dapat disimpulkan bahwa pendekatan
laparoskopi pada hernia ventral dapat dilakukan dengan aman dengan tingkat
komplikasi yang rendah, bahkan pada hernia inkarserata. Reduksi usus secara
hati-hati menggunakan adhesiolisis dan penggunaan 5-cm-mesh overlap
merupakan faktor penting yang mempengaruhi outcome pasien. Ketika dilakukan
perbandingan outcome dari metode total extraperitoneal (TEP) atau
transabdominal preperitoneal (TAPP) repair, dapat disimpulkan bahwa
pendekatan laparoskopi merupakan prosedur yang memiliki nilai prognostik
terbaik. Selain itu teknik campuran antara teknik bedah terbuka dengan
pendekatan laparoskopi yang disebut hernioskopi, efektif dalam mengevaluasi
viabilitas loop hernia sehingga menghindari laparotomi yang tidak perlu.
b. Perbaikan hernia emergensi pada “clean surgical field” (CDC wound class I)
Penggunaan mesh pada keadaan ini berkaitan dengan tingkat kekambuhan
yang lebih rendah dibandingkan tissue repair, tanpa peningkatan tingkat infeksi
luka. Perbaikan prostetik dengan mesh sintetis direkomendasikan pada pasien
yang mengalami inkarserasi.
Berbagai penelitian telah dilakukan dalam menilai efektifitas mesh terhadap
outcome pasien dengan groin hernia. Dari beberapa penelitian tersebut dapat
disimpulkan bahwa penggunaan mesh memiliki tingkat infeksi luka, infeksi mesh,
dan angka kekambuhan yang sangat rendah. Temuan ini dapat disimpulkan bahwa
penggunaan mesh pada hernia inkarserata memiliki outcome yang baik dan aman
dilakukan pada keadaan ini.

c. Perbaikan hernia emergensi pada “clean-contaminated surgical field” (CDC


wound class II)
Pada pasien dengan hernia strangulata yang membutuhkan reseksi usus tanpa
ditemukan adanya cairan enterik pada bidang operasi, perbaikan prostetik
menggunakan mesh sintetis dapat dilakukan. Metode ini berkaitan dengan risiko
kekambuhan secara signifikan lebih rendah, terlepas dari ukuran defek hernia.
Beberapa penelitian menyatakan bahwa repair hernia abdominal dapat
dilakukan dengan aman bersamaan dengan operasi kolon. Prosedur tersebut
memiliki tingkat komplikasi infeksi dan rekurensi yang rendah serta tidak terdapat
anjuran penghindaran mesh prostetik pada keadaan tersebut. Penelitian lain
menyimpulkan bahwa hernia inguinalis strangulata bukan merupakan
kontraindikasi untuk penggunaan mesh bahkan pada reseksi usus maupun serta
juga dapat dilakukan pada usus yang tidak viabel. Selain itu, penggunaan mesh
juga mengurangi tingkat infeksi luka jika dibandingkan kelompok non-mesh.

d. Perbaikan hernia emergensi pada “contaminated-dirty surgical field” (CDC


wound classes III and IV)

Pada pasien stabil dengan hernia strangulata disertai nekrosis usus dan/atau
terkontaminasi tumpahan enterik kotor selama reseksi usus atau pada pasien-
pasien dengan peritonitis akibat perforasi usus, dianjurkan primary repair pada
defek berukuran kecil (<3 cm). Jika jahitan langsung tidak memungkinkan, dapat
digunakan biological mesh. Pilihan antara cross-linked dan non-crosslinked
biological mesh harus dievaluasi tergantung pada ukuran defek dan tingkat
kontaminasi. Jika biological mesh tidak tersedia, polyglactin mesh atau
manajemen luka terbuka dengan delayed repair merupakan alternatif manajemen.
Dalam kasus peritonitis dimana pasien harus menjalani intervensi bedah
terkontaminasi, bidang pembedahan merupakan daerah terinfeksi yang memiliki
risiko infeksi situs bedah yang sangat tinggi. Tingkat infeksi pasca repair hernia
emergensi yang tinggi dilaporkan ketika menggunakan polypropylene mesh.
Suatu penelitian melaporkan tingkat infeksi sebesar 21% pada repair hernia
emergensi. Penggunaan mesh prostetis absorbable dapat meningkatkan
kekambuhan hernia. Mesh ini akan menginduksi reaksi inflamasi melalui reaksi
hidrolitik sehingga mencerna dan menghilangkan bahan prostetik yang telah
ditanamkan.
Biological mesh prosthetics biasanya digunakan pada bidang terinfeksi dalam
repair hernia. Penggunaan biological mesh yang akan mengalami revaskularisasi
dan renovasi sehingga berubah menjadi jaringan autologus pasca implantasi.
Penggunaan mesh ini merupakan alternatif dari mesh prostetik pada kondisi-
kondisi kompleks. Biological mesh akan meningkatkan produksi fibroblast
sehingga menginduksi angiogenesis dan deposit kolagen baru. Klasifikasi
biological mesh didasarkan pada situs asal (allogenic atau xenogenic), jenis
matriks kolagen yang digunakan (dermis, perikardium, atau submukosa usus),
decellularization process, ada tidaknya cross-linkage, temperature-related storage
requirements, dan kebutuhan rehidrasi. Berdasarkan ada tidaknya cross-linkage,
biological mesh dibagi menjadi dua subkelompok: partially remodelling (cross-
linked) dan completely remodelling (not cross-linked). Partially remodelling lebih
resisten terhadap tekanan mekanis.
Penggunaan material biologis dalam praktik klinis menyebabkan munculnya
metode inovatif dalam manajemen defek dinding abdomen pada keadaan bidang
bedah yang terkontaminasi. Penelitian yang dipublikasikan terhadap penggunaan
biological mesh menunjukkan bahwa prosthetics mesh cross-linked memiliki
tingkat kegagalan terendah.
Pada pasien yang tidak stabil (mengalami sepsis berat atau syok septik),
manajemen terbuka dianjurkan untuk mencegah sindrom kompartemen abdomen.
Tekanan intra abdominal (intraabdominal pressure; IAP) dapat diukur secara
intraoperatif. Pasien dengan strangulasi usus dan peritonitis datang dengan kondisi
kritis, biasanya syok dan berisiko tinggi mengalami komplikasi septik. Pasien
dalam keadaan ini mungkin mengalami peningkatan tekanan intra-abdomen
intraoperatif yang tinggi.
IAP yang tinggi dapat menyebabkan peningkatan tekanan paru, penurunan
curah jantung, hipoperfusi splanchnic, dan oliguria, yang mengarah pada sindrom
kompartemen abdomen. Peningkatan tekanan dalam kompartemen abdomen
akibat konstriksi serta penurunan compliance dinding abdomen akan mengurangi
perfusi visceral di dalam kompartemen abdomen sehingga menyebabkan acute
bowel injury. Keadaan ini akan menyebabkan pelepasan mediator proinflamasi ke
dalam peritoneum dan sirkulasi sistemik, pelepasan neutrofil, peningkatan
permeabilitas dinding usus, ekstravasasi cairan ke dinding usus dan mesenterium,
translokasi bakteri usus, dan penyerapan endotoksin bakteri. Bahkan hipertensi
intraabdominal yang relatif ringan (misalnya IAP 15 mmHg) dilaporkan dapat
menurunkan aliran darah mikrosirkulasi usus, meningkatkan permeabilitas
dinding usus, dan menginduksi perubahan histopatologis usus yang ireversibel,
translokasi bakteri, serta multi-organ dysfunction syndrome.
Manajemen profilaksis untuk menghindari sindrom kompartemen abdomen
meliputi membiarkan dinding abdomen tetap terbuka ketika ketegangan dinding
perut meningkat (open abdomen). Dalam keadaan ini, negative pressure
peritoneal therapy memainkan peran dalam mengurangi efek bio-mediator yang
menyebabkan kegagalan organ dan merupakan manfaat potensial tambahan dari
open abdomen.
Bahkan pada kasus di mana dinding perut dapat ditutup setelah dilakukan
laparotomi dengan kontaminasi difus, berdasarkan kriteria World Society of
Emergency Surgery untuk sepsis intra-abdominal, terdapat kontroversi mengenai
apakah dinding perut harus ditutup atau dibiarkan terbuka. Pembedahan satu tahap
secara finansial lebih murah dan lebih disukai pasien namun terdapat alasan
biologis dengan bukti klinis awal bahwa open abdomen pasca sepsis intra-
abdominal lebih baik karena memungkinkan terapi negative pressure peritoneal
therapy. Setelah pasien stabil, dapat dilakukan penutupan abdomen secara
definitif. Primary fascial closure hanya mungkin dilakukan ketika risiko
ketegangan atau IAH berulang minimal.
Ketika penutupan fascia definitif awal tidak memungkinkan untuk dilakukan,
penutupan progresif dapat secara bertahap dicoba setiap dilakukan perbaikan luka
bedah. Cross-linked biological meshes merupakan pilihan untuk rekonstruksi
dinding perut. Setelah pasien stabil, tujuan utama adalah penutupan awal dan
definitif abdomen untuk meminimalkan komplikasi. Penutupan fascia primer
dapat dilakukan dalam beberapa hari pasca operasi pertama.
Vacuum-assisted closure and mesh-mediated fascial traction (VACM)
memiliki tingkat keberhasilan penutupan fascia yang lebih tinggi dengan tingkat
kekambuhan hernia yang lebih rendah dibandingkan metode lain. Terkadang
penutupan perut dapat dapat dicapai secara maksimal sehingga menghasilkan
hernia besar akibat melemahnya dinding abdomen yang pada akhirnya akan
membutuhkan perbaikan bedah yang lebih kompleks. Ketika penutupan fascia
definitif tidak dapat dilakukan, skin-only closure merupakan pilihan tepat pada
delayed abdominal closure dan penggunaan mesh sintetis.

Profilaksis antibiotik
Pada pasien dengan inkarserasi usus tanpa bukti iskemia dan tidak
membutuhkan reseksi usus, direkomendasikan profilaksis jangka pendek. Pada
pasien dengan strangulasi usus dan/atau reseksi usus, direkomendasikan
profilaksis antibiotik selama 48 jam.
Terapi antibiotik direkomendasikan pada semua pasien dengan peritonitis.
Pada perbaikan hernia aseptik, Staphylococcus aureus dari lingkungan eksogen
atau flora normal kulit pasien biasanya merupakan sumber infeksi. Pada pasien
dengan strangulasi usus, bidang bedah dapat terkontaminasi oleh translokasi
bakteri dari vili usus dan loop usus iskemik yang mengalami strangulasi serta
akibat reseksi usus. Pada pasien dengan peritonitis, terapi antibiotik dan
pembedahan selalu dianjurkan.
Anestesi
Disarankan untuk menggunakan anestesi lokal. Penggunaan anestesi lokal
efektif dalam pembedahan serta memiliki komplikasi pasca operasi yang lebih
sedikit pada repair hernia inguinalis emergensi tanpa gangren. Anestesi lokal
adalah salah satu metode anestesi yang paling umum digunakan dalam perbaikan
hernia inguinalis. Namun, peran anestesi lokal dalam perbaikan hernia inguinalis
darurat masih kontroversial.
Penelitian Chen melaporkan bahwa anestesi lokal dapat memberikan
anestesi yang efektif serta aman dilakukan pada pasien yang menjalani repair
hernia inguinalis darurat, dengan komplikasi jantung dan komplikasi pernapasan
yang lebih rendah, lama rawatan ICU maupun rawatan dirumah sakit yang lebih
pendek, biaya yang lebih rendah serta waktu pemulihan yang lebih cepat
dibandingkan anestesi umum. Namun, anestesi umum merupakan pilihan pada
kasus dugaan gangren usus dan ketika diperlukan reseksi usus atau pada kasus-
kasus peritonitis.

Kesimpulan
Repair hernia abdominal emergensi merupakan salah satu keadaan darurat
bedah yang paling sering ditemukan serta berkaitan dengan beban kesehatan yang
signifikan di seluruh dunia.

Anda mungkin juga menyukai